Anda di halaman 1dari 24

KELUARGA SEBAGAI SISTEM

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Bimbingan dan Konseling Keluarga


Dosen Pengajar : Dra. Titin Indah Pratiwi, M.Pd.

Nama Anggota Kelompok :

1. Nuzelly Pradika (14010014003)


2. Kartika Mega Islamarinda (14010014025)
3. Ilham Dwi Aryanto (14010014026)
4. Rizky Nidya Kurnia (14010014060)
5. Risqi Joko Saputro (14010014096)
6. Yutika Citra Praswastantika (14010014103)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
2017/2018

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, rangkaian puji syukur bagi Allah SWT yang telah


menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia. Alam dan isinya merupakan bukti kekuasaan-Nya.
Limpahan rahmat dan barakah-Nya membuat penulis mampu menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Keluarga Sebagai Sistem”

Seiring bergantinya waktu, penulis akan selalu mengembangkan diri, ilmu dan
wawasan. Tidak lupa ungkapan terimakasih penulis haturkan kepada:
 Dra. Titin Indah Pratiwi, M.Pd. selaku dosen pengajar Bimbingan Konseling
Keluarga yang telah memberikan pelajaran dan bimbingan yang berharga.
 Ayah dan Ibu yang selalu mendukung dan selalu mendoakan di setiap langkah
penulis.
 Teman-teman yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk dapat
menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai
kemampuan penulis. Namun sebagai insan biasa penulis sadar bahwa makalah ini belum
sempurna, penulis tidak luput dari kesalahan maupun kekhilafan baik dari segi teknik
penulisan maupun tata bahasa, sehingga kritikan dan saran sangat penulis butuhkan. Karena
tidak ada gading yang tak retak. Akhirnya, penulis kembalikan segala urusan hanya kepada
Allah SWT dan penulis harap makalah ini dapat diterima serta bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.

Surabaya, 15 Februari 2017

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 1
1.3 Tujuan................................................................................................................... 1
BAB II:PEMBAHASAN...................................................................................................... 2
2.1 Definisi Keluarga.................................................................................................. 2
2.2 Struktur dalam Keluarga....................................................................................... 4
2.3 Relasi dalam Keluarga.......................................................................................... 5
2.3.1. Relasi Pasangan Suami Istri...................................................................... 5
2.3.2. Relasi Orang Tua-Anak............................................................................. 9
2.3.3. Relasi Antarsaudara................................................................................... 11
2.4 Keberfungsian Keluarga....................................................................................... 13
2.5 Teori dalam system Keluarga............................................................................... 15
BAB III:PENUTUP............................................................................................................. 19
3.1 Simpulan............................................................................................................. 19
3.2 Saran................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di berbagai belahan dunia dengan beragam budaya dan sistem sosial, keluarga
merupakan unit sosial terpenting dalam tatanan masyarakat. Keluarga merupakan warisan
umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan
zaman. Keluaga juga dapat dikatakan sebagi temat pendidikan pertama. Keluarga dinilai
sangatlah berperan dalam tumbuh kembang seorang anak. Dan dari keluarga juga seorang
individu dapat belajar bersosialisasi dengan individu lainnya.
Berbagai perubahan karena faktor perkembangan zaman mempengaruhi corak
dan kerakteristik keluarga, namun substansi keluarga tidak terhapuskan. Pada beberapa
negara isu tentang kemerosotan nilai-nilai keluarga memang mengemuka. Meningkatnya
angka perceraian dianggap salah satu indikasi dari merosotnya nilai-nilai
keluarga/perkawinan. Maka dari itu, dalam makalah ini akan disampaikan tentang definisi
suatu keluarga dan juga memberikan pemahaman mengenai keluarga sebagai suatu
sistem.

1.2. Rumusam Masalah

a. Apakah definisi dari Keluarga?


b. Bagaimanakah struktur dalam Keluarga?
c. Bagaimanakah relasi dalam Keluarga?
d. Bagaimanakah keberfungsian Keluarga?
e. Bagaimanakah Teori dalam system Keluarga?

1.3. Tujuan

a. Memahami pengertian dari Keluarga.


b. Memahami struktur dalam Keluarga.
c. Memahami relasi dalam Keluarga.
d. Memahami tentang keberfungsian Keluarga.
e. Memahami tentang teori dalam system Keluarga.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Keluarga

Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuwan social


bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat universal. Salah
satu ilmuwan yang permulaan mengkaji keluarga adalah George Murdock. Dalam
bukunya Sosial Structure, Murdock menguraikan bahwa keluarga meruakan kelompok
social yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan
terjadi proses reproduksi (Murdock, 1965). Melalui surveinya terhadap 250 perwakilan
masyarakat yang dilakukan sejak tahun 1973, Murdock menemukan tiga tipe keluarga,
yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygamus family), dan keluarga
batih (extended family). Dari jumlah tersebut terdapat 192 sampel masyarakat yang
memiliki informasi yang layak, sebanyak 47 masyarakat hanya memiliki tipe keluarga
inti, 53 masyarakat juga memiliki tipe keluarga poligami selain keluarga inti, dan 92
masyarakat juga memiliki tipe keluarga batih. Berdasarkan penelitiannya tersebut
Murdock menyatakan bahwa keluarga inti merupakan kelompok social yang bersifat
universal. Para anggota dari keluarga inti bukan hanya membentuk kelompok social,
melainkan juga menjalankan empat fungsi universal dari keluarga, yaitu seksual,
reproduksi, pendidikan dan ekonomi.
Kesimpulan Murdock mengenai keluarga inti sebagai definisi keluarga yang
bersifat universal mendapatkan sanggahandari berbagai ilmuwan social. Definisi
Murdock dianggap terlalu bersifat structural walaupun ia juga menjelaskan empat fungsi
yang terintegrasi dalam keluarga inti. Ira Reiss (1965), salah satu pengkritik Murdock,
berpendapat bahwa bukti lintas budaya menunjukkan adanya suatu masyarakat yang
menjadikan kepuasan seksual, fungsi reproduksi, dan kerja sama ekonomi tidak melekat
dalam jenis hubungan yang disebut keluarga. Selanjutnya Reiss mengajukan suatu ciri
spesifik yang melekat dalam keluarga, yaitu proses sosialisasi yang disertai dukungan
emosi yang disebutnya dengan sosialisasi pemeliharaan (nurturant socialization). Dengan
dimikian, menurut Reiss keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam
pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap
generasi baru.

2
Pandangan berbeda diajukan oleh Weigert dan Thomas (1971) yang menganggap
definisi Reiss kurang bersifat nominal, karena menekankan pada berlakunya fungsi
tertentu. Pandangan Weigert dan Thomas didasakan pada pentingnya suatu budaya
ditransmisikan pada generasi berikutnya dalam rangka menumbuhkan anak-anak menjadi
manusia yang dapat menjalankan fungsinya. Komponen budaya yang perlu di
trsnmisikan mereka sebut dengan pola-pola nilai yang bersifat simbolik (symbolic
patternvelue). Menurut mereka keluarga dalah suatu tatanan utama yang
mengomunikasikan pola-pola nilai yang bersifat simbolik pada generasi baru.
Pada periode berikutnya, Weigel (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui
bagaiman aorang awam mengonsepsi keluarga. Temuannya menunjukkan adanya
keksesuaian antara konsep keluarga oleh orang awam dan tiga pespektif pengertian
keluarga utuh dari Ascan F. Koerner dan Mary Anne Fitzpatrick. Menurut Koerner dan
Fitzpatrick (2004), definisi tantang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga
sudut pandang, yaitu definisi structural, definisi fungsional, dan definisi intersaksional.
Definisi Struktural, Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidak
hadiran anggota keluarga, seperti orangtua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini
memfokuskan pada siapa yang menjadi bagaian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat
muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga
sebagai wahana melahirkan keturunan (families of pro-creation), dan keluarga batih
(extended family)
Definisi Fungsional, Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada
terpenuhinya tugas-tgas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup
perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-
peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
Definisi Transaksional, Keluarga didefiniskan sebagai kelompok yang
mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas
sebagi keluarga (family identitiy), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun
cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan
fungsinya.
Kesimpulannya , keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah
atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental
mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam
suatu jaringan.

3
2.2. Struktur Keluarga

Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya
hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu : suami-istri, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee,
1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi
anak, yaitu keluarga sebagai tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadikan
keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasang laki-
laki dan perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Dalam keluarga inti
hubugan antara suami istri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya
persahabatan, sedangkan anak-anak tergantung pada orang tuanya dalam hal pemenuhan
kebutuhan afeksi dan sosialisasi.
Adapun keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain
selain ketiga posisi di atas (Lee, 1982). Bentuk pertama dari keluarga batih yang banyak
ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang (steam family). Keluarga bercabang
terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal
dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun
(lineal family). Bentuk ini terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah
tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Bentuk ketiga dari keluarga batih adalah
keluarga beranting (fully extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu keluarga
terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.
Menurut Lee (1982) kompleksitas struktur keluarga tidak ditentukan oleh jumlah
individu yang menjadi anggota keluarga, tetapi oleh banyaknya posisi sosial yang
terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu besarnya keluarga (family size) yang
ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota, tidak identik dengan struktur keluarga
(family structure). Walaupun keduanya memiliki pertalian yang positif, namun keduanya
tetap merupakan jenis variabel yang berbeda.
Dari segi pemegang wewenang utama keluarga, keluarga dibedakan menjadi
matriarki, patriarki dan egaliter (Berns, 2004). Keluarga Kerajaan Inggris dan
masyarakat Minang merupakan contoh keluarga matriarki, karena ibu menjadi pemegang
utama wewenang atas keluarga. Pada umumnya keluarga menerapkan pola patriarki
dengan ayah sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga. Namun pada masa kini,
dengan berkembangnya pandangan tentang kesetaraan gender dan semakin banyaknya
keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama bekerja, telah berkembang pola egaliter.

4
Selain itu variasi keluarga berdasarkan struktur juga mencakup keluarga dengan
orang tua tunggal, baik karena bercerai maupun meninngal, keluarga yang salah satu
orang tuanya jarang berada di rumah karena bekerja di luar daerah, keluarga tiri, dan
keluarga dengan anak angka. Bahkan di dunia Barat banyak ditemui keluarga kohabitasi,
yang orang tuanya tidak menikah, dan keluarga dengan orang tua pasangan sejenis.
Berbagai penelitian menemukan pengaruh struktur keluarga terhadap kualitas
keluarga. Skaggs dan Jodl (1999) menemukan bahwa remaja yang tinggal bukan pada
keluarga tiri lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung jawab, dan kurang
mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal pada keluarga tiri yang
kompleks. Hubungan yang kompleks dalam keluarga tiri menghadirkan tantangan-
tantangan yang membutuhkan penyesuaian, sehingga membuat remaja lebih beresiko
mengalami masalah penyesuaian.

2.3. Relasi Dalam Keluarga

Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan perempuan


dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan suami istri. Ketika anak
pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu ralasi orang tua-anak. Ketika
anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sibling (saudara
sekandung). Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk relasi yang pokok dalam
suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih,
bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi, misalnya kakek/nenek, mertua-
menantu, saudara ipar, dan paman/bibi-keponakan. Setiap bentuk relasi yang terjadi
dalam keluarga biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut ini dipaparkan
karakteristik relasi tersebut.

2.3.1. Relasi Pasangan Suami Istri


Keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini
bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berfikir yang luwes. Penyesuaian
adalah interaksi yang kontinue dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
(Calhoun & Acocella, 1995)
Tiga indikator bagi proses penyesuaian menurut Glenn (2003), yakni
konflik, komunikasi dan berbagai tugas rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian
dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi.

5
Penyesuian yang berhasil di tandai oleh sikap dan cara konstruktif dalam
melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif merupakan salah satu
komponen dalam melakukan resolusi konflik yang konstruktif. Komunikasi
berperan penting dalam segala aspek kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam
resolusi konflik. Peran terpenting komunikasi adalah untuk membangun
kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila keintiman terjaga maka
penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik.
Dalam konsep perkawinan tradisional berlaku pembagian tugas suami
istri. Namun seiring dengan perkembangan jaman pembagian tugas tradisional itu
perlahan berkurang. Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas
perkawinan biasanya dipadankan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan
perkawinan (Glenn, 2003), keduanya sama-sama menunjukpada suatu perasaan
positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas dari
pada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan. Perbedaannya adlah bila
kebahagiaan perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasan
perkawinan berdasakan pada evaluasi kognitif.
Menurut David H. Olson and Amy K. Olson (2000), terdapat sepuluh aspek yang
membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu :
komunikasi, fleksibelitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi konflik,
relasi seksual, kegiatan di waktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan
keuangan dan keyakinan spiritual. Komunikasi aspek yang paling penting dalam
suatu hubungan pasangan. Keterampilan komunikasi dapat terwujud dalam
kecermatan memilih kata yang digunakan dalam menyampaikan gagasan pada
pasangan karena pemilihan kata yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahan
persepsi pasangan. Kesalahpahaman dalam komunikasi dapat menimbulkan
konflik.
Fleksibilitas pasangan merefleksikan kemampuan pasangan untuk
berubah dan beradaptasi saat di perlukan. Hal ini berkaitan dengan tugas dan
peran dalam relasi suami istri. Dalam relasi suami istri perlu kejelasan dalam
pembagian tugas. Namus sifatnya tidak kaku dan dapat di sesuaikan dengan
kesepakatan bersama. Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan
emosi yang di rasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara
keterpisahan dan kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling

6
membantu pemanfaatan waktu luang bersama, dan pengungkapan perasaan dekat
secara emosi. Kedekatan yang berlebihan juga tidak baik untuk pasangan ,
pasangan yang terperangkap dalam ketidakseimbangan antara keterpisahan dan
kebersamaan akan mengalami banyak masalah. Aspek resolusi konflik berkaitan
dengan sikap, perasaan dan keyakinan individu terhadap keberadaan dan
penyelesaian konflik dalam relasi berpasangan, hal ini mencakup keterbukaan
pasangan untuk saling mengenali dan menyelesaikan masalah, strategi dan proses
yang dilakuan untuk mengakhiri pertengkaran. Kunci kebahagiaan pasangan
adalah bukanlah menghindari konflik, melainkan bagaimana cara yang ditempuh
dalam menyelesaikan konflik. Strategi resolusi konflik pasangan dapat dibedakan
menjadi yang destruktif dan konstruktif. Dua hal yang sering kali membuat
resolusi konflik tidak efektif adalah tindakan menyalahkan orang dan mengungkit
persoalan masa lalu. Adapun resolusi konflik yang konstruktif dapat di gunakan
dengan: (a) menentukan pokok persoalan; (b) mendiskusikan sumbangan masing-
masing pada permasalahan; (c) mendiskusikan jalan keluar; (d) menentukan dan
menghargai peran masing-masing terhadap penyelesaian masalah
Relasi seksual merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan
yang dapat mencerminkan kepuasan pasangan terhadap aspek-aspek lain dalam
hubungan. Suatu relasi seksual yang baik sering kali merupakan akibat dari
relasiemosi yang baik antara pasangan. Sayangnya urusan seks sering kali
menjadi hal yang sulit untuk dibicarakan. Perbedaan tingkat ketertarikan terhadap
seks merupakan salah satu hal yang sering menjadi ganjalan dalam relasi
pasangan. Selain itu kurangnya sikap dan tindakan afeksi terhadap pasangan juga
berpengaruh terhadap kepuasan relasi seksual. Oleh karena kualitas relasi seksual
merupan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan, maka kualitas tersebut
perlu dijaga atau ditingkatkan melalui komunikasi seksual antara pasangan.
Komunikasi seksualitas akan membantu pasangan untuk saling memahami
perspektif masinh – masing terhadap kebutuhan dan ketertarikan seksual,
komunikasi nonverbal dapat membantu untuk menunjukkan afeksi terhadap
pasangan.
Persoalan ekonomi sering menjadi pemicu utama perceraian. Walaupun
demikian, persoalan pokoknya bukanlah pada besaran pendapatan keluarga,
karena masih banyak pasangan yang mampu bertahan dengan pendapatan yang
rendah. Pengelolaan keuangan merupakan pokok persoalan ekonomi yang dapat

7
berupa perbedaan pasangan dalam hal pembelanjaan dan penghematan uang,
perbedaan pandangan tentang makna uang, dan kurangnya perencanaan untuk
menabung. Keseimbangan antara pendapatan dan belanja keluarga harus menjadi
tanggung jawab bersama.
Pemanfaatan waktu luang menjadi sarana untuk melakukan aktivitas jedas
(time out) dari rutinitas, baik rutinitas kerja maupun rutinitas pekerjaan rumah
tangga. Rutinitas, apalagi dengan tingkat stres yang tinggi, biasanya
menimbulkan kejenuhan yang dapat menyebabkan timbulnya emosi negatif.
Kegiatan time out dapat berfungsi seperti mengisi ulang batre yang habis, yaitu
untuk memberi energi dan semangat yang baru. Pemanfaatan waktu luang ini
dapat dilakukan sendiri, bersama keluarga yang lain, atau dengan sahabat.
Keluarga dan teman merupakan konteks yang penting bagi pasangan dalam
membangun relasi yang berkualitas. Keluarga sebagai family of origin banyak
memengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua dapat memperkuat
atau memperlemah kuaitas relasi pasangan. Teman sering kali menjadi penyangga
bagi pasangan ketika sedang menghadapi persoalan, yakni sebagai tempat
meminta pertimbangan dan bantuan.
Spiritualitas dan keimanan merupakan dimensi yang kuat bagi pengalaman
manusia. Keyakinan spiritual memberi landasan bagi nilai – nilai yang dipegang
dan perilaku sebagai individu dan pasangan. Spiritualitas merujuk pada kualitas
batin yang dirasakan individu dalam hubungannya dengan Tuhan, makhluk lain,
dan nurani. Keyakinan spiritual sering kali menjadi sandaran ketika seseorang
mengalami kesulitan dalam kepahitan hidup. Masalah spiritual dapat menjadi
sumber masalah bagi pasangan dalam hal perbedaan praktik keagamaan, tidak
diintegrasikannya keyakinan spiritual dalam relasi pasangan, dan kurangnya
diskusi dalam soal – soal keagamaan.
Sebaliknya, keyakinan spiritual dapat menjadi pondasi terpenting bagi
kebahagiaan pasangan. Hal ini dapat terjadi bila pasangan menyadari bahwa
keimanan memberikan makna dalam hidup. Selain itu keterlibatan secara rutin
dalam kegiatan keagamaan di masyarakat dapat berperan memasok energi baru,
perasaan kebersamaan dan memberi konteks bagi tindakan. Keimanan juga dapat
menjadi tempat berlindung manakala berada dalam situasi tak berdaya, terpuruk,
atau menderita setelah mengalami suatu tragedi.

8
Kualitas perkawinan dapat mempengaruhi berlangsungnya proses – proses
yang lain dalam keluarga, misalnya pengasuhan dan performasi individu.
Pasangan yang memiliki derajat kepuasan perkawinan yang tinggi akan
memberikan perhatian secara lebih positif pada anak (Rickard, Forehand,
Atkeson, & Lopez, 1982). Kepuasan perkawinan juga ditengarai mempunyai
kaitan dengan terjadinya kekerasan terhadap pasangan (Stith, green, Smith, &
Ward, 2008), masalah perilaku dan penyesuaian anak (Frick, Lhey, Hartdagen, &
Hynd, 1889; Fishman & Mayers, 2000), dan prediksi terhadap kesejahteraan
orang tua (Shek, 2000). Mengingat hal – hal tersebut, pasangan menikah perlu
didorong untuk mengembangkan aspek – aspek yang dapat meningkatkan
kepuasan perkawinan agar dapat mewujudkan keluarga yang bahagia dan
generasi yang berkualitas.

2.3.2. Relasi Orang Tua-Anak


Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh
pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat
kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan
dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan. Selain itu, kajian psikologis juga
memperlihatkan bahwa perempuan menjalani transisi lebih sulit daripada laki –
laki (John & Belsky, 2009), apalagi bila masalah ini berkaitan dengan pilihan
antara mengurus anak dan kesempatan ekonomis. Dukungan dari sanak keluarga
sangat diperlukan agar perempuan tidak berjuang susah payah dalam
menjalankan fungsi keibuannya dengan baik. Bila dukungan sanak keluarga
kurang, maka keterlibatan dan dukungan suami menjadi andalan utama.
Anak – anak mengalami proses tumbuh dan berkembang dalam suatu
lingkungan dan hubungan (Thompson, 2006). Pengalaman mereka sepanjang
waktu bersama orang – orang yang mengenal mereka dengan baik, serta berbagai
karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami merupakan hal – hal
pokok yang memengaruhi perkembangan konsep dan perkembangan sosial
mereka. Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan
merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan
keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain
semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh
positif bagi perkembangan, misalnya penyesuaian (Bynum & Kotchick, 2006;

9
Magnus, Cowen, Wyman, Fagen, & Work, 1999), kesejahteraan (Levitt, Guacci
& Webber, 1992; Merz, Consedine,Schulze, & Schuengel, 2009; Videon, 2005),
perilaku prososial (Barry, Padilla – Walker, Malden, & Neson, 2008), dan
transmisi nilai (Grusec & Goodnow, 1994; Tharis, Semin & Bok, 1998).
Sebaliknya, kualitas hubungan yang buruk dapat menimbulkan akibat berupa
malasuai (Gerard, Krishnakumar & Buehler, 2006), masalah perilaku (Fanti,
Henrikh, Brookmeyer & Kupermic, 2008; Harrist, & Anslie, 1998) atau
psikopatologi pada diri anak (Doom, Branje & Meeus, 2008)
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang
tua anak pada umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment theory) yang
pertama kali dicetuskan oleh John Bowlby (1969). Bowlby mengidentifikasikan
perilaku pengasuhan sebagai faktor kunci sebagai hubungan orang tua yang
dibangun sejak usia dini. Pada awal masa kehidupannya anak mengembangkan
hubungan emosi yang mendalam dengan orang dewasa yang secara teratur
merawatnya. Kelekatan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya (Rosen & Rothbaum, 2003).
Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara sistem kelekatan dari
anak dan sistem pengasuhan dari orang tua (Turner, 2005). Pengertian lebih luas
dari kelekatan diungkap oleh Mercer (2006), yakni sebagai ikatan emosi yang
terjadi diantara manusia yang memandu perasaan dan perilaku.
Selain teori kelekatan, hubungan orang tua – anak juga dapat dijelaskan
dengan teori pendekatan penerimaan dan penolakan orang tua (parental
acceptence – rejection theory) yang dikembangkan oleh Rohner (Schwartz,
Zambonga, Revert, Kim, Weisskirch, Williams, Bersamin, & Finley, 2009).
Penerimaan dan penolakan orang tua berbentuk dimensi kehangatan (warmth
dimension) dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas ikatan afeksi antara orang tua
dan anak (rohner, khaleque, & cournoyer, 2009). Dimensi kehangatan merupakan
suatu rentan kontinum yang disatu sisi yang ditandai oleh penerimaan yang
mencakup berbagai perasaan dan perilaku yang menunjukkan kehangatan, afeksi,
kepedulian, kenyamanan, perhatian, perawatan, dukungan, dan cinta. Adapun sisi
yang lain ditandai oleh penolakan yang mencakup ketiadaan atau penarikan
berbagai perasaan atau perilaku tersebut (kehangatan, afeksi, dan lain – lain), dan
adanya berbagai perasaan atau perilaku yang menyakitkan secara fisik maupun
psikologis (seperti tidak menghargai, penelantaran, tak acuh, caci maki dan

10
penyiksaan). Menurut Rohner dkk, persepsi anak terhadap penerimaan dan
penolakan orang tua atau sosok signifikan yang lain akan memengaruhi
perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam
menhadapi masalah.
Semasa berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian
tentang hubungan orang tua-anak mefokuskan pada mengenali strategi
pengasuhan, taktik-taktik, perilaku, gaya, dan pembawaan yang mempengarui
akibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi
akademik, dan problem perilaku. Walaupun topik tersebut masih menarik minat
para ilmuan, tetapi setelah era paham dua arah pengaruh imbal balik antara orang
tua dan anak mulai diperhatikan.
Menurut CHEN, kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan
dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan(trust), afeksi
positif(positive affect), dan ketanggapan. Rasa aman merupakan dimensi dalam
hubungan yang berkembang interaksi yang berulang yang memperlihatkan
adanya kesiagaan, ketekaan, dan ketanggapan. Interaksi tersebut mengembangkan
kelekatan pada masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan.
Menurut HINDE relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip
pokok, yaitu :
a. Interaksi. Orang tua dan anak berinteraksi pada sewaktu-waktu
yang menciptakan suatu hubungan.
b. Kontribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki
sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi
sebelumnya.
c. Keunikan. Setiap relaasi orang tua-anak bersifat unik yang
melibatkan kedua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan
orang tua atau anak yang lain.
d. Pengharapan masa lalu. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi
membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya.
e. Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat
kekal, masing-masing membangun masa depan yang dikembangkan
dalam hubungan keduanya.

2.3.3. Relasi Antarsaudara

11
Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung
dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kana-kanak
dapat bertahan hingga dewasa. Hubungan dengan saudara dapat mempengaruhi
perkembangan individu, secara positif maupun negatif tergantung pola hubungan
yang terjadi.
Penelitan Powell dan Steelman (1990) menemukan bahwa kombinasi
antara jumlah saudara dan jarak kelahiran yang dekat berpengaruh negatif
terhadap prestasi akademik dibandingkan dengan yang memiliki jarak kelahiran
yang jauh.
Menurut Dunn (2002), pola hubungan anatara saudara kandung
dicirikan oleh tiga karakteristik. Yang pertama yaitu kekuatan emosi dan tidak
terhambatnya pengungkapan emosi tersebut(berupa emosi positif maupun
negatif). Kedua, Adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan
antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi. Ketiga, adanya perbedaan
sifat pribadi yang mewarnai hubungan diantara saudara kandung.
Walaupun berbagai penelitian menunjukkan berbagai hal negatif dalam
hubungan antarsaudara dikenal dengan sebutan sibling rivalry, namun keberadaan
saudara kandung juga bermanfaat (Ihinger Tallman & Hsiao,2003), antara lain :
a. Sebagai tempat uji coba (testing ground). Saat bereksperimen
dengan perilaku baru, anak akan mencobanya terhadap saudaranya
sebelum menunjukkannya pada orang tua atau teman sebayanya.
b. Sebagai guru. Biasanya anak yang lebih besar, karena memiliki
pengalaman yang lebih banyak, akan banyak mengajari adiknya.
c. Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negosiasi. Saat
melakukan tugas dari orang tua atau memanfaatka alokasi sumber
daya keluarga, kaka beradik biasanya akan melakukan negosiasi
mengenai bagian masing-masing.
d. Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama
dan konflik
e. Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan
kesetiaan
f. Sebagai pelindung bagi saudaranya
g. Sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya
terhadap adiknya

12
h. Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku
dikenalkan pada keluarganya.

2.4. Keberfungsian Keluarga


Keluarga merupakan tempat penting bagi perkembangan anak secara
fisik,emosi,spiritual dan social.Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih
sayang,perlindungan, dan identitas bagi anggotanya.Menurut Berns (2004) ,keluarga
memiliki lima fungsi dasar :

a. Reproduksi keluarga,Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan


populasi yang ada di masyarakat.
b. Sosialisasi/edukasi.Keluarga menjadi sarana transmisi
nilai,keyakinan,sikap,pengetahuan,keterampilan dan teknik, dari generasi
sebelumnya ke generasi sesudahnya.
c. Penugasan peran social.Keluarga memberikan identitas pada para anggotanya
seperti ras,etnik,religi,social ekonomi, dan peran gender.
d. Dukungan ekonomi,Keluarga menyediakan tempat berlindung,makanan,dan
jaminan kehidupan.
e. Dukungan emosi/Pemeliharaan.Keluarga memberikan pengalaman interaksi
social yang pertama bagi anak .

Secara umum keberfungsian keluarga merujuk pada kualitas kehidupan keluarga,


dan berkenaan dengan kesejahteraan ,kompetensi, kekuatan, dan kelemahan keluarga.
(Shek,2002).Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingan( resiliency)
atau kekukuhan ( strength) keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan.

1. Kelentinngan keluarga.
Pendekatan kelentingan keluarga bertujuan untuk mengenali dan
membentengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan keluarga
untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang menggangu
(Walsh,2006). Terdapat tiga factor yang menjadi kunci bagi kelentingan
keluarga ,yaitu system keyakinan, pola pengorganisasian keluarga , dan proses
komunikasi dalam keluarga .

13
Keyakinan merupakan inti dari kelentingan keluarga yang mencakup tiga
aspek ,yaitu kemampuan untuk memaknai penderitaan ,berpandangan positif
yang melahirkan sikap optimis dan keberagamaan.
Pola pengorganisasian keluarga mengindikasikan adanya struktur
pendukung bagi integrasi dan adaptasi bagi unit atau anggota keluarga.Untuk
menghadapi krisis secara efektif ,keluarga harus memobilisasi sumber dayanya
dan melakukan reorganisasi untuk menyesuaikan dengan perubahan yang
terjadi. Pola pengorganisasian keluarga mencakup:
Fleksibilitas,keterhubungan,serta sumber daya social dan ekonomi.
Komunikasi yang baik penting bagi keberfungsiaan dan kelentingan
keluarga.Tiga aspek komunikasi yang menjadi kunci kelentingan keluarga
yaitu: 1).kemampuan untuk memperjelas pesan yang memungkinkan anggota
keluarga untuk memperjelas situasi krisis, 2).kemampuan untuk
mengungkapkan perasaan yang memungkinkan anggota keluarga untuk
berbagi saling berempati, berinteraksi secara menyeangkan ,dan bertanggung
jawab terhadap masing –masing perasaan dan perilakunya,3). Kesediaan
berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah sehingga yang berat sama dipikul
dan yang ringan sama dijinjing.

2. Kekukuhan Keluarga
Kekukuhan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang
memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan
keluarga.Menuru Defrain dan Stinnett (2003) ada enam karakteristik keluarga
yang kukuh yaitu:
a. Memiliki komitmen.Setiap anggota keluarga memiliki komitmen untuk
saling membantu meraih keberhasilan sehingga semangatnya adalah “satu
untuk semua,semua untuk satu”.Intinya adalah terdapat suatu kesetiaan
terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi prioritas.
b. Terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi.Setiap orang
menginginkan akan diakui dan dihargai.Ketahanan keluarga akan kukuh
manakala ada kebiasaan mengungkapkan rasa terima kasih .Setiap
keluarga dapat melihat sisi baik dari setiap anggota keluarganya.
c. Terdapat waktu untuk berkumpul bersama .Keluarga yang kukuh
memiliki waktu untuk melakukan kegiatan bersama dan sering

14
melakukannya.Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk
menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang akan menyatukan
dan menguatkan mereka.
d. Mengembangkan spiritualitas.Bagi sebagian keluarga ,komunitas
keagamaan menjadi keluarga kedua yang menjadi sumber dukungan
selain keluarganya.Ikatan spiritual memberikan arahan ,tujuan dan
perspektif .Ibarat ungkapan,keluarga –keluarga yang sering berdo’a
bersama akan memiliki rasa kebersamaa.
e. Menyelesaikan konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan
efektif.Konflik yang muncul diselesaikan dengan cara menghargai sudut
pandang masing-masing terhapad permasalahan.Keluarga yang kukuh
juga mengelola sumber dayanya secara bijaksana dan mempertimbakan
masa depan,sehingga tekanan dapat diminimalkan.Ketika keluarga
ditimpa krisis ,keluarga yang kukuh akan bersatu untuk menghadapinya
bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan.
f. Memiliki ritme .Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas,kebiasaan ,dan
tradisi yang memberikan arahan ,maknamdan struktur terhadap
mengalirnya kehidupan sehari-hari.Ritme dan pola pola ini akan
memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang
dibangunya.Namun keluarga yang sehat juga terbuka terhadap
perubahan.dengan belajar untuk menyesuaikan kebutuhan kebutuhan yang
ada didalam keluarga.Dengan demikian dimungkinkan munculnya
kebiasaan-kebiasaan atau ritme baru sebagai bagian dari proses
penyesuaian,karena massa lalu dan masa sekarang adalah bagian dari
proses pertumbugan .Harmoni dan ritme mungkin berubah sebagai hasil
dari kreativitas ,akan tetapi tetap saja hasilnya adalah music yang indah.

2.5. Teori Sistem Keluarga


Teori system adalah salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam
kajian keluarga. Teori system pertama kali di cetuskan pada tahun 1974 oleh
Minuchin ,dalam Lestary( 2012 Ia memandang keluarga sebagai sebuah system yang
bekerja dalam konteks social dan memiliki 3 komponen, yaitu : 1.) Struktur keluarga
berupa system sosiokultural yang terbuka dalam transformasi.,2).Keluarga senantiasa
berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan.,3).Keluarga

15
beradaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam usahanya untuk mempertahankan
kondisi kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya.
Menurut teori system keluarga di anggap sebagai sebuah system yang
memiliki bagian bagian yang berhubungan dan saling berkaitan,Randal D,Day dalam
Lestari (2012) Mengungkapkan bahwa keluarga sebagai sebuah system memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Keseluruhan(the family as whole).memahami keluarga tidak dapat dilakukan
tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan.persoalamn individu tidak
hanya dilihat terbatas pada individu yang bersangkutan.Namun perhatian
justru diberikan bagaimana kehidupan keluarga ,baru kemudian focus pada
individu
2. Struktur (underlying structures).Suatu kehidupan keluarga berlangsung
berdasarkan suatu struktur ,misalnya pola interaksi antar anggota keluarga
yang menentukan apa yang terjadi dikeluarga.
3. Tujuan (families have goals)Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin
mereka raih.tujuan keluarga ini memiliki rentang yang luas dan bervariasi dari
satu keluarga dengan keluarga yang lainnya.Selain itu efektifitas pencapaian
tujuan suatu keluarga tergantung seberapa besar sumbangan masing masing
anggota keluarga terhadap upaya pencapaian tujuan.
4. Keseimbangan (equilibrium).Sebuah rangka meraih sebuah tujuannya
,keluarga akan menghadapi situasi dan kondisi diluar dirinya yang berubah dan
berkembang.Keluarga akan senantiasa beradaptasi ,menyesuaikan dengan
perubahan dan menanggapi situasi dan kondisi yang dihadapi.keluarga akan
berusaha mencapai tujuannya dengan menjaga kehidupannya agar tetap
seimbang.
5. Kelembaman (morphostatis).Selain berusaha untuk menyeimbangkan dengan
berbagai perubahan situasi dan kondisi ,keluarga juga mempertahankan aturan
dan menjaga kelangsungan kehidupan sehari hari agar berlangsung dengan
baik.Ada rutinitas dan kebiasaan yang sudah menetap yang selalu di jaga
untuk tetap berlangsung secara sama dari hari kehari.pada umumnnya ini
berkaitan dengan dengan tugas tugas seperti memask,menyapu dan
memandikan anak.
6. Batas batas(boundaris).Setiap system memiliki batas batas terluarnya yang
membuatnya terpisah atau berbeda dengan system yang lain.Batas batas ini

16
muncul manakala dua atau lebih system atau subsistem
bertemu,berinnteraksi,atau bersama sama .Beberapa system memiliki batas
batas yang kukuh dan kaku ,sementara yang lainnya mungkin memiliki batas
batas yang tembus .Sebai sebuah system yang terbuka ,keluarga memiliki
batas batas terluas yang bersifat mudah tembus.batas batas dari sebuah
keluarga dapat dilihat dari aturan aturan yang dibangun di dalam
keluarga.Seperti apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota
keluarga.
7. Subsistem. Di dalam keluarga terdapa unit unit subsistem ,misalnya subsitem
pasangan suami istri,subsistem relasi orang tua dan anak.Salah satu tugas
utama dari subsistem keluarga adalah menjaga batas batas keluarga.Dari
konsep subsistem ini membantu memahi bahwa keluarga bukan hanya terdiri
dari individu individu yang menjadi anggota keluarga,melainkan terdapat
berbagai interaksi yang membentuk subsistem keluarga.
8. Equfinality dan equipotentiality .Secara sederhana gagasan tentang equinality
berarti bahwa berbagai permulaan dapat membawa pada hasil yang
sama.sementara suatu permulaan yang sama dapat pula membawa pada hasil
akir yang berbeda.Adapun equipotentiality berarti bahwa suatu sebab dapat
menhasilkan suatu akibat sangat terkait dengan proses apa yang berjalan
mengikuti sebab tersebut.

Henry (dalam Lestari ,2012) ,pendekatan teori system memandang keluarga


sebagai kelompok yang memiliki system hierarki ,yang artinya terdapat subsistem
subsitem yang membuat kualitas keluarga di tentukan oleh kombinasi dari kualitas
individu atau relasi dua pihak .Shaffer (dalam Lestari 2012) Proses mempengarui antar
bagian di dalam keluarga dapat terjadi secara langsung dan tak langsung.Pengaruh secara
langsung terjadi dalam hubungan dua pihak,missal orang tua dan anak.Sedangkan
pengaruh tak langsung dapat berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak
laiinnya,atau pengaruh hubungan dua pihak terhadap pihak yang lainnya.misalnya sikap
seorang suami akan mempengarui kualitas hubungan seorang ibu dengan bayinya.
Lestari (2012),Semakin banyak aggota keluarga dalam sebuah keluarga akan
kompeks system yang terbangun,karena setiap anggota keluarga adalah sosok pribadi
yang unik ,selain sebagai system social yang komplek keluarga juga merupakan system
yang dinamis karena setiap anggotanya merupakan individu yang berkembang.Dengan

17
pendekatan teori system ,maka para peneliti dan terapis keluarga akan memberikan focus
perhatian pada tindakan yang dapat dilakukan dalam menanggapi suatu peristiwa dari
pada memperhatikan penyebab suatu peristiwa.
Adapun perspektif Sistem dalam Keluarga Konseling Keluaraga (Prof.Dr. H
Sofyan S. Wilis) sebagai berikut:
Perubahan paradikma konseling keluarga telah terjadi, yaitu sejak pandangan
bahwa klien bermaslaah bersumber dari gejala intrapsikis pribadinya, kemudian muncul
pandangan bahwa masalah klien bukan masalah pribadi dan intrapsikik, tetapi merupan
masalah keluarga (keluarga sebagai system).
Pandangan Psikoanalisis telah mendasar lama tentang kedudukan individu (klien)
di dalam keluarga. Pada setiap anggota keluarga yang dipandang adalah individu-
individunya yang dianggap menentukan kehidupan keluarga. Jika seorang anggota
bermasalah, seperti terlibat kecanduan narkoba, maka angota lain tidak akan begitu
berpengaruh.dengan menyembuhkan individu tersebut maka keluarga akan aman-aman
saja. Dengan kata lain, masalah intrapsikik seseorang anggota tidak berpengaruh apa-apa
terhadap keluarga. Jika anggota keluarga terganggu, maka yang perlu dibenahi adalah
anggota tersebut. Tidak perlu memperbaiki seluruh system keluarganya. Sama dengan
seorang pasien sakit, perlu diobati.
Akan tetapi, teori tersebut mulai mendapat tantangan dengan lahirnya teori
system yang diambil dari alam. Menurut teori system ada system tertutup (closed
system) dan ada pula system terbuka (open system). System tertutup adalah suatu system
yang tidak terpengaruh oleh dunia luar. Demikian pula tidak bias mempengaruhi dunia
luar, misalnya system mesin mobil, motor, mesin kereta api, dan sebagainya.
Sedangkan system terbuka adalah suatu system yang dapat dipengaruhi oleh
dunia luar. Sebaliknya mungkin saja dia dapat mempengaruhi dunia luar tersebut.
Sebagai contoh : system keluarga, system sekolah/universitas, departemen, dan
sebagainya.
Keluarga sebagai suatu system (Hal 50-51)
Minuchin mengatakan bahwa keluarag adalah “multibodied organism” organisme
yang terdiri dari banyak badan. Keluarga adalah satu kesatuan (entity) atau organisme. Ia
bukanlah merupakan kumpulan (collection) individu-individu. Ibarat amoeba, keluarga
mempunyai komponen-komponen yang membentuk organism keluarga itu. Komponen-
komponen itu ialah anggota keluarga. Karena itu dalam konseling keluarga structural
yang dikatakan “pasien” adalah keluarga dan masalah serta gejala-gejalanya merupakan

18
fungsi kesehatan dari keluarga tersebut. Masalah dan gejala-gejala itu adalah hasil
ciptaan interaksi dan struktur keluarga secara sistematik.

19
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Definisi keluarga yang cukup komprehensif adalah rumah tangga yang memiliki
hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi
instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang
berada dalam suatu jaringan. Struktur keluarga ada 2 yaitu: keluarga inti dan keluarga batih.
Bentuk keluarga ada 3 yaitu: keluarga bercabang, berumpun, dan beranting, struktur keluarga
tidak ditentukan oleh jumlah orang didalamnya tapi oleh banyaknya posisi sosial yang ada
dalam keluarga. Relasi keluarga dimulai dari relasi pasangan suami-istri, kemudian relasi
orang tua-anak dan kemudian relasi antarsaudara. Relasi dalaam keluarga bersifat dinamis.
Pengaruh positif dan negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi. Keberfungsian
keluarga dinilai dari tingkat kelentingandan kekukuhannya dalam menghadapi tantangan.
Teori sistem memandang keluarga sebagai satu kesatuan yang mempunyai struktur,
senantiasa berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan situasi dan kondisi untuk
mempertahankan kontinuitasnya.

3.2. Saran
Dengan makalah ini, diharapkan pembaca ataupun konselor dapat meningkatkan
kemampuannya dalam mata kuliah Bimbingan dan Konseling Keluarga. Dan dapat belajar
untuk menerapkannya di kehidupan sekitar.

20
DAFTAR PUSTAKA

Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik


dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

21

Anda mungkin juga menyukai