SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
EDI EFFENDI
104043101315
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Edi Effendi
104043101315
Pembimbing I Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Dengan segenap jiwa, dan tambatan pikiran, untuk bahasakan rasa syukur
kepada Allah SWT, pusatkan gerak dan lagat jiwa serta tubuh untuk ucapkan
kewajiban studinya, yaitu penulisan skripsi guna memenuhi syarat dalam rangka
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
umat, dan sang sosial-revolusioner baginda Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat,
Dalam kesempatan ini pula, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas
kerjasama dan bantuannya, baik moril maupun materil. Karena penulis menyadari
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Dekan Fakultas
3. Bapak Dr. Ahmad Mukri Adji. M.A, Ketua Jurusan PMH, dan Dr.
iii
arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Bapak Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum, dan Bapak Dr. Asmawi. M.Ag sebagai
masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi
6. Semua Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang
7. Ayahanda M. Salim, dan Ibunda Jumilah yang mengajarkan bahasa cinta dan
Ratnawati. Abang Jamin, dan adikku Andrianto, serta Abang Zulkifli dan
menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak lupa pada keponakan yang kurindu:
Riki, Era, Zillah, dan Tina. Kalian semua mutiara dalam hidupku yang di
semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir kuliyah ini.
iv
9. Teman-teman PMF B angkatan 2004: Mustofa, Andri, Arul, Sugeng, Husaini,
Abul, Abdur, Abdul, Halim, Muliarto, Zai, Endar, Rusli, Robi, Syarki, jefi,
10. HMI Komfaksyi, LKBHMI, LEMI dan Saudaraku Gang Kodok: Panji Patra
Anggaredho. SE.I, Rama Jhuwandi. SH.I, Iwin Indra. SH.I, Minhazul Abidin,
Dani, Mudasir, dll. Terima kasih saya pada himpunan ini, teruslah berkiprah.
saudaraku: De’ Hafiz, De’ Sidik, De’ Cahya, De’ Aqin, De’ Bahtiar, De’
Adam, De’ Idam, De’ Mustofa, De’ Rhasid, De’ atDaulay, De’ Ade, De’
Ainul, De’ Silly, De’ Ociem, De’ Ozie, De’ Sofie, De’ Rafika, De’ Arma, De’
Tari dll.
12. Teman-teman Gang Buntu (SaunG): Anas, Ridho, Suwidi, Mannan, Ulin,
Semoga segala bantuan, dukungan dan do’a untuk penulis mendapat balasan
yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi wacana keislaman. Kepada-
Edi Effendi
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
vi
A. Pidana Mati: Antara Norma yuridis dan praktik......................... 37
21/PUU-I/2008............................................................................ 56
MAHKAMAH KONSTITUSI
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 85
LAMPIRAN............................................................................................................. 93
vii
BAB I
PENDAHULUAN
kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia
memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada
hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia
buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus
mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan
syariat. Dalam hal ini Allah sebagai syariat atau pembuat syariat.
ditetapkan Allah untuk kaum muslim, baik yang ditetapkan al-Quran ataupun
Sunnah Rasul, karena itu syariat mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al-
“syariat ialah hukum yang telah ditetapkan Allah bagi hambanya (manusia) yang
dibawa Nabi, baik yang berkaitan dengan perbuatan yag dinamakan hukum-
hukum cabang dan amaliah yang di kodifikasikan dalam Ilmu Fiqih, ataupun
1
Muhammad Yusup Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik Madaniy
dan Hamim ( Jakarta, CV. Rajawali, 1998 ), h. 131
1
2
didasarkan atas suatu message (tugas kewajiban) dan menuju kepada suatu
objektif yang nyata. Dengan dasar pandangan ini kita lebih dapat memahami
sabda Tuhan dalam al-Quran yang selalu menekankan tanggung jawab manusia
itu bersifat individu (perorangan, bukan kelompok) dan bahwa hukum Islam
yang oleh para ahli-ahli hukum Inggris terkenal sebagai “rule of law”. Kita
melihat bahwa individu pun menpunyai hak terhadap negara. Hak-hak individu
terhadap Negara terutama apa yang yang dinamakan “Hak-Hak Azasi Manusia”
2
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, cet, Ke- I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980 ), h. 106-107
3
Noor Wahid Hafiez, Pidana Mati Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), h.. 111
4
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. Ke- III, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995), h. 89
3
dan kini lebih terkenal sebagai hak-hak manusia, dengan telah diterimanya
tidak akan terjamin dengan menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini diakui,
yang diperlukan ialah suatu kesediaan yang lebih konkrit. 6 mencapainya dengan
penegakan hukum, tegasnya setiap yang bersalah atau melakukan kejahatan mesti
dihukum.
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 7
Sesuai dengan bahasan ini terkait pidana mati, ada beberapa hukum yang
nyawa seseorang bisa diancam hukuman pidana mati, tertera dalam pasal 340 ayat
5
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), h. 3
6
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, h. 4
7
Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945
8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
4
tentang Narkotika, pasal 80 ayat (1) huruf a, dan kejahatan atau pelangaran
(2). 9
Hukum Pidana (KUHP) mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara
berdiri”. 10
kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang
kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut karena seiring dengan
perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung
memakan waktu yang lama, maka hukuman mati digantung diubah dengan cara
Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang
9
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undand-undang Nomor
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
10
Pasal 11 dalam KUHP
5
Tahun 1969. 11
Ada beberapa macam bentuk tata cara pelaksanaan pidana mati di dunia,
Sebagai perbandingan dari macam-macam tata cara pidana mati yang masih
1. Digantung (hanging)
3. Ditembak (shooting)
mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara
daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia
11
Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati
12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara
Pengujian Undang-Undang
6
Selanjutnya dari uraian diatas pada tanggal 6 agustus 2008 telah diterima
02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan
Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan
UUD 1945. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin Nurhasyim
als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra (terpidana mati kasus bom Bali).
dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki
13
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 226
14
Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati
15
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta. PT, Buana
Ilmu Popular, 2007), h. 581
16
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, h. 588
7
Undang-Undang Dasar
cara pelaksanaan pidana mati dan bagaimana perspektif hukum Islam yang mana
masalah pertama: tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam, kedua:
hukum Islam ?.
8
05/Tahun/1969 ?.
C. Tujuan Penelitian
No 05/Tahun/1969.
ada beberapa karya atau peneliti yang membahas terkait dengan penulis bahas .
Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan” secara umum buku ini
membahas praktik pidana mati dari masa kemasa dengan menjelaskan perubahan
9
tata cara dan dari segi teorinya. Singkatnya dipaparkan pidana mati dilihat dari
lalu dengan yang berlaku sekarang, menjelaskan proses pidana mati merupakan
Jawab), bahasan dalam buku mencoba memaparkan dan menjelaskan pidana mati
secara teori maupun praktik menurut para ahli-ahli hukum dan dari beberapa
dilihat dari norma yuridis maupun praktik dan memaparkan perbedaan pendapat,
apakah pidana mati benar-benar bisa atau tidak efektif dalam mengurangi dan
dalam putusan pidana mati dan menjelaskan cara pelaksanaan pidana mati yang
pelaksanaan pidana mati, juga menjelaskan cara hukuman mati yang terdapat
dalam pasal 11 KUHP yang telah dicabut atau tidak diberlakukannya, dan
memaparkan tinjauan pidana mati dari beberapa aspek dari teori, dan
10
memaparkan alasan mereka yang pro ataupun yang kontra terhadap hukuman
mati.
Dewasa Ini” dalamnya penulis mencoba menjelaskan sesuai dengan judul diatas,
secara doktrin hukum dan juga mencoba menjelaskan beberapa teori yang dianut
Hukum Islam” dibahas bagaimana pidana mati dalam Islam beserta dalil-dalil
beberapa buku yang terkait dalam bahasan ini, juga meneliti di pustaka Fakultas
Syariah dan Hukum, Peneliti tidak menemukan di pustakaan Fakultas Syariah dan
mati dalam Islam dengan pratik hukuman mati di Indonesia yang diatur dalam
IV/2008, dengan pendekatan nilai atau syarat-syarat (doktrin hukum Islam) yang
E. Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
yaitu penelitian yang kajianya menelaah beberapa literatur hukum yang terkait
hukum normatif-dokrinner
dokumentasi yang selanjutnya disebut data primer dalam penelitian ini dan
bahan yang membantu atau bahasan yang terkait dalam penelitian ini disebut
Analisis data dalam penelitian ini adalah berdasarkan tehnik analisis isi data
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Skripsi ini dibagi atas lima (5) bab, tiap-tiap bab
penelitian ini.
pidana mati dalam hukum Islam dan bagaimana tata cara hukuman
mati menurut hukum Islam dan juga memaparkan praktik pidana mati
Bab III Membahas pidana mati: antara norma yuridis dan praktik, dan materi
Bab IV Merupakan bab yang menganalisis tata cara pelaksanaan pidana mati
Bab V Adalah bab penutup, berisi kesimpulan penulis, saran dan kritik bagi
Ada tiga asas dalam bidang hukum pidana Islam yang harus diperhatikan
selain dari asas umum lainnya seperti, asas keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan. 1 Beberapa asas di bawah ini juga bisa melihat tujuan pemidanaan
itu sendiri.
1. Asas Legalitas
Tidak ada pelanggaran atau tidak ada hukuman sebelum ada Undang-
Undang atau aturan tetap yang mengaturnya. Dalam al-Quran ayat (15) surat
al-Isra’ dihubungkan dengan anak kalimat dalam ayat (19) surat al-An’am
1
H. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, Cet, Ke- 10, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001), h. 117
15
16
dalam surat Muddatstsir dikatakan bahwa setiap jiwa terikat apa-apa yang ia
kerjakan dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang
diperbuat oleh orang lain, dikatakan juga dalam surat al-An’am ayat (164),
menerima balasan kejahatan yang di lakukannya, ini berarti tidak ada suatu
perbuatan kejahatan atau dosa seseorang yang bisa ditanggung oleh orang lain
Perlu diperhatikan juga asas praduga tak bersalah dalam pidana, dalam
adanya pengadilan yang adil (trial fair), jadi seseorang yang dituduh
bahasa berasal dari kata: ( )ﻋﻘﺐyang sinonimnya: ()ﺑﻌﻘﺒﻪ وﺟﺎء ﺧﻠﻔﻪ, artinya,
2
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, h. 118-119
17
Dalam kamus istilah fiqih kata “uqubah” berarti: “hukuman badan yang
telah ditentukan oleh syara’, yang telah dilakukan seseorang ”, disebutkan juga
“uqubah” ada dua macam yaitu, “uqubah ashliyyah ”, hukuman asal yang telah
ditentukan syara’ seperti hukuman potong tangan bagi pencuri baik laki-laki
badaliyyah” hukuman sebagai pengganti hukum asli yang telah ditetapkan oleh
syara’ seperti, membayar seratus ekor unta sebagai pengganti hukuman bagi yang
ع
ِ ﺸﺎ ِر
ن َأﻣْ ِﺮ اﻟ ﱠ
ِ ﻋﺼْ َﻴﺎ
ِ ﻋَﻠﻰ
َ ﻋ ِﺔ
َ ﺠ َﻤﺎ
َ ﺤ ِﺔ اﻟ
َ ﺠ َﺰا ُء اﻟ ُﻤ َﻘ ﱠﺮ ُر ِﻟ َﻤﺼَْﻠ
َ ﻲ اﻟ
َ اﻟ ُﻌ ُﻘﻮْ َﺑ ُﺔ ِه
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu
tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang
3
H. Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah),
(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), Cet, Ke- 1, h. 136
4
M. Abdul Mujieb, Mabrul Tholhah, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet, Ke- 3
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.
5
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kitab al-
‘Araby, tt.), h. 609.
18
pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri
6
Mashood A. Baderin, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj.
Musa khazim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNASHAM, 2007), h. 39-40
7
Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
137-139
19
untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak
berbuat seperti itu dan serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah, oleh
karena tujuan hukuman pencegahan dalam hal ini, maka dalam pemberian
hukuman haruslah sesuai dan cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak
boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan begitu terdapat
jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini
adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu
dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT. Selain kebaikan pribadi,
baik yang diliputi hidup saling menghormati dan mencintai antara sesama
balasan yang telah diperbuat dan sebagai sarana penyucian diri, 8 serta harapan
masyarakat.
Telah dijelaskan di atas maksud atau tujuan pidana Islam adalah menjaga
lingkungan yang saling menghormati dan menghargai hak individu maupun hak
masyarakat secara umum, tentunya dalam kehidupan sosial. Selain itu juga
(mafsadah). Begitu juga tentang hukuman mati dalam syariat Islam adalah untuk
Sanksi pidana mati dalam hukum Islam ada beberapa kategori kejahatan
8 Hukuman bagi pelaku kejahatan sebagai rehabilitasi atau perbaikan. Lihat Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet, Ke- 31, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), h. 409
9
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-5, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 255
Hukum Islam membagi tindak pidana pada tiga bagian yaitu, pidana
dalam jarimah, yang sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya. Akan
tetapi secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari
beberapa segi antara lain ditinjau dari segi berat ringannya hukuman yakni:
a) Pidana hudud
ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2) hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
11
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jima’i al-Islamiy
Muqarrana bil Qanunil Wad’iy, terj. Tim Tsalisah, jilid ke- 3, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu), tt, h.
111
22
sebagai berikut 12 .
س
ِ ﻦ اﻟ ﱠﻨﺎ
َ ﺣ ٍﺪ ِﻣ
ِ ﺺ ِﺑ َﻮ ا
َوَﻟﻢْ َﻳﺨْ َﺘ ﱡ،ﺸ ِﺮ ﱠﻳ ِﺔ
َ ﻋ ِﺔ اﻟ َﺒ
َ ﺠ َﻤﺎ
َ ْﻖ ِﺑ ِﻪ اﻟ َﻨﻔْ ُﻊ اﻟ َﻌﺎ ﱡم ِﻟﻠ
َ ﷲ َﻣﺎ َﺗ َﻌﱠﻠـ
ِ ﻖا
ﺣﱡَ
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut,
13
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, h. 79
23
disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak
hukuman dengan qhisas dan diat. Baik qhishas maupun diat keduanya adalah
had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan
qhishas dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud
berikut.
س
ِ ﻦ اﻟ ﱠﻨﺎ
َ ﻦ ِﻣ
ٍ ﺣ ٍﺪ ُﻣ َﻌﱠـ َﻴ
ِ ص ِﻟ َﻮا
ﺧﺎ ﱞ
َ ٌﻖ ِﺑ ِﻪ َﻧﻔْﻊ
َ ﻖ اﻟ َﻌﺒْ ِﺪ َﻓ ُﻬ َﻮ َﻣﺎ َﺗ َﻌﱠﻠـ
ﺣﱡَ
pengertian hak manusia di sini adalah hukuman tersebut bisa dihapuskan atau
Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qhishas dan diat itu adalah
syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal sudah ditentukan
24
terhadap pelaku.
dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir secara bahasa ialah ta’dib atau
Imam al-Mawardi, ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak
pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’. Secara ringkas dapat
dikatakan hukuman jarimah ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan
belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal.
14
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
19
25
Ada beberapa defenisi dari para ulama fiqh atau mazdhab mengenai
tersebut, maka dapat dipahami makar adalah tindakan sekelompok orang yang
sanksi keras terhadap jarimah makar, karena jika tidak demikian maka akan
ﻷﺧْ َﺮى َﻓﻘْ ُﺘُﻠﻮْا ُ ﻋَﻠﻰ اَ ﺤﻮْا ا َﺑﻴْ َﻨ ُﻬ َﻤﺎ َﻓِﺈنْ َﺑ َﻐﺖْ ِإﺣْ َﺪا ُه َﻤﺎ
ُ ﻦ اﻗْ َﺘ َﺘُﻠﻮْا َﻓَﺄﺻِْﻠ
َ ْﻦ اﻟ ُﻤﺆْ ِﻣ ِﻨﻴ
َ ن ِﻣ
ِ ﻃﺎ ِﺋ َﻔ َﺘﺎ
َ َْوِإن
ﷲ
َ نا ﻄﻮْﺁ ِإ ﱠ
ُ ﺴـ
ِ ْل َوَأﻗ
ِ ْﺤﻮْا َﺑﻴْ َﻨ ُﻬ َﻤﺎ ِﺑﺎﻟ َﻌﺪ
ُ ﷲ َﻓِﺈنْ َﻓﺎ َءتْ َﻓَﺄﺻِْﻠ ِ ﺣ ﱠﺘﻰ َﺗ ِﻔﻰْء َِإَﻟﻰ َأﻣْ ِﺮا َ اﱠﻟ ِﺘﻰ َﺗﺒْ ِﻐﻰ
.ﻦ
َ ْﺴِـﻄﻴ
ِ ْﺐ اﻟ ُﻤﻘ ﺤ ﱡِ ُﻳ
(٩ :)اﻟﺤﺠﺮات
15
Dari segi bahasa Al-baghy memiliki beberapa arti antara lain: ﻈﻠْ ُﻢ ُ ( اﻟzhim/aniaya), ﺠ َﻨﺎ َﻳ ُﺔ
ِ اﻟ
(perbuatan jahat), ن
ُ ( اﻟ ِﻌﺼْ َﻴﺎdurhaka), ﻖ
ِّ ﺤ
َ ﻦ اﻟ
ِﻋ
َ ( اﻟ ُﻌ ُﺪوْ ُلmenyimpang dari kebenaran), dan ْاﻟ َﺘ َﻌ ِّﺪي
(melanggar dan menentang), lihat, Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subulus as-Salam, juz III, h.
257; Wabah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, juz, VII, h. 142; dan Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Munawwir, h. 106
16
kumpulan tulisan dosen-dosen Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, Pidana Islam di
Indonesia: Peluang, Prospek, Dan Tantangan, editor, Jaenal Aripin, dan M. Askal Salim GP,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 58-59
26
Hukuman mati bagi orang yang murtad (keluar dari agama Islam)
⌦ ☺
☺
(٢١٧ : )اﻟﺒﻘﺮة.
ل ِد ﻳْ َﻨ ُﻪ
َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻣﻦْ َﺑ ﱠﺪ
َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو
َ ﷲ
ُ ﺻﱠﻠﻰ ا
َ ﷲ
ِ لا
ُ ْﺳﻮ
ُ ل َر
َ ل َﻗﺎ
َ ﻋﻨْ ُﻬـ َﻤﺎ َﻗﺎ
َ ﷲ
ُ ﻲا
َﺿِ س َر
ٍ ﻋ ﱠﺒﺎ
َ ﻦ
ِ ْﻦ اﺑ
ِﻋ
َ َو
Mereka tidak menerima hadis jika tidak mencapai batas mutawwatir menurut
mereka, hukuman bagi orang zina muhshan dan hukuman zina ghair
muhshan adalah dera, dalilnya merujuk pada surah an-Nur ayat (2)
☺
☺
☺ ⌧
(٢ :)اﻟﻨﺮ ☺ ⌧
18
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
152
19
al-Kahlani, Subulus as-Salam, h. 256
28
berzina dengan cara melemparinya dengan batu atau yang sejenis batu. 20
d. Perampokan (hirabah)
Allah dan Rasulnya, kata memerangi ini sama dengan melawan Allah dan
Islam dan larangan itu sesuai dengan dampak serta bahaya yang ditimbulkan
20
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah…, h. 182
21
Jaenal Aripin, M. Askal Salim GP, (editor), Pidana Islam di Indonesia, Peluang,
Prospek, dan Tantangan…, h. 133
29
⌧
(٣٣ :)اﻟﻤﺎ ﺋﺪة
masyarakat umum.
(hirabah), dan empat macam hukuman ini dikenakan pada pelaku dilihat dari
kadar perbuatannya.
1) hukuman mati
4) hukuman pengasingan 22
22
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), Cet,
Ke- 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), h. 149-151
30
Melihat doktrin hukum Islam yang merupakan the living law di Indonesia
yang paling baik) yakni, melakukan eksekusi dengan cara yang paling baik,
sehingga mempermudah kematian. Bahwa yang diajarkan oleh Islam, setiap orang
memang itu di syariatkan untuk membunuh maka harus dilakukan dengan jalan
yang baik. Bahwa dalam peperangan misalnya, orang Islam tetap dilarang untuk
Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan dengan jelek,
mengajarkan agar kita melakukan dengan baik 24 , salah satu contoh hadis yang
24
Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah
Islam, terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 121
31
Artinya, “telah berkata Abu Bakr bin Abi Saybah, dari Isma’il bin
‘Uliyat, dari Khalid al-Haja’, dari Abi Qulabah, dari Abi al-As’ash, dari
Saddad bin A’us, mereka memberi kabar dan menghapalnya dari
Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas
segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara
membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka
baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di
antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa
menenangkan bintang sembelihannya”.
Hadis tersebut adalah hadis yang sahih dimuat oleh Muslim dalam
baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan, oleh karena
untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap
Tuhan, bisa dilihat atas sebutan manusia sebagai khalifah di dunia. Dalam Islam
dijelaskan dalam beberapa hadis yang isinya antara satu dan yang lainnya tidak
sama. Itulah sebabnya para ulama berbeda pandapatnya dalam masalah ini.
Menurut Hanafiah dan pendapat yang sahih dari Hanabilah, hukuman qishas
25
Muslim ibn Hujaz Abu Husaini al- Qusayri al- Naysaburi, Shahih Muslim, juz III,
(Beirut: Penerbit, Daarul al-Ihya Atturas al- Qirobi), h. 1547
32
ﻒ
ٍ ْﺴﻴ
َ ﻻ ِﺑ
ﻻ َﻗﻮَا َد ِا ﱠ
َ
alat yang sama yang digunakan oleh pelaku (pembunuh). Tetapi apabila keluarga
sikorban memilih pedang sebagai alat eksekusi, maka hal itu diperbolehkan 28 .
(١٢٦ :)اﻟﻨﺤﻞ
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari al-Barra Ibn ‘Azib,
26
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, (Jakarta, Diadit Media,
2007), h. 196-197
27
Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus : Darul-Fikr,
1989), h. 283
28
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h. 197
33
ُﺮﻗْ َﻨﺎﻩ
ﻏﱠَ ق
َ ﻏ ﱠﺮ
َ ْ َو َﻣﻦ،ﺣ ﱠﺮﻗْ َﻨﺎ
َ ق
َ ﺣ ﱠﺮ
َ َْﻣﻦ
Untuk pidana selain jiwa, pelaksanaan qishas tidak boleh dengan pedang
atau alat lainnya yang dikhwatirkan akan berlebihan. Oleh karenanya alat yang
digunakan adalah pisau, silet atau sejenisnya yang penggunaanya mudah, praktis
“Negara Muslim” yang digunakan dalam penelitian ini. Dunia muslim saat ini
Sebagian kecil Negara-negara ini secara khusus menyatakan diri sebagai Republik
Islam, sebagian lain menyatakan Islam adalah agama negara di dalam konstitusi
masyarakat pada Islam 31 . Dalam hal definisi negara muslim penelitian ini satu
29
Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 284
30
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h. 198
31
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 6
34
sebagai negara muslim di ketahui dari tujuan pertama piagam organisasi tersebut,
yaitu memajukan nilai-nilai spiritual Islam, etis, sosial, dan ekonomi di antara
Negara-negara anggotanya 32 .
yang diancam dengan pidana mati dan dasar-dasar pemidanaan dalam hukum
Islam. Menjalankan syariat adalah suatu keharusan bagi umat muslim, yang di
di dunia menjadi keharusan berpedoman pada dasar tuntunan ajaran Islam yaitu,
al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, namun seiring perubahan zaman
dan demikian berubah pula kebutuhan umat manusia yang begitu kompleks
sedangkan permasalahn ini harus direspon atau ditanggapi oleh Islam, maka
sangat dibutuhkan sekali peran ulama atau pemikir Islam dalam ijtihad hukum
yang sesuai zaman atau tafsiran ajaran agama yang sesuai konteks sekarang.
Upaya pembaharuan ajaran Islam tidaklah berarti melanggar syariat, tetapi selalu
memegang prinsip dasar ajaran Islam (al-Quran dan Sunnah). Sebagai contoh
pada bahasan tata cara pelaksanaan pidana mati yang mana sekarang adanya
kemanusiaan serta telah majunya alat tehnologi yang dapat digunakan dalam
32
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 7
35
melaksanakan hukuman mati untuk menghindari terjadinya rasa sakit yang tidak
terhadap terpidana mati, maka dunia Islam perlu mempertimbangkan lagi praktik
Pada bahasan ini tidak menjelaskan norma yuridis pidana mati dari
beberapa Negara-negara muslim karena cukup banyak dan tidak terlalu terkait
dalam penelitian ini. Jadi cukup memaparkan tata cara pelaksanaan pidana mati
berikut 33 .
1. Iran -
2. Irak -
3. Jordan -
4. Arab -
Saudi
5. Qatar -
6. Yaman -
7. Libya -
8. Palestina -
9. Afghanist -
an
10. Malaysia -
11. Indonesia -
33
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati.
36
bagan di atas dapatlah dipahami bahwasahnya tata cara pelaksanaan pidana mati
menggunakan alat modern lainnya seperti, kursi listrik, suntik mati, dan ruang
praktik pidana mati yang dapat menimbulkan penyiksaan dalam proses hukuman
mati. Karena sudah dijelaskan di atas Islam mengajarkan kebaikan dalam segala
berarti dari beberapa pilihan tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut tidak
prisip umum ajaran Islam menganjurkan selalu berbuat baik dalam setiap
perbuatan yang akan dilakukan umat Islam, tidak hanya ketika menerapkan
martabat manusia serta menghindari hukuman yang kejam atau keji atau tidak
terdapat pada sila kedua Pancasila yaitu, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”
yang mana Pancasila adalah dasar kenegaraan Indonesia dan tercermin ke UUD
1945. Indonesia memakai bentuk tata cara pidana mati dengan cara ditembak
jantung tertera dalam Undang-Undang No. 2/pnps/ 1964 tentang tata cara
37
umum dan militer. Apakah cara ditembak jantung bertentangan dengan sila
kemanusiaan atau hukuman yang beradab akan di bahas pada bab selanjutnya.
BAB III
termasuk dalam kategori sanksi pidana pokok terhadap kejahatan pidana tertentu
yang terdapat dalam beberapa pasal dengan ancaman hukuman mati, 1 dan
hukuman mati termasuk salah satu bentuk hukuman yang dapat di jatuhkan
kepada seseorang jika ia terbukti bersalah telah melakukan kejahatan tertentu, dan
dari pandang sudut yuridis pidana mati masih dipertahankan hal tersebut di
dasarkan atas teori absolut (aspek pembalasan) dan teori relatif (aspek
diterima semua kalangan khususnya para pakar hukum, pro dan kontra terhadap
pidana mati sudah sejak lama menjadi perdebatan yang hangat hingga sampai
pidana mati namun nyatanya sampai sekarang perdebatan tak menemukan titik
temu atau tak kunjung selesai dan harus diakui pidana mati hingga kini tetap
1
Pasal 10 dalam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (KUHP)
2 Djoko Prakoso dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke-1,
(Jakarta; Ghia Indonesia, 1989), h. 52
38
39
berlaku di Indonesia. Bahasan ini mencoba memaparkan pidana mati dilihat dari
tema ini.
melakukan delik. Ini bukan tujuan akhir namun tujuan terdekat. Inilah
perbedaan pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga
tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu,
yaitu memperbaiki pembuat. 3 Tujuan pidana untuk waktu yang panjang dapat
segi tujuan atau retribution (revenge) bisa memberikan kepuasan pihak yang
dirugikan atau pihak korban kejahatan walaupun dalam hal ini disebut alasan
sekarang. 4
Sebelum membahas lebih jauh lagi, perlu diketahui dahulu tujuan dan
landasan teori dari pemidanaan itu sendiri karena pembahasan ini tidak dapat
dasar-dasar dan tujuan pidana mati. Ada beberapa pendapat dari tujuan
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 27
pemidaan apabila dilihat dari teori-teori hukum (straf theorien) secara garis
Menurut teori ini, setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa
tersebut, sehingga teori ini hanya melihat masa lampau, tanpa memperhatikan
masa akan datang, penganut dari teori ini antara lain Kant dan Hegel. Ada
Selanjutnya teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Menurut teori
ada dua tujuan dari pencegahan atau prevensi. Pertama, masyarakat, hukuman
dari segi terhukum atau terpidana, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar
6
Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Cet, Ke- 1, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), h. 106
41
yang dijatuhkan untuk memperbaiki diri terhukum agar tidak berbuat kembali,
mati berdasarkan teori hukum tersebut, memang hingga saat ini para sarjana
pembalasan, teori relatif atau tujuan dan teori gabungan ini, dan alasan
penganut tiga teori hukum di atas (absolut,relatif, dan gabungan) adalah dari
hukuman mati berdasarkan teori di atas saat ini sulit dipertahankan karena
7
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 89
42
bukanlah tujuan “an sich” melainkan pidana dilihat sebagai suatu prasarana
berikut: 8
menakuti.
8
Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), h. 94
9
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 93
43
pengampunan.
pidana.
pembunuhan.
nyawa, selain itu juga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu, education
10
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 99
44
berpandangan dua asas dan konsepsi yang sama. Jika hukuman mati ditentang
karena dipandang tidak efektif dan tidak memiliki efek jera, dan pihak
argumen efek jera, dan asas deontologis muncul dalam argumen hukuman
2/pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Ada banyak macam
cara pidana mati didunia, seperti: cara digantung, penggal leher, ditembak,
11
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan
Masa Depan, Cet, Ke-5, (Jakarta: Ghia Indonesia, 1985), h. 63-64
12
Agung Putri, ”Direktur Eksekutif Elsam, Keharusan Hukum Untuk Mati”, Kompas.
(Jakarta), 2 November 2007
45
ruang gas, suntik mati, dan kursi listrik. Di Indonesia terdapat 16 hukuman
mati baik didalam KUHP dan diluarnya yaitu, 13 pidana mati yang terdapat
dalam KUHP: Makar membunuh Kepala Negara (pasal 104), mengajak atau
menghasut negara lain menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2), melindungi
atau menolong musuh yang berperang melawan Indonesia (pasal 124 ayat 3),
membunuh Kepala Negara Sahabat (pasal 140 ayat 3), pembunuhan yang
direncanakan terlebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan pasal 340), pencurian
dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih dengan merusak rumah yang
mengakibatkan luka berat atau mati (pasal 365 ayat 4), pembajakan di laut, di
tepi laut, di tepi pantai, di sungai sehingga ada orang yang mati (pasal 444),
pertahanan negara pada waktu perang (pasal 124), waktu perang menipu
pasal 129), dan pemerasan dengan kekerasan (pasal 368 ayat 2). Dan
hukuman mati yang terdapat di luar KUHP diancam hukuman mati terdapat
No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959
(b) hukuman mati tidak berdasarkan due process of law. Ini telah
(c) selain dua jenis diatas proses hukuman ini, aparatur Negara juga
14
Agung Putri, Direktur Eksekutif Elsam,,,. 2 November 2007
47
Negara lain. Di Indonesia tidak ada standar waktu kapan suatu proses hukum
15
Exra judisial: di luar acara peradilan, lihat. Chrustine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka
Hukum, Cet, Ke- 3, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 10
16
”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus 2009 dari
http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_Mati.pdf
17
Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Haman 7 Kolom 1-3, lihat
http://www.ui.ac.id/download/kliping/140704/Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipertanyakan.pdf,
diakses, 30 Agustus 2009
48
hukum mati, bagi pihak yang menolak tegas dengan alasan: 18 hukuman mati
melanggar hak hidup (right to life) seseorang yang tidak dapat dikurangi atau
hak yang fundamental (non-derogable right), dan juga atas dasar realitas
maksud secara praktik hukuman mati terjadi pada mereka yang lemah secara
hukum dan politik, sebaliknya bagi mereka yang mempunyai kekuatan atau
dilakukan karena institusi penegak hukum masih lemah, seperti kepolisian dan
dan obat-obatan yang berbahaya. 19 Terlepas dari perdebatan pro dan kontra
berlakunya hukuman mati. Dari berbagai macam cara pidana mati tersebut
18
Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, (Jakarta) No.
02/III-VI/2005 h. 5
19
Kejaksaan Agung Tolak Penghapusan Hukum Mati, Kompas, (Jakarta) 16 Desember
2004 h.7
49
hukuman mati pada tahun 2003 oleh Pengadilan Negeri Denpasar karena
bertanggung jawab atas tragedi bom Bali, Oktober 2002 yang mengkibatkan
review) kepada Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 6 agustus 2008, telah diterima
peradilan umum dan militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang
Undang-Undang. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin
20
Nasional: “Eksekusi di Bukit Nirbaya”, Majalah Tempo,(Jakarta), Edisi 10-16
November 2008, h. 28
50
Nurhasyim als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra (terpidana mati
Mahendradatta, SH., MA., MH., H. Achmad Michdan, SH., Akhmad Kholid, SH.,
Qadar Faisal, SH., Fahmi Bahmid, SH., Agus Setiawan., SH., Rita, SH., Gilroy
Arinoviandi, SH., Sutejo Sapto Jalu, SH., Hery Susanto, SH., Guntur Fattahillah,
SH., Muannas, SH., dan Abdul Rahim, SH., semuanya berprofesi sebagai
Advokat dan Penasehat Hukum, yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim
Pusat, beralamat di Jalan Pinang I Nomor 9 Pondok Labu Jakarta Selatan 12450,
bertindak untuk dan atas nama Pemohon. Mahkamh konstitusi telah membaca
bukti-bukti, telah mendengar keterangan saksi dan para ahli dari pemohon, dan
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “a” UU MK, perihal
Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan
Gotong Royong.
Pasal 20 tersebut.
dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak, yang selama
dalam arti bahwa materi dari penetapan tersebut dijadikan bahan untuk
Indonesia
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “b” UU MK, perihal
Undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-
Undang bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1)
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun“
21
Undang-Undang Dasar 1945, Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap, Cet, Ke- 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 23
54
membidik pada jantung terpidana, Pasal 14 ayat (3) namun pada Pasal
55
Terpidana maka menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1),
UUD 1945.
56
VI/2008
tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor
38). Penjelasan atau beberapa alasan pertimbangan hukum sebagai doktrin hukum
baik secara formil maupun materil yang mana bagi pemohon dalam
dalam hal ini yang harus dipertimbangkan adalah apakah UU 5/pnps/1964 tentang
tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan
Undang-Undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah pasal
1, pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/pnps/1964 bertentangan dengan pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 (uji materil). Akan dipaparkan Sebagaimana berikut: 22
22
Putusan Mahkamah Konstitusi….
57
Undang ini masih sesuai dengan aspirasi hati nurani rakyat karena
pembuatannya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal
20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden atas persetujuan
DPR, dalam hal ini DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong)
yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru
berbunyi:
“segala badan Negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang dasar ini”
dan pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi
pasal 14 ayat (3) dan (4) terhadap pasal 28I ayat (1) UUD 1945, pemohon
mendalilkan hukuman mati yang dilakukan dengan cara ditembak hingga mati,
terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali
hingga mati, sehingga menimbulkan rasa sakit yang amat sangat yang bisa
bebas dari hukuman yang kejam atau tidak manusiawi. Terhadap dalil pemohon
atau penghukuman lain yang lain yang kejam, tidak manusia, atau
merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari
Adapun penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak mencakup rasa sakit
atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh sanksi hukum
yang berlaku. 24
penyiksaan tersebut di atas, antara lain disebutan: (1) Pancasila sebagai dan
pandangan hidup bangsa Indonesia dan UUD 1945 sebagai sumber dan
seperti tercermin dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Asas ini
bentuk penyiksaan, sesuai dengan konvensi ini. (2) dalam rangka pengamalan
23
Lihat pasal 1 angka 4 (empat) UU No 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
24
Lihat UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And
Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau
Merendahkan Martabat Manusia)
60
c. Bahwa rasa sakit yang disebut penyiksaan, bukanlah sesuatu yang terjadi
secara alamiah dan wajar, melainkan dilakukan secara sengaja dan melawan
hukum untuk tujuan tertentu diluar kehendak mereka yang disiksa. Dalam hal
ini rasa sakit yang timbul dan melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindari akan timbul dalam tiap cara pelaksanaan
pemilihan tata cara pelaksanaannya, melainkan dalam setiap pidana mati yang
dijatuhkan hakim yang oleh Mahkamah telah dinyatakan sebagai sesuatu yang
konstitusional. 25
secara berkepanjangan, dan siksaan yang dirasakan, diukur bukan hanya dari
subjektif terpidana sendiri, melainkan juga dari objektif masyarakat. Yang akan
25
Lihat ketentuan-ketentuan pokok dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia.
61
mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa,
dapat dinilai dari pelaksanaan, yaitu: (i) jika cara yang dilakukan
mematikan dan juga dapat tidak langsung mematikan, hal mana telah
kematian.
rajam sampai mati. Dari keterangan para ahli tersebut diketahui pidana
62
hukuman gantung, kalau letak tali tepat di batang leher dan berat
cukup cepat.
sakit itu sendiri bukanlah merupakan alasan yang cukup dalam menilai
selain dari pertimbangan diatas, baik pidana mati dengan cara dipancung,
digantung, maupun ditembak mati dapat menimbulkan efek kematian secara cepat
jika dilakukan dengan tepat. Akan tetapi, cara pelaksanaan pidana mati haruslah
kematian cepat dengan tetap menjaga harkat dan martabat terpidana mati.
dalam tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia haruslah menjaga martabat
MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan
Konstitusi baik dari formil maupun matril dari perspektif Islam. Dalam pokok
Undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah pasal 1, pasal
14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/pnps/1964 bertentangan dengan pasal 28I ayat (1)
64
65
pun berhak menetapkan suatu hukum yang akan di berlakukan bagi umat
Islam.
c. isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan
Mujtahid dan ahli fatwa (Mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang.
syariat Islam, yaitu al-Quran dan sunnah Nabi, dan menjelaskan hukum-
ketentuan kedua sumber syariat Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam hal
ini terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang
dijelaskan oleh Nabi SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada
1
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 (Gaya
Media Pratama, 2007), h. 161-162
67
mengatisipasinya.
berusaha mencari ‘illat atau sebab hukum yang ada dalam permasalahan
legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al-
Islam sejak abad ke- 19 ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun
antaranya adalah ide tentang legislatif hukum yang secara praktis terlihat
kebebasan yang terkandung dalam tauhid Negara adalah suatu alat untuk
pengertian ini, lanjut Iqbal, Negara tidak di dasarkan pada dominasi dan
maka di dunia modern sekarang perlu ijtihad yang kreatif dan berani.
Dalam semangat ini Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn al-Khatab.
dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada zaman modern ini, peralihan
Hanya dengan cara inilah umat Islam yang selama ini telah hilang dari
dalam tubuh umat Islam. Memang pada zaman Bani Umayyaah dan
legislatif tidak hanya para ulama yang ahli dalam hukum Islam, namun
harus juga menepatkan orang awam dalam artian awam tentang hukum
dengan dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani
yang sah), namun ada perbedaan yang mendasar di Islam, yang menjadi
nilai dasar atau prinsip yang harus dianut adalah sumbernya dari al-Quran
legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al-
UUD 1945 dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara
Indonesia.
hukum dengan nama Penetapan Presiden, namun hal ini dikoreksi dengan
dan Undang-Undang ini masih sesuai dengan aspirasi hati nurani rakyat
dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden atas
adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari
Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui rakyat Indonesia.
karena di bentuk oleh pemerintahan yang sah dan menganut norma dasar
diperintah.
yang masih global ini kemudian di jelaskan oleh Nabi dalam sunnahnya,
4
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 (Gaya
Media Pratama, 2007), h. 153-154
74
harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak
5
Lihat pasal 1 angka 4 (empat) UU No 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6
Lihat UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other
Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaandan
Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat
Manusia)
75
apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang
kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat dinilai dari pelaksanaan,
sebagi manusia.
tanpa kerelaan subyek. Ada banyak ayat al-Quran dan hadis Nabi yang
ini, Khlifah Umar Ibn Abdul Aziz, saat menjawab permintaan salah
Dan para Ulama fiqh pun sepakat bahwa penyiksaan atau perlakuan
yang kejam atau tidak manusia dan hukuman yang dapat menimbulkan
7
Mashood A. Baderin, Hukum Internasioanl Hak Asasi Manusia,,,. h. 76-77
77
21/PUU-IV/2008
Mahkamah dari keterangan ahli (pemohon), jadi apabila tembakan tepat mengenai
jantung dalam waktu 7 (tujuh) sampai 12 (dua belas) detik akan mengakibatkan
kematian dan ini rentang waktu cukup cepat dalam proses eksekusi pidana mati.
Dan menurut Mahkamah proses eksekusi pidana mati dengan tembak tepat pada
jantung masih ada tanda hidup maka dilakukan tembak terakhir atau pamungkas
yaitu, tembak kepala dibagian atas telinga, dan ini menurut Mahkamah upaya
78
tidak menimbulkan rasa sakit yang lama bagi pidana mati dan menghindari
para ahli bentuk dan proses yang lain pelaksanaan pidana mati seperti, gantung,
pancung, kursi listrik, ruang gas, suntik mati, dan khusus dalam Islam dirajam
pidana mati adalah bukan dilihat dari proses atau bentuknya tapi ketepatan dan
keahlian atau profesionalitas dalam praktik yang perlu diperhatikan agar tidak
Manusia. 8
mati tidaklah dibolehkan dengan kejam dan keji dengan berlebih-lebihan yang
menurut hukum Islam, hak seseorang, apapun hak itu, sangat suci yang
mempunyai kekebalan dan kebebasan yang tidak bisa diremehkan atau dilanggar
8
Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Pengesahan Convention Against Torture And
Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat
Manusia)
9
Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, Cet, Ke-
1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 224
79
10
Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdiyyin, Cet, Ke-I,
(Yokyakarta: LKiS Yokyakarta, 2003), h. 53
80
Dapat dipahami ajaran firman Allah di atas ialah keadilan hukum dan
prinsip kesamaan hak individu di depan hukum (orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) serta larangan
Umat Islam diajarkan selalu berbuat baik dalam sehari-hari, baik dari
Misalnya diajarkan dalam menyembelih hewan atau hewan untuk kurban harus
dengan cara yang baik, hendaknya sebelum penyembelihan pisau atau alat
11
Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam,
terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 121
81
terhadap manusia (manusia terhadap manusia lainya). Jadi dalam proses eksekusi
pidana mati haruslah selalu pada batas nilai kemanusiaan. Bahkan dalam perang
Nabi Muhammad SAW melarang umatnya pada saat itu melakukan kekejian
terhadap musuh dan melakukan mamatsal atau mencingcang mayat musuh korban
perang. Penjelasan bagaimana cara atau bentuk pelaksanaan pidana mati tidak
penjelasannya dan dalam hadis yang berbeda pula, sehingga terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang tata cara pelaksanaan pidana mati menurut
Hanafiah dan pendapat yang sahih dari Hanabilah; kejahatan jiwa dilaksanakan
atau tidak, sedangkan pendapat dari Malikiyah dan Syafi’iyah dilakukan dengan
alat atau perlakuan yang sama pada saat pembunuhan. 12 Terlepas dari perdebatan
kemanusiaan dan menghindari perlakuan yang menimbulkan keji dan kejam yang
12
Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana menurut al-Quran, Cet, Ke- I, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), h. 196-197
82
Mahkamah tentang tata cara pelaksanaan pidana mati sesuai dengan nilai-nilai
Islam dan hukum internasional Hak Asasi Manusia yang termasuk landasan
dan dilandasi nilai-nilai ketuhanan yang maha esa dan bisa dilihat di setiap
Undang-Undang terdapat kata “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, Ini
yaitu, declaration of human right Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi Sosial
Budaya dan human right tersebut sangat sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan sebab itu maka penjajahan di atas
13 Khaled Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Sewenang-
Wenang Dalam Wacana Islam, terj. M. Mushthafa, Cet, Ke- 1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta), h. 156
14
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, Cet, Ke- II, (Jakarta: Gaya Media Pranata), h. 129
15
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: penyidikan dan
penuntutan, Cet, Ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 71
83
pendapat bahwa Islam tidak sejalan dengannya tidak bisa dipertahankan. Hal itu
dasar teori politik dan hukum Islam. Sementara boleh jadi ada beberapa
perdebatan konseptual antara hukum Islam dan hukum Hak Asasi Manusia
Internasional, ini tetap tidak bisa menjadikan keduaya bertentangan. 16 Bisa di lihat
usaha penegakkan HAM dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia
dalam Islam ditetapkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo pada 5
Agustus 1990 dan Indonesia salah anggotanya. Di dalam pasal 20 yang berbunyi:
Dan masih dalam deklarasi Kairo, Negara menjamin setiap individu setara
di hadapan hukum serta hak mendapatkan keadilan hukum. Tertera dalam pasal
16
Mashood A. Baderin, Hukukm Internasioanl Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, terj.
Musa khazim dan Edwin Arifin, (Komisi Hak Asasi Manusia, 2007), h. 13
84
asasi manusia yang sekarang menjadi acuan prinsip dunia internasional untuk
dunia global pada saat ini dunia Islam haruslah merespon dan bersama ikut
sosial. Asal usul hukum sebagai tanggapan terhadap kebutuhan sosial, dan dalam
perubahan sosial. 17 Mashood A, baderin dari Mayer yang telah mencatat bahwa:
khazanah Islam menawarkan banyak konsep filosofis, dan prinsip moral yang
sangat cocok untuk membangun prinsip-prinsip hak asasi manusia. Nilai-nilai dan
prinsip semacam itu bahkan syarat dalam khazanah intelektual Islam pra-
modern. 18
17
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Dan Pemikiran
Abu Ishaq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad, Cet, Ke- I, (Jakarta: Pustaka, 1996), h. 21
18
Mashood A. Baderin, Hukukm Internasioanl…, h. 30
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menelaah perspektif hukum Islam dari aspek bahasan pidana mati
1. Pidana mati dalam hukum Islam telah di tentukan oleh syariat yang
fuqaha.
85
86
pilihannya pada bentuk atau macam caranya tapi terletak pada pilihan
kemanusiaan.
manusia
87
Ada beberapa kritik dan saran yang penulis kemukakan di sini mengenai
tata cara pelaksanaan pidana mati yang berlaku di Indonesia. Kritik dan saran ini
khusus di tujukan kepada Pemerintah, dan Aparat Penegak Hukum. Adapun kritik
secara tidak tegas mencabut pasal 11 tata cara pelaksanaan pidana mati
yang sampai saat ini pasal tersebut masih tercantum dalam KUHP,
harapkan pada pemerintah dan para ahli hukum pidana untuk meninjau
dunia modern dan kemajuan tehnologi dalam hal ini tata cara
aparat hukum dalam menegakkan hukum yang tegas dan tak pandang
pidana mati juga memihak, akibatnya pidana mati hanya terkena pada
A. Baderin, Mashood, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam,
terj. Musa khazim dan Edwin Arifin, Jakarta: KOMNASHAM, 2007
Abou El Fadl, Khaled, Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Sewenang-
Wenang Dalam Wacana Islam, terj. M. Mushthafa, Cet, Ke- 1, Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta
Abu Husaini al- Qusayri al- Naysaburi, Muslim ibn Hujaz, Shahih Muslim, juz III,
Beirut: Penerbit, Daarul al-Ihya Atturas al- Qirobi, tt
Aripin, Jaenal, dan Salim GP, M. Askal, (editor), Pidana Islam di Indonesia:
Peluang, Prospek, Dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta. PT, Buana
Ilmu Popular, 2007
Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, (Jakarta) No.
02/III-VI/2005
Daud Ali, H. Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, Cet, Ke- 10, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001
Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini,
dan Masa Depan, Cet, Ke-5, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
89
90
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-5, Jakarta: Bulan Bintang,
1993
http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_
Mati.pdf ”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus
2009
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siayasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Cet, Ke- 2,
Jakarta: Yofa Mulia Offset, 2007
Khaled Masud, Muhammad, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Dan
Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad, Cet, Ke- 1, Jakarta:
Pustaka, 1996
Koran Tempo, Tanggal 4 Febuari Tahun 2005, Halaman 1 Kolom 3-6, lihat
http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditem
bak_Mati.pdf, diakses, 30 Agustus 2009
Kusnardi, Moh. dan R. Saragih, Bintan, Ilmu Negara, cet. Ke- III, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1995
Mujieb, M. Abdul, Tholhah, Mabrul, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet,
Ke- 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Muhammad Thaha, Mahmud, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdiyyin, Cet, Ke-
1, Yokyakarta: LKiS Yokyakarta, 2003
Prakoso, Djoko, dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke- 1,
Jakarta; Ghalia Indonesia, 1989
Prakoso, Djoko, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Cet, Ke- 1, Jakarta: Bina
Aksara, 1987
91
Putri, Agung, (Direktur Eksekutif Elsam), Keharusan Hukum Untuk Mati, Koran
KOMPAS. Jumat, 2 November 2007
S.T. Kansil, Chrustine, Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet, Ke- 3, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2004
Salmi, Ahkiar, Eksistensi Hukuman Mati, Cet, Ke- 1, Jakarta: Aksara Persada, 1985
Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Halaman 7 Kolom 1-3, lihat
http://www.ui.ac.id/download/kliping/140704/Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipe
rtanyakan.pdf, diakses, 30 agusus 2009
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet, Ke- 31, Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2001
Suparman, Usman, Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Cet, Ke- 2, Jakarta: Gaya Media Pranata
Undang-unang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap, Cet, Ke- 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Wahid Hafiez, Noor, Pidana Mati Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1982
Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Menurut Alquran, Jakarta, Diadit Media,
2007
______________, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), Cet, Ke-
1, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004
Zuhaili, Wahbah, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, Damaskus : Darul-Fikr,
1989
PUTUSAN
Nomor 21/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum
dan Militer yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “a” UU MK, perihal
undangundang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi
adalah undang-undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang Nomor
02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang
Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi
undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, merupakan
undang-undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan UUD
1945, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;
1. Bahwa Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 (UU
2/Pnps/1964), merupakan undang-undang yang pembentukannya
didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia.
2. Bahwa Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi undang-undang
adalah karena diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang (UU 5/1969).
3. Bahwa Penetapan Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang
dimaksud oleh Pasal 2 UU 5/1969 yang berbunyi: “Terhitung sejak
disahkannya Undang-undang ini, menyatakan Penetapanpenetapan
Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud
dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-undang ini, sebagai Undang-
Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan
Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut ditampung atau
dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-undang yang baru”.
4. Bahwa UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 adalah undang-undang
yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden
Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong.
5. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) bukan
lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945,
karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan
anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen
UUD 1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
6. Bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah
sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 Amandemen UUD 1945, maka
pembentukan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 tidak sesuai dengan
Pasal 20 tersebut.
7. Bahwa dengan demikian, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak, yang selama
ini dijalankan di negara kita, Republik Indonesia, merupakan tata cara
yang didasarkan pada undang-undang yang pembentukannya tidak
sesuai dengan UUD 1945.
8. Bahwa merupakan fakta hukum, UU 2/Pnps/1964 yang telah
diwajibkan oleh UU 5/1969 untuk diadakan perbaikan/penyempurnaan
dalam arti bahwa materi dari penetapan tersebut dijadikan bahan untuk
penyusunan undang-undang baru, hingga permohonan diajukan ke
Mahkamah Konstitusi belum pernah ada perbaikan maupun
penyempurnaan terhadap Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di
Indonesia.
DALAM PROVISI:
Keterangan Ahli Pemohon Dr. Rudi Satrio, SH., MH. (Ahli Pidana)
Bahwa berbicara sanksi pidana mati, adalah salah satu hukuman pokok yang
terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Kemudian bagaimana hukuman mati tersebut
dilaksanakan terdapat dalam Pasal 11 KUHP, pertama dilaksanakan dengan cara
penggantungan. Dalam sejarahnya, sebagaimana yang ahli baca dalam text
book, sanksi pidana mati tidak ada di dalam Wetboek van straaftrecht di negeri
Belanda, tetapi bukan karena Belanda anti pada pidana mati, melainkan ada
pidana mati tetapi tidak pernah dilaksanakan karena kebanyakan terpidana mati
akan mendapatkan pengampunan dari raja. Kemudian pidana mati tersebut
terdapat di dalam hukum pidana yang berlaku untuk kawasan Nederlands
Indische atau kemudian berlaku di dalam negara Indonesia dan sudah ada sejak
1 Januari
1918.
Selanjutnya ada satu perubahan terkait dengan persoalan pidana mati yangada,
yang sebelumnya dengan cara digantung tetapi kemudian ada perubahan terkait
pada permasalahan keadaannya, akan tetapi ahli akan menjelaskan terlebih
dahulu terdapatnya ancaman pidana mati dalam pasal-pasal KUHP. Pertama,
dalam KUHP ada delapan belas pasal yang memberikan ancaman-ancaman
hukuman pidana mati. Kemudian kalau di luar KUHP ada sekian pasal, ada
sekian undang-undang yang mencantumkan sanksi pidana mati. Yang terakhir
adalah hal yang berhubungan dengan tindak pidana pemberantasan tindak
pidana terorisme. Bahwa memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia
berawal dari Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan
digantung, tetapi kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor
2 Tahun 1964 yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut
dikarenakan seiring dengan perkembangan zaman dan dipandang eksekusi
pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman
mati digantung diubah dengan cara ditembak. Dengan demikian perubahan
pelaksanaan pidana terkait dengan kecepatan dalam proses untuk mencapai
kematian dan kemudian hal yang berhubungan dengan masalah yang lebih
sedikit serta berbicara soal derita atau siksaan yang ada. Bisa jadi pedang pada
masanya lebih cepat, gantung pada masanya lebih cepat dengan pedang.
Tembak pada masanya lebih cepat dengan digantung dan mungkin lainnya pada
masanya sekarang lebih cepat daripada dengan ditembak.
Bahwa memperhatikan landasan yang mendasari Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964, pada bagian menimbangnya menyatakan, “bahwa
ketentuanketentuan jang berlaku dewasa ini mengenai tata cara pelaksanaan
pidana mati bagi orang-orang jang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum dan orang-orang baik militer maupun bukan
militer yang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan lingkungan peradilan militer
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan keadaan serta jiwa
Revolusi Indonesia.” Ahli mengarisbawahi terkait dengan persoalan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan, kemajuan, keadaan, serta jiwa revolusi
Indonesia. Menurut ahli, tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan,
dapat ditafsirkan atau dapat diartikan harus lebih cepat membawa kematian
serta lebih sedikit menimbulkan derita ataupun siksaan, pada bagian terminologi
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan. Sedangkan makna dari serta
jiwa revolusi Indonesia, karena undangundang tersebut dibuat sejak tahun 1964-
1966 maka kemudian masih memunculkan istilah-istilah jiwa revolusi
Indonesia dan seterusnya. Sebagai perbandingan ahli mengambil contoh
perubahan-perubahan yang ada di Undang- Undang Pers Nomor 11 Tahun 1966
yang kira-kira jiwanya adalah sama dengan Penpres tentang pelaksanaan
hukuman pidana mati.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 memunculkan istilah ada kontra
revolusi, kemudian dengan perubahan zaman Orba kemudian diganti menjadi
menentang Pancasila. Jadi dari kontra revolusi sebagai bagian pertimbangan
dalam pembuatan penetapan presiden yang ada kemudian diganti dengan
menentang Pancasila. Kemudian kita mengalami di zaman reformasi, bisa jadi
dari kontra revolusi diubah menjadi menentang Pancasila. Dan sekarang
filosofinya, dasar berpijaknya bisa menjadi melanggar hak asasi manusia, ini
suatu hal perubahan terkait masalah kondisi politik suatu keadaan negara. Dari
persoalan revolusi, Pancasila dan mungkin sekarang standarnya melanggar hak
asasi manusia. Kalau kemudian standar tersebut dikaitkan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 khususnya pada Pasal 28G amandemen yang kedua
tahun 2000 maka memunculkan, “setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia yang
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”, kata-kata bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia kemungkinan
sangat relevan dengan persoalan dengan menjalankan hukuman pidana mati
dalam suatu posisi yang kemudian menjadi tersiksa. Kalau kemudian melihat
dalam Pasal 33 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM memunculkan terminologi-terminologi, “setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan dengan kejam tidak
manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat manusia”. Ada satu bagian
yang menarik dalam Pasal 33 ayat (1) tersebut, yaitu penghukuman atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat manusia,
martabat dan derajat dari manusia dihubungkan dengan persoalan pelaksanaan
pidana mati, maka boleh dilaksanakan pidana mati asalkan tidak dalam suatu
posisi yang kejam atau kemudian merendahkan martabat dari manusia itu
sendiri;
Bahwa terkait dengan persoalan pelaksanaan pidana mati maka menurut ahli
adalah harus yang terbaik untuk terpidana, tidak menyiksa dan mempercepat
proses kematian, maka didasarkan pada masalah perkembangan pengetahuan
dan teknologi manusia memungkinkan dipertimbangkan diambil jalan yang
terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan kemudian lebih cepat dapat
dilaksanakan. Hal tersebut merupakan suatu permintaan dari undang-undang
agar setiap saat tidak menutup kemungkinan adanya perubahan-perubahan
tentang masalah bagaimana tata cara melaksanakan eksekusi;
Bahwa memperhatikan Pasal 11 KUHP pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh
algojo dengan cara menggantungnya. Kemudian dengan adanya Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1964 maka pelaksanaan pidana mati diselaraskan
dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, sebagaimana termuat dalam
Bab IV Ketentuan Peralihan dan Penutup, Pasal 18 yang mengatakan, “pidana
mati yang dijatuhkan sebelum penetapan ini yang masih harus dilaksanakan,
diselenggarakan menurut penetapan ini.”
Bahwa kalau seandainya cara ditembak mati adalah inkonstitusional karena
masih ada sekian waktu terjadi penyiksaan, ada waktu sekian lama sebelum
akhirnya mati, maka menurut ahli, bukan kemudian kembali ke Pasal 11 KUHP
tetapi harus dicarikan cara yang terbaik, cara yang terbenar, tercepat, dan tidak
menyiksa terpidana atau mungkin cara pilihan orang yang akan mati; Bahwa
karena Indonesia adalah negara hukum, sesuai prinsip asas legalitas maka setiap
tindakan harus ada dasar hukumnya, tetapi ada pertimbangan lainnya, kalau
seandainya Pnps ini kemudian dinyatakan sebagai inkonstitusional melanggar
HAM tentu jika kemudian dilaksanakan dengan Pasal11 KUHP apakah juga
tidak melanggar HAM, oleh karena itu ahli berpegang pada prinsip harus dibuat
undang-undangnya terlebih dahulu agar dapat dilaksanakan eksekusi yang ada;
Bahwa berkaitan dengan hak asasi manusia maka dalam masalah penyiksaan
akan ditemukan keadaan tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
manusia.
Bahwa memperhatikan persoalan retroaktif maka yang dilarang untuk berlaku
surut adalah hukum pidana materilnya, sedangkan hukum pidana formilnya
dimungkinkan untuk berlaku surut. Berdasarkan prinsip atau pengertian
retroaktif yang sederhana tersebut dimungkinkan untuk digunakan secara
mundur atau surut.
Bahwa pada waktu dibuatnya Pnps tersebut, dipandang pidana mati dengan cara
ditembak mati adalah paling manusiawi, paling terbaik bagi seorang terpidana
dibandingkan sebelumnya dengan cara digantung yang memunculkan masalah
penderitaan yang lama dan yang jelas melanggar harkat dan martabat manusia.
Perubahan perundang-undangan memungkinkan untuk berlaku surut sepanjang
hal tersebut menguntungkan bagi terdakwa ataupun mungkin dalam hal ini
terpidana. Ahli lebih melihat persoalan retroaktif dikaitkan dengan persoalan
jangan menggunakan undang-undang berlaku surut untuk suatu peristiwa yang
adanya pada masa lampau.
[2.3] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan keterangan tertulis ahli pidana
Dr. Salman Luthan, S.H., M.H., dan Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H.,
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2008,
sebagai berikut:
I. POKOK PERMOHONAN
1. Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada dasarnya Pemohon
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman
Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum
dan Militer, karena menurut Pemohon undang-undang a quo dapat
menimbulkan suatu keadaan di mana terpidana mati (Amrozi, Cs.)
mendapatkan penyiksaan dengan cara ditembak sampai mati oleh regu
tembak, dan karenanya ketentuan a quo, menurut Pemohon dianggap
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Selain mengajukan permohonan pengujian materiil (materiele
toetsingrecht) diatas, Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian
formil (formele toetsingrecht), karena menurut Pemohon Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer,
yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969, maka pembentukannya menurut Pemohon dianggap
tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Selanjutnya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 11 KUHP mestinya
masih berlaku, sehingga Pemohon mengajukan permohonan agar
hukuman mati dilaksanakan dengan melaksanakan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 11 KUHP tersebut, bukan dengan melaksanakan
ketentuan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati.
4. Pemohon juga mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya
memohon agar Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan provisi yang
isinya menunda pelaksanakan eksekusi pidana mati terhadap Pemohon
oleh Kejaksaan Agung sebelum putusan Mahkamah Konstitusi, atau
setidak-tidaknya sampai diadakannya perubahan undang-undang yang
baru.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan
5. Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk, antara lain, menguji undang-undang terhadap
UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-
undang in casu UU 2/Pnps/1964 yang semula merupakan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang
telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969 (selanjutnya disebut UU 5/1969) terhadap UUD 1945. Oleh karena itu,
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Bahwa untuk dapat diterima sebagai pihak dalam pengujian undangundang
terhadap UUD 1945, Pemohon terlebih dahulu harus:
a. menjelaskan kedudukannya apakah sebagai perorangan warga Negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga
negara;
b. menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam
kedudukan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas.
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah dalam putusannya, yaitu sejak Putusan Nomor
006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007
tanggal 20 September 2007 hingga saat ini, berpendapat bahwa untuk dapat
dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi
syarat-syarat:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang telah dijatuhi
pidana mati dalam perkara Bom Bali, memiliki hak konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak untuk tidak disiksa sebagaimana diatur
dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun.” Bahwa berdasarkan permohonan Pemohon dihubungkan dengan
ketentuan dalam Pasal 51 UU MK, maka secara prima facie Pemohon
dipandang memenuhi syarat hukum untuk mengajukan permohonan a quo,
terkecuali jikalau dalam pertimbangan pokok permohonan kerugian hak
konstitusional Pemohon yang secara prima facie dianggap terpenuhi, dalam
pertimbangan pokok permohonan terbukti sebaliknya;
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Pemohon telah memenuhi kualifikasi
sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi secara khusus Mahkamah harus
mempertimbangkan informasi yang sudah diketahui oleh umum secara luas
tentang pernyataan Pemohon in person melalui Metro TV dalam program Metro
Realitas dan media lainnya yang ditayangkan secara berulang-ulang bahwa
Pemohon sesungguhnya tidak pernah mempermasalahkan atau berkehendak
untuk mempersoalkan tata cara pelaksanaan pidana mati, sehingga oleh
karenanya Mahkamah perlu menilai kembali kebenaran materiil Surat Kuasa
Pemohon;
[3.9] Menimbang bahwa permohonan Pemohon telah didasarkan pada surat kuasa
yang sah untuk mengajukan permohonan pengujian, akan tetapi perlu
ditegaskan apakah dengan pernyataan di media massa tersebut Pemohon
berkehendak untuk mengubah sikap dan bermaksud untuk menarik
permohonannya. Oleh karena Pemohon tidak pernah secara resmi menarik
kembali surat kuasa dan para Kuasa Hukum Pemohon tidak pernah menarik
kembali permohonan, maka Mahkamah berpendapat bahwa
pernyataanpernyataan yang dikemukakan di luar persidangan tidak perlu
dipertimbangkan, sehingga selanjutnya Mahkamah harus memeriksa Pokok
Permohonan.
Pokok Permohonan
[3.14.3] Keterangan Ahli dr. Jose Rizal Yurnalis, SpBO. (Ahli Bedah
Orthopedi)
Bahwa ahli adalah ahli bedah orthopedic dan thromatologic yang
sering melakukan operasi dan berhubungan dengan anastesi, serta
sering melihat proses pembiusan. Ahli juga merupakan relawan
medis untuk daerah-daerah konflik, seperti Tual, Ambon, Saparua,
Halmahera Utara, Aceh, kemudian di luar negeri seperti Thailand
Selatan, Mindanau, Afghanistan, Irak, dan Libanon Selatan.
Sehingga ahli sering melihat proses kematian, baik melalui proses
medis maupun di lapangan;
Bahwa dalam konflik Maluku, karena peperangannya horizontal
maka yang digunakan adalah senjata tajam dan paling sering terjadi
adalah penebasan leher. Kalau di Afghanistan, Libanon, Irak, dan
Mindanau adalah luka tembak, luka bom, dan luka bakar;
Bahwa berdasarkan pengalaman ahli, kalau yang ditembak dengan
peluru tajam, dia masih hidup kemudian pelan-pelan meninggal,
tentu dengan erangan kesakitan, jika tidak tepat dijantungnya. Akan
tetapi, bila tepat di jantungnya maka jantung akan pecah dan
langsung meninggal. Kalau menyerempet, kemudian bila terkena
vena cava atau arteri artha atau misalnya terkena paru-paru akan
memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Kadang-kadang memakan
waktu ½ (setengah) jam, 1 (satu) jam, bahkan sampai 1 (satu) hari.
Sedangkan kalau ditebas, ahli tidak melihat proses penebasannya,
ahli hanya melihat hasilnya, dan menurut yang menyaksikan orang
yang ditebas lehernya langsung meninggal;
Bahwa sebagai seorang dokter, ahli berpendapat, secara ilmiah,
pusat kehidupan adalah di otak terutama di batang otak. Sedangkan
jantung mempunyai semacam trafo sendiri. Kalau jantung dipotong
kemudian diangkat keluar masih bisa berdenyut, tetapi kalau
dihancurkan batang otaknya atau diputuskan batang otaknya dari
otak atau dari bagian bawahnya itu, dapat langsung berhenti
pernafasan dan berhenti cardio vasculer. Pendapat ahli prinsipnya
sama dengan ahli dokter Sun Sunatrio, hanya ahli melihat batang
otak itu mempunyai peranan yang sangat sentral;
Bahwa secara anatomi, pusat kehidupan diatur sentral di batang otak.
Jika sasarannya adalah batang otak, maka yang bisa menyelesaikan
batang otak ada dua, yaitu hukuman gantung dan hukuman pancung,
dan yang lebih cepat adalah hukuman pancung.
[3.14.5] Keterangan Ahli Dr. Rudi Satrio, S.H., M.H. (Ahli Pidana)
Bahwa perkembangan pelaksanaan pidana mati di Indonesia berawal
dari Pasal 11 KUHP yang dilaksanakan dengan digantung, tetapi
berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964
yang menentukan pelaksanaannya dengan cara ditembak hingga
mati. Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan pidana mati dengan cara
digantung tidak sesuai dengan perkembangan, kemajuan, dan
keadaan, yang dapat ditafsirkan atau dapat diartikan bahwa tata cara
hukuman mati pun harus lebih cepat membawa kematian, serta lebih
sedikit menimbulkan derita ataupun siksaan;
Standar pelaksanaan pidana mati tersebut apabila dikaitkan dengan
UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang
berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan
dengan kejam tidak manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat
manusia” mengandung kriteria bahwa pidana mati dapat
dilaksanakan jika tidak kejam atau merendahkan martabat manusia
itu sendiri;
Bahwa terkait dengan persoalan pelaksanaan pidana mati, menurut
ahli, harus dilakukan cara terbaik untuk terpidana, dalam arti tidak
menyiksa dengan mempercepat proses kematian. Berdasarkan
perkembangan pengetahuan dan teknologi, perlu dipertimbangkan
jalan yang terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan lebih
cepat pelaksanaannya. Hal tersebut merupakan suatu sifat dari
undang-undang agar setiap saat tidak menutup kemungkinan adanya
perubahanperubahan tata cara pelaksanaan pidana mati;
Pelaksanaan pidana mati sebagaimana diatur dalam Pasal 11 KUHP
yang dilakukan oleh algojo dengan cara digantung, setelah adanya
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, pelaksanaannya harus
disesuaikan dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964,
sebagaimana termuat dalam Pasal 18 Bab IV Ketentuan Peralihan
dan Penutup, yang mengatakan, “Pidana mati yang dijatuhkan
sebelum penetapan ini yang masih harus dilaksanakan,
diselenggarakan menurut penetapan ini”;
Bahwa seandainya pidana mati dengan cara ditembak hingga mati
dinyatakan inkonstitusional dengan alasan terdapat jangka waktu
kematian yang dianggap sebagai penyiksaan, menurut ahli, hal
tersebut tidak berarti Pasal 11 KUHP kembali berlaku, melainkan
harus dicarikan cara yang terbaik, terbenar, tercepat, dan tidak
menyiksa terpidana atau mungkin cara berdasarkan pilihan terpidana
mati.
4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh pertimbangan tentang fakta dan hukum sebagaimana telah
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] bahwa dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil tidak beralasan,
sehingga harus ditolak;
[4.2] bahwa rasa sakit yang dialami oleh terpidana mati merupakan konsekuensi
logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan
pidana mati terhadap terpidana sesuai dengan tata cara yang berlaku,
sehingga tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati;
[4.3] bahwa dari berbagai alternatif tentang tata cara pelaksanaan pidana mati,
selain cara ditembak, seperti digantung, dipenggal pada leher, diestrum
listrik, dimasukkan ke dalam ruang gas, dan disuntik mati, semuanya
menimbulkan rasa sakit meskipun gradasi dan kecepatan kematiannya
berbeda-beda. Tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit
dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung risiko terjadinya
ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit. Namun,
hal itu bukan merupakan penyiksaan sebagaimana dimaksud Pasal 28I UUD
1945, sehingga Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan
Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka
permohonan Pemohon sepanjang pengujian materiil tidak beralasan menurut
hukum dan harus ditolak.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan permohonan Pemohon baik mengenai pengujian formil maupun
pengujian materiil ditolak untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, pada
hari Rabu, tanggal lima belas bulan Oktober tahun dua ribu delapan, dan
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari ini, Selasa tanggal dua puluh satu bulan Oktober tahun dua ribu delapan, oleh
kami, Moh. Mahfud, MD selaku Ketua merangkap Anggota, Maruarar Siahaan,
H.M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Abdul Mukthie Fadjar, Jimly
Asshiddiqie, Maria Farida Indrati, H.M. Akil Mochtar, dan Achmad Sodiki,
masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai
Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili;
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD
ANGGOTA-ANGGOTA
ttd. ttd.
H.M. Arsyad Sanusi Maruarar Siahaan
ttd. ttd.
H. Abdul Mukthie Fadjar Muhammad Alim
ttd. ttd.
Maria Farida Indrati Jimly Asshiddiqie
ttd. ttd.
Achmad Sodiki H.M. Akil Mochtar
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir