Anda di halaman 1dari 81

KESAKSIAN DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI

INDONESIA DAN HUKUM ACARA PIDANA ISLAM


( AnalisisPutusanMahkamahAgungNo. 193 PK/Pid.Sus/2010)

SKRIPSI
DiajukanKepadaFakultasSyariahdanHukumUntukMemenuhi Salah
SatuSyaratMemperolehGelarSarjanaSyariah( S. Sy )

Oleh :
Ahmad Daenury
NIM : 109043200004

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
Abstraksi

Salah satu bagian terpenting dalam proses pembuktian di persidangan perkara


pidana ialah pemeriksaan saksi. Saksi menjadi alat bukti utama untuk membuktikan
telah terjadinya suatu tindak pidana. Menurut KUHAP yang dimaksud dengan saksi
ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri. Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali
yang di larang oleh undang-undang salah satu nya yaitu keterangan saksi yang di
peroleh dari orang lain (testimonium de auditu). Keterangan saksi yang bersifat de
auditu dilarang penggunaan nya di karenakan tidak di dapat secara langsung
melainkan dari orang lain yang kebenarannya sangat di ragukan, padahal di dalam
hukum pidana yang di cari adalah kebenaran materil. Namun tidak serta merta
dilarang adakalanya kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti
petunjuk, seperti dalam putusan Mahkamah Agung No. 193 PK/Pid.Sus/2010.
Sedangkan dalam hukum acara Pidana Islam penggunaan kesaksian de auditu oleh
para Ulama dilarang penggunaanya sebagai alat bukti di persidangan.

Kata kunci: Kesaksian de auditu, Hukum Pembuktian, Hukum acara pidana di


Indonesia, Hukum acara pidana Islam, Putusan Mahkamah Agung Nomor 193
PK/Pid.Sus/2010.

Pembimbing: Kamarusdiana, S. Ag, MH.

Nahrowi, SH, MH.


Abstraksi

Salah satu bagian terpenting dalam proses pembuktian di persidangan perkara


pidana ialah pemeriksaan saksi. Saksi menjadi alat bukti utama untuk membuktikan
telah terjadinya suatu tindak pidana. Menurut KUHAP yang dimaksud dengan saksi
ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri. Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali
yang di larang oleh undang-undang salah satu nya yaitu keterangan saksi yang di
peroleh dari orang lain (testimonium de auditu). Keterangan saksi yang bersifat de
auditu dilarang penggunaan nya di karenakan tidak di dapat secara langsung
melainkan dari orang lain yang kebenarannya sangat di ragukan, padahal di dalam
hukum pidana yang di cari adalah kebenaran materil. Namun tidak serta merta
dilarang adakalanya kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti
petunjuk, seperti dalam putusan Mahkamah Agung No. 193 PK/Pid.Sus/2010.
Sedangkan dalam hukum acara Pidana Islam penggunaan kesaksian de auditu oleh
para Ulama dilarang penggunaanya sebagai alat bukti di persidangan.

Kata kunci: Kesaksian de auditu, Hukum Pembuktian, Hukum acara pidana di


Indonesia, Hukum acara pidana Islam, Putusan Mahkamah Agung Nomor 193
PK/Pid.Sus/2010.

Pembimbing: Kamarusdiana, S. Ag, MH.

Nahrowi, SH, MH.

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT

dzat yang maha kuasa atas segala penciptaannya. Berkat karunianya yang tak

terhingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai sebuah kewajiban

akademik. Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan keharibaan manusia agung

yang kehadirannya ke muka bumi sebagai pelita kehidupan yang menerangi jalan

setiap umat manusia menuju hidayah tuhan dialah Nabi Muhammad SAW suri

tauladan yang baik bagi kita. Juga kepada keluarga, para sahabat, dan umatnya yang

selalu mengamalkan Sunnah-sunnahnya hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang

yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil sehingga skripsi

ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan. Untuk itu dengan kerendahan hati

serta penuh rasa ta’zhim dan takrim penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

beserta jajaran Pengurus Dekanat yakni Pembantu Dekan I, II dan III.

2. Ketua serta Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang

terhormat DR. H. Muhammad Taufiki, M. Ag dan Fahmi Muhammad

ii
Ahmadi, S. Ag, M. Si yang telah memberikan nasihat, bimbingan serta

petunjuknya selama perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi

strata 1 dengan baik.

3. Kamarusdiana, S. Ag, MH. Selaku dosen pembimbing I dan Nahrowi, SH,

MH selaku dosen pembimbing II yang dengan kesabaran dan keikhlasannya

membimbing, menasihati dan memberikan masukan yang amat berharga

kepada penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Dr. Sudirman Abbas selaku dosen pembimbing akademik yang masukan serta

arahannya menjadi acuan dan motivasi bagi penulis selama mengikuti

perkuliahan hingga selesai.

5. Segenap Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang

dengan ikhlas dan sabar mengajarkan, membimbing, serta mendidik penulis

dalam berbagai disiplin ilmu. Semoga setiap tetesan keringat bapak ibu

dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang berlipat.

6. Kedua orang tua penulis Muhammad Nisin dan Almh. Hj. Rohayanah yang

setiap keringat peluh pengorbanannya, untaian do’a dalam diam dan

ibadahnya semua teruntuk penulis. Juga adik-adik tercinta Zatin Zuharoh

Putri, Rizka Dhiaurrahmah terus semangat belajar.

7. Teman dan kawan karib seperjuangan PMH angkatan 2009, Holid, Rizal,

Dadan, Hamzah, Ade Suhendra, Eva, Zainun, Firman, Zuni, Ayat, Nabila,

Deli terima kasih atas kesetiaan pertemanannya selama ini. Canda tawa serta

motivasi dan dukungan kalian adalah vitamin bagi penulis.

iii
8. Segenap para fihak yang telah membantu hingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, tiada kata yang paling indah selain ucapan syukur kepada Allah

SWT atas selesainya skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis dan umumnya para pembaca. Sekian.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta,

Penulis

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................

ABSTRAKSI ............................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. v

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 8

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 9

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian ....................................................... 10

E. MetodePenelitian .................................................................................... 10

F. Studi Terdahulu ....................................................................................... 12

G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 14

BAB II :KESAKSIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN

HUKUM ACARA PIDANA ISLAM

A. Macam-macam Alat Bukti ...................................................................... 16

B. Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian .......................................... 21

C. Syarat-syarat Menjadi Saksi.................................................................... 26

D. Larangan Menjadi Saksi.......................................................................... 29

E. Kekuatan Pembuktian Kesaksian dalam Hukum Islam .......................... 35


BAB III : KEKUATAN PEMBUKTIAN KESAKSIAN DE AUDITU DALAM HUKUM

ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Kesaksian De Auditu dalam Hukum Acara Pidana ......................... 38

B. Saksi Istifadlah ................................................................................. 44

C. Kekuatan Pembuktian Kesaksian De Auditu dalam Hukum Acara Pidana di

Indonesia .......................................................................................... 46

BAB IV :KEKUATANKESAKSIAN DE AUDITUSEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT

HUKUMACARA PIDANA ISLAM

A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid. Sus/2010

1. Kronologi Kasus ........................................................................ 49

2. Pertimbangan Hukum Hakim .................................................... 53

B. Analisis hokum Acara Pidana terhadap kesaksian de auditu.......... 55

C. Analisis hokum acara Pidana Islam terhadap kesaksian de auditu . 60

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 65

B. Saran ............................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 68

LAMPIRAN……………………………………………………………………….
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesaksian dalam hukum Islam di sebut dengan Syahadah, berasal dari

kata musyahadah yang berarti melihat dengan mata.1 Karena syahid, atau

orang yang menyaksikan memberi tahu apa yang ia lihat dan ia saksikan.

Maksudnya ialah pemberitahuan terhadap apa yang ia ketahui dengan suatu

ungkapan yaitu:”Aku saksikan atau Aku telah menyaksikan (asyhadu atau

syahidtu).

Menurut Syara’ kesaksian adalah pemberitaan yang pasti yaitu ucapan

yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari

pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah

tersebar.2Memberikan kesaksian asal hukum nya adalah fardlu kifayah,

artinya jika dua orang telah memberikan kesaksian maka semua orang telah

gugur kewajibannya. Dan jika semua orang menolak tidak ada yang mau

untuk menjadi saksi maka berdosa semua nya, karena maksud kesaksian itu

untuk memelihara hak.

Hukum memberikan kesaksian dapat berubah menjadi fardlu „ain, jika

tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua yang mengetahui kasus itu.

1
Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, (Mesir: Fath alam el-Arabi, 2004), h.1037.
2
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan
Hukum positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.73.
2

Kewajiban untuk menjadi saksi di dasarkan atas firman Allah SWT yang

berbunyi:

Artinya: ”….Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila

mereka dipanggil…” (Q.S.Al-Baqarah 282).

Syarat-syarat seseorang dapat memberi kesaksian sebagai berikut:

1. Dewasa

2. Berakal

3. Mengetahui apa yang di saksikan

4. Beragama Islam

5. Adil

6. Saksi itu harus dapat berbicara

7. Saksi itu harus dapat melihat

Hukum Islam tidak menjelaskan secara rinci tentang sifat-sifat yang

harus di miliki seorang saksi agar kesaksiannya dapat diterima dihadapan

majelis hakim. Untuk mendapatkan keyakinan hakim terhadap suatu peristiwa

dan kejadiannya itu dengan melihat dan mengalami sendiri. Kesaksian itu

harus datang dari dua orang saksi atau satu orang saksi tetapi harus didukung

dengan alat bukti lainnya. Kecuali dalam hal yang diperkenankan

menggunakan saksi Istifadlah.


3

Saksi Istifadlah ialah berita yang mencapai derajat antara berita

mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah menyebar dan

menjadi pembicaraan dikalangan manusia (masyhur).Terkait dengan kekuatan

pembuktian melalui khabar Istifadlah kalangan ulama terjadi perbedaan

pendapat ada yang memperbolehkan tetapi dalam kasus-kasus tertentu ada

pula yang memperbolehkan nya pada semua perkara.

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa saksi Istifadlah adalah

merupakan suatu cara dari cara-cara pengetahuan yang meniadakan

kecurigaan tentang seorang saksi dan hakim dan ia lebih kuat dari kesaksian

saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya.3Dalam hukum acara

pidana pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur

tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti

yang sah dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna

mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam

pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu

pembuktian.4

Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses

dipengadilan, karena dapat menentukan bersalah atau tidak nya seseorang.

3
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 82.
4
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), h. 21.
4

Macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana diatur didalam Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 184 ayat (1)

yaitu:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Menurut KUHAP pasal 1 butir 26 yang dimaksud dengan saksi ialah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,

ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali yang dilarang

oleh undang-undang. Mereka tersebut ialah:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena

perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa.


5

Alasan bagi keluarga untuk tidak dapat didengar sebagai saksi antara lain:

- Pada umumnya mereka tidak objektif bila didengar sebagai saksi;

- Agar hubungan kekeluargaan mereka tidak retak;

- Agar mereka tidak merasa tertekan waktu memberikan keterangan;

- Secara moral adalah kurang etis apabila seseorang menerangkan perbuatan

yang kurang baik keluarga nya.5

Selain itu yang dapat dikecualikan menjadi saksi menurut pasal 170

KUHAP yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan

nya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban

untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang

dipercayakan kepada mereka.Menurut Andi Hamzah pengecualian ini hanya

bersifat relatif, karena frasa pasal tersebut mengatakan”dapat minta

dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi…”

maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim.6

Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan

disidang pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada

permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian. Syarat sahnya

keterangan saksi, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling

utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari

pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara


5
Ibid.,h. 45.
6
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h.
262.
6

pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-

kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain.7

Keterangan saksi yang dapat bernilai sebagai alat bukti ialah

keterangan saksi yang di lakukan didepan sidang pengadilan terhadap sebuah

kejadian tindak pidana yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri dan ia alami

sendiri. Satu orang saksi bukanlah saksi (unnus testis, nullus testis) asas ini

bisa di simpangi berdasarkan pasal 185 ayat 3 KUHAP, yang menyatakan

bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti

lain yang sah.

Adapun keterangan saksi yang di peroleh dari orang lain yang di dalam

ilmu hukum acara pidana di sebut testimonium de auditu atau hearsay

evidence bukanlah alat bukti yang sah.8Menurut pendapat Andi Hamzah tidak

diperkenankan nya kesaksian de auditu sebagai alat bukti selaras dengan

tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil dan pula untuk

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan saksi yang

hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, sehingga patut

tidak dipakai di Indonesia.9

Senada dengan hal tersebut Wirjono Prodjodikoro juga melarang

menggunakan keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti. Lebih lanjut ia

7
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia, h. 58-59.
8
Ansori Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 2010), h.179.
9
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 262.
7

mengatakan bahwa hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu

keterangan saksi deauditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya

dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik bahkan

sudah semestinya. Akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang

menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain,

kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin

sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu, dapat berguna

untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.10

Pasal 185 ayat (5) KUHAP mengatakan bahwa baik pendapat maupun

rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan

saksi. Hal ini menunjukan bahwa KUHAP tidak menerima keterangan saksi

de auditu sebagai alat bukti, namun hakim tidak dapat menolak begitu saja

keterangan saksi de auditu. Keterangan semacam ini dapat berguna untuk

menyusun serangkaian fakta hukum terhadap keyakinan hakim untuk

menjatuhkan putusan terhadap terdakwa.

Senada dengan hal tersebut M.Yahya Harahap juga menolak

keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti. Menurutnya, jelas bagi kita

kebenaran yang “relevan” untuk dikemukakan saksi, terbatas hal-hal yang

berhubungan dengan yang dilihat, didengar atau dialaminya sendiri. Saksi

tidak di tuntut untuk menerangkan sesuatu yang berupa”cerita orang lain”

10
M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, (Bogor: Politea, 1983),
h.160.
8

kepada nya maupun “perkiraan”, atau “pendapat” atau “dugaan”. 11 Demikian

juga hal-hal yang bersifat persangkaan tidak perlu dikemukakan di sidang

pengadilan.

Berdasarkan pada latar belakang pemikiran tersebut maka penulis

ingin mengajukan nya menjadi sebuah penelitian skripsi sebagai upaya untuk

memahami secara lebih utuh dan mendalam mengenai pembuktian saksi de

auditudalam hukum acara pidana dengan memperbandingkannya dalam

hukum Islam.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat

diidentifikasi masalah-masalah yang meliputi permasalahan mengenai

kesaksian de auditu dalam pandangan hukum Islam ini, diantaranya:

1. Apa macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia

dan hukum acara pidana Islam?

2. Apa yang dimaksud dengan kesaksian de auditu dalam hukum acara

pidana diIndonesia dan hukum acara Pidana Islam?

3. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum

acara pidana?

11
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:
Sinar Grafika,2009) ed.2 cet ke IX, h.183.
9

4. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi de auditu dalam hukum acara

pidana Islam?

2. Pembatasan Masalah

Dalam membahas masalah ini, penulis hanya ingin menitikberatkan

dan memfokuskan pada bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de

auditu dalam hukum acara pidana Islam dan hukum acara Pidana di

Indonesia dengan menganalisis salah satu putusan Mahkamah Agung yang

berkaitan dengan kesaksian de auditu ini.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasannya, maka

penulis merumuskan kajian dalam permasalahan ini sebagai berikut:

1. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam

pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum Acara pidana

Islam?

2. Bagaimana putusan dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung

tentang saksi de auditudalam putusan Peninjauan Kembali (PK)

Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan,

mengembangkan dan menguji kebenaran atas suatu obyek penelitian.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk:


10

1. Menjelaskantentang kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam

pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana

Islam

2. Menganalisis putusan dan pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung

tentang saksi de auditusebagai alat bukti dalam putusan Peninjauan

Kembali (PK) Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

Terkait dengan signifikansi dan manfaat penelitian, maka paling tidak

terdapat tiga manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini;

1. Manfaat bagi penulis, penelitian ini menjadi penting karena merupakan

syarat akademik untuk mencapai gelar Sarjana Syariah di Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat bagi Institusi, penelitian ini menjadi salah satu sumbangsih

pemikiran bagi dunia akademik, khususnya dilingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Manfaat bagi masyarakat luas, penelitian ini berguna bagi kalangan

akademisi, praktisi hukum maupun masyarakat umum untuk memahami

mengenai kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan

hukum Acara pidana Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada kekuatan pembuktian

kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana Islam dengan


11

memperbandingkan nya dengan hukum acara pidana di Indonesia, maka alur

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan

menggunakan studi pustaka sebagai acuannya. Pendekatan yang

digunakan yakni metodelogi penelitian hukum normatif, dengan bahasan

hukum yang berada dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan

kesaksian de auditu.

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-komparatif, artinya penulis

akan mendeskripsikan makna kesaksian de auditu dalam pandangan

hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidanaIslam, lalu

menganalisis mengenai kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam

hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam serta

menganalisis putusan dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung tentang

saksi de auditudalam putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 193

PK/Pid.Sus/2010.

3. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah literatur-

literatur yang membahas mengenai hukum pembuktian dalam hukum

acara pidana di Indonesia seperti buku yang ditulis oleh Munir Fuady

dengan judul Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, M. Yahya


12

Harahap yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP serta buku tentang Hukum Pembuktian dalam Islam

diantaranyaseperti buku karya Hasbi Asshidiqie Peradilan dan Hukum

Acara Islam, Anshoruddin Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara

Islam dan Hukum Positif, Ahmad Fath BahansyNazriatul Itsbat Fil Fiqh

al-Jina‟ial-Islami, Dirasat Fiqhiah Muqaranah,serta buku-buku terkait

lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis berupaya melakukan survey

kepustakaan dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpun

data yang berupa sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan atau

tempat lain kedalam sebuah daftar bahan pustaka. Sedangkan studi

literatur adalah mempelajari, menelaah dan mengkaji bahan pustaka yang

berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian.

F. Studi Terdahulu

Sejauh pengamatan penulis terhadap beberapa penelitian yang

berkaitan dengan masalah ini baik secara umum mengenai pembuktian atau

secara khusus dengan kesaksian de auditu telah ada sebelumnya diantaranya

buku karya Anshoruddin yang berjudul Hukum Pembuktian Menurut Hukum

Acara Islam dan Hukum Positif, buku yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka

Pelajar Yogyakarta tersebut berisi tentang studi komparatif antara hukum


13

Islam dan hukum positif terhadap masalah pembuktian yang didalamnya juga

dibahas mengenai kesaksian de auditu.

Selain itu M.Hasbi Asshidiqie juga menulis buku yang berjudul

Peradilan dan Hukum Acara Islam. M.Yahya Harahap juga menulis sebuah

buku yang sangat populer di kalangan akademisi dibidang hukum khususnya

hukum pidana yaitu Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

buku yang telah beberapa kali cetak ulang ini membahas secara luas dan

mendetail mengenai KUHAP mulai dari tahap penangkapan, penyelidikan

hingga putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Adapun yang berbentuk makalah diantara nya yang ditulis oleh

Muntasir Syukri (Hakim Pengadilan Bangil) dengan judul Menimbang Ulang

Saksi De Auditu Sebagai Alat Bukti (Pendekatan Praktik Yurisprudensi

Dalam Civil Law). Karya ilmiah yang berbentuk skripsi yaitu yang ditulis

oleh Fatwa Khidati Zulfahmi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Kekuatan Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata,

skripsi ini mengkomparasikan testimonium de auditu dalam hukum acara

perdata dan hukum Islam.

Dari beberapa buku dan karya tulis yang pernah ada sebelumnya

penulis belum menemukan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan

pembuktian kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana Islam

yang dikomparasikan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Oleh karena


14

itu penulis berkeinginan untuk meneliti lebih mendalam mengenai masalah ini

sebagai sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah

penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara

pembahsan pertama dengan pembahasan-pembahasan selanjutnya. Untuk itu

maka pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, sebuah bab

pendahuluan dan tiga bab isi, kemudian di tutup dengan sebuah bab penutup

yang memuat kesimpulan dan saran-saran penelitian ini. Dalam penelitian ini

penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut;

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya

dijelaskan tentang latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini.

Setelah itu permasalahan di batasi dan menetapkan permasalahan yang

menjadi masalah utama.

Karena penelitian ini bersifat ilmiah, maka perlu diadakan tinjauan

pustaka dengan tujuan untuk memposisikan studi ini diantara studi-studi

terkait lainnya yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini dan

setalah itu diuraikan kerangka teori yang di gunakan dalam studi ini serta

metode penelitiannya. Dan pada pembahasan terakhir dari bab ini diuraikan

mengenai sistematika pembahasannya.


15

Selanjutnya hasil penelitian ini akan di sajikan dalam 3 bab

berikutnya. Bab dua akan di paparkan mengenai konsep kesaksian dalam

hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam, yang berisi

mengenai macan-macam alat bukti dalam hukum acara pidana di

Indonesiadan hukum acara pidana Islam, pengertian dan landasan hukum

kesaksian, syarat menjadi saksi dan kekuatan kesaksian dalam hukum acara

pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam.

Pada bab ketiga penelitian ini akan memaparkan mengenai konsep

kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara

pidana Islam. Yang pada pokok pembahasannya mengenai pengertian

kesaksian de auditu, saksi Istifadlah, dan kekuatan pembuktian kesaksian

deauditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana

Islam.

Selanjutnya pada bab keempat akan dipaparkan hasil analisis terhadap

Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010 mengenai kekuatan

pembuktian kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana di

Indonesia dan hukum acarapidana Islam.

Pada bab kelima, penulis akan memberikan kesimpulan dari seluruh

pembahasan yang penulis kemukakan dalam skripsi ini agar dapat

denganmudah dipahami oleh para pembaca. Selain itu juga pada bab ini akan
16

di sertai dengan saran-saran untuk dikaji lebih mendalam oleh para peneliti-

peneliti selanjutnya.

BAB II

KESAKSIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN

HUKUM ACARA PIDANA ISLAM

A. Macam-Macam Alat Bukti

Macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana dapat dilihat dari

ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP yang telah menentukan alat bukti yang

sah secara “limitatif” menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu tidak

dibenarkan bila dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum baik yang terikat

maupun terbatas hanya diperbolehkan menggunakan alat bukti itu

saja.Adapun alat bukti menurut KUHAP ialah keterangan saksi, keterangan

ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

a. Keterangan saksi
17

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama

dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian

alat bukti keterangan saksi12. Ada beberapa ketentuan pokok yang harus

dipenuhi oleh seorang saksi sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan

pembuktian yaitu:

1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah apa yang ia

lihat, dengar dan alami sendiri

3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan

merupakan keterangan saksi

4. Keterangan saksi harus dinyatkan di sidang pengadilan

5. Keterangan saksi saja tidak cukup, yakni keterangan seorang saksi saja

belum dianggap cukup sebagai alat bukti dalam membuktikan

kesalahan terdakwa atau “Unus testis nullus testis”.

b. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.Alat bukti keterangan

ahli merupakan sebuah kemajuan dari pembuat undang-undang yang

menyadari pentingnya menyatukan perkembangan ilmu pengetahuan dan

12
Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan, ( Jakarta: Gramata
Publishing, 2012), h. 58.
18

teknologi, sehingga keterangan ahli sangat memegang peranan penting dalam

peradilan pidana.

c. Surat

Alat bukti surat ialah suatu alat bukti yang berupa tulisan yang dibuat

atas kekuatan sumpah jabatan atau surat yang dikualifikasikan dengan sumpah

yakni berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

kewenangan pejabat umum.Menurut Sudikno Mertokusumo surat ialah segala

sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk

mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah fikiran.13

Surat tersebut dapat dibuat dengan membuat keterangan tentang

kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri

disertai alasan keterangan yang jelas dan tegas. Surat yang dibuat berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh pejabat

mengenai hal yang termasuk kedalam tata laksana sehingga menjadi tanggung

jawabnya. Hal demikian akan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau

suatu keadaan.14

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadiaan atau keadaan yang karena

persesuaiannya baik antara satu yang lain maupun dengan tindak pidana

13
Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung:Mandar
Maju, 2003), h. 62.
14
Bakhri, Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan, h. 75.
19

sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya.

Dalam praktik persidangan, kepada hakimlah diletakkan kepercayaan

untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan merupakan

petunjuk. Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti.15Oleh

sebab itu hakim harus penuh dengan sifat kearifan, bijaksana dan penuh

kecermatan berdasarkan hati nuraninya dalam menggunakan alat bukti

petunjuk. Dengan demikian, hakim dapat menghindari penggunaan alat bukti

petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga alat bukti

yang sangat penting untuk dipergunakan dapat didesakkan saja..

e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam pasal

184 ayat (1) KUHAP. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan

disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau

alami sendiri (pasal 189 ayat (1) KUHAP).16

Dalam pemeriksaan, terdakwa akan ditanyakan tentang apa yang dia

nyatakan atau jelaskan disidang pengadilan mengenai perbuatan yang

diketahui atau yang dialami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang

diperiksa. Tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang

sah. Oleh sebab itu diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, yakni

15
Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, h. 79.
16
M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, h.167.
20

keterangan tersebut akan dinyatkan disidang pengadilan tentang perbuatan

yang dilakukan, diketahui, atau dialaminya sendiri. Hal tersebut bertujuan

agar keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti sehingga menjadi

pernyataan atau penjelasan yang benar.

Alat-alat bukti menurut hukum Islam, baik secara keperdataan maupun

pidana, lazimnya dikenal sebagai berikut17:

a. Saksi

b. Surat

c. Persangkaan/Petunjuk (Qarinaah)

Secara bahasa, qarinah diartikan sebagai tanda-tanda yang merupakan

hasil kesimpulan hakim dalam menangani berbagai kasus melalui Ijtihad,

sehingga tanda-tanda itu menimbulkan keyakinan. Persangkaan dibagi

menjadi dua, yakni Qarinah Qununiyyah, yaitu persangkaan yang

ditentukan oleh undang-undang, dan Qarinah Qudloiyyah, yaitu

persangkaan yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah memeriksa

perkara. Dengan demikian, qarinah yang dapat dijadikan alat bukti harus

jelas dan meyakinkan sehingga tidak akan dibantah lagi oleh manusia

normal, berakal atau seluruh persangkaan yang oleh undang-undang

17
Bakhri, Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan, h. 185.
21

dilingkungan peradilan selama jelas-jelas tidak bertentangan dengan

hukum Islam.

d. Pengakuan

Ikrar atau pengakuan adalah menetapkan dan mengakui sesuatu hak

dengan tidak mengingkarinya. Dasar hukum pengakuan adalah QS: An-

Nisa’ ayat 135 yang berbunyi:

َ‫ه وَاّلْأَقْشَبٍِه‬
ِ ٌَْ‫ط شُهَذَاءَ ّلِّلَ ًِ وََّلىْ عَّلَىٰ أَوْ ُفسِكُمْ َأوِ ا ّْلىَاّلِذ‬
ِ‫س‬ْ ‫ٌَا أٌَُهَا اّلَزٌِهَ آمَىُىا كُىوُىا َقىَامٍِهَ بِاّلْ ِق‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu

sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (QS. An-Nisa’ 135).

Firman Allah ini mengisyaratkan bahwa persaksian yang ditunaikan

itu hendaknya demi karena Allah. Menurut Qurasih Shihab didahulukannya

pengakuan atas kesaksian karena Allah adalah dikarenakan tidak sedikit

orang yang hanya pandai memerintahkan yang makruf tetapi ketika tiba

gilirannya untuk melaksanakan makruf yang diperintahkannya itu, dia

lalai.18 Terlebih dahulu melakukan pengakuan terhadap hak-hak yang

diakuinya sebelum menuntut kesaksian pada orang lain.

B. Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian

Saksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki enam

pengertian. Pertama, saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri

18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. II, h. 758.
22

suatu peristiwa atau kejadian. Kedua, saksi adalah orang yang diminta hadir

pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila

diperlukan, dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa

itu sungguh-sungguh terjadi. Ketiga, saksi adalah orang yang memberikan

keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa.

Keempat, saksi adalah keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh

orang yang melihat atau mengetahui. Kelima, saksi diartikan sebagai bukti

kebenaran. keenam, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tertentu suatu

perkara yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri.19Sedangkan

kesaksian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan keterangan

(pernyataan) yang diberikan oleh saksi.

Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur secara tegas mengenai definisi saksi

dan keterangan saksi. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP dinyatakan

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Sementara itu Pasal 1

angka 27 KUHAP menyatakan, “Keterangan saksi adalah salah satu alat

bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai

19
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2008), ed. IV, h. 1206.
23

suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.20

Definisi saksi dalam Pasal 1 angka 26 juncto pasal 1 angka 27 juncto

Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP mengalami perluasan berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tertanggal 8 Agustus 2011.

Dalam amarPutusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 1

angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta pasal

184 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal a

quotersebut tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan

keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak

pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri”;

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal-pasal a

quotersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

pengertian saksitidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan

keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak

20
M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, h.163.
24

pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri”;21

Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, definisi

keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan dari saksi mengenai

suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula

keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak

pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri.22

Memberikan kesaksian merupakan kewajiban bagi setiap orang. Hal

ini dapat kita lihat dalam rumusan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP

yaitu “Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang

menjadi saksi setelah dipanggil kesuatu sidang pengadilan untuk memberikan

keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana

berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya

dengan ahli”.

Dari ketentuan tersebut memberikan pemahaman bahwa memberikan

keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana disidang

pengadilan adalah kewajiban setiap orang. Terhadap segala penolakan atau

pengingkaran terhadap kewajiban hukum tersebut merupakan pelanggaran


21
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, diakses dari situs
Www.Mahkamahkonstitusi. com pada Senin 9 September 2013.
22
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), h. 103.
25

hukum dan dapat dikenakan pidana. Oleh karenanya apabila saksi tidak

datang menghadap ke sidang pengadilan setelah dipanggil secara patut dan

wajar tanpa alasan yang dapat diterima,maka saksi dapat dihadirkan secara

paksa.

Kesaksian dalam Islam dikenal dengan Syahadah, yang berarti melihat

dengan mata.23 Karena syahid, atau orang yang menyaksikan memberi tahu

apa yang ia lihat dan ia saksikan. Maksudnya ialah pemberitahuan terhadap

apa yang ia ketahui dengan suatu ungkapan yaitu:”Aku saksikan atau Aku

telah menyaksikan (asyhadu atau syahidtu).

Sedangkan menurut Syara‟ kesaksian adalah pemberitaan yang pasti

yaitu ucapan yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau

dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah

tersebar.24 Definisi lain juga dapat dikemukakan tentang kesaksian yaitu

sebagai:

‫اخباس اّلشخض بحق عّلى غٍشي بّلفظ خاص‬

“Pemberitaan seseorang dengan hak atas orang lain dengan lafal tertentu”.25

Memberikan kesaksian merupakan kewajiban yang bersifat

Kifayah.26Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam QS: al-Baqarah

ayat 283:

23
Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, (Mesir: Fath alam el-Arabi, 2004), h.1037.
24
Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.73.
25
Abi Bakr Usman bin Muhammad Syata’ Addimyati, Hasyiyah I‟anah Attholibin, ( Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 2012), Juz. IV, h. 452.
26

ٌ‫وَّلَا تَكْتُمُىا اّلشَهَا َد َة ۚ وَمَهْ ٌَكْتُمْهَا فَإِوًَُ آثِمٌ قَّلْبًُُ ۗ وَاّلّلًَُ بِمَا تَعْمَّلُىنَ عَّلٍِم‬

Artinya: “ Dan janganlah kamu ( para saksi) menyembunyikan persaksian.

Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya

ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah 283).

Berdasarkan pada ayat ini menurut Wahbah Zuhaili menunjukan

bahwa jika seseorang dipanggil untuk memberikan kesaksian maka wajib

hukumnya untuk memenuhi panggilan itu, apabila dua orang telah

menunaikannya maka gugurlah kewajiban masyarakat umum dan berdosa

semuanya jika tidak ada yang mau memenuhi panggilan untuk memberikan

kesaksian tersebut.27

C. Syarat-syarat Menjadi Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam

perkara pidana. Hampir dapat dikatakan bahwa dalam setiap perkara pidana di

sidang pengadilan selalu bersandar pada alat bukti keterangan saksi disamping

alat bukti yang lain. Oleh karenanya agar keterangan saksi memiliki nilai

pembuktian di hadapan hakim maka perlu diatur mengenai syarat menjadi

saksi. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP mengatur

secara tegas tentang hal itu, diantaranya:

26
Mahmud A’is Mutawalli, Dlomanatul A‟dalah fil Qadla Islami, (Beirut: Dar al Kutub El
Ilmiya, 2003), h. 70.
27
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasyariah wal Minhaj, (Damsyq : Darul Fikr, 2003)
Juz. II, h. 117.
27

1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji

Hal ini diatur dalam pasal 160 ayat (3) yaitu” Sebelum memberikan

keterangan, saksi wajib memberikan sumpah atau janji menurut cara

agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya”. Berdasarkan ketentuan ini

maka terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji

tanpa alasan yang sah maka ia dapat dikenakan sandera selama 14 hari, (Pasal

161 ayat (1).

2. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan

Artinya keterangan saksi yang diberikan di luar sidang pengadilan

tidak dapat dijadikan alat bukti. Sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan

putusan terhadap terdakwa berdasarkan pada keterangan saksi yang

disampaikan diluar sidang pengadilan.

3. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

Pasal 185 ayat (2) menyatakan “Keterangan seorang saksi saja tidak

cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya”. Ketentuan dalam pasal ini berasal dari asas hukum

pidana Unnus Testis, Nullus Testis, artinya adalah satu saksi bukan merupakan

saksi.

Asas tersebut dapat disimpangi berdasarkan pasal 185 ayat (3) yaitu

“ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila

disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.Berdasarkan tafsir a


28

contrario menurut Alfitra keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan

bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai satu alat bukti lain, misalnya satu

keterangan saksi ditambah keterangan terdakwa, satu keterangan saksi

ditambah satu alat bukti surat.28

Dalam hukum Islam persyaratan seseorang untuk menjadi saksi sangat

ketat dan selektif, hal ini dikarenakan kesaksian merupakan unsur terpenting

dalam persidangan (qadla) yang bertujuan untuk menumbuhkan dan

menguatkan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara pidana terhadap

terdakwa. Karena berhubungan tidak hanya dengan hak-hak terdakwa tetapi

juga dengan hak-hak Allah.

Adapun syarat menjadi saksi menurut Sayid Sabiq29 yaitu:

1. Islam

2. Adil

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

ًَِ‫وََأشْهِذُوا َروَيْ عَذْلٍ مِىْكُ ْم وَأَقٍِمُىا اّلشَهَا َدةَ ّلِّل‬

Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil

diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena

Allah.” (QS. Ath-Thalaq: 2).

Para ulama ahli fiqih berpendapat bahwa sifat adil itu berkaitan dengan

kesalehan dalam agama dan memiliki sifat Muru‟ah (kewibawaan). Kesalehan


28
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia,
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), h. 60.
29
Sayid Sabiq, Fiqih Sunah,h.1038.
29

dalam agama dapat dipenuhi dengan melaksanakan amalan-amalan yang

bersifat Fardlu dan Sunnah, dan menjauhi diri dari hal-hal yang diharamkan

dan dimakruhkan, serta tidak melakukan perbuatan dosa besar dan menjauhi

kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil.30 Menurut Abu Bakr Utsman bin

Muhammad Syata’ al-Dimyati dalam kitab nya Hasyiyah I’anah at-Tholibin

hal-hal yang dapat menghilangkan Muru‟ah seseorang diantaranya makan dan

minum dipasar, makan dan minum sambil berjalan, bermain catur, tertawa

terbahak-bahak serta berdansa.31

3. Baligh

4. Berakal

5. Dapat berbicara

6. Memiliki ingatan yang baik

7. Bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan).

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh

Anshoruddin dalam bukunya mengatakan bahwa seseorang yang hendak

memberikan kesaksian harus dapat memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Dewasa

2. Berakal

3. Mengetahui apa yang disaksikan

4. Beragama islam

30
Ibid., h. 1039.
31
Abi Bakr Usman bin Muhammad Syata’ Addimyati, Hasyiyah I‟anah Attholibin, h. 452.
30

5. Adil

6. Saksi itu harus dapat melihat

7. Saksi itu harus dapat berbicara.32

Selain itu saksi juga disyaratkan tidak ada paksaan terhadap dirinya,

hal ini dimaksudkan agar saksi dapat memberikan keterangan seobjektif

mungkin berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

D. Larangan Menjadi Saksi

Pada dasarnya menjadi saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap

orang yang mempunyai pengetahuan terhadap perkara pidana tersebut. Akan

tetapi terdapat pengecualian terhadap beberapa orang yang dilarang untuk

menjadi saksi. Pasal 168 KUHAP menyebutkan:

“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat

didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan

karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat

ketiga;

32
Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, h.76.
31

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa.

Alasan tidak dapat didengarnya keluarga sebagai saksi diantaranya

ialah, pada umumnya mereka tidak dapat bersikap objektif bila didengar

sebagai saksi, agar hubungan kekeluargaan mereka tidak menjadi pecah

disebabkan karena keterangan yang diberikan sebagai saksi, dan agar mereka

tidak merasa tertekan pada saat memberikan kesaksian serta secara moral

psikologi sangat tidak etis apabila seseorang menerangkan perbuatan yang

kurang baik dari keluarganya.

Ketentuan pasal 168 tersebut tidak secara mutlak melarang orang-

orang tersebut untuk menjadi saksi. Namun apabila orang-orang yang

dikecualikan sebagai saksi tersebut menghendaki untuk memberikan

kesaksian dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya maka ia

diperbolehkan untuk didengar keterangannya dibawah sumpah, tetapi jika

tidak mendapat persetujuan maka keterangannya dilakukan tanpa sumpah. Hal

ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 yaitu:

(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 168

menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas

menyetujuinya dapat memberi keterangan dibawah sumpah.

(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka

diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.


32

Selain itu yang dapat di kecualikan menjadi saksi menurut pasal 170

KUHAP yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan

nya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban

untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang

dipercayakan kepada mereka.

Menurut Andi Hamzah pengecualian ini hanya bersifat relatif, karena

frasa pasal tersebut mengatakan”dapat minta dibebaskan dari kewajiban

untuk memberikan keterangan sebagai saksi…” maka berarti jika mereka

bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim.33 Oleh karena itulah maka

kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau

karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.

Terkait dengan larangan seseorang menjadi saksi, dalam hukum acara

pidana Islam berhubungan dengan konsep tahammul dan ada’.34Tahammul

ialah kesanggupan memelihara dan mengingat suatu peristiwa. Sedangkan

Ada‟ ialah kesanggupan untuk mengemukakan/melapalkan peristiwa tersebut

dengan benar. Orang-orang yang secara sempurna memiliki kemampuan

untuk tahammul dan ada‟ ialah orang merdeka, baligh, akil dan adil.

Sedangkan golongan yang tidak memiliki kemampuan untuk tahammul dan

ada‟ sehingga kesaksiannya ditolak dan tidak ada nilai pembuktian sama

sekali yaitu kanak-kanak, orang gila, orang kafir dan hamba. Permasalahan

33
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 262.
34
Usman Hasyim, Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayat Islam, (Yogyakarta: Andi Offset,
1984) h. 14.
33

tidak diterimanya kesaksian orang kafir (non muslim) karena al-Qur’an

menghendaki bahwa kesaksian itu harus dilakukan oleh orang yang adil. Dan

orang kafir tidak termasuk dalam kategori adil.35

Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa penolakan secara mutlak terhadap

kesaksian orang non muslim kepada orang Islam sebagaimana yang telah

dilaksanakan oleh para ahli hukum Islam sebenarnya perlu ditinjau kembali.

Lebih lanjut Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa dalam masalah persaksian

yang penting adalah saksi-saksi tersebut dapat mengungkapkan tabir yang

menutup kebenaran.36 Orang-orang yang dapat mengungkapkan kebenaran itu

adakalanya dari orang-orang yang bukan Islam dan orang-orang itu dapat

dijamin kepercayaannya, maka dalam hal ini kesaksian dapatlah diterima.

Lebih lanjut ia mengatakan yang terpenting dari sebuah kesaksian ialah nilai

kebenarannya.

Pendapat tersebut sejalan dengan perkembangan zaman saat ini, dimana

pengaruh globalisasi mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi membaur

satu sama lain yang tidak terikat dengan satu agama saja. Apabila terjadi

perselisihan diantara mereka bukan suatu hal yang mustahil peristiwa dan

kejadian yang terjadi justru disaksikan oleh orang-orang yang beragama selain

Islam. Para praktisi hukum dibeberapa negara Islam, pendapat ini banyak

35
Mahmud A’is Mutawalli, Dlomanatul A‟dalah fil Qadla Islami, (Beirut: Dar al Kutub El
Ilmiya, 2003), h. 81.
36
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, (Kairo: Darul Hadis, 2006), Juz. I,
h. 91.
34

dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi didalam

kehidupan masyarakat. Oleh karena itu para praktisi hukum harus dapat

membedakan saksi sebagai syarat hukum atau sebagai alat pembuktian, kalau

syarat hukum berkenaan dengan syarat materiil dan berhubungan dengan

diyanatan, sedangkan saksi sebagai alat pembuktian berhubungan dengan

syarat formal yang berkaitan dengan qadlaan.37

Selain itu tidak dapat diterima kesaksiannya diantarnya juga ialah

kesaksian orang fasik. Menurut Syafi’iah orang fasik bukan ahli Syahadah (

tidak diterima kesaksiannya). Kesaksian orang fasik ditawakkufkan (ditunda)

penerimaan/penolakannya sampai terbukti benar. Sebagaimana firman Allah

SWT:

َ‫عّلَىٰ مَا َفعَّلُْتمْ وَا ِدمٍِه‬


َ ‫جهَاَّلتٍ فَتُصْبِحُىا‬
َ ِ‫ق بِ َى َبٍإ فَتَ َبٍَىُىا أَنْ تُصٍِبُىا قَ ْىمًا ب‬
ٌ‫س‬ِ ‫ه آمَىُىا إِنْ جَا َء ُكمْ فَا‬
َ ٌِ‫ٌَا أٌَُهَا اّلَز‬

“ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik

membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak

menimpakan suatu musibah kepada kaum tanpa mengetahui keadaannya yang

menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujuraat: 6).

Menurut pendapat sebagian Fuqaha, mesti dibedakan antara sifat fasik

yang datang pada saksi sesudah ia menunaikan kesaksian, jika sifat fasik itu

termasuk yang tersembunyi dari manusia, seperti zina dan minum khamar,

maka karena fasik ini ulama bersepakat untuk menolak kesaksiannya.

37
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, h.126.
35

Menurut Wahab Zuhaili, bahwa ayat ini menunjukan keumuman lafadz dalam

fasik dan berita. Artinya siapapun orang fasik dengan membawa kabar berita

apapun maka harus diperiksa kebenarannya.38

Kesaksian karena hubungan kekerabatan juga dilarang. Tidak diterima

kesaksian suami bagi isteri nya atau sebaliknya dan tidak diterima kesaksian

ayah/ibu bagi anak dan seterusnya, sebagaimana tidak diterima kesaksian

isteri ayah (ibu tiri) bagi anak tirinya, maupun ayah bagi anak tiri. Pelarangan

keluarga menjadi saksi karena dikhawatirkan ia akan berdusta demi

melindungi anggota keluarganya itu.

E. Kekuatan Pembuktian Kesaksian dalam Hukum Islam

Terkait dengan pembuktian kesaksian dalam hukum acara jinayat

setidaknya tidak sama antara satu perkara dengan perkara lain, ada beberapa

peristiwa yang dituntut padanya empat orang saksi, ada yang perlu 3 orang

saksi, ada yang perlu dua saksi laki-laki atau seseorang saksi laki-laki dan dua

orang perempuan, atau seorang saksi dan ditambah sumpah, atau seseorang

laki-laki saja.39 Perbedaan ini karena berbedanya ketentuan hukum yang

berlaku (Al-Qur’an dan Sunnah).

Dalam kasus perzinahan para ulama bersepakat bahwa untuk

membuktikannya diperlukan kesaksian 4 orang saksi yang adil. Hal yang


38
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasyariah wal Minhaj, (Damsyq : Darul Fikr,
2003) Juz. XIII, h. 558.
39
Ahmad Fath Bahansy, Nazriatul Itsbat Fil Fiqh al-Jina‟i al-Islami, Dirasat Fiqhiah
Muqaranah, (Beirut: Dar al-Suruq, 1983) cet.IV. h.107.
36

demikian itu karena rasa malu terbukanya rahasia dalam jarimah ini lebih

buruk dari yang lain-lainnya.

Hal ini berdasarkan pada Firman Allah SWT:

ْ‫حشَتَ مِهْ ِوسَائِكُمْ فَاسْ َتشْهِذُوا عَّلٍَْهِهَ أَسْبَعَتً مِىْكُم‬


ِ ‫وَاّلّلَاتًِ ٌَأْتٍِهَ اّلْفَا‬

“Dan Terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah

ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)”. (QS. An-

Nisa’: 15).

Ayat ini menegaskan bahwa terhadap para wanita yang mendatangi

perbuatan yang sangat keji yakni berzina atau lesbian maka hendaklah

pembuktian itu didasarkan atas kesaksian empat orang saksi laki-laki.

Persyaratan penerimaan persaksian perzinaan yang demikian berat agar

pembuktiannya benar-benar valid karena menyangkut aib orang lain.40

Tata cara penyampaian kesaksiannya dilakukan didepan hakim pada

waktu yang bersamaan, dengan menjelaskan secara lengkap kapan dimana

dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Agar kejelasannya menjadi sempurna

karena berhubungan dengan harga diri dan martabat seorang manusia.

Dalam perkara-perkara had selain zina seperti pencurian, minum

khamar, qadzaf dan pemberontakan, maka pembuktiannya harus didasarkan

atas kesaksian 2 orang saksi laki-laki yang adil. Perkara-perkara selain dari

40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h.453.
37

hal tersebut kesaksiannya cukup dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang

saksi perempuan.

Salah satu hal yang menjadi perdebatan dikalangan para ulama ialah

soal saksi perempuan. Para Fuqahapada umumnya berpendirian bahwa

kesaksian perempuan tidak bisa diterima untuk hukum hudud. Namun Ibnu

Qayyim berpendapat bahwa seorang perempuan dapat diterima sebagai saksi

jika ia dapat dipercaya, jika perempuan tersebut sempurna ingatannya tentang

apa yang dia lihat, adil, dan juga cenderung religius, maka hukum ditetapkan

atas dasar kesaksiannya saja. Menurut penulis tampaknya Ibnu Qayyim

melihat perkembangan kehidupan manusia dimana derajatkesetaraan antara

laki-laki dan perempuan itu sama.

Era modern pun menunjukan jika kualitas ingatan serta intelegensia

perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Menurut suatu riwayat, pernah terjadi

kaum perempuan menetapkan mahar yang cukup tinggi untuk suatu

pernikahan pada saat kondisi ekonomi mereka sudah cukup. Melihat hal itu,

Umar Bin Khattab khawatir bahwa gejala ini akan terus berlanjut, maka Umar

menetapkan batas mahar itu maksimal 400 dirham. Pandangan ini di tentang

oleh seorang wanita Quraisy, yang mengatakan, “Tidakkah tuan telah

mendengar bahwa Allah SWT telah berfirman, “Dan kamu sekalian telah

memberikan kepada salah seorang diantara perempuan itu harta yang banyak,

maka janganlah sekali-kali kamu mengambilnya sedikit pun” (QS An-Nisa’:

20). Mendengar hal itu, Umar langsung menjawab, “semoga Allah


38

memberikan ampunan-Nya, semua orag ternyata lebih pandai dari Umar.”

Riwayat lain menyebutkan bahwa saat itu Umar menjawab, “Ibu benar dan

Umar yang salah.” Kemudian ia naik mimbar dan menarik keputusannya.41

BAB III

KEKUATAN PEMBUKTIAN KESAKSIAN DE AUDITU DALAM HUKUM

ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Kesaksian De Auditu dalam Hukum Acara Pidana

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang

paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana

yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua

pembuktian perkara pidana selalu bersandar pada keterangan saksi. Sekurang-

kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih perlu

pembuktian dengan bukti keterangan saksi.

Dalam hukum acara pidana di Indonesia sebagaimana dikemukakan

dalam KUHAP bahwa yang dimaksud dengan saksi ialah orang yang dapat

memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan

41
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010)
h. 101.
39

suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan

ia alami sendiri”.42 Di samping itu juga terdapat apa yang dikenal dengan

istilah Testimonium de Auditu atau HearsayEvidence.

Hearsay berasal dari kata Hear yang berarti mendengar dan Sayberarti

mengucapkan. Oleh karena itu secara harfiah istilah hearsay berarti

mendengar dari ucapan (orang lain). Jadi, tidak mendengar sendiri fakta

tersebut dari orang yang mengucapkannya sehingga disebut juga sebagai bukti

tidak langsung (second hand evidence) sebagai lawan dari bukti langsung

(original evidence). Karena mendengar dari ucapan orang lain, maka saksi

deauditu atau hearsay ini mirip dengan sebutan “report”, “gosip” atau

“rumor”.

Dengan demikian, definisi kesaksian de auditu atau hearsay evidence

yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain. Disebut

juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami. Ada

juga yang mendefinisikan kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung

dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan dari orang

lain.43 Sedangkan Subekti menamakannya dengan kesaksian pendengaran.

42
M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, (Bogor: Politea, 1983),
h.6.
43
Muntasir Syukri, “Menimbang Ulang Saksi de Auditu Sebagai Alat Bukti (Pendekatan
Praktik Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law). Artikel di akses pada 28 juli 2013 dari
http://www.Badilag.com.
40

Sementara itu, definisi yang cukup lengkap dikemukakan oleh Munir

Fuady yakni yang dimaksud dengan kesaksian tidak langsung atau de auditu

atau hearsay adalah suatu kesaksian dari seseorang dimuka pengadilan untuk

membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi saksi tersebut tidak

mengalami/mendengar/melihat sendiri fakta tersebut.44 Dia hanya

mendengarnya dari pernyataan atau perkataan orang lain, dimana orang lain

tersebut menyatakan mendegar, mengalami atau melihat fakta tersebut

sehingga nilai pembuktian tersebut sangat bergantung pada pihak lain yang

sebenarnya berada diluar pengadilan. Jadi, pada prinsipnya banyak kesangsian

atas kebenaran dari kesaksian tersebut sehingga sulit diterima sebagai nilai

bukti penuh.

Menurut Sudikno Mertokusumo adalah keterangan seorang saksi yang

diperolehnya dari pihak ketiga. Dalam sistem Common Law dikenal dengan

hearsay evidence yang memiliki pengertian yang sama yakni keterangan yang

diberikan seseorang yang berisi pernyataan orang lain baik melalui verbal,

tertulis atau cara lain.

Sebagai gambaran contoh mengenai kesaksian de auditu atau hearsay

evidence ini misalnya si A menjadi saksi di pengadilan, dimana si A

mendengar dari si B bahwa si B telah melihat, mengalami atau mendengar

(dengan panca inderanya sendiri) bahwa suatu fakta telah terjadi. Dalam hal

44
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, , (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2012), Cet II h. 132.
41

ini, si B sebenarnya dapat berkedudukan sebagai saksi langsung, tetapi karena

tidak datang ke pengadilan untuk bersaksi, dia bukan merupakan saksi, dan si

A merupakan saksi tidak langsung (de auditu atau hearsay).

Saksi de auditu atau hearsay merupakan model kesaksian yang

berkembang dalam seluruh sistem hukum di dunia baik dalam sistem hukum

Civil law ataupun dalam sistem hukum Common Law. Diskursus mengenai

kesaksian de auditu sudah ada sejak zaman Aristoteles dalam hukum Yunani.

Pada zaman itu di Yunani, saksi de auditu tidak diperkenankan untuk

didengar, dengan beberapa kekecualian. Kekecualian tersebut, antara lain

sebagai berikut:

1. Jika saksi yang sebenarnya sudah meninggal;

2. Jika saksi yang sebenarnya jatuh sakit atau berada diluar negeri

sehingga tidak mungkin di hadirkan di pengadilan.

Saksi de auditu atau hearsay tersebut merupakan model kesaksian

yang dikenal tetapi pada prinsipnya tidak diakui kekuatannya sebagai alat

bukti penuh, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam

sistem hukum Anglo Saxon. Meskipun saksi de auditu ini dikenal, baik dalam

sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam sistem hukum Anglo Saxon,

doktrin hearsay bersama-sama dalam sistem Juri dan Eksaminasi Silang telah

merupakan trio andalan utama yang sangat popular dalam hukum acaranya.

Akan tetapi, dalam perkembangannya justru sistem hukum

AngloSaxon bisa dikatakan relatif terlambat. Perkembangan baru terjadi pada


42

akhir abad ke 17. Meskipun berkembangnya pesat, dimana perkembangannya

pada tahap-tahap awal masih mengakui saksi de auditu hanya sebagai

konfirmasi bagi alat-alat bukti lainnya. Sampai kemudian hukum kesaksian de

auditu tidak diterima sebagai alat bukti, tetapi dengan sangat banyak

pengecualiannya.45

Masalah di terima atau tidaknya kesaksian de auditu sebgai alat bukti

menjadi masalah Universal baik di Indonesia dan di negeri Belanda yang

dapat di lihat dari doktrin dan Yurisprudensi, maupun di Amerika Serikat yang

mengenal pula masalah hearsay ini. Dimanapun pengakuan terhadap

hearsaysebagai alat bukti tergantung pada tujuan untuk apa hal itu diajukan

dan apa yang akan dibuktikan dengan itu.

Pro dan kontra yang terjadi mengenai kesaksian de auditu tidak hanya

menjadi diskursus perbincangan yang menarik di kalangan ahli hukum

Indonesia saja tetapi juga para pakar-pakar hukum dunia. Taverne misalnya

mengatakan “ Bahwa menurut sejarah dan juga kebutuhan praktik, menuntut

diakuinya kekuatan pembuktian kesaksian de auditu”.46

Pendapat yang pro memberikan argumentasi bahwa apabila kesaksian

de auditu di terima sebagai alat bukti maka dengan jalan ini tidak ada satupun

bahan bukti yang hilang, jika tidak maka walupun ada, tidak diceritakan

didepan hakim, keterangan saksi mendapat sifat ketidakbenaran dan tidak

45
Ibid., h. 135.

46
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 267.
43

berkaitan jika keterangan de auditu sengaja disingkirkan. Adalah logis jika

suatu ucapan yang sering kali dikeluarkan berdasarkan keadaan emosional dan

didengar untuk keadilan diterima sebagai bukti, dan begitu pula tidak

menerima suatu pemberitahuan yang menurut keterangan seorang saksi

diterangkan kepadanya oleh orang lain dalam keadaan tentram dan

tenang.Sedangkan pendapat yang kontra menilai kalau begitu dimungkinkan

pembuktian dari tangan kedua atau ketiga yang kebenarannya sangat minim

sekali.

Pada umumnya hearsay di terima sebagai alat bukti tetapi dibatasi

pengertiannya dari pengertian biasa. Tidak diajukan sebagai hearsay

misalnyaketerangan terdakwa bahwa seseorang telah mengakui kepadanya

bahwa orang itulah yang melakukan kejahatan tersebut.47

Di Indonesia sendiri hal ini menjadi perdebatan yang panjang

dikalangan para ahli hukum. Sebut saja misalnya S.M Amin yang menolak

jika kesaksian de auditu dapat dijadikan alat bukti. Menurutnya:

“Memberi daya bukti kepada kesakian-kesaksian de auditu berarti

bahwa syarat di dengar, dilihat, atau dialami sendiri tidak dipegang lagi.

Sehingga memperoleh dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-

keterengan yang di ucapkan oleh seseorang di luar sumpah…….. Hal ini

berarti keterangan-keterangan seseorang yang tidak pernah dijumpai oleh

hakim dijadikan alat bukti. Pokok pikiran supaya kesaksian harus di ucapkan
47
Ibid., h. 269.
44

dihadapan hakim sendiri yang bertujuan supaya hakim dapat menilai

keterangan saksi-saksi itu ditinjau dari sudut dapat tidaknya dipercaya atas

dasar tinjauan terhadap pribadi saksi, gerak-geriknya dan lain-lain

dilepaskan”.48

Senada dengan S.M. Amin, M. Yahya Harahap juga berkomentar

sebagai berikut.“ Oleh karena keterangan yang berbentuk Testimonium de

Auditu atau Hearsay Evidence, bukan keterangan tentang apa yang

diketahuinya secara personal (not what he knows personally), tetapi

mengenai apa yang “diceritakan” orang lain kepadanya (but what others

have told him) atau apa yang di dengarnya dari orang lain (what he has

heard said by others), lebih besar kemungkinanya “tidak benar” (untrue),

alasannya keterangan yang di berikannya bukan dari orang pertama.

Sehubungan dengan itu, hearsay Evidence berada diluar alat bukti dan

dinyatakan an out-of court statement, karena isi keterengan hanya merupakan

“repetisi” atau pengulangan dari apa yang di dengar dari orang lain.49

Dari pendapat keduanya tersebut dasar penolakan terhadap kesaksian

de auditu sebagai alat bukti dikarenakan saksi de auditu merupakan saksi

tidak langsung yang kebenarannya sangat di ragukan sekali, padahal hukum

acara pidana mencari kebenaran materiil karena berkaitan dengan hak-hak

48
Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung:
Mandar Maju, 2003), h. 40.
49
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar
Grafika,2009) ed.2 cet ke IX, h.207.
45

seorang tersangka. Selain itu juga, jika kesaksian de auditu diterima sebagai

alat bukti berarti telah terjadi pengingkaran terhadap definisi saksi itu sendiri.

B. SaksiIstifadlah

Arti kata As-Syahadahantara lain ialah Al-Iqroru yakni kesaksian50,

dan Al-Istifadlah ialah tersebar atau tersiar luas.51 Adapun yang dimaksud

khabar Istifadlah (berita tersebar) ialah berita yang mencapai derajat antara

berita mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah

menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan manusia.52

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa saksi Istifadlah adalah

merupakan suatu cara dari cara-cara pengetahuan yang meniadakan

kecurigaan tentang seorang saksi dan hakim dan ia lebih kuat dari kesaksian

saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya.53Mengenai saksi

Istifadlah dalam hukum acara Islam berbagai macam pendapat antara lain

sebagai berikut:

Sayid Sabiq menghimpun beberapa pendapat para Ulama terkait

dengan Saksi Istifadla. Ia mengatakan bahwaImam Syafi’I memperbolehkan

seorang hakim mempergunakan saksi Istifadlah dalam hal-hal yang

berhubungan dengan nasab, kelahiran, kematian memerdekakan budak,

50
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
Cet. XIV, h. 799.
51
Ibid.,h. 1163.
52
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, h. 82.
53
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, (Kairo: Darul Hadis, 2002), Juz. I, h. 91.
46

perwalian, diangkatnya menjadi hakim, wakaf, nikah, beserta seluruh

masalahnya, keadilan seseorang, cacat pribadi seseorang, wasiat, kecerdasan,

dan kebodohan seseorang dari masalah-masalah yang berhubungan dengan

hak milik seseorang. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa saksi

Istifadlah itu dapat dipergunakan hanya dalam lima hal yaitu: pernikahan,

persetubuhan (zina), nasab, kematian dan diangkatnya seseorang menjadi

hakim dalam suatu wilayah.Imam Ahmad mengatakan bahwa sebagian dari

kalangan Syafi’iyah mengemukakan bahwa saksi Istifadlah itu hanya dapat

dipergunakan dalam hal yang berhubungan dengan pernikahan, nasab,

kematian, memerdekakan budak, perwalian dan tentang hak milik yang

dipersengketakan.54

C. Kekuatan Pembuktian KesaksianDe Auditudalam Hukum Acara

Pidanadi Indonesia

Dalam hukum acara pidana larangan menggunakan kesaksian de

auditu sebagai alat bukti di Indonesia diatur secara tegas dalam

KUHAP.55Pasal 185ayat (1) KUHAP menentukan bahwa keterangan saksi

sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.

Selanjutnya, penjelasan pasal 185 ayat (1) KUHAP tersebut dengan tegas

menentukan bahwa dalam suatu keterangan saksi, tidak termasuk keterangan

yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

54
Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, h.1037
55
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, h. 130.
47

Dengan demikian terjawablah dengan tegas bahwa keterangan saksi

yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti sah. Andi Hamzah

mengemukakan pendapatnya bahwa:

“Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu

tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan

hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang

saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya,

maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak di pakai di

Indonesia pula.”56

Munir fuady mengemukakan alasan tidak dapat diterimanya kesaksian

de auditu sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan suatu kebenaran

atas suatu fakta kejadian karena memiliki beberapa kelemahan, yaitu sebagai

berikut:57

1. Karena kesaksian de auditu tidak dibedakan mana yang merupakan

kesaksian yang benar dan mana yang merupakan gosip atau rumor belaka.

2. Karena kesaksian de auditu tidak dapat menghadirkan saksi yang

sebenarnya ke pengadilan untuk didengar oleh para hakim dan para pihak.

3. Karena saksi yang sebenarnya tidak hadir dipengadilan, maka tidak ada

pertanyaan yang dapat diajukan dan tidak dapat dilakukan eksaminasi

56
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 267.
57
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, h. 134.
48

silang (cross examination) sehingga tidak dapat diketahui seberapa jauh

kesaksiannya itu akurat.

4. Karena saksi yang sebenarnya tidak datang ke pengadilan, maka terdapat

masalah validitas kesaksiannya, yaitu tidak dapat diketahui sejauh mana

keakuratan dari persepsi, ingatan, narasi, keseriusan, dan ketulusan

hatinya.

5. Karena problem ambigiusitas bahasa. Dalam hal ini, tidak diketahui apa

maksud persis nya ketika mengucapkan sesuatu kata.

Keterangan saksi de auditu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti penuh.

Bahkan dalam banyak putusan pengadilan keterangan saksi de auditudianggap

sama sekali tidak berharga sebagai alat bukti. Keberatan terhadap kesaksian

de auditu dahulu didasarkan kepada asas bahwa seluruh proses pembuktian

langsung didepan hakim dan terdakwa mengikuti seluruh proses itu, yang

merupakan pembuktian terbaik.58

58
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 267.
49

BAB IV

KEKUATAN KESAKSIAN DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT

HUKUM ACARA PIDANAISLAM

A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010

1. Kronologi Kasus59

Peristiwa pidana ini menyangkut terdakwa JEFRI OLOANDIKA

SILALAHI Bin JARASMIN SILALAHI pada hari minggu tanggal yang

sudah tidak diingat lagi pada bulan November 2007 sekitar pukul 11.00 WIB

bertempat dikebun belakang Perumahan Griya Harapan yang terletak di Desa

Penyangkringan, Kecamatan Weleri kabupaten Kendal dengan sengaja

59
Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid. Sus/2010 di akses pada situs
Www.mahkamahagung.go.id. Pada jum’at 1 November 2013.
50

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa saksi korban

melakukan persetubuhan dengannya dengan cara berikut:

Pada waktu dan tempat seperti disebutkan diatas terdakwa dan saksi

korban Farida Lumban Raja Binti Amintas Lumban Raja yang sebelumnya

telah mengikuti kegiatan Pramuka yang diselenggarkan selama 2 (dua) hari

setelah selesai kemudan terdakwa mengantar pulang saksi korban. Namun

sebelum sampai rumah terdakwa mengajak saksi korban berjalan menuju ke

kebun untuk bersantai disana sambil duduk. Selanjutnya terdakwa merangkul

sambil mencium kening saksi korban dan pada saat akan mencium bibir saksi

korban menolak dengan menggelengkan kepala, melihat hal tersebut terdakwa

berdiri dan memaksa saksi korban dengan cara mendorong kedua bahu saksi

korban dengan mengunakan kedua tangannya sehingga saksi korban berusaha

bangun dari tempat duduknya. Namun karena kuatnya dorongan dari kedua

tangan terdakwa sehingga saksi korban tersandar di pinggiran tempat duduk

tersebut. Kemudian terdakwa dengan cepat, tangan kanan nya menyingkapkan

rok melepas celana dalam sampai sebatas paha sambil tangan kirinya tetap

mendorong pundak saksi korban sebelah kiri. Lalu terdakwa membuka

resleting celananya dan mengeluarkan alat kelaminnya kemudian

memasukkannya kedalam alat kelamin saksi korban sampai masuk dan

menggerakkan pantatnya maju mundur beberapa kali sampai merasa klimaks

dan mengeluarkan air mani yang dimasukkan kedalam alat kelamin saksi

korban.
51

Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban di jumpai selaput dara robek

pada posisi jam 7 sampai dasar berdasarkan hasil Visum et Repertum Nomor :

Klien/112/1V/2008 tanggal 8 juni 2008 yang di tandatangani oleh dr. Mastutik

dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Kendal.Berdasarkan hal tersebut

perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81

ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Jo Pasal 26 ayat (1)Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam undang-undang

nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 81 ayat 1 di sebutkan

bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000.00 (enam puluh juta

rupiah).

Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menuntut agar terdakwa di

pidana selama 6 (enam) tahun penjara dan denda Rp. 60.000.000,- (enam

puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.Unsur-unsur dalam

perbuatan tersebut yaitu, perbuatan melawan hukum, memaksa melakukan

persetubuhan, dengan kekerasan atau ancaman. Namun Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Kendal dalam amar putusan nyaNo.

234/Pid.B/2008/PN.KDL menyatakan bahwa Terdakwa JEFRI OLOANDIKA


52

SILALAHI Bin JARASMIN SILALAHI tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan

didalam dakwaan Primair, Subsidair, dan Lebih Subsidair. Membebaskan

terdakwa dari segala dakwaan, memerintahkan terdakwa untuk dibebasakan

dari tahanan rumah tahanan Negara, serta memulihkan hak dan martabat

terdakwa.

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kendal, Jaksa Penuntut Umum

mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung.Terhadap Kasasi yang diajukan

Jaksa Penuntut Umum, Mahkamah Agung memutuskan dalam Putusan

Mahkamah Agung RI No. 272 K/Pid.Sus/2009 tanggal 15 Mei 2009 yang

dalam amar putusan nya menyatakan bahwa Mengabulkan Permohonan

Kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri

Kendal, Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor: 234/Pid

2008/PN.KDL, Menyatakan terdakwa JEFRI OLOANDIKA SILALAHI Bin

JARASMIN SILALAHI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “persetubuhan terhadap anak dibawah umur” dan

Menjatuhkan kepada terdakwa JEFRI OLOANDIKA SILALAHI Bin

JARASMIN SILALAHI dengan hukuman pidana penjara selama 1 (satu)

tahun 6 (enam) bulan.

Terhadap putusan kasasiMahkamah Agung tersebut Terdakwa

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Dalam Memori

Peninjauan Kembali (PK) salah satunya terdakwa mengajukan keberatan


53

terhadap Mahkamah Agung bahwa pertimbangan Majelis Hakim Kasasi/

Judex Juris adalah keliru karena di dasarkan pada keterangan saksi yang tidak

pernah melihat sendiri, mengalami sendiri dan mendengar sendiri, melainkan

hanya berdasarkan cerita dari orang lain (Testimonium De Auditu).

Berdasarkan Putusan Kasasi No. 272 K/Pid.Sus/2009 pada halaman 12-

13 perkara a quo Majelis Hakim Kasasi telah membenarkan keberatan yang

dikemukakan oleh Penuntut Umum/Pemohon Kasasi dengan menyatakan

bahwa keberatan Penuntut Umum tersebut dapat dibenarkan karena

JudexFacti (Pengadilan Negeri) yang tidak cermat dan teliti dalam

pertimbangan hukumnya dimana keterangan para saksi-saksi yang didengar

dipersidangan I (pertama) saksi Farida Lumban Raja Binti Amintas Lumban

Raja, Amintas Lumban Raja Bin D. Lumban Raja, saksi Anis Sirait Binti

Ahiya Sirait, saksi Dyah Ariiani Pudjilestari Binti Soedjadi, saksi Ucok Sabar

Lumban Raja Bin Amintas Lumban Raja menerangkan bahwa terdakwa

pernah mengakui bersetubuh dengan saksi korban Farida Lumban Raja.

Begitu pula dalam pengakuannya kepada para saksi tersebut terdakwa

bersedia bertanggung jawab atas perbuatan yang telah ia lakukan pada saksi

korban.

Menurut terdakwa keempat saksi tersebut tidak memiliki kapasitas

sebagai saksi. Karena keempat saksi tersebut menerangkan hanya berdasarkan

cerita dari saksi korban Farida Lumban Raja. Dengan demikian keterangan
54

para saksi tersebut adalah sebagai keterangan yang di dengar dari orang lain

(testimonium de auditu)yang tidak mempunyai nilai pembuktian.

2. Pertimbangan Hukum Hakim

Terhadap alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang di

ajukan oleh Terdakwa JEFRI OLOANDIKA SILALAHI Bin JARASMIN

SILALAHI Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menyatakan

bahwa Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 272 K/Pid.Sus/2009 yang

mengabulkan permohonan Kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan

terdakwa JEFRI OLOANDIKA SILALAHI Bin JARASMIN SILALAHI

terbukti bersalah melakukan tindak pidana “persetubuhan terhadap anak

dibawah umur” sudah tepat dan benar. Sehingga tidak ada kekhilafan atau

kekeliruan yang nyata dari JudexJuris.

Putusan Majelis hakim PK yang membenarkan putusan kasasi

Mahkamah Agung menurut penulis sudah tepat dan benar. Hal ini didasarkan

bahwa walaupun kesaksian de auditu tidak diterima sebagai alat bukti namun

banyak dari putusan-putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang

mempergunakan saksi de auditu sebagai alat bukti yakni melalui alat bukti

petunjuk. Terkait dengan kasus ini sejatinya adalah untuk menegakkan

keadilan dan hukum terhadap terdakwa yang secara jelas dan nyata (sesuai

dengan fakta) baik melalui hasil Visum etReprertum maupun keterangan saksi

korban telah melakukan perbuatan pidana yakni memaksa melakukan

persetubuhan dengan saksi korban yang merupakan anak di bawah umur.


55

Pertimbangan Hukum Mahkamah Kasasi yang membenarkan keberatan

Pemohon Kasasi/Penuntut Umum bahwa Judex Facti(Pengadilan Negeri

Kendal) telah keliru dalam menilai keterangan saksi-saksi selain saksi korban

itu menurut hemat penulis sangat patut dihargai sebagai sebuah kemajuan

berfikir. Bahwa tidak selamanya saksi yang bersifat de auditudilarang untuk

didengar keterangannya, adakalanya saksi de auditutersebut dapat

didengarkan oleh hakim sebagai petunjuk untuk menumbuhkan keyakinan

hakim bahwa telah terjadi suatu tindak pidana.

B. Analisis Hukum Acara Pidana Terhadap KesaksianDe Auditu

Seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu mengenai kekuatan

pembuktian kesaksian de auditu dipersidangan yang tidak dapat dipakai

sebagai alat bukti penuh. Bahkan, dalam banyak putusan pengadilan

keterangan saksi de auditu dianggap sama sekali tidak berharga sebagai alat

bukti.

Namun, bertolak belakang dengan pendapat umum yang menolak

saksi de auditu sebagai alat bukti, Munir Fuady justru menerima kesaksian

deauditu sebagai alat bukti di persidangan, tentunya dengan klasifikasi dan

persyaratan-persyaratan tertentu. Ia berpendapat: “ apakah saksi de auditu

dapat dipergunakan sebagai alat bukti?. Hal ini sangat bergantung pada

kasus perkasus. Apabila ada alasan yang kuat untuk memercayai kebenaran
56

dari saksi de auditu, misalnya keterangan tersebut dapat dimasukkan dalam

kelompok yang dikecualikan, saksi de auditu tersebut dapat dipergunakan

sebagai alat bukti. Dalam hukum acara perdata saksi de auditu dapat diakui,

baik lewat bukti persangkaan maupun tidak. Adapun dalam hukum acara

pidana dapat diakui lewat bukti petunjuk.”60

Penulis berpendapat tampaknya Munir Fuady lebih bersikap luwes dan

terbuka dibanding dengan para ahli hukum lainnya, dengan tidak menolak

secara mentah-mentah saksi de auditu.Hal ini tentunya apabila terdapatalasan

yang kuat untuk mempercayainya dan menggunakannya sebagai alat bukti

petunjukguna membangun keyakinan hakim dalam memutuskan suatu perkara

dipersidangan.

Untuk itu, menurut penulis patut dipertimbangkan oleh hakim kapan

saatnya keterangan saksi de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti

petunjuk tersebut. Disini dibutuhkan kecerdasan dan kecermatan hakim untuk

menilai kebenaran saksi de auditu . Karena keberatan dan yang disangsikan

dalam saksi de auditu adalah tentang benar atau tidaknya ucapan pihak saksi

yang tidak kepengadilan tersebut, maka titik fokus utama dari dipakainya

saksi de auditu sebagai alat bukti adalah sejauh mana dapat dipercaya ucapan

saksi yang tidak ke pengadilan itu. Jika menurut hakim yang menyidangkan

ternyata keterangan saksi pihak ketiga cukup reasonable untuk dapat

60
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2012), Cet II h. 146
57

dipercaya, maka keterangan saksi seperti itu dikecualikan dari de auditu.

Artinya keterangan saksi seperti itu dapat diakui sebagai alat bukti meskipun

secara tidak langsung yakni lewat alat bukti petunjuk.

Senada dengan hal tersebut Wirjono Prodjodikoro juga

mengemukakan pendapatnya tentang saksi de auditu yang dapat dipergunakan

dalam persidangan sebagai alat bukti petunjuk. Menurutnya:

“larangan terhadap saksi testimonium de auditu adalah baik dan semestinya.

Akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan

telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian

semacam itu tidak selalu dapat dikesampingkan begitu saja. Mungkin hal

pendengaran suatu peristiwa dari orang lain dapat berguna untuk

penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.”61

Penulis sependapat dengan kedua sarjana hukum tersebut bahwa saksi

de auditu tidak dapat dikesampingkan begitu saja untuk tidak di dengar

keterangannya. Kecermatan hakim untuk menilai kebenaran dari kesaksian de

auditu sangat diperlukan untuk membangun keyakinan hakim. Saksi de auditu

dapat saja di terima sebagai sebuah alat bukti asal hakim mempunyai alasan

yang rasionable untuk itu.

Prinsip umum yang diterima secara meluas dalam praktik pengadilan

adalah bahwa saksi de auditu tidak berharga sebagai alat bukti. Namun

61
Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung:
Mandar Maju, 2003), h. 40
58

pendapat tentang dapat dipakainya keterangan saksi de auditu oleh hakim,

baik sebagai alat bukti petunjuk dalam acara pidana maupun lewat alat bukti

persangkaan dalam acara perdata, juga diterima oleh Mahkamah Agung

Republik Indonesia (MARI) meskipun belum ada arah dan sasaran yang jelas.

Contoh kasus dapat dikemukakan disini yaitu dalam perkara pidana

yang menyangkut delik kesusilaan yang di putuskan oleh Mahkamah Agung

dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010 pada

pembahasan diatas tersebut. Putusan PK yang pada intinya menolak keberatan

pemohon PK dan menguatkan putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut

yang dalam salah satu pertimbangan hukum nya membenarkan apa yang telah

sebelum nya dilakukan oleh Majelis Kasasi Mahkamah Agung dalam hal

menerima keterangan saksi Amintas Lumban Raja Bin D. Lumban Raja, saksi

Anis Sirait Binti Ahiya Sirait, saksi Dyah Ariiani Pudjilestari Binti Soedjadi,

saksi Ucok Sabar Lumban Raja Bin Amintas Lumban Raja sebagai salah satu

alat bukti. Padahal saksi-saksi tersebut bukan saksi asli yang melihat,

mendengar atau mengalami kejadian tersebut, tetapi diperoleh dari keterangan

saksi korban yakni Farida Lumban Raja, sehingga dapat dikategorikan bahwa

saksi tersebut merupakan saksi de auditu.

Dalam praktik peradilan di Indonesia, memang mayoritas para hakim

menolak kesaksian de auditu, namun ada beberapa putusan pengadilan yang

menggunakan kesaksian de auditu sebagai alat bukti persangkaan dalam


59

hukum acara perdata maupun sebagai alat bukti petunjuk dalam hukum acara

pidana. Seperti:

1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 239

K/Sip/1973, tanggal 25 September 1975. Dalam hal ini dengan

pertimbangan bahwa banyak peristiwa hukum masa lalu tidak dilakukan

dalam bentuk tulisan, tetapi dilakukan dengan pesan lisan secara turun

temurun, maka saksi yang mendengar dari orang lain pesan secara turun

temurun tersebut dapat diterima sebagai alat bukti karena dalam hal ini,

saksi-saksi yang langsung mengalami perbuatan hukum tersebut

semuanya sudah meninggal dunia.

2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 818

K/Sip/1983 tanggal 18 Agustus 1984, yang dapat menerima keterangan

dua orang saksi de auditu untuk memperkuat keterangan dari seorang

saksi lain yang tidak de auditu sehingga terhindar dari ketentuan Unnus

Testis Nullus Testis,(satu orang saksi bukanlah saksi).

3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 308

K/Sip/1959, tanggal 11 November 1959, yang diputuskan oleh majelis

hakim yang terdiri atas:

- R. Wirjono Prodjodikoro (ketua)

- Sutan Kali Malikul Adil (anggota)

- Mr. Subekti (anggota)


60

Yang pada intinya menyatakan bahwa “kesaksian testimony de auditu

tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung, namun kesaksian ini dapat

digunakan sebagai bukti persangkaan, yang dari persangkaan ini dapat

dibuktikan suatu hal/fakta. Hal yang demikian ini tidaklah dilarang.”62

Secara umum menolak kesaksian de auditu tapi dari beberapa putusan

pengadilan ada yang mencoba menerimanya baik lewat bukti persangkaan

ataupun melalui bukti petunjuk. Tetapi belum ada pedoman yang jelas dari

Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan tertinggi di bidang kehakiman

di Indonesia untuk memberikan pengarahan serta petunjuk yang jelas bagi

perkara-perkara pidana yang menyangkut saksi de auditu di kemudian hari.

C. Analisis HukumAcara Pidana Islam Terhadap KesaksianDe Auditu

Pembuktian kriminal (pidana) dalam hukum Islam pada intinya selalu

berdasarkan pada kesaksian.63 Karena kesaksian merupakan dasar awal untuk

membuktikan telah terjadinya suatu tindak pidana dalam hukum Islam.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada prinsipnya

hukum pidana Islam mensyaratkan kesaksian terbaik yaitu kesaksian

berdasarkan pada apa yang dilihat, dialami dan didengarnya sendiri. Namun

dalam keadaan-keadaan tertentu saksi yang mengalami dan melihatnya tidak

dapat hadir dipersidangan untuk memberikan kesaksian seperti saksi sudah

62
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, h. 149.
63
Ma’amoun M. Salama, General Principles Of Criminal Evidence In Islamic Jurisprudence,
dalam M. Cherif Bassiouni,ed, The Islamic Criminal Justice System, (New York: Oceana Publications,
1982), h. 115.
61

meninggal, sakit yang amat parah atau alasan-alasan lain yang dibenarkan

oleh Syara’. Sehingga kemudian untuk membuktikan tentang terjadi nya suatu

tindak pidana digunakanlah saksi yang tidak melihat atau mengalaminya

secara langsung melainkan berita tersebut di dapat dari orang lain.

Dalam masalah-masalah yang bersifat keperdataan ahli hukum Islam

sepakat untuk menerima kesaksian tersebut. Namun lain halnya dengan

perkara pidana, dalam perkara yang berkaitan dengan hukum qishas seperti

pembunuhan serta pidana qadzaf kesaksian tersebut dapat diterima sedangkan

untuk had zina, minuman keras, serta pencurian tidak dapat diterima karena

menurut Imam Syafi’i hal tersebut menjadi haknya Allah.64

Kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana Islam dilarang

penggunaannya karena kebenaran dari saksi de auditu sangat diragukan.

Berbeda dengan pendapat yang ada, golongan Hanafiyah mengatakan bahwa

saksi de auditu (khabar istifadlah), setara dengan berita mutawatir yakni

berita yang sudah menyebar dikalangan umum dan ini merupakan suatu jenis

berita dari berita-berita yang boleh dijadikan sandaran persaksian. Misalnya

seorang suami dibolehkan berpegang pada berita itu dalam menuduh isterinya

telah berzina, apabila zina si isteri telah tersebar beritanya dikalangan

manusia. Dan hakim dibolehkan berpegang terhadapnya.65

64
Ibnu Abi Dam, Kitab Adab Al-Qadla, (Beirut: Darul Kitab Al-ilmiya, 1987), h. 295.
65
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 82.
62

Namun dalam hukum acara pidana Islam dikenal juga model kesaksian

atas kesaksian. Yakni kesaksian seseorang yang diperoleh dari orang lain yang

melihat, mendengar atau mengalami suatu peristiwa tindak pidana tersebut.

Tetapi saksi asli berhalangan hadir disidang pengadilan baik karena telah

meninggal atau sakit yang amat parah.

Dalam memutuskan dapat diterima atau tidaknya kesaksian seseorang

yang tidak melihat, mendengar dan mengalaminya secara langsung tergantung

pada hak-hak yang dipersengketakan. Hak-hak tersebut ialah;

1. Hak-hak yang dihati-hatikan dalam menetapkannya, yaitu harta benda,

2. Hak-hak yang diwajibkan syara’ berhati-hati dalam menolaknya, yaitu

perkara had dan qishas.

Terkait dengan hak yang pertama Fuqoha sepakat

memperbolehkannya. Sedangkan mengenai hak yang kedua terjadi

perselisihan. Abu Hanifah, An Nakha’i tidak menerima kesaksian atas

kesaksian dalam perkara Hududdan Qishas. Sedangkan As-Syafi’i menerima

kesaksian atas kesaksian dalam hak-hak hamba semuanya baik hukuman atau

lainnya. Namun terkait dengan had-had yang menjadi hak Allah ada dua

pendapat beliau:

1. Tidak diterima, karena kesaksian mereka atas kesaksian asli menempati

kesaksian atas pengakuan orang-orang yang mengaku dan yang demikian

tidak diterima dalam had-had yang jadi hak Allah,


63

2. Dapat diterima kecuali dalam urusan rajam, maka saksi atas zina termasuk

orang yang merajam di syaratkan hadir.

Adapun dalam urusan ta‟zir tidak ada khilafFuqoha untuk dapat

menerima kesaksian atas kesaksian. Sekalipun Ulama membolehkan

diterimanya kesaksian atas kesaksian namun mereka menentukan syarat-

syarat yang cukup ketat untuk dapat diterimanya kesaksian tersebut dalam

perkara pidana.

Setidaknya menurut Ibnu Abi Dam ada lima syarat yang harus di

penuhi66 yaitu:

1. Saksi asli dan saksi cabang (perwakilan) harus memiliki sifat adil menurut

pemahaman hakim.

Ketentuan ini menuntut hakim untuk cermat dan teliti dalam menilai

kualitas saksi serta kesaksiannya. Sehingga apabila saksi asli dan saksi

cabang adalah orang yang adil dan kesaksiannya relevan untuk di

dengarkan makan kesaksian yang seperti ini dapat diterima.

2. Saksi cabang (perwakilan) harus menyebut dengan jelas dan terang nama

saksi asli dan bagaimana kesaksian itu bisa sampai kepadanya.

Hal ini dimaksudkan agar saksi cabang tidak berbohong dan memalsukan

kesaksian dari apa yang didapat dari saksi asli.

3. Saksi asli tidak dapat hadir ke persidangan karena alasan-alasan yang

dapat dibenarkan seperti sakit yang amat parah, atau saksi telah wafat.
66
Ibnu Abi Dam, Kitab Adab Al-Qadla, (Beirut: Darul Kitab Al-ilmiya, 1987), h. 302-305.
64

4. Saksi cabang (perwakilan) merupakan orang yang memiliki kualitas

sebagai saksi

Yakni saksi cabang bukan anak kecil, hamba sahaya, kafir, dan fasik.

5. Saksi cabang (perwakilan) harus laki-laki.

Persyaratan ini dimaksudkan agar orang yang memberikan kesaksian

berdasar pada pendengaran orang lain betul-betul orang yang mendengar dari

saksi asli dan kesakian nya pun relevan terhadap perkara pidana yang sedang

dibuktikan.
65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian-uraian mengenai kekuatan pembuktian

kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara

pidana Islam, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Saksi de auditu dalam hukum acara pidana terkait dengan pemeriksaan

dipersidangan harus memenuhi syarat formil dan materil. Berdasarkan

Pasal 1 angka 26 KUHAP saksi ialah orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan

tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri. Dengan demikian, keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain

(de auditu) tidak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan. Hal ini

sesuai dengan ketetuan penjelasan pasal 185 ayat (1) KUHAP bahwa

dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari


66

orang lain atau Testimonium de auditu. Namun tidak serta merta

keterangan saksi de auditu ditolak dipersidangan, para pakar hukum

Indonesia sebagian dapat menerima saksi de auditu dengan syarat dan

ketentuan tertentu. Bahkan dari hasil penalitian penulis menemukan ada

beberapa putusan pengadilan yang dapat menerima kesaksian de

auditusebagai salah satu alat bukti dipersidangan yakni melalui alat bukti

petunjuk.

Senada dengan hukum acara pidana Indonesia dalam hukum acara pidana

Islam pun saksi de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti.

Namun ada metode kesaksian atas kesaksian yang dapat dipergunakan

dalam sidang pengadilan jika saksi asal berhalangan hadir untuk

memberikan kesaksian.

2. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) nomor 193 PK/Pid. Sus/2010

Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnyamenyatakan

membenarkan dan menguatkan putusan Kasasi Mahkamah Agung No.

272 K/Pid.Sus/2009 yang dalam salah satu putusannya pada halaman 12-

13 membenarkan keberatan Penuntut Umum/Pemohon Kasasi bahwa

Judex Facti (Pengadilan Negeri Kendal) telah keliru dan tidak cermat

dalam menilai kesaksian saksi-saksi tersebut diatas yang bersifat de

auditu. Putusan ini telah sesuai dan tidak menyalahi aturan yang berlaku

karena saksi de auditu pun dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk

apabila terdapat persesuaian dengan alat bukti lainnya.


67

B. Saran

1. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan informasi serta dinamika

kehidupan yang amat kompleks maka menuntut untuk adanya dinamisasi

dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hukum acara pidana.

Dalam menghadapi perkara pidana yang di dalamnya terdapat testimonium

de auditu, hakim harus bersikap dan bertindak seobyektif mungkin dengan

tidak serta merta menolak kesaksian tersebut tetapi harus menilai nya

dengan cermat dan teliti apakah relevan dan manfaat jika saksi tersebut di

dengar keterangannya

2. Bagi institusi hukum tertinggi di Indonesia yaitu Mahkamah Agung agar

dapat membuat aturan dan arahan yang jelas dan baku bagi para hakim

untuk di terimanya kesaksian de auditu sebagai alat bukti di persidangan

melalui instrument alat bukti petunjuk. Tentunya dengan terlebih dahulu

mencermati relevansi, kemanfaatan serta kebenaran kesaksian yang

demikian. Sehingga perkara pidana di persidangan dapat diputuskan

secara cepat dan efisien.


68

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim, Depag RI

Abbas, Afifi Fauzi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Adelina Press, 2010.

Ad-Dimyati, Abi Bakr Usman bin Muhammad Syata’, Hasyiyah I‟anah

Attholibin, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Juz. IV, 2012.

Ad-dam, Ibnu Abi, Kitab Adab al-Qadla,Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,

1987.

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

Indonesia, Jakarta:Raih Asa Sukses, 2011.

Alim, Muhammad. Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian

Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Cet I. Yogyakarta: LKIS,

2010.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, I‟lam al-Muwaqi‟in, Kairo: Darul hadis, 2002.

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum

Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.


69

Asshidieqy, Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Cet II.

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan,

Jakarta: Gramata Publishing, 2012.

Bahansy, Ahmad Fath. Nazriatul Itsbat Fil Fiqh al-Jina‟I al-Islami, Dirasat

Fiqhiah Muqaranah, Beirut: Dar al-Suruq, 1983.

Bassiouni, M Cherif, ed, The Islamic Criminal Justice System, New York:

Oceana Publications. 1982.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, ed. IV, 2008.

Djalil, Basiq. Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012.

Fuady, Munir. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2012.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Cet.IX. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hiariej, Eddy O.S. Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta: Penerbit Erlangga,

2012.

Hasyim, Usman. Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayat Islam, Yogyakarta:

Andi Offset, 1984.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Daar ar Rasyid, 2008.
70

Madkur, Muhammad Salam, Al-Qadla‟ fil Islam, Mesir: Daar Annahdlah Al-

Arabiyah, tt.

M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, Bogor:

Politea, 1983.

Mutawalli, Mahmud A’is, Dlomanatul A‟dalah fil Qadla Islami, Beirut: Dar

al Kutub El Ilmiya, 2003.

Rusyd, Ibn. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut: Dar El fikr,

2008.

Sabiq, Sayid. Fiqhussunnah, Mesir: Fath Alam El-Arabi, 2004.

Sabuan, Ansori. dkk. Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa, 2010.

Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,

Bandung: Mandar Maju, 2003.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. II, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

Umam, Chaerul, Dkk. Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir FilAqidah wasyariah wal Minhaj,Juz. II,

Damsyq : Darul Fikr, 2003.

Yanggo, Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2010.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

www.Badilag.com.

www.Mahkamahagung.go.id.
71

www.Mahkamahkonstitusi.com.

Anda mungkin juga menyukai