Anda di halaman 1dari 176

MAKALAH

“INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM KELUARGA”


Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Keluarga Kelas 3

Dosen Pengampu:
Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.
Agustin Ema Fatmasari, S.Psi., M.A

Disusun Oleh:
Asma’ Farizah 15000120140306
Fitra Nurdiansyah 15000120140302
M. Alizzah Salim Madjid 15000120140332
Novita Retno Handika Putri 15000120130247
Sabrina Adelia Surya 15000120130178
Salma Pramatya Nurshabrina 15000120140296
Lintang Ramzi Mahasin 15000120130273

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judu “Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. dan ibu
Agustin Ema Fatmasari, S.Psi., M. pada mata kuliah Psikologi Keluarga Kelas 3
di Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro.
Dalam penyusunan makalah ini, tentu tidak lepas dari pengarahan dan
bimbingan Ibu dosen pengampu mata kuliah Psikologi Keluarga Kelas 3, maka
kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu. Dengan adanya tugas
ini membuat pemahaman, pengetahuan, dan wawasan kami bertambah. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam makalah ini tidak luput dari berbagai kekurangan
karena adanya banyak keterbatasan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan sehingga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, 1 September 2021

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan .............................................................................................................. 2
BAB II: ISI .............................................................................................................. 3
A. Definisi Keluarga ............................................................................................. 3
B. Definisi Interaksi .............................................................................................. 5
C. Definisi Komunikasi ........................................................................................ 6
D. Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga ..................................................... 7
E. Syarat, Jenis, serta Pola Interaksi dan Komunikasi ......................................... 8
F. Pentingnya Interaksi Komunikasi dalam Keluarga ........................................ 11
G. Kasus dan Pembahasan .................................................................................. 12
BAB III: PENUTUP ............................................................................................. 14
A. Kesimpulan .................................................................................................... 14
B. Saran .............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah
yang masih memiliki kekerabatan atau ikatan darah karena perkawinan,
kelahiran, adopsi, dan lainnya. Keluarga adalah lingkungan pertama yang
dikenal anak dan sangat berperan bagi perkembangan anak. Melalui keluarga,
anak pertama kali belajar bagaimana mengenal dirinya sendiri dan orang lain.
Dalam proses mendidik anak, tentunya dibutuhkan interaksi dan komunikasi
yang baik. Komunikasi antara orang tua dan anak sangat penting bagi orang
tua untuk mengontrol, memantau, dan memberikan dukungan pada anak.
Komunikasi dan interaksi adalah dua hal yang sangat penting dalam
keluarga karena selain dapat berpengaruh terhadap pembentukan karakter
anak dan tentunya juga untuk keharmonisan keluarga. Bukan hanya antara
anak dan orang tua, tetapi interaksi dan komunikasi yang baik antara suami
dan istri juga penting. Interaksi dan komunikasi yang baik dapat mengurangi
konflik antaranggota keluarga karena setiap anggota keluarga merasa saling
memahami kondisi satu sama lain. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk
meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan mengenai konsep
interaksi dan komunikasi dalam keluarga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan keluarga, interaksi, dan komunikasi?
2. Bagaimana komunikasi interpersonal dalam keluarga?
3. Apa saja syarat, jenis, serta pola interaksi dan komunikasi?
4. Mengapa interaksi dan komunikasi dalam keluarga adalah hal penting?
5. Bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi yang baik dalam
keluarga?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari keluarga, interaksi, dan komunikasi.
2. Mengetahui komunikasi interpersonal dalam keluarga.
3. Mengetahui syarat, jenis, serta pola interaksi dan komunikasi.
4. Mengetahui pentingnya interaksi dan komunikasi di dalam keluarga.
5. Mengetahui cara berinteraksi dan berkomunikasi yang baik dalam
keluarga.

2
BAB II
ISI

A. Definisi Keluarga
Keluarga adalah lingkungan di mana sebagian orang masih terikat
oleh darah dan solidaritas. Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang
yang tinggal dalam satu rumah yang masih memiliki kekerabatan atau ikatan
darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi, dan lainnya. Pada dasarnya,
keluarga adalah kelompok yang terbentuk dari hubungan seksual jangka
panjang untuk menjalankan masalah pengasuhan dan pengasuhan anak.
Keluarga memiliki definisi atau pengertian yang beragam tergantung sudut
pandang dari para ahli.
Pengertian keluarga berdasarkan asal-usul kata yang dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantara (Abu & Nur, 2001: 176), bahwa keluarga berasal
dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata, yaitu kawula dan warga. Di
dalam bahasa Jawa kuno, kawula berarti hamba dan warga artinya anggota.
Secara bebas, dapat diartikan bahwa keluarga adalah anggota hamba atau
warga saya. Artinya, setiap anggota dari kawula merasakan sebagai satu
kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan
bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan.
Keluarga dianggap sebagai suatu sistem social karena memiliki unsur-
unsur sistem sosial yang mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-
kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan
dan fasilitas. Keluarga mempunyai fungsi penting dalam membentuk
kelangsungan hidup bermasyarakat. Di sanalah tempat pertama dan utama
berlangsungnya proses sosialisasi.
Nilai keagamaan dalam keluarga bertujuan mengarahkan seorang anak
untuk menjadi manusia yang taat kepada Tuhan. Dalam keluarga, seorang
anak diajarkan dan dituntut untuk mengerjakan hal-hal yang berbau
keagamaan. Mengajarkan seorang anak tentang nilai kepercayaan, kejujuran,
sopan santun, tata karma, dan mengajarkan anak tentang nilai moral. Teori

3
fungsional melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan istimewa yang
penganutnya secara lahiriah dan batiniah bersifat baik, sehingga sistem
sosialnya untuk sebagian terdiri dari kaidah-kaidah yang dibentuk oleh
agama.
Nilai keagamaan yang dijalankan dalam sebuah keluarga akan
berdampak pada perkembangan anak di luar keluarganya. Biasanya, seorang
anak yang berasal dari keluarga taat pada agama akan tercermin dari tingkah
laku anak tersebut. Seperti dalam berbicara, seorang anak yang berasal dari
keluarga taat agama akan lebih sopan dan santun selalu menjaga sikap, serta
lebih menghormati orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan seorang
anak akan meniru semua yang dilakukan oleh keluarga yang merupakan
tempat anak bersosialisasi pertama kali sebelum bergabung dengan
masyarakat. Nilai–nilai keagamaan merupakan landasan sebagian besar
sistem nilai-nilai sosial (Elizabeth K. Nottingham,1997:44).
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan
yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan
ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena
secara kodrati ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan berupa naluri
orang tua. Dampak dari naluri ini adalah timbul rasa kasih sayang para orang
tua kepada anak-anak mereka sehingga secara moral keduanya merasa
terbebani tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi, dan
membimbing keturunan mereka (Jalaludin, 2010:294). Dalam suatu keluarga,
ada dua tokoh yang akan mempengaruhi perkembangan anak, yaitu ayah dan
ibu.
BKKBN (1999) menyebutkan bahwa keluarga adalah dua orang atau
lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa
kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota
keluarga dan masyarakat, serta lingkungannya.
Friedman (1998) mendefinisikan keluarga adalah dua atau lebih
individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi

4
pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi
diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Menurut Lestari (2012:6) keluarga adalah rumah tangga yang
memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan
terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi
ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.
Coleman dan Cressey (dalam Muadz dkk, 2010:205) menambahkan, keluarga
adalah sekelompok orang yang dihubungkan oleh pernikahan, keturunan, atau
adopsi yang hidup bersama dalam sebuah rumah tangga.
Sementara itu, menurut Bailon dan Maglaya (1978), keluarga adalah
dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, mempunyai peran masing-masing, dan menciptakan
serta mempertahankan suatu budaya.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling dasar untuk
mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini, masih menjadi keyakinan dan
harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapat diandalkan sebagai
lembaga ketahanan moral dan akhlak dalam konteks bermasyarakat, bahkan
dalam baik buruknya generasi bangsa, ditentukan pula oleh pembentukan
pribadi dalam keluarga. Di sinilah keluarga memiliki peranan yang strategis
untuk memenuhi harapan tersebut.
Berdasarkan konsep yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal dalam
satu rumah, atas dasar ikatan pernikahan yang sah dan mereka saling
berhubungan, serta terus berinteraksi dalam menjalin keharmonisan rumah
tangga.

B. Definisi Interaksi
Setiap manusia pasti akan hidup berkeluarga dan bermasyarakat, yang
dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tentu tidak dapat terlepas dari
interaksi satu sama lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga,

5
sangat diperlukan adanya interaksi yang baik dan intensif di antara masing-
masing pihak dalam sebuah keluarga. Orang tua harus selalu berinteraksi dan
mengomunikasikan pesan kepada anak-anak maupun anggota keluarganya
yang lain, sebagai upaya untuk mempertahankan keharmonisan. Interaksi
yang terjadi di antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain dapat
membantu seorang anak menyadari bahwa dirinya dapat berperan sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Hilangnya interaksi dalam kehidupan
keluarga dapat menjadi pertanda hilangnya hakikat manusia sebagai makhluk
sosial.
Menurut KBBI, interaksi adalah hal saling melakukan aksi,
berhubungan, memengaruhi, atau antar hubungan. Interaksi juga dapat
didefinisikan sebagai satu pertalian sosial antarindividu sedemikian rupa
sehingga individu yang bersangkutan saling memengaruhi satu sama lain
(Chaplin, 2006). Menurut Walgito (2007), interaksi sosial adalah hubungan
antara individu satu dengan individu lain, di mana individu satu dapat
memengaruhi individu yang lain, begitu pula sebaliknya, sehingga terdapat
hubungan timbal balik. Hubungan tersebut dapat terjadi antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok. Basrowi (2005) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah
hubungan dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok
dengan kelompok, dan orang dengan kelompok manusia. Bentuknya tidak
hanya bersifat kerja sama, tetapi juga berbentuk tindakan, persaingan,
pertikaian, dan sejenisnya.

C. Definisi Komunikasi
Secara bahasa, asal kata komunikasi berasal dari bahasa Latin
communicatio yang dasar katanya adalah communis yang artinya sama. Sama
yang dimaksudkan adalah sama makna. Artinya, komunikasi akan berjalan
apabila orang-orang yang terlibat dalamnya memiliki kesamaan makna dan
saling memahami terhadap suatu hal yang sedang dikomunikasikan (Nurhadi
dan Kurniawan, 2017).

6
Adapun secara istilah menurut Everett M. Rogers, komunikasi adalah
proses proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima
atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Pengertian
lain dari Charles Cooley menyebutkan bahwa komunikasi merupakan
mekanisme yang menyebabkan ada dan berkembangnya hubungan antar
manusia, melalui semua lambang pikiran, bersama dengan sarana untuk
menyebarkan dalam ruang dan menyebarkannya dalam waktu. Ke dalamnya
termasuk ekspresi wajah, sikap dan gerakan atau isyarat, nada suara, kata-
kata, tulisan, barang cetakan, lalu lintas kereta api, telegraph, telepon dan apa
saja yang lain, yang mungkin merupakan penemuan mutakhir dalam rangka
menguasai ruang dan waktu (Kawengian, dkk., 2017).

D. Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga


Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antarpribadi yang
terjadi ketika dua orang atau lebih sedang bertukar informasi, ide, pendapat,
dan perasaan yang berkaitan dengan peristiwa pribadi, keluarga, organisasi,
dan lain-lain. Komunikasi interpersonal dapat berupa verbal dan nonverbal.
Komunikasi interpersonal yang baik dapat dicapai dengan keterampilan
komunikasi yang baik. Keterampilan komunikasi tersebut berisi tentang
aturan-aturan atau etika dalam berkomunikasi nonverbal, seperti kedekatan
fisik, sentuhan, cara berinteraksi sesuai konteks, memerhatikan orang yang
berkomunikasi, dan memerhatikan volume suara (Devito, 2013). Hal tersebut
merupakan beberapa unsur yang harus diperhatikan karena menurut Rogers
(dalam Rakhmat, 2012), semakin baik komunikasi interpersonal pada
seseorang, maka semakin orang tersebut dapat mengekspresikan dirinya dan
semakin baik persepsi orang lain melebihi persepsi dirinya.
Salah satu penerapan komunikasi interpersonal yang paling sederhana
dapat kita temukan dalam keluarga. Keluarga sebagai kelompok primer yang
penting bagi masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam
keluarga, komunikasi antarpribadi merupakan suatu hal yang sangat penting
di mana komunikasi tersebut merupakan media yang menjembatani hubungan

7
sesama anggota keluarga. Peran setiap anggota dalam menciptakan suasana
dalam keluarga sangat kuat sehingga setiap anggota keluarga harus
memahami perannya. Keluarga juga merupakan suatu kesatuan yang terdiri
dari bagian-bagian yang berinteraksi. Menurut Satrio (2010:3), keluarga yang
seimbang diisi dengan keharmonisan antara ayah dan ibu, ayah dan anak,
serta ibu dan anak sehingga semuanya seimbang. Contoh penerapan
komunikasi interpersonal dalam keluarga, yaitu anak dan ayah sedang
membicarakan mengenai rencana kuliah, ayah dan ibu sedang bertukar
pikiran mengenai menu makanan, anak dan ibu sedang bertukar informasi
mengenai kegiatan hari ini.

E. Syarat, Jenis, serta Pola Interaksi dan Komunikasi


Secara umum, kata interaksi dapat diartikan saling berhubungan atau
saling bereaksi dan terjadi pada dua individu atau lebih. Interaksi sosial
terjadi ketika setiap individu sadar akan adanya individu lain. Ada dua syarat
utama dari proses interaksi social, yaitu kontak sosial (social contact) dan
komunikasi (communication). Secara fisik, kontak sosial baru terjadi jika ada
hubungan fisikal, seperti saling bertatap muka, tetapi tidak saling berbicara.
Lalu, syarat yang kedua adalah komunikasi, yaitu aksi antara dua individu
atau lebih yang melakukan hubungan dalam bentuk saling memberikan tafsir
atas pesan yang disampaikan oleh masing-masing individu. Selain dua syarat
utama tersebut, interaksi dibagi menjadi tiga jenis sebagai berikut.
a. Interaksi antara Individu dan Individu
Pada saat dua individu bertemu, interaksi sosial sudah mulai
terjadi. Walaupun kedua individu itu tidak melakukan kegiatan apa-apa,
tetapi sebenarnya interaksi sosial telah terjadi jika masing-masing pihak
sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan dalam diri
masing-masing. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor tertentu, seperti
minyak wangi atau bau keringat yang menyengat, bunyi sepatu ketika
sedang berjalan, dan hal lain yang bisa mengundang reaksi orang lain.

8
b. Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
Interaksi jenis ini terjadi pada kelompok sebagai satu kesatuan,
bukan sebagai pribadi-pribadi anggota kelompok yang bersangkutan.
Contohnya, permusuhan antara Indonesia dengan Belanda pada zaman
perang.
c. Interaksi antara Individu dan Kelompok
Bentuk interaksi ini cenderung berbeda-beda tergantung dengan
keadaan yang sedang terjadi. Interaksi tersebut lebih terlihat apabila terjadi
perbedaan antara kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok.
Dengan adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi
(communication), maka terjadilah pola interaksi keluarga. Pola interaksi
keluarga adalah hubungan yang terjadi dalam anggota keluarga antara ayah,
ibu, dan anak yang saling memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
perilaku individu yang lain. Dalam interaksi keluarga, terdapat beberapa
bentuk interaksi, yaitu interaksi antara suami dan istri, interaksi antara ayah,
ibu, dan anak, interaksi ayah dan anak, interaksi ibu dan anak, serta interaksi
anak dan anak.
Di samping pola interaksi, ada pula pola komunikasi. Pola komunikasi
adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan
penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud
dapat dipahami (Djamarah & Bahri, 2004). Istilah pola komunikasi juga biasa
disebut sebagai model untuk suatu sistem yang terdiri dari beberapa
komponen yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Terdapat empat pola komunikasi dalam keluarga, yaitu the equality pattern,
the balanced split pattern, the unbalanced split pattern, dan monopoly pattern
(Devito, 1995).
a. The Equality Pattern
Setiap pasangan atau anggota keluarga memiliki peran yang sama
untuk memberikan pendapat, mendengarkan pendapat, dan meminta
sesuatu. Pembagian peran tidak selalu sama dan satu sama lain dapat
saling berganti peran. Meskipun pada kenyataannya, yang disebut

9
seimbang porsinya tidak akan selalu sama dari waktu ke waktu, tetapi pola
ini masih dikatakan seimbang.
b. The Balance Split Pattern
Pola komunikasi ini memberikan peran seimbang pada setiap
individu, tetapi mereka memiliki porsi pada otoritasnya masing-masing.
c. The Unbalanced Split Pattern
Pola komunikasi ini terjadi ketika salah satu pasangan atau anggota
keluarga tampak lebih dominan, misalnya dalam membuat keputusan
keluarga. Satu orang yang mendominasi dianggap lebih cerdas dan
memiliki lebih banyak pengetahuan sehingga sering memegang kontrol,
sedangkan anggota lainnya dianggap kurang cerdas dan berpengetahuan
kurang sehingga berkompensasi dengan menyerahkan banyak hal kepada
pihak yang mendominasi untuk membuat keputusan, mengeluarkan
pernyataan, memberi tahu pihak lainnya tentang apa yang harus
dikerjakan, memberi opini, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol,
dan jarang menerima pendapat dari anggota yang lain, kecuali untuk
mendapatkan rasa aman bagi egonya atau sekadar meyakinkan pihak lain
tentang kehebatan argumennya.
d. The Monopoly Pattern
Pada pola komunikasi ini, otoritas berada pada satu orang. Cara
menyampaikan pesan cenderung bernada perintah atau mengajarkan,
daripada berkomunikasi secara dua arah, jarang bertanya kepada anggota
keluarga yang lain, dan selalu menjadi seseorang yang paling berhak
menentukan keputusan akhir. Pada pola ini, jarang terjadi perdebatan
karena komunikasi hanya didominasi oleh salah satu orang. Pemegang
kekuasaan mendapatkan kepuasan perannya dengan cara menyuruh,
membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain mendapatkan
kepuasan melalui pemenuhan kebutuhan dan tidak membuat keputusan
sendiri sehingga dia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan
itu.

10
F. Pentingnya Interaksi Komunikasi dalam Keluarga
Komunikasi dan interaksi adalah dua hal yang sangat penting dalam
keluarga karena dapat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak dan
tentunya juga untuk keharmonisan keluarga. Dalam keluarga, komunikasi
perlu dibina agar seluruh anggota keluarga merasakan ikatan satu sama lain.
Di dalam komunikasi keluarga juga terdapat kewajiban untuk mendengarkan,
memahami, dan merespon.
Terjalinnya komunikasi yang positif antar anggota keluarga dapat
menjadi suatu komponen dalam resolusi konflik keluarga karena jika
keintiman keluarga terjaga maka penyesuaian konflik dalam keluarga akan
mudah diselesaikan. Maka dari itu penting untuk menjaga komunikasi dan
interaksi yang baik dalam sebuah keluarga.
Komunikasi merupakan hal yang esensial dalam kehidupan keluarga
karena tanpa adanya kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran, dan
sebagainya maka kerawanan dalam keluarga sulit untuk dihindari. Orientasi
konformitas adalah salah satu bentuk komunikasi dalam keluarga karena
bentuk komunikasi tersebut dapat melibatkan seluruh keluarga dalam
mengambil keputusan.
Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menumbuh
kembangkan komunikasi dalam keluarga, yaitu pertama luangkan waktu
untuk mendengarkan dan berpikir kembali dengan apa yang akan
disampaikan kepada anggota keluarga lainnya. Kedua, ciptakan kesempatan
untuk saling berkomunikasi. Kurangi kegiatan dan mintalah waktu luang agar
keluarga dapat berkumpul menghabiskan satu hari dan menciptakan
komunikasi yang baik. Ketiga, memberikan kasih sayang dengan kata-kata.
Di samping komunikasi, interaksi merupakan hal yang tidak
dikesampingkan. Sebagian memandang bahwa sikap yang ditunjukan oleh
orang tua akan memengaruhi perilaku anak (parent effect model). Dalam
interaksi ini maka karakteristik yang terdapat dalam orang tua
akan menentukan bagaimana orang tua berinteraksi dengan anak dan hal ini
nantinya akan mempengaruhi perilaku anak. Sementara pendapat yang lain

11
mengatakan bahwa sikap yang ditunjukan oleh orang tua bergantung kepada
perilaku anak (child effect model). Dalam interaksi ini orang tua akan
bersikap adaptif terhadap apa yang ditunjukan oleh anak. Akan tetapi dalam
kenyataannya anak - anak yang tumbuh dalam keluarga yang sama, tidak
memperlihatkan yang seragam, pada masa dewasa. Dari kajian – kajian yang
sudah dilakukan maka muncul pandangan bahwa hubungan orang tua dan
anak bersifat interaksional. Model inilah yang dinamakan model transaksional
oleh para pakar psikologi perkembangan.
Dalam keluarga dibutuhkan interaksi dan komunikasi yang baik agar
tercipta keluarga yang harmonis. Komunikasi dan interaksi yang baik akan
berpengaruh kepada anak dan keluarga yang harmonis cenderung akan
menghasilkan anak yang berperilaku baik.

G. Kasus dan Pembahasan


Kasus 1
Didik dan Nurul adalah kakak beradik yang sering berantem sejak
kecil. Mereka biasa berantem karena berbagai hal, mulai dari alasan yang
sepele sampai alasan yang serius. Sifat keduanya memang berkebalikan,
sehingga mereka jarang sependapat dalam hal apapun. Permusuhan yang
semulanya hanyalah perkelahian anak kecil, lama-lama menjadi semakin
serius seiring dengan mereka bertambah dewasa.
Setelah mereka besar, meski sudah tidak berantem lagi, tapi masih ada
jarak yang membuat mereka tidak akrab. Meskipun tinggal di satu rumah,
mereka saling menghindari dan apabila bertemu, akan terlihat
ketidaknyamanan bahkan kebencian diantara mereka. Hal ini menyebabkan
komunikasi dan interaksi diantara mereka sangatlah minim. Masalah yang
mungkin bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik akhirnya menjadi
tidak terselesaikan.
Pembahasan
Kasus Didik dan Nurul adalah contoh kasus interaksi antar individu
yang tidak berjalan dengan baik, karena kurangnya komunikasi dan interaksi.

12
Di antara mereka tidak ada kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran,
dan sebagainya. Hal ini menyebabkan sulitnya menyelesaikan masalah yang
ada di antara mereka.

Kasus 2
Pasangan Atta-Aurel resmi menikah April 2021 lalu. pasutri yang
menjadi sensasi tanah air ini tampak memiliki hubungan yang harmonis.
Kemesraan mereka yang mudah diakses masyarakat menjadi bukti hubungan
mereka yang baik. Setiap ada masalah, keduanya dapat berdiskusi dan
mengomunikasikan pendapat dan keinginan dengan baik. Mereka juga tidak
mengambil sikap dominan atas pasangannya, dan lebih memilih untuk saling
menghargai dan mendengarkan.
Pembahasan
Pasangan ini dapat dikatakan menggunakan pola komunikasi The
Equality Pattern, di mana setiap pasangan atau anggota keluarga memiliki
peran yang sama untuk memberikan pendapat, mendengarkan pendapat, dan
meminta sesuatu. Pembagian peran tidak selalu sama dan satu sama lain dapat
saling berganti peran. Hal ini menyebabkan komunikasi dan interaksi berjalan
dengan baik di antara pasutri, sehingga tercipta keharmonisan dalam
keluarga.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keluarga sebagai suatu sistem sosial, memiliki fungsi penting dalam
membangun kehidupan bermasyarakat. Keluarga menjadi tempat pertama dan
utama berlangsungnya sosialisasi serta pendidikan dan penanaman nilai-nilai
kepada seorang individu. Untuk dapat mencapai fungsi penting keluarga
tersebut, tentu di dalamnya tidak terlepas dari interaksi.
Interaksi sebagai satu pertalian sosial antarindividu menjadi salah satu
penentu apakah keluarga dapat berhasil menjalankan fungsinya tergantung
seberapa baik interaksi di dalam keluarga tersebut. Interaksi juga tidak lepas
dari komunikasi yang menjadi salah satu syaratnya. Memiliki kesamaan
makna dan saling memahami menjadi kunci keberhasilan komunikasi yang
secara beruntun terhubung ke fungsi keluarga.
Dengan berbagai cara untuk membangun komunikasi yang baik dalam
keluarga, serta model interaksi yang optimal, diharapkan terbentuk keluarga
harmonis. Lebih lanjut lagi, akan terbentuk sistem masyarakat yang terpadu
dengan dimulainya terbentuk generasi-generasi terdidik dari keluarga yang
baik.

B. Saran
Cakupan studi yang lebih luas tentang interaksi dan komunikasi dalam
keluarga diharapkan menjadi langkah yang sangat baik untuk mendukung
keberjalanan fungsi keluarga yang optimal. Masyarakat secara umum juga
dapat diberikan edukasi yang lebih komprehensif tentang pentingnya keluarga
agar kebermanfaatannya terjangkau lebih luas.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (n. d). Interaksi (Def. 1).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses 29
Agustus 2021, melalui https://kbbi.web.id/.
Basrowi. (2005). Pengantar sosiologi. Ghalia Indonesia.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus lengkap psikologi; Penerjemah Kartini Kartono.
Raja Grafindo Persada.
Damayanti, M. (2018) Pola komunikasi narapidana wanita dalam membangun
rasa percaya diri pada anak (Studi pada narapidana di lembaga
pemasyarakatan perempuan kelas IIA Malang) [Undergraduate’s thesis,
Universitas Muhammadiyah Malang]. UMM Institutional Repository.
http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/36996
Devito, J. A. (1995). The interpersonal communication. (7th ed.). HarperCollins
Publisher.
Devito, J. A. (2013). The interpersonal communication book. (13th ed.). Pearson.
Djamarah & Bahri, S. (2004). Pola komunikasi orang tua dan anak dalam
keluarga. Rineka Cipta.
Kawengian, K., Mingkid. E., Pantow, J. T. (2017). Peranan komunikasi
pemerintah dalam pelaksanaan program bersih kampung (Studi pada
Pemerintah Desa Lopana Satu Kecamatan Amurang Timur). Acta Diurna,
6(2).
Lestari, I., Riana, A. W., & Taftazani, B. M. (2015). Pengaruh gadget pada
interaksi sosial dalam keluarga. Prosiding Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, 2(2).
Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga. Prenada Media Group.
Nismawati, N. (2017). Pengaruh syarat interaksi sosial guru terhadap motivasi
belajar sosiologi siswa di SMA Negeri 1 Mallusetasi Kabupaten Barru.
Jurnal Sosialisasi: Jurnal Hasil Pemikiran, Penelitian dan Pengembangan
Keilmuan Sosiologi Pendidikan, 2(2).

15
Novianti, R. D., Sondakh, M., & Rembang, M. (2017). Komunikasi antarpribadi
dalam menciptakan harmonisasi (Suami dan istri) keluarga di Desa Sagea
Kabupaten Halmahera Tengah. Acta Diurna, 6(2), 1–15.
Nurhadi, Z. F., Kurniawan, A. W. (2017). Kajian tentang efektivitas pesan dalam
komunikasi. Jurnal Komunikasi, 3(1), 90-95.
Rakhmat, J. (2012). Metode penelitian komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya.
Sobandi, D., & Dewi. N. (2017). Urgensi komunikasi dan interaksi dalam
keluarga. Atthulab Islamic Religion Teaching and Learning Journal, 2(1),
52-62.
Walgito, B. (2007). Psikologi sosial: Suatu pengantar. Andi Offset.
Yigibalom, L. (2013). Peranan interaksi anggota keluarga dalam upaya
mempertahankan harmonisasi kehidupan keluarga di Desa Kumuluk
Kecamatan Tiom Kabupaten Lanny Jaya. Acta Diurna Komunikasi, 2(4).
Yulia, F. (2018). Peran keluarga bekerja dalam mensosialisasikan nilai agama
pada anak di RT 02 RW 02 Desa Tarai Bangun Kecamatan Tambang
Kabupaten Tambang Kabupaten Kampar. Jom FISIP, 5(1), 1-14.

16
PERMASALAHAN DALAM INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM
KELUARGA
Psikologi Keluarga Kelas 3

Dosen Pengampu
Dra. Endang Sri Indrawati, S.Psi., M.Si.
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Yoriel Anugerah Seru Palinggi 15000120110086

Dina Putri Gratia 15000120120013

Roikhana Salsabila Budianti 15000120120025

Lulu' Suci Pertiwi 15000120120033

Kinanti Fatma Dewi 15000120120035

Hasna Inggit Anindita 15000120120053

Rachma Oktaviana 15000120120058

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkah dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Permasalahan dalam Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga. Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga sebagai
penugasan terstruktur.
Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak lain, makalah ini tidak
akan terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini, tak terkecuali untuk orang tua yang selalu mendukung
dan memotivasi kami, serta untuk Ibu Dra. Endang Sri Indrawati, S.Psi., M.Si. dan
Ibu Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A selaku dosen pengampu mata kuliah
Psikologi Keluarga kelas 3.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna menambah wawasan
penulis dalam menyusun makalah sejenis agar lebih baik di lain waktu.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang
ada. Semoga makalah yang kami buat ini dapat berguna bagi siapapun yang
membacanya.

Semarang, Agustus 2021

Tim

Penyusun

i
DAFTAR ISI

PERMASALAHAN DALAM INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM


KELUARGA ............................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

Latar Belakang....................................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1

Tujuan ....................................................................................................................................... 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1. Pengertian Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga ................................ 3

2.2. Permasalahan dalam Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga ........... 4

2.3. Penyelesaian Masalah Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga .......... 6

2.4. Komunikasi yang Baik ................................................................................................ 8

2.5. Mencegah masalah interaksi dan komunikasi yang baik dalam keluarga
..................................................................................................................................................... 9

2.6. Contoh Kasus dan Analisis Kasus ........................................................................12

BAB III ................................................................................................................. 17

KESIMPULAN ..................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bossard & Ball dalam Notosoedirdjo dan Latipun (2001) memberikan
batasan tentang keluarga dari aspek kedekatan hubungan satu sama lain dengan
mengatakan bahwa, keluarga sebagai lingkungan yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Dengan kata lain, keluarga merupakan tempat utama dan
pertama untuk melakukan interaksi sosial dan mengetahui perilaku-perilaku dari
orang lain. Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keluarga adalah wadah
atau sarana penting dalam membentuk karakter seseorang karena dalam keluarga,
seseorang dibesarkan, bertempat tinggal, berinteraksi, dibentuk nilai-nilai
sosialnya, pola pemikiran, serta kebiasaannya. Meskipun dianggap sebagai
kelompok sosial pertama individu, seringkali ditemukan munculnya permasalahan
dalam keluarga dengan berbagai faktor penyebab. Salah satunya ialah interaksi dan
komunikasi dalam keluarga. Permasalahan-permasalahan keluarga yang mungkin
timbul akibat interaksi dan komunikasi ini dapat disebabkan karena kurangnya
intensitas komunikasi, kesalahpahaman, hingga gaya pengasuhan orang tua yang
mempengaruhi pola interaksi dalam keluarga. Oleh karena itu, penting bagi kita
untuk mempelajari psikologi keluarga guna mencegah timbulnya konflik dengan
memahami interaksi dan komunikasi yang positif dalam keluarga. Karena interaksi
dan komunikasi yang baik dapat menjaga kesejahteraan dan keharmonisan
keluarga.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan untuk memperjelas arah
penulisan makalah ini, maka pertanyaan mendasar yang menjadi pokok masalah
dalam makalah ini yaitu :
a) Apa pengertian dari komunikasi dan interaksi dalam keluarga?

1
b) Masalah-masalah apa yang biasa terjadi dalam interaksi komunikasi di
keluarga? dan bagaimana cara penyelesaiannya?
c) Contoh kasus masalah yang terjadi dalam interaksi dan komunikasi dalam
keluarga.
d) Bagaimana cara mencegah mempertahankan interaksi dan komunikasi yang
baik dalam keluarga?

Tujuan
Sebuah makalah ditulis guna mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
a) Mengetahui dan memahami komunikasi dan interaksi dalam keluarga
b) Mengetahui serta dapat memahami masalah-masalah yang biasa terjadi
dalam keluarga beserta solusi atau penyelesaiannya.
c) Mengetahui contoh masalah yang sering terjadi dalam keluarga
d) Mengetahui serta dapat mengaplikasikan bagaimana cara mencegah dan
mempertahankan interaksi dan komunikasi yang baik dalam keluarga.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga

Secara etimologi, komunikasi diartikan sebagai hubungan atau


perhubungan. Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communis”
kemudian menjadi “communication” yang berarti sama atau sama makna
dalam suatu hal (Onong Uchjana Effendy. 2000:3). Menurut Rogers & O.
Lawrence Kincaid, komunikasi merupakan suatu interaksi dimana terdapat
dua ornag atau lebih yang sedang membangun atau melakukan pertukaran
informasi dengan satu sama lain yang pada akhirnya akan tiba dimana
mereka saling memahami dan mengerti (Hafid Cangara, 2002:19). Jadi,
dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses interaksi yang
terjalin di antara dua orang atau lebih untuk membangun kebersamaan,
mencapai tujuan bersama, dan saling memahami satu sama lain.

Komunikasi dalam keluarga tentu saja penting dan pasti terjadi. Jika
tidak ada komunikasi, maka tujuan, kebersamaan, serta tujuan bersama
tidak tercapai. Selain itu, komunikasi juga sarana yang penting untuk
menanamkan nilai-nilai. Komunikasi juga dikenal sebagai komunikasi
interaksi, dimana terdapat timbal balik yang menghadirkan komunikator
(yang menyampaikan pesan) pada komunikan (pemberi respon) secara aktif,
dan dinamis.

Pengertian komunikasi keluarga menurut Rosnandar dalam Dewi


Pingkan Sambuaga, dkk (2014) adalah proses penyampaian pernytaan atau
komunikasi pada anggota keluarga yang bertujuan untuk mempengaruhi
atau membentuk sikap sesuai isi pesan dari komunikator, yaitu Bapak dan
Ibu. Sedangkan menurut Idris Sady dalam Dewi Pingkan Sambuaga, dkk
(2014) komunikasi keluarga yaitu proses penyampain pesan bapak atau ibu

3
(komunikator) kepada anak-anak (komunikan) mengenai nilai dan norma
pada keluarga yang tujuannya itu membentuk keluarga yang harmonis.

2.2. Permasalahan dalam Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga

1. Pergeseran Sosialisasi

Komunikasi keluarga memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi


dan sekaligus sangat komplek (Ruben, 2006). Penanaman nilai-nilai dan norma-
norma moral lebih efektif apabila hal itu ditanamkan oleh orang tua yang
merupakan lingkungan inti dari anak. The Child Socialization Role, merupakan
salah satu fungsi keluarga yang mengajarkan, membantu anak untuk bersosialisasi
dan beradaptasi terhadap lingkungannya (Ferani, 2016). Namun, dewasa ini banyak
orang tua yang memilih untuk berkarier dan menitipkan anak mereka ke dalam
Lembaga Pendidikan atau ditinggalkan bersama baby sitter. Kondisi ini membuat
intensitas komunikasi dan interaksi antara orang tua dan anak berkurang. Orang tua
mungkin tidak sadar bahwa terjadi adanya suatu pergeseran sosialisasi yang
seharusnya diterima anak dalam keluarga yang mengakibatkan adanya disfungsi
sosialisasi dalam keluarga.

2. Konflik Antar Orang Tua Dan Anak

Pada dasarnya, komunikasi dalam keluarga dilakukan guna mengenal dan


memahami masing-masing anggota lainnya. Namun tak jarang juga dalam
komunikasi keluarga akan terdapat perbedaan pendapat, ketidaknyamanan situasi,
serta munculnya konflik. Bagi orang tua, anak merupakan bagian paling penting
dalam hidupnya. Orang tua akan berusaha mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan
anaknya. Pernyataan tersebut mengacu bahwa konflik orang tua dan anak mustahil
dapat terjadi. Meskipun begitu, dalam hubungan orang tua dan anak sering
ditemukan adanya kekuasaan dan kewenangan yang andil di dalamnya.
Permasalahan yang umum terjadi ini pada umumnya bersumber dari perbedaan
pendapat atau perspektif. Dalam menghadapi ketidaksetujuan dengan anak,
orangtua sering membenarkan sudut pandangnya berdasarkan kewenangannya

4
sebagai orangtua dan peraturan sosial (Smetana, 2004). Contoh perbedaan pendapat
yang tak jarang ditemui adalah perbedaan pemilihan karir anak yang orang tua
inginkan versus pemilihan karir anak yang anak inginkan.

3. Tekanan Hubungan Rumah Tangga Hingga Perceraian

Selain permasalahan antara orang tua dengan anak, masalah komunikasi


juga bisa terjadi antara suami dan istri. Dari beberapa literatur tentang komunikasi
dalam perkawinan sangat jelas diuraikan bahwa kemampuan yang rendah dalam
mengelola konflik adalah merupakan salah satu tanda adanya tekanan dalam suatu
hubungan, dan anak-anak akan mengalami kerugian dengan adanya tekanan
sebagai akibat dari kelemahan orangtuanya dalam mengelola konflik dan anak-anak
akan belajar dari cara orangtuanya dalam menghadapi konflik dan membawa pola
interaksi orangtuanya dalam kehidupan saat dewasa dan dalam perkawinan
(Wardyaningrum, 2013).

Salah satu penyebab munculnya perceraian adalah kurang terbangunnya


komunikasi yang baik antara suami dan istri dalam keluarga sehingga menimbulkan
konflik konflik interpersonal yang berujung pada terjadinya perceraian (Luthfi,
2017). Wilmot dan Hocker (2001) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan
sentral elemen dalam terjadinya konflik interpersonal. Misalnya, seorang istri yang
berprasangka buruk apabila suaminya terlambat pulang kerja. Bukannya
menanyakan sebab ia pulang terlambat, tapi malah langsung marah dan
menganggap suaminya mungkin terlibat dalam perselingkuhan. Kurangnya
intensitas komunikasi inilah yang dapat menimbulkan konflik suami istri dan
berpeluang mengakibatkan perceraian.

4. Konflik Antar Saudara

Seperti yang sudah dijelaskan di poin sebelumnya, komunikasi keluarga


merupakan sarana untuk mengenal dan memahami tiap anggota keluarga. Akan
tetapi, komunikasi ini juga dapat menimbulkan perbedaan pendapat, situasi yang
tidak nyaman, dan konflik. Permasalahan ini dapat terjadi antar suami istri maupun

5
antar orang tua dengan anak, tak terkecuali dalam hubungan saudara. Konflik
terjadi dalam keluarga dalam rangka upaya-upaya para anggota keluarga untuk
memperebutkan sumber-sumber daya yang langka yaitu hal-hal yang diberi nilai,
seperti uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan dalam memainkan peranan
tertentu (Wardyaningrum, 2017).

5. Kurangnya Keterbukaan

Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan


membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan masalah-masalah
dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran dan kejujuran
serta keterbukaan (Friendly, 2002). Tiap anggota keluarga pasti punya
kesibukannya masing-masing di luar lingkup keluarganya. Hal ini berarti bahwa
tiap anggota keluarga dapat menghadapi permasalahan yang berbeda satu sama lain.
Di sinilah peran sikap terbuka sangat penting diterapkan dalam interaksi keluarga.
Kurangnya keterbukaan antar anggota keluarga dapat memicu konflik yang timbul
karena kesalahpahaman, apalagi jika permasalahan tersebut timbul dari dalam
keluarga. Sikap terbuka ini juga membantu para anggota keluarga dalam memahami
kehidupan ataupun kesulitan yang mungkin dihadapi oleh anggota yang lain.
Dengan begitu, interaksi dalam keluarga dapat berjalan lebih lancar sehingga
harmonisasi keluarga pun terjaga.

2.3. Penyelesaian Masalah Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga

1. Strategic Family Theraphy

Salah satu cara mengatasi masalah dalam keluarga yang berfokus


pada pola komunikasi keluarga dalam upaya memperbaiki pola
hubungan dalam keluarga. Intervensi terdiri atas beberapa tahap.

6
a. social stage, dengan menghadirkan seluruh anggota keluarga
dimana setiap keluarga diminta untuk memberikan pendapat
yang dihadapi.

b. the problem stage, menjelaskan kepada keluarga alasan mengapa


mereka perlu hadir.

c. the interaction stage, yaitu meminta komentar dari setiap


anggota keluarga yang hadir dan membicarakan masalah nya
bersama-sama.

d. Keempat, defining desired changes, dilakukan setelah semua


anggota keluarga mengetahui permasalahan yang terjadi.
Kemudian terapis menanyakan perubahan seperti apa yang
diharapkan.

e. ending the interview yaitu langkah yang diambil setelah dicapai


kesepakatan bersama mengenai definisi masalah.

f. tahapdirective, dengan tujuan menciptakan perilaku yang


berbeda sehingga memperoleh pengalaman subjektif yang
berbeda.

2. Melibatkan Pihak Ketiga

Penyelesaian konflik keluarga dapat dilakukan dengan meminta


bantuan orang ketiga. Tentu saja hal ini jarang dilakukan karena
keluarga cenderung memilih untuk menyelesaikan konflik dengan
berdiskusi sendiri. Namun bukan mustahil bahwa hal ini dapat menjadi
alternatif solusi jika konflik dalam keluarga sudah dirasa tidak bisa
diselesaikan sendiri. Metode penyelesaian ini cenderung digunakan saat
pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mampu menyelesaikan konflik
atau tidak ada yang mau mengalah. Intervensi pihak ketiga dapat berupa
bersikap pasif dengan menunggu pihak yang terlibat konflik meminta

7
bantuan, memberikan solusi atau nasihat dengan perspektif yang
berbeda dari lingkungan intern keluarga, serta bertindak aktif dengan
membujuk kedua pihak untuk menyelesaikan konflik.

2.4. Komunikasi yang Baik

Kualitas perkawinan sangat ditentukan dengan komunikasi yang baik antara


suami dan istri. Kammeyer (1987) mengidentifikasi tiga jenis komunikasi yang
penting dalam suami istri, yaitu:

1. Open and Honest Communication: pasangan mengekspresikan perasaan


secara tepat dan tidak mencampuradukkan pesan. komunikasi tipe ini
memberikan kontribusi terhadap hubungan kualitas perkawinan.
2. Supportiveness: memperlakukan orang yang sedang berbicara dengan
penuh perhatian dan respect. Komunikasi yang baik tergantung pada jenis
dukungan dan konfirmasi (merespon secara positif), dan studi menunjukkan
bahwa ketika pasangan yang menikah memperhatikan kualitas komunikasi
mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan mereka lebih besar.
3. Self Disclosure: hampir sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa
elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain
tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self--
disclosure.

Selain komunikasi antara suami dan istri, ada juga komunikasi antara orang
tua dan anak yang harus dijaga keefektifannya supaya terjadi keharmonisan.
Melalui komunikasi, orang tua mampu memahami keinginan dan kebutuhan anak,
dan orang tua dapat menyampaikan harapannya kepada anak tanpa memaksa.
(Terdapat hal penting yang harus ada saat melakukan komunikasi, yaitu; kejujuran,
keterbukaan, pengertian, rasa percaya dan dukungan antara kedua belah pihak.
Intensitas dalam komunikasi pada keluarga penting untuk dilakukan untuk
mempererat hubungan keluarga dan dapat menciptakan rasa aman dan nyaman.

8
2.5. Mencegah masalah interaksi dan komunikasi yang baik dalam keluarga

1. Komunikasi efektif dalam keluarga.

Menurut Mulyana (1999), komunikasi efektif merupakan


komunikasi yang dilakukan guna memahami makna atau keinginan yang
ingin disampaikan oleh komunikator. Dalam keluarga, komunikasi efektif
ini sulit dilakukan. Terkadang orang tua mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Untuk menciptakan komunikasi
yang efektif dalam keluarga, ada 6 hal yang harus diperhatikan, antara lain:

a. Respek, dengan menghargai maka akan menghasilkan kesan


atau timbal balik yang baik dari penerima pesan. Dengan
begini, maka akan menghasilkan sesuatu sesuai dengan
ekspetasi orang tua.

b. Jelas, pesan yang disampaikan harus jelas sehingga makna


yang disampaikan dapat dimengerti dengan baik. Dalam hal
ini, anatara anak dan orang tua harus ada transparansi dalam
berkomunikasi.

c. Empati, kemampuan menempatkan diri pada situasi dan


kondisi yang dihadapi orang lain. Orang tua sebaiknya tidak
menuntut lebih dari kemampuan anak tersebut.

d. Rendah hati, dalam berkomunikasi sebaiknya saling


menghargai, lemah lembut, dan bisa mengendalikan diri.

e. Audibel.

f. Tepat

Adapun menurut Stewar L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam Rakhmat


(2000) menyimpulkan beberapa hal yang mendasari Komunikasi Yang
Efektif, yaitu :

9
a. Pengertian. Penerimaan yang cepat dari apa yang dimaksud
oleh komunikator.

b. Kesenangan. Yang dimaksud yaitu menjalani hubungan


hangat, akarb dan menyenangkan.

c. Mempengaruhi Sikap. Komunikator mempengaruhi


pendapat, sikap, dan tindakan agar sesuai dengan
keinginannya.

d. Hubungan Sosial yang Baik. Komunikasi sendiri bertujuan


untuk terbinanyanya komunikasi yang baik antar
komunikator dan komunikan.

e. Tindakan. Persuasi yang ditunjukkan agar tindakan yang


diinginkan terlaksana.

2. Peran Komunikasi Keluarga

Ada beberapa peran komunikasi dalam keluarga (Dewi Pingkan Sambuaga


dkk., 2014), yaitu :

a. Komunikasi Antar Keluarga. Penting karena kontribusi keluarga


terutama komunikator (orang tua) pada komunikan (anak-anak)
dapat mempengaruhi si anak. Peranan orang tua yang baik tentunya
membuat berpengaruh pada anak. Bagaimana komunikasi yang baik
terus berjalan, maka akan tercapai tujuan bersama keluarga tersebut.

b. Intensitas Komunikasi. Kurangnya komunikasi menunjukkan


bahwa intensitas komunikasi keluarga tentunya juga rendah. Hal ini
dapat berakibar buruk karena membuat anak kurang mendapat
perhatian, apalagi pada pertumbuhannya yang dapat membuat si
anak terjerumus hal buruk.

10
c. Hubungan Sosial. Selain komunikasi yang baik, hubungan sosial
yang baik tentunya akan membuat keluarga harmonis.

d. Sikap Sosial. Jika orangtua mencotohkan hal yang baik, maka


begitu pula sikap anak. Begitupun juga jika orangtua mencotohkan
hal buruk kepada anak.

e. Isi Pesan Komunikasi. Hal ini perlu diperhatikan untuk terciptanya


tujuan. Keluarga, khusunya orangtua (komunikator) harus
memperhatikan apa yang ia sampaikan kepada anak-anaknya
(komunikan) sehingga, dapat mengurangi masalah yang bisa
ditimbulkan dari salahnya komunikasi tersebut.

Dalam menjalin komunikasi, orang tua hendaknya memahami dan mengenali


model komunikasi masing-masing. Orang tua harus memahami perkembangan
fisik, perkembangan emosi, perkembangan moral, perkembangan minat, dan
perkembangan kepribadian anak. Ketiadaan komunikasi antara orang tua dan anak
hanya akan menimbulkan dampak negatif. Untuk mengupayakan komunikasi
dalam keluarga, terdapat 4 hal yang bisa dilakukan, yaitu:

a. Percakapan sederhana. Dengan melakukan hal ini, maka akan timbul


kedekatan antara orang tua dan anak.

b. Chaterik communication. Anak diberikan kesempatan untuk


menyampaikan pendapatnya atau menyalurkan perasaannya terkait
masalah yang dihadapi. Orang tua juga harus sabra dalam
mendengarkan keluh kesah anak.

c. Informative communication. Orang tua berbagi pikiran, perasaan


dan pendapt mereka. Orang tua juga memberikan kritik dan saran
yang diperlukan oleh anak.

d. Persuasive communication. Komunikator ingin agar penerima


komunikasi mau melakukan apa yang diinginkannya. Biasanya, hal

11
ini terjadi pada orang tua yang membandingkan dirinya dahulu
dengan kondisi anak sekarang.

Miss communication sering terjadi dalam hubungan keluarga. Hal ini


biasanya terjadi pada orang tua yang sibuk bekerja. Sehingga, komunikasi
hanya berjalan satu arah saja tanpa mendengar pendapat anak. Oleh karena
itu, sebaiknya orang tua bisa membagi waktu mereka dan menjaga
komunikasi agar tetap efektif dan efisien agar anak tetap merasa mendapat
perhatian dan kasih sayang.

2.6. Contoh Kasus dan Analisis Kasus

(1) Kasus 1

Gambaran Kasus: Terjadi di daerah Ponorogo

Berdasarkan penuturan dari seorang istri (A), ia seringkali bertengkar


dengan suaminya karena ketika ada masalah keluarga tidak pernah
dikomunikasikan dengan baik. “Pokoknya gak ada komunikasi. Ya kalau
ngobrol sih ngobrol, cuman kan kalau ada masalah-masalah gini tuh dia
sebagai kepala rumah tangga kan seharusnya saya diajak ngomong, tapi dia
nggak. Jadinya kalau ada masalah gak dikomunikasikan gak saling terbuka”
Setiap ada permasalahan yang muncul dalam keluarga selalu dibiarkan
berlarut-larut tanpa adanya upaya pemecahan masalah. Hingga
permasalahan ini merembet pada sang suami yang ketahuan berselingkuh.
Kepercayaannya pada suami menjadi hilang disebabkan oleh ketidakjujuran
yang dilakukan oleh suaminya. Sebelum munculnya konflik perselingkuhan
ini, A selalu percaya kepada suaminya karena kebiasaan suami yang selalu
membawa anak ketika sedang bekerja sebagai sopir, yang selalu
mengantarkan wanita-wanita pekerja club malam yang biasa diantar pada
sore hari dan dijemput pada dini hari. Terbongkarnya kasus perselingkuhan
karena adanya informasi dari tetangga dan saudara ipar.

12
Analisis Kasus :

Pada kasus ini dapat dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik yang
dikemukakan George Herbert Mead. Menurut teori ini, interaksi karena
penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna. Dimana figur seorang
suami di sini disimbolkan sebagai kepala nahkoda kapal yang menjadi
kepala/pemimpin keluarga dalam mengatur urusan keluarga, di mana di
dalamnya termasuk urusan masalah-masalah. Menurut A, suaminya lah
yang harus mengawali pembicaraan mengenai penyelesaian masalah namun
sejatinya hal tersebut tidak harus diawali oleh pihak suami. Istri juga dapat
menyampaikannya terlebih dahulu. Komunikasi dibangun 2 arah dari pihak
istri dan suami. Baik dapat menggunakan pola komunikasi persamaan,
seimbang/terpisah, tak seimbang terpisah, atau monopoli. Penggunaan pola
komunikasi tersebut disesuaikan dengan karakteristik pasangan masing-
masing. Jika terdapat salah satu pihak yang lebih mendominasi atau lebih
ahli, pola interaksi biasanya menggunakan pola tak seimbang terpisah.
Komunikasi yang buruk merupakan faktor terbesar penyebab perceraian.
Setiap permasalahan yang muncul di keluarga yang didiamkan berlarut-
larut menambah persoalan menjadi lebih parah. Tidak adanya
interaksi/komunikasi yang baik antara pasangan menyebabkan
ketidakharmonisan. Kondisi inilah yang menyebabkan retaknya rumah
tangga hingga berujung pada perceraian. Dalam kasus perselingkuhan di
atas, salah satu faktor pemantiknya bisa karena interaksi kedua pasangan
yang buruk. Komunikasi yang buruk membuat pasangan cenderung untuk
acuh tak acuh dan kurang perhatian sehingga cenderung untuk mencari hal
tersebut di luar keluarga. Dalam keluarga tidak ada sosok untuk bertukar
cerita atau untuk curhat.

Penyelesaian :

Pada keluarga A, upaya penyelesaian dengan strategi terapi keluarga dapat


menjadi salah satu metode penyelesaian masalah, dimana seluruh keluarga

13
dihadirkan kemudian memberikan tanggapan mengenai permasalahan,
kemudian pihak terapis menanyakan perubahan yang ingin diharapkan
untuk nanti dapat mencapai kesepakatan bersama. Namun pada kasus
keluarga A ini, keluarga A lebih memilih untuk melibatkan pihak ketiga
(kantor pengadilan agama) upaya mediasi gagal dilakukan, hingga
penyelesaian permasalahan ini berujung pada perceraian.

Pencegahan:

Pada dasarnya, ketika permasalahan utama tadi (setiap ada masalah


langsung dibicarakan dan diselesaikan) dikomunikasikan dengan baik dapat
menjadi upaya untuk mencegah adanya permasalahan yang lebih besar lagi.
Tidak perlu hal yang besar, melalui cerita hal-hal kecil dapat menjadi sarana
untuk membangun intimacy. Membangun komunikasi dari hal hal kecil
seperti bercerita mengenai kegiatan hari ini dapat dijadikan kebiasaan
sehingga kebutuhan interaksi komunikasi dapat terpenuhi yang membuat
keluarga semakin harmonis. Komunikasi interpersonal yang baik akan
melahirkan hubungan interpersonal yang baik pula dalam keluarga.
Komunikasi yang baik ini akan terlihat dari terbangunnya hubungan yang
akrab dan intim antara keduanya. keintiman keluarga dibangun dengan rasa
percaya, saling terbuka sehingga muncul komitmen membangun rumah
tangga yang baik.

(2) Kasus 2

Gambaran Kasus : Terjadi di Daerah Jambi melibatkan seorang tokoh


public (ZZ) Selama delapan tahun menikah dengan(SH), (ZZ) memiliki dua
anak bernama ZH dan ZY Berdasarkan penuturan dari istri (ZZ) Salah satu
alasan Sherrin menggugat Zumi Zola lantaran perselisihan dan kurang
perhatian Sebelum tersandung kasus hukum, seperti yang telah diketahui
bahwa (ZZ) adalah seorang tahanan atas kasus grafikasi. Humas Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, Cece Rukmana Ibrahim menyebut sidang
perceraian itu telah diputus pada 12 Agustus 2020 lalu. (ZZ) sebelumnya

14
divonis enam tahun kurungan penjara atas kasus penerimaan gratifikasi oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 6 Desember 2018.

Analisis Kasus :

Pada kasus ini juga dapat dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik
yang dikemukakan George Herbert Mead. Menurut teori ini, interaksi
karena penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna. Dimana figur
seorang suami di sini disimbolkan sebagai kepala nahkoda kapal yang
menjadi kepala/pemimpin keluarga dalam mengatur urusan keluarga, di
mana di dalamnya termasuk urusan masalah-masalah.

Salah satu penyebab munculnya perceraian adalah kurang terbangunnya


komunikasi yang baik antara suami dan istri dalam keluarga sehingga
menimbulkan konflik konflik interpersonal yang berujung pada terjadinya
perceraian (Luthfi, 2017). Seperti halnya pada Kasus ZZ kurangnya
komunikasi yang baik membuat istri menjadi kehilangan perhatian dan
mengakibatkan sering terjadinya perselisihan dalam rumah tangga hingga
akhirnya mengakibatkan perceraian ditambah lagi (ZZ) melakukan sebuah
Tindakan pidana yang dapat merugikan dirinya dan keluarganya karna
kehilangan sosok “nahkoda” yang menjadi sebuah pimimpin

Penyelesaian :

Untuk sebuah penyelesaian berdasarkan kasus tersebut seharusnya bisa


melalui tahap mediasi seperti : social stage, the problem stage, the
interaction stage, defining desired changes, ending the interview,
tahapdirective. Namun jika tidak menemukan satu suara dalam sebuah
mediasi bisa melalui jalur yang lain yaitu jalur meja hijau.

Pencegahan :

Untuk melakukan sebuah pencegahan didalam keluarga yang ingin bercerai,


dibutuhkan sebuah komunikasi dua arah yang baik dengan upaya agar tidak

15
ada lagi kesalahan yang sama dan rasa kekeluargaanpun menjadi lebih
terasa. Komunikasi yang baik dapat membuat keluarga saling mengerti satu
dengan yang lain.

16
BAB III
KESIMPULAN

Komunikasi interaksi dalam keluarga sendiri terdapat 2 pihak, yaitu


komunikator (pihak yang menyampaikan) biasanya dalam keluarga adalah
bapak dan ibu dan pihak komunikan (pihak yang menerima) yang yaitu
anggota keluarga, seperti anak. Komunikasi interaksi dalam keluarga
digunakan salah satunya unntuk menanamkan nilai dan norma yang
diharapkan bisa dijalani atau tercapai. Dalam Keluarga tentunya penting
untuk berkomunikasi dengan baik. Ada beberapa masalah yang terjadi
dalam komunikasi interaksi dalam keluarga yaitu pergeseran sosialisasi,
konflik antara orangtua dan anak, tekanan hubungan rumah tangga hingga
perceraian, konflik antar saudara, dan kurangnya keterbukaan.
Permasalahan interaksi komunikasi dalam keluarga tentu bisa diselesaikan,
dengan cara strategic family therapy bahkan bisa juga menghadirkan pihak
ketiga. Alangkah baiknya dalam keluarga dapat menghindari dan mencegah
permasalahan tersebut, contohnya dengan menjalankan komunikasi yang
efekif pada keluarga dan memperhatikan peran komunikasi keluarga itu
sendiri.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, P. A. S. C., & Khotimah, H. (2020, October). Pola Asuh Orang Tua
Pada Anak Di Masa Pandemi Covid-19. In Seminar Nasional Sistem
Informasi (SENASIF) (Vol. 4, No. 1, pp. 2433-2441).

Devi, D. F. (2016). Mengatasi masalah komunikasi dalam keluarga melalui


strategic family therapy. JIP (Jurnal Intervensi Psikologi), 8(2), 234-249.
https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol8.iss2.art6

Ferani, A. (2016). Proses Komunikasi Keluarga yang Bercerai dalam


Pengambilan Keputusan Anak Laki–Laki untuk Membangun Kemandirian.
Skripsi. Universitas Diponegoro.

Luthfi, M. (2017). Komunikasi interpersonal suami dan istri dalam mencegah


perceraian di Ponorogo. Ejournal Ettisal Unida Gontor, 2(1), 51-63.
https://doi.org/10.21111/ettisal.v2i1.1413

Nugroho, D. A., & Santosa, B. (2017). Resolusi konflik dalam keluarga


berbasis kesetaraan gender (Studi kasus pada keluarga di Desa Watusomo,
Kecamatan Slogohino, Kabupaten Wonogiri). Jurnal Sosiologi DILEMA,
32(1), 91-96. https://jurnal.uns.ac.id/dilema/article/view/14370

Rahmawati., &. G. (2018). Pola Komunikasi Dalam Keluarga. Jurnal Al-


Munzir. 11(2),163-181

Sambuaga. Dewi. Pinkan., B. A. (2014). Peran Komunikasi Keluarga Dalam


Mencegah Perkelahian Antar Warga (Studi Kasus Di Kelurahan Mahakeret
Barat). Journal Acta Diuma, 3(4),1-15

Siregar, N. S.S. (2011). Kajian tentang interaksionisme simbolik. Jurnal ilmu


sosial-fakultas ISIPOL UMA, 4(2), 100-110.
https://doi.org/10.31289/perspektif.v1i2.86

18
Sholihah, I. (2021). POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DAN ANAK DI
DESA SUKOLILO KECAMATAN JABUNG MALANG. Al-Ittishol:
Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 2(2), 97-109.

Susilowati, A. Y., & Susanto, A. (2020). Strategi penyelesaian konflik dalam


keluarga di masa pandemi Covid-19. Hasanuddin Journal of Sociology
(HJS), 2(2), 88-97. http://repository.syekhnurjati.ac.id/4103/

Ulfiah. (2016). Psikologi keluarga: Pemahaman hakikat keluarga &


penanganan problematika rumah tangga. Ghalia Indonesia.

Wardyaningrum, D. (2013). Komunikasi untuk penyelesaian konflik dalam


keluarga: Orientasi percakapan dan orientasi kepatuhan. Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Pranata Sosial, 2(1), 47-58.
https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SPS/article/view/110

19
MAKALAH PSIKOLOGI KELUARGA

SPIRITUALITAS DALAM KELUARGA

Dosen Pengampu:

Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.

Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.

Disusun Oleh:

1. Putri Amanda 15000120120029


2. Naila Zakia Adzhani 15000120140158
3. Alya Ratu Rahmawati 15000120140174
4. Stefani 15000120140197
5. Anastasya Regita S 15000120140314
6. Annisa Syofiadisna 15000120140353
7. Dennis Arya Widya N 15000120140357

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Spiritualitas
dalam Keluarga ” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga, kami
berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Kami selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
sudah berkontribusi atas penyusunan makalah ini. Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengalaman dan
pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk
kritik maupun saran yang membangun sebagai bahan evaluasi kami kedepannya.

9 September 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Manfaat Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Spiritualitas 3
1. Definisi Spiritualitas 3
2. Aspek-aspek Spiritualitas 5
3. Faktor yang Berhubungan dengan Spiritualitas 8
B. Esensi dari Spiritualitas dalam Keluarga 9
C. Peran Spiritualitas dalam Keluarga 9
D. Pembinaan Spiritualitas dalam Keluarga 10
1. Pembinaan Spiritualitas pada Suami-Istri 10
2. Pembinaan Spiritualitas pada Anak 10
E. Spiritualitas dalam Perspektif Islam 13
KASUS ATAU JURNAL TERKAIT MATERI 16
KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK (STUDI KASUS PADA
KELUARGA BEDA AGAMA) 18
BAB III PENUTUP 20
DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan tempat dimana individu dipersiapkan untuk dapat melakukan peran nya
di masyarakat. Orang tua sebagai orang yang terdekat di dalam keluarga, harus dapat
melakukan persiapan, pengarahan, dan bertanggung jawab atas pendidikan dan
perkembangan rohani,fisik serta psikologis anak. Dalam mendidik anak – anak, orang tua
harus memainkan peran dalam menciptakan keharmonisan di dalam keluarga dan
mengajarkan anak untuk dapat mengenal tuhan atau bisa disebut pendidikan spiritual.

Pendidikan spiritual adalah penguatan kekuatan spiritual bagi anak dan penanaman iman
alam diri mereka sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan naluriyah beragama mereka,menata
sifat mereka dengan tata krama dan meningkatkan kecenderungan ( tekad,bakat ) mereka,dan
mengarahkan mereka pada nilai-nilai spiritual,prinsip,dan suri tauladan yang mereka dapat
dari keimanan yang benar kepada Tuhan yang mereka yakini.

Kebutuhan manusia pada agama merupakan kebutuhan yang alami, tanpa agama manusia
tidak akan tenang dalam menjalani kehidupannya. Hal itu karena sesungguhnya Tuhan
menciptakan manusia tidak ada yang sempurna, manusia pasti membutuhkan pemenuhan
kebutuhan akan iman pada Dzat yang Maha Sempurna, yang Maha berkuasa dan yang
memiliki segala hal.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan spiritualitas?


2. Bagaimana esensi spiritualitas dalam keluarga?
3. Bagaimana peran spiritualitas dalam keluarga?
4. Bagaimana pembinaan spiritualitas yang baik dalam keluarga?
5. Bagaimana perspektif islam mengenai spiritualitas?

1
C. Tujuan

1. Memahami definisi hingga aspek-aspek spiritualitas


2. Memahami esensi spiritualitas dalam keluarga mempengaruhi nilai penting yang
dimiliki oleh anggota keluarga
3. Memahami pentingnya peran spiritualitas dalam keluarga
4. Memahami bentuk pembinaan spiritualitas yang baik dalam keluarga
5. Memahami spiritualitas dalam perspektif islam

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan penulisan yang hendak dicapai, penulisan ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Manfaat teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
Spiritualitas dalam Keluarga , serta juga diharapkan sebagai sarana pengembangan ilmu
pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di bangku perkuliahan.
2) Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang terkait
dalam penelitian ini, diantaranya :
• Bagi Penulis, diharapkan dapat menambah pemahaman tentang Spiritualitas dalam
Keluarga.
• Sebagai pijakan dan referensi bagi mahasiswa dalam pengembangan Ilmu Psikologi
Keluarga khususnya dalam Spiritualitas dalam Keluarga.

2
BAB II

ISI

A. Spiritualitas
1. Definisi Spiritualitas

Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia sadar
terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar inferioritasnya, mampu membimbing
tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari segala perbuatan untuk kemudian
dapat mengaktualisasikan dirinya. (dalam Mahpur&Habib,2006:35). Spiritualitas
diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yang relevan secara eksistensial untuk
manusia. Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga
fokus pada mengapa hidup berharga.Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih
kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik
atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai
tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan
kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (Hasan, 2006:288) .Carl Gustav Jung
mengatakan,“Dari sekian banyak pasien yang saya hadapi, tak satupun dari mereka yang
problem utamanya bukan karena pandangan religius, dengan kata lain mereka sakit
karena tidak ada rasa beragama dalam diri mereka, apalagi semuanya sembuh setelah
bertekuk lutut di hadapan agama.” (dalam Ihsan, 2012:9)
Ternyata, kemudian ilmu pengetahuan dan agama keduanya merupakan kunci
berharga untuk membuka pintu rumah berharga dunia untuk mengetahui Dia sebagai
Pencipta. (Piedmont, 1999:985) Menurut Fontana&Davic, definisi spiritual lebih sulit
dibandingkan mendefinisikan agama atau religion, dibanding dengan kata religion, para
psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spiritual mempunyai
beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau
menunjukan spirit tingkah laku. Kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai faktor
kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi, (dalam
Tamami,2011:19)
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin
“Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas.
Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya

3
memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang
bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup
dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan
kesejahteraan seseorang. (dalam Tamami, 2011:19). Spiritualitas kehidupan adalah inti
keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran
individu tentang asal, tujuan, dan nasib. (Hasan, 2006:294)
Religi adalah sebuah sistem teratur atas suatu kepercayaan yang berisikan penganut-
penganut dengan doktrin, praktisi, dan tradisi bersama. Menurut Wesley, dkk (2014),
religi diartikan sebagai sistem, praktisi, dan aturan teratur dan terlembagakan yang
dimiliki oleh kaum agama tertentu. Spiritualitas berkaitan dengan religi karena
spiritualitas merupakan jantung dan jiwa dari religi. Spiritualitas dikatakan jantung dan
jiwa karena komunikasi dari hal spiritual termanifestasi sebagai pengalaman atau
perasaan yang dirasakan di hati dan jiwa seseorang. Hal ini dapat dirasakan lewat
penanaman aktif akan nilai kemanusiaan dan keyakinan pribadi. Oleh karena itu, hal
spiritual juga dapat dirasakan oleh orang-orang yang tidak bereligi.
Di sisi lain, istilah sakral juga digunakan pada beberapa literatur untuk
menggambarkan unsur transendental yang dirasakan manusia. Hanya saja, sakral ini
mengarah pada pengalaman manusia yang dianggap menakjubkan sehingga mengubah
pengalaman yang duniawi dan biasa menjadi hal yang kudus dan suci. Beberapa bahasan
sacral tidak selalu memiliki unsur spiritual ataupun religi. Istilah ini digunakan untuk
menggambarkan hal yang abstrak dan luas untuk berbagai macam kultur dan denominasi.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa ketiga istilah di atas memiliki kerterkaitan
tapi juga tidak dapat disamakan. Ketiganya mencoba menjelaskan tentang pengalaman
manusia dengan hal yang transenden dengan cara dan lingkup yang berbeda. Dalam hal
ini, spiritualitas memiliki lingkup yang lebih luas daripada religi tetapi lebih sempit
daripada sakral.

2. Aspek-Aspek Spiritualitas

Piedmont (2001:7) mengembangkan sebuah konsep spiritualitas yang


disebutnya Spiritual Transendence. Yaitu kemampuan individu untuk berada di luar
pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan dari
perspektif yang lebih luas dan objektif. Perspektif transendensi tersebut merupakan
suatu perspektif dimana seseorang melihat satu kesatuan fundamental yang

4
mendasari beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep ini terdiri atas tiga
aspek, yaitu:

a. Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira dan


bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transeden.
b. Universality (universalitas), yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan kehidupan
alam semesta (nature of life) dengan dirinya.
c. Connectedness (keterkaitan), yaitu sebuah keyakinan bahwa seseorang
merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang melampaui
generasi dan kelompok tertentu.

Dari konsep di atas, dalam literatur sebelumnya, Piedmont (1999:989) memaparkan


secara gamblang terkait ketiga komponen tersebut, terdiri atas :
1) A sense of connectedness menggambarkan suatu keyakinan atas salah satu
bagian terbesar kontribusi kehidupan manusia sangat diperlukan dalam
menciptakan kehidupan demi kelanjutan keharmonisan.
2) Universality, menggambarkan suatu keyakinan atas kesatuan alam dalam
kehidupan.
3) Prayer fulfillment menggambarkan suatu perasaan gembira dan kesukaan atas
hasil dari pertemuan manusia dengan realitas transenden.

Kedua konsep Piedmont di atas yang memaparkan aspek spiritualitas yang terdiri
dari tiga aspek, yang termanifestasi melalui suatu alat ukur spiritualitas yang
dikembangkan Piedmont (1999:985-986) yaitu Spiritual Transcendence Scale (STS)
memiliki beberapa indikator dan deskripsi perilaku spiritual, yaitu:

a. Pengamalan ibadah, sebuah pengalaman perasaan berbahagia dan bersukacita


serta keterlibatan diri yang dialami prayer. Prayer memiliki rasa kekuatan
pribadi. Prayer mengambil manfaat atas ibadah yang dilakukan.
b. Universalitas, suatu keyakinan terhadap kesatuan dan tujuan hidup, sebuah
perasaan bahwa kehidupan saling berhubungan dan hasrat berbagi
tanggungjawab pada makhluk ciptaan lainnya.
c. Keterkaitan, suatu hasrat tanggungjawab pribadi terhadap yang lain yang
meliputi hubungan vertikal, komitmen antar generasi, dan hubungan
horizontal serta komitmen terhadap kelompoknya.

Segi ketiga dimensi spiritualitas tersebut berasal dari dua sumber, pertama,
pemahaman penulis terkait spiritualitas yang merupakan representasi atas agama
yang beragam dan pembacaan karakteristik psikologis dalam area itu. Kedua, penulis
mengumpulkan kelompok fokus terdiri atas pelajar/cendekiawan agama dari tradisi
bermacam-macam, termasuk kelompok Kristen, Yahudi, Buddha dan Hindu.
(Piedmont, 1999:989).
Aspek di atas senada dengan Elkins, dkk (dalam Adami, 2006:33) menjelaskan
spiritualitas sebagai bentuk multidimensi yang dibangun dari Sembilan aspek utama,
yaitu:

a. Dimensi transendental (transcendent dimension), yakni meyakini secara lebih


dalam dari apa yang dilihat dan dirasakan. Hal ini mungkin atau mungkin

5
juga tidak terkait kepercayaan kepada Tuhan, serta meyakini bahwa keinginan
diri sendiri ditentukan melalui hubungan harmonis dengan dimensi ini.
b. Makna dan tujuan dalam hidup (meaning and purpose in life), yaknisetiap
orang memiliki tujuan hidup yang muncul dari sebuah proses pencarian
makna secara terus menerus.
c. Misi dalam hidup (mission of life), yakni memiliki rasa tanggungjawab
terhadap hidup dengan memahami bahwa eksistensi dirinya terdiri dari
beragam kewajiban yang harus dijalani.
d. Kesucian dalam hidup (sacredness of life), yakni meyakini bahwa semua
kehidupan dan semua hal di dalamnya adalah suci.
e. Nilai-nilai kebendaan (material values), yakni menyadari bahwa kepuasan
dan kebahagiaan tertinggi berasal dari nilai-nilai spiritual, bukan berasal dari
hal-hal yang bersifat kebendaan.
f. Altruism (altruism) yakni meyakini keadilan sosial, dan menyadari bahwa
tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa adanya interaksi sosial dengan
orang lain.
g. Idealisme (idealism), yaitu menghormati potensi-potensi positif dalam semua
aspek kehidupan seseorang.
h. Kesadaran akan kemampuan tinggi untuk berempati (awareness of high
emphatic capacity), yakni kesadaran yang mendalam untuk mengambil
makna dari rasa sakit, penderitaan, serta kematian, bahwa hidup itu bernilai.
i. Manfaat spiritualitas (fruits of spirituality), yakni nilai-nilai spiritualitas bisa
diwujudkan dalam hubungan dengan diri sendiri, oranglain, dan alam.

Smith (1994) merangkum sembilan aspek spiritualitas yang diungkapkan oleh Elkins,
dkk. tersebut menjadi empat aspek sebagaimana berikut:

1) Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa memiliki
misi dalam hidup.
2) Memiliki sebuah komitmen aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap
aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-nilai spiritual
menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-nilai material,
serta spiritualitas memiliki hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri,
dan semua orang.
3) Menyadari akan keterkaitan dan tersentuk oleh penderitaan orang lain.
4) Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transedensi adalah
menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam hidup
adalah suci.

Menurut Piedmont (1999:989), ketiga aspek atau dimensi transedensi spiritual


telah dievaluasi terutama dalam penelitiannya terdahulu, dan terdapat perkiraan
bidang itu. Bagaimanapun juga, ada beberapa segi lain yang butuh dieksplorasi yang
terdiri atas :

a. Tolerance of paradoxes, yakni kemampuan untuk hidup dengan tidak


menetap dan berlawanan dengan kehidupan sendiri, berpikir hal-hal secara
terminologi “both-and” daripada “either-or”.
b. Nonjudgementality, yakni sebuah kemampuan untuk menerima hidup dan
lainnya dalam masanya sendiri, menghindari membuat nilai keputusan,
sensitifitas terhadap kebutuhan dan kesusahan hidup lainnya.

6
c. Existentiality, yakni sebuah hasrat hidup sesaat dan mencakup pengalaman-
pengalaman bahwa kehidupan menghadapi kita dengan sebuah kesempatan
tumbuh dan bahagia.
d. Gratefulness, yakni sebuah rasa bawaan agar hebat dan bersyukur atas semua
rejeki atau anugrah dan keutamaan langka dalam kehidupan.

Spiritualitas menggambarkan bidang terorganisir bertingkat atas fungsi


psikologis. Pada tingkat lebih global memberikan indeks keseluruhan dari tingkat
individu yang berkomitmen pada realita yang dapat diraba, dan derajat pengalaman
dukungan emosi selanjutnya. Sebuah analisis beberapa segi mengijinkan untuk
mengevaluasi lebh bagaimana individu bernegosiasi pada pencarian atau pemaknaan
dirinya sendiri. (Piedmont, 1997:989)
Pendapat di atas senada dengan pendapat Kozier (2004) mengungkapkan bahwa
dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika
sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual
juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul di luar kekuatan manusia.

Menurut Hawari (2002), spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu


dimensi eksistensi dan dimensi agama, dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan
arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang
dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Spiritualitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi
vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntuk
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang
dengan diri sendiri, dengan oranglain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan
yang terus menerus antara dua dimensi tersebut.

Menurut Holt, dkk (dalam Adami, 2006:31), sedikitnya ada dua bentuk dimensi dari
spiritualitas, yaitu:
1) Dimensi keimanan (the beliefs dimension) yang melibatkan keyakinan
spiritual dari aktifitas yang tak kasat mata. Misalnya, merasakan hubungan
yang dekat dengan Tuhan.
2) Dimensi perilaku atau amal (the behavioral dimension) yang dicirikan dengan
aktifitas-aktifitas spiritual yang bisa diamati serta melibatkan materi-materi
religius atau menghadiri peribadatan agama.

3. Faktor yang Berhubungan dengan Spiritualitas


Spiritualitas adalah komponen prediksi penting dalam jenis hasil psikososial
positif. Kecenderungan-kecenderungan kesejahteraan emosi, kematangan psikologis,
gaya interpersonal, dan altruistik semuanya berhubungan signifikan pada satu
orientasi spiritual. Penemuan tersebut secara konsisten dengan literatur besar
mengumpulkan pengaruh spiritualitas yang mudah pada kesehatan mental.
Spiritualitas membuat kontribusi langka pada pemahaman kita terhadap akibat atau
hasil. (Piedmont, 2007:103)
Dyson dalam Young (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan dengan
spiritualitas, yaitu:
a. Diri sendiri
Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi
atau penyelidikan spiritualitas

7
b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri.
Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah
lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawai.
c. Tuhan
Pemahaman tentang tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa
ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami
sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atauk hakikat hidup. Kodrat
Tuhan mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna
yang berbeda bagi satu orang dengan oranglain. Manusia mengalami Tuhan
dalam banyak cara seperti dalam suatu hubungan, alam, music seni, dan hewa
peliharaan.

Howard (2002) menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan


spiritualitas, yaitu lingkungan. Young (2007) mengartikan bahwa lingkungan
adalah segala sesuatu yang berada di sekitar seseorang.

Piedmont memiliki konsep pengukuran Spiritualitas yang disebut dengan


Spiritual Transendence Scale (STS), yang mana aitem-aitem didalamnya
disesuaikan atau digeneralisir sesuai dengan tradisi keagamaan yang ada di
dunia ini, sehingga dapat diterapkan dimanapun. Pengukuran spiritualitas
tersebut dikembangkan melalui landasan kepribadian, dan pemahaman
Piedmont spiritualitas bagian dari motivasi intrinsic individu dalam
memaknai kehidupan, terutama kehidupan setelah mati.

Spiritualitas dapat diukur dengan mengukur seberapa sukses individu


dalam pencarian terhadap sesuatu yang bermakna degan menggunakan
kriteria yang berorientasi pada spiritualitas seperti kebahagiaan spiritual
(spiritual well-being). Spiritualitas dapat juga diukur melalui kesehatan
mental, fisik dan kehidupan sosial yang dapat diamati. (Rosito, 2010:34)

Spiritualitas yang matang akan mengantarkan seseorang bisa


menempatkan diri pada tempat yang sesuai atau pas dan melakukan apa yang
seharusnya dilakukan, serta mampu menemukan hal-hal yang ajaib. (Aman,
2013:25)

B. Esensi Spiritualitas dalam Keluarga


1. Definisi Spiritualitas
Spiritualitas adalah pengalaman pribadi individu dengan hal yang trasenden, hal
yang di luar jangkauan manusia, yang membantunya memahami motivasi dan
makna hidup. Spiritualitas inilah yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pasang-
surut perjalanan keluarga. Dinamika dan spiritualitas keluarga akan mempengaruhi
nilai penting yang dimiliki oleh anggota keluarga sebagai kelompok maupun
individu (Walsh, 2012). Keluarga yang menanamkan kuat unsur spiritualitas di
dalamnya menunjukan keberhasilan dalam membentuk keluarga. Ketika anggota
keluarga membawa unsur spiritualitas ini, mereka secara tidak langsung menyiapkan
ruang untuk kelapangan hati, keterbukaan dan penerimaan sehingga nilai penting
bersama dapat diterapkan pada masing-masing individu. Dengan demikian, dapat

8
disimpulkan bahwa rasa berserah kepada hal transendental menjadi unsur pokok dari
spiritualitas dalam keluarga.

C. Peran Spiritualitas dalam Keluarga

Menurut Seligman (2011), Authentic Happiness atau Kebahagiaan otentik memiliki


arti yaitu kebahagiaan dapat dianalisis menjadi tiga elemen yakni emosi positif,
keterlibatan, serta makna. Ketiganya dianggap lebih baik dalam mendefinisikan
kebahagiaan secara terukur :
1) Emosi positif yaitu hal-hal yang kita rasakan. Sebagai contoh kesenangan,
kenyamanan, kehangatan dan lainnya.
2) Keterlibatan merupakan hal yang berbicara mengenai aliran (perasaan yang
dirasakan), seperti saat kita mendengarkan musik dan hilangnya kesadaran diri
selama aktivitas tersebut. Keterlibatan berbeda dengan emosi positif karena hal
ini lebih berkaitan dengan suatu objek.
3) Elemen akhir dari kebahagiaan yaitu makna. Dengan menemukan makna dalam
kehidupan, dapat menjadi faktor penentu dari kesejahteraan psikologis. Dengan
memiliki spiritualitas yang baik, akan membuat individu menjadi lebih dekat
pada Tuhan Yang Maha Esa sehingga menemukan hikmah (dalam bahasa
psikologi yaitu makna), sehingga individu dapat menikmati kebahagiaan dengan
menemukan hikmah dibalik setiap kehidupannya. Frankl menjelaskan bahwa
pengalaman pribadi akan membawa kita untuk menemukan jalan masing-
masing untuk menemukan suatu makna (Frankl dalam Boeree, 2010).
Hal ini juga didukung oleh fungsi spiritualitas yang berperan sebagai sumber
dukungan dan kekuatan bagi individu. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa
spiritualitas dapat menjadi sumber yang kuat untuk beradaptasi dengan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan, termasuk penyakit kronis. Praktik keagamaan juga
berperan sebagai sumber dukungan yang penting bagi pasien (Narayasanamy, dalam
Prasetyo 2016). Keyakinan terhadap suatu agama sangat membantu seseorang dalam
mencegah penyakit (termasuk kondisi depresi, penyalahgunaan obat serta penyakit fisik
lainnya), membantu dalam beradaptasi dengan kondisi sakit yang dialami dan dapat
membantu beradaptasi pada saat fase pemulihan dari sebuah penyakit (Levin, Larson, &
Puchalski, dalam Presetyo 2016).

D. Pembinaan Spiritualitas dalam Keluarga


1. Pembinaan Spiritualitas Pada Suami-Istri
Hasil penelitian mengatakan spiritualitas merupakan faktor penting dalam
menentukan kebahagiaan dalam keluarga dan perkawinan. Dalam suatu keluarga,
pasangan suami-istri / orang tua memiliki bertanggungjawab membesarkan anaknya.
Dalam menjalankan tanggungjawab tersebut, terdapat tugas-tugas yang harus dipenuhi.
Mendidik, melatih, dan membina anak menjadi tugas orang tua. Salah satunya

9
menginternalisasikan nilai nilai ketuhanan/ spiritualitas yang di hayati oleh orang tua
tersebut. Untuk melaksanakan tugas tugas tersebut, orang tua sendiri perlu
menginternalisasikan dan menghayati spiritualitas agar dalam menanamkan nilai-nilai
spiritualitas pada anak. Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam relasi suami istri
dalam berkeluarga, seperti:
1. Menumbuhkan sikap taat, tunduk, pasrah kepada Allah
2. Lapang dada, sabar, dann ikhlas melewati banyak permasalahan bersama
pasangan
3. Memberikan rasa syukur dan berpengharapan dalam berelasi.

2. Pembinaan Spiritualitas Pada Anak


• Fungsi Pembinaan Spiritualitas Pada Anak
Keluarga adalah lingkungan terdekat dan merupakan pengalaman
pertama bagi anak dalam mencari cara pandang mengenai kehidupan.
Oleh karena itu, peran orang tua sangatlah penting dalam perkembangan
spiritual anak. Spiritualitas bukan hanya terkait dengan agama dan
Tuhan, tetapi lebih terkait dengan berperilaku di kehidupan sehari-hari
serta diri sendiri. Anak berproses, belajar, dan berkembang bukan hanya
saat diajari oleh orangtuanya, namun juga mencontoh perilaku yang
ditunjukan oleh orangtuanya. Lalu seperti yang telah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya, spiritualitas juga termasuk kedalam kecerdasan
bersamaan dengan kecerdasan intelegensi (Intelligence Quotient/IQ) dan
kecerdasan emosional (Emotional Quotient/EQ). Orang yang memiliki IQ
yang baik mungkin dapat memecahkan masalah duniawi, namun belum
tentu dapat merasakan ketenangan hari serta kebahagiaan. Kecerdasan
spiritual (Spiritual Quotient/SQ), menjadi hal yang penting untuk
dikembangkan agar manusia dapat berperilaku baik.
• Pengembangan Spiritualitas Pada Anak
Ada banyak cara dalam membina anak untuk mengembangkan
spiritualitasnya. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Zaein,
Afifulloh, dan Ertanti yang berjudul Peran Orang Tua dalam Membina
Kecerdasan Spiritual Anak pada Generasi Milenial, disebutkan strategi
untuk membina spiritualitas anak sebagai berikut:
a) Menumbuhkan rasa cinta kepada Tuhan
Strategi ini dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti
membiasakan anak membaca kitab suci, rajin beribadah serta
mengikuti kegiatan keagamaan lainnya.

10
b) Menceritakan kisah-kisah teladan dari tokoh-tokoh spiritual sesuai
agama masing-masing
Dengan menceritakan kisah-kisah teladan dari tokoh tokoh spiritual,
diharapkan anak dapat mengambil sisi positif yang diperlihatkan oleh tokoh-
tokoh spiritual tersebut.
c) Menumbuhkan perilaku perilaku prososial pada anak
Hal ini lakukan agar dapat memotivasi anak untuk bersikap baik
kepada orang-orang disekitar seperti bergotong royong.
d) Menjadi teladan bagi anak-anak mereka
Cara ini muncul karena peribahasa “like father, like son” atau dalam
peribahasa indonesia adalah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Orang tua harus dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya
sebab mereka cara mereka berperilaku merupakan cerminan
bagaimana orang tua mereka berperilaku di kehidupan sehari-hari.
e) Membatasi pergaulan anak
Dalam hal ini, orang tua membatasi pergaulan anak terutama mereka
yang sudah remaja agar terhindar dari pergaulan bebas.
f) Menumbuhkan perilaku baik, disiplin, serta bertanggung jawab
Sifat bertanggung jawab dan disiplin sangat penting dikembangkan anak
sejak usia dini. Jika anak telah diajarkan disiplin dan bertanggung jawab
sejak dini maka anak akan terbiasa dan terbawa secara alami hingga saat
dewasa tanpa adanya pencitraan belaka.
g) Mengajarkan sikap sopan santun
Sopan dan santun merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sosial
di Indonesia. Tetapi, lama kelamaan, sopan santun pada anak mulai
memudar pada generasi milenial. Alangkah baiknya anak diajarkan sopan
santun agar mereka dapat menghormati orang yang lebih tua serta
berperilaku baik.
• Hambatan
Dalam membina anak tentunya terdapat hambatan yang harus dihadapi oleh
orang tua. Dalam penelitian yang sama dijelaskan jika hambatan yang dialami
oleh para orang tua adalah saat menjadi teladan bagi anak-anak mereka, para
orang tua kesulitan untuk mencontohkan perilaku baik di depan anak anaknya.
Lalu hal lain yang menjadi hambatan dalam membina spiritualitas anak adalah

11
orang tua cenderung bergantung pada instansi atau lembaga pendidikan anak,
hal ini dikarenakan orang tua seringkali sibuk bekerja.

Menurut Miller (2012), terdapat dua faktor dalam pembinaan spiritualitas pada
anak, yaitu pandangan orang tua serta pengaruh saudara serta lingkungan sekitar
anak. Jika orang tua berpandangan jika spiritualitas tidaklah terlalu penting, anak
pun akan terpengaruhi pemahaman tersebut sehingga hal ini akan menghambat
perkembangan spiritualitas anak. Lalu, pandangan anak juga dapat terpengaruhi
oleh lingkungan sekitar seperti saudara, jika lingkungan sanganak tidak
memberikan contoh yang baik untuk berperilaku, maka anak akan terhambat
perkembangan spiritualitasnya.

E. Spiritualitas dalam Perspektif Islam


Dalam terminologi Islam, konsep spiritualitas berhubungan langsung dengan Al
Qur'an dan Sunnah Nabi. Nasr (1994) menyatakan bahwa ayat-ayat Al Qur’an dan
perilaku Nabi Muhammad mengandung praktik-praktik serta makna-makna spiritual. Al
Qur'an maupun Sunnah Nabi mengajarkan beragam cara untuk meraih kehidupan
spiritual yang tertinggi. Dalam sejarah Islam, aspek tradisi ini dikenal sebagai (jalan
menuju Tuhan), yang sekarang lebih dikenal dengan tasawuf. Tasawuf bertujuan untuk
mempertahankan nilai-nilai Al Qur'an dan Sunnah Nabi melalui sikap hidup yang baik.
Hal ini menyangkut kesucian batin dari segala aspek, menjaga kejujuran, ketulusan,
kesungguhan, kesederhanaan,kepedulian, serta kemampuan untuk mencari dan
memahami substansi islam dalam maknanya yang paling dalam. (Adami, 2006:30)
Spiritualitas ialah kesadaran ruhani untuk berhubungan dengan kekuatan besar,
merasakan nikmatnya ibadah (mistik), menemukan nilai- nilai keabadian, menemukan
makna hidup dan keindahan, membangun keharmonisan dan keselarasan dengan semesta
alam, menangkap sinyal dan pesan di balik fakta, menemukan pemahaman yang
menyeluruh, dan berhubungan dengan hal-hal yang gaib. (Aman, 2013:24)
Menurut Baharuddin (2004:135-136), dalam konsep psikologi islami ada istilah
Al-Ruh, sebagai dimensi spiritual psikis manusia. Dimensi dimaksudkan adalah sisi
psikis yang memiliki kadar dan nilai tertentu dalam system „organisasi jiwa manusia‟.
Dimensi spiritual dimaksudkan adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah
(ketuhanan) dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi- dimensi lainnya
untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan daam dirinya. Pemilikan sifat-sifat Tuhan bermakna
memiliki potensi-potensi luhur batin. Potensi-potensi itu melekat pada dimensi-dimensi
psikis manusia dan memerlukan aktualisasi.
Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan ini adalah
dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya yang dimiliki oleh
sumbernya, yaitu Allah. Dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal dalam diri
manusia yang akan mewujud secara actual sebagai khalifah Allah. (Baharuddin,
2004:136)
Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna yang dciptakan untuk menjadi
khalifah Allah di muka bumi dengan tujuan semata-mata beribadah kepada-Nya.

● Spiritualitas Anak dalam Keluarga

12
Dalam lingkungan keluarga upaya untuk menumbuhkan spiritualitas, orang
tua mempunyai peran yang sangat kuat. Ketaqwaan kedua orang tua kepada Allah
Swt sangat diperlukan, karena dari keluargalah bermulanya sebuah pendidikan.
Orang tua yang menyadari peran serta fungsinya akan melahirkan generasi cerdas
dan bertaqwa. Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak, sumber kehidupan,
pelindung dan juga merupakan sumber kebahagiaan. Spiritualitas ini sangat penting
ditanamkan kepada anak, mulai sejak anak masih kanak-kanak, bahkan sejak dalam
kandungan. Disinilah letak pentingnya orang tua terutama ibu dalam membina
spiritualitas kepada anak. Keluarga memiliki andil yang sangat penting dalam
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan
pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan beragama dan bermasyarakat, merupakan
faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota
masyarakat yang sehat. Orang tua merupakan orang yang terdekat dengan anak, di
mana sikap dan tingkah laku orang tua akan menjadi panutan bagi anak.

Dalam membina spiritualitas kepada anak, diperlukan cara-cara yang baik


dan efektif yaitu orang tua memberikan contoh teladan yang baik, memberikan kasih
sayang dan perhatian penuh serta pengawasan terhadap apa-apa yang dilakukan oleh
anak dalam perilakunya sehari-hari. Sebaliknya kurangnya perhatian orang tua akan
dapat menghambat spiritualitas pada anak. Bawalah keluarga untuk selalu dalam
ketaqwaan, biasakan anak- anak selalu bersama Al-Qur’an, ceritakan kisah-kisah
Islami, libatkan dalam kegiatan keagamaan. Keterlibatan orang tua dalam pembinaan
pendidikan anak di keluarga sangat diperlukan. Untuk menyiapkan generasi yang
cerdas, bukan hanya intelekstual tapi juga cerdas secara spiritual, maka sedini
mungkin orang tua melakukan pembinaan-pembinaan spiritualitas tersebut di
antaranya:

1. Jadilah orang tua “gembala spiritual” yang baik.


2. Menetapkan akidah tauhid sebagai pandangan manusia yang paling tinggi
terhadap Allah Swt, sifat-sifat-Nya, Asma-Nya dan mengatur kehidupan individu
dan masyarakat muslim.
3. Penanaman nilai-nilai Islam dalam arti pandangan hidup yang kelak mewarnai
perkembangan jasmani, rohani dan akalnya. Seperti: berlaku disiplin, buang
sampah pada tempatnya, belajar antri, belajar berbagi, penyayang, tidak berkata
kasar/jorok, bertanggung jawab, berkata jujur, dan sebagainya. Ini semua dimulai
dari percontohan atau keteladanan yang dilakukan oleh orang tua (ayah dan
bunda).
4. Penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai hidup dan
pengetahuan di sekolah dan lingkungan masayarakat.
5. Merealisasikan keseimbangan antara materi dan ruh, antara dua kehidupan dunia
dan akhirat.
6. Membentuk seorang muslim yang mencintai pekerjaan yang mulia dalam segala
aspek.
7. Bantulah anak untuk merumuskan “misi” hidupnya.
Islam dengan ajaran-ajarannya yang lurus, telah memerintahkan kepada setiap
orang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, dalam
hal ini orangtua, agar memiliki akhlak luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan
kasih sayang, sebagaimana dalam firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nahl;90 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat…”. Demikian halnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an

13
surat Al Baqarah: 83, yang berbunyi “...serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada sesama manusia”. (Ulwan, 1981). Dengan demikian menurut Ulwan, anak
akan tumbuh secara istiqamah, terdidik untuk berani dan beridiri sendiri, kemudian
merasa bahwa mereka memiliki harga diri, penghormatan dan kemuliaan.
Selanjutnya dikatakan, jika orangtua memberikan perlakuan kasar dan hukuman
yang zhalim, menunjukkan bahwa ia telah berbuat dosa kepada anak-anaknya,
bahkan mereka akan benar-benar melihat anaknya yang menyimpang dan durhaka.
Hal ini disebabkan, mereka telah menyimpan benih-benih penyimpangan dan
kedurhakaan itu dalam diri anak, sejak mereka kecil.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa, sejatinya pengetahuan dan pemahaman
seseorang akan nilai dan ajaran agama, serta praktik ibadah yang sehari-hari
dilakukan, akan mengarahkan dirinya untuk bersikap tepat dalam mendidik anak-
anaknya. Orangtua akan menghindari maltritmen dalam disiplin pengasuhan, yang
dapat memunculkan berbagai permasalahan perilaku maupun psikologis di kemudian
hari. Fenomena maltritmen dalam pengasuhan, menggambarkan bahwa individu
belum memiliki arah tujuan, yang secara terus-menerus meningkatkan kebijaksanaan
dan kekuatan berkehendak dari seseorang, guna mencapai hubungan yang lebih
dekat dengan ketuhanan dan alam semesta, yang menjadi salah satu aspek dari
spiritualitas.

14
KASUS ATAU JURNAL TERKAIT MATERI

Spiritualitas dalam Parental Discipline

Ilustrasi Kasus

Salah seorang anak berusia delapan tahun yang menjadi klien peneliti, dirujuk oleh
tantenya karena berperilaku melawan dan kasar terhadap neneknya. anak tersebut dititipkan
orang tuanya kepada neneknya untuk disekolahkan, setelah sebelumnya keluar dari pondok
pesantren. saat bersama dengan neneknya, tidak segan-segan ia mengancam neneknya dengan
gunting jika keinginannya tidak segera dipenuhi. saat bermain dengan sepupunya, ia
cenderung memaksa agar keinginannya diikuti. jika tidak, ia akan marah hingga mengamuk.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui bahwa ayah klien adalah seorang tokoh agama
yang berperan penting dalam masyarakatnya. dalam upaya mendidik anak, ia menerapkan
disiplin yang bersifat keras. Sisi positifnya adalah pada usianya yang masih anak-anak,
hafalam surat-surat dan bacaan Al-Qur'an, serta ketaatan dalam menjalankan ritual ibadah
tergolong tinggi. Namun, sisi negatifnya adalah klien mengalami problem perilaku dan
emosi.
Analisis Kasus

Dari hasil penelitian tentang “Spiritualitas dalam Parental Discipline” yang didapat
dari kedua responden dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya mereka menyadari
akan adanya kekuatan yang dapat menentukan keadaan seseorang. Mereka sudah berusaha
dalam mendidik anak, namun hasilnya tetap pasrahkan kepada Allah SWT. Kedua responden
berusaha melakukan upaya-upaya yang dapat mempermudah praktik disiplin dalam
pengasuhan anak seperti melalui berdo'a, karena mereka yakin bahwa dengan berdo'a akan
mendapatkan pertolongan dalam mengasuh dan mendidik anak.

Terkait tugas pengasuhan anak menjadi kewajiban mereka sebagai orang tua, yang
diamanatkan oleh Allah SWT, saat menjalankan tugas pengasuhan sebagai orangtua, mereka
menemukan kesulitan-kesulitan dalam praktik disiplin untuk mencapai tujuan yang

15
diharapkan, seperti respons anak perlu mendidik anak dengan yang tidak seperti harapan
yakni membantah atau melawan keinginan orangtua. Adapun tujuan pengasuhan bagi kedua
responden adalah agar anak-anak menjadi anak yang shalih dan mulia, berguna bagi nusa
bangsa dan agamanya, serta dapat menjadi anak yang membanggakan dan menjadi orang
yang sesuai harapan bagi kedua orangtuanya atau bahkan anak-anak mereka lebih baik dari
orang tuanya.
Dalam hal ini mereka menyadari bahwa hasil yang diinginkan dengan mendidik
anak dengan upaya-upaya yang telah mereka lakukan, belum tentu sesuai dengan apa yang
telah mereka upayakan. Pemahaman ini menunjukkan bahwa telah muncul kesadaran pada
kedua reponden mengenai aspek spiritual yang berkaitan dengan sesuatu yang tidak diketahui
atau adanya ketidakpastian dalam kehidupan.
Dalam praktik pengasuhan terhadap anak, kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam
praktik disiplin pengasuhan, menyebabkan kedua responden menggunakan cara yang keras,
seperti tidak membuka ruang kompromi dengan anak, atau melakukan kekerasan fisik
maupun verbal dalam mendidik anak dan berdampak anak menjadi takut, membangkang,
atau memperhatikan orang tua. Maka diperlukan pemahaman mengenai praktik pengasuhan
dan nilai spiritual dalam pengasuhan anak yang tepat agar tidak terjadi maltritmen dalam
pengasuhan, karena kedua responden pun menyadari ketidakefektifan praktik pengasuhan
pengasuhan yang bersifat keras, schingga berupaya mencari cara lain dalam disiplin
pengasuhan yang semakin positif serta menetapkan akidah tauhid sebagai pandangannya
sehingga menjadikan orang tua “gembala spiritual” yang baik.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh orangtua sebagai teladan kepada anak yang telah
kami padupadankan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaein, Afifulloh, dan Ertanti yang
berjudul Peran Orang Tua dalam Membina Kecerdasan Spiritual Anak pada Generasi
Milenial yaitu dengan menumbuhkan rasa cinta kepada tuhan, penanaman sikap maupun
nilai-nilai Islam dalam perkembangan jasmani, rohani dan akalnya, seperti berlaku disiplin,
pemurah, penyayang, tidak berkata kasar/jorok, bertanggung jawab, berkata jujur, dan
perilaku prososial lainnya. Orang tua juga dapat membantu merealisasikan keseimbangan
antara materi dan ruh, antara dua kehidupan dunia dan akhirat, misalnya terhadap pekerjaan
dalam segala aspek demi membantu anak untuk merumuskan “misi” hidupnya.

Lisnawati. (2016). Spiritualitas dalam Parental Discipline. Jurnal Psikologi Integratif. 4(1),
1-14.

16
KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK (STUDI KASUS PADA KELUARGA
BEDA AGAMA)

ILUSTRASI KASUS

Di sebuah desa yang berada di Kecamatan Gunung Anyar hiduplah sebuah keluarga
yang memiliki perbedaan keyakinan. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang
bernama Nia. Ayah Nia seorang nasrani dan ibu nya seorang muslim. Sejak kecil Nia sudah
dikenalkan oleh ayahnya ajaran tentang agama Kristen,oleh karena itu ia mengikuti agama
yang diyakini oleh ayahnya. Ibu nya juga memperkenalkan agama Islam kepada Nia, akan
tetapi Ayah nya yang dari awal ingin anak nya untuk beragama Kristen seperti dirinya.
Ketika Nia sudah beranjak dewasa dan sudah banyak bersosialisasi dengan teman-teman nya
di sekolah, ia memutuskan untuk berpindah keyakinan dan mengikuti keyakinan ibunya
menjadi seorang muslim. Nia memutuskan untuk menjadi seorang muslim karena lingkungan
pertemanannya di dominasi oleh seorang muslim. Dari teman-teman nya, Nia mendapatkan
pencerahan untuk menjadi seorang muslim. Awalnya terjadi kesalahpahaman tentang agama
apa yang diyakini oleh Nia. Hal itu terjadi karena ketika Nia memutuskan untuk berpindah
agama, dirinya tidak memberitahukan kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya sibuk
dengan pekerjaanya masing-masing, sehingga Nia tidak memiliki kesempatan untuk
berbicara kepada ayah dan ibu nya. Setelah menunggu beberapa minggu akhirnya ayah dan
ibu nya meluangkan waktu untuk membicarakan terkait agama apa yang ingin Nia pilih. Nia
menjelaskan bahwa dirinya sudah mantap untuk ingin masuk ke dalam agama Islam, setelah
itu terjadilah perdebatan diantara mereka bertiga. Lalu Nia menjelaskan bahwa dirinya sudah
dewasa dan berhak memilih sendiri terkait agama apa yang ingin ia yakini. Setelah Nia
berusaha untuk menjelaskan, perlahan kedua orang tua nya dapat mengerti dan membebaskan
Nia untuk memilih jalan kehidupannya sendiri.

ANALISIS KASUS

Dari hasil penelitian tentang “Komunikasi Orang Tua dan Anak (Studi Pada Keluarga
Beda Agama di Kec. Gunung Anyar), dapat diambil kesimpulan bahwa Komunikasi memiliki
peran yang sangat penting dalam setiap hubungan, salah satunya adalah hubungan keluarga.
Baik pada keluarga yang hidup dalam satu agama maupun yang hidup dengan berbeda
agama. Meski sulit menjaga keharmonisan, perbedaan keyakinan tidak memberikan dampak
yang begitu besar terhadap keharmonisan sebuah keluarga, jika saling menghargai keyakinan

17
masing-masing. Semakin sering komunikasi terjadi dalam sebuah keluarga, maka
keterbukaan di antara anggota keluarga. Karena gaya komunikasi yang diberikan oleh orang
tua kepada anak dapat memberikan pengaruh pada pola perkembangan pemikiran anak.
Selain itu penerapan pola pendidikan yang tidak sesuai, juga bisa beresiko fatal terhadap
perkembangan karakter anak. Maka akan berdampak pada sikap dan perilaku anak tidak
sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat.
Semua orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya, tidak terkecuali orang tua
yang berbeda agama. Segala bimbingan dan pendidikan diupayakan oleh orang tua agar
anaknya bisa meraih cita-cita dan hidup bahagia di masa depan. Orang tua juga memberikan
tauladan dan contoh menggunakan sikap yang ditunjukkan orang tua dengan harapan agar
anaknya dapat mengerti arti kehidupan dan dapat menjalani hidup bahagia tanpa banyak
hambatan. Untuk pendidikan agama, orang tua yang berbeda agama mengenalkan tentang
latar belakang agama agar anaknya dapat menentukan sendiri agama yang sesuai dengan
kebenaran yang dipercaya anaknya. Orang tua yang berbeda agama juga harus
memperhatikan ketentuan pasal 42 UU No. 23 Tahun2002 tentang perlindungan Anak
(“UUPA”) yang berbunyi :

1. Setiap anak mendapatkan perlindungan untuk beribadah menurut agamnya.


2. Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti
agama orang tuanya.

Perbedaan antara karakter suami dan istri dapat menimbulkan masalah dan
mempengaruhi komunikasi dikarenakan sikap antar karakter dari keduanya yang cenderung
berbeda. Selain itu banyak juga permasalahan yang muncul ketika orang tua lengah saat
memberikan pengawasan terhadap anak. Pengawasan yang memberikan kebebasan membuat
anak memiliki kebebasan untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginanya sedangkan
pengawasan yang terlalu ketat membuat anak mudah terpengaruh dengan lingkungan luar
karna rasa ingin tahu yang tinggi.

Dukungan yang diberikan orang tua kepada anak dapat membuat anak semakin
bersemangat dalam hidup dan memunculkan sikap terbuka terhadap orang tua. Pembicaraan
dari hati ke hati yang diterapkan oleh orang tua dalam mengatasi kenakalan anak, diharapkan
anak dapat lebih mengerti sehingga anak tidak ingin melakukan kenakalan lagi. Berpikir
positif dan orang tua memberikan pengertian kepada anak bahwa antara keduanya memiliki
kepentingan, sama-sama bernilai, berharga dan saling memerlukan. Di samping itu orang tua

18
juga tidak boleh memaksakan kehendak pribadi anak yang dapat menyebabkan tidak
nyamannya anak ketika akan menyampaikan sesuatu kepada orang tuanya.

ASMAAI, M. (2019). KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK ( STUDI KASUS PADA


KELUARGA BEDA AGAMA). journal.uin-alauddin, 201-215. VOL 20, No 2.
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tabligh/article/download/8152/7928

19
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan
makna hidup. Spiritual mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian
atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Piedmont (2001:7)
mengembangkan sebuah konsep spiritualitas yang disebut Spiritual Transendence, dimana
seseorang melihat satu kesatuan fundamental yang mendasari beragam kesimpulan akan alam
semesta. Spiritualitas merupakan pengalaman pribadi individu dengan hal yang trasenden,
hal yang di luar jangkauan manusia, yang membantunya memahami motivasi dan makna
hidup. Fungsi spiritualitas yaitu berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi
individu. Pengembangan spiritualitas dalam keluarga dapat dilakukan terhadap setiap anggota
keluarga mulai dari suami-istri hingga anak sesuai dengan perannya masing-masing. Dalam
terminologi Islam, konsep spiritualitas berhubungan langsung dengan Al Qur'an dan Sunnah
Nabi. Hal ini karena spiritualitas ialah kesadaran ruhani untuk berhubungan dengan kekuatan
besar, merasakan nikmatnya ibadah (mistik), menemukan nilai- nilai keabadian, menemukan
makna hidup dan keindahan.

Saran

Demikian makalah mengenai spiritualitas dalam keluarga yang telah dipaparkan


kelompok 9. Semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat kepada pembaca.
Tentunya penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan
serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik
dan saran kebaikan kedepannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, D. (2017). Hubungan Antara Spiritualitas Dan Stres Pada Mahasiswa Yang
Mengerjakan Skripsi. EL TARBAWI, 10(2). Arvia, A., Setiawan, J. L. (2020). Kepuasan
Pernikahan Pasangan Beda Etnis ditentukan ResolusiKonflik dan Intimasi Spiritual.Jurnal
Psikologi Teori dan Terapan, 11 (1), 17 – 31.
Boeree, C.G. (2010). Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama
Psikologi Dunia. Yogyakarta: Prismasophie.
Lubis, R. R. (2018). Optimalisasi kecerdasan spiritual anak. Al-Farih:Jurnal
Pendidikan dan keislaman. 1(1), 1-18.
Miller, L.J. (2012). The Oxford Handbook Of Psychology And Spirituality. Oxford:
Oxford University Press.
MUBAROK, A. L. H. (2019). PENGHAYATAN SPIRITUAL PARA PENARI SUFI
(Studi Fenomenologi Komunitas Serdadu Aswaja Di Kecamatan Panggul, Kabupaten
Trenggalek).
Prasetyo, A. (2016). ASPEK SPIRITUALITAS SEBAGAI ELEMEN PENTING
DALAM KESEHATAN. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, 9 (1), 18 - 24. Pustakasari, E. N. I.
(2014). Hubungan Spiritualitas dengan Resiliensi Survivor Remaja Pascabencana Erupsi
Gunung Kelud di Desa Pandansari Ngantang-Kabupaten Malang [disertasi]. Malang:
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Ramdani. (2015). Kontribusi Kecerdasan Spiritual dan DukunganKeluarga Terhadap
Kepuasan Hidup Lansia Serta Implikasinya Dalam Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Jurnal KOPASTA, 2 (2), 1 – 21.
Rifai, A. (2018). Peran Orang Tua dalam Membina Kecerdasan SPIRITUAL. Jurnal
Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 1(2), 257-291. DOI: 10.36670/alamin.v1i2.12
Seligman, M. (2011). A Visionary New Understanding Of Happiness And Well-
Being. Retrieved from
https://www.authentichappiness.sas.upenn.edu/Learn/Wellbeing.

Walsh, F. (2012). Normal Family Processes: Growing Diversity and Complexity.


New York: The Guilford Press.
Wesley, et all. (2012). Sacred Matters: Religion and Spirituality in Families. New
York: Taylor & Francis Group.

21
Zaein, F. Z., Afifulloh, M., & Ertanti, D.W. (2020). Peran orang tua dalam membina
kecerdasan spiritual anak pada generasi millenial. VICRATINA: Jurnal Pendidikan Islam. 5
(1), 34-39.

22
MAKALAH PSIKOLOGI KELUARGA

“PENANAMAN NILAI DALAM KELUARGA”

Disusun oleh:
Andriaty Puji Rahayu 15000120120003
Aqila Ula Faizah 15000120140334
Aulia Diva Firdana 15000120140308
Indhira Putri Utami 15000120140305
Isnani Putri Maulida 15000120140360
Rifqi Abhirama Prasetyo 15000120140361
Zahara Raihani Utami 15000120120045

Dosen pengampu:
Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya serta kemampuan kepada kami sehingga mampu menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Psikologi Keluarga yang berjudul “Penanaman Nilai dalam Keluarga”
dengan tepat waktu dan dapat kami susun dengan baik karena bantuan dari berbagai referensi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini serta kepada Ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si dan Agustin Erna
Fatmasari, S.Psi., M.A., selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Keluarga yang telah
membimbing dan memberikan tugas ini kepada kami untuk dapat memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Keluarga dengan sebaik-baiknya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan didalamnya.
Oleh karena itu, kritik dan saran membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk menyusun
makalah ini lebih baik kembali. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
memuat sebagian informasi yang diharapkan.

Semarang, 1 September 2021

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 1

1.3 Tujuan 1

BAB II 2

PEMBAHASAN 2

2.1 Harapan 2

2.2 Sosialisasi Nilai 3

2.3 Metode Sosialisasi 5

2.4 Pembelajaran Pendidikan Nilai dalam Keluarga 6

2.5 Kasus 8

2.6 Perspektif Orang Tua 9

2.7 Perspektif Anak 10

BAB III 12

KESIMPULAN 12

DAFTAR PUSTAKA 13

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lembaga sosialisasi pertama dan utama bagi anak. Dalam
keluarga, anak belajar banyak hal, maka dari itu peran orang tua sangat penting di sini.
Pengenalan lingkungan sekitar pertama kali dilakukan oleh orang tua, lalu anak akan
mengenal lingkungan teman sebayanya sampai mengenal aspek agama, hukum, dan
budaya yang ada di lingkungan tempat dia tinggal. Selain mengajari hal-hal yang
bersifat sosial, orang tua juga membantu anak belajar hal- hal motorik seperti menulis,
berjalan atau membaca.
Penanaman nilai dalam keluarga menjadi hal yang penting karena dalam keluarga
lah seorang individu terbentuk. Berbagai hal positif berusaha ditanamkan oleh keluarga
untuk seorang anak contohnya adalah nilai kesopanan pada masyarakat Jawa yang
diajarkan dengan menggunakan unggah-ungguh basa. Selain itu, Indonesia merupakan
negara dengan tingkat spritualitaspiritualitas yang tinggi, dalam hal ini pasti orang tua
akan mengajarkan aspek agama yang akan dianut oleh anak agar selalu taat beribadah.
Dengan demikian, penanaman nilai dalam keluarga tidak bisa dianggap mudah
oleh orang tua karena apa yang diajarkan orang tua akan menjadi bekal yang sangat
penting untuk kehidupan anak yang baik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana harapan dan peran orang tua yang diberikan pada anak?
2. Apa saja nilai-nilai yang disosialisasikan orang tua kepada anak?
3. Metode apa yang digunakan orang tua dalam melakukan sosialisasi pada anak?
4. Bagaimana pembelajaran tentang pendidikan nilai dalam keluarga?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui harapan serta peran yang orang tua berikan pada anak
2. Untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang perlu disosialisasikan pada anak
3. Untuk mengetahui metode apa yang digunakan orang tua dalam melakukan sosialisasi
pada anak
4. Untuk mengetahui pembelajaran tentang pendidikan nilai yang perlu disosialisasikan
keluarga pada anaknya
1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Harapan
1. Harapan Orang Tua pada Anak
Harapan didefinisikan sebagai suatu pola pikir mengenai ekspektasi dan
kemampuan seseorang dalam mencapai suatu tujuan yang penting (Synder dalam
Husnar, Saniah, dan Nashori., 2017). Harapan tidak hanya hadir dari diri sendiri,
tetapi harapan juga hadir dari lingkungan sekitar, dan harapan anak biasanya datang
dari orang tua mereka. Secara umum, harapan orang tua didefinisikan sebagai
keyakinan dan penilaian orang tua terkait dengan pencapaian seorang anak baik dari
nilai akademis, kelanjutan studi, dan lainnya (Ma et al., 2019).
Harapan yang diberikan kepada anak dari orang tua biasanya bervariasi dalam
setiap keluarga, hal ini biasanya dipengaruhi oleh latar belakang keluarga,
lingkungan keluarga, serta kriteria orang tua seperti kriteria kesuksesan dan kriteria
anak dalam landasan agama juga merupakan faktor yang membedakan harapan
orang tua kepada anak yang ada di setiap keluarga. Orang tua yang memandang
kehidupannya masih kurang layak, akan sangat mengharapkan anaknya untuk
memiliki kehidupan yang jauh lebih layak dari orang tuanya.
Meskipun harapan orang tua kepada anaknya dalam setiap keluarga
bervariasi, terdapat dua harapan utama sebagian besar orang tua kepada anak
mereka, pertama mereka mengharapkan anaknya menjadi pribadi saleh yang hidup
dengan berpegang teguh pada ajaran agama dan kedua mereka mengharapkan
anaknya dapat meraih kesuksesan terutama dalam karir sehingga dapat memiliki
hidup yang lebih layak dan lebih baik daripada orang tuanya (Lestari,2016).

2. Peran Orang Tua dan Harapan Anak


Orang tua mengambil peran untuk mendukung anak dalam mewujudkan
harapan yang diberikan kepada anak-anaknya melalui pola pengasuhan. Cara yang
digunakan oleh orang tua berkaitan dengan pandangan orang tua mengenai tugas-
tugas yang harus dijalankan dalam mengasuh anak-anaknya. Terdapat orang tua
yang berperan dalam memberikan masukan sebagai pertimbangan anak dalam
memutuskan pilihan yang diinginkan dan mempertanggungjawabkan pilihan
tersebut. Namun, terdapat orang tua yang mengontrol penuh terhadap pilihan anak-
2
anaknya dan tanpa disadari anak menjadi kurang memiliki kesempatan dalam
memutuskan suatu pilihan untuk diri sendiri (Lestari, 2016).
Setiap orang tua memiliki cara yang berbeda dalam menjalankan perannya
dalam mendukung anak-anak mereka. Meskipun begitu, peran orang tua sejatinya
adalah membantu mewujudkan harapan anak-anaknya dengan cara berusaha
memberikan fasilitas terbaik, memberikan tambahan wawasan, mendidik anak
sesuai dengan moral dan agama, serta memberikan motivasi dan masukan agar anak
dapat meraih harapan yang diberikan orang tuanya sehingga anak mampu
mendapatkan kehidupan yang layak di masa depan (Lestari, 2016).

2.2 Sosialisasi Nilai


a. Nilai-nilai yang ditanamkan pada anak
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang berperan dalam
pembentukan karakter anak. Keluarga dengan demikian merupakan lembaga
pendidikan pertama, sedangkan orang tua berperan sebagai guru pertama yang
mengajarkan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Nilai-nilai yang disosialisasikan pada anak mencerminkan harapan
orang tua. Nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma yang disosialisasikan
orang tua akan membentuk perilaku dan karakter anak.
Kementerian Pendidikan Nasional merumuskan delapan belas nilai karakter
yang harus ditanamkan pada anak bangsa melalui pendidikan formal serta
pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat. Pertama nilai religiusitas
disosialisasikan agar anak memiliki sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianut, toleran terhadap agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain. Kedua sikap jujur, yaitu kesesuaian perilaku dan ucapan
dengan kenyataan yang terjadi. Ketiga anak diharapkan memiliki rasa toleransi
yang ditunjukkan dengan menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengannya. Keempat sosialisasi nilai
disiplin agar anak mampu menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan. Kelima kerja keras, yaitu tindakan yang menunjukkan
upaya sungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu bahkan ketika mengalami
hambatan.
Yang keenam yaitu sosialisasi nilai kreatif sehingga anak dapat tumbuh
menjadi seseorang yang penuh akan inovasi. Ketujuh, anak diharapkan tumbuh
3
menjadi individu yang mandiri dan tidak berkegantungan pada orang lain. Nilai
yang kedelapan yaitu nilai demokratis sehingga terbentuk perilaku anak yang.
Kesembilan yaitu nilai rasa ingin tahu, dimana anak diharapkan tumbuh menjadi
individu yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
mengenai sesuatu yang dipelajarinya. Yang kesepuluh semangat kebangsaan, yaitu
cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan diri dan kelompok. Nilai yang kesebelas adalah cinta
tanah air. Nilai kesepuluh dan kesebelas disosialisasikan dengan harapan agar anak
tumbuh menjadi warga negara yang cinta dan bangga pada negaranya. Nilai yang
kedua belas adalah menghargai prestasi, sehingga mendorong anak agar memiliki
keinginan untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
Nilai yang ketigabelas yaitu bersahabat/komunikatif, sehingga mendorong
anak menjadi individu yang ramah, supel, pandai bergaul dan bekerja sama dengan
orang lain. Keempat belas yaitu nilai cinta damai, anak diharapkan memiliki sikap,
perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya. Kelima belas yaitu nilai gemar membaca, sehingga terbentuk
kebiasaan anak menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya. Nilai yang keenam belas yaitu nilai peduli
lingkungan, agar terbentuk rasa cinta lingkungan dan anak melakukan upaya-upaya
ramah lingkungan, seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurang
penggunaan plastik, mengurangi penggunaan kendaran pribadi, dan masih banyak
lagi. Ketujuh belas nilai peduli sosial, sehingga anak memiliki rasa empati tinggi
dan memiliki keinginan untuk membantu sesama yang membutuhkan. Yang
terakhir, nilai kedelapan belas yaitu tanggung jawab, agar terbentuk sikap dan
perilaku anak yang sadar akan kewajiban yang harus dilakukannya.

b. Tanggapan anak terhadap nilai-nilai yang disosialisasikan


Metode yang digunakan orang tua dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai
pada anak tentu beragam. Oleh karena itu, tanggapan atau respon yang diperlihatkan
anak juga berbeda-beda. Anak mungkin merasa tidak suka ketika orang tua
memberikan nasihat panjang lebar karena merasa digurui. Sehingga pemilihan
metode berdialog dapat menjadi alternatif agar tercipta komunikasi dua arah antara
orang tua dan anak. Respon dan tanggapan anak pada sosialisasi yang diberikan
4
orang tuanya secara umum dibagi menjadi dua yaitu menerima dengan penuh
kesadaran dan belum menerima dengan sepenuhnya.
Anak yang menerima sosialisasi nilai dari orang tuanya sadar bahwa nilai-
nilai yang disosialisasikan adalah untuk kebaikan dirinya, anak tersebut akan
mengimplementasikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma yang
disosialisasikan orang tuanya dalam kehidupan, sehingga terbentuk sikap, perilaku,
dan karakter anak yang baik dan unggul. Berbeda dengan anak yang belum
menerima sepenuhnya nilai-nilai yang disosialisasikan orang tuanya. Anak tersebut
belum mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang telah diajarkan orang tuanya.
Anak-anak yang belum mampu menerima nilai-nilai tersebut cenderung lebih
mudah melakukan pelanggaran di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

2.3 Metode Sosialisasi


Berbagai macam metode sosialisasi dari pola pengajaran atau peran orang tua
yang diterapkan kepada anaknya melingkupi hal sebagai berikut :
1. Berdialog
Melakukan komunikasi secara berdialog merupakan suatu cara yang tepat
oleh orang tua untuk dilakukan bersama anak karena dapat menguntungkan kedua
belah pihak baik bagi orang tua maupun anak untuk bertujuan mengembangkan
nilai moral anak sendiri atas harapan dari penerapan yang telah dilakukan orang tua.
Jadi, orang tua memiliki hak menyampaikan harapan mereka kepada anak dan
sebaliknya, anak pun dapat bergantian atas berhak menyampaikan tanggapan serta
memberi harapan kembali akan bentuk perilaku orang tua yang diinginkan.
Contoh → Orang tua bertanya alasan anak melakukan hal sesuatu pada
masalah yang dialaminya dan lalu memberi nasihat baik kepada anak ketika kami
membahas bersama tentang masalah tersebut.
2. Peneladanan
Sudah tidak asing lagi bahwa pengaruh pertama kepada pembentukan sifat
dan perilaku anak dimulai dari pemberian contoh orang tua, terutama dalam nilai
moral agar anak dapat meniru dan berhasil menerapkan dengan maksimal
memenuhi harapan orang tua pula.
Contoh → Anak akan mendengarkan pemberian contoh secara terus-menerus
dari orang tua yang ingin anaknya taat dalam beribadah sehingga akan membentuk
kebiasaan kepada anak dengan perlu diperhatikan orang tua harus dapat
5
memberikan contoh teladan yang baik kepada mereka terlebih dahulu agar
keinginan tercapai.
3. Instruksi
Perlakuan orang tua berupa semacam perintah tanpa ada pemberian contoh
disini dibandingkan dari peneladanan anak kepada orang tua menimbulkan anak
kurang memerhatikan terhadap hal tersebut karena antara perkataan dan tindakan
tidak berkonsisten sehingga kerap kali pertanyaan muncul di benak anak akan
ketidakadilan yang didapat.
Contoh → Orang tua tidak memberi contoh teladan dahulu, seperti tidak
melaksanakan atau rajin beribadah. Namun, mereka meminta anaknya untuk rajin
beribadah.
4. Pemberian Nasihat
Pada kasus ini, biasanya sering terjadi disebabkan peraturan yang telah
sepakat dibuat dan dilanggar dikemudian hari oleh anak sehingga menyebabkan 2
perlakuan pilihan orang tua kepada anak, antara nasihat atau hukuman. Tahap
disini, hanya ajaran berupa pesan, yakni nasihat sebagai pengelolaan tingkah laku
atau perilaku anak supaya tidak diulangi kembali.
Contoh → Anak yang kurang menuruti atasannya terkait masalah gaji pada
pekerjaannya mengakibatkan timbul masalah menjadikan orang tuanya
memberikan nasihat bahwa tidak harus menunjukkan keaktifan pula disana sebab
rezeki tidak akan kemana.
5. Pemberlakuan Hukuman
Berbeda dengan nasihat, hukuman telah memasuki solusi penetapan terakhir
oleh orang tua kepada anak atas tingkah laku atau perilaku tidak sesuai nilai moral
yang telah mencapai di luar batas menurut masing-masing perspektif orang tua
dilihat berdasarkan tingkatannya, seperti didiamkan sebentar, dimarahi, hingga
dipukul bahkan menggunakan benda sekalipun.

2.4 Pembelajaran Pendidikan Nilai dalam Keluarga


Tak hanya nilai apa yang dibawakan dalam internalisasi nilai dalam keluarga, tapi
faktor kedekatan orang tua dengan anak serta metode yang digunakan menjadi faktor
yang penting dalam internalisasi nilai kepada anak. Nilai-nilai prioritas yang didapat
antara lain:
1. Pentingnya beribadah
6
Setiap orang tua pastinya ingin anaknya taat beribadah, namun pada kasus
keluarga yang tidak taat beribadah, ayahnya hanya memberikan instruksi untuk
beribadah sedangkan dirinya sendiri tidak beribadah walaupun ibu beribadah, hal
ini akan menjadi hambatan dan terbukti benar. Ketika anaknya disuruh beribadah
oleh orang tuanya maka anak akan balik menjawab ayahnya saja tidak beribadah.
Dengan adanya fakta tersebut maka penanaman nilai pada keluarga harusnya diikuti
oleh konsistensi dari orang tua yang menganjurkan. Lalu pada kasus keluarga yang
taat beribadah, orangtua cenderung memberikan contoh taat beribadah atau
mengajak keluarganya untuk beribadah bersama agar penanaman nilai lebih
terinternalisasi. Dengan pembiasaan yang rutin pula anak akan terbentuk
kebiasaannya untuk taat beribadah seperti apa yang diajarkan oleh orang tuanya,
sehingga ketika belum melaksanakan ibadah maka anak akan merasa bersalah dan
merasa ada yang kurang dalam kehidupannya.
2. Nilai Jujur
Orang tua pasti mengharapkan anaknya bersikap jujur, namun pada
kenyataannya tidak semua anak bisa bersikap jujur. Bila kita amati, anak yang lebih
dekat dengan orang tuanya cenderung lebih bisa bersikap jujur dibandingkan anak
yang kurang dekat dengan orang tuanya. keteguhan nilai kejujuran dipengaruhi oleh
metode sosialisasi yang digunakan oleh orang tua. Sosialisasi nilai secara diskusi
dan pemberian contoh dari orang tua dinilai mampu membantu anak memegang
teguh nilai kejujuran.
Faktor lain yang berpengaruh adalah teman sebaya. Apabila teman sebaya
mempunyai sikap yang kurang jujur, anak dapat menirunya. Keterlibatan anak
untuk berperilaku serupa dengan teman sebayanya pun dapat dilandasi oleh
keinginan untuk bersikap konform dan solider terhadap teman sebayanya,
mengingat pertemanan merupakan hal yang cukup penting di usia anak khususnya
remaja. Apabila hubungan antara orang tua dan anak kurang dekat, maka anak akan
cenderung mencari penerimaan dari teman sebayanya dan lebih mudah terpengaruh.
3. Nilai Hormat
Rasa hormat dari anak kepada orang tua diajarkan dengan membiasakan
menunjukkan sikap tubuh tertentu seperti membungkukkan badan, menyapa,
menggunakan bahasa yang santun dan halus ketika berbicara. Kepatuhan seorang
anak kepada orang tua menjadi salah satu indikator sikap hormat. Anak yang
pembangkang dan tidak mendengarkan perkataan orang tuanya akan dinilai tidak
7
hormat. Orang tua yang bersikap menuntut anak untuk menghormatinya atas dasar
keinginan untuk mempertahankan kewibawaannya justru menghambat
terbentuknya kedekatan orang tua dengan anak. Sikap-sikap yang perlu diteladani
oleh anak harus dicontohkan oleh orang tuanya sebagai figur teladan.
4. Nilai Kerukunan
Beberapa upaya untuk menumbuhkan sikap rukun terhadap anak adalah
membiasakan anak untuk tolong menolong, saling berbagi, bersedia mengalah dan
tidak egois. Bila seluruh anggota keluarga dapat bersikap rukun, maka perasaan
tentram akan tumbuh di keluarga tersebut.
Selain di dalam keluarga, perilaku rukun juga dapat dilakukan dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat Jawa biasa ditemukan kegiatan
seperti nyinom, rewang, dan sambatan. Kegiatan ini berupa gotong royong
memasak untuk ibu-ibu serta membantu membangun rumah oleh bapak-bapak di
lingkungan sekitar.
5. Nilai Pencapaian Prestasi
Banyak orang tua yang memaknai prestasi sebagai mendapatkan peringkat
atau juara satu di sekolah. Hal ini menimbulkan tuntutan bagi anak untuk
mendapatkan nilai bagus di sekolah dan membuat orang tuanya senang. dengan
adanya tuntutan ini maka banyak anak yang mengambil jalan pintas dengan cara
menyontek. Dari data wawancara yang dilakukan dengan anak, diketahui ada
beberapa anak beberapa anak yang pernah menyontek saat ujian. Anak menganggap
perilaku menyontek ini merupakan hal yang sudah biasa dilakukan di kalangan
pelajar. Mereka menganggap ini sebagai bentuk kerja sama yang menguntungkan
dua pihak, sehingga mereka merasa tidak bersalah untuk melakukannya.
Perilaku menyontek pada beberapa anak ada yang menceritakan kepada orang
tuanya, ada pula yang tidak. Tanggapan Orang tua pun beragam, ada yang
memarahi, ada pula yang toleran selama itu mendesak. Sikap orang tua yang toleran
membuat internalisasi nilai kejujuran pada anak tidak terserap dengan baik karena
adanya ketidakkonsistenan orang tua antara perkataan dan perbuatan.

2.5 Kasus
Keluarga Erman tinggal di kompleks perumahan. Rumah ini berpagar besi
dengan tinggi kira-kira 175 cm. Bagian depan rumah difungsikan sebagai teras
sekaligus tempat parkir sepeda motor. Di teras tersebut terdapat satu set kursi dan meja
8
yang terbuat dari besi dan dicat warna hijau. Di sekeliling teras terdapat pot-pot bunga
yang di susun berjajar. Rumah tersebut memiliki ruang tamu, ruang keluarga, tiga
kamar tidur, dua kamar mandi, ruang makan, dan dapur. Sarana transportasi yang
dimiliki adalah sebuah mobil, dan lima buah sepeda motor keluaran terbaru. Di rumah
ini terdapat tiga buah televisi, satu buah di ruang keluarga dan dua buah di kamar tidur.
Pak Erman adalah seorang pegawai negeri, dan Bu Endah adalah seorang guru
PNS. Pendidikan Pak Erman S-2, sedangkan Bu Endah sedang menempuh pendidikan
S-2. Mereka memiliki dua orang anak yakni Weni dan Akbar. Weni sedang menempuh
kuliah di Fakultas Hukum, dan adiknya Akbar, kelas 3 SMA di kota Surakarta.
Keluarga Erman tidak memiliki pembantu rumah tangga.

2.6 Perspektif Orang Tua


Menurut pak erman, konsep agama islam menjadi sebuah acuan yang baik dalam
mendidik anak, oleh karena itu, sedari kecil anak-anak harus sudah dibiasakan untuk
melakukan hal-hal keagaaman seperti mengaji dan sholat, karena dengan berpegang
teguh dengan agama dapat memberikan dampat positif bagi anak tersebut. Contohnya
seperti anak laki-laki pak Erman, anak laki-laki pak Erman memberikan bantuan
kepada teman-temannya yang mengalami kesulitan, misalnya dengan merelakan
sebagian uang saku untuk membeli makanan bagi teman sekolahnya yang tinggal jauh
dari orang tuanya atau merantau.
Pak Erman juga memndang penting sebuah ilmu, tetapi ilmu juga harus selalu di
irinya doa dan rasa ingin tau, dengan kombinasi tiga komponen tersebut akan membuat
seseorang menjadi peka dengan kondisi yang terjadi di sekitarnya, apabila seseorang
memiliki rasa kepekaan social yang baik maka jika suatu saat dia memimpin suatu
kelompok tidak akan melakukan kecurangan.
Sementara bu Endah memandang seorang yang tega melakukan kecurangan
adalah orang yang tidak memiliki pendirian diri yang kuat dan gampang tergoda dengan
suatu hal yang tidak baik, orang yang memiliki prinsip yang teguh tidak akan mudah
tergoyahkan dengan hal-hal sepele, dan akan mengambil hak orang lain hanya untuk
memenuhi keinginannya ketika ia memiliki jabatan.
Terkait dengan sikap terhadap materi, pak Erman mengungkapkan bahwa
seseorang berkerja untuk mendapatkan rezeki yang halal, namum, pak erman sangat
sulit di zaman sekarang ini untuk benar-benar jujur dalam mencari rezeki. Pak erman
juga berkata bahwa orang yang lugu akan tersingkir dari dunia kerja.
9
Dengan menuruti keinginan sang anak yaitu akbar, ibu endah pun memaparkan
bahwa dikemudian hari dapat menuntuk akbar apabila tidak menunjukan sikap yang
bertanggung jawab atas pilihan yang telah dia ambil. Karena pak erman menunjukan
sikap lepas tangan, maka semua urusan sekolah sang anak di urus oleh ibunya, seperti
surat pindah dan mendaftarkan kemabli sang anak kesolah yang dinginkan.
Ibu pun mengungkapkan bahwa anak laki-lakinya yaitu akbar tinggal di kos yang
dekat dengan tempat ia bersekolah, hal ini disebabkan oleh seringnya kabar mendapt
panggilan dari sekolah karena sering melakukan hal yang tidak seharusnya seperti
bolos.
Sang ibu berharap kedua anaknya nanti akan menjadi pegawai negri agar
mendapatkan dana pension di hari tua kelak, meskipun pegawai negri mendapat gaji
yang tidak banyak tetapi dapat memberikan rasa tentram. Orang tua menyampaikan
pesan kepada anak ketika memiliki kesempatan yang pas untuk menyampaikannya,
seperti saat sedang makan atau saat santai bersama pada sore atau malam hari,
kesempatan inilah yang pakai bu endah untuk mengetahui aktifitas apa yang dilakukan
oleh anaknya saat sedang tidak ada di rumah.

2.7 Perspektif Anak


Weni merasa dekat dengan kedua orang tuanya, sedangkan Akbar hanya merasa
dekat dengan ibunya saja. Komunikasi dan intensitas pertemuan yang sedikit
menyebabkan Akbar dan ayahnya tidak begitu akrab. Menurut Akbar, ayahnya sering
pergi dan tidak pernah tahu kemana, serta tidak tahu untuk keperluan apa. Ditambah
lagi ayahnya sulit dimintai uang, menolak mengantarkannya pergi ke suatu tempat.
Akbar menganggap cara berpikir ayahnya kuno dan kurang dapat memahami anak
muda.
Akbar pernah mengalami konflik dengan ayah karena ia tidak mau patuh untuk
bersekolah di SMA favorit yang dipilih ayah. Karena merasa dipaksa dalam memilih
sekolah, selama di sekolah itu Akbar membolos selama tiga bulan. Karena konflik
inilah Akbar tidak mau berbicara dengan ayahnya selama satu bulan. Selain itu,
kebiasaan Akbar di sekolah lainnya adalah menyontek. Menurutnya menyontek
merupakan hal yang biasa, serta ia menyatakan bahwa ada peribahasa wong jujur
bakale ajur (orang jujur akan hancur) sehingga ia terkadang bersikap jujur dan
terkadang tidak.

10
Berbeda dengan Akbar, Weni mau memenuhi keinginan ayahnya untuk kuliah di
fakultas hukum. Bahkan Weni menyadari bahwa ayah telah memilihkan yang terbaik
untuk dirinya. Ia berupaya untuk memberikan yang terbaik dengan nilai atau IPK yang
tinggi. Hal ini tentu saja akan membuat ayah bangga terhadap dirinya.
Meskipun demikian, kedua anak merasa dekat dengan dapat berbagai cerita
tentang permasalahan yang dihadapinya dengan ibu. Meskipun merasa kurang nyaman
ketika diceramahi ibu, namun Akbar mengakui bahwa ia dapat berubah sikap dari
mogok sekolah dan mau shalat karena diceramahi oleh ibu. Sementara Weni
menyatakan pernah diamrahi karena melanggar batasan yang telah ditetapkan dengan
terlambat pulang karena bermain.
Ajaran hormat dan rukun masih diterapkan dalam keluarga Pak Erman. Seperti
dinyatakan oleh Weni, ia dilatih untuk saling menghormati dengan orang yang lebih
tua, dan orang-orang di sekitar. Kebiasaan untuk rukun diajarkan orang tua dengan
saling berbagi makanan, saling membantu dan menjaga saudara, serta mau membantu
tetangga.

11
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya harapan yang
diberikan kepada anak dari orangtua pastinya akan berbeda-beda di setiap keluarga, hal ini
biasanya dipengaruhi oleh latar belakang keluarga itu sendiri. Adapun kriteria yang dimiliki
oleh orang tua seperti kriteria kesuksesan juga menjadi salah satu faktor pembeda pola asuh
yang ada di setiap keluarga.
Terlepas dari adanya perbedaan dalam membantu anak-anak mereka mencapai apa yang
diharapkan, sejatinya peran orang tua dalam membantu mewujudkan harapannya antara lain
adalah berusaha memberikan fasilitas terbaik kepada anak mereka guna menunjang pencapaian
cita-cita anak-anak mereka, memberikan pelajaran, menambah wawasan serta memberikan
motivasi kepada anak-anak mereka agar mendapatkan penghidupan yang layak di kemudian
hari, serta mendidik anak-anak mereka agar dapat berperilaku dengan baik secara moral
maupun agama.
Orang tua memberikan beberapa nilai kepada anak-anaknya yang disosialisasikan
dengan metode yang berbeda-beda, dan pastinya setiap orang tua pasti ingin menanamkan
nilai-nilai yang baik kepada anak-anaknya walau dengan cara yang berbeda-beda.

12
DAFTAR PUSTAKA

Din, A. F., & Yudiana, W. (2021). KETERKAITAN PERSEPSI TERHADAP EKSPEKTASI


ORANG TUA DENGAN KESULITAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
KARIER PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR. Journal of Psychological Science
and Profession, 5(1). https://doi.org/10.24198/jpsp.v5i1.26601

Hartono. (2014). PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KURIKULUM 2013. Jurnal Budaya,


19(2), 259-268.

Husnar, A. Z., Saniah, S., & Nashori, F. (2017). Harapan, Tawakal, dan Stres Akademik.
Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 2, No. 1, 94- 105.

Lestari, S. (2016). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai & Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Jakarta: Kencana.

13
Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga
Tes Psikologi dan Genogram

Dosen Pengampu:

Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.


Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.

Disusun Oleh:

Alelia Merinda Dewi 15000120120034


Thariq Muhammad Ridho 15000120120036
Ignatius Wisang Puda Wijaya 15000120130286
Belina Vyanny Siregar 15000120140301
Messy Permata Sari 15000120140309
Jasmine Azzahra 15000120140329
Fadhila Odelia Calista 15000120140376

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021

26
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Assesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga”. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga sebagai penugasan
terstruktur.

Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak lain, makalah ini tidak
akan terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini, tak terkecuali untuk orang tua yang selalu mendukung
dan memotivasi kami, serta untuk Ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. dan Ibu
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Keluarga.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah


ini karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna menambah wawasan
penulis dalam menyusun makalah sejenis agar lebih baik di lain waktu.

Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang


ada. Semoga makalah yang kami buat ini dapat berguna bagi siapapun yang
membacanya.

Semarang, 1 September 2021

Tim
Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..2

DAFTAR ISI………………………………………………………………….....3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……...…………………………………..…………….…….4

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………..4

1.3 Tujuan……………………………………………………….…………...…5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tes Psikologi……………….….…………………………………………….6

2.1.1 Tujuan dan Manfaat Tes Psikologi……………………………….…….7

2.1.2 Jenis Tes Psikologi……………………………………………………...9

2.1.3 Macam Tes Psikologi untuk Anak……………………………..............12

2.2 Pengertian dan Fungsi Genogram……………...........………………………16

2.2.1 Tahapan Genogram………………………….………………...………..17

2.2.2 Penggunaan Simbol-simbol Genogram………….......…………………17

2.3 Contoh Studi Kasus.........................................................................................21

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………...……..…….26

3.2 Saran................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA……………………………………….…………………...27

LEMBAR KONTRIBUSI…………………………...............…………….......…29

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ronald Jay Cohen dan Mark E. Swerdlik (2018) mendefinisikan


asesmen psikologis sebagai pengumpulan dan integrasi data yang berhubungan
dengan psikologi untuk tujuan membuat evaluasi psikologis yang dicapai
melalui penggunaan alat-alat seperti tes, wawancara, studi kasus, observasi
perilaku, dan peralatan dan prosedur pengukuran yang dirancang khusus. Tes
Psikologi sebagai salah satu metode dari psikodiagnostik, mempunyai tujuan
untuk mengadakan klasifikasi, deskripsi, interpretasi, dan prediksi. Terdapat
juga beberapa jenis tes psikologis meliputi tes kecerdasan, tes bakat, dan tes
minat.

Genogram berasal dari kata gen (unsur keturunan) dan gram (grafik).
Genogram juga bisa dikenal sebagai gambar silsilah keluarga dalam 3 generasi.
Fungsi genogram biasanya digunakan untuk memperoleh informasi asal-usul
hubungan antara anggota keluarga, riwayat medis dan psikologis generasi sang
klien, orangtuanya dan kakek-neneknya. Genogram juga memiliki beberapa
tahapan untuk membentuknya, pertama kontruksi genogram, lalu identifikasi
jabatan, dan eksplorasi konseling.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu pengertian tes psikologi?


2. Apa saja tujuan tes psikologi?
3. Apa saja jenis tes psikologi?
4. Apa itu genogram?
5. Apa saja fungsi genogram?
6. Bagaimana tahapan membentuk genogram?

4
1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengertian tes psikologi

2. Mengetahui tujuan tes psikologi

3. Mengetahui jenis tes psikologi

4. Mengetahui pengertian genogram

5. Mengetahui fungsi genogram

6. Mengetahui tahapan dalam membentuk genogram

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tes Psikologi

Sebuah tes dapat didefinisikan hanya sebagai alat ukur atau prosedur.
Ketika kata tes dimodifikasi, itu mengacu pada perangkat atau prosedur yang
dirancang untuk mengukur variabel yang terkait dengan pengubah itu. Dengan
cara yang sama, istilah tes psikologi mengacu pada perangkat atau prosedur yang
dirancang untuk mengukur variabel yang terkait dengan psikologi (seperti
kecerdasan, kepribadian, bakat, minat, sikap, atau nilai).

Ronald Jay Cohen dan Mark E. Swerdlik (2018) mendefinisikan


asesmen psikologis sebagai pengumpulan dan integrasi data yang berhubungan
dengan psikologi untuk tujuan membuat evaluasi psikologis yang dicapai
melalui penggunaan alat-alat seperti tes, wawancara, studi kasus, observasi
perilaku, dan peralatan dan prosedur pengukuran yang dirancang khusus.
Mereka juga mendefinisikan pengujian psikologis sebagai proses pengukuran
variabel yang berhubungan dengan psikologi, melalui perangkat atau prosedur
yang dirancang untuk mendapatkan sampel perilaku.

Menurut Susana Urbina (2004) tes psikologi adalah prosedur sistematis


untuk mendapatkan sampel perilaku yang relevan dengan fungsi kognitif atau
afektif, dan untuk menilai dan mengevaluasi sampel tersebut menurut standar.
Tes psikologi sering ia gambarkan sebagai standar karena dua alasan, keduanya
membahas perlunya objektivitas dalam proses pengujian.

Yang pertama berkaitan dengan keseragaman prosedur dalam semua


aspek penting dari administrasi, penilaian, dan interpretasi tes. Arti kedua dari
standardisasi menyangkut penggunaan standar untuk mengevaluasi hasil tes.
Standar ini paling sering merupakan norma yang diturunkan dari sekelompok

6
individu—dikenal sebagai sampel normatif atau standardisasi—dalam proses
pengembangan tes.

Tes psikologi dievaluasi pada dua titik yang berbeda dan dalam dua
cara yang berbeda:

1. Ketika mereka dianggap sebagai alat potensial oleh calon pengguna;


pada titik ini, kualitas teknis mereka menjadi perhatian utama.

2. Setelah digunakan untuk tujuan tertentu; pada titik ini, keterampilan


pengguna dan cara tes digunakan adalah pertimbangan utama.

Fungsi dari tes psikologi pada umumnya adalah untuk mengukur


perbedaan-perbedaan antara individu, atau perbedaan reaksi individu yang sama
pada situasi yang berbeda. Tetapi secara khusus, fungsi ini juga tergantung dari
ranah penggunaan tes psikologi itu sendiri.

Dalam lingkup keluarga sendiri, tes psikologi berfungsi sebagai metode


untuk menguji atau melihat letak kemungkinan sumber masalah yang muncul.
Dengan mengerjakan tes, psikolog akan dipermudah untuk menggali sumber
masalah yang terjadi dan menjadikannya data sebagai dasar proses konseling.
Selain itu, tes psikologi akan memungkinkan anggota keluarga mengevaluasi
diri sendiri dan mulai saling terbuka untuk mencari solusi permasalahan.

2.1.1 Tujuan dan Manfaat Tes Psikologi

Tes Psikologi sebagai salah satu metode dari psikodiagnostik,


mempunyai tujuan untuk mengadakan klasifikasi, deskripsi, interpretasi,
dan prediksi. Klasifikasi bertujuan untuk membantu mengatasi problem-
problem yang berhubungan dengan:

a. Pendidikan, menyangkut masalah intelegensi, minat dan bakat,


kesukaran belajar dan sebagainya. Tes intelegensi bertujuan
untuk mengetahui tingkat kecerdasan individu yang merupakan

7
potensi dasar keberhasilan pendidikan. Tes Minat bakat bertujuan
membantu individu menyesuaikan jurusan atau ekstra kurikuler
dalam pendidikan sehingga bakat dan potensinya dapat
diaktualkan secara optimal. Kesukaran belajar atau
ketidakmampuan dalam belajar/Learning Disability (LD).
b. Perkembangan Anak, menyangkut hambatan-hambatan
perkembangan baik psikis maupun sosial.
c. Klinis, berhubungan dengan individu-individu yang mengalami
gangguan-gangguan psikis, baik yang ringan maupun yang berat.
d. Industri, berhubungan dengan seleksi karyawan, evaluasi dan
promosi. Seleksi: suatu proses pemilihan individu yang dinilai
paling sesuai untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu dalam
perusahaan. Evaluasi: pemeriksaan psikologis yang bertujuan
untuk membantu perusahaan menilai apakah posisi yang
ditempati saat ini telah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
karyawan yang bersangkutan. Promosi: pemeriksaan psikologis
yang bertujuan untuk menilai kemampuan seseorang apakah telah
memenuhi syarat untuk dapat menduduki jabatan atau posisi yang
lebih tinggi dalam perusahaan. Pemeriksaan psikologis secara
garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Level Staff
(non-Manajerial), aspek-aspek yang perlu dan dapat diungkap
mencakup kemampuan umum (intelegensi), kesesuaian
kepribadian, sikap dan kemampuan bekerja dalam menghadapi
persoalan praktis sehari-hari. (2) Level Supervisor, aspek-aspek
yang perlu dan dapat diungkap mencakup kemampuan umum
(intelegensi), kesesuaian kepribadian, sikap dan kemampuan
kerja, gaya kepemimpinan dan pengambilan keputusan. (3) Level
Manajerial, aspek-aspek yang perlu dan dapat diungkap
mencakup kemampuan umum (intelegensi), pengambilan
keputusan dan kemampuan pemecahan masalah secara strategis,

8
gaya kepemimpinan, kepribadian, hubungan interpersonal dan
sikap kerja.

Alat-alat tes tidak hanya digunakan untuk klasifikasi gangguan-


gangguan psikis atau diagnose, tetapi lebih tertuju pada pendeskripsian
atau pemahaman yang lebih intensif (mendalam) dari subyek. Karena
tingkah laku individu (kepribadiannya) dipandang sebagai produk dari
aspek-aspek sosiobiopsikologis maka pemeriksaan psikologis bertujuan
untuk memperoleh deskripsi keseluruhan mengenai individu dan ketiga
aspek tersebut. Tes psikologi di samping mempunyai tujuan yang sudah
tersebut di atas juga mempunyai tujuan prediksi yakni untuk meramalkan
atau memprediksikan perkembangan klien selanjutnya.

2.1.2 Jenis Tes Psikologi

Jenis tes psikologis meliputi: (1) Tes Kecerdasan, (2) Tes Bakat,
dan (3) Tes Minat.

1) Tes Kecerdasan (intelegensi)

Tes intelegensi adalah tes untuk mengukur kecerdasan,


kemampuan umum (IQ) konseling yang dipandang sangat besar
pengaruhnya terhadap prestasi belajar.

2) Tes Bakat

Tes bakat dikembangkan atas dasar suatu teori kemampuan


pengukuran bakat, dan terutama dikembangkan dengan lebih
mengutamakan kegunaannya sebagai alat bantu pada pekerjaan
bimbingan dan konseling sekolah daripada untuk meneliti dan
melukiskan struktur dan organisasi kemampuan mental khusus
seseorang. Tes bakat akademik (DAT) adalah tes untuk
mengukur kemampuan khusus seseorang dalam bidang
akademik yang bersifat khusus (Fauzan, 2001). Bakat inipun

9
mempengaruhi prestasi/keberhasilan seseorang terhadap bidang
dan jenis belajar yang bersifat khusus. Bakat yang disenarai
untuk diketahui melalui tes yang dikembangkan ini terdiri atas
tes kemampuan berfikir verbal, tes kemampuan berfikir
numerikal, tes kemampuan skolastik (perpaduan a dan b), tes
berfikir abstrak, tes berfikir mekanik, tes relasi ruang, dan tes
kecepatan dan ketelitian klerikal.

a) Tes Kemampuan Berfikir Verbal

Tes ini dirancang untuk melihat seberapa baik seseorang


dapat mengerti ide-ide dan konsep-konsep serta berfikir dan
memecahkan masalah-masalah yang dinyatakan dalam
bentuk kata-kata. Kemampuan berfikir verbal dapat
menjadi peramal yang baik tentang seberapa baik seseorang
dapat menyelesaikan tugas-tugas sekolah, terutama yang
bersifat akademik.

b) Kemampuan Berfikir Numerikal

Tes ini dirancang untuk melihat seberapa baik seseorang


dapat mengerti ide-ide dan konsep-konsep serta berfikir dan
memecahkan masalah-masalah yang dinyatakan dalam
bentuk angka-angka. Kemampuan ini terkait langsung
dengan kemampuan menyelesaikan tugas-tugas
matematika, ilmu alam, kimia, dan sejenisnya.

c) Tes Kemampuan Skolastik

Kemampuan skolastik merupakan gabungan antara


kemampuan berfikir verbal dan numerikal. Kombinasi skor
kedua kemampuan tersebut akan menjadi penduga yang

10
baik bagi penyelesaian tugas-tugas dalam mata pelajaran
akademik dan penyelesaian studi di perguruan tinggi.

d) Tes Berfikir Abstrak

Tes ini dirancang untuk mengetahui seberapa mudah


seseorang memecahkan masalah-masalah meskipun tidak
berupa kata-kata atau angka-angka. Dengan menggunakan
diagram, pola atau rancangan, tes ini mengukur tentang
seberapa mudah seseorang dapat memecahkan masalah-
masalah, jika masalah-masalah itu disajikan dalam arti
ukurannya, bentuknya, posisinya, besarnya, atau lain-lain
bentuk yang tidak bersifat verbal atau angka. Bersama
dengan tes relasi ruang dan tes mekanik, tes berfikir abstrak
ini dapat meramalkan keberhasilan dalam jenis pekerjaan
bidang permesinan, teknik, dan perindustrian.

e) Tes Berfikir Mekanik

Tes ini dirancang untuk mengetahui seberapa mudah


seseorang memahami prinsip-prinsip umum ilmu
pengetahuan alam dan seberapa baik mengerti tata kerja
yang berlaku dalam perkakas sederhana, mesin, dan
peralatan lainnya. Konseli yang mendapat skor tinggi di
bidang ini, namun rendah kemampuan berfikir verbal dan
numeriknya sebaiknya disarankan tidak melanjutkan ke
perguruan tinggi bidang mekanik, lebih baik kalau ia masuk
ke sekolah menengah kejuruan.

f) Tes Relasi Ruang

Tes ini untuk mengukur seberapa baik seseorang dapat


memvisualkan, mengamati, atau membentuk gambaran-

11
gambaran mental dari objek-objek dengan jalan melihat
pada pola dua dimensi dan seberapa baik seseorang dapat
berfikir dalam tiga dimensi.

g) Tes Kecepatan dan Ketelitian Klerikal

Tes ini untuk mengetahui seberapa cepat dan teliti


seseorang dapat menyelesaikan tugas-tugas tulis menulis,
pekerjaan pembukuan, atau ramu-meramu yang sangat
diperlukan di kantor-kantor, laboratorium, perusahaan,
dagang, dan tempat sejenis di mana pencatatan harus
diatur, disimpan, dan/atau dicek, dan sebagainya.

3) Tes Minat Vokasional

Tes minat jabatan adalah tes mengungkap kecenderungan aspek-


aspek individu yang bersifat nonkemampuan, seperti
kecenderungan reaksi emosi, sikap, sosiabilitas dan sebagainya.

2.1.3 Macam Tes Psikologi untuk Anak

a) Hannah/Gardner Preschool Language Test (usia 3-5, 5 tahun; fokus


pada tugas perkembangan visual, auditory, motorik dan konsep),
contohnya sebagai berikut.

1) Memasangkan kartu yang sama (dari 5 kartu).

2) Menunjukkan bagian wajah yang hilang.

3) Meminta anak berdiri dengan satu kaki.

4) Memberi instruksi: ambil bola dalam boks, pantulkan ke lantai,


dan berikan kepada ibu guru.

5) Menunjukkan boks yang kosong.

12
6) Memilih mana yang di atas, mana yang di bawah.

b) Carolina Development Profile (usia 2-5 tahun, mengukur


perkembangan motorik perceptual, penalaran, dan bahasa), contohnya
penilaian untuk melihat apakah anak sudah/belum dapat melakukan
hal berikut.

1) Membalik halaman buku satu demi satu dengan kontrol cukup


baik.

2) Menunjukkan model membuat menara 6-8 kotak dan meminta


anak melakukannya.

3) Membuka bungkus permen/wafer dan lain-lain tanpa bantuan.

c) IOWA Test of Preschool Development (usia 2-5 tahun, tes prestasi pra
sekolah, mengukur kesiapan bahasa, visual motor, memori, dan
konsep), contoh sebagai berikut.

1) Menunjukkan objek yang diinstruksikan guru.

2) Menceritakan secara singkat tentang gambar.

3) Membuang plastik ke tempat sampah.

4) Mencontoh garis lurus.

5) Meletakkan pegs dalam pegs board.

6) Mengulang kembali benda yang baru ditunjukkan guru.

7) Mengulang kembali sekelompok benda yang disebutkan guru.

8) Menunjuk benda yang berwarna tertentu.

9) Mencari bentuk benda yang serupa.

13
10) Meletakkan suatu benda dekat boneka, jauh dari boneka.

d) Minnesota Child Development Inventory (usia 1 sampai 6 tahun,


mengukur perkembangan anak pra sekolah), dengan contoh sebagai
berikut.

1) Motorik kasar: termasuk kekuatan, keseimbangan dan


koordinasi.

2) Motorik halus: keterampilan visual motor, koordinasi mata


tangan.

3) Bahasa ekspresif: komunikasi, bahasa tubuh, vokal.

4) Pemahaman - konseptual: pemahaman bahasa sampai


formulasi bahasa.

5) Pemahaman situasi: pemahaman tentang lingkungan melalui


observasi, membedakan, meniru dan perilaku.

6) Self help: termasuk makan, berpakaian dan ke kamar kecil.

7) Personal - sosial: inisiatif, kemandirian, interaksi sosial,


perhatian/empati pada teman.

e) Pre Kindergarten Scale (3-5 tahun, skala rating observer,


mengukur keterampilan kognitif, kontrol diri, kemandirian, dan
hubungan sosial), contoh berikut ini.

1) Keterampilan personal (ketika berinteraksi dengan guru).

i. Anak selalu mengekspresikan diri secara utuh.

ii. Anak biasanya mengekspresikan diri.

iii. Mengekspresikan diri tidak secara utuh.

14
iv. Hanya menggunakan bahasa tubuh.

v. Belum terobservasi

2) Hubungan dengan teman sebaya.

i. Memimpin kelompok.

ii. Secara aktif mengikuti kelompok.

iii. Mengikuti kelompok setelah berargumen.

iv. Mengamati kelompok tanpa ikut terlibat.

v. Belum terobservasi.

3) Perilaku personal (ketika anak menumpahkan sesuatu).

i. Hampir selalu membereskan tanpa diinstruksi.

ii. Kadang-kadang perlu diinstruksi.

iii. Membereskan setelah diinstruksi.

iv. Tidak membereskan walaupun sudah diinstruksi.

v. Belum terobservasi.

4) Keterampilan kognitif (ketika diberi instruksi).

i. Sangat sedikit kesulitan mengikuti instruksi.

ii. Agak kesulitan tetapi tidak membutuhkan bantuan.

iii. Kesulitan dalam mengikuti instruksi dan membutuhkan


bantuan.

iv. Kesulitan dan tidak menyelesaikan tugas sekalipun dibantu.

15
v. Belum terobservasi.

2.2 Pengertian dan Fungsi Genogram

Genogram berasal dari kata gen (unsur keturunan) dan gram (grafik).
Genogram juga bisa dikenal sebagai gambar silsilah keluarga dalam 3 generasi
yang dimana terdapat penjelasan faktor biopsikososial individu dan keluarga.
Dalam satu gambar tersebut biasanya mencakup informasi secara rinci tentang
siklus hidup masing-masing individu, penyakit yang dimiliki, serta hubungan
antar anggota keluarga.

Fungsi genogram biasanya digunakan untuk memperoleh informasi asal-


usul hubungan antara anggota keluarga, riwayat medis dan psikologis generasi
sang klien, orangtuanya dan kakek-neneknya. Data yang didapatkan dari
genogram sang klien oleh dokter atau psikolog digunakan untuk mengambil
keputusan terhadap masalah pasien dan keluarga.

2.2.1 Tahapan Genogram

Ada 3 langkah yang perlu dilakukan dalam membentuk genogram, ialah:

1. Konstruksi Genogram (ilustrasi yang diberikan menggambarkan


silsilah keluarga secara fiktif dalam jumlah terbatas). Konselor
menggambar genogram secara sederhana sesuai dengan arahan dan
data dari klien.

2. Identifikasi Jabatan (wawancara dengan klien untuk


mengembangkan rencana alternatif untuk mengidentifikasi jabatan).
Konselor menuliskan pekerjaan-pekerjaan orang-orang tertentu
yang berada di genogram.

16
3. Eksplorasi Konseli (tahap ini bertujuan untuk menggali pemahaman
klien mengenai dirinya sendiri, lingkungan nya, terutama
lingkungan kerja, serta kemampuan perencanaan dan pengambilan
keputusan karir saat ini dan masa depan.). Konselor menuliskan
beberapa catatan mengenai model-model peranan yang diketahui
oleh klien.

2.2.2 Penggunaan Simbol-simbol Genogram

Dalam genogram terdapat banyak keterangan tentang keluarga yang


digambarkan dan dituliskan dengan simbol-simbol tertentu. Yang terdapat
dalam genogram adalah yang pertama, berisi data dasar seperti nama, jenis
kelamin,tanggal lahir, tanggal kematian, dll. Yang kedua berisi data
tambahan seperti pekerjaan, pendidikan, penyakit kronis, dll. Dan yang
terakhir berisi informasi terkait gangguan dalam keluarga seperti alcohol,
kondisi hidup, dll. Adapun penggunaan simbol dalam pembuatan konstruk
genogram, seperti contoh berikut:

Laki-laki Mati

Perempuan Hubungan konfliktual

17
Menikah Hubungan yang dekat

Hubungan tidak Hubungan jauh


menikah

Bercerai Anggota satu rumah


tangga

Jenis kelamin tidak Pasangan yang dominan


teridentifikasi (dalam gambar ini, pria)

Diadopsi Pasien teridentifikasi

Aborsi yang diinduksi Anggota rumah tangga


yang tinggal jauh
(sekolah, penjara, dll)

18
Aborsi spontan Kembar

ALC Alcohol ASTH Asthma/asma

ANEMIA Anemia B DEFECT Birth defect/cacat lahir

ARTH Arthristis /radang sendi GLAUC Glaucoma / glukoma

BLOOD D Blood disorder / CA Cancer/kanker


kelainan darah

Deafness / ketulian ECZ Eczema / eksema


HEAR

DM Diabetes mellitus GI,GB,HEP GI tract, gall bladder and


liver diseases/saluran
pencernaan, kandung
empedu, dan penyakit
hati

GOUT Gout / encok Hypertension /


BP hipertensi

HRT DIS Heart diseases / REN DIS Kidney diseases /


penyakit jantung penyakit ginjal

19
Hypercholesteolemia / M RETARD Mental retardation/
CHOL hiperkolesterolemi keterbelakangan mental

MI Myocardial infarction / RF Rheumatic fever /


infark miokard demam rematik

NEUROSIS Neurosis/sakit saraf CONVUL Seizures/kejang

PSYCHOSIS Psychosis/psikosis CVA Stroke

LUES Syphilis/sipilis Thyroid, hyper or hypo


THY activity/tiroid, hiper atau
aktivitas

20
Contoh silsilah genogram:

21
2.3 Contoh Studi Kasus

Contoh kasus asesmen

Kasus ini kami ambil dari salah satu skripsi mahasiswi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Subjek penelitian yang peneliti pilih yaitu seorang anak
laki-laki berumur 6 tahun yang mengalami kekerasan dalam keluarganya.
Subjek yang disebut Nn ini tinggal dalam lingkungan keluarga dengan
perekonomian yang buruk. Nn dan adik laki-lakinya tinggal bersama kakeknya
karena sang ibu yang merupakan pengamen jalanan kerap kali kurang
mengurusnya. Ayah subjek tidak teridentifikasi, dan ibu Nn kerap kali
membawa pulang laki-laki tukang becak untuk dianggap sebagai ayah subjek.

Nn dan adiknya sering mengalami kekerasan yang dilakukan oleh


kakeknya, seperti dipukul, ditendang, diinjak, dimaki, hingga dibenturkan ke
dinding. Luka-luka yang dialaminya ini kemudian menjadi “daya tarik” bagi
mereka untuk mendapatkan belas kasihan dari para masyarakat. Mereka
disuruh pergi ke jalan dan mengemis. Ibu korban tidak mencegah kekerasan itu
terjadi, dan justru terkadang ikut melakukannya walau tidak sesering kakek.

22
Suatu hari, adik Nn mengalami patah tulang punggung karena diinjak oleh
sang kakek, berhasil mendapatkan dana bantuan jutaan rupiah dari para
penderma, namun uang tersebut tidak digunakan untuk biaya pengobatan
melainkan untuk hal lain. Mengetahui hal itu, subjek menjadi sangat membenci
kakeknya. Hingga suatu ketika, ketua RT dari tempat tinggal mereka
mengetahui hal itu dan berupaya membawa Nn ke trauma center untuk
mendapatkan pengasuhan yang lebih layak, juga untuk menghindarkannya dari
kekerasan fisik. Namun bersamaan dengan itu, adik Nn diketahui meninggal
dunia.

Untuk saat ini, pihak panti asuhan dan ketua RT masih menjaga Nn agar
tidak diketahui keberadaannya oleh sang ibu dan kakek. Nn mengalami
perkembangan dalam kepribadiannya, walau sedikit. Ia juga tidak mengetahui
bahwa adiknya telah meninggal untuk mencegah kejadian trauma kembali
merusak psikisnya.

Metode asesmen:
Peneliti menggunakan metode wawancara dan tes psikologi yang terdiri dari
tes intelegensi (CPM) dan tes proyektif (tes grafis dan CAT).

Hasil asesmen:
Dampak psikologis yang muncul akibat kekerasan yaitu munculnya respons
kekhawatiran, ketakutan, dan ketidaberdayaan akibat kekerasa fisik;
munculnya peristiwa traumatik yang terus berulang dan bertahan (dalam
ingatan, tindakan, kesedihan mendalam, serta reaksi fisiologis); melakukan
beberapa penghindaran (yang dilakukan pada pikiran, perasaan, percakapan,
tempat aktivitas, orang, aktivitas, perasaan terpisah dan terasing); muncul
simptom yang terus meningkat (ledakan amarah, kewaspadaan berlebih); serta
ketidakberdayaan sosial dan ketidakmampuan melakukan tugas penting.

23
Dampak psikologis lain yaitu fobia, agresif, sulit diatur, fantasi, egoisme,
pandangan negatif, kebutuhan akan afeksi yang kurang, dan sering melakukan
mekanisme pertahanan diri.

Solusi peneliti:
Tetap menjaga subjek agar tetap berada di trauma center sampai subjek
sembuh secara fisik dan mental. Pihak trauma center disarankan untuk tetap
menjalankan komitmen untuk menghindarkan pertemuan subjek dengan ibu
atau kakeknya, setidaknya sampai kondisi subjek pulih seutuhnya dan cukup
berpikiran rasional dan dewasa untuk tidak mendendam. Memberikan
dukungan penuh akan kesembuhan dan perkembangan psikis subjek. Tetap
menjaga subjek dalam pengawasan dan lingkungan yang baik.

Contoh studi kasus genogram

Salah satu contoh kasus yang kami ambil adalah mengenai 7 siswa kelas
VIII dari SMP Negeri 21 Surabaya. Awalnya penelitian ini melaksanakan
pengukuran terhadap 34 siswa melalui angket. Dan dari hasil pengukurannya
ditemukan bahwa 7 siswa mengalami kecanduan game online.

Kecanduan game online siswa ini diakibatkan ajakan teman maupun


saudara, Pelajaran yang membosankan dan bingung mengisi waktu luang. Hal
ini membuat Konseli mencari kegiatan lain seperti game online. Selain itu,
banyaknya warnet game online serta harga terjangkau yang menawarkan paket
menjadi alternatif untuk menghabiskan waktu lebih banyak di warnet untuk
bermain game online daripada belajar atau melakukan kegiatan positif yang
lain. lemahnya pengawasan orang tua serta teguran orang tua juga menjadi
pemicu Konseli untuk meneruskan kegiatan bermain game online.

24
Dengan adanya penyebab-penyebab tersebut mendorong Konseli untuk
bermain game online terus menerus. Dalam hal ini, penanganan yang diberikan
kepada siswa yakni menggunakan penerapan konseling keluarga sebanyak 4
kali pertemuan. Penerapan konseling keluarga bertujuan untuk merubah dan
memperbaiki cara berpikir Konseli terhadap dampak yang dirasakan bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain yang berada pada lingkungan Konseli terutama
keluarga. Penerapan konseling keluarga ini diberikan sejak pertemuan pertama
dengan meminta Konseli membuat Genogram. Genogram ini ditujukan untuk
mengetahui penyebab konseli bermain game online dan mengambilkan contoh
kesuksesan seseorang dari keluarga konseli sendiri. Dengan memberikan
contoh dari keluarga konseli sendiri diharapkan konseli mampu melihat dengan
jelas kesuksesan yang diraih anggota keluarga dan mau meniru atau bahkan
melebihinya. Dijelaskan pada pertemuan kedua tentang intensitas, durasi dan
dampak Konseli Kecanduan game online. Intensitas yang digunakan oleh
Konseli dalam bermain game online adalah hamper setiap hari. Durasi yang
digunakan pun melebihi 2 jam setiap harinya, bahkan pada hari libur Konseli
bermain game online sekitar 7 jam dalam sehari, yaitu dari pagi hingga sore
hari. Serta dampak yang dirasakan Konseli mulai dimarahi guru, orang tua,
dihukum guru, tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, dan prestasi
menurun. Konseli merasakan berbagai dampak tersebut dan mencoba
memperbaikinya tapi tampaknya masih sulit. Dan pada pertemuan ketiga
Konselor menerapkan teknik Teaching Via Questioning yaitu teknik mengajar
Konseli dengan bertanya kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika Konseli
terus bermain game online. Misalnya dengan bertanya “Bagaimana jika
sekolahmu gagal?”, “Bagaimana jika kamu tidak naik kelas?”, “Bagaimana
jika orang tua kamu kecewa terhadap kamu?”. Dengan teknik tersebut Konseli
mulai menyadari hal-hal diluar dirinya dan mulai memikirkannya. Ditambah
dengan contoh-contoh kesuksesan dari Genogram yang digambar oleh Konseli
sendiri, Konseli merasa terdorong untuk lebih memperbaiki dirinya. Hal itu
dibuktikan pada pertemuan keempat, Konseli mengaku telah mengurangi
banyak waktunya dalam bermain game online.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Asesmen merupakan proses yang sangat penting dalam mengidentifikasi


problematika psikologis di dalam keluarga. Beberapa contoh proses asesmen yang
dapat dilakukan ialah tes psikologi, wawancara, studi kasus, observasi perilaku,
serta menggunakan genogram. Dalam lingkup keluarga, tes psikologi berfungsi
sebagai metode untuk menguji atau melihat letak kemungkinan sumber masalah
yang muncul. Dengan mengerjakan tes, psikolog akan dipermudah untuk menggali
sumber masalah yang terjadi dan menjadikannya data sebagai dasar proses
konseling. Sedangkan, genogram merupakan gambar silsilah keluarga dalam 3
generasi yang dimana terdapat penjelasan faktor biopsikososial individu dan
keluarga. Fungsi genogram biasanya digunakan untuk memperoleh informasi asal-
usul hubungan antara anggota keluarga, riwayat medis dan psikologis generasi
sang klien, orangtuanya dan kakek-neneknya. Data yang didapatkan dari
genogram sang klien oleh dokter atau psikolog digunakan untuk mengambil
keputusan terhadap masalah pasien dan keluarga.

3.2 Saran

Demikianlah makalah Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam


Keluarga yang telah kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah hasil
akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan tanggapan, saran, dan kritik yang
membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat menjadi manfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya kami
ucapkan terimakasih.

26
DAFTAR PUSTAKA

Cohen, R. J., & Swerdlik, M. E. (2018). Psychological Testing and Assessment. In


Guidebook for Clinical Psychology Interns.

Fridani, L. (2013). Perencanaan Asesmen Perkembangan pada Anak Usia Dini.


Evaluasi Perkembangan Anak Usia Dini, 1, 101–132.

Urbina, S. (1960). Essentials of Psychological Testing. In The American Journal


of Psychology (Vol. 73, Issue 2).

Widiasavitri, P. N., Wilani, N. M. A., Tobing, D. H., Astiti, D. P., Rustika, I. M.,
Indrawati, K. R., Susilawati, L. K. P. A., Suarya, L. M. K. S., Vembriati, N.,
Lestari, M. D., Herdiyanto, Y. K., Wulanyani, N. M. S., Marheni, A.,
Budisetyani, P. W., Supriyadi, & Tience Debora Valentina. (2016).
Psikodiagnostika I dan administrasi alat tes psikologi. 13.

Arisanti, N., Gondodiputro, S., & Djuhaeni, H. (2016). Penggunaan genogram


dalam deteksi dini faktor risiko penyakit degeneratif dan keganasan di
masyarakat. Majalah Kedokteran Bandung, 48(2), 118-122.

DINA, Z. (2020). Pelaksanaan layanan bimbingan karier dengan genogram


terhadap perencaan peserta didik di SMA Gajah Mada Bandar Lampung
tahun pelajaran 2019. (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

Fathonah, N. (2019). Penggunaan metode genogram untuk meningkatkan


kemampuan perencanaan karir. Prophetic: Professional, Empathy, and
Islamic Counseling Journal, 2(2), 279-288

Hakim, L. N. (2013). Ulasan Metodologi Kualitatif: Wawancara Terhadap Elit.


Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial , 4(2), 165-172.

Jolly, W., Froom, J., & Rosen, M. (n.d.).(1980). The Genogram. The journal of
family practice. 10(2), 251-255.

Ninin, R. H., Rachman, N. F., Dalimunthe, K. L., Rakhmadevi, A., Muharram, H.


Z., Massinai, S. M. M., ... & Anggraeni, Y. (2020). Psikoetnografi sebagai

29
metode asesmen psikologi komunitas. Jurnal Psikologi Sosial, 18(2), 157-
168.

Supriatna, M. (2012). Analisis genogram sebagai alat konseling karir. Jurnal


Pendidikan Psikologi dan Bimbingan (Online). Universitas Pendidikan
Indonesia.
Suwartono, C. (2016). Alat tes psikologi konteks indonesia: Tantangan psikologi
di era MEA. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous
Psychology, 3(1), 1-6.

Syamsi, I. (2016). Pelaksanaan evaluasi asesmen akademik siswa Tunalaras di Slb-


E Prayuwana. JPK (Jurnal Pendidikan Khusus), 12(1), 31-42.

Nur’aeni, S. M. (2012). Tes Psikologi: Tes Inteligensi dan Tes Bakat. Universitas
Muhammadiyah (UM) Purwokerto Press.

Ramli, M., Hidayah, N., Zen, E. F., Flurentin, E., Lasan, B. B., & Imam Hambali.
(2017). BAB II ASESMEN BIMBINGAN DAN KONSELING.

Erlita, B. (2007). Studi Kasus Tentang Dampak Psikologis Anak Korban


Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 24.

LAILI, F. M. (2015). Penerapan Konseling Keluarga untuk mengurangi kecanduan


Game online pada siswa kelas VIII SMP Negeri 21 Surabaya. Jurnal BK
Unesa, 5(1).

29
LEMBAR KONTRIBUSI

Alelia Merinda Dewi


Menyusun Materi Tes Psikologi
15000120120034

Thariq Muhammad Ridho


Menyusun Materi Genogram
15000120120036

Ignatius Wisang Puda Wijaya Menyusun Makalah bagian Kata


Pengantar, Latar Belakang,
15000120130286
Rumusan Masalah, dan Tujuan
Belina Vyanny Siregar
Menyusun Materi Tes Psikologi
15000120140301

Messy Permata Sari


Menyusun PPT
15000120140309

Jasmine Azzahra
Menyusun Materi Genogram
15000120140329

Fadhila Odelia Calista Menyusun Makalah bagian Daftar


Isi, Kesimpulan, Saran, dan
15000120140376
Merapikan Makalah

29
ASESMEN IDENTIFIKASI PROBLEMATIKA PSIKOLOGIS DALAM
KELUARGA 2: OBSERVASI & INTERVIEW DAN KUESIONER

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Psikologi

Keluarga Dosen Pengampu:

Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.

Agustin Erna Fatmasari, S. Psi., M. A.

Disusun Oleh:

Alfina Thahiriah 15000120120005

Naomi Athira Khansa 15000120120051

Afaanin Ulayanisa Saliha 15000120130236

Ghithrafani Hanifah Hernanda 15000120140130

Dara Kintan Pratami 15000120140142

Tria Umita 15000120140168

Annisa Mutiara Cantika 15000120140143

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS


DIPONEGORO SEMARANG
Agustus, 2021
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan.......................................................................................................... 2

1.1. Latar Belakang................................................................................................... 2

1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................. 2


1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................ 3

1.4. Manfaat Penulisan.............................................................................................. 3

BAB II Pembahasan .........................................................................................................

5 2.1. Observasi dan Wawancara................................................................................. 5 A.

Pengertian Observasi dan Wawancara............................................................... 5 a.

Pengertian Observasi...................................................................................... 5 b.

Pengertian Wawancara................................................................................... 6 B. Alasan

Observasi dan Wawancara menjadi Kesatuan ....................................... 6

C. Tujuan Observasi sebagai Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam


Keluarga .................................................................................................................... 6

D. Karakteristik Observasi dan Wawancara ........................................................... 7

E. Strategi dan Teknik Observasi dan Wawancara ................................................ 9

F. Contoh Kasus Penggunan Observasi dan Wawancara untuk Mengidentifikasi


Problematika Psikologis dalam Keluarga ...............................................................
14

a. Kasus 1 ......................................................................................................... 14 b.

Kasus 2 ......................................................................................................... 16 2.2.

Kuesioner......................................................................................................... 18 A.

Pengertian Kuesioner....................................................................................... 18

B. Tujuan Kuesioner sebagai Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam


Keluarga ....................................................................................................... 18

C. Karakteristik Kuesioner ................................................................................... 19

D. Teknik Kuesioner............................................................................................. 22

E. Contoh Kasus Penggunaan Kuesioner untuk Mengidentifikasi Problematika


Psikologis dalam Keluarga...................................................................................... 23

a. Kasus 1 ......................................................................................................... 23 BAB

III Penutup............................................................................................................. 25 3.1.

Kesimpulan ...................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 26
Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara etimologi, keluarga berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu kula yang
berarti kasta atau suku bangsa, tempat kediaman, atau sekumpulan orang, dan
varga yang berarti golongan, kelompok, atau bagian (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2016). Keluarga merupakan bagian terkecil dalam struktur masyarakat
yang terbentuk dari pernikahan dan perkawinan, yang terdiri dari ayah, ibu, dan
anak. Menurut psikologi, keluarga dapat diartikan sebagai dua orang yang berjanji
untuk hidup bersama dan berkomitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan
fungsi yang saling terikat karena sebuah ikatan batin, atau suatu hubungan
perkawinan yang melahirkan ikatan sedarah, dan terdapat kesepahaman, watak,
kepribadian yang saling mempengaruhi satu sama lain walaupun ada
keberagaman, ketentuan norma, adat, nilai yang diyakini dalam membatasi
keluarga dan yang di luar keluarga (Mufidah, 2014). Sedangkan psikologi
merupakan ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam interaksinya dengan
lingkungan. Dengan demikian, psikologi keluarga merupakan ilmu yang
membahas tentang psikologi dalam konteks dinamika keluarga yang mencakup
tingkah laku, motivasi, perasaan, emosi, dan atensi anggota keluarga dalam
hubungannya baik interpersonal, maupun antar personal untuk mencapai fungsi
kebermaknaan dalam keluarga.

Pemahaman mengenai asesmen identifikasi problematika psikologis


dalam keluarga dibutuhkan dalam penelitian yang fokus pada psikologi keluarga.
Untuk memahaminya, kita perlu mengetahui jenis, karakteristik, dan tujuan dari
berbagai asesmen dalam permasalahan keluarga. Karena itu lah dalam makalah ini
kami mencoba menjelaskan dua jenis asesmen identifikasi problematika
psikologis dalam keluarga yaitu teknik observasi-wawancara dan kuesioner.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan observasi dan interview?

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 2


2. Apa tujuan observasi dan interview sebagai asesmen identifikasi problematika
psikologis dalam keluarga?
3. Bagaimana karakteristik metode observasi dan interview?
4. Bagaimana strategi dan teknik observasi dan interview?
5. Apa yang dimaksud dengan kuesioner?
6. Apa tujuan kuesioner sebagai asesmen identifikasi problematika psikologis
dalam keluarga?
7. Bagaimana karakteristik kuesioner?
8. Bagaimana teknik dan strategi penggunaan kuesioner?
9. Seperti apakah contoh observasi dan wawancara digunakan sebagai asesmen
identifikasi problematika psikologis dalam keluarga?
10. Seperti apakah kuesioner digunakan sebagai asesmen identifikasi
problematika psikologis dalam keluarga?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Apa yang dimaksud dengan observasi dan interview?


2. Apa tujuan observasi dan interview sebagai asesmen identifikasi problematika
psikologis dalam keluarga?
3. Bagaimana karakteristik metode observasi dan interview?
4. Bagaimana strategi dan teknik observasi dan interview?
5. Apa yang dimaksud dengan kuesioner?
6. Apa tujuan kuesioner sebagai asesmen identifikasi problematika psikologis
dalam keluarga?
7. Bagaimana karakteristik kuesioner?
8. Bagaimana teknik dan strategi penggunaan kuesioner?
9. Mengetahui penulisan makalah
10. Mengetahui pengaplikasian teori dari materi

1.4. Manfaat Penulisan

Melalui pembahasan dalam makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu


mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan observasi, interview, dan
kuesioner. Mahasiswa juga diharap mengetahui dan memahami tujuan dilakukannya

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 3


observasi, interview, dan kuesioner untuk asesmen identifikasi problematika
psikologis dalam keluarga, serta mengetahui karakteristik dan teknik penggunaannya
Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Observasi dan Wawancara

A. Pengertian Observasi dan Wawancara

a. Pengertian Observasi

• Corsini (dalam Kusdiyati & Fahmi, 2016)mengatakan observasi


adalah suatu metode yang dapat bersifat formal dan informal.
Observasi terdiri dari (1) aktivitas mengamati kejadian atau
peristiwa, (2) aktivitas mencatat apa yang diamati, (3) objek dari
observasi adalah tingkah laku.
• Cartwright dan Cartwright (dalam Kusdiyati & Fahmi, 2016)
mengatakan observasi adalah suatu proses sistematis dalam
mengamati, suatu proses dalam mencatat perilaku, dengan tujuan
membuat keputusan. Objek dari observasi adalah tingkah laku.
• Elmira (dalam Kusdiyati & Fahmi, 2016) mengatakan observasi
adalah suatu aktivitas mengamati tingkah laku individu yang
diikuti dengan mencatat hal-hal yang dianggap penting sebagai
penunjang informasi tentang individu, khususnya informasi situasi
saat ini.
• Bentzen (dalam Kusdiyati & Fahmi, 2016) mengatakan observasi
adalah aktivitas mencari informasi, yang kemudian dimaknakan,
menggunakan satu atau lebih panca indra, dan memiliki tujuan
tertentu.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa observasi


memiliki 3 komponen utama, yaitu sebagai berikut (Kusdiyati &
Fahmi, 2016):

• Teknik mengamati: berbagai teknik yang dapat digunakan dalam


melakukan pengamatan terhadap subjek/objek tertentu secara
spesifik
Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 5
• Teknik pencatatan: bagaimana cara melakukan pencatatan
observasi secara sistematis dan prosedural
• Teknik inferensis, yaitu proses pengambilan kesimpulan atau
pemaknaan dari apa yang diamati

b. Pengertian Wawancara

Wawancara adalah salah satu kaidah mengumpulkan data dan


merupakan metode ketika subjek dan peneliti bertemu dalam satu
situasi (baik secara langsung ataupun daring) tertentu dalam proses
mendapat informasi. Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 2017),
wawancara adalah pertemuan yang dilakukan oleh dua orang untuk
bertukar informasi maupun suatu ide dengan cara tanya jawab,
sehingga dapat dikerucutkan menjadi sebuah kesimpulan atau makna
dalam topik tertentu.

B. Alasan Observasi dan Wawancara menjadi Kesatuan

Sajian informasi yang baik pada umumnya menggunakan bahan-bahan


informasi yang diperoleh melalui teknik wawancara, observasi, dan teknik
lainnya. Demikian pula informasi yang disajikan di berbagai media pada
dasarnya merupakan hasil formulasi dari berbagai bahan-bahan informasi
yang digali baik melalui wawancara, pengamatan, atau teknik lainnya. Dalam
hal ini masing-masing teknik pengumpulan informasi tidaklah berdiri sendiri,
melainkan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Hanya saja dalam
penyusunan informasi harus mempertimbangkan secara cermat bahan-bahan
informasi mana yang memperoleh porsi utama dan mana yang bersifat
penunjang. Menurut sumber yang berbeda, semua tergantung pada informasi
yang ingin diperoleh, sehingga peneliti dapat menentukan jenis teknik yang
dipakai (materials determine a means).

C. Tujuan Observasi sebagai Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis


dalam Keluarga

Dalam melakukan penelitian, objektif atau tujuan penelitian harus


dipastikan. Peneliti seharusnya menentukan sejak awal informasi apa yang

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 6


diperlukan untuk mencapai tujuan yang diketahui dengan teknik observasi
maupun wawancara. Berikut tujuan penggunaan observasi dan wawancara
sebagai asesmen identifikasi problematika psikologis dalam keluarga.

a. Penggunaan observasi dapat menjadi asesmen awal


b. Mendapatkan informasi yang tepat sasaran.
c. Dapat mengetahui secara langsung jenis subjek/objek yang diberikan
asesmen berupa observasi dan wawancara, serta bisa memperhatikan
setiap reaksi subjek/objek penelitian.
d. Hubungan yang baik dapat mengurangi kecurigaan subjek/objek penelitian
terhadap informasi yang akan diberikan kepada peneliti, dengan hubungan
yang baik dapat mendorong subjek/objek penelitian memberikan jawaban
yang tepat dan yakin, sehingga peneliti dapat mengidentifikasi
problematika psikologis dalam keluarga. Dengan kata lain, observasi dan
wawancara dapat digunakan untuk menentukan masalah dalam keluarga,
sehingga peneliti mengetahui apa yang perlu dilakukan selanjutnya.
e. Peneliti pada saat wawancara dapat memperhatikan secara langsung adanya
keragu-raguan subjek/objek penelitian dalam menjawab atau merespon
sehingga peneliti dapat menilai apakah jawaban yang diberikan sesuai
dengan gerak tubuh subjek/objek penelitian.
f. Peneliti dapat memperoleh keterangan lebih lanjut dan mendalam terhadap
jawaban dari subjek yang tidak menyimpang dari tujuan penelitian. g.
Observasi dan wawancara sebagai titik awal untuk menentukan kemajuan
subjek/objek penelitian.
h. Observasi dan wawancara sebagai asesmen identifikasi problematika
psikologis dalam keluarga dilakukan untuk memecahkan masalah yang
ada di dalam keluarga.

D. Karakteristik Observasi dan Wawancara

Keuntungan dari teknik perolehan data melalui observasi antara lain


merupakan teknik mengukur perilaku seseorang secara langsung,
menyediakan informasi langsung, simple dan menghemat waktu, dapat

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 7


digunakan dalam metode penelitian eksperimen maupun metode penelitian
lain, observasi membutuhkan kemampuan mengambil kesimpulan dengan
baik. Namun dalam melakukan observasi, terdapat beberapa kekurangan yaitu
beberapa peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan pribadi tidak dapat
dilakukan dengan observasi, kehadiran observer dapat menciptakan situasi
buatan, munculnya peristiwa tidak selalu bisa diprediksi, observasi juga perlu
dilatih, potensi bias dan salah memaknai perilaku. (Widiasavitri, 2016)

Dikutip dari sumber lain, ciri perolehan data melalui observasi dapat
dijabarkan dalam poin-poin beriku t:

a. Observasi memiliki orientasi dan tujuan yang spesifik dan khusus, bukan
hanya untuk mendapatkan data-data yang bersifat umum tentang suatu
fenomena.
b. Observasi ilmiah dilakukan secara sistematis dan membutuhkan
perencanaan yang matang.
c. Observasi bersifat kualitatif, yakni mencatat sejumlah peristiwa tentang
jenis tingkah laku sosial tertentu.
d. Pencatatan hasil observasi dilakukan dengan segera atau secepatnya. e.
Observer dituntut memiliki keahlian dan profesionalisme agar data yang
diperoleh valid dan reliabel. (Kurniawan, 2021)

Seperti halnya observasi, wawancara memiliki beberapa kelebihan antara


lain dengan wawancara peneliti dapat memperoleh informasi yang tepat
sasaran dari populasi yang kecil, wawancara lebih efisien daripada pengisian
kuesioner, peneliti bisa mengembangkan pertanyaan dari jawaban subjek
(probing the question), peneliti bisa melihat reaksi subjek ketika diajukan
pertanyaan, peneliti dapat mengamati suasana saat wawancara dilakukan,
peneliti dapat memastikan bahwa subjek mengerti dengan pertanyaan yang
diajukan, peneliti bisa mengamati keragu-raguan subjek saat menjawab
pertanyaan. Sementara yang menjadi kelemahan dari teknik perolehan data
penelitian dengan wawancara antara lain kendala waktu dan biaya, kendala
komunikasi, sulit dilakukan jika subjek penelitian berjumlah banyak, jawaban

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 8


yang diberikan subjek dapat dipengaruhi oleh kepribadian subjek (Rosaliza,
2015).
Menurut Mason (dalam Rosaliza, 2015) terdapat beberapa ciri-ciri umum
dari proses wawancara atau wawancara antara lain:

a. Pertukaran dialog secara interaksional. Wawancara kualitatif mungkin


melibatkan interaksi satu lawan satu, wawancara kelompok yang lebih
besar atau kelompok fokus, dan dapat dilakukan secara tatap muka, atau
melalui telepon atau internet, misalnya.
b. Gaya yang relatif informal, misalnya, dengan penampilan tatap muka
wawancara percakapan atau diskusi daripada format tanya jawab formal. c.
Pendekatan tematik, berpusat pada topik, biografi, atau naratif, misalnya, di
mana peneliti memiliki sejumlah topik, tema, atau masalah yang ingin
mereka liput, atau satu set titik awal untuk diskusi, atau 'cerita tertentu ' yang
mereka ingin wawancara untuk memberitahu. Peneliti tidak mungkin
memiliki naskah pertanyaan yang lengkap dan berurutan, dan sebagian besar
wawancara kualitatif dirancang untuk memiliki struktur yang cair dan
fleksibel, dan untuk memungkinkan peneliti dan orang yang diwawancarai
mengembangkan tema yang tidak terduga.

E. Strategi dan Teknik Observasi dan Wawancara

Observasi adalah salah satu cara yang digunakan pengamat (observer) untuk
mendapatkan informasi. Patton (1990) (dalam Prasetyaningrum, 2018)
menyebutkan jika observasi dapat digunakan sebagai metode pengumpulan data
yang esensial, terutama untuk penelitian yang bersifat kualitatif. Psikolog dan atau
ilmuan psikologi dapat menggunakan observasi dalam memahami perilaku
manusia. Informasi yang didapat dari observasi dapat memudahkan psikolog dan
atau ilmuan psikologi untuk menjawab persoalan yang ada. Tentunya observasi
yang dilakukan harus dengan pengamatan yang andal dan objektif.

Secara ilmiah, observasi dilakukan dengan mengamati tingkah laku dalam


kondisi tertentu kemudian mencatat hasil pengamatan dengan sistematis dan
memaknai apa yang diamati. Validitas dan reabilitas observasi dapat

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 9


dipertanggunjawabkan asal dilakukan oleh pengamat yang telah melalui latihan
latihan khusus. Ini agar informasi yang didapat dari observasi dapat menjadi
sumber data yang akurat dan terpercaya (Prasetyaningrum, 2018).
Menurut Kerlinger (2003) (dalam Prasetyaningrum, 2018), kelebihan dan
kelemahan hasil data observasi ditentukan oleh pengamat. Hal ini karena
pengamat adalah orang yang harus mengamati sekaligus mencatat dan membuat
kesimpulan dari peristiwa yang terjadi. Akan menjadi kelebihan observasi karena
pengamat dapat langsung mengaitkan peristiwa yang terjadi dengan konstruk atau
variabel. Akan tetapi, dapat dikatakan juga sebagai kelemahan karena pengamat
bisa saja membuat kesimpulan yang keliru atau bias (Prasetyaningrum, 2018).

Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi objek observasi, antara lain
(Prasetyaningrum, 2018):

a. Ruang (tempat), adalah tempat di mana pengamat melakukan observasi.


Ruang bisa menjadi salah satu sumber informasi yang penting sehingga
pengamat harus benar-benar memperhatikannya.
b. Pelaku (subjek), semua orang yang terlibat dalam peristiwa atau situasi
yang diamati.
c. Objek atau seluruh benda di ruang yang diamati. Pengamat harus bisa
mendeskripsikannya dengan jelas.
d. Perbuatan atau tindakan. Segala tingkah laku termasuk gesture, ekspresi,
dan segala respons yang dilakukan subjek harus diamati dengan benar. e.
Kejadian atau peristiwa, rangkaian kegiatan yang muncul karena interaksi
para subjek. Pengamat harus bisa mendeskripsikannya dengan runtut dan
jelas.
f. Waktu atau durasi waktu peristiwa.
g. Tujuan, yaitu apa yang ingin dicapai pengamat ketika mengamati
peristiwa yang terjadi.
h. Perasaan dan emosi subjek. Pengamat harus bisa mendeskripsikan
perasaan subjek berdasarkan intonasi suara, gerak, raut wajah, dan
lainnya

Ada beberapa teknik observasi yang bisa dilakukan, yaitu (Prasetyaningrum,


2018):

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 10


a. Observasi Systematic vs Unsystematic

Sesuai namanya, observasi sistematik dilakukan dengan terstruktur dan


memiliki karakteristik khusus dari peristiwa yang diamati. Pengamatan
sistematik mengarah ke seberapa lama atau seberapa sering observasi
dilakukan (Misalnya setiap 15 menit). Observasi sistematik lebih membatasi
isi dan jangkauan pengamatan. Observasi sistematik benar-benar mengatur
jalannya pengamatan dengan rinci. Bahkan, terkadang perilaku target dihitung
dengan hitungan matematis untuk mencegah lupa ketika telah mengamati
perilaku orang lain. Observasi sistematik sangat disarankan untuk pemula
karena dapat memudahkan proses pengamatan.

Sementara itu menurut Sugiyono (2017) observasi nonsistematik adalah


observasi di mana observer tidak menggunakan intstrumen baku ketika
melakukan pengamatan, namun hanya menggunakan rambu-rambu
pengamatan. Rancangan pada observasi nonsistematik tidak digunakan
dengan kaku selama proses pengamatan. Teknik observasi nonsistematik ini
memudahkan observer mengubah objek observasi berdasarkan kondisi
lapangan (Poerwandari, 2001).

b. Observasi Eksperimental vs Observasi Natural

Observasi eksperimental dilakukan dengan upaya untuk mengatur dan


mengendalikan unsur-unsur penting observasi ketika proses pengamatan.
Kondisi pada observasi eksperimental disesuaikan sedemikian rupa agar
sesuai dengan tujuan observasi. Observasi eksperimen juga digunakan jika
dirasa ada faktor lain yang dapat membahayakan selama proses pengamatan.
Observasi eksperimental memiliki beberapa karakteristik, seperti:

• Observee dihadirkan ke kondisi yang telah didesain dan disesuaikan.


Bisa seragam atau berbeda untuk setiap orangnya.
• Observee menyesuaikan kondisi yang akan dilakukan untuk
menstimulasi munculnya perilaku yang diinginkan.
• Observer membuat kondisi yang diinginkan sedemikian rupa. Hal ini
agar observee tidak mengetahui maksud pengamatan.

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 11


Observasi eksperimental membuat observer mengetahui jika perilaku
yang diinginkan muncul karena kondisi yang dimaksud atau karena faktor
lain. Dalam menggunakan observasi eksperimental, observer harus mampu
mendesain rancangan observasi dengan sangat sistematis.

Berkebalikan dengan observasi eksperimental, observasi natural


dilakukan secara alamiah. Kondisi yang diamati merupakan kondisi nyata dari
observee tanpa manipulasi atau perubahan yang sengaja dilakukan. Data yang
didapat dari observasi natural lebih representatif karena berdasarkan kejadian
aslinya. Akan tetapi, observer menjadi sulit untuk menemukan hubungan
sebab dan akibat.

c. Observasi partisipan vs non partisipan

Pada observasi partisipan, observer ikut andil dalam kondisi atau peristiwa
yang diamati. Observer akan berbaur dan seolah-olah menjadi bagian dari
peristiwa, bukan pengamat. Sedangkan pada observasi non partisipan,
observer tidak menjadi bagian dari kondisi atau peristiwa yang diamati.
Observer murni hanya berkedudukan sebagai pengamat.

d. Observasi Formal dan Nonformal

Observasi formal adalah observasi yang dicatat dengan sistematis.


Pencatatan observasi formal harus memenuhi beberapa unsur agar hasilnya
rinci dan baku. Sementara itu, pencatatan observasi formal tidak
mengharuskan observer memenuhi semua unsur seperti observasi formal.

Wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data. Wawancara yang


dilakukan dengan baik dapat menghasilkan informasi yang lengkap, fleksibel, dan
praktiknya mudah diadaptadi ke kondisi individual. Dalam dunia psikologi,
wawancara penting untuk mengetahui bagaimana respons klien dan apa yang dia
rasakan.

Proses wawancara memiliki tiga tahapan, yaitu: opening, body, dan closing
(Rosi, 2016). Tiga tahapan ini akan terus dilakukan meskipun interviewee telah
melakukan beberapa kali wawancara. Wawancara harus dimulai dengan santai
seperti ketika mengobrol. Seorang pewawancara harus berlatih menjadi pennaya,

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 12


pendengar, dan pemerhati yang baik. Ini agar apa yang disampaikan interviewee
ketika wawancara dapat diterima dengan jelas.

Ada beberapa teknik wawancara menurut Stewart & Cas (2008) (dalam Rosi,
2016) di antaranya:

a. Open-close Question
Pertanyaan terbuka merupakan pertanyaan yang menstimulasi penjelasan
panjang dari interviewee. Pertanyaan terbuka memudahkan interviewee
menjelaskan hal-hal yang menjadi fokus pewawancara. Pewawancara harus
jeli dalam menggunakan pertanyaan terbuka. Hal ini karena interviewee bisa
saja menjelaskan terlalu banyak hingga terkadang melenceng dari tema.
Sementara itu, pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang sifatnya
terbatas. Pertanyaan yang diajukan pewawancara memberi batasan kepada
interviewee. Pertanyaan tertutup biasanya spesifik sehingga interviewee tidak
perlu menjelaskan panjang lebar.
b. Primary and Secondary Question
Primary question adalah pertanyaan yang bersifat umum. Primary
question bertujuan untuk mengungkapkan data menurut topik yang telah
diajukan untuk menanyakan topik baru. Baik pertanyaan terbuka ataupun
tertutup dapat digunakan sebagai primary question.
Secondary question merupakan pertanyaan lanjutan dari primary question.
Pertanyaan ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam.
Secondary question sangat berguna ketika interviewee menjawab dengan
ragu-ragu, tidak relevan, tidak lengkap, atau tidak akurat.
c. Neutral dan Leading Question
Pertanyaan netral merupakan pertanyaan di mana pewawancara
membebaskan interviewee untuk menjawab tanpa ada arahan atau tekanan.
Pertanyaan yang diajukan tidak boleh mengandung unsur tertentu yang dapat
mengubah pikiran interviewee, seperti menyalahkan, menekan, ataupun
membela.
Kebalikan dari neutral question, leading question mengarahkan jawaban
interviewee. Pewawancara membimbing interviewee untuk dapat

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 13


memberikan jawaban yang telah tersedia. Pertanyaan jenis ini rawan sekali
bias jika tidak dilakukan pewawancara berpengalaman.

F. Contoh Kasus Penggunan Observasi dan Wawancara untuk


Mengidentifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga

a. Kasus 1

Sebuah keluarga yang terdiri dari 4 anggota yaitu Ayah, Ibu, Anak
pertama, dan Anak kedua, di mana permasalahan utama dalam keluarga ini
adalah kakak yang tidak selalu menjalankan perintah orang tua untuk
menanyakan kondisi dan keadaan sang adik. Sementara, orang tua dari
keluarga ini setiap saat menghubungi anak keduanya (adik) karena khawatir.
Hal ini mengakibatkan sang adik merasa tidak nyaman dan akhirnya mulai
menjaga jarak dengan kedua orang tuanya dengan tidak membalas pesan
singkat atau telepon, baik dari orang tua maupun sang kakak (Islamiyah,
2014).
• Metode asesmen:
Metode asesmen yang dipakai dalam kasus ini adalah wawancara yang
dilakukan dengan tanya jawab kepada seluruh anggota keluarga, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Wawancara pada kasus ini
dilakukan dengan autoanamnesa dan alloanamnesa. Ketika wawancara
berlangsung, interviewer memperhatikan kecemasan dan ketakutan
sehingga memungkinkan interviewee dapat merasa nyaman untuk
menyatakan perasaannya (Islamiyah, 2014).
Hasil asesmen menyatakan bahwa awal mula sang adik menjadi
pribadi yang seperti ini dimulai ketika akhir studinya di Malang, ia ingin
mencoba “dunia malam”. Hal itu membuat sang adik sering pulang larut
malam, merokok, bahkan meminum minuman keras yang membuat kedua
orang tuanya menjadi khawatir (Islamiyah, 2014).
• Intervensi:
Intervensi yang digunakan adalah Strategic Family Therapy yang
dapat membantu dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya saat

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 14


ini (Santisteban, Coatsworth, Vidal, Mitrani, Gilles, & Szapocznik, 1997
dalam Islamiyah, 2014) dengan 5 langkah dasar, yaitu social stage,
problem stage, interaction stage, defining desired changes, dan ending the
interview (Islamiyah, 2014).
1. Social stage. Terapis meminta kepada seluruh anggota keluarga
bertemu untuk mendengarkan pendapat masing-masing. Terapis
perlu untuk memperhatikan mood anggota keluarga dan menjalin
hubungan baik pada seluruh anggota keluarga
2. Problem stage. Terapis menggali masalah lebih dalam dan
mendetail. Pertanyaan diajukan mulai dari ayah, ibu, kakak, lalu
sang adik.
3. Interaction stage. Terapis mulai mengetahui permasalahan yang
dihadapi masing-masing anggota keluarga dan mulai mengajak
seluruh anggota keluarga untuk membicarakan masalahnya
4. Defining desired changes. Setelah semua anggota keluarga
mengutarakan masalah, banyak isu yang akan menjadi lebih jelas.
Pada saat ini terapis akan menjelaskan masalah apa saja yang
dihadapi secara konkret untuk kemudian mencari kesepakatan
yang diharapkan oleh seluruh anggota keluarga.
5. Ending the interview. Terapis memberi tugas yang harus dilakukan
oleh seluruh anggota keluarga di luar sesi terapi dengan tujuan
merubah perilaku anggota keluarga.
• Hasil (Islamiyah, 2014):
1. Kakak sepakat untuk tidak secara sering menghubungi dan mencari
informasi kepada teman atau pacar sang adik karena akan membuat
sang adik malu.
2. Adik akan merubah kebiasaannya dalam mengabaikan pesan dan
telepon dari orang tua serta berjanji untuk setidaknya sebulan
sekali pulang ke Tuban.
3. Ibu meminta kepada sang adik untuk selalu mengingat keluarga jika
hendak melakukan hal-hal negatif dan lebih sering untuk sholat 5
waktu

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 15


4. Kakak berjanji untuk menyampaikan informasi apapun yang ia
tahu tentang sang adik kepada keluarga tanpa ditutupi
5. Adik ingin dipercaya sepenuhnya akan segala kegiatannya di
Malang dan berjanji tidak melakukan hal yang dapat membuat
malu dan membuat keluarga khawatir.
Dari hasil kesepakatan tersebut dapat dikatakan bahwa intervensi yang
dilakukan berhasil dalam penerapan terapi yang dibuktikan dengan
tercapainya kesepakatan antar anggota keluarga dan meningkatnya
kualitas komunikasi yang lebih baik dari sebelumnya

b. Kasus 2

Kasus ini mengangkat cerita anak perempuan berusia 6 tahun yang


merupakan anak tunggal dengan status anak angkat. Ayahnya bekerja sebagai
polisi dan Ibunya sebagai dokter. Setelah sang Ayah dipindah tugaskan
bekerja di Surabaya, intensitas komunikasi mereka berkurang. Perlakuan sang
Ayah kepada anak juga berubah lantaran sang Ayah berpoligami. Setelah sang
Ibu meninggal karena sakit jantung, subjek sempat diajak untuk tinggal
bersama dengan Ayah dan Ibu tirinya. Namun, hubungan ibu tiri dan subjek
kurang baik sehingga sang Ayah memulangkan kembali subjek ke Malang,
tepatnya ke rumah kakak ipar dari istri pertamanya. Setelah kejadian tersebut,
subjek sering menangis karena rindu dengan sang Ayah dan sebaliknya, sang
Ayah justru berubah dan menjaga jarak dengannya (Agustin, 2016).

• Metode asesmen:

Metode yang digunakan dalam kasus ini adalah observasi dan


wawancara. Observasi dilakukan di rumah subjek dengan mengikuti
kegiatan sehari-harinya untuk melihat pola perilaku dan keseharian
keluarga. Sedangkan wawancara bertujuan untuk mengumpulkan data
terkait dengan subjek dan anggota keluarga untuk menunjang diagnosis
dari permasalahan subjek (Agustin, 2016).

• Hasil asesmen:

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 16


Keluarga ini mengalami permasalahan dalam pola komunikasi
yang salah antar anggota keluarga, yaitu ayah dan anak Ayah yang
sibuk bekerja di luar kota dan telah memiliki keluarga baru di luar kota
membuatnya berubah kepada subjek. Sebelum ia pindah tugas dan
diketahui memiliki keluarga baru, ia sangat sayang kepada subjek.
Perubahan perilaku yang ditunjukkan sang ayah membuat subjek
merasa tidak nyaman dan sering mengeluhkan kangen dengan sang
ayah kepada budenya. Sang ayah juga menolak untuk tidur bersama
subjek saat ia pulang ke Malang dengan alasan agar subjek menjadi
anak yang mandiri. Selain itu, sang ayah juga jarang menelpon subjek
karena alasan sibuk bekerja (Agustin, 2016).

• Intervensi:

Intervensi yang digunakan adalah strategic family therapy sebanyak 3


sesi berdurasi 60-90 menit per sesi (Agustin, 2016).

1. Sesi 1 (Sabtu, 20 Desember 2014 di rumah subjek). Melakukan


tahap Social stage dan problem stage yaitu terapis meminta seluruh
anggota keluarga (ayah, anak, dan bude) untuk hadir, dimana setiap
anggota keluarga diminta untuk menyampaikan pendapatnya
mengenai masalah yang dihadapi.
2. Sesi 2 (Sabtu, 3 Januari 2015 di rumah subjek). Melakukan tahap
interaction stage dan defining desired changes yaitu setelah terapis
mengetahui masalah- masalah yang dihadapi oleh masing-masing
anggota keluarga selanjutnya terapis meminta komentar dari setiap
anggota keluarga untuk membicarakan masalah yang dihadapi
secara bersama. Selanjutnya, terapis menjelaskan masalah secara
konkrit kemudian mencari kesepakatan mengenai perubahan yang
diharapkan dalam keluarga.
3. Sesi 3 (Sabtu, 10 Januari 2015 di rumah subjek). Terapis melakukan
evaluasi dengan anggota keluarga mengenai perubahan yang sudah
terjadi setelah 1 minggu.
• Hasil (Agustin, 2016):

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 17


1. Anak mulai mengerti kondisi pekerjaan ayahnya yang tidak selalu
bisa menghubunginya dan anak tidak menangis lagi saat sang ayah
berangkat bekerja, serta tidak akan sulit makan jika ayah sedang
tidak ada di rumah.
2. Ayah menyempatkan waktu untuk menelpon anak dan ketika ayah
sedang berada di rumah akan lebih sering mengajak anak untuk
berjalan-jalan ke luar untuk menghabiskan waktu bersama, serta
mau menidurkan anak ketika sedang berada di rumah.

Dari kasus tersebut, bisa disimpulkan bahwa intervensi dengan


strategic family therapy ini dikatakan berhasil. Dengan intervensi keluarga
untuk mencairkan pola interaksi dalam keluarga dengan cara
menyampaikan masalah-masalah yang dirasakan kepada anggota keluarga
akhirnya menciptakan rasa nyaman di dalam keluarga (Gelso & Frets,
2001; Green, 2008 dalam Agustin, 2016). Saran untuk seluruh anggota
keluarga agar bisa terus menjaga komunikasi secara efektif sehingga
hubungan antar anggota keluarga nyaman dan harmonis (Agustin, 2016)

2.2. Kuesioner

A. Pengertian Kuesioner

Kuesioner merupakan data faktual atau pendapat yang berhubungan dengan


diri responden yang berbentuk baik pertanyaan, maupun pernyataan dan dianggap
benar atau kebenarannya kebenarannya sudah diketahui dan memerlukan
responden untuk menjawabnya.

Pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner adalah pertanyaan langsung dan


mengarah pada informasi yang ingin diungkap, satu kuesioner biasanya mampu
mengungkap informasi mengenai beberapa hal (Azwar, 2005).

B. Tujuan Kuesioner sebagai Asesmen Identifikasi Problematika


Psikologis dalam Keluarga

Kuesioner merupakan data faktual atau pendapat yang berhubungan dengan


diri responden yang berbentuk baik pertanyaan, maupun pernyataan dan
dianggap

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 18


benar atau kebenarannya kebenarannya sudah diketahui dan memerlukan
responden untuk menjawabnya.

Pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner adalah pertanyaan langsung dan


mengarah pada informasi yang ingin diungkap, satu kuesioner biasanya mampu
mengungkap informasi mengenai beberapa hal (Azwar, 2005).

C. Karakteristik Kuesioner
Kuesioner ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian di dalam lembaran
yang akan dibagikan ke responden, yaitu (Rahmi, 2018):

a. Judul angket
b. Pengantar yang berisi tujuan dan petunjuk pengisian angket c.
Item-item pertanyaan, bisa juga opini atau pendapat, dan fakta.

Menurut Uma Sekaran (1992) (dalam Rahmi, 2018) menyatakan bahwa


kuesioner memiliki beberapa prinsip dalam penelitian sebagai teknik
pengumpulan data yaitu:

a. Isi dan Tujuan Pertanyaan


Isi dan Tujuan pertanyaan perlu diperhatikan apakah bentuk pengukuran
atau tidak. Jika berbentuk pengukuran, dalam membuat pertanyaannya harus
teliti namun skala pengukuran dan jumlah itemnya juga mencukupi untuk
mengukur variabel dengan teliti.
b. Bahasa yang Digunakan

Bahasa yang digunakan dalam kuesioner disesuaikan dengan target


responden. Hal ini kita perlu memperhatikan jenjang pendidikan responden
dan keadaan sosial budaya responden.

c. Tipe dan Bentuk Pertanyaan

Tipe pertanyaan dalam kuesioner dapat terbuka dan tertutup. Pertanyaan


terbuka dapat diartikan pertanyaan yang mengharapkan responden untuk
menuliskan jawaban yang terurai atau uraian. Sedangkan pertanyaan tertutup
pertanyaan dengan beberapa pilihan jawaban sehingga dapat mempersingkat

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 19


waktu pengisian kuesioner dan memudahkan peneliti dalam menganalisis
data.

d. Pertanyaan Tidak Mendua

Hindari pertanyaan yang mengandung 2 jawaban sekaligus, disarankan


jika terdapat pertanyaan mendua lebih baik dijadikan dua pertanyaan.

e. Tidak Menanyakan yang Sudah Lupa


Dalam hal ini hindari pertanyaan yang memikir berat atau pertanyaan
yang perlu waktu lama untuk berpikir masa lalu.

f. Pertanyaan Tidak Menggiring

Pertanyaan dalam kuesioner disarankan tidak menggiring ke jawaban yang


baik saja atau yang jelek saja. Sebisa mungkin diusahakan mempertahankan
keseimbangan pertanyaan.

g. Panjang Pertanyaan

Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner sebaiknya tidak terlalu


panjang, agar menghindari kejenuhan responden dalam mengisi. Dalam hal ini
antara 20 sampai dengan 30 pertanyaan disarankan untuk jumlah pertanyaan
yang memadai.

Pertanyaan dalam kuesioner berawal dari pertanyaan umum menuju ke


pertanyaan yang spesifik, atau dari yang mudah ke yang sulit ataupun di acak.
Jika responden langsung diberikan pertanyaan yang spesifik atau sulit, maka
responden akan merasa tidak ingin melanjutkan mengisi kuesioner tersebut.

h. Prinsip Pengukuran

Kuesioner yang diberikan kepada responden adalah salah satu instrumen


penelitian, yang digunakan untuk mengukur variabel yang akan diteliti. Maka
dari itu instrumen kuesioner harus dapat digunakan memperoleh data yang
valid dan reliabel.

i. Penampilan Fisik Angket

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 20


Penampilan fisik angket sangat mempengaruhi respon atau keseriusan
responden dalam mengisi kuesioner. Umumnya kuesioner dibuat dalam kertas
buram karena mengingat keterbatasan harga.

Perbedaan Kuesioner dengan Tes Psikologi (Sugiyono,

2017) a. Aspek yang Diungkap

Aspek pada kuesioner lebih mengarah mencari informasi yang dapat


berupa opini, pendapat, atau peristiwa faktual lain. Sedangkan tes psikologi
lebih mengarah pada aspek kepribadian yaitu kognitif dan psikomotorik.

b. Sifat Pertanyaan

Sifat pertanyaan dalam kuesioner lebih mengarah kepada pertanyaan


langsung dan mengarah mengenai informasi tentang data yang ingin diungkap.
Sedangkan pertanyaan-pertanyaan dalam tes psikologi megarah pada
indikator perilaku yang bertujuan untuk mengumpan jawaban yang
menggambarkan keadaan diri subjek.

c. Penilaian Jawaban

Dalam penilaian jawaban, kuesioner tidak bisa diberi angka atau


nilai/skor/harga tetapi dengan coding yang merupakan proses identifikasi atau
klasifikasi jawaban. Sedangkan penilaian jawaban tes dapat dipastikan dengan
betul dan salah.

d. Cakupan Data yang Diungkap

Kuesioner bisa mengungkap banyak informasi mengenai banyak hal.


Sedangkan Tes psikologi hanya digunakan untuk mengungkap satu atribut
psikologis.

e. Uji Validitas dan Reliabilitas

Kuesioner tidak perlu melakukan uji validitas dan reliabilitas secara


psikometris karena cukup dengan tujuan dan informasi yang ingin diungkap
tidak lupa dengan asumsi responden akan menjawab pertanyaan sesuai dengan

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 21


fakta. Sedangkan Tes psikologi diharuskan teruji validitas dan reliabilitasnya,
karena harus jelas konssep psikologis yang ingin diukur.

D. Teknik Kuesioner

Angket atau kuesioner merupakan teknik atau cara memahami siswa dengan
mengadakan komunikasi tertulis, yaitu dengan memberikan daftar pertanyaan
yang harus dijawab atau dikerjakan oleh responden secara tertulis juga (Juliandi
et al., 2014).
Dapat diartikan bahwa angket merupakan alat untuk mengumpulkan
informasi, data, dan pendapat, yang harus diisi responden. Berikut ini cara-cara
untuk membuat angket, meliputi (Juliandi et al., 2014):

a. Tentukan variabel dan sub variabel.


b. Tentukan indikator.
c. Tentukan skala ukur yang akan digunakan.
d. Buatlah kata-kata pengantar sebagai pembuka.
e. Pertanyaan disesuaikan dengan kemampuan responden.
f. Bentuk angket tidak terlalu panjang dan harus jelas.
g. Membuat pedoman cara menjawab
h. Untuk mendapatkan jawaban yang maksimal dari responden, maka harus
memperhatikan waktu yang tepat untuk memberikan angket.

Kuesioner atau angket ini memiliki teknik pengumpulan data dengan cara
menyebarkan lembar pertanyaan/pernyataan tertulis tentang suatu fakta dan
kebenaran yang diketahui oleh subjek (Juliandi et al., 2014).

Dalam angket terdapat usaha pengambilan data, yang perlu diperhatikan


(Juliandi et al., 2014): (1) menyiapkan angket, (2) mempersiapkan suran
ijin/pengantar penelitian, (3) memberikan angket pada waktu yang tepat. Terdapat
berbagai cara untuk melakukan pengolahan data penelitian, ada yang dilakukan
dengan cara statistik ataupun non-statistik. Pengolahan data ini tergantung dengan
jenis data (Situmorang et al., 2010), apabila data berupa kualitatif maka cara
pengolahannya tidak dilakukan dengan statistik. Jika jenis data berupa kuantitatif
maka dimungkinkan dengan cara statistik. Data yang sudah diolah dapat disajikan

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 22


dalam bentuk tabel, cerita (baik kalimat atau paragraf), dan ada pula yang
berbentuk grafik, serta data yang perlu dianalisis.

Menganalisis data (Situmorang et al., 2010) berarti menemukan makna yang


terkandung dalam data tersebut. Maka dapat diperoleh dengan memberikan
perspektif kepada sebuah data apapun. Namun, perspektif yang diberikan adalah
perspektif normatif yang bersifat filosofis atau idealis, positivis, dan yuridis
(Syamsudin, 2021). Adapun perspektif sosial yang berupa perspektif sosiologis,
antropologis, politis, psikologis, dan sebagainya (Isrofin, 2019).
E. Contoh Kasus Penggunaan Kuesioner untuk Mengidentifikasi
Problematika Psikologis dalam Keluarga

a. Kasus 1

Kasus ini membahas mengenai pengaruh keberfungsian keluarga


terhadap self-control diri remaja, khususnya siswa sekolah menengah atas
dengan orang tua yang bekerja penuh waktu dimana masa remaja adalah
waktu dimana mulai terjadi perubahan dalam diri individu yang sering kali
sulit untuk mengatasinya dan perlu bimbingan. Karena banyak remaja
yang terjerumus pada hal yang tidak baik seperti merokok dan turunnya
kemampuan akademis diakibatkan seringnya melakukan prokrastinasi
dalam mengerjakan tugas, hal-hal tersebut diakibatkan oleh lemahnya
kontrol diri remaja (Syahnezia, 2015).

• Metode Asesmen:

Metode asesmen yang digunakan dalam kasus ini adalah teknik survei
dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang digunakan
menggunakan alat ukur Family Assessment Devices (FAD) dan Self
Control Scale.

• Hasil Asesmen:

Berdasarkan hasil analisis penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa


keberfungsian keluarga berpengaruh positif terhadap keberfungsian
remaja sebesar 6,5%. Hasil tersebut menjelaskan bahwa peran keluarga

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 23


sangat penting terhadap setiap anggota keluarga, karena diperlukannya
komunikasi, saling menghargai, peka satu sama lain, dan menunjukkan
kepedulian juga haruslah ada kontrol perilaku yang tegas di keluarga.

Remaja yang memiliki keberfungsian keluarga yang baik memiliki


kontrol diri yang baik sehingga lebih dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan membedakan hal baik dan buruk bagi dirinya.

• Hasil Asesmen:

Berdasarkan hasil analisis penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa


keberfungsian keluarga berpengaruh positif terhadap keberfungsian
remaja sebesar 6,5%. Hasil tersebut menjzlaskan bahwa peran keluarga
sangat penting terhadap setiap anggota keluarga, karena diperlukannya
komunikasi, saling menghargai, peka satu sama lain, dan menunjukkan
kepedulian juga haruslah ada kontrol perilaku yang tegas di keluarga.

Remaja yang memiliki keberfungsian keluarga yang baik memiliki


kontrol diri yang baik sehingga lebih dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan membedakan hal baik dan buruk bagi dirinya.

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 24


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pemahaman mengenai asesmen identifikasi problematika psikologis dalam


keluarga dibutuhkan dalam penelitian yang fokus pada psikologi keluarga. Untuk
memahaminya, kita perlu mengetahui jenis, karakteristik, dan tujuan dari berbagai
asesmen dalam permasalahan keluarga. Observasi adalah suatu aktivitas mengamati
tingkah laku individu yang diikuti dengan mencatat hal-hal yang dianggap penting
sebagai penunjang informasi tentang individu, khususnya informasi situasi saat ini.
Dalam observasi pun memiliki 3 komponen utama dimana terdapat teknik mengamati,
pencatatan, dan inferensi. ketiganya memiliki arti tersendiri. observasi menjadi satu
dengan wawancara karena informasi yang disajikan di berbagai media pada dasarnya
merupakan hasil formulasi dari berbagai bahan-bahan informasi yang digali baik
melalui wawancara, pengamatan, atau teknik lainnya. Dalam hal ini masing-masing
teknik pengumpulan informasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi
satu dengan yang lainnya.

Dalam melakukan penelitian, objektif atau tujuan penelitian harus dipastikan.


Peneliti seharusnya menentukan sejak awal informasi apa yang diperlukan untuk
mencapai tujuan yang diketahui dengan teknik observasi maupun wawancara.
Kelebihan dan kelemahan hasil data observasi ditentukan oleh pengamat. Hal ini
karena pengamat adalah orang yang harus mengamati sekaligus mencatat dan
membuat kesimpulan dari peristiwa yang terjadi. Akan menjadi kelebihan observasi
karena pengamat dapat langsung mengaitkan peristiwa yang terjadi dengan konstruk
atau variabel. Akan tetapi, dapat dikatakan juga sebagai kelemahan karena pengamat
bisa saja membuat kesimpulan yang keliru atau bias.

Sedangkan kuesioner adalah data faktual atau pendapat yang berhubungan dengan
diri responden yang berbentuk baik pertanyaan, dan digunakan untuk mendapatkan
informasi dari subjek karena dinilai lebih hemat dan efisien.

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 25


DAFTAR PUSTAKA

Agustin, I. (2016). Strategic Family Therapy untuk Menangani Masalah Komunikasi


Ayah dan Anak. PROCEDIA: Studi Kasus Dan Intervensi Psikologi, 4(2), 63–67.
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/procedia/article/download/16238/9135/47575

Azwar, S. (2005). Metode Penelitian. Pustaka Belajar Offset.

Islamiyah, N. M. (2014). Strategic Family Therapy untuk Meningkatkan Komunikasi


dalam Keluarga. PROCEDIA: Studi Kasus Dan Intervensi Psikologi, 2(1), 13–16.
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/procedia/article/view/16271
Isrofin, B. (2019). Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan Sekolah. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.

Juliandi, A., Irfan, & Manurung, S. (2014). Metodelogi penelitian bisnin, konsep dan
aplikasi: sukses menulis skripsi & tesis mandiri. UMSU Press.

Kurniawan, A. (2021). Pengertian Observasi – Ciri, Macam, Jenis, Tujuan, Manfaat.


Guru Pendidikan. https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-observasi/

Kusdiyati, S., & Fahmi, I. (2016). Observasi Psikologi. PT REMAJA ROSDAKARYA.

Mufidah. (2014). Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. UIN-MALIKI PRESS


(Anggota IKAPI).

Prasetyaningrum, S. (2018). Observasi: Teori dan Aplikasi dalam Psikologi. In UMM


Press. UMM Press.

Rahmi, S. (2018). Pengembangan Asesmen NonTes Dalam Konseling Islam. Universitas


Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam.

Rosaliza, M. (2015). Wawancara, Sebuah Interaksi Komunikasi dalam Penelitian


Kualitatif. Jurnal Ilmu Budaya, 11(2).
https://doi.org/https://doi.org/10.31849/jib.v11i2.1099

Rosi, F. (2016). Teori Wawancara Psikodiagnostik. Leutikaprio.

Situmorang, S. H., Muda, I., Doli, M., Dalimunte, J., Fadli, & Syarief, F. (2010).
Analisis data untuk riset manajemen dan bisnis. USU Press.

Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 26


Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta
Bandung.

Syahnezia, I. (2015). Pengaruh Keberfungsian Keluarga Terhadap Kontrol Diri Siswa


Sekolah Menengah Atas yang Memiliki Orang Tua Pekerja Fulltime. [Universitas
Negeri Jakarta]. http://repository.unj.ac.id/3213/1/SKRIPSI IQLIMA SYAHNEZIA
1125115056.pdf

Syamsudin, M. (2021). Mahir meneliti masalah hukum. Prenada Media.

Widiasavitri, P. N. (2016). Bahan Ajar Mata Kuliah Psikodiagnostika Ii (Observasi).


Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 27
ISU DAN FENOMENA TERKINI KELUARGA INDONESIA
Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Psikologi Keluarga Kelas 3

Dosen Pengampu :

Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.

Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.

Disusun Oleh :

Shilfia Faiqotulmuna 15000120130151

Andrawina Syifanindita 15000120130157

Fitri Ramadhina 15000120130177

Aulia Luthfitarini 15000120140171

Amanda Nabila Hasyimita 15000120140204

Margaretha Grazella Ermawati 15000120140304

Rahma Dewi Sri Wulandari 15000120140319

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Isu dan Fenomena Terkini
Keluarga Indonesia dalam mata kuliah Psikologi Keluarga.

Kami juga berterima kasih kepada ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. dan ibu
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A. selaku dosen pengampu yang telah membimbing
kami dalam mata kuliah Psikologi Keluarga. Kami juga tidak lupa berterima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini, baik berupa tenaga, ide, maupun
yang lainnya.

Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Terlepas
dari itu, kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Maka dari itu, kami sangat berkenan dengan tanggapan, kritik, dan
saran dari para pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.

Semarang, 28 Agustus 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
I. Latar Belakang ................................................................................................... 4
II. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
III. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 5
IV. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 5
BAB II .......................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................ 6
I. Commuter Marriage ........................................................................................... 6
II. Keluarga Dengan Anak Berkebutuhan Khusus ............................................... 10
III. Keluarga Multikultur .................................................................................... 13
IV. Keluarga Dengan Anak Adopsi ...................................................................... 14
V. Keluarga Dengan Pasangan Yang Bekerja ......................................................... 16
VI. Alone Together Family .................................................................................. 18
VII. Child Abuse .................................................................................................. 21
VIII. Kriminalitas Dalam Keluarga ..................................................................... 26
BAB III ....................................................................................................................... 32
PENUTUP ................................................................................................................... 32
I. Kesimpulan ...................................................................................................... 32
II. Kritik Dan Saran ........................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 33

3
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang terdiri dari dua atau
lebih anggota yang memiliki jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah,
perkawinan dan adopsi (Wiratri, 2018). Keluarga pun dipahami sebagai satu
kesatuan interaksi dan komunikasi dari semua orang yang berperan didalamnya.
Dari proses interaksi dan komunikasi itu, keluarga diharapkan mampu berperan
penting mempertahankan kebudayaan bersama, seperti yang dinyatakan dalam
UU No. 1 Tahun 1974.
Dinamika sosial yang terjadi di masyarakat berkembang dengan pesat, tak
hanya dari lingkup yang luas seperti negara, namun juga lingkup terkecil atau
keluarga. Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun terus berubah mengikuti
perkembangan zaman. Perubahan zaman ini juga berpengaruh pada kehidupan
keluarga di Indonesia. Berusaha beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan
kondisi saat ini. Beberapa hal dalam pendefinisian keluarga juga sudah tidak
relevan, banyak perubahan konsep pada keluarga saat ini. Permasalahan yang ada
di keluarga Indonesia bukan berkurang namun kian bertambah. Berbagai jenis isu,
konflik dan kekerasan mengalami peningkatan bukannya penurunan. Kasus yang
terjadi pun semakin beragam bentuknya.
Beberapa permasalahan yang belakangan terjadi di keluarga Indonesia
diantaranya adalah commuter marriage, keluarga dengan anak berkebutuhan
khusus, multikultur, keluarga dengan anak adopsi, keluarga dengan pasangan
bekerja, alone together family, kasus child abuse dan kriminalitas pada keluarga.
Setiap konflik dan permasalahan yang terjadi memiliki faktor, penyebab serta
dampaknya dan disinilah Psikologi Keluarga berperan mempelajarinya lebih
lanjut.

4
II. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa sajakah isu dan fenomena permasalahan keluarga di Indonesia saat ini?
2. Bagaimana teori, faktor dan penyebab isu serta fenomena permasalahan
keluarga di Indonesia?
3. Apa sajakah contoh kasus permasalahan keluarga di Indonesia saat ini?

III. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian makalah ini adalah :
1. Mengetahui isu dan fenomena permasalahan keluarga di Indonesia saat ini
2. Memahami teori, faktor dan penyebab isu serta fenomena permasalahan
keluarga di Indonesia
3. Mengetahui contoh kasus permasalahan keluarga di Indonesia saat ini

IV. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian makalah ini adalah :
1. Sebagai pemenuhan tugas kelompok mata kuliah Psikologi Keluarga kelas 3
2. Sebagai referensi bagi pihak-pihak yang ingin mempelajari tentang isu dan
fenomena keluarga di Indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN

I. Commuter Marriage
Definisi Commuter Marriage
Commuter atau “Commuting” merupakan perjalanan yang selalu
dilakukan seseorang antara satu tempat tinggal dengan tempat bekerja atau
belajar. Marriage atau perkawinan yaitu suatu ikatan sakral atau janji nikah yang
didasari oleh dua orang dengan maksud mengesahkan ikatan. Commuter marriage
ini merupakan fenomena yang tergolong cukup marak dan banyak dijumpai di
negara ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan lain
sebagainya. Swadiana (2014) berpendapat bahwa jumlah commuter marriage
mengalami peningkatan seiring terjadi perkembangan pada pendidikan dan
pekerjaan.
Lebih spesifiknya, commuter marriage merupakan suatu kondisi dalam
pernikahan dimana pasangan suami istri tinggal terpisah secara geografis dalam
jangka waktu tertentu. Kondisi pada commuter marriage tidak diputuskan oleh
suatu pasangan karena karena adanya masalah dalam pernikahan (contohnya
perceraian), melainkan diputuskan secara sukarela dan tanpa ada paksaan dari
pihak lain. Mereka pun tetap dalam keadaan berkomitmen yang kuat saat memilih
untuk tetap saling berkarir.
Faktor yang mempengaruhi dan mendorong keputusan melakukan
commuter marriage diantaranya adalah karena perihal kebutuhan atau krisis
finansial, tuntutan profesi dan melihat adanya kesempatan yang dirasa
menguntungkan. Commuter marriage biasa terjadi di kota besar, berusia muda,
dan berpendidikan tinggi. Ketika pasangan saling pergi untuk bekerja, konsentrasi
dalam menghadapi pekerjaan bisa lebih tercapai. Berujung saat akhir pekan,
pasangan bisa lebih bebas untuk menghabiskan waktunya dalam melakukan
aktifitas-aktifitas dengan keluarga.

6
Karakteristik Commuter Marriage
Beberapa karakteristik yang membedakan pasangan commuter marriage
dengan pernikahan lainnya Gerstel & Gross, 1984 (dalam Scott, 2002) :
a. Periode perpisahan yang dialami pada pasangan dimulai dari tiga bulan
sampai 14 tahun.
b. Jarak yang antar pasangan antara 40 – 2.700 mil.
c. Pasangan biasanya melakukan reuni mulai dari sekali seminggu hingga
beberapa hari saja dalam sebulan.
d. Jarak yang bervariasi dari rumah utama, kebanyakan pasangan
menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan
di rumah utama dan pasangan lain di rumah lain).

Dari penjelasan di atas, dapat ambil kesimpulan bahwa karakteristik


pasangan yang mengalami commuter marriage yaitu adanya jarak yang
memisahkan, tinggal di rumah yang berbeda, dan melakukan pertemuan yang
sudah diatur sesuai dengan kesepakatan.

Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Commuter Marriage


Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya commuter marriage (Scott,
2002), yaitu :
a. Adanya tuntutan pekerjaan.
Dari beberapa jenis pekerjaan biasanya salah satu pasangan dituntut untuk
berpindah-pindah atau penugasan di kota yang berbeda dari rumah utama.
Contoh: pelaut, insinyur, atau saudagar.
b. Jarangnya pekerjaan atau pendidikan tertentu.
Pekerjaan baru lebih baik dari pekerjaan sebelumnya. Dari hal tersebut,
pasangan yang punya ambisi karir yang tinggi akan mengambil
kesempatan ini.
c. Karir wanita.
Jika istri memiliki pekerjaan yang baik dalam karirnya, ia dan suaminya
mungkin akan memutuskan untuk tetap pada karirnya tersebut. Hal
tersebut bisa jadi sementara atau hingga akhirnya ia mendapatkan

7
pekerjaan sampingan atau bahkan pekerjaan baru yang lebih baik di kota
yang sama dengan kota dimana suaminya bekerja.
d. Memberi kesempatan bagi wanita.
Biasa muncul pada pasangan yang telah lama menikah. Suami merasa
istrinya telah mengorbankan hidupnya selama bertahun-tahun dari awal
pernikahan, sehingga suami berpikir bahwa sudah saatnya istri tersebut
mengejar karirnya sendiri. Keputusan tersebut dibangun untuk
membentuk kesetaraan dalam pernikahan.

Selain faktor yang telah dikemukakan di atas, terdapat juga beberapa


faktor penyebab terbentuknya commuter marriage, sebagai berikut :
a. Tuntutan studi dan karir.
Tuntutan dari hal seperti studi dan karir tidak jarang membuat suami istri
terpisah oleh jarak. Contohnya adalah ketika istri tidak bisa tinggal
bersama dengan suami yang bertugas atau menjalani pendidikan di kota
berbeda untuk kurun waktu tertentu dikarenakan harus menjaga anak-
anaknya yang masih sekolah.
b. Tuntutan ekonomi dan pola hidup.
Contohnya adalah untuk individu yang ingin meningkatkan perekonomian
keluarga dengan cara menjadi tenaga kerja di luar negeri.
c. Penolakan hidup bersama.
Istri menolak untuk mengikuti suami dengan pindah tempat tinggal
dengan berbagai alasan, yaitu suami belum mempunyai tempat tinggal
sendiri, menunggu harta dari orang tua atau salah satu keluarganya, atau
menjaga orang tua yang kondisi kesehatannya kurang baik.

Jenis Commuter Marriage


Menurut Harriet Gross (1982), terdapat dua tipe pasangan commuter marriage,
yaitu :
a. Adjusting.

8
Pasangan adjusting ini cenderung merupakan orang yang masih muda,
dalam pernikahannya berujung lebih awal dalam menghadapi perpisahan, dan
memiliki sedikit anak (jika ada).
b. Established.
Pasangan established cenderung lebih tua dan sudah terbiasa dengan
perpisahan. Kalau telah punya anak, biasanya sang anak tersebut telah besar
dan keluar dari rumah. Pasangan established cenderung lebih sedikit
mengalami stres pada saat terjadi commuter marriage dibandingkan pasangan
adjusting. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal
dominasi terkait permasalahan dalam perkawinan. Juga karena mereka bisa
merasakan kecemasan yang lebih besar ketika akan tinggal terpisah di kota
yang berbeda, dan merasa bahwa keadaan tersebut bisa membahayakan
keutuhan perkawinan mereka. Trust atau kepercayaan bisa menjadi masalah
yang lebih besar bagi pasangan adjusting, namun mempertahankan
kenikmatan dalam hubungan merupakan hal yang menjadi masalah utama
pasangan established.

Dampak Pasangan Commuter Marriage dalam Pernikahan


Terdapat beberapa dampak yang timbul saat pasangan suami istri
menjalani commuter marriage menurut Anderson (2003), yaitu :
a. Perbedaan waktu menyebabkan pasangan atau diri sendiri merasa
kewalahan dalam menghubungi ataupun memberi kabar kepada
pasangannya
b. Mengalami masalah dalam komunikasi
c. Tidak bisa mengatur atau mengawasi pasangan secara langsung
d. Mengalami kekurangan hubungan fisik secara langsung
e. Tingkat kejenuhan yang menjadi meningkat
f. Merasa kekurangan kasih sayang dari pasangan, hal tersebut bisa
menimbulkan pasangan mencari pasangan lain
g. Perbedaan karakter yang sangat jauh terhadap masing-masing dari mereka
h. Merasa terbebani terkait biaya

9
II. Keluarga Dengan Anak Berkebutuhan Khusus
Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus atau biasa disingkat dengan ABK, yaitu suatu
individu yang mempunyai karakteristik yang berbeda dari individu lain yang
dipandang oleh masyarakat pada umumnya sebagai individu normal. ABK
merupakan anak yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda. Ia mempunyai
karakteristik fisik, intelektual, atau emosional di atas atau di bawah rata-rata
individu pada umumnya, tanpa senantiasa menunjukkannya terhadap kemampuan
ataupun ketidakmampuan yang berlebih (Heward, 2003). ABK merupakan
mereka yang membutuhkan tenaga profesional terlatih dalam menangani fisik,
psikologis, kognitif, atau sosialnya yang telah terlambat atau terhambat dalam
mencapai kebutuhan dan potensinya secara maksimal. Contohnya anak yang tuli,
buta, gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional, dan
anak berbakat dengan intelegensinya yang tinggi.

Jenis-jenis Istilah Anak Berkebutuhan Khusus


Terdapat beberapa istilah dalam menyebut anak berkebutuhan khusus,
antara lain anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak
luar biasa. Selain kelima istilah tersebut, terdapat beberapa istilah lain yang
digunakan dari WHO, yaitu :
a. Impairement: Individu mengalami kehilangan atau abnormalitas psikologi,
fisiologi, atau fungsi pada struktur anatomi pada tingkat organ tubuh secara
umum. Contohnya adalah seseorang yang mengalami amputasi satu kaki, dari
hal tersebut berarti ia mengalami kecacatan kaki.
b. Disability: Individu menjadi kurang mampu dalam melakukan kegiatan
sehari-hari karena adanya keadaan impairement. Contohnya adalah pada
orang yang cacat kaki, dia kesulitan untuk melakukan mobilitas dalam fungsi
kaki.
c. Handicaped: Individu tidak mampu dalam bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungan. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya kelainan dan
berkurangnya fungsi dari organ individu. Contohnya ketika seseorang

10
mengalami amputasi kaki, ia kesulitan dalam melakukan mobilitas sehingga
ia memerlukan kursi roda (Purwanti, 2012).
d. Difference ability : Merupakan kepanjangan dari difabel. Istilah tersebut
digunakan sebagai penyebutan bagi mereka yang memiliki kemampuan di atas
atau dibawah rata-rata orang pada umumnya. Contohnya pada anak
tunagrahita dan gifted.

Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus


Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus secara garis besar, jika dilihat
dari masa terjadinya dapat dikelompokkan dalam 3 macam (Irwanto dkk, 2010),
yaitu :
a. Terjadi pada pra kelahiran (sebelum lahir), yaitu ketika sang anak masih
berada dalam kandungan. Anak tersebut telah diketahui mengalami kelainan
dan ketunaan. Kelainan yang terjadi ketika masa prenatal itu pada saat periode
embrio, janin muda, dan aktini (suatu protein penting untuk mempertahankan
bentuk sel dan bertindak bersama mioin untuk menghasilkan gerakan sel)
(Arkandha, 2006). Contoh penyebabnya adalah infeksi kehamilan, gangguan
genetika, lahir prematur, mengalami keracunan saat hamil, dan pengguguran.
b. Terjadi selama proses kelahiran. Sang anak mengalami kelainan pada saat
proses melahirkan. Penyebabnya antara lain karena anak lahir sebelum
waktunya, lahir dengan bantuan alat, posisi bayi tidak normal, analgesik
(penghilang nyeri) dan anestesi (keadaan narkosis), kelainan ganda atau
kesehatan bayi yang kurang baik. Contohnya proses kelahiran lama (Anoxia),
kekurangan oksigen, prematur, dan kehamilan terlalu lama.
c. Terjadi setelah proses kelahiran. Kelainan ini terjadi setelah bayi dilahirkan,
atau saat anak berada dalam masa perkembangan. Penyebab kelainannya
antara lain infeksi bakteri (contohnya TBC atau virus), kekurangan zat
makanan (kekurangan gizi dan nutrisi), keracunan, dan kecelakaan.

Peran Keluarga terhadap Anak Berkebutuhan Khusus


Kehidupan sang anak, apalagi anak yang berkebutuhan khusus, sangat
ditentukan keberadaannya dari dukungan dari keluarga. Jika dukungan yang

11
diberikan keluarga telah baik, maka pertumbuhan dan perkembangan anak relatif
menjadi stabil. Namun jika dukungan yang diberikan keluarga tergolong kurang
baik, maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat mengganggu
psikologis anak. Terdapat lima dimensi dari dukungan keluarga terhadap ABK
(Friedman, 2010), yaitu :
a. Dukungan informasional : Seperti pemberian nasehat, pemberian petunjuk
saran, dan mengajarkan keterampilan yang terdapat unsur pemecahan.
Manfaatnya adalah menjadi terdapat informasi yang diberikan dalam
menyumbangkan aksi sugesti khusus pada anak.
b. Dukungan Penghargaan : Berupa suatu ungkapan penghargaan positif untuk
anak, dorongan agar bisa maju, persetujuan dengan individu, dan perhatian
pada individu lain.
c. Dukungan instrumental : Berupa bantuan secara langsung. Contohnya ketika
anggota keluarga lain memberikan dan membantu anak untuk menyelesaikan
masalah pada situasi tertentu.
d. Dukungan emosional : Berupa ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
terhadap individu lain. Dengan menerapkan hal tersebut, individu akan merasa
dicintai dan aman.
e. Dukungan sosial : Memerlukan bantuan orang lain. Bisa juga dilakukan
dengan menghabiskan waktu bersama dengan berekreasi saat luang.

Terdapat pelayanan dan penanganan dari orang tua terhadap ABK (Hewett
& Frank D., 1968), yaitu :
a. As Aids : Sebagai pendamping utama yang membantu agar tujuan layanan
penanganan dan pendidikan anak tercapai.
b. As Advocates (sebagai advokat) : Orang tua menjadi sosok yang menjaga,
mengerti, dan mengusahakan hak anak untuk mendapat layanan pendidikan
yang sesuai dengan karakteristik khususnya.
c. As Resources (sebagai sumber) : Orang tua menjadi sumber data yang benar
dan lengkap terkait diri pada anak dalam usaha intervensi perilaku anak.
d. As Teacher (sebagai guru) : Orang tua bisa menjadi pendidik dalam kehidupan
sehari-hari bagi anak di luar jam sekolah.

12
e. As Diagnosticians (sebagai diagnostisian) : Orang tua, terutama di luar jam
sekolah, sebagai penentu dalam jenis dan karakteristik pada kebutuhan khusus
untuk anak dan mampu dalam melakukan treatment.

III. Keluarga Multikultur

Definisi Keluarga Multikkultur

Multikultural berasal dari kata ‘multi’ yang berarti banyak dan ‘kultur’
yang berarti budaya. Meskipun begitu, multikultural tidak hanya mengenai
budaya, melainkan juga ras, suku, dan agama. Di Indonesia, sering sekali terjadi
amalgamasi di mana dua individu dengan budaya berbeda menikah dan menjadi
keluarga multikultural. Contohnya, orang Jawa yang menikah dengan orang
Sunda, penganut Islam yang menikah dengan penganut Buddha, dan sebagainya.
Seringkali pernikahan multikultural menimbulkan konflik, terutama pada saat
penyesuaian dengan budaya dari pasangan masing-masing. Oleh karena itu, setiap
keluarga membutuhkan pola komunikasi dan penyesuaian yang tepat untuk
menghindari terjadinya konflik.

Salah satu kasus yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena


keluarga multikultural ini adalah tradisi pernikahan beda agama di Desa Balun,
Lamongan. Warga Desa Balun terdiri dari penganut agama Islam, Kristen, dan
Hindu, di mana sebuah pernikahan beda agama sudah lazim terjadi. Namun,
karena tingkat toleransi dan rasa persaudaraan yang erat, tradisi ini digunakan
sebagai media untuk menghindari konflik antar umat beragama di sana. Pola
hubungan keluarga multikultural yang ada di desa ini juga sangat mengutamakan
toleransi dan perdamaian, di mana anak tidak dipaksa untuk mengikuti agama
salah satu orangtua, melainka selalu diingatkan untuk melaksanakan ibadah sesuai
dengan agama yang dianutnya sesuai pilihan mereka masing-masing. Menurut
warga Desa Balun, solusi yang banyak digunakan oleh mayoritas keluarga
multikultural ketika terjadi konflik adalah dengan dibiarkan membaik dengan
sendirinya tanpa harus ada tindakan agresif. Selain itu, hubungan dengan keluarga
besar dan tetangga pun berjalan dengan baik dan harmonis.

13
Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zulfiqar, dkk. terdapat
beberapa syarat yang menjadikan keluarga multikultural harmonis, antara lain :

1. Adanya kesadaran dari anggota keluarga untuk mencoba mengerti dan


menyesuaikan diri dengan budaya dari anggota keluarga lainnya.
2. Terdapat tujuan utama dari pola komunikasi dalam keluarga multikultural,
yaitu :
a. Adanya identitas sosial yang ditunjukkan kepada keluarga, teman, dan
lingkungan sosial melalui aksi maupun perkataan.
b. Kesadaran untuk menerima adanya perbedaan kultur.
c. Kesadaran bahwa adanya perbedaan di antara anggota keluarga
membuat mereka memiliki pengetahuan akan budaya anggota
keluarga lainnya.
d. Mencari solusi dari masalah dengan mendiskusikannya bersama-sama.
3. Membangun pola komunikasi antar anggota keluarga dengan beberapa
aspek, yaitu:
a. Afektif, yang terdiri dari konsep diri, berpikiran terbuka, perilaku tidak
menghakimi, dan relaksasi sosial.
b. Kognitif, yang terdiri dari kesadaran diri dan kesadaran budaya.
c. Perilaku, yang terdiri dari kemampuan menyampaikan pesan,
fleksibilitas, manajemen interaksi, dan kemampuan sosial (berempati).

IV. Keluarga Dengan Anak Adopsi


Mengadopsi anak adalah salah satu jalan yang diambil oleh keluarga yang
belum atau tidak bisa memiliki anak. Menurut Soerjono Soekanto (Anggunsari,
2014) adopsi anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak
sendiri atau mengangkat seseorang dalam keadaan tertentu yang menyebabkan
timbulnya hubungan seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.
Menurut Zaini (Adel, dkk., 2018), terdapat beberapa alasan yang mendasari
adopsi anak, yaitu karena tidak mempunyai anak, belas kasihan kepada anak,
untuk mempererat hubungan kekeluargaan, sebagai pemancing untuk memiliki
anak kandung, untuk menambah tenaga dalam keluarga, serta untuk menyambung
keturunan dan memenuhi kebutuhan beregenerasi. Proses adopsi anak harus

14
dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, agar identitas anak tetap jelas dan
hak-haknya sebagai anak angkat tidak hilang. Keluarga yang mengadopsi
bertanggung jawab atas kesejahteraan anak yang meliputi aspek fisik/kesehatan,
kognitif, sosial, dan emosional. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia,
terdapat beberapa syarat untuk mengadopsi anak, yaitu :
1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.
3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
4. Memerlukan perlindungan khusus.

Untuk orangtua angkat, harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Sehat jasmani dan rohani.


2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun.
3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat.
4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan.
5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.
6. Tidak merupakan pasangan sejenis.
7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.
8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.
9. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak.
10. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.
11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.
12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan.
13. Memperoleh izin menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Dalam beberapa kasus, ada orangtua yang enggan untuk memberi tahu
status adopsi pada anak angkatnya dengan maksud agak si anak tidak perlu merasa
dirinya berbeda, padahal anak berhak untuk tahu identitas aslinya untuk
mengembangkan konsep diri. Selain itu, dapat timbul kekecewaan dan konflik

15
jika ‘rahasia’ ini diberi tahu oleh orang lain yang bukan orangtua angkatnya
sendiri. Konflik dalam keluarga dengan anak adopsi dapat dihindari dengan
adanya penyesuaian oleh masing-masing pihak. Menurut Anisah (Safitri, dkk.,
2019), terdapat tiga jenis penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh anak.
Pertama, penyesuaian diri dengan keluarga yang berkaitan dengan sikap orangtua
yang keras, terlalu lunak, atau demokrastis. Kedua, penyesuaian diri di sekolah
dengan guru, teman sebaya, dan lingkungan. Terakhir, penyesuaian diri dengan
masyarakat yang merupakan lingkungan anak untuk mengembangkan diri.

V. Keluarga Dengan Pasangan Yang Bekerja


Pekerjaan dan keluarga adalah dua area dimana manusia banyak
menghabiskan waktunya, baik laki-laki maupun perempuan. Berperan aktif dalam
keduanya menyebabkan mereka mempunyai peran ganda, peran dalam pekerjaan
(sebagai pekerja) dan juga peran dalam keluarga (sebagai istri, suami, dan
orangtua). Karena itu menyeimbangkan tuntutan dalam peran pekerjaan dan peran
keluarga yang diemban, merupakan tugas penting pekerja dewasa untuk
meminimalkan konflik.
Kecenderungan pasangan suami istri yang berada di kota-kota besar saat
ini adalah keduanya bekerja (dual career). Ini dilakukan tidak hanya karena
tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga semata, namun juga karena baik suami
maupun ibu memiliki keinginan untuk aktualisasi diri di masyarakat sejalan
dengan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh di bangku pendidikan.
Pola keluarga seperti ini mengakibatkan sulitnya pembagian waktu antara
tuntutan pekerjaan dan keluarga. Sulitnya menyeimbangkan urusan pekerjaan dan
keluarga dapat menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict),
dimana urusan pekerjaan mengganggu kehidupan pekerjaan dan atau urusan
keluarga mengganggu kehidupan pekerjaan yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi kinerja baik suami maupun istri yang bekerja.
Penelitian Waite dan Gallagher (2000) menunjukkan bahwa konflik dan
ketegangan akan meningkat jika pasangan suami dan istri bekerja. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa istri yang terlalu banyak menghabiskan waktu di luar
rumah akan cenderung membuat urusan rumah tangga dan pengasuhan anak

16
terabaikan. Pasangan suami istri yang bekerja juga memunculkan konflik dan
permasalahan lain. Latifatunnikmah dan Lestari (2017) menunjukkan bahwa
konflik yang terjadi pada pasangan suami dan istri dapat bersumber dari
pekerjaan. Suami seringkali merasa tidak puas terutama pada faktor keintiman
karena istri yang terlalu banyak menghabiskan waktu bekerja di luar rumah.
Ketika pasangan suami istri tidak dapat menyeimbangkan kedua peranan, maka
akan memicu timbulnya konflik dari dua sisi yaitu work-to-family conflict ataupun
family-to-work conflict.
1. Work-family conflict
Work-family conflict atau konflik antar peran (inter-role conflict)
merupakan konflik saat peran individu di suatu kondisi bertentangan dan
menimbulkan tekanan pada individu tersebut untuk memenuhi perannya di
kondisi atau tempat yang berbeda. Berdasarkan definisi konflik antar peran
tersebut, maka konflik kerja keluarga dapat didefinisikan sebagai konflik antar
peran saat tekanan dalam peran di bidang pekerjaan dan keluarga saling
memberikan kontribusi dalam menimbulkan ketidakseimbangan peran
(Greenhaus & Beutell, 1985).
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), ada tiga aspek konflik dalam work-
family conflict yang perlu dipahami, yaitu time-based, strain-based, dan
behavior-based conflicts.
a. Time-based conflict terjadi jika waktu yang digunakan untuk
memenuhi satu peran tidak cukup digunakan untuk memenuhi peran
lainnya.
b. Strain-based conflict ditandai dengan munculnya ketegangan
emosional dalam memenuhi satu peran sehingga ketegangan ini
menghambat pemenuhan peranan lainnya.
c. Behavior-based conflict terjadi saat perilaku di satu peran tidak
kompatibel dengan perilaku di peranan lainnya.

Konflik kerja dan keluarga tidak hanya terjadi dalam satu arah. Namun,
terjadi dalam dua arah yaitu work-to-family conflict dan family-to-work

17
conflict (Lee et al., 2014; Nazurdin, Ahmad, & Zainal, 2012; Huang et al.,
2004).
• Work-to-family conflict adalah konflik antar peran saat pemenuhan
peran di pekerjaan mengganggu peran di keluarga (Greenhaus &
Beutell, 1985). Menurut Huang et al. (2004) hal yang mendahului
munculnya konflik kerja keluarga adalah stresor dari ranah pekerjaan
misalnya kurangnya supervisi dalam pekerjaan atau panjangnya jam
kerja. Konflik kerja keluarga dapat menjadi salah satu sumber stres
yang muncul saat individu memberikan waktu yang lebih banyak
untuk bekerja sehingga waktu untuk keluarga menjadi berkurang dan
mengakibatkan konflik (Soomro, Breitenecker, & Shah, 2018).
• Family-to-work conflict, juga merupakan konflik antar peran yang
serupa dengan work-to-family conflict namun berbeda dari segi
antecedent (Howard et al., 2004). Konflik keluarga-kerja terjadi saat
tanggung jawab sebagai anggota keluarga mengganggu tanggung
jawab di bidang pekerjaan (Lee et al., 2014). Artiawati (2017)
menjelaskan bahwa konflik keluarga-kerja dapat diakibatkan oleh
beberapa faktor seperti tuntutan untuk mengasuh anak (terutama anak
di bawah usia lima tahun dan remaja), tanggung jawab atas tugas-tugas
rumah tangga, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam keluarga.
Kurangnya dukungan dari keluarga juga dapat meningkatkan konflik-
kerja keluarga dan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan
pekerjaan (McManus et al., 2002).

VI. Alone Together Family


Alone Together yaitu kondisi dimana fisik memang bersama-sama namun
secara jiwa tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Fenomena ini adalah apa
yang mungkin kita alami setiap hari. Yang terjadi adalah kita sering duduk
bersama di ruang keluarga tetapi masing-masing malah sibuk. Ini yang kita sebut
sebagai asyik sendiri," demikian disampaikan Ita Karo Karo Fernandez,
Marketing Manager Oreo Indonesia.

18
Fenomena ini memberikan dampak emosional kepada seluruh anggota
keluarga, termasuk anak usia dini. Penanganan masalah Alone Together bisa
diatasi dengan menggunakan Konseling Keluarga, konseling keluarga pada
dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling
keluarga ini secara khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan
anggota keluarga. Menurut D. Stanton, konseling keluarga dapat dikatakan
sebagai konseling khusus karena sebagaimana yang selalu dipandang oleh
konselor terutama konselor non keluarga, konseling keluarga sebagai 1. Sebuah
modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, 2. Dalam proses
konseling melibatkan keluarga keluarga inti atau pasangan. (Capuzzi, 1991 dalam
Latipun 2009).
1. Pendekatan Konseling Keluarga
a. Pendekatan sistem
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem.
Menurutnya keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi.
Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan
dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan
mereka. (Latipun:2009) Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat
kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan
kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang
mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan).
Jika hendak menghindari dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia
harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia
harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan
emosionalnya. (Latipun:2009)
b. Pendekatan conjoint
Menurut Satir (1967) dalam (Latipun:2009), masalah yang
dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan self-esteem dan
komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi terpenting bagi
keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self
esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi

19
yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan
pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga
menjadi bermasalah dan tidak mampu melihat dan mendengarkan
keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.
c. Pendekatan struktural
Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering
terjadi karena struktur keluarga dan pola transaksi yang dibangun tidak
tepat. Sering dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-batas
antara sub sistem dari sistem keluarga itu tidak jelas. Mengubah
struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan
menyembuhkan perpecahan antara seputar anggota keluarga. Oleh
karena itu, jika dijumpai keluarga yang bermasalah perlu dirumuskan
kembali struktur keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola
hubungan yang baru yang lebih sesuai.

2. Proses dan Tahapan Konseling keluarga


Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan oleh Crane
(1995:231-232)yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk
mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, crane
menggunakan pendekatan behavioral, yang disebutkan terdapat empat tahap
secara berturut-turut sebagai berikut :
a. Orang tua butuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku
alternatif. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca
dan sesi pengajaran.
b. Setelah orang tua membaca tentang prinsip atau telah dijelaskan
materinya, konselor menunjukkan kepada orang bagaimana cara
mengimplementasikan ide tersebut. Pertama kali mengajarkan kepada
anak-anak,sedangkan orang tua melihat bagaimana melakukan nya
sebagai ganti pembicaraan tentang bagaimana hal itu dikerjakan. Secara
tipikal,orang tua akan membutuhkan contoh yang menunjukkan,
bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang berposisi. Sangat penting

20
menunjukkan kepada orang tua yang kesulitan dalam memahami dan
menerapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
c. Selanjutnya orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip
yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sesi terapi.
d. Setelah terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak
secara tepat. Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba
menerapkannya di rumah saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan
kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai. Permasalahan san
pertanyaan yang dihadapi orang tua dapat ditanyakan pada saat ini. Jika
masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat memberi contoh
lanjutan di rumah dan diobservasi orang tua, selanjutnya orangtua
mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi
persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.

Komunikasi keluarga itu sangat penting bagi keberlangsungan hidup di


setiap keluarga. Alone together merupakan salah satu problematika yang ada
di keluarga. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya konseling
keluarga,yang mana bisa membantu kesejahteraan bagi setiap keluarga yang
sibuk akan kegiatan masing-masing anggota keluarga. Dengan konseling
keluarga diharapkan bahwa alone together tidak menyebar di kalangan-
kalangan keluarga yang belum mengenal alone together.

VII. Child Abuse


1. Definisi Kekerasan terhadap Anak
Menurut Straus dan Gelles (1988) kekerasan terhadap anak didefinisikan
sebagai perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya
terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional seperti dipukul dengan
benda tertentu, disakiti, pemberian hukuman dengan memukul, menggigit,
meninju, ataupun berusaha menikam anak.
Pencegahan Kekerasan Anak Federal dan Undang-Undang Perlakuan atau
The Federal Child Abuse Prevention and Treatment mendefinisikan kekerasan
anak sebagai “tindakan atau kegagalan dari pihak orang tua atau pengasuh

21
yang mengakibatkan kematian, menyakiti fisik atau emosional secara serius,
kekerasan seksual atau eksploitasi, atau tindakan atau kegalalan untuk
bertindak yang menghadirkan risiko bahaya serius” (Kementrian Kesehatan
Amerika Serikat, 2010).
Dalam UU RI No. 23 tahun 2002 mengenai perlindungan anak dijelaskan
bahwa setiap anak dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak manapun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran; kekejaman, kekerasan dan penganiayaan. Dijelaskan kembali
pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pasal 28B ayat (2) yang
menyatakan bahwa, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.

2. Bentuk Kekerasan terhadap Anak


Menurut Suyanto (2010), ada lima bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu :
a. Kekerasan fisik : Korban kekerasan jenis ini sering muncul langsung
dalam penampilan mereka sebagai berikut: Memar, berdarah dan penyakit
serius lainnya.
b. Kekerasan emosional : Bentuk ini tidak mudah dikenali. Bentuk kekerasan
ini bisa berupa kekerasan bahasa, ejekan, hinaan, atau cemooh. Efek dari
jenis kekerasan ini dapat menyebabkan kecemasan, kenyamanan, rasa
bersalah, pengambilan keputusan yang buruk, dan bahkan hilangnya harga
diri dan martabat.
c. Kekerasan seksual : termasuk pada kategori ini merupakan segala tindakan
yg mencul pada bentuk paksaan buat melakukan interaksi seksual.
d. Kekerasan Ekonomi, kekerasan jenis ini sangat tak jarang terjadi pada
lingkungan keluarga. Pada anak, kekerasan ini tak jarang terjadi saat orang
tua memaksa anak yg masih usia pada bawah umur buat bisa memebrikan
donasi ekonomi keluarga, sebagai akibatnya kenyataan penjualan anak,
pengamen jalanan, pengemis anak, & lain lain kian merebak.

22
e. Kekerasan anak secara sosial, kekerasan anak jenis ini mencakup
penelantaran anak & eksploitasi anak. Penelantaran anak merupakan sikap
& perlakuan orangtua yg tidak menaruh perhatian yg layak terhadap
proses tumbuh kembang anak.
Sebuah penelitian yang dilakukan Finkelhor, Ormrod, dan Turner (2009)
survey nasional kekerasan anak dalam rumah tangga dilaporkan secara
tahunan (dengan kategori fisik, emosional, dan ditelantari) mulai dari 6% anak
usia 2-5 tahun hingga 14% dari usia 10-13 tahun. Tingkat viktimisasi seksual
dilaporkan berkisar dari 2% bayi dan balita hingga 24% dari anak perempuan
berusia 14-17 tahun. Sebagian kasus yang terjadi adalah penelantaran sebesar
71%, diikuti oleh kekerasan fisik 16%, pelecehan seskaul 9% dan kekerasan
emosional anak sebesar 7%.

3. Faktor Penyebab Kekerasan terhadap Anak


Kekerasan anak disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda-beda.
Kekerasan fisik terhadap anak biasa dalam bentuk pembentukan rasa disiplin
yang berlebihan sehingga menyebabkan cedera (Bonnie et al., 2001). Anak
yang mengalami kekerasan fisik lebih umum ditemui di kalangan keluarga
pasangan muda, kurang berpendidikan, pengangguran, dan orang tua
berpenghasilan rendah (Black, Heyman, dan Slep, 2001). Sedangkan
kekerasan seksual dan penelantaran anak biasa terjadi di lingkungan yang
memiliki tingkat kemiskinan tinggi, beban pengasuhan anak, perumahan
kosong, ketersediaan alcohol, dan kondisi rumah yang tidak stabil (Couton et
al., 2007).
Penelitian empiris tentang kekerasan terhadap anak menemukan bahwa
orang tua yang melakukan kekerasan menunjukan tingkat psikopatologi,
ketergantungan, depresi, gangguan kecemasan, impuls kontrol yang rendah,
dan memiliki Riwayat perilaku antisosial (Bornstein 2005; Kolko 2002; Stith
et al., 2009). Karakteristik orang tua lainnya juga meliputi sifat
penyalahgunaan zat, perilaku kriminalitas, gangguan amarah, kurangnya
keterampilan dalam memecahkan masalah, harga diri rendah, dan rasa mudah
frustasi. Risiko penganiyaan oleh ibu terhadap anak juga meningkat dengan
adanya stress dan kekerasan dalam rumah tangga (Slep dan O’Leary, 2001).

23
4. Dampak Pada Anak
Anak-anak yang mengalami kekerasan baik fisik, emosional, seksual,
sosial, atau ekonomi memiliki dampak yang berbeda tergantung tipe
kekerasan yang dialami. Kekerasan fisik memiliki efek kognitif yang lebih
besar terhadap anak, termasuk juga perkembangan bahasa, dan akademik yang
disebabkan tingginya tingkat konflik antar orang tua dan anak (Bonner et al.,
2001). Dampak sosioemosial meliputi memiliki gaya lekat yang tidak aman
atau tanpa kontrol kasih sayang, peningkatan agresi pada anak, kesulitan
mengontrol diri, dan frekuensi yang lebih besar pada perilaku eksternalisasi
(gangguan perilaku, kenakalan, hiperaktif) dan internalisasi (gejala depresi,
somatik, isolasi diri, respon kemerahan atau emosi negatif pada orang lain),
gangguan makan, kecemasan, penyalahgunaan zat dan gejala kejiwaan saat
dewasa (Bonner et al., 2001; Iwaniec, Larkin & McSherry, 2007). Sedangkan
anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual memiliki kemungkinan
mengalami gejala PTSD dan mengencani pria yang juga memiliki riwayat
sebagai pelaku kekerasan di masa remaja (Crawford & Wright, 2007)

5. Kasus Kekerasan pada Anak


a. Peningkatan Kasus Child Abuse Saat Ini
Kasus kekerasan pada anak terutama di Indonesia kerap kali
terjadi. Penganiayaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan pun terjadi pada
anak. Pelaku bisa datang dari mana saja termasuk orang paling dekat
seperti guru, keluarga terutama orang tua. Dilansir dari surat kabar Tirto,
Global Report melaporkan pada November 2017, 73,7% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di rumahnya sendiri. Berdasarkan penelitian pada
tahun 2016 oleh Hillis, kasus kekerasan pada anak tertinggi pada 2014
terjadi di Asia. Lebih dari 64 persen populasi anak di Asia mengalami
setidaknya bentuk kekerasan berat. Berdasarkan data yang dikumpulkan,
kekerasan banyak terjadi pada anak perempuan dalam bentuk fisik
maupun emosional.

24
Hingga saat ini dilaporkan kekerasan pada anak atau yang biasa
kita sebut dengan child abuse tak kunjung menurun. Seiring dengan kasus
kekerasan anak yang mencuat di media sosial, Presiden Jokowi sampai
angkat bicara saat rapat Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak.
Beliaupun menekankan tiga langkah pencegahan kekerasan anak di
Indonesia; pertama, upaya preventif melibatkan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Kedua, optimalisasi sistem pelaporan dan layanan. Ketiga,
beliau meminta adanya reformasi besar-besaran pada manajemen
penganganan kasus kekerasan pada anak.
b. Cerita Ayah Pukuli Anaknya Yang Balita, Kalah Main Game dan
Emosi Lihat Rumah Berantakan
Kasus kekerasan anak yang baru-baru ini terjadi adalah kekerasan
yang menimpa anak perempuan berusia 3 tahun yang dipukuli oleh
ayahnya. Selasa, 29 Juni 2021 lalu seorang ayah berinisial RF, warga
Kecamatan Tulangan Sidoarjo ditangkap karena menganiaya anak
perempuannya. Videonya viral di media sosial sehingga menjadi
perbincangan masyarakat. Terlihat RF beberapa kali memukuli anaknya
di depan kamar mandi. Sang anak menangis sedangkan ayah terdengar
marah. Sore itu usai kerja RF kembali ke rumah dalam kondisi kesal
karena kalah main game, ia tersulut emosi saat melihat rumahnya
berantakan dan melihat anak perempuannya yang belum mandi. Sang anak
menolak saat dipaksa mandi kemudian terus menangis
RF kemudian berdebat dengan istrinya dan dalam keadaan marah,
ia memaksa lepas baju anaknya agar lekas mandi sembari memukuli tubuh
anaknya. Punggung belakangnya dipukul sekali dengan telapak tangan
sambil berkata keras. Ia juga memukuli wajah anaknya dengan baju. RF
ditangkap pada Minggu, 11 Juli 2021 dan ditetapkan sebagai tersangka.
Polisi juga melakukan visum pada sang anak. Dari hasil visum tersebut,
terdapat bekas luka dibagian telinga, pipi dan kepala korban.
RF kini ditahan di Mapolresta Sidoarjo dan dikenakan Pasal 80 UU
RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI N0. 23 Tahun 2002

25
tentang Perlindungan Anak dengan ancaman paling lama tiga tahun enam
bulan penjara.

1. Upaya Mengatasi Kekerasan pada Anak


Menurut Iin Kandedes (2020), upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi terjadinya kekerasan pada anak yaitu :
a. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa anak berhak
mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan/diskriminasi. Bagi
pelakutindak kekerasan anak akan dijerat pasal pidana menurut UU RI Nomor
35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak.
b. Meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan anak.
c. Media massa yang proaktif dalam mengedukasi tentang pengelolaan dampak
kekerasan anak dan upaya perlindungan anak dari kekerasan.
d. Pemerintah harus menanggulangi adanya kemiskinan hingga seakar-akarnya,
karena kasus rendahnya ekonomi menjadi penyebab utama dalam kekerasan
pada anak.
e. Selain itu upaya dalam meminimalisir adanya kekerasan anak perlu adanya
kontribusi bersama dari berbagai pihak, terutama dalam membangun
kesadaran akan perlindungan anak.

VIII. Kriminalitas Dalam Keluarga


1. Definisi Domestic Violence atau Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT)
Menurut KBBI, kekerasan dapat diartikan sebagai hal yang sifatnya berciri
keras, perbuatan seseorang yang akan menyebabkan cedera atau
meninggalnya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
Domestic violence atau Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah
sebuah kejadian yang dianggap menggunakan kekerasan pada tempat tinggal
tangga adalah pola perilaku kejam yang dilakukan seorang terhadap
pasangannya pada interaksi intim misalnya perkawinan, pacaran & keluarga
(Chhikara, Jakhar, Malik, Singla, & Dhattarwal, 2013). Menurut Sukri (2004)

26
kekerasan pada tempat tinggal adalah setiap perbuatan yang dilakukan seorang
atau beberapa orang terhadap orang lain, yang bisa menyebabkan atau
mungkin menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, & atau
psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau Sementara itu, dalam
UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga mendefinisikan KDRT sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelataran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Undang-
undang ini menegaskan bahwa masalah kekerasan pada tempat tinggal adalah
segala jenis kekerasan (fisik juga psikis) yg dilakukan anggota keluarga
terhadap anggota keluarga lainnya (baik suami pada istri, juga kekerasan yang
dilakukan sang istri pada suami atau ayah terhadap anak, atau ibu terhadap
anaknya & kekerasan yang dilakukan oleh seseorang anak terhadap ayah atau
ibunya). Namun yg secara umum dikuasai sebagai korban kekerasan
merupakan istri & anak oleh suami (Manumpahi, Goni, & Pongoh, 2016)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa menimpa siapa saja. Tetapi
secara generik pengertian KDRT lebih dipersempit maknanya sebagai
penganiayaan sang suami terhadap istri & anak. Sudah tentu pelaku pada
KDRT merupakan suami, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa suami
juga bisa menjadi sebagai korban KDRT oleh istrinya (Manumpahi et al.,
2016).

2. Lingkup Rumah Tangga (Menurut UU Ri No 23 Tahun 2004) :


a. Suami, istri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau

27
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.

3. Jenis Jenis Kekerasan Rumah Tangga


UU RI No.23 tahun 2004 menyebutkan bentuk tindakan KDRT yang
dimaksud adalah
a. Kekerasan fisik : Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat berupa kekerasan fisik antara lain tamparan,
pemukulan, penjambakan, penginjak-injakan, penendangan, pencekikan,
lemparan benda keras, penyiksaan menggunakan benda tajam
b. Psikis : Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnyakemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Bentuk
kekerasan secara psikologis yang dialami berupa makian, penghinaan
berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban, bentakan dan
ancaman yang diberikan untuk memunculkan rasa takut
c. Seksual : Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetap dalam rumah tangga atau pemaksaan hubungan
seksual pada salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu
d. Penelataran Rumah tangga : Tindakan seseorang yang tidak melaksanakan
kewajiban hukumnya pada orang dalam lingkup rumah tangga berupa
mengabaikan dalam memberikan kewajiban kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan pada orang tersebut

4. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Lima faktor penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah tangga
menurut Ihromi (1995) :
a. Komunikasi
Keharmonisan sebuah keluarga dipengaruhi secara besar oleh komunikasi
antar anggota keluarga karena dengan adanya komunikasi yang baik,
sesame anggota keluarga bisa menyampaikan perasaannya, informasi,

28
keluhan, dan bersikap saling terbuka yang akan meminimalisir konflik dan
kesalahpahaman.
b. Penyelewengan
Hadirnya pihak ketiga dalam hubungan suami istri merupakan salah satu
masalah besar yang dihadapi oleh seorang pasangan. Tak jarang dengan
adanya hal tersebut akan memicu timbulnya perceraian atau menimbulkan
suatu tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
c. Citra Diri Rendah dan Rasa Frustasi
Rasa keputusasaan bisa menimbulkan rasa frustasi dan biasanya
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya pekerjaan, ekonomi, ataupun
sosial. Dengan adanya tekanan dari berbagai sisi dan peran keluarga yang
sedang dimiliki (suami atau isteri) tuntutannya pun juga mengikuti
sehingga bisa menimbulkan rasa putus asa, marah, gelisah, dan frustasi
untuk memenuhi kebutuhan dari segala sisi. Hal ini akan meningkatkan
adanya tindakan kekerasan antar anggota keluarga untuk melepaskan
perasaan tersebut atau melampiaskannya.
d. Kekerasan Sebagai Sumber Penyelesaian Masalah
Seringnya terpapar dengan kekerasan di masa lalu atau mengalami riwayat
kekerasan anak di masa kecil akan memperbesar kemungkinan
mengadopsi perilaku serupa ketika sudah berumah tangga. Seseorang
yang sudah menganut nilai tersebut akan menormalisasikan atau bahkan
tidak menyadari bahwa ia telah mengadopsi sikap dan perilaku kekerasan
seperti yang sudah dialaminya dan menggunakan hal tersebut sebagai
sarana alternatif penyelesaian masalah berumah tangga.

Selain itu penyebab secara umum dapat dibagi menjadi dua faktor :
a. Eksternal : Faktor yang muncul dari luar diri pelaku kekerasan.
Seorang pelaku yang awalnya bersifat normal atau tidak memiliki
perilaku dan sikap agresif bisa saja mampu melakukan tindak kekerasan
jika dihadapkan dengan situasi dibawah tekanan (stress).
• Ekonomi : Perekonomian dapat menimbulkan dampak positif dan
negative. Perubahan ekonomi seringkali menjadi pemicu pertengkaran
dalam keluarga.

29
• Lingkungan Sosial : Pandangan Masyarakat atau budaya patriaki :
Masyarakat menganggap bahwa laki-laki lebih dominan dan
memilki kedudukan tinggi jika dibandingkan dengan
perempuan. Selain itu juga memposisikan perempuan dan laki-
laki secara berbeda
b. Internal : Faktor yang bersumber pada kepribadian dari dalam diri pelaku
itu sendiri yang menyebabkan pelaku mudah terprovokasi melakukan
tindak kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif
kecil. Seperti : Motivasi, kejiwaan, dan minat.

2. Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Dampak kekerasan menurut Poerwondari (2006) dalam rumah tangga yang
menimpa istri adalah :
a. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan pasangan
menderita sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
tersebut
b. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah
seks, karena pasangan menjadi ketakutan
c. Kekerasan psikologis dapat berdampak dengan adanya rasa tertekan, shock,
trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kurang pergaulan,
serta depresi yang mendalam sedangkan, anak yang melihat terjadi kekerasan
dalam rumah tangga akan mengalami beberapa gangguan kognitif seperti
dalam berkonsentrasi dan gangguan fisik seperti luka-luka, memar, cacat, atau
gangguan psikologis (Hasanah, 2006).

5. Contoh Kasus KDRT


• Peningkatan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama
Pandemi
Sebanyak 97 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan
diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia
untuk Keadilan Jakarta (LBH APIK Jakarta) dalam kurun waktu 16 Maret
sampai dengan 19 April 2020. Dari 97 kasus yang dilaporkan, sebanyak

30
33 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian 30
kasus kekerasan gender berbasis online, 8 kasus pelecehan seksual, 7
kasus kekerasan dalam pacaran.
Selain itu, menurut data Komnas Perempuan, terdapat 319 kasus
kekerasan yang terlaporkan, dua-pertiganya atau sebanyak 213 adalah
kasus KDRT selama masa pandemi.
• Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga TL dan DR
Setelah 10 tahun berumah tangga, pemeran sinetron berinisial TL
melaporkan tindakan KDRT ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang
dilakukan sang suami berinisial DR. Ia mengaku mengalami kekerasan
mulai dari kekerasan verbal hingga fisik seperti pemukulan. Selama tiga
tahun, ia menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah dinafkahi oleh DR.

31
BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan
Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup sendiri sebab manusia merupakan
mahluk sosial. Secara tidak langsung, manusia akan membentuk komunitas yang lebih
besar sehingga masyarakat akan terdiri dari kelompok-kelompok. Salah satu kelompok
kecil adalah keluarga. Dalam hidup berkelompok terutama berkeluarga, seringkali kita
mengalami konflik. Konflik-konflik yang terjadi pada tiap keluarga memiliki faktor yang
berbeda-beda,seperti faktor internal dan eksternal.
Masalah-masalah dalam keluarga ini berupa commuter marriage, keluarga dengan
anak berkebutuhan khusus, keluarga multikultur, keluarga dengan anak adopsi, keluarga
dengan pasangan yang bekerja, alone together family, child abuse, dan kriminalitas atau
kekerasan dalam rumah tangga. Isu-isu ini lah yang sedang muncul serta berkembang di
Indonesia.

II. Kritik Dan Saran

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dan ketidaklengkapan materi dalam


penyusunan makalah ini. Kami berharap teman-teman dapat belajar bersama-sama
dengan kami mencari materi maupun informasi lebih lanjut mengenai Isu dan Fenomena
Terkini Keluarga Indonesia dari sumber lainnya. Kami juga mengharapkan feedback dari
Ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. dan Ibu Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A. selaku
dosen pengampu dari Mata Kuliah Psikologi Keluarga.

32
DAFTAR PUSTAKA

Adel, B., Rustiyarso, R., & Zakso, A. MODEL ADOPSI BAGI KELUARGA YANG
TIDAK MEMPUNYAI ANAK DALAM MEMPERTAHANKAN
PERKAWINAN DI DESA KECURIT TOHO. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Khatulistiwa, 7(1).

Afivah, F.(2015, Juni 17). Penanganan Fenomena "Alone Together" untuk Keluarga
Bahagia.
https://www.kompasiana.com/fitrianurriafivah/54f38eed745513982b6c7b93/pen
anganan-fenomena-alone-together-untuk-keluarga-bahagia

Anderson, E, A. (2003). Commuter marriage international encyclopedia of marriage and


family :Encyclopedia.com

Anggunsari, R. (2014). Story Telling Dalam Penyampaian Rahasia Keluarga Mengenai


Pengadopsian Anak Oleh Orang Tua Terhadap Anak Adopsinya. Commonline
Departemen Komunikasi, 3(2), 233-246.

Arfandi, Z., Susilo, E., & Widodo, G. G. (2014). Hubungan Antara Dukungan Sosial
Keluarga Dengan Kemampuan Perawatan Diri Pada Anak Retardasi Mental Di
Slb Negeri Ungaran. Jurnal Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes
Ngudi, 26, 1–6.

Bin-Tahir, S. Z., Bugis, R., & Tasiana, R. (2017). Intercultural Communication of a


Multicultural Family in Buru Regency. Lingual: Journal of Language and
Culture, 9(2), 8.

Black, D. A. (2001). Risk factors for child physical abuse. Agression and violent
behavior.

Bornstein, R. F. (2005). Interpersonal dependency in child abuse perpetrators and victims:


a meta analytic review. Journal of Pscyhopathology and Behavioral Assesment.
doi:10862-005-5381-1

33
Carlson, B. E. (2000). Children exposed to intimate partner violence: research findings
and implications for intervention. doi:10.1177/1524838000001004002

Chhikkara, P. J. (2013). Domestic Violence: the dark truth of our society. Indian Acad
Forensic Med.

Claudia J Coulton, D. S. (2007). How neighborhoods influence child maltreatment: a


review of the literature and alternative pathways.
doi:https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2007.03.023

Cnnindonesia, (April, 2021). Seleb Thalita Latief Mengaku Alami KDRT hingga Gigi
Patah. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210406164658-234-
626656/seleb-thalita-latief-mengaku-alami-kdrt-hingga-gigi-patah, diakses 31
Agustus 2021.

Cnnindonesia. (April, 2020). LBH APIK Jakarta Catat KDRT Marak Terjadi saat
Pandemi Corona. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200421114027-20-
495587/lbh-apik-jakarta-catat-kdrt-marak-terjadi-saat-pandemi-corona, diakses
30 Agustus 2021.

Crawford, E. W. (2007). The impact of childhood psychological maltreatment on


interpersonal schemas and subsequent experiences of relationship agression.
Journal of Emotional Abuse, 7 (2), 93-116.

Dorota Iwaniec, E. L. (2007). Emotionally harmful parenting.


doi:10.1.80/13575270701353531

Finkelhor, O. T. (2009). Violence, crime, and abuse exposure in a national sample of


children and youth an update. doi:10.1542/peds.2009-0467

Gelles, R. J. (1988). Intimiate violence. Simon & Schuster.

Ginger L. Welch, B. L. (2013). Fatal child neglect: characteristics.


doi:10.1016.2013.05.008

34
Hasanah, U., Bachtiar, M., & Rangkuti, F. S. (2015). Kedudukan Anak Adopsi Ditinjau
dari Hak Pewarisan di Indonesia (Doctoral dissertation, Riau University).

Hidayati, N. (2011). Dukungan sosial bagi keluarga anak berkebutuhan khusus. INSAN,
13(1), 12-20.

Huda, S. (2018). Keluarga Multikultural: Pola Relasi Keluarga Kawin Beda Agama Di
Balun Lamongan. Al-Hikmah, 4(1).

Kolko, D. J. (2009). Child abuse and neglect: diagnosis, treatment and evidence.
Psychological impact and treatment of child physical abuse in carole jenny (ed.),.

Kompas, (2021, Juli). Cerita Ayah Pukuli Anaknya yang Balita, Kalah Main Game dan
Emosi Lihat Rumah Berantakan. Diakses pada 30 Agustus 2021.
https://regional.kompas.com/read/2021/07/14/071000378/cerita-ayah-pukuli-
anaknya-yang-balita-kalah-main-game-dan-emosi-lihat?page=2

Lokadata, (2020, Januari). 2020 Kekerasan Pada Anak Tak Menurun. Diakses 30
Agustus2021. https://lokadata.id/artikel/2020-kekerasan-pada-anak-tak-menurun

Manumpahi, E. G. (2016). Kajian kekerasan dalam rumah tangga terhadap psikologi anak
di desa soakonora kecamatan jailolo kabupaten halmahera barat2016. Jurnal Acta
Diurna.

Marini, Liza, & Julinda. (2010). Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri Pada Pasangan
Commuter Marriage. Jurnal Ilmiah Psikologi: 1-17

Muhimmatul Hasanah, A. A. (2006). Kekerasan dalam rumah tangga (studi kualitatif


mengenai kekerasan dalam rumah tangga di LBH APIK. doi:1907-8455

Opi Andriani, A. A. (2019). The contribution of self esteem and parenting towards
aggressive behavior of child victims domestic violence.
doi:10.2436/00176za0002

Poerwandari, E. K. (n.d.). Penguatan psikologis untuk menanggulangi kekerasan dalam


rumah tangga dan kekerasan seksual: panduan dalam bentuk tanya-jawab.

35
Radhitya, T. V., Nurwati, N., & Irfan, M. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 2(2), 111.
https://doi.org/10.24198/jkrk.v2i2.29119

Safitri, W. W., Fitri, W., & Zainal, Z. (2019). PENYESUAIAN DIRI ANAK ANGKAT
SETELAH MENGETAHUI STATUS SEBAGAI ANAK ADOPSI. Turast:
Jurnal Penelitian dan Pengabdian, 7(2), 211-229.

Scott, Andrea Towers. 2002. Communication characterizing successful long distance


marriages. Dissertation. Graduate Faculty : Louisiana State University.

Setiawan, E., Nurwati, R. N., & Apsari, N. C. (2021). Kesejahteraan Anak Adopsi Usia
Prasekolah (3-5 Tahun). PERSPEKTIF, 10(2), 609-615.

Sidik, J. (2014). Gambaran dukungan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus
di sekolah khusus kota tangerang selatan. Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Slep, A. M. (2001). Examing partner and child abuse: are we ready for a more integrated
approach to family violence? . Clinical Child and Family Psychology.

Stith, S. M. (2009). Risk factors in child maltreatment: A meta-analytic review of the


literature. Agression and Violent Behavior.
doi:https:doi.org/10.1016/j.avb.2006.03.006

Suyanto, B. (2010). Masalah sosial anak. Kencana

Susiana, S. (2020). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masa Pandemi Covid-19.
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, XII(24), 13–18.
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info Singkat-XII-24-II-P3DI-
Desember-2020-177.pdf

Swadiana, S. R. (2014). Penyesuaian Perkawinan pada Istri yang Menjalani Commuter


Marriage. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

36
Theconversation.com. (Agustus, 2020). Angka KDRT di Indonesia meningkat sejak
pandemi COVID-19: Penyebab dan cara mengatasinya.
https://theconversation.com/angka-kdrt-di-indonesia-meningkat-sejak-pandemi-
covid-19-penyebab-dan-cara-mengatasinya-144001, diakses pada 30 Agustus
2021.

Wiratri, A. (2018). Menilik Ulang Arti Keluarga Pada Masyarakat Indonesia. Jurnal
Kependudukan Indonesia. Vol. 13 No. 1

Wongpy, F., & Setiawan, J. (2019). Konflik pekerjaan dan keluarga pada pasangan
dengan peran ganda. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 10(1), 31-45.
10.26740/jptt.v10n1.p31-45

37

Anda mungkin juga menyukai