Anda di halaman 1dari 19

Merah tidak di pakai

Hijau di ambil
Kuning Perlu di bilah yang penting atau inti

Telaah Strategi Indonesia Dalam Pengaman Selat Malaka

-Tulisan ini merupakan hasil penelitian dengan bimbingan dari Baig LSW Wardhani. Data-
data dalam bab ini diperoleh dari berbagai studi literatur dan juga wawancara. Penulis secara
tidak sengaja mendapatkan sumber lisan berupa wawancara singkat selama dua jam dengan
petugas Ditpolair, Julisa Kusumowardono. Penulis saat itu mengirimkan pesan melalui
telepon genggam untuk mendapatkan tesisnya mengenai Selat Malaka, namun secara tidak
disangka-sangka, bapak Julisa menelepon penulis, menyatakan dukungannya, dan berdiskusi
kilat.

Argumentasi dalam tulisan ini dikembangkan menjadi tiga sub bab pembahasan sebagai
berikut. Bagian pertama, merupakan pendahuluan mengenai fungsi negara untuk meletakkan
prosedur regulasi yang menggabungkan aktor-aktor non-pemerintahan, seperti organisasi
internasional (ASEAN), atau negara lain (Jepang dan AS). Bagian kedua, membahas
mengenai fungsi negara dalam menggunakan jaringan intergovermental yang menjangkau
publik (PSCs dan NGOs). Bagian terakhir membahas mengenai bagaiMana negara
membangun kuasa politik yang membingkai manajemen resiko (masalah bilateral antar
negara).

-Peta Kekuatan Asing di Selat Malaka

Selat Malaka adalah selat yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut Cina Selatan,
dengan panjang 550 mil dan menyinggung zona tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan
Singapura. Selat Malaka secara hukum berada dalam naungan tiga negara pantai (littoral)
yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura merupakan selat yang sibuk dan padat akan jalur
perdagangan.

Pada zaman kuno, selat ini sudah menjadi jalur tersibuk di Asia, yang mempengaruhi
kerajaan Sriwijaya, Aceh, Samudera Pasai, Johor, dan Penang. Selat ini, selain kaya akan
sumber daya laut, juga mengitari wilayah daratan yang kaya biodiversitas dan langka secara
ekologis, yang bernama “Sunda Hotspot.” Wilayah ini ada di timur Sumatra dan sebagian
dari kawasan Malaysia yang masih kaya akan hutan hujan. Selain itu, karena tempatnya yang
sangat strategis, selat ini menjadi jalur yang signifikan bagi tiga negara pantai maupun negara
pengguna. Gerak ekspor dan impor lewat laut menjadi aktivitas yang penting di selat ini,
terutama bagi Indonesia yang memiliki sebagian besar wilayah Selat Malaka dan Singapura
yang seluruh negaranya bersinggungan dengan selat ini. Singapura memiliki pelabuhan
utama yang terletak di kawasan ini dan hampir seluruh kegiatan ekonominya bergantung
kepada pengiriman barang lewat jalur air di Selat Malaka. Malaysia juga demikian. Sekitar
80 persen perdagangannya menggunakan selat ini dan pelabuhan-pelabuhan utamanya berada
di sepanjang selat ini Indonesia juga harus mengamankan selat ini dari serangan terorisme.
Oleh sebab itu, keamanan selat ini menjadi tanggung jawab ketiga negara pantai karena
berkaitan dengan keamanan politik dan ekonomi nasional mereka. Namun ternyata,
keamanan selat Malaka ternyata tidak hanya berdampak positif terhadap perekonomian ketiga
negara tersebut, tapi juga terhadap perekonomian internasional. Karena itu, tiga negara pantai
tersebut haruslah membentuk regionalisme untuk mengatasi permasalahan di selat Malaka.
Untuk mengatasi tingginya tingkat perompakan di Selat Malaka, negara-negara ASEAN
membentuk ASEAN Maritime forum (AMF). Kerjasama ini didasarkan atas keinginan untuk
merekatkan hubungan antara negara-negara di ASEAN yang sebelumnya hanya sebatas
kerjasama ekonomi dan lebih pada kepenngan nasional. Agar dapat mengatasi kejahatan
tersebut, para pemimpin ASEAN memandang penting kerjasama keamanan maritim antar
negara anggota ASEAN untuk menangani berbagai isu kelautan dan lintas-batas, secara
regional dan komprehensif. Untuk keperluan tersebut, KTT ASEAN Ke-9 di Bali pada 7-8
Oktober 2003 menyepakati Bali Concord II. Pada KTT ASEAN Ke-10 di Vientiane (2004),
forum mengadopsi Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN (ASC PoA) dan Vientiane
Action Program (VAP) yang meliputi kegiatan jangka menengah (2004-2010). Salah satu
poin pada VAP adalah peningkatan kerjasama keamanan maritim ASEAN, dengan langkah
pertamanya, yaitu pembentukan ASEAN Maritime Forum (AMF)

Pada Konferensi Koordinasi Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security
Community Plan of Action Coordinating Conference) di Sekretariat ASEAN (2006),
Indonesia mengusulkan untuk menyelenggarakan Workshop tentang pembentukan AMF.
Pada KTT ke-14 di Cha-am Hua Hin, Vietnam Pada 1 Maret 2009, Indonesia mengajukan
konsep mengenai pembentukan AMF. Konsep ini kemudian menjadi salah satu poin dalam
vetak biru Komunitas Politik-Keamanan ASEAN yang disepakat bada dokumen Road Map
for an ASEAN Community 2009-2014 Pembentukan AMPF tersebut sangat penting karena
dapat mem, berikan kontribusi bagi pembinaan pembentukan Komunity ASEAN pada 2015.
Pembentukan AMF melibatkan seluruh negara, negara anggota ASEAN karena sebagian
besar negara-negara iny memiliki perbatasan maritim, dan hampir 804 dari wilayah ini terdiri
dari laut.

Pembentukan ASEAN Maritime Forum (AMF) adalah salah satu tindakan penting yang harus
dilakukan sesuai blueprint Ko. munitas Politik-Keamanan. Selain ASEAN, tiga negara pantai
merasa bahwa mereka harus mengadakan kerjasama internal untuk melindungi wilayah
mereka sendiri. Maka hadirlah Malacca Strait Patrols (MSP), kerjasama trilateral antara
Indonesia, Singapura dan Malaysia dalam mengatasi kejahatan di Selat Malaka, terutama
perompakan.

Dalam praktek dari regulatory regionalism, tiap negara anggota regionalisme harus bisa
menyesuaikan diri dengan aktor-aktor non-nasional, yang terdiri dari banyak (meta)
pemerintahan (governance) dari negara atau organisasi lain. Meta governance disini artinya
adalah governance of governance, dengan meletakkan prosedur regulasi yang
menggabungkan aktor-aktor non-pemerintahan, seperti organisasi internasional, atau
pemerintahan dari negara lain. Pemerintah negara beserta dengan aktor non-negara dapat
secara independen bekerjasama dalam menyediakan peraturan bagi konstitusi mereka sendiri,
yang bentuknya sama dengan negara-negara anggota yang lain.

-MSP adalah salah satu bentuk kerjasama tersebut, yang didirikan untuk memastikan jaminan
keamanan dan keselamatan pengguna Selat Malaka. Mereka berkerjasama sebagai negara
pemilik selat tersebut yang sah secara hukum. Pada awal pembentukannya, ketiga negara
menolak kehadiran dari kekuatan asing dalam bentuk proposal AS yang berupa RMSI dengan
veto yang dikeluarkan oleh Indonesia dan Malaysia. Pernyataan keras disampaikan oleh
mereka karena Indonesia pernah mengalami masa lalu yang pahit dengan pihak asing melalui
peristiwa kudeta di tahun 1965 yang membawa Soeharto naik ke kursi presiden. Ia juga
pernah dijajah selama 350 tahun oleh bangsa Eropa. Sementara itu, Malaysia yang sudah
empat kali dijajah, tiga diantaranya oleh bangsa Eropa dan dalam semua kasus penjajahan,
mereka hidup dibawah bayang-bayang kekuasaan perompak atau lanun.? Semuanya itu
menjadikan Indonesia dan Malaysia sensitif terhadap campur tangan dari pihak asing. Hal ini
sama dengan pendapat Vayrynen yang mengatakan bahwa negara-negara yang terkait dalam
satu kawasan dengan permasalahan yang sama secara otomatis akan membuat suatu
kerjasama ekonomi demi membendung “externalities” yang ingin mencoba ikut serta dalam
mengamankan kawasan tersebut.

Pihak asing yang ingin bergabung dalam mengamankan perairan Selat Malaka berdatangan
dari tahun ke tahun. Mereka melihat banyaknya potensi dari Selat Malaka ini, terutama dalam
menggunakannya sebagai rute jalur pengiriman barang yang bisa berdampak pada kinerja
perdagangan negaranya. Urgensi dan keinginan yang lebih pada negara-negara asing tersebut
membuatnya berlomba ingin membantu ketiga negara pantai ini dalam mengamankan Selat
Malaka. Selain itu, ada pula negara ingin ikut campur karena tidak ingin kehilangan
hegemoninya di Asia, seperti AS.

-1. Jepang

Jepang, sudah melihat Selat Malaka sebagai selat yang signifika, bahkan sejak 1969, Iapun
sudah berusaha untuk menjalin kerjasama, dengan ASEAN. Namun kerjasamanya lebih
bersifat NON-Militep seperti Malacca Straits Council pada 1969 untuk mengamankan navi
gasi kapal, pemberian dana 400 juta dollar pada 1981 dari Revolving Fund untuk Oil Spill
Preparedness and Response (OSPAR) Team survei hidrologikal dan pemetaan elektronik
selat, serta proyek pengembangan infrastruktur untuk meningkatkan keamanan pada Selat
Malaka.# Tahun 2007, Jepang menyumbangkan tiga kapg patroli untuk polisi air Indonesia
dan menyumbangkan 15 juta dollar untuk pembangunan Vessel Traffic System yang
berfungsi untuk merekam perjalanan kapal-kapal di selat ini. Nippon Foundatim
memperkirakan bahwa Jepang kehilangan 10-15 juta dollar per. tahunnya karena masalah
pembajakan.!! Walaupun ini merupakan jumlah yang kecil bagi pihak Jepang, namun Jepang
masih menganggap pembajakan sebagai masalah yang harus segera ditangani. Ia
mengirimkan Japanese Coast Guard untuk pelatihan bersama di Selat Malaka sebagai
keikutsertaan non-politis.!? Karena itu Jepang termasuk negara yang secara aktif mendanai
ASEAN untuk me ningkatkan kapabilitas militernya dalam menjaga Selat Malaka Semenjak
tahun 1969, Jepang setidaknya telah menyumbangkan 12 milyar dollar kepada ASEAN.

2. Cina

Negara lain, seperti Cina, juga melakukan hal yang sama. Kekuatan besar baru di kawasan
Asia Timur ini juga sangat tergantung pada Selat Malaka untuk perdagangan dan transportasi
energinya. Signifikansi kepentingan strategis Cina terus meningkat setiap tahunnya. Saat ini,
sekitar 60 persen minyak mentah yang diimpor Cina berasal dari Timur Tengah, dan angka
ini diprediksi meningkat menjadi 75 persen di tahun 2015. Minyak dari Teluk Persia dan
Afrika dikirim ke Cina melalui Selat Malaka, Lombok atau Makassar.# Menurut Gilmartin,
Cina memiliki dua kepentingan di Selat Malaka, yaitu strategis dan ekonomis. Yang pertama
berhubungan dengan Malacca Dilemma karena keselamatan konsumsi minyak Cina
bergantung pada keamanan di selat tersebut. Bahkan jika ada pengurangan konsumsi minyak
di Cina, bisa menyebabkan adanya pengangguran masif, ketidaktenangan sosial, dan protes
anti pemerintah. Kedua, selain minyak, Cina juga memiliki hubungan yang krusial dengan
AS, Eropa, dan Timur Tengah dalam perdagangan besi, baja, dan batu bara. Sama seperti
minyak, hambatan dalam proses perdagangan barang-barang tersebut akan menghambat
produksi nasional Cina. Karena itu, ia turut menyumbang melalui Aids to Nav gation Fund
untuk mendirikan Hazardous and Noxious Substances (HNS) dengan ASEAN.“ Menurut
Gilmartin, angkatan laut Cina masih belum bisa bertindak secara unilateral dalam menjaga
perairan internasional, dan ia masih mempercayakan keamanan jalur perdagangan laut
kepada US Navy Seventh Fleet.” Namun, Cina tetap masuk melalui sumbangan dana dan
kerjasama multilateral seperti ASEAN dan ReCAAP. Sejak tahun 2000, ia masuk ke dalam
ASEAN Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC) dan tahun
berikutnya ASEAN Treaty of Amity and Cooperation untuk mengatasi permasalahan di Laut
Cina Selatan.

-3. Amerika Serikat

Menurut Zubir, AS memiliki banyak kepentingan di Selat Malaka." Pertama adalah ia merasa
harus memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara dan Asia Timur karena munculnya pesaing
baru di dunia ekonomi yaitu Cina. Nilai ekspor dan impor Cina di Asia Tenggara dan Asia
Timur meroket semenjak tahun 2003, dan bukan tidak mungkin bisa menggeser dominasi
ekonomi AS disana. Kedua adalah faktor minyak. Konsumsi minyak Cina yang hampir
melebihi AS dan mengalahkan Jepang membuat AS harus berusaha untuk mengontrol
pergerakan kapal Cina dengan memperkuat angkatan lautnya di jalur-jalur krusial seperti
Selat Malaka. Ketiga adalah faktor militer. Keberhasilan ekonomi Cins Adalah peluang besar
untuk meningkatkan kapabilitas militer nasional negaranya, dan AS tidak ingin ada hegemoni
lain di Asia kecuali dirinya. Adanya dominasi kekuatan dari negara lain akan menghambat
akses AS dalam bentuk ekonomi atau politik ke Asia. Selain itu, AS juga memastikan
kelangsungan ekonomi sekutunya di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan yang
mendapatkan bantuan dana dan perlindungan militer dari AS. Karena itu, AS berusaha
dengan berbagai cara untuk tetap menjadi hegemon di wilayah ini. Salah satunya yang paling
kelihatan adalah keterbukaan Singapura dalam menyambut AS. Angkatan laut AS memiliki
pangkalan militer di Changi, Singapura, yang merupakan satu-satunya tempat di Asia
Tenggara untuk AS menempatkan Nimitz-class aircraft series dan kapal-kapal besar milik US
Seventh Fleet.

4. European Union

Sama seperti negara-negara sebelumnya, European Union (EU) juga memiliki kepentingan
dalam bentuk ekonomi di selat ini. Jepang, AS, dan Cina adalah beberapa dari rekan dagang
utamanya. Namun diantara negara yanp lain, hanya Singapura yang memiliki keterbukaan
terhadap EU. Pada tahun 2005 Singapura menyewa perusahaan Denmark untuk membangun
Anti-Teror Center? Selain itu, Singapura bersama Malaysia adalah bagian dari Five Power
Defense Arrangement bersama Inggris, Australia dan New Zealand yang memiliki banyak
kapal, pesawat jet, dan kapal selam yang canggih. Perancis juga mengirimkan kapal pe-
rangnya ke Selat Malaka atas izin dari Singapura di tahun 20062 EU tidak terlalu signifikan
dalam meunjukkan keikutsertaannya secara fisik di Selat Malaka karena tidak terlalu aktif
secara politis di daerah Asia Tenggara. Namun EU tetap menunjukkan keseriusannya untuk
membantu mengamankan selat ini dalam berbagai forum multilateral seperti FPDA.

-Adanya banyak kepentingan yang masuk di Selat Mala, Sejatinya harus ditangani oleh
ASEAN secara kompak. Sec Sederhana, untuk menjadikan suatu kerjasama berhasil, anggoy
kelompok harus menyatukan pikiran dan menemukan satu tujug untuk dicapai. Tujuan
kelompok tidak akan tercapai apabila sal satu dari anggotanya memiliki kepentingan sendiri
sehingga be, jalan melenceng dari kesepakatan bersama. Sama seperti kerjasany MSP yang
dilakukan oleh ASEAN. Semenjak awal, Singapura tid memiliki kecocokan dengan Malaysia
dan Indonesia dalam sg penerimaan bantuan fisik dari pihak asing. Namun, Singapun masuk
dalam MSP karena ia adalah negara pantai yang secag hukum sah memiliki selat tersebut.
Ketidakcocokan ini terbawa sampai sekarang, yaitu Singapura yang memiliki banyak ikatan
kerjasama dengan pihak asing disaat Malaysia dan Indonesia menolak hal tersebut.

5. Singapura

Pihak Singapura memang lebih terbuka dalam menanggapi tawaran keikutsertaan pihak
asing, terutama AS, dalam mengamankan perairan Selat Malaka. Hal ini disebabkan selain
karera tidak ada kejadian masa lalu yang pahit dengan pihak Barat, Singapura adalah negara
yang akan terkena dampak ekonomi paling besar apabila terjadi gangguan di perairannya.
Seluruh wilayah Singapura ada dalam selat ini dan menjadi pelabuhan kontainer yang sibuk.
Munculnya perbedaan dalam menanggapi kekuatan asing ini bisa menjadi faktor penghambat
dalam mer jalankan sistem meta governance.

Singapura melalui Wakil Perdana Menteri Tony Tan menyats kan bahwa “It is not realistic to
unilaterally confine such patrok Only to countries in this part of the world... We can do more
if w' galvanize the resources of extra-regional players!”2 Singapura

-secara jelas bekerjasama dengan AS untuk menjadikannya transit kargo-kargo anti WMD
(weapon mass destruction). Sebagai gantinya, AS memberikan Singapura senjata, logistik,
dan pelatihan militer sebanyak 741 juta dollar, diantaranya adalah pesawat tempur F 15T
yang menggantikan pesawat lama-nya, Superhawk.2 Seperti belum berakhir, Pentagon atas
nama US National Defense Authorization juga memberikan dana sebanyak 47,1 juta dollar
untuk counterterrrorism dalam Global Train and Eguip Program, dan 5 stasiun radar
pengawasan di Selat Malaka.2 Stasiun ini ditambah 10 lagi menjadi 15 stasiun pada 2008.
Hal yang sama juga ia lakukan kepada Malaysia, Pentagon memberikan 16,3 juta dollar dan
juga memberikan pelatihan serta bantuan kapal patroli air kepada Malaysia.8 Pada tahun
2009, US Commander 7th Fleet datang ke Selat Malaka untuk memberikan patroli bantuan,
diantaranya adalah tindakan sweeping penam-bangan liar di sepanjang Selat Malaka dan
pembersihan sisa-sisa minyak/petroleum secara cepat dari kapal yang tenggelam.?7 US
Commander 7th Fleet ini masih beroperasi sampai sekarang.

Pada tahun 2011, dibangun Information Fusion Center, usaha kolaboratif multinasional yang
dirancang oleh Singaporean Navy, yang telah menyebarkan International Liaison Officers
kepada sepuluh negara, termasuk Australia, India, Malaysia, Vietnam dan AS untuk
mengumpulkan beragai informasi kelautan. Namun Indonesia absen dari yang satu ini.8
Singapura termasuk dalam pelatihan Exercise Cope Tiger dan Exercise Cobra Gold, yang

-diadakan bersama AS dan Thailand untuk melatih kekuatan Udar dilanjutkan dengan
Exercise Malabar bersama AS dan India tahun 2007 yang bertempat di daerah timur Selat
Malaka? y, mudian, Singapura juga termasuk dalam Proliferation Securit, Initiative (PSI) dan
menjadi tuan rumah pelatihan bersama P3 Asia di tahun 2005. Tak hanya itu, Singapura juga
termasuk dari » hegara anggota Container Security Initiative, program yang dipr, karsai AS
yang ditujukan untuk berbagi informasi untuk menga nali kapal-kapal kargo yang potensial
berbahaya dan mencuriga. kan, serta mengembangkan metode untuk mendeteksi keamanan
kapal kargo.” Sebagai tambahan, pelabuhan di Singapura dit namkan state-of-the-art vessel
tracking systems untuk mendeteksi 70.000 kapal kargo yang setiap tahunnya masuk ke
Singapura” Kemudian, Singapura memperkuat kembali komitmen dengan AS untuk “Engage
the region constructively, productively and ina way which fosters stability and prosperity for
all countries,” dalam pertemuan Barrack Obama dengan PM Lee Hsien Loong pada April
2013 silam. Sebagai tanda komitmen tersebut, AS menyebarkan empat buah Littoral Combat
Ships (LCS) ke perairan di sekitar Singapura untuk memperkuat keamanan-nya.2

Perizinan pihak Singapura untuk tetap menjadikan negaranya sebagai basis militer AS juga
masih berlanjut. Izin ini sebenamys sudah diberikan AS semenjak tahun 1990, saat Singapura
mem berikan AS akses kepada Paya Lebar Airbase dan Sembawang Tahun 1998, Singapura
mendirikan pangkalan militer AS d Changi Naval Base. Kapal perang baru AS, USS
Freedom, ditam'

-batkan di Mayport, Changi dan secara bergilir selama sepuluh bulan akan ditempatkan di
Singapura untuk berpatroli mulai dari tahun 2013. Kapal ini berada dibawah komando
Seventh Fleet yang berada dalam perintah USPACOM. Dengan ini, Singapura masih
mendapat sokongan keamanan dari AS secara fisik dan juga pendanaan bagi kapabilitas
militer nasionalnya sendiri.

6. Indonesia

Indonesia menolak adanya intervensi asing menyusupi kedaulatan nasional dan ia membatasi
bantuan pihak asing hanya dalam bentuk asistensi militer saja. Adanya ikut serta AS dan
penyelesaian perjanjian damai di GAM di tahun 2005 membuat penurunan yang signifikan
pada jumlah perompakan di Selat Malaka.5 Peristiwa pertama itu adalah saat gerakan
separatis di Aceh yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang merompak kapal marak
dibicarakan. Mereka merompak kapal bukan untuk tujuan politik, namun demi mencari
ransum dan uang untuk persediaan pasukannya. Contohnya, adalah merompak kapal tanker
minyak di km 19 Port Klang, Malaysia.4 Para perompak ini berpusat di Daerah Medan,
Belawan, dan Dumai. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut dan lingkungannya rawan
terhadap perompakan. Setelah proposal RMSI ditolak oleh ASEAN, AS menemukan cara
untuk masuk ke Indonesia melewati peristiwa ini. Cooperation 4Afloat Readiness and
Training (CARAT) yang mengirimkan 1000 pasukan AS untuk melatih tentara Indonesia dan
memberikan pelayanan publik, tiba di Aceh setelah sebelumnya memberikan bantuan
kemanusiaan di tempat yang sama karena bencana alam

-tsunami diakhir tahun 20042 Bencana ini sendiri juga mem, pengaruhi penurunan jumlah
perompak yang ada di selat In sebelum tahun 2011. Kerjasama terus berlanjut di tahun-tahu
berikutnya. Laksamana William J. Fallon, ketua USPACOM, ber, angkat ke Jakarta pada
Maret 2006 untuk menyampaikan, “ solidify our relationship and to see where we go from
here.”? ys SEALS selanjutnya memberikan pelatihan kepada TNI At Indonesia dalam hal
anti-piracy dan anti-maritime-terrorism.8 Tidak hanya itu, Foreign Military Financing
memberikan satu juta dollar untuk keamanan infrastruktur maritim Indonesia di tahun yang
sama."

Pembatasan pelatihan Kopassus Indonesia dengan AS dalam Exercise Garuda Shield


diberlakukan pada 201042 Namun, Indonesia masih menjalani latihan tahunan dengan AS
dalam CARAT. Tidak hanya itu, bersama dengan AS, Brunei, Thailand, Malaysia dan
Singapura, Indonesia masuk dalam Southeast Asia Cooperation and Training (SEACAT),
sebuah pelatihan skenario meliputi pertukaran informasi, tracking, sampai operasi
penindakan vessd board search and seizure (VBSS) yang dimulai sejak 20024 Lalu Indonesia
juga memiliki latihan tahunan rutin bersama USPACOM, Malaysia Thailand, Kamboja dan
Filipina dalam Global Peax Operations Initiative (GPOI).S Tidak hanya itu, tahun 2011,
dalam rangka memperkuat pertahanan udara Indonesia dan meningkat kan kapabilitas
suplemen militer untuk Selat Malaka, Presiden

-Obama mengumumkan bahwa AS akan mendonasikan 24 F-16 combat aircraft kepada


Indonesia, Jakarta hanya diperkenankan untuk membayar biaya perbaikannya saja.#
Indonesia juga bergabung dengan program yang diprakarsai oleh Presiden Bush dari tahun
2005, yaitu International Military Education and Training Program (IMET) dan Foreign
Military Sales.€ Tahun 2014, Sekretaris Pertahanan AS Chuck Hegel mengemukakan bahwa
AS akan memberikan 8 unit helikopter AH-64 Apache yang satuannya bernilai 600 juta
dollar. Helikopter tersebut akan dikirimkan bertahap dari tahun 2014-2017. Tujuan dari
pemberian ini adalah untuk membantu Indonesia meningkatkan kapabilitas militernya
(technical assistance) dalam counter-piracy di Selat Malaka dan mengontrol jalannya
pergerakan kapal disana.“

7. Malaysia

Sedangkan Malaysia yang kuat bersama FPDA, juga memiliki pelatihan rutin bersama AS.
Jika Singapura mengikuti Exercise Cobra Gold dan Cope Tiger, serta Indonesia dengan
Exercise Garuda Shield, Malaysia memiliki Exercise Cope Taufan. Tidak hanya itu, AS
mengadakan pelatihan militer yang dikhususkan untuk keamanan maritim bersama
Malaysia's Joint Security Command.? Malaysia juga memiliki masalah yang membuatnya
harus bekerjasama dengan US Navy Seals. Negara ini sangat memperhatikan adanya kasus
teroris yang menyusup kedaulat-annya melalui jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan Kampulan
Mujehidin Malaysia (KMM) semenjak kapal yang ditengarai milik Al-Oaeda

-berlayar ke wilayah Selat Malaka! Bersama Indonesia, ia bergabung dengan IMET dan
Foreign Military Sales. Ia juga membangun Southeast Asian Regional Centre for Counter,
Terrorism (SEARCCT) yang dibantu oleh US Department of State dan USPACOM.2
Bersama AS, bergabung juga Inggris dan Perancis dalam SEARCCT.» Sedikit demi sedikit,
AS juga ingin mendekatkan diri dengan Malaysia.

Ketidakcocokan juga terjadi dalam forum multilateral. Contoh. nya adalah ReCAAP. Forum
ini diikuti oleh ASEAN plus Bang: ladesh, Cina, India, Jepang, Korea Selatan Sri Lanka.
Singapura sendiri menjadi rumah dari ISC (Information Sharing Center), implementasi dari
ReCAAP yang mengkoleksi data dari tiap negara anggota, mulai dari informasi dari penjaga
pantai, polisi air, sampai angkatan laut. Namun, Indonesia dan Malaysia menolak untuk
meratifikasi perjanjian ini dan karena itu anggota dari ASEAN yang ada di ReCAAP hanya
Singapura. Indonesia melakukannya dengan alasan kedaulatan, sementara Malaysia
melakukannya karena menganggap bahwa ISC merupakan saingan dari IMB yang bernaung
di negaranya.“ ReCAAP dinilai efektif dalam mengatasi perompakan, namun tentu saja tidak
bisa menjangkau perairan Malaysia dan Indonesia, sehingga hanya angka perompakan di
perairan Singapura yang menurun. Baru-baru ini, Obama mengatakan bahwa AS dan Jepang
akan bekerjasama dalam membantu memperbaiki kapabilitas militer ASEAN lewat ReCAAP
melalui join assistance, kapal patroli, pelatihan bersama dan membangun jaringan informasi
yang luas. Tujuannya adalah antuk mencegah Cina melakukan tindakan unilateral untuk
Mengamankan Selat Malaka. Hal ini akan membuat ReCAAP,

-dan tentunya Singapura, akan memiliki akses informasi dan tekpologi yang lebih canggih
daripada negara pantai yang lain.

Melihat banyaknya kepentingan yang masuk ke Selat Malaka, mulai dari Cina, AS dan EU,
selat ini menjadi penuh dengan berbagai program bawaan dari masing-masing negara tanpa
adanya kontinuitas keefektifan kinerja di masing-masing program. Aktor eksternal
mengadakan pertemuan terakhirnya di Jakarta pada 2007 dalam Council for Security
Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP) Study Group on the Security of the Malacca and
Singapore Straits dan menemukan bahwa ReCAAP hanya bisa mengatasi perompakan di
perairan yang terbatas, yaitu perairan Singapura saja, serta SEARCCT yang hanya
menemukan dua kasus perompakan-terorisme dalam kurun waktu lima tahun.“ Disamping
itu, ditemukan bahwa ReCAAP kurang memiliki akurasi data untuk melihat garis yurisdiksi
kasus perompakan dan ia terkadang sering bertumpang tindih dengan IMB yang memiliki
Piracy Reporting Centre.”

ASEAN sendiri memiliki banyak sekali sub-forum untuk mengamankan Selat Malaka seperti
ASEANAPOL, ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ARF
Regional Cooperation Maritime Security, ReECAAP, ASEAN Convention on Counter
Terrorism (ACCT), dan ASEAN Defence Minister Meeting (ADMM) Plus serta banyak
dialog-dialog lain. Namun, ada kritik jika kebanyakan forum tersebut akhirnya saling
tumpang tindih dan dianggap hanya sebagai “ “Talk shop-photo op' forum and nothing
more,” forum yang hanya berbicara dan mengambil foto, sehingga kinerjanya tidak produktif.

Melihat pola kerjasama yang terjadi di dalam ASEAN, penulis

-yegionalisme dengan menciptakan SOP yang sama, dalam hal ini bagaimana cara untuk
membendung kekuatan asing.

Private Military Security Companies (PMSC) di Selat Malaka dan Sikap ASEAN

Sama seperti perompak yang adalah fenomena lama, PMSC adalah kegiatan yang sudah
dilakukan sejak abad 15-19. Kala itu bajak laut/lanun disewa oleh pemerintah Singapura dan
Malaysia untuk membendung kolonisasi dari Inggris dan Belanda. Kemudian British East
India Company melakukan pengamanan pribadi untuk perdagangan Inggris-Malaka pada
tahun 1800. Namun setelah kedua negara ini menemukan bahwa pertumbuhan negaranya
pesat dibawah pemerintahan Inggris, para sea lords terutama yang dari Temenggong
menawarkan aliansi untuk melindungi kapalkapal yang melintasi selat Malaka. Jasa
pengamanan pribadi ini akhirnya berkembang, dan tidak hanya berasal dari Asia, PMSC dari
Eropa juga berebut ingin menawarkan jasanya di selat yang sibuk ini.

Pada tahun 2005, ada beberapa PMSC di Selat Malaka yang terkenal peredarannya, tiga
diantaranya adalah milik Inggris dan satu milik Amerika. Beberapa PMSC kecil lain adalah
milik Singapura. Pasar pengamanan pribadi ini sangat menguntungkan karena mereka
memasang harga mulai dari 50.000 dollar untuk sekali misi pengamanan kargo. Personel
yang disediakan pun memiliki pengalaman yang mumpuni di bidang militer, seperti mantan
personel tentara negara-negara Barat yang berpengalaman di Irak dan Afghanistan yang
mahir menggunakan senjata dan alat-alat berat, mereka bisa menembak jitu dari kapal dan
dari helikopter turun untuk menangkap kembali kapal yang sudah dirompak.

Zachary Keck mengatakan bahwa, “PMCs operating 8 Southeast Asia have primarily been
focused on providing maritin, Security to clients, particularly in combating piracy. This has
been especially true in narrow chokepoints like the Malacca Straits ang has included
companies such as Background Asia and Counte Yerrorism International (CTI)."4 Pasar
private security me Sangat tinggi peminatnya di daerah maritim di Selat Malaka Untuk
menambah kualitas pelayanan, mereka biasa bekerjasany dengan petugas keamanan pantai
dan juga pelatihan respon krisis dan pengamanan penangkapan ikan di daerah EEZ (exclusin
economic areas) secara rutin. PMSC seperti Gray Page, Pilgrim Elite, Glenn Defense Marine
Asia, IMAAG (International Maritime Ant: Piracy Advisory Group), Secure A Ship,
MarineService GmbH, G$ SEALS, dan Trident Group adalah beberapa yang sering
melakukan pengembangan kualitas tersebut. Beberapa dari PMSC ini bermarkas di
Singapura, seperti juga Background Asia.& Rata-rata mereka semua berasal dari Amerika
dan Eropa seperti AS, Inggris, Spanyol, Jerman, atau dari Asia seperti Israel, Hongkong,
bahkan milik Singapura sendiri. Merekapun memiliki website resmi untuk memasarkan
jasanya.$ Ada juga yang bermarkas di Indonesia seperti Alban Sciascia's dan Pemuda
Pancasila (PP) yang ber mukim di Belawan.”

Menurut Liss, naiknya eksistensi PMSC di Asia Tenggara disebabkan oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah banyaknya aktor transnasional dan transnasional ekonomi perdagangan
yang baru, yang tentu menginginkan kestabilan keamanan pengiriman diakan layanan
keamanan bagi kondisi keamanan yang lebih kompleks dengan kontrak yang lebih mudah
daripada jika pelaku bisnis tersebut harus berhadapan langsung dengan pemerintah setempat.
Ini yang membuat permintaan akan PMSC meningkat dari tahun ke tahun.

Negara pantai, khususnya Indonesia dan Malaysia, sudah menolak bantuan dari siapapun
yang bisa mereduksi kedaulatan negara, semenjak awal dibentuknya PMSC. Sehingga, sikap
Indonesia dan Malaysia menolak keberadaan PMSC di wilayah perairan mereka. Namun,
Singapura tidak bersikap yang sama Dengan pengamanan yang ketat, mereka menerima jasa
PMSC bahkan memperbolehkan mereka bermarkas di negaranya. Inilah kelemahan hukum
dari MSP, yaitu tidak adanya kesepakatan mengenai masalah ini. Ditambah, ketiga negara
terkadang lebih mementingkan masalah pribadi (kedaulatan). Ketiga negara yang seharusnya
bekerjasama untuk mengamankan selat, terkadang saling klaim mengenai masalah siapa yang
berhak mengamankan teritori dari perompakan dan kapal yang sedang melintasi selat.
Perselisihan soal batas teritorial dan status masih menjadi masalah utama ketiga negara
tersebut, sehingga hukum mereka tidak sampai mencakup masalah PMSC.
1. Singapura

Singapura bersikap untuk bekerjasama dengan PMSC, selain dengan patroli bersama MSP.
Kerjasama Singapura dengan PMSC bukan karena sikap Singapura yang terbuka terhadap
bantuan dari pihak asing, namun lebih karena PMSC tersebut memiliki syarat-syarat yang
cocok dengan hukum nasionalnya. Singapura memiliki hukum yang tegas mengenai
keberadaan PMSC yang ada di wilayahnya.” Berbeda dengan Indonesia dan

-Malaysia yang masih memiliki hukum yang kabur mengenai keberadaan PMSC di
wilayahnya. Secara umum, kedua negara ini menolak adanya PMSC karena memiliki petugas
nasional sendiri.” Namun hukum ini bisa ditebas apabila ada permainan dari orang dalam.

Singapura menerima beberapa PMSC dari Eropa dan Asia bermarkas di negaranya dengan
peraturan yang ketat. Namun tidak dengan Indonesia dan Malaysia yang melarang
keberadaan PMSC di wilayahnya. Beberapa permasalahan yang dikemukakan oleh pihak
Indonesia dan Malaysia ini adalah, pertama, kekuatiran apabila ada persaingan bisnis dan
perlombaan senjata (arms race) antar PMSC: kedua, kekuatiran akan adanya penyelundupan
senjata karena beberapa diantara PMSC itu memakai senjata tanpa lisensi legal: ketiga,
kekuatiran mengenai keselamatan para nelayan yang mencari nafkah di daerah tersebut, dan
yang terakhir adalah overlap function antara pemerintah melalui petugas keamanan laut
seperti polisi air dan angkatan laut dengan PMSC.4 Ada juga yang takut jika PMSC tersebut
justru terlibat dalam jaringan terorisme seperti Al-Oaeda, Jamaah Islamiyah atau Abu
Sayyaf.”

Singapura mampu mengatasi ketakutan tersebut. Hukum Singapura yang mengatur mengenai
PMSC adalah Private Security and Agencies Act.” Secara mendasar hukum ini ditujukan
untuk meregulasi agensi-agensi swasta, petugas keamanan, dan penyedia jasa keamanan
seperti PMSC. Hukum ini mengatur mengenai level dan standar dari pelatihan setiap petugas
keamanan yang harus dilisensi pula oleh pemerintah Singapura. Singapura menyadari bahwa
industri PMSC ini terus berkembang karena banyak yang membutuhkannya. Tahun 2009, ada
32.000 personel PMSC yang

-dilaporkan oleh pemerintah Singapura.” Sehingga, daripada he kerja mengisolasi diri,


Singapura lebih memilih untuk bekerjasany dengan PMSC untuk membuat negara lebih
aman, tentu sy dengan menggunakan sistem yang telah ditetapkan oleh negara Pada tahun
2004, saat isu terorisme dan jumlah perompaka meningkat, Singapura menginzinkan adanya
PMSC bermarkas 4 Singapura untuk melindungi kapal yang melintas di wilayahnya Hal iri
bisa menimbulkan pertentangan dari negara pantai lainnya yang tidak melisensi PMSC secara
serta merta. Kapal dari Singa pura yang melintasi perairan Indonesia dan Malaysia, yang
telah menyewa PMSC lengkap dengan personel dan senjata beratnya akan menemui masalah
di perairan ini. Keadaan ini akan men. ciptakan tensi bagi PMSC dan angkatan bersenjata
negara ber. sangkutan yang sedang berpatroli.

2. Indonesia

Indonesia bersama dengan Malaysia menolak PMSC karena mereka masih mengedepankan
masalah kedaulatan teritorialnya Sebelumnya, Indonesia dianggap sebagai negara yang
memiliki pasukan pengamanan yang kuat. Hal ini diwariskan melalui era Suharto yang
memerintah secara militer. Sehingga, sebenanya keberadaan PMSC tidak diperlukan. Namun
beberapa kejadian dalam negeri membuat permintaan rakyat kepada PMSC sangat tinggi.
Kejadian itu adalah tumbangnya Suharto pada Mei 198 disambung dengan ketidakpercayaan
rakyat terhadap aparat keamanan, desentralisasi kepada pemerintah lokal, dan pemisahan
antara polisi dengan ABRI.” Turunnya wewenang polisi untuk

-melindungi masyarakat membuat rakyat banyak menyewa PMSC untuk melindungi mereka
ke bank, kantor atau sekolah. Hal ini terus berkembang sampai PMSC dikabarkan ada di
Pelabuhan Belawan untuk melindungi pabrik-pabrik ekstraksi di Aceh. Mereka adalah
pensiunan militer dan kebanyakan bukan orang Indonesia. .

Hal-hal yang menyangkut masalah tindakan penyuapan juga sering terjadi. Aparat negaralah
yang kebanyakan bertindak ilegal seperti ini. Agar PMSC dapat berlayar di perairan negara
yang menentang keberadaan PMSC, yaitu Malaysia dan Indonesia, mereka melakukan
kesepakatan dengan petugas pelabuhan dan petugas patroli pantai. Contohnya adalah PP yang
sebagian besar anggotanya berasal dari pensiunan TNI. Track record yang mereka miliki
membuat mereka berhasil membuat kesepakatan dengan petugas pelabuhan Belawan
mengenai beroperasinya mereka untuk menjaga kapal-kapal yang menyewa jasa keamanan
saat melewati pelabuhan ini yang tempatnya memang berada di ujung Selat Malaka. Hal-hal
seperti ini memang bertujuan pada pemasukan uang kedua belah pihak. Hukum mengenai
kontrol penggunan senjata atau pemeriksaan dokumen PMSC pun tidak akan dijalankan. Tak
jarang pula, disana ada atmosfir persaingan antara PP dengan Sciascia'8 mengenai siapa yang
berhak mengamankan kapal hari itu.

3. Malaysia

Sementara itu, Malaysia memiliki Private Agencies Act of 1971. Hukum ini mengatur
mengenai individu atau organisasi yang terlibat dalam penyediaan jasa pengamanan orang
dan properti. Meskipun tidak seketat Singapura, namun semua pelatihan yang harus mereka
jalankan dikontrol oleh kepolisian negara. Mereka mengkhawatirkan izin penggunaan senjata
pada private citizen dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan dalam menjalankan
tugasnya, seperti melukai orang yang tak bersalah, contoh

-hya adalah nelayan atau awak kapal lain."' Selain itu, PMSC yang belum terlalu dikenal
kerap melakukan kesalahan seperti ketidak. sesuaian presentasi di website dengan kenyataan
(kurangny, personel dan terbatasnya fasilitas).

Dan seperti Indonesia, PMSC memanfaatkan kelemahan dan kelalaian pemerintah dalam
mengontrol wilayah laut dan garis pantai Malaysia yang lumayan panjang. Belum lagi,
Malaysia, dekat dengan Singapura yang banyak dijadikan markas PMsc Sehingga PMSC
masih banyak berkeliaran di Selat Malaka wilayah Malaysia. Osnin menyarankan bahwa
daripada bekerjasama de. ngan PMSC dengan alasan keamanan liberalisasi perdagangan
bebas, seharusnya Malaysia melakukan pelarangan total pada PMSC namun juga disertai oleh
kinerja pemerintah untuk memusnahkan akar masalah perompakan, sehingga kedaulatan
Malaysia akan tetap tangguh dan tidak memberikan oknum lain kesempatan untuk
memasukinya.?

Menurut Liss, seharusnya negara pantai bisa mengatur sendiri berbagai ketidakcocokan yang
ada dalam wilayah Selat Malaka. Karena, bila tidak segera ditangani lebih lanjut, secara tidak
langsung, keberadaan PMSC dapat mempengaruhi kinerja pemerintah lokal maupun secara
trilateral dalam mengamankan sendiri wilayah maritim mereka. Keberadaan PMSC yang
tidak terbendung ini dapat mereduksi kedaulatan suatu negara, karena ku rangnya kontrol
negara terhadap organisasi-organisasi ini. Hukum yang sering terkait dengan PMSC adalah
mengenai kepemilikan senjata dan frack record para personel keamanan. Menurutnya, hal ini
sangat krusial karena PMSC memiliki dua pengaruh di Selat Malaka.M Pertama, laporan
perencanaan operasi dan perkiraan

-Singapura yang memiliki standar tinggi karena perekono-miannya yang meningkat memiliki
alasan untuk menambah per-lindungan keamanan bagi kapal-kapal yang melewati wilayah
perairannya. Karena tidak adanya jalan keluar yang jelas, maka Singapura dengan mudah
mengambil sikap yang berbeda dengan kedua negara tetangganya, yang menghambat
pembentukan SOP dan membuat kinerja MSP tidak efektif.

'De-Bounded' Risk And Risk Governance: Masalah Internal MSP dan ASEAN

Diambil dari pemikiran sosiologis Ulrich Beck dan Anthony Giddens, 'de-bounded' risk
adalah resiko yang tidak dibatasi oleh batas-batas politik atau kalkulasi jangka waktu,
kemungkinan-nya kecil, namun berpotensi untuk menjadi bencana. Manajemen resiko yang
harus dilakukan adalah bukan dengan mengatur resiko (governing the risk) tapi lebih kepada
mengatur problem sosial melalui resiko (governing social problems through risk). Intinya
adalah bagaimana pemerintah menyelaraskan sikap dalam menyelesaikan tiap masalah, baik
itu masalah nasional ataupun yang menyangkut dua atau tiga negara sekaligus, yang bila
dibiarkan, dapat berpotensi menjadi bencana.

Sebelumnya, peraturan mengenai perjalanan kapal disusun oleh organisasi internasional


bawahan PBB, yaitu IMO. Namun nyatanya, hukum IMO sendiri tidak kuat dalam mengatur
ketiga negara pantai.

Ada peraturan yang berupa International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang
dikeluarkan IMO pada 2004. Dalam peraturan ini, pemerintah harus bekerjasama dengan
otoritas pelabuhan nasional dan perusahaan kapal yang melintas untuk melindungi perjalanan
mereka. Terkait dengan bab sebe

-lumnya, kelemahannya adalah bahwa kinerja dari tiap pemer tidak sama. Standar keamanan
nasional di tiap negara berbes misalnya seperti pengaturan kontrol senjata. Karena dalam
sendiri tidak dicantukan standar keamanan yang harus di

oleh suatu negara pantai. Kelengkapan dokumen kapal, ke


data awak kapal memang dipertanyakan, namun kapabilitas say negara mungkin tidak
mencukup standar keamanan negara ay kapal sehingga terkadang para nahkoda tidak ingin
terlibat denga regulasi birokrat yang rumit namun sia-sia. Kekurangannya lagi tidak semua
kapal bisa mendapat pengamanan ini. kapal sepery fishing vessels, high speed container
vessels, inter-island ferries, day kapal kargo yang kurang dari 500 ton, tidak mendapatkan
153 Code. Padahal kapal-kapal kecil inilah yang rawan untk dirompak karena tidak memiliki
awak dan perlengkapan keaman. an selengkap kapal-kapal besar. Dan kapal-kapal ini juga
seringnya tidak mampu untuk menyewa PMSC atau mengasuransikn kapalnya karena
biayanya yang sangat mahal.

Sinergisitas ketiga negara sudah tidak terlihat dalam menyi kapi hukum internasional.
Ditambah lagi, adanya masalah yang sedang terjadi di kalangan ASEAN sendiri. Ketiga
negara pantai yang sedang berjuang untuk membina hubungan baik, rupanya memang tidak
selalu selaras dalam berpikir dan bertindak. Sikap Malaysia dan Indonesia cenderung berbeda
dengan Singapur. Singapura yang selalu bersikap terbuka terhadap kekuatan asing cenderung
menjadi satu-satunya negara yang bersikap tidak sama dengan negara pantai lainnya.

Singapura pernah menyatakan sikap untuk mengkomersilkan Selat Malaka. Sesuai Konvensi
Hukum Laut PBB (UNCLOS 182) Selat Malaka dan Selat Singapura berada di wilayah laut
ketig negara pantai serta ZEE Indonesia dan Malaysia dan digunakm untuk pelayaran
Internasional. Singapura mengusulkan agar peng

-A. Kurangnya Sinergitas dan Kapabilitas Antara TNI AL dengan Ditpolair

Indonesia sebenarnya mendapat sorotan karena kawasan perairannya adalah yang paling
sering diserang oleh perompak, dari tahun ke tahun.!# Diharapkan Indonesia meningkatkan
pengeluaran militernya sampai 2018, namun kenaikan itu menurun: setelah naik 3470 pada
tahun 2011, hanya 16”6 di tahun 2012, dan kemudian menjadi 776 di tahun 2013.85 Untuk
menunjukkan keseriusannya, Indonesia memiliki berbagai usaha dalam mengamankan Selat
Malaka. Contohnya adalah Integrated Maritime Security System (IMSS) yang merupakan
pendekatan terpadu dalam sistem pengamanan di Selat Malaka dengan melibatkan beberapa
komponen seperti Mallaca Straits Identification System (MSIS), Mallaca Strait Coordinated
Patrol (MSCP), Coordinated Maritime Air Patrol Operation (CMAP), Integrated Maritime
Security System (IMSS), Hot Pursuit/Cross Pursuit Border, pertukaran informasi dan intelijen
dan kampanye informasi publik. Lebih lanjut Kasal mengungkapkan, TNI AL juga tengah
melakukan pemantauan sembilan titik di sepanjang Selat Malaka yang akan dijadikan lokasi
pemasangan radar navigasi. Pemasangan radar itu juga merupakan dukungan bagi
pengamanan udara di Selat Malaka.'s

-Kewenangan TNI AL tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam SE Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 1990 tentang Penyidik dalam Perairan Indonesia, Surat Jaksa Agung RI Nomor R-
671/F/F Py.4y 8/1989 tentang Penegasan Kewenangan Penyidik serta Ketentuan. ketentuan
Kewenangan Pemaksaan Pentaatan dalam UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan UU
Nomor 17 Tahun 1985, diatur dalam Pasal 29 (Kapal Perang), Pasal 73 (Penegakan Peraturan
Negara Pantai), Pasal 107 (Penyitaan Kapal Perompak), Pasal 110 (Hak Melakukan
Pemeriksaan), Pasal 111 (Pengejaran Seketika) dan Pasal 224 (Pemaksaan Penaatan)
UNCLOS 1982 yang pada intinya menunjukkan bahwa TNI AL (Kapal Perang) mempunyai
kewenangan untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut dalam rangka
mempertahankan keamanan dan kepentingan nasionalnya.'”

Masalah Indonesia dalam teknis pengerjaan MSP adalah bahwa TNI AL tidak melakukan
sinergisitas dengan petugas keamanan yang lain seperti Ditpolair. Massey pun mengatakan
dalam tulisannya bahwa Indonesia mengalami masalah pada command and control. Ada
sepuluh agensi keamanan yang ada di Indonesia, dan didominasi oleh TNI dan Polisi. Namun
tanggung jawab tersebut masih sangat tumpang tindih.!? Meskipun TNI AL berperan sebagai
petugas pengaman resmi MSP, namun secara hukum Kepolisian Indonesialah yang memiliki
wewenang untuk menegakkan hukum dengan melakukan penindakan terhadap pelaku
pembajakan. Hal ini tercantum dalam dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. Pol. : 21/ X/ 2011, tentang Organisasi Dan Tata Cara Kerja Satuan Organisasi
Pada Tingkat Kepolisian Negara Republik Indonesia di tingkat Mabes, dimana Ditpolair
adalah unsur pelaksana staf khusus

-oleh Direktur Jenderal APMM dengan pangkat setara J bintang 4 (empat). Adapun
kewenangan APMM adalah me penegakan hukum di wilayah maritim diatas 4 mil laut hinga
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Sinergitas diantara keduanya Sanga, diperlukan sebagai
kekuatan dalam menekan terjadinya ang, kejahatan pembajakan kapal.

Pada tahun 2014 sudah terjadi 8 (delapan kejadian) pembajak, an kapal di wilayah perbatasan
antara Malaysia dan Indonesia Dari ke delapan kejadian tersebut semua pelakunya melarikan
dir ke wilayah perairan Indonesia.!4 Karena kejadian tersebut pihak APMM mengirimkan
surat resmi ke Ditpolair untuk bantuan ker. jasama penanganan kasus pembajakan tersebut.
Dari sini, nyata bahwa pihak Malaysia masih memiliki ketidakpuasan terhadap kinerja
Ditpolair. Surat resmi tersebut adalah peringatan bahwa pihak Indonesia masih belum bisa
secara maksimal menjalankan tugasnya di perairan.

B. Tidak Adanya Perlindungan Bagi Kapal Kecil/Kapal Nelayan

Perlindungan bagi kapal-kapal kecil yang melintasi selat Malaka sangat kurang. Hal ini
terjadi karena data yang dihimpun oleh IMB didapat dari kapal-kapal berjenis kargo
berukuran yang besar yang secara umum memiliki perlengkapan navigasi maupun
komunikasi yang modern. Kapal-kapal tersebut merupakan kapa yang melintas dan sudah
terdaftar di IMO sehingga sangat mudah bagi mereka melakukan pelaporan kepada pihak
IMB.!8 Keamar an lebih dirasakan oleh kapal-kapal besar tersebut daripada kapal kapal kecil
karena adanya perkembangan teknologi yang bis mengenali dan mendeteksi kapal yang lewat
(ISPS Code). Dan jug pegara-negara pantai lebih mementingkan kapal-kapal besar ter sebut
karena tentunya kapal-kapal itu berasal dari negara-negar? jain yang menuju negara-negara
lain, menjaga keamanan peng guna asing tersebut berarti sama dengan memberikan bukti
bahws

-mereka berhasil dalam penjagaan di Selat Malaka. Sayangnya, hal ini berbeda situasinya
dengan kapal-kapal nelayan khususnya kapal nelayan lokal. Akhirnya, ada kecenderungan
para pelaku mengalihkan sasarannya kepada kapal nelayan lokal yang memang tidak
memiliki sistem keamanan seperti yang dimiliki oleh kapal-kapal besar.
Liss menyatakan bahwa perompakan yang terjadi di Asia cenderung menggunakan cara yang
sederhana, yaitu hit and run robberies. Cara ini memakan waktu yang cepat, yaitu hanya
sekitar 15-30 menit, dengan perencanaan minimum namun terorganisir. Bila perompak
sampai melakukan perkelahian fisik dengan kru kapal, makan perompakan sederhana ini akan
meningkatkan menjadi perompakan dengan cara kekerasan. Mereka hanya menyerang kapal
kecil untuk diambil barang-barang, tangkapan dan bahan bakarnya. Cara yang kedua
dilakukan oleh perompak yang pada organisasi yang lebih tinggi dan modern. Mereka mulai
membentuk geng perompak, atau sindikat, dan menyerang kapal yang lebih besar seperti
kapal kargo dan tanker. Sindikat ini bisa bekerja sama secara permanen dan dalam waktu
yang lama, Biasanya mereka menyandera kru kapal dengan waktu yang terbatas untuk
ditukar dengan sejumlah besar uang kepada perusahaan kargo yang dibawa. Bila sudah
diterima, kapal yang dibajak akan dikembalikan dengan diam, sehingga sering juga disebut
phantom ship. Yang terjadi di Selat Malaka bisa keduanya. Saat targetnya adalah nelayan
lokal, perompakan menggunakan cara yang pertama, dan apabila sasarannya adalah kapal
besar, perompakan menggunakan cara kedua. Namun tidak jarang juga nelayan lokal
mengalami cara yang kedua dengan mengancam pemilik kapalnya.

Alasan lain pembajakan yang terjadi sering mengenai nelayan lokal adalah karena pelaku
lebih gampang untuk menguangkan barang rampasannya ke dalam pasar. Benda-benda yang
berasal dari kapal besar pasti akan terdeteksi oleh penjaga hukum daerah

-setempat dan penangkapan pasti akan segera dilakukan, dan ini berbeda bilamana yang
menjadi sasaran adalah kapal nelayay lokal. barang-barang yang biasa dibajak adalah ikan,
alat komy, nikasi (HP, marine radio), alat navigasi (GPS), Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis
solar. Mengingat barang-barang tersebut merupaka barang yang mudah dijual dan banyak
orang yang mencarinya maka kesempatan untuk tertangkap sangatlah kecil. Disamping it,
kapal-kapal berukuran besar bersifat sementara keberadaannya dj wilayah tersebut, hanya
sekedar melintas. Namun hal ini sanga berbeda dengan kapal nelayan yang memang secara
rutin melakukan penangkapan ikan di wilayah tersebut, mengingat wilayah Selat Malaka
tidaklah jauh dari tempat tinggal mayoritas para nelayannya dan juga memiliki sumber daya
per-ikanan yang cukup bagus.

Sebenarnya, terdapat permasalahan yang ditemukan akibat ketentuan tersebut dan


dimanfaatkan oleh oknum-oknum petugas tidak bertanggungjawab dengan tujuan
mendapatkan keuntungan, sehingga tidak jarang para nelayan termasuk para pengusaha
perikanan yang kapalnya beroperasi di wilayah tersebut mengeluarkan sejumlah uang untuk
membebaskan kapalnya dari pengaruh para oknum petugas nakal tersebut.”

C. Faktor Kemiskinan yang Belum Tuntas

Yang juga harus diperhatikan adalah faktor dasar yang menyebabkan perompak terus
menerus ada. Faktor ini adalah faktor kemiskinan dari komunitas yang tinggal di sepanjang
wilayah pantai. Seperti yang telah diterangkan di Bab I, sebagian besar dari mereka adalah
orang yang berpendidikan rendah, tidak punya kesempatan kerja yang tinggi, dan adanya
illegal overfishing yang membuat nelayan kehilangan tangkapannya, membuat mereka tidak
punya pilihan cepat untuk mendapatkan uang selai dengan terlibat tindakan kriminal.
Perompakan juga menular karena cara ini, yaitu mencuri, adalah cara tercepat untuk bertahan
-hidup. Tidak hanya untuk bertahan hidup secara pribadi, pars organisasi teroris juga
melakukan hal yang sama untuk memenuhi kebutuhan kelompok mereka. dengan kata lain,
walaupun para perompak melakukan aksinya di daerah maritim, namun akar dari konflik ini
terletak di daratan. Selain daratan tidak memberi mereka banyak kesempatan, daratan pulalah
yang menjadi tempat mereka menjual hasil rompakannya, dan juga tempat mereka mencudi
uang. Tidak jarang para oknum pemerintah juga ikut dalam tindakan tercela ini. Saat
Malaysia dan Singapura dapat membuktikan secara ekonomi melalui tingkat pengangguran
dan korupsi yang lebih rendah, Indonesia masih merangkak guna mencapai tahap seperti
negara tetangganya. Indonesia belum bisa menjamin kesejahteraan para nelayan, penegakan
hukum, dan kebersihan lingkungan pemerintah/transparansi, sehingga secara tidak langsung
berpengaruh dengan ramainya perompakan yang berasal dari, ataupun hanya bersembunyi di
Indonesia. MSP, bisa memberantas akibat yang terjadi di laut, Ditpolair, bisa melacak pelaku
kriminalnya sampai ke darat, namun hal tersebut akan terjadi terus menerus tanpa bisa
berhenti apabila sumber dari segala permasalahan ini belum ada jalan keluarnya, yaitu
kemiskinan. Singapura, selalu memberikan inisiatif berbau ekonomi yang selalu ditolak oleh
negara pantai lainnya, karena Singapura hanya mementingkan perekonomian yang maju dan
negara lainnya memikirkan masalah kedaulatan. Berbagai masalah intelijen juga terjadi
karena ketidakterbukaan negara dalam memberikan informasi. Selain itu, masalah teknis dan
masalah bilateral antar negara juga belum tuntas. Disamping, ada masalah nasional salah satu
negara berpengaruh seperti Indonesia yang belum menyelesaikan masalah kemiskinan serta
belum meningkatkan teknologi militernya. Melihat berbagai kompleksitas masalah diatas,
negara-negara pantai cenderung dengan kokoh mempertahankan apa yang menjadi prinsip
negaranya: Indonesia dan Malaysia dengan kedaulatannya, sementara Singapura dengan
prinsip-prinsip ekonomi yang

-mengusung liberalisasi perdagangan. Ketiadaan jalan keluar yang pasti kembali


mengingatkan kita pada teori regulatory regionalism yang hanya bekerja dalam tataran
normatif. Sehingga, sebuah kon. Oik saja, yang tidak dapat diselesaikan negara anggota
regio. nalisme itu akan berdampak buruk pada keharmonisan antar negara yang diharapkan
oleh Jayasuriya. Bagaimana tidak, jika jalan keluar tidak dijelaskan, maka negara-negara
pantai dengan mudah akan membiarkan perbedaan sikap terus menerus dilakukan. Maka
MSP tidak akan efektif dalam mengatasi perompakan di Selat Malaka.

Kesimpulan

Kerjasama regional harus dilakukan untuk menyetarakan perbedaan kebiasaan, tingkah laku,
dan kepentingan diatas satu tujuan. Indonesia, Malaysia dan Singapura mencoba untuk
menekan kepentingan pribadinya untuk menjalin kerjasama regional dalam melindungi Selat
Malaka dari bahaya perompakan melalui MSP. Saat hal ini dikemukakan, MSP merupakan
ide yang amat baik untuk meredakan tensi yang terjadi antara negara pantai: melupakan
kepentingan pribadi demi tujuan bersama. Namun kenyataannya tidak mudah melakukan apa
yang harus dilakukan demi mencapai tujuan awal dibentuknya MSP yaitu kooperasi bersama
untuk memastikan keamanan dan keselamatan para pengguna Selat Malaka. Secara
kooperatif, oleh ASEAN, Selat Malaka harus dijaga keamanan navigasi, dari kerusakan
lingkungan, dan keselamat kru kapal beserta barang muatannya.
Penulis belum bisa mengatakan bahwa kinerja MSP gagal karena kegiatan ini masih
berlangsung sampai sekarang. Namun, penulis dapat mengatakan bahwa hipotesis awal telah
terkonfirmasi. Yaitu bahwa dari tihun 2011-2014, kinerja MSP terbilang fidak efektif karena
ada banyaknya faktor penghambat dan kendala, dari yang baru terjadi, sampai masalah lama
yang memang belum terselesaikan. Kerangka regulato: regionalism

-membantu penulis untuk dapat menganalisa keefektifan kinerjs MSP ini selama tahun yang
bersangkutan. Kerangka ini dapat membantu penulis untuk mencari bukti ilmiah dalam
membutikan hipotesa awal, yaitu bahwa ketidakefektifan kinerja Malacca Strait Patrols
(MSP) pada tahun 2011-2014 adalah karena adanya hambatan dalam state transformation
masing-masing negara dalam bekerjasama di Malacca Strait Patrols. Pertama, disebabkan
oleh adanya hambatan dalam melaksanakan fungsi meta governance yaitu masing-masing
negara untuk meletakkan prosedur regulasi yang menggabungkan aktor-aktor non-
pemerintahan, seperti organisasi internasional (ASEAN), atau external powers. Kedua,
hambatan dalam melaksanakan functional spesialisation yaitu dalam memfungsikan jaringan
intergovermental yang menjangkau spesialis publik (PMSCs). Terakhir, adanya hambatan
dalam melaksanakan de-bounded"” risk and regional risk management yaitu mengenai
membangun kuasa politik yang membingkai manajemen resiko (masalah bilateral antar
negara).

Tidak hanya itu, penulis juga mengkonfirmasi tentang kelemahan dari regulatory regionalism
yang telah disebutkan oleh Kanishka Jayasuriya. Regulatory regionalism menekankan kepada
pembentukan standar operasional regulasi yang sama di tiap negara dalam konteks regional.
Namun bila ditengah-tengah usaha penyatuan tersebut ada konflik, Jayasuriya tidak
memberikan jalan keluarnya. Setiap ASEAN akhirnya tidak mau meleburkan diri ke dalam
standar internasional, namun tetap kukuh dalam menjaga prinsip mereka, sehingga sering ada
ketidaksepakatan dalam MSP. Sayangnya kuantitas ketidaksepakatan itu yang terjadi hampir
setiap hari, dalam masalah menyambut kekuatan asing: dalam masalah memperlakukan
PMSC, juga dalam mengatasi konflik bilateral, sehingga sulit menemukan titik temu antar
ketiga negara tersebut.

Dari analisis yang telah dipaparkan melalui bab I sampai lengan IV, penulis dapat
memberikan kesimpulan sebagai

-konfirmasi hipotesis sebagai berikut. Pertama, disini penulis bi, berkesimpulan bahwa
kerjasama meta-governance yang harumy dilakukan secara harmonis oleh ketiga negara,
masih terhamby kinerjanya. Alasannya adalah, negara pantai tidak menyikapiny, Secara
serentak, mereka memiliki banyak perbedaan dalan keterbukaan terhadap kekuatan asing
tersebut. Sebenarnya meng, tahui bahwa banyak kekuatan asing yang hendak turut campy,
namun mereka memilih untuk melakukan hal yang mengun. tungkan mereka saja. Indonesia,
yang menolak adanya kedaulatan lain merenggut wilayahnya, hanya menerima bantuan non-
militer Seperti dana dan pelatihan. Malaysia bersikap sama, namun dalam hal ini ia tidak bisa
mengabaikan bahwa dirinya adalah anggoh FPDA. Sementara itu, Singapura, yang dari awal
tidak setuju adanya isolasi terhadap kekuatan asing, tetap meneruskan perbuatannya itu
dengan menerima bantuan militer dari AS, bahkan memberinya sebuah pangkalan militer.
Selain itu, ia juga adalah anggota aktif dalam FPDA. Ia juga adalah satu-satunya negara
pantai yang ikut dalam ReCAAP dan menjadikan negaranya sebagai markas, sehingga
banyak bantuan yang masuk ke dalam negara ini. Hal-hal seperti ini menjadikan kerjasama
antar negara menjadi terhambat, karena perbedaan sikap ini membuat tisp negara memiliki
konsentrasi yang berbeda untuk menjalankan kepentingan dan membuat hukum di
wilayahnya. Darisini, lackf trust mulai terjadi, terlebih karena Singapura bersikap sangit
berbeda daripada negara tetangganya tersebut.

Kedua, adalah sikap yang berbeda pula dalam menyikapi jaringan intergovermental atau
spesialis publik, yang dalam halini, penulis mengangkat PMSC. Malaysia dan Indonesia
melarang adanya PMSC di daerahnya untuk mencegah adanya reduksi kedaulatan, karena
adanya PMSC dapat bertumpang tindih (gan kinerja aparat keamanan nasional. Namun,
kembah Singapura bersikap sangat berbeda. Wajatipun denomm prosedut pengamanan yang
sangat ketat mengenai aokumen, track record

-penitas dan penggunaan senjata, Singapura menerima banyak (MSC untuk mengamankan
kapal-kapal asing yang hendak atau plang mampir ke negaranya dan hendak berlabuh
kembali, fihkan, tidak sedikit pula yang bermarkas disana. Singapura, lagipsi tidak bersikap
sama dengan negara tetangganya. Adanya hktor ekonomi yaitu banyaknya kapal yang
berlabuh disana paripada di negara tetangganya adalah penyebabnya. Singapura pein menjaga
ketenangan para pengguna Selat Malaka yang pkadang memesan PMSC sebagai standar
prosedur asuransi jepal dari negara asalnya, agar mereka dapat secara nyaman dan kluasa
melewati pelabuhan Singapura.

Ketiga, negara-negara pantai juga belum lancar dalam menghadapi 'de-bounded' risk. Melalui
dari standar hukum mereka yang tdak sama dalam menghadapi peraturan dari IMO,
permintaan Singapura untuk membuat Selat Malaka menajdi jasa bisnis pengamanan,
permintaan Singapura untuk memperlebar pengmwasan MSP ke arah Laut Cina Selatan, dan
perselisihan implisit terhadap burden sharing. Kemudian, walaupun MSP sudah sering
menunjukkan kekuatan teknologinya, yang ditunjukkan melalui pagelaran militer, namun
masih banyak kendala teknis yang ada. Adanya ketidakefektifan dalam menjalankan prosedur
pengamanan EiS, dimana teknologi ini harus dilakukan dengan wakil dari empat negara
(termasuk Thailand). Adanya ketidakhadiran satu awak, bisa membuat EiS tidak bisa
beroperasi. Lalu, patroli pengamanannya juga terbatas hanya mencapai tiga mil laut dari
pantai tiap-tiap negara. Hal ini membuat penjahat yang dapat melarikan diri lebih jauh dari
tiga mil menuju daratan akan sulit untuk dideteksi. Selain itu, prosedur pengerjaan MSP yang
berbelit, yang harus menunggu perintah dari atasan sebelum pelaksanaan penagkapan
perompak, juga menjadikannya lambat dalam beraksi. Atasan tersebut setidaknya juga harus
menunggu kesepakatan dengan atasan dari negara pantai lain sebelum mengkomandokannya
keapda awak yang sedang bertugas. Lagi,

-ketidaksejajaran perkembangan teknologi militer di tiap negar, juga menjadi salah satu
masalah. Indonesia sedang menghadap keterbatasan teknologi militer dan pemerintah seakan
tidak terlaly memperhatikan keberadaan MSP karena lebih memperhatika bidang maritim
lainnya. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak mampu secara maksimal membantu
penangkapan perompakay yang hendak merampas barang atau menyedot minyak dari kapal.
kapal pengguna. Kemudian, masalah-masalah internal negarg Sendiri juga menimbulkan lack
of trust dari sesama intelejen dan aparat hukum, seperti masalah sosial, perdagangan,
terorisme, ekstradisi, reklamasi, maupun yang pasti, masalah perbatasan. Dari sekian banyak
kendala, Indonesialah yang paling disorot mengenai kinerja keamanannya. Indonesia
memiliki lembaga hukum yang bekerja secara tumpang tindih. Dalam kasus Selat Malaka,
lembaga yang tumpang tindih tersebut adalah TNI AL, dan Ditpolair Polri. Mereka bersaing
secara halus untuk mendapatkan dana yang lebih dari pemerintah, dan saling mengklaim
bahwa lembaganya adalah lembaga yang bekerja paling efektif. Saat TNI AL hanya bisa
menjangkau laut dan sekitarnya, Ditpolair bisa menangkap beberapa kriminal yang sudah
melarikan diri ke daratan. Tumpang tindih ini membuat kinerja keamanan nasional sendiri
tidak efektif. Ditpolair sendiri juga mengharapkan bantuan lebih dari pemerintah agar
kinerjanya lebih efektif, agar bisa menangkap para perompak yang Jari ke wilayah daratan
Indonesia. Karena selama ini, wilayah Indonesia dijadikan wilayah favorit para perompak
untuk melarikan diri karena kurangnya pengawasan, sampai adanya keluhan dari petugas
pemerintah dari Malaysia, yaitu MMEA. Terakhir dan yang paling penting, akar
permasalahan dari adanya perompakan adalah kemiskinan dan korupsi. Indonesia secara
ekonomi dat f paransi hukum adalah yang paling rendah dari kedua negar? tetangganya.
Padahal, sumber perompakan datangnya dri nel .yan-nelayan di sepanjang garis pantai timur
Sumatera yang

-menganggur karena pendidikan yang rendah dan kesempatan kerja yang kalah saing,
sehingga mereka memilih menjadi perompak untuk secara instan memenuhi kebutuhan
sehari-hari mereka. Masalah ini belum juga dipecahkan oleh pemerintah Indonesia sampai
sekarang.

Davis menyatakan bahwa masalah internal-regional memang butuh segera diselesaikan.


Tetapi, sebenarnya yang harus segera diselesaikan adalah masalah internal-nasional negara
itu sendiri. Ketidakstabilan suatu negara tentunya akan berdampak bagi negara lain, apalagi
mereka yang sudah bergandengan membentuk kerjasama regional. Indonesia adalah negara
yang harus sangat perhatian kepada kestabilan nasionalnya.'” Bila Indonesia sudah stabil,
terutama secara ekonomi, kesuksesan tiga negara pantai menjaga Selat Malaka akan sangat
terbantu.

Penulis merekomendasikan beberapa celah untuk dapat dijadikan penelitian yang selanjutnya.
Penulis mengkhususkan penelitian ini untuk memeriksa keefektifan kinerja MSP di Selat
Malaka pada tahun 2011-2014. Pada tahun-tahun selanjutnya, peneliti yang berikut mulai
dapat menganalisanya dari awal. Dengan kata lain, penelitian ini masih memiliki rentang
waktu yang panjang untuk dilanjutkan kembali, mengingat batasan waktunya yang hanya
lima tahun, dan sudah ada yang meneliti mengenai ini juga sebelum tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai