Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUBUNGAN ADAT ISTIADAT DENGAN AGAMA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Guru : Arjun Rajib, S.Pd

OLEH :

Mustika Asmarati

Putri Aulia

Nuraini

A.aenal

Siti

MADRASAH ALIYAH NURUL AKBAR PONGKA

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Hubungan Adat Istiadat Dengan Agama

Makalah ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin. Terlepas dari
semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata saya berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat.

Pongka, 29 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar.......................................................................................................i

Daftar Isi................................................................................................................ii

BAB I  PENDAHULUAN....................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................1

C. Tujuan...............................................................................................................1

BAB II  PEMBAHASAN .....................................................................................2

A. Hubungan Antara Agama Dan Adat.................................................................2

B. Agama Merupakan Bagian Dari Adat............................................................. 6

C. Agama Bukan Wahyu- Merupakan Bagian Dari Adat ....................................9

BAB III  PENUTUP .............................................................................................10

A. Kesimpulan ....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia di


dunia. Agama dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia
dalam masyarakat. Akan tetapi, selain agama ada faktor lain yang mempengaruhi
dan dijadikan pedoman hidup masyarakat yaitu kebudayaan, yang secara turun
temurun sudah dianut dari jaman nenek moyang terdahulu. Agama dan
kebudayaan sebenarnya adalah dua hal yang berbeda. Agama berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa yaitu penguasa alam semesta, sedangkan budaya atau kebudayaan
adalah buatan manusia yang berupa kebiasaan yang dilakukan dari waktu kewaktu
sehingga membentuk sebuah kebudayaan.

Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing - masing memiliki
keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang - orang
yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi
Budaya pada suatu kehidupan dan juga bagaimana suatu budaya ketika masuk
pada wilayah kebudayaan lain. masih sering ada segelintir masyarakat yang
mencampur adukkan nilai - nilai Agama dengan nilai-nilai Budaya yang padahal
kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, dan juga
terkadang agama dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan.Dalam kehidupan
manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki
hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan
ataupun kemudian saling menegasikan. 

Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan,


dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan sebagai kebiasaan tata
cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta,
rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling

1
mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok /
masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian
agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.

B. Rumusan Masalah

1.Bagaimana hubungan antara agama dan adat?

2.Bagaimana penempatan posisi Agama dan posisi Adat dalam


kehidupan?

3.Bagaimana suatu adat ketika ia masuk pada wilayah adat lain?

4.Bagaimana agama bisa dikatakan bagian dari adat ?

C. Tujuan

1.Untuk mendeskripsikan hubungan antara agama dan adat.

2.Untuk mendeskripsikan posisi Agama dan posisi Adat dalam kehidupan.

3.Untuk mendeskripsikan ketika ia masuk pada wilayah Adat lain.

4.Untuk mendeskripsikan Bagaimana agama bisa dikatakan bagian dari


Adat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.Interelasi Antara Agama Dan Adat

Manusia, masyarakat, dan adat berhubungan secara dialektika. Ketiganya


berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Persisi seperti
permainan gamsut (barangkali dari kosa kata inggris: game suite) yang sering kita
mainkan waktu kecil; gajah (disimbolkan ibu jari) mengalahkan manusia (jari
telunjuk); manusia mengalahkan semut (jari kelingking); dan semut mengalahkan
gajah. Ketiganya ada secara bersama-sama, berimpit untuk menciptakan relasi
makna. Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang
lainnya; jari telunjuk tetap sebagai jari telunjuk, tidak sebagai manusia yang
sanggup memencet semut atau diseruduk gajah; demikian pula ibu jari dan
kelingking.

Dalam relasi itu juga masing-masing mengalami kehilangan dirinya


dalam sebuah momen untuk kemudian bisa muncul kembali dalam momen yang
lain. Pada satu momen, jari telunjuk kalah oleh ibu jari, namun ia akan menjadi
pemegang peranan ketika ibu jari dikalahkan oleh jari kelingking. Demikian
seterusnya, berulang-ulang sesuai dengan momen-momen yang diciptakan
kehidupan.Hubungan manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam
dialektika gamsut ini. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi
masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati
senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat
telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah
individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses
sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan berpegang padasuatu
identitas.

Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain,
masyarakat (sebagai kumpulan individu-individu manusia) diciptakan oleh

3
manusia, sedangkan manusia sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua
hal itu menggambarkan adanya dialektika inheren dari fenomena
masyarakat.Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial.Proses dialektika
fundamental itu, menurut Berger, terdiri atas tiga momentum  atau
langkah:eksternalisasi, objektivasi,dan internalisasi.ketika seorang manusia hidup
dalam masyarakat, ia akan senantiasa menganggap dirinya sebagai bagian penting
dalam masyarakat tersebut.

Keadaan dan proses inilah yang dikenal dengan eksternalisasi. Seorang


individu berusaha untuk mencurahkan (mewujudkan) eksistensi dirinya (kedirian)
secara terus menerus kedalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun
mentalnya.Dari hasil dialektis antara kecenderungan untuk melakukan
eksternalisasi dengan fakta-fakta yang melingkunginya, terbentuklah suatu idiom
budaya yang dihasilkannya. Idiom-idiom (baik fisik maupun mental) budaya
tersebut kemudian disadangnya, objektivasi. Dan karena kekuatan lingkungan
yang melingkupinya, individu manusia akhirnya melakukan internalisasi untuk
menemukan kesamaan-kesamaan, untuk bisa melakukan interaksi di antara
mereka.

Dengan demikian, melalui ekternalisasi, masyarakat adalah produk


manusia, melalui objektivasi; masyarakat menjadi realitas sui generis, unik . dan,
melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat. Dalam kehidupan
berbudaya, manusia melakukan proses objektivasi. Istilah objektivasi adalah
isitilah yang digunakan oleh Daniel Miller dalama bukunya Material Culture and
Mass Consumption, untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang hubungan
dialektika antara ‘objek’ dan ‘subjek’. Istilah ini dijelaskan Miller sebagai
“...proses ganda, yang melalui subjek mengekternalisasi dirinya melalui suatu
tindakan kreatif diferensiasi, dan selanjutnya mengembalikan untuk diri
ekternalisasi ini melalui tindakan yang disebut Hegel sebagai sublasi (semacam
pemberian pengakuan) (Miller 1987:28).

4
Agama dalam konteks budaya berada dalam dialektika ini. Ada seorang
manusia yang melakukan pemaknaan baru terhadap sistem nilai suatu masyarakat
lalu mengemukakannya dengan meminjam simbol budaya yang telah tersedia.
Perbedaan agama sebagai produk budaya dengan produk lainnya - konstruksi
rumah atau model berpakaian, misalnya – terletak pada transendenan yang
dihasilkan agama. Transendensi – secara harfiah bermakna “yang mengatasi
sesuatu” atau “ berdiri di luar sesuatu”.Kematerialan menghentikan manusia pada
penyimpulan buntu, terantuk pada kepejalan dan bentuk yang menipu.

Padahal, manusia dihadapkan pada sejumlah ke-asurd-an yang


membingungkan dan sering memuatnya putus asa (kondiri disharmoni). Pada saat
itu dibutuhkan pemaknaan yang sanggup mengeluarkan manusia dari rasa cemas
akan kehidupan (angst), suatu pemaknaan transenden yang kemudian disebut
agama. Pemaknaan itu biasanya disebut nilai-nilai yang meneritakan dunia di luar
realitas keseharian (beyond reality),  nilai-nilai itu menjadi lumbung harapan bagi
terciptanya harmoni. Hal ini mungkin terjadi karena harapan akan adanya
kehidupan yang adil di “luar sana” membuat manusia tetap tenang dan sabar di
tengah ketidakadilan relitas keseharian . lumung harapan ini tentu bersifat abstrak:
masalah rasa. Ia akan masuk menjadi harapan priadi manusia ketika manusia
melakukan sejumlah kegiatan yang dianggap berasal dari “dunia asal” lumbung
harapan itu.

Kegiatan ini disebut ritual (upacara sakral dengan melakukan kegiatan


dan menggunakan simbol tertentu) yang dirujukkan kepada perilaku yang dulu
( in illo temporae) dilakukan oleh pencetus pemaknaan transendensi. Agama,
dengan demikian, berasal dari proses objektvasi tertentu yang bernialai
transenden. Sebagai proses objektivasi, di dalamnya melibatkan hubungan antara
subjek ( yang dalam hal ini adalah manusia, dan biasanya ersifat kolektif),
kebudayaan (sebagai bentuk eksternal), dan artefak (sebagai objek ciptaan
manusia). Agama, dalam kaitan ini, terjadi ketika objek mengeksternalisasikan
dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan
‘diferensiasi’ (penciptaan perbedaan dengan objek-objek sebelumnya), kemudian

5
menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut
melalui proses sublasi (pemberian pengakuan).Hal yang sama terjadi ketika ada
suatu agama masuk pada masyarakt lain di luar masyarakat pembentuknya.
Agama itu akan mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan yang telah
ada. Ada kompromi nilai atau simbol antar agama yang masuk dengan
kebudayaan asal yang menghasilkan bentuk baru yang berbeda dengan agama
atau budaya asal.

Proses penyesuaian ini terjadi begitu saja dalam setiap proses pemaknaan
di tengah masyarakat yang telah memiliki struktur kebudayaan. Dalam kerangka
objektivasi, hal ini terungkap pada saat proses sublasi atau pemberian pengakuan
hasil kerja budayanya. Pada proses sublasi, sang subjek selalu merasa tidak puas
dengan hasil ciptaannya sendiri, karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan itu
dengan pengetahuan atau nilai absolut dari kebudayaan yang telah ada. Dengan
demikian, suatu agama yang masuk pada masyarakat tertentu tidak pernah bisa
ditemukan sebagaimana dalam bentuk aslinya secara utuh; selalu ada fluiditas
atau pelenturan nilai-nilai.

B. Agama Merupakan Bagian Dari Adat

Suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak


yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang
yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah
pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan,
dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan.
Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan,
karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.

Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu


datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan
manusia, dan sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik
dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun

6
kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Menurut
pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki
wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan”.
Para sarjana terutama sarjana Barat nampaknya melihat agama yang banyak dan
beraneka ragam di dunia ini sebagai hal yang sama dan pada dasarnya sama.
Dalam pemikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu
pada dasarnya adalah sama dan merupakan “fenomena atau gejala sosial” yang
dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Menurut mereka, dalam
kehidupan manusia terdapat aspek umum yang bernama agama. Genus agama itu
mengandung “species” yang bermacam-macam, diantaranya adlah agam Islam.

Sebenarnya, apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu
adalah “garis batas Tuhan dan manusia” maka wilayah agama dan wilayah
kebudayaan itu pada dasarnya tidak “statis”, tetapi “dinamis”, sebab tuhan dan
manusia berhubungan secara dialogis, dimana manusia menjadi
“khalifah” [wakil]-Nya di bumi. Maka pada tahapan ini, adakalanya antara
“agama” dan “kebudayaan” menempati wilayah sendiri-sendiri, dan adakalanya
keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu yang disebut dengan “wilayah
kebudayaan agama”.

Agama sesungguhnya untuk manusia, dan keberadaan agama dalam praktik


hidup sepenuhnya berdasar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya
manusia untuk agama. Oleh karena itu, agama untuk manusia, maka agama pada
hakekatnya menerima adanya pluralitas dalam memahami dan menjalankan
ajaran-Nya. jika agama untuk manusia; amak agama sesungguhnya telah
memasuki wilayah kebudayaan dan menyejarah menjadi kebudayaan dan sejarah
agama adalah sejarah kebudayaan agama  yang menggambarkan dan
menerangkan bagaimana terjadi proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran
manusia tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan
dalam realitas kehidupan manusia dan dalam sejarah perkembangan agama itu,
sehingga “agama yang menyejarah telah sepenuhnya menjadi wilayah

7
kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya sejarah
agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.

Di kalangan sarjana barat, penganjur kelompok ini adalah Emil Durkheim ,


seorang sarjana Perancis, yang agaknya ikut mempengaruhi pemikiran sebagian
sarjana indonesia. Salah seorang sarjana Indonesia Koentjaraningrat, yang
menurut pengakuannya sendiri telah terpengaruh oleh konsep Emil Durkheim.
Dengan menggunakan istilah “religia” dan bukan “agama” [karena menurut beliau
lebih netral], Koentjaraningrat berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari
kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat ini di dasarkan kepada konsep Durkheim
mengenai dasar-dasar religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap religi merupakan
suatu sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu:

a)    Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius.

b)   Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan


manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib.

c)    Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan


Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.

d)   Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut


sistem kepercayaan tersebut.

Koentjaraningrat, menyimpulkan bahwa “komponen sistem kepercayaan,


sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang menganut sistem
kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius, jelas merupakan ciptaan
dan hasil akan manusia. Adapun komponen pertama, yaitu emosi keagamaan,
digetarkan oleh cahaya Tuhan. Relegi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari
kebudayaan tetapi cahaya Tuhan yang mewarnainya dan membuatnya keramat
tentunya bukan bagian dari kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat di atas
tercermin dalam teori cultural-universala-nya, dimana beliau memasukkan religi
sebagai isi (bagian) dari kebudayaan yaitu:

8
a)    Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat transport, dan lain sebagainya.

b)   Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan,


sistem produksi, sistem distribusi, dan lain sebagainya.

c)    Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem


hukum, sistem perkawinan).

d)   Bahasa (lisan maupun tertulis).

e)    Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya).

f)     Ilmu pengetahuan.

g)    Relige

C.Agama Bukan Wahyu- Merupakan Bagian dari Adat

Secara faktual, agama di dunia ini banyak, beraneka ragam, berbeda-beda


dan mempunyai asal usul dan sejarah sendiri-sendiri. Hal ini merupakan relitas
dunia yang tidak dapat dielakkan. Artinya, semua agama yang ada di dunia ini
beraneka ragam, berbeda-beda asal usul dan sejarahnya, ditinjau dari segi
sumbernya dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok, pertama, agama alamiyah adalah agama ciptaan atau hasil karya
manusia dinamakan pula agama “filsafat”, agama bumi, dan agama budaya. 

Kedua,agama samawiyah yakni agama yang diwahyukan Allah kepada


para Nabi dan Rasul-Nya. juga disebut “agama wahyu”, agama langit, dan agama
profetis. Ahmad Abdullah al-Masdoosi, merumuskan perbedaan antara agama
wahyu [agama samawiyah] dengan agama bukan wahyu [agama budaya] sebagai
berikut:

1.    Agama wahyu berpokok pada konsep “ke-Esaan Tuhan”, sedangkan agama


bukan wahyu tidak.

2.    Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.

9
3.    Bagi agama wahyu sumber utama tuntutan dan ukuran baik buruk adalah
kitab suci yang diwahyukan sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak
esensial.

4.    Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu,
kecuali “paganisme”,  lahir di luar area tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan

Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik.


Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan.
Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang lainnya,
Hubungan manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam
dialektika gamsut ini. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi
masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati
senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. 

Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan
ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai
hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan
berpegang pada suatu identitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari
masyarakat.Suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara
pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan.

Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu
kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi
datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut
kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah
kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.
Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu
datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan
manusia, dan sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik

10
dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun
kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan

11
DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1981. Politik, kebudayaan, dan Manusia Indonesi. LP3ES. Jakarta.

Al-masdoosi, Ahmad Abdullah. 1962. Living Religions of the Word: a Socio-


political Sudy, English Renderring by Zavar Ishaq Ansari karachi: Begum Aisha
Bawany Wakf.

Anshari, Endang Saifuddin. 1980. Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu.

Asy’ari, Musa. 1999. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. LEFSI. Yogyakarta.

Berger, Peter L. 1991. Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial. LP3ES.


Jakarta.

Ismail, Faisal. 1998. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi


Historis.

Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Kleden, Ignas.  Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan.  LP3ES. Jakarta.

Kuntjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi.Jakarta: Universitas Djakarta.

 .1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:  Gramedia.

Peursen, Cornelis Anthonie A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:


Kanisius.

Piliang, Yasraf Amir. 2000.  Hiper Realitas Kebudayaan. Jakarta.

Soedjatmoko. 1980. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. LP3ES. Jakarta.

Suparlan, Parsudi.  Hak Budaya Komuniti Dalam Masyarakat Perkotaan. LP3ES.

12

Anda mungkin juga menyukai