Anda di halaman 1dari 73

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN DIGITAL FORENSIK

SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Strata Satu ( S.H ) Pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo

Oleh :

AYIK MUHAMMAD SYAFEI ALHUSNI SUARDI


H1 A115 082

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019
ii
iii
iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan

hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini meskipun dengan

segala keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis.

Ucapan terima kasih, penghormatan, dan penghargaan yang

setinggitingginya pula kepada kedua orang tua penulis, Bapak Suardi, S.Pd.,

M.Pd. dan ibu Husnia, S.Pd. yang telah memberikan dukungan do’a dan materi

sehingga penulis bisa menempuh pendidikan diperguruan tinggi pada Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo. Saudara-saudaraku Ayu Ningtyas Mardhatillah

dan Muhammad Riski Azzudais Alhusni Suardi, serta semua keluarga yang

telah memberikan dukungan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini

banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan ucapan terima kasih tidak terhingga, penghargaan dan

penghormatan kepada Bapak Dr. Herman,SH.,LL.M,. selaku Pembimbing I dan

Bapak Iksan, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan

arahan dan bimbingan kepada penulis.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Sc. selaku Rektor

Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Dr. Herman, S.H., LL.M. sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo.


v

3. Bapak Dr. Guasman Tatawu, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan

BidangAkademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

4. Bapak Heryanti S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Umum,

Perencanaan dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

5. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M. selaku Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

6. Bapak Rustam Ukkas, S.H., M.Si., M.H. danBapak Ali Risky, S.H.,

M.H. serta Bapak Ayib Rosidin, S.H., M.H. selaku penguji yang telah

memberikan masukan dan saran yang membangun demi penyempurnaan

Skripsi ini.

7. Bapak Irwansyah, S.H., M.H. yang banyak mengajarkan saya banyak

hal terkait Ilmu Forensik.

8. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang

telah memberikan pencerahan dalam proses perkuliahan sehingga dapat

membekali penulis untuk menjadi mahasiswa hukum yang baik selama

kurang lebih 4 (empat) Tahun ini.

9. Para staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang

memberikan kemudahan untuk mengurus administrasi perkuliahan

termasuk dalam membantu penyelesaian ujian akhir ini.

10. Kepada rekan-rekan Mahasiswa angkatan 2015 Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo yang tidak sempat penulis tuliskan namanya satu

persatu terima kasih atas semua bantuannya, motivasi, dukungan moril

dan kekompakan.
vi

11. Pada teman-teman terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam

proses belajar dan masukan dalam penulisan skripsi ini sehingga dapat

terselesaikan.

Penulis menyadari tanpa dukungan dan bantuan dari pihak-pihak diatas

penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tepat pada waktunya dengan

segala kekurangan yang dimiliki penulis mohon kritikan dan saran untuk

penyempurnaan skripsi ini ke depannya.

Kendari, Juni 2019

Penulis
vii

ABSTRAK

AYIK MUH. SYAFEI ALHUSNI SUARDI, STAMBUK H1A115082


“KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN DIGITAL FORENSIK SEBAGAI
ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA.” Di bawah
Bimbingan Dr. Herman, SH., LLM sebagai Pembimbing I dan Iksan, SH.,MH.
sebagai Pembimbing II
Tujuan penelitian yaitu Untuk mengetahui dan memahami kekuatan
pembuktian digital forensic sebagai alat bukti dalam penyelesaian perakra pidana.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tipe penelitian
Normatif. Pendekatan penelitian meliputi pendekatan perundang-undangan,
Pendekatan Kasus dan Pendekatan Konseptual. Jenis dan sumber bahan hukum
yang digunakan bersumber dari penelitian kepustakaan (bahan hukum sekunder),
yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.Teknik pengumpulan
bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara inventarisasi hukum
positif (peraturan perundang-undangan) dan penelusuran kepustakaan (studi
pustaka), Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan Teknik analis
bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan analisis yang sifatnya
Preskripsi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menjadi dasar hukum berlakunya Digital Forensik sebagai alat bukti, sebagai
bentuk perluasan dari pengaturan alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP.Ahli digital forensik berkaitan dengan alat bukti digital berkedudukan
sebagai alat bukti yang sah yaitu keterangan ahli dan Surat, sebagaimana diatur
pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP.Seorang ahli digital forensik langsung
berhubungan dengan barang bukti baik dari TKP saat penyidikan hingga
laboratorium.Bukti digital forensik mempunyai tingkat kredibilitas yang tinggi
dan memenuhi kriteria reabilitas sehingga dapat dipergunakan sebagai alat bukti.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan pembuktian bukti digital forensik
dapat memberikan pengaruh dan menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil
suatu putusan

Kata Kunci : Pembuktian, Alat Bukti, Digital Forensik, Informasi dan


Teknologi, Keterangan Ahli dan Surat.
viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………… iv
ABSTRAK ……………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah …………………………………………1

B Rumusan Masalah ......................................................................... 6

C Tujuan Penelitian .......................................................................... 6

D Manfaat Penelitian .........................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ………......................... 8
1. Pengertian Tindak Pidana …………....................................... 8

2. Unsur-unsur Tindak Pidana………..………………………. 12

B Tinjauan Umum Tentang Pembuktian dan Alat Bukti ………… 13


1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti ................................... 13

2. Teori dan Sistem Pembuktian...................................................17

3. Jenis-jenis Alat Bukti ………………………………………. 25

C Tinjauan Umum Tentang Digital Forensik ….………………….. 30

1. Pengertian Digital Forensik ……….………………………… 30

2. Pemeriksaan Digital Forensik ………….…………………… 32


ix

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ..............................................................................34

B. Pendekatan Penelitian ...................................................................34

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ..................................................35

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................... 36

E. Teknik Analisis Bahan Hukum .................................................... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kekuatan Pembuktian Digital Forensik Sebagai Alat Bukti

Dalam Penyelesaian Perkara Pidana ……………………………….. 38

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………….……………………….. 61

B. Saran ………………………………………………….…………… 62

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………...……63
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Teknologi informasi sangat mempengaruhi arus komunikasi dan

interaksi antar masyarakat, sehingga arus komunikasi dan interaksi tersebut

menjadi tidak memiliki batas ruang dan waktu. Tuntutan globalisasi yang

semakin menyeluruh membuat teknologi informasi harus berkembang dengan

cepat. Perubahan teknologi yang terjadi telah banyak sekali merubah

peradaban. Perkembangan teknologi yang sangat cepat, mempengaruhi

manusia dalam dalam kehidupan sehari-hari.

Penggunaan teknologi ini tidak terbatas pada kegunaan di masyarakat,

tetapi juga dapat digunakan oleh penegak hukum sebagai sarana dalam

menjalankan tugasnya. Pendekatan teknologi secara nyata telah banyak

membantu penegak hukum dalam mengungkap berbagai kasus. Teknologi

elektronik ini digunakan dalam melakukan pembuktian. Pendekatan teknologi

dalam pembuktian masih perlu dikaji tentang bagaimana penrapannya ke

dalam mekanisme hukum di Indonesia.1

Dalam dunia keamanan Komputer, bukti digital mulai dijadikan

sebagai bukti. Namun masalah yang paling mendasar dari bukti digital ini

adalah tentang kaslian dan integritas bukti digital itu sehingga bukti digital

tersebut dapat dipercaya.2 Untuk dapat mewujudkan hal tersebut muncul

sebuah proses investigasi bukti digital yang dikenal dengan digital forensik.

1
Atmasasmita, Romli, 2011, “Sistem Peradilan Pidana Kontemporer”, Kencana,
Jakarata. hal.20
2
Judhariksawan. 2005. Pengantar Hukum Telekomunikasi. Jakarta: Rajawali Press. hal.22
2

Digital forensik adalah metode investigasi dengan pengaplikasian ilmu

pengetahuan dan teknologi untuk memeriksa dan menganalisis suatu bukti

digital. Ilmu yang merupakan salah satu bagian dari dunia keamanan

komputer ini berkembang dengan cepat mengikuti teknologi yang

berkembang. Proses forensik digital ini akan menemukan suatu bukti digital

dari suatu sistem elektronik yang selanjutnya akan dianalisis agar dapat

dijadikan bukti yang terpercaya. Output dari proses digital forensik tersebut

adalah digital evidence serta hasil uji digital forensik.3

Meningkatnya kejahatan berbasis teknologi dalam berbagai modus,

maka diperlukan suatu mekanisme ilmiah untuk menganalisa dan menelusuri

bukti-bukti digital yang ada baik yang disimpan maupun yang ditransmisikan

melalui Komputer atauperangkat digital lainnya.4 Sesuai dengan Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, maka peran

digital forensik sebagai metode pembuktian suatu kasus kejahatan secara

digital menjadi sangat penting.

Sebagaimana tertuang dalam Penjelasan atas UU ITE bahwa

pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi

elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara

Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk

diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam


3
Al-Azhar, M. N. 2012. Digital Forensic: Paduan Praktis Investigasi Komputer. Jakarta:
Salemba Infotek.hal. 18
4
Op.,Cit.,hal.24
3

waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkan bisa

demikian kompleks dan rumit.

Berbagai kasus yang mencuat sangat bergantung penelusurannya

kepada bukti-bukti digital yang ada. Bukti-bukti digital ini diungkap di

persidangan dan bahkan diekspose oleh berbagai media dalam pemberitaan

mulai dari foto digital, rekaman pembicaraan, rekaman video, sms, email, dan

lain sebagainya seperti pada kasus pembobolan ATM, kasus Bank Century,

kasus Artalyta Suryani, kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang

melibatkan mantan ketua KPK, kasus Prita Mulyasari, kasus cybercrime, dan

kasus-kasus lainnya.

Banyaknya pengguna teknologi informasi ini tentunya akan

menimbulkan masalah, mulai perbuatan yang tidak menyenangkan sampai

pada terjadinya kejahatan (fraud). Statistik yang dikeluarkan oleh ID-CERT

menunjukkan masalah keamanan (security) berupa serangan melalui jaringan

(network attack) termasuk perusakan situs web (deface) dan penerobosan hak

akses, virus atau malware, phishing, dan kejahatan (fraud) Selain kasus di

atas, masih ada kasus lain yang terkait dengan terorisme, seperti kasus laptop

Imam Samudra.

Penanganan kasus-kasus yang terkait dengan penggnaan teknologi

informasi sering membutuhkan forensik.Forensik merupkan kegiatan untuk

melakukan investigasi dan menetapkan fakta yang berhubungandengan

kejadian kriminal dan permasalahan hukum lainnya.Forensik digital

merupakan bagian dari ilmu forensik yang melingkupi penemuan dan


4

investigasi materi (data) yang ditemukan pada perangkat digital (komputer,

handphone, tablet, PDA, net-working devices, storage, dan sejenisnya)

Forensik digital dapat dibagi lebih jauh menjadi forensik yang terkait dengan

komputer (host, server), jaringan (network), aplikasi (termasuk database), dan

perangkat (digital devices).Masing-masing memiliki pendalaman tersendiri.5

Tujuan digital forensik adalah untuk menjelaskan keadaan aktual dari

suatu artifact digital. Istilah artifact digital dapat meliputi suatu sistem

komputer, suatu media penyimpanan( seperti suatu hard-disk atau CD-ROM),

suatu dokumen elektronik (pesan email, file suara, file gambar, file video) atau

bahkan suatu rangkaian paket yang bergerak di atas suatu jaringan

komputer. Digital forensik bisa dimanfaatkan untuk ruang lingkup yang lebih

luas.Tak hanya untuk 'membedah' isi komputer dan ponsel, namun juga untuk

melacak lalu lintas rekening bank seperti di kasus Bank Century.

Pada digital forensik, fokus penyidikan terkait dengan data yang

berada atau terkait dengan komputer itu sendiri. Layanan yang disediakan oleh

komputer atau server biasanya tercatat dalam berbagai berkas log. Sebagai

contoh, pengguna yang gagal masuk karena salah memasukkan password akan

tercatat. Hal ini merupakan bagian dari upaya untuk melakukan penerobosan

akses dengan cara brute force password cracking.

Hasil Uji digital forensik sebagai pendukung bukti digital masih

kurang mendapatkan kepastian hukum. Pembuktian menggunakan bukti

elektronik dalam perkara pidana khusus yang dalam undang-undang secara

khusus mengatur bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah belum
5
Al-Azhar, M. N. Op.,Cit.,hal.19
5

menjamin kepastian hukum dari penggunaan bukti elektronik. Namum, terkait

dengan hasil uji digital forensik yang dihadirkan ke dalam persidangan

sebagai alat bukti masih menjadi perdebatan terkait keasliannya sebagai bukti.

Perdebatan lain yang muncul terkait dengan proses pengujian bukti

elektronik, proses pemeliharaan bukti elektronik dan juga sering

diperdebatkan kemampuan seorang ahli forensik digital dalam melakukan

pengujian bukti elektronik karena serangkaian proses ini belum ada

pengaturan secara lebih rinci. Tidak adanya pengaturan mengenai proses

pengujian bukti elektronik menyebabkan pengujian yang dilakukan dapat

dicurigai terjadi manipulasi pada bukti elektronik yang dapat merugikan

berbagai pihak, hal ini sangat terkait dengan integritas. Belum adanya

pengaturan secara khusus mengenai proses pengujian bukti elektronik juga

menjadi salah satu masalah pokok dari eksistensi hasil uji digital forensik

dalam pembuktian.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan pengkajian melalui penulisan ilmiah dalam bentuk skripsi dengan

judul: “KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN DIGITAL FORENSIK

SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA

PIDANA”

B. Rumusan Masalah
6

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan

masalah yaitu Bagaimanakah Kekuatan Pembuktian Digital Forensik Sebagai

Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Pidana ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu Untuk

mengetahui dan memahami Kekuatan Pembuktian Sebagai Alat Bukti Dalam

Penyelesaian Perkara Pidana

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

Dapat menambah pengetahuan, pemahaman dan menjadi bahan

bacaan serta sumber referensi dalam mengembangkan ilmu-ilmu hukum

khususnya dibidang hukum pidana terkait dengankedudukan dan kekuatan

pembuktian digital forensic sebagai alat bukti dalam penyelesaian kasus-

kasus pidana.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat memberi masukan serta tambahan pengetahuan

bagi mahasiswa, dan penegak hukum yang terkait dengan kedudukan

dan kekuatan pembuktian digital forensik sebagai alat bukti dalam

penyelesaian kasus-kasus pidana.


7

b. Meningkatkan penalaran, membentuk pola pemikiran yang kritis dan

dinamis serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan

hukum di Universitas Halu Oleo

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang

hukum pidana lain yang dibentuk oleh pemerintah tidak ada satu pun

yang mendefinisikan tentang perbuatan pidana.6 Istilah tindak pidana

merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang

dimaksud strafbaarfeit itu sendiri.Biasanya tindak pidana disinonimkan

dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam

kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”7

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam

kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik,

sedangkan pembuat undang-undang mempergunakan istilah peristiwa

pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.8

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang

berlaku disuatu negara, yang mangadakan dasar-dasar atau aturan-aturan

untuk :

6
Zainal Abidin Farid, 2014, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta. hal. 220
7
Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Rineka Cipta,Jakarta. hal 92.
8
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education
Yogyakarta dan Pukap Indonesia, hal. 20
9

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana

tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi

pidana sebagaimana yang telah diancamkan

c. Menentukan dengan cara bagaimana penanganan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan

istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-

kadang digunakan untuk pergantuan perkataan “straft”, tetapi menurut

beliau istilah “pidana” lebih baik dari pada “hukuman”. Menurut Muliadi

dan Barda Nawawi Arief istilah hukuman yang merupakan istilah umum

dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah

karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah

tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga

dalam istilah sehari-hari dalam bidang pendidikan, moral, agama dan

sebagainya.9

Oleh karena itu pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka

perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Pengertian tindak

9
Leden Marpaung, 2005, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika , Jakarta,
hal 9
10

pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para

pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih

lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan

tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar

hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa

pidana, serta delik10.

Pengertian tindak pidana menurut istilah adalah terjemahan paling

umum untuk istilah “strafbaarfeit” dalam bahasa Belanda walaupun

secara resmi strafbaarfeit. Pendapat para ahli tentang pengertian tindak

pidana yaitu :

1) Menurut Pompe, pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran

norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja

ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukumannya terhadap seorang pelaku tersebut

adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan hukum.

2) Menurut Simons,adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam

dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bertentangan

dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang

yang mampu bertanggung jawab.tindak pidana merupakan tindakan

melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun

10
P.A.F. Lamintang, 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung. hal. 7
11

tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas

tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan

sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

3) Menurut E. Utrecht, pengertian tindak pidana denga istilah peristiwa

pidana yang sering juga ia disebut delik, karena peristiwa sudah

perbuatan (Handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-

negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena

perbuatan atau melalaikan itu).

4) Menurut Moeljatno, menyatakan bahwa pengertian tindak pidana

berarti perbuatan yang dilarang dan diancam denga pidana, terhadap

siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus

juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatang tata pergaulan

yang dicita-citakan oleh masyarakat11.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Pengertian

Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat

bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau

diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang

diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan

sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan

tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) itu menurut Lamintang pada umumnya dapat kita
11
Tegu Prasetyo, 2012,Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 47.
12

jabarkan dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi

dua macam unsur, yakni: unsur-unsur Subyektif dan ubsur-unsur

Obyektif12. Yang dimaksud dengan unsur-unsur Subyektif itu adalah

unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yangberhibungan dengan

diri si pelaku, dan termaksud kedalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-

unnsur Obyektif itu adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan

keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan namun dalam tindakan-tindakan

si pelaku itu harus dilakukan. Menurut Lamintang unsur-unsur Subyektif

dari suatu tindak pidana itu adalah :

a. Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa);

b. Dimaksud atau voornemen pada suatu percobaan poging seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalanya

didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,

pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbdachte read seperti yang

misalnya terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340

KUHP;

e. Perasaan takut atau vress seperti yang diantara lain terdapat dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP;

Unsur-unsur Subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

12
P.A.F. Lamintang, Op.,Cit.,hal. 193.
13

1) Sifat melanggar wederrechtelijkheid;


2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang
pegawai negri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari
perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3) Kualitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.13

B. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian dan Alat Bukti

1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti

Alat Bukti adalah segala sesuatu perbuatan, dimana dengan alat-

alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna

menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak

pidana yang telah dilakukan terdakwa. alat-alat bukti yang sah adalah

alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-

alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna

menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak

pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Sedangkan Pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti sesuatu

hal (perisitiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan

kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) apa-apa saja yang

menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya). Pembuktian

berarti perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan ; pembuktian

(memperlihatkan) bukti.14

Pembuktian adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi

13
Ibid, hal. 194.
14
Poerwadarminta, 2008, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.
160
14

dan terdakwalah yang salah melakukannya, sehingga harus

mempertanggung jawabkannya. Pembuktian tidak lain berarti memberi

dasar-dasar yang cukup kepada hakim untuk memeriksa perkara yang

bersangkutan guna memberi kepastian tentang perkara yang diajukan.15

Pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan


perundang-undangan mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu
kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan
dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan
perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut
ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam
perkara pidana.16

Pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau

dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan

demikian, pembuktian hanya diperlukan dalam persengketaan atau

perkara di muka hakim atau pengadilan. 17 Oleh karenanya seseorang tidak

dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah

memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan

bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya.

Permasalahan terkait pembuktian ini adalah masalah yang pelik

(ingewikkeld) dan menempati titik sentral dalam hukum acara pidana.

Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan

kebenaran materil, dan bukannya untuk mencari kesalahan seseorang. Hal

ini diterangkan oleh Van Bemmelen bahwa maksud dari pembuktian

(bewijzen) sebagai berikut :18


15
Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta : Djambatan. hal 133
16
Bambang Poernomo. 1986. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana.
Yogyakarta :Liberty. hal. 36.
17
Subekti, 2003, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 1.
18
Ansorie Sabuan, 2000, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hal. 185.
15

“Pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak


dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim :
1) Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu
sungguh pernah terjadi;
2) Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi;”

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan

dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-undang

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 19 Pembuktian

juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan

oleh Undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan. Berdasarkan pengertian yang diuraikan di

atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pembuktian meliputi tiga

hal, yaitu :

1) Ketentuan atau aturan hukum yang berisi penggarisan dan pedoman


cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
terdakwa, di kenal juga dengan sistem atau teori pembuktian.
2) Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan dan
diakui undang-undang serta yang boleh digunakan hakim
membuktikan kesalahan.
3) Ketentuan yang mengatur cara menggunakan dan menilai
kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.20

Demikian ketiga hal inilah yang merupakan obyek dan

inti pembahasan hukum pembuktian. Hukum pembuktian memegang

peranan penting dalam proses hukum acara pidana dan oleh sebab itu

mutlak harus dikuasai oleh semua pejabat pada semua tingkat

pemeriksaan, khususnya penuntut umum yang berwenang menuntut dan

19
Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali).Jakarta : Sinar
Grafika. hal.273
20
Muhammad, R. 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta: UII Press. hal.
28
16

dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa. Kegagalan penuntut

umum dalam tugas penuntutan banyak tergantung pada ketidak

mampuan menguasai teknik pembuktian.

Penuntut umum terikat pada Pasal ketentuan dan penilai alat

bukti yang ditentukan undang-undang. Penuntut umum, hakim, terdakwa

maupun penasehat hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan

kemauannya sendiri dalam menggunakan dan menilai alat bukti di luar

apa yang telah digariskan undang-undang. Dalam hal ini penuntut umum

bertindak sebagai aparat yang di beri wewenang untuk mengajukan segala

daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa.

Sebaliknya terdakwa atau penasehat hukumnya mempunyai hak

untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan

penuntut umum, sesuai dengan cara yang dibenarkan undang-undang, bisa

berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang

meringankan atau saksi a de charge maupun dengan alibi. Hakim sendiri

harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan

kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada.

Pembuktian juga bisa berarti penegasan bahwa ketentuan

tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya

surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil

kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan,

kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang


17

didakwakan dalam dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan

pembuktian.

2. Teori dan Sistem Pembuktian

Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-

undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang

dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan21.

Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita22 hukum pembuktian

adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur

macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut

dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut

secara kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu

pembuktian.

Ada enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori

pembuktian dapat diuraikan sebagai berikut:23

1) Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan


pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgonden);
2) Alat-alat bukti yang digunakan oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau

21
Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta.
Sinar Grafika, hal.273
22
Hari Sasangka dan Lily RositA.2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana.
Bandung. Mandar Maju, hal.10
23
Bambang Purnomo, 2004, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia,.Liberti,
Jogjakarta, hal.39.
18

(bewijsmiddelen);
3) Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada
hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering);
4) Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat bukti dalam
rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);
5) Beban pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk
membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast)
dan;
6) Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat
kebebasan hakim (bewijsminimum).

Proses pembuktian sebagaimana yang telah disebutkan di atas,

merupakan inti dari rangkaian pemeriksaan dalam acara pidana, oleh

karena itu pembuktian itu sendiri harus dilakukan secara cermat dan tepat

karena hal ini menyangkut tentang kehidupan seseorang pada nantinya. Di

sinilah diperlukan adanya asas-asas pembuktian yang meliputi :

1. Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, meskipun

terdakwa telah memberikan pengakuan jaksa penuntut umum dalam

peridangan tetap berkewajiban untuk membuktikan kesalahan

terdakwa dengan menggunakan alat bukti yang lain.

Hal ini tidak terlepas dari tujuan pembuktian dari acara pidana

itu sendiri yakni mencari dan mendapatkan kebenaran materiil

(substantial truth), sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) Kitab undang-

undang hukum acara pidana yang berbunyi ”keterangan terdakwa saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan

perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai

dengan alat bukti yang sah”.

2. Hal yang secara umum tidak perlu dibuktikan (notoir feiten), yang

berdasar pada Pasal 184 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
19

Pidana yang berbunyi ; ”hal yang secara umum sudah diketahui tidak

perlu dibuktikan”. Secara garis besar fakta notoir dibedakan menjadi

dua golongan yaitu :24

a) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau


peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya yang
benarnya atau semestinya demikian.
b) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu
mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan
demikian.

3. Menjadi saksi adalah kewajiban, seperti yang tercantum dalam Pasal

159 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

berbunyi ; dalam hal saksi tidak hadir meskipun telah dipanggil secara

sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk

menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua

sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke

persidangan”.

4. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis), berdasar pada Pasal

185 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

berbunyi ; ”keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya”.

5. Keterangan terdakwa hanya mengikat dirinya sendiri, tidak dapat

dipakai sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa

lainnya, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 189 ayat (3) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi ; ”keterangan

24
Ibid., Hal 20
20

terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.

Sistem pembuktian terdiri atas 4 macam, yakni:

1) Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (Convictionin

Time).

Suatu sistem pembuktian dimana untuk menentukan bersalah

atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya berdasarkan keyakinan

hakim semata. Dalam hal ini tidak menjadi masalah dari mana hakim

menarik kesimpulan yang menuju pada keyakinannya. Hakim

hanya mengikuti hati nuraninya saja dan semua pertimbangan

tergantung kepada kebijaksanaan hakim itu sendiri. Dalam teori

pembuktian ini hakim terkesan sangat subyektif untuk menentukan

seorang terdakwa bersalah atau tidak. Jadi suatu produk putusan

hakim dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti yang telah

diatur secara eksplisit di dalam undang-undang. Pada keyataanya

hakim sendiri hanyalah seorang manusia biasa yang tentunya dapat

saja melakukan kesalahan dalam menentukan keyakinannya tersebut.

2) Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim disertai alasan yang logis

(Conviction Raisonne)

Dalam teori sistem pembuktian ini, peranan keyakinan

hakim sangat penting, tetapi hakim baru dapat menjatuhkan

hukuman kepada seorang terdakwa apabila hakim telah menyakini

bahwa dalam perbuatan yang bersangkutan telah terbukti

kesalahannya. Keyakinan tersebut harus disertai alasan alasan yang


21

logis yang bersumber dari suatu proses rangkaian pemikiran. Hakim

wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang menjadi

dasar dari keyakinan yang ditariknya tersebut. Sistem pembuktian ini

mengakui adanya alat bukti tertentu tetapi tidak ditetapkan oleh

undang-undang. Jumlah alat bukti yang digunakan untuk menentukan

bersalah atau tidaknya terdakwa merupakan kewenangan hakim

sepenuhnya, dengan syarat hakim harus dapat menjelaskan alasan-

alasan mengenai putusan yang diambilnya.

3) Sistim pembuktian menurut undang-undang secara positif (Positief

Wettelijke Bewijstheorie )

Sistem ini adalah sistem pembuktian dimana untuk

menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada

prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan

undangundang. Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem

Conviction in Time, dimana dalam sistem ini keyakinan hakim

justru dikesampingkan. Menurut sistem ini undang-undang

menetapkan secara limitatif alat-alat bukti mana yang boleh dipakai

oleh hakim. Dengan cara-cara bagaimana hakim menggunakan alat-

alat bukti serta bagaimana kekuatan pembuktian dari masing-masing

alat bukti tersebut. Jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai secara sah

seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang maka hakim

harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun mungkin hakim

memiliki keyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak


22

benar.

Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara


Pidana Indonesia,25 sebagaimana mengutip pendapat Simons
menyatakan bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha
untuk menyingkirkan semua pertimbangan hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan
pembuktian yang keras.

Sistem ini dianut di Eropa pada masa berlakunya asas inkisitor

(inquisitoir) dalam acara pidana. Kelemahan dari sistem ini adalah

hakim seolaholah hanya sebagai alat untuk menjalankan undang-

undang saja tanpa menggunakan hati nuraninya dalam memutus

suatu perkara. Tetapi sistem ini juga mempunyai sisi positif yakni

putusan pidana kepada seoarang terdakwa baru dapat dijatuhkan

apabila memang ia benar-benar terbukti bersalah berdasarkan alat

bukti dan cara yang telah ditetapkan sebelumnya oleh undang-

undang.

4) Sestem pembuktian menurur undang-undang secara negatif (Negatief

Wettelijk Stelsel)

Teori ini merupakan hasil gabungan antara sistem pembuktian

berdasarkan keyakinan hakim (Conviction in Time) dan sitem

pembuktian menurut undang-undang secara positif (Positief

Wettelijke Bewijstheorie). Jadi dalam sistem pembuktian ini terdapat

dua hal yang sangat bertolak belakang namun merupakan syarat

untuk membuktikan kesalahan terdakwa yakni:26

25
Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. hal. 247
26
Hari Sasangka dan Lily Rosita.Op,cit. hal.17
23

a) Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan


oleh undang-undang.
b) Negatief : adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni
berdasar bukti-bukti tersebut hakim menyakini kesalahan
terdakwa.

Sistem ini mengakomodasi sistem pembuktian menurut undang-

undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan

hakim belaka. Sistem pembuktian secara negatif mirip dengan

sistem pembuktian conviction in raisonae.

Hakim dalam menjatuhkan putusan tentang salah atau


tidaknya seorang terdakwa terikat pada alat bukti yang telah
ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan dari hakim
sendiri. Alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang
tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan
alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang
ditetapkan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang
hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan
tindak pidana yang didakwakan.27

Pertanyaanya adalah dari keempat sistem pembuktian tersebut

tadi, sistem manakah yang pada saat ini dianut oleh Indonesia. Jika

membaca isi Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang


kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.

Penjelasan Pasal 183 KUHAP, dimana syarat pembuktian

menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada

perumusan yang tertera pada undang-undang, seseorang untuk dapat

dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhi pidana, apabila :

27
Ibid.,
24

a) Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat


bukti.
b) dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
tersebut hakim akan memperoleh keyakinan bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukan tindak pidana.

Jika dilihat melalui konstruksi hukumnya maka posisi keyakinan

hakim hanyalah sebagai pelengkap saja. Tidak dibenarkan untuk

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang kesalahannya tidak

terbukti secara sah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku, kemudian keterbuktiannya itu digabung dan didukung dengan

keyakinan hakim. Dalam praktek keyakianan hakim itu bisa saja

dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi

oleh suatu pembuktian yang cukup. Keyakinan hakim tersebut

dianggap tidak mempunyai nilai apabila tidak dibarengi oleh suatu

pembuktian yang cukup.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut terlihat

bahwa hukum acara di Indonesia menggunakan sistem ”menurut

undang-undang yang negatif” . Hal ini berarti tidak sebuah alat

buktipun akan mewajibkan memidana terdakwa, jika hakim tidak

sungguh-sungguh berkeyakinan atas kesalahan terdakwa. Begitupun

sebaliknya jika keyakinan hakim tidak didukung dengan keberadaan

alat-alat bukti yang sah menurut hukum maka tidak cukup untuk

menetapkan kesalahan terdakwa.

3. Jenis-jenis Alat Bukti


25

Beberapa ketentuan hukum acara pidana telah mengatur

mengenai beberapa alat bukti yang sah seperti tercantum dalam Pasal

184 KUHAP yang menyebutkan ” Alat bukti yang sah ialah ” ;

1) Keterangan saksi

Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah

“salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari

saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya

itu”. Macam saksi menurut dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :28

a) Saksi A Charge (Memberatkan Terdakwa), adalah saksi dalam


perkara pidaana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum,
dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa.
b) Saksi A De Charge (Menguntungkan Terdakwa), adalah saksi
yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa.

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang

paling utama dalam perkara pidana. Keterangan saksi sebagai alat

bukti tercantum dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yaitu : “apa yang

dinyatakan saksi di sidang pengadilan”.

2) Keterangan ahli

Keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, adalah

keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian

khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan pengertian

keterangan ahli yang termuat dalam Pasal 186 KUHAP, adalah apa
28
Rosita, 2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.hal.
20
26

yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan.

Keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan

oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu

bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia

menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada

waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada

waktu pemeriksaan di sidang, saksi ahli diminta untuk memberikan

keterangan adan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan

tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di

hadapan hakim.

Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah mempunyai

nilai pembuktian bebas, dimana di dalamnya tidak melekat niali

pembutian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian

hakim. Hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan bagi hakim

untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.29 Selain itu

agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan

terdakwa, harus tetap disertai dengan alat bukti lain.30

3) Surat

Pengertian alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP,

Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :


29
Yahya Harahap. Op.,Cit.hal. 304
30
Djoko Prakoso. 1988. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses
Pidana.Yogyakarta : Liberty. hal. 78
27

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang kejadian itu ;
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan ;
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi kepadanya ;
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut, surat yang dapat dinilai

sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah :

a) Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.

b) Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

4) Petunjuk

Di dalam KUHAP, alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat di

dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut :

a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena


penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya ;
b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari :
(1) Keterangan saksi ;
(2) Surat ;
(3) Keterangan terdakwa.
c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Kekuatan
pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang sah lainnya,
kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Menurut Pasal 188 ayat
(3) KUHAP, menyebutkan bahwa penilaian atas kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
28

tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana.

5) Keterangan terdakwa

Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP di atur dalam

Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut :

a) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di


sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. 31
Dalam mencari alat bukti keterangan terdakwa harus benar-benar
tuntas, artinya tidak cukup umpamanya hanya atas perbuatan
yang didakwakan saja, melainkan juga dengan segala
keterangan mengenai perbuatan yang dilakukannya dan cara-cara
melakukannya.

Jika dibandingkan dengan macam alat bukti yang diatur oleh

HIR, alat bukti dalam KUHAP mengalami penambahan yakni dalam hal

keterangan ahli. Keterangan ahli merupakan hal yang baru dalam hukum

acara pidana Indonesia. Hal ini merupakan bentuk pengakuan bahwa

dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, seorang hakim tidak bisa

mengetahui segala hal, untuk itu diperlukan bantuan seorang ahli 32.

Disamping itu juga ada perubahan nama alat bukti yang secara otomatis

juga mengubah maknanya yakni alat bukti pengakuan terdakwa menjadi

31
Laden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. hal.
42
32
Ibid., hal.19
29

keterangan terdakwa.

Lain lagi dengan urutan alat bukti di negara penganut sistem

common law, seperti Amerika Serikat, alat bukti menurut Criminal

Procedure of Law meliputi :33

1) Real evidence (bukti nyata)

2) Documentary evidence (bukti dokumenter)

3) Testimonial evidence (bukti kesaksian)

4) Judicial notice (pengamatan hakim)

Tidak disebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa.

Kesaksian ahli digabungkan dengan alat bukti kesaksian. Yang lain

daripada yang tercantum dalam KUHAP , ialah real evidence yang berupa

objek materiil (materiil object) yang meliputi tetapi tidak terbatas atas

peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi dan lain-lain.

Benda-benda ini berwujud. Bukti ini dipandang paling bernilai daripada

alat bukti yang lain. Real evidence tidak termasuk alat bukti dalam

hukum acara pidana kita, barang bukti berupa objek materiil ini tidak

bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (dan terdakwa). Real evidence

ini biasa disebut bukti yang berbicara untuk diri sendiri (speaks for itself).

Bukti bentuk ini dipandang paling bernilai dibanding bukti yang lain.34

C. Tinjauan Umum Tentang Digital Forensik

1. Pengertian Digital Forensik


33
Raharjo, T. 2011. Mediasi Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana : Suatu Kajian
Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera, hal. 29
34
Andi Hamzah. Op.,Cit.hal 254
30

Forensik dikenal sebagai bidang ilmu pengetahuan yang digunakan

untuk membantu penegakan hukum melalui proses penerapan ilmu sains.

Ilmu forensik terdiri dari banyak jenis, seperti kimia forensic, ilmu

balistik, fisika forensic, kedokteran forensik termasuk juga komputer

forensik. Komputer forensik atau yang juga lebihdikenal dengan digital

forensik adalah proses investigasi peranti komputer/piranti sistem untuk

mengetahui apakah komputer/piranti sistem tersebut dipergunakan untuk

keperluan yang ilegal atau tidak sah.

Digital Forensik merupakan suatu disiplin ilmu baru di dalam

keamanan komputer, yang membahas atas temuan bukti digital setelah

suatu peristiwa keamanan komputer terjadi. Komputer forensik akan

melakukan analisa penyelidikan secara sistematis dan harus menemukan

bukti pada suatu sistem digital yang nantinya dapat dipergunakan dan

diterima di depan pengadilan, otentik, akurat, komplit, menyakinkan

dihadapan hakim, dan diterima didepan masyarakat.

Digital forensik adalah aktivitas yang berhubungan dengan

pemeliharaan, identifikasi, pengambilan/penyaringan, dan dokumentasi

barang bukti digital dalam kejahatan komputer.Istilah ini relatif baru

dalam bidang komputer dan teknologi, tetapi telah muncul diluar term

teknologi (berhubungan dengan investigasi).35

Digital forensik adalah kombinasi disiplin ilmu hukum dan

pengetahuan komputer dalam mengumpulkan dan menganalisa data dari

sistem komputer, jaringan, komunikasi nirkabel, dan perangkat


35
Al-Azhar, M. Op.,Cit. hal.21
31

penyimpanan sehingga dapat dibawa sebagai barang bukti di dalam

penegakan hukum.36 Dapat disimpulkan bahwa digital forensik adalah

penggunaan teknik analisis dan investigasi untuk mengidentifikasi,

mengumpulkan, memeriksa dan menyimpan bukti/informasi yang secara

magnetis tersimpan/disandikan pada komputer atau media penyimpanan

digital sebagai alat bukti dalam mengungkap kasus kejahatan yang dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Digital Forensik terbagi ke dalam

beberapa bagian seperti:

1) Computer forensic merupakan cabang dari forensik digital yang

berkaitan dengan bukti pada komputer serta media penyimpanan

digital dan bertujuan untuk memproses bukti-bukti tersebut

sebagaimana harusnya.

2) Mobile device forensic adalah cabang forensik digital mengenai

akuisisi perangkat seluler untuk memulihkan bukti digital seperti

catatan panggilan masuk dan keluar, daftar kontak, SMS dan MMS,

kredensial akun pengguna, dan file system yang akan digunakan

sebagai kepentingan investigasi.

3) Network forensic adalah bagian dari forensik digital yang digunakan

untuk menemukan bukti digital seperti sumber serangan keamanan

pada suatu jaringan.

2. Pemeriksaan Digital Forensik

36
Solihah, S. 2014. Analisis Digital Forensik untuk File Terenkripsi dengan
menggunakan Winhex dan Tools Kali Linux Autopsy. Tasikmalaya: Universitas Siliwangi, hal.22
32

Proses penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang dilakukan

dalam digital forensik menggunakan tim penyelidik. Menunjuk bagaimana

personil memenuhi peran ini untuk melaksanakan suatu

penyelidikan.Suatu peran yang umum dan berhubungan dengan tanggung

jawab meliputi First Responders (responder pertama), Investigators

(Penyelidik), Technicians (Teknisi), Forensic Examiners (Pemeriksa

Forensik), dan Forensic Analysts (Analis Forensik). Ketentuaan mengenai

peran dan tanggung jawab dalam situasi tertentu, individu tunggal boleh

melaksanakan lebih dari satu peran.37 Dalam praktiknya forensik digital

dipergunakan untuk mengungkap sebuah kasus, mendapatkan alat bukti

(evidence) dan juga dipergunakan untuk proses audit dalam satu

lembaga/perusahaan.

Prinsipnya, digital forensik merupakan sebuah metode ataupun

rangkaian metode. Sebagaimana lazimnya metode maka haruslah

sistematis dan dikerjakan dalam suatu proses yang logis dan akurat.

Digital forensik teridiri dari beberapa aspek dan tahapan, yaitu :38

1) Identify Evidence adalah proses pencarian bukti, bukti digital bisa


didapat dari hasil rekam disk, rekam memori baik volatil/non volatil.
Tahapan ini biasanya sangat panjang dan lama, karena ditahap ini lah
proses pengumpulan informasi dan pengumpulan data.
2) Preserve Evidence adalah proses dimana alat bukti yang didapat
dipelihara dan dijaga agar tidak rusak, tercemar atau hilang. hal ini
perlu dilakukan karena alat bukti perlu di analisis.
3) Analyze Evidence adalah menganalisis alat bukti yang didapat.
4) Present Results adalah proses terakhir setelah alat bukti dianalisis
barulah didapatkan hasil, dan hasil dipresentasikan sampai tersangka
bisa dibuktikan bersalah/tidak.
37
Achmad Benny Mutiara, 2007, “Panduan Komputer Forensik Dalam Penanganan
Bukti Digital Pada Personal Digital Asistant” , Universitas Gunadarma, Depok, hal. 34
38
Ibid.,
33

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum yang bersifat

Normatif, yang merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi yang menghasilkan argumentasi, teori dan konsep baru

sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.39

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan, sebagai berikut:

1. Pendekatan Undang-Undang (Statute approach) digunakan untuk

mencari dan menemukan kerangka hukum dalam menentukan aturan-

aturan yang berkaitan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang

bersangkut paut dengan isu hukum tersebut yaitu Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Atas UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik., Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika


39
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Group, hal.35
34

Nomor 7 Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan

Tindak Pidana Di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual approach) merupakan pendekatan

melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

untuk memperoleh penjelasan dan membuat argumentasi yang memadai

dalam menjawab permasalahantentang kekuatan hukum pembuktian

digital forensic dalam penyelesaian perkara pidana.

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian dalam

penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang bersifat autorotatif artinya

mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan

putusan hakim.

Adapun bahan Hukum penelitian yang digunakan antara lain :

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


35

4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas

UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

5) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun

2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak

Pidana Di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

6) Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor B-

1179/E/EJP/O7/2008 tentang Pola Penanganan Perkara Tlndak

Pidana lnformasi dan Transaksi Elektronik.

b. Bahan Hukum sekunder

Yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum yang

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum

dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

2. Bahan Non Hukum

Bahan non hukum adalah wawancara, dialog, kesaksian ahli

hukum di pengadilan, seminar, ceramah, dan kuliah.40

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk

mencari bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi.

Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan hasil

penelitian hukum ini yaitu :

40
Ibid.,hal.206.
36

1) Pengumpulan bahan hukum yang menggunakan pendekatan perundang-

undangan (statute approach) dilakukan dengan mencari peraturan

perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.41

2) Pengumpulan bahan hukum dengan menggunakan pendekatan historis,

yaitu dilakukan dengan mengumpulkan perturan perundang-undangan,

putusan-putusan pengadilan, dan buku-buku hukum dari waktu ke waktu.

Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan yaitu bahan-bahan yang

mempunyai relevansi dengan isu yang dibahas dalam penelitian ini.42

3) Mengumpulkan bahan hukum yang menggunakan pendekatan

konseptuaal yaitu penelusuran buku-buku hukum (treatises) yang dimana

buku-buku yang mengandung konsep-konsep hukum.43

4) Melakukan penelusuran bahan hukum pustaka dengan mengumpulkan

buku-buku, laporan penelitian baik itu skripsi, tesis, maupun disertasi

serta bahan acuan lainnya yang digunakan untuk penyusunan laporan

penelitian yang dibahas.

E. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum adalah suatu uraian tentang cara-cara

analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan bahan hukum kemudian

diadakan pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan

sebagai bahan analisis yang sifatnya preskripsi.

41
Ibid.,hal.237.
42
Ibid.,hal.238.
43
Ibid.,hal 239
37

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL FORENSIK

SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Untuk menjawab rumusan masalah, penulis mengkajinya dalam beberapa

aspek yaitu sebagai berikut :

A. Kedudukan Hukum Bukti Digital Forensik Sebagai Alat Bukti

Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara,

karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu

dakwaan atau tuntutan tersebut dengan menunjuk pada alat bukti. Alat bukti

adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana

dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian

guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak

pidana yang telah dilakukan terdakwa.44 Pembuktian sendiri ialah perbuatan

membuktikan, membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti,

melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan,

menyaksikan, dan meyakinkan.45

44
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, hal 3
45
Ibid.,
38

Salah satu bukti yang memungkinkan untuk dipakai sebagai alat bukti

dipengadilan adalah bukti digital.Bukti digital adalah barang bukti yang

bersifat digital yang diekstrak atau di recover dari barang bukti elektronik.

Bukti Digital merupakan abstraksi dari beberapa objek digital atau kejadian.

Ketika seseorang mengoperasikan komputer untuk melakukan berbagai hal

seperti mengirim e-mail, atau kegiatan lainnya maka kegiatan itu akan

menghasilkan jejak-jejak data yang dapat memberikan sebagian gambaran dari

kejadian yang sudah terjadi sebelumnya.

Didalam hukum pembuktian terdapat suatu teori yang mengajarkan

bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu alat bukti agar alat

bukti tersebut dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan. Adapun syarat-

syarat tersebut yaitu sebagai berikut :46

1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.

3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk

membuktikan suatu fakta.

4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai revansi dengan fakta yang

akan dibuktikan.

Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka akan timbul suatu

pertanyaan apakah alat bukti yang menjadi inti dari penelitian dalam hal ini

adalah bukti digital forensiksebagai alat bukti telah memenuhi persyaratan-

persyaratan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya kita harus

46
Nicolas, 2009, Sirkus Hukum : aspek Peradilan, Ghalia Indnesia, Jakarta, hal, 28
39

lebih dalam lagi menggali penjelasan-penjelasan mengenai keberadaan bukti

digital forensic khususnya dalam dunia peradilan.

Dalam penanganannya kasus kejahatan dengan penggunaan teknologi

informasi sering membutuhkan forensik.Forensik merupakan kegiatan untuk

melakukan investigasi dan menetapkan fakta yang berhubungan dengan

kejadian kriminal dan permasalahan hukum lainnya.Analisis forensik

merupakan suatu langkah penting dalam kejahatan komputer, terutama ketika

ingin membawanya menjadi kasus di pengadilan.47 Digital Forensik

merupakan bagian dari ilmu forensik yang melingkupi penemuan dan

investigasi materi (data) yang ditemukan pada perangkat digital (komputer,

handphone, tablet, net-working devices, storage, dan sejenisnya)

Bukti digital adalah data yang disimpan atau dikirimkan menggunakan

komputer yang dapat mendukung atau menyangkal sebuah pelanggaran

tertentu, atau bisa juga juga disebut sebagai petunjuk yang mengarahkan

kepada elemen-elemen penting yang berkaitan dengan sebuah pelanggaran.

Bukti digital yang di dalamnya terdapat elemen-elemen penting (temuan bukti

digital) dapat dijadikan sebagai bukti yang dapat mendukung atau

menjerumuskan terdakwa di dalam persidangan. Maksudnya jika bukti digital

mendukung berarti bukti digital tersebut dapat menolong terdakwa dari

hukuman, namun jika bukti digital tersebut menjerumuskan berarti bukti

digital tersebut dapat membuat terdakwa dijatuhi hukuman sesuai pelanggaran

yang dilakukan.

47
Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law-Aspek Hukum
Teknologi Informasi, Bandung: Refika Aditama, hal. 100
40

Bukti digital tidak dapat langsung dijadikan barang bukti pada proses

peradilan, untuk menjamin bahwa bukti digital dapat dijadikan barang bukti

dalam proses peradilan maka diperlukan sebuah standar data digital yang

dapat dijadikan barang bukti dan metode standar dalam pemrosesan barang

bukti sehingga bukti digital dapat dijamin keasliannya dan dapat

dipertanggungjawabkan serta memiliki hubungan dengan tindak pidana yang

akan dibuktikan. Syarat bukti digital dapat diterima dalam proses peradilan

yaitu sebagai berikur :48

1) Layah dan dapat diterima (admissible), artinya data harus mampu

diterima dan digunakan demi hukum, mulai dari kepentingan

penyelidikan sampai dengan kepentingan pengadilan.

2) Asli (authentic), artinya bukti tersebut harus berhubungan dengan

kejadian / kasus yang terjadi dan bukan rekayasa.

3) Lengkap (Complete), artinya bukti bisa dikatakan bagus dan lengkap jika

di dalamnya terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu investigasi.

4) Akurat dan dapat dipercaya (accurate and Realible), artinya bukti dapat

mengatakan hal yang terjadi di belakangnya. Jika bukti tersebut dapat

dipercaya, maka proses investigasi akan lebih mudah.

Menurut analisis penulis bahwa syarat dapat dipercaya ini merupakan

suatu keharusan dalam penanganan perkara. Untuk itu perlu adanya metode

standar dalam pegambilan data atau bukti digital dan pemrosesan barang bukti

data digital, untuk menjamin keempat syarat di atas terpenuhi. Sehingga data

48
Feri Sulianta, 2008, Komputer Forensik, Jakarta: Elex Media Komputindo, hal. 2.
41

yang diperoleh dapat dijadikan barang bukti yang legal di pengadilan dan

diakui oleh hukum.

Lebih lanjut menurut analis penulis bahwa Pada dasarnya sejauh ini

belum ada suatu metodologi yang sama dalam pengambilan bukti pada data

digital, hal ini disebabkan karea setiap kasus adalah unik sehingga

memerlukan penanganan yang berbeda. Walaupun demikian dalam memasuki

wilayah hukum formal, tentu saja dibutuhkan suatu aturan formal yang dapat

melegalkan suatu investigasi. Untuk itu ada tiga hal yang ditetapkan dalam

memperoleh bukti digital:

1) Tindakan yang diambil untuk mengamankan dan mengumpulkan barang

bukti digital tidak boleh mempengaruhi integritas data tersebut.

2) Seseorang yang melakukan pengujian terhadap data digital harus sudah

terlatih.

3) Aktivitas yang berhubungan dengan pengambilan, pengujian,

penyimpanan atau pentransferan barang bukti digital harus

didokumentasikan dan dapat dilakukan pengujian ulang.

Selain itu terdapat pula beberapa panduan keprofesian yang diterima

secara luas:

1) Pengujian forensik harus dilakukan secara menyeluruh. Pekerjaan

menganalisa media dan melaporkan temuan tanpa adanya prasangka atau

asumsi awal.

2) Media yang digunakan pada pengujian forensik harus disterilisasi sebelum

digunakan.
42

3) Image bit dari media asli harus dibuat dan dipergunakan untuk analisa.

4) Integritas dari media asli harus dipelihara selama keseluruhan

penyelidikan.

Barang bukti ini bersifat digital yang di-recover dari barang bukti

elektronik. Barang bukti ini dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016

Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan istilah informasi

elektronik dan dokumen elektronik. Di dalam Undang-undang tersebut alat

bukti mengalami perluasan sehingga dapat digunakan sebagai pembuktian

dalam mengungkap suatu tindak pidana, yaitu alat bukti elektronik sebagai

bukti yang sah secara hukum. Jenis barang bukti inilah yang harus dicari oleh

analis forensik untuk kemudian dianalisis secara teliti keterkaitan masing-

masing file dalam rangka mengungkap kasus kejahatan yang berkaitan dengan

barang bukti elektronik berikut adalah contoh-contoh barang bukti digital

yaitu :

1) Logical file, yaitu file-file yang masih ada dan tercatat di file system yang

sedang berjalan (running) di suatu partisi. File-file tersebut bisa berupa

file-file aplikasi, library, office, logs, multimedia, dan lain-lain.

2) Deleted file, dikenal juga dengan istilah unallocated cluster yang merujuk

pada cluster dan sektor tempat penyimpanan file yang sudah terhapus dan

tidak teralokasikan lagi untuk file tersebut dengan ditandai dalam file

system sebagai area yang dapat digunakan lagi untuk menyimpan file-file

baru. Artinya file yang sudah terhapus tersebut masih tetap berada di
43

cluster atau sektor tempat penyimpanan sampai tertimpa (overwritten) oleh

file-file yang baru pada cluster atau sektor tersebut. Pada kondisi dimana

deleted file tersebut belum tertimpa, maka proses recorvery secara utuh

terhadap file tersebut sangat memungkinkan terjadi.

3) Lost file, yaitu file yan sudah tidak tercatat lagi di file system yang sedang

berjalan (running) dari suatu partisi, namun file tersebut masih ada di

sektor penyimpanannya. Ini bisa terjadi ketika misalnya suatu flashdisk

atau harddisk maupun partisinya dilakukan poses re-format yang

mengahasilkan file system yang baru. Untuk proses re-covery-nya

didadasarkan pada signature dari header maupun footer yang tergantung

pada jenis format file tersebut.

4) File slack, yaitu sektor penyimpanan yang berada di antar end of file

(EOF) dengan End OF Cluster (EOC). Wilayah ini sangat memungkinkan

terdapat informasi yang mungkin penting dari file-file yang sebelumnya

sudah dihapus (deleted).

5) Log File, yaitu file-file yang merekam aktivitas (logging) dari suatu

kedaaan tertentu misalnya log dari sistem operasi, internet browser,

apikasi, internet traffic, dan lain-lain.

6) Encrypted file, yaitu file yang isinya sudah dilakuakan enkripsi dengan

menggunakan algoritma kriptografi yang kompleks, sehingga tidak bisa

dibaca atau dilihat secara normal. Satu-satunya cara untuk membaca atau

melihatnya kembali adalah dengan melakukan deskripsi terhadap file

tersebut menggunakan algoritma yang sama. Ini biasa digunakan dalam


44

dunia digital information security untuk mengamankan informasi yang

penting. Ini juga merupakan salah satu bentuk anti forensic, yaitu

suatumetode untuk mempersulit analis forensik atau investigator

mendapatkan informasi mengenai jejak-jejak kejahatan.

7) Steganography file, yaitu file yang berisikan informasi rahasia yang

disispkan ke file lain, biasanya berbentuk file gambar, video, atau audio,

sehingga file-file yang bersifat carrier (pembawa pesan rahasia) tersebut

terlihat normal dan wajar bagi orang lain. Namun bagi orang yang tahu

metodologinya, file-file tersebut memiliki makna yang dalam dari

informasi rahasianya tersebut. Ini juga dianggap sebagai salah satu bentuk

anti forensic.

8) Office file, yaitu file-file yang merupakan produk dari aplikasi Office,

seperti Miscrosoft Office, Open Office, dan sebagainya. ini biasanya

berbentuk file-file dokumen spreadsheet, database, teks, dan presentasi.

9) Audio File, yaitu file yang berisikan suara, musik, dan lain-lain, yang

biasasnya berformat wav, mp3, dan lain-lain. File audio yang berisikan

rekaman suara percakapan rang ini biasanya menjadi penting dalam

investigasi ketika suara di daam file audio tersebut perlu diperiksa dan

dianalisis secara audio forensic untuk memastikan suara tersebut apakah

sama dengan suara pelaku kejahatan.

10) Video file, yaitu file yang memuat rekaman video, baik dari kamera digital,

handphone, handycam, maupun CCTV. File video ini sangat

memungkinkan memuat wajah pelaku kejahatan sehingga file ini perlu


45

dianalisis secara detail untuk memastikan bahwa yang ada di file tersebut

adalah pelaku kejahatan.

11) Image file, yaitu gambar digital yang sangat memungkinkan memuat

informasi-informasi penting yang berkaitan dengan kamera dan waktu

pembuatannya (time stamps). Data-data ini dikenal dengan istilah

metadata exif (exchangeable image file). Meskipun begitu metadata exif

ini bisa dimanipulasi, sehingga analis forensik atau investigator harus

hatihati ketika memeriksa dan mengnalisis metadata dari file tersebut.

12) E-mail, (Electronic mail), yaitu surat berbasis sistem elektronik yang

menggunakan sistem jaringan online untuk mengirimkannya atau

menerimanya. E-mail menjadi penting di dalam investigasi khususnya

phising (yaitu kejahatan yang menggunakan e-mail palsu dilengkapi

dengan identitas palsu untuk menipu si penerima). E-mail berisikan header

yang memuat informasi penting jalur distribusi pengiriman yang

didasarkan pada alamat IP. Meskipun begitu, data-data di header juga

sangat dimungkinkan untuk dimanipulasi, dengan demikian pemeriksaan

header dari e-mail harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif.

13) User ID dan Password, merupakan suatu syarat untuk masuk ke suatu

account secara online. Jika salah satunya salah, maka akses untuk masuk

ke account tersebut akan ditolak.

14) Short Message Service (SMS), yaitu layanan pengiriman dan penerimaan

pesan pendek yang diberikan oleh operator seluler terhadap peanggannya.

SMS tersebut bisa berupa SMS masuk (inbox), keluar (sent), dan
46

rancangan (draft) dapat menjadi petunjuk dalam investigasi untuk

mengtahui keterkaitan antara pelaku yang satu dengan yang lain.

15) Multimedia Message Service (MMS), merupakan jasa layanan yang

diberikan oleh operator seluler berupa pengiriman dan penerimaan pesan

multimedia yang bisa berbentuk suara, gambar , atau video.

16) Call logs, yaitu catatan panggilan yang terekam pada suatu nomor

panggilan seluler. Panggilan bisa berupa incoming (panggilan masuk).

Outgoing (panggilan seluler), dan Missed (panggilan tak terjawab)

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat (1) bahwa informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang

sah, maka peran digital forensik sebagai metode pembuktian suatu kasus

kejahatan secara digital menjadi sangat penting. Hukum Indonesia telah

mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di

pengadilan. Dalam acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka Undang-undang ITE ini

memperluas dari ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah

yaitu Keterangan Saksi, keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan

terdakwa. Sedangkan dalam UU ITE yaitu sebagai berikut :

Pasal 5

1) Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil


cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
2) Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
47

3) Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah


apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang- Undang ini.
4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli,
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.

Sehingga menurut analisis penulis berdasarkan teori dan ketentuan di

atas, bahwa bukti digital forensik dapat digunakan sebagai alat bukti

dipengadilan dengan analisis sebagai berikut :

1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

Bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE,

sebagaimana dijelaskan di atas khususnya pada Pasal 5. Hasil cetak dari

uji hasil digital forensic sah sebagai alat bukti, dimana hasil cetak tersebut

dapat hadir sebagai alat bukti dan berkedudukan sebagai alat bukti

keterangan ahli dan alat bukti surat.

2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.

Bahwa bukti digital forensic mempunyai sifat yang akurat dan autentik.

Hal dapat dibuktikan dengan prosedur dan proses pemeriksaan bukti

digital forensic hanya dilakukan oleh seorang analis yang mempunyai


48

keahlian dalam bidangnya yaitu bidang ITE, dan hasil pemeriksaannya

hanya akan diberikan kepada pihak tertentu dalam hal ini penegak hukum

bila akan digunakan untuk pembuktian perkara pidana.

3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk

membuktikan suatu fakta.

Bahwa bukti digital forensic sangat penting dan dibutuhkan dalam dunia

peradilan di Indonesia, khususnya dengan perkembangan teknologi dan

informasi. Hal tersebut menyebabkan motif dan modus kejahatan semakin

berkembang seperti cyber crime yang kemudian dalam proses pembuktian

dapat menggunakan bukti digital forensic.

4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta

yang akan dibuktikan.

Bahwa bukti digital bersifat lengkap sebagai alat bukti karena melalui

prosedur ilmiah. Alat bukti ini dapat dihubungkan dengan kejadian atau

keadaan (fakta) yang ada, sehingga untuk kebutuhan pembuktian, bukti

digital forensic sangat relevan untuk dipakai sebagai alat bukti

dipengadilan.

B. Kekuatan Hukum Pembuktian Digital Forensik Sebagai Alat Bukti

Pencarian bukti-bukti digital untuk menjerat pelaku masih rumit dimana

dalam proses digital forensik yang dilakukan oleh seorang digital forensik

analis/investigator harus mengikuti prosedur-prosedur yang diakui secara

hukum baik nasional maupun internasional, termasuk juga mereka harus


49

memahami secara teoritis hal-hal yang berkaitan dengan bukti digital yang

ditemukan, disamping juga memahami bagaimana penggunaan software-

software forensik untuk mencari bukti-bukti digital tersebut dengan benar.

Sering kali juga bukti-bukti digital tersebut sudah dihapus oleh pelaku untuk

menghilangkan jejaknya. Di sinilah tantangan bagi seorang analis/investigator

untuk menelusuri kembali bukti digital yang sudah hilang tersebut, bahkan

mereka harus mampu untuk me-recover-nya kembali

Analis digital forensik dalam melakukan analisis, menggunakan empat

tahapan cara kerja digital forensik. Dari tahap satu hingga empat ini, harus

dilakukan sesuai standar operasional digital forensik internasional, yaitu

sebagai berikut :49

1. Kloning.

Sejak awal menyita barang bukti digital, sangat penting melakukan

forensic imaging atau di Indonesia kerap disebut dengan kloning, yaitu

mengkopi data secara presisi 1 banding 1 sama persis atau bit by bit

copy.Analisa tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli

karena takut mengubah barang bukti tersebut. Dengan kloning, barang

bukti duplikasi ini akan 100 persen identik dengan barang bukti yang asli.

2. Identifikasi.

Tahap kedua penanganan barang bukti digital adalah melakukan proses

identifikasi dengan teknik hassing, yakni menentukan atau membuat sidik

jari digital terhadap barang bukti. Setiap data digital, memiliki sidik jari

49
https://inet.detik.com/cyberlife/d-1823098/mengintip-cara-kerja-digital-forensik-
diakses pada tanggal 10 juni 2019
50

atau hassing yang unik. Sidik jari tersebut berupa sederet nomor mulai dari

32 bit, 68 bit hingga 128 bit nomor. Ketika sebuah barang bukti digital di-

hassing, itu akan muncul sidik jari digitalnya sekian. Sidik jari digital ini

sebagai identifikasi bahwa data di barang bukti asli 100 persen sama persis

dengan duplikasi. Barang bukti digital asli dengan duplikasi sidik jari

digitalnya harus sama. Karena sama, tidak mungkin ada orang yang bisa

mengubah satu bit sekalipun tanpa ketahuan.

3. Analisa.

Langkah selanjutnya tugas ahli digital forensik adalah melakukan analisa

terkait dengan kasus. Analisa data ini termasuk data yang sudah terhapus,

tersembunyi, terenkripsi dan history akses internet seseorang yang tidak

bisa dilihat oleh umum. Analisa berhubungan dengan kasus, Analis digital

forensik tidak diperbolehkan mencari hal lain yang tidak berkaitan dengan

kasus yang ditugaskan.

4. Laporan.

Pada tahap akhir, seorang analis digital forensik tinggal memberikan

laporan hasil temuannya.Pekerjaan analis digital forensik juga sebenarnya

melakukan rekonstruksi ulang atas temuan mereka pada barang bukti

tersebut. Analis diminta melaporkan barang buktinya berupa apa, apa saja

yang telah terjadi di dalam device itu, kapan terjadinya, bagaimana

dilakukannya, filenya asli atau tidak dan lain-lain.

Digital forensik analis atau investigator juga sering dipanggil ke

persidangan sebagai saksi ahli untuk menjelaskan proses dan temuan dari
51

bukti-bukti digital tersebut, dimulai dari temuan barang bukti elektronik di

Tempat Kejadian Perkara (TKP), penerimaan barang bukti di laboratorium,

pemeriksaan secara ilmiah dan analisis laboratoris kriminalistik hingga

pembuatan laporannya.

Jika diminta menjadi saksi ahli di pengadilan seorang analis digital pun

harus siap membeberkan hasil temuannya di depan sidang. Peran dari Ahli

Digital Forensik menjadi sangatlah penting.Hal ini berkenaan dengan barang

bukti elektronik dan atau bukti digital disyaratkan untuk ditangani secara

khusus oleh mereka yang ahli dibidangnya. Kesalahan dalam hal penanganan

baran bukti digital akan berdampak pada keabsahan barang bukti yang

diajukan dalam sebuah kasus.

Menurut analisis penulis bahwa jika dikaitkan dengan keberadaan bukti

digital forensik akan didapatkan uraian unsur Pasal 186 KUHAP. Genus isi

dari Pasal ini adalah keterangan ahli yang dinyatakan dalam persidangan,

kemudian kelas spesies yang ada dibawah genus tersebut adalah berbagai

macam ahli sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Bahwa jika

seorang ahli yang memilki keahlian khusus, dalam hal ini adalah orang yang

ahli dalam bidang informasi dan teknologi (IT), yang memberikan

keterangannya di depan pengadilan mengenai analisisnya tentang penjelasan

keotentikan bukti digital forensik yang tercantum didalam komputer dan

memberikan penjelasan tentang langkah-langkah ilmiah yang objektif dan

terukur dalam melakukan uji bukti dgital forensik tersebut maka keterangan
52

atas bukti digital forensik tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti

keterangan ahli dan alat bukti surat.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memilki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Jika dalam proses

pembuktian dalam suatu persidangan hakim meminta pendapat seorang ahli

tentang digital forensi, maka keterangan ahli yang diberikan di dalam

persidangan tersebut penuntut umum berhak untuk menjadikannya dasar

dalam membuktikan unsur-unsur dalam tuntutannya dan hakim tidak terikat

atas bukti ini. Saksi ahli yang dapat dihadirkan dalam memberikan keterangan

terkait dengan hasil uji bukti digital forensi ini dapat berupa ahli IT.

Lebih lanjut menurut analisis penulis bahwa perpaduan antara fakta dari

hasil uji digital forensik dan pendapat dari ahli yang diharapkan dapat

membantu penyidik dalam proses penyidikan, sehingga berita acara

pemeriksaan yang disusun oleh penyidik dapat diterima oleh jaksa penuntut

umum dan hakim. Sedangkan keterangan ahli itu sendiri yang diberikan dalam

persidangan nantinya, diharapkan mampu memberikan keyakinan pada hakim

tentang analisis dari hasil uji digital forensik yang telah dilakukan.

Dalam Penjelasan Pasal 186 KUHAP disebutkan bahwa apabila

keterangan dari seorang ahli diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik

maupun oleh penuntut umum, yang dituangkan dalam bentuk laporan dan

dibuat dengan mengikat sumpah sewakti ia menerima jabatan atau pekerjaan,

maka keterangan ahli tersebut adalah alat bukti surat.


53

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP, Surat dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

Huruf c; menyebutkan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat

pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan

yang diminta secara resmi kepadanya.

Huruf d; surat lain yang dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dari alat pembuktian lain.

Contoh kasus yang menggunakan ahli digital forensik yaitu kasus kopi

vietnam Jessica wongso yang sempat menghebohkan masyarakat dimana

dalam pembuktian tindak pidananya Pada persidangan kasus Jessica yang lalu

turut dihadirkan beberapa ahli Digital Forensik untuk memaparkan hasil

analisisnya terhadap barang bukti yang didapatkan dari penyidik. Barang bukti

tersebut berupa USB Flashdisk yang menyimpan video CCTV hasil ekstraksi

dari DVR sistem monitoring CCTV di Cafe Olivier (TKP).

Menurut analisis penulis dapat disimpulkan bahwa bukti digital forensik

mempunyai tingkat kredibilitas yang tinggi dan memenuhi kriteria reabilitas

sehingga dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut menunjukkan

bahwa kekuatan pembuktian bukti digital forensik dapat memberikan

pengaruh dan menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil suatu putusan.

Seorang ahli digital forensik dapat menggambarkan tahapan dan metode-

metode yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang file terhapus,

terenkripsi ataupun yang rusak. Secara umum ada 4  tahapan yang harus
54

dilakukan dalam implementasi digital forensic sehingga dapat menjadi

pertimbangan hakim dalam penyelesaian perkara, yaitu:

a. Pengumpulan (acquisition)

Pengumpulan bukti Digital dalam komputer forensik dilakukan

melalui komputer dan perangkat-perangkat elektronik lain yang terhubung

dengannya. Dalam melaksanakan tugas pengumpulan alat bukti elektronik

melalui computer forensik seorang penyidik atau investigator juga harus

menguasai jenis kejahatan apa yang sedang di tanganinya, dan alat-alat

bukti elektronik apa yang harus di periksa oleh investigator tersebut.

Mengumpulkan dan mendapatkan bukti-bukti yang mendukung

penyelidikan. Tahapan ini merupakan tahapan yang sangat menentukan

karena bukti-bukti yang didapatkan akan sangat mendukung penyelidikan

untuk mengajukan seseorang ke pengadilan dan diproses sesuai hukum

hingga akhirnya dijebloskan ke tahanan.

Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus

dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning /

menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka

seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak

boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan

akan mengubah barang bukti.

Secara umum, pengumpulan bukti harus dimulai dari yang paling

volatil atau mudah berubah. Sebagai contoh adalah RAM (Random Access

Memory) yang datanya akan hilang setelah komputer dimatikan. Oleh


55

karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah tidak mematikan

sebuah komputer jika dicurigai telah terlibat dalam sebuah security

incident dan mungkin menyimpan bukti yang berharga.

Media digital yang bisa dijadikan sebagai barang bukti mencakup

sebuah sistem komputer, media penyimpanan (seperti flash disk, pen

drive, hard disk, atau cd-rom), pda, handphone, smart card, sms, e-mail,

cookies, log file, dokumen atau bahkan sederetan paket yang berpindah

dalam jaringan komputer. Secara alami, bukti digital rentan dan dapat

diubah, rusak, atau dihancurkan oleh pemeriksaan atau penanganan yang

tidak tepat. Pemeriksaan yang paling tepat dilakukan pada copy dari bukti

asli tersebut. Bukti asli harus diperoleh dengan cara melindungi dan

mempertahankan integritas dari bukti tersebut.

b. Chain of Custody (CoC)

CoC adalah sebuah proses yang menunjukkan bahwa segala bukti

terjamin telah dikendalikan dan ditangani dengan benar setelah proses

pengumpulan, dengan bagaimana bermacam forensik digital dilakukan

dengan menjaga CoC. Seperti contoh, forensik komputer biasanya

berkaitan dengan pencarian file baik yang masih ada ataupun yang telah

dihapus sebagai barang bukti digital.

c. Pemeliharaan (preservation)

Memelihara dan menyiapkan bukti-bukti yang ada.Termasuk pada

tahapan ini melindungi bukti-bukti dari kerusakan, perubahan dan

penghilangan oleh pihak-pihak tertentu. Bukti harus benar-benar steril


56

artinya belum mengalami proses apapun ketika diserahkan kepada ahli

digital forensik untuk diteliti. Kesalahan kecil pada penanganan bukti

digital dapat membuat barang bukti digital tidak diakui di pengadilan.

Ada langkah-langkah tertentu yang harus dikuasai oleh seorang ahli

digital forensik dalam mematikan atau menghidupkan komputer tanpa ikut

merusak atau menghilangkan barang bukti yang ada didalamnya. Aturan

utama pada tahap ini adalah penyelidikan tidak boleh dilakukan langsung

pada bukti asli karena dikhwatirkan akan dapat merubah struktur yang ada

didalamnya. Mengantisipasi hal ini maka dilakukan copy data secara

Bitstream Image dari bukti asli ke media penyimpanan lainnya. Bitstream

Image adalah metode penyimpanan digital dengan mengkopi setiap bit

demi bit dari data orisinil, termasuk file yang tersembunyi (hidden files),

file temporer (temporary file), file yang terdefrag (defragmented file), dan

file yang belum teroverwrite.

d. Analisa (analysis).

Melakukan analisa secara mendalam terhadap bukti-bukti yang ada.

Bukti yang telah didapatkan perlu di-explore kembali kedalam sejumlah

skenario yang berhubungan dengan tindak pengusutan, antara lain:

1) siapa yang telah melakukan

2) apa yang telah dilakukan

3) apa saja software yang digunakan

4) hasil proses apa yang dihasilkan

5) waktu melakukan.
57

Setelah itu penelusuran bisa dilakukan pada data-data sebagai berikut :

a) Alamat URL yang telah dikunjungi

b) Pesan e-mail atau kumpulan alamat email yang terdaftar

c) Program word processing atau format ekstensi yang dipakai

d) Dokumen spreedsheat yang dipakai

e) Format gambar yang dipakai apabila ditemukan

f) File-file yang dihapus maupun di format

g) Password

h) Registry windows Hidden files

i) Log event viewers

j) Log application.

Tujuan dari proses ini adalah untuk mengekstrak dan menganalisis

bukti digital. Ekstrak disini mengacu pada proses pemulihan data

(recovery data) dari sebuah media. Analisisnya mengacu pada penafsiran

dari data dan menempatkannya dalam format logis dan berguna.

Termasuk juga pengecekan pada metadata. Kebanyakan file

mempunyai metadata yang berisi informasi yang ditambahkan menegnai

file tersebut seperti computer name, total edit time, jumlah editing session,

dimana dicetak, beberapa kali terjadi penyimpanan (saving), tanggal dan

waktu modifkasi. Selanjutnya melakukan recovery dengan

mengembalikan file dan folder yang terhapus, unformat drive, membuat

ulang partisi, mengembalikan password, merekonstruksi ulang halamn

web yang pernah dikunjungi, mengembalikan email-email yang terhapus


58

dan seterusnya. Tahapan analisis terbagi dua yaitu analisis media dan

analisis aplikasi pada barang bukti yang ada.

Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat

dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus,

disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari

analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik

kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.

e. Presentasi (presentation)

Tindakan dan observasi harus didokumentasikan selama proses

forensic berlangsung. Hal ini termasuk dengan persiapan laporan tertulis

dari temuan yang ada. Menyajikan dan menguraikan secara detail laporan

penyelidikan dengan bukti-bukti yang sudah dianalisa secara mendalam

dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah di pengadilan. Beberapa

hal penting yang perlu dicantumkan pada saat presentasi/panyajian laporan

ini, antara lain:

1) Tanggal dan waktu terjadinya pelanggaran.

2) Tanggal dan waktu pada saat investigasi.

3) Permasalahan yang terjadi.

4) Masa berlaku analisa laporan.

5) Penemuan bukti yang berharga (pada laporan akhir penemuan ini

sangat ditekankan sebagai bukti penting proses penyidikan).

6) Tehnik khusus yang digunakan, contoh: password cracker


59

7) Bantuan pihak lain (pihak ketiga).

8) Laporan yang disajikan harus di cross check langsung dengan saksi

yang ada, baik saksi yang terlibat langsung maupun tidak langsung.
60

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, penulis menarik

kesimpulan sebagai berikut :

Bahwa, ahli digital forensik berkaitan dengan alat bukti digital

berkedudukan sebagai dua alat bukti yang sah yaitu keterangan ahli dan Surat

sebagaimana diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, seorang ahli digital

forensik langsung berhubungan dengan barang bukti baik dari TKP saat

penyidikan hingga laboratorium.Bukti digital forensik mempunyai tingkat

kredibilitas yang tinggi dan memenuhi kriteria reabilitas sehingga dapat

dipergunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan

pembuktian bukti digital forensik dapat memberikan pengaruh dan menjadi

pertimbangan hakim dalam mengambil suatu putusan. Ahli digital forensik

setelah melakukan analisis dan pemeriksaan di laboratorium forensik terhadap

suatu barang bukti menuangkan laporannya ke dalam berita acara yang

berbentuk surat. Seorang ahli digital forensik menjelaskan bagaimana

terdakwa melakukan tindak pidana dan alat apa yang digunakan dengan

kendala persoalan alat bukti yang bersifat elektronik sehingga sangat rentan

untuk diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelaku. Sehingga

penanganannya seharusnya alat bukti elektronik tersebut di cetak dengan

media kertas (print out) agar tidak terjadi manipulasi kemudian dianalisa oleh

ahli digital forensik untuk disampaikan di persidangan. Hal ini tertuang dalam
61

Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

B. Saran

Adapun saran penulis berdasarkan kesimpula di atas, yaitu sebagai

berikut :

1. Dalam hal tindak pidana yang menggunakan teknologi diperlukan digital

forensik dalam menganalisis barang bukti dari tindak pidana tersebut,

Diperlukan peraturan khusus tentang digital forensik untuk mendapatkan

tujuan hukum itu sendiri yaitu kepastiaan, kemaanfaatan, dan keadilan

sehingga digital forensik dapat digunakan sebagai mekanisme pembuktian

yang sah yang tidak diragukan hasilnya.

2. Para praktisi Digital Forensik juga harus lebih mendalami dan memahami

seluk beluk hukum acara di Indonesia agar dalam menjalankan aktivitas

digital forensiknya bisa benar-benar berkontribusi bagi ketersediaan fakta

dan data yang fair di depan hukum.


62

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ansorie Sabuan, 2000, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung.

Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Achmad Benny Mutiara, 2007, “Panduan Komputer Forensik Dalam


Penanganan Bukti Digital Pada Personal Digital Asistant” ,
Universitas Gunadarma, Depok.

Atmasasmita, Romli, 2011, “Sistem Peradilan Pidana Kontemporer”, Kencana,


Jakarata.

Al-Azhar, M. N. 2012. Digital Forensic: Paduan Praktis Investigasi Komputer.


Salemba Infotek, Jakarta.

Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan
Pukap Indonesia, Yogyakarta.

Bambang Poernomo. 1986. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana. Liberty,


Yogyakarta.

,2004, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia,.Liberti,


Jogjakarta.

Djoko Prakoso. 1988. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses
Pidana.Liberty, Yogyakarta.

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Djambatan, Jakarta.

Hari Sasangka dan Lily RositA.2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana.
Mandar Maju, Bandung.

Judhariksawan. 2005. Pengantar Hukum Telekomunikasi. Rajawali Press. Jakarta.

Laden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika,


Jakarta.

,2005, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika , Jakarta.

Muhammad, R. 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia.UII Press.Yogyakarta.


P.A.F. Lamintang, 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
63

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Group,


Jakarta.

Poerwadarminta, 2008, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Rosita, 2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Mandar Maju,


Bandung.

Raharjo, T. 2011. Mediasi Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana : Suatu Kajian
Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia. Buku Litera,
Yogyakarta.

Subekti, 2003, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.

Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Rineka Cipta,Jakarta.

Solihah, S. 2014. Analisis Digital Forensik untuk File Terenkripsi dengan


menggunakan Winhex dan Tools Kali Linux Autopsy.Universitas
Siliwangi, Tasikmalaya

Tegu Prasetyo, 2012,Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yahya Harahap, 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP


(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

, 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.


Sinar Grafika, Jakarta.

Zainal Abidin Farid, 2014, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta.

Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta

Nicolas, 2009, Sirkus Hukum : aspek Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta

Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law-Aspek Hukum
Teknologi Informasi, Refika Aditama,Bandung.

Feri Sulianta, 2008, Komputer Forensik, Elex Media Komputindo, Jakarta.


64

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum


Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UndangUndang


Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2016 tentang


Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana Di Bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor B-


1179/E/EJP/O7/2008 tentang Pola Penanganan Perkara Tlndak
Pidana lnformasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Kapuslabfor Bareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar


Operasional Prosedur Pemeriksaan dan Analisa Digital Forensik.

Good Practice Guide for Digital Evidence dari Assosiation of Chief Police
Officers (ACPO), Inggris tahun 2012.

INTERNET
https://inet.detik.com/cyberlife/d-1823098/mengintip-cara-kerja-digital-forensik-
diakses pada tanggal 10 juni 2019

Anda mungkin juga menyukai