OLEH :
Mustika Asmarati
Putri Aulia
Nuraini
A.aenal
Siti
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Hubungan Adat Istiadat Dengan Agama
Makalah ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin. Terlepas dari
semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata saya berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
C. Tujuan...............................................................................................................1
A. Kesimpulan ....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing - masing memiliki
keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang - orang
yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi
Budaya pada suatu kehidupan dan juga bagaimana suatu budaya ketika masuk
pada wilayah kebudayaan lain. masih sering ada segelintir masyarakat yang
mencampur adukkan nilai - nilai Agama dengan nilai-nilai Budaya yang padahal
kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, dan juga
terkadang agama dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan.Dalam kehidupan
manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki
hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan
ataupun kemudian saling menegasikan.
1
mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok /
masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian
agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain,
masyarakat (sebagai kumpulan individu-individu manusia) diciptakan oleh
3
manusia, sedangkan manusia sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua
hal itu menggambarkan adanya dialektika inheren dari fenomena
masyarakat.Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial.Proses dialektika
fundamental itu, menurut Berger, terdiri atas tiga momentum atau
langkah:eksternalisasi, objektivasi,dan internalisasi.ketika seorang manusia hidup
dalam masyarakat, ia akan senantiasa menganggap dirinya sebagai bagian penting
dalam masyarakat tersebut.
4
Agama dalam konteks budaya berada dalam dialektika ini. Ada seorang
manusia yang melakukan pemaknaan baru terhadap sistem nilai suatu masyarakat
lalu mengemukakannya dengan meminjam simbol budaya yang telah tersedia.
Perbedaan agama sebagai produk budaya dengan produk lainnya - konstruksi
rumah atau model berpakaian, misalnya – terletak pada transendenan yang
dihasilkan agama. Transendensi – secara harfiah bermakna “yang mengatasi
sesuatu” atau “ berdiri di luar sesuatu”.Kematerialan menghentikan manusia pada
penyimpulan buntu, terantuk pada kepejalan dan bentuk yang menipu.
5
menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut
melalui proses sublasi (pemberian pengakuan).Hal yang sama terjadi ketika ada
suatu agama masuk pada masyarakt lain di luar masyarakat pembentuknya.
Agama itu akan mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan yang telah
ada. Ada kompromi nilai atau simbol antar agama yang masuk dengan
kebudayaan asal yang menghasilkan bentuk baru yang berbeda dengan agama
atau budaya asal.
Proses penyesuaian ini terjadi begitu saja dalam setiap proses pemaknaan
di tengah masyarakat yang telah memiliki struktur kebudayaan. Dalam kerangka
objektivasi, hal ini terungkap pada saat proses sublasi atau pemberian pengakuan
hasil kerja budayanya. Pada proses sublasi, sang subjek selalu merasa tidak puas
dengan hasil ciptaannya sendiri, karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan itu
dengan pengetahuan atau nilai absolut dari kebudayaan yang telah ada. Dengan
demikian, suatu agama yang masuk pada masyarakat tertentu tidak pernah bisa
ditemukan sebagaimana dalam bentuk aslinya secara utuh; selalu ada fluiditas
atau pelenturan nilai-nilai.
6
kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Menurut
pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki
wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan”.
Para sarjana terutama sarjana Barat nampaknya melihat agama yang banyak dan
beraneka ragam di dunia ini sebagai hal yang sama dan pada dasarnya sama.
Dalam pemikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu
pada dasarnya adalah sama dan merupakan “fenomena atau gejala sosial” yang
dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Menurut mereka, dalam
kehidupan manusia terdapat aspek umum yang bernama agama. Genus agama itu
mengandung “species” yang bermacam-macam, diantaranya adlah agam Islam.
Sebenarnya, apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu
adalah “garis batas Tuhan dan manusia” maka wilayah agama dan wilayah
kebudayaan itu pada dasarnya tidak “statis”, tetapi “dinamis”, sebab tuhan dan
manusia berhubungan secara dialogis, dimana manusia menjadi
“khalifah” [wakil]-Nya di bumi. Maka pada tahapan ini, adakalanya antara
“agama” dan “kebudayaan” menempati wilayah sendiri-sendiri, dan adakalanya
keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu yang disebut dengan “wilayah
kebudayaan agama”.
7
kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya sejarah
agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.
8
a) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat transport, dan lain sebagainya.
e) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya).
f) Ilmu pengetahuan.
g) Relige
2. Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.
9
3. Bagi agama wahyu sumber utama tuntutan dan ukuran baik buruk adalah
kitab suci yang diwahyukan sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak
esensial.
4. Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu,
kecuali “paganisme”, lahir di luar area tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan
ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai
hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan
berpegang pada suatu identitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari
masyarakat.Suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara
pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan.
Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu
kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi
datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut
kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah
kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.
Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu
datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan
manusia, dan sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik
10
dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun
kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan
11
DAFTAR PUSTAKA
12