Anda di halaman 1dari 6

NILAI-NILAI KETELADANAN DARI BUNG HATTA

1. Gemar Membaca Buku


Saat berkuliah di Belanda, Hatta melahap entah berapa ratus buku di took buku de
Westerboekhandel dan perpustakaan kampus. Kecintaanya pada buku ini juga dibuktikan
saat ia di asingkan ke Digul atau Tanah merah. Hatta membawa 16 Peti buku ikut
dengannya.
2. Mandiri (Tidak Suka Merepotkan Orang Lain)
Memasuki tahun 1979, ketika Hatta Sakit, Pihak keluarga kerap memintanya tak ke
masjid untuk shalat Jumat. Ketika anjuran itu datang, Hatta gusar dan berujar, "Kenapa
tidak boleh bersembahyang Jumat? Saya masih kuat berjalan." Keluarga khawatir karena
ia pernah terjatuh akibat hilang kesadaran dan kepalanya terluka.
3. Disiplin
Hatta adalah sosok yang disiplin, saat di pengasingan yang tanpa masa depan pun Ia
masih menjaga kedisiplinannya untuk bangun subuh, shalat, belajar, membaca, menulis,
dan rutin berdiskusi tentang politik san sejarah.
Beliau adalah seorang yang tersohor dengan julukan "manusia jam" yang sangat
menghargai waktu. Beliau tidak menyukai keterlambatan barang semenitpun.
Kedisiplinan terus bertahan sampai lanjut usia, Bung Hatta sangat disiplin dalam
memenuhi perintah dokter yang merawatnya.
4. Menjaga Rahasia Negara
Percakapan antara Rahmi yaitu istri Hatta sendiri dan Hatta berikut ini, adalah
pembuktian bahwa Hatta adalah orang yang tidak akan membeberkan rahasia kepada
siapapun termasuk isterinya sendiri.
Pak, Bapak kan Wakil Presiden. Bapak pasti tahu bahwa pemerintah akan mengadakan
sanering. Mengapa Bapak tidak memberi tahu kepada ibu? "Sunggguhpun saya bisa
percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah
kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya?" jawab
Bung Hatta.
5. Tidak Mau Meminta Sesuatu Untuk Kepentingan Sendiri Dari Orang Lain
Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tentu
tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu Bally. Ia
kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha
menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk
keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang
kepadanya untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman
Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
1

Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan,


orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda hingga Belanda mau
mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli
sepasang sepatu bermerek terkenal. Meski memiliki jasa besar bagi kemerdekaan negeri
ini, Bung Hatta sama sekali tidak ingin meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari
orang lain atau negara.
6. Menjaga Silaturahmi
Dia tetap menjaga hubungan baik dan silaturahim dengan orang-orang yang mungkin
berseberangan secara ideologi atau pandangan politik. Yang paling gampang adalah
hubungannya dengan Bung Karno. Saat Soekarno sakit keras di tahun 1970 beliau datang
menjenguk, saling berpegangan tangan, dan sama-sama menangis. Hatta juga yang
menjadi wali Guntur Soekarnoputra saat menikah di Bandung sebab Soekarno tidak bisa
menghadiri karena menjadi tahanan kota.
Hatta sendiri juga berusaha untuk tidak menyerang Soekarno secara pribadi di dalam
tulisan-tulisannya atau pidato-pidatonya. Ia selalu mengingatkan untuk tidak usah
mempertanyakan kecintaan Soekarno kepada tanah air, meskipun Soekarno beberapa kali
mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan pemikiran dia (Hatta).
Hatta juga pernah ditanyai pendapatnya tentang Soekarno saat di Amerika, dan dia
menjawab, Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden
Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahuntahun. Benar atau salah, ia presiden saya.
7. Taat Dalam Beragama
penulis biografi Bung Hatta, Mavis Rose (1991:364), menuliskan kutipan dari sosok
proklamator tersebut: "Salah satu hal yang harus diajarkan kepada masyarakat Islam ialah
bahwa mereka harus menganut ilmu garam, yang terasa tapi tidak terlihat, bukan ilmu
lipstik, yang terlihat tetapi tidak terasa." Rupanya, prinsip itulah yang dengan teguh Bung
Hatta tunjukkan, baik sebagai pejuang kemerdekaan maupun pembela demokrasi
8. Pekerja Keras
ketika Bung Hatta telah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, uang pensiun
yang diterimanya sangat kecil, bahkan sama dengan gaji Pak Dali, supirnya yang digaji
pemerintah. Sampai-sampai, suatu saat Bung Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air
dan telepon yang harus dibayarnya karena mencekik leher. Menghadapi keadaan ini
beliau tidak putus asa. Beliau semakin rajin menulis untuk menambah penghasilannya
9. Jujur
Di usia senja, Bung Hatta dikirim oleh pemerintah untuk berobat ke Swedia. Menurut
penuturan dokter Mahar Mardjono yang mendampinginya, sebelum pulang ke Jakarta,

Bung Hatta segera memerintahkan sekretarisnya, Pak Wangsa Widjaja, untuk


mengembalikan uang sisa pengobatan kepada pemerintah.
Dalam pidatonya di Universitas Indonesia tahun 1957, Bung Hatta berkata, "Pangkal
segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah
dalam menghadapi suatu yang tidak benar."
Dia juga tidak pernah mau main ambil uang yang bukan haknya. Hatta pernah menyuruh
asistennya mengembalikan dana taktis wakil presiden sebesar Rp 25 ribu. Padahal jika
tidak dikembalikan pun tidak apa-apa. Dana taktis itu tidak perlu
dipertanggungjawabkan. Tapi Hatta orang jujur yang punya kehormatan
10. Cinta Terhadap Tanah Air Dan Bangsa
Patriot sejati tidak akan rela mengorbankan kepentingan bangsa yang dicintainya.
Demikian pula Bung Hatta. Justru beliau merasa bahagia bila mampu berkorban demi
kepentingan bangsa dan negara. Seorang teman Bung Hatta, Soerowo Abdoelmanap,
pernah menyatakan bahwa bila berbincang dengan beliau, Bung Hatta selalu
membicarakan masalah bangsa. "Bangsa dan bangsa saja yang ada dalam pikirannya,"
ujar Soerowo.
11. Menghargai Orang Lain
Bung Hatta adalah orang yang tahu menghargai orang lain, bahkan terhadap orang kecil
yang sering diremehkan. Orang-orang yang bekerja pada Bung Hatta seperti pembantu,
sopir, pengawal, dan perawat perpustakaan merasa dihargai sedemikian tinggi oleh Bung
Hatta sehingga mereka setia bekerja bertahun-tahun pada keluarga Bung Hatta. Mereka
sayang pada Bung Hatta dan demikian pula sebaliknya.
12. Sederhana
Ketika meninggal, Hatta hanya mewariskan 60.000 judul buku kepada anak-anaknya. Tak
ada emas batangan, tak ada deposito dan tabungan di rekening luar negeri, tak ada
berhektar-hektar tanah dan ratusan properti. Gemala Hatta bercerita bahkan suatu hari
Hatta merasa perlu menemui gubernur DKI (waktu itu) Ali Sadikin untuk meminta
keringanan pembayaran rekening listrik yang tak sanggup dia bayar.
Hatta terlahir dari keluarga cukup terpandang di tanah Minang, Sumatera Barat. Kalau
saja dia mau, dia bisa hidup enak dengan harta peninggalan keluarganya, atau menerima
pinangan beberapa perusahaan besar yang memintanya menjadi komisaris ketika dia
memutuskan untuk berhenti sebagai wakil presiden. Tapi dia tidak memilih itu semua, dia
lebih memilih hidup di pembuangan dalam segala keterbatasan dan beban penderitaan
demi negeri yang dia cintai, negeri yang diperjuangkannya untuk lahir. Indonesia. Dan
dia memilih hidup dari uang pensiun dan beberapa honor sebagai penulis.
Ketika meninggal dunia pun Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Dia hanya ingin dimakamkan di taman makam biasa. "Saya ingin dikubur di kuburan
rakyat biasa. Saya adalah rakyat biasa," kata Hatta dikutip dari buku " Bung Hatta
Menjawab" karangan Z Yasni.

NILAI-NILAI KETELADANAN DARI BUYA HAMKA

1. Pantang Menyerah
Sosok yang lahir pada 17 Februari 1908 ini pernah ditolak ketika melamar sebagai guru
di sebuah sekolah karena tak punya gelar diploma dan dikritik atas kemampuannya
berbahasa Arab yang tidak begitu begitulah. Apa yang akan kita lakukan jika kita di
posisi itu? Penolakan itu justru melecut keinginannya untuk pergi ke Mekkah.
Selanjutnya beliau malah mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak, dan
setelahnya beliau kembali ke tanah air, dengan hal yang baru. Beliau kemudian
merintis karier sebagai wartawan dan guru agama. Selanjutnya menerbitkan majalah yang
bernama Pedoman Masyarakat. Buku Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck.
2. Berani
Jika kita tidak mampu melakukan perbaikan dengan tangan kita, maka lakukanlah dengan
lisan kita. Tulisan adalah sebuah pedang yang akan abadi sepanjang zaman, dengan
syarat ada orang-orang yang terus membaca dan menghayatinya. Buya Hamka ini, berani
mengkritik pemerintah melalui kerja sama beliau dengan Bung Hatta -saat itu telah
mengundurkan diri sebagai wakil presiden- dengan menerbitkan sebuah tulisan yang
berjudul Demokrasi Kita pada majalah Panji Masyarakat yang dimiliki oleh Buya
Hamka. Nahas, majalah itu akhirnya dibredel pemerintah karena terbitnya tulisan
tersebut.
3. Pemaaf Dan Tidak Pendendam.
Pada masa rezim presiden Sukarno, Hamka pernah dipenjara dengan alasan yang
mengada-ada, dianggap merencanakan pembunuhan terhadap presiden dan kemudian
dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Semua buku yang ditulisnya dihancurkan dan
beliau mendekam di penjara selama dua tahun empat bulan di sebuah penjara Sukabumi.
Namun, beliau tak pernah menaruh dendam kepada Bung Karno. Ketika Bung Karno
menuliskan amanah bahwa dia ingin Hamka memimpin shalat jenazahnya ketika Bung
Karno meninggal, Hamka justru bersedia. Tokoh-tokoh lain yang pandangannya
berseberangan dengan Hamka, seperti Mohammad Yamin dan Pramoedya Ananta Toer,
semuanya dimaafkan. Hamka bersedia membimbing Mohammad Yamin dalam sakaratul
mautnya dan mau membimbing calon menantu Pramoedya untuk menjadi mualaf.
Saya sudah memaafkannya, bahkan saya harus berterima kasih, karena dalam penjara
saya dapat kesempatan menulis tafsir Al-Quran 30 juz. Setiap manusia pernah punya
salah, tapi Soekarno juga banyak jasanya bagi umat, kata Buya Hamka.

4. Rela Berkorban Karena Cinta Tanah Air


Pada tahun 1947, ketika Buya menjadi ketua Front Pertahanan Nasional, Sumatra Barat
sedang bergejolak. Butuh seseorang yang tetap mengobarkan semangat kemerdekaan
serta persatuan dan kesatuan dari satu nagari (desa) ke nagari lainnya. Saat itu tak ada
yang bersedia, namun Buya Hamka tampil memberanikan diri. Meski tugas ini berat
karena harus berjalan kaki menyusuri hutan secara sembunyi-sembunyi, menggalang
persatuan, mengobarkan semangat kemerdekaan kepada seluruh nagari di Sumatra Barat
dengan berjalan kaki, tetapi semua itu tetap dilakukannya dengan penuh ketulusan.
Keluarganya pun ikut turut mengungsi dari satu hutan ke hutan lainnya menghindari
kejaran tentara Belanda yang sedang melakukan agresi militer.
5. Tak Pernah Melupakan Keluarga
Di tengah misinya yang sangat sulit itu, ia tetap menyempatkan diri untuk menemui
keluarganya, memastikan mereka semua selamat dalam pelariannya menembus hutan,
dan selalu membawa beras meski kondisinya sendiri sangat letih dengan bajunya yang
telah lusuh. Benar-benar sosok kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab.
6. Memiliki Mental Teguh Yang Amat Kuat
Pada tahun 1982, ketika Buya Hamka masih menjabat sebagai ketua umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat. MUI waktu itu mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam
Indonesia tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini menimbulkan
polemik antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka didesak untuk mencabut fatwa itu
atau mengundurkan diri. Buya Hamka akhirnya justru memilih untuk mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai ketua umum MUI Pusat.
7. Tegas Dalam Masalah Akidah
Dalam novel Ayah yang ditulis oleh Irfan Hamka, anak Buya Hamka, ada bagian Buya
Hamka sepeninggal istrinya. Bagaimanapun juga, tidak mudah untuk melupakan
seseorang yang telah mendampingi selama 49 tahun dalam suka dan duka. Beliau kadang
mendendangkan syair jika ingat istri beliau, tetapi ketika kesedihan terus bersemayam,
beliau ambil wudu dan salat taubat. Kenapa salat taubat? Karena beliau tidak ingin
kecintaannya terhadap istrinya melebihi cintanya kepada Allah. Dan untuk menghibur
hatinya yang sedih, beliau akan membaca Al Quran terus menerus sampai beliau tertidur.
8. Pekerja Keras.
Beliau pernah bekerja di sebuah percetakan untuk kehidupan sehari-harinya selama
menetap setengah tahun di Mekkah. Maka dari itu, mari kita juga terus bekerja keras,
ingat kata Hamka, Jangan takut jatuh, karena yang tidak pernah memanjatlah yang tidak
pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang-orang
yang tidak pernah melangkah. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama
kita dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah yang
kedua.

Kalau hidup sekedar hidup, kera dihutan juga hidup, kalau kerja sekedar kerja, kerbau
disawah juga kerja. Buya Hamka

Anda mungkin juga menyukai