Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

AGAMA SEBAGAI AJARAN DAN BUDAYA

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD RIDWAN EPENDI

NIM: 1.2021.1.0398

FAKULTAS TARBIAH STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT MADANI NUSANTARA SUKABUMI


Jl. Raya Kalapanunggal Km 18. Kecamata Kalalpanunggal . Kab
Sukabumi

2023
Kata pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Agama dan Kebudayaan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal mungkin. Terlepas dari
semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..........................................................................................II
DAFTAR ISI.........................................................................................................III
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan.....................................................................................................2
D. Manfaat....................................................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Interelasi Antara Agama Dan Budaya.....................................................3
B..Agama Merupakan Bagian Kauaian........................................................13
C. Agama Bukan Wahyu- Merupakan Bagian Dari Kebudayaan................15
D. Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian kebudayaan........................16
BAB III PENUTUP................................................................................................18
A. Kesimpulan.............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia di dunia.
Agama dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia dalam
masyarakat. Akan tetapi, selain agama ada faktor lain yang mempengaruhi dan
dijadikan pedoman hidup masyarakat yaitu kebudayaan, yang secara turun
temurun sudah dianut dari jaman nenek moyang terdahulu. Agama dan
kebudayaan sebenarnya adalah dua hal yang berbeda. Agama berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa yaitu penguasa alam semesta, sedangkan budaya atau kebudayaan
adalah buatan manusia yang berupa kebiasaan yang dilakukan dari waktu kewaktu
sehingga membentuk sebuah kebudayaan.

Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing - masing memiliki
keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang - orang
yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi
Budaya pada suatu kehidupan dan juga bagaimana suatu budaya ketika masuk
pada wilayah kebudayaan lain. masih sering ada segelintir masyarakat yang
mencampur adukkan nilai - nilai Agama dengan nilai-nilai Budaya yang padahal
kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, dan juga
terkadang agama dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan.

Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri,
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam
menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan. Agama sebagai pedoman
hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya.
Sedangkan kebudayaan sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang
diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang
diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama
lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa.
Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan
penafsiran berlainan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara agama dan kebudayaan?
2. Bagaimana penempatan posisi Agama dan posisi Budaya dalam kehidupan?
3. Bagaimana suatu budaya ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain?

1
4. Bagaimana agama bisa dikatakan bagian dari kebudayaan?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan hubungan antara agama dan kebudayaan.
2. Untuk mendeskripsikan posisi Agama dan posisi Budaya dalam kehidupan.
3. Untuk mendeskripsikan ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain.
4. Untuk mendeskripsikan Bagaimana agama bisa dikatakan bagian dari
kebudayaan.
D. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoretis
Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi atau
masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama mengenai agama dan
kebudayaan serta menambah kajian ilmu khususnya di kalangan mahasiswa.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para
calon konselor dalam membantu membimbing masyarakat di dalam menerapkan
nilai-nilai agama dan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Interelasi Antara Agama Dan Budaya


Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik.
Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan.
Persisi seperti permainan gamsut (barangkali dari kosa kata inggris: game suite)
yang sering kita mainkan waktu kecil; gajah (disimbolkan ibu jari) mengalahkan
manusia (jari telunjuk); manusia mengalahkan semut (jari kelingking); dan semut
mengalahkan gajah. Ketiganya ada secara bersama-sama, berimpit untuk
menciptakan relasi makna. Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan
dengan yang lainnya; jari telunjuk tetap sebagai jari telunjuk, tidak sebagai
manusia yang sanggup memencet semut atau diseruduk gajah; demikian pula ibu
jari dan kelingking. Dalam relasi itu juga masing-masing mengalami kehilangan
dirinya dalam sebuah momen untuk kemudian bisa muncul kembali dalam momen
yang lain. Pada satu momen, jari telunjuk kalah oleh ibu jari, namun ia akan
menjadi pemegang peranan ketika ibu jari dikalahkan oleh jari kelingking.
Demikian seterusnya, berulang-ulang sesuai dengan momen-momen yang
diciptakan kehidupan.
Hubungan manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam
dialektika gamsut ini. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi
masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati
senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat
telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah
individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses
sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan berpegang padasuatu
identitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata
lain, masyarakat (sebagai kumpulan individu-individu manusia) diciptakan oleh
manusi, sedangkan manusia sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua
hal itumenggambarkan adanya dialektika inheren dari fenomena
masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial.
Proses dialektika fundamental itu, menurut Berger, terdiri atas tiga
momentum atau langkah: eksternalisasi, objektivasi,dan internalisasi. ketika
seorang manusia hidup dalam masyarakat, ia akan senantiasa menganggap dirinya
sebagai bagian penting dalam masyarakat tersebut. Keadaan dan proses inilah
yang dikenal dengan eksternalisasi. Seorang individu berusaha untuk
mencurahkan (mewujudkan) eksistensi dirinya (kedirian) secara terus menerus
kedalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mentalnya. Dari hasil dialektis
antara kecenderungan untuk melakukan eksternalisasi dengan fakta-fakta yang
melingkunginya, terbentuklah suatu idiom budaya yang dihasilkannya. Idiom-
idiom (baik fisik maupun mental) budaya tersebut kemudian disadangnya,
objektivasi. Dan karena kekuatan lingkungan yang melingkupinya, individu
manusia akhirnya melakukan internalisasi untuk menemukan kesamaan-
kesamaan, untuk bisa melakukan interaksi di antara mereka. Dengan demikian,
melalui ekternalisasi, masyarakat adalah produk manusia, melalui objektivasi;
masyarakat menjadi realitas sui generis, unik . dan, melalui internalisasi, manusia
merupakan produk masyarakat.
Dalam kehidupan berbudaya, manusia melakukan proses objektivasi.
Istilah objektivasi adalah isitilah yang digunakan oleh Daniel Miller dalama
bukunya Material Culture and Mass Consumption, untuk menjelaskan pandangan
Hegel tentang hubungan dialektika antara ‘objek’ dan ‘subjek’. Istilah ini
dijelaskan Miller sebagai “...proses ganda, yang melalui subjek mengekternalisasi
dirinya melalui suatu tindakan kreatif diferensiasi, dan selanjutnya
mengembalikan untuk diri ekternalisasi ini melalui tindakan yang disebut Hegel
sebagai sublasi (semacam pemberian pengakuan) (Miller 1987:28).
Proses objektivikasi ini, menurut Miller, melibatkan hubungan antara
subjek (dalam hal ini adalah manusia, dan biasanya bersifat kolektif), kebudayaan
- sebagai bentuk ekternal - dan artefak - sebagai objek ciptaan manusia. Dalam
kaitan ini, subjek mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan objek-objek,
yang dimaksudkan untuk menciptakan ‘diferensiasi’ (penciptaan perbedaan
dengan objek-objek sebelumnya), kemudian menginternalisasikan
(mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi atau
pemberian pengakuan.
Akan tetapi, dalam proses sublasi ini, sang subjek selalu merasa tidak puas
dengan hasil ciptaannyasendiri karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan
tersebut dengan pengetahuan atau nilai absolut, yang justru beranjak lebih jauh
tatkala ia didekati atau diacu. Sehingga yang kemudian terjadi adalah rasa
ketidakpuasan tanpa akhir serta penciptaan terus-menerus untuk pemenuhannya.
Rasa ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaan inilah yang pengembangan lebih
lanjut dalam suatu dialektika pembicaraan.
Agama dalam konteks budaya berada dalam dialektika ini. Ada seorang
manusia yang melakukan pemaknaan baru terhadap sistem nilai suatu masyarakat
lalu mengemukakannya dengan meminjam simbol budaya yang telah tersedia.
Perbedaan agama sebagai produk budaya dengan produk lainnya - konstruksi
rumah atau model berpakaian, misalnya – terletak pada transendenan yang
dihasilkan agama.
Transendensi – secara harfiah bermakna “yang mengatasi sesuatu” atau “
berdiri di luar sesuatu”. Kematerialan menghentikan manusia pada penyimpulan
buntu, terantuk pada kepejalan dan bentuk yang menipu. Padahal, manusia
dihadapkan pada sejumlah ke-asurd-an yang membingkan dan sering memuatnya
putus asa (kondiri disharmoni). Pada saat itu dibutuhkan pemaknaan yang
sanggup mengeluarkan manusia dari rasa cemas akan kehidupan (angst), suatu
pemaknaan transenden yang kemudian disebut agama. Pemaknaan itu biasanya
disebut nilai-nilai yang meneritakan dunia di luar realitas keseharian (beyond
reality), nilai-nilai itu menjadi lumbung harapan bagi terciptanya harmoni. Hal ini
mungkin terjadi karena harapan akan adanya kehidupan yang adil di “luar sana”
membuat manusia tetap tenang dan sabar di tengah ketidakadilan relitas
keseharian . lumung harapan ini tentu bersifat abstrak: masalah rasa. Ia akan
masuk menjadi harapan priadi manusia ketika manusia melakukan sejumlah
kegiatan yang dianggap berasal dari “dunia asal” lumbung harapan itu. Kegiatan
ini disebut ritual (upacara sakral dengan melakukan kegiatan dan menggunakan
simbol tertentu) yang dirujukkan kepada perilaku yang dulu ( in illo temporae)
dilakukan oleh pencetus pemaknaan transendensi.
Agama, dengan demikian, berasal dari proses objektvasi tertentu yang
bernialai transenden. Sebagai proses objektivasi, di dalamnya melibatkan
hubungan antara subjek ( yang dalam hal ini adalah manusia, dan biasanya ersifat
kolektif), kebudayaan (sebagai bentuk eksternal), dan artefak (sebagai objek
ciptaan manusia). Agama, dalam kaitan ini, terjadi ketika objek
mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan
untuk menciptakan ‘diferensiasi’ (penciptaan perbedaan dengan objek-objek
sebelumnya), kemudian menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-
nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi (pemberian pengakuan).
Hal yang sama terjadi ketika ada suatu agama masuk pada masyarakt lain
di luar masyarakat pembentuknya. Agama itu akan mengalami proses penyesuaian
dengan kebudayaan yang telah ada. Ada kompromi nilai atau simbol antar agama
yang masuk dengan kebudayaan asal yang menghasilkan bentuk baru yang
berbeda dengan agama atau bbudaya asal. Proses penyesuaian ini terjadi begitu
saja dalam setiap proses pemaknaan di tengah masyarakat yang telah memiliki
struktur kebudayaan. Dalam kerangka objektivasi, hal ini terungkap pada saat
proses sublasi atau pemberian pengakuan hasil kerja budayanya. Pada
proses sublasi, sang subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaannya
sendiri, karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan itu dengan pengetahuan
atau nilai absolut dari kebudayaan yang telah ada. Denagn demikian, suatu agama
yang masuk pada masyarakat tertentu tidak pernah bisa ditemukan sebagaimana
dalam bentuk aslinya secara utuh; selalu ada fluiditas atau pelenturan nilai-nilai.
1. Hakikat dan Fluiditas Kebudayaan
Mengutip Rene char, “kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan
tanpa surat wasiat ( notre heritage n’est precede d’aucun testament)”. Lewat
kutipan itu, dapat dikemukakan bahwa pada awalnya kebudayaan adalah nasib,
kemudian baru kita memanggulnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah
penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita yang
menanggung beban kebudayaan itu, sebelum kita bangkit dalam kesadaran untuk
turut membentuk dan mengubahnya.
kutipan itu menunjukkan bahwa pada satu sisi kebudayaan adalah suatu
produk masa lalu dan pada sisi yang lain adalah proses yang kita lakukan dengan
menggunakan produk itu. Melalui kutipan ini, akan dikemukakan juga
kecenderungan melihat kebudayaan seagai kata benda (produk masa lalu) atau
seagai kata kerja (proses).
Kalangan ilmuan sosial sering melihat kebudayaan sebagai realitas, sesuatu
yang sudah diiptakan, dihasilkan, dibentuk ,atau sudah dilembagakan. Ini berarti
kebudayaan dianggap sebagai produk, bukan sebagai proses. Kuntjaraningrat
memandang kebudayaan dalam tiga wujud, yaitu dalam sistem ide-ide, sistem
tingkah laku, dan sebagai perwujudan benda-benda budaya. Ketiga wujud itu
dipandang Kuntjaraningrat sebagai produk. Jadi yang dimaksud dengan ide di atas
adalah ide yang sudah terbentuk bpada suatu kelompok etnis. Tingkah laku yang
dimaksud, misalnya, sistem interaksi yang sudah dimantapkan bahkan
dilembagakan, dan kebudayaan material yang diperhatikan adalah ciptaan berupa
benda-benda fisik yang sudah jadi.
Mengemukakan kebudayaan sebagai produk, barangkali berasal dari cara
pandang yang menerna budaya sebagai artefak on sich. Anggapan terseut akan
berhadapan dengan mereka yang menilai budaya dari sisi proses, seperti mereka
yang menekankan kebudayaan pada ide-ide kognitif saja, yang menyebabkan
kebudayaan dianggap sebagai sistem pengetahuan atau sistem makna (system of
meaning), atau yang menekankan pada ide-ide normatif yang menyebabkan
kebudayaan dianggap sebagai sistem nilai(system of value). Demikian juga dalam
membicarakan tingkah laku, penekanan dapat diberikan kepada tingkah laku yang
berpola, baik tingkah laku sebagai hasil interaksi yang distabilkan dalam pranata
sosial maupun sebagai proses yang ditentukan oleh suatu stimulus luar, baik
stimulus individual dan momentan yang menentukan respons yang bersifat
behavioristik maupun stimulus yang berasal dari struktur yang lebih permanen
yang menimbulkan respons yang bersifat sosio-deterministik. Selanjutnya, benda-
benda kebudayaan material dapat dipandang sebagai alat yang menghubungkan
manusia dengan alam (ini kemudian menghasilkan teknologi), ataupun dipandang
sebagai sarana dalam membina hubungan dengan orang lain (yang kemudian
menghasilkan benda-benda simbol yang merupakan materialisasi nilai atau makna
tertentu).
Cara mengamati kebudayaan sebagai proses ini mengandaikan adanya
kontinyuitas perkembangan, kebangkitan , dan keruntuhan suatu kebudayaan.
Untuk itu, ada dua kebutuhan asasi dalam kebudayaan. Di satu pihak, s,etiap
kebudayaan mempunyai kebutuhan untuk menentang perubahan dan
mempertahankan identitas, dan di pihak lainnya mempunyai kebutuhan dalam
berbagai tingkatannya untuk menerima peruahan, dan mengembangkan
identitasnya lebih lanjut. Atas dasar anggapan ini, kebudayaan akan terus berubah
dalam proses dengan gerakan tiga langkah.
Dipandang dari sudut nilai, yang terjadi dalam proses tersebut adalah
penerimaan nilai-nilai, penolakan nilai-nilai yang sudah diterima, dan penerimaan
niali-nilai baru. Yang berlangsung di sini adalah gerak dari integrasi, malalui
disintegrasi, menuju reintegrasi. Yang berubah dalam proses tersebut adalah
sistem normatif (value system). Kemudian, kalau perubahan ini di pandang dari
sudut kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dari sistem makna (system of
meaning), maka yang terjadi adalah penerimaan suatu kerangka makna atau
kerangka pengetahuan, penolakan kerangka tersebut, dan penerimaan kerangka
pengetahuan dan kerangka makna yang baru. Yang berlaku di sini adalah gerak,
dari orientasi menuju disorientasi, menuju reorientasi. Yang berubah dalam proses
tersebut adalah sistem kognitif. Selanjutnya, kalau perubahan ini dipandang dari
sudut tingkah laku, maka yang terjadi adalah penerimaan pola-pola tingkah laku
dan bentuk interaksi, penolakan pola-pola tersebut, dan pengambilan pola-pola
tingkah laku yang baru. Dilihat dari sudut orang-orang yang berinteraksi, proses
tersebut seakan-akan bergerak dari sosialisasi, melalui disosialisasi, menuju
resosialisasi. Dan jika dilihat dari sudut pemantapan dan pelembagaan bentuk-
bentuk interaksi tersebut, maka yang terjadi adalah pergeseran dari tahapan
organisasi, melalui disorganisasi, menuju reorganisasi tingkah laku.
Dari sisi proses, kebudayaan terlihat sebagai realitas yang tidak pernah
berhenti pada suatu jejak. Jejak selalu menyimpan nostalgia jejak sebelumnya,
sekaligus menyimpan energi yang akan melesatkannya untuk menciptakan jejak
baru. Ketiga jejak itu mungkin saling berbeda tetapi saling berhubungan . dari sisi
proses ini juga terlihat adanya fluiditas (pelenturan) wujud kebudayaan dari posisi
A ke posisi dis-A untuk menghasilkan re-A.
2. Fluiditas
Fluiditas adalah pelenturan suatu budaya ketika ia masuk pada wilayah
kebudayaan lain. Pelenturan itu membuat simbol budaya tersebut memetamorfosis
dalam maknanyayang baru, sekaligus membuat simbol yang sama menjadi
memiliki ketidakjelasan dibandingkan dengan simbol asalnya. Pelenturan ini
terjadi karena manusia bukan mesin foto kopi yang bisa dan mau menjiplak apa
yang diterimanya; manusia selalu menyiasati apa yang diterimanya secara sadar
maupun tidak sadar.
Contoh yang menarik tentang fluiditas ini adalah kaligrafi. Di dunia Islam,
pada awalnya, kaligrafi merupakan seni rupa alternatif yang dilakukan perupa
muslim pada saat ada larangan menggambar makhluk yang bernyawa. Maka seni
rupa dikembangkan dengan mengeksploitasi bentuk huruf Arab yang lentur.
Artinya, seni rupa berdiri tidak di atas kenaturalannya dalam menggambarkan
objek, tetapi dalam makna yang didapat dari kalimat suci yang dieksplorasi dalam
bentuk tertentu yang tidak menyerupai makhluk hidup. Namun, pada masyarakat
tertentu, di Cirebon misalnya, kaligrafi berubah menjadi bentuk gambar yang
tetap mempertahankan aturan asalnya (mengeksplorasi bentuk huruf dari kalimat
suci). Dalam bentuk barunya ini, kaligrafi tetap dinikmati lewat perenungan
makna lafadsnya sekaligus juga bentuk yang dikemukakannya. Misalnya, kaligrafi
kalimah syahadatayn dalam bentuk orang yang sedang duduk tahiyyat atau bentuk
semar, dan kaligrafi bismillah dalam bentuk burung terbang.
Fluiditas ini pula yang membuat realitas sosial tidak bisa dipaksakan sama
dengan grand teori yang berlaku. Teori hanyalah pengantar apresiasi, bukan
penakar yang mutlak mengenai suatu gejala. Misalnya, temuan Endo Suanda di
Cirebon tentang fluiditas budaya kelisanan dan keberaksaraan. Secara teoritis,
perpindahan dari kelisanan menuju keberaksaraan akan mengubah cara berfikir,
misalnya, pada keberaksaan ada asumsi tentang “matinya pengarang” atau tidak
pentingnya kehadiran siapa yang mengungkapkan karena teks bacaan yang di
tangan benar-benar terlepas dari konteks yang melingkupinya dan karenanya
pemaknaan bergantung pada aksara yang tertera. Di Cirebon, demikian ungkap
Endo, teks-teks tulisan tertentu bermakna bukan karena ia memiliki aksara namun
karena ia menyimpan kehadiran tertentu. Jika rumusan kehadiran itu dihilangkan,
aksara yang ada dalam teks menjadi tidak memiliki makna. Teks yang dimaksud
adalah sejumlah rajah. Atau, Endo menambahkan, “Ada jenis fluiditas lain:
kelisanan biasanya dicirikan karena ia diucapkan. Namun, pada tradisi Cirebon,
ada jenis budaya lisan. Hal ini didekatinya dengan cara yang sepadan dengan apa
yang menjadi paradigma tradisi tersebut.
Apa yang dimaksud dengan paradigma di sini adalah keseluruhan susunan
kepercayaan, teknik, nilai, dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota
masyarakat tertentu. Ia dapat menunjukkan sejenis unsur dari keseluruhannya
yang jika digunakan sebagai model atau contoh , dapat memecahkan kehidupan
sosial. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki paradigma.
Dalam keadaan normal, paradigma adalah sistem acuan menyeluruh yang
membimbing kegiatan anggota masyarakat. Gejala tidak dapat lolos dari
paradigma. Sebaliknya, paradigma yang dapat lolos dari gejala. Pengamatan
terhadap gejala selalu dituntun oleh paradigma. Dalam hal ini, si pengamat (yang
juga pelaku) berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara
rinci karena ia tidak sibuk dengan hal-hal fundamental. Paradigma lokal inilah
yang kemudian membuat teori luar yang dihasilkan dari pengamatan terhadap
masyarakat berparadigma lain tidak bisa dijadikan ukuran yang semena-mena.
Penghargaan terhadap paradigma lokal ini berdasarkan asumsi bahwa dalam
sebuah kultur ketidakjelasan merupakan sebuah kekuatan (sebuah daya). Konsep
kultural (yang hidup) itu harus mengandung ketidakjelasan. Ketidakjelasan
memberi ruang kreatif yang seolah tak terbatas, tidak terduga. Ketidakjelasan
memberi fluiditas yang akan menyesuaikan dengan gerak alami (dan juga
logis), human, saat demi saat, serta situasi demi situasi. Jika segala sesuatu dalam
kesenian dapat diperjelas, maka tak ada lagi kekuatannya, tak ada lagi yang
menarik untuk hidup kreatif di dalamnya. Tetapi, dari kenyataan praktis,
sebaliknya, kita pun menyaksikan terus upaya-upaya untuk memperjelas ini
(misalnya, untuk membatasi ruang gerak kehidupan interpretatif) di dunia
birokrasi, negara, ataupun akademi.
Dalam zaman modern ini, upaya formalisasi, penjelasan, dan pemastian,
semakin keras. Fluiditas seperti pada kaligrafi semakin bergeser ke dunia
pembakuan, kepada kekuatan formal bentuk ijasah, surat-surat izin resmi,
keputusan, dan stempel. Sehingga, fluiditasnya bukan lah dala membuat
sistemnya yang cair mengalir, tetapi dalam manipulasinya (bagi orang cerdik) atau
dalam dunia pemalsuannya. Maksudnya, perbedan ini adalah salah satu walau
bukan satu-satunya yang membuat konflik; dari satu sisi naturalnya yang cair, dari
sisi lain interes ke arah ketegaran. Kita sering menyaksikan konflik atau
ketegangan dalam berbagai bentuk: antara kehidupan formal dan riel.
Maka membaca kebudayaan tidak sama dengan membaca bagian-bagian
spesies dalam ilmu alam. Di dalam wacana kebudayaan kedinamisan menjadi
tantangan utama yang mementahkan setiap upaya untuk merumuskan secara
mutlak apa yang di temukan di suatu wilayah. Dengan fluiditas, kita akan
menemukan betapa suatu kebudayaan ketika memasuki wilayah lain akan
mengalami perubahan (dalam makna positif atau negatif) yang tidak bisa
ditemukan di wilayah asalnya.
3. Membaca kebudayaan adalah menafsir
Teori sosial pada awalnya bersifat historis dan komparatif. Objek analisanya
berupa kasus tertentu, seperti telaah Weber mengenai irokrasi Jerman atau tulisan
Marx tentang kapitalisme Inggris. Dalam sudut teori ini, memahami suatu
masyarakat berarti memahami perbedaannya dengan berbagai bentuk kehidupan
di masa-masa dan tempat yang berbeda.
Kemudian, setelah perang Dunia II, terjadi perubahan arus utama tradisi
intelektual dalam ilmu sosial, yaitu berkembangnya “teori modernisasi” yang
menerapkan analogi antara evolusi sosial dan organik.teori ini menyatakan bahwa
munculnya bentuk-bentuk sosial yang lebih kompleks ditentukan oleh dua prose
kembar, yaitu spesialisasi dan diferensiasi struktural pada satu sisi, dan pada sisi
yang lain ditentukan oleh mekanisme integrasi dan koordinasi sosial. Untuk
mengamati perubahan sosial yang terus bertambah rumit, teori ini mengemukakan
pengkhususan dalam penilikannya, yaitu bahwa teori ilmu sosial, secara khusus,
harus menilik perkembangan simbol-simbol kebangsaan dan komunitas yang
lebih universal. Perkembangan simbol-simbol yang lebih universal ini pada
gilirannya akan melemahkan ikatan-ikatan sempit keluarga, suku, agama,
menghilangkan potensi perpecahan dan menyediakan suatu konsensus umum bagi
kehidupan politik.
Dengan terus bertumpu pada historisitas dan komparatif, teori ini
dikembangkan menjadi paradigma modernisasi. Watak paradigma ini adalah
terjadinya generalisasi yang berlebihan terhadap apa yang terjadi di Barat.
Pendekatan ini akhirnya memaksakan suatu model deterministik yang sempit atas
perubahan yang terjadi di dunia Barat.
Kesempitan teori ini akan menyulitkan ketika peneliti ilmu sosial
menerapkannya dalam studi kasus-kasus real. Generalisasi teori modernisasi yang
mengatakan bahwa modernisasi mengarahkan struktur budaya lama
menumbuhkan struktur budaya baru yang lebih barat tidak selamanya ditemukan
pada kasus real. Gebertz, misalnya, pada salah satu penelitiannya menekukan
bahwa pembangunan seringkali menguatkan kembali struktur-struktur sosial lama,
bukan menghilangkan mereka untuk membebri tempat kepada lembaga-lembaga
baru yang lebih khusus.
Akhirnya, teori modernisasi merosot ketika “konsensus ortodoks” (Giddens,
1984, xv) yang mendasari program kerjanya dipertanyakan. Kemerosotannya
berkaitan dengan perkembangan yang lebih luas di dalam dan di luar ilmu-ilmu
sosial. Di Barat, misalnya, konflik seputar masalah ras, gaya hidup, agama, gender
memberi kesan kepada pengamat bahwa masyarakat modern belum mencapai
suatu “konsensus kewargaan” yang kuat seperti diduga. Di dunia ketiga,
kekeacauan politik, pertentangan etnis, dan pertumbuhan yang tidak merata
mengemukakan fenomena bahwa perubahan modernisasi hanya teoretis belaka
walaupun telah dilakukan proses pembangunan dan sejenisnya.
Lalu,ilmuan sosial , seperti Geertz, mengajukan “pembentukan kembali
pemikiran sosial” (1983, 19) yang mulai melirikb penggunaan hermeneutik dalam
mengamati kasus-kasus sosial real. Pendekatan ini berpusat pada makna dalam
memahami kehidupan sosial. Realitas sosialberbeda dengan dunia alam yang
berproses secara lepas dari pengetahuan pada pelakunya, tidaklah terwujud
objektif. Realitas sosial secara rumit dibentuk oleh kultur dan makna karena para
pelaku menggunakan pengetahuan mereka untuk menyesuaikan dirinya dan
mengubah dunia dimana mereka menjadi bagiannya. Artinya, ilmu sosial tidak
bisa diukur dengan paradigma ilmu alam. Pada ilmu sosial, objek penelitian
bergerak aktif dan tak terduga, sedangkan objek ilmu alam diam dan bisa
diprediksi. Atas dasar pemikiran itu, maka interpretasi kebudayaan harus menjadi
inti usaha sosiologis, bukan sekadar piranti dalam ilmu sosial (Berger &Luckman,
1966, 18).
Pendekatan ini mendorong penelitiuntuk memperhatikan sejarah dan budaya
lokal, serta mengembangkan model-model perubahan sosial dari bawah ke atas
(bottom up), bukan melalui deduksi dari pernyataan-pernyataan abstrak. Namun ,
penolakan terhadap teori modernisasi membuat banyak ilmuan sosial menolak
secara berlebihan konsep perbandingan umum dan analisis kausal yang menjadi
unsur penting dalam teori ilmu sosial sejak awal. Dengan tegas, mereka menolak
model-model masyarakat mekanistis, atau “fisika sosial tentang hukum-hukum
dan sebab-sebab” dalam istilah Geertz.
Para penolak ini biasanya mengacu pada apa yang telah dilakukan Weber.
Penelitian Weber yang menekankan pada tindakan yang bermakna serta menolak
paradigma ilmu alam, dalam pendekatannya, menjadi model teoriantimodernisasi
ini. Padahal, Weber sendiri menolak pendapat bahwa upaya mencari generalisasi
kausal adalah salah, atau anggapan bahwa kausalitas dalam ilmu sosial mereduksi
penelitian ilmu sosial menjadi ilmu alam. Weber percaya, ada hambatan-hambatan
kausal dalam perkembangan masyarakat, tetapi itu semua berlangsung secara
berbeda dari cara kerja alam, sekalipun hal itu berlangsung tanpa sepengetahuan
pelaku, pengaruhnya yang lebih luas tercermin dalam pengetahuan para pelaku
tentang lingkungan mereka (Giddens, 1971, 150).
Weber menekankan bahwa tujuan akhir dari “pemahaman interpretatif” atas
tindakan sosial adalah untuk sampai pada “penjelasan kausal mengenai berbagai
peristiwa beserta akibatnya” (Weber, 1947, 88). “kadang-kadang,” ungkapnya,
“suatu telaah menyeluruh semacam itu memaksa sang analisis untuk keluar dari
semua parameter yang berdasarkan penghayatan atau pengamatan yang disadari.
Sebagai pemahaman interpretatif, realitas dan tindakan sosial dianggap
sebagai “teks” sebagaimana layaknya kegiatan penafsiran. Teks yang dimaksud
berarti apa yang “dikatakan” oleh tindakan sosial. Pendefinisian teks hanya
sebagai apa yang “dikatakan” oleh tindakan sosial membuat realitas dan tindakan
sosial mirip dengan objek ilomu alam, yaitu adanya distansi antara pengamat yang
menentukan penilaian mutlak terhadap objek pengamatan yang tidak menelusuri
lebih dalam terhadap perilaku sebagai referensi pendukung atas apa yang
terkatakan itu. Padahal, suatu tindakan sosial dapat menimbulkan konsekuensi
praktis yang mempengaruhi kondisi manusia, meskipuntidak disadari oleh para
pelakunya. Artinya, pengaitan apa “yang dilakukan” mempengaruhi pemahaman
terhadap realitas sosial ketimbang hanya bertumpu pada apa yang “dikatakan”
sejauh diamati saja.
Untuk lebih memahami realitas sosial, Hefner, misalnya, mengajukan
tambahan terhadap pendekatan interpretatif, yaitu circumstantial. Arinya, di
samping menganalisis segala perubahan yang tampak , penelitian sosial berupaya
juga memperhatikan berbagai kekuatan yang tidak tampak atau disadari tetapi
berpengaruh terhadap perilaku manusia. Dengan pendekatan ini, penelitian tidak
menjadi “hipotesis kausal atau genetik” sehingga sanggup menyajikan suatu
“uraian yang murni deskriptif”. Pendekatan yang dikemukakan Hefner ini bersifat
sosio-genetik, yakni penelaahan berbagai bentuk dan makna cara hidup suatu
masyarakat serta lingkungan yang mempengaruhi keberadaan dan perubahannya.
Dengan pendekatan ini, teori interpretatif bisa melepaskan diri dari
kecenderungan melepaskan pengamatannya terhadap masalah-masalah kekuasaan,
kepentingan, ekonomi, dan perubahan sejarah yang sedikit banyak mempengaruhi
tindakan sosial sambil terus menjaga penelitian sosial dari kecenderungan “secara
prematur mengabaikan atau mereduksi keberagaman kultural” (Marcus dan
Fischer, 1986, 33).
Penyertaan berbagai kekuatan yang tidak tampak tetapi berpengaruh pada
kehidupan sosial (circumstantial constrcaint) akan menyelamatkan
kecenderungan partikularisme. Kecenderungan yang memperlakukan “
masyarakat, bahkan desa, seolah-olah sebagai pulau tersendiridengan sedikit
pengertian mngenai sistem hubungan yang lebih luas dimana satuan-satuan itu
berada” (Ortner, 1984, 142). Peneliti ilmu sosial, dengan demikian , terbebas dari
anggapan bahwa pemahaman realitas sosial hanya perlu memperhatikan makna
dunia setempat tanpa kepedulian sejarah atau lingkungan material.
B. Agama Merupakan Bagian Kebudayaan
Suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak
yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang
yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah
pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan,
dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat diseut kebudayaan.
Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan,
karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar
bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan,
akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan
sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal
kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun kesanggupan
dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Menurut pandangan ini realisasi
dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan,
sehingga “agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan”.
Para sarjana terutama sarjana Barat nampaknya melihat agama yang banyak
dan beraneka ragam di dunia ini sebagai hal yang sama dan pada dasarnya sama.
Dalam pemikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu
pada dasarnya adalah sama dan merupakan “fenomena atau gejala sosial” yang
dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Menurut mereka, dalam
kehidupan manusia terdapat aspek umum yang bernama agama. Genus agama itu
mengandung “species” yang bermacam-macam, diantaranya adlah agam Islam.
Sebenarnya, apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu
adalah “garis batas Tuhan dan manusia” maka wilayah agama dan wilayah
kebudayaan itu pada dasarnya tidak “statis”, tetapi “dinamis”, sebab tuhan dan
manusia berhubungan secara dialogis, dimana manusia menjadi
“khalifah” [wakil]-Nya di bumi. Maka pada tahapan ini, adakalanya antara
“agama” dan “kebudayaan” menempati wilayah sendiri-sendiri, dan adakalanya
keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu yang disebut dengan “wilayah
kebudayaan agama”.
Agama sesungguhnya untuk manusia, dan keberadaan agama dalam praktik
hidup sepenuhnya berdasar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya
manusia untuk agama. Oleh karena itu, agama untuk manusia, maka agama pada
hakekatnya menerima adanya pluralitas dalam memahami dan menjalankan
ajaran-Nya. jika agama untuk manusia; amak agama sesungguhnya telah
memasuki wilayah kebudayaan dan menyejarah menjadi kebudayaan dan sejarah
agama adalah sejarah kebudayaan agama yang menggambarkan dan
menerangkan bagaimana terjadi proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran
manusia tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan
dalam realitas kehidupan manusia dan dalam sejarah perkembangan agama itu,
sehingga “agama yang menyejarah telah sepenuhnya menjadi wilayah
kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya sejarah
agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.
Di kalangan sarjana barat, penganjur kelompok ini adalah Emil Durkheim ,
seorang sarjana Perancis, yang agaknya ikut mempengaruhi pemikiran sebagian
sarjana indonesia. Salah seorang sarjana Indonesia Koentjaraningrat, yang
menurut pengakuannya sendiri telah terpengaruh oleh konsep Emil Durkheim.
Dengan menggunakan istilah “religia” dan bukan “agama” [karena menurut
beliau lebih netral], Koentjaraningrat berpendapat bahwa religie merupakan
bagian dari kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat ini di dasarkan kepada
konsep Durkheim mengenai dasar-dasar religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap
religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu:
a) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius.
b) Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib.
c) Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan
Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.
d) Kelompom-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut
sistem kepercayaan tersebut.
Koentjaraningrat, menyimpulkan bahwa “komponen sistem kepercayaan,
sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang menganut sistem
kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius, jelas merupakan ciptaan
dan hasil akan manusia. Adapun komponen pertama, yaitu emosi keagamaan,
digetarkan oleh cahaya Tuhan. Relegi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari
kebudayaan tetapi cahaya Tuhan yang mewarnainya dan membuatnya keramat
tentunya bukan bagian dari kebudayaan.
Pendirian Koentjaraningrat di atas tercermin dalam teori cultural-
universala-nya, dimana beliau memasukkan religi sebagai isi (bagian) dari
kebudayaan yaitu:
a) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah
tangga, senjata, alat-alat produksi, alat transport, dan lain sebagainya.
b) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
sistem produksi, sistem distribusi, dan lain sebagainya.
c) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum,
sistem perkawinan).
d) Bahasa (lisan maupun tertulis).
e) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya).
f) Ilmu pengetahuan.
g) Relige.

C. Agama Bukan Wahyu- Merupakan Bagian dari Kebudayaan


Secara faktual, agama di dunia ini banyak, beraneka ragam, berbeda-beda
dan mempunyai asal usul dan sejarah sendiri-sendiri. Hal ini merupakan relitas
dunia yang tidak dapat dielakkan. Artinya, semua agama yang ada di dunia ini
beraneka ragam, berbeda-beda asal usul dan sejarahnya, ditinjau dari segi
sumbernya dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok, pertama, agama alamiyah adalah agama ciptaan atau hasil karya
manusi dinamakan pula agama “filsafat”, agama bumi, dan agama
budaya. Kedua,agama samawiyah yakni agama yang diwahyukan Allah
kepadapara Nabi dan Rasul-Nya. juga disebut “agama wahyu”, agama langit, dan
agama profetis.
Ahmad Abdullah al-Masdoosi, merumuskan perbedaan antara agama wahyu
[agama samawiyah] dengan agama bukan wahyu [agama budaya] sebagai berikut:
1. Agama wahtu berpokok pada konsep “ke-Esaan Tuhan”, sedangkan agama
bukan wahtu tidak.
2. Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.
3. Bagi agama wahyu sumber utama tuntutan dan ukuran baik buruk adalah kitab
suci yang diwahyukan sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak esensial.
4. Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu,
kecuali “paganisme”, lahir di luar area tersebut.
5. Agama wahyu timbul di daerah-daerah yang secara historisdibawah pengaruh
ras semitik
6. Sesuai dengan ajaran dan atau historisnya, maka agama wahyua adalah agama
missionary.
7. Ajaran agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para
pemeluknya. Para pemeluknya berpegang, baik kepada aspek duniawi atau aspek
spiritual dari hidup ini. Agama bukan wahyu tidak demikian. Klasifikasi agama ke
dalam dua jenis [agama alamiyah dan agama samawiyah] dan ciri-ciri pokok yang
membedakannya secara tajam, dimaksudkan untuk “menghindari generalisasi”
dan pencampuradukan serta penyamarataan semua agama. Dengan demikian,
perlu ditegaskan bahwa agama tidak merupakan genus yang mempunyai
species, akan tetapi dengan klasifikasi dua gejala alamiyah yang disebut agama
budaya yang timbul dari kehidupan manusia sendiri dan agama samawiyah atau
wahyu yang diberikan Allah swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.

D. Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian kebudayaan


Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa “agama samawi dan budaya tidak
saling menakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian daripada yang
lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling
hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan
manusia sehari-hari. Sebagaimana pula sebaliknya.
Atas dasar itu, perlu ditegaskan bbahwa agama islam sebagai agama samawi
bukan merupakan bagian dari kebudayaan [Islam], demikian pula sebaliknya
kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Artinya antara
agama dan kebudayaan masing-masing berdiri sendiri-sendiri, namun di sisi lain
terdapat kaitan erat antara keduanya.
Hubungan erat itu adalah Islam merupakan dasar, asa, pengendali, pemberi
arah dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan
dan perkembangan cultural. Agama Islamlah yang menjadi pengawal,
pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia
menjadi “ kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam”.
Begitu pula berhubungan agama Islam dan kebudayaan islam itu berdiri
sendir, artinya ada saling paut dan saling kait yang erat antara keduanya, maka
keduanya dapat dibedakan dengan jelas dan tegas. Shalat, misalnya adalah unsur
ajaran agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan
Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia, dan juga
menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat
shalat, kemudian orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah
dan indah, bangunan masjid itulah kebudayaan. Sedangkan, seluruh segi ajaran
Islam menjadi tenaga penggerak bagi penciptaan budaya.
Pandangan G.E Von Grunebaum yang dalam salah satu pengantar katanya
tentang “profil peradaban islam”, mengatakan, bahwa: “dalam perkembangan
selanjutnya, islam berkembang menjadi suatu peradaban”. Jika diteliti secara
seksama pandangan tersebut menagndung pengertian bahwa pada mulanya Islam
itu agama, kemudian dala pertumbuhan selanjutnya berkembang menjadi
peradaban. Faisal Ismail, menyatakan ini tidak benar! Islam selamanya adalah
agama dari sejak diturunkan sampai sekarang dan sampai hari akhir. Islam tidak
pernah berkemang menjadi peradaban atau kebudayaan dalam masyarakat
penganutnya.
Suatu hal yang perlu mendapatkan penekanan adalah bahwa Islam dan
kabudayaan Islam adalah berbeda, artinya masing-masing berdiri sendiri
[agama=wahyu, kebudayaan = produk akal]. Tentu saja harus adasaling kait
antara keduanya agar tetap menjadi kebudayaan islam. Tetapi lain halnya dengan
agama-agama suku [agama alamiyah yang dianut oleh suku-suku tertentu],
perpaduan antara “agama dan kebudayaan” sangat erat sekali, bahkan sulit
dipisahkan, artinya kebudayaan adalah sama dengan agama (contoh; agama hindu
di Bali).
Dalam agama-agama suku,orang melakukan sesuatu aktivitas, dilakukan
dengan “mantra” dan “sajian”. Oleh karena itu dalam agama-agama suku,
kultur/kebudayaan dalam setiap seginya sangat erat dan dan tidak terpisahkan
dengan ibadat [cultus]. Sebagai contoh, amati kehidupan keagamaan hindu di
masyarakat Bali, dimana “antara agama, adat-istiadat, tradisi, seni budaya sulit
dibedakan dan dipisahkan dari ritual agama, karena semuanya lebur dalam satu
kesatuan yang utuh dan padu [terintegrasi]. Upacara peribadatan, tabuhan,
nyanyian, adat-istiadat dan tradisi serta kesenian saling berkait secara utuh.
Upaara-upaara keagamaan disertai dengan sajian, tarian, nyanyian, seni dan
sebagainya, disini dapat dikatakan bahwa kebudayaan sama dengan agama,
artinya agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena keduanya menyatu.
Dalam islam, unsur-unsur kebudayaan “terlarang masuk ke dalam [ajaran]
agama”. Misalnya saja, orang dapat melakukan shalat langsung kepada Allah
tanpa disertai media nyanyian, tarian, saji-sajian, dan unsur-unsur kebudayaan
lainnya. Dengan demikian, agama Islam tetap terpelihara dan terjaga kemurnian
dan keasliannya, tidak tercampuri oleh adanya anasir-anasir kebudayaan yang
hendak menyusup dan disusupkan ke dalam agama ia pasti ditolak dan akan
diketahui karena agama Islam dapat dibedakan dengan hal-hal yang bukan agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik.
Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan.
Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang lainnya,
Hubungan manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam
dialektika gamsut ini. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi
masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati
senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat
telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah
individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses
sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan berpegang pada suatu
identitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat.
Suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak
yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang
yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah
pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan,
dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan.
Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan,
karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar
bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan,
akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan
sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal
kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun kesanggupan
dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1981. Politik, kebudayaan, dan Manusia Indonesi. LP3ES. Jakarta.

Al-masdoosi, Ahmad Abdullah. 1962. Living Religions of the Word: a Socio-political


Sudy, English Renderring by Zavar Ishaq Ansari karachi: Begum Aisha Bawany
Wakf.

Anshari, Endang Saifuddin. 1980. Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu.

Asy’ari, Musa. 1999. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. LEFSI. Yogyakarta.


20

Anda mungkin juga menyukai