Anda di halaman 1dari 10

Nama : Anita Yuniati Sinaga

NIM : 1501116842
Mata Kuliah : Teori Pembangunan “B”
Dosen : Drs. Erman, M.Si Kamis, 07 Desember 2017
TUGAS MERESUME BUKU PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN

Bab 2: Teori Modernisasi Klasik

Sejarah Lahirnya

Teori Modernisasi lahir dalam bentuknya yang sekarang ini, sebagai produk sejarah
tiga peristiwa dunia setelah masa Perang Dunia II. Pertama, munculnya Amerika Serikat
sebagai kekuatan dominan. Kedua, pada saat yang hampir bersamaan, terjadi perluasan gerakan
komunis sedunia. Uni Soviet mampu memperluas pengaruh politiknya tidak saja sampai di
Eropa Timur, tetapi juga sampai di Asia, antara lain di Cina dan Korea. Ketiga, lahirnya negara-
negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan daerah
jajahan negara-negara Eropa.

Warisan Pemikiran

Teori Evolusi

Teori Evolusi lahir pada awal abad ke-19 sesaat sesudah Revolusi Industri dan Revolusi
Prancis yang merupakan dua revolusi yang tidak sekedar menghancurkan tatanan lama, tetapi
juga membentuk acuan dasar baru. Revolusi Industri menciptakan dasar-dasar ekspansi
ekonomi. Dengan dilandasi semangat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dirumuskan
tata cara baru produksi barang yang efisien, yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan
produktivitas dan perluasan pasar dunia. Pada garis besarnya, teori evolusi menggambarkan
perkembangan masyarakat sebagai berikut. Pertama, teori evolusi menganggap bahwa
perubahan sosial merupakan gerakan sejarah seperti garis lurus. Kedua, teori evolusi
membaurkan antara pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial.

Teori Fungsionalisme

Pemikiran Talcott Parsons, ketika pernah sebagai ahli biologi, banyak pengaruh dengan
rumusan teori fungsionalismenya. Baginya, masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ
tubuh manusia, dan oleh karena itu masyarakat manusia dapat juga dipelajari seperti
mempelajari tubuh manusia. Pertama, seperti struktur tubuh manusia yang memiliki berbagai

1
bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Masyarakat juga berbagai kelembagaan yang
saling terkait satu sama lain. Kedua, karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang
jelas dan khas, maka demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat.

Smelser: Diferensiasi Struktural

Dalam perumusan Tesisnya, Smelser mengajukan beberapa pertanyaan pokok berikut


ini. Apa pengertian modernisasi? Bagaimana modernisasi terjadi dan apa perbedaan
masyarakat tradisional dan modern? Bagaimana prospek modernisasi negara Dunia Ketiga?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Smelser menggunakan konsep diferensiasi
strurtural, karena dengan proses moderenisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat yang
menjalankan berbagai fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu
fungsi yang lebih khusus. Bangunan baru ini sebagai satu kesatuan yang terdiri dari berbagai
substruktur yang terkait menjalankan keseluruhan fungsi yang dilakukan oleh bangunan
struktur lama.

Rostow: Tahapan Pertumbuhan Ekonomi

Rostow merumuskan pemikiran pokoknya dalam karya klasiknya yang terkenal,


berjudul The Stages of Economic Growth. Rostow mengtakan, bahwa ada lima tahapan
pembangunan ekonomi, yaitu mulai dari tahap masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap
masyarakat dengan konsumsi massa tinggi. Di antara kedua kutub ini, rostow menguraikan
lebih jauh tahapan yang perlu dilalui, dan lebih khusus lagi dijelaskannya secara detail tahapan
yang dianggap kritis, yakni tahap tinggal landas. Rostow melihat pembangunan Dunia Ketiga
dengan menggunakan kiasan tersebut. Pertama, negara Dunia Ketiga ketika berada pada
tahapan tradisional mungkin hanya mengalami sedikit perubahan sosial. Kemudian perlahan-
lahan negara tersebut mulai mengalami perubahan. Bagi Rostow, perubahan ini masih
dianggap sebagai prakondisi untuk mencapai tahap berikutnya, yaitu lepas landas. Rostow
lebih jauh menyakatakan, bahwa jika satu negara hendak mencapai pertumbuhan ekonomi
yang otonom dan berkelanjutan, maka negara tersebut haruslah memiliki struktur ekonomi
tersentu yakni negara tersebut harus mampu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan
modaldan sumber daya alamnya sehingga mencapai tingkat investasi produktif sebesar 10%
dari pendapatan nasionalnya.

2
Coleman: Pembangunan Politik yang Berkeadilan

Pendekatan politik Coleman dalam menjelaskan pembangunan Dunia Ketiga mirip


dengan pendekatan sosiologis dari Smelser, karena keduanya memulai pembahasannya dengan
menggunakan konsep proses diferensiasi. Modernisasi politik, menurut Coleman, menunjuk
pada proses diferensiasi struktur politik dan sekularisasi budaya politik yang mengarah pada
etos keadilan; dengan bertujuan akhir pada penguatan kapasitas sistem politik

Asumsi Teoretis dan Metodologi

Para teoretisi perspektif modernisasi secara implisit membangun kerangka teori dan
tesisnya dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut. Pertama, modernisasi merupakan proses
bertahap. Masyarakat semula berada dalam tatanan yang primitif dan sederhana menuju dan
berakhir pada tatanan yang maju dan kompleks. Kedua, modernisasi juga dapat dikatakan
sebagai proses homogenisasi. Dalam hal ini, dengan modernisasi akan terbentuk berbagai
masyarakat dengan tendensi dan struktur serupa. Ketiga, modernisasi terkadang mewujud
dalam bentuk lahirnya, sebagai proses Eropanisasi atau Amerikanisasi, atau yang lebih dikenal
dengan istilah bahwa modernisasi sama dengan barat. Keempat, modernisasi juga dapat dilihat
sebagai proses yang tidak bergerak mundur. Proses modernisasi tidak bisa dihentikan, ketika
ia sudah mulai berjalan. Kelima, modernisasi merupakan perubahan progresif. Sekalipun akibat
samping maupun korban modernisasi beraneka macam dan terkadang berada diluar batas-batas
nilai kemanusiaan dan moral universal. Terakhir, modernisasi memerlukan waktu panjang,
modernisasi dilihat sebagai proses evolusioner, dan bukan perubahan revolusioner.

Modernisasi secara implisit juga mengandung berbagai asumsi berikut. Modernisasi


merupakan proses sistematik. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek
tingkah laku sosial, termasuk di dalamnya industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi,
sentralisasi dan sebagainya. Modernisasi diartikan sebagai proses transformasi. Dalam rangka
mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan
seperangkat struktur dan nilai-nilai modern. Modernisasi melibatkan proses yang terus-
menerus (immanent). Karena modernisasi bersifat sistemik dan transformatif, proses
modernisasi melibatkan perubahan sosial yang terus-menerus dalam sistem sosial.

Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan

Teori modernisasi mampu menurunkan berbagai implikasi kebijaksanaan


pembangunan yang perlu diikuti negara Dunia Ketiga dalam usaha memodernisasi dirinya.

3
Pertama, teori modernisasi membantu memberikan secara implisit pembenaran hubungan
kekuatan yang bertolak-belakang antara masyarakat “tradisional” dan “modern.” Kedua, teori
modernisasi menilai ideology komunisme sebagai ancaman pembangunan negara Dunia
Ketiga. Ketiga, teori modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan
asing, khususnya dari Amerika Serikat.

Bab 3: Hasil Kajian Teori Modernisasi

Lima kajian yang menggunakan pendekatan teori modernisasi klasik. Pertama, akan
disampaikan hasil penelitian McClelland tentang motivasi berprestasi. Kedua, akan disajikan
pembahasan kajian Inkeles disekitar tesis manusia modernnya. Ketiga, disajikan pengamatan
Sumawinata tentang kemungkinan dan kesiapan ekonomi Indonesia dalam mencapai tahap
lepas landas. Keempat, disajikan kajian sosiologi makro dari Bellah tentang agama Tokugawa
dan pembangunan di Jepang. Terakhir, disajikan hasil kajian Lipset tentang keterkaitan antara
pembangunan ekonomi dan pengembangan demokrasi politik.

McClelland: Motivasi Berprestasi

Kelompok masyarakat mana yang sesungguhnya bertanggung jawab terhadap proses


modernisasi negara-negara Dunia Ketiga. Bagi McClelland, kaum wiraswastawan
domestiklah, dan bukan para politikus atau para penasehat ahli yang didatangkan dari negara
maju, yang memegang peran kritis dan bertanggung jawab terhadap pencapaian kemajuan
negara Dunia Ketiga. McClelland menjelaskan, bahwa tujuan kegiatan para wiraswastawan
tersebut tidak hanya sekedar mencari dan mengumpulkan laba. Apa yang sesungguhnya ingin
dicapai oleh para wiraswastawan tersebut, adalah keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi
gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berpikir dan
berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya.
Inilah yang oleh McClelland disebut sebagai motivasi berprestasi atau juga sering disebut
sebagai kebutuhan berprestasi.

Inkeles: Manusia Modern

Inkeles memusatkan perhatiannya pada usaha untuk mencari jawab dari dua pertanyaan
pokok yang telah ia rumuskan; yakni, pertama, apa akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi
terhadap sikap, nilai, dan pandangan hidup seseorang; dan kedua, apakah negara Dunia Ketiga
akan memiliki sikap hidup yang lebih modern disbanding masa sebelumnya, jika negara Dunia

4
Ketiga tersebut berinteraksi dengan negara Barat yang telah memiliki sikap dan pandangan
hidup modern terlebih dahulu. Menurut Inkles, manusia modern akan memiliki berbagai
karakteristik pokok berikut ini:

 Terbuka terhadap pengalaman baru


 Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai
bentuk otoritas tradisional
 Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan
 Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan amnisi hidup yang tinggi
 Manusia modern memiliki rencana jangka panjang
 Manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik

Ciri-ciri tersebut oleh Inkeles difokuskan menjadi pertanyaan futuristik, yaitu apa yang
membuat manusia modern merumuskan faktor-faktor pokok yang mengakibatkan manusia
negara Dunia Ketiga mampu menyerap nilai dan pranata sosial modern. Dari pertanyaan itu
muncul pokok-pokok pikiran, yaitu pertama, bahwa pendidikan merupakan faktor yang
terpenting yang mencirikan manusia modern. Kedua, jenis pekerjaan yang diukur dari satuan
pekerjaan pabrik, memiliki pengaruh independen terhadap pembentukan nilai-nilai modern.

Sarbini Sumawinata: Lepas Landas Indonesia

Sumawinata memulai pengamatannya, dengan terlebih dahulu secara ringkas


mengingatkan tiga syarat mutlak yang menurut Rostow harus dipenuhi jika masyarakat hendak
mencapai tahap lepas landas pembangunan ekonominya. Pertama, untuk mencapai lepas
landas, ekonomi negara memerlukan tingkat investasi produktif paling tidak sebesar 10% dari
pendapatan nasional; kedua, pertumbuhan yang tinggi atas satu atau lebih cabang industry yang
sentral; dan ketiga, tumbuh dan berkembangnya kerangka sosial politik yang mampu menyerap
dinamika perubahan masyarakat. Menurut Sumawinata, pembahasan persoalan lepas landas ini
di Indonesia lebih memperhatikan pada syarat pertama, dibanding kedua syarat yang terakhir.
Paradoksnya, justru dua syarat terakhir, “syarat kedua dan ketiga merupakan syarat yang jauh
lebih penting dari pada syarat yang pertama.” Ini terjadi karena pada saat terjadi lepas landas
ekonomi, masyarakat akan banyak memikul beban dan tekanan yang berat, bahkan lebih dari
itu masyarakat mengalami plintiran-plintiran, tekukan-tekukan, sementara di saat yang sama
bangunan struktur penyangganya masih dalam proses untuk dibangun.

5
Robert N. Bellah: AgamaTokugawa

Hasil Kajian Bellah mencoba mengamati apa kaitan yang terjadi antara agama
Tokugawa dengan pembangunan ekonomi Jepang. Bellah tertarik untuk menguji ada tidaknya
keterlibatan agama dalam kasus Jepang ini.

Latar Belakang Teoretis

Bagi Weber, agama Protestan di Eropa membantu melahirkan dan melembagakan nilai-
nilai universalitas dan kebutuhan berprestasi. Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan gagasan
Bellah. Ia mencoba mencari dan menemukan ciri-ciri tersebut pada agama di Jepang yang
mungkin telah membantu terjadinya perubahan yang kritis dari nilai-nilai dan ajaran pokok
mereka.

Agama Jepang

Bellah membuat dua klasifikasi observasi. Pertama, sekalipun memang terdapat


banyak agama di Jepang, termasuk di dalamnya Konfusianisme, Budhisme, dan Shinto, ini
tidak kemudian berarti menghalangi untuk menganalisa atau mengkategorikan agama-agama
di Jepang tersebut sebagai satu entitas. Kedua, bahwa agama di Jepang mampu membentuk
nilai-nilai dasar masyarakat Jepang. Jika dilihat dari sejarahnya, agama di Jepang bermula
sebagai etika dari para pejuang samurai.

Pengaruh Agama

Bellah melihat adanya tiga karakteristik pokok ajaran dan tuntutan persyaratan etika
ini. Pertama, ajaran untuk bekerja secara tekun dan sungguh-sungguh. Kedua, ajaran untuk
memiliki sikap pertapa dan hemat dalam konsumsi barang. Ketiga, sekalipun pencarian
keuntungan secara tidak halal dilarang, namun usaha keras mengejar dan mengumpulkan
keuntungan yang diperoleh dari usaha-usaha yang normal diberikan dan disediakan
legitimasinya dalam ajaran agama melalui doktrin spirit Bodhisattava.

Pengaruh Agama Melalui Pranata Politik

Bellah menunjuk berbagai aturan yang dimiliki oleh Iwasi, samurai pendiri Mitsubishi
yang menggambarkan tentang adaptasi etika samurai pada wiraswastawan modern. Etika untuk
mengoperasikan semua bentuk usaha dengan memegang teguh janji demi kepentingan negara,
dan dengan tidak pernah melupakan spirit untuk melayani kepentingan umum. Juga
mengisyaratkan secara jelas untuk menjadi pekerja keras dan tangguh dengan tetap

6
memperhatikan kepentingan dan rasa hati orang lain. Yang tidak kalah penting, untuk bersikap
keras kepala ketika hendak membangun usaha baru, tetapi bersikap sebaliknya yakni tekun dan
hati-hati didalam pengelolaannya.

Pengaruh Agama Melalui Pranata Keluarga

Pemahaman tentang etika untuk mengabdi tanpa batas tidak hanya digunakan untuk
mengatur negara saja, tetapi juga untuk mengatur rumah tangga para pedagang. Seseorang
tidak boleh mengurangi dan atau menjatuhkan nama baik keluarga atau menghancurkan usaha
keluarga, karena ini akan menimbulkan rasa malu luar biasa bagi nenek moyangnya. Di Jepang,
dengan berpadunya Konfusianisme dan Budhisme menyebabkan tetap terjaganya etika
loyalitas dari para pejuang untuk menempatkan loyalitas terhadap negara pada posisi yang jauh
lebih tinggi disbanding loyalitas pada keluarga.

Jepang: Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi

Hasil Penemuan

Lipset menemukan kenyataan, bahwa negara dengan pemerintahan demokratis selalu


memiliki derajat pembangunan ekonomi yang lebih tinggi disbanding negara dengan
pemerintahan diktator. Semakin demokratis suatu negara, semakin tinggi rata-rata
kekayaannya, semaking tinggi derajat industrialisasi dan urbanisasinya, dan semakin tinggi
derajat pendidikan rakyatnya.

Penjelasan

Lipset menggunakan analisa stratifikasi untuk menjelaskan keterkaitan antara


pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pertama, lapisan masyarakat kelas bawah di negara-
negara miskin memiliki pengalaman yang lebih inferior disbanding lapisan masyarakat yang
sama di negara maju. Kedua, pembangunan ekonomi juga mempengaruhi tingkah laku politik
kelas menengah. Ketiga, tingkah laku politik kelas juga berkaitan dengan kemakmuran negara.
Bahwa “dimana saja jika industrialisasi telah berkembang secara pesat, sehingga
mempengaruhi hubungan perkembangan situasi sebelum masa industrialisasi dan sesudahnya,
maka bukan gerakan kelas pekerja yang lebih reformis yang akan lahir, tetapi justru yang
sebaliknya, yaitu gerakan kelas pekerja ektremis yang akan muncul.”

7
Teori Modernisasi Klasik

Keprihatinan Utama

Sekalipun lima hasil penelitian tersebut, yang dilakukan oleh berbagai ahli dari
berbagai disiplin ilmu sosial, disampaikan secara ringkas, namun penelitian-penelitian tersebut
memiliki keprihatinan utama yang serupa, yakni modernisasi. Penelitian tersebut berusaha
untuk menguji berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang bertanggung
jawab terhadap modernisasi di negara Dunia Ketiga, dan akibat-akibat yang mungkin timbul
dari modernisasi bagi masyarakat negara Dunia Ketiga tersebut.

Metode Kajian

Teori modernisasi sangat popular dan dikenal luas pada masa sesudah Perang Dunia II.
Oleh karena itu, tidak heran banyak pemerhati persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga
tertari dan menggunakan perangkat teori, kerangka analisa, dan metode penelitian dari teori
modernisasi ini. Namun demikian, sejak akhir tahun 1960-an, teori modernisasi mulai
menerima kritik, baik dari kalangan mereka sendiri maupun dari para pemerhati aliran
pemikiran Marxis.

Kritik Terhadap Teori Modernisasi

Gerak Pembangunan

Pertama, para akademisi ini menentang asumsi teori evolusi tentang gerak dan arah
perkembangan masyarakat. Mereka menyangsikan tentang alasan-alasan yang disampaikan
untuk menjelaskan mengapa negara Dunia Ketiga harus mengikuti arah pembangunan yang
pernah ditempuh oleh negara barat. Menurut pemberi kritik, kepercayaan akan superioritas
Barat ini merupakan gejala etnosentris. Kedua, pengkritik juga mengatakan, bahwa
kecenderungan untuk percaya pada gerak dan arah pembangunan yang searah ini telah
menjadikan teori modernisasi untuk mengabaiakan kemungkinan pencarian dan
pengembangan alternatif pembangunan negara Dunia Ketiga. Ketiga, pengkritik juga
menyatakan, bahwa para peneliti teori modernisasi klasik terlalu optimis. Peneliti ini sepertinya
menganggap, bahwa karena negara Barat mampu mencapai derajat pembangunan ekonomi
yang maju, maka dapat dipastikan bahwa negara Dunia Ketiga juga akan mampu mencapainya.

8
Nilai Tradisional

Pengkritik menyatakan keberatannya pada asumsi teori fungsionalisme, tentang


pertentangan antara tradisi dan modern. Pertama, menurut mereka, negara Dunia Ketiga
memiliki sistem nilai yang heterogen. Di negara Dunia Ketiga, misalnya, dapat dijumpai nilai
tradisional kebesaran yang dimiliki oleh para elite masyarakatnya, dan sekaligus juga nilai
tradisional kebanyakan yang dimiliki oleh massa rakyat banyak. Kedua, di satu pihak, menurut
pengkritik, dalam masyarakat tradisional juga terdapat nilai-nilai modern. Sebagai contoh, di
dalam masyarakat tradisional Cina yang memberikan nilai penting pada status warisan dan
bawaan, di saat yang sama juga memberikan nilai penting pada sistem ujian yang tidak
mengenal hubungan pribadi dan juga menekankan pentingnya kebutuhan prestasi. Ketiga,
menanyakan apakah sesungguhnya nilai tradisional selalu menghambat modernisasi? Bagi
pengkritik, terkadang nilai-nilai tradisional sangat membantu dalam upaya modernisasi.
Sekedar contoh, dalam proses modernisasi Jepang, nilai tradisional seperti “loyalitas tanpa
batas pada kaisar” akan dengan mudah untuk diubah menjadi “loyalitas tanpa batas pada
perusahaan.” Terakhir, pengkritik meragukan tentang kemampuan proses modernisasi untuk
secara total menghapuskan nilai tradisional. Untuk pengkritik dengan jelas menyatakan, bahwa
nilai tradisional memang masih akan selalu hadir ditengah proses modernisasi.

Metode Kajian

Para pengkritik beranggapan, bahwa peneliti yang menggunakan teori modernisasi


klasik memiliki kecenderungan untuk melakukan analisa yang abstrak, tidak jelas periode
sejarah dan wilayah negara mana yang dimaksud. Pemerhati teori modernisasi klasik tidak
memiliki batas ruang dan waktu dalam analisanya. Misalnya ketika pemerhati teori ini
menjelaskan tentang variabel kebakuan, tidak jelas negara mana yang dibahas dalam teori
tersebut. Teori ini juga tidak jelas untuk periode sejarah kapan satu bahasan tertentu ditujukan.
Di samping kritik akademis yang telah diuraikan, teori modernisasi klasik juga menerima kritik
politik dari pemerhati Neo-Marxisme.

Kritik Ideologis

Dari sudut pandang neo-Marxis, teori modernisasi tidak lebih hanya dilihat sebagai
ideologi perang dingin yang digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika
Serikat terhadap kepentingan negara Dunia Ketiga. Menurut Bodenheimer telah lahir rumusan
teori yang salah tentang arah dan watak perubahan sosial yang incremental dan terus-menerus,
serta stabil dan terarah. Disamping itu, juga telah lahir asumsi yang salah dalam ilmu sosial

9
tentang keharusan difusi pembangunan dari Barat ke Dunia Ketiga; dan yang tidak kalah
pentingnya, menurut Bodenheimer, semua itu telah mengakibatkan, di satu pihak, menurunnya
ideologi revolusioner, dan di lain pihak berkembangnya pola pikir pragmatis dan ilmiah.

Dominasi Asing

Teori modernisasi juga menerima kritik tentang keterlupaannya memperhatikan unsur


dominasi asing dalam kerangka teorinya. Karena fokus analisanya yang lebih memperhatikan
variabel intern, seperti nilai-nilai tradisional dan kurangnya investasi produktif, akibatnya
pemerhati teori modernisasi hanya sedikit sekali memberikan perhatian pada dinamika
eksternal, seperti misalnya kolonialisme, perusahaan multinasional, ketidakseimbangan nilai
tukar perdagangan, dan ciri-ciri sistem internasional. Oleh karena itu, pemerhati neo-Marxis
menyatakan, bahwa pemerhati teori modernisasi secara sembarangan telah begitu saja
meninggalkan faktor dominasi asing yang merupakan salah satu faktor pokok yang
mempengaruhi perjalanan pembangunan Dunia Ketiga.

Nampaknya ketika masih pada masa hangat-hangatnya perdebatan teoretis di akhir


tahun 1960-an, teori modernisasi hanya sedikit memberikan perhatian dan tanggapan terhadap
kritik yang diterima. Namun demikian, setelah masa tegang ini berlalu, sejak tahun 1970-an,
teori modernisasi secara sungguh-sungguh memberikan tanggapan, bahkan perbaikan terhadap
kerangka teorinya. Dengan mendasarkan diri pada kerangka teori yang telah mengalami
perubahan ini, para pemerhati teori modernisasi mulai merumuskan pertanyaan penelitian baru
dan mengkajinya yang disebut sebagai hasil kajian baru teori modernisasi.

10

Anda mungkin juga menyukai