Dosen Pengampu:
Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.
Agustin Ema Fatmasari, S.Psi., M.A
Disusun Oleh:
Asma’ Farizah 15000120140306
Fitra Nurdiansyah 15000120140302
M. Alizzah Salim Madjid 15000120140332
Novita Retno Handika Putri 15000120130247
Sabrina Adelia Surya 15000120130178
Salma Pramatya Nurshabrina 15000120140296
Lintang Ramzi Mahasin 15000120130273
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judu “Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. dan ibu
Agustin Ema Fatmasari, S.Psi., M. pada mata kuliah Psikologi Keluarga Kelas 3
di Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro.
Dalam penyusunan makalah ini, tentu tidak lepas dari pengarahan dan
bimbingan Ibu dosen pengampu mata kuliah Psikologi Keluarga Kelas 3, maka
kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu. Dengan adanya tugas
ini membuat pemahaman, pengetahuan, dan wawasan kami bertambah. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam makalah ini tidak luput dari berbagai kekurangan
karena adanya banyak keterbatasan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan sehingga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah
yang masih memiliki kekerabatan atau ikatan darah karena perkawinan,
kelahiran, adopsi, dan lainnya. Keluarga adalah lingkungan pertama yang
dikenal anak dan sangat berperan bagi perkembangan anak. Melalui keluarga,
anak pertama kali belajar bagaimana mengenal dirinya sendiri dan orang lain.
Dalam proses mendidik anak, tentunya dibutuhkan interaksi dan komunikasi
yang baik. Komunikasi antara orang tua dan anak sangat penting bagi orang
tua untuk mengontrol, memantau, dan memberikan dukungan pada anak.
Komunikasi dan interaksi adalah dua hal yang sangat penting dalam
keluarga karena selain dapat berpengaruh terhadap pembentukan karakter
anak dan tentunya juga untuk keharmonisan keluarga. Bukan hanya antara
anak dan orang tua, tetapi interaksi dan komunikasi yang baik antara suami
dan istri juga penting. Interaksi dan komunikasi yang baik dapat mengurangi
konflik antaranggota keluarga karena setiap anggota keluarga merasa saling
memahami kondisi satu sama lain. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk
meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan mengenai konsep
interaksi dan komunikasi dalam keluarga.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan keluarga, interaksi, dan komunikasi?
2. Bagaimana komunikasi interpersonal dalam keluarga?
3. Apa saja syarat, jenis, serta pola interaksi dan komunikasi?
4. Mengapa interaksi dan komunikasi dalam keluarga adalah hal penting?
5. Bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi yang baik dalam
keluarga?
1
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari keluarga, interaksi, dan komunikasi.
2. Mengetahui komunikasi interpersonal dalam keluarga.
3. Mengetahui syarat, jenis, serta pola interaksi dan komunikasi.
4. Mengetahui pentingnya interaksi dan komunikasi di dalam keluarga.
5. Mengetahui cara berinteraksi dan berkomunikasi yang baik dalam
keluarga.
2
BAB II
ISI
A. Definisi Keluarga
Keluarga adalah lingkungan di mana sebagian orang masih terikat
oleh darah dan solidaritas. Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang
yang tinggal dalam satu rumah yang masih memiliki kekerabatan atau ikatan
darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi, dan lainnya. Pada dasarnya,
keluarga adalah kelompok yang terbentuk dari hubungan seksual jangka
panjang untuk menjalankan masalah pengasuhan dan pengasuhan anak.
Keluarga memiliki definisi atau pengertian yang beragam tergantung sudut
pandang dari para ahli.
Pengertian keluarga berdasarkan asal-usul kata yang dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantara (Abu & Nur, 2001: 176), bahwa keluarga berasal
dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata, yaitu kawula dan warga. Di
dalam bahasa Jawa kuno, kawula berarti hamba dan warga artinya anggota.
Secara bebas, dapat diartikan bahwa keluarga adalah anggota hamba atau
warga saya. Artinya, setiap anggota dari kawula merasakan sebagai satu
kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan
bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan.
Keluarga dianggap sebagai suatu sistem social karena memiliki unsur-
unsur sistem sosial yang mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-
kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan
dan fasilitas. Keluarga mempunyai fungsi penting dalam membentuk
kelangsungan hidup bermasyarakat. Di sanalah tempat pertama dan utama
berlangsungnya proses sosialisasi.
Nilai keagamaan dalam keluarga bertujuan mengarahkan seorang anak
untuk menjadi manusia yang taat kepada Tuhan. Dalam keluarga, seorang
anak diajarkan dan dituntut untuk mengerjakan hal-hal yang berbau
keagamaan. Mengajarkan seorang anak tentang nilai kepercayaan, kejujuran,
sopan santun, tata karma, dan mengajarkan anak tentang nilai moral. Teori
3
fungsional melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan istimewa yang
penganutnya secara lahiriah dan batiniah bersifat baik, sehingga sistem
sosialnya untuk sebagian terdiri dari kaidah-kaidah yang dibentuk oleh
agama.
Nilai keagamaan yang dijalankan dalam sebuah keluarga akan
berdampak pada perkembangan anak di luar keluarganya. Biasanya, seorang
anak yang berasal dari keluarga taat pada agama akan tercermin dari tingkah
laku anak tersebut. Seperti dalam berbicara, seorang anak yang berasal dari
keluarga taat agama akan lebih sopan dan santun selalu menjaga sikap, serta
lebih menghormati orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan seorang
anak akan meniru semua yang dilakukan oleh keluarga yang merupakan
tempat anak bersosialisasi pertama kali sebelum bergabung dengan
masyarakat. Nilai–nilai keagamaan merupakan landasan sebagian besar
sistem nilai-nilai sosial (Elizabeth K. Nottingham,1997:44).
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan
yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan
ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena
secara kodrati ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan berupa naluri
orang tua. Dampak dari naluri ini adalah timbul rasa kasih sayang para orang
tua kepada anak-anak mereka sehingga secara moral keduanya merasa
terbebani tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi, dan
membimbing keturunan mereka (Jalaludin, 2010:294). Dalam suatu keluarga,
ada dua tokoh yang akan mempengaruhi perkembangan anak, yaitu ayah dan
ibu.
BKKBN (1999) menyebutkan bahwa keluarga adalah dua orang atau
lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa
kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota
keluarga dan masyarakat, serta lingkungannya.
Friedman (1998) mendefinisikan keluarga adalah dua atau lebih
individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi
4
pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi
diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Menurut Lestari (2012:6) keluarga adalah rumah tangga yang
memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan
terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi
ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.
Coleman dan Cressey (dalam Muadz dkk, 2010:205) menambahkan, keluarga
adalah sekelompok orang yang dihubungkan oleh pernikahan, keturunan, atau
adopsi yang hidup bersama dalam sebuah rumah tangga.
Sementara itu, menurut Bailon dan Maglaya (1978), keluarga adalah
dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, mempunyai peran masing-masing, dan menciptakan
serta mempertahankan suatu budaya.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling dasar untuk
mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini, masih menjadi keyakinan dan
harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapat diandalkan sebagai
lembaga ketahanan moral dan akhlak dalam konteks bermasyarakat, bahkan
dalam baik buruknya generasi bangsa, ditentukan pula oleh pembentukan
pribadi dalam keluarga. Di sinilah keluarga memiliki peranan yang strategis
untuk memenuhi harapan tersebut.
Berdasarkan konsep yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal dalam
satu rumah, atas dasar ikatan pernikahan yang sah dan mereka saling
berhubungan, serta terus berinteraksi dalam menjalin keharmonisan rumah
tangga.
B. Definisi Interaksi
Setiap manusia pasti akan hidup berkeluarga dan bermasyarakat, yang
dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tentu tidak dapat terlepas dari
interaksi satu sama lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga,
5
sangat diperlukan adanya interaksi yang baik dan intensif di antara masing-
masing pihak dalam sebuah keluarga. Orang tua harus selalu berinteraksi dan
mengomunikasikan pesan kepada anak-anak maupun anggota keluarganya
yang lain, sebagai upaya untuk mempertahankan keharmonisan. Interaksi
yang terjadi di antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain dapat
membantu seorang anak menyadari bahwa dirinya dapat berperan sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Hilangnya interaksi dalam kehidupan
keluarga dapat menjadi pertanda hilangnya hakikat manusia sebagai makhluk
sosial.
Menurut KBBI, interaksi adalah hal saling melakukan aksi,
berhubungan, memengaruhi, atau antar hubungan. Interaksi juga dapat
didefinisikan sebagai satu pertalian sosial antarindividu sedemikian rupa
sehingga individu yang bersangkutan saling memengaruhi satu sama lain
(Chaplin, 2006). Menurut Walgito (2007), interaksi sosial adalah hubungan
antara individu satu dengan individu lain, di mana individu satu dapat
memengaruhi individu yang lain, begitu pula sebaliknya, sehingga terdapat
hubungan timbal balik. Hubungan tersebut dapat terjadi antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok. Basrowi (2005) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah
hubungan dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok
dengan kelompok, dan orang dengan kelompok manusia. Bentuknya tidak
hanya bersifat kerja sama, tetapi juga berbentuk tindakan, persaingan,
pertikaian, dan sejenisnya.
C. Definisi Komunikasi
Secara bahasa, asal kata komunikasi berasal dari bahasa Latin
communicatio yang dasar katanya adalah communis yang artinya sama. Sama
yang dimaksudkan adalah sama makna. Artinya, komunikasi akan berjalan
apabila orang-orang yang terlibat dalamnya memiliki kesamaan makna dan
saling memahami terhadap suatu hal yang sedang dikomunikasikan (Nurhadi
dan Kurniawan, 2017).
6
Adapun secara istilah menurut Everett M. Rogers, komunikasi adalah
proses proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima
atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Pengertian
lain dari Charles Cooley menyebutkan bahwa komunikasi merupakan
mekanisme yang menyebabkan ada dan berkembangnya hubungan antar
manusia, melalui semua lambang pikiran, bersama dengan sarana untuk
menyebarkan dalam ruang dan menyebarkannya dalam waktu. Ke dalamnya
termasuk ekspresi wajah, sikap dan gerakan atau isyarat, nada suara, kata-
kata, tulisan, barang cetakan, lalu lintas kereta api, telegraph, telepon dan apa
saja yang lain, yang mungkin merupakan penemuan mutakhir dalam rangka
menguasai ruang dan waktu (Kawengian, dkk., 2017).
7
sesama anggota keluarga. Peran setiap anggota dalam menciptakan suasana
dalam keluarga sangat kuat sehingga setiap anggota keluarga harus
memahami perannya. Keluarga juga merupakan suatu kesatuan yang terdiri
dari bagian-bagian yang berinteraksi. Menurut Satrio (2010:3), keluarga yang
seimbang diisi dengan keharmonisan antara ayah dan ibu, ayah dan anak,
serta ibu dan anak sehingga semuanya seimbang. Contoh penerapan
komunikasi interpersonal dalam keluarga, yaitu anak dan ayah sedang
membicarakan mengenai rencana kuliah, ayah dan ibu sedang bertukar
pikiran mengenai menu makanan, anak dan ibu sedang bertukar informasi
mengenai kegiatan hari ini.
8
b. Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
Interaksi jenis ini terjadi pada kelompok sebagai satu kesatuan,
bukan sebagai pribadi-pribadi anggota kelompok yang bersangkutan.
Contohnya, permusuhan antara Indonesia dengan Belanda pada zaman
perang.
c. Interaksi antara Individu dan Kelompok
Bentuk interaksi ini cenderung berbeda-beda tergantung dengan
keadaan yang sedang terjadi. Interaksi tersebut lebih terlihat apabila terjadi
perbedaan antara kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok.
Dengan adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi
(communication), maka terjadilah pola interaksi keluarga. Pola interaksi
keluarga adalah hubungan yang terjadi dalam anggota keluarga antara ayah,
ibu, dan anak yang saling memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
perilaku individu yang lain. Dalam interaksi keluarga, terdapat beberapa
bentuk interaksi, yaitu interaksi antara suami dan istri, interaksi antara ayah,
ibu, dan anak, interaksi ayah dan anak, interaksi ibu dan anak, serta interaksi
anak dan anak.
Di samping pola interaksi, ada pula pola komunikasi. Pola komunikasi
adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan
penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud
dapat dipahami (Djamarah & Bahri, 2004). Istilah pola komunikasi juga biasa
disebut sebagai model untuk suatu sistem yang terdiri dari beberapa
komponen yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Terdapat empat pola komunikasi dalam keluarga, yaitu the equality pattern,
the balanced split pattern, the unbalanced split pattern, dan monopoly pattern
(Devito, 1995).
a. The Equality Pattern
Setiap pasangan atau anggota keluarga memiliki peran yang sama
untuk memberikan pendapat, mendengarkan pendapat, dan meminta
sesuatu. Pembagian peran tidak selalu sama dan satu sama lain dapat
saling berganti peran. Meskipun pada kenyataannya, yang disebut
9
seimbang porsinya tidak akan selalu sama dari waktu ke waktu, tetapi pola
ini masih dikatakan seimbang.
b. The Balance Split Pattern
Pola komunikasi ini memberikan peran seimbang pada setiap
individu, tetapi mereka memiliki porsi pada otoritasnya masing-masing.
c. The Unbalanced Split Pattern
Pola komunikasi ini terjadi ketika salah satu pasangan atau anggota
keluarga tampak lebih dominan, misalnya dalam membuat keputusan
keluarga. Satu orang yang mendominasi dianggap lebih cerdas dan
memiliki lebih banyak pengetahuan sehingga sering memegang kontrol,
sedangkan anggota lainnya dianggap kurang cerdas dan berpengetahuan
kurang sehingga berkompensasi dengan menyerahkan banyak hal kepada
pihak yang mendominasi untuk membuat keputusan, mengeluarkan
pernyataan, memberi tahu pihak lainnya tentang apa yang harus
dikerjakan, memberi opini, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol,
dan jarang menerima pendapat dari anggota yang lain, kecuali untuk
mendapatkan rasa aman bagi egonya atau sekadar meyakinkan pihak lain
tentang kehebatan argumennya.
d. The Monopoly Pattern
Pada pola komunikasi ini, otoritas berada pada satu orang. Cara
menyampaikan pesan cenderung bernada perintah atau mengajarkan,
daripada berkomunikasi secara dua arah, jarang bertanya kepada anggota
keluarga yang lain, dan selalu menjadi seseorang yang paling berhak
menentukan keputusan akhir. Pada pola ini, jarang terjadi perdebatan
karena komunikasi hanya didominasi oleh salah satu orang. Pemegang
kekuasaan mendapatkan kepuasan perannya dengan cara menyuruh,
membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain mendapatkan
kepuasan melalui pemenuhan kebutuhan dan tidak membuat keputusan
sendiri sehingga dia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan
itu.
10
F. Pentingnya Interaksi Komunikasi dalam Keluarga
Komunikasi dan interaksi adalah dua hal yang sangat penting dalam
keluarga karena dapat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak dan
tentunya juga untuk keharmonisan keluarga. Dalam keluarga, komunikasi
perlu dibina agar seluruh anggota keluarga merasakan ikatan satu sama lain.
Di dalam komunikasi keluarga juga terdapat kewajiban untuk mendengarkan,
memahami, dan merespon.
Terjalinnya komunikasi yang positif antar anggota keluarga dapat
menjadi suatu komponen dalam resolusi konflik keluarga karena jika
keintiman keluarga terjaga maka penyesuaian konflik dalam keluarga akan
mudah diselesaikan. Maka dari itu penting untuk menjaga komunikasi dan
interaksi yang baik dalam sebuah keluarga.
Komunikasi merupakan hal yang esensial dalam kehidupan keluarga
karena tanpa adanya kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran, dan
sebagainya maka kerawanan dalam keluarga sulit untuk dihindari. Orientasi
konformitas adalah salah satu bentuk komunikasi dalam keluarga karena
bentuk komunikasi tersebut dapat melibatkan seluruh keluarga dalam
mengambil keputusan.
Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menumbuh
kembangkan komunikasi dalam keluarga, yaitu pertama luangkan waktu
untuk mendengarkan dan berpikir kembali dengan apa yang akan
disampaikan kepada anggota keluarga lainnya. Kedua, ciptakan kesempatan
untuk saling berkomunikasi. Kurangi kegiatan dan mintalah waktu luang agar
keluarga dapat berkumpul menghabiskan satu hari dan menciptakan
komunikasi yang baik. Ketiga, memberikan kasih sayang dengan kata-kata.
Di samping komunikasi, interaksi merupakan hal yang tidak
dikesampingkan. Sebagian memandang bahwa sikap yang ditunjukan oleh
orang tua akan memengaruhi perilaku anak (parent effect model). Dalam
interaksi ini maka karakteristik yang terdapat dalam orang tua
akan menentukan bagaimana orang tua berinteraksi dengan anak dan hal ini
nantinya akan mempengaruhi perilaku anak. Sementara pendapat yang lain
11
mengatakan bahwa sikap yang ditunjukan oleh orang tua bergantung kepada
perilaku anak (child effect model). Dalam interaksi ini orang tua akan
bersikap adaptif terhadap apa yang ditunjukan oleh anak. Akan tetapi dalam
kenyataannya anak - anak yang tumbuh dalam keluarga yang sama, tidak
memperlihatkan yang seragam, pada masa dewasa. Dari kajian – kajian yang
sudah dilakukan maka muncul pandangan bahwa hubungan orang tua dan
anak bersifat interaksional. Model inilah yang dinamakan model transaksional
oleh para pakar psikologi perkembangan.
Dalam keluarga dibutuhkan interaksi dan komunikasi yang baik agar
tercipta keluarga yang harmonis. Komunikasi dan interaksi yang baik akan
berpengaruh kepada anak dan keluarga yang harmonis cenderung akan
menghasilkan anak yang berperilaku baik.
12
Di antara mereka tidak ada kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran,
dan sebagainya. Hal ini menyebabkan sulitnya menyelesaikan masalah yang
ada di antara mereka.
Kasus 2
Pasangan Atta-Aurel resmi menikah April 2021 lalu. pasutri yang
menjadi sensasi tanah air ini tampak memiliki hubungan yang harmonis.
Kemesraan mereka yang mudah diakses masyarakat menjadi bukti hubungan
mereka yang baik. Setiap ada masalah, keduanya dapat berdiskusi dan
mengomunikasikan pendapat dan keinginan dengan baik. Mereka juga tidak
mengambil sikap dominan atas pasangannya, dan lebih memilih untuk saling
menghargai dan mendengarkan.
Pembahasan
Pasangan ini dapat dikatakan menggunakan pola komunikasi The
Equality Pattern, di mana setiap pasangan atau anggota keluarga memiliki
peran yang sama untuk memberikan pendapat, mendengarkan pendapat, dan
meminta sesuatu. Pembagian peran tidak selalu sama dan satu sama lain dapat
saling berganti peran. Hal ini menyebabkan komunikasi dan interaksi berjalan
dengan baik di antara pasutri, sehingga tercipta keharmonisan dalam
keluarga.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keluarga sebagai suatu sistem sosial, memiliki fungsi penting dalam
membangun kehidupan bermasyarakat. Keluarga menjadi tempat pertama dan
utama berlangsungnya sosialisasi serta pendidikan dan penanaman nilai-nilai
kepada seorang individu. Untuk dapat mencapai fungsi penting keluarga
tersebut, tentu di dalamnya tidak terlepas dari interaksi.
Interaksi sebagai satu pertalian sosial antarindividu menjadi salah satu
penentu apakah keluarga dapat berhasil menjalankan fungsinya tergantung
seberapa baik interaksi di dalam keluarga tersebut. Interaksi juga tidak lepas
dari komunikasi yang menjadi salah satu syaratnya. Memiliki kesamaan
makna dan saling memahami menjadi kunci keberhasilan komunikasi yang
secara beruntun terhubung ke fungsi keluarga.
Dengan berbagai cara untuk membangun komunikasi yang baik dalam
keluarga, serta model interaksi yang optimal, diharapkan terbentuk keluarga
harmonis. Lebih lanjut lagi, akan terbentuk sistem masyarakat yang terpadu
dengan dimulainya terbentuk generasi-generasi terdidik dari keluarga yang
baik.
B. Saran
Cakupan studi yang lebih luas tentang interaksi dan komunikasi dalam
keluarga diharapkan menjadi langkah yang sangat baik untuk mendukung
keberjalanan fungsi keluarga yang optimal. Masyarakat secara umum juga
dapat diberikan edukasi yang lebih komprehensif tentang pentingnya keluarga
agar kebermanfaatannya terjangkau lebih luas.
14
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (n. d). Interaksi (Def. 1).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses 29
Agustus 2021, melalui https://kbbi.web.id/.
Basrowi. (2005). Pengantar sosiologi. Ghalia Indonesia.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus lengkap psikologi; Penerjemah Kartini Kartono.
Raja Grafindo Persada.
Damayanti, M. (2018) Pola komunikasi narapidana wanita dalam membangun
rasa percaya diri pada anak (Studi pada narapidana di lembaga
pemasyarakatan perempuan kelas IIA Malang) [Undergraduate’s thesis,
Universitas Muhammadiyah Malang]. UMM Institutional Repository.
http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/36996
Devito, J. A. (1995). The interpersonal communication. (7th ed.). HarperCollins
Publisher.
Devito, J. A. (2013). The interpersonal communication book. (13th ed.). Pearson.
Djamarah & Bahri, S. (2004). Pola komunikasi orang tua dan anak dalam
keluarga. Rineka Cipta.
Kawengian, K., Mingkid. E., Pantow, J. T. (2017). Peranan komunikasi
pemerintah dalam pelaksanaan program bersih kampung (Studi pada
Pemerintah Desa Lopana Satu Kecamatan Amurang Timur). Acta Diurna,
6(2).
Lestari, I., Riana, A. W., & Taftazani, B. M. (2015). Pengaruh gadget pada
interaksi sosial dalam keluarga. Prosiding Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, 2(2).
Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga. Prenada Media Group.
Nismawati, N. (2017). Pengaruh syarat interaksi sosial guru terhadap motivasi
belajar sosiologi siswa di SMA Negeri 1 Mallusetasi Kabupaten Barru.
Jurnal Sosialisasi: Jurnal Hasil Pemikiran, Penelitian dan Pengembangan
Keilmuan Sosiologi Pendidikan, 2(2).
15
Novianti, R. D., Sondakh, M., & Rembang, M. (2017). Komunikasi antarpribadi
dalam menciptakan harmonisasi (Suami dan istri) keluarga di Desa Sagea
Kabupaten Halmahera Tengah. Acta Diurna, 6(2), 1–15.
Nurhadi, Z. F., Kurniawan, A. W. (2017). Kajian tentang efektivitas pesan dalam
komunikasi. Jurnal Komunikasi, 3(1), 90-95.
Rakhmat, J. (2012). Metode penelitian komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya.
Sobandi, D., & Dewi. N. (2017). Urgensi komunikasi dan interaksi dalam
keluarga. Atthulab Islamic Religion Teaching and Learning Journal, 2(1),
52-62.
Walgito, B. (2007). Psikologi sosial: Suatu pengantar. Andi Offset.
Yigibalom, L. (2013). Peranan interaksi anggota keluarga dalam upaya
mempertahankan harmonisasi kehidupan keluarga di Desa Kumuluk
Kecamatan Tiom Kabupaten Lanny Jaya. Acta Diurna Komunikasi, 2(4).
Yulia, F. (2018). Peran keluarga bekerja dalam mensosialisasikan nilai agama
pada anak di RT 02 RW 02 Desa Tarai Bangun Kecamatan Tambang
Kabupaten Tambang Kabupaten Kampar. Jom FISIP, 5(1), 1-14.
16
PERMASALAHAN DALAM INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM
KELUARGA
Psikologi Keluarga Kelas 3
Dosen Pengampu
Dra. Endang Sri Indrawati, S.Psi., M.Si.
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A
Disusun Oleh:
Kelompok 8
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkah dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Permasalahan dalam Interaksi dan Komunikasi dalam Keluarga. Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga sebagai
penugasan terstruktur.
Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak lain, makalah ini tidak
akan terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini, tak terkecuali untuk orang tua yang selalu mendukung
dan memotivasi kami, serta untuk Ibu Dra. Endang Sri Indrawati, S.Psi., M.Si. dan
Ibu Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A selaku dosen pengampu mata kuliah
Psikologi Keluarga kelas 3.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna menambah wawasan
penulis dalam menyusun makalah sejenis agar lebih baik di lain waktu.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang
ada. Semoga makalah yang kami buat ini dapat berguna bagi siapapun yang
membacanya.
Tim
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang....................................................................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.5. Mencegah masalah interaksi dan komunikasi yang baik dalam keluarga
..................................................................................................................................................... 9
KESIMPULAN ..................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bossard & Ball dalam Notosoedirdjo dan Latipun (2001) memberikan
batasan tentang keluarga dari aspek kedekatan hubungan satu sama lain dengan
mengatakan bahwa, keluarga sebagai lingkungan yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Dengan kata lain, keluarga merupakan tempat utama dan
pertama untuk melakukan interaksi sosial dan mengetahui perilaku-perilaku dari
orang lain. Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keluarga adalah wadah
atau sarana penting dalam membentuk karakter seseorang karena dalam keluarga,
seseorang dibesarkan, bertempat tinggal, berinteraksi, dibentuk nilai-nilai
sosialnya, pola pemikiran, serta kebiasaannya. Meskipun dianggap sebagai
kelompok sosial pertama individu, seringkali ditemukan munculnya permasalahan
dalam keluarga dengan berbagai faktor penyebab. Salah satunya ialah interaksi dan
komunikasi dalam keluarga. Permasalahan-permasalahan keluarga yang mungkin
timbul akibat interaksi dan komunikasi ini dapat disebabkan karena kurangnya
intensitas komunikasi, kesalahpahaman, hingga gaya pengasuhan orang tua yang
mempengaruhi pola interaksi dalam keluarga. Oleh karena itu, penting bagi kita
untuk mempelajari psikologi keluarga guna mencegah timbulnya konflik dengan
memahami interaksi dan komunikasi yang positif dalam keluarga. Karena interaksi
dan komunikasi yang baik dapat menjaga kesejahteraan dan keharmonisan
keluarga.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan untuk memperjelas arah
penulisan makalah ini, maka pertanyaan mendasar yang menjadi pokok masalah
dalam makalah ini yaitu :
a) Apa pengertian dari komunikasi dan interaksi dalam keluarga?
1
b) Masalah-masalah apa yang biasa terjadi dalam interaksi komunikasi di
keluarga? dan bagaimana cara penyelesaiannya?
c) Contoh kasus masalah yang terjadi dalam interaksi dan komunikasi dalam
keluarga.
d) Bagaimana cara mencegah mempertahankan interaksi dan komunikasi yang
baik dalam keluarga?
Tujuan
Sebuah makalah ditulis guna mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
a) Mengetahui dan memahami komunikasi dan interaksi dalam keluarga
b) Mengetahui serta dapat memahami masalah-masalah yang biasa terjadi
dalam keluarga beserta solusi atau penyelesaiannya.
c) Mengetahui contoh masalah yang sering terjadi dalam keluarga
d) Mengetahui serta dapat mengaplikasikan bagaimana cara mencegah dan
mempertahankan interaksi dan komunikasi yang baik dalam keluarga.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Komunikasi dalam keluarga tentu saja penting dan pasti terjadi. Jika
tidak ada komunikasi, maka tujuan, kebersamaan, serta tujuan bersama
tidak tercapai. Selain itu, komunikasi juga sarana yang penting untuk
menanamkan nilai-nilai. Komunikasi juga dikenal sebagai komunikasi
interaksi, dimana terdapat timbal balik yang menghadirkan komunikator
(yang menyampaikan pesan) pada komunikan (pemberi respon) secara aktif,
dan dinamis.
3
(komunikator) kepada anak-anak (komunikan) mengenai nilai dan norma
pada keluarga yang tujuannya itu membentuk keluarga yang harmonis.
1. Pergeseran Sosialisasi
4
sebagai orangtua dan peraturan sosial (Smetana, 2004). Contoh perbedaan pendapat
yang tak jarang ditemui adalah perbedaan pemilihan karir anak yang orang tua
inginkan versus pemilihan karir anak yang anak inginkan.
5
antar orang tua dengan anak, tak terkecuali dalam hubungan saudara. Konflik
terjadi dalam keluarga dalam rangka upaya-upaya para anggota keluarga untuk
memperebutkan sumber-sumber daya yang langka yaitu hal-hal yang diberi nilai,
seperti uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan dalam memainkan peranan
tertentu (Wardyaningrum, 2017).
5. Kurangnya Keterbukaan
6
a. social stage, dengan menghadirkan seluruh anggota keluarga
dimana setiap keluarga diminta untuk memberikan pendapat
yang dihadapi.
7
bantuan, memberikan solusi atau nasihat dengan perspektif yang
berbeda dari lingkungan intern keluarga, serta bertindak aktif dengan
membujuk kedua pihak untuk menyelesaikan konflik.
Selain komunikasi antara suami dan istri, ada juga komunikasi antara orang
tua dan anak yang harus dijaga keefektifannya supaya terjadi keharmonisan.
Melalui komunikasi, orang tua mampu memahami keinginan dan kebutuhan anak,
dan orang tua dapat menyampaikan harapannya kepada anak tanpa memaksa.
(Terdapat hal penting yang harus ada saat melakukan komunikasi, yaitu; kejujuran,
keterbukaan, pengertian, rasa percaya dan dukungan antara kedua belah pihak.
Intensitas dalam komunikasi pada keluarga penting untuk dilakukan untuk
mempererat hubungan keluarga dan dapat menciptakan rasa aman dan nyaman.
8
2.5. Mencegah masalah interaksi dan komunikasi yang baik dalam keluarga
e. Audibel.
f. Tepat
9
a. Pengertian. Penerimaan yang cepat dari apa yang dimaksud
oleh komunikator.
10
c. Hubungan Sosial. Selain komunikasi yang baik, hubungan sosial
yang baik tentunya akan membuat keluarga harmonis.
11
ini terjadi pada orang tua yang membandingkan dirinya dahulu
dengan kondisi anak sekarang.
(1) Kasus 1
12
Analisis Kasus :
Pada kasus ini dapat dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik yang
dikemukakan George Herbert Mead. Menurut teori ini, interaksi karena
penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna. Dimana figur seorang
suami di sini disimbolkan sebagai kepala nahkoda kapal yang menjadi
kepala/pemimpin keluarga dalam mengatur urusan keluarga, di mana di
dalamnya termasuk urusan masalah-masalah. Menurut A, suaminya lah
yang harus mengawali pembicaraan mengenai penyelesaian masalah namun
sejatinya hal tersebut tidak harus diawali oleh pihak suami. Istri juga dapat
menyampaikannya terlebih dahulu. Komunikasi dibangun 2 arah dari pihak
istri dan suami. Baik dapat menggunakan pola komunikasi persamaan,
seimbang/terpisah, tak seimbang terpisah, atau monopoli. Penggunaan pola
komunikasi tersebut disesuaikan dengan karakteristik pasangan masing-
masing. Jika terdapat salah satu pihak yang lebih mendominasi atau lebih
ahli, pola interaksi biasanya menggunakan pola tak seimbang terpisah.
Komunikasi yang buruk merupakan faktor terbesar penyebab perceraian.
Setiap permasalahan yang muncul di keluarga yang didiamkan berlarut-
larut menambah persoalan menjadi lebih parah. Tidak adanya
interaksi/komunikasi yang baik antara pasangan menyebabkan
ketidakharmonisan. Kondisi inilah yang menyebabkan retaknya rumah
tangga hingga berujung pada perceraian. Dalam kasus perselingkuhan di
atas, salah satu faktor pemantiknya bisa karena interaksi kedua pasangan
yang buruk. Komunikasi yang buruk membuat pasangan cenderung untuk
acuh tak acuh dan kurang perhatian sehingga cenderung untuk mencari hal
tersebut di luar keluarga. Dalam keluarga tidak ada sosok untuk bertukar
cerita atau untuk curhat.
Penyelesaian :
13
dihadirkan kemudian memberikan tanggapan mengenai permasalahan,
kemudian pihak terapis menanyakan perubahan yang ingin diharapkan
untuk nanti dapat mencapai kesepakatan bersama. Namun pada kasus
keluarga A ini, keluarga A lebih memilih untuk melibatkan pihak ketiga
(kantor pengadilan agama) upaya mediasi gagal dilakukan, hingga
penyelesaian permasalahan ini berujung pada perceraian.
Pencegahan:
(2) Kasus 2
14
divonis enam tahun kurungan penjara atas kasus penerimaan gratifikasi oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 6 Desember 2018.
Analisis Kasus :
Pada kasus ini juga dapat dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik
yang dikemukakan George Herbert Mead. Menurut teori ini, interaksi
karena penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna. Dimana figur
seorang suami di sini disimbolkan sebagai kepala nahkoda kapal yang
menjadi kepala/pemimpin keluarga dalam mengatur urusan keluarga, di
mana di dalamnya termasuk urusan masalah-masalah.
Penyelesaian :
Pencegahan :
15
ada lagi kesalahan yang sama dan rasa kekeluargaanpun menjadi lebih
terasa. Komunikasi yang baik dapat membuat keluarga saling mengerti satu
dengan yang lain.
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, P. A. S. C., & Khotimah, H. (2020, October). Pola Asuh Orang Tua
Pada Anak Di Masa Pandemi Covid-19. In Seminar Nasional Sistem
Informasi (SENASIF) (Vol. 4, No. 1, pp. 2433-2441).
18
Sholihah, I. (2021). POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DAN ANAK DI
DESA SUKOLILO KECAMATAN JABUNG MALANG. Al-Ittishol:
Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 2(2), 97-109.
19
MAKALAH PSIKOLOGI KELUARGA
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
FAKULTAS PSIKOLOGI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Spiritualitas
dalam Keluarga ” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga, kami
berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Kami selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
sudah berkontribusi atas penyusunan makalah ini. Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengalaman dan
pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk
kritik maupun saran yang membangun sebagai bahan evaluasi kami kedepannya.
9 September 2021
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Manfaat Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Spiritualitas 3
1. Definisi Spiritualitas 3
2. Aspek-aspek Spiritualitas 5
3. Faktor yang Berhubungan dengan Spiritualitas 8
B. Esensi dari Spiritualitas dalam Keluarga 9
C. Peran Spiritualitas dalam Keluarga 9
D. Pembinaan Spiritualitas dalam Keluarga 10
1. Pembinaan Spiritualitas pada Suami-Istri 10
2. Pembinaan Spiritualitas pada Anak 10
E. Spiritualitas dalam Perspektif Islam 13
KASUS ATAU JURNAL TERKAIT MATERI 16
KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK (STUDI KASUS PADA
KELUARGA BEDA AGAMA) 18
BAB III PENUTUP 20
DAFTAR PUSTAKA 21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan tempat dimana individu dipersiapkan untuk dapat melakukan peran nya
di masyarakat. Orang tua sebagai orang yang terdekat di dalam keluarga, harus dapat
melakukan persiapan, pengarahan, dan bertanggung jawab atas pendidikan dan
perkembangan rohani,fisik serta psikologis anak. Dalam mendidik anak – anak, orang tua
harus memainkan peran dalam menciptakan keharmonisan di dalam keluarga dan
mengajarkan anak untuk dapat mengenal tuhan atau bisa disebut pendidikan spiritual.
Pendidikan spiritual adalah penguatan kekuatan spiritual bagi anak dan penanaman iman
alam diri mereka sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan naluriyah beragama mereka,menata
sifat mereka dengan tata krama dan meningkatkan kecenderungan ( tekad,bakat ) mereka,dan
mengarahkan mereka pada nilai-nilai spiritual,prinsip,dan suri tauladan yang mereka dapat
dari keimanan yang benar kepada Tuhan yang mereka yakini.
Kebutuhan manusia pada agama merupakan kebutuhan yang alami, tanpa agama manusia
tidak akan tenang dalam menjalani kehidupannya. Hal itu karena sesungguhnya Tuhan
menciptakan manusia tidak ada yang sempurna, manusia pasti membutuhkan pemenuhan
kebutuhan akan iman pada Dzat yang Maha Sempurna, yang Maha berkuasa dan yang
memiliki segala hal.
B. Rumusan Masalah
1
C. Tujuan
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan yang hendak dicapai, penulisan ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Manfaat teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
Spiritualitas dalam Keluarga , serta juga diharapkan sebagai sarana pengembangan ilmu
pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di bangku perkuliahan.
2) Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang terkait
dalam penelitian ini, diantaranya :
• Bagi Penulis, diharapkan dapat menambah pemahaman tentang Spiritualitas dalam
Keluarga.
• Sebagai pijakan dan referensi bagi mahasiswa dalam pengembangan Ilmu Psikologi
Keluarga khususnya dalam Spiritualitas dalam Keluarga.
2
BAB II
ISI
A. Spiritualitas
1. Definisi Spiritualitas
Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia sadar
terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar inferioritasnya, mampu membimbing
tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari segala perbuatan untuk kemudian
dapat mengaktualisasikan dirinya. (dalam Mahpur&Habib,2006:35). Spiritualitas
diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yang relevan secara eksistensial untuk
manusia. Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga
fokus pada mengapa hidup berharga.Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih
kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik
atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai
tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan
kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (Hasan, 2006:288) .Carl Gustav Jung
mengatakan,“Dari sekian banyak pasien yang saya hadapi, tak satupun dari mereka yang
problem utamanya bukan karena pandangan religius, dengan kata lain mereka sakit
karena tidak ada rasa beragama dalam diri mereka, apalagi semuanya sembuh setelah
bertekuk lutut di hadapan agama.” (dalam Ihsan, 2012:9)
Ternyata, kemudian ilmu pengetahuan dan agama keduanya merupakan kunci
berharga untuk membuka pintu rumah berharga dunia untuk mengetahui Dia sebagai
Pencipta. (Piedmont, 1999:985) Menurut Fontana&Davic, definisi spiritual lebih sulit
dibandingkan mendefinisikan agama atau religion, dibanding dengan kata religion, para
psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spiritual mempunyai
beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau
menunjukan spirit tingkah laku. Kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai faktor
kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi, (dalam
Tamami,2011:19)
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin
“Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas.
Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya
3
memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang
bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup
dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan
kesejahteraan seseorang. (dalam Tamami, 2011:19). Spiritualitas kehidupan adalah inti
keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran
individu tentang asal, tujuan, dan nasib. (Hasan, 2006:294)
Religi adalah sebuah sistem teratur atas suatu kepercayaan yang berisikan penganut-
penganut dengan doktrin, praktisi, dan tradisi bersama. Menurut Wesley, dkk (2014),
religi diartikan sebagai sistem, praktisi, dan aturan teratur dan terlembagakan yang
dimiliki oleh kaum agama tertentu. Spiritualitas berkaitan dengan religi karena
spiritualitas merupakan jantung dan jiwa dari religi. Spiritualitas dikatakan jantung dan
jiwa karena komunikasi dari hal spiritual termanifestasi sebagai pengalaman atau
perasaan yang dirasakan di hati dan jiwa seseorang. Hal ini dapat dirasakan lewat
penanaman aktif akan nilai kemanusiaan dan keyakinan pribadi. Oleh karena itu, hal
spiritual juga dapat dirasakan oleh orang-orang yang tidak bereligi.
Di sisi lain, istilah sakral juga digunakan pada beberapa literatur untuk
menggambarkan unsur transendental yang dirasakan manusia. Hanya saja, sakral ini
mengarah pada pengalaman manusia yang dianggap menakjubkan sehingga mengubah
pengalaman yang duniawi dan biasa menjadi hal yang kudus dan suci. Beberapa bahasan
sacral tidak selalu memiliki unsur spiritual ataupun religi. Istilah ini digunakan untuk
menggambarkan hal yang abstrak dan luas untuk berbagai macam kultur dan denominasi.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa ketiga istilah di atas memiliki kerterkaitan
tapi juga tidak dapat disamakan. Ketiganya mencoba menjelaskan tentang pengalaman
manusia dengan hal yang transenden dengan cara dan lingkup yang berbeda. Dalam hal
ini, spiritualitas memiliki lingkup yang lebih luas daripada religi tetapi lebih sempit
daripada sakral.
2. Aspek-Aspek Spiritualitas
4
mendasari beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep ini terdiri atas tiga
aspek, yaitu:
Kedua konsep Piedmont di atas yang memaparkan aspek spiritualitas yang terdiri
dari tiga aspek, yang termanifestasi melalui suatu alat ukur spiritualitas yang
dikembangkan Piedmont (1999:985-986) yaitu Spiritual Transcendence Scale (STS)
memiliki beberapa indikator dan deskripsi perilaku spiritual, yaitu:
Segi ketiga dimensi spiritualitas tersebut berasal dari dua sumber, pertama,
pemahaman penulis terkait spiritualitas yang merupakan representasi atas agama
yang beragam dan pembacaan karakteristik psikologis dalam area itu. Kedua, penulis
mengumpulkan kelompok fokus terdiri atas pelajar/cendekiawan agama dari tradisi
bermacam-macam, termasuk kelompok Kristen, Yahudi, Buddha dan Hindu.
(Piedmont, 1999:989).
Aspek di atas senada dengan Elkins, dkk (dalam Adami, 2006:33) menjelaskan
spiritualitas sebagai bentuk multidimensi yang dibangun dari Sembilan aspek utama,
yaitu:
5
juga tidak terkait kepercayaan kepada Tuhan, serta meyakini bahwa keinginan
diri sendiri ditentukan melalui hubungan harmonis dengan dimensi ini.
b. Makna dan tujuan dalam hidup (meaning and purpose in life), yaknisetiap
orang memiliki tujuan hidup yang muncul dari sebuah proses pencarian
makna secara terus menerus.
c. Misi dalam hidup (mission of life), yakni memiliki rasa tanggungjawab
terhadap hidup dengan memahami bahwa eksistensi dirinya terdiri dari
beragam kewajiban yang harus dijalani.
d. Kesucian dalam hidup (sacredness of life), yakni meyakini bahwa semua
kehidupan dan semua hal di dalamnya adalah suci.
e. Nilai-nilai kebendaan (material values), yakni menyadari bahwa kepuasan
dan kebahagiaan tertinggi berasal dari nilai-nilai spiritual, bukan berasal dari
hal-hal yang bersifat kebendaan.
f. Altruism (altruism) yakni meyakini keadilan sosial, dan menyadari bahwa
tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa adanya interaksi sosial dengan
orang lain.
g. Idealisme (idealism), yaitu menghormati potensi-potensi positif dalam semua
aspek kehidupan seseorang.
h. Kesadaran akan kemampuan tinggi untuk berempati (awareness of high
emphatic capacity), yakni kesadaran yang mendalam untuk mengambil
makna dari rasa sakit, penderitaan, serta kematian, bahwa hidup itu bernilai.
i. Manfaat spiritualitas (fruits of spirituality), yakni nilai-nilai spiritualitas bisa
diwujudkan dalam hubungan dengan diri sendiri, oranglain, dan alam.
Smith (1994) merangkum sembilan aspek spiritualitas yang diungkapkan oleh Elkins,
dkk. tersebut menjadi empat aspek sebagaimana berikut:
1) Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa memiliki
misi dalam hidup.
2) Memiliki sebuah komitmen aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap
aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-nilai spiritual
menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-nilai material,
serta spiritualitas memiliki hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri,
dan semua orang.
3) Menyadari akan keterkaitan dan tersentuk oleh penderitaan orang lain.
4) Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transedensi adalah
menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam hidup
adalah suci.
6
c. Existentiality, yakni sebuah hasrat hidup sesaat dan mencakup pengalaman-
pengalaman bahwa kehidupan menghadapi kita dengan sebuah kesempatan
tumbuh dan bahagia.
d. Gratefulness, yakni sebuah rasa bawaan agar hebat dan bersyukur atas semua
rejeki atau anugrah dan keutamaan langka dalam kehidupan.
Menurut Holt, dkk (dalam Adami, 2006:31), sedikitnya ada dua bentuk dimensi dari
spiritualitas, yaitu:
1) Dimensi keimanan (the beliefs dimension) yang melibatkan keyakinan
spiritual dari aktifitas yang tak kasat mata. Misalnya, merasakan hubungan
yang dekat dengan Tuhan.
2) Dimensi perilaku atau amal (the behavioral dimension) yang dicirikan dengan
aktifitas-aktifitas spiritual yang bisa diamati serta melibatkan materi-materi
religius atau menghadiri peribadatan agama.
7
b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri.
Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah
lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawai.
c. Tuhan
Pemahaman tentang tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa
ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami
sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atauk hakikat hidup. Kodrat
Tuhan mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna
yang berbeda bagi satu orang dengan oranglain. Manusia mengalami Tuhan
dalam banyak cara seperti dalam suatu hubungan, alam, music seni, dan hewa
peliharaan.
8
disimpulkan bahwa rasa berserah kepada hal transendental menjadi unsur pokok dari
spiritualitas dalam keluarga.
9
menginternalisasikan nilai nilai ketuhanan/ spiritualitas yang di hayati oleh orang tua
tersebut. Untuk melaksanakan tugas tugas tersebut, orang tua sendiri perlu
menginternalisasikan dan menghayati spiritualitas agar dalam menanamkan nilai-nilai
spiritualitas pada anak. Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam relasi suami istri
dalam berkeluarga, seperti:
1. Menumbuhkan sikap taat, tunduk, pasrah kepada Allah
2. Lapang dada, sabar, dann ikhlas melewati banyak permasalahan bersama
pasangan
3. Memberikan rasa syukur dan berpengharapan dalam berelasi.
10
b) Menceritakan kisah-kisah teladan dari tokoh-tokoh spiritual sesuai
agama masing-masing
Dengan menceritakan kisah-kisah teladan dari tokoh tokoh spiritual,
diharapkan anak dapat mengambil sisi positif yang diperlihatkan oleh tokoh-
tokoh spiritual tersebut.
c) Menumbuhkan perilaku perilaku prososial pada anak
Hal ini lakukan agar dapat memotivasi anak untuk bersikap baik
kepada orang-orang disekitar seperti bergotong royong.
d) Menjadi teladan bagi anak-anak mereka
Cara ini muncul karena peribahasa “like father, like son” atau dalam
peribahasa indonesia adalah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Orang tua harus dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya
sebab mereka cara mereka berperilaku merupakan cerminan
bagaimana orang tua mereka berperilaku di kehidupan sehari-hari.
e) Membatasi pergaulan anak
Dalam hal ini, orang tua membatasi pergaulan anak terutama mereka
yang sudah remaja agar terhindar dari pergaulan bebas.
f) Menumbuhkan perilaku baik, disiplin, serta bertanggung jawab
Sifat bertanggung jawab dan disiplin sangat penting dikembangkan anak
sejak usia dini. Jika anak telah diajarkan disiplin dan bertanggung jawab
sejak dini maka anak akan terbiasa dan terbawa secara alami hingga saat
dewasa tanpa adanya pencitraan belaka.
g) Mengajarkan sikap sopan santun
Sopan dan santun merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sosial
di Indonesia. Tetapi, lama kelamaan, sopan santun pada anak mulai
memudar pada generasi milenial. Alangkah baiknya anak diajarkan sopan
santun agar mereka dapat menghormati orang yang lebih tua serta
berperilaku baik.
• Hambatan
Dalam membina anak tentunya terdapat hambatan yang harus dihadapi oleh
orang tua. Dalam penelitian yang sama dijelaskan jika hambatan yang dialami
oleh para orang tua adalah saat menjadi teladan bagi anak-anak mereka, para
orang tua kesulitan untuk mencontohkan perilaku baik di depan anak anaknya.
Lalu hal lain yang menjadi hambatan dalam membina spiritualitas anak adalah
11
orang tua cenderung bergantung pada instansi atau lembaga pendidikan anak,
hal ini dikarenakan orang tua seringkali sibuk bekerja.
Menurut Miller (2012), terdapat dua faktor dalam pembinaan spiritualitas pada
anak, yaitu pandangan orang tua serta pengaruh saudara serta lingkungan sekitar
anak. Jika orang tua berpandangan jika spiritualitas tidaklah terlalu penting, anak
pun akan terpengaruhi pemahaman tersebut sehingga hal ini akan menghambat
perkembangan spiritualitas anak. Lalu, pandangan anak juga dapat terpengaruhi
oleh lingkungan sekitar seperti saudara, jika lingkungan sanganak tidak
memberikan contoh yang baik untuk berperilaku, maka anak akan terhambat
perkembangan spiritualitasnya.
12
Dalam lingkungan keluarga upaya untuk menumbuhkan spiritualitas, orang
tua mempunyai peran yang sangat kuat. Ketaqwaan kedua orang tua kepada Allah
Swt sangat diperlukan, karena dari keluargalah bermulanya sebuah pendidikan.
Orang tua yang menyadari peran serta fungsinya akan melahirkan generasi cerdas
dan bertaqwa. Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak, sumber kehidupan,
pelindung dan juga merupakan sumber kebahagiaan. Spiritualitas ini sangat penting
ditanamkan kepada anak, mulai sejak anak masih kanak-kanak, bahkan sejak dalam
kandungan. Disinilah letak pentingnya orang tua terutama ibu dalam membina
spiritualitas kepada anak. Keluarga memiliki andil yang sangat penting dalam
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan
pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan beragama dan bermasyarakat, merupakan
faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota
masyarakat yang sehat. Orang tua merupakan orang yang terdekat dengan anak, di
mana sikap dan tingkah laku orang tua akan menjadi panutan bagi anak.
13
surat Al Baqarah: 83, yang berbunyi “...serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada sesama manusia”. (Ulwan, 1981). Dengan demikian menurut Ulwan, anak
akan tumbuh secara istiqamah, terdidik untuk berani dan beridiri sendiri, kemudian
merasa bahwa mereka memiliki harga diri, penghormatan dan kemuliaan.
Selanjutnya dikatakan, jika orangtua memberikan perlakuan kasar dan hukuman
yang zhalim, menunjukkan bahwa ia telah berbuat dosa kepada anak-anaknya,
bahkan mereka akan benar-benar melihat anaknya yang menyimpang dan durhaka.
Hal ini disebabkan, mereka telah menyimpan benih-benih penyimpangan dan
kedurhakaan itu dalam diri anak, sejak mereka kecil.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa, sejatinya pengetahuan dan pemahaman
seseorang akan nilai dan ajaran agama, serta praktik ibadah yang sehari-hari
dilakukan, akan mengarahkan dirinya untuk bersikap tepat dalam mendidik anak-
anaknya. Orangtua akan menghindari maltritmen dalam disiplin pengasuhan, yang
dapat memunculkan berbagai permasalahan perilaku maupun psikologis di kemudian
hari. Fenomena maltritmen dalam pengasuhan, menggambarkan bahwa individu
belum memiliki arah tujuan, yang secara terus-menerus meningkatkan kebijaksanaan
dan kekuatan berkehendak dari seseorang, guna mencapai hubungan yang lebih
dekat dengan ketuhanan dan alam semesta, yang menjadi salah satu aspek dari
spiritualitas.
14
KASUS ATAU JURNAL TERKAIT MATERI
Ilustrasi Kasus
Salah seorang anak berusia delapan tahun yang menjadi klien peneliti, dirujuk oleh
tantenya karena berperilaku melawan dan kasar terhadap neneknya. anak tersebut dititipkan
orang tuanya kepada neneknya untuk disekolahkan, setelah sebelumnya keluar dari pondok
pesantren. saat bersama dengan neneknya, tidak segan-segan ia mengancam neneknya dengan
gunting jika keinginannya tidak segera dipenuhi. saat bermain dengan sepupunya, ia
cenderung memaksa agar keinginannya diikuti. jika tidak, ia akan marah hingga mengamuk.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui bahwa ayah klien adalah seorang tokoh agama
yang berperan penting dalam masyarakatnya. dalam upaya mendidik anak, ia menerapkan
disiplin yang bersifat keras. Sisi positifnya adalah pada usianya yang masih anak-anak,
hafalam surat-surat dan bacaan Al-Qur'an, serta ketaatan dalam menjalankan ritual ibadah
tergolong tinggi. Namun, sisi negatifnya adalah klien mengalami problem perilaku dan
emosi.
Analisis Kasus
Dari hasil penelitian tentang “Spiritualitas dalam Parental Discipline” yang didapat
dari kedua responden dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya mereka menyadari
akan adanya kekuatan yang dapat menentukan keadaan seseorang. Mereka sudah berusaha
dalam mendidik anak, namun hasilnya tetap pasrahkan kepada Allah SWT. Kedua responden
berusaha melakukan upaya-upaya yang dapat mempermudah praktik disiplin dalam
pengasuhan anak seperti melalui berdo'a, karena mereka yakin bahwa dengan berdo'a akan
mendapatkan pertolongan dalam mengasuh dan mendidik anak.
Terkait tugas pengasuhan anak menjadi kewajiban mereka sebagai orang tua, yang
diamanatkan oleh Allah SWT, saat menjalankan tugas pengasuhan sebagai orangtua, mereka
menemukan kesulitan-kesulitan dalam praktik disiplin untuk mencapai tujuan yang
15
diharapkan, seperti respons anak perlu mendidik anak dengan yang tidak seperti harapan
yakni membantah atau melawan keinginan orangtua. Adapun tujuan pengasuhan bagi kedua
responden adalah agar anak-anak menjadi anak yang shalih dan mulia, berguna bagi nusa
bangsa dan agamanya, serta dapat menjadi anak yang membanggakan dan menjadi orang
yang sesuai harapan bagi kedua orangtuanya atau bahkan anak-anak mereka lebih baik dari
orang tuanya.
Dalam hal ini mereka menyadari bahwa hasil yang diinginkan dengan mendidik
anak dengan upaya-upaya yang telah mereka lakukan, belum tentu sesuai dengan apa yang
telah mereka upayakan. Pemahaman ini menunjukkan bahwa telah muncul kesadaran pada
kedua reponden mengenai aspek spiritual yang berkaitan dengan sesuatu yang tidak diketahui
atau adanya ketidakpastian dalam kehidupan.
Dalam praktik pengasuhan terhadap anak, kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam
praktik disiplin pengasuhan, menyebabkan kedua responden menggunakan cara yang keras,
seperti tidak membuka ruang kompromi dengan anak, atau melakukan kekerasan fisik
maupun verbal dalam mendidik anak dan berdampak anak menjadi takut, membangkang,
atau memperhatikan orang tua. Maka diperlukan pemahaman mengenai praktik pengasuhan
dan nilai spiritual dalam pengasuhan anak yang tepat agar tidak terjadi maltritmen dalam
pengasuhan, karena kedua responden pun menyadari ketidakefektifan praktik pengasuhan
pengasuhan yang bersifat keras, schingga berupaya mencari cara lain dalam disiplin
pengasuhan yang semakin positif serta menetapkan akidah tauhid sebagai pandangannya
sehingga menjadikan orang tua “gembala spiritual” yang baik.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh orangtua sebagai teladan kepada anak yang telah
kami padupadankan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaein, Afifulloh, dan Ertanti yang
berjudul Peran Orang Tua dalam Membina Kecerdasan Spiritual Anak pada Generasi
Milenial yaitu dengan menumbuhkan rasa cinta kepada tuhan, penanaman sikap maupun
nilai-nilai Islam dalam perkembangan jasmani, rohani dan akalnya, seperti berlaku disiplin,
pemurah, penyayang, tidak berkata kasar/jorok, bertanggung jawab, berkata jujur, dan
perilaku prososial lainnya. Orang tua juga dapat membantu merealisasikan keseimbangan
antara materi dan ruh, antara dua kehidupan dunia dan akhirat, misalnya terhadap pekerjaan
dalam segala aspek demi membantu anak untuk merumuskan “misi” hidupnya.
Lisnawati. (2016). Spiritualitas dalam Parental Discipline. Jurnal Psikologi Integratif. 4(1),
1-14.
16
KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK (STUDI KASUS PADA KELUARGA
BEDA AGAMA)
ILUSTRASI KASUS
Di sebuah desa yang berada di Kecamatan Gunung Anyar hiduplah sebuah keluarga
yang memiliki perbedaan keyakinan. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang
bernama Nia. Ayah Nia seorang nasrani dan ibu nya seorang muslim. Sejak kecil Nia sudah
dikenalkan oleh ayahnya ajaran tentang agama Kristen,oleh karena itu ia mengikuti agama
yang diyakini oleh ayahnya. Ibu nya juga memperkenalkan agama Islam kepada Nia, akan
tetapi Ayah nya yang dari awal ingin anak nya untuk beragama Kristen seperti dirinya.
Ketika Nia sudah beranjak dewasa dan sudah banyak bersosialisasi dengan teman-teman nya
di sekolah, ia memutuskan untuk berpindah keyakinan dan mengikuti keyakinan ibunya
menjadi seorang muslim. Nia memutuskan untuk menjadi seorang muslim karena lingkungan
pertemanannya di dominasi oleh seorang muslim. Dari teman-teman nya, Nia mendapatkan
pencerahan untuk menjadi seorang muslim. Awalnya terjadi kesalahpahaman tentang agama
apa yang diyakini oleh Nia. Hal itu terjadi karena ketika Nia memutuskan untuk berpindah
agama, dirinya tidak memberitahukan kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya sibuk
dengan pekerjaanya masing-masing, sehingga Nia tidak memiliki kesempatan untuk
berbicara kepada ayah dan ibu nya. Setelah menunggu beberapa minggu akhirnya ayah dan
ibu nya meluangkan waktu untuk membicarakan terkait agama apa yang ingin Nia pilih. Nia
menjelaskan bahwa dirinya sudah mantap untuk ingin masuk ke dalam agama Islam, setelah
itu terjadilah perdebatan diantara mereka bertiga. Lalu Nia menjelaskan bahwa dirinya sudah
dewasa dan berhak memilih sendiri terkait agama apa yang ingin ia yakini. Setelah Nia
berusaha untuk menjelaskan, perlahan kedua orang tua nya dapat mengerti dan membebaskan
Nia untuk memilih jalan kehidupannya sendiri.
ANALISIS KASUS
Dari hasil penelitian tentang “Komunikasi Orang Tua dan Anak (Studi Pada Keluarga
Beda Agama di Kec. Gunung Anyar), dapat diambil kesimpulan bahwa Komunikasi memiliki
peran yang sangat penting dalam setiap hubungan, salah satunya adalah hubungan keluarga.
Baik pada keluarga yang hidup dalam satu agama maupun yang hidup dengan berbeda
agama. Meski sulit menjaga keharmonisan, perbedaan keyakinan tidak memberikan dampak
yang begitu besar terhadap keharmonisan sebuah keluarga, jika saling menghargai keyakinan
17
masing-masing. Semakin sering komunikasi terjadi dalam sebuah keluarga, maka
keterbukaan di antara anggota keluarga. Karena gaya komunikasi yang diberikan oleh orang
tua kepada anak dapat memberikan pengaruh pada pola perkembangan pemikiran anak.
Selain itu penerapan pola pendidikan yang tidak sesuai, juga bisa beresiko fatal terhadap
perkembangan karakter anak. Maka akan berdampak pada sikap dan perilaku anak tidak
sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat.
Semua orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya, tidak terkecuali orang tua
yang berbeda agama. Segala bimbingan dan pendidikan diupayakan oleh orang tua agar
anaknya bisa meraih cita-cita dan hidup bahagia di masa depan. Orang tua juga memberikan
tauladan dan contoh menggunakan sikap yang ditunjukkan orang tua dengan harapan agar
anaknya dapat mengerti arti kehidupan dan dapat menjalani hidup bahagia tanpa banyak
hambatan. Untuk pendidikan agama, orang tua yang berbeda agama mengenalkan tentang
latar belakang agama agar anaknya dapat menentukan sendiri agama yang sesuai dengan
kebenaran yang dipercaya anaknya. Orang tua yang berbeda agama juga harus
memperhatikan ketentuan pasal 42 UU No. 23 Tahun2002 tentang perlindungan Anak
(“UUPA”) yang berbunyi :
Perbedaan antara karakter suami dan istri dapat menimbulkan masalah dan
mempengaruhi komunikasi dikarenakan sikap antar karakter dari keduanya yang cenderung
berbeda. Selain itu banyak juga permasalahan yang muncul ketika orang tua lengah saat
memberikan pengawasan terhadap anak. Pengawasan yang memberikan kebebasan membuat
anak memiliki kebebasan untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginanya sedangkan
pengawasan yang terlalu ketat membuat anak mudah terpengaruh dengan lingkungan luar
karna rasa ingin tahu yang tinggi.
Dukungan yang diberikan orang tua kepada anak dapat membuat anak semakin
bersemangat dalam hidup dan memunculkan sikap terbuka terhadap orang tua. Pembicaraan
dari hati ke hati yang diterapkan oleh orang tua dalam mengatasi kenakalan anak, diharapkan
anak dapat lebih mengerti sehingga anak tidak ingin melakukan kenakalan lagi. Berpikir
positif dan orang tua memberikan pengertian kepada anak bahwa antara keduanya memiliki
kepentingan, sama-sama bernilai, berharga dan saling memerlukan. Di samping itu orang tua
18
juga tidak boleh memaksakan kehendak pribadi anak yang dapat menyebabkan tidak
nyamannya anak ketika akan menyampaikan sesuatu kepada orang tuanya.
19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan
makna hidup. Spiritual mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian
atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Piedmont (2001:7)
mengembangkan sebuah konsep spiritualitas yang disebut Spiritual Transendence, dimana
seseorang melihat satu kesatuan fundamental yang mendasari beragam kesimpulan akan alam
semesta. Spiritualitas merupakan pengalaman pribadi individu dengan hal yang trasenden,
hal yang di luar jangkauan manusia, yang membantunya memahami motivasi dan makna
hidup. Fungsi spiritualitas yaitu berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi
individu. Pengembangan spiritualitas dalam keluarga dapat dilakukan terhadap setiap anggota
keluarga mulai dari suami-istri hingga anak sesuai dengan perannya masing-masing. Dalam
terminologi Islam, konsep spiritualitas berhubungan langsung dengan Al Qur'an dan Sunnah
Nabi. Hal ini karena spiritualitas ialah kesadaran ruhani untuk berhubungan dengan kekuatan
besar, merasakan nikmatnya ibadah (mistik), menemukan nilai- nilai keabadian, menemukan
makna hidup dan keindahan.
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, D. (2017). Hubungan Antara Spiritualitas Dan Stres Pada Mahasiswa Yang
Mengerjakan Skripsi. EL TARBAWI, 10(2). Arvia, A., Setiawan, J. L. (2020). Kepuasan
Pernikahan Pasangan Beda Etnis ditentukan ResolusiKonflik dan Intimasi Spiritual.Jurnal
Psikologi Teori dan Terapan, 11 (1), 17 – 31.
Boeree, C.G. (2010). Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama
Psikologi Dunia. Yogyakarta: Prismasophie.
Lubis, R. R. (2018). Optimalisasi kecerdasan spiritual anak. Al-Farih:Jurnal
Pendidikan dan keislaman. 1(1), 1-18.
Miller, L.J. (2012). The Oxford Handbook Of Psychology And Spirituality. Oxford:
Oxford University Press.
MUBAROK, A. L. H. (2019). PENGHAYATAN SPIRITUAL PARA PENARI SUFI
(Studi Fenomenologi Komunitas Serdadu Aswaja Di Kecamatan Panggul, Kabupaten
Trenggalek).
Prasetyo, A. (2016). ASPEK SPIRITUALITAS SEBAGAI ELEMEN PENTING
DALAM KESEHATAN. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, 9 (1), 18 - 24. Pustakasari, E. N. I.
(2014). Hubungan Spiritualitas dengan Resiliensi Survivor Remaja Pascabencana Erupsi
Gunung Kelud di Desa Pandansari Ngantang-Kabupaten Malang [disertasi]. Malang:
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Ramdani. (2015). Kontribusi Kecerdasan Spiritual dan DukunganKeluarga Terhadap
Kepuasan Hidup Lansia Serta Implikasinya Dalam Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Jurnal KOPASTA, 2 (2), 1 – 21.
Rifai, A. (2018). Peran Orang Tua dalam Membina Kecerdasan SPIRITUAL. Jurnal
Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 1(2), 257-291. DOI: 10.36670/alamin.v1i2.12
Seligman, M. (2011). A Visionary New Understanding Of Happiness And Well-
Being. Retrieved from
https://www.authentichappiness.sas.upenn.edu/Learn/Wellbeing.
21
Zaein, F. Z., Afifulloh, M., & Ertanti, D.W. (2020). Peran orang tua dalam membina
kecerdasan spiritual anak pada generasi millenial. VICRATINA: Jurnal Pendidikan Islam. 5
(1), 34-39.
22
MAKALAH PSIKOLOGI KELUARGA
Disusun oleh:
Andriaty Puji Rahayu 15000120120003
Aqila Ula Faizah 15000120140334
Aulia Diva Firdana 15000120140308
Indhira Putri Utami 15000120140305
Isnani Putri Maulida 15000120140360
Rifqi Abhirama Prasetyo 15000120140361
Zahara Raihani Utami 15000120120045
Dosen pengampu:
Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya serta kemampuan kepada kami sehingga mampu menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Psikologi Keluarga yang berjudul “Penanaman Nilai dalam Keluarga”
dengan tepat waktu dan dapat kami susun dengan baik karena bantuan dari berbagai referensi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini serta kepada Ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si dan Agustin Erna
Fatmasari, S.Psi., M.A., selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Keluarga yang telah
membimbing dan memberikan tugas ini kepada kami untuk dapat memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Keluarga dengan sebaik-baiknya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan didalamnya.
Oleh karena itu, kritik dan saran membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk menyusun
makalah ini lebih baik kembali. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
memuat sebagian informasi yang diharapkan.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.3 Tujuan 1
BAB II 2
PEMBAHASAN 2
2.1 Harapan 2
2.5 Kasus 8
BAB III 12
KESIMPULAN 12
DAFTAR PUSTAKA 13
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lembaga sosialisasi pertama dan utama bagi anak. Dalam
keluarga, anak belajar banyak hal, maka dari itu peran orang tua sangat penting di sini.
Pengenalan lingkungan sekitar pertama kali dilakukan oleh orang tua, lalu anak akan
mengenal lingkungan teman sebayanya sampai mengenal aspek agama, hukum, dan
budaya yang ada di lingkungan tempat dia tinggal. Selain mengajari hal-hal yang
bersifat sosial, orang tua juga membantu anak belajar hal- hal motorik seperti menulis,
berjalan atau membaca.
Penanaman nilai dalam keluarga menjadi hal yang penting karena dalam keluarga
lah seorang individu terbentuk. Berbagai hal positif berusaha ditanamkan oleh keluarga
untuk seorang anak contohnya adalah nilai kesopanan pada masyarakat Jawa yang
diajarkan dengan menggunakan unggah-ungguh basa. Selain itu, Indonesia merupakan
negara dengan tingkat spritualitaspiritualitas yang tinggi, dalam hal ini pasti orang tua
akan mengajarkan aspek agama yang akan dianut oleh anak agar selalu taat beribadah.
Dengan demikian, penanaman nilai dalam keluarga tidak bisa dianggap mudah
oleh orang tua karena apa yang diajarkan orang tua akan menjadi bekal yang sangat
penting untuk kehidupan anak yang baik.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui harapan serta peran yang orang tua berikan pada anak
2. Untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang perlu disosialisasikan pada anak
3. Untuk mengetahui metode apa yang digunakan orang tua dalam melakukan sosialisasi
pada anak
4. Untuk mengetahui pembelajaran tentang pendidikan nilai yang perlu disosialisasikan
keluarga pada anaknya
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Harapan
1. Harapan Orang Tua pada Anak
Harapan didefinisikan sebagai suatu pola pikir mengenai ekspektasi dan
kemampuan seseorang dalam mencapai suatu tujuan yang penting (Synder dalam
Husnar, Saniah, dan Nashori., 2017). Harapan tidak hanya hadir dari diri sendiri,
tetapi harapan juga hadir dari lingkungan sekitar, dan harapan anak biasanya datang
dari orang tua mereka. Secara umum, harapan orang tua didefinisikan sebagai
keyakinan dan penilaian orang tua terkait dengan pencapaian seorang anak baik dari
nilai akademis, kelanjutan studi, dan lainnya (Ma et al., 2019).
Harapan yang diberikan kepada anak dari orang tua biasanya bervariasi dalam
setiap keluarga, hal ini biasanya dipengaruhi oleh latar belakang keluarga,
lingkungan keluarga, serta kriteria orang tua seperti kriteria kesuksesan dan kriteria
anak dalam landasan agama juga merupakan faktor yang membedakan harapan
orang tua kepada anak yang ada di setiap keluarga. Orang tua yang memandang
kehidupannya masih kurang layak, akan sangat mengharapkan anaknya untuk
memiliki kehidupan yang jauh lebih layak dari orang tuanya.
Meskipun harapan orang tua kepada anaknya dalam setiap keluarga
bervariasi, terdapat dua harapan utama sebagian besar orang tua kepada anak
mereka, pertama mereka mengharapkan anaknya menjadi pribadi saleh yang hidup
dengan berpegang teguh pada ajaran agama dan kedua mereka mengharapkan
anaknya dapat meraih kesuksesan terutama dalam karir sehingga dapat memiliki
hidup yang lebih layak dan lebih baik daripada orang tuanya (Lestari,2016).
2.5 Kasus
Keluarga Erman tinggal di kompleks perumahan. Rumah ini berpagar besi
dengan tinggi kira-kira 175 cm. Bagian depan rumah difungsikan sebagai teras
sekaligus tempat parkir sepeda motor. Di teras tersebut terdapat satu set kursi dan meja
8
yang terbuat dari besi dan dicat warna hijau. Di sekeliling teras terdapat pot-pot bunga
yang di susun berjajar. Rumah tersebut memiliki ruang tamu, ruang keluarga, tiga
kamar tidur, dua kamar mandi, ruang makan, dan dapur. Sarana transportasi yang
dimiliki adalah sebuah mobil, dan lima buah sepeda motor keluaran terbaru. Di rumah
ini terdapat tiga buah televisi, satu buah di ruang keluarga dan dua buah di kamar tidur.
Pak Erman adalah seorang pegawai negeri, dan Bu Endah adalah seorang guru
PNS. Pendidikan Pak Erman S-2, sedangkan Bu Endah sedang menempuh pendidikan
S-2. Mereka memiliki dua orang anak yakni Weni dan Akbar. Weni sedang menempuh
kuliah di Fakultas Hukum, dan adiknya Akbar, kelas 3 SMA di kota Surakarta.
Keluarga Erman tidak memiliki pembantu rumah tangga.
10
Berbeda dengan Akbar, Weni mau memenuhi keinginan ayahnya untuk kuliah di
fakultas hukum. Bahkan Weni menyadari bahwa ayah telah memilihkan yang terbaik
untuk dirinya. Ia berupaya untuk memberikan yang terbaik dengan nilai atau IPK yang
tinggi. Hal ini tentu saja akan membuat ayah bangga terhadap dirinya.
Meskipun demikian, kedua anak merasa dekat dengan dapat berbagai cerita
tentang permasalahan yang dihadapinya dengan ibu. Meskipun merasa kurang nyaman
ketika diceramahi ibu, namun Akbar mengakui bahwa ia dapat berubah sikap dari
mogok sekolah dan mau shalat karena diceramahi oleh ibu. Sementara Weni
menyatakan pernah diamrahi karena melanggar batasan yang telah ditetapkan dengan
terlambat pulang karena bermain.
Ajaran hormat dan rukun masih diterapkan dalam keluarga Pak Erman. Seperti
dinyatakan oleh Weni, ia dilatih untuk saling menghormati dengan orang yang lebih
tua, dan orang-orang di sekitar. Kebiasaan untuk rukun diajarkan orang tua dengan
saling berbagi makanan, saling membantu dan menjaga saudara, serta mau membantu
tetangga.
11
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya harapan yang
diberikan kepada anak dari orangtua pastinya akan berbeda-beda di setiap keluarga, hal ini
biasanya dipengaruhi oleh latar belakang keluarga itu sendiri. Adapun kriteria yang dimiliki
oleh orang tua seperti kriteria kesuksesan juga menjadi salah satu faktor pembeda pola asuh
yang ada di setiap keluarga.
Terlepas dari adanya perbedaan dalam membantu anak-anak mereka mencapai apa yang
diharapkan, sejatinya peran orang tua dalam membantu mewujudkan harapannya antara lain
adalah berusaha memberikan fasilitas terbaik kepada anak mereka guna menunjang pencapaian
cita-cita anak-anak mereka, memberikan pelajaran, menambah wawasan serta memberikan
motivasi kepada anak-anak mereka agar mendapatkan penghidupan yang layak di kemudian
hari, serta mendidik anak-anak mereka agar dapat berperilaku dengan baik secara moral
maupun agama.
Orang tua memberikan beberapa nilai kepada anak-anaknya yang disosialisasikan
dengan metode yang berbeda-beda, dan pastinya setiap orang tua pasti ingin menanamkan
nilai-nilai yang baik kepada anak-anaknya walau dengan cara yang berbeda-beda.
12
DAFTAR PUSTAKA
Husnar, A. Z., Saniah, S., & Nashori, F. (2017). Harapan, Tawakal, dan Stres Akademik.
Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 2, No. 1, 94- 105.
Lestari, S. (2016). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai & Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Jakarta: Kencana.
13
Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga
Tes Psikologi dan Genogram
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
26
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Assesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga”. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga sebagai penugasan
terstruktur.
Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak lain, makalah ini tidak
akan terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini, tak terkecuali untuk orang tua yang selalu mendukung
dan memotivasi kami, serta untuk Ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. dan Ibu
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Keluarga.
Tim
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..2
DAFTAR ISI………………………………………………………………….....3
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan……………………………………………………….…………...…5
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan……………………………………………………...……..…….26
3.2 Saran................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….…………………...27
LEMBAR KONTRIBUSI…………………………...............…………….......…29
3
BAB I
PENDAHULUAN
Genogram berasal dari kata gen (unsur keturunan) dan gram (grafik).
Genogram juga bisa dikenal sebagai gambar silsilah keluarga dalam 3 generasi.
Fungsi genogram biasanya digunakan untuk memperoleh informasi asal-usul
hubungan antara anggota keluarga, riwayat medis dan psikologis generasi sang
klien, orangtuanya dan kakek-neneknya. Genogram juga memiliki beberapa
tahapan untuk membentuknya, pertama kontruksi genogram, lalu identifikasi
jabatan, dan eksplorasi konseling.
4
1.3 Tujuan Penelitian
5
BAB II
PEMBAHASAN
Sebuah tes dapat didefinisikan hanya sebagai alat ukur atau prosedur.
Ketika kata tes dimodifikasi, itu mengacu pada perangkat atau prosedur yang
dirancang untuk mengukur variabel yang terkait dengan pengubah itu. Dengan
cara yang sama, istilah tes psikologi mengacu pada perangkat atau prosedur yang
dirancang untuk mengukur variabel yang terkait dengan psikologi (seperti
kecerdasan, kepribadian, bakat, minat, sikap, atau nilai).
6
individu—dikenal sebagai sampel normatif atau standardisasi—dalam proses
pengembangan tes.
Tes psikologi dievaluasi pada dua titik yang berbeda dan dalam dua
cara yang berbeda:
7
potensi dasar keberhasilan pendidikan. Tes Minat bakat bertujuan
membantu individu menyesuaikan jurusan atau ekstra kurikuler
dalam pendidikan sehingga bakat dan potensinya dapat
diaktualkan secara optimal. Kesukaran belajar atau
ketidakmampuan dalam belajar/Learning Disability (LD).
b. Perkembangan Anak, menyangkut hambatan-hambatan
perkembangan baik psikis maupun sosial.
c. Klinis, berhubungan dengan individu-individu yang mengalami
gangguan-gangguan psikis, baik yang ringan maupun yang berat.
d. Industri, berhubungan dengan seleksi karyawan, evaluasi dan
promosi. Seleksi: suatu proses pemilihan individu yang dinilai
paling sesuai untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu dalam
perusahaan. Evaluasi: pemeriksaan psikologis yang bertujuan
untuk membantu perusahaan menilai apakah posisi yang
ditempati saat ini telah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
karyawan yang bersangkutan. Promosi: pemeriksaan psikologis
yang bertujuan untuk menilai kemampuan seseorang apakah telah
memenuhi syarat untuk dapat menduduki jabatan atau posisi yang
lebih tinggi dalam perusahaan. Pemeriksaan psikologis secara
garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Level Staff
(non-Manajerial), aspek-aspek yang perlu dan dapat diungkap
mencakup kemampuan umum (intelegensi), kesesuaian
kepribadian, sikap dan kemampuan bekerja dalam menghadapi
persoalan praktis sehari-hari. (2) Level Supervisor, aspek-aspek
yang perlu dan dapat diungkap mencakup kemampuan umum
(intelegensi), kesesuaian kepribadian, sikap dan kemampuan
kerja, gaya kepemimpinan dan pengambilan keputusan. (3) Level
Manajerial, aspek-aspek yang perlu dan dapat diungkap
mencakup kemampuan umum (intelegensi), pengambilan
keputusan dan kemampuan pemecahan masalah secara strategis,
8
gaya kepemimpinan, kepribadian, hubungan interpersonal dan
sikap kerja.
Jenis tes psikologis meliputi: (1) Tes Kecerdasan, (2) Tes Bakat,
dan (3) Tes Minat.
2) Tes Bakat
9
mempengaruhi prestasi/keberhasilan seseorang terhadap bidang
dan jenis belajar yang bersifat khusus. Bakat yang disenarai
untuk diketahui melalui tes yang dikembangkan ini terdiri atas
tes kemampuan berfikir verbal, tes kemampuan berfikir
numerikal, tes kemampuan skolastik (perpaduan a dan b), tes
berfikir abstrak, tes berfikir mekanik, tes relasi ruang, dan tes
kecepatan dan ketelitian klerikal.
10
baik bagi penyelesaian tugas-tugas dalam mata pelajaran
akademik dan penyelesaian studi di perguruan tinggi.
11
gambaran mental dari objek-objek dengan jalan melihat
pada pola dua dimensi dan seberapa baik seseorang dapat
berfikir dalam tiga dimensi.
12
6) Memilih mana yang di atas, mana yang di bawah.
c) IOWA Test of Preschool Development (usia 2-5 tahun, tes prestasi pra
sekolah, mengukur kesiapan bahasa, visual motor, memori, dan
konsep), contoh sebagai berikut.
13
10) Meletakkan suatu benda dekat boneka, jauh dari boneka.
14
iv. Hanya menggunakan bahasa tubuh.
v. Belum terobservasi
i. Memimpin kelompok.
v. Belum terobservasi.
v. Belum terobservasi.
15
v. Belum terobservasi.
Genogram berasal dari kata gen (unsur keturunan) dan gram (grafik).
Genogram juga bisa dikenal sebagai gambar silsilah keluarga dalam 3 generasi
yang dimana terdapat penjelasan faktor biopsikososial individu dan keluarga.
Dalam satu gambar tersebut biasanya mencakup informasi secara rinci tentang
siklus hidup masing-masing individu, penyakit yang dimiliki, serta hubungan
antar anggota keluarga.
16
3. Eksplorasi Konseli (tahap ini bertujuan untuk menggali pemahaman
klien mengenai dirinya sendiri, lingkungan nya, terutama
lingkungan kerja, serta kemampuan perencanaan dan pengambilan
keputusan karir saat ini dan masa depan.). Konselor menuliskan
beberapa catatan mengenai model-model peranan yang diketahui
oleh klien.
Laki-laki Mati
17
Menikah Hubungan yang dekat
18
Aborsi spontan Kembar
19
Hypercholesteolemia / M RETARD Mental retardation/
CHOL hiperkolesterolemi keterbelakangan mental
20
Contoh silsilah genogram:
21
2.3 Contoh Studi Kasus
Kasus ini kami ambil dari salah satu skripsi mahasiswi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Subjek penelitian yang peneliti pilih yaitu seorang anak
laki-laki berumur 6 tahun yang mengalami kekerasan dalam keluarganya.
Subjek yang disebut Nn ini tinggal dalam lingkungan keluarga dengan
perekonomian yang buruk. Nn dan adik laki-lakinya tinggal bersama kakeknya
karena sang ibu yang merupakan pengamen jalanan kerap kali kurang
mengurusnya. Ayah subjek tidak teridentifikasi, dan ibu Nn kerap kali
membawa pulang laki-laki tukang becak untuk dianggap sebagai ayah subjek.
22
Suatu hari, adik Nn mengalami patah tulang punggung karena diinjak oleh
sang kakek, berhasil mendapatkan dana bantuan jutaan rupiah dari para
penderma, namun uang tersebut tidak digunakan untuk biaya pengobatan
melainkan untuk hal lain. Mengetahui hal itu, subjek menjadi sangat membenci
kakeknya. Hingga suatu ketika, ketua RT dari tempat tinggal mereka
mengetahui hal itu dan berupaya membawa Nn ke trauma center untuk
mendapatkan pengasuhan yang lebih layak, juga untuk menghindarkannya dari
kekerasan fisik. Namun bersamaan dengan itu, adik Nn diketahui meninggal
dunia.
Untuk saat ini, pihak panti asuhan dan ketua RT masih menjaga Nn agar
tidak diketahui keberadaannya oleh sang ibu dan kakek. Nn mengalami
perkembangan dalam kepribadiannya, walau sedikit. Ia juga tidak mengetahui
bahwa adiknya telah meninggal untuk mencegah kejadian trauma kembali
merusak psikisnya.
Metode asesmen:
Peneliti menggunakan metode wawancara dan tes psikologi yang terdiri dari
tes intelegensi (CPM) dan tes proyektif (tes grafis dan CAT).
Hasil asesmen:
Dampak psikologis yang muncul akibat kekerasan yaitu munculnya respons
kekhawatiran, ketakutan, dan ketidaberdayaan akibat kekerasa fisik;
munculnya peristiwa traumatik yang terus berulang dan bertahan (dalam
ingatan, tindakan, kesedihan mendalam, serta reaksi fisiologis); melakukan
beberapa penghindaran (yang dilakukan pada pikiran, perasaan, percakapan,
tempat aktivitas, orang, aktivitas, perasaan terpisah dan terasing); muncul
simptom yang terus meningkat (ledakan amarah, kewaspadaan berlebih); serta
ketidakberdayaan sosial dan ketidakmampuan melakukan tugas penting.
23
Dampak psikologis lain yaitu fobia, agresif, sulit diatur, fantasi, egoisme,
pandangan negatif, kebutuhan akan afeksi yang kurang, dan sering melakukan
mekanisme pertahanan diri.
Solusi peneliti:
Tetap menjaga subjek agar tetap berada di trauma center sampai subjek
sembuh secara fisik dan mental. Pihak trauma center disarankan untuk tetap
menjalankan komitmen untuk menghindarkan pertemuan subjek dengan ibu
atau kakeknya, setidaknya sampai kondisi subjek pulih seutuhnya dan cukup
berpikiran rasional dan dewasa untuk tidak mendendam. Memberikan
dukungan penuh akan kesembuhan dan perkembangan psikis subjek. Tetap
menjaga subjek dalam pengawasan dan lingkungan yang baik.
Salah satu contoh kasus yang kami ambil adalah mengenai 7 siswa kelas
VIII dari SMP Negeri 21 Surabaya. Awalnya penelitian ini melaksanakan
pengukuran terhadap 34 siswa melalui angket. Dan dari hasil pengukurannya
ditemukan bahwa 7 siswa mengalami kecanduan game online.
24
Dengan adanya penyebab-penyebab tersebut mendorong Konseli untuk
bermain game online terus menerus. Dalam hal ini, penanganan yang diberikan
kepada siswa yakni menggunakan penerapan konseling keluarga sebanyak 4
kali pertemuan. Penerapan konseling keluarga bertujuan untuk merubah dan
memperbaiki cara berpikir Konseli terhadap dampak yang dirasakan bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain yang berada pada lingkungan Konseli terutama
keluarga. Penerapan konseling keluarga ini diberikan sejak pertemuan pertama
dengan meminta Konseli membuat Genogram. Genogram ini ditujukan untuk
mengetahui penyebab konseli bermain game online dan mengambilkan contoh
kesuksesan seseorang dari keluarga konseli sendiri. Dengan memberikan
contoh dari keluarga konseli sendiri diharapkan konseli mampu melihat dengan
jelas kesuksesan yang diraih anggota keluarga dan mau meniru atau bahkan
melebihinya. Dijelaskan pada pertemuan kedua tentang intensitas, durasi dan
dampak Konseli Kecanduan game online. Intensitas yang digunakan oleh
Konseli dalam bermain game online adalah hamper setiap hari. Durasi yang
digunakan pun melebihi 2 jam setiap harinya, bahkan pada hari libur Konseli
bermain game online sekitar 7 jam dalam sehari, yaitu dari pagi hingga sore
hari. Serta dampak yang dirasakan Konseli mulai dimarahi guru, orang tua,
dihukum guru, tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, dan prestasi
menurun. Konseli merasakan berbagai dampak tersebut dan mencoba
memperbaikinya tapi tampaknya masih sulit. Dan pada pertemuan ketiga
Konselor menerapkan teknik Teaching Via Questioning yaitu teknik mengajar
Konseli dengan bertanya kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika Konseli
terus bermain game online. Misalnya dengan bertanya “Bagaimana jika
sekolahmu gagal?”, “Bagaimana jika kamu tidak naik kelas?”, “Bagaimana
jika orang tua kamu kecewa terhadap kamu?”. Dengan teknik tersebut Konseli
mulai menyadari hal-hal diluar dirinya dan mulai memikirkannya. Ditambah
dengan contoh-contoh kesuksesan dari Genogram yang digambar oleh Konseli
sendiri, Konseli merasa terdorong untuk lebih memperbaiki dirinya. Hal itu
dibuktikan pada pertemuan keempat, Konseli mengaku telah mengurangi
banyak waktunya dalam bermain game online.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
Widiasavitri, P. N., Wilani, N. M. A., Tobing, D. H., Astiti, D. P., Rustika, I. M.,
Indrawati, K. R., Susilawati, L. K. P. A., Suarya, L. M. K. S., Vembriati, N.,
Lestari, M. D., Herdiyanto, Y. K., Wulanyani, N. M. S., Marheni, A.,
Budisetyani, P. W., Supriyadi, & Tience Debora Valentina. (2016).
Psikodiagnostika I dan administrasi alat tes psikologi. 13.
Jolly, W., Froom, J., & Rosen, M. (n.d.).(1980). The Genogram. The journal of
family practice. 10(2), 251-255.
29
metode asesmen psikologi komunitas. Jurnal Psikologi Sosial, 18(2), 157-
168.
Nur’aeni, S. M. (2012). Tes Psikologi: Tes Inteligensi dan Tes Bakat. Universitas
Muhammadiyah (UM) Purwokerto Press.
Ramli, M., Hidayah, N., Zen, E. F., Flurentin, E., Lasan, B. B., & Imam Hambali.
(2017). BAB II ASESMEN BIMBINGAN DAN KONSELING.
29
LEMBAR KONTRIBUSI
Jasmine Azzahra
Menyusun Materi Genogram
15000120140329
29
ASESMEN IDENTIFIKASI PROBLEMATIKA PSIKOLOGIS DALAM
KELUARGA 2: OBSERVASI & INTERVIEW DAN KUESIONER
Disusun Oleh:
BAB I Pendahuluan.......................................................................................................... 2
Pengertian Observasi...................................................................................... 5 b.
a. Kasus 1 ......................................................................................................... 14 b.
Kuesioner......................................................................................................... 18 A.
Pengertian Kuesioner....................................................................................... 18
D. Teknik Kuesioner............................................................................................. 22
Kesimpulan ...................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 26
Asesmen Identifikasi Problematika Psikologis dalam Keluarga| 1
BAB I
PENDAHULUAN
Secara etimologi, keluarga berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu kula yang
berarti kasta atau suku bangsa, tempat kediaman, atau sekumpulan orang, dan
varga yang berarti golongan, kelompok, atau bagian (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2016). Keluarga merupakan bagian terkecil dalam struktur masyarakat
yang terbentuk dari pernikahan dan perkawinan, yang terdiri dari ayah, ibu, dan
anak. Menurut psikologi, keluarga dapat diartikan sebagai dua orang yang berjanji
untuk hidup bersama dan berkomitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan
fungsi yang saling terikat karena sebuah ikatan batin, atau suatu hubungan
perkawinan yang melahirkan ikatan sedarah, dan terdapat kesepahaman, watak,
kepribadian yang saling mempengaruhi satu sama lain walaupun ada
keberagaman, ketentuan norma, adat, nilai yang diyakini dalam membatasi
keluarga dan yang di luar keluarga (Mufidah, 2014). Sedangkan psikologi
merupakan ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam interaksinya dengan
lingkungan. Dengan demikian, psikologi keluarga merupakan ilmu yang
membahas tentang psikologi dalam konteks dinamika keluarga yang mencakup
tingkah laku, motivasi, perasaan, emosi, dan atensi anggota keluarga dalam
hubungannya baik interpersonal, maupun antar personal untuk mencapai fungsi
kebermaknaan dalam keluarga.
PEMBAHASAN
a. Pengertian Observasi
b. Pengertian Wawancara
Dikutip dari sumber lain, ciri perolehan data melalui observasi dapat
dijabarkan dalam poin-poin beriku t:
a. Observasi memiliki orientasi dan tujuan yang spesifik dan khusus, bukan
hanya untuk mendapatkan data-data yang bersifat umum tentang suatu
fenomena.
b. Observasi ilmiah dilakukan secara sistematis dan membutuhkan
perencanaan yang matang.
c. Observasi bersifat kualitatif, yakni mencatat sejumlah peristiwa tentang
jenis tingkah laku sosial tertentu.
d. Pencatatan hasil observasi dilakukan dengan segera atau secepatnya. e.
Observer dituntut memiliki keahlian dan profesionalisme agar data yang
diperoleh valid dan reliabel. (Kurniawan, 2021)
Observasi adalah salah satu cara yang digunakan pengamat (observer) untuk
mendapatkan informasi. Patton (1990) (dalam Prasetyaningrum, 2018)
menyebutkan jika observasi dapat digunakan sebagai metode pengumpulan data
yang esensial, terutama untuk penelitian yang bersifat kualitatif. Psikolog dan atau
ilmuan psikologi dapat menggunakan observasi dalam memahami perilaku
manusia. Informasi yang didapat dari observasi dapat memudahkan psikolog dan
atau ilmuan psikologi untuk menjawab persoalan yang ada. Tentunya observasi
yang dilakukan harus dengan pengamatan yang andal dan objektif.
Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi objek observasi, antara lain
(Prasetyaningrum, 2018):
Pada observasi partisipan, observer ikut andil dalam kondisi atau peristiwa
yang diamati. Observer akan berbaur dan seolah-olah menjadi bagian dari
peristiwa, bukan pengamat. Sedangkan pada observasi non partisipan,
observer tidak menjadi bagian dari kondisi atau peristiwa yang diamati.
Observer murni hanya berkedudukan sebagai pengamat.
Proses wawancara memiliki tiga tahapan, yaitu: opening, body, dan closing
(Rosi, 2016). Tiga tahapan ini akan terus dilakukan meskipun interviewee telah
melakukan beberapa kali wawancara. Wawancara harus dimulai dengan santai
seperti ketika mengobrol. Seorang pewawancara harus berlatih menjadi pennaya,
Ada beberapa teknik wawancara menurut Stewart & Cas (2008) (dalam Rosi,
2016) di antaranya:
a. Open-close Question
Pertanyaan terbuka merupakan pertanyaan yang menstimulasi penjelasan
panjang dari interviewee. Pertanyaan terbuka memudahkan interviewee
menjelaskan hal-hal yang menjadi fokus pewawancara. Pewawancara harus
jeli dalam menggunakan pertanyaan terbuka. Hal ini karena interviewee bisa
saja menjelaskan terlalu banyak hingga terkadang melenceng dari tema.
Sementara itu, pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang sifatnya
terbatas. Pertanyaan yang diajukan pewawancara memberi batasan kepada
interviewee. Pertanyaan tertutup biasanya spesifik sehingga interviewee tidak
perlu menjelaskan panjang lebar.
b. Primary and Secondary Question
Primary question adalah pertanyaan yang bersifat umum. Primary
question bertujuan untuk mengungkapkan data menurut topik yang telah
diajukan untuk menanyakan topik baru. Baik pertanyaan terbuka ataupun
tertutup dapat digunakan sebagai primary question.
Secondary question merupakan pertanyaan lanjutan dari primary question.
Pertanyaan ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam.
Secondary question sangat berguna ketika interviewee menjawab dengan
ragu-ragu, tidak relevan, tidak lengkap, atau tidak akurat.
c. Neutral dan Leading Question
Pertanyaan netral merupakan pertanyaan di mana pewawancara
membebaskan interviewee untuk menjawab tanpa ada arahan atau tekanan.
Pertanyaan yang diajukan tidak boleh mengandung unsur tertentu yang dapat
mengubah pikiran interviewee, seperti menyalahkan, menekan, ataupun
membela.
Kebalikan dari neutral question, leading question mengarahkan jawaban
interviewee. Pewawancara membimbing interviewee untuk dapat
a. Kasus 1
Sebuah keluarga yang terdiri dari 4 anggota yaitu Ayah, Ibu, Anak
pertama, dan Anak kedua, di mana permasalahan utama dalam keluarga ini
adalah kakak yang tidak selalu menjalankan perintah orang tua untuk
menanyakan kondisi dan keadaan sang adik. Sementara, orang tua dari
keluarga ini setiap saat menghubungi anak keduanya (adik) karena khawatir.
Hal ini mengakibatkan sang adik merasa tidak nyaman dan akhirnya mulai
menjaga jarak dengan kedua orang tuanya dengan tidak membalas pesan
singkat atau telepon, baik dari orang tua maupun sang kakak (Islamiyah,
2014).
• Metode asesmen:
Metode asesmen yang dipakai dalam kasus ini adalah wawancara yang
dilakukan dengan tanya jawab kepada seluruh anggota keluarga, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Wawancara pada kasus ini
dilakukan dengan autoanamnesa dan alloanamnesa. Ketika wawancara
berlangsung, interviewer memperhatikan kecemasan dan ketakutan
sehingga memungkinkan interviewee dapat merasa nyaman untuk
menyatakan perasaannya (Islamiyah, 2014).
Hasil asesmen menyatakan bahwa awal mula sang adik menjadi
pribadi yang seperti ini dimulai ketika akhir studinya di Malang, ia ingin
mencoba “dunia malam”. Hal itu membuat sang adik sering pulang larut
malam, merokok, bahkan meminum minuman keras yang membuat kedua
orang tuanya menjadi khawatir (Islamiyah, 2014).
• Intervensi:
Intervensi yang digunakan adalah Strategic Family Therapy yang
dapat membantu dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya saat
b. Kasus 2
• Metode asesmen:
• Hasil asesmen:
• Intervensi:
2.2. Kuesioner
A. Pengertian Kuesioner
C. Karakteristik Kuesioner
Kuesioner ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian di dalam lembaran
yang akan dibagikan ke responden, yaitu (Rahmi, 2018):
a. Judul angket
b. Pengantar yang berisi tujuan dan petunjuk pengisian angket c.
Item-item pertanyaan, bisa juga opini atau pendapat, dan fakta.
g. Panjang Pertanyaan
h. Prinsip Pengukuran
b. Sifat Pertanyaan
c. Penilaian Jawaban
D. Teknik Kuesioner
Angket atau kuesioner merupakan teknik atau cara memahami siswa dengan
mengadakan komunikasi tertulis, yaitu dengan memberikan daftar pertanyaan
yang harus dijawab atau dikerjakan oleh responden secara tertulis juga (Juliandi
et al., 2014).
Dapat diartikan bahwa angket merupakan alat untuk mengumpulkan
informasi, data, dan pendapat, yang harus diisi responden. Berikut ini cara-cara
untuk membuat angket, meliputi (Juliandi et al., 2014):
Kuesioner atau angket ini memiliki teknik pengumpulan data dengan cara
menyebarkan lembar pertanyaan/pernyataan tertulis tentang suatu fakta dan
kebenaran yang diketahui oleh subjek (Juliandi et al., 2014).
a. Kasus 1
• Metode Asesmen:
Metode asesmen yang digunakan dalam kasus ini adalah teknik survei
dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang digunakan
menggunakan alat ukur Family Assessment Devices (FAD) dan Self
Control Scale.
• Hasil Asesmen:
• Hasil Asesmen:
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sedangkan kuesioner adalah data faktual atau pendapat yang berhubungan dengan
diri responden yang berbentuk baik pertanyaan, dan digunakan untuk mendapatkan
informasi dari subjek karena dinilai lebih hemat dan efisien.
Juliandi, A., Irfan, & Manurung, S. (2014). Metodelogi penelitian bisnin, konsep dan
aplikasi: sukses menulis skripsi & tesis mandiri. UMSU Press.
Situmorang, S. H., Muda, I., Doli, M., Dalimunte, J., Fadli, & Syarief, F. (2010).
Analisis data untuk riset manajemen dan bisnis. USU Press.
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Isu dan Fenomena Terkini
Keluarga Indonesia dalam mata kuliah Psikologi Keluarga.
Kami juga berterima kasih kepada ibu Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. dan ibu
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A. selaku dosen pengampu yang telah membimbing
kami dalam mata kuliah Psikologi Keluarga. Kami juga tidak lupa berterima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini, baik berupa tenaga, ide, maupun
yang lainnya.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Terlepas
dari itu, kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Maka dari itu, kami sangat berkenan dengan tanggapan, kritik, dan
saran dari para pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang terdiri dari dua atau
lebih anggota yang memiliki jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah,
perkawinan dan adopsi (Wiratri, 2018). Keluarga pun dipahami sebagai satu
kesatuan interaksi dan komunikasi dari semua orang yang berperan didalamnya.
Dari proses interaksi dan komunikasi itu, keluarga diharapkan mampu berperan
penting mempertahankan kebudayaan bersama, seperti yang dinyatakan dalam
UU No. 1 Tahun 1974.
Dinamika sosial yang terjadi di masyarakat berkembang dengan pesat, tak
hanya dari lingkup yang luas seperti negara, namun juga lingkup terkecil atau
keluarga. Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun terus berubah mengikuti
perkembangan zaman. Perubahan zaman ini juga berpengaruh pada kehidupan
keluarga di Indonesia. Berusaha beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan
kondisi saat ini. Beberapa hal dalam pendefinisian keluarga juga sudah tidak
relevan, banyak perubahan konsep pada keluarga saat ini. Permasalahan yang ada
di keluarga Indonesia bukan berkurang namun kian bertambah. Berbagai jenis isu,
konflik dan kekerasan mengalami peningkatan bukannya penurunan. Kasus yang
terjadi pun semakin beragam bentuknya.
Beberapa permasalahan yang belakangan terjadi di keluarga Indonesia
diantaranya adalah commuter marriage, keluarga dengan anak berkebutuhan
khusus, multikultur, keluarga dengan anak adopsi, keluarga dengan pasangan
bekerja, alone together family, kasus child abuse dan kriminalitas pada keluarga.
Setiap konflik dan permasalahan yang terjadi memiliki faktor, penyebab serta
dampaknya dan disinilah Psikologi Keluarga berperan mempelajarinya lebih
lanjut.
4
II. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa sajakah isu dan fenomena permasalahan keluarga di Indonesia saat ini?
2. Bagaimana teori, faktor dan penyebab isu serta fenomena permasalahan
keluarga di Indonesia?
3. Apa sajakah contoh kasus permasalahan keluarga di Indonesia saat ini?
5
BAB II
PEMBAHASAN
I. Commuter Marriage
Definisi Commuter Marriage
Commuter atau “Commuting” merupakan perjalanan yang selalu
dilakukan seseorang antara satu tempat tinggal dengan tempat bekerja atau
belajar. Marriage atau perkawinan yaitu suatu ikatan sakral atau janji nikah yang
didasari oleh dua orang dengan maksud mengesahkan ikatan. Commuter marriage
ini merupakan fenomena yang tergolong cukup marak dan banyak dijumpai di
negara ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan lain
sebagainya. Swadiana (2014) berpendapat bahwa jumlah commuter marriage
mengalami peningkatan seiring terjadi perkembangan pada pendidikan dan
pekerjaan.
Lebih spesifiknya, commuter marriage merupakan suatu kondisi dalam
pernikahan dimana pasangan suami istri tinggal terpisah secara geografis dalam
jangka waktu tertentu. Kondisi pada commuter marriage tidak diputuskan oleh
suatu pasangan karena karena adanya masalah dalam pernikahan (contohnya
perceraian), melainkan diputuskan secara sukarela dan tanpa ada paksaan dari
pihak lain. Mereka pun tetap dalam keadaan berkomitmen yang kuat saat memilih
untuk tetap saling berkarir.
Faktor yang mempengaruhi dan mendorong keputusan melakukan
commuter marriage diantaranya adalah karena perihal kebutuhan atau krisis
finansial, tuntutan profesi dan melihat adanya kesempatan yang dirasa
menguntungkan. Commuter marriage biasa terjadi di kota besar, berusia muda,
dan berpendidikan tinggi. Ketika pasangan saling pergi untuk bekerja, konsentrasi
dalam menghadapi pekerjaan bisa lebih tercapai. Berujung saat akhir pekan,
pasangan bisa lebih bebas untuk menghabiskan waktunya dalam melakukan
aktifitas-aktifitas dengan keluarga.
6
Karakteristik Commuter Marriage
Beberapa karakteristik yang membedakan pasangan commuter marriage
dengan pernikahan lainnya Gerstel & Gross, 1984 (dalam Scott, 2002) :
a. Periode perpisahan yang dialami pada pasangan dimulai dari tiga bulan
sampai 14 tahun.
b. Jarak yang antar pasangan antara 40 – 2.700 mil.
c. Pasangan biasanya melakukan reuni mulai dari sekali seminggu hingga
beberapa hari saja dalam sebulan.
d. Jarak yang bervariasi dari rumah utama, kebanyakan pasangan
menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan
di rumah utama dan pasangan lain di rumah lain).
7
pekerjaan sampingan atau bahkan pekerjaan baru yang lebih baik di kota
yang sama dengan kota dimana suaminya bekerja.
d. Memberi kesempatan bagi wanita.
Biasa muncul pada pasangan yang telah lama menikah. Suami merasa
istrinya telah mengorbankan hidupnya selama bertahun-tahun dari awal
pernikahan, sehingga suami berpikir bahwa sudah saatnya istri tersebut
mengejar karirnya sendiri. Keputusan tersebut dibangun untuk
membentuk kesetaraan dalam pernikahan.
8
Pasangan adjusting ini cenderung merupakan orang yang masih muda,
dalam pernikahannya berujung lebih awal dalam menghadapi perpisahan, dan
memiliki sedikit anak (jika ada).
b. Established.
Pasangan established cenderung lebih tua dan sudah terbiasa dengan
perpisahan. Kalau telah punya anak, biasanya sang anak tersebut telah besar
dan keluar dari rumah. Pasangan established cenderung lebih sedikit
mengalami stres pada saat terjadi commuter marriage dibandingkan pasangan
adjusting. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal
dominasi terkait permasalahan dalam perkawinan. Juga karena mereka bisa
merasakan kecemasan yang lebih besar ketika akan tinggal terpisah di kota
yang berbeda, dan merasa bahwa keadaan tersebut bisa membahayakan
keutuhan perkawinan mereka. Trust atau kepercayaan bisa menjadi masalah
yang lebih besar bagi pasangan adjusting, namun mempertahankan
kenikmatan dalam hubungan merupakan hal yang menjadi masalah utama
pasangan established.
9
II. Keluarga Dengan Anak Berkebutuhan Khusus
Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus atau biasa disingkat dengan ABK, yaitu suatu
individu yang mempunyai karakteristik yang berbeda dari individu lain yang
dipandang oleh masyarakat pada umumnya sebagai individu normal. ABK
merupakan anak yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda. Ia mempunyai
karakteristik fisik, intelektual, atau emosional di atas atau di bawah rata-rata
individu pada umumnya, tanpa senantiasa menunjukkannya terhadap kemampuan
ataupun ketidakmampuan yang berlebih (Heward, 2003). ABK merupakan
mereka yang membutuhkan tenaga profesional terlatih dalam menangani fisik,
psikologis, kognitif, atau sosialnya yang telah terlambat atau terhambat dalam
mencapai kebutuhan dan potensinya secara maksimal. Contohnya anak yang tuli,
buta, gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional, dan
anak berbakat dengan intelegensinya yang tinggi.
10
mengalami amputasi kaki, ia kesulitan dalam melakukan mobilitas sehingga
ia memerlukan kursi roda (Purwanti, 2012).
d. Difference ability : Merupakan kepanjangan dari difabel. Istilah tersebut
digunakan sebagai penyebutan bagi mereka yang memiliki kemampuan di atas
atau dibawah rata-rata orang pada umumnya. Contohnya pada anak
tunagrahita dan gifted.
11
diberikan keluarga telah baik, maka pertumbuhan dan perkembangan anak relatif
menjadi stabil. Namun jika dukungan yang diberikan keluarga tergolong kurang
baik, maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat mengganggu
psikologis anak. Terdapat lima dimensi dari dukungan keluarga terhadap ABK
(Friedman, 2010), yaitu :
a. Dukungan informasional : Seperti pemberian nasehat, pemberian petunjuk
saran, dan mengajarkan keterampilan yang terdapat unsur pemecahan.
Manfaatnya adalah menjadi terdapat informasi yang diberikan dalam
menyumbangkan aksi sugesti khusus pada anak.
b. Dukungan Penghargaan : Berupa suatu ungkapan penghargaan positif untuk
anak, dorongan agar bisa maju, persetujuan dengan individu, dan perhatian
pada individu lain.
c. Dukungan instrumental : Berupa bantuan secara langsung. Contohnya ketika
anggota keluarga lain memberikan dan membantu anak untuk menyelesaikan
masalah pada situasi tertentu.
d. Dukungan emosional : Berupa ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
terhadap individu lain. Dengan menerapkan hal tersebut, individu akan merasa
dicintai dan aman.
e. Dukungan sosial : Memerlukan bantuan orang lain. Bisa juga dilakukan
dengan menghabiskan waktu bersama dengan berekreasi saat luang.
Terdapat pelayanan dan penanganan dari orang tua terhadap ABK (Hewett
& Frank D., 1968), yaitu :
a. As Aids : Sebagai pendamping utama yang membantu agar tujuan layanan
penanganan dan pendidikan anak tercapai.
b. As Advocates (sebagai advokat) : Orang tua menjadi sosok yang menjaga,
mengerti, dan mengusahakan hak anak untuk mendapat layanan pendidikan
yang sesuai dengan karakteristik khususnya.
c. As Resources (sebagai sumber) : Orang tua menjadi sumber data yang benar
dan lengkap terkait diri pada anak dalam usaha intervensi perilaku anak.
d. As Teacher (sebagai guru) : Orang tua bisa menjadi pendidik dalam kehidupan
sehari-hari bagi anak di luar jam sekolah.
12
e. As Diagnosticians (sebagai diagnostisian) : Orang tua, terutama di luar jam
sekolah, sebagai penentu dalam jenis dan karakteristik pada kebutuhan khusus
untuk anak dan mampu dalam melakukan treatment.
Multikultural berasal dari kata ‘multi’ yang berarti banyak dan ‘kultur’
yang berarti budaya. Meskipun begitu, multikultural tidak hanya mengenai
budaya, melainkan juga ras, suku, dan agama. Di Indonesia, sering sekali terjadi
amalgamasi di mana dua individu dengan budaya berbeda menikah dan menjadi
keluarga multikultural. Contohnya, orang Jawa yang menikah dengan orang
Sunda, penganut Islam yang menikah dengan penganut Buddha, dan sebagainya.
Seringkali pernikahan multikultural menimbulkan konflik, terutama pada saat
penyesuaian dengan budaya dari pasangan masing-masing. Oleh karena itu, setiap
keluarga membutuhkan pola komunikasi dan penyesuaian yang tepat untuk
menghindari terjadinya konflik.
13
Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zulfiqar, dkk. terdapat
beberapa syarat yang menjadikan keluarga multikultural harmonis, antara lain :
14
dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, agar identitas anak tetap jelas dan
hak-haknya sebagai anak angkat tidak hilang. Keluarga yang mengadopsi
bertanggung jawab atas kesejahteraan anak yang meliputi aspek fisik/kesehatan,
kognitif, sosial, dan emosional. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia,
terdapat beberapa syarat untuk mengadopsi anak, yaitu :
1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.
3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
4. Memerlukan perlindungan khusus.
Dalam beberapa kasus, ada orangtua yang enggan untuk memberi tahu
status adopsi pada anak angkatnya dengan maksud agak si anak tidak perlu merasa
dirinya berbeda, padahal anak berhak untuk tahu identitas aslinya untuk
mengembangkan konsep diri. Selain itu, dapat timbul kekecewaan dan konflik
15
jika ‘rahasia’ ini diberi tahu oleh orang lain yang bukan orangtua angkatnya
sendiri. Konflik dalam keluarga dengan anak adopsi dapat dihindari dengan
adanya penyesuaian oleh masing-masing pihak. Menurut Anisah (Safitri, dkk.,
2019), terdapat tiga jenis penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh anak.
Pertama, penyesuaian diri dengan keluarga yang berkaitan dengan sikap orangtua
yang keras, terlalu lunak, atau demokrastis. Kedua, penyesuaian diri di sekolah
dengan guru, teman sebaya, dan lingkungan. Terakhir, penyesuaian diri dengan
masyarakat yang merupakan lingkungan anak untuk mengembangkan diri.
16
terabaikan. Pasangan suami istri yang bekerja juga memunculkan konflik dan
permasalahan lain. Latifatunnikmah dan Lestari (2017) menunjukkan bahwa
konflik yang terjadi pada pasangan suami dan istri dapat bersumber dari
pekerjaan. Suami seringkali merasa tidak puas terutama pada faktor keintiman
karena istri yang terlalu banyak menghabiskan waktu bekerja di luar rumah.
Ketika pasangan suami istri tidak dapat menyeimbangkan kedua peranan, maka
akan memicu timbulnya konflik dari dua sisi yaitu work-to-family conflict ataupun
family-to-work conflict.
1. Work-family conflict
Work-family conflict atau konflik antar peran (inter-role conflict)
merupakan konflik saat peran individu di suatu kondisi bertentangan dan
menimbulkan tekanan pada individu tersebut untuk memenuhi perannya di
kondisi atau tempat yang berbeda. Berdasarkan definisi konflik antar peran
tersebut, maka konflik kerja keluarga dapat didefinisikan sebagai konflik antar
peran saat tekanan dalam peran di bidang pekerjaan dan keluarga saling
memberikan kontribusi dalam menimbulkan ketidakseimbangan peran
(Greenhaus & Beutell, 1985).
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), ada tiga aspek konflik dalam work-
family conflict yang perlu dipahami, yaitu time-based, strain-based, dan
behavior-based conflicts.
a. Time-based conflict terjadi jika waktu yang digunakan untuk
memenuhi satu peran tidak cukup digunakan untuk memenuhi peran
lainnya.
b. Strain-based conflict ditandai dengan munculnya ketegangan
emosional dalam memenuhi satu peran sehingga ketegangan ini
menghambat pemenuhan peranan lainnya.
c. Behavior-based conflict terjadi saat perilaku di satu peran tidak
kompatibel dengan perilaku di peranan lainnya.
Konflik kerja dan keluarga tidak hanya terjadi dalam satu arah. Namun,
terjadi dalam dua arah yaitu work-to-family conflict dan family-to-work
17
conflict (Lee et al., 2014; Nazurdin, Ahmad, & Zainal, 2012; Huang et al.,
2004).
• Work-to-family conflict adalah konflik antar peran saat pemenuhan
peran di pekerjaan mengganggu peran di keluarga (Greenhaus &
Beutell, 1985). Menurut Huang et al. (2004) hal yang mendahului
munculnya konflik kerja keluarga adalah stresor dari ranah pekerjaan
misalnya kurangnya supervisi dalam pekerjaan atau panjangnya jam
kerja. Konflik kerja keluarga dapat menjadi salah satu sumber stres
yang muncul saat individu memberikan waktu yang lebih banyak
untuk bekerja sehingga waktu untuk keluarga menjadi berkurang dan
mengakibatkan konflik (Soomro, Breitenecker, & Shah, 2018).
• Family-to-work conflict, juga merupakan konflik antar peran yang
serupa dengan work-to-family conflict namun berbeda dari segi
antecedent (Howard et al., 2004). Konflik keluarga-kerja terjadi saat
tanggung jawab sebagai anggota keluarga mengganggu tanggung
jawab di bidang pekerjaan (Lee et al., 2014). Artiawati (2017)
menjelaskan bahwa konflik keluarga-kerja dapat diakibatkan oleh
beberapa faktor seperti tuntutan untuk mengasuh anak (terutama anak
di bawah usia lima tahun dan remaja), tanggung jawab atas tugas-tugas
rumah tangga, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam keluarga.
Kurangnya dukungan dari keluarga juga dapat meningkatkan konflik-
kerja keluarga dan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan
pekerjaan (McManus et al., 2002).
18
Fenomena ini memberikan dampak emosional kepada seluruh anggota
keluarga, termasuk anak usia dini. Penanganan masalah Alone Together bisa
diatasi dengan menggunakan Konseling Keluarga, konseling keluarga pada
dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling
keluarga ini secara khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan
anggota keluarga. Menurut D. Stanton, konseling keluarga dapat dikatakan
sebagai konseling khusus karena sebagaimana yang selalu dipandang oleh
konselor terutama konselor non keluarga, konseling keluarga sebagai 1. Sebuah
modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, 2. Dalam proses
konseling melibatkan keluarga keluarga inti atau pasangan. (Capuzzi, 1991 dalam
Latipun 2009).
1. Pendekatan Konseling Keluarga
a. Pendekatan sistem
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem.
Menurutnya keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi.
Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan
dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan
mereka. (Latipun:2009) Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat
kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan
kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang
mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan).
Jika hendak menghindari dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia
harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia
harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan
emosionalnya. (Latipun:2009)
b. Pendekatan conjoint
Menurut Satir (1967) dalam (Latipun:2009), masalah yang
dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan self-esteem dan
komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi terpenting bagi
keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self
esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi
19
yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan
pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga
menjadi bermasalah dan tidak mampu melihat dan mendengarkan
keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.
c. Pendekatan struktural
Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering
terjadi karena struktur keluarga dan pola transaksi yang dibangun tidak
tepat. Sering dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-batas
antara sub sistem dari sistem keluarga itu tidak jelas. Mengubah
struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan
menyembuhkan perpecahan antara seputar anggota keluarga. Oleh
karena itu, jika dijumpai keluarga yang bermasalah perlu dirumuskan
kembali struktur keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola
hubungan yang baru yang lebih sesuai.
20
menunjukkan kepada orang tua yang kesulitan dalam memahami dan
menerapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
c. Selanjutnya orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip
yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sesi terapi.
d. Setelah terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak
secara tepat. Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba
menerapkannya di rumah saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan
kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai. Permasalahan san
pertanyaan yang dihadapi orang tua dapat ditanyakan pada saat ini. Jika
masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat memberi contoh
lanjutan di rumah dan diobservasi orang tua, selanjutnya orangtua
mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi
persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.
21
yang mengakibatkan kematian, menyakiti fisik atau emosional secara serius,
kekerasan seksual atau eksploitasi, atau tindakan atau kegalalan untuk
bertindak yang menghadirkan risiko bahaya serius” (Kementrian Kesehatan
Amerika Serikat, 2010).
Dalam UU RI No. 23 tahun 2002 mengenai perlindungan anak dijelaskan
bahwa setiap anak dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak manapun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran; kekejaman, kekerasan dan penganiayaan. Dijelaskan kembali
pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pasal 28B ayat (2) yang
menyatakan bahwa, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
22
e. Kekerasan anak secara sosial, kekerasan anak jenis ini mencakup
penelantaran anak & eksploitasi anak. Penelantaran anak merupakan sikap
& perlakuan orangtua yg tidak menaruh perhatian yg layak terhadap
proses tumbuh kembang anak.
Sebuah penelitian yang dilakukan Finkelhor, Ormrod, dan Turner (2009)
survey nasional kekerasan anak dalam rumah tangga dilaporkan secara
tahunan (dengan kategori fisik, emosional, dan ditelantari) mulai dari 6% anak
usia 2-5 tahun hingga 14% dari usia 10-13 tahun. Tingkat viktimisasi seksual
dilaporkan berkisar dari 2% bayi dan balita hingga 24% dari anak perempuan
berusia 14-17 tahun. Sebagian kasus yang terjadi adalah penelantaran sebesar
71%, diikuti oleh kekerasan fisik 16%, pelecehan seskaul 9% dan kekerasan
emosional anak sebesar 7%.
23
4. Dampak Pada Anak
Anak-anak yang mengalami kekerasan baik fisik, emosional, seksual,
sosial, atau ekonomi memiliki dampak yang berbeda tergantung tipe
kekerasan yang dialami. Kekerasan fisik memiliki efek kognitif yang lebih
besar terhadap anak, termasuk juga perkembangan bahasa, dan akademik yang
disebabkan tingginya tingkat konflik antar orang tua dan anak (Bonner et al.,
2001). Dampak sosioemosial meliputi memiliki gaya lekat yang tidak aman
atau tanpa kontrol kasih sayang, peningkatan agresi pada anak, kesulitan
mengontrol diri, dan frekuensi yang lebih besar pada perilaku eksternalisasi
(gangguan perilaku, kenakalan, hiperaktif) dan internalisasi (gejala depresi,
somatik, isolasi diri, respon kemerahan atau emosi negatif pada orang lain),
gangguan makan, kecemasan, penyalahgunaan zat dan gejala kejiwaan saat
dewasa (Bonner et al., 2001; Iwaniec, Larkin & McSherry, 2007). Sedangkan
anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual memiliki kemungkinan
mengalami gejala PTSD dan mengencani pria yang juga memiliki riwayat
sebagai pelaku kekerasan di masa remaja (Crawford & Wright, 2007)
24
Hingga saat ini dilaporkan kekerasan pada anak atau yang biasa
kita sebut dengan child abuse tak kunjung menurun. Seiring dengan kasus
kekerasan anak yang mencuat di media sosial, Presiden Jokowi sampai
angkat bicara saat rapat Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak.
Beliaupun menekankan tiga langkah pencegahan kekerasan anak di
Indonesia; pertama, upaya preventif melibatkan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Kedua, optimalisasi sistem pelaporan dan layanan. Ketiga,
beliau meminta adanya reformasi besar-besaran pada manajemen
penganganan kasus kekerasan pada anak.
b. Cerita Ayah Pukuli Anaknya Yang Balita, Kalah Main Game dan
Emosi Lihat Rumah Berantakan
Kasus kekerasan anak yang baru-baru ini terjadi adalah kekerasan
yang menimpa anak perempuan berusia 3 tahun yang dipukuli oleh
ayahnya. Selasa, 29 Juni 2021 lalu seorang ayah berinisial RF, warga
Kecamatan Tulangan Sidoarjo ditangkap karena menganiaya anak
perempuannya. Videonya viral di media sosial sehingga menjadi
perbincangan masyarakat. Terlihat RF beberapa kali memukuli anaknya
di depan kamar mandi. Sang anak menangis sedangkan ayah terdengar
marah. Sore itu usai kerja RF kembali ke rumah dalam kondisi kesal
karena kalah main game, ia tersulut emosi saat melihat rumahnya
berantakan dan melihat anak perempuannya yang belum mandi. Sang anak
menolak saat dipaksa mandi kemudian terus menangis
RF kemudian berdebat dengan istrinya dan dalam keadaan marah,
ia memaksa lepas baju anaknya agar lekas mandi sembari memukuli tubuh
anaknya. Punggung belakangnya dipukul sekali dengan telapak tangan
sambil berkata keras. Ia juga memukuli wajah anaknya dengan baju. RF
ditangkap pada Minggu, 11 Juli 2021 dan ditetapkan sebagai tersangka.
Polisi juga melakukan visum pada sang anak. Dari hasil visum tersebut,
terdapat bekas luka dibagian telinga, pipi dan kepala korban.
RF kini ditahan di Mapolresta Sidoarjo dan dikenakan Pasal 80 UU
RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI N0. 23 Tahun 2002
25
tentang Perlindungan Anak dengan ancaman paling lama tiga tahun enam
bulan penjara.
26
kekerasan pada tempat tinggal adalah setiap perbuatan yang dilakukan seorang
atau beberapa orang terhadap orang lain, yang bisa menyebabkan atau
mungkin menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, & atau
psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau Sementara itu, dalam
UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga mendefinisikan KDRT sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelataran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Undang-
undang ini menegaskan bahwa masalah kekerasan pada tempat tinggal adalah
segala jenis kekerasan (fisik juga psikis) yg dilakukan anggota keluarga
terhadap anggota keluarga lainnya (baik suami pada istri, juga kekerasan yang
dilakukan sang istri pada suami atau ayah terhadap anak, atau ibu terhadap
anaknya & kekerasan yang dilakukan oleh seseorang anak terhadap ayah atau
ibunya). Namun yg secara umum dikuasai sebagai korban kekerasan
merupakan istri & anak oleh suami (Manumpahi, Goni, & Pongoh, 2016)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa menimpa siapa saja. Tetapi
secara generik pengertian KDRT lebih dipersempit maknanya sebagai
penganiayaan sang suami terhadap istri & anak. Sudah tentu pelaku pada
KDRT merupakan suami, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa suami
juga bisa menjadi sebagai korban KDRT oleh istrinya (Manumpahi et al.,
2016).
27
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
28
keluhan, dan bersikap saling terbuka yang akan meminimalisir konflik dan
kesalahpahaman.
b. Penyelewengan
Hadirnya pihak ketiga dalam hubungan suami istri merupakan salah satu
masalah besar yang dihadapi oleh seorang pasangan. Tak jarang dengan
adanya hal tersebut akan memicu timbulnya perceraian atau menimbulkan
suatu tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
c. Citra Diri Rendah dan Rasa Frustasi
Rasa keputusasaan bisa menimbulkan rasa frustasi dan biasanya
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya pekerjaan, ekonomi, ataupun
sosial. Dengan adanya tekanan dari berbagai sisi dan peran keluarga yang
sedang dimiliki (suami atau isteri) tuntutannya pun juga mengikuti
sehingga bisa menimbulkan rasa putus asa, marah, gelisah, dan frustasi
untuk memenuhi kebutuhan dari segala sisi. Hal ini akan meningkatkan
adanya tindakan kekerasan antar anggota keluarga untuk melepaskan
perasaan tersebut atau melampiaskannya.
d. Kekerasan Sebagai Sumber Penyelesaian Masalah
Seringnya terpapar dengan kekerasan di masa lalu atau mengalami riwayat
kekerasan anak di masa kecil akan memperbesar kemungkinan
mengadopsi perilaku serupa ketika sudah berumah tangga. Seseorang
yang sudah menganut nilai tersebut akan menormalisasikan atau bahkan
tidak menyadari bahwa ia telah mengadopsi sikap dan perilaku kekerasan
seperti yang sudah dialaminya dan menggunakan hal tersebut sebagai
sarana alternatif penyelesaian masalah berumah tangga.
Selain itu penyebab secara umum dapat dibagi menjadi dua faktor :
a. Eksternal : Faktor yang muncul dari luar diri pelaku kekerasan.
Seorang pelaku yang awalnya bersifat normal atau tidak memiliki
perilaku dan sikap agresif bisa saja mampu melakukan tindak kekerasan
jika dihadapkan dengan situasi dibawah tekanan (stress).
• Ekonomi : Perekonomian dapat menimbulkan dampak positif dan
negative. Perubahan ekonomi seringkali menjadi pemicu pertengkaran
dalam keluarga.
29
• Lingkungan Sosial : Pandangan Masyarakat atau budaya patriaki :
Masyarakat menganggap bahwa laki-laki lebih dominan dan
memilki kedudukan tinggi jika dibandingkan dengan
perempuan. Selain itu juga memposisikan perempuan dan laki-
laki secara berbeda
b. Internal : Faktor yang bersumber pada kepribadian dari dalam diri pelaku
itu sendiri yang menyebabkan pelaku mudah terprovokasi melakukan
tindak kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif
kecil. Seperti : Motivasi, kejiwaan, dan minat.
30
33 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian 30
kasus kekerasan gender berbasis online, 8 kasus pelecehan seksual, 7
kasus kekerasan dalam pacaran.
Selain itu, menurut data Komnas Perempuan, terdapat 319 kasus
kekerasan yang terlaporkan, dua-pertiganya atau sebanyak 213 adalah
kasus KDRT selama masa pandemi.
• Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga TL dan DR
Setelah 10 tahun berumah tangga, pemeran sinetron berinisial TL
melaporkan tindakan KDRT ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang
dilakukan sang suami berinisial DR. Ia mengaku mengalami kekerasan
mulai dari kekerasan verbal hingga fisik seperti pemukulan. Selama tiga
tahun, ia menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah dinafkahi oleh DR.
31
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup sendiri sebab manusia merupakan
mahluk sosial. Secara tidak langsung, manusia akan membentuk komunitas yang lebih
besar sehingga masyarakat akan terdiri dari kelompok-kelompok. Salah satu kelompok
kecil adalah keluarga. Dalam hidup berkelompok terutama berkeluarga, seringkali kita
mengalami konflik. Konflik-konflik yang terjadi pada tiap keluarga memiliki faktor yang
berbeda-beda,seperti faktor internal dan eksternal.
Masalah-masalah dalam keluarga ini berupa commuter marriage, keluarga dengan
anak berkebutuhan khusus, keluarga multikultur, keluarga dengan anak adopsi, keluarga
dengan pasangan yang bekerja, alone together family, child abuse, dan kriminalitas atau
kekerasan dalam rumah tangga. Isu-isu ini lah yang sedang muncul serta berkembang di
Indonesia.
32
DAFTAR PUSTAKA
Adel, B., Rustiyarso, R., & Zakso, A. MODEL ADOPSI BAGI KELUARGA YANG
TIDAK MEMPUNYAI ANAK DALAM MEMPERTAHANKAN
PERKAWINAN DI DESA KECURIT TOHO. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Khatulistiwa, 7(1).
Afivah, F.(2015, Juni 17). Penanganan Fenomena "Alone Together" untuk Keluarga
Bahagia.
https://www.kompasiana.com/fitrianurriafivah/54f38eed745513982b6c7b93/pen
anganan-fenomena-alone-together-untuk-keluarga-bahagia
Arfandi, Z., Susilo, E., & Widodo, G. G. (2014). Hubungan Antara Dukungan Sosial
Keluarga Dengan Kemampuan Perawatan Diri Pada Anak Retardasi Mental Di
Slb Negeri Ungaran. Jurnal Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes
Ngudi, 26, 1–6.
Black, D. A. (2001). Risk factors for child physical abuse. Agression and violent
behavior.
33
Carlson, B. E. (2000). Children exposed to intimate partner violence: research findings
and implications for intervention. doi:10.1177/1524838000001004002
Chhikkara, P. J. (2013). Domestic Violence: the dark truth of our society. Indian Acad
Forensic Med.
Cnnindonesia, (April, 2021). Seleb Thalita Latief Mengaku Alami KDRT hingga Gigi
Patah. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210406164658-234-
626656/seleb-thalita-latief-mengaku-alami-kdrt-hingga-gigi-patah, diakses 31
Agustus 2021.
Cnnindonesia. (April, 2020). LBH APIK Jakarta Catat KDRT Marak Terjadi saat
Pandemi Corona. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200421114027-20-
495587/lbh-apik-jakarta-catat-kdrt-marak-terjadi-saat-pandemi-corona, diakses
30 Agustus 2021.
34
Hasanah, U., Bachtiar, M., & Rangkuti, F. S. (2015). Kedudukan Anak Adopsi Ditinjau
dari Hak Pewarisan di Indonesia (Doctoral dissertation, Riau University).
Hidayati, N. (2011). Dukungan sosial bagi keluarga anak berkebutuhan khusus. INSAN,
13(1), 12-20.
Huda, S. (2018). Keluarga Multikultural: Pola Relasi Keluarga Kawin Beda Agama Di
Balun Lamongan. Al-Hikmah, 4(1).
Kolko, D. J. (2009). Child abuse and neglect: diagnosis, treatment and evidence.
Psychological impact and treatment of child physical abuse in carole jenny (ed.),.
Kompas, (2021, Juli). Cerita Ayah Pukuli Anaknya yang Balita, Kalah Main Game dan
Emosi Lihat Rumah Berantakan. Diakses pada 30 Agustus 2021.
https://regional.kompas.com/read/2021/07/14/071000378/cerita-ayah-pukuli-
anaknya-yang-balita-kalah-main-game-dan-emosi-lihat?page=2
Lokadata, (2020, Januari). 2020 Kekerasan Pada Anak Tak Menurun. Diakses 30
Agustus2021. https://lokadata.id/artikel/2020-kekerasan-pada-anak-tak-menurun
Manumpahi, E. G. (2016). Kajian kekerasan dalam rumah tangga terhadap psikologi anak
di desa soakonora kecamatan jailolo kabupaten halmahera barat2016. Jurnal Acta
Diurna.
Marini, Liza, & Julinda. (2010). Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri Pada Pasangan
Commuter Marriage. Jurnal Ilmiah Psikologi: 1-17
Opi Andriani, A. A. (2019). The contribution of self esteem and parenting towards
aggressive behavior of child victims domestic violence.
doi:10.2436/00176za0002
35
Radhitya, T. V., Nurwati, N., & Irfan, M. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 2(2), 111.
https://doi.org/10.24198/jkrk.v2i2.29119
Safitri, W. W., Fitri, W., & Zainal, Z. (2019). PENYESUAIAN DIRI ANAK ANGKAT
SETELAH MENGETAHUI STATUS SEBAGAI ANAK ADOPSI. Turast:
Jurnal Penelitian dan Pengabdian, 7(2), 211-229.
Setiawan, E., Nurwati, R. N., & Apsari, N. C. (2021). Kesejahteraan Anak Adopsi Usia
Prasekolah (3-5 Tahun). PERSPEKTIF, 10(2), 609-615.
Sidik, J. (2014). Gambaran dukungan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus
di sekolah khusus kota tangerang selatan. Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Slep, A. M. (2001). Examing partner and child abuse: are we ready for a more integrated
approach to family violence? . Clinical Child and Family Psychology.
Susiana, S. (2020). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masa Pandemi Covid-19.
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, XII(24), 13–18.
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info Singkat-XII-24-II-P3DI-
Desember-2020-177.pdf
36
Theconversation.com. (Agustus, 2020). Angka KDRT di Indonesia meningkat sejak
pandemi COVID-19: Penyebab dan cara mengatasinya.
https://theconversation.com/angka-kdrt-di-indonesia-meningkat-sejak-pandemi-
covid-19-penyebab-dan-cara-mengatasinya-144001, diakses pada 30 Agustus
2021.
Wiratri, A. (2018). Menilik Ulang Arti Keluarga Pada Masyarakat Indonesia. Jurnal
Kependudukan Indonesia. Vol. 13 No. 1
Wongpy, F., & Setiawan, J. (2019). Konflik pekerjaan dan keluarga pada pasangan
dengan peran ganda. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 10(1), 31-45.
10.26740/jptt.v10n1.p31-45
37