Anda di halaman 1dari 163

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG TATA CARA

PELAKSANAAN PIDANA MATI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh
EDI EFFENDI
104043101315

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430H/2009M
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh
Edi Effendi
104043101315

Pembimbing I Pembimbing II

Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum Dr. Asmawi. M.Ag


NIP: 196111011993031002 NIP: 197210101997031008

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430H/2009M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Sekripsi yang berjudul PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN


MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA
MATI, Telah di ujikan dalam siding Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 7 Desember 2009 Sekripsi ini telah di terima sebagai
salahsatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata 1 (S1) pada Perbandingan
Madzhab Hukum.

Jakarta, 7 Desember 2009


Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr.H..M. Amin Suma, SH.,MA,.MM


NIP. 195505051982031012

PANITIA SIDANG MUNAQASAH

1. Ketua :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM. ( )


NIP. 195505051982031012
2. Sekretaris :Dr. H. Mhammad Taufiki, M.Ag ( )
NIP. 196511191998031002
3. Pembimbing I :Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum ( )
NIP: 196111011993031002
4. Pembimbing II :Dr. Asmawi. M.Ag ( )
NIP: 197210101997031008
5. Penguji I :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM. ( )
NIP. 195505051982031012
6. Penguji II :Dr. Jenal Aripin, M.Ag ( )
NIP. 197210161998031004
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟ ّﺮ ﺣﻤﻦ اﻟ ّﺮ ﺣﻴﻢ‬

KATA PENGANTAR

Dengan segenap jiwa, dan tambatan pikiran, untuk bahasakan rasa syukur

kepada Allah SWT, pusatkan gerak dan lagat jiwa serta tubuh untuk ucapkan

“Alhamdulillah” segala puji kupersembahkan kepadanya, penulis dapat menuntaskan

kewajiban studinya, yaitu penulisan skripsi guna memenuhi syarat dalam rangka

memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat teriring salam penulis aturkan kepada pembawa amanah, tauladan

umat, dan sang sosial-revolusioner baginda Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat,

dan orang-orang yang tercerahkan untuk membumikan hukum-hukumnya.

Dalam kesempatan ini pula, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas

kerjasama dan bantuannya, baik moril maupun materil. Karena penulis menyadari

bahwa penulisan skripsi ini susah terwujud tanpa orang-orang di sekelilingku.

Untuk itu penulis sepantasnyalah menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Ahmad Mukri Adji. M.A, Ketua Jurusan PMH, dan Dr.

Muhammad Taufiki. M.Ag, Sekretaris Jurusan PMH yang telah memberikan

iii
arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

4. Bapak Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum, dan Bapak Dr. Asmawi. M.Ag sebagai

dosen pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu memberikan

masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi

ini dapat terselesaikan.

5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah

memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan

literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

6. Semua Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang

telah diberikan kepada penulis selama masa pendidikan berlangsung.

7. Ayahanda M. Salim, dan Ibunda Jumilah yang mengajarkan bahasa cinta dan

kakek-nenek, saudara-sekandungku. Ayuk: Nurmala Sari, Fatmawati, dan

Ratnawati. Abang Jamin, dan adikku Andrianto, serta Abang Zulkifli dan

Kusnadi. Semuanya karena keihklasan dan dukungan, penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak lupa pada keponakan yang kurindu:

Riki, Era, Zillah, dan Tina. Kalian semua mutiara dalam hidupku yang di

berikan Tuhan, cahaya yang tak pernah padam sepanjang hayat.

8. Terima kasih penulis ucapkan kepada ”gadis yang dicintai”, bagaimanapun

secara langsung maupun tak langsung telah memberikan dukungan dan

semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir kuliyah ini.

iv
9. Teman-teman PMF B angkatan 2004: Mustofa, Andri, Arul, Sugeng, Husaini,

Abul, Abdur, Abdul, Halim, Muliarto, Zai, Endar, Rusli, Robi, Syarki, jefi,

ipeh, inang, firda, dll. Kalian lembaran sejarah hidupku.

10. HMI Komfaksyi, LKBHMI, LEMI dan Saudaraku Gang Kodok: Panji Patra

Anggaredho. SE.I, Rama Jhuwandi. SH.I, Iwin Indra. SH.I, Minhazul Abidin,

Dani, Mudasir, dll. Terima kasih saya pada himpunan ini, teruslah berkiprah.

“Yakin Usaha Sampai-Semoga kita benar”

11. Komite Mahasiswa Pemuda Anti-Kekerasan (KOMPAK) terima kasih

saudaraku: De’ Hafiz, De’ Sidik, De’ Cahya, De’ Aqin, De’ Bahtiar, De’

Adam, De’ Idam, De’ Mustofa, De’ Rhasid, De’ atDaulay, De’ Ade, De’

Ainul, De’ Silly, De’ Ociem, De’ Ozie, De’ Sofie, De’ Rafika, De’ Arma, De’

Tari dll.

12. Teman-teman Gang Buntu (SaunG): Anas, Ridho, Suwidi, Mannan, Ulin,

Andhika, Fa’i, dll. Terima kasih kawan.

Semoga segala bantuan, dukungan dan do’a untuk penulis mendapat balasan

yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi wacana keislaman. Kepada-

Nya kita memohon hidayah dan inayah.

Jakarta, 05 September 2009 M


15 Ramadhan 1430 H

Edi Effendi

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii

KATA PENGANTAR............................................................................................. iii

DAFTAR ISI............................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................... 9

E. Metode Penelitian ..................................................................... 11

F. Sistematika Penulisan ............................................................... 12

BAB II KEDUDUKAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM ISLAM

A. Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Islam ................................ 14

B. Pidana Mati Dalam Hukum Islam .............................................. 19

C. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Dalam Hukum Islam ......... 29

D. Praktik Pidana Mati di Negara-negara Muslim .......................... 32

BAB III PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI

vi
A. Pidana Mati: Antara Norma yuridis dan praktik......................... 37

B. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 ..... 49

C. Doktrin Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.

21/PUU-I/2008............................................................................ 56

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum

Formil dan Materil Putusan................................................ 64

1. Analisis Formil Pembentukan Undang-undang ................. 64

2. Analisis Materil Putusan Mahkamah Konstitusi................ 72

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Amar Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 .............. 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 85

B. Kritik dan Saran ......................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 89

LAMPIRAN............................................................................................................. 93

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau

kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia

memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada

hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia

buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus

mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan

syariat. Dalam hal ini Allah sebagai syariat atau pembuat syariat.

Yang dimaksud dengan syariat adalah semua peraturan agama yang

ditetapkan Allah untuk kaum muslim, baik yang ditetapkan al-Quran ataupun

Sunnah Rasul, karena itu syariat mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al-

din). Pengertian syariat menurut Muhammad Ali al-Tahanwy. Mengatakan

“syariat ialah hukum yang telah ditetapkan Allah bagi hambanya (manusia) yang

dibawa Nabi, baik yang berkaitan dengan perbuatan yag dinamakan hukum-

hukum cabang dan amaliah yang di kodifikasikan dalam Ilmu Fiqih, ataupun

berkaitan dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukun-hukum pokok dan

iktiqadiah yang dikodifikasikan dalam Ilmu Kalam” 1

1
Muhammad Yusup Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik Madaniy
dan Hamim ( Jakarta, CV. Rajawali, 1998 ), h. 131

1
2

Dalam Islam konsep tentang manusia adalah ideal (sangat tinggi)

didasarkan atas suatu message (tugas kewajiban) dan menuju kepada suatu

objektif yang nyata. Dengan dasar pandangan ini kita lebih dapat memahami

sabda Tuhan dalam al-Quran yang selalu menekankan tanggung jawab manusia

itu bersifat individu (perorangan, bukan kelompok) dan bahwa hukum Islam

menjujung tinggi person-manusia sebagai norma pokok, 2 misalnya barang siapa

membunuh orang yang tidak melakukan pembunuhan atau kekerasan di bumi,

seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa

menyelamatkan jiwa seseorang, seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh

manusia. 3 Dalam hal ini, artinya benar-benar menjamin serta menghargai

kemanusiaan (memanusiakan manusia), dan dalam konteks bernegara khususnya

Indonesia (Negara Hukum) 4 .

Negara hukum ialah Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang,

tindakan-tindakan Negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa

yang oleh para ahli-ahli hukum Inggris terkenal sebagai “rule of law”. Kita

melihat bahwa individu pun menpunyai hak terhadap negara. Hak-hak individu

terhadap Negara terutama apa yang yang dinamakan “Hak-Hak Azasi Manusia”

2
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, cet, Ke- I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980 ), h. 106-107

3
Noor Wahid Hafiez, Pidana Mati Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), h.. 111

4
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. Ke- III, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995), h. 89
3

dan kini lebih terkenal sebagai hak-hak manusia, dengan telah diterimanya

Universal Declaration Of Human Rights secara internasional maka nyatalah

betapa pentingnya sebuah Negara Hukum. 5 Perlindungan hak-hak manusia ini

tidak akan terjamin dengan menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini diakui,

yang diperlukan ialah suatu kesediaan yang lebih konkrit. 6 mencapainya dengan

penegakan hukum, tegasnya setiap yang bersalah atau melakukan kejahatan mesti

dihukum.

Konstitusi Indonesia yang menjamin hak asasi manusia, berbunyi, “hak

untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,

hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 7

Sesuai dengan bahasan ini terkait pidana mati, ada beberapa hukum yang

berlaku di Indonesia dengan ancaman pidana mati di antaranya, dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melakukan kejahatan menghilangkan

nyawa seseorang bisa diancam hukuman pidana mati, tertera dalam pasal 340 ayat

(2), 8 kejahatan atau pelanggaran terhadap Undang-Undang No 22 Tahun 1997

5
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), h. 3

6
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, h. 4

7
Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945

8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
4

tentang Narkotika, pasal 80 ayat (1) huruf a, dan kejahatan atau pelangaran

terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 59 ayat

(2). 9

Di Indonesia, hingga kini masih tercantum dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara

terpidana digantung sebagaimana tercantum yaitu, “Pidana mati dijalankan oleh

algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang

gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana

berdiri”. 10

Dengan memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari

Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi

kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang

kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut karena seiring dengan

perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung

memakan waktu yang lama, maka hukuman mati digantung diubah dengan cara

ditembak Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan

Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang

9
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undand-undang Nomor
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

10
Pasal 11 dalam KUHP
5

telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1969. 11

Ada beberapa macam bentuk tata cara pelaksanaan pidana mati di dunia,

Sebagai perbandingan dari macam-macam tata cara pidana mati yang masih

dipratikkan didunia sebagai berikut:

1. Digantung (hanging)

2. Dipenggal pada leher (decapitation)

3. Ditembak (shooting)

4. Strum listrik (electrocution atau the electric chair)

5. Ruang gas (gas chamber)

6. Suntik Mati (lethal injection). 12

Bahwah ada pendapat Kematian adalah peristiwa yang mengerikan,

mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara

kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yag menakutkan

daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia

sampai dengan akhir-akhir ini (hukuman mati ditentang oleh gerakan-gerakan

11
Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati

12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara
Pengujian Undang-Undang
6

modern tertentu, seperti Amnesty International) yang mana hukuman mati

merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan 13

Selanjutnya dari uraian diatas pada tanggal 6 agustus 2008 telah diterima

dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara

Nomor 21/PUU-VI/2008, tentang perkara pengujian Undang-Undang No

02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan

Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara

Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. 14 Dalam hal alasan terhadap Undang-Undang

yang diajukan bertentangan secara formil pembentukkan dan materiilnya terhadap

UUD 1945. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin Nurhasyim

als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra (terpidana mati kasus bom Bali).

Secara lembaga, Mahkamah Konstitusi yang tersendiri diluar dan sederajat

dengan Mahkamah Agung, 15 dan mengenai hakikat, tugas dan wewenangnya

dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki

lima bidang kewenangan peradilan, yaitu: 16

13
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 226

14
Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati

15
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta. PT, Buana
Ilmu Popular, 2007), h. 581

16
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, h. 588
7

1) Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas Undang-Undang

(terhadap UUD 1945)

2) Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara

3) Peradilan perselisihan hasil pemilu umum

4) Peradilan pembubaran partai politik, dan

5) Peradilan atas pelanggaran oleh Presiden dan wakil Presiden menurut

Undang-Undang Dasar

Berdasarkan penjelasan di atas penulis merasa perlu dan menarik

untuk penelitian serta pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata

cara pelaksanaan pidana mati dan bagaimana perspektif hukum Islam yang mana

Indonesia penduduknya mayoritas muslim. Maka Penulis merangkum penelitian

ini dengan judul: “Perspektif Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan

masalah pertama: tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam, kedua:

pandangan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelakasanaan pidana mati,

yang akan di kaji ringkasannya beberapa pertayaan berikut, serta dapat

menggambarkan rumusan masalah dalam skripsi ini:

1) Bagaimanakah kedudukan pidana mati dan tata cara pelaksanaannya menurut

hukum Islam ?.
8

2) Bagaimanakah pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan

pidana mati, dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964 juncto UU No

05/Tahun/1969 ?.

3) Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah

Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati ?.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui dan menjelaskan kedudukan pidana mati dan tata cara

pelaksanannya menurut hukum Islam.

2. Mengetahui dan menjelaskan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata

cara pelaksanaan pidana mati, dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964 juncto UU

No 05/Tahun/1969.

3. Mengetahui dan menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Di bawah ini beberapa penjelasan tinjauan terdahulu dalam penelitian ini,

ada beberapa karya atau peneliti yang membahas terkait dengan penulis bahas .

Buku pertama: Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, “Pidana Mati di

Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan” secara umum buku ini

membahas praktik pidana mati dari masa kemasa dengan menjelaskan perubahan
9

tata cara dan dari segi teorinya. Singkatnya dipaparkan pidana mati dilihat dari

sejarahnya, selanjutnya penulis mencoba membandingkan pidana mati dimasa

lalu dengan yang berlaku sekarang, menjelaskan proses pidana mati merupakan

proses bentuk hukum berkelanjutan, dan memberikan pandangan terhadap proses

pidana mati yang manusiawi untuk masa mendatang.

Buku kedua: Djoko Prakoso, “Masalah Pidana Mati” (Soal Tanya

Jawab), bahasan dalam buku mencoba memaparkan dan menjelaskan pidana mati

secara teori maupun praktik menurut para ahli-ahli hukum dan dari beberapa

pendapat dibandingkan serta menjelaskannya dari aspek teori hukum pidana

dilihat dari norma yuridis maupun praktik dan memaparkan perbedaan pendapat,

apakah pidana mati benar-benar bisa atau tidak efektif dalam mengurangi dan

memberantas kejahatan dan menjelaskan juga pandangan dunia dewasa ini

terhadap permasalahan pidana mati.

Buku Ketiga: Ahkiar Salmi, “eksistensi hukuman mati”, menjelaskan

eksistensi pidana mati dalam perUndang-Undangan Indonesia yang terdapat di

dalam KUHP maupun diluarnya, serta memaparkan juga beberapa yurisprudensi

dalam putusan pidana mati dan menjelaskan cara pelaksanaan pidana mati yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2/pnps/1964 tentang tata cara

pelaksanaan pidana mati, juga menjelaskan cara hukuman mati yang terdapat

dalam pasal 11 KUHP yang telah dicabut atau tidak diberlakukannya, dan

memaparkan tinjauan pidana mati dari beberapa aspek dari teori, dan
10

memaparkan alasan mereka yang pro ataupun yang kontra terhadap hukuman

mati.

Buku keempat: Djoko Prakoso dan Nurwachid, “Pidana Mati di Indonesia

Dewasa Ini” dalamnya penulis mencoba menjelaskan sesuai dengan judul diatas,

menjelaskan beberapa masalah penerapan pidana mati di Indonesia (proses)

secara doktrin hukum dan juga mencoba menjelaskan beberapa teori yang dianut

sebagai landasan hukuman dan membahas beberapa macam pelanggaran yang

diancam dengan pidana mati, dan selanjuntya memaparkan sedikit perdebatan

terkait pihak yang menolak penerapan hukuman mati.

Buku kelima: Noorwahidah Hafedz Anshari, “Pidana Mati Menurut

Hukum Islam” dibahas bagaimana pidana mati dalam Islam beserta dalil-dalil

hukumnya, menjelaskan beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana mati

seperti: membunuh dengan sengaja, zina muhshan, merampok, berontak, dll.

Disebutkan juga bentuk pemidanaannya berdasarkan perbuatan, disinggung juga

proses pemidanaannya tapi tidak secara gamlang.

Dalam kajian terdahulu ini, selain peneliti melihat beberapa penelitian

beberapa buku yang terkait dalam bahasan ini, juga meneliti di pustaka Fakultas

Syariah dan Hukum, Peneliti tidak menemukan di pustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum, yang meneliti sebelumnya terhadap pandangan Mahkamah Konstitusi

tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam UU No

02/pnps/Tahun/1964/juncto/UU 05/Tahun/1969. Tapi ada satu penelitian oleh:

Uwes Sulkkurni (2004), Tinjauan Hukum Islam Terhadap Eksekusi Hukuman


11

Mati Di Indonesia. Dalam penelitiannya hanya membandingkan pratik hukuman

mati dalam Islam dengan pratik hukuman mati di Indonesia yang diatur dalam

UU No 02/pnps/Tahun/1964/juncto/UU 05/Tahun/1969. dan letak perbedaan

dengan peneliti tulis adalah peneliti berusaha menganalisis perspektif hukum

Islam terhadap pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 2/PUU-

IV/2008, dengan pendekatan nilai atau syarat-syarat (doktrin hukum Islam) yang

harus dipenuhi dalam proses pelaksanaan pidana mati.

E. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach),

yaitu penelitian yang kajianya menelaah beberapa literatur hukum yang terkait

dengan bahasan ini, dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dan selanjutnya menguraikan secara jelas berbagai bahan yang

diperoleh, dengan begitu penelitian ini bersifat deskriptif, selanjutnya bahan

pustaka yang diperoleh dipadukan serta dianalisis dengan prinsip penelitian

hukum normatif-dokrinner

2) Metode Pengumpulan Data

Dengan berdasarkan jenis penelitian, data yang gunakan adalah studi

dokumentasi yang selanjutnya disebut data primer dalam penelitian ini dan

bahan yang membantu atau bahasan yang terkait dalam penelitian ini disebut

data sekunder. Sumber data primer yang digunakan adalah putusan


12

Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara

Pengujian Undang-Undang. Sedangkan bahan sekundernya berupa berupa

tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini

3) Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah berdasarkan tehnik analisis isi data

secara kualitatif. Dengan cara data-data yang diperoleh dari bahan-bahan

pustaka dan dokumentasi, dianalisis dengan metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analitis-kualitatif. Tujuan disini adalah untuk mencari

persesuaian objek penelitian yang kemudian dianalisis dengan hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Skripsi ini dibagi atas lima (5) bab, tiap-tiap bab

terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang

penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjaun (review) kajian terdahulu, metode dan sistematika

penelitian ini.

Bab II Di dalamnya akan membahas mengenai tujuan pemidanaan serta

pidana mati dalam hukum Islam dan bagaimana tata cara hukuman

mati menurut hukum Islam dan juga memaparkan praktik pidana mati

di beberapa Negara-negara Muslim


13

Bab III Membahas pidana mati: antara norma yuridis dan praktik, dan materi

putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perUndang-

Undang, serta memaparkan doktrin hukum Mahkamah Konstitusi

terhadap UU No 02/Tahun/1964 jucnto UU No 05/Tahun/1969 dilihat

dari syarat formil atau materiilnya.

Bab IV Merupakan bab yang menganalisis tata cara pelaksanaan pidana mati

di Indonesia dalam pandangan Mahkamah Konstitusi (formil dan

materil), dan bagaimana perspektif hukum Islam dalam pelaksanaan

hukuman mati di Indonesia (Putusan Mahkamah Konstitusi).

Bab V Adalah bab penutup, berisi kesimpulan penulis, saran dan kritik bagi

siapa saja yang berkepentingan di dalamnya.


BAB II

KEDUDUKAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM ISLAM

A. Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Islam

Ada tiga asas dalam bidang hukum pidana Islam yang harus diperhatikan

selain dari asas umum lainnya seperti, asas keadilan, kepastian hukum, dan

kemanfaatan. 1 Beberapa asas di bawah ini juga bisa melihat tujuan pemidanaan

itu sendiri.

1. Asas Legalitas

Tidak ada pelanggaran atau tidak ada hukuman sebelum ada Undang-

Undang atau aturan tetap yang mengaturnya. Dalam al-Quran ayat (15) surat

al-Isra’ dihubungkan dengan anak kalimat dalam ayat (19) surat al-An’am

yang berbunyi “al-Quran ini diwahyukan padaku, agar (dengannya) aku

(Muhammad) dapat menyampaikan peringatan (dalam bentuk aturan dan

ancaman hukuman) kepadamu”. Biasanya dalam hukum disebut asas legalitas

yang artinya tidak dikenakan hukuman pada seseorang atas perbuatannya

sebelum adanya aturan yang melarangnya.

1
H. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, Cet, Ke- 10, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001), h. 117

15
16

2. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain

Selanjutnya hukuman yang dikenai pada seseorang tidaklah bisa

dipiindahkan atau menggantikan berlakunya hukum pada seseorang misalnya,

dalam surat Muddatstsir dikatakan bahwa setiap jiwa terikat apa-apa yang ia

kerjakan dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang

diperbuat oleh orang lain, dikatakan juga dalam surat al-An’am ayat (164),

bahwa Allah mengatakan setiap pribadi yang melakukan kejahatan akan

menerima balasan kejahatan yang di lakukannya, ini berarti tidak ada suatu

perbuatan kejahatan atau dosa seseorang yang bisa ditanggung oleh orang lain

dan sesungguhnya pertanggung jawaban seseorang itu bersifat individu (asas

larangan memindahkan kesalahan pada orang lain).

3. Asas Praduga Tak Bersalah

Perlu diperhatikan juga asas praduga tak bersalah dalam pidana, dalam

proses menentukan bersalah tidaknya seseorang pelaku pidana maka perlu

adanya pengadilan yang adil (trial fair), jadi seseorang yang dituduh

melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim

memutuskan dengan bukti-bukti yang menyakinkan, maka pelaku (terdakwa)

mempunyai hak untuk pembelaan diri di depan pengadilan. 2

Hukuman dalam bahasa arab disebut “uqubah”, lafaz “uqubah” menurut

bahasa berasal dari kata: (‫ )ﻋﻘﺐ‬yang sinonimnya: (‫)ﺑﻌﻘﺒﻪ وﺟﺎء ﺧﻠﻔﻪ‬, artinya,

2
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, h. 118-119
17

Dalam kamus istilah fiqih kata “uqubah” berarti: “hukuman badan yang

telah ditentukan oleh syara’, yang telah dilakukan seseorang ”, disebutkan juga

“uqubah” ada dua macam yaitu, “uqubah ashliyyah ”, hukuman asal yang telah

ditentukan syara’ seperti hukuman potong tangan bagi pencuri baik laki-laki

maupun perempuan, jika sudah memenuhi syarat-syaratnya, dan “uqubah

badaliyyah” hukuman sebagai pengganti hukum asli yang telah ditetapkan oleh

syara’ seperti, membayar seratus ekor unta sebagai pengganti hukuman bagi yang

membunuh dengan sengaja, setelah mendapat ampunan dari pihak keluarga

terbunuh. 4 Menurut Abdul Qadir Audah, hukuman difinisikan sebagai berikut: 5

‫ع‬
ِ ‫ﺸﺎ ِر‬
‫ن َأﻣْ ِﺮ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﻋﺼْ َﻴﺎ‬
ِ ‫ﻋَﻠﻰ‬
َ ‫ﻋ ِﺔ‬
َ ‫ﺠ َﻤﺎ‬
َ ‫ﺤ ِﺔ اﻟ‬
َ ‫ﺠ َﺰا ُء اﻟ ُﻤ َﻘ ﱠﺮ ُر ِﻟ َﻤﺼَْﻠ‬
َ ‫ﻲ اﻟ‬
َ ‫اﻟ ُﻌ ُﻘﻮْ َﺑ ُﺔ ِه‬

Artinya: “hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk


memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’ ”

Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu

tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang

3
H. Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah),
(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), Cet, Ke- 1, h. 136

4
M. Abdul Mujieb, Mabrul Tholhah, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet, Ke- 3
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.

5
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kitab al-
‘Araby, tt.), h. 609.
18

Selain itu, tujuan pemidanaan atau hukuman adalah.

a. Pencegahan (‫ )اﻟﺮدع واﻟﺰﺟﺮ‬7

Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah

(delik pidana) agar ia tidak tidak mengulangi perbuatan jarimah-nya, atau

agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah itu terus-menerus. Disamping

mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain

agar tidak melakukan perbuatan jarimah pula. Dengan demikian, kegunaan

pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri

6
Mashood A. Baderin, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj.
Musa khazim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNASHAM, 2007), h. 39-40

7
Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
137-139
19

untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak

berbuat seperti itu dan serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah, oleh

karena tujuan hukuman pencegahan dalam hal ini, maka dalam pemberian

hukuman haruslah sesuai dan cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak

boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan begitu terdapat

prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.

b. Perbaikan dan pendidikan (‫)اﻹﺻﻼح واﻟﺘﻬﺬﻳﺐ‬

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku

jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini

terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku, dengan

adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu

kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman,

melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta

dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT. Selain kebaikan pribadi,

dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang

baik yang diliputi hidup saling menghormati dan mencintai antara sesama

anggotanya dengan mengetahui hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya

jarimah merupakan perbuatan yang menginjak-injak keadilan atau melanggar

norma masyarakat yang membuat kemarahan masyarakat dan perbuatan yang

menggangu ketertiban serta kenyamanan masyarakat, dan hukuman yang

diterima dimaksudkan memberikan rasa derita yang harus diterima sebagai


20

balasan yang telah diperbuat dan sebagai sarana penyucian diri, 8 serta harapan

akan terwujudnya rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh

masyarakat.

B. Pidana Mati Dalam Hukum Islam

Telah dijelaskan di atas maksud atau tujuan pidana Islam adalah menjaga

ketertiban masyarakat dan mewujudkan hidup yang damai, serta mencipakan

lingkungan yang saling menghormati dan menghargai hak individu maupun hak

masyarakat secara umum, tentunya dalam kehidupan sosial. Selain itu juga

memberikan pencegahan dan pelajaran agar setiap individu menjauhi dari

perbuatan jarimah atau kejahatan. Sehingga penegakkan hukum tersebut

menyentuh dan berdasarkan asas manfaat (maslahat) dan menjauhkan kerusakan

(mafsadah). Begitu juga tentang hukuman mati dalam syariat Islam adalah untuk

pencegahan (ar-rad’u wa az-zajru’) dan pendidikan (al-islah wa at-tahdzib). 9

Sanksi pidana mati dalam hukum Islam ada beberapa kategori kejahatan

(jarimah 10 ) yang dikenakan yaitu, makar-pemberontakan (al-Baghy), murtad-

8 Hukuman bagi pelaku kejahatan sebagai rehabilitasi atau perbaikan. Lihat Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet, Ke- 31, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), h. 409

9
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-5, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 255

Jarimah berasal dari kata, (‫َم‬


10
َ ‫ )ﺟَﺮ‬yang sinonimnya (ٌ‫ ) َﻗﻄْ ُﻊ َو آَﺴْﺐ‬artinya, “berusaha dan
bekerja”. Secara istilah, (ٍ‫ﺤ ٍّﺪ َاوْ َﺗﻌْ ِﺰﻳْﺮ‬
َ ‫ﻋﻨْﻬَﺎ ِﺑ‬
َ ‫ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ‬
ُ ‫ﺟ َﺮ ا‬
َ ‫ﻋ ﱠﻴ ٌﺔ َز‬
ِ ْ‫ﺷﺮ‬
َ ٌ‫ﻈﻮْرَات‬
ُ ْ‫ﺠﺮَا ِﺋ ُﻢ ﻣَﺤ‬
َ ‫ )اﻟ‬artinya, “jarimah
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau
ta’zir ” lihat, Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum…, h. 9
21

keluar dari Islam (ar-Riddah), berzina, dan perampokan (hirabah), membunuh

(qhishas/diat). Akan diterangkan dibawah ini.

Hukum Islam membagi tindak pidana pada tiga bagian yaitu, pidana

hudud, qhishas-diat, dan ta’zir 11 . Sebelum menjelaskan sanksi-sanksi yang

dikenai pidana mati di atas, perlu kiranya sebelumnya memaparkan bagian-bagian

dalam jarimah, yang sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya. Akan

tetapi secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari

beberapa segi antara lain ditinjau dari segi berat ringannya hukuman yakni:

a) Pidana hudud

Pidana hudud (jarimah hudud) adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah

ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).

Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu sebagai berikut.

1) hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti hukumannya telah

ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

2) hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak

manusia di samping hak Allah maka hak Allah lebih dominan.

11
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jima’i al-Islamiy
Muqarrana bil Qanunil Wad’iy, terj. Tim Tsalisah, jilid ke- 3, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu), tt, h.
111
22

Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut

sebagai berikut 12 .

‫س‬
ِ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨﺎ‬
َ ‫ﺣ ٍﺪ ِﻣ‬
ِ ‫ﺺ ِﺑ َﻮ ا‬
‫ َوَﻟﻢْ َﻳﺨْ َﺘ ﱡ‬،‫ﺸ ِﺮ ﱠﻳ ِﺔ‬
َ ‫ﻋ ِﺔ اﻟ َﺒ‬
َ ‫ﺠ َﻤﺎ‬
َ ْ‫ﻖ ِﺑ ِﻪ اﻟ َﻨﻔْ ُﻊ اﻟ َﻌﺎ ﱡم ِﻟﻠ‬
َ ‫ﷲ َﻣﺎ َﺗ َﻌﱠﻠـ‬
ِ ‫ﻖا‬
‫ﺣﱡ‬َ

Artinya: “hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali


kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang”

Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah

di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh

perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh

masyarakat yang diwakili oleh Negara.

Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut,

1) Tindak pidana perzinaan (jarimah zina)

2) Tindak pidana tuduhan zina (jarimah qadzaf)

3) Tindak pidana meminum minuman keras (jarimah syurbul khamr)

4) Tindak pidana pencurian (jarimah pencurian)

5) Tindak pidana Perampokan (jarimah hirabah)

6) Tindak pidana murtad (jarimah riddah)

7) Tindak pidana pemberontakan (jarimah al-baghy 13 )

Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan

pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan


12
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
17-18

13
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, h. 79
23

dalam jarimah pencurian dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung

disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak

Allah lebih dominan.

b) Pidana qhishas wa diat

Jarimah qhishas dan diat adalah hukuman yang diancam dengan

hukuman dengan qhisas dan diat. Baik qhishas maupun diat keduanya adalah

hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman

had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan

qhishas dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud

dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut sebagai

berikut.

‫س‬
ِ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨﺎ‬
َ ‫ﻦ ِﻣ‬
ٍ ‫ﺣ ٍﺪ ُﻣ َﻌﱠـ َﻴ‬
ِ ‫ص ِﻟ َﻮا‬
‫ﺧﺎ ﱞ‬
َ ٌ‫ﻖ ِﺑ ِﻪ َﻧﻔْﻊ‬
َ ‫ﻖ اﻟ َﻌﺒْ ِﺪ َﻓ ُﻬ َﻮ َﻣﺎ َﺗ َﻌﱠﻠـ‬
‫ﺣﱡ‬َ

Artinya: “hak manusia adalah hak yang manfaatnya kembali kepada


orang tertentu”

Dalam hubungannya dengan hukuman qhishas dan diat maka

pengertian hak manusia di sini adalah hukuman tersebut bisa dihapuskan atau

dimaafkan oleh korban atau keluarganya.

Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qhishas dan diat itu adalah

1) hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan

syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal sudah ditentukan
24

2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti

bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan

terhadap pelaku.

c) Tindak pidana ta’zir

Tindak pidana ta’zir (jarimah ta’zir) adalah jarimah yang diancam

dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir secara bahasa ialah ta’dib atau

memberi pelajaran. Tapi secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh

Imam al-Mawardi, ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak

pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’. Secara ringkas dapat

dikatakan hukuman jarimah ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan

oleh syara’, melainkan diserahkan kepada Ulil Amri (pemerintah), baik

penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman

tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya

pembuat Undang-Undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing

jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang

ringan seringannya dan berat seberatnya.

Ciri khas dari jarimah ta’zir adalah.

1) hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut

belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal.

2) penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa 14 .

14
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
19
25

Telah disebut di atas beberapa jarimah yang dikenai hukuman mati

dan akan dijelaskan disini yaitu,

a. Makar atau pemberontakan (al-Baghyu 15 )

Ada beberapa defenisi dari para ulama fiqh atau mazdhab mengenai

perbuatan makar 16 , tapi apabila ditarik kesimpulan dari perbedaan defenisi

tersebut, maka dapat dipahami makar adalah tindakan sekelompok orang yang

memilki kekuatan untuk menentang pemerintah, dengan sebab adanya

perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan. Syariat Islam memberikan

sanksi keras terhadap jarimah makar, karena jika tidak demikian maka akan

timbul, kekacauan, anarki, serta ketidaktenangan masyarakat. Tindakan keras

tersebut berupa diterapkannya hukuman mati bagi pelaku makar.

Berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat (9)

‫ﻷﺧْ َﺮى َﻓﻘْ ُﺘُﻠﻮْا‬ ُ ‫ﻋَﻠﻰ ا‬َ ‫ﺤﻮْا ا َﺑﻴْ َﻨ ُﻬ َﻤﺎ َﻓِﺈنْ َﺑ َﻐﺖْ ِإﺣْ َﺪا ُه َﻤﺎ‬
ُ ‫ﻦ اﻗْ َﺘ َﺘُﻠﻮْا َﻓَﺄﺻِْﻠ‬
َ ْ‫ﻦ اﻟ ُﻤﺆْ ِﻣ ِﻨﻴ‬
َ ‫ن ِﻣ‬
ِ ‫ﻃﺎ ِﺋ َﻔ َﺘﺎ‬
َ ْ‫َوِإن‬
‫ﷲ‬
َ ‫نا‬ ‫ﻄﻮْﺁ ِإ ﱠ‬
ُ ‫ﺴـ‬
ِ ْ‫ل َوَأﻗ‬
ِ ْ‫ﺤﻮْا َﺑﻴْ َﻨ ُﻬ َﻤﺎ ِﺑﺎﻟ َﻌﺪ‬
ُ ‫ﷲ َﻓِﺈنْ َﻓﺎ َءتْ َﻓَﺄﺻِْﻠ‬ ِ ‫ﺣ ﱠﺘﻰ َﺗ ِﻔﻰْء َِإَﻟﻰ َأﻣْ ِﺮا‬ َ ‫اﱠﻟ ِﺘﻰ َﺗﺒْ ِﻐﻰ‬
.‫ﻦ‬
َ ْ‫ﺴِـﻄﻴ‬
ِ ْ‫ﺐ اﻟ ُﻤﻘ‬ ‫ﺤ ﱡ‬ِ ‫ُﻳ‬
(٩ :‫)اﻟﺤﺠﺮات‬

15
Dari segi bahasa Al-baghy memiliki beberapa arti antara lain: ‫ﻈﻠْ ُﻢ‬ ُ ‫( اﻟ‬zhim/aniaya), ‫ﺠ َﻨﺎ َﻳ ُﺔ‬
ِ ‫اﻟ‬
(perbuatan jahat), ‫ن‬
ُ ‫( اﻟ ِﻌﺼْ َﻴﺎ‬durhaka), ‫ﻖ‬
ِّ ‫ﺤ‬
َ ‫ﻦ اﻟ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫( اﻟ ُﻌ ُﺪوْ ُل‬menyimpang dari kebenaran), dan ْ‫اﻟ َﺘ َﻌ ِّﺪي‬
(melanggar dan menentang), lihat, Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subulus as-Salam, juz III, h.
257; Wabah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, juz, VII, h. 142; dan Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Munawwir, h. 106

16
kumpulan tulisan dosen-dosen Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, Pidana Islam di
Indonesia: Peluang, Prospek, Dan Tantangan, editor, Jaenal Aripin, dan M. Askal Salim GP,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 58-59
26

Artinya: “dan jika ada golongan dari orang-orang mu’min berperang,


maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua
golongan itu berbuat aniaya terhadap golongnm yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali
(kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil dan berlaku adillah. Sesesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil ”

Ketentuan yang lebih tegas mengenai hukuman ini dijelaskan dalam

hadis Nabi SAW.

ْ‫ﺟ ِﻤﻴْﻊٌ ُﻳ ِﺮﻳْ ُﺪ َأن‬


َ ْ‫ل َﻣﻦْ َأ َﺗﺎ ُآـﻢْ َوَأ َﻣ َﺮ ُآـﻢ‬
ُ ْ‫ﷲ ص م َﻳ ُﻘﻮ‬
ِ ‫لا‬
َ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ْ‫ﺳ ِﻤﻌ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ﺢ َﻗﺎ‬
ٍ ْ‫ﺷ َﺮﻳ‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ ْ‫ﺠ َﺔ اﺑ‬َ ‫ﻋﺮْ َﻓ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬ َ ‫َو‬
(ٌ‫ﺟ ُﻪ ُﻣﺴِْﻠﻢ‬
َ ‫ﻋ َﺘ ُﻜـْﻢ َﻓﺎﻗْ ُﺘُﻠﻮْ ُﻩ )َأﺧْ َﺮ‬
َ ‫ﺟ َﻤﺎ‬
َ ‫ق‬
َ ‫ُﻳ َﻔ ِّﺮ‬

Artinya: “dari ‘Arfajah ibn Syuraih ia berkata: saya mendengar


Rasullah Saw. Bersabda: barang siapa yang datang kepada kamu
sekalian, sedangkan kalian telah sepakat kepada seseorang pemimpin,
untuk memecah belah kelompok kalian, maka bunuhlah ia ”. (HR.
Muslim 17 )

b. Jarimah Murtad (riddah)

Hukuman mati bagi orang yang murtad (keluar dari agama Islam)

didasarkan kepada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat (217)

⌦ ☺

(٢١٧ :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬.

Artinya: “barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya,


lalu dia mati dalm kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal didalamnya”
17
al-Kahlani, Subulus as-Salam, h. 261
27

Ayat di atas hanya menjelaskan hukuman bagi orang murtad di akhirat

tidak di dunia, tapi hukuman di dunia dijelaskan oleh Nabi SAW 18 .

Sebagaimana dalam hadisnya:

‫ل ِد ﻳْ َﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻣﻦْ َﺑ ﱠﺪ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ا‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل َﻗﺎ‬
َ ‫ﻋﻨْ ُﻬـ َﻤﺎ َﻗﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ‫ﺿ‬ِ ‫س َر‬
ٍ ‫ﻋ ﱠﺒﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻦ اﺑ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫َو‬

‫َﻓﺎﻗْ ُﺘُﻠﻮْ ُﻩ‬

Artinya: “dari ibnu abbas ra, ia berkata: telah bersbda Rasulullah


SAW: barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”.
(HR. Bukhari) 19

c. Zina Muhshan (sudah menikah)

Hukuman rajam bagi zina muhshan, rajam adalah hukuman yang

diakui seluruh fuqaha kecuali kelompok Azariqah dari golongan Kwarij.

Mereka tidak menerima hadis jika tidak mencapai batas mutawwatir menurut

mereka, hukuman bagi orang zina muhshan dan hukuman zina ghair

muhshan adalah dera, dalilnya merujuk pada surah an-Nur ayat (2)


☺ ⌧
(٢ :‫)اﻟﻨﺮ‬ ☺ ⌧

18
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
152

19
al-Kahlani, Subulus as-Salam, h. 256
28

Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka


deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Pendapat para ulama di luar kelompok Azariqah dari golongan kwarij

menyatakan hukuman bagi pezina muhshan (sudah menikah) hukumannya

adalah rajam yang bentuk hukumannya merupakan membunuh orang yang

berzina dengan cara melemparinya dengan batu atau yang sejenis batu. 20

d. Perampokan (hirabah)

Orang yang melakukan Perampokan sama halnya dengan memerangi

Allah dan Rasulnya, kata memerangi ini sama dengan melawan Allah dan

Rasulnya, dapat dimengerti bahwa perampokan sangatlah dilarang dalam

Islam dan larangan itu sesuai dengan dampak serta bahaya yang ditimbulkan

dari perampokan, bukan hanya mengancam harta bahkan nyawa 21 . Dalam

surah al-Maidah ayat (33) Allah berfirman:

20
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah…, h. 182

21
Jaenal Aripin, M. Askal Salim GP, (editor), Pidana Islam di Indonesia, Peluang,
Prospek, dan Tantangan…, h. 133
29


(٣٣ :‫)اﻟﻤﺎ ﺋﺪة‬

Artinya: “sesungguhnya balasan bagi orang yang memerangi Allah


dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka itu dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya), yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar”

Sangatlah jelas maksud ayat di atas, menegaskan bahwa tindak pidana

perampokan merupakan kejahatan yang dikategorikan melawan Allah dan

Rasulnya. Karena perampokan dapat meresahkan dan mengganggu keamanan

masyarakat umum.

Ada empat macam hukuman bagi pelaku tindak pidana perampokan

(hirabah), dan empat macam hukuman ini dikenakan pada pelaku dilihat dari

kadar perbuatannya.

1) hukuman mati

2) hukuman mati dan salib

3) hukuman potong tangan dan kaki

4) hukuman pengasingan 22

22
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), Cet,
Ke- 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), h. 149-151
30

C. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Islam

Melihat doktrin hukum Islam yang merupakan the living law di Indonesia

yang penduduknya mayoritas muslim dan terbesar di dunia, di sebutkan dalam

mengeksekusi terpidana mati haruslah memenuhi syarat ihsan al-qathlu (eksekusi

yang paling baik) yakni, melakukan eksekusi dengan cara yang paling baik,

sehingga mempermudah kematian. Bahwa yang diajarkan oleh Islam, setiap orang

di suruh untuk melakukan perbuatan, bahkan bukan hanya perbuatan, mau

berbicara, bersikap, berbuat apapun juga termasuk dalam membunuh kalau

memang itu di syariatkan untuk membunuh maka harus dilakukan dengan jalan

yang baik. Bahwa dalam peperangan misalnya, orang Islam tetap dilarang untuk

melakukan mamatsal atau mencincang atau menyiksa musuh sebelum dibunuh.

Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan dengan jelek,

artinya disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia mengalami

kematian 23 . Bukan hanya itu, bahkan untuk menyembelih binatangpun Islam

mengajarkan agar kita melakukan dengan baik 24 , salah satu contoh hadis yang

diriwayatkan oleh Muslim:

‫ﻋﻦْ َأ ِﺑﻲ‬َ ‫ﻼ َﺑ َﺔ‬


َ ‫ﻋﻦْ َأ ِﺑﻲ ِﻗ‬
َ ‫ﺤ َﺬا َء‬
ِ ‫ﺧﺎِﻟ ٍﺪ اﻟ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬َ ‫ﻋﻠْ َﻴ َﺔ‬
ِ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻞ ﺑ‬ َ ْ‫ﻋﻴ‬
ِ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛ َﻨﺎ ِإﺳْ َﻤﺎ‬
َ ‫ﺷﻴْ َﺒ َﺔ‬
َ ‫ﻦ َأ ِﺑﻲ‬
ِ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛ َﻨﺎ َأ ُﺑﻮْ َﺑﻜْ ٍﺮ ﺑ‬
َ
‫ن‬
‫ل ِإ ﱠ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻗﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ا‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ﻋﻦْ َر‬ َ ‫ﺣ ِﻔﻈْ ُﺘ ُﻬ َﻤﺎ‬
َ ‫ن‬ِ ‫ل ِإﺛْ َﻨ َﺘﺎ‬
َ ‫س َﻗﺎ‬
ٍ ْ‫ﻦ َأو‬ِ ْ‫ﺷ َﺪا ٍد ﺑ‬
ِ ْ‫ﻋﻦ‬ َ ‫ﺚ‬ ِ ‫ﻷﺷْ َﻌ‬ َ‫ا‬
23
Muhammad Iqbal, Fiqih Siayasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Cet, Ke-2,
(Jakarta: Yofa Mulia Offset, 2007), h. 258

24
Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah
Islam, terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 121
31

Artinya, “telah berkata Abu Bakr bin Abi Saybah, dari Isma’il bin
‘Uliyat, dari Khalid al-Haja’, dari Abi Qulabah, dari Abi al-As’ash, dari
Saddad bin A’us, mereka memberi kabar dan menghapalnya dari
Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas
segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara
membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka
baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di
antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa
menenangkan bintang sembelihannya”.

Hadis tersebut adalah hadis yang sahih dimuat oleh Muslim dalam

suruhan untuk membaguskan cara menyembelih dan membunuh dengan

menajamkan pisau, sehingga kalau syariat menetapkan bahwa boleh dilakukan

pembunuhan maka pembunuhan hendaknya dilakukan dengan cara yang paling

baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan, oleh karena

untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap

manusia. Karena sesungguhnya pemuliaan kepada manusia disyariatkan oleh

Tuhan, bisa dilihat atas sebutan manusia sebagai khalifah di dunia. Dalam Islam

masalah bagaimana eksekusi mati tidak diatur dalam al-Quran, melainkan

dijelaskan dalam beberapa hadis yang isinya antara satu dan yang lainnya tidak

sama. Itulah sebabnya para ulama berbeda pandapatnya dalam masalah ini.

Menurut Hanafiah dan pendapat yang sahih dari Hanabilah, hukuman qishas

dalam jiwa hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik

25
Muslim ibn Hujaz Abu Husaini al- Qusayri al- Naysaburi, Shahih Muslim, juz III,
(Beirut: Penerbit, Daarul al-Ihya Atturas al- Qirobi), h. 1547
32

‫ﻒ‬
ٍ ْ‫ﺴﻴ‬
َ ‫ﻻ ِﺑ‬
‫ﻻ َﻗﻮَا َد ِا ﱠ‬
َ

artinya “tidak ada qishas kecuali dengan pedang” 27 .

Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, hukuman qishas dilaksanakan dengan

alat yang sama yang digunakan oleh pelaku (pembunuh). Tetapi apabila keluarga

sikorban memilih pedang sebagai alat eksekusi, maka hal itu diperbolehkan 28 .

Dengan alasan mereka adalah al-Quran surat an-Nhal ayat (126)

(١٢٦ :‫)اﻟﻨﺤﻞ‬

Artinya:“dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan


balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan padamu. Akan tetapi
jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-
orang bersabar ”.

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari al-Barra Ibn ‘Azib,

bahwa Rasulullah SAW bersabda:

26
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, (Jakarta, Diadit Media,
2007), h. 196-197

27
Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus : Darul-Fikr,
1989), h. 283

28
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h. 197
33

ُ‫ﺮﻗْ َﻨﺎﻩ‬
‫ﻏﱠ‬َ ‫ق‬
َ ‫ﻏ ﱠﺮ‬
َ ْ‫ َو َﻣﻦ‬،‫ﺣ ﱠﺮﻗْ َﻨﺎ‬
َ ‫ق‬
َ ‫ﺣ ﱠﺮ‬
َ ْ‫َﻣﻦ‬

Artinya, “barang siapa membakar seseorang, maka kami akan


membakarnya, dan barang siapa menhanyutkannya, maka kami akan
menghayutkannya” 29 .

Untuk pidana selain jiwa, pelaksanaan qishas tidak boleh dengan pedang

atau alat lainnya yang dikhwatirkan akan berlebihan. Oleh karenanya alat yang

digunakan adalah pisau, silet atau sejenisnya yang penggunaanya mudah, praktis

dan tidak akan menimbulkan kelebihan 30 .

D. Praktik Pidana Mati di Negara-negara Muslim

Sebelumnya perlu dijelaskan di sini maksud dari arti pendefinisian dari

“Negara Muslim” yang digunakan dalam penelitian ini. Dunia muslim saat ini

terbagi-bagi ke dalam sejumlah Negara-bangsa berdaulat yang terpisah-pisah.

Sebagian kecil Negara-negara ini secara khusus menyatakan diri sebagai Republik

Islam, sebagian lain menyatakan Islam adalah agama negara di dalam konstitusi

mereka, namun sebagian besar cuma terindentifikasikan sebagai negara muslim

berdasarkan penduduk mereka yang sebagian besar muslim dan ketaatan

masyarakat pada Islam 31 . Dalam hal definisi negara muslim penelitian ini satu

kriteria berbeda dari beberapa di atas. Penelitian ini mengambil dan

29
Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 284

30
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h. 198

31
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 6
34

mendefinisikan negara muslim adalah dari keanggotaan di Organisasi Konferensi

Islam (OKI). Bahwa keseluruhan 57 Negara anggota OKI bisa didefinisikan

sebagai negara muslim di ketahui dari tujuan pertama piagam organisasi tersebut,

yaitu memajukan nilai-nilai spiritual Islam, etis, sosial, dan ekonomi di antara

Negara-negara anggotanya 32 .

Pada bab sebelumnya sudah dipaparkan macam-macam bentuk pidana

yang diancam dengan pidana mati dan dasar-dasar pemidanaan dalam hukum

Islam. Menjalankan syariat adalah suatu keharusan bagi umat muslim, yang di

makssud menjalankan syariat adalah umat Islam dalam menjalakan kehidupannya

di dunia menjadi keharusan berpedoman pada dasar tuntunan ajaran Islam yaitu,

al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, namun seiring perubahan zaman

dan demikian berubah pula kebutuhan umat manusia yang begitu kompleks

sedangkan permasalahn ini harus direspon atau ditanggapi oleh Islam, maka

sangat dibutuhkan sekali peran ulama atau pemikir Islam dalam ijtihad hukum

yang sesuai zaman atau tafsiran ajaran agama yang sesuai konteks sekarang.

Upaya pembaharuan ajaran Islam tidaklah berarti melanggar syariat, tetapi selalu

memegang prinsip dasar ajaran Islam (al-Quran dan Sunnah). Sebagai contoh

pada bahasan tata cara pelaksanaan pidana mati yang mana sekarang adanya

perubahan cara bentuk pelaksanaannya, seiring dengan perubahan nilai

kemanusiaan serta telah majunya alat tehnologi yang dapat digunakan dalam

32
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 7
35

melaksanakan hukuman mati untuk menghindari terjadinya rasa sakit yang tidak

diperlukan dalam proses hukuman mati, yang dapat terjadinya penyiksaan

terhadap terpidana mati, maka dunia Islam perlu mempertimbangkan lagi praktik

pidana mati yang selama ini diterapkan.

Pada bahasan ini tidak menjelaskan norma yuridis pidana mati dari

beberapa Negara-negara muslim karena cukup banyak dan tidak terlalu terkait

dalam penelitian ini. Jadi cukup memaparkan tata cara pelaksanaan pidana mati

dari beberapa macam bentuk pidana mati di dunia muslim, sebagaimana

berikut 33 .

BENTUK PIDANA MATI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM


No. Nama Digantung Penggal Ditembak Dirajam Keterang
Negara Leher an

1. Iran -
2. Irak -
3. Jordan -
4. Arab -
Saudi
5. Qatar -
6. Yaman -
7. Libya -
8. Palestina -
9. Afghanist -
an
10. Malaysia -
11. Indonesia -

33
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati.
36

Dari beberapa contoh bentuk pidana mati di Negara-negara muslim dalam

bagan di atas dapatlah dipahami bahwasahnya tata cara pelaksanaan pidana mati

di sebagian dunia muslim masih memakai cara “tradisional” singkatnya belum

menggunakan alat modern lainnya seperti, kursi listrik, suntik mati, dan ruang

gas. Menggunakan Alat-alat modern dimaksudkan adalah upaya menghindari

praktik pidana mati yang dapat menimbulkan penyiksaan dalam proses hukuman

mati. Karena sudah dijelaskan di atas Islam mengajarkan kebaikan dalam segala

tindakan sehari-hari khususnya dalam penerapan hukuman. Namun bukanlah

berarti dari beberapa pilihan tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut tidak

menganut asas penghormatan kemanusiaan dalam hukuman mati, karena secara

prisip umum ajaran Islam menganjurkan selalu berbuat baik dalam setiap

perbuatan yang akan dilakukan umat Islam, tidak hanya ketika menerapkan

hukuman namun di setiap asfek kehidupan. khususnya di Indonesia yang mana

penduduknya mayoritas beragama Islam, mempunyai kewajiban untuk

menjalankan prinsip-prinsip yang telah disyariatkan dalam hal ini upaya

menerapkan hukuman mati yang manusiawi, penghormatan atau menjaga

martabat manusia serta menghindari hukuman yang kejam atau keji atau tidak

manusiawi. Upaya penerapan hukuman yang lebih manusiawi dan beradab

terdapat pada sila kedua Pancasila yaitu, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”

yang mana Pancasila adalah dasar kenegaraan Indonesia dan tercermin ke UUD

1945. Indonesia memakai bentuk tata cara pidana mati dengan cara ditembak

jantung tertera dalam Undang-Undang No. 2/pnps/ 1964 tentang tata cara
37

pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan

umum dan militer. Apakah cara ditembak jantung bertentangan dengan sila

kemanusiaan atau hukuman yang beradab akan di bahas pada bab selanjutnya.
BAB III

PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI

A. Pidana Mati: Antara Norma Yuridis dan Praktik

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman mati

termasuk dalam kategori sanksi pidana pokok terhadap kejahatan pidana tertentu

yang terdapat dalam beberapa pasal dengan ancaman hukuman mati, 1 dan

hukuman mati termasuk salah satu bentuk hukuman yang dapat di jatuhkan

kepada seseorang jika ia terbukti bersalah telah melakukan kejahatan tertentu, dan

dari pandang sudut yuridis pidana mati masih dipertahankan hal tersebut di

dasarkan atas teori absolut (aspek pembalasan) dan teori relatif (aspek

menakutkan). 2 Hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia tidaklah dapat

diterima semua kalangan khususnya para pakar hukum, pro dan kontra terhadap

pidana mati sudah sejak lama menjadi perdebatan yang hangat hingga sampai

sekarang, kedua pihak mempunyai alasan atau argumen tentang permasalahan

pidana mati namun nyatanya sampai sekarang perdebatan tak menemukan titik

temu atau tak kunjung selesai dan harus diakui pidana mati hingga kini tetap

1
Pasal 10 dalam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (KUHP)

2 Djoko Prakoso dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke-1,
(Jakarta; Ghia Indonesia, 1989), h. 52

38
39

berlaku di Indonesia. Bahasan ini mencoba memaparkan pidana mati dilihat dari

segi yuridis dan praktik serta menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat dari

tema ini.

1. Pidana Mati Secara Yuridis.

Pidana dipandang suatu nestapa yang kenakan kepada pembuat karena

melakukan delik. Ini bukan tujuan akhir namun tujuan terdekat. Inilah

perbedaan pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga

tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu,

yaitu memperbaiki pembuat. 3 Tujuan pidana untuk waktu yang panjang dapat

menunjukkan perubahan kearah yang lebih manusiawi dan rasional. Dalam

segi tujuan atau retribution (revenge) bisa memberikan kepuasan pihak yang

dirugikan atau pihak korban kejahatan walaupun dalam hal ini disebut alasan

yang primitif namun masih mempunyai pengaruh terhadap pada zaman

sekarang. 4

Sebelum membahas lebih jauh lagi, perlu diketahui dahulu tujuan dan

landasan teori dari pemidanaan itu sendiri karena pembahasan ini tidak dapat

dipisahkan dan dari tujuan pemidanaan, dengan begitu dapat mengetahui

dasar-dasar dan tujuan pidana mati. Ada beberapa pendapat dari tujuan

3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 27

4 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana..., h. 28


40

pemidaan apabila dilihat dari teori-teori hukum (straf theorien) secara garis

besarnya dapat dibagi atas tiga macam, yaitu: 5

Teori absolut atau teori pembalasan (absolute strafrechs theorien).

Menurut teori ini, setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa

memperhatikan akibat yang mungkin timbul dari dijatuhkan hukuman

tersebut, sehingga teori ini hanya melihat masa lampau, tanpa memperhatikan

masa akan datang, penganut dari teori ini antara lain Kant dan Hegel. Ada

kata-kata Kant yang populer mengenai ini: 6

“andaipun besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun harus


tetap dipidana mati pada hari ini”

Jadi, menurut teori pembalasan ini tujuan hukuman adalah

penghukuman itu sendiri.

Selanjutnya teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Menurut teori

ini tujuan hukuman adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum,

ada dua tujuan dari pencegahan atau prevensi. Pertama, masyarakat, hukuman

dijatuhkan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran, di

sebut juga sebagai prevensi umum (generale preventie). Kedua, pembahasan

dari segi terhukum atau terpidana, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar

terhukum tidak melakukan kembali perbuatannya. Dalam artian hukuman


5
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Aksara Persada, 1985),
h. 85-87

6
Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Cet, Ke- 1, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), h. 106
41

yang dijatuhkan untuk memperbaiki diri terhukum agar tidak berbuat kembali,

yang sebut prevensi khusus (special preventie)

Terakhir berdasarkan teori gabungan (verenigings theorien). Menurut

teori ini, hukuman mengandung unsur pembalasan dan pencegahan terhadap

terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib mayarakat tidak

terganggu, serta memperbaiki pelaku atau si penjahat.

Dari uraian beberapa teori hukum diatas, dapatlah dipahami pidana

mati berdasarkan teori hukum tersebut, memang hingga saat ini para sarjana

hukum masih memberikan jawaban yang berlandaskan teori absolut atau

pembalasan, teori relatif atau tujuan dan teori gabungan ini, dan alasan

penganut tiga teori hukum di atas (absolut,relatif, dan gabungan) adalah dari

segi pencegahan kejahatan dianggap paling efektif untuk menakuti orang

untuk tidak melakukan kejahatan. Walaupun ada pendapat mengatakan

hukuman mati berdasarkan teori di atas saat ini sulit dipertahankan karena

secara fakta berdasarkan teori di atas tidak membuktikan berkurangnya

kejahatan. Pendapat J.E. Sahetapy, 7 teori tersebut sulit dipertahankan

kalaupun hendak dipertahankan cukup menjadikannya dalam rangka sumber

referensi saja. Sebab teori tersebut didasarkan pemikiran secara transendental

atau secara “conceptual abtractioan” belum dapat memberikan jawaban yang

memuaskan. Dalam lingkup tujuan pidana mati untuk Indonesia haruslah

7
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 89
42

berdasarkan Pancasila sebagai kesadaran hukum, harus diketahui pidana

bukanlah tujuan “an sich” melainkan pidana dilihat sebagai suatu prasarana

atau sarana yang mempunyai tujuan membebaskan. Pembebasan tidak identik

dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi namun pembebasan pelaku dari

pikiran jahatnya dan juga dibebaskan dari kenyataan sosial tempat ia

terbelengguh. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia sebagaimana yang

dirumuskan oleh BPHN dalam konsep rancangan KUHP Nasional sebagai

berikut: 8

1. Untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana demi pengayoman

sila masyarakat dan penduduk.

2. Untuk membimbing agar terpidana insaf menjadi anggota masyarakat

berbudi baik dan berguna.

3. Untuk menghilangkan noda yang diakibatkan oleh perbuatan pidana.

Di bawah ini ada bebrapa pendapat yang mendukung diberlakukannya

hukuman mati sebagai berikut: 9

1. Lebih efektif dari ancaman hukuman lainnya, karena mempunyai efek

menakuti.

2. Lebih hemat dari hukuman lainnya.

3. Untuk mencegah tindakan publik menghakimi pelaku pidana.

8
Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), h. 94

9
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 93
43

4. Satu-satunya hukuman yang dapat ditentukan dengan pasti, karena

pembunuhan yang dijatuhi hukuman seumur hidup, sering mendapat

pengampunan.

5. Anggapan hukuman mati tidak bertanggung jawab dengan

perikamanusiaan, tetapi upaya melindungi bahkan melindungi

perikemanusiaan itu sendiri.

Adapun pendapat pihak yang menolak hukuman mati sebagai berikut: 10

1. Hukuman mati tidak selalu efektif sebagai cara menakuti pelaku

pidana.

2. Pembebasan dari hukuman mati tidaklah menimbulkan penghakiman

sendiri oleh publik.

3. Melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan cenderung membenarkan

pembunuhan.

4. Kesalahan dalam peradilan tidak dapat diperbaiki kembali.

5. Hanya tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.

Mereka yang menolak pidana mati menyatakan bahwa pidana mati

tidak layak dilaksanakan karena hanya Tuhanlah yang berhak mencabut

nyawa, selain itu juga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu, education

10
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 99
44

dan rehabilitation. Negara yang menjalankan pidana mati dianggap tidak

berhasil menyelesaikan masalah namun memberi contoh yang buruk. 11

Sebenarnya pro dan kontra hukuman mati, perdebatan kedua pihak

berpandangan dua asas dan konsepsi yang sama. Jika hukuman mati ditentang

karena dipandang tidak efektif dan tidak memiliki efek jera, dan pihak

mendukung hukuman mati berpandangan sebaliknya. Kedua pihak sama-sama

menggunakan asas utilitarian dan deontologis. Asas utilitarian muncul dalam

argumen efek jera, dan asas deontologis muncul dalam argumen hukuman

mati sebagai penandaan atau pemuliaan kehidupan. 12

2. Pidana Mati Secara Praktik.

Pada zaman belanda praktik pidana mati di Indonesia dengan cara

digantung, yang tertera dalam KUHP pasal 11.

“pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan


menjerat tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri ”.

Setelah kemerdekaan Indonesia memakai tata cara pidana mati

dengan tembak sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No.

2/pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Ada banyak macam

cara pidana mati didunia, seperti: cara digantung, penggal leher, ditembak,

11
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan
Masa Depan, Cet, Ke-5, (Jakarta: Ghia Indonesia, 1985), h. 63-64

12
Agung Putri, ”Direktur Eksekutif Elsam, Keharusan Hukum Untuk Mati”, Kompas.
(Jakarta), 2 November 2007
45

ruang gas, suntik mati, dan kursi listrik. Di Indonesia terdapat 16 hukuman

mati baik didalam KUHP dan diluarnya yaitu, 13 pidana mati yang terdapat

dalam KUHP: Makar membunuh Kepala Negara (pasal 104), mengajak atau

menghasut negara lain menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2), melindungi

atau menolong musuh yang berperang melawan Indonesia (pasal 124 ayat 3),

membunuh Kepala Negara Sahabat (pasal 140 ayat 3), pembunuhan yang

direncanakan terlebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan pasal 340), pencurian

dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih dengan merusak rumah yang

mengakibatkan luka berat atau mati (pasal 365 ayat 4), pembajakan di laut, di

tepi laut, di tepi pantai, di sungai sehingga ada orang yang mati (pasal 444),

menganjurkan pemberontakan atau huru-hara para buruh terhadap perusahaan

pertahanan negara pada waktu perang (pasal 124), waktu perang menipu

dalam menyerahkan barang-barang keperluan angkatan perang (pasal 127 dan

pasal 129), dan pemerasan dengan kekerasan (pasal 368 ayat 2). Dan

hukuman mati yang terdapat di luar KUHP diancam hukuman mati terdapat

peraturan perUndang-Undangan antara lain adalah: Undang-Undang Darurat

No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959

tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang

memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan

pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Peraturan Pemerintah Pengganti

13 Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati,,,. h. 29-30


46

UU No. 21 tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap

tindak pidana ekonomi, UU No. 11/pnps/1963 tentang pemberantasan

kegiatan subversi, UU No. 4 tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan

beberapa pasal dalam KUHP perluasan berlakunya ketentuan perUndang-

Undangan pidana, kejahatan, penerbangan, dan kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan, dan UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika.

selanjutnya secara praktik setidaknnya ada tiga jenis tindakan pembunuhan

oleh Negara yang mengemuka saat ini: 14

(a) hukuman mati berdasarkan due process of law. Misalnya

pengadilan perkara narkoba, sekalipun masih perlu ditinjau lebih

jauh, boleh digolongkan sebagai pengadilan dengan sanksi

hukuman mati yang due process of law.

(b) hukuman mati tidak berdasarkan due process of law. Ini telah

terjadi pada pengadilan-pengadilan politik seperti yang dialami

oleh terdakwa kasus pembajakan pesawat woyla, terdakwa

peristiwa G3OS. Khusus yang terakhir bahkan Mahkamah Militer

luar biasa tidak memiliki prosedur banding.

(c) selain dua jenis diatas proses hukuman ini, aparatur Negara juga

menghukum tanpa melalui pengadilan, disebut extra-yudicial

14
Agung Putri, Direktur Eksekutif Elsam,,,. 2 November 2007
47

killings. 15 Ini dilakukan oleh aparat keamanan kepolisian dan

militer dan bukan berdasarkan keputusan pengadilan atau perintah

Kejaksaan Agung. Ini paling banyak memakan korban, terutama di

daerah konflik, seperti aceh, papua, dll. Misalnya, petugas

Kepolisian Resort Khusus Bandara Soekarno Hatta, menembak

mati dua tersangka pencuri (Roni Pettera, 31 tahun dan Davit

Permando, 18 tahun) biasa beroperasi di Bandara Soekarno Hatta.

Ditembak karena berusaha lari ketika diminta menunjukkan tempat

persembunyian komplotan mereka. 16

Tiga jenis ini dapat diberlangsung bersamaan, dalam keadaan damai

ataupun dalam suatu operasi militer. Pendapat Harkristuti Harkrisnowo 17 ,

mengatakan vonis hukuman mati di Indonesia berbeda dengan yang berlaku di

Negara lain. Di Indonesia tidak ada standar waktu kapan suatu proses hukum

selesai dari tingkat peradilan ke peradilan tingkat lainnya. Waktu pemberian

atau menolak grasi sering sampai bertahun-tahun dari diajukannya

permohonan menjadi kurangnya efek jera. Dalam ruang lingkup praktik

15
Exra judisial: di luar acara peradilan, lihat. Chrustine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka
Hukum, Cet, Ke- 3, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 10

16
”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus 2009 dari
http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_Mati.pdf

17
Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Haman 7 Kolom 1-3, lihat
http://www.ui.ac.id/download/kliping/140704/Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipertanyakan.pdf,
diakses, 30 Agustus 2009
48

hukum mati, bagi pihak yang menolak tegas dengan alasan: 18 hukuman mati

melanggar hak hidup (right to life) seseorang yang tidak dapat dikurangi atau

hak yang fundamental (non-derogable right), dan juga atas dasar realitas

pelaksanaan hukuman di Indonesia masih tidak netral dan korup. Dalam

maksud secara praktik hukuman mati terjadi pada mereka yang lemah secara

hukum dan politik, sebaliknya bagi mereka yang mempunyai kekuatan atau

pengaruh. Berbeda dengan pendapat mantan Jaksa Agung Abdul Rahman

Saleh, yang mengatakan pengahapusan hukuman mati di Indonesia belum bisa

dilakukan karena institusi penegak hukum masih lemah, seperti kepolisian dan

kejaksaan, serta institusi pemasyarakatan masih lemah. Bila hukuman mati

ditiadakan situasi Indonesia makin memburuk, khusunya pada kasus narkotika

dan obat-obatan yang berbahaya. 19 Terlepas dari perdebatan pro dan kontra

berlakunya hukuman mati. Dari berbagai macam cara pidana mati tersebut

yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat penghormatan nilai-nilai

kemanusiaan dalam mengeksekusi pelaku terpidana mati, dalam artian upaya

menjaga martabat dan derajat kemanusiaan dihadapan hukum.

18
Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, (Jakarta) No.
02/III-VI/2005 h. 5

19
Kejaksaan Agung Tolak Penghapusan Hukum Mati, Kompas, (Jakarta) 16 Desember
2004 h.7
49

B. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008

Terpidana mati kasus bom Bali Amrozi dan kawan-kawan dijatuhi

hukuman mati pada tahun 2003 oleh Pengadilan Negeri Denpasar karena

bertanggung jawab atas tragedi bom Bali, Oktober 2002 yang mengkibatkan

korban tewas 202 dan 209 lainnya terluka. 20

Ketiga terpidana mati mengajukan pengujian Undang-Undang (yudicial

review) kepada Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 6 agustus 2008, telah diterima

dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara

Nomor 21/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di kepaniteraan

Mahkamah tanggal 26 agustus 2008, dan diperbaiki kembali pada tanggal 27

agustus 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut: pemohon dengan ini

mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (“PUU”) tentang norma-

norma yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 02/pnps/1964 tentang tata

cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum dan militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang

ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1964 tentang berbagai penetapan presiden dan peraturan presiden sebagai

Undang-Undang. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin

20
Nasional: “Eksekusi di Bukit Nirbaya”, Majalah Tempo,(Jakarta), Edisi 10-16
November 2008, h. 28
50

Nurhasyim als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra (terpidana mati

kasus bom Bali)

Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 01.TPM-Pst.Sku.MK.VIII.2006 tanggal

16 Agustus 2006, memberi kuasa kepada: A. Wirawan Adnan, SH., H.M.

Mahendradatta, SH., MA., MH., H. Achmad Michdan, SH., Akhmad Kholid, SH.,

Qadar Faisal, SH., Fahmi Bahmid, SH., Agus Setiawan., SH., Rita, SH., Gilroy

Arinoviandi, SH., Sutejo Sapto Jalu, SH., Hery Susanto, SH., Guntur Fattahillah,

SH., Muannas, SH., dan Abdul Rahim, SH., semuanya berprofesi sebagai

Advokat dan Penasehat Hukum, yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim

Pusat, beralamat di Jalan Pinang I Nomor 9 Pondok Labu Jakarta Selatan 12450,

bertindak untuk dan atas nama Pemohon. Mahkamh konstitusi telah membaca

permohonan dari pemohon, telah mendengar keterangan dari pemohon, telah

mendengar dan membaca keterangan tertulis dari pemerintah, telah memeriksa

bukti-bukti, telah mendengar keterangan saksi dan para ahli dari pemohon, dan

telah membaca kesimpulan tertulis dari pemohon.

Dalam pengujian Undang-Undang, yang terdapat di putusan Nomor

21/PUU-VI/2008 pemohon mengajukan dua pengujian (yudicial review) dari

Undang-Undang ini yaitu:

a) permohonan pengujian formil

Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “a” UU MK, perihal

Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah

Konstitusi adalah Undang-Undang yang pembentukannya tidak memenuhi


51

ketentuan berdasarkan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang

Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan

Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan

menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969,

merupakan Undang-Undang yang pembentukannya tidak memenuhi

ketentuan UUD 1945, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;

1. Bahwa Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 (UU

2/Pnps/1964), merupakan Undang-Undang yang pembentukannya

didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia.

2. Bahwa Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi Undang-Undang

adalah karena diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969

tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan

Presiden sebagai Undang-Undang (UU 5/1969).

3. Bahwa Penetapan Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang

dimaksud oleh Pasal 2 UU 5/1969 yang berbunyi:

“Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan


Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden
sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-
Undang ini, sebagai Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa
materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan
Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan
Undang-Undang yang baru”.

4. Bahwa UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 adalah Undang-Undang

yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden


52

Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong.

5. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) bukan

lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945,

karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan

anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen

UUD 1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

6. Bahwa pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945 adalah

sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 Amandemen UUD 1945, maka

pembentukan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 tidak sesuai dengan

Pasal 20 tersebut.

7. Bahwa dengan demikian, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak, yang selama

ini dijalankan di negara kita, Republik Indonesia, merupakan tata cara

yang didasarkan pada Undang-Undang yang pembentukannya tidak

sesuai dengan UUD 1945.

8. Bahwa merupakan fakta hukum, UU 2/Pnps/1964 yang telah

diwajibkan oleh UU 5/1969 untuk diadakan perbaikan/penyempurnaan

dalam arti bahwa materi dari penetapan tersebut dijadikan bahan untuk

penyusunan Undang-Undang baru, hingga permohonan diajukan ke

Mahkamah Konstitusi belum pernah ada perbaikan maupun


53

penyempurnaan terhadap Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di

Indonesia

b) permohonan pengujian materil

Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “b” UU MK, perihal

Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah

Konstitusi adalah Undang-Undang yang materi muatan dalam ayat, pasal,

dan/atau bagian Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa

menurut Pemohon UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah Undang-

Undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-

Undang bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1)

perubahan kedua, 21 berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;

1. Bahwa Pasal 28I ayat (1), berbunyi sebagai berikut:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun“

2. Bahwa Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan cara ditembak

hingga mati oleh Regu Penembak sebagaimana ditentukan dalam UU

2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah penyiksaan terhadap

Terpidana, karena alasan-alasan sebagai berikut:

21
Undang-Undang Dasar 1945, Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap, Cet, Ke- 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 23
54

Pasal 1 dari UU 2/Pnps/1964, menentukan bahwa hukuman mati

dengan cara ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati.

Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan

diterima oleh Terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali

tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati.

Dengan demikian terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum

terpidana akhirnya mati.

Pasal 14 ayat (4) dari UU 2/Pnps/1964 lebih memberikan penegasan

atas kemungkinan tidak terjadinya kematian dalam satu kali tembakan,

sehingga diperlukan tembakan pengakhir, dengan kalimat Undang-

Undang yang berbunyi:

“Apabila setelah penembakan, terpidana masih memperlihatkan


tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara regu Penembak untuk melepaskan
tembakan pengakhir…”

Sebelum tembakan pengakhir tersebut berarti Undang-Undang ini

mengakui bahwa terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam

keadaan tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah,

sehingga dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya

mati oleh tembakan pengakhir.

3. Bahwa Regu Penembak yang diberi tugas untuk mengeksekusi

terpidana menurut UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, diharuskan

membidik pada jantung terpidana, Pasal 14 ayat (3) namun pada Pasal
55

14 ayat (4) menentukan untuk mengarahkan tembakan pengakhir

dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana

tepat di atas telinganya. Dengan demikian tata cara ini tidak

memberikan kepastian akan “tiadanya penyiksaan” dalam proses

kematiannya terpidana. Jika menurut pembentuk Undang-Undang

yang bisa mengakibatkan kematian langsung adalah tembakan di atas

telinga terpidana mengapa ada tata cara yang mengharuskan membidik

pada “jantung”. Artinya, pembentuk Undang-Undang tidak meyakini

bahwa tembakan pada jantung akan mengakibatkan kematian

langsung, sehingga ada ketentuan Pasal 14 ayat (4) tersebut.

4. Bahwa meskipun seorang warga negara Indonesia itu statusnya adalah

Terpidana maka menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1),

tetap dijamin hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya

dengan menggunakan tata cara pelaksanaan hukuman mati

berdasarkan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, merupakan

pelanggaran atas hak konstitusionalnya, dengan demikian UU

2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 materinya jelas bertentangan dengan

UUD 1945.
56

C. Doktrin Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

VI/2008

Ada beberapa penjelasan terhadap Undang-Undang Nomor 2/pnps/1964

tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di

Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor

38). Penjelasan atau beberapa alasan pertimbangan hukum sebagai doktrin hukum

terhadap berlakuya Undang-Undang ini (Undang-Undang Nomor 2/pnps/1964)

baik secara formil maupun materil yang mana bagi pemohon dalam

permohonannya menyatakan Undang-Undang tersebut bertentangan dengan

UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat dari

formil pembentukkan maupun materil Undang-Undang, Mahkamah Kostitusi

dalam hal ini yang harus dipertimbangkan adalah apakah UU 5/pnps/1964 tentang

tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan

peradilan umum dan militer tidak memenuhi syarat-syarat formil penbentukkan

Undang-Undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah pasal

1, pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/pnps/1964 bertentangan dengan pasal 28I

ayat (1) UUD 1945 (uji materil). Akan dipaparkan Sebagaimana berikut: 22

Pendapat Mahkamah tentang pengujian formil:

a. Bentuk hukumnya UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum

dengan nama Penetapan Presiden, namun hal ini dikoreksi dengan UU

22
Putusan Mahkamah Konstitusi….
57

5/1969 atas perintah ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan

ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. kedua ketetapan Majlis

Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) berisi perintah untuk

meninjau kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan

Peraturan Presiden. Konsideran UU 5/1969 berbunyi:

“bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang


berbentuk penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan
presiden yang dikeluarkan sejak tanggal 5 juli 1959” dan “bahwah
penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden yang
materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan
sebagai Undang-Undang”

Dengan alasan tersebut maka Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964

termasuk Penetapan Presiden (penpres) yang dijadikan Undang-Undang

yaitu menjadi UU 2/pnps/1964. kata “pnps” sekedar sebagai tanda bahwa

Undang-Undang tersebut berasal dari penetapan presiden, dan Undang-

Undang ini masih sesuai dengan aspirasi hati nurani rakyat karena

merupakan pembeharuan terhadap ketentuan pasal 11 KUHP.

b. Setelah UU 5/1969 mengatakan UU 2/pnps/1964 berlaku, maka prosedur

pembuatannya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal

20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden atas persetujuan

DPR, dalam hal ini DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong)

yang membentuk UU No 5/1969 dan menyatakan Penetapan Presiden

Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2/pnps/1964 adalah Presiden dan DPR


58

yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru

dan telah diterima dan diakui rakyat Indonesia.

c. Bahwa pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan yang

berbunyi:

“segala badan Negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang dasar ini”

dan pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi

“setelah peraturan perUndang-Undangan yang ada masih berlaku tetap


berlaku selama belum diadakan yang baru yang mengatur tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati belum ada”.

Pendapat Mahkamah tentang pengujian materil:

Selanjutnya adalah pengujian materil UU 2/pnps/1964 khususnya pasal 1,

pasal 14 ayat (3) dan (4) terhadap pasal 28I ayat (1) UUD 1945, pemohon

mendalilkan hukuman mati yang dilakukan dengan cara ditembak hingga mati,

menimbulkan pengertian, kematian yang diterima oleh terpidana tidak sekaligus

terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali

hingga mati, sehingga menimbulkan rasa sakit yang amat sangat yang bisa

menimbulkan penyiksaan padahal terpidana matipun tetap memiliki hak

konstitusional untuk tidak disiksa, karena konstitusi Indonesia menjamin hak

bebas dari hukuman yang kejam atau tidak manusiawi. Terhadap dalil pemohon

ini Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagaimana berikut:

a. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ukuran yang harus dipedomani

tentang penyiksaan harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam


59

instrumen hukum Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang

Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam,

Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi yang

mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan

atau penghukuman lain yang lain yang kejam, tidak manusia, atau

merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari

atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik (publik authority)

juga tidak dapat digunakan sebagi pembenaran atau suatu penyiksaan. 23

Adapun penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak mencakup rasa sakit

atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh sanksi hukum

yang berlaku. 24

b. Bahwa alasan Indonesia menjadi Negara pihak konvensi yang menentang

penyiksaan tersebut di atas, antara lain disebutan: (1) Pancasila sebagai dan

pandangan hidup bangsa Indonesia dan UUD 1945 sebagai sumber dan

landasan hukum Nasional, menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia

seperti tercermin dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Asas ini

merupakan amanat konstitusional untuk mencegah dan pelarangan segala

bentuk penyiksaan, sesuai dengan konvensi ini. (2) dalam rangka pengamalan

23
Lihat pasal 1 angka 4 (empat) UU No 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

24
Lihat UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And
Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau
Merendahkan Martabat Manusia)
60

Pancasila dan pelaksanaaan UUD 1945, Indonesia pada dasarnya telah

menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mencegah dan

pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan

martabat manusia, namun perUndang-Undang itu karena belum sepenuhnya

sesuai dengan konvensi, masih perlu disempurnakan.

c. Bahwa rasa sakit yang disebut penyiksaan, bukanlah sesuatu yang terjadi

secara alamiah dan wajar, melainkan dilakukan secara sengaja dan melawan

hukum untuk tujuan tertentu diluar kehendak mereka yang disiksa. Dalam hal

ini rasa sakit yang timbul dan melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah

sesuatu yang tidak dapat dihindari akan timbul dalam tiap cara pelaksanaan

pemilihan tata cara pelaksanaannya, melainkan dalam setiap pidana mati yang

dijatuhkan hakim yang oleh Mahkamah telah dinyatakan sebagai sesuatu yang

konstitusional. 25

Mahkamah memberikan ukuran yang perlu dipedomani untuk

menghindari pelaksanaan pidana mati yang menimbulkan penderitaan terpidana

secara berkepanjangan, dan siksaan yang dirasakan, diukur bukan hanya dari

subjektif terpidana sendiri, melainkan juga dari objektif masyarakat. Yang akan

melihat pokok persoalan demikian dari hal-hal berikut:

25
Lihat ketentuan-ketentuan pokok dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia.
61

1) ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana

mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa,

dapat dinilai dari pelaksanaan, yaitu: (i) jika cara yang dilakukan

menimbulkan penderitaan yang panjang dan tidak diperlukan dalam

menimbulkan kematian, (ii) bertentangan dengan ukuran kesusilaan

yang dianut dalam masyarakat dan, (iii) tidak menjaga dan

mempertahankan harkat mertabat terpidana sebagi manusia.

2) pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak hingga mati tidak

selalu terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun ada akalanya

dilakukan dengan tembakan pengakhir, karena tidak ada jaminan

penembakan sekali oleh regu tembak dapat menimbulkan kematian

bagi terpidana. Dengan demikian, tetap ada dua kemungkinan bahwa

penembakan yang dilakukan oleh regu tembak dapat lansung

mematikan dan juga dapat tidak langsung mematikan, hal mana telah

menyebabkan bahwa tata cara yang dilakukan dapat menimbulkan

penderitaan yang tidak diperlukan oleh terpidana untuk menimbulkan

kematian.

3) keterangan para ahli yang diajukan oleh pemohon telah menyatakan

adanya cara-cara pelaksanaan pidana mati lainnya yang dikenal, yaitu

dengan cara pancung, di kursi listrik, disuntik, digantung sampai mati,

dan khususnya menurut hukum Islam dikenal juga dengan hukuman

rajam sampai mati. Dari keterangan para ahli tersebut diketahui pidana
62

mati dengan disuntik mati yang dilakukan dengan didahului

pembiusan, kalau dilakukan oleh orang yang ahli tidak menimbulkan

penderitaan yang tidak perlu, sedangkan hukuman pancung, kalau

dilakukan ditempat yang tepat akan menimbulkan kematian segera,

karena dalam waktu 7 (tujuh) sampai dengan 12 (dua belas) detik

berhentinya darah ke otak menyebabkan kematian. Demikian uga

hukuman gantung, kalau letak tali tepat di batang leher dan berat

badan terpidana cukup, maka dampak kematian juga terjadi secara

cukup cepat.

4) meskipun perkembangan pengetahuan dan tehnologi perlu

dimanfaatkan dalam penegakan hukum, khususnya dalam tata cara

pelaksanaan pidana mati, namun berkurangnya penderitaan atau rasa

sakit itu sendiri bukanlah merupakan alasan yang cukup dalam menilai

konstitusionalitas norma dalam UU 2/pnps/1964 tersebut, karena

pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati juga

sesungguhnya dapat berlansung secara cepat, sesuai dengan

keterangan ahli, apabila tembakan tepat pada jantung terpidana.

selain dari pertimbangan diatas, baik pidana mati dengan cara dipancung,

digantung, maupun ditembak mati dapat menimbulkan efek kematian secara cepat

jika dilakukan dengan tepat. Akan tetapi, cara pelaksanaan pidana mati haruslah

mempertimbangkan harkat dan martabat terpidana mati. Menurut Mahkamah


63

pidana mati dilakukan dengan ditembak secara tepat dapat menimbulkan

kematian cepat dengan tetap menjaga harkat dan martabat terpidana mati.

Bisa diambil kesimpulan dari beberapa pendapat Mahkamah Konstitusi

dalam tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia haruslah menjaga martabat

manusia dan hukuman yang beradab.


BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Formil dan Materil

Putusan

Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan norma-norma hukum pidana Islam,

namun dalam pembahasan sekarang, mencoba menganalisis pendapat Mahkamah

Konstitusi baik dari formil maupun matril dari perspektif Islam. Dalam pokok

permohonan pemohon mengajukan dua pengujian baik secara formil

pembentukkannya maupun secara materil. Mahkamah Kostitusi dalam hal ini

yang harus dipertimbangkan adalah apakah UU 2/pnps/1964 tentang tata cara

pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan

umum dan militer tidak memenuhi syarat-syarat formil penbentukkan Undang-

Undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah pasal 1, pasal

14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/pnps/1964 bertentangan dengan pasal 28I ayat (1)

UUD 1945 (uji materil).

1 Analisis formil pembentukkan Undang-Undang:

Legislatif atau kekuasaan legislatif dalam fiqih siyasah di sebut juga

dengan al-sulthah al- tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintahan Islam

dalam membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang

64
65

pun berhak menetapkan suatu hukum yang akan di berlakukan bagi umat

Islam.

Istilah al-sulthah al-tasyri’iyah di gunakan untuk menunjukkan salah

satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur

masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-

tanfidziyah) dan kekuasaan yudikatif (al- sulthah al- qadha’iyah). Dalam

konstitusi ini, kekuasaan legislatif (al- sulthah al- tasyri’iyah) berarti

kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum

yang akan di berlakukan dan di laksanakan oleh masyarakatnya

berdasarkan ketentuan yang di turunkan Allah SWT dalam syariat Islam.

Dengan demikian, unsur-unsur legislatif dalam Islam meliputi:

a. pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan

hukum yang akan di berlakuakan dalam masyarakat Islam.

b. masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.

c. isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan

nilai-nilai dasar syariat Islam.

Dengan kata lain, dalam al- sulthah al- tasyri’iyah pemerintah

melakukan tugas siyasah syari’ah-nya untuk membentuk suatu hukum

yang akan di berlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan

umat Islam sesuai dengan semangat ajaran Islam. Sebenarnya, pembagian

kekuasaan, dengan beberapa kekhususan dan perbedaan, telah terdapat


66

dalam pemerintahan Islam jauh sebelum pemerintahan Barat menemukan

teori mereka tentang trias politica. 1

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang terpenting dalam

pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan

lembaga legislatif ini akan di laksanakan secara efektif oleh lembaga

eksekutif dan akan di pertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan.

Orang-orang yang duduk di lembaga legislatif ini terdiri dari para

Mujtahid dan ahli fatwa (Mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang.

Karena menetapkan syariat hanya wewenang Allah, maka wewenang dan

tugas lembaga legislatif hanya menggali dan memahami sumber-sumber

syariat Islam, yaitu al-Quran dan sunnah Nabi, dan menjelaskan hukum-

hukum yang terkandung di dalamnya. Undang-Undang dan peraturan

yang akan dikeluarkan oleh lembaga harus mengikuti ketentuan-

ketentuan kedua sumber syariat Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam hal

ini terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang

ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Quran dan Sunnah,

Undang-Undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri’iyah adalah

Undang-Undang ilahiyah yang disyariatkannya dalam al-Quran dan

dijelaskan oleh Nabi SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada

prinsipnya kedua sumber ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-

1
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 (Gaya
Media Pratama, 2007), h. 161-162
67

masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan

secara rinci. Sementara perkembangan masyarakat begitu cepat dan

kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk

mengatisipasinya.

Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya,

yaitu melakukan penalaran yang kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan

permasalahan yang secara tergas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah

perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan

ahli fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad

untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas (analogi). Mereka

berusaha mencari ‘illat atau sebab hukum yang ada dalam permasalahan

yang timbul dan menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di

dalam nash. Di samping harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota

legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al-

mafasid (mengambil maslahat dan menolak kemudaratan). Ijtihad mereka

juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar

hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi

masyarakat dan tidak memberatkan mereka. 2

Pada era modern, sejalan dengan masuknya penjajah Barat ke dunia

Islam sejak abad ke- 19 ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun

memulai mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam, di


2
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,,,.h. 162-163
68

antaranya adalah ide tentang legislatif hukum yang secara praktis terlihat

dalam keberadaan dewan legislatif atau parlemen. Masuknya ide ini

mendapat respon dari kalangan pemikir Islam, mereka mencoba

menanggapi dan melontarkan gagasan tentang legislasi hukum dalam

Negara Islam. Di antara mereka misalnya Muhammad Iqbal, dalam

gagasannya tentang legislasi yang berpangkal pada konsep pemikirannya

tentang Negara. Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis, namun

teokrasi di sini berbeda dengan pemahaman konsep teokrasi di Barat.

Pendapat Iqbal teokrasi adalah pemerintahan berdasarkan tauhid dan

menerapkan nilai-nilai (prinsip-prinsip) persamaan, kesetiakawanan, dan

kebebasan yang terkandung dalam tauhid Negara adalah ruang dan

kebebasan yang terkandung dalam tauhid Negara adalah suatu alat untuk

menstranfer prinsip-prinsip tersebut dalam ruang dan waktu. Dalam

pengertian ini, lanjut Iqbal, Negara tidak di dasarkan pada dominasi dan

keistimewaan suatu kelompok manusia atas manusia yang lainnya dan

bertujuan hendak melaksanakan prinsip-prinsip spiritual tauhid adalah

teokrasi. Untuk mentransfer prinsip tauhid ke dalam ruang dan waktu

maka di dunia modern sekarang perlu ijtihad yang kreatif dan berani.

Dalam semangat ini Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn al-Khatab.

“hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan

masyarakat di Negeri-negeri muslim, kalau umat Islam berani

mendekatinya dengan semangat”.


69

Selanjutnya pendapat Iqbal mengenai ijtihad, perlu mengalihkan

kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif yang tergabung

dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada zaman modern ini, peralihan

kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada

lembaga legislatif adalah satu-satunya bentuk ijma’ yang paling tepat.

Hanya dengan cara inilah umat Islam yang selama ini telah hilang dari

dalam tubuh umat Islam. Memang pada zaman Bani Umayyaah dan

Abasiyah bentuk semacam ini tidak berkembang. Ijtihad hanya di

lakukan oleh individu.

Pendapat Iqbal berikutnya, orang-orang yang menduduki lembaga

legislatif tidak hanya para ulama yang ahli dalam hukum Islam, namun

harus juga menepatkan orang awam dalam artian awam tentang hukum

Islam, tetapi mereka ahli dalam masalah kemasyarakat. Berdasarkan

alasan tersebut perlu orang-orang yang ahli dalam dalam bidang

misalnya, ekonomi, sosial, budaya, politik, dan kedokteran. Dalam idenya

tentang lembaga legislatif ini, sayangnya Iqbal tidak secara explicit

menjelaskan bagaimana mekanisme pemilihan anggota-anggotanya.

Memang Iqbal menyatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya

cara untuk mengekspresikan kehendak umat. 3

Dapatlah dimengerti dari penjelasan di atas bahwasahnya proses

pembentukkan Undang-Undang dalam Islam mempunyai kesamaan


3
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,,,.h. 170-173
70

dengan dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani

pembentukkan Undang-Undang yang di sebut parlemen (pejabat negara

yang sah), namun ada perbedaan yang mendasar di Islam, yang menjadi

nilai dasar atau prinsip yang harus dianut adalah sumbernya dari al-Quran

dan Sunnah, dan Undang-Undang yang mana hasil ijtihad anggota

legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al-

mafasid (mengambil maslahat dan menolak kemudaratan). Ijtihad

mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial

masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai

dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka. Khusus di

Indonesia yang menjadi dasar pembentukkan Undang-Undang adalah

UUD 1945 dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara

Indonesia.

Merujuk pada pendapat pemohon yang mengatakan UU No.

5/pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan

oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer bertentangan

dengan cara pembentukkan dalam UUD 1945. Mahkamah berpendapat

memang bentuk hukumnya UUD 1945 memang tidak mengatur produk

hukum dengan nama Penetapan Presiden, namun hal ini dikoreksi dengan

UU 5/1969 atas perintah ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan

ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. kedua ketetapan Majlis

Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) berisi perintah untuk


71

meninjau kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan

Peraturan Presiden. Konsideran UU 5/1969 berbunyi:

“bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang


berbentuk penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan
presiden yang dikeluarkan sejak tanggal 5 juli 1959” dan “bahwah
penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden
yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu
dinyatakan sebagai Undang-Undang”

Dengan alasan tersebut maka Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun

1964 termasuk Penetapan Presiden (penpres) yang dijadikan Undang-

Undang yaitu menjadi UU 2/pnps/1964. kata “pnps” sekedar sebagai

tanda bahwa Undang-Undang tersebut berasal dari penetapan presiden,

dan Undang-Undang ini masih sesuai dengan aspirasi hati nurani rakyat

karena merupakan pembeharuan terhadap ketentuan pasal 11 KUHP.

Setelah UU 5/1969 mengatakan UU 2/pnps/1964 berlaku, maka

prosedur pembuatannya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1)

dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden atas

persetujuan DPR, dalam hal ini DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong) yang membentuk UU No 5/1969 dan menyatakan

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2/pnps/1964

adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari

Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui rakyat Indonesia.

Jadi, dapatlah di simpulkan dari penjelasan di atas pendapat

Mahkamah Konstitusi dari formil pembentukkan Undang-Undang tidak


72

bertentangan dengan proses pembentukkan Undang-Undang di Islam,

karena di bentuk oleh pemerintahan yang sah dan menganut norma dasar

atau sumber pembentukkan yang menjamin keadilan hukum serta

menjaga martabat manusia (yang menjadi dasar adalah UUD 1945).

2 Analisis materil putusan Mahkamah Konstitusi;

Menurut Abdul Wahhab Khallap, prinsip-prinsip yang diletakkan

Islam dalam perumusan Undang-Undang adalah jaminan atas hak-hak

asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan

semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan strafikasi sosial,

kekayaan, pendidikan, dan agama.

Pembahasan konstitusi juga berkaitan dengan sumber-sumber dan

kaidah perUndang-Undangan di suatu Negara, baik sumber material,

sumber sejarah, sumber pengundangan maupun sumber penafsirannya.

Sumber material adalah hal-hal yang berkenaan dengan materi pokok

Undang-Undang dasar. Inti persoalan dalam sumber konstitusi ini adalah

peraturan tentang hubungan antara pemerintah dan rakyat yang

diperintah.

Kemudian agar mempunyai kekuatan hukum, sebuah Undang-

Undang yang akan di rumuskan harus mempunyai landasan atau dasar

perundangan. Dengan landasan yang kuat maka Undang-Undang tersebut

akan memiliki kekuatan pula untuk mengikat dan mengatur masyarakat

dalam Negara yang bersangkutan. Sementara sumber penafsiran adalah


73

otoritas para ahli hukum untuk menafsirkan atau menjelaskan hal-hal

yang perlu pada saat Undang-Undang dasar tersebut diterapkan. 4

Sumber utama pembentukkan Undang-Undang dasar dalam Islam

adalah al-Quran dan sunnah. Akan tetapi al-Quran bukan Undang-

Undang, al-Quran tidak merinci lebih jauh tentang bagaimana hubungan

pemimpin dan rakyatnya serta hak dan kewajiban mereka masing-

masing, dan al-Quran hanya memuat konsep-konsep dasar atau prinsip

umum pemerintahan Islam secara global saja, maka ayat-ayat tersebut

yang masih global ini kemudian di jelaskan oleh Nabi dalam sunnahnya,

baik berbentuk perkataan, perbuatan, maupun takrir atau ketetapannya.

Namun dalam prakteknya al-Quran dan sunnah tidaklah kaku, sehingga

menyerahkannya kepada umat Islam untuk membentuk dan mengatur

pemerintahan. Serta menyusun konstitusi yang sesuai dengan

perkembangan zaman dan konstitusi sosial masyarakatnya. Dalam hal ini,

dasar-dasar hukum Islam lainnya, seperti Ijma, Qiyas, Ihtihsan, Maslahah

mursalah, dan Urf memegang peranan penting dalam perumusan

konstitusi. Hanya saja, penerapan dasar-dasar tersebut tidak boleh

bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok yang telah di gariskan dalam

al-Quran dan Sunnah.

4
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 (Gaya
Media Pratama, 2007), h. 153-154
74

Mengenai materil Undang-Undang tentang tata cara pelaksanaan

pidana mati, dalam hal ini menurut pemohon pengujian Undang-Undang

tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa ukuran yang harus di pedomani tentang penyiksaan

harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak

Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia,

Atau Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi yang mengatur

pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau

penghukuman lain yang lain yang kejam, tidak manusia, atau

merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan

dari atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik (publik

authority) juga tidak dapat digunakan sebagi pembenaran atau suatu

penyiksaan. 5 Adapun penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak

mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau

diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku. 6

Dan selnjutnya Mahkamah memberikan ukuran yang perlu

dipedomani untuk menghindari pelaksanaan pidana mati yang

5
Lihat pasal 1 angka 4 (empat) UU No 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6
Lihat UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other
Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaandan
Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat
Manusia)
75

menimbulkan penderitaan terpidana secara berkepanjangan, dan siksaan

yang dirasakan, diukur bukan hanya dari subjektif terpidana sendiri,

melainkan juga dari objektif masyarakat. Yang akan melihat pokok

persoalan demikian dari hal-hal berikut, ukuran dalam menentukan

apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang

kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat dinilai dari pelaksanaan,

yaitu: (i) jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang

panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian, (ii)

bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat

dan, (iii) tidak menjaga dan mempertahankan harkat mertabat terpidana

sebagi manusia.

Bertolak dari sifat mulia manusia dalam syariat, tidak ada

pertentangan anatara hukum Islam dan larangan umum penyiksaan, atau

perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat atau

larangan menjadikan manusia sebagai obyek percobaan medis dan ilmiah

tanpa kerelaan subyek. Ada banyak ayat al-Quran dan hadis Nabi yang

memerintahkan kasih sayang dan melarang kekejaman dan penindasan

bahkan pada binatang. Dalam upaya mengikuti prinsip manusiawi syariat

ini, Khlifah Umar Ibn Abdul Aziz, saat menjawab permintaan salah

seorang gebenurnya yang ingin menyiksa mereka yang menolak


76

membayar pajak untuk perbendaharaan publik, pada saat itu khalifah

menjawab sebagai berikut: 7

”saya heran dengan permohonan izinmu padaku untuk menyiksa


seolah-olah aku bisa menjadi pelindungmu dari amarah Allah, dan
kepuasanku akan menyelamatkanmu dari kemarahannya. Begitu kau
menerima surat ini, terimalah apa yang telah mereka berikan
kepadamu atau mintalah sumpah dari mereka. Demi Allah, sungguh
lebh baik bila mereka menghadapi Allah karena pelanggaran mereka
dapripada aku mengahdap Allah karena menyiksa mereka”

Dan para Ulama fiqh pun sepakat bahwa penyiksaan atau perlakuan

atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi dilarang selama

dalam proses penghukuman. Karena sesungguhnya Islam mengajarkan

prinsip penghormatan kepada individu serta meletakkan nilai

kemanusiaan yang tinggi di dunia yaitu sebagai khalifah, maka walaupun

dalam menghukum pelaku kejahatan harulah tetap menganut prinsip-

prinsip yang telah di ajarkan Islam.

Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami dari beberapa pendapat

Mahkamah Konstitusi sangatlah sesuai dengan prinsip-prinsip yang

diajarkan Islam, yang mana pendapat Mahkamah menganut prinsip

penghormatan dan menjaga mertabat manusiawi serta menolak hukuman

yang kejam atau tidak manusia dan hukuman yang dapat menimbulkan

penyiksaan. Dalam pedoman yang dianut oleh Mahkamah tentang

penyiksaan mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen

7
Mashood A. Baderin, Hukum Internasioanl Hak Asasi Manusia,,,. h. 76-77
77

hukum Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang Penyiksaan

dan Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak

Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia, sangatlah bersesuaian

dengan nilai-nilai dasar Islam.

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No

21/PUU-IV/2008

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, mahkamah berpendapat tata cara

pelakasanaan pidana dengan tembak dijantung dapat menimbulkan kematian yang

cepat dengan tetap menjaga harkat martabat kemanusiaan (terpidana mati).

Asumsinya jantung adalah sebagai pusat hidup, sebagaimana dikutip oleh

Mahkamah dari keterangan ahli (pemohon), jadi apabila tembakan tepat mengenai

jantung dalam waktu 7 (tujuh) sampai 12 (dua belas) detik akan mengakibatkan

kematian dan ini rentang waktu cukup cepat dalam proses eksekusi pidana mati.

Dan menurut Mahkamah proses eksekusi pidana mati dengan tembak tepat pada

jantung tidak dikatakan sebagai atau penyebab terjadinya penyiksaan,

sebagaimana yang oleh pemohon pengujian Undang-Undang terdapatnya

penyiksaan (pasal 1, pasal 14 ayat 3 dan 4 UU 2/pnps/1964 tentang tata cara

pelaksanaan pidana mati). Dan Mahkamah menyadari tembak jantung terkadang

tidaklah dapat dipastikan langsung dapat mematikan, apabila setelah tembak di

jantung masih ada tanda hidup maka dilakukan tembak terakhir atau pamungkas

yaitu, tembak kepala dibagian atas telinga, dan ini menurut Mahkamah upaya
78

tidak menimbulkan rasa sakit yang lama bagi pidana mati dan menghindari

terjadinya penyiksaan. Selanjutnya pemohon juga mengajukan dari keterangan

para ahli bentuk dan proses yang lain pelaksanaan pidana mati seperti, gantung,

pancung, kursi listrik, ruang gas, suntik mati, dan khusus dalam Islam dirajam

sampai mati. Namun pendapat Mahkamah dari beberapa bentuk pelaksanaan

pidana mati adalah bukan dilihat dari proses atau bentuknya tapi ketepatan dan

keahlian atau profesionalitas dalam praktik yang perlu diperhatikan agar tidak

terjadi kesalahan yang menimbulkan penyiksaan. Dan perlu diingat dalam

memaknai penyiksaan Mahkamah merujuk pada prinsip-prinsip Hak Asasi

Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang penyiksaan dan Perlakuan atau

Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat

Manusia. 8

Telah dijelaskan di bab sebelumnya, dalam Islam untuk eksekusi pidana

mati tidaklah dibolehkan dengan kejam dan keji dengan berlebih-lebihan yang

dapat melecehkan kehormatan dan merendahkan martabat manusia. Bahwa

menurut hukum Islam, hak seseorang, apapun hak itu, sangat suci yang

mempunyai kekebalan dan kebebasan yang tidak bisa diremehkan atau dilanggar

sekalipun oleh Negara 9 . Kekebasan dalam Islam adalah mutlak 10 . Kebebasan

8
Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Pengesahan Convention Against Torture And
Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat
Manusia)
9
Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, Cet, Ke-
1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 224
79

10
Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdiyyin, Cet, Ke-I,
(Yokyakarta: LKiS Yokyakarta, 2003), h. 53
80

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan
cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang
sangat pedih”

Dapat dipahami ajaran firman Allah di atas ialah keadilan hukum dan

prinsip kesamaan hak individu di depan hukum (orang merdeka dengan orang

merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) serta larangan

berlebihan dalam hukuman.

Umat Islam diajarkan selalu berbuat baik dalam sehari-hari, baik dari

berpakaian maupun dari perbuatan antara sesamanya, bahkan terhadap hewan. 11

Misalnya diajarkan dalam menyembelih hewan atau hewan untuk kurban harus

dengan cara yang baik, hendaknya sebelum penyembelihan pisau atau alat

penyembelihan ditajamkan supaya mempercepat proses penyembelihan dan tidak

menimbulakan penyiksaan hewan tersebut. Dapatlah mengambil makna dari

11
Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam,
terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 121
81

ajaran tersebut, terhadap hewan dianjurkan dengan perlakuan baik apalagi

terhadap manusia (manusia terhadap manusia lainya). Jadi dalam proses eksekusi

pidana mati haruslah selalu pada batas nilai kemanusiaan. Bahkan dalam perang

Nabi Muhammad SAW melarang umatnya pada saat itu melakukan kekejian

terhadap musuh dan melakukan mamatsal atau mencingcang mayat musuh korban

perang. Penjelasan bagaimana cara atau bentuk pelaksanaan pidana mati tidak

terdapat dalam al-Quran namun terdapat dalam hadis, yang berbeda

penjelasannya dan dalam hadis yang berbeda pula, sehingga terjadi perbedaan

pendapat dikalangan ulama tentang tata cara pelaksanaan pidana mati menurut

Hanafiah dan pendapat yang sahih dari Hanabilah; kejahatan jiwa dilaksanakan

hukuman dengan pedang walaupun waktu pembunuhan dilakukan dengan pedang

atau tidak, sedangkan pendapat dari Malikiyah dan Syafi’iyah dilakukan dengan

alat atau perlakuan yang sama pada saat pembunuhan. 12 Terlepas dari perdebatan

bagaimana tata cara pelaksanaan pidana mati, semua ulama sependapat

bahwasahnya dalam melakukan eksekusi terpidana mati harus menjaga nilai-nilai

kemanusiaan dan menghindari perlakuan yang menimbulkan keji dan kejam yang

berlebihan dapat melecehkan kehormatan dan merendahkan martabat manusia.

12
Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana menurut al-Quran, Cet, Ke- I, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), h. 196-197
82

(keadilan, kehormatan, atau keindahan) dalam al-Quran menekankan ketiganya

sebagai kewajiban normatif. 13

Dari penjelasan diatas maka dapatlah dikatakan bahwasahnya pendapat

Mahkamah tentang tata cara pelaksanaan pidana mati sesuai dengan nilai-nilai

Islam dan hukum internasional Hak Asasi Manusia yang termasuk landasan

putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah bertentanagan bahkan sesuai nilai-nilai

Islam, khususnya Negara Indonesia yang disebut Negara muslim yang

berdasarkan Pancasila konsekuensinya hukum yang berlaku harus tetap konsisten

dan dilandasi nilai-nilai ketuhanan yang maha esa dan bisa dilihat di setiap

Undang-Undang terdapat kata “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, Ini

menunjukkan nilai religius. 14 Indonesia sudah meratifikasi kovenan internasional

yaitu, declaration of human right Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi Sosial

Budaya dan human right tersebut sangat sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

dalam pembukaan UUD dijumpai rumusan fundamental sekalipun sifatya umum,

yang mengakui betapa asasinya hak-hak kemanusiaan: 15 “bahwa sesungguhnya

kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan sebab itu maka penjajahan di atas

bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan

13 Khaled Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Sewenang-
Wenang Dalam Wacana Islam, terj. M. Mushthafa, Cet, Ke- 1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta), h. 156
14
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, Cet, Ke- II, (Jakarta: Gaya Media Pranata), h. 129
15
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: penyidikan dan
penuntutan, Cet, Ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 71
83

perikeadilan”. Apabila kita memahami HAM internasional semata-mata sebagai

tujuan kemanusiaan universal untuk melindungi setiap individu dari

penyalahgunaan otoritas Negara dan peningkatan martabat manusia, maka

pendapat bahwa Islam tidak sejalan dengannya tidak bisa dipertahankan. Hal itu

Karena perlindungan dan penigkatan martabat manusia senantiasa merupakan

dasar teori politik dan hukum Islam. Sementara boleh jadi ada beberapa

perdebatan konseptual antara hukum Islam dan hukum Hak Asasi Manusia

Internasional, ini tetap tidak bisa menjadikan keduaya bertentangan. 16 Bisa di lihat

usaha penegakkan HAM dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia

dalam Islam ditetapkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo pada 5

Agustus 1990 dan Indonesia salah anggotanya. Di dalam pasal 20 yang berbunyi:

“tanpa alasan yang sah, dilarang menahan individu, membatasi


kebebasannya, mengasingkan atau menghukumnya. Dilarang menjadikan
orang disiksa secara fisik dan psikologis, dan segala bentuk penghinaan,
kekejaman, dan penistaan. Dilarang juga menjadikan seorang individu
sebagai objek percobaan medis dan saintifik tanpa seizinnya atau dengan
resiko pada kesehatan dan nyawanya. Dilarang pula mengumumkan
aturan darurat yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanaan
tindakan d iatas”.

Dan masih dalam deklarasi Kairo, Negara menjamin setiap individu setara

di hadapan hukum serta hak mendapatkan keadilan hukum. Tertera dalam pasal

19 huruf (a) dan (b). yang berbunyi:

a) Semua individu setara di hadapan hukum, tanpa perbedaan antara


dan yang dikuasai, dan b) Hak untuk mendapatkan keadilan dijamin
untuk semua orang.

16
Mashood A. Baderin, Hukukm Internasioanl Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, terj.
Musa khazim dan Edwin Arifin, (Komisi Hak Asasi Manusia, 2007), h. 13
84

Sekilas dapatlah di pahami Islam sangatlah mendukung nilai-nilai hak

asasi manusia yang sekarang menjadi acuan prinsip dunia internasional untuk

memajukan dan penghormatan manusia dalam peradaban modern. Dalam konteks

dunia global pada saat ini dunia Islam haruslah merespon dan bersama ikut

memajukan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Karena sebenarnya dalam

prateknya, hukum Islam telah memberi tempat kepada perubahan-perubahan

sosial. Asal usul hukum sebagai tanggapan terhadap kebutuhan sosial, dan dalam

pokok permasalahan serta metodologinya ia memperlihatkan daya terhadap

perubahan sosial. 17 Mashood A, baderin dari Mayer yang telah mencatat bahwa:

khazanah Islam menawarkan banyak konsep filosofis, dan prinsip moral yang

sangat cocok untuk membangun prinsip-prinsip hak asasi manusia. Nilai-nilai dan

prinsip semacam itu bahkan syarat dalam khazanah intelektual Islam pra-

modern. 18

17
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Dan Pemikiran
Abu Ishaq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad, Cet, Ke- I, (Jakarta: Pustaka, 1996), h. 21
18
Mashood A. Baderin, Hukukm Internasioanl…, h. 30
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menelaah perspektif hukum Islam dari aspek bahasan pidana mati

serta tata cara pelaksanaan hukuman mati terhadap pandangan Mahkamah

Konstitusi dalam putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 yang telah diuraikan dalam

bab-bab sebelumnya, akhirnya penulis dapat simpulkan sebagai berikut:

1. Pidana mati dalam hukum Islam telah di tentukan oleh syariat yang

terdapat di beberapa macam tindak pidana seperti: pembunuhan,

pemberontakkan, perampokan, murtad atau keluar dari Islam, dan zina

muhsan. Dan hukuman mati adalah selain sebagai balasan terhadap

pelaku tindak pidana dan menegakkan keadilan (menjaga hak individu

dan ketentraman masyarakat) juga memberikan pencegahan dan

pendidikan terhadap orang lain agar tidak melakukan tindak pidana.

Bagaimana tata cara pelaksanaan pidana mati dalam hukum Islam

tidak terdapat penjelasan dari al-Quran namun dari beberapa hadis

yang berbeda dan menjadi perbedaan juga dalam pendapat Ulama

fuqaha.

2. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan tentang tata cara

pelaksanaan pidana mati dengan ditembak jantung dan apabila setelah

tembak jantung masih menandakan belum mati maka dilakukan

85
86

tembak kepala tepat diatas telinga dan ini di lakukan untuk

mempercepat kematian supaya tidak menimbulkan rasa sakit yang

tidak perlu dalam proses kematian. Mahkamah Konstitusi menegaskan

eksekusi pidana mati semacam ini tidaklah dikatakan terjadinya

penyiksaan. Dan Mahkamah Konstitusi dalam mengartikan

penyiksaan berpedoman pada Kovenan Hak Asasi Manusia dan

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman

Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat

Manusia. Dan dalam perkara ini Mahkamah berpendapat, bukan

pilihannya pada bentuk atau macam caranya tapi terletak pada pilihan

hukuman yang menjaga martabat manusia, jadi baik cara dengan

gantung, pancung, dan tembak, dll asalkan hukumnya syarat

kemanusiaan.

3. Dalam Islam banyak nilai-nilai dan standar prinsip yang diajarkan

dalam kehidupan dunia. Nilai-nilai dan prinsip pokok penghormatan,

menjaga martabat manusia dan hukum yang syarat manusiawi dalam

menjalankan hukuman yang harus dipenuhi. Tata cara pelaksanaan

pidana mati dari pendapat Mahkamah Konstitusi, dapat di pahami

bahwa syarat dan prinsip dalam menjalankan pidana mati dapat

dikatakan sesuai dengan nilai ajaran Islam yang berupa penghormatan

manusia dan melarang hukuman yang dapat merendahkan martabat

manusia
87

B. Kritik dan Saran

Ada beberapa kritik dan saran yang penulis kemukakan di sini mengenai

tata cara pelaksanaan pidana mati yang berlaku di Indonesia. Kritik dan saran ini

khusus di tujukan kepada Pemerintah, dan Aparat Penegak Hukum. Adapun kritik

dan sarannya dibawah ini:

1. Berlakunya Undang-undang 02/pnps/1964 tentang tata cara

pelaksanaan pidana mati yaitu dengan di tembak jantung, di dalamnya

secara tidak tegas mencabut pasal 11 tata cara pelaksanaan pidana mati

dengan gantung di leher dalam Kitab Undang-undang Pidana (KUHP)

yang sampai saat ini pasal tersebut masih tercantum dalam KUHP,

terkesan adanya dualisme aturan yang akhirnya dapat memunculkan

perdebatan dan kekeliruan serta ketidaksamaan dalam memahami tata

cara pelaksanaan pidana mati. Kedepan di harapkan adanya aturan

khusus untuk mencabut atau penghapusan pasal 11 KUHP.

2. Dalam upaya menjalankan Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan

menegakkan hukum yang bermatabat serta lebih manusiawi, di

harapkan pada pemerintah dan para ahli hukum pidana untuk meninjau

kembali eksekusi mati dengan cara tembak jantung, mengingat di

dunia modern dan kemajuan tehnologi dalam hal ini tata cara

pelaksanaan pidana mati, agar dapat memanfaatkannya guna untuk

eksekusi pidana mati yang lebih cepat proses kematian dan


88

menghindari rasa sakit yang berlebihan diderita oleh terpidana mati

yang dapat menimbulkan penyiksaan.

3. Secara praktik sering terjadi waktu eksekusi mati tertunda hingga

bertahun-tahun, biasanya ini di akibatkan pemohon menunggu

keputusan dari permohonan grasi dari pemerintah. Sedangkan ia sudah

mendapatkan keputusan pengadilan yang inkrah. Untuk ke depan

pemerintah hendaknya memperhatikan masalah waktu ini dan harus

bersikap tegas dalam permohonan grasi.

4. Indonesia masih memberlakukan pidana mati dengan alasan bisa

mengatasi kejahatan serta melihat asas kebermanfaatan “utilitrian” dan

sesuai dengan kehidupan hukum masyarakat Indonesia. Hendaknya

aparat hukum dalam menegakkan hukum yang tegas dan tak pandang

bulu, dan mengingat penegakan hukum di Indonesia saat ini masih

lemah, cenderung tidak netral dan korup. Sehingga dalam praktik

pidana mati juga memihak, akibatnya pidana mati hanya terkena pada

orang yang lemah secara hukum dan status sosial-politik.


DAFTAR PUSTAKA

A. Baderin, Mashood, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam,
terj. Musa khazim dan Edwin Arifin, Jakarta: KOMNASHAM, 2007

A. Boisard, Marcel, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, Cet, Ke- 1,


Jakarta: Bulan Bintang, 1980

Abou El Fadl, Khaled, Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Sewenang-
Wenang Dalam Wacana Islam, terj. M. Mushthafa, Cet, Ke- 1, Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta

__________________, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa,


Cet, Ke-I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006

Abu Husaini al- Qusayri al- Naysaburi, Muslim ibn Hujaz, Shahih Muslim, juz III,
Beirut: Penerbit, Daarul al-Ihya Atturas al- Qirobi, tt

al-Qaradhawi, Yusuf, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah


Islam, terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2004

Aripin, Jaenal, dan Salim GP, M. Askal, (editor), Pidana Islam di Indonesia:
Peluang, Prospek, Dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta. PT, Buana
Ilmu Popular, 2007

Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, (Jakarta) No.
02/III-VI/2005

Daud Ali, H. Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, Cet, Ke- 10, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001

Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1983

Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini,
dan Masa Depan, Cet, Ke-5, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994

89
90

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-5, Jakarta: Bulan Bintang,
1993

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:


penyidikan dan penuntutan, Cet, Ke- 6, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_
Mati.pdf ”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus
2009

Iqbal, Muhammad, Fiqih Siayasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Cet, Ke- 2,
Jakarta: Yofa Mulia Offset, 2007

Khaled Masud, Muhammad, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Dan
Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad, Cet, Ke- 1, Jakarta:
Pustaka, 1996

Kompas, Kejaksaan Agung Tolak Penghapusan Hukum Mati, (Jakarta) 16 Desember


2004

Koran Tempo, Tanggal 4 Febuari Tahun 2005, Halaman 1 Kolom 3-6, lihat
http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditem
bak_Mati.pdf, diakses, 30 Agustus 2009

Kusnardi, Moh. dan R. Saragih, Bintan, Ilmu Negara, cet. Ke- III, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1995

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi


Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995

Mujieb, M. Abdul, Tholhah, Mabrul, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet,
Ke- 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002

Muhammad Thaha, Mahmud, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdiyyin, Cet, Ke-
1, Yokyakarta: LKiS Yokyakarta, 2003

Prakoso, Djoko, dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke- 1,
Jakarta; Ghalia Indonesia, 1989

Prakoso, Djoko, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Cet, Ke- 1, Jakarta: Bina
Aksara, 1987
91

Putri, Agung, (Direktur Eksekutif Elsam), Keharusan Hukum Untuk Mati, Koran
KOMPAS. Jumat, 2 November 2007

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara


Pengujian Undang-undang

Qadir Audah, Abdul, (Ensiklopedi Hukum Islam) at-Tasyri’ al-Jima’i al-Islamiy


Muqarrana bil Qanunil Wad’iy, terj. Tim Tsalisah, jilid ke-111, Bogor: PT.
Kharisma Ilmu, tt

__________________, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-


‘Araby, tt

S.T. Kansil, Chrustine, Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet, Ke- 3, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2004

Salmi, Ahkiar, Eksistensi Hukuman Mati, Cet, Ke- 1, Jakarta: Aksara Persada, 1985

Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Halaman 7 Kolom 1-3, lihat
http://www.ui.ac.id/download/kliping/140704/Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipe
rtanyakan.pdf, diakses, 30 agusus 2009

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet, Ke- 31, Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2001

Suparman, Usman, Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Cet, Ke- 2, Jakarta: Gaya Media Pranata

Tempo, Edisi 10-16 November 2008

Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana


Mati

Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 Pengesahan Convention Against Torture And


Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia)

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang


Nomor 5 Tahun 1997 Psikotropika
92

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against


Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-unang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap, Cet, Ke- 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Wahid Hafiez, Noor, Pidana Mati Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1982

Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Menurut Alquran, Jakarta, Diadit Media,
2007

______________, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), Cet, Ke-
1, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004

Yusup Musa, Muhammad, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik


Madaniy dan Hamim, Jakarta, CV. Rajawali, 1998

Zuhaili, Wahbah, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, Damaskus : Darul-Fikr,
1989
PUTUSAN
Nomor 21/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum
dan Militer yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] (1) Nama : Amrozi bin Nurhasyim;


Agama : Islam;
Tempat, Tanggal lahir : Lamongan 05 Juli 1962;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Tempat tinggal : Desa Tenggulun, Solo Kuro, Kabupaten
Lamongan Jawa Timur.

(2) Nama : Ali Ghufron bin Nurhasyim als. Muklas;


Agama : Islam;
Tempat, Tanggal lahir : Lamongan 02 Februari 1960;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Tempat tinggal : Desa Tenggulun, Solo Kuro, Kabupaten
Lamongan Jawa Timur.

(3) Nama : Abdul Azis als. Imam Samudra;


Agama : Islam;
Tempat, Tanggal lahir : Serang, 14 Januari 1970;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Tempat tinggal : Perum Griya Serang Indah Blok B 12 No.12
Serang Banten.

Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 01.TPM-Pst.Sku.MK.VIII.2006 tanggal 16


Agustus 2006, memberi kuasa kepada: A. Wirawan Adnan, SH., H.M.
Mahendradatta, SH., MA., MH., H. Achmad Michdan, SH., Akhmad Kholid,
SH., Qadar Faisal, SH., Fahmi Bahmid, SH., Agus Setiawan., SH., Rita, SH.,
Gilroy Arinoviandi, SH., Sutejo Sapto Jalu, SH., Hery Susanto, SH., Guntur
Fattahillah, SH., Muannas, SH., dan Abdul Rahim, SH., semuanya berprofesi
sebagai Advokat dan Penasehat Hukum, yang tergabung
dalam Tim Pengacara Muslim Pusat, beralamat di Jalan Pinang I Nomor 9
Pondok Labu Jakarta Selatan 12450, bertindak untuk dan atas nama Pemohon;
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------------
Pemohon;

[1.3] Telah membaca permohonan dari Pemohon;


Telah mendengar keterangan dari Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Telah memeriksa bukti-bukti;
Telah mendengar keterangan saksi dan para ahli dari Pemohon;
Telah membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon.
1. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat


permohonannya bertanggal 6 Agustus 2008 yang diterima dan terdaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkamah) pada tanggal 6 Agustus 2008, dengan registrasi perkara Nomor
21/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 26 Agustus 2008, dan diperbaiki kembali pada tanggal
27 Agustus 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Pemohon dengan ini mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang
(“PUU”) tentang norma-norma yang terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang ditetapkan menjadi undang-
undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang “Pernyataan
Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang”.

A. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau
suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon dalam permohonan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), maka orang atau pihak dimaksud haruslah:
(a) menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya, yaitu apakah yang
sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum
adat, badan hukum, atau lembaga negara;
(b) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya
undang-undang yang dimohonkan pengujian Atas dasar ketentuan tersebut
maka dengan ini Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan
kualifikasinya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian
spesifik yang akan dideritanya sebagai berikut:

1. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang


menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati,
yang telah ditetapkan menjadi undangundang dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang “Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang”.
2. Bahwa Pemohon dalam mengajukan permohonan ini bertindak dalam
kapasitas atau kualifikasi pribadi sebagai warga negara Indonesia,
sehingga dapat bertindak sendiri tanpa ijin maupun tanpa dapat
dianggap mewakili kategori lain selain sebagai perorangan.
3. Bahwa sebagai warga negara Indonesia, maka Pemohon memiliki Hak
Konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu Hak Untuk
Tidak Disiksa, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28I ayat (1)
perubahan kedua UUD 1945. Hak ini, selanjutnya menurut Pasal 28I
ayat (1), merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
4. Bahwa Pemohon berpendapat hak konstitusional Pemohon untuk
tidak disiksa telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, karena Hukuman Mati dengan
cara ditembak sampai mati menimbulkan kerugian yang bersifat
khusus (spesifik) bagi Pemohon, yaitu berupa derita dan nestapa fisik
yang sangat tidak diperlukan dalam proses kematian bagi Pemohon,
dan kerugian ini menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi, karena hukuman mati bagi Pemohon sudah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
5. Bahwa kerugian berupa penyiksaan terhadap Pemohon adalah jelas
hanya dapat terjadi sebagai akibat dari adanya penembakan oleh Regu
Penembak, sedangkan kehadiran Regu Penembak untuk menembak
Pemohon adalah sebagai akibat dari ketentuan undang-undang yang
dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji. Dengan demikian terdapat
hubungan sebab-akibat antara penyiksaan yang akan diderita oleh
Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
6. Bahwa jika permohonan Pemohon ini dikabulkan maka sangat
dimungkinkan bahwa kerugian berupa penyiksaan tidak lagi akan
terjadi karena tata cara hukuman mati berupa penembakan dengan
peluru tajam dapat digantikan dengan cara/metode lain yang lebih
manusiawi. Bahwa menurut doktrin Hukum Islam yang merupakan the
living law di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim dan
terbesar di dunia, disebutkan dalam mengeksekusi terpidana mati
haruslah memenuhi syarat ihsan al-qathlu (eksekusi yang paling
baik), yakni, melakukan eksekusi dengan cara yang paling baik,
sehingga mempermudah kematian. Imam Muslim mengeluarkan
riwayat dari Sadad bin Aus, bahwa Nabi Muhammad saw, bersabda:
“Jika kalian mengeksekusi, maka mudahkanlah cara pembunuhannya.
Dan jika kalian menyembelih, maka mudahkanlah
penyembelihannya”.
7. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang masih
berlaku hingga sekarang telah mengatur tata cara hukum mati,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 KUHP, yaitu “Pidana Mati
dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali
yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.

B. PEMOHON MEMILIKI LEGAL STANDING UNTUK MENGAJUKAN


PERMOHONAN A QUO

1. Bahwa, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU


MK beserta Penjelasannya, yaitu yang dimaksud dengan “Perorangan”
termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan bersama.
2. Bahwa, dari uraian legal standing permohonan a quo, Pemohon merasa
perorangan warga negara Indonesia, telah memiliki legal standing untuk
mengajukan permohonan uji materiil dari Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
3. Bahwa, dalam hal kekhawatiran permohonan Pemohon ditolak dengan
alasan Hak Konstitusional Pemohon hilang, karena Pemohon telah
meninggal, maka atas dasar pemikiran tersebut, Pemohon mengajukan
tuntutan provisional terhadap kemungkinan upaya-upaya pelaksanaan
eksekusi hukuman mati terhadap Pemohon.
4. Bahwa, pengajuan provisional ini semata-mata hanya untuk melindungi
hak konstitusional Pemohon yang “mungkin” tercabut apabila Pemohon
telah meninggal dunia, bukan dalam rangka mengulur-ulur waktu, karena
dalam realitanya, pelaksanaan eksekusi mati di Negara Kesatuan Republik
Indonesia pun seringkali sangat lamban, bahkan hingga bertahun-tahun
walaupun putusan terhadap perkara yang dijatuhi hukuman pidana mati
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
5. Bahwa, faktualnya terhadap Pemohon perkaranya telah memiliki putusan
yang berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2005 atau 3 (tiga) tahun yang
lalu.
6. Bahwa, walaupun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak
memiliki acara peradilan/lembaga provisional, namun untuk menjaga hak
konstitusi Pemohon tidak hilang adalah suatu kebijakan yang arif lagi
tepat apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berkenan menyampaikan
pemberitahuan kepada pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia selaku
eksekutor putusan pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk
menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon dalam rangka
mengikuti proses judicial review yang sedang diajukan.
7. Bahwa, pengajuan permohonan ini tidak mempermasalahkan eksistensi
pidana mati di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sampai sekarang
masih berlaku sejak tanggal 26 Februari 1946 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, tanggal 20 September 1958
tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh
Wilayah Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bahwa, hingga kini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam
Pasal 11 mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara terpidana
digantung sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 KUHP, yaitu, “Pidana
mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali
yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.(Lihat KUHP & KUHAP,
Prof. Andi Hamzah, SH. Terbitan Rineka Cipta hal. 6, KUHP, Prof.
Moelyatno, SH. Terbitan Bumi Aksara hal. 6 dan KUHP dan KUHAP
dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, R. Soenarto
Soeradibroto, SH. Terbitan PT. Raja Grafindo Persada hal. 19).
Berdasarkan ketiga KUHP yang dikeluarkan oleh ketiga ahli hukum
pidana Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Pemohon
berkesimpulan tata cara pidana mati menurut Pasal 11 KUHP tersebut
masih berlaku.
8. Bahwa, dasar hukum pengajuan penghentian eksekusi oleh Kejaksaan
adalah berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 63 UU MK, di mana Mahkamah
Konstitusi
9. memiliki kewenangan yang diberikan oleh UU MK untuk mengeluarkan
penetapan yang memerintahkan pada Pemohon dan/atau Termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanan kewenangan. Bahkan ada kewajiban
menghentikan kewenangan apabila undang-undang yang menjadi dasar
pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah
Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
10. Bahwa, dari segi pelaksanaan kewenangan dari Termohon juga harus
dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi apakah dampak yang
ditimbulkan sangat berpengaruh atau tidak terhadap Pemohon. Menurut
hemat Pemohon apabila kewenangan Termohon/Kejaksaan sebagai unsur
Pemerintah tetap dilaksanakan, maka otomatis permohonan ini menjadi
gugur dengan sendirinya sehingga tidak memberikan “Fair Trial”
terhadap Pemohon dan kesempatan Pemohon untuk mengetahui apakah
permohonannya dikabulkan atau tidak, maka hal ini sama saja dengan
memperkosa hak hukum dari Pemohon dan dapat melanggar Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan,
Jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”.
11. Bahwa, menurut pengamatan Pemohon pun, dengan ditundanya
pelaksanaan eksekusi mati terhadap Pemohon tidak akan menyebabkan
hapusnya pidana mati terhadap Pemohon itu sendiri, dan penundaan
eksekusi pun, tidak memakan waktu yang lama mengingat proses
persidangan di Mahkamah Konstitusi sangat terjadwal dan tertib,
kalaupun permohonan Pemohon dikabulkan juga tidak akan
menghilangkan vonis pidana mati terhadap Pemohon. Demikian juga
proses pembentukan Undang-Undang Tata Cara
12. Eksekusi Pidana Mati yang baru oleh Dewan Perwakilan Rakyat juga
tidak akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun, paling lama hingga 1
(satu) tahun.

C. PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL

Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “a” UU MK, perihal
undangundang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi
adalah undang-undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang Nomor
02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang
Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi
undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, merupakan
undang-undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan UUD
1945, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;
1. Bahwa Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 (UU
2/Pnps/1964), merupakan undang-undang yang pembentukannya
didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia.
2. Bahwa Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi undang-undang
adalah karena diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang (UU 5/1969).
3. Bahwa Penetapan Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang
dimaksud oleh Pasal 2 UU 5/1969 yang berbunyi: “Terhitung sejak
disahkannya Undang-undang ini, menyatakan Penetapanpenetapan
Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud
dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-undang ini, sebagai Undang-
Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan
Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut ditampung atau
dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-undang yang baru”.
4. Bahwa UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 adalah undang-undang
yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden
Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong.
5. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) bukan
lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945,
karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan
anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen
UUD 1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
6. Bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah
sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 Amandemen UUD 1945, maka
pembentukan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 tidak sesuai dengan
Pasal 20 tersebut.
7. Bahwa dengan demikian, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak, yang selama
ini dijalankan di negara kita, Republik Indonesia, merupakan tata cara
yang didasarkan pada undang-undang yang pembentukannya tidak
sesuai dengan UUD 1945.
8. Bahwa merupakan fakta hukum, UU 2/Pnps/1964 yang telah
diwajibkan oleh UU 5/1969 untuk diadakan perbaikan/penyempurnaan
dalam arti bahwa materi dari penetapan tersebut dijadikan bahan untuk
penyusunan undang-undang baru, hingga permohonan diajukan ke
Mahkamah Konstitusi belum pernah ada perbaikan maupun
penyempurnaan terhadap Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di
Indonesia.

D. PERMOHONAN PENGUJIAN MATERI


Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “b” UU MK, perihal
undangundang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi
adalah undang-undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undangundang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon
UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah undangundang yang materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1) perubahan
kedua, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;

1. Bahwa Pasal 28I ayat (1), berbunyi sebagai berikut:


“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun“
2. Bahwa Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan cara ditembak hingga
mati oleh Regu Penembak sebagaimana ditentukan dalam UU
2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah penyiksaan terhadap Terpidana,
karena alasan-alasan sebagai berikut: Pasal 1 dari UU 2/Pnps/1964,
menentukan bahwa hukuman mati dengan cara ditembak dilakukan
dengan cara ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan pengertian
bahwa kematian yang akan diterima oleh Terpidana tidak sekaligus terjadi
dalam “satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali
hingga mati. Dengan demikian terjadi penderitaan yang amat sangat
sebelum terpidana akhirnya mati. Pasal 14 ayat (4) dari UU 2/Pnps/1964
lebih memberikan penegasan atas kemungkinan tidak terjadinya kematian
dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan pengakhir,
dengan kalimat undang-undang yang berbunyi:
“Apabila setelah penembakan, terpidana masih memperlihatkan tanda-
tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara regu Penembak untuk melepaskan
tembakan pengakhir…”
Sebelum tembakan pengakhir tersebut berarti undang-undang ini
mengakui bahwa Terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam
keadaan tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah,
sehingga dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya mati
oleh tembakan pengakhir.
3. Bahwa Regu Penembak yang diberi tugas untuk mengeksekusi terpidana
menurut UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, diharuskan membidik pada
jantung terpidana [Pasal 14 ayat (3)] namun pada Pasal 14 ayat (4)
menentukan untuk mengarahkan tembakan pengakhir dengan menekankan
ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
Dengan demikian tata cara ini tidak memberikan kepastian akan “tiadanya
penyiksaan” dalam proses kematiannya terpidana. Jika menurut
pembentuk undang-undang yang bisa mengakibatkan kematian langsung
adalah tembakan di atas telinga terpidana mengapa ada tata cara yang
mengharuskan membidik pada “jantung”. Artinya, pembentuk undang-
undang tidak meyakini bahwa tembakan pada jantung akan
mengakibatkan kematian langsung, sehingga ada ketentuan Pasal 14 ayat
(4) tersebut.
4. Bahwa meskipun seorang warga negara Indonesia itu statusnya adalah
Terpidana maka menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1), tetap
dijamin hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan
menggunakan tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU
2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, merupakan pelanggaran atas hak
konstitusionalnya, dengan demikian UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969
materinya jelas bertentangan dengan UUD 1945.
E. PENUTUP
Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, sudah sepatutnya apabila
permohonan Pemohon dikabulkan seluruhnya.

DALAM PROVISI:

1. Bahwa, guna menghindari kekhawatiran dari Pemohon akan ditolaknya


permohonan Pemohon karena telah kehilangan hak konstitusionalnya yang
disebabkan meninggal dunianya Pemohon akibat dari upaya Eksekusi Mati yang
dilakukan oleh Pihak Eksekutor yaitu Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
maka Pemohon mengajukan provisional untuk ditundanya upaya eksekusi mati
terhadap Pemohon.
2. Bahwa, berdasarkan alasan tersebut di atas maka Pemohon, memohon kepada
Mahkamah berkenan untuk mengeluarkan Penetapan yang memerintahkan kepada
pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia selaku eksekutor putusan pidana di
Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk menghentikan sementara
pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon dalam rangka mengikuti proses judicial
review.

DALAM POKOK PERKARA:


1. Bahwa, bilamana permo honan Pemohon dikabulkan juga tidak akan
menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) terhadap
pemidanaan mati, karena Pemohon tidak mempersoalkan dihapuskannya pidana
mati, namun prosesnya yang harus lebih manusiawi.
2. Akhir kata, dengan terlebih dahulu menghaturkan puji syukur dan mohon
perlindungan kehadirat Allah SWT, maka perkenankanlah Pemohon memohon
kepada Mahkamah untuk sudi memeriksa/mengadili permohonan Pemohon dan
kemudian berkenan pula memutuskan antara lain hal-hal sebagai berikut:
2.1 Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2.2 Menyatakan Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang
telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
36), merupakan undangundang yang pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2.3 Menyatakan Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 36) tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Atau bilamana Mahkamah berpendapat lain sudilah kiranya memberikan putusan
yang seadil-adilnya.

[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah


mengajukan alat bukti tulis yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-7, dan telah
pula mengajukan orang ahli dan satu orang saksi yang memberikan keterangan
di bawah sumpah, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan
Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai
Undang-Undang;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1828 K/Pid/2003
tanggal 6 Januari 2004;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 653 K/Pid/2004
tanggal 30 Juni 2004;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 K/Pid/2004
tanggal 23 Maret 2004;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Putusan Nomor 07A630 Capital Case 31 Januari 2008,
Supreme Court of the United States, atas nama James Callahan (Petitioner)
V. Richard Allen, Etal., (Respondents);
7. Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Nomor 2005-SC-0543-MR, 19-4-07, Supreme
Court of Kentucky, atas nama Ralp Baze and Thomas C. Bowling
(Appellants) v. Jonathan D. Ress, Commissioner, Kentucky Department of
Corections; Glenn Haeberlin, Warden, Kentucky State Penitentiary; and
Ernie Fletcher, Governor of Kentucky (Appellees).

Keterangan Saksi Pemohon Pastur Charlie Burrows


Bahwa saksi adalah seorang Rohaniwan, dan sesuai yang saksi alami pada saat
eksekusi terpidana mati Antonius dan Samuel, terpidana mati Antonius dan
Samuel saat itu diborgol kaki maupun tangan dengan 1 rantai dan dibalut seperti
mummy dengan kain atau semacam ban dalam supaya tidak bergerak. Sesudah
itu, saksi diberi kesempatan untuk maju dan membuka kain hitam yang tertutup
di kepala untuk berdoa bersama Antonius dan Antonius bercerita hatinya siap
untuk meninggalkan dunia ini;
Bahwa saksi menyampaikan kepada Antonius suatu bacaan ketika mana Yesus
saat akan meninggal, dan kepada Antonius saksi mengatakan agar tidak kecil
hati, dan percaya bahwa dengan bertobat dia juga dapat masuk ke dalam surga;
Bahwa terpidana mati Antonius menitipkan benda yang ada di dalam
kantongnya, yaitu sapu tangan, selembar uang seratus ribu rupiah, sepatu, serta
jam tangan, dan cincin yang dititipkan kepada petugas Lembaga diserahkan
kepada isterinya. Terpidana mati Antonius juga bercerita kepada saksi, bahwa
Antonius merasa kesal karena tidak mendapat keadilan sebab permohonan
grasinya ditolak;
Bahwa sebelum dilaksanakan eksekusi tembak mati, dokter memasang kain
hitam persis di jantung sebagai tanda bagi regu tembak, kemudian saksi
diperintahkan mundur 1 meter di belakang dua regu penembak;
Bahwa sebelum dilaksanakan eksekusi dibacakan terlebih dahulu semacam
berita acara tentang vonisnya, selesai membaca vonis dua regu menembak
bersama-sama. Sesudah penembakan Antonius maupun Samuel mengerang
kesakitan selama kurang lebih tujuh menit dan darah sudah mulai keluar dari
jantungnya pelan-pelan dan agak lama, tetapi yang sangat menimbulkan rasa
terharu adalah erangan kesakitan tersebut lama. Kemudian kurang lebih 10
menit setelah penembakan dokter memeriksa Samuel dan Antonius dan
mengatakan bahwa mereka sudah meninggal dunia, dan selanjutnya dibawa ke
candi pusat untuk dilakukan otopsi, setelah itu jenazah dibersihkan dan
dimasukkan ke dalam peti untuk kemudian dimakamkan di Nusa Kambangan;
Bahwa eksekusi mati Antonius dan Samuel adalah eksekusi yang pertama kali
saksi melihatnya di mana terpidana mati Antonius dan Samuel diikat seperti
mummy, dan erangan selama 7 menit yang dialami oleh terpidana mati Antonius
dan Samuel dirasakan seperti siksaan (cruel);
Bahwa berdasarkan pengalaman saksi selama menemani orang yang akan
meninggal, belum pernah menyaksikan orang yang tidak tenang. Biasanya saat
mau meninggal hatinya sudah tidak tenang karena ada proses, ada lima tahap,
yaitu menolak, marah, tawar menawar, depresi, marah dengan diri sendiri,
kemudian menerima. Biasanya yang saksi alami orang yang sudah mengalami
proses itu, saat meninggal hatinya tenang dan saksi belum pernah menunggu
orang saatnya mau meninggal marah-marah atau menolak atau bagaimana;
Bahwa yang saksi alami ketika sebelum terpidana mati Antonius dieksekusi
adalah jelas merasa tidak adil dan tidak rela dieksekusi.

Keterangan Ahli Pemohon dr. Sun Sunatrio (Ahli Anastesi)


Bahwa ahli adalah seorang dokter spesialis anestesiologi dan intensive care,
yang sehari-hari sering mengalami hal-hal yang jarang dialami oleh dokter lain
yaitu kematian, dan ahli paling sering mendapatkan mati klinis, yang beberapa
di antaranya dapat dihidupkan kembali dengan cara relustrasi. Hal tersebut
membuat ahli sangat concern dengan definisi mati;
Bahwa definisi mati yang dianut oleh Indonesia adalah yang dideklarasikan oleh
Ikatan Dokter Indonesia, yang juga sesuai dengan yang dianut oleh dunia lain
hanya ada sedikit perbedaan;
Bahwa ada dua definisi mati, pertama, klasik yaitu berhentinya fungsi spontan
pernapasan dan sirkulasi yang pasti atau dengan kata lain ireversible, definisi
klasik tersebut sama di seluruh dunia. Kedua, bila seseorang mengalami mati
batang otak maka dinyatakan mati walaupun jantungnya masih hidup, masih
berdenyut ginjalnya, hatinya, maupun paru-parunya. Mengenai soal yang kedua
ini, di negara lain ada yang menganut mati otak, artinya, menunggu seluruh otak
mati baru dinyatakan mati;
Bahwa yang dijelaskan oleh saksi Charlie Burrows, merupakan definisi mati
klasik, yaitu berhentinya fungsi spontan pernafasan dan sirkulasi yang telah
pasti;
Bahwa penembakan dalam hukum tembak memang ditargetkan sasarannya
adalah jantung, tetapi dalam kenyataan belum tentu jantung yang kena. Jadi ahli
yakin pada terpidana yang ditembak mati tidak terkana jantung, sebab kalau
jantung yang kena jantung langsung hancur dan pecah, maka tidak ada sirkulasi
darah, sehingga dalam waktu tujuh sampai sebelas detik orang tersebut akan
pingsan. Dengan demikian kalau pun dia mengerang, hanya dalam tujuh sampai
sebelas detik saja. Tetapi kalau yang terkena bukan jantung, melainkan
sekitarnya maka orang tersebut baru pingsan setelah shock, yaitu setelah banyak
darah keluar sehingga shock kemudian pingsan. Dari waktu 7 menit tersebut
kemungkinan yang terkena pembuluh besar di dekat jantung bukan terkena
jantungnya. Sebab, kalau jantung dalam waktu tujuh sampai sebelas detik dia
langsung pingsan dan dalam waktu 15 menit kemudian bisa dinyatakan mati;
dan menurut ahli, kalau ditembak tepat di kepala kemudian terkena otak maka
waktu itu juga langsung mati perdefinisi;
Bahwa kalau yang ditembak kepala dan otaknya langsung hancur maka waktu
itu juga langsung mati. Sedangkan kalau dipenggal lehernya berarti ada
tenggang waktu tujuh sampai sebelas detik kemudian total pingsan; waktu
tersebut sama jika ditembak yang tepat terkena jantung yaitu tujuh sampai
sebelas detik sejak sirkulasi berhenti;
Bahwa mengenai suntik mati sudah banyak dipakai di negara di dunia ini, dan
menurut ahli ada beberapa yang harus dikritisi. Di Amerika yang melakukan
adalah bukan dokter dan bukan perawat. Oleh karena dokter dan perawat terikat
oleh etika, sehingga yang melakukan adalah orang-orang yang tidak dilatih, hal
demikian merupakan kelemahannya, tetapi andaikata hal tersebut benar,
prosesnya adalah terpidana mati dipasang dua infus lewat vena, satu sebagai
cadangan (back up), kemungkinan satu kiri dan satu kanan. Setelah dipasang
infus dengan Na Cl fisiologis kemudian dimasukkan obat bius yang namanya
Tiopental sebanyak 5 gram. Perlu diketahui kalau ahli membius hanya untuk
sekedar membuat tidur maka hanya membutuhkan dosis kira-kira ¼ gram
sampai 0,3 gram. Dengan demikian dosis 5 gram hampir dipastikan akan
terbius, apalagi dosisnya toksid, artinya, orang yang diberikan dosis 5 gram
tersebut langsung pingsan dan langsung nafasnya berhenti;
Bahwa setelah nafasnya berhenti dan pingsan dimasukkan obat kedua yaitu obat
yang melemaskan otot-otot yang namanya Pavulon diberikan sebanyak 8
milligram yang biasanya dosis yang dipakai adalah 4 milligram untuk orang
dewasa. Dengan 8 miligram sudah pasti semua otot rangkanya akan berhenti.
Otot rangka adalah otot lurik, yaitu otot yang dapat diperintah, tetapi otot polos
dan otot jantung tidak berhenti. Andaikata terjadi kesalahan, oleh karena yang
menyuntik bukan ahlinya maka obatnya bisa keluar. Kalau obatnya keluar dan
menembus ke otot bisa sakit sekali, tetapi dalam waktu beberapa menit dia akan
lemas, tidak kelihatan sakitnya walaupun mungkin dia masih sadar karena
obatnya tidak masuk atau masih sadarnya karena dosisnya kurang, sebab orang
yang menjelang kematian sangat tegang sekali sehingga dosis adrenalin yang
dikeluarkan tubuh tinggi sekali, sehingga susah ditidurkan dibandingkan orang
biasa. Jadi ada kemungkinan orang tersebut masih sadar, dan menurut penelitian
di Amerika ada beberapa yang kemungkinan masih sadar. Kalau orang tersebut
belum terbius maka akan merasakan pada waktu disuntik otot menjadi lemas,
tidak bisa bernafas, perasaannya tercekik, sehingga mengakibatkan tersiksanya
terpidana mati.
Bahwa obat ketiga yang disuntikan yaitu potassium chloride (potassium
klorida) dengan dosis 50 cc, maksudnya supaya jantung berhenti. Jika pada
waktu disuntikan potasium klorida dia belum tertidur, maka akan merasakan
sakit sekali seperti serangan jantung karena mekanisme sama yaitu tidak adanya
oksigen dalam jantung. Mengenai adanya orang yang masih sadar ketika
disuntik potassium klorida juga diyakini oleh majalah Land Health di Amerika
di mana ditulis bahwa setelah memeriksa kadar benetol dalam darah mereka
yakin ada beberapa yang mungkin sekali sadar, tetapi dibandingkan dengan tata
cara hukuman mati yang lainnya, disuntik mati kelihatannya lebih elegan, asal
benar caranya, akan tetapi agak sulit oleh karena dokter dan perawat tidak boleh
dalam proses tersebut, kecuali kalau nanti ada perubahan;
Bahwa oleh karena etika kedokteran justru menyelamatkan kehidupan maka
jika dokter harus berada dalam proses hukuman mati maka hal tersebut harus
dibicarakan lagi, tetapi saat ini yang berlaku, dokter tidak boleh membantu
proses pengakhiran nyawa. Menjadi supervisi juga tidak boleh. Andaikata
suntik mati digunakan karena lebih berperikemanusiaan daripada cara yang lain,
maka ahlimengusulkan dimonitor saja kesadarannya apalagi saat ini sudah
alatnya, sehingga kalau sudah dipastikan tidak sadar baru diteruskan suntikan
selanjutnya;
Bahwa sebaliknya agar diberitahukan saja dengan diberi catatan jika 40%
sampai 60% berarti sudah tidak sadar, sehingga dapat dibaca sendiri
petunjuknya. Dokter hanya diperlukan untuk memastikan kematiannya, tetapi
bukan membantu prosesnya;
Bahwa masalahnya adalah bukan dosisnya yang ditambahkan, tetapi
masalahnya adalah belum tentu obat tersebut masuk semua ke dalam vena, oleh
karena yang memasang tidak ahli. Selama proses dapat saja jarum masuk dalam
vena tetapi setelah sekian waktu keluar, sehingga mengakibatkan dengan dosis
5 gram ada beberapa yang diyakini tidak tidur, dosisnya berkurang terlihat
dalam darah setelah mayatnya diperiksa;
Bahwa dosis obat pertama yang dimasukkan adalah obat untuk menidurkan,
sebelum diberikan obat yang berikutnya. Obat pertama pun dapat berakibat fatal
karena dosis yang diberikan tinggi, tetapi ada kemungkinan juga tertidur karena
dosis adrenalinnya terlalu tinggi walaupun dosisnya diberikan dua kali lipat,
atau obatnya keluar dapat juga menjadi masalah orang yang di bius tersebut
masih sadar;
Bahwa menurut ahli secara pribadi, dokter dapat memastikan sudah sadar atau
tidak atau sudah kehilangan kesadaran terpidana mati yang disuntik mati,
karena ahli sendiri juga tidak tega kalau belum tertidur kemudian diberikan obat
berikutnya;
Bahwa baik ditembak mati yang langsung terkena otak maupun dipenggal leher,
keduanya memiliki rasa sakit walaupun hanya 7 sampai 12 detik;
Bahwa beberapa proses kematian dengan ditembak di jantung, dipenggal leher
dan disuntik mati, memiliki waktu yang berbeda-beda dalam cepat matinya,
karena masalah cepat matinya merupakan hal yang lain;
Bahwa kalau dipenggal leher memiliki rasa sakit hanya sebentar, yaitu dalam
hitungan detik antara 7 - 12 detik. Kalau ditembak mati memiliki waktu
bervariasi, jika tidak terkena jantung bisa setengah jam, tetapi kalau tepat
terkena jantungnya dalam waktu 7 - 11 detik. Dengan demikian ditembak mati
yang terkena jantung dan dipenggal leher memiliki waktu yang sama;
Bahwa kalau dengan cara digantung dengan cara yang benar, yaitu posisinya
tinggi rendahnya dan talinya juga harus diukur ketepatannya, sehingga
mengakibatkan patah leher, maka waktu yang dibutuhkan sama dengan
dipenggal leher, tetapi kenyataannya jarang terjadi oleh karena mungkin ototnya
kuat sehingga tidak langsung patah dan akhirnya hanya seperti orang dicekik.
Kalau orang dicekik maka akan tetap sadar kira-kira sampai 5 menit, setelah 5
menit kemudian pingsan, sehingga bisa merasakan meronta-ronta dan mungkin
keluar buang air besar, mata mendelik, lidah terjulur dan sebagainya;
Bahwa sakit tidaknya seseorang dibius tergantung pada obat yang digunakan,
kalau yang digunakan pentothal tidak sakit, sepanjang benar memasukannya,
tetapi kalau masuk pembuluh arteri/nadi sakit sekali atau keluar ujung jarumnya
sedikit , kalau benar-benar masuk pembuluh balik tidak sakit dan hanya
memerlukan waktu sekitar 30 detik agar tidak sadar;
Bahwa seseorang yang biasa meminum obat-obatan seperti alkohol dan obat
tidur biasanya kebal sehingga dosisnya harus lebih tinggi, atau orang yang
ketakutan sekali, maka adrenalin menjadi tinggi maka dia juga perlu dosis yang
sangat tinggi dari biasanya;
Bahwa pidana mati dengan cara disuntik mati, kalau dilakukan dengan benar
maka bagi terpidana mati akan terasa nyaman sebab terpidana mati tertidur dan
tidak ada efek yang lain. Efeknya jika terjadi kesalahan seperti dosisnya tidak
berpengaruh atau meleset ujung jarumnya sehingga tidak masuk vena. Waktu
dalam keadaan tetap sadar kemudian mendapat suntikan yang kedua berakibat
seperti orang tercekik, karena tidak dapat bernafas, mau nafas tidak bisa, dan
otaknya lumpuh, dan selanjutnya disuntikkan obat ketiga untuk menghentikan
denyut jantung, yaitu potassium chlorite, maka akan sakit sekali seperti orang
yang terkena serangan jantung, sakit di daerah dada kiri dan dapat menjalar ke
punggung dan sebagainya. Oleh karena itu, ahli mengusulkan agar dimonitor
kesadarannya terlebih dahulu, untuk kemudian disuntikkan obat kedua dan
ketiga, sebagaimana pengalaman yang terjadi di Amerika Serikat, yang
kemudian dimuat dalam majalah Land Health;
Bahwa penembakan berpotensi untuk menyiksa, sebab jarang dilakukan
sehingga berpotensi untuk error, tidak tepat sasaran. Sehingga ahli
mengusulkan dua pilihan cara pidana mati, yaitu pertama, injeksi dengan dosis
obat anastetik dengan tiga macam obat dan dengan teknik yang benar; kedua,
dengan cara dipancung, karena sangat singkat sekali. Mungkin tidak terasa oleh
karena begitu cepatnya sehingga sampai dia pingsan tidak merasakan apa-apa.
Dua pilihan tersebut menurut ahli, dianggap lebih ringan potensi menyiksanya;
Keterangan Ahli Pemohon dr. Jose Rizal Yurnalis, SpBO. (Ahli
BedahOrthopedi)
Bahwa ahli adalah ahli bedah orthopedic dan thromatologic yang sering
melakukan operasi dan berhubungan dengan anastesi dan sering melihat proses
pembiusan. Ahli juga merupakan relawan medis untuk daerah-daerah konflik,
seperti Tual, Ambon, Saparua, Halmahera Utara, dan Aceh, kemudian di luar
negeri seperti Thailand Selatan, Mindanau, Afghanistan dua kali, Irak sekali,
Libanon Selatan sekali. Sehingga ahli sering melihat proses kematian baik
melalui proses medis maupun di lapangan;
Bahwa dalam konflik Maluku, karena peperangannya horizontal maka yang
digunakan adalah senjata tajam dan paling sering terjadi adalah ditebasnya
leher. Kalau di Afghanistan, Libanon, Irak, dan Mindanau adalah luka tembak,
luka bom dan luka bakar;
Bahwa berdasarkan pengalaman ahli, kalau yang ditembak dengan peluru tajam,
dia masih hidup kemudian pelan-pelan meninggal, tentu dengan erangan
kesakitan, jika tidak tepat dijantungnya, akan tetapi bila tepat dijantungnya
maka jantung akan pecah dan langsung meninggal. Kalau nyerempet kemudian
terkena vena cava atau arteri artha maka memerlukan waktu atau misalnya
terkena paruparu memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Kadang-kadang
memerlukan waktu ½ jam, 1 jam, bahkan sampai 1 hari. Sedangkan kalau
ditebas, ahli tidak melihat proses penebasannya, ahli hanya melihat hasilnya,
dan menurut yang menyaksikan orang yang ditebas lehernya langsung
meninggal;
Bahwa sebagai seorang dokter, secara ilmiah, pusat kehidupan adalah di otak
terutama dibatang otak. Sedangkan jantung mempunyai semacam trafo sendiri,
kalau jantung dipotong kemudian diangkat keluar masih bisa berdenyut, tetapi
kalau dihancurkan batang otaknya atau diputuskan batang otaknya dari otak
atau dari bagian bawahnya itu langsung berhenti pernafasan dan berhenti kardio
vaskuler. Sehingga pendapat ahli prinsipnya sama dengan ahli dokter Sunatrio,
hanya ahli melihat batang otak itu mempunyai peranan yang sangat sentral;
Bahwa jarang sekali terlihat luka tembak kepala yang langsung kepalanya
hancur, kadang-kadang pasiennya masih bergerak. Sebab berdasarkan yang
pernah diidentifikasi peluru yang digunakan adalah K-47 dan N-6, kalau
ditembak dengan RPG pasti hancur kepalanya, tetapi kalau ditembak dengan
peluru jika tidak tepat maka orangnya masih hidup;
Bahwa ahli secara pribadi tidak ingin terlibat di dalam proses pidana mati, tetapi
jika ditanyakan pendapat ahli mengenai supervisi untuk menyatakan sadar atau
tidak, dokter boleh saja menjadi supervisi; supervisi tersebut maksudnya adalah
untuk menentukan kematian; Bahwa dokter boleh memberi training kepada
orang yang bertugas mengeksekusi dengan cara suntik mati; akan tetapi harus
diketahui terlebih dahulu training tersebut untuk apa digunakan, kalau diketahui
untuk membunuh tentuk tidak dapat diberikan;
Bahwa ahli pernah melihat orang menuju proses kematian yang disebabkan
antara lain oleh bom (bom bakar atau bom cluster), ditembak ataupun
dipenggal. Kalau tembakan di kepala masih bisa bergerak karena memang tidak
hancur. Kalau bom ada yang langsung meninggal, ada kemudian yang
mengalami trauma desakan dada, yang mengakibatkan lama meninggalnya.
Kemudian kalau dipenggal langsung hilang nyawanya, di Maluku ada istilah di
gorok, jika di gorok maka masih ada proses menggelepar-gelepar. Berdasarkan
hasil komunikasi yang ahli lakukan dengan orang-orang yang melakukan
penggal leher, menurut mereka penggal leher dianggap lebih cepat matinya
daripada ditusuk jantungnya atau di tembak;
Bahwa secara anatomi pusat kehidupan diatur sentral di batang otak. Jika
sasarannya adalah batang otak, maka yang bisa menyelesaikan batang otak ada
dua, yaitu hukuman gantung dan hukuman pancung, dan yang lebih cepat
adalah hukuman pancung.

Keterangan Ahli Pemohon K.H. Mudzakir (Ahli Hukum Islam)


Bahwa yang diajarkan oleh Islam, setiap orang disuruh untuk melakukan
perbuatan, bahkan bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat
apapun juga termasuk dalam membunuh kalau memang itu disyariatkan untuk
membunuh maka harus dilakukan dengan jalan yang baik;
Bahwa dalam peperangan misalnya, orang Islam tetap dilarang untuk
melakukan mamatsal atau mencincang atau menyiksa musuh sebelum dibunuh.
Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan dengan jelek,
artinya disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia mengalami
kematian. Bukan hanya itu, bahkan untuk menyembelih binatangpun Islam
mengajarkan agar kita melakukan dengan baik, sebagai salah satu contoh hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “innallaha katabal ihsana ‘ala kulli syai’in fa idzaa qathaltum fa
ahsinu qithalta wa idzaa dzabahtum fa ahsinu dzibhah wal yuhiddah ahadukum
syafraatahu fal yurih dzabiatahu”.
Artinya, Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas segala
sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhnya,
dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikkanlah cara
penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu
menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan bintang
sembelihannya. Hadist tersebut adalah hadist yang shahih dimuat oleh Imam
Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim di kitab Asshaid wad dzaba’i dalam bab
amru bi ihsani zibhi wal qatli, wa tahti bihi wasyafri, yaitu bab suruhan untuk
membaguskan cara menyembelih dan membunuh dan menajamkan pisau;
sehingga kalau syariat menetapkan bahwa boleh dilakukan pembunuhan maka
pembunuhan hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik, yang tidak
memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan, oleh karena untuk menyiksa
binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap manusia;
Bahwa lebih dari itu, menurut Al-Islam seseorang kafir dzimmi maka
orangorang seperti itu tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dibunuh
kecuali karena salah satu dari tiga perkara saja, yakni seseorang yang
membunuh dia dibalas dibunuh, seorang yang sudah muhshon yaitu sudah
pernah menikah lalu dia berzina dan terbukti perzinaannya, dan kemudian orang
yang memisahkan diri dari jamaah yang murtad dari agamanya, itu yang boleh
dibunuh dengan catatan ketetapan itu juga berlaku masing-masing dengan
ketentuan-ketentuan yang mengikat karena syariat Islam itu merupakan satu
keseluruhan;
Bahwa soal kaitannya dengan ditembak mati, kalau memang ditembak mati
ternyata dapat dibuktikan bahwa tidak mengalami penderitaan sekaligus juga
dia mengalami kematian maka itu dibenarkan menurut aturan Islam. Demikian
juga cara-cara yang lain, kalau saya boleh agak memberikan contoh agak
ekstrim kalaulah misalnya disentil kupingnya orang itu paling cepat mati ya
itulah yang mesti dilakukan, tetapi sepanjang diketahui dari apa yang pernah
terjadi setidaknya begitu, kita tidak mendapatkan bahwa cara-cara hukum mati
dengan ditembak itu cara yang tepat;
Bahwa yang ahli ketahui walaupun tidak pernah menyaksikan dengan mata
sendiri, di Arab Saudi dilakukan dengan cara dipenggal, dan menurut mereka
yang menyaksikan sendiri, orangnya disuruh jongkok semacam berlutut begitu,
kemudian ditebaskan lehernya sesudah itu langsung kepalanya dimasukkan ke
dalam kantong mayat dengan badannya. Pada prinsipnya di dalam Islam
hukuman tersebut dilakukan ditempat umum agar ada yang menyaksikan, baik
hukuman mati maupun hukuman jilid;
Bahwa bila yang dimaksudkan dengan diamnya atau tidak ada pembicaraan dari
kalangan ahli maupun masyarakat tidak dapat menjadi tolok ukur dari
penerimaan diterimanya tata cara pidana mati dengan ditembak. Karena hal
tersebut hanya merupakan bagian dari syariat Islam sedangkan yang diusahakan
dan diperjuangkan, yang disarankan oleh para ulama adalah penegakan syariat
Islam secara keseluruhan. Sehingga banyak dari kalangan ulama ini yang tidak
mau bicara pada masalah-masalah yang sifatnya parsial, tetapi lebih kepada
masalah yang pokok. Dengan demikian ketika kembali kepada syariat Islam dan
bila syariat Islam tersebut diterima maka semua akan diubah dan disesuaikan
kepada masalah pokok tersebut;
Bahwa sesuai pengalaman ahli yang berkali-kali menyaksikan bekasnya,
pelaksanaan hukuman pancung di Arab Saudi dilakukan pada siang hari. Jadi
ahli tidak pernah menyaksikan secara langsung ditebasnya;
Bahwa berdasarkan keterangan saksi Pastur Charlie Burrows, ahli melihatnya
tata cara ditembak mati merupakan cara yang tidak baik sebab tidak ada hak
kita untuk menyiksa, apalagi kalau kesakitan. Musuhpun tidak boleh
diperlakukan disiksa, boleh membunuh musuh tetapi menyiksa lebih dahulu
atau sesudah mati dicincang tidak boleh;
Bahwa ahli belum pernah mendengar pidana mati dengan cara dipotong
lehernya kecuali begitu dipenggal lantas selesai, dimasukkan ke dalam karung
dan sudah tidak bergerak-gerak lagi; jadi sekali lagi karena ahli tidak pernah
melihat yang ditembak atau yang dipenggal maupun yang lainnya tetapi hanya
berita yang sampai kepada ahli. Demikian juga di kitab-kitab fiqih, mengapa
yang digunakan hukum penggal, karena dianggap dengan cara itulah yang
paling tepat untuk mempercepat kematian. Oleh karena itu, menurut pendapat
ahli, tata cara dengan cara dipenggal atau dipancung tidak ada risiko lebih jauh
artinya kesalahan dari pelaku/algojo, terlebih lagi dipenggal merupakan tata
cara yang sejauh ini juga dikenal di kalangan ulama di dalam hukum Islam;
Bahwa mengenai semua orang ingin meninggal dengan tenang, ahli
memberikan koreksi sedikit, karena para mujahid, para mujahidin tidak
mengharapkan kematian dengan tenang tetapi mereka mengharapkan kematian
sebagai syuhada walaupun mungkin tubuhnya menggelepar sewaktu mati di
medan perang, tetapi berlainan dengan kita dalam memperlakukan manusia
yang akan dieksekusi baik terpidana mati maupun yang melakukan eksekusi;
Bahwa kekeliruan dalam melakukan eksekusi hingga mungkin keadaannya luka
sehingga tidak segera mati bila dikaitkan dengan ketentuan adanya ajal,
menurut ahli, manusia diperintah oleh Allah diberi kewajiban untuk melakukan
ikhtiar, sepanjang ikhtiar sudah dilakukan dengan maksimal, maka bebas dari
tuntutan. Artinya, kalau jarak lima meter sampai sepuluh meter ternyata salah
dan tidak ada ketentuan bahwa hal tersebut harus diubah, maka ketentuan
tersebut harus dibuang jauh-jauh diganti dengan yang baru;
Bahwa kalau ternyata dapat dibuktikan cara dipancung lebih baik seperti yang
diputuskan oleh banyak ulama dari kalangan muslimin maka harus dilakukan
dan cara yang lain tidak dilakukan;
Bahwa ketetapan ajal manusia tidak mungkin mempercepat atau
memperlambat, bahkan tatkala seseorang diputuskan untuk dihukum mati
mungkin masanya masih berlanjut sampai dua, tiga, empat tahun sampai
sepuluh tahun, bahkan puluhan tahun, hal tersebut merupakan bukti bahwa
ketetapan Allah tentang ajal tidak dapat diajukan dan tidak dapat diundurkan.
Sebaliknya juga demikian kalau seseorang sudah waktunya datang kematian di
mana seharusnya dia dieksekusi, tetapi lima menit sebelum dieksekusi dia sudah
mati, oleh karena itu menurut ahli, yang dibebankan kepada manusia adalah
usaha untuk melakukan kewajiban tersebut sehingga dapat melakukan pidana
mati dengan cara yang tidak membuat kesakitan wajib dilakukan dan sebaliknya
kalau diketahui ada kemungkinan kekeliruan lebih besar tetap ditempuh maka
hal tersebut merupakan suatu kesalahan;
Bahwa kalangan hukum khususnya ulama Islam sejak dulu kala memilih
dengan memancung. Kemudian mengenai kecepatan, kalau memancung tidak
ada risiko meleset sedangkan ditembak sebagaimana yang telah disampaikan
oleh para ahli ada risiko meleset, sehingga permasalahannya adalah ada yang
berisiko dan tidak. Kalau memang dapat dibuktikan cara ditembak mati tidak
meleset dan benar dan kecepatannya sama dengan dipancung maka cara
ditembak mati tidak masalaj digunakan, tetapi selagi tidak atau selagi cara
ditembak mati masih berisiko dan cara dipancung tidak beresiko, maka semua
ulama akan memilih yang tidak berisiko daripada yang berisiko;
Bahwa syariat Islam membuat ketentuan-ketentuan khusus. Ada orang yang
dihukum mati dengan dirajam, dijemur di padang pasir kemudian dicungkil
matanya dan dibiarkan mereka mati kehausan dan kelaparan, akan tetapi hal
tersebut merupakan kasus tertentu yang diatur dengan hukum yang tertentu
pula; yang kesemuanya pengaturannya diatur secara syariat dan mengikat.
Hukum rajam merupakan ketentuan yang khusus, tidak boleh diberlakukan
terhadap perkara yang lainnya. Misalnya ada tawanan, karena dia sangat kejam
banyak membunuh tentara Islam lalu dia dirajam, hal tersebut tidak boleh
dikenakan terhadap musuh yang membunuh, tetapi harus dihukum dengan
dibunuh pula
walaupun dia pernah menyiksa kaum muslimin sekian banyak. Oleh karena itu,
tatkala dihukum tebas atau dihukum tembak tenyata di lapangan diketahui
bahwa dihukum tembak lebih banyak tidak akurat maka grade-nya ditaruh di
bawah hukum tebas;
Bahwa dalam syariat Islam, jika syariat sudah menetapkan hal tersebut boleh
dilakukan maka boleh dilakukan, tetapi jika syariat menetapkan tidak boleh
maka tidak boleh dilakukan; dengan demikian tidak sama hukum Indonesia
dengan hukum Islam, misalnya ada seseorang melakukan perzinahan sementara
dia sudah menikah maka dalam hukum Islam harus dihukum, sedangkan di luar
hukum Islam harus ada salah satu yang menuntut terlebih dahulu baru dapat
dituntut. Sehingga kalau ada seseorang melakukan perzinahan lalu dihukum
dengan hukum Indonesia, maka dia belum terbebas menurut syariat Islam, oleh
karena itu seseorang yang melakukan kejahatan di negeri Indonesia dan
dihukum dengan undang-undang berdasarkan KUHP atau undang-undang
lainnya yang berlaku, maka tidak membebaskan dia dari tanggung jawab di
hadapan Allah SWT karena syariat Islam belum ditegakkan atas dirinya;
Bahwa tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya
selain dengan dipancung masih terjadi rasa sakit yang luar biasa, disamping ada
unsur menyiksa dan unsur merendahkan manusia, oleh karena itu menurut ahli,
berdasarkan pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung
maka ahli tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pelaksanaan hukuman mati
kecuali dengan dipancung wallahu’alam.

Keterangan Ahli Pemohon Dr. Rudi Satrio, SH., MH. (Ahli Pidana)
Bahwa berbicara sanksi pidana mati, adalah salah satu hukuman pokok yang
terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Kemudian bagaimana hukuman mati tersebut
dilaksanakan terdapat dalam Pasal 11 KUHP, pertama dilaksanakan dengan cara
penggantungan. Dalam sejarahnya, sebagaimana yang ahli baca dalam text
book, sanksi pidana mati tidak ada di dalam Wetboek van straaftrecht di negeri
Belanda, tetapi bukan karena Belanda anti pada pidana mati, melainkan ada
pidana mati tetapi tidak pernah dilaksanakan karena kebanyakan terpidana mati
akan mendapatkan pengampunan dari raja. Kemudian pidana mati tersebut
terdapat di dalam hukum pidana yang berlaku untuk kawasan Nederlands
Indische atau kemudian berlaku di dalam negara Indonesia dan sudah ada sejak
1 Januari
1918.
Selanjutnya ada satu perubahan terkait dengan persoalan pidana mati yangada,
yang sebelumnya dengan cara digantung tetapi kemudian ada perubahan terkait
pada permasalahan keadaannya, akan tetapi ahli akan menjelaskan terlebih
dahulu terdapatnya ancaman pidana mati dalam pasal-pasal KUHP. Pertama,
dalam KUHP ada delapan belas pasal yang memberikan ancaman-ancaman
hukuman pidana mati. Kemudian kalau di luar KUHP ada sekian pasal, ada
sekian undang-undang yang mencantumkan sanksi pidana mati. Yang terakhir
adalah hal yang berhubungan dengan tindak pidana pemberantasan tindak
pidana terorisme. Bahwa memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia
berawal dari Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan
digantung, tetapi kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor
2 Tahun 1964 yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut
dikarenakan seiring dengan perkembangan zaman dan dipandang eksekusi
pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman
mati digantung diubah dengan cara ditembak. Dengan demikian perubahan
pelaksanaan pidana terkait dengan kecepatan dalam proses untuk mencapai
kematian dan kemudian hal yang berhubungan dengan masalah yang lebih
sedikit serta berbicara soal derita atau siksaan yang ada. Bisa jadi pedang pada
masanya lebih cepat, gantung pada masanya lebih cepat dengan pedang.
Tembak pada masanya lebih cepat dengan digantung dan mungkin lainnya pada
masanya sekarang lebih cepat daripada dengan ditembak.
Bahwa memperhatikan landasan yang mendasari Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964, pada bagian menimbangnya menyatakan, “bahwa
ketentuanketentuan jang berlaku dewasa ini mengenai tata cara pelaksanaan
pidana mati bagi orang-orang jang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum dan orang-orang baik militer maupun bukan
militer yang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan lingkungan peradilan militer
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan keadaan serta jiwa
Revolusi Indonesia.” Ahli mengarisbawahi terkait dengan persoalan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan, kemajuan, keadaan, serta jiwa revolusi
Indonesia. Menurut ahli, tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan,
dapat ditafsirkan atau dapat diartikan harus lebih cepat membawa kematian
serta lebih sedikit menimbulkan derita ataupun siksaan, pada bagian terminologi
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan. Sedangkan makna dari serta
jiwa revolusi Indonesia, karena undangundang tersebut dibuat sejak tahun 1964-
1966 maka kemudian masih memunculkan istilah-istilah jiwa revolusi
Indonesia dan seterusnya. Sebagai perbandingan ahli mengambil contoh
perubahan-perubahan yang ada di Undang- Undang Pers Nomor 11 Tahun 1966
yang kira-kira jiwanya adalah sama dengan Penpres tentang pelaksanaan
hukuman pidana mati.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 memunculkan istilah ada kontra
revolusi, kemudian dengan perubahan zaman Orba kemudian diganti menjadi
menentang Pancasila. Jadi dari kontra revolusi sebagai bagian pertimbangan
dalam pembuatan penetapan presiden yang ada kemudian diganti dengan
menentang Pancasila. Kemudian kita mengalami di zaman reformasi, bisa jadi
dari kontra revolusi diubah menjadi menentang Pancasila. Dan sekarang
filosofinya, dasar berpijaknya bisa menjadi melanggar hak asasi manusia, ini
suatu hal perubahan terkait masalah kondisi politik suatu keadaan negara. Dari
persoalan revolusi, Pancasila dan mungkin sekarang standarnya melanggar hak
asasi manusia. Kalau kemudian standar tersebut dikaitkan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 khususnya pada Pasal 28G amandemen yang kedua
tahun 2000 maka memunculkan, “setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia yang
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”, kata-kata bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia kemungkinan
sangat relevan dengan persoalan dengan menjalankan hukuman pidana mati
dalam suatu posisi yang kemudian menjadi tersiksa. Kalau kemudian melihat
dalam Pasal 33 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM memunculkan terminologi-terminologi, “setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan dengan kejam tidak
manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat manusia”. Ada satu bagian
yang menarik dalam Pasal 33 ayat (1) tersebut, yaitu penghukuman atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat manusia,
martabat dan derajat dari manusia dihubungkan dengan persoalan pelaksanaan
pidana mati, maka boleh dilaksanakan pidana mati asalkan tidak dalam suatu
posisi yang kejam atau kemudian merendahkan martabat dari manusia itu
sendiri;
Bahwa terkait dengan persoalan pelaksanaan pidana mati maka menurut ahli
adalah harus yang terbaik untuk terpidana, tidak menyiksa dan mempercepat
proses kematian, maka didasarkan pada masalah perkembangan pengetahuan
dan teknologi manusia memungkinkan dipertimbangkan diambil jalan yang
terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan kemudian lebih cepat dapat
dilaksanakan. Hal tersebut merupakan suatu permintaan dari undang-undang
agar setiap saat tidak menutup kemungkinan adanya perubahan-perubahan
tentang masalah bagaimana tata cara melaksanakan eksekusi;
Bahwa memperhatikan Pasal 11 KUHP pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh
algojo dengan cara menggantungnya. Kemudian dengan adanya Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1964 maka pelaksanaan pidana mati diselaraskan
dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, sebagaimana termuat dalam
Bab IV Ketentuan Peralihan dan Penutup, Pasal 18 yang mengatakan, “pidana
mati yang dijatuhkan sebelum penetapan ini yang masih harus dilaksanakan,
diselenggarakan menurut penetapan ini.”
Bahwa kalau seandainya cara ditembak mati adalah inkonstitusional karena
masih ada sekian waktu terjadi penyiksaan, ada waktu sekian lama sebelum
akhirnya mati, maka menurut ahli, bukan kemudian kembali ke Pasal 11 KUHP
tetapi harus dicarikan cara yang terbaik, cara yang terbenar, tercepat, dan tidak
menyiksa terpidana atau mungkin cara pilihan orang yang akan mati; Bahwa
karena Indonesia adalah negara hukum, sesuai prinsip asas legalitas maka setiap
tindakan harus ada dasar hukumnya, tetapi ada pertimbangan lainnya, kalau
seandainya Pnps ini kemudian dinyatakan sebagai inkonstitusional melanggar
HAM tentu jika kemudian dilaksanakan dengan Pasal11 KUHP apakah juga
tidak melanggar HAM, oleh karena itu ahli berpegang pada prinsip harus dibuat
undang-undangnya terlebih dahulu agar dapat dilaksanakan eksekusi yang ada;
Bahwa berkaitan dengan hak asasi manusia maka dalam masalah penyiksaan
akan ditemukan keadaan tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
manusia.
Bahwa memperhatikan persoalan retroaktif maka yang dilarang untuk berlaku
surut adalah hukum pidana materilnya, sedangkan hukum pidana formilnya
dimungkinkan untuk berlaku surut. Berdasarkan prinsip atau pengertian
retroaktif yang sederhana tersebut dimungkinkan untuk digunakan secara
mundur atau surut.
Bahwa pada waktu dibuatnya Pnps tersebut, dipandang pidana mati dengan cara
ditembak mati adalah paling manusiawi, paling terbaik bagi seorang terpidana
dibandingkan sebelumnya dengan cara digantung yang memunculkan masalah
penderitaan yang lama dan yang jelas melanggar harkat dan martabat manusia.
Perubahan perundang-undangan memungkinkan untuk berlaku surut sepanjang
hal tersebut menguntungkan bagi terdakwa ataupun mungkin dalam hal ini
terpidana. Ahli lebih melihat persoalan retroaktif dikaitkan dengan persoalan
jangan menggunakan undang-undang berlaku surut untuk suatu peristiwa yang
adanya pada masa lampau.

[2.3] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan keterangan tertulis ahli pidana
Dr. Salman Luthan, S.H., M.H., dan Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H.,
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2008,
sebagai berikut:

Keterangan Tertulis Ahli Dr. Salman Luthan, S.H., M.H.


1. Pengajuan hak uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan hak konstitusional
Pemohon karena pelaksanaan undang-undang tersebut akan merugikan
kepentingan hukum dirinya. Dalil pengajuan hak uji materil sudah tepat
karena undang-undang itu dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi,
khususnya ketentuan Pasal 28I ayat (1) Perubahan UUD 1945 jika
ditemukan cara lain yang lebih manusiawi dalam pelaksanaan pidana mati
daripada ditembak mati, misalnya dengan cara suntik mati.
2. Dilihat dari sudut fungsinya, DPR GR sama dengan DPR karena sama-sama
memiliki fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan, namun dilihat dari
proses pembentukannya, kedua lembaga itu berbeda karena anggota DPR
GR ditunjuk oleh Presiden, sedangkan anggota DPR dipilih meialui proses
pemilihan umum yang demokratis.
3. Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati tidak dibuat dengan pemikiran yang mendalam bahwa pelaksanaan
pidana mati dengan cara ditembak mati merupakan cara yang paling tepat,
paling efektif dan paling manusiawi. Pertimbangan memilih pelaksanaan
pidana mati dengan cara ditembak mati mencontoh ketentuan Gunsei
Keizirei, khususnya ketentuan Pasal 5, yang dikeluarkan 1 Januari 1944 oleh
Pemerintah Kolonial Jepang, dan Staatblad 1945 Nomor 123 yang dibuat
Pemerintah Kolonial Belanda yang mengatur bahwa pelaksanaan pidana
mati dilakukan dengan cara ditembak mati.
4. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati dipilih karena dianggap
lebih praktis dan memiliki efek psikologis yang lebih ringan bagi eksekutor
pidana mati karena menembak mati dilakukan secara bersama-sama oleh 1
regu tembak. Dengan kata lain, pelaksanaan pidana mati dengan cara
5. Belum digantinya atau diperbaruinya Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (sebagaimana diperintahkan
konsideran) sampai hari ini merupakan kelalaian pembentuk undang-undang
dan karena undang-undang tersebut tidak menjadi prioritas badan legislatif.
RUU KUHP menentukan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan
ditembak mati oleh regu tembak yang dilakukan tidak di depan umum.
Namun, KUHP menetapkan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan
masa percobaan 10 tahun.

Keterangan Tertulis Ahli Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H.


Pelaksanaan Hukuman mati di Indonesia, baik ketika dilakukan dengan cara
digantung ataupun dengan cara ditembak mati (pada jantung), tidak pernah
dilakukan secara terbuka (on public), yang ada justru dilakukan secara rahasia
dengan pembatasan yang sangat ketat terhadap pihak-pihak yang boleh
menyaksikannya. Dengan tata cara pelaksanaan hukuman mati serupa itu, tidak
memberi ruang bagi masyarakat umum untuk menyampaikan penilaian
(judgement) tentang penerimaan ataupun penolakannya. Dengan demikian tidak
dapat ditarik suatu kesimpulan apakah tata cara hukuman mati dengan cara
ditembak mati itu (telah) merupakan suatu "living law" bagi masyarakat
Indonesia ataukah tidak;
Ini berbeda dengan hukuman mati dan tata cara pelaksanaan hukuman mati di
beberapa Negara Timur Tengah yang dilakukan di muka publik (on public).
Misalnya di Negara Arab Saudi, salah satu tempat pelaksanaan hukuman mati
ini adalah di halaman sebuah masjid bernama Masjid Qishash setelah selesai
ibadah shalat jumat, yang disaksikan oleh jamaah shalat jumat tersebut ataupun
masyarakat luas. Dalam hal ini, baik jenis hukuman mati maupun tata cara
hukuman mati dengan dipancung pada lehernya, dan hal tersebut benar-benar
merupakan "the living law" dan praktis tidak pernah diperdebatkan atau
dipersoalkan oleh masyarakat luas atau kaum intelektual di sana;
Tata cara yang masih dipraktikkan di dunia untuk menghukum mati terpidana
adalah:
1. Digantung (hanging)
Berlaku di beberapa Negara Timur Tengah seperti Jordan, Irak, Iran,
Negaranegara asia seperti India, Malaysia, Singapura, Jepang. Di Negara
Amerika Serikat terdapat hanya di dua negara bagian saja yang menjadikan
hukuman gantung sebagai opsi cara menghukum mati, yaitu Negara Bagian
Washington dan New Hampshire, dan masih banyak lagi dipraktikkan di
negara-negara lain;
2. Dipenggal pada leher (decapitation) Berlaku di beberapa Negara Timur
Tengah antara lain di Arab Saudi, Iran, Qatar, dan Yaman;
3. Ditembak (shooting) Berlaku antara lain di Negara Libya, Palestina, Yaman,
Afghanistan, Vietnam, Republik Rakyat China, Taiwan, Indonesia dan
beberapa negara lainnya.Tembakan dilakukan pada kepala bagian belakang
atau leher, atau jantung terpidana;
4. Strum listrik (electrocution atau the electric chair) Berlaku sebagai suatu
opsi hukuman mati di Amerika Serikat untuk beberapa negara bagian saja,
yaitu Alabama, Florida, South Carolina, Kentucky, Tennessee dan Virginia;
5. Ruang gas (gas chamber) Berlaku di Amerika Serikat untuk beberapa
negara bagian, yaitu Colorado, Nevada, Missisippi, New Mexico, North
Carolina dan Oregon, serta menjadi cara alternatif menghukum mati di
beberapa negara bagian lainnya;
6. Suntik Mati (lethal injection) Metode hukuman ini mulai dikenal pada abad
20 yang ditemukan dan dikembangkan oleh Negara Amerika Serikat,
diterima oleh lebih dari 30 negara bagiannya. Cara ini juga mulai dianut
oleh RRC (1997), Guatemala (1950, Philipina (1999), Thailand (2003), dan
Taiwan (2005); Secara resmi tidak diperoleh jawaban atas pertanyaan
mengapa dahulu Indonesia menggunakan tata cara hukuman mati dengan di
gantung (Pasal 11 KUHP) kemudian menjadi ditembak mati (UU Nomor
2/Pnps/1964). Faktor pemerintahan yang “militeristik” dan sangat dekat
dengan pemerintahan RRC pada akhir pemerintahan Soekarno waktu itu,
barangkali menjadi jawaban atas perubahan penggunaan hukuman mati dari
digantung menjadi ditembak mati. Bagi militer, hukuman mati dengan
ditembak adalah suatu cara mati yang terhormatdibandingkan cara-cara
lainnya. Yang jelas metode hukuman mati dengan cara ditembak mulai
ditinggalkan pada abad 20 ini; Cara hukuman mati dengan ditembak
memang merupakan cara yang paling banyak digunakan di negara-negara
yang masih menerapkan hukuman mati. Hingga tahun 2000, ada 69 negara
yang memberlakukan tata cara tembak mati (shooting). Namun tata cara ini
cenderung untuk berganti ke tata cara lain yang dipandang lebih baik.
Negara China misalnya, kini menerapkan dua jenis metode hukuman mati,
yaitu tembak mati dan suntik mati. Demikian halnya peralihan mulai
diterapkan oleh Negara Guatemala dan Thailand dari hukuman tembak mati
(shooting) ke suntik mati (lethal injection). Di Amerika Serikat sudah
hampir semua negara bagian memberlakukan tata cara suntik mati;
Mengenai hukuman mati dengan cara dipenggal kepala merupakan pilihan
baik untuk diterapkan di Indonesia, menurut ahli, apabila alat untuk
memenggal (biasanya berupa pedang atau kampak) benar-benar tajam
(sharp) dan teknik memukul yang dilakukan oleh algojo (executioner) tepat
pada sasaran, maka cara hukuman mati dengan memenggal leher ini dikenal
yang paling sedikit menimbulkan rasa sakit (painlessness) bagi terpidana;
Mengacu pada praktik di Arab Saudi sesuai ketentuan hukum Islam
(syari'ah/Islamic law) pelaksanaan hukuman mati dilakukan di depan publik
(on public). Mengapa? Sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir atau
membuat jera (detterent effect): bagi pelaku dimaksudkan untuk membuat
jera ataupun melenyapkan kemampuannya mengulang perbuatan pidana;
bagi orang lain semata untuk membuat jera. Di samping itu, pemberian
sanksi dimaksudkan sebagai jawabir atau penghapus dosa di akhirat. Tata
cara hukuman mati dengan dipenggal lehernya inilah yang paling cepat
menimbulkan kematian. Dari keterangan dokter yang ahli peroleh, begitu
kepala terpisah dari tubuh dalam waktu 2 hingga 3 detik kesadaran total
langsung hilang, hal ini karena supply darah ke otak langsung terhenti.
Selanjutnya manusia akan meninggal dalam waktu 60 detik setelah
kesadarannya hilang akibat kejutan yang extreem disertai dengan anoxia
(hilangnya oksigen secara tiba-tiba) yang diikuti dengan hilangnya tekanan
darah. Studi lain telah menghitung bahwa otak manusia hanya bisabertahan
hidup selama 7 detik semenjak kepalanya terputus;
Berkait dengan pilihan tata cara hukuman mati, di Amerika Serikat
khususnya dibeberapa negara bagian yang masih memberlakukan metode
hukuman mati dengan cara tembak mati dan ruang gas; memberlakukan
pilihan kepada terpidana mati. Di Indonesia meskipun tidak ada pilihan
serupa namun dalam praktiknya terpidana mati juga diberikan pilihan kecil,
apakah ditembak dalam keadaan duduk, berdiri atau berlutut;
Dalam hukum Islam, ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan
(missal dilempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara
membunuhnya atau diqishash, yaitu membunuh dengan memukul pakai
batu dibalas dengan dibunuh pakai batu juga), ada juga tata cara yang
dilarang (misalnya dengan dibakar hidup-hidup, disalib hidup-hidup), ada
juga yang tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang
otoritas yang menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana
mati merupakan hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang
tidak berupa bentuk
pilihan tata cara hukuman mati yang dilarang (menurut agama Islam) dan
tetap dilakukan di depan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek
jera(zawajir/detterent effect).
[2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 11 September 2008, Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan
keterangan, yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai
berikut:

I. POKOK PERMOHONAN
1. Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada dasarnya Pemohon
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman
Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum
dan Militer, karena menurut Pemohon undang-undang a quo dapat
menimbulkan suatu keadaan di mana terpidana mati (Amrozi, Cs.)
mendapatkan penyiksaan dengan cara ditembak sampai mati oleh regu
tembak, dan karenanya ketentuan a quo, menurut Pemohon dianggap
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Selain mengajukan permohonan pengujian materiil (materiele
toetsingrecht) diatas, Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian
formil (formele toetsingrecht), karena menurut Pemohon Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer,
yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969, maka pembentukannya menurut Pemohon dianggap
tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Selanjutnya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 11 KUHP mestinya
masih berlaku, sehingga Pemohon mengajukan permohonan agar
hukuman mati dilaksanakan dengan melaksanakan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 11 KUHP tersebut, bukan dengan melaksanakan
ketentuan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati.
4. Pemohon juga mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya
memohon agar Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan provisi yang
isinya menunda pelaksanakan eksekusi pidana mati terhadap Pemohon
oleh Kejaksaan Agung sebelum putusan Mahkamah Konstitusi, atau
setidak-tidaknya sampai diadakannya perubahan undang-undang yang
baru.

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON.


Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar
seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi
dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yang diuji.
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah
memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat , yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Atas hal-hal tersebut di atas, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan
kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan
Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Hukuman Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Umum dan Militer. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,
dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut
Pemerintah, permohonan Pemohon tidak jelas dan tidak focus (obscuurlibels),
utamanya dalam menguraikan/menjelaskan dan mengkonstruksikan telah
timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan
undang-undang a quo, karena pada kenyataannya Pemohon sampai saat ini
dalam keadaan sehat walafiat dan baik-baik saja, dengan perkataan lain
Pemohon saat ini tidak dalam keadaan telah/sedang disiksa (dilakukan
penyiksaan) guna persiapan eksekusi mati oleh Kejaksaan sebagai eksekutor.
Menurut Pemerintah, Pemohon hanya menceriterakan suatu situasi/gambaran
“yang seolah-olah terjadi penyiksaan” pada saat dilakukan eksekusi mati oleh
regu tembak, padahal menurut Pemerintah ketentuan Pasal 1 dan Pasal 14 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Umum dan Militer, hanya memberikan penegasan apakah tereksekusi telah
benar-benar meninggal/mati, guna menghindarkan rasa sakit (bukan
penyiksaan) yang terlalu lama bagi terpidana mati.
Pemerintah juga berpendapat bahwa Pemohon tidak konsisten dalam
mengajukan permohonan pengujian ini, disatu sisi Pemohon menyatakan
bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer dianggap
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disisi lain Pemohon hanya
menginginkan agar pelaksanaan eksekusi hukuman mati tersebut dilakukan
dengan cara-cara lain yang lebih baik guna mempermudah kematian
tereksekusi, misalnya, dengan dipancung, disuntik mati dan lain-lain. Jika
demikian, maka hal tersebut berkaitan erat dengan penerapan (implementasi)
suatu undang-undang, dan karenanya menurut Pemerintah hal tersebut tidak
berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji.
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat
dan/atau telah timbul kerugian nyata pada hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan
oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, karena itu
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian
ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.
Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN


PENGUJIANUNDANG-UNDANG NOMOR 2/PNPS/1964 TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI.
Menurut Pemohon ketentuan Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang
menyatakan:
Pasal 1:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang
ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati,
yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau
peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut
ketentuanketentuan dalam pasal-pasal berikut”.
Pasal 14:
1) Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa Tinggi/Jaksa
tersebut dalam pasal 4 memerintahkan untuk memulai pelaksanaan
pidana mati.
2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari
terpidana.
3) Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu
Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan
menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk
membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya
ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan
tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan
tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya
pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta
bantuan seorang dokter.

Baik secara formiil maupun materiil oleh Pemohon dianggap bertentangan


dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan, “ Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hak nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun”.

Sehubungan dengan anggapan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah


dapatmenyampaikan penjelasan sebagai berikut:
a. Terhadap pengujian formil (formele toetsingrecht)
Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan Pemohon bahwa
pembahasan dan pembentukan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang telah
ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1969, dianggap tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, Pemerintah
juga tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan
undang-undang a quo kontradiksi dengan ketentuan Pasal 11 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan penjelasan sebagai
berikut: Hubungan antara Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dengan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan
di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer [in casu Pasal 1 dan Pasal
14 ayat (4)].
Pasal 11 KUHP menyatakan: “Pidana mati dijalankan oleh algojo di
tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri”.
Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, menyatakan:
Pasal 1:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana
yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan
pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati,
menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut”.
Pasal 14 ayat (4):
“Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan
tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan
tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya
pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.”
Ketentuan di atas, dianggap duplikasi dengan ketentuan Pasal 11 KUHP
dan dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah
dapat menjelaskan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, tidak secara eksplisit mengatur
tentang pencabutan Pasal 11 KUHP (vide Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964), sehingga seolah-olah terdapat dua pilihan cara
pelaksanaan pidana mati, yaitu dengan cara digantung berdasarkan
Pasal 11 KUHP atau dengan cara ditembak sampai mati berdasarkan
2. Bahwa sejarah hukum Indonesia pada kurun waktu pasca Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan tahun 1966 ,terjadi
ketidaktertiban dalam pembentukan tata urutan (hirarki) peraturan
perundang-undangan yang menyebabkan adanya produk hukum
yang tidak tertib dan tumpang tindih. Hal ini terjadi sebagai
konsekuensi logis dari perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem
parlementer yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 ke sistem presidensial berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang antara lain menyatakan
“memberlakukan kembali UUD 1945 dengan alasan keadaan
darurat/luar biasa (staatsnoodrecht) karena Konstituante bersama-
sama manifesto gagal menetapkan Undang-Undang Dasar untuk
menggantikan UUD’S 1950”. Sejak saat itu produk hukum di bidang
peraturan perundang-undangan termasuk tata urutannya menjadi
tidak tertib dan tumpang tindih. Namun demikian ketidaktertiban
dan ketumpangtindihan tersebut tidak berarti proses pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak didasarkan pada Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat
lembaga tinggi negara pembentuk undang-undang (DPR) yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, melalui Pemilu belum ada, maka pembuatan
undang-undang dalam kurun waktu tersebut mendasarkan pada Pasal
IV Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum diamandemen.
4. Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi, “Sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP)”. Dengan demikian berdasarkan
Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen),
kekuasaan membentuk undangundang dijalankan oleh Presiden
dengan bantuan KNIP. Akan tetapi karena KNIP telah bubar
bersamaan dengan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada tanggal 27 Desember 1949, maka selama kurun waktu
antara tahun 1959 (pasca Dekrit Presiden) sampai dengan 1966,
kekuasaan membentuk undang-undang dijalankan sendiri oleh
Presiden. Keadaan inilah oleh sebagian ahli dianggap sebagai
“subjectief staatnoodrecht” atau keadaan yang luar biasa.
5. Berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut lahirlah
PENPRES yang daya berlakunya setingkat dengan undang-undang.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sejak lahirnya orde baru
tanggal 11 Maret 1966, keinginan untuk melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara murni
dan konsekwen sangat kuat sekali. Dengan memahami kurun waktu
tersebut, seluruh rakyat dan bangsa Indonesia bertekad untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 secara murni dan konsekuen. Segala usaha diupayakan
agar semua lembaga kenegaraan dan lembaga pemerintahan
melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan UUD 1945,
termasuk di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan
beserta tata urutannya (hierarkinya). Namun demikian, disadari
bahwa DPR hasil Pemilu yang didasarkan UUD 1945 belum ada,
oleh karena itu dibentuk DPRGR yang bersifat sementara untuk
melaksanakan tugas dan fungsi membentuk undangundang. Hal
tersebut sangat penting agar pembentukan undang-undang tidak
dilaksanakan sendiri oleh Presiden, yang jika hal tersebut terjadi,
maka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Bahwa setelah terjadi pergantian kekuasaan, diadakan penertiban
produk hukum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 yang memuat hierarki peraturan perundang-
undang. Kemudian dalam perjalanannya Ketetapan MPRS tersebut
dijadikan dasar hukum untuk melakukan legislative review terhadap
produk hukum di bawah undang-undang, khususnya yang
diterbitkan oleh Presiden. Hasil legislative review tersebut dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang memuat daftar
produk hukum Penetapan Presiden (Pnps) yang ditetapkan untuk
dipertahankan dan dinaikkan statusnya sebagai undang-undang,
dijadikan bahan pembuatan undang-undang di masa yang akan
datang, dan sebagian di antaranya dinyatakan dicabut.
7. Bahwa Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk kategori
Penetapan Presiden yang ditetapkan untuk dipertahankan dan
dinaikkan statusnya menjadi undang-undang, kemudian cara
penyebutannya menjadi Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
(konsonan ”Pnps” menunjukkan bahwa undang-undang tersebut
berasal dari Penetapan Presiden).
8. Selanjutnya kedudukan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tersebut secara konstitusional menjadi sah sebagai undang-undang
berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (pasca amandemen) yang berbunyi,
“segala peraturan perundang-undangan yang masih ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”.
9. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 memuat norma
hukum tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang tidak sama
dengan norma hukum yang dimuat dalam Pasal 11 KUHP, dan
Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tersebut tidak secara eksplisit
mencabut Pasal 11 KUHP, maka menurut Pemerintah kedudukan
norma hukum yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964 harus dipandang sebagai norma hukum yang terbit
kemudian (hukum baru) sedangkan Pasal 11 KUHP sebagai hukum
lama.
10. Bahwa sesuai dengan asas hukum (lex posterioris derogat legi
priori), maka jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit
norma hukum baru yang kedudukannya sederajat yang memuat
substansi yang sama atau menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak
memuat norma yang bertentangan, maka berlakulah norma hukum
yang baru (dalam hal ini Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati).
11. Bahwa pendapat Pemohon yang menyatakan secara formil Undang-
Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Hukuman bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, karena proses penetapannya tidak
sesuai dengan proses penetapan menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah pendapat yang
keliru, tidak benar dan tidak konsisten, karena:
a. Bahwa Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 Tahun 1964 telah
disahkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969;
b. Bahwa proses penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
dilakukan sesuai dengan kondisi ketatanegaraan Republik
Indonesia yang ada pada waktu itu (yang masih belum memiliki
DPR hasil pemilihan umum);
c. Bahwa Pemohon telah bersikap tidak konsisten. Disatu sisi
Pemohon mengakui Pasal 11 KUHP sebagai ketentuan hukum
yang (masih) berlaku secara sah, padahal proses penetapan
KUHP, baik oleh Pemerintah Hindia Belanda, maupun oleh
Pemerintah RI pasca kemerdekaan pada tahun 1946, jelas tidak
sesuai dengan proses penetapan undang-undang sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, karena baik pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda, maupun pada tahun 1946, negara Indonesia
masih belum memiliki DPR yang dibentuk sebagai hasil
pemilihan umum.
d. Selain itu, jika anggapan Pemohon tersebut benar adanya dan
permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
menurut Pemerintah dapat menimbulkan kekacauan hukum
(legal chaos), karena saat ini masih banyak undang-undang yang
masih berlaku di Indonesia, tetapi proses penetapannya
dilakukan oleh DPR-GR yang bukan DPR hasil Pemilihan
Umum. Misalnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan lain
sebagainya.

Atas hal-hal tersebut di atas, terhadap pelaksanaan eksekusi pidana mati


berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hukuman Mati), dan undang-undang tersebut secara
materiil diutamakan dan meniadakan keberlakuan norma yang dimuat
dalam Pasal 11 KUHP sebagai norma hukum lama.
Dengan demikian menurut Pemerintah, Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer,
yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 telah sesuai dengan semangat pembentukan
peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (vide dasar “menimbang”
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969).

b. Terhadap pengujian materiil (materiele toetsingrecht) tentang frase


“dilakukan dengan ditembak sampai mati “ (Pasal 1) dan “Apabila
setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda
bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan
kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir
dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat
di atas telinganya” [Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati], yang
dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hak nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut:
1. Pengertian Ditembak sampai Mati.
1) Bahwa pengertian “ditembak sampai mati” sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 adalah ditembak
tepat pada jantung terpidana mati. Hal ini berdasarkan asumsi
bahwa jantung sebagai tanda hidup yang utama dalam kehidupan
manusia, maka tembakan tepat pada jantung manusia adalah
sasaran yang sangat mematikan dan dapat mempercepat proses
kematian.
2) Bahwa jika ternyata setelah ditembak jantungnya, terpidana mati
masih memperlihatkan tanda-tanda belum mati, baru kemudian
ditembak pada bagian kepalanya. Tembakan pada bagian kepala
ini sebagai tembakan pengakhir (pamungkas), karena itu,
menurut Pemerintah tembakan di kepala terpidana mati,
dimaknai:
a. Tembakan tepat pada jantung terpidana mati adalah
tembakan yang dipastikan mematikan.
b. Tembakan tepat pada kepala terpidana mati tidak diperlukan,
apabila tembakan jantung langsung mematikan terpidana
mati.
c. Tembakan tepat pada kepala terpidana mati dilakukan
sebagai tembakan pengakhir dan hanya dilakukan apabila
tembakan pada jantung tidak langsung mematikan (atau
masih ada tanda-tandabelum mati).
d. Tembakan tepat pada kepala terpidana mati sebagai
tembakan pengakhir tersebut, dimaksudkan agar terpidana
mati tidak mengalami proses sakit yang terlalu lama.
2. Adakah unsur penyiksaan dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati?,
Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut:
a. Bahwa menimbulkan perasaan sakit sudah pasti ada dalam
pelaksanaan eksekusi pidana mati, karena seseorang dari keadaan
hidup dan sehat, kemudian tidak bernyawa/mati yang dilakukan
secara sengaja dengan cara ditembak mati, maka sudah pasti ada
proses sakit.
b. Bahwa sakit atau proses sakit berbeda dengan penyiksaan,
meskipun keduanya mengalami keadaan yang sama, yaitu sakit.
Sakit adalah suatu keadaan yang tidak mengenakan (dalam hal
kesehatan) yang dialami oleh seseorang. Penyiksaan adalah
keadaan sakit pada diri seseorang yang dilakukan secara sengaja.
Sakit atau perasaan sakit dengan penyiksaan menurut hukum
pidana berbeda. Sakit atau perasaan sakit adalah proses alamiah
dan jika ada tindakan manusia secara sengaja, tujuannya bukan
untuk menyakitkan, melainkan sakit tersebut konsekuensi logis
atau sebagai proses untuk tujuan yang dibenarkan oleh hukum.
c. Contoh, seseorang sakit gula kemudian diamputasi kakinya,
tindakan amputasi kaki akan menimbulkan rasa sakit tetapi rasa
sakit tersebut bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai resiko
atau proses untuk mencapai tujuan lain yang tidak melanggar
hukum. Sedangkanpenyiksaan adalah keadaan sakit pada diri
seseorang yang dengan sengaja dilakukan oleh orang lain tanpa
hak dan perbuatan tersebut termasuk sebagai perbuatan yang
melawan hukum. Misalnya memukul, menginjak-injak,
memotong bagian tubuh dan lain sebagainya.
d. Sehingga menurut Pemerintah, sakit atau proses sakit pasti akan
dialami oleh terpidana mati yang dieksekusi mati secara sengaja
dengan cara apapun. Sakit atau proses sakit yang dialami oleh
terpidana mati setelah dieksekusi bukanlah tindakan penyiksaan
dan tidak dimaksudkan untuk melakukan penyiksaan, melainkan
sebagai proses kematian secara alamiah.
e. Bahwa pada dasarnya sangatlah sulit untuk membuat proses mati
yang tidak melalui proses sakit (walaupun didunia kedokteran
dikenal “euthanasia” bagi pasien yang tidak kunjung sembuh
dari sakit, maka pasien dapat meminta dokter ”untuk mengakhiri
mati dengan cara nikmat”).
f. Pertanyaannya adalah bagaimana cara menentukan pelaksanaan
eksekusi pidana mati, apakah termasuk kategori sangat sakit,
sakit, kurang sakit atau tidak sakit, niscaya terpidanalah yang
merasakannya (tetapi terpidananya sudah mati). Sehingga bagi
yang masih hiduplah yang dapat mengira-ngira apakah dengan
ditembak mati, digantung, dipancung, disetrum listrik, mana
yang lebih tinggi kadar rasa sakitnya.
g. Menurut Pemerintah, eksekusi mati dengan cara ditembak
sampai mati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964, dipandang sebagai cara eksekusi atau proses
kematian yang lebih cepat dibandingkan dengan cara digantung
(sesuai Pasal 11 KUHP).
h. Bahwa dalam melakukan eksekusi, terpidana harus mengetahui
bahwa eksekusi mati akan dilaksanakan, karena itu pelaksanaan
eksekusi tidak dapat dilakukan apabila terpidana mati: dalam
keadaaan tidak sehat atau tidak sadar; dalam keadaan hamil;
sedang tidur; atau tidak mengetahui eksekusi pidana mati akan
dilaksanakan (secara diam-diam).
3. Bahwa Pemohon sama sekali tidak menjelaskan pelaksanaan
hukuman mati yang macam apa yang dapat membebaskan terpidana
mati dari rasa sakit sehingga terbebas/terhindar dari “kesan” adanya
penyiksaan sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 28I ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Disisi lain Pemohon lebih menyukai (memilih) pelaksanaan eksekusi
hukuman mati dengan cara menggantung terpidana mati di tiang
gantungan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 11 KUHP daripada
dengan cara ditembak sampai mati sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Hukuman Mati, tetapi Pemohon tidak menjelaskan secara rinci dan
pasti apakah pelaksanaan eksekusi mati dengan digantung di tiang
gantungan matinya tidak menyakitkan dan benar-benar terbebas dari
rasa sakit?.
Dari uraian di atas, Pemerintah dapat menyimpulkan bahwa
pengertian sakit atau rasa sakit bagi terpidana mati yang sedang
menjalani eksekusi pidana mati tidak termasuk kategori penyiksaan
atau penganiayaan, karena pada hakikatnya pelaksanaan eksekusi
pidana mati tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit, tetapi
sebagai konsekuensi logis dari proses kematian atas putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat
(inkracht van gewijsde).
Sehingga menurut Pemerintah, Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, baik secara
formiil maupun matriil tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan karenanya tidak merugikan hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon.
Selain penjelasan/argumentasi tersebut di atas, berkaitan dengan
permohonan putusan provisi yang dimohonkan oleh Pemohon,
Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi tidak mengenal adanya putusan provisi (vide Pasal 56
s.d 57).
2. Putusan provisi bertujuan untuk “memberi petunjuk-petunjuk
mengenai perkara dan yang bermaksud untuk mempersiapkan
keputusan akhir tanpa mempengaruhi pokok perkara” (vide
Pasal 48 Reglemen Acara Perdata S.1847 – 52 juncto 1849 –63),
sedangkan permohonan Pemohon dalam putusan provisi
menyatakan agar pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda
sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi, atau setidak-
tidaknya sampai diadakannya perubahan undang-undang yang
baru.
Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang berkaitan
dengan putusan provisi, menurut Pemerintah adalah permohonan
yang tidak berdasar.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan
5. Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan
seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.4] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang


diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2008, yang
pada pokoknya tetap dalil-dalil Pemohon, yang selengkapnya terlampir dalam
berkas perkara;
[2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi dipersidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa permasalahan hukum utama yang diajukan dalam


permohonan Pemohon adalah pengujian formil dan materiil Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer,
khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1964 Nomor 38, selanjutnya disebut UU 2/Pnps/1964) yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang, sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) harus mempertimbangkan terlebih
dahulu:
1. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk bertindak selaku
pemohon dalam permohonan a quo. Terhadap kedua hal tersebut,
Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk, antara lain, menguji undang-undang terhadap
UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-
undang in casu UU 2/Pnps/1964 yang semula merupakan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang
telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969 (selanjutnya disebut UU 5/1969) terhadap UUD 1945. Oleh karena itu,
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Bahwa untuk dapat diterima sebagai pihak dalam pengujian undangundang
terhadap UUD 1945, Pemohon terlebih dahulu harus:
a. menjelaskan kedudukannya apakah sebagai perorangan warga Negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga
negara;
b. menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam
kedudukan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas.
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah dalam putusannya, yaitu sejak Putusan Nomor
006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007
tanggal 20 September 2007 hingga saat ini, berpendapat bahwa untuk dapat
dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi
syarat-syarat:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang telah dijatuhi
pidana mati dalam perkara Bom Bali, memiliki hak konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak untuk tidak disiksa sebagaimana diatur
dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun.” Bahwa berdasarkan permohonan Pemohon dihubungkan dengan
ketentuan dalam Pasal 51 UU MK, maka secara prima facie Pemohon
dipandang memenuhi syarat hukum untuk mengajukan permohonan a quo,
terkecuali jikalau dalam pertimbangan pokok permohonan kerugian hak
konstitusional Pemohon yang secara prima facie dianggap terpenuhi, dalam
pertimbangan pokok permohonan terbukti sebaliknya;
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Pemohon telah memenuhi kualifikasi
sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi secara khusus Mahkamah harus
mempertimbangkan informasi yang sudah diketahui oleh umum secara luas
tentang pernyataan Pemohon in person melalui Metro TV dalam program Metro
Realitas dan media lainnya yang ditayangkan secara berulang-ulang bahwa
Pemohon sesungguhnya tidak pernah mempermasalahkan atau berkehendak
untuk mempersoalkan tata cara pelaksanaan pidana mati, sehingga oleh
karenanya Mahkamah perlu menilai kembali kebenaran materiil Surat Kuasa
Pemohon;
[3.9] Menimbang bahwa permohonan Pemohon telah didasarkan pada surat kuasa
yang sah untuk mengajukan permohonan pengujian, akan tetapi perlu
ditegaskan apakah dengan pernyataan di media massa tersebut Pemohon
berkehendak untuk mengubah sikap dan bermaksud untuk menarik
permohonannya. Oleh karena Pemohon tidak pernah secara resmi menarik
kembali surat kuasa dan para Kuasa Hukum Pemohon tidak pernah menarik
kembali permohonan, maka Mahkamah berpendapat bahwa
pernyataanpernyataan yang dikemukakan di luar persidangan tidak perlu
dipertimbangkan, sehingga selanjutnya Mahkamah harus memeriksa Pokok
Permohonan.

Tentang Permohonan Provisi

[3.10] Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam Pokok


Permohonan, Pemohon juga mengajukan permohonan provisi, agar
Mahkamah berkenan menyampaikan pemberitahuan kepada Kejaksaan Agung
Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon
dalam rangka mengikuti proses pengujian undang-undang yang sementara
dalam proses persidangan di Mahkamah, dengan alasan-alasan sebagai
berikut:
a. untuk menjaga hak konstitusional Pemohon tidak hilang, maka merupakan
suatu kebijakan yang arif dan tepat apabila Mahkamah berkenan
menyampaikan pemberitahuan kepada pihak Kejaksaan Agung selaku
eksekutor putusan pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon dalam rangka proses
pengujian undang-undang yang sedang diajukan;
b. bahwa di samping itu, dasar hukum pengajuan penghentian eksekusi yang
akan dilaksanakan Kejaksaan Agung selaku eksekutor perkara pidana
adalah Pasal 55 dan Pasal 63 UU MK, di mana Mahkamah memiliki
kewenangan yang diberikan untuk mengeluarkan penetapan yang
memerintahkan kepada pemohon atau termohon untuk menghentikan
sementara pelaksanaan kewenangan dalam sengketa kewenangan lembaga
negara;
c. bahwa dari segi pelaksanaan kewenangan, Mahkamah juga harus
mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan apakah sangat berpengaruh
atau tidak terhadap Pemohon, apabila kewenangan hukum Kejaksaan
sebagai unsur Pemerintah tetap dilaksanakan, maka otomatis permohonan
a quo menjadi gugur dengan sendirinya, sehingga tidak memberikan fair
trial terhadap Pemohon dan kesempatan Pemohon untuk mengetahui
apakah permohonannya dikabulkan atau tidak, maka sama saja dengan
melanggar hak-hak Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”;
d. Dengan ditundanya pelaksanaan eksekusi mati terhadap Pemohon tidak
akan menyebabkan hapusnya pidana mati terhadap Pemohon itu sendiri
dan penundaan eksekusi Pemohon tidak akan memakan waktu lama.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan provisi Pemohon tersebut,
Mahkamah memberi pertimbangan sebagai berikut:
a. bahwa UU MK tidak mengenal permohonan provisi dalam pengujian
undangundang;
b. bahwa dalam setiap pengujian undang-undang, undang-undang yang diuji
tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-
undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (vide Pasal 58 UU MK);
c. bahwa ketentuan permohonan provisi dikenal dalam perkara sengketa
kewenangan lembaga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UU MK
yang menyatakan, ”Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan
yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”;
d. bahwa mekanisme suatu permohonan provisi sifatnya harus penting dan
mendesak;
e. bahwa permohonan provisi adalah permohonan yang bersifat sementara
dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok permohonan.
[3.12] Menimbang, berdasarkan pertimbangan hukum dalam paragraf [3.11] di atas,
Mahkamah berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan provisi yang
diajukan oleh Pemohon tidak berdasar dan beralasan hukum, sehingga
permohonan provisi tidak dapat diterima.

Pokok Permohonan

[3.13] Menimbang, selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah


apakah UU 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak
memenuhi syarat-syarat formil pembentukan undang-undang yang ditentukan
dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat
(4) UU 2/Pnps/1964 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 (uji
materiil), dengan alasan-alasan sebagai berikut:
[3.13.1] bahwa dalam pengujian formil, Pemohon mendalilkan:
• bahwa UU 2/Pnps/1964 merupakan undang-undang yang
pembentukannya didasarkan pada Penetapan Presiden Republik
Indonesia, yang menjadi undang-undang karena diundangkannya UU
5/1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang;
• bahwa UU 2/Pnps/1964 adalah undang-undang yang pembentukannya
dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden Republik Indonesia
dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong,
yang menurut Pemohon Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR) bukan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud
oleh UUD 1945, karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan
Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19
Perubahan UUD 1945, anggotanya dipilih melalui
• pemilihan umum;
• bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Perubahan UUD 1945, namun
pembentukan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 tidak sesuai dengan
Pasal 20 UUD 1945, dengan demikian tata cara pelaksanaan pidana
mati dengan ditembak hingga mati oleh regu penembak, yang selama
ini dijalankan di Negara Republik Indonesia, merupakan tata cara yang
didasarkan pada undang-undang yang pembentukannya tidak sesuai
dengan UUD 1945.
[3.13.2] bahwa dalam pengujian materiil, Pemohon mendalilkan:
• bahwa Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/Pnps/1964
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1) yang
berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun”;
• bahwa Pasal 1 UU 2/Pnps/1964, menentukan bahwa pidana mati
dengan cara ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati.
Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan
diterima oleh terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali
tembakan” namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati.
Dengan demikian, terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum
terpidana akhirnya mati;
• bahwa Pasal 14 ayat (4) UU 2/Pnps/1964 lebih memberikan penegasan
atas kemungkinan tidak terjadinya kematian dalam satu kali tembakan,
sehingga diperlukan tembakan pengakhir, dengan kalimat undang-
undang yang berbunyi, “Apabila setelah penembakan, terpidana
masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka
Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu
Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir...”; Sebelum
tembakan pengakhir tersebut, berarti undang-undang a quo mengakui
bahwa terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam keadaan
tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah, sehingga
dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya mati oleh
tembakan pengakhir;
• bahwa di samping hal-hal tersebut di atas, regu tembak juga diberi
tugas untuk mengeksekusi terpidana menurut UU 2/Pnps/1964
diharuskan membidik pada jantung terpidana [vide Pasal 14 ayat (3)
UU 2/Pnps/1964], namun pada Pasal 14 ayat (4) UU 2/Pnps/1964
menentukan untuk mengarahkan tembakan pengakhir dengan
menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas
telinganya. Dengan demikian, tata cara ini tidak memberikan kepastian
akan “tiadanya penyiksaan” dalam proses kematian terpidana. Jika
menurut pembentuk undang-undang yang bisa mengakibatkan
kematian langsung adalah tembakan di atas telinga terpidana, mengapa
ada tata cara yang mengharuskan membidik pada jantung. Artinya,
pembentuk undangundang tidak meyakini bahwa tembakan pada
jantung akan mengakibatkan kematian langsung, sehingga ada
ketentuan Pasal 14 ayat (4) undang-undang a quo;
• bahwa meskipun seorang warga negara Indonesia berstatus terpidana
mati, menurut UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1), tetap dijamin
hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan
menggunakan tata cara pelaksanaan pidana mati berdasarkan UU
2/Pnps/1964 merupakan pelanggaran atas hak konstitusionalnya,
dengan demikian undang-undang a quo materinya jelas bertentangan
dengan UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon di samping


mengajukan bukti-bukti tertulis (P-1 sampai dengan P-7), yang selengkapnya
telah termuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini, juga mengajukan
saksi dan ahli-ahli yang telah didengar keterangannya, serta keterangan
tertulis ahli sebagaimana telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara Putusan
ini, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

[3.14.1] Keterangan Saksi Pemohon Pastur Charlie Burrows


Bahwa saksi adalah seorang Rohaniwan yang mendampingi terpidana
mati Antonius dan Samuel pada saat eksekusi dilakukan, dan waktu
itu, saksi diberi kesempatan untuk maju dan membuka kain hitam
yang menutup kepala untuk berdoa bersama Antonius dan Samuel.
Antonius kemudian bercerita bahwa hatinya telah siap untuk
meninggalkan dunia ini;
Bahwa sebelum dilaksanakan eksekusi tembak mati, dokter memasang
kain hitam persis di jantung sebagai tanda bagi regu tembak, kemudian
saksi diperintahkan mundur 1 (satu) meter di belakang dua regu
penembak dan setelah itu dibacakan terlebih dahulu semacam berita
acara tentang vonisnya, dan selesai membaca vonis, 2 (dua) regu
menembak bersama-sama. Sesudah penembakan, Antonius maupun
Samuel mengerang kesakitan selama kurang lebih 7 (tujuh) menit dan
darah sudah mulai keluar dari jantungnya pelan-pelan dan agak lama,
tetapi yang sangat menimbulkan rasa terharu adalah erangan kesakitan
tersebut berlangsung lama. Kemudian kurang lebih 10 (sepuluh) menit
setelah penembakan, dokter memeriksa Samuel dan Antonius dan
mengatakan bahwa mereka sudah meninggal dunia, dan selanjutnya
dibawa untuk dilakukan otopsi.
Setelah itu jenazah dibersihkan dan dimasukkan ke dalam peti untuk
kemudian dimakamkan di Nusa Kambangan;
Bahwa eksekusi mati Antonius dan Samuel adalah eksekusi yang
pertama kali saksi menyaksikannya, di mana terpidana mati Antonius
dan Samuel diikat seperti mumi, dan erangan selama 7 (tujuh) menit
yang dialami oleh terpidana mati Antonius dan Samuel dirasakan
seperti siksaan;

[3.14.2] Keterangan Ahli dr. Sun Sunatrio (Ahli Anastesi)


Bahwa ahli adalah seorang dokter spesialis anestesiologi dan
intensive care, yang sehari-hari sering mengalami hal-hal yang
jarang dialami oleh dokter lain, yaitu kematian dan ahli paling sering
mendapati mati klinis, yang beberapa di antaranya dapat dihidupkan
kembali dengan cara resusitasi. Hal tersebut membuat ahli sangat
concern dengan definisi mati;
Bahwa definisi mati yang dianut oleh Indonesia adalah yang
dideklarasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia, yang juga sesuai
dengan yang dianut oleh Negara lain, walaupun ada sedikit
perbedaan;
Bahwa ada dua definisi mati, pertama, definisi klasik, yaitu
berhentinya fungsi spontan pernapasan dan sirkulasi yang pasti atau
dengan kata lain irreversible. Definisi klasik tersebut sama di
seluruh dunia. Kedua, bila seseorang mengalami mati batang otak,
maka dinyatakan mati walaupun jantungnya masih hidup, ginjalnya
masih berdenyut, termasuk hati dan paru-parunya. Mengenai definisi
kedua ini, di negara lain ada yang menganut mati otak, artinya,
menunggu seluruh otak mati baru kemudian dinyatakan mati;
Bahwa penembakan dalam hukum tembak memang target
sasarannya adalah jantung, tetapi dalam kenyataan belum tentu
jantung yang kena, dan kalau jantung yang kena, jantung langsung
hancur dan pecah, maka tidak ada sirkulasi darah, sehingga dalam
waktu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik orang tersebut akan
pingsan. Dengan demikian kalau pun dia mengerang, hanya dalam 7
(tujuh) sampai 11 (sebelas) detik saja. Tetapi kalau yang terkena
bukan jantung, melainkan sekitarnya maka orang tersebut baru
pingsan setelah shock, setelah banyak darah keluar. Dari waktu 7
(tujuh) menit tersebut, kemungkinan yang terkena adalah pembuluh
besar di dekat jantung, tidak terkena jantungnya. Kalau jantung yang
terkena tembakan, terpidana langsung pingsan dan dalam waktu 15
(lima belas) detik kemudian bisa dinyatakan mati. Menurut ahli,
kalau ditembak
tepat di kepala kemudian terkena otak, maka saat itu juga per definisi
langsung mati;
Bahwa kalau yang ditembak kepala dan otaknya langsung hancur,
maka saat itu juga langsung mati. Sedangkan kalau dipenggal
lehernya berarti ada tenggang waktu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas)
detik kemudian total pingsan; waktu tersebut sama jika ditembak
yang tepat terkena jantung yaitu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik
sejak sirkulasi berhenti;
Bahwa suntik mati sudah banyak dipakai di negara di dunia ini, dan
menurut ahli ada beberapa yang harus dikritisi. Di Amerika Serikat
yang melakukan bukan dokter dan bukan perawat. Oleh karena
dokter dan perawat terikat oleh etika, sehingga yang melakukan
adalah orang-orang yang tidak terlatih. Hal demikian merupakan
kelemahan, tetapi andaikata hal tersebut benar, prosesnya adalah
terpidana mati dipasang dua infus melalui vena, satu sebagai
cadangan (back up), kemungkinan satu sebelah kiri dan satu sebelah
kanan. Setelah dipasang infuse dengan Na Cl fisiologis kemudian
dimasukkan obat bius yang namanya Topental sebanyak 5 gram.
Perlu diketahui, kalau ahli membius hanya untuk sekedar membuat
tidur maka hanya membutuhkan dosis kira-kira ¼ (seperempat) gram
sampai 0,3 gram. Dengan demikian dosis 5 (lima) gram hampir
dipastikan akan terbius, apalagi dosisnya toxic, artinya, orang yang
diberikan dosis 5 (lima) gram tersebut langsung pingsan dan
langsung nafasnya berhenti;
Bahwa setelah nafasnya berhenti dan pingsan dimasukkan obat
kedua, yaitu obat yang melemaskan otot-otot yang namanya
Pavulon, diberikan sebanyak 8 (delapan) milligram yang biasanya
dosis yang dipakai adalah 4 milligram untuk orang dewasa. Dengan
8 (delapan) miligram sudah pasti semua otot rangkanya akan
berhenti. Otot rangka adalah otot lurik, yaitu otot yang dapat
diperintah, tetapi otot polos dan otot jantung tidak berhenti.
Andaikata terjadi kesalahan, oleh karena yang menyuntik bukan
ahlinya, maka obatnya bisa keluar. Kalau obatnya keluar dan
menembus otot bisa sakit sekali, tetapi dalam waktu beberapa menit
terpidana akan lemas, tidak kelihatan sakitnya walaupun mungkin
dia masih sadar karena obatnya tidak masuk atau masih sadar karena
dosisnya kurang, sebab orang yang menjelang kematian sangat
tegang sekali dan dosis adrenalin yang dikeluarkan tubuh tinggi
sekali, sehingga susah ditidurkan dibandingkan orang biasa. Jadi,
ada kemungkinan orang tersebut masih sadar, dan menurut
penelitian di Amerika ada beberapa yang kemungkinan masih sadar.
Kalau orang tersebut belum terbius, maka akan merasakan pada
waktu disuntik otot menjadi lemas, tidak bisa bernafas, perasaannya
tercekik, sehingga mengakibatkan tersiksanya terpidana mati;
Bahwa obat ketiga yang disuntikan adalah potassium chloride
(potassium klorida) dengan dosis 50 (lima puluh) cc, maksudnya
supaya jantung berhenti. Jika pada waktu disuntikkan potasium
klorida terpidana belum tertidur, maka akan dirasakan sakit sekali
seperti serangan jantung karena mekanismenya sama, yaitu tidak
adanya oksigen dalam jantung. Mengenai adanya orang yang masih
sadar ketika disuntik potasium klorida juga diyakini oleh majalah
Land Health di Amerika Serikat bahwa setelah memeriksa kadar
benetol dalam darah, diyakini ada beberapa yang mungkin sekali
sadar. Dibandingkan dengan tata cara hukuman mati yang lainnya,
disuntik mati kelihatannya lebih elegan, asal benar caranya. Akan
tetapi agak sulit oleh karena dokter dan perawat tidak boleh terlibat
dalam proses tersebut, kecuali kalau nanti ada perubahan;
Bahwa kalau dipenggal leher memiliki rasa sakit hanya sebentar,
yaitu dalam hitungan detik antara 7 (tujuh) sampai 12 (dua belas)
detik. Kalau ditembak mati memiliki waktu bervariasi. Jika tidak
terkena jantung bisa setengah jam, tetapi kalau tepat terkena
jantungnya dalam waktu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik. Dengan
demikian ditembak mati yang terkena jantung dan dipenggal leher
memiliki waktu yang sama;
Bahwa dengan cara digantung kalau dilakukan secara benar, yaitu
posisi tinggi rendahnya dan talinya juga harus diukur ketepatannya,
sehingga mengakibatkan patah leher, maka waktu yang dibutuhkan
sama dengan dipenggal leher, tetapi kenyataannya jarang terjadi oleh
karena mungkin ototnya kuat sehingga tidak langsung patah dan
akhirnya hanya seperti orang dicekik. Kalau orang dicekik, maka
akan tetap sadar kira-kira sampai 5 (lima) menit. Setelah 5 (lima)
menit kemudian pingsan, sehingga bisa merasakan dan meronta-
ronta, serta mungkin membuang air besar, mata mendelik, lidah
terjulur, dan sebagainya;

[3.14.3] Keterangan Ahli dr. Jose Rizal Yurnalis, SpBO. (Ahli Bedah
Orthopedi)
Bahwa ahli adalah ahli bedah orthopedic dan thromatologic yang
sering melakukan operasi dan berhubungan dengan anastesi, serta
sering melihat proses pembiusan. Ahli juga merupakan relawan
medis untuk daerah-daerah konflik, seperti Tual, Ambon, Saparua,
Halmahera Utara, Aceh, kemudian di luar negeri seperti Thailand
Selatan, Mindanau, Afghanistan, Irak, dan Libanon Selatan.
Sehingga ahli sering melihat proses kematian, baik melalui proses
medis maupun di lapangan;
Bahwa dalam konflik Maluku, karena peperangannya horizontal
maka yang digunakan adalah senjata tajam dan paling sering terjadi
adalah penebasan leher. Kalau di Afghanistan, Libanon, Irak, dan
Mindanau adalah luka tembak, luka bom, dan luka bakar;
Bahwa berdasarkan pengalaman ahli, kalau yang ditembak dengan
peluru tajam, dia masih hidup kemudian pelan-pelan meninggal,
tentu dengan erangan kesakitan, jika tidak tepat dijantungnya. Akan
tetapi, bila tepat di jantungnya maka jantung akan pecah dan
langsung meninggal. Kalau menyerempet, kemudian bila terkena
vena cava atau arteri artha atau misalnya terkena paru-paru akan
memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Kadang-kadang memakan
waktu ½ (setengah) jam, 1 (satu) jam, bahkan sampai 1 (satu) hari.
Sedangkan kalau ditebas, ahli tidak melihat proses penebasannya,
ahli hanya melihat hasilnya, dan menurut yang menyaksikan orang
yang ditebas lehernya langsung meninggal;
Bahwa sebagai seorang dokter, ahli berpendapat, secara ilmiah,
pusat kehidupan adalah di otak terutama di batang otak. Sedangkan
jantung mempunyai semacam trafo sendiri. Kalau jantung dipotong
kemudian diangkat keluar masih bisa berdenyut, tetapi kalau
dihancurkan batang otaknya atau diputuskan batang otaknya dari
otak atau dari bagian bawahnya itu, dapat langsung berhenti
pernafasan dan berhenti cardio vasculer. Pendapat ahli prinsipnya
sama dengan ahli dokter Sun Sunatrio, hanya ahli melihat batang
otak itu mempunyai peranan yang sangat sentral;
Bahwa secara anatomi, pusat kehidupan diatur sentral di batang otak.
Jika sasarannya adalah batang otak, maka yang bisa menyelesaikan
batang otak ada dua, yaitu hukuman gantung dan hukuman pancung,
dan yang lebih cepat adalah hukuman pancung.

[3.14.4] Keterangan Ahli K.H. Mudzakir (Ahli Hukum Islam)


Bahwa dalam peperangan, orang Islam tetap dilarang untuk
melakukan mencincang atau menyiksa musuh sebelum dibunuh.
Sebelum maupun sesudah mati, musuh tidak boleh diperlakukan
dengan jelek. Artinya, disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang
sesudah dia mengalami kematian. Bahkan untuk menyembelih
binatang pun Islam mengajarkan agar kita melakukan dengan baik.
Sebagai salah satu contoh, hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
”Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas segala
sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara
membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka
baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di
antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa
menenangkan binatang sembelihan.” Hadis tersebut merupakan
hadis yang shahih yang dimuat dalam Sahih Muslim. Kalau syariat
menetapkan bahwa boleh dilakukan pembunuhan, maka
pembunuhan hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik,
yang tidak memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan. Untuk
menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap
manusia;
Bahwa soal kaitannya dengan ditembak mati, kalau memang
ditembak mati ternyata dapat dibuktikan bahwa tidak mengalami
penderitaan sekaligus juga dia mengalami kematian, maka hal
tersebut dibenarkan menurut aturan Islam. Misalnya, bila dengan
disentil kupingnya orang dapat cepat mati, maka hal tersebut yang
harus dilakukan. Tetapi sepanjang diketahui dari apa yang pernah
terjadi, tidak didapatkan cara-cara hukuman mati dengan ditembak
merupakan cara yang tepat;
Bahwa menurut ahli, berdasarkan keterangan saksi Pastur Charlie
Burrows, tata cara ditembak mati merupakan cara yang tidak baik,
sebab kita tidak berhak menyiksa, apalagi bila membuat kesakitan.
Musuh pun tidak boleh disiksa. Boleh membunuh musuh, tetapi
tidak boleh menyiksa terlebih dahulu atau dicincang setelah mati.
Seandainya dapat dibuktikan bahwa cara dipancung lebih baik,
seperti banyak ulama dari kalangan muslim putuskan, maka harus
dilakukan dengan cara dipancung dan cara yang lain tidak boleh
dilakukan;
Bahwa dalam syariat Islam, jika syariat sudah menetapkan hal
tersebut boleh dilakukan, maka boleh dilakukan, tetapi jika syariat
menetapkan tidak boleh dilakukan, maka tidak boleh dilakukan.
Hukum Indonesia tidak sama dengan hukum Islam, misalnya ada
seseorang melakukan perzinahan sementara dia sudah menikah,
maka dalam hukum Islam harus dihukum, sedangkan di luar hukum
Islam harus ada salah satu yang menuntut terlebih dahulu. Sehingga,
kalau ada seseorang melakukan perzinahan lalu dihukum dengan
hukum Indonesia, maka dia belum terbebas menurut syariat Islam.
Oleh karena itu, seseorang yang melakukan kejahatan di Indonesia
kemudian dihukum dengan undang-undang berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau undang-undang lain
yang berlaku, tidak membebaskannya dari tanggung jawab di
hadapan Allah,
karena syariat Islam belum ditegakkan atas dirinya;
Bahwa tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara
lainnya, selain dengan dipancung, masih menimbulkan rasa sakit
yang luar biasa, di samping ada unsur menyiksa dan merendahkan
manusia. Oleh karena itu, menurut ahli, berdasarkan pilihan ulama
sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung maka ahli
memandang tidak ada cara pelaksanaan pidana mati yang lebih baik,
kecuali dengan dipancung.

[3.14.5] Keterangan Ahli Dr. Rudi Satrio, S.H., M.H. (Ahli Pidana)
Bahwa perkembangan pelaksanaan pidana mati di Indonesia berawal
dari Pasal 11 KUHP yang dilaksanakan dengan digantung, tetapi
berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964
yang menentukan pelaksanaannya dengan cara ditembak hingga
mati. Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan pidana mati dengan cara
digantung tidak sesuai dengan perkembangan, kemajuan, dan
keadaan, yang dapat ditafsirkan atau dapat diartikan bahwa tata cara
hukuman mati pun harus lebih cepat membawa kematian, serta lebih
sedikit menimbulkan derita ataupun siksaan;
Standar pelaksanaan pidana mati tersebut apabila dikaitkan dengan
UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang
berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan
dengan kejam tidak manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat
manusia” mengandung kriteria bahwa pidana mati dapat
dilaksanakan jika tidak kejam atau merendahkan martabat manusia
itu sendiri;
Bahwa terkait dengan persoalan pelaksanaan pidana mati, menurut
ahli, harus dilakukan cara terbaik untuk terpidana, dalam arti tidak
menyiksa dengan mempercepat proses kematian. Berdasarkan
perkembangan pengetahuan dan teknologi, perlu dipertimbangkan
jalan yang terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan lebih
cepat pelaksanaannya. Hal tersebut merupakan suatu sifat dari
undang-undang agar setiap saat tidak menutup kemungkinan adanya
perubahanperubahan tata cara pelaksanaan pidana mati;
Pelaksanaan pidana mati sebagaimana diatur dalam Pasal 11 KUHP
yang dilakukan oleh algojo dengan cara digantung, setelah adanya
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, pelaksanaannya harus
disesuaikan dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964,
sebagaimana termuat dalam Pasal 18 Bab IV Ketentuan Peralihan
dan Penutup, yang mengatakan, “Pidana mati yang dijatuhkan
sebelum penetapan ini yang masih harus dilaksanakan,
diselenggarakan menurut penetapan ini”;
Bahwa seandainya pidana mati dengan cara ditembak hingga mati
dinyatakan inkonstitusional dengan alasan terdapat jangka waktu
kematian yang dianggap sebagai penyiksaan, menurut ahli, hal
tersebut tidak berarti Pasal 11 KUHP kembali berlaku, melainkan
harus dicarikan cara yang terbaik, terbenar, tercepat, dan tidak
menyiksa terpidana atau mungkin cara berdasarkan pilihan terpidana
mati.

[3.14.6] Keterangan Tertulis Ahli Dr. Salman Luthan, S.H., M.H.


Pengajuan hak uji materil terhadap UU 2/Pnps/1964 merupakan hak
konstitusional Pemohon karena pelaksanaan undang-undang tersebut
akan merugikan kepentingan hukum dirinya. Dalil pengajuan hak uji
materil sudah tepat karena undang-undang tersebut dapat dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi, khususnya ketentuan Pasal 28I ayat
(1) Perubahan UUD 1945, jika ditemukan cara lain yang lebih
manusiawi dalam pelaksanaan pidana mati daripada ditembak mati,
misalnya dengan cara suntik mati;
Dilihat dari sudut fungsinya, DPR GR sama dengan DPR karena
samasama memiliki fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan,
namun dilihat dari proses pembentukannya, kedua lembaga itu
berbeda karena anggota DPR GR ditunjuk oleh Presiden, sedangkan
anggota DPR dipilih melalui proses pemilihan umum yang
demokratis; UU 2/Pnps/1964 tidak dibuat dengan pemikiran yang
mendalam bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak
mati merupakan cara yang paling tepat, paling efektif, dan paling
manusiawi. Pertimbangan memilih pelaksanaan pidana mati dengan
cara ditembak mati mencontoh ketentuan Gunsei Keizirei,
khususnya ketentuan Pasal 5, yang dikeluarkan 1 Januari 1944 oleh
Pemerintah Kolonial Jepang, dan Staatblad 1945 Nomor 123 yang
dibuat Pemerintah Kolonial Belanda yang mengatur bahwa
pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak mati;
Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati dipilih karena
dianggap lebih praktis dan memiliki efek psikologis yang lebih
ringan bagi eksekutor pidana mati karena menembak mati dilakukan
secara bersama-sama oleh 1 (satu) regu tembak. Dengan kata lain,
pelaksanaan pidana mati dengan cara menembak mati lebih
berorientasi kepada kepentingan eksekutor hukuman mati daripada
kepentingan terpidana mati;
Belum digantinya atau diperbaruinya UU 2/Pnps/1964 (sebagaimana
diperintahkan oleh konsideran) sampai hari ini merupakan kelalaian
pembentuk undang-undang, karena undang-undang tersebut tidak
menjadi prioritas badan legislatif untuk diperbarui. RUU KUHP
menentukan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak
mati oleh regu tembak yang dilakukan tidak di depan umum.
Namun, RUU KUHP menetapkan pelaksanaan pidana mati dapat
ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun.

[3.14.7] Keterangan Tertulis Ahli Muhammad Luthfie Hakim, S.H.,


M.H.
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, baik ketika dilakukan
dengan cara digantung ataupun dengan cara ditembak mati (pada
jantung), tidak pernah dilakukan secara terbuka (on public), yang
ada justru dilakukan secara rahasia dengan pembatasan yang sangat
ketat terhadap pihak-pihak yang boleh menyaksikannya. Dengan tata
cara pelaksanaan hukuman mati serupa itu, tidak memberi ruang
bagi masyarakat umum untuk menyampaikan penilaian (judgement)
tentang penerimaan ataupun penolakannya. Dengan demikian tidak
dapat ditarik suatu kesimpulan apakah tata cara hukuman mati
dengan cara ditembak mati itu (telah) merupakan suatu "living law"
bagi masyarakat Indonesia ataukah tidak;
Ini berbeda dengan hukuman mati dan tata cara pelaksanaan
hukuman mati di beberapa Negara Timur Tengah yang dilakukan di
muka publik (on public). Misalnya di Negara Arab Saudi, salah satu
tempat pelaksanaan hukuman mati ini adalah di halaman sebuah
mesjid bernama Mesjid Qishash setelah selesai ibadah shalat jumat,
yang disaksikan oleh jamaah shalat jumat tersebut ataupun
masyarakat luas. Dalam hal ini, baik jenis hukuman mati maupun
tata cara hukuman mati dengan dipancung pada lehernya, dan hal
tersebut benar-benar merupakan "the living law" dan praktis tidak
pernah diperdebatkan atau dipersoalkan oleh masyarakat luas atau
kaum intelektual di sana;
Tata cara yang masih dipraktikkan di dunia untuk menghukum mati
terpidana adalah: digantung (hanging), dipenggal pada leher
(decapitation), ditembak mati (shooting), disetrum listrik
(electrocution atau the electric chair), dimasukkan dalam ruang gas
(gas chamber) dan disuntik mati (lethal injection); Secara resmi
tidak diperoleh jawaban atas pertanyaan mengapa dahulu Indonesia
menggunakan tata cara hukuman mati dengan di gantung (Pasal 11
KUHP) kemudian menjadi ditembak mati (UU 2/Pnps/1964). Faktor
pemerintahan yang “militeristik” dan sangat dekat dengan
pemerintahan RRC pada akhir pemerintahan Soekarno waktu itu,
barangkali menjadi jawaban atas perubahan penggunaan hukuman
mati dari digantung menjadi ditembak mati. Bagi militer, hukuman
mati dengan ditembak adalah suatu cara mati yang terhormat
dibandingkan cara-cara lainnya. Yang jelas, metode hukuman mati
dengan cara ditembak mulai ditinggalkan pada abad 20 ini;
Cara hukuman mati dengan ditembak memang merupakan cara yang
paling banyak digunakan di negara-negara yang masih menerapkan
hukuman mati. Hingga tahun 2000, ada 69 negara yang
memberlakukan tata cara ditembak mati. Namun, tata cara ini
cenderung untuk berganti ke tata cara lain yang dipandang lebih
baik. Negara Cina misalnya, kini menerapkan dua jenis metode
hukuman mati, yaitu tembak mati dan suntik mati. Demikian halnya
peralihan mulai diterapkan oleh negara Guatemala dan Thailand dari
hukuman ditembak mati ke suntik mati. Di Amerika Serikat sudah
hampir semua negara bagian memberlakukan tata cara suntik mati;
Mengenai hukuman mati dengan cara dipenggal kepala merupakan
pilihan baik untuk diterapkan di Indonesia, menurut ahli, apabila alat
untuk memenggal (biasanya berupa pedang atau kampak) benar-
benar tajam (sharp) dan teknik memukul yang dilakukan oleh algojo
(executioner) tepat pada sasaran, maka cara hukuman mati dengan
memenggal leher ini dikenal yang paling sedikit menimbulkan rasa
sakit (painlessness) bagi terpidana. Supply darah ke otak langsung
terhenti. Selanjutnya, manusia akan meninggal dalam waktu 60 detik
setelah kesadarannya hilang akibat kejutan yang ekstrim disertai
dengan anoxia (hilangnya oksigen secara tiba-tiba) yang diikuti
dengan hilangnya tekanan darah. Studi lain telah menghitung bahwa
otak manusia hanya bisa bertahan hidup selama 7 (tujuh) detik
semenjak kepalanya terputus;
Dalam hukum Islam, ada tata cara hukuman mati yang telah
ditentukan (misal dilempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas
sesuai dengan cara membunuhnya atau di-qishash, yaitu membunuh
dengan memukul menggunakan batu dibalas dengan dibunuh
menggunakan batu juga. Ada juga tata cara yang 65 dilarang
(misalnya, dengan dibakar hidup-hidup, disalib hidup-hidup), ada
juga yang tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah
pemegang otoritas yang menentukan. Oleh karena itu, pemberian
pilihan bagi terpidana mati merupakan hal yang wajar diberikan
pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk pilihan tata cara
hukuman mati yang dilarang (menurut agama Islam) dan tetap
dilakukan di depan masyarakat luas (on public) demi memberikan
efek jera (zawajir/detterent effect).

[3.15] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan Presiden


(Pemerintah), yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara Putusan
ini, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Terhadap pengujian formil (formele toetsingrecht)
a. Bahwa sejarah hukum Indonesia pada kurun waktu pasca Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan 1966, terjadi ketidaktertiban
dalam pembentukan tata urutan (hierarki) peraturan perundang-
undangan yang menyebabkan adanya produk hukum yang tidak tertib
dan tumpang tindih. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari
perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem parlementer yang
didasarkan kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ke
sistem presidensial berdasarkan UUD 1945;
b. Bahwa setelah terjadi pergantian kekuasaan, diadakan penertiban
produk hukum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 yang memuat hierarki peraturan perundang-
undangan. Kemudian dalam perjalanannya, Ketetapan MPRS tersebut
dijadikan dasar hukum untuk melakukan legislative review terhadap
produk hukum di bawah undang-undang, khususnya yang diterbitkan
oleh Presiden. Hasil legislative review tersebut dimuat dalam UU
5/1969 yang memuat daftar produk hukum Penetapan Presiden
(PNPS) yang ditetapkan untuk dipertahankan dan dinaikkan statusnya
sebagai undang-undang, dijadikan bahan pembuatan undang-undang
di masa yang akan datang, dan sebagian di antaranya dinyatakan
dicabut;
c. Bahwa Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk kategori
penetapan presiden yang ditetapkan untuk dipertahankan dan
dinaikkan statusnya menjadi undang-undang, kemudian cara
penyebutannya menjadi UU 2/Pnps/1964 (konsonan ”Pnps”
menunjukkan bahwa undang-undang tersebut berasal dari Penetapan
Presiden);
d. Selanjutnya kedudukan UU 2/Pnps/1964 tersebut secara konstitusional
menjadi sah sebagai undang-undang berdasarkan Pasal I Aturan
Peralihan UUD 1945 (pasca amandemen) yang berbunyi, “Segala
peraturan perundang-undangan yang masih ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”;
e. Bahwa dalam UU 2/Pnps/1964 memuat norma hukum tentang tata-
cara pelaksanaan pidana mati yang tidak sama dengan norma hukum
yang dimuat dalam Pasal 11 KUHP, dan UU 2/Pnps/1964 tersebut
tidak secara eksplisit mencabut Pasal 11 KUHP, maka menurut
Pemerintah, kedudukan norma hukum yang dimuat dalam UU
2/Pnps/1964 harus dipandang sebagai norma hukum yang terbit
kemudian (hukum baru), sedangkan
f. Pasal 11 KUHP sebagai hukum lama;
g. Bahwa sesuai dengan asas hukum (lex posteriori derogat legi priori),
maka jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma
hukum baru yang kedudukannya sederajat yang memuat substansi
yang sama atau menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat
norma yang bertentangan, maka berlakulah norma hukum yang baru
(dalam hal ini UU 2/Pnps/1964);
h. Dengan demikian UU 2/Pnps/1964 yang telah ditetapkan menjadi
undangundang dengan UU 5/1969 telah sesuai dengan semangat
pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945
(vide dasar “Menimbang” UU 5/1969).
2. Terhadap pengujian materiil
a. Bahwa pengertian “ditembak sampai mati” sebagaimana diatur dalam
UU 2/Pnps/1964 adalah ditembak tepat pada jantung terpidana mati.
Hal ini berdasarkan asumsi bahwa jantung sebagai tanda hidup yang
utama dalam kehidupan manusia, maka tembakan tepat pada jantung
manusia adalah sasaran yang sangat mematikan dan dapat
mempercepat proses kematian;
b. Bahwa jika ternyata setelah ditembak jantungnya, terpidana mati
masih memperlihatkan tanda-tanda belum mati, baru kemudian
ditembak pada bagian kepalanya. Tembakan pada bagian kepala ini
sebagai tembakan pengakhir (pamungkas), karena itu, menurut
Pemerintah, tembakan di kepala terpidana mati, dimaknai:
1) Tembakan tepat pada jantung terpidana mati adalah tembakan
yang dipastikan mematikan;
2) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati tidak diperlukan,
apabila tembakan jantung langsung mematikan terpidana mati;
3) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati dilakukan sebagai
tembakan pengakhir dan hanya dilakukan apabila tembakan
pada jantung tidak langsung mematikan (atau masih ada tanda-
tanda belum mati);
4) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati sebagai tembakan
pengakhir tersebut, dimaksudkan agar terpidana mati tidak
mengalami proses sakit yang terlalu lama.
c. Terkait ada tidaknya unsur penyiksaan dalam pelaksanaan eksekusi
pidana mati.
a) Bahwa menimbulkan perasaan sakit sudah pasti ada dalam
pelaksanaan pidana mati, karena seseorang dari keadaan hidup dan
sehat, kemudian tidak bernyawa/mati yang dilakukan secara
sengaja dengan cara ditembak mati, maka sudah pasti ada proses
sakit;
b) Bahwa sakit atau proses sakit berbeda dengan penyiksaan,
meskipun keduanya mengalami keadaan yang sama, yaitu sakit.
Sakit adalah suatu keadaan yang tidak mengenakkan (dalam hal
kesehatan) yang dialami oleh seseorang. Penyiksaan adalah
keadaan sakit pada diri seseorang yang dilakukan secara sengaja.
c) Bahwa sakit atau proses sakit pasti akan dialami oleh terpidana
mati yang dieksekusi mati secara sengaja dengan cara apapun.
Sakit atau proses sakit yang dialami oleh terpidana mati setelah
dieksekusi bukanlah tindakan penyiksaan dan tidak dimaksudkan
untuk melakukan penyiksaan, melainkan sebagai proses kematian
secara alamiah;
d) Bahwa pada dasarnya sangatlah sulit untuk membuat proses mati
yang tidak melalui proses sakit (walaupun didunia kedokteran
dikenal “euthanasia” bagi pasien yang tidak kunjung sembuh dari
sakit, maka pasien dapat meminta dokter ”untuk mati dengan cara
nikmat”);
e) Pertanyaannya adalah bagaimana cara menentukan pelaksanaan
pidana mati, apakah termasuk kategori sangat sakit, sakit, kurang
sakit atau tidak sakit, niscaya terpidanalah yang merasakannya
(tetapi terpidananya sudah mati), sehingga bagi yang masih
hiduplah yang dapat mengira-ngira apakah dengan ditembak mati,
digantung, dipancung, disetrum listrik, mana yang lebih tinggi
kadar rasa sakitnya;
f) Menurut Pemerintah, eksekusi mati dengan cara ditembak sampai
mati sebagaimana diatur dalam UU 2/Pnps/1964, dipandang
sebagai cara eksekusi atau proses kematian yang lebih cepat
dibandingkan dengan cara digantung (sesuai Pasal 11 KUHP).
g) [3.16] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah
mengajukan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 16 Oktober 2008, keterangan tertulis
tersebut terlambat disampaikan dan melampaui tenggat yang
ditentukan, namun isi keterangannya mutatis mutandis pada
pokoknya sama dengan keterangan yang diberikan oleh
Pemerintah.
h)
Pendapat Mahkamah Tentang Pengujian Formil

[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU


2/Pnps/1964, yang pada pokoknya mendalilkan bentuk hukum dan prosedur
pembentukan UU 2/Pnps/1964 tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945,
sehingga mohon agar Mahkamah menyatakan UU 2/Pnps/1964 secara
keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.18] Menimbang, terhadap permohonan pengujian formil tersebut Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:
a. bahwa dari bentuk hukumnya, memang benar UU 2/Pnps/1964 semula
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam UUD
1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan
nama Penetapan Presiden, namun hal tersebut telah dikoreksi dengan UU
5/1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan
Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. Kedua Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tersebut berisi perintah
untuk melakukan peninjauan kembali terhadap status hukum atas
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Konsiderans UU 5/1969
berbunyi, “bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang
berbentuk Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan
Presiden yang telah dikeluarkan sejak tanggal 5 Juli 1959” dan “bahwa
Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang
materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan
sebagai Undang-undang”. Oleh karena itu, dengan UU 5/1969, Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk Penetapan Presiden (Penpres)
yang dinyatakan sebagai undang-undang, yaitu menjadi UU 2/Pnps/1964,
sehingga bentuk hukumnya sudah sesuai dengan UUD 1945. Kata “Pnps”
sekedar sebagai tanda bahwa undang-undang dimaksud berasal dari
Penetapan Presiden. Dinyatakannya beberapa Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden, termasuk Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964
menjadi undang-undang, menunjukkan bahwa isinya masih sesuai dengan
aspirasi rakyat karena merupakan pembaruan terhadap ketentuan Pasal 11
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
b. bahwa dari prosedur pembentukannya, Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1964 tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang
tidak mengenal produk hukum yang bernama “Penetapan Presiden”. Akan
tetapi, setelah UU 5/1969 menyatakan UU 2/Pnps/1964 berlaku, maka
prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR, dalam hal ini DPR GR sebagai DPR yang sah pada awal
Orde Baru sebelum DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Presiden dan
DPR GR yang membentuk UU 5/1969 yang menyatakan Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2/Pnps/1964 adalah Presiden
dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke
Orde Baru dan telah diterima dan diakui oleh rakyat Indonesia;
c. bahwa Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan yang
berbunyi, “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini” dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 setelah perubahan
yang berbunyi, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”, yang menjadi dasar keberlakuan UU 2/Pnps/1964
sampai sekarang, karena undang-undang yang baru yang mengatur tentang
tata cara pelaksanaan pidana mati belum ada;
d. bahwa dengan demikian, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil
tidak beralasan, sehingga harus ditolak.

Tentang Pengujian Materiil

[3.19] Menimbang bahwa meskipun dalam petitum Pemohon hanya mengajukan


permohonan pengujian formil, akan tetapi karena dalam posita dan proses
pembuktian yang diajukan oleh Pemohon lebih berkaitan dengan uji materiil
undang-undang, maka Mahkamah mempertimbangkan juga permohonan
pengujian materiil Pemohon atas undang-undang a quo;
[3.20] Menimbang bahwa sepanjang mengenai pengujian materiil UU 2/Pnps/1964,
khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) terhadap Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945, Pemohon mendalilkan, hukuman mati yang dilakukan dengan
cara ditembak hingga mati, menimbulkan pengertian, kematian yang
diterima oleh terpidana tidak sekaligus terjadi dalam ”satu kali tembakan”,
namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati, sehingga terjadi
penderitaan yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati, padahal
terpidana mati pun tetap memiliki hak konstitusional untuk tidak disiksa.
Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah memberi pendapat sebagai
berikut:

[3.20.1] bahwa ukuran yang harus dipedomani tentang penyiksaan harus


mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak
Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) yang berlaku di
Indonesia, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishmen (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
penyiksaan adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari
orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang
telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
pihak ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang
ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut
ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau
sepengetahuan siapapun dan/atau pejabat publik”. Definisi
penyiksaan tersebut telah merujuk dan mengutip sepenuhnya Pasal 1
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut
di atas.
[3.20.2] bahwa alasan Indonesia menjadi negara pihak dalam konvensi yang
menentang penyiksaan tersebut di atas, antara lain disebutkan:
1) Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia dan UUD 1945 sebagai sumber dan landasan hukum
nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti
tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas
ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia
bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk
penyiksaan, sesuai dengan isi konvensi;
2) dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD
1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan
perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan
pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia. Namun, perundang-undangan
itu karena belum sepenuhnya sesuai dengan konvensi, masih
perlu disempurnakan.
[3.20.3] bahwa rasa sakit yang disebut sebagai penyiksaan, bukanlah sesuatu
yang terjadi secara alamiah dan wajar, melainkan dilakukan secara
sengaja dan melawan hukum untuk tujuan tertentu di luar kehendak
mereka yang disiksa. Rasa sakit yang timbul secara alamiah seperti
yang dialami oleh setiap wanita yang melahirkan dan orang yang
menjalani operasi karena tujuan medis tertentu tidaklah termasuk
dalam kategori penyiksaan. Terlebih-lebih lagi, rasa sakit yang
timbul dan melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah sesuatu
yang tidak dapat dihindari akan timbul dalam tiap cara pelaksanaan
pidana mati. Yang terjadi, sesungguhnya bukan karena pemilihan
tata cara pelaksanaannya, melainkan melekat dalam setiap pidana
mati yang dijatuhkan hakim, yang oleh Mahkamah telah dinyatakan
sebagai sesuatu yang konstitusional. Konvensi secara tegas
menyatakan bahwa rumusan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi
tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul
dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh satu sanksi hukum yang
berlaku.
[3.20.4] bahwa akan tetapi dalam pelaksanaan pidana mati, Mahkamah
berpendapat, ukuran yang juga harus dipedomani adalah untuk
menghindari pelaksanaan pidana mati yang menimbulkan
penderitaan terpidana tersebut secara berkepanjangan, dan juga
siksaan yang dirasakan, diukur bukan hanya dari sisi subjektif
terpidana sendiri, melainkan juga dari sisi objektif masyarakat, yang
akan melihat pokok persoalan demikian dari hal-hal berikut:
• bahwa ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara
pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak
manusiawi, dan tidak biasa, dapat dinilai dari pelaksanaan, yaitu:
(i) jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang
panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; (ii)
bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam
masyarakat; dan (iii) tidak menjaga dan mempertahankan harkat
martabat terpidana sebagai manusia;
• bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak hingga
mati tidak selalu terjadi sekaligus dalam ”satu kali tembakan”,
namun ada kalanya dilakukan dengan tembakan pengakhir,
karena tidak ada jaminan penembakan sekali oleh regu tembak
dapat menimbulkan kematian bagi terpidana. Dengan demikian,
tetap ada dua kemungkinan bahwa penembakan yang dilakukan
oleh regu tembak dapat langsung mematikan dan juga dapat
tidak langsung mematikan, hal mana telah menyebabkan bahwa
tata cara yang dilakukan dapat menimbulkan penderitaan yang
tidak diperlukan oleh terpidana untuk menimbulkan
kematiannya. Keterangan Saksi Pastor Charlie Burrows, yang
menerangkan bahwa Terpidana Antonius membutuhkan waktu 7
(tujuh) menit mengerang kesakitan sejak tembakan dilakukan ke
arah jantung baru dinyatakan meninggal, menimbulkan
pertanyaan apakah sesuai dengan ukuran yang diutarakan di atas
atau ada tata cara lain yang lebih memenuhi ukuran untuk
menghindarkan penderitaan yang tidak diperlukan untuk
menimbulkan kematian;
• bahwa keterangan para ahli yang diajukan oleh Pemohon telah
menyatakan adanya cara-cara pelaksanaan pidana mati lainnya
yang dikenal, yaitu dengan cara dipancung, dikursi listrik,
disuntik mati, digantung sampai mati, dan khusus menurut
hukum Islam dikenal juga dengan hukuman dirajam sampai mati.
Dari keterangan para ahli tersebut diketahui bahwa pidana mati
dengan disuntik mati yang dilakukan dengan didahului
pembiusan, kalau dilakukan oleh orang yang ahli tidak
menimbulkan penderitaan yang tidak perlu, sedangkan hukuman
pancung, kalau dilakukan di tempat yang tepat akan
menimbulkan kematian yang segera, karena dalam waktu 7
(tujuh) sampai dengan 12 (dua belas) detik berhentinya darah ke
otak akan menyebabkan kematian. Demikian juga hukuman
gantung, kalau letak tali tepat di batang leher dan berat badan
terpidana cukup, maka dampak kematian juga terjadi secara
cukup cepat;
• bahwa akan tetapi meskipun perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi perlu dimanfaatkan dalam penegakan hukum,
khususnya dalam tata cara pelaksanaan pidana mati, namun
berkurangnya penderitaan atau rasa sakit itu sendiri bukanlah
merupakan alasan yang cukup dalam menilai konstitusionalitas
norma dalam UU 2/Pnps/1964 tersebut, karena pelaksanaan
pidana mati dengan cara ditembak sampai mati juga
sesungguhnya dapat berlangsung secara cepat, sesuai dengan
keterangan ahli, apabila tembakan tepat mengenai jantung
terpidana. Sejalan dengan itu, berdasarkan keterangan para ahli
yang didengar dalam persidangan tidak ada satu cara pun yang
menjamin pelaksanaan pidana mati yang tidak menimbulkan rasa
sakit atau kematian dengan cepat;
• bahwa selain itu, baik pidana mati dengan cara dipancung,
digantung, maupun ditembak mati dapat menimbulkan efek
kematian secara cepat jika dilakukan dengan tepat. Akan tetapi,
cara pelaksanaan pidana mati haruslah mempertimbangkan
harkat dan martabat terpidana mati. Menurut Mahkamah, pidana
mati yang dilakukan dengan ditembak secara tepat dapat
menimbulkan kematian cepat dengan tetap menjaga harkat dan
martabat terpidana mati;
[3.21] Menimbang bahwa dengan seluruh uraian di atas, maka UU 2/Pnps/1964 yang
menentukan pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak, memang
menimbulkan rasa sakit yang melekat di dalam pelaksanaan pidana mati
sebagai akibat putusan hakim yang sah. Meskipun terdapat tata cara lain
dalam pelaksanaan pidana mati sebagaimana dikemukakan para ahli yang
dapat menimbulkan kematian lebih cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit
yang berkepanjangan, tetapi hal tersebut tidak berkaitan dengan
konstitusionalitas undang-undang yang diuji, karena dengan cara apapun bila
tidak dilakukan dengan tepat, akan menimbulkan rasa sakit, yang
mengesankan sebagai penyiksaan. Lagipula, sepanjang yang berhubungan
dengan tembakan pengakhir karena kegagalan tembakan pertama tidak
terdapat data-data yang membuktikan terjadinya kegagalan tersebut, sehingga
Mahkamah harus mengesampingkan.
Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seyogianya
dimanfaatkan dalam pencarian cara-cara pelaksanaan pidana mati yang lebih
manusiawi, cepat, dan tidak menimbulkan rasa sakit yang lama. Hal tersebut
merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk melakukan pengkajian
atas kemungkinan mengubah UU 2/Pnps/1964 agar lebih sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh pertimbangan tentang fakta dan hukum sebagaimana telah
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] bahwa dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil tidak beralasan,
sehingga harus ditolak;
[4.2] bahwa rasa sakit yang dialami oleh terpidana mati merupakan konsekuensi
logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan
pidana mati terhadap terpidana sesuai dengan tata cara yang berlaku,
sehingga tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati;
[4.3] bahwa dari berbagai alternatif tentang tata cara pelaksanaan pidana mati,
selain cara ditembak, seperti digantung, dipenggal pada leher, diestrum
listrik, dimasukkan ke dalam ruang gas, dan disuntik mati, semuanya
menimbulkan rasa sakit meskipun gradasi dan kecepatan kematiannya
berbeda-beda. Tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit
dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung risiko terjadinya
ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit. Namun,
hal itu bukan merupakan penyiksaan sebagaimana dimaksud Pasal 28I UUD
1945, sehingga Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan
Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka
permohonan Pemohon sepanjang pengujian materiil tidak beralasan menurut
hukum dan harus ditolak.

5. AMAR PUTUSAN

Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), maka
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Mengadili,
Menyatakan permohonan Pemohon baik mengenai pengujian formil maupun
pengujian materiil ditolak untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, pada
hari Rabu, tanggal lima belas bulan Oktober tahun dua ribu delapan, dan
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari ini, Selasa tanggal dua puluh satu bulan Oktober tahun dua ribu delapan, oleh
kami, Moh. Mahfud, MD selaku Ketua merangkap Anggota, Maruarar Siahaan,
H.M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Abdul Mukthie Fadjar, Jimly
Asshiddiqie, Maria Farida Indrati, H.M. Akil Mochtar, dan Achmad Sodiki,
masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai
Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili;

KETUA,
ttd.

Moh. Mahfud MD

ANGGOTA-ANGGOTA

ttd. ttd.
H.M. Arsyad Sanusi Maruarar Siahaan

ttd. ttd.
H. Abdul Mukthie Fadjar Muhammad Alim

ttd. ttd.
Maria Farida Indrati Jimly Asshiddiqie

ttd. ttd.
Achmad Sodiki H.M. Akil Mochtar

PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir

Anda mungkin juga menyukai