Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATAKULIAH AGROFORESTRY

“Perkembangan Kopi Nusantara”

OLEH:
AJENG HAFSHA NABILA
2016610030
KELAS: 6-A

FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
A. Latar Belakang
Sejarah kopi telah dicatat sejauh pada abad ke-9. Pertama kali, kopi hanya
ada di Ethiopia, di mana biji-bijian asli ditanam oleh orang Ethiopia dataran
tinggi. Akan tetapi, ketika bangsa Arab mulai meluaskan perdagangannya, biji
kopi pun telah meluas sampai ke Afrika Utara dan biji kopi di sana ditanam secara
massal. Dari Afrika Utara itulah biji kopi mulai meluas dari Asia sampai pasaran
Eropa dan ketenarannya sebagai minuman mulai menyebar.
Kegiatan perdagangan kopi merupakan jaringan usaha dari negara-negara
penghasil kopi dan pengimpor kopi. Perdagangan kopi internasional memerlukan
dukungan dan perbankan, asuransi, telekomunikasi dan jaringan media informasi.
Kopi merupakan komoditi penyegar yang diperlukan oleh penduduk dunia, mulai
dari desa-desa kecil di pelosok negara hingga kota-kota metropolitan bahkan
menyentuh pusat pusat pariwisata internasional dibanyak negara dimana minuman
kopi itu sendiri dijadikan sebagai penghangat pertemuan baik di kantor, kampung
, hingga jamuan internasional.
Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan dalam subsector
perkebunan di Indonesia karena memiliki peluang pasar yang baik di dalam negeri
maupun luar negeri. Sebagian besar produksi kopi di Indonesia merupakan
komoditas perkebunan yang dijual ke pasar dunia. Menurut International Coffee
Organization (ICO) konsumsi kopi meningkat dari tahun ke tahun sehingga
peningkatan produksi kopi di Indonesia memiliki peluang besar untuk
mengekspor kopi ke negara-negara pengonsumsi kopi utama dunia seperti Uni
Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.
Kopi memang menjadi salah satu tanaman rakyat yang diwajibkan
pemerintah Hindia Belanda dalam pelaksanaan cultuur-stelsel. Daerah-daerah dari
luar Jawa, terutama Sumatera, punkemudian diharuskan menanam kopi.
Perkembangannya cukup pesat, menyebar ke daerah-daerah diluar Jawa, Karena
Pemerintah Hindaia Belanda menjadikan kopi sebagai salah satu komoditas
ekspor yang utama.
Areal tanaman kopi yang sudah berkembang pesat itu sayangnya belum
bisa optimum produktifitasnya. Hasil yang mereka capai hanya berkisar 40% dan
60% dari hasil yang dicapai perkebunan-perklebunan besar. Hal itu disebabkan
kopi rakyat tidak menggunakan bibit dari klon unggul. Pemeliharaannya pun
kurang baik. Jenis kopi yang dihasilkan kebanyakan Robusta, mencapai 90% dari
produksi kopi nasional, selebihnya kopi Arabika.
Indonesia merupakan Negara agraris yang cukup subur untuk lahan
pertanian dan perkebunan termasuk untuk pengembangbiakan tanaman kopi,
maka merupakan suatu hal yang wajar ketika Indonesia menjadi Negara
pengekspor kopi jenis robusta terbesar di dunia. Kopi merupakan komoditas
utama perdagangan terbesar kedua setelah gas dan minyak, namun dibalik harga
kopi Indonesia yang terus membaik justru dunia perekonomian Indonesia
mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh perkembangan kopi yang tidak
disertai dengan peningkatan standar mutu kopi yang dihasilkan petani Indonesia.
Standar Mutu Biji Kopi sudah digalakkan Sejak tahun 1978 melalui SK
Menteri Perdagangan No. 108/Kp/VII/78 Tanggal 1 Juli 1978. Standar mutu biji
kopi yang digunakan adalah system triase. Namun demikian, sejak tanggal 1
Oktober 1983 sampai saat ini, untukmenetapkan mutu kopi, Indonesia
menggunakan system nilai cacat (Defects Value System) sesuai keputusan ICO
(International Coffe Organization). Dalam system cacat ini, semakin banyak nilai
cacatnya, maka mutu kopi akan semakin rendah dan sebaliknya semakain kecil
nilai cacatnya maka mutu kopi semakin baik.
Saat ini, peningkatan produksi kopi di Indonesia masih terhambat oleh
rendahnya mutu biji kopi yang dihasilkan sehingga mempengaruhi pengembangan
produksi akhir kopi. Hal ini disebabkan, karena penanganan pasca panen yang
tidak tepat antara lain proses fermentasi, pencucian, sortasi, pengeringan, dan
penyangraian. Selain itu spesifikasi alat/mesin yang digunakan juga dapat
mempengaruhi setiap tahapan pengolahan biji kopi.
Oleh karena itu, untuk memperoleh biji kopi yang bermutu baik maka
diperlukan penanganan pasca panen yang tepat dengan melakukan setiap tahapan
secara benar. Proses penyangraian merupakan salah satu tahapan yang penting,
namun saat ini masih sedikit data tentang bagaimana proses penyangraian yang
tepat untuk menghasilkan produk kopi berkualitas.
Mutu atau kualitas kopi yang dihasilkan oleh petani memiliki relevansi
yang kuat terhadap wajah perekonomian Indonesia, selain itu pangsa pasar pun
menjadi salahsatu hal yg diperlukan dalam hal ini. Para petani kopi tidak bisa
dibiarkan begitu saja tanpa pembinaan-pembinaan yang dilakukan secara berkala.
Mengingat apabila mutu kopi petani bisa diperbaiki (terutama untuk jenis robusta
pengolahannya masih petik merah atau semi basah) tentu ketika harga turun para
petani kopi tidak akan begitu terpukul, terlebih apabila kita mampu menaikan
produktivitas melalui peremajaan menggunakan bibit unggul. Jika berbagai
programpembinaan petani ini dilakukan secara bersama-sama, intensif dan
berkesinambungan maka hal ini akan memberikan hasil yang optimal. Dalam
aplikasinya, melalui penyuluhan yang berkesinambungan para petani kopi diajak
untuk melakukan diversifikasi dengan menanam tanaman di area kebun kopinya.
Kopi merupakan komoditas tropis utama yang diperdagangkan di seluruh
dunia dengan kontribusi setengah dari total ekspor komoditas tropis. Popularitas
dan daya tarik dunia terhadap kopi, utamanya dikarenakan rasanya yang unik serta
didukung oleh faktor sejarah, tradisi, sosial dan kepentingan ekonomi (Ayelign et
al, 2013). Selain itu, kopi adalah salah satu sumber alami kafein (Nawrot et al,
2003) zat yang dapat menyebabkan peningkatan kewaspadaan dan mengurangi
kelelahan (Smith, 2002). Minuman kopi, minuman dengan bahan dasar ekstrak
biji kopi, dikonsumsi sekitar 2,25 milyar gelas setiap hari di seluruh dunia (Ponte,
2002). Pada tahun 2013, International Coffee Organization (ICO) memperkirakan
bahwa kebutuhan bubuk kopi dunia sekitar 8,77 juta ton (ICO, 2015).
Sebagai negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan
Vietnam,, Indonesia mampu memproduksi sedikitnya 748 ribu ton atau 6,6 % dari
produksi kopi dunia pada tahun 2012. Dari jumlah tersebut, produksi kopi robusta
mencapai lebih dari 601 ribu ton (80,4%) dan produksi kopi arabika mencapai
lebih dari 147 ribu ton (19,6%).Luas lahan perkebunan kopi di Indonesia
mencapai 1,3 juta hektar(ha) dengan luas lahan perkebunan kopi robusta mencapai
1 juta ha dan luas lahan perkebunan kopi arabika mencapai 0,30 ha.
B. Sejarah Kopi Nusantara
Sejarah kopi di Indonesia dimulai pada tahun 1696 ketika Belanda
membawa kopi dari Malabar, India, ke Jawa. Mereka membudidayakan tanaman
kopi tersebut di Kedawung, sebuah perkebunan yang terletak dekat Batavia.
Namun upaya ini gagal kerena tanaman tersebut rusak oleh gempa bumi dan
banjir. Upaya kedua dilakukan pada tahun 1699 dengan mendatangkan stek pohon
kopi dari Malabar. Pada tahun 1706 sampel kopi yang dihasilkan dari tanaman di
Jawa dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam.
Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik.
Selanjutnya tanaman kopi ini dijadikan bibit bagi seluruh perkebunan yang
dikembangkan di Indonesia. Belanda pun memperluas areal budidaya kopi ke
Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Pada tahun 1878 terjadi tragedi yang memilukan. Hampir seluruh
perkebunan kopi yang ada di Indonesia terutama di dataran rendah rusak terserang
penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Kala itu semua tanaman kopi
yang ada di Indonesia merupakan jenis Arabika (Coffea arabica). Untuk
menanggulanginya, Belanda mendatangkan spesies kopi liberika (Coffea liberica)
yang diperkirakan lebih tahan terhadap penyakit karat daun. Sampai beberapa
tahun lamanya, kopi liberika menggantikan kopi arabika di perkebunan dataran
rendah. Di pasar Eropa kopi liberika saat itu dihargai sama dengan arabika.
Namun rupanya tanaman kopi liberika juga mengalami hal yang sama, rusak
terserang karat daun. Kemudian pada tahun 1907 Belanda mendatangkan spesies
lain yakni kopi robusta (Coffea canephora). Usaha kali ini berhasil, hingga saat
ini perkebunan-perkebunan kopi robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan.
Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seluruh perkebunan kopi Belanda yang
ada di Indonesia di nasionalisasi. Sejak itu Belanda tidak lagi menjadi pemasok
kopi dunia.
Jejak perkembangan tanaman kopi di tanah air terus berlanjut hingga
bertahun-tahun setelahnya. Eduard Doues Dekker turut mengulas mengenai
tekanan yang dialami oleh petani kopi dalam tulisannya, “Max Havelaar and the
Coffee Auctions of the Dutch Trading Company”. Karya Doues Dekker ini ikut
berperan dalam membantu mengubah opini publik tentang cultivate system. Lalu
di tahun 1920-an, perusahaan-perusahaan kecil-menengah yang ada di Indonesia
mulai menanam kopi sebagai komoditas utama dan perkebunan-perkebunan kopi
eks-pemerintah kolonial Belanda yang sebagian besar berada di Pulau Jawa
dinasionalisasi. Secara perlahan dan teratur, Indonesia bertransformasi menjadi
sentra produksi kopi terbesar di dunia. Bahkan saat ini, salah satu kota yang
berada di bagian utara dari Pulau Sumatera, tepatnya Dataran Tinggi Gayo yang
berada di Aceh meneguhkan posisinya sebagai sentra produksi kopi arabika
dengan areal lahan paling luas se-Asia. Rentetan kronologis sejarah tersebut jika
kita telusuri sedikit demi sedikit hingga akhir abad 20 (1900-an) merupakan satu
dasar kuat yang meletakkan Indonesia di posisi saat ini di dunia internasional
lewat produksi komoditas kopi. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara
penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia,
dan dikenal juga sebagai negara yang menjadi referensi produksi kopi berkualitas
baik.
C. Perkembangan Luas Areal Kopi di Nusantara
Sistem Pengusahaan kopi di Indonesia 96,19% merupakan perkebunan
yang diusahakan oleh rakyat. Hal ini dapat dilihat dimana luas areal untuk kopi
PR (Perkebunan Rakyat) dari tahun 1980 hingga 2016, berimpit dengan luas areal
kopi Indonesia. Luas areal kopi di Indonesia pada periode 1980-2016 cenderung
mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1980 luas areal kopi Indonesia hanya
mencapai 707.464 ha, maka pada tahun 2016, luas areal kopi Indonesia meningkat
menjadi 1.233.294 ha atau meningkat sebesar 74,33%. Meskipun demikian, rata-
rata laju pertumbuhan luas areal kopi di Indonesia periode 1980-2016 tidak terlalu
tinggi, rata-rata hanya meningkat sebesar 1,61% per tahun atau bertambah 14.212
ha per tahun.
Jika dilihat dari jenis kopi yang diusahakan, terlihat bahwa mayoritas
pekebun kopi di Indonesia menanam kopi jenis robusta. Meskipun demikian
terlihat bahwa luas areal kopi robusta cenderung menurun sementara luas areal
kopi arabika cenderung meningkat. Pada tahun 2001, luas areal kopi robusta di
Indonesia mencapai 1.232.551 ha dan tahun 2016 menjadi 912.135 ha atau terjadi
penurunan sebesar 26,00% dibandingkan luas areal pada tahun 2001. Sementara
luas areal kopi arabika pada tahun 2001 hanya mencapai 82.807 ha, kemudian
luasan ini meningkat sebesar 287,84% pada tahun 2016 menjadi 321.158 ha.
D. Perkembangan Produksi Kopi di Nusantara
Sejalan dengan pola perkembangan luas areal kopi di Indonesia, produksi
kopi Indonesia juga mengalami kecenderungan peningkatan produksi pada
periode 1980–2016 (Gambar 1) dengan rata-rata pertumbuhan produksi kopi
mencapai 2,44%. Peningkatan produksi kopi tertinggi pada periode tersebut
terjadi pada tahun 1998 sebesar 20,08%, produksi kopi menjadi 514.451 ton
dibandingkan produksi kopi pada tahun sebelumnya yang mencapai 428.418 ton.

Gambar 1. Perkembangan Produksi Kopi Menurut Status


Pengusahaan, Tahun 1980-2016
Sama halnya dengan pola luas areal kopi, produksi kopi menurut jenis
kopi yang diusahakan didominasi oleh kopi dari jenis robusta. Terlihat pada
Gambar 2, produksi kopi robusta lebih tinggi setiap tahunnya dibandingkan kopi
arabika. Secara rata-rata pada tahun 2001- 2016, kontribusi kopi robusta terhadap
produksi kopi nasional mencapai 82,49% setiap tahunnya. Namun demikian, jika
diperhatikan Gambar 2, maka produksi kopi robusta di Indonesia periode 2001-
2016 memiliki kecenderungan menurun. Adapun untuk kopi arabika
menunjukkan adanya trend peningkatan produksi dalam periode yang sama. Hal
ini sesuai dengan perkembangan luas areal kopi berdasarkan jenis kopi yang
diusahakan.
Gambar 2. Perkembangan Produksi Kopi Menurut Jenis Kopi yang
Diusahakan, Tahun 2001-2016

E. Perkembangan Bisnis Kopi di Nusantara


Di masa awal kopi hanya dikenal di masyarakat islam di jazirah Arab. Di
awal abad ke-17 kopi mulai diperdagangkan ke luar Arab lewat pelabuhan Mocha
di Yaman. Para pedagang Arab memonopoli komoditas ini untuk jangka waktu
yang lama. Berdasarkan catatan International Coffee Organization (ICO), terdapat
4 jenis kopi yang diperdagangkan secara global yakni kopi arabika, kopi robusta,
kopi liberika dan kopi excelsa. Keempat jenis kopi tersebut berasal dari 3 spesies
tanaman kopi. Arabica dihasilkan oleh tanaman Coffea arabica. Robusta
dihasilkan tanaman Coffea canephora. Sedangkan liberika dan excelsa dihasilkan
oleh tanaman Coffea liberica, persisnya Coffea liberica var. Liberica untuk kopi
liberika dan Coffea liberica var. Dewevrei untuk kopi excelsa.

Gambar 3. Negara Produsen Kopi dari Tahun 1700-1900


Menginjak abad ke-18, bangsa Eropa mulai memproduksi kopi di luar
Arab. Hingga pada tahun 1720 Belanda menggeser Yaman sebagai eksportir kopi
dunia. Produk Belanda didapatkan dari perkebunan-perkebunan kopi di Jawa dan
pulau-pulau sekitarnya, saat ini menjadi wilayah Indonesia. Indonesia menjadi
produsen kopi terbesar dunia hampir satu abad lamanya. Pada tahun 1830 posisi
Indonesia sebagai produsen kopi terbesar digeser Brasil.

Gambar 4. Negara Produsen Kopi dari Tahun 1920-2008


Dewasa ini kopi ditanam di lebih dari 50 negara di dunia. Brasil, Vietnam,
Kolombia, Indonesia dan Etiopia merupakan negara-negara penghasil kopi paling
terbesar. Brasil merupakan penghasil kopi paling dominan. Jumlah produksi kopi
kopi berhasil sekitar sepertiga dari total produksi kopi dunia. Pada tahun 2015
Brasil menghasilkan sekitar 2,5 juta ton biji kopi. Produksi kopi di Brasil
didominasi oleh jenis arabika sekitar 80%, sisanya robusta. Kopi arabika dinilai
lebih baik dan dihargai lebih tinggi dibanding jenis kopi lainnya.
Sementara itu, pada tahun 2015 Indonesia menempati posisi ke-empat
negara penghasil kopi. Menurut Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI),
sekitar 83% produksi kopi Indonesia dari jenis robusta dan 17% arabika.
Indonesia juga menghasilkan kopi jenis liberika dan excelsa namun jumlahnya
tidak signifikan bila dibandingkan arabika dan robusta.
D. Kelebihan dan Kelemahan Sektor Kopi di Nusantara
Cerita harum tentang kopi Indonesia yang bercitarsa tinggi sudah lama
dikenal di berbagai belahan dunia. Wangi aroma kopi Nusantara ini berbanding
lurus dengan penerimaan masyarakat di berbagai negara. Kopi Indonesia telah
mendapat tempat tersendiri di hati para penikmat kopi di seluruh dunia.
Setidaknya ada dua hal yang membuat kopi Indonesia diminati di pasar global.
Pertama adalah cita rasa, kedua adalah variasi atau jenisnya yang beragam.
Peluang kopi Indonesia untuk lebih banyak diekspor ke mancanegara
semakin terbuka lebar menyusul keberhasilan sejumlah produsen kopi Tanah Air
menyabet penghargaan AVPA Gourment di Paris–Prancis, pada 2 Oktober
lalu.AVPA atau Agency for the Valorization of the Agricultural Products adalah
organisasi di Prancis yang memiliki kepedulian membantu produsen produk
pertanian dari seluruh dunia, utamanya untuk memasarkan produk mereka di
Eropa.
Sedikitnya 170 produsen kopi dari berbagai negara mengikuti kompetisi
AVPA. Kompetitor Indonesia antara lain datang dari Brasil, Kamerun, Kolombia,
Kongo, Amerika Serikat (Hawaii), Gabon, El Salvador, Honduras, Kenya, Laos,
Meksiko, Peru, Puerto Rico, Tanzania, Togo, dan lain-lain. Annelis Putri, Country
Manager AVPA untuk Indonesia dalam keterangan persnya menyebut Presiden
Juri AVPA André Rocher mengaku terkejut dengan kualitas kopi Indonesia yang
sangat bervariasi. keunggulan lain adalah kualitas roasting yang baik.
Dengan keunggulan tersebut, 23 kopi Indonesia dari 11 produsen sukses
memenangkan penghargaan. Dalam kompetisi tersebut, Indonesia adalah negara
kedua yang mendapatkan penghargaan terbanyak, setelah Kolombia (25
penghargaan untuk 14 produsen). Namun, di balik apresiasi internasional atas
kopi Indonesia terbersit kekhawatiran akan masa depan kopi di Tanah Air. Bukan
soal cita rasa yang bakal kalah bersaing, melainkan lebih pada soal rendahnya
produksi dan masih sempitnya lahan tanaman kopi.
Memang saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara eksportir kopi
terbesar di dunia dengan produksi mencapai 630.000 ton dengan tujuan utama
Amerika Serikat, adalah Malaysia, Jerman, Italia, Rusia dan Jepang. Asosiasi
Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) mencatat, nilai ekspor kopi pun cukup fantastis.
Per tahunnya, total ekspor sebesar USD 1,2 miliar atau sekitar Rp16,8 triliun.
Meskipun Indonesia dikenal negara produsen utama kopi dunia dengan
produk yang beragam dan kualitas yang tidak lagi diragukan, namun saat ini ada
ketimpangan antara pertumbuhan konsumsi kopi nasional dengan tingkat produksi
kopi. Konsumsi kopi dalam negeri dalam lima tahun terakhir naik 8,8% per tahun,
namun pertumbuhan produksi justru jauh tertinggal, yakni hanya tumbuh 0,3%
per tahun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam
sebuah Gathering dan Roundtable Discussion di Jakarta pada Agustus 2018 lalu
mengatakan perlu langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. Salah satu kunci
untuk menggenjot pertumbuhan produksi kopi adalah dengan memperluas lahan
tanaman kopi. Ini penting jadi perhatian karena ketika konsumsi kopi terus naik
sedangkan lahan cenderung stagnan maka pasti terjadi ketidakseimbangan antara
suplai dengan permintaan. Untuk itu, luas lahan garapan keluarga petani Indonesia
harus ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Koran Sindo. 2018. Kopi Indonesia Kian Mendunia.
https://nasional.sindonews.com/ [23 Juni 2019]
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian
Pertanian. 2016. Outlook Kopi.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/ [23 Juni 2019]

Alifia Nisa Habibah. 2017. Peran Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI)
dalam Meningkatkan Standar Mutu Kopi Sesuai dengan Common
Code For Coffee Community (C4) Guna Menembus Pasar Eropa.
http://repository.unpas.ac.id [23 Juni 2019]

Prayogo, Widha Wisnu. 2017. Strategi Komunikasi Pemasaran Coffe Shop


Cekopi Jogja dalam Meningkatkan Omzet Penjualan Pada Tahun
2016. http://repository.umy.ac.id [23 Juni 2019]

Anda mungkin juga menyukai