Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH PSIKOLOGI KELUARGA

“TEORI-TEORI AWAL KELUARGA”

Disusun untuk memenuhi penugasan Mata Kuliah Psikologi Keluarga

Dosen Pengampu:

Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.


Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.

Disusun oleh:

1. Debi Musdolifa 15000120120017


2. Fatimah Fitriani 15000120130087
3. Najla Athisya Ilmy 15000120130129
4. Rafif Dwima Al Amjad 15000120130312
5. Ranti Dwi Nugraheni 15000120130098
6. Setya Tri Isnaeni 15000120120024
7. Shafa Kamilah Rizal 15000120110082

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Kami panjatkan rasa syukur atas kehadirat tugas yang telah
memberikan rahmat serta kemudahan bagi kami untuk dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.

Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan banyak terima kasih pada
semua pihak yang telah menyusun dan membantu untuk membuat makalah ini
hingga selesai. Makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Keluarga.

Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu, kami membutuhkan saran dan
kritik yang berguna untuk memperbaiki dan belajar lebih baik lagi kedepannya
dalam mengerjakan tugas penulisan makalah. Kami berharap, ilmu yang kami
sampaikan dalam makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca yang bisa
menambah wawasan yang lebih baik dan lebih luas lagi.

Semarang, 28 Agustus 2021

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii

BAB I ........................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1

C. Tujuan dan Manfaat ......................................................................................... 1

BAB II .......................................................................................................................... 3

A. Pengantar Teori Awal Keluarga...................................................................... 3

B. Teori Bioekologi .............................................................................................. 6

C. Teori Pilihan Rasional ................................................................................... 10

D. Teori Pertukaran Sosial ................................................................................. 14

E. Interaksi Simbolis .......................................................................................... 20

F. Teori Konflik .................................................................................................. 23

G. Contoh Kasus ................................................................................................. 27

BAB III ...................................................................................................................... 30

A. Kesimpulan..................................................................................................... 30

B. Saran ............................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keluarga merupakan lingkungan awal yang sangat berpengaruh pada


perkembangan seorang anak, keluarga merupakan komponen penting dalam setiap
individu dimana keluarga ada hubungan interaksi. Semua orang pasti menginginkan
keluarga yang harmonis, tetapi keharmonisan tidak terus menerus bisa dirasakan,
dalam keluarga, ada banyak tipe kepribadian yang berbeda pada setiap anggota
keluarga, dan hal ini yang membuat sebuah keluarga terkadang ada sebuah
perbedaan penilaian, pendapat, pandangan yang berbeda-beda.

Ada beberapa penjelasan teori yang bisa digunakan untuk mengenali atau
memahami situasi dan fenomena seperti itu. Beberapa teori tersebut yaitu, teori
interaksi simbolis, teori konflik, teori bioekologi, teori pertukaran sosial dan pilihan
rasional. Selain itu keluarga juga memiliki definisi yang berbeda dalam berbagai
tinjauan ilmu serta memiliki beberapa ruang lingkup dalam keluarga. Oleh karena
itu tujuan makalah ini dibuat untuk membahas mengenai teori teori awal dalam
Psikologi keluarga yang bisa menjadi acuan dalam memahami sebuah fenomena
dalam keluarga, juga untuk memahami ruang lingkup dan riset rise mengenai
psikologi keluarga serta, pengertian keluarga dari berbagai bidang keilmuan.

B. Rumusan Masalah :
1. Apa pengertian keluarga dari berbagai rumpun ilmu?
2. Apa saja Ruang Lingkup dan Riset-Riset mengenai Psikologi Keluarga?
3. Apa yang dimaksud dan apa saja isi komponen dari Teori Bioekologi?
4. Apa yang dimaksud dan apa saja isi komponen dari Teori Pilihan Rasional?
5. Apa yang dimaksud dan apa saja isi komponen dari Teori Pertukaran Sosial?
6. Apa yang dimaksud dan apa saja isi komponen dari Teori Interaksi Simbolis?
7. Apa yang dimaksud dan apa saja isi komponen dari Teori Konflik?
8. Apa saja contoh kasus yang ada?

C. Tujuan dan Manfaat :

1
1. Memahami pengertian dari keluarga dari berbagai aspek bidang keilmuan
2. Memahami ruang lingkup dan riset riset terkait psikologi keluarga
3. Memahami apa yang dimaksud teori bioekologi dalam keluarga
4. Memahami apa yang dimaksud dari teori pilihan rasional dalam keluarga
5. Memahami apa yang dimaksud dari teori pertukaran sosial dalam keluarga
6. Memahami apa yang dimaksud dari teori interaksi simbolis dalam keluarga
7. Memahami apa yang dimaksud teori konflik dalam keluarga
8. Memahami analisis contoh kasus yang ada

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengantar Teori Awal Keluarga

1. Definisi Keluarga
a. George Murdock
Keluarga adalah kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal
bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi.
b. Ira Reiss
Keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian
keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan
terhadap generasi baru.
c. Weigert dan Thomas
Keluarga adalah suatu tatanan utama yang mengomunikasikan pola-pola
nilai yang bersifat simbolik kepada generasi baru.
d. Korner dan Fitzpark
Definisi keluarga dapat ditinjau dalam tiga sudut pandang, yaitu:
• Definisi Struktural
Keluarga didefinisikan dengan dasar kehadiran atau ketidakhadiran
anggota keluarga.
• Definisi Fungsional
Keluarga dilihat dari penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan
fungsi-fungsi psikososial.
• Definisi Transaksional
Keluarga diartikan sebagai kelompok yang mengembangkan
keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas
sebagai keluarga, berupa ikatan emosi, pengalaman historis, dan cita-
cita masa depan.
2. Struktur Keluarga
a. Keluarga Inti

3
Keluarga Inti adalah keluarga yang terdiri dari suami-ayah, istri-ibu, dan
anak-sibling yang saling mendukung.
b. Keluarga Batih
• Keluarga bercabang adalah seorang anak tunggal yang sudah menikah
masih tinggal dengan orang tuanya.
• Keluarga berumpun adalah lebih dari satu anak sudah menikah tetap
tinggal bersama orang tuanya.
• Keluarga beranting adalah terdapat generasi ketiga atau cucu yang
sudah menikah dan tetap tinggal bersama.
3. Ruang Lingkup Psikologi Keluarga
a. Manajemen rumah tangga.
b. Komunikasi antar anggota keluarga.
c. Pengembangan potensi dalam keluarga.
d. Strategi mengatasi permasalahan.
e. Penyelesaian masalah. Tanggung jawab anggota keluarga yang memiliki
kesetaraan gender, internalisasi, eksternalisasi nilai dan norma positif
4. Riset-Riset Terkait Psikologi Keluarga
1. Riset A
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nandy Agustin Syakarofath dan
Subandi Subandi. Di tahun 2019 yang berjudul “Faktor Ayah dan Ibu yang
Berkontribusi terhadap Munculnya Gejala Perilaku Disruptif Remaja”
pada 237 remaja yang berusia 15-18 tahun dan tinggal dengan orangtua
mereka yang menjadi responden. Dari 237 responden yang menjadi
subjek penelitian terdapat sejumlah 135 siswa laki-laki dan 102 siswa
perempuan dengan karakteristik 1) remaja yang berusia 15-18 tahun
(duduk di bangku SMA), 2) terdaftar sebagai siswa di sekolah yang
tidak menjadi tujuan utama para orangtua di Pamekasan untuk
menyekolahkan anak-anaknya, 3) tinggal di rumah dengan ayah dan ibu.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan ekspresi
emosi keluarga dan persepsi hubungan orangtua anak berperan terhadap
munculnya gejala perilaku disruptif, dengan sumbangan efektif sebesar

4
5,3%. Hasil menunjukkan persepsi hubungan orangtua-anak terhadap
ibu tidak memiliki hubungan terhadap munculnya gejala
perilaku disruptif remaja. Sedangkan persepsi hubungan orangtua-anak
kepada ayah memiliki hubungan terhadap munculnya perilaku disruptif
remaja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
persepsi hubungan orangtua-anak terhadap ayah semakin rendah
munculnya gejala perilaku disruptive remaja.
2. Riset B
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kartika Sari Dewi dan Adriana
Soekandar Ginanjar. Di tahun 2019 yang berjudul “Peranan Faktor-Faktor
Interaksional dalam perspektif Teori Sistem Keluarga terhadap
Kesejahteraan Keluarga” pada 219 partisipan berusia 17-35 tahun, yang
melengkapi asesmen survey online dan menjawab pertanyaan terbuka
mengenai kesejahteraan keluarga yang menjadi responden. Hasil studi
ini mengidentifikasikan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan keluarga terbagi dalam dua kategori, yaitu faktor
interaksional dan faktor non-interaksional. Faktor interaksional
merupakan faktor yang didalamnya memuat berbagai indikator
interaksi internal antar anggota keluarga, maupun interaksi eksternal
dengan lingkungan sosialnya. Adapun factor interaksional mencakup rasa
saling percaya antara orangtua-anak,melakukan ritual bersama
dalam keluarga, ekspresi kasih-sayang dan penerimaan orangtua
kepada anaknya, kerjasama ayah dan ibu dalam pengasuhan, memiliki
kesamaan tujuan dalam keluarga, serta dukungan dari extended
family dan lingkungan sekitar yang diterima keluarga. Kategori yang
kedua adalah faktor non-interaksional, yang mencakup faktor spiritualitas,
struktur keluarga, modalitas individu, kepastian mengenai sistem
yang berjalan dengan baik, serta ketersediaan media komunikasi untuk
menunjang kesempatan berkomunikasi dan kualitas komunikasi yang
baik. Hasil studi yang menarik adalah peran faktor spiritualitas yang
didalamnya mengungkap bahwa rasa ikhlas, syukur dan mendapatkan

5
berkah dalam beraktivitas untuk keluarga dianggap berperan dalam
tercapainya kesejahteraan keluarga tampak menonjol dibandingkan
faktor-faktor dalam kategori non-interaksional.
3. Riset C
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yohanes Berkhmans Mulyadi. Di
tahun 2019 yang berjudul “Pendekatan Psikologi Keluarga terhadap Sikap
dan Perilaku Egoistik Anak ” pada orang tua yang memiliki anak usia 6-
10 tahun yang cenderung bersikap dan berperilaku egositik berjumlah 7
orang sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan
psikologis keluarga sangat dibutuhkan dalam mengurangi sikap dan
perilaku egositik anak seperti empatik, memuji keunggulan anak,
mengajarkan moral baik dan buruk, berperilaku prososial di hadapan anak-
anak, asuh secara demokratis, tegas, sedia mendengarkan orang tua, peduli
dengan sesama, mengerjakan pekerjaan rumah dalam suasana dan senang
hati. Upaya untuk mengurangi perilaku egoistik adalah melalui
peningkatan penerimaan diri, bimbingan dan konseling yang dilakukan
orang tua terhadap anak,Memberi contoh dan mengajari kepedulian
terhadap orang lain.

B. Teori Bioekologi

1. Konsep Bioekologi

Teori bioekologi merujuk pada konsep ekologi yang mana terdapat


ketergantungan antara manusia dengan lingkungannya, baik dengan sumber daya
alam maupun buatan. Teori ekologi diperkenalkan oleh Uri Bronfenbrenner. Teori
ekologi memandang bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh konteks
lingkungan.

Menurut teori ini, hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan
akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat
tinggal anak akan menggambarkan, mengorganisasi, dan mengklarifikasi efek dari
lingkungan yang bervariasi.

6
Ekologi manusia meliputi konteks biologis, psikologis, sosial, dan budaya
yang berinteraksi dengan seseorang yang sedang berkembang dan memberikan
konsekuensi atas proses yang dijalaninya (misalnya: persepsi, belajar, perilaku)
yang berkembang dari waktu ke waktu (Bronfenbrenner & Morris, 1998, dalam
Berns, 2007).

Ada dua proposisi dalam teori ini. Proposisi pertama yakni perkembangan
manusia terjadi melalui proses interaksi timbal balik antara individu dengan orang,
objek dan simbol di dalam lingkungan dekat, atau yang dinamakan proximal
process (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Proposisi kedua yaitu bentuk, kekuatan,
isi dan arah proximal process dalam mempengaruhi perkembangan bervariasi
secara sistematik sebagai fungsi dari karakteristik individu, lingkungan dimana
proses terjadi, hasil perkembangan dan kontinuitas serta perubahan sosial yang
terjadi sepanjang perjalanan hidup dan periode sejarah dimana individu hidup
(Bronfenbrenner & Morris, 2006).

2. Teori Ekologi Bronfenbrenner

Teori perkembangan anak diperkenalkan Bronfenbrenner untuk mencoba


melihat interaksi manusia dalam sistem atau subsistem. Teori ekologi memandang
perkembangan anak dari tiga sistem lingkungan yaitu mikrosistem, eksosistem, dan
makrosistem. Ketiga sistem tersebut membantu perkembangan individu dalam
membentuk ciri-ciri fisik dan mental tertentu. Selain itu, perilaku peserta didik akan
berkembang ke arah negatif atau positif sangat bergantung pada dukungan
lingkungan mikrosistem yang diberikan.

Bronfenbrenner membagi teori ekologi menjadi lima subsistem, yaitu:

a. Mikrosistem
Mikrosistem adalah lingkungan dimana individu tinggal, kontek ini
meliputi keluarga individu, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tempat
tinggal. Dalam sistem mikro terjadi banyak interaksi secara langsung
dengan agen sosial, yaitu orang tua, teman dan guru. Dalam proses interaksi

7
tersebut individu bukan sebagai penerima pasif, tetapi turut aktif
membentuk dan membangun setting mikrosistem.
Setiap individu mendapatkan pengalaman dari setiap aktivitas, dan
memiliki peranan dalam membangun hubungan interpersonal dengan
lingkungan mikro sistemnya. Lingkungan mikrosistem yang dimaksud
adalah lingkungan sosial yang terdiri dari orang tua, adik-kakak, guru,
teman-teman dan guru. Lingkungan tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan individu terutama pada anak usia dini sampai remaja.
Subsistem keluarga khususnya orang tua dalam mikrosistem
dianggap agen sosialisasi paling penting dalam kehidupan seorang anak
sehingga keluarga berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak-
anak. Setiap sub sistem dalam mikrosistem tersebut saling berinteraksi,
misalnya hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman
sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan
pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya, serta hubungan
keluarga dengan tetangga.
Dampaknya, setiap masalah yang terjadi dalam sebuah sub sistem
mikrosistem akan berpengaruh pada sub sistem mikrosistem yang lain.
Misalnya, keadaan dirumah dapat mempengaruhi perilaku anak di sekolah.
Anak-anak yang orang tuanya menolak mereka dapat mengalami kesulitan
mengembangkan hubungan positif dengan guru. Karakteristik individu dan
karakteristik lingkungan akan berkontribusi dalam proses interaktif yang
terjadi, sehingga membentuk sebuah karakter dan kebiasaan tertentu.
b. Mesosistem
Mesosistem mencakup interaksi di antara mikrosistem di mana
masalah yang terjadi dalam sebuah mikrosistem akan berpengaruh pada
kondisi mikrosistem yang lain. Misalnya hubungan antara pengalaman
keluarga dengan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan
pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman
teman sebaya, serta hubungan keluarga dengan tetangga.

8
Dalam kaitannya dengan proses pendidikan, tentunya pengalaman
apapun yang didapatkan oleh peserta didik di rumah akan ikut
mempengaruhi kondisi peserta didik di sekolah baik secara langsung
maupun tidak.
Sebagai contoh, ada tidaknya dukungan atau perhatian keluarga
terhadap kebutuhan literasi tentunya akan mempengaruhi kinerja peserta
didik di sekolah. Sebaliknya, dukungan sekolah dan keluarga akan
mempengaruhi seberapa jauh peserta didik akan menghargai pentingnya
literasi.
c. Ekosistem
Eksosistem adalah sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak
terlibat interaksi secara langsung, tetapi begitu berpengaruh terhadap
perkembangan karakter anak. Subsistemnya terdiri dari lingkungan tempat
kerja orang tua, kenalan saudara baik adik, kakak, atau saudara lainnya, dan
peraturan dari pihak sekolah.
Sebagai contoh, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan
orang tua dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima kerja tambahan yang
menuntutnya melakukan lebih banyak perjalanan yang dapat meningkatkan
konflik dan perubahan pola interaksi orang tua-anak. Sub sistem ekosistem
lain yang tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi besar
pengaruhnya adalah koran, televisi, dokter, keluarga besar, dan lain-lain.
d. Makrosistem
Makrosistem adalah sistem lapisan terluar dari lingkungan anak. Sub
sistem makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama,
hukum, adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya, dimana semua subsistem
tersebut akan memberikan pengaruh pada perkembangan karakter anak.
Menurut Berk budaya yang dimaksud dalam sub sistem ini adalah
pola tingkah laku, kepercayaan dan semua produk dari sekelompok manusia
yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagai contoh, jika kebudayaan
masyarakat menggariskan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk

9
membesarkan anak-anaknya, maka hal tersebut akan mempengaruhi
struktur di mana orangtua akan menjalankan fungsi psikoedukasinya.
e. Kronosistem
Kronosistem mencakup pengaruh lingkungan dari waktu ke waktu
beserta caranya mempengaruhi perkembangan dan perilaku. Contohnya
seperti perkembangan teknologi dengan produk-produk turunannya, seperti
internet dan gadget, membuat peserta didik mahir, nyaman, dan terbiasa
menggunakannya untuk pendidikan maupun hiburan.
Demikian halnya dengan maraknya fenomena wanita karir akibat
industrialisasi, telah mengubah kehidupan keluarga. Perhatian ibu terhadap
anak menjadi berkurang. Kronosistem meliputi keterpolaan peristiwa-
peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosio historis.

Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi


pekerti, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-
buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

C. Teori Pilihan Rasional

Menurut Homans (Ritzer, 2008), pilihan rasional terkait dengan kalkulasi


seseorang dalam berbagai tindakan alternatif yang tersedia baginya. Mereka
membandingkan jumlah imbalan yang bernilai tinggi dengan yang bernilai rendah.
Imbalan yang paling diinginkan adalah imbalan yang sangat bernilai dan sangat
mungkin tercapai. Dalam proporsi rasionalitas, Homans mengaitkan dengan
keberhasilan, stimulus, dan proposisi nilai.

Teori pilihan rasional mengacu pada tindakan seseorang yang mengarah


pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau
pilihan (preferensi). Preferensi atau kepentingan dalam perilaku individu
dipengaruhi oleh kepentingan sosial. Keuntungan yang diperoleh individu tidak

10
hanya terbatas pada keuntungan material, melainkan secara psikologis maupun
sosial seperti prestise atau perilaku yang diterima masyarakat (Wittek, 2013).

Teori pilihan rasional yang dipopulerkan oleh Coleman menyatakan bahwa


tindakan seseorang sebagai sesuatu yang purposive atau yang bertujuan (Huber
dalam Wirawan, 2012). Tindakan purposive merupakan suatu tindakan yang
didasarkan keinginan memperoleh keuntungan atas pilihannya (Coleman, 1992).
Teori pilihan rasional pada dasarnya menekankan bahwa manusia adalah organisme
yang mementingkan dirinya sendiri, maka ia akan memperhitungkan cara bertindak
untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian
(Anggaunitakiranantika, 2013). Dengan demikian, teori pilihan rasional pada
dasarnya mengarah pada suatu alasan mengapa tindakan itu dilakukan, dan tentunya
mengandung suatu keuntungan baik bagi individu sendiri maupun sesuatu yang
dapat diterima masyarakat.

Teori pilihan rasional di dalam keluarga yang dijelaskan oleh Coleman


memaparkan pilihan rasional sebagai tindakan manusia dalam memaksimalkan
kepuasan yang ingin dicapai. Dan untuk mengerti apakah pilihan aktor merupakan
rasional, perlu diketahui apa yang menjadi keuntungan/rewarding dan beban/cost.
(White and Klein, 2002). White and Klein mendefinisikan reward sebagai apapun
yang diterima seseorang sebagai keuntungan. Sedangkan cost secara sederhana
merupakan kebalikan dari reward. Klein mendefinisikan nya sebagai : “Negative
rewards the opportunities for rewards that might be missed or foregone that are
associated with any specific choice.” (White and Klein,2002). Atau diartikan
sebagai kebalikannya dari rewards atau sesuatu yang dianggap tidak memberikan
keuntungan untuk pemenuhan self-interest aktor.

Weber mencontohkan orang membeli baju dengan harga yang murah


ketimbang harga yang mahal merupakan hal yang rasional (Doyle, 1994: 220).
Contoh lainnya yaitu ketika sebuah keluarga memutuskan untuk mempunyai
banyak atau sedikit anak tentu berdasarkan pilihan rasional masing-masing
keluarga tersebut. Walaupun masing-masing keluarga pasti mempunyai persepsi
berbeda sehingga keputusan untuk mempunyai anak juga akan berbeda.

11
Terdapat dua unsur utama dalam teori pilihan rasional Coleman, yaitu :

1. Sumber daya ialah setiap potensi yang ada atau yang dimiliki. Sumber daya
dapat berupa sumber daya alam (sumber daya yang telah disediakan atau
potensi alam yang dimiliki) dan juga sumber daya manusia (potensi yang
ada dalam diri seseorang). Aktor adalah individu yang mampu
memanfaatkan sumber daya dengan baik karena memiliki kontrol serta
kepentingan tertentu yang membuat aktor bisa mengendalikan sumber daya.
2. Aktor adalah seseorang yang melakukan sebuah tindakan dan mampu
memanfaatkan sumber daya. Aktor dianggap sebagai individu yang
memiliki tujuan dan menggunakan pertimbangan secara mendalam
berdasarkan kesadarannya untuk menentukan pilihannya. Aktor juga
mempunyai kekuatan sebagai upaya untuk menentukan pilihan dan tindakan
yang menjadi keinginannya.

Coleman juga menjelaskan mengenai interaksi antara aktor dengan sumber


daya ke tingkat sistem sosial. Basis minimal untuk sistem sosial adalah tindakan
dua orang aktor, di mana setiap aktor mengendalikan sumber daya yang menarik
perhatian bagi pihak lain. Aktor selalu mempunyai tujuan, dan masing-masing
bertujuan untuk memaksimalkan wujud dari kepentingannya yang memberikan ciri
saling tergantung pada tindakan aktor tersebut.

Menurut Friedman dan Hechter dalam (Ritzer,2008), teori pilihan rasional


memang berangkat dari tujuan atau maksud aktor. Akan tetapi, terdapat
pertimbangan atau hambatan utama dalam melakukan tindakan, yaitu : kelangkaan
sumber daya dan institusi sosial. Kelangkaan sumber daya berkaitan dengan
pengorbanan yang dikeluarkan dalam mencapai tujuan. Masing-masing aktor
memiliki sumber daya berbeda. Perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan akses
dalam mencapai tujuan. Aktor yang mempunyai sumber daya besar akan cenderung
lebih mudah dalam pencapaian tujuan, atau sebaliknya. Sedangkan, pertimbangan
atau hambatan utama yang kedua adalah institusi sosial. Friedman dan Hechter
dalam (Ritzer,2008) mengungkapkan bahwa pada umumnya individu akan
dikendalikan oleh aturan keluarga dan sekolah; hukum dan organisasi; gereja dan

12
masjid. Teori pilihan rasional dari Coleman bergerak dari individu sebagai aktor ke
tingkat masyarakat. Artinya dalam pilihan aktor tetap dikendalikan oleh norma
dalam masyarakat. Norma yang muncul berasal dari tindakan yang dilakukan
sejumlah orang atau tidak adanya aktor yang mengatur perilaku.

Terdapat 4 asumsi yang mendasari Teori Pilihan Rasional, yaitu :

1. Asumsi Intensionalitas
Asumsi ini tidak hanya menyatakan bahwa setiap individu bertindak secara
intensional dengan maksud tertentu, tetapi juga mempertimbangkan praktik-
praktik sosial seperti keyakinan/kepercayaan masyarakat serta keinginan-
keinginan individu. Tindakan ini disertai dengan pencarian akibat-akibat
yang tidak dimaksudkan dari tindakan yang bertujuan dari para pelaku.
Teori ini memperhatikan dua bentuk, yaitu negatif dan kontradiksi sosial
(counterfinality dan suboptimality).
2. Asumsi Rasionalitas
Rasionalitas diartikan bahwa ketika bertindak dan beraksi, individu
memiliki rencana yang koheren dan memaksimalkan kepuasan dirinya serta
meminimalkan biaya yang dibutuhkan.
3. Ketidakpastian dan resiko
Asumsinya adalah orang-orang telah mengetahui dengan pasti konsekuensi-
konsekuensi dari tindakan mereka. Tidak ada setting dalam kehidupan nyata
untuk mendapatkan informasi yang sempurna. Ketika dihadapkan pada
resiko, orang-orang dapat mengatribusikan berbagai kemungkinan ke
berbagai hasil (outcome) sementara bila dihadapkan pada ketidakpastian,
maka mereka tidak dapat melakukan hal itu.
4. Pilihan-pilihan strategis dan parametrik
Pilihan parametrik merujuk pada pilihan-pilihan yang dihadapi oleh para
individu yang dihadapkan dengan lingkungan pilihan independen. Contoh
dari pilihan strategis adalah suboptimality dan couterfinality, di mana
seseorang sebelum menentukan pilihan-pilihan harus melakukan
pertimbangan terhadap pilihan-pilihan tersebut.

13
Teori pilihan rasional memiliki dua proposisi. Pertama, yaitu
methodological individualism yang berimplikasi bahwa fenomena kelompok,
struktur sosial dikonstruksi oleh tindakan individu, dan pada dasarnya, tindakan
individu akan merujuk pada keuntungan yang paling besar. Kedua, yaitu penjelasan
rasional datang dari motivasi aktor. Dalam pilihan individu, terdapat kendala-
kendala yang dihadapi, tetapi aktor akan memilih pilihan yang lebih
menguntungkan.

Pada kehidupan nyata, Coleman mengakui bahwa individu tidak selalu


bertindak atau berperilaku rasional. Namun, hal ini akan sama saja dengan apakah
seorang aktor dapat bertindak dengan tepat menurut rasionalitas seperti yang biasa
dibayangkan ataupun menyimpang dari cara-cara yang diamati. Tindakan rasional
individu dilanjutkan dengan memusatkan perhatian pada hubungan mikro-makro,
maupun bagaimana cara hubungan tindakan individual menimbulkan perilaku
sistem sosial.

D. Teori Pertukaran Sosial

Teori Pertukaran merupakan salah satu dari tiga teori yang hampir memiliki
kemiripan dan hubungan, yaitu: teori pilihan rasional, teori jaringan, dan teori ini
sendiri. Perbedaan mendasar teori pilihan rasional dan teori pertukaran yaitu teori
pilihan rasional memusatkan perhatian pada proses pembuatan keputusan
individual, sedangkan teori pertukaran lebih kepada menganalisis hubungan sosial.
Teori jaringan sendiri hampir mirip dengan teori pilihan rasional, tetapi perbedaan
mendasarnya adalah teori jaringan menolak adanya rasionalitas dalam perilaku
manusia. Dan persamaan dari ketiganya adalah berorientasi positivistik.

Teori Pertukaran Sosial dikembangkan oleh psikolog John Thibaut dan


Harold Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962),
dan Peter Blau (1964). Teori Pertukaran Sosial adalah perspektif psikologi sosial
dan sosiologi yang menjelaskan perubahan sosial dan stabilitas sebagai proses
pertukaran yang dinegosiasikan antara pihak-pihak. Teori Pertukaran Sosial (Social

14
Exchange Theory) digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi pemeliharaan
hubungan. Teori ini menjelaskan kapan dan mengapa individu melanjutkan dan
mengembangkan beberapa hubungan pribadi, yang di lain waktu juga mengakhiri
hubungan yang lain. Selain itu, ini juga memperhitungkan akan seberapa puas
seseorang dengan hubungan yang dipilih untuk dipertahankan. Sebagai sebuah
teori, teori pertukaran sosial menyatakan bahwa pendekatan pada pertukaran
hubungan sosial ini seperti teori ekonomi yang didasarkan pada perbandingan
pengorbanan dan keuntungan (Cost and Rewards). Oleh karena itu, teori ini melihat
hubungan pribadi dalam pandangan pengorbanan berbanding keuntungan.
Keuntungan apa yang bisa terima dari hubungan yang berjalan dan berapa besar
pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan tersebut.

Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan


orang lain karena kita memperoleh imbalan dari situ. Dengan kata lain, hubungan
pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti
halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku
dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal).
Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan
orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward),
pengorbanan (cost), dan keuntungan (profit).

Imbalan merupakan segala hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan,


pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah
imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Namun, dalam teori pertukaran, pertukaran
sosial tidak hanya dapat diukur dengan uang saja karena hal-hal yang dipertukarkan
adalah hal yang nyata dan tidak. Imbalan ekstrinsik dapat berupa uang, barang-
barang atau jasa-jasa, sedangkan imbalan intrinsik dapat berupa kasih sayang,
pujian, dan kehormatan. Contohnya, seseorang bekerja di sebuah perusahaan tidak
hanya mengharapkan imbalan ekstrinsik berupa upah, tetapi juga ganjaran
instrinsik berupa kesenangan, persahabatan dan kepuasan kerja. Jadi, perilaku
sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan

15
untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,
dan persahabatan hanya akan langgeng jika semua pihak yang terlibat merasa
diuntungkan. Jadi, perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan, maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.

Tabel di atas menggambarkan cara seseorang dalam menghadapi situasi


untuk menolong atau tidak menolong orang lain yang tengah menghadapi
permasalahan :

a. Jika keuntungan yang didapatkan dari menolong seseorang termasuk tinggi,


tetapi pengorbanan untuk menolong juga tinggi, maka kita cenderung tidak
akan langsung mengambil sikap untuk menolong, tetapi akan melihat-lihat
dulu situasi sambil menimbang-nimbang tindakan terbaik apa yang bisa
dilakukan.
b. Jika keuntungan yang didapatkan dari menolong seseorang termasuk tinggi,
tetapi pengorbanan untuk menolongnya rendah, maka kita cenderung akan
segera menolong orang tersebut.
c. Jika pengorbanan untuk menolong termasuk tinggi, tetapi keuntungan yang
didapatkan dari menolongnya rendah, maka akan sangat mungkin kita
mengambil sikap untuk tidak menolong.
d. Jika keuntungan dan pengorbanan untuk menolong sama rendahnya, maka
sikap kita selanjutnya akan bergantung seberapa besar kita secara normatif
merasa terdorong untuk menolong seseorang.

Salah satu contoh teori pertukaran sosial adalah seorang kakak bersedia
membantu adiknya untuk mengerjakan tugas dan sebagai imbalannya, sang adik
bersedia membantu sang kakak untuk membereskan rumah. Contoh lain yaitu
ketika seseorang melihat seekor kucing tergeletak di pinggir jalan karena baru
terserempet mobil. Tindakan orang tersebut akan bergantung seberapa besar dia
merasa terdorong untuk membantu kucing tersebut. Jika orang tersebut adalah
seorang pecinta hewan, mungkin sekali Anda akan menolong kucing ini. Jika tidak,
mungkin saja dia akan berlalu meneruskan perjalanan.

16
Homans menjelaskan proses pertukaran dengan lima proposisi, yaitu :

1. Proposisi Sukses
Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh
imbalan, maka semakin sering ia akan melakukan tindakan itu. Misal,
seorang anak mendapatkan nilai rapor yang bagus setelah ia belajar
sungguh-sungguh dan tekun. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa
yang terjadi pada waktu silam dengan yang terjadi pada waktu sekarang.
2. Proposisi Stimulus
Jika di masa lalu terjadi stimulus yang khusus, atau seperangkat stimulus
merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh imbalan,
maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu,
akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang
agak sama. Misal, seorang mahasiswa menginginkan untuk memiliki nilai
yang bagus. Dengan kesadarannya, ia selalu mengikuti perkuliahan serta
belajar bersama sebelum ujian. Ia merasakan manfaat dari belajar bersama
sebelum ujian, maka ia akan kembali melakukan kegiatan belajar bersama
teman-temannya untuk mendapatkan hasil ujian yang baik.
3. Proposisi Nilai
Semakin tinggi nilai suatu tindakan bagi seseorang, maka semakin sering
seseorang melakukan tindakan itu. Sebagai contoh dapat dilihat pada
tingkah laku mahasiswa yang menganggap bahwa ia mempunyai
kesempatan untuk melihat suatu konser favoritnya dan di saat yang sama ia
harus mengesampingkan perkuliahannya. Nilai yang menurut mahasiswa
tersebut lebih berarti akan menentukan pilihannya, apakah akan memilih
untuk menonton konser atau mengikuti perkuliahan.
4. Proposisi Deprivasi Satiasi
Proposisi ini menjelaskan bahwa semakin sering seseorang menerima
imbalan tertentu dari orang lain, maka nilai dari peningkatan setiap unit
imbalan tersebut akan semakin berkurang. Misal, seorang wanita selalu
diberikan hadiah boneka oleh teman prianya setiap berulang tahun, maka

17
lama-kelamaan hadiah itu menjadi tidak menarik lagi baginya karena
merasa jenuh atau bosan dengan bentuk hadiah yang selalu sama.
5. Proposisi Restu Agresi
Proposisi ini berpandangan bahwa jika tindakan seseorang tidak
memperoleh imbalan yang diharapkannya atau menerima hukuman yang
tidak diinginkannya (seseorang merasa dirugikan dalam hubungannya
dengan orang lain), makin besar kemungkinan orang tersebut untuk
mengembangkan emosi seperti marah atau berperilaku agresif. Jika
tindakan seseorang memperoleh imbalan yang lebih besar dari yang
diperkirakan atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka ia
akan merasa senang.

Dalam memahami proposisi tersebut, perlu juga diperhatikan bahwa :

a. Makin tinggi imbalan (reward) yang diperoleh atau yang akan diperoleh
semakin besar kemungkinan sesuatu tingkah laku akan diulang.
b. Makin tinggi pengorbanan atau ancaman hukuman (punishment) yang akan
diperoleh, semakin kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan
diulang.

Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah "distributive justice",


yaitu aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan
investasi. Hubungan dengan nilai positif adalah hubungan yang terjadi jika
keuntungan yang diterima lebih besar daripada pengorbanan yang sudah diberikan.
Sedangkan hubungan dengan nilai negatif terjadi jika pengorbanan melebihi
keuntungan yang diterima dan hubungan ini cenderung berdampak negatif untuk
partisipannya. Teori Pertukaran Sosial juga memprediksikan bahwa hasil nilai dari
sebuah hubungan mempengaruhi hasil akhir (outcome) keputusan seseorang untuk
meneruskan suatu hubungan atau mengakhirinya. Hubungan yang positif biasanya
dapat bertahan, sedangkan hubungan yang negatif mungkin akan berakhir.

Kepentingan diri sendiri dan saling keterbergantungan adalah hal inti dari
pertukaran sosial. Ini adalah bentuk dasar dari interaksi ketika dua atau lebih pelaku

18
memiliki sesuatu yang bernilai bagi satu sama lain. Dalam pertukaran sosial,
kepentingan diri bukanlah hal yang negatif. Bahkan, ketika kepentingan diri sudah
dikenali, dia akan bertindak sebagai pembimbing hubungan interpersonal untuk
kemajuan kedua belah pihak (Roloff,1981).

Thibaut dan Kelley melihat interdependensi atau saling ketergantungan


orang sebagai masalah utama untuk studi perilaku sosial. Menurut definisi saling
ketergantungan mereka, hasil (outcome) didasarkan pada kombinasi upaya kedua
pihak dan saling mengatur serta saling melengkapi.

Dalam Teori Pertukaran Sosial, dikatakan juga bahwa kita akhirnya akan
kehilangan hubungan yang kita miliki karena kita merasa hubungan tersebut sudah
tidak lagi memberi manfaat bagi kita dengan cara apapun. Kita merasa seperti sudah
tidak ada gunanya lagi menjalin komunikasi karena sudah tidak ada keuntungan
atau imbalan lagi. Setelah ini terjadi, kita mencari partner dan sumber daya baru.
Kita melalui proses ini sehari-hari. Menurut penelitian, jumlah manfaat yang
diberikan seseorang dan Comparison of Alternatives menjadi faktor paling penting
dalam menentukan liking dan satisfaction.

Blau menggambarkan “the emergence principle”, yaitu adanya nilai-nilai


dan norma-norma yang disetujui secara bersama dalam kelompok. Nilai-nilai sosial
yang diterima bersama berfungsi sebagai media transaksi sosial bagi organisasi
serta kelompok-kelompok sosial. Lebih jauhnya pembahasan Blau mengenai
kelompok-kelompok sosial yang bersifat “emergent” ini dapat diamati ide-ide
sebagai berikut (Poloma, 2000: 93) :

1. Dalam hubungan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain
melalui berbagai kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Asumsinya adalah
orang yang memberikan imbalan, melakukan hal itu sebagai pembayaran
bagi nilai yang diterimanya.
2. Pertukaran mudah berkembang menjadi hubungan-hubungan
persaingan, di mana setiap orang harus menunjukkan imbalan yang

19
diberikannya dengan maksud menekan orang lain dan sebagai usaha untuk
memperoleh imbalan yang lebih baik.
3. Persaingan melahirkan munculnya sistem stratifikasi, di mana individu-
individu dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber yang dimilikinya
yang melahirkan konsep “emergent” tentang kekuasaan.
4. Kekuasaan dapat bersifat sah atau bersifat memaksa. Wewenang tumbuh
berdasarkan nilai-nilai yang sah yang memungkinkan berbagai kelompok
dan organisasi yang bersifat “emergent” tanpa mendasarkan diri atas
hubungan intim yaitu hubungan tatap muka. Para anggota menyadari bahwa
berbagai kebutuhan dan tujuan kelompok maupun pertukaran di tingkat
individu. Di pihak lain, penggunaan kekuasaan yang bersifat memaksa
mengundang banyak masalah sehingga dapat meningkatkan perkembangan
nilai-nilai oposisi.

Pertukaran Tidak Seimbang dan Konsekuensinya

Ketidakseimbangan dalam pertukaran dapat terjadi apabila terdapat


pemberian reward yang berlebih kepada orang lain, dan di sisi lain, orang yang
menerima reward membalasnya. Pihak terkecil dalam pertukaran yang tidak
seimbang dapat memperoleh kompensasi social approval atau disebut sebagai
kerelaan. Kerelaan dalam pertukaran tidak seimbang adalah suatu kredit kepada
pihak superior, yaitu posisinya menjadi dominasi sehingga memungkinkan
untuk memerintah orang lain.

E. Interaksi Simbolis

Teori interaksi simbolik dikemukakan untuk menentang teori behaviorisme


radikal yang kemudian dikemukakan oleh beberapa sosiolog yaitu John Dewey,
Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, dan Herbert Blumer. Karakter dasar
dari teori interaksionisme simbolik yaitu hubungan yang terjadi secara alamiah
antara manusia dalam masyarakat dan masyarakat dengan individu. Interaksi antar
individu berkembang melalui simbol-simbol yang diciptakan meliputi gerak tubuh

20
antara lain; suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh yang dilakukan dengan
sadar.

Pandangan Tokoh Interaksionisme Simbolik

1. John Dewey
John Dewey merupakan pemikir yang melihat bahwa antara etika
dan ilmu, teori dan praktek, berpikir dan bertindak adalah dua hal yang
selalu menyatu dan tidak dapat terpisahkan. Pemikiran Dewey mengenai
“pikiran” yaitu pikiran manusia tidak hanya bertindak sebagai instrumen
tetapi juga bagian dari sikap manusia. Pikiran manusia bukan sebagai
fotocopy tetapi sebagai hasil dari manusia itu sendiri sehingga pikiran dan
manusia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terlepas satu dengan
lainnya. Manusia ikut andil dalam proses pengenalan yang menghasilkan
citra manusia yang dinamis, kreatif, dan optimistik. Interaksi antar manusia
terjadi karena manusia berpikir.
2. Charles Horton Cooley
Menurut pandangan Cooley hidup manusia secara sosial ditentukan
oleh Bahasa, interaksionisme, dan pendidikan. Setiap masyarakat harus
dipandang sebagai keseluruhan organis, di mana individu merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari masyarakat. Relasi yang yang ditimbulkan dalam
kehidupan sehari-hari merupakan tanggapan dari sikap masing-masing
individu. Jika tindakan individu baik, maka relasi dengan sesama dalam
kelompok juga baik dan setiap orang menemukan jati diri dalam kelompok
di mana dia hidup.
Cooley mengembangkan hubungan sosial dan teori tentang diri
(self). Arisandi (2015:511) menuliskan pandangan tentang diri menurut
Cooley yaitu diri seseorang merupakan produk dari interaksionalisme
sosial. Diri seseorang memantulkan apa yang dirasakan sebagai tanggapan
masyarakat (orang lain) kepadanya. Pantulan diri mempunyai beberapa
tahapan, yaitu: (1) Seseorang membayangkan bagaimana perilaku atau
tindakannya tampak di mata orang lain; (2) Seseorang membayangkan

21
bagaimana orang lain menilai tindakan atau perilaku tersebut; (3) Seseorang
membangun konsepsi tentang diri sendiri berdasarkan penilaian dari orang
lain terhadap dirinya. Dengan demikian, diri (self) tidak bisa terlepas dari
orang lain. Jika pandangan orang lain tentang diri baik, maka diri akan
berkembang dengan baik pula. Sebaliknya, apabila penilaian diri buruk
maka akan membawa dampak buruk bagi diri sendiri.
3. George Herbert Mead
Mead melihat pikiran manusia sebagai sesuatu yang timbul dalam
proses evaluasi secara alamiah. Proses evaluasi ini memungkinkan manusia
beradaptasi secara alamiah pada lingkungan di mana dia hidup.
Ritzer (2014;246) menuliskan pandangan Mead mengenai Pikiran
(mind) sebagai fenomena sosial, bukan proses percakapan seseorang dengan
dirinya sendiri yang muncul dan berkembang dalam proses sosial. Mead
mengatakan bahwa pikiran mempunyai kemampuan untuk memunculkan
dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon melaikan respon komunitas
secara keseluruhan yang berarti pikiran memberikan respon terhadap
organisasi tertentu.
Pandangan Mead mengenai diri (self) yaitu kemampuan untuk
menerima diri sendiri sebagai suatu obyek dan di lain pihak sebagai
subyek.Diri muncul dan berkembang jika terjadi komunikasi sosial atau
komunikasi antar manusia.
Mead membicarakan tentang masyarakat (society) pada umumnya,
yang berarti proses sosial tanpa henti, yang mendahului pikiran dan diri.
Masyarakat sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan pikiran
dan diri.
4. Herbert Blumer
Gagasan Blumer yaitu; (1) manusia bertindak atas sesuatu berdasarkan
makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; (2) makna itu
diperoleh dari interaksionisme sosial yang dilakukan dengan orang lain; (3)
makna-makna tersebut disempurnakan dalam interaksionisme sosial yang
sedang berlangsung. Menurut Blumer, masyarakat tidak berdiri statis,

22
stagnan, serta semata-mata didasari oleh struktur makro. Masyarakat adalah
orang yang bertindak (actor). Kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan
mereka. Masyarakat adalah tindakan dan kehidupan kelompok merupakan
aktivitas kompleks yang terus berlangsung. Tindakan yang dilakukan oleh
individu itu tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga merupakan tindakan
Bersama atau disebut tindakan sosial.

F. Teori Konflik

1. Konsep Konflik
Dalam sebuah interaksi, konflik merupakan suatu hal yang tidak
terelakkan. Konflik dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang wajar.
Manusia dimanapun berada akan senantiasa menghadapi kemungkinan
terjadinya konflik. Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik
merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan.
Dalam sebuah keluarga, konflik seringkali terjadi. Konflik di sini
diidentikkan sebagai perselisihan yang membuat hubungan menjadi tidak baik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik diartikan sebagai percekcokan,
perselisihan, dan pertentangan. Menurut Fisher, konflik adalah hubungan
antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang
merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering
bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik
timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak
seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi.
Konflik berlaku dalam semua aspek relasi sosial, yang bentuknya
seperti dalam relasi antar individu, relasi individu dengan kelompok, maupun
antar kelompok dan kelompok (Garna, 1996: 65). Konflik tidak hanya berakhir
dengan dampak buruk, tetapi dapat berperan sebagai pemicu adanya
perkembangan dan perubahan dalam sebuah hubungan hingga penciptaan

23
keseimbangan sosial. Konflik dalam masyarakat dapat membawa keadaan
yang baik karena mendorong perubahan, tetapi konflik juga bisa membawa
keadaan yang buruk apabila berkelanjutan tanpa mencari solusi yang dianggap
bermanfaat bagi semua pihak. Karena itu harus dicari penyebab konflik tetapi
juga bagaimana cara mengatasinya (Garna, 1996: 66).

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik, yakni :

a. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional,


dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan
dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam
sistem sosial.
b. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya
berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan.
c. Teori konflik melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam
masyarakat.
d. Teori konflik membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda.
Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan
subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat
menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
e. Teori konflik mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya
perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik
ekuilibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena
adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu,
masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam
konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga
terciptalah suatu konsensus.

Dalam teori konflik Collins lebih memperlihatkan konflik yang


mempengaruhi solidaritas sosial, sosial ideal, sentimen moral, dan altruisme

24
sebab distribusi dari kondisi material dan organisasi menghasilkan cita-cita dan
perasaan-perasaan yang dapat mendominasi hierarki atau kelompok.

2. Konflik dalam Keluarga


Konflik tidak hanya terjadi ketika seseorang berhubungan dengan orang
lain, tetapi disaat seseorang itu sendiri, ia juga bisa terlibat dalam sebuah
konflik. Disebutkan bahwa konflik memiliki beberapa tahapan proses yaitu
tahap kondisi awal, tahap frustasi dan penyadaran, tahap aktif, tahap solusi atau
tidak tercapai solusi, tahap tindak lanjut dan tahap resolusi. Jika dikaitkan
dengan faktor penyebab konflik dalam keluarga maka Galvin dan Broomel
menguraikan lebih lanjut bahwa konflik dalam keluarga dapat dikategorikan
menjadi dua yaitu yang berfokus pada isu-isu mendasar atau kurang berfokus
pada isu dasar. Isu sentral atau mendasar seperti misalnya terkait dengan
agama, kepemilikan anak, agama dan pendidikan. Sedangkan konflik yang
tidak berfokus pada isu utama adalah hal-hal yang terkait dengan aktivitas
sehari hari seperti keputusan untuk berlibur atau pembagian tugas pekerjaan.
Beberapa jenis konflik yang terkait dengan isu diatas ada yang dapat
diselesaikan ada yang tidak sampai pada tahap penyelesaian.
Kondisi terparah jika konflik tidak mencapai tahap penyelesaian adalah
terjadinya perpisahan atau hubungan yang diakhiri. Dalam pandangan
beberapa pakar penganut kerangka pemikiran yang mengkaji keluarga, konflik
dalam keluarga umumnya dianggap sebagai ancaman sebagai stabilitas
keluarga. Berlainan halnya dengan pendekatan konflik karena dianggap
sebagai suatu akibat yang wajar, alamiah dari terjadinya interaksi manusia.
Karena pandangan yang semacam itu, maka dalam kajian keluarga yang
menggunakan pendekatan ini terdapat penekanan pada manajemen konflik dan
alokasi kekuasaan dan sumberdaya dalam keluarga (Ihromi:2004).
Asumsi yang lain adalah bahwa konflik dalam keluarga dapat
membawa akibat positif dan negatif dan bila konflik ditekan, maka hal
demikian dapat menimbulkan akibat yang buruk pada anggota keluarga. Bila
konflik tidak muncul, maka tidak berarti bahwa kebahagiaan sudah terjamin.
Konflik terjadi dalam keluarga dalam rangka upaya-upaya para anggota

25
keluarga untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang langka yaitu hal-hal
yang diberi nilai, seperti uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan dalam
memainkan peranan tertentu.
Para anggota keluarga dapat juga merundingkan atau mengadakan
proses tawar menawar dalam mencapai tujuan yang saling berkompetisi.
Interaksi yang bersifat konflik berkisar dari interaksi yang bersifat verbal
sampai kepada yang bersifat fisik. Interaksi yang penuh masalah terjadi bila
tidak ada aturan-aturan semacam itu, atau bila aturan aturan tidak ditetapkan
secara konsekuen, atau bila aturan-aturan itu itu hanya diterima oleh satu pihak
saja.
3. Komunikasi untuk Penyelesaian Konflik dalam Keluarga
John P. Caughlin dan Allison M. Scot dalam Muntaha (2011)
menyebutkan bahwa komunikasi dalam keluarga mengacu pada pola dan
perilaku interaksi yang berulang (repeated interaction styles and behaviours);
yang dapat berbeda antara keluarga tunggal dan keluarga besar (dengan
anggota banyak); dan terbangun dalam waktu sebentar maupun kurun waktu
lama. Rasa aman secara emosi juga meliput rasa aman ketika menyatakan diri,
pendapatnya, maupun mendiskusikan kesulitan dihadapi. Sehingga dalam hal
ini maka komunikasi diantara anggota keluarga merupakan salah satu elemen
yang sangat penting untuk menjamin terwujudnya rasa aman.
Keluarga merupakan sebuah kelompok primer. Menurut Charles
Horton Cooley, kelompok primer adalah kelompok-kelompok yang ditandai
ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama yang erat
dan bersifat pribadi. Dalam hal ini komunikasi adalah salah satu aspek penting
yang digunakan untuk menilai hubungan antara anggota keluarga.
Keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sekelompok orang
yang saling berhubungan satu sama lain, individunya didalamnya bisa
mengalami perubahan dan mempengaruhi sistem dalam keluarga. Komunikasi
yang dilakukan dalam keluarga adalah suatu proses pertukaran arti dan bahwa
keluarga dapat mengembangkan kapasitasnya sebagai wadah saluran emosi
bagi anggotanya. Karena anggota keluarga saling berinteraksi dalam frekuensi

26
yang tinggi dan berulang-ulang, maka komunikasi yang dilakukan cenderung
dapat diprediksi dan satu sama lain berinteraksi dengan cara yang khusus.
Selain itu kehidupan keluarga tidaklah statis. Didalamnya dapat terjadi
hal yang dapat diprediksi, ada perubahan atau dapat terjadi krisis. Pada
umumnya kondisi tersebut dapat membuat anggota keluarga memiliki
ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu, komunikasi sangatlah penting
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam keluarga.

G. Contoh Kasus

Kasus 1 :

Dikutip dari berita di situs pedomantangerang.com yang berjudul “Youtuber Gita


Savitri Pilih Tak Punya Anak atau Childfree, Apa Alasannya?” :

Baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan keputusan seorang influencer


bernama Gita Savitri yang mengumumkan dirinya dan suami memutuskan untuk
childfree alias tak memiliki anak. Bahkan, nama influencer yang menetap di Jerman
tersebut sempat masuk trending topic Twitter sejak pengakuannya soal childfree
mencuat dan menimbulkan pro-kontra di kalangan warganet.

Gita Savitri dan suaminya, Paul Andre Partohap, menilai punya anak atau
tidak merupakan sebuah pilihan hidup, alih-alih kewajiban. Mereka menikah pada
2 Agustus 2018. Pasangan yang dekat usai sama-sama kuliah di Jerman ini pun
mantap naik pelaminan setelah menjalin asmara sejak 2015 lalu. Gita dan suami
memutuskan untuk childfree atau tak mau punya anak. Alasannya, murni karena
prinsip dan hanya ingin berdua saja. Gita menuturkan bahwa dirinya dan suami
inginnya berdua saja. Selain itu bagi Gita Savitri, memiliki anak adalah pilihan yang
besar. Dia pun khawatir jika nantinya tak bisa bertanggung jawab dan akan
membuat anaknya terluka. Dia mengaku tak mau memberikan luka pada anak.
Lebih jauh, Gita Savitri menilai memiliki momongan adalah bukanlah kewajiban
dalam hidup dan ia berhak memilih untuk tidak punya anak.

27
Analisis 1 :

Kasus di atas bisa dianalisis dengan menggunakan teori pilihan rasional, di


mana Gita dan Paul sama-sama memilih dan tidak bertujuan untuk mempunyai
seorang anak dan berprinsip untuk ingin berdua saja. Gita dan suaminya
beranggapan bahwa memiliki anak bukanlah suatu kewajiban, melainkan pilihan
hidup. Gita juga menerangkan bahwa memiliki seorang anak adalah pilihan yang
besar dan memerlukan rencana yang matang. Dia takut tidak bisa bertanggung
jawab dan akan membuat anaknya terluka.

Teori pilihan rasional juga menjelaskan bahwa manusia adalah organisme


yang mementingkan diri sendiri dan ia akan memperhitungkan cara bertindak untuk
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Dalam kasus ini, Gita
merasa diuntungkan karena tidak harus mengalami proses kehamilan dan tidak
harus merasa terbebani oleh kewajiban atas hal tersebut. Selain itu, dia juga
meminimalkan kerugian yang akan dia dapatkan jika dia tidak bisa menjadi orang
tua yang bertanggung jawab dan justru melukai anaknya karena tidak memiliki
seorang anak. Apa yang dilakukan Gita dan Paul merupakan pilihan yang harusnya
bisa diterima masyarakat karena setiap orang berhak memilih prinsip serta alur
perjalanan sebuah keluarga masing-masing.

Dengan demikian, teori pilihan rasional pada dasarnya mengarah pada suatu
alasan mengapa tindakan itu dilakukan dan tentunya mengandung suatu keuntungan
baik bagi individu sendiri maupun sesuatu yang dapat diterima masyarakat.

Kasus 2:

Dikutip dari berita di situs kompas.com yang berjudul “Nindy Ayunda Resmi
Bercerai dari Askara Parasady Harsono”,

Penyanyi Nindy Ayunda resmi bercerai dengan Askara Parasady Harsono


setelah sembilan tahun menikah. Alasan Nindy melayangkan gugatan cerai karena
Aska diduga melakukan Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) terhadapnya.

28
Ditegaskan Nindy Ayunda, Askara sebelumnya sering melakukan KDRT
karena kerap berdebat dan menimbulkan emosi. Dalam jumpa pers di kantor
Komnas Perempuan, Nindy menunjukkan bukti foto adanya luka lebam hingga
rambut rontok, Selasa (16/2/2021). Pemilik nama lahir Anindia Yandirest itu juga
telah melaporkan dugaan KDRT itu ke Polres Jakarta Selatan 19 Desember 2020.

Sumber: https://www.kompas.com/hype/read/2021/05/08/194150666/nindy-
ayunda-resmi-bercerai-dari-askara-parasady-harsono

Analisis 2:

Kasus diatas dapat dianalisis dengan menggunakan teori konflik. Sesuai


dengan pernyataan Galvin dan Broomel bahwa salah satu penyebab konflik
keluarga yaitu karena isu-isu mendasar atau isu sentral dimana konflik dalam kasus
ini yaitu perceraian rumah tangga yang disebabkan oleh isu KDRT.

Kondisi keluarga tidaklah statis dimana didalamnya dapat terjadi hal yang
dapat diprediksi, ada perubahan atau dapat terjadi krisis.Oleh karena itu,
komunikasi sangatlah penting untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam
keluarga. Nindy menyebutkan bahwa suaminya sering melakukan KDRT karena
kerap berdebat dan menimbulkan emosi. Disini terlihat bahwa tidak terdapat
manajemen emosi yang baik dari suaminya dan manajemen komunikasi yang baik
dari keduanya sehingga masalah tidak terselesaikan dan berujung pada perceraian.

29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Keluarga adalah kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal


bersama dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap
generasi baru. Terdapat dua struktur keluarga yaitu keluarga inti dan keluarga batih.
Ada beberapa teori awal terkait dengan keluarga diantaranya teori bioekologi, teori
pertukaran pilihan rasional, teori pertukaran sosial, teori interaksi simbolis, dan
teori konflik.
Teori bioekologi menyatakan bahwa hubungan timbal balik antara individu
dengan lingkungan akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Teori ini
diperinci dengan adanya lima struktur dasar terjadinya interaksi perkembangan
manusia yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.
Teori pilihan rasional merupakan teori yang mengacu pada tindakan
seseorang yang mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan)
ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Keuntungan yang diperoleh individu
tidak hanya terbatas pada keuntungan material, melainkan secara psikologis
maupun sosial.
Teori pertukaran sosial, teori ini melihat hubungan pribadi dalam
pandangan pengorbanan berbanding keuntungan. Keuntungan apa yang bisa terima
dari hubungan yang berjalan dan berapa besar pengorbanan yang harus dikeluarkan
untuk mendapatkan keuntungan tersebut.
Teori interaksi simbolis merupakan hubungan yang terjadi secara alamiah
antara manusia dalam masyarakat dan masyarakat dengan individu. Interaksi antar
individu berkembang melalui simbol-simbol yang diciptakan meliputi gerak tubuh.
Sementara itu, Teori konflik menjelaskan tentang ketidaksesuaian yang terdapat
dalam suatu hubungan.

B. Saran

Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Kami sangat terbuka terhadap kritik

30
dan saran agar lebih baik dalam memperbaiki makalah ini. Selain itu, kami akan
berusaha semaksimal mungkin mencari pelbagai literatur yang dapat
dipertanggungjawabkan agar makalah yang kami susun ini bisa memberikan
informasi tambahan kepada pembaca.

31
DAFTAR PUSTAKA

Bashofi, F., & Saffanah, W. M. (2019). Pilihan rasional mahasiswa difabel dalam
memilih jurusan keguruan di IKIP Budi Utomo Malang. Simulacra Jurnal
Sosiologi, 2 (2), 149-164. https://doi.org/10.21107/sml.v2i2.5936

Derung, T. N. (2017). Interaksionisme simbolik dalam kehidupan bermasyarakat.


SAPA-Jurnal Kateketik dan Pastoral, 2(1), 118-131.

Dewi, A.S., & Ginanjar, A.S. (2019). Peranan faktor-faktor interaksional dalam
perspektif teori sistem keluarga terhadap kesejahteraan keluarga. Jurnal
Psikologi Undip, 18(2), 245-263.

Dewi, F. N. (2018). Perkembangan sosial dalam keluarga pada pernikahan dini di


Desa Gunung Rejo, Singosari Kabupaten Malang. (Disertasi Sarjana
Terapan, Politeknik Kesehatan KEMENKES Malang, 2018).
http://perpustakaan.poltekkesmalang.ac.id/assets/file/kti/P17311175041/9.
_BAB_2_.pdf

Handayani, A., & Najib, N. (2019). Keinginan memiliki anak berdasarkan teori
pilihan rasional. Jurnal Empati, 6 (2), 31-40.
https://doi.org/10.26877/empati.v6i2.4277

Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga: Penanaman nilai dan penangana konflik


dalma keluarga. Kencana Prenada Media Group.

Mighfar, S. (2015). Social exchange theory: Telaah konsep George C. Homans


tentang teori pertukaran sosial. Jurnal Lisan Al-Hal, 9 (2), 261-286.
https://doi.org/10.35316/lisanalhal.v9i2.98

Mujahidah. (2015). Implementasi teori ekologi bronfenbrenner dalam membangun


pendidikan karakter yang berkualitas. Lentera, IXX(2), 171-185.

Mulyadi, Y.B. (2019). Pendekatan psikologi keluarga terhadap sikap dan perilaku
egoistik anak. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2(2), 13-23.

32
Salsabila, U. H. (2018). Teori ekologi Bronfenbrenner sebagai sebuah pendekatan
dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam. Jurnal
Komunikasi dan Pendidikan Islam, 7(1), 139-158.

Syakarofath N.A., & Subandi, S. (2019). Faktor ayah dan ibu yang berkontribusi
terhadap munculnya gejala perilaku disruptif remaja. Jurnal Psikologi
Undip, 18(2), 230-244.

Waluyo, L. S., & Revianti, L. (2019). Pertukaran sosial dalam online dating (Studi
pada pengguna Tinder di Indonesia). Jurnal Informatik, 15 (1), 21-38.
http://dx.doi.org/10.52958/iftk.v15i1.1122

Wardyaningrum, D. (2013). Komunikasi untuk penyelesaian konflik dalam


keluarga: Orientasi percakapan dan orientasi kepatuhan. Jurnal AL-AZHAR
INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, 2(1), 47-58.

Wulantami, A. (2018). Pilihan rasional keputusan perempuan sarjana menjadi ibu


rumah tangga. Jurnal Dimensia, 7 (1), 1-20.
https://doi.org/10.21831/dimensia.v7i1.21049

33

Anda mungkin juga menyukai