Anda di halaman 1dari 167

PENGATURAN ASURANSI SYARIAH DALAM KOMPILASI HUKUM

EKONOMI SYARIAH (KHES) DAN PERATURAN OTORITAS JASA


KEUANGAN (POJK)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Rijal Hanafi
11150490000125

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
PENGATURAN ASURANSI SYARIAH DALAM KOMPILASI HUKUM
EKONOMI SYARIAH (KHES) DAN PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN (POJK)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Rijal Hanafi
NIM 11150490000125

Pembimbing:

Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A.


NIP : 19780715 200312 1 007

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M

ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi berjudul “Pengaturan Asuransi Syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi


Syariah (KHES) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)” yang ditulis oleh
Rijal Hanafi, NIM 11150490000125, telah diajukan dalam sidang skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum pada Senin 23 Maret 2020 dan Selasa 24 Maret 2020. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Maret 2020


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A.


NIP. 19760807 200312 1 001

Panitia Sidang:
Ketua : A.M. Hasan Ali, M.A. (.................................)
NIP. 19751201 200501 1 005

Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. (.................................)


NIP. 19731215 200501 1 002

Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A. (.................................)


NIP. 19780715 200312 1 007

Penguji I : Dr. Hasanudin, M.Ag. (.................................)


NIP. 19610304 199503 1 001

Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. (.................................)


NIDN. 2021088601

iii
ABSTRAK

Rijal Hanafi NIM 11150490000125. PENGATURAN ASURANSI SYARIAH


DALAM KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KHES) DAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN (POJK). Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pada peraturan


asuransi syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi (KHES) dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 dan aturan yang digunakan ketika
terjadi perbedaan dalam KHES dan POJK pada asuransi syariah. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif.

Dari hasil analisis Penulis, diperoleh bahwa terdapat banyaknya perbedaan


diantara Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pada BAB XX dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 sebagai satu kesatuan
dari peraturan asuransi syariah, diantaranya yaitu terlihat pada definisi yang
berbeda dan memiliki arti yang berbeda dan beberapa aspek lainya yang
menunjukan adanya disharmonisasi. Dalam hal ini OJK berwenang dalam
mengatur dan mengawasi jalannya kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
termasuk bisnis asuransi syariah di Indonesia. Adapun aturan yang digunakan para
hakim dalam memutus perkara asuransi syariah di peradilan agama adalah KHES,
sebagaimana KHES adalah suatu pedoman para hakim dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara ekonomi syariah. Jika adanya kekurangan dalam
KHES maka tidak mengurangi tanggungjawab hakim dalam menggali dan
menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar. Keberadaan
KHES dalam kedudukan hierarki peraturan-perundang undangan yaitu sederajat
dengan POJK sebagaimana kedua peraturan tersebut sebagai suatu lembaga negara.

Kata kunci : Asuransi Syariah, KHES, POJK

Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum, MA.A., M.D.C

v
KATA PENGANTAR

‫َه‬ ‫َه َه‬


‫ٱلرحِي ِم‬ ‫ٱلرِنَٰمۡح‬ ِ ‫ِمۡسِب ٱّلل‬

Puji Syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala rahmat-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya
meskipun terdapat banyak kekurangan. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah memberi petunjuk kepada
umatnya menuju kehidupan yang bahagia fiddun yaa wall aakhirat.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa uluran tangan pihak-
pihak yang telah membantu. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan
terimakasih setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberikan
berbagai bentuk bantuan baik berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan
semangat, dukungan financial, maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, MA., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. A.M. Hasan Ali, M.A. selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Muhammad Maksum, MA.A., M.D.C. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan
kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Moch. Bukhari Muslim, Lc, MA, Selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi.

vi
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan banyak ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan
dibangku kuliah. Semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak dan ibu
semua.
7. Staff karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan
Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf akademik Fakultas Syariah
dan Hukum.
8. Kepada kedua orang tua tercinta, terimakasih atas didikan, doa dan
pengorbanan yang telah diberikan serta memberikan semangat yang luar
biasa bagi kehidupan penulis. Semoga Allah SWT selalu memberi rahmat
dan kesehatan serta membalas kebaikannya.
9. Kepada seluruh teman-teman Hukum Ekonomi Syariah 2015 terutama
kepada teman-teman HES D yang telah banyak membantu penulis, yang
selalu memotivasi penulis. Semoga sukses dan silaturahmi tetap erat sampai
kapanpun.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Dengan demikian, penulis mengucapkan banyak terimakasih atas semua


pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah
SWT membalas yang terbaik dan semoga karya ini bermanfaat bagi seluruh
masyarakat dan menyumbangkan aspirasi bagi perkembangan Hukum Ekonomi
Syariah.

Jakarta, 25 Januari 2020

Rijal Hanafi

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii

ABSTARK......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

DAFTAR ISI .................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1


B. Identifikasi ................................................................................................. 6
C. Pembatasan Masalah .................................................................................. 6
D. Rumusan Masalah ...................................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 7
F. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
G. Review Studi Terdahulu ............................................................................ 7
H. Krangka Teori .......................................................................................... 11
I. Metode Penelitian ..................................................................................... 14
J. Sistematika Penulisan .............................................................................. 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 18

A. Asuransi Syariah ...................................................................................... 18


B. Akad-Akad Dalam Asuransi Syariah ........................................................ 20
C. Dasar Hukum Asuransi Syariah ............................................................... 26
D. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah .............................................................. 28
E. Praktik Asuransi Syariah .......................................................................... 31

viii
BAB III GAMBARAN UMUM ....................................................................... 34

A. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ........................................................ 34


B. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ............................................................. 38

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN .............................................................. 43

A. Analisis Perbedaan dan Persamaan Pengaturan Perundang-Undangan


Asuransi Syariah Pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) ............................................... 43
B. Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan ................................................................................................. 65

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 73

A. Kesimpulan .............................................................................................. 73
B. Saran ....................................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76

LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

No Judul Tabel
Tabel 1.1 Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK
Tabel 1.2 Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK
Tabel 1.3 Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK
Tabel 1.4 Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK
Tabel 1.5 Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK
Tabel 1.6 Perbedaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah
Tabel 1.7 Perbedaan aturan yang tidak diatur di dalam POJK terkait akad
Asuransi Syariah

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asuransi di Indonesia sangat dibutuhkan oleh masyarakat,


perusahaan asuransi muncul karena masyarakat pada umumnya
menghindari dari segala resiko. Di dalam kehidupan banyak resiko yang tak
terduga akan dialami semua orang, resiko yang dialami bisa berupa
kerugian, kerusakan barang, kecelakaan, dan kematian. Untuk itu setiap
orang harus mempersiapkan sesuatu agar kerugian dari setiap resiko yang
terjadi dapat diminimalkan.

Saat ini di Indonesia ada dua jenis asuransi yaitu asuransi


konvensional dan asuransi syariah, kedua jenis asuransi tersebut memiliki
tujuan yang sama yaitu dengan memberikan perlindungan terhadap resiko
yang mungkin akan terjadi oleh manusia. Perusahaan asuransi semakin
marak, terutama dengan adanya asuransi syariah. Asuransi syariah adalah
satu kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syariah.

Asuransi Syariah Harus di bangun atas dasar taawun (kerja sama),


tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan
materi semata.1 Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN MUI) No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah, bahwa Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau
Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau
tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

1
Nurwidiatmo, “Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Perasuransian (Asuransi
Syariah) UU No. 2 Tahun 1992”, Laporan Akhir, Jakarta, 2008, h., 41.

1
2

Asuransi syariah di Indonesia dapat dikatakan tumbuh pesat, seiring


dengan perkembangan industri keuangan syariah pada umumnya, seperti
bank syariah. Asuransi syariah di Indonesia sendiri mulai lahir tahun 1994,
dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada 25 Agustus 1994
dengan produk Asuransi Takaful Keluarga (life insurance). Sejak saat itu,
beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain mulai mengikuti jejak
Asuransi Takaful Indonesia dengan membuka Unit Usaha Syarah.2
Perkembangan asuransi syariah saat ini tampaknya menunjukkan tren yang
positif. Kini asuransi syariah sudah mengalami kemajuan dengan pesat
karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah muslim. Produk asuransi
syariah didasarkan pada Fatwa DSN-MUI yang menjelaskan tujuan asuransi
dan pedoman operasional asuransi syariah.

Asuransi sebagai salah satu kegiatan ekonomi syariah yang semakin


berkembang memiliki peraturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan pada
asuransi yaitu Nomor 2 tahun 1992. Asuransi syariah dalam sistem hukum
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tidak memberi
ruang yang cukup untuk mengembangkan asuransi dengan sistem syariah.
Karena pengertian asuransi yang tercantum dalam undang-undang tersebut
bertentangan dengan hukum Islam. Bila kita lihat kembali sejarah
perkembangan hukum Islam terkait dengan respon asuransi, secara khusus
DSN baru mengeluarkan fatwa yang mengatur tentang Pedoman dan Tata
cara dalam menyelenggarakan asuransi syariah melalui fatwa No. 21/DSN-
MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. 3 Dalam
kegiatannya asuransi memiliki akad yang digunakan dan akad tersebut juga
memiliki fatwa khusus yaitu fatwa DSN No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, fatwa DSN No.
52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi

2
Arif Effendi, “Asuransi Syariah Di Indonesia (Studi Tentang Peluang ke Depan Industri
Asuransi Syariah)”, Wahana Akademika, Vol 3, Oktober 2016, h.,73.
3
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Dpok: Kencana, 2017), h., 265
3

Syariah Dan Reasuransi Syariah, dan fatwa DSN No. 53/DSN-


MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ Pada Asuransi Syariah. Fatwa yang
diatur dalam fatwa DSN tersebut menjadi pedoman dalam kegiatan asuransi
syariah di Indonesia.

Seiring dengan perkembangan zaman asuransi syariah memiliki


payung hukum dalam peraturan perundang-undangan terkait usaha
perasuransian syariah yang mengakomodasi konsep asuransi syariah di
Indonesia. Dari banyaknya regulasi ini terlihat bahwa asuransi syariah
sangatlah berkembang, diantaranya yaitu sebagai berikut: 4

1. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2008 tentang Perubahan


Ketiga Atas PP No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian.
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
81/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan
Prinsip Syariah.
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
152/PMK.010/2012 tentang Tata Kelola Perasuransian Yang
Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.
4. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian.
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan
Perusahaan Reasuransi Syariah.
6. POJK No 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip
Syariah.

4
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Dpok: Kencana, 2017), h., 266
4

Di lihat dari adanya pengaturan asuransi syariah pengaturan asuransi


syariah yang diatur oleh POJK maka dengan ini OJK juga mengawasi
jalannya perasuransian di Indonesia dari asuransi konvensional hingga
asuransi syariah. Pada dasarnya kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
didasarkan untuk menciptakan sistem perekonomian yang tumbuh secara
berkelanjutan, serta dapat melindungi kepentingan masyarakat dan pelaku
sektor jasa keuangan secara terintegrasi. 5

Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah


Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) sebagai hukum materil dalam bidang hukum
ekonomi syariah.6 Lahirnya KHES berawal dari terbitnya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut
memperluas kewenangan Peradilan Agama sesuai perkembangan dan
kebutuhan umat Islam Indonesia.7 Hakim peradilan dalam lingkungan
peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara
yang berkaitan dengan ekonomi syariah, mempergunakan sebagai pedoman
prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 8 Dalam
memutuskan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama, KHES
merupakan rujukan utama untuk para hakim. Terkait sengketa asuransi
syariah, para hakim peradilan agama mengacu pada KHES BAB XX tentang
Ta’min/Asuransi Syariah. Namun secara keseluruhan KHES dalam

5
Rilia Cindi Pratiwi, “Analisis Efektivitas Pengawasan dan Pemeriksaan Kinerja
Keuangan Perbankan Syariah di Otoritas Jasa Keuangan (Studi Kasus di Otoritas Jasa Keuangan
Solo).” (Skripsi S-1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri Surakarta,
2018), h. 1
6
Ah. Azharuddin Latif dan Diana mutia, “Disparitas Penyelesaian Sengketa Jalur Litigasi
Pada Polis Asuransi Syariah dan Putusan Pengadilan”, Jurnal Legislasi Indonesia, 16, (Maret,
2019), h. 77
7
Nashihul Ibad Elhas, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Tinjauan Umum Hukum
Islam)”, Jurnal Qolamuna, I, (Februari 2016), h. 215
8
Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
5

menuangkan ketentuan masih ada yang belum cukup atau ada pula yang
bertentangan.

Dengan adanya peraturan-peraturan di atas asuransi syariah dalam


penyelenggaraannya dalam POJK mengacu pada POJK No.
69/POJK.05/2016 Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
peraturan yang sudah diatur dalam Otoritas Jasa Keuangan namun tidak
diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan juga ada perbedaan
antara peraturan pada kedua payung hukum tersebut. Sedangkan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah dijadikan standar oleh para hakim dalam
membuat keputusan penyelesaian sengketa, jadi bagaimana bahwa
standarnya tersebut sudah berbeda. Hal ini menimbulkan permasalahan
dengan adanya perbedaan materi hukum antara Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tersebut terkait asuransi
syariah.

Terlihat dari kedua regulasi tersebut merupakan satu kesatuan dalam


mengatur asuransi syariah perlunya dilakukan harmonisasi pada kedua
regulasi tersebut. Dan jika di telaah terdapat disharmonisasi pada kedua
peraturan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyesuaian payung hukum
antara Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan nomor 69/POJK.05/2016.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, penulis tertarik


untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Pengaturan Asuransi Syariah
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK).”
6

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis


mengidentifikasi adanya masalah sebagai berikut:

1. Peraturan asuransi syariah di Indonesia.


2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
3. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
4. Sengketa Asuransi Syariah.
5. Perbedaan materi hukum pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
6. Kesesuaian Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.

C. Pembatasan Masalah

Setelah latar belakang dan identifikasi masalah diuraikan, untuk


membuat penelitian ini menjadi lebih terarah, pembatasan masalah perlu
dilakukan. Untuk memfokuskan penelitian dan memudahkan proses
analisis, maka penelitian ini dibatasi hanya dengan membahas perbandingan
yang mengatur tentang asuransi syariah di Indonesia antara Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
69/POJK.05/2016.

D. Rumusan Masalah

1. Apasaja perbedaan dan persamaan antara Kompilasi Hukum Ekonomi


Syariah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69 Tahun
2016 terkait asuransi syariah?
2. Aturan mana yang digunakan ketika ada perbedaan pada Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait
asuransi syariah?
7

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan,


maka ada beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Menganalisis peraturan terkait Asuransi Syariah pada Kompilasi


Hukum Ekonomi Syariah dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
2. Peraturan yang digunakan ketika ada perbedaan pada Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait
asuransi syariah.

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pengetahuan dan


mengembangkan pikiran serta memperluas informasi tentang payung
hukum pada asuransi syariah.

2. Bagi Praktisi

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat


dijadikan bahan pertimbangan, saran dan masukan tentang masalah
yang perlu diadakan perbaikan dan kualitas pada payung hukum
asuransi syariah.

G. Review Studi Terdahulu

Sebelum pelaksanaan penelitian, penulis terlebih dahulu melakukan


peninjauan hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan materi
yang akan dibahas. Hasil dari penelitian terdahulu digunakan sebagai
perbandingan dan acuan dalam permasalahan yang akan di bahas dalam
penelitian skripsi ini. Berikut adalah beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya.
8

Arif Effendi mempublikasikan jurnal yang berjudul, “Asuransi


Syariah Di Indonesia (Studi Tentang Peluang ke Depan Industri
Asuransi Syariah)”, Tahun 2016. Dalam jurnalnya menjelaskan
pertumbuhan ekonomi yang kuat dikombinasikan dengan naiknya tingkat
tabungan dan berkembangnya perekonomian kelas menengah merupakan
pertanda baik untuk asuransi syariah. Melihat peluang yang begitu besar,
maka sudah seharusnya sosialisasi tentang asuransi syariah perlu secara
lebih serius dan komprehensif, sehingga sangat perlu untuk mensinergikan
kepentingan berbagai pihak seperti industry asuransi sendiri, pemerintah
(regulator), Ulama, akademisi, serta lembaga-lembaga yang focus terhadap
perkembangan bisnis syariah. Untuk menjawab besarnya peluang yang ada,
perlu adanya sumber daya manusia yang professional dan memadai,
disertau dengan dukungan modal, ditambah payung hukum yang
mendukung.

Selanjutnya pada tahun 2016 Nashihul Ibad Elhas, mempublikasi


jurnal dengan judul “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Tinjauan
Umum Hukum Islam)”. Dalam jurnalnya membahas pasca pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, diperlukan adanya
pedoman bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan perkara ekonomi syariah, sesuai Pasal 49 di Undang-Undang
Peradilan Agama yang baru tersebut, sehingga dikeluarkanlah Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, KHES adalah salah satu bentuk pengejawantahan fiqh
yang diperuntukan bagi para hakim. Tapi ada sejumlah permasalahan
seperti penggunaan istilah syariah, cakupannya materi, hingga
ketidakjelasan pasal-pasal yang ada di dalamnya. KHES sangat membantu
para hakim di lingkungan PA dalam menjalankan tugas mulianya, sekaligus
juga sudah barang tentu KHES memiliki manfaat akademis yang sangat
9

berharga bagi khazanah keilmuan, khususnya hukum Islam, terutama dalam


konteks penegakan hukum di Indonesia.

Di tahun yang sama yaitu tahun 2016 Ifa Lathifa Fitriani


mempublikasikan jurnal yang berjudul “Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah dalam Pemaknaan Hukum Islam dan Sistem Hukum Positif di
Indonesia”. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kekuatan KHES saat
ini dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia masih sangat lemah
karena masih berbentuk PERMA. Walaupun demikian pembentukan KHES
adalah pencapaian yang luar biasa bagi Hukum Islam di Indonesia. KHES
merupakan Hukum Materil yang digunakan di Peradilan Agama guna
membantu Hakim dalam membertikan putusan sengketa ekonomi syarih.
KHES harus beriringan dengan hukum perdata dan bisnis yang diakomodir
dalam peraturan perundang-undangan, maupunketentuan ekonomi syariah
dalam Fatwa DSN-MUI.

Ah. Azharuddin Latif menyampaikan materi yang berjudul


“Harmonisasi KHES, Fatwa DSN-MUI dan Kodifikasi Produk
Perbankan Syariah Sebagai Sumber Hukum Material Sengketa
Keuangan Syariah.” Dalam materinya beliau menjelaskan bahwa terdapat
27 disharmonisasi ketentuan KHES dengan Fatwa DSN-MUI.

Kemudian Muhammad Fahmi Fahrurrodzi mahasiswa Fakultas


Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menulis skripsi yang
berjudul, “Pembiayaan Murabahah Dan Musyarakah Pada Perbankan
Syariah Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Kesesuaian Dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia” pada tahun 2018.
Dalam skripsinya membahas bahwa terdapat kekosongan materi hukum
diantara ketiga sumber, yakni Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dan Fatwa DSN-MUI sebagai
pengaturan akad murabahah dan musyarkah, sehingga menyebabkan
10

ketidak lengkapan materi hukum satu sama lain. Lalu dari ketiga sumber
regulasi tersebut terdapat disharmonisasi hukum yang akan berdampak pada
penafsiran ganda dan distrosi hukum ketika terdapat suatu permasalahan
perjanjian akad murabahah dan musyarakah di Perbankan Syariah.

Selanjutnya ditahun yang sama yaitu pada tahun 2018 Maya


Agustina Waluyo mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarifhidayatullah Jakarta menulis skripsi dengan judul “Dana Pensiun
Syariah: Studi Perbandingan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES), Fatwa No.88/DSN-MUI/XI/2013 Dan POJK No.
33/POJK.05/2016”. Dalam skripsinya membahas bahwa ada perbedaan-
perbedaan konsep dana pension syariah terkait konsep akad, iuran,
pengelolaan kekayaan, dan manfaat serta fungsi pengawasan dan
pembinaan. Perbedaan yang paling signifikan adalah tidak adanya ketentuan
akad dalam KHES. Sehingga ketentuan-ketentuan lain pun tidak sesuai
dengan akad yang digunakan dalam dana pensiun syariah, sebagaimana
yang dijelaskan dalam fatwa No.88/DSN-MUI/XI/2013 dan POJK
No.33/POJK.05/2016. Perbedaan-perbedaan tersebut ada yang sifatnya
melengkapi, ada pula yang sifatnya bertolak belakang. Penyebab dari
adanya perbedaan-perbedaan tersebut salah satunya adalah karena
perumusan KHES mengenai dan pension Syariah hanya mengacu kepada
peraturan-peraturan dana pension konvensional serta tidak adanya
perubahan dalam KHES sejak tahun 2008 sampai saat ini.

Perbedaan dari penelitian sebelumnya diatas yang akan penulis


bahas pada skripsi ini adalah membahas kesesuaian peraturan perundang-
undangan dibidang asuransi syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
11

H. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan mengenai teori


Harmonisasi atau keselarasan peraturan perundang-undangan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Harmonis diartikan sebagai
bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni; seia sekata. Sedangkan
mengharmonisasikan diartikan menjadikan harmonis, Pengharmonisasian
adalah proses, cara, perbuatan mengharmoniskan. Dan Keharmonisan
diartikan sebagai perihal (keadaan) harmonis: keselarasan; keserasian.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Depkumham, memberikan


pengertian harmonisasi hukum sebagai kegiatan imiah untuk menuju proses
pengharmonisasian (penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum
tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan
yuridis.9

Besarnya potensi ketidak harmonisan suatu peraturan perundangan-


undangan disebabkan karena begitu banyaknya peraturan perundang-
undangan di Negara kita. Namun dalam perkembangannya kebutuhan
hukum masyarakat terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu
sendiri.

Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan


adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan
dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi,
sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan
perundangan-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling
bertentangan atau tumpang tindih (overlapping), hal ini merupakan

9
Setio Sapto Nugroho, “Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”,
(Jakarta: Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan, 2009),.h. 4
12

konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan (Setyadi,


2009).10

Adapun cakupan harmonisasi hukum, L.M Gandhi yang mengutip


buku tussen ennheid en verscheidenheid: Opstellen over harmonisatie
instaaat en bestuurecht (1988) mengatakan bahwa harmonisasi dalam
hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan,
keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas
hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum,
keadilan (justice, gerechtigheid) dan kesebandingan (equit, billijkeid),
kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan
pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan.11

Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan wajib menyusun


suatu peraturan perudang-undangan secara selaras dengan pasal-pasal
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang merupakan
pasal yang menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut. Hal inilah yang disebut dengan Harmonisasi Vertikal peraturan
perundang-undangan, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hierarki yang berbeda.

Di samping Harmonisasi Vertikal tersebut di dalam penyusunan


peraturan perundang-undangan harus diperhatikan pula harmonisasi yang
dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan yang sama atau sederajat. Jenis harmonisasi ini
disebut dengan Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi Horizontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori
yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru
mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang

10
Soegiyono, “Pentingnya Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”,
Jurnal Kajian Kebijakan dan Hukum Kedirgantaraan, 2015,. h. 9
11
Suhartono, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Pelaksanaan Anggaran
Belanja Negara”, Desertasi: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011,. h. 95
13

lama dan asas lex specialist delogat legi generalis yang berarti suatu
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
mengenyampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang
bersifat umum.12

Harmonisasi hukum dilakukan untuk menanggulangi keadaan


disharmoni hukum yang telah terjadi. Hukum itu perlu harmoni jika tidak
harmoni antara berbagai peraturan perundang-undangan maka dapat
menimbulkan terjadinya persoalan hukum tersebut. Keadaan disharmoni
hukum yang terlihat dalam realita, misalnya, tumpang tindih kewenangan,
sengketa, pelanggaran, dan tindak pidana.

Ada beberapa potensi terjadinya faktor-faktor disharmonisasi


hukum sebagai berikut:13

a. Jumlah peraturan perundang-undangan terlalu banyak yang


diberlakukan.
b. Perbedaan kepentingan dan penafsiran.
c. Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum
tentang tata pemerintahan yang baik.
d. Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan
perundang-undangan, yang terdiri dari mekanisme pengaturan,
administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan
penegakan hukum.
e. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan
perundang-undangan, yaitu yang berupa tumpang tindih
kewenangan dan benturan kepentingan.

12
Setio Sapto Nugroho, “Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”,
(Jakarta: Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan, 2009),.h. 7&9
13
Kusnu Goesniadhie, “Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan
Yang Baik”, (Malang: Nasa Media, 2010),. h. 11
14

I. Metode Penelitian

Metode penelitian membicarakan mengenai tata cara pelaksanaan


penelitian. Istilah metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu kata metode
dan kata penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu
methodos yang berarti cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk
memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk
menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
termasuk keabsahannya. Adapun pengertian penelitian adalah suatu proses
pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pengumpulan dan analisis data dilakukan
secara ilmiah, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental
maupun non-eksperimental, interaktif maupun non-interaktif.14

Penelitian hukum tentu menggunakan metode dan bahasa hukum


yang dipahami oleh para sejawat sekeahlian dan setiap pengemban hukum. 15
Penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto yaitu, suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisisnya.16

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti
kondisi obyek yang alamiah. 17 Obyek yang alamiah adalah untuk
meneliti pada kondisi yang apa adanya dan tidak dimanipulasi oleh

14
Jonaedi Efendi, dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Depok: Prenadamedia Group, 2018), h., 2.
15
Jonaedi Efendi, dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Depok: Prenadamedia Group, 2018), h., 4.
16
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 18.
17
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2012), h., 1.
15

peneliti.18 Metode penelitian kualitatif sering digunakan untuk melihat


lebih dalam suatu fenomena sosial termasuk di dalamnya kajian
terhadap ilmu pendidikan, manajemen dan administrasi bisnis,
kebijakan public, pembangunan atau ilmu hukum.19

Pada pendekatan penelitian ini adalah pendekatan yuridis


normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undang, putusan pengadilan, perjanjian serta
doktrin (ajaran).20

2. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang
berkaitan dengan masalah atau materi penelitian. 21 Data sekunder
tersebut, dapat dibagi menjadi:

a. Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
otoritas.22Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. 23Bahan
hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

18
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h., 21.
19
Rully Indrawan dan Poppy Yaniawi, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan
Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan pendidikan (Bandung: PT Rafika Aditama, 2014),
h., 67
20
Fahmi Muhammad Ahmadi, dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian, 2010), h., 31.
21
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 156.
22
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 47
23
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 106.
16

1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.


2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 69/POJK.05/2016
Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah.

b. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen yang tidak resmi. 24 Bahan hukum
sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang
terkait dengan objek penelitian ini.25

c. Bahan Hukum Tertier


Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai
bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari
kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.26

3. Teknik Analisis Data


Dari semua bahan hukum yang sudah terkumpul, baik bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, penulis akan
melakukan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan
mencermati dan mempelajari dokumen seperti Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, laporan-laporan
penelitian, artikel-artikel, dan buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti.

24
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 54
25
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 106.
26
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 106.
17

J. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan: Bab ini Berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi


Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Tinjauan Studi Terdahulu, Kerangka Konsep, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.

BAB II Kajian Pustaka: Bab ini berisikan teori-teori yang berhubungan


dengan penelitian ini.

BAB III Gambaran Umum: Bab ini menguraikan tentang objek penelitian
yang menjelaskan secara umum objek penelitian dan hal-hal yang berkaitan
dengan penelitian ini.

BAB IV Hasil Penelitian: Bab ini Berisikan tentang hasil dan analisa dari
penelitian yang dilakukan.

BAB V Penutup: Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran yang
dapat diberikan dari hasil penelitian.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Asuransi Syariah

Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie, yang dalam


hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari
peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi
penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung. Dalam bahasa Arab
Asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan
tertanggung disebut mu,amman lahu atau musta’min.1 Men–ta’min kan
sesuatu, artinya adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan agar
ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah
disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang. 2

Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang


memenuhi ketentuan Syariah, tolong–menolong secara mutual yang
melibatkan peserta dan operator. Sebatas tertentu konsep asuransi syariah
tidak terlalu berbeda jauh dengan konsep pengelolaan risiko konvensional
yang dilakukan secara mutual. Letak perbedaan antara asuransi syariah dan
asuransi konvensional adalah pada bagaimana risiko itu dekelola dan
ditanggung, dan bagimana dana asuransi syariah dikelola. Perbedaan lebih
jauh adalah pada hubungan anatara operator (pada asuransi konvensional
istilah yang digunakan: Penanggung) dengan peserta (pada asuransi
konvensional istilah yang digunakan: Tertanggung).3

1
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), h., 26 & 28.
2
Muhammad Thoin dan Anik, “Aspek Syariah dalam Asuransi Syariah”, Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, Vol 01, No. 01, (Maret 2015), h., 2
3
Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), h., 2.

18
19

Asuransi Syariah merupakan salah satu jenis lembaga keuangan


syariah non-bank. Asuransi syariah juga memiliki kesamaan fungsi dengan
lembaga keuangan syariah non-bank lainnya, yakni untuk memperoleh
keuntungan dari hasil investasi dana yang dikumpulkan dari peserta
asuransi. 4

Fatwa DSN-MUI mendefinisikan5 asuransi syariah (Ta’min, Takaful


atau Tadamun) sebagai usaha saling melindungi dan tolong – menolong di
antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau
tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad (perikata) yang sesuai syariah.

Asuransi syariah dikenal juga dengan istilah takaful. Takaful berasal


dari kata kerja takafala, yatakafulu, takaful, yang berarti saling menanggung
atau menanggyng bersama atau “menjamin seseorang untuk menghindari
kerugian”. Dari sudut pandang ekonomi, kata takaful memiliki arti
“menjamin bersama” (mutual guaranty) yang disediakan oleh sekelompok
orang yang hidup dalam kelompok yang sama terhadap resiko atau bencana
tertentu yang menimpa hidup seseorang, kekayaan atau barang-barang
lainnya. Oleh karenanya takaful dikenal sebagai asuransu bersama
(cooperative insurance).6

Dari definisi asuransi syariah tersebut jelas bahwa berbeda dengan


asuransi konvensional. Pertama, pada asuransi syariah setiap peserta sejak
awal bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan lainnya
dengan menyisikan dananya sebagai iuran kebajikan atau dana tabarru‟.
Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan resiko (transfer of risk)

4
Hendi Suhendi, Deni K. Yusup, Asuransi Takaful dari Teoritis ke Praktis, (Bandung:
Mimbar Pustaka, 2005), h.,9
5
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah.
6
Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuransi Syariah, Konsep Dasar, Aspek Hukum, dan Sistem
Operasionalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h.5.
20

dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan


pembagian resiko (sharing of risk) dimana peserta saling menanggung.
Kedua, akad yang digunakan dalam asuransi syariah harus selaras dengan
hukum Islam (syariah) artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari
riba, gharar, dan maysir. Disamping itu juga investasi dana harus pada objek
yang halal dan baik. 7

B. Akad – Akad Dalam Asuransi Syariah

Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional


mengeluarkan fatwa khusus tentang akad asuransi syariah. Akad dalam
asuransi syariah yang dilakukan antara peserta dan perusahaan terdiri atas
akad tijarah dan akad tabarru dan dalam akad disebutkan hal berikut:8

1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahan.


2) Cara dan waktu pembayaran premi.
3) Jenis akad tijarah dan tabarru’ serta syarat – syaratnya sesuai jenis
asuransi yang diakadkan.

Secara umum, ketika peserta asuransi ikut dalam program


perasuransian syariah akan diberikan akad. Akad yang diberikan harus
sesuai dengan syariah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir
(perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram, dan
maksiat.9 Adapun akad yang diberikan adalah:10

7
Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: UIN Press, 2015), h.7.
8
Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga, (Yogyakarta:
C.V Andi Offset, 2016). h., 67
9
Junaidi Abdullah, “Akad-Akad di dalam Asuransi Syariah”, Jurnal of Sharia Economic
Law, Vol. 1, No. 01, (Maret 2018), h., 18
10
Ario Wariesta, “Pemahaman Pengusaha Kecil Terhadap Asuransi Syariah” (Skripsi S-1
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h. 22.
21

1. Akad Peserta dengan Peserta

Kerjasama antara sesama peserta menggunakan Akad


Tabarru’ dalam bentuk pemberian Dana Santunan untuk tujuan
tolong menolong apabila diantara para Peserta ada yang
mengalami musibah. Konsep ini menjadikan semua peserta
sebagai satu keluarga besar yang saling menanggung, saling
menjamin, dan saling melindungi apabila musibah datang.11

Akad tabarru’ menurut Fatwa DSN MUI No. 53/DSN


MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ Pada Asuransi Syariah,
menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam akad tabarru’
adalah:12

a. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana


hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau
peserta lain yang tertimpa musibah.
b. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak
menerima dana tabarru’ (mu’amman/ mutabarra’ lahu), dan
secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/ mutabarri’).
c. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah,
atas dasar akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan
investasi.

Dana tabarru’ yang diserahkan kepada pengelola harus


diiringi dengan niat ikhlas untuk tujuan tolong menolong tanpa
adanya harapan untuk mendapatkan imbalan atas apa yang telah

11
Zulfah Mudrikah, “Transformasi Akad Bisnis Asuransi Syariah PT Takaful Keluarga”
(Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2020), h., 64.
12
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru’ Pada
Asuransi Syariah
22

diberikan. Peserta hanya mengharapkan imbalan pahala dari


Allah SWT.13

Hubungan hukum antara peserta dengan peserta tentunya


dilihat dari sebagaimana yang telah disebutkan ketentuannya di
dalam polis. Secara praktek peserta dalam akad tabarru’
mempunyai peran ganda, yaitu peserta sebagai pemberi dana
tabarru’ dan peserta sebagai pihak yang berhak menerima dana
tabarru’.

Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada


semua produk asuransi, akad Tabarru’ pada asuransi adalah
semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta dengan
pemegang polis. 14

2. Akad Peserta dengan Perusahaan

Akad antara peserta dengan perusahaan merupakan Akad


Tijarah. Akad Tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan
untuk tujuan komersial. 15 Terdapat tiga pilihan akad Tijarah
yang dapat digunakan oleh perusahaan asuransi syariah sebagai
pengelola dana, yaitu akad wakalah bil ujrah, akad mudharabah,
dan akad mudharabah mustarakah.16

13
Dwi Fidhayanti, “Pelaksanaan Akad Tabarru’ Pada Asuransi Syariah (Studi di Takaful
Indonesia Cabang Malang), Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Vol. 3, No. 1, (Juni, 2012), h.,
15.
14
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru’ Pada
Asuransi Syariah
15
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah.
16
Destri Budi Nugraheni, “Analisis Yuridis Akad Tabarru dan Akad Tijarah Dalam Produk
Unit Link Syariah”, Mimbar Hukum, Vol. 28, No. 2, (Juni, 2012), h., 226.
23

Untuk akad peserta dengan perusahaan ini, ada beberapa


akad yang mengikuti dalam pelaksaannya. Akad-akad tersebut
meliputi:

1. Akad Wakalah bil Ujrah

Akad wakalah bil ujrah diperbolehkan dalam


asuransi syariah yang dilakukan antara perusahaan
asuransi syariah dan peserta dimana posisi perusahaan
asuransi syariah sebagai pengelola dan mendapatkan fee
karena telah mendapatkan kuasa dari peserta. 17 Seperti
yang dijelaskan didalam Fatwa DSN-MUI bahwa
wakalah bil ujrah boleh dilakukan antara perusahaan
asuransi dengan peserta.18

Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil


(yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana. Peserta
(pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving
dan tabarru’, bertindak sebagai muwakkil (pemberi
kuasa) untuk mengelola dana. Peserta sebagai suatu
badan/kelompok, dalam akad tabarru’ bertindak sebagai
muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana. Wakil
tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa
yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemberi
kuasa). Akad wakalah adalah bersifat amanah (yad
amanah) dan bukan tanggungan (yad dhaman) sehingga
wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian

17
Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga, (Yogyakarta:
C.V Andi Offset, 2016). h., 67
18
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/X/2006 Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah
Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
24

investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya,


kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi. 19

Fatwa DSN-MUI mengatur Objek Wakalah bil Ujrah


diantaranya meliputi: 20

a. kegiatan administrasi
b. pengelolaan dana
c. pembayaran klaim
d. underwriting
e. pengelolaan portofolio risiko
f. pemasaran
g. investasi

2. Akad Mudharabah

Akad mudharabah adalah akad tijarah yang


memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib
untuk mengelola investasi dana tabarru’ clan/ dana
investasi peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang
diberikan dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)
yang besarnya telah disepakati sebelumnya. 21

Asuransi Syariah menerapkan kontrak al-


mudharabah , yaitu kontrak kerja sama antara dua pihak
(peserta dan perusahaan). Pihak yang satu memiliki
uang/modal (shahibul-mal), tetapi tidak dapat mengelola
secara maksimal karena memang tidak memiliki

19
Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga, (Yogyakarta:
C.V Andi Offset, 2016). h., 67
20
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/X/2006 Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah
Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
21
Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga, (Yogyakarta:
C.V Andi Offset, 2016). h., 67
25

kemampuan dan waktu. Sementara itu, pihak lain


memiliki kemampuan, waktu, dan pengalaman yang
baik, tetapi kurang memiliki dana. 22

3. Akad Mudharabah Musytarakah

Akad mudharabah musytarakah adalah akad tijarah


yang memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai
mudharib untuk mengelola investasi dana tabarru’ dan
atau dana investasi peserta, yang digabungkan dengan
kekayaan perusahaan, sesuai kuasa atau wewenang yang
diberikan dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)
yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi
kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati
sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
dengan Prinsip Syariah). 23

Di dalam Fatwa DSN No. 51/DSN MUI/III/2006


tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi
Syariah menyebutkan bahwa akad ini dapat diterapkan
pada bagian produk asuransi syariah yang mengandung
unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.24

Akad mudharabah musytarakah adalah akad dimana


modal perusahaan asuransi syariah dan nasabah

22
Zulfah Mudrikah, “Transformasi Akad Bisnis Asuransi Syariah PT Takaful Keluarga”
(Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2020), h., 67.
23
Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga, (Yogyakarta:
C.V Andi Offset, 2016). h., 67
24
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/X/2006 Tentang Akad Mudharabah
Musytarakah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah.
26

digabungkan untuk diinvestasikan dan posisi perusahaan


asuransi syariah sebagai pengelola.

C. Dasar Hukum Asuransi Syariah

Secara umum dasar hukum atau pengaturan operasional Asuransi


Syariah sebagaimana Lembaga Keuangan Syariah Bank dan Non Bank
lainnya didasarkan pada dua kategori sumber hukum, yaitu hukum Islam
dan hukum positif. 25

1. Hukum Islam

a) Al-Qur’an

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas tentang praktik


hukum asuransi. Di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun disebutkan
istilah asuransi, baik itu at-ta’min atau at-takaful. Walaupun al-
Qur’an tidak menyebut secara tegas tentang asuransi, tetapi ayat-
ayat dalam al-Qur’an menjelaskan tentang konsep asuransi dan
mempunyai muatan nilai–nilai dasar berasuransi, seperti kerja
sama, tolong menolong, atau untuk menghilangkan kesukaran
sesame manusia.26 Berikut adalah ayat al-Qur’an yang
mengandung nilai dasar untuk praktik asuransi:27

Surat al-Maidah ayat 2

َ ‫ٱۡل ۡث ِم َو ۡٱلعُ ۡد َٰ َو ِۚ ِن َوٱتَّقُواْ ٱللَّ ٰۖ َه ِإ َّن ٱللَّ َه‬


ُ ‫ددُِد‬ ِ ۡ ‫علَى‬ َ ‫علَى ۡٱل ِب ِر َوٱلت َّ ۡق َو َٰٰۖى َو ََل ت َ َع‬
َ ْ‫اونُوا‬ َ ْ‫اونُوا‬
َ ‫… َوت َ َع‬
ِ ‫ۡٱل ِعقَا‬
‫ب‬

25
Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuransi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, dan
Sistem Operasionalnya, (Ciputat: UIN Press, 2015), h., 52
26
Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga, (Yogyakarta:
C.V Andi Offset, 2016). h., 33-34
27
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah.
27

Artinya:

“…Dan tolong – menolonglah kamu dalam (mengerjakan)


kebijakan dan takwa, dan jangan tolong – menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa–nya” (QS. Al-
Maidah [5]: 2)

b) Hadist

، ‫ب َُ ْو ِم ْال ِق َيا َم ِة‬ َ ُ‫س اللَّه‬


ِ ‫ع ْنهُ كُ ْر َبةً مِن كُ َر‬ ِ ‫ع ْن ُمؤْ م ٍِن كُ ْر َبةً م ِْن كُ َر‬
َ َّ‫ نَف‬، ‫ب الدُّ ْن َيا‬ َ َّ‫َم ْن نَف‬
َ ‫س‬
َ ُ‫ َُس ََّر اللَّه‬، ‫علَى ُم ْعس ٍِر‬
‫علَ ْي ِه فِي الدُّ ْن َيا َو ْاْلخِ َر ِة‬ َ ‫َو َم ْن َُس ََّر‬

Artinya:

“diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad


bersabda: Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan
duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT akan
menghilangkan kesulitannnya pada hari kiamat, barang siapa
yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT akan
mempermudah urusan dunia dan akhirat”. (HR. Muslim) 28

2. Hukum Positif29

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata


b) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
c) Undang-Undang No. 2 1992 Tentang Usaha Perasuransian jo.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
d) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 jo. Peraturan Pemerintah

28
AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Prespektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Jakarta Kecana, 2004), h., 116.
29
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Depok: Kencana, 2017), h., 199-211
28

No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua jo. Peraturan


Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang
Penyelenggaran Usaha Perasuransian jo. Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaran Usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
e) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 jo.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
227/PMK.010/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
dengan Prinsip Syariah
f) Peraturan Menteri Keuangan No. 11 Tahun 2011 tentang
Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
dengan Prinsip Syariah jo. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip
Syariah

D. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah

Prinsip utama dalam asuransi syariah30 adalah taawanu ala al birr


wa al-taqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan
takwa) dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau
peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya
saling menjamin risiko.

30
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Depok: Kencana, 2017), h., 150-152
29

Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah


ditegakkan atas prinsip-prinsip utama yaitu:31

1) Saling kerja sama dan saling membantu

Asuransi syariah dibangun atas dasar tolong menolong, saling


menjamin semata-mata tidak berorientasi bisnis atau keuntungan.
Setiap peserta menyetor premi menurut jumlah yang ditentukan,
harus disertai dengan niat membantu. Apabila ada anggota yang
mengalami musibah maka diambillah sejumlah uang guna
membantu peserta yang mengalami musibat tersebut, dengan
prinsip ini para anggota bekerja sama untuk saling tolong
menolongkepada peserta yang mengalami musibah yang diambil
dari dana premi yang dikelola oleh perusahaan. Surat Al Maidah
(QS.5:2) menunjukan maksud tersebut.

“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan


kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksanya”.

2) Saling bertanggung jawab

Para anggota asuransi sepakat untuk saling tanggung jawab antara


satu sama lain memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas
ibadah. Tanggung jawab ini adalah penting untuk dipraktikkan
secara bersama khususnya mengenai konsep menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam hadist Nabi
bersabda yang artinya:

“Setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab dan

31
Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: UIN Press, 2015), h., 9.
30

setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang


dibawah tanggung jawab kamu”. (HR. Bukhari Muslim)

3) Saling menjaga keselamatan dan keamanan

Asuransi syariah memberikan suatu perlindungan atas harta


benda, jiwa, dan kesehatan seseorang supaya dalam
kehidupannya tetap berjalan lancar meskipun mengalami
kerugian atau kehilangan. Peserta membayarkan sejumlah uang
kepada perusahaan asuransi untuk memperoleh perlindungan atas
kerugian, oleh karena itu para peserta juga harus menjaga
keselamatan dan keamanan tidak seenak-enaknya atas harta
benda dikarenakan sudah memperoleh perlindungan dari
perusahaan asuransi.

4) Pencegahan dan mengurangi resiko

Terdapat juga hadist Rasul yang mengisyaratkan bahwa manusia


harus berupaya mengambil langkah pencegahan atau mengurangi
resiko.

“Nabi saw memperhatikan seorang Badawi meninggalkan


seekor unta lalu Nabi bertanya kepada Badawi itu, “Mengapa
kamu tidak mengikat unta kamu?, Badawi itu menjawab “aku
bertawakkal kepada Allah, “Nabi berkata, “Ikatlah unta kamu itu
dahulu, kemudian bertawakkal kepada Allah,”

Dalam hadist ini jelas menunjukan bahwa seseorang harus selalu


mengambil langkah-langkah preventif yang baik untuk menjaga
dirinya atau hartanya dari resiko.
31

E. Praktik Asuransi Syariah32

1. Dewan Pengawas Syariah

Salah satu perbedaan dari asuransi konvensional, bahwa pada


asuransi syariah terdapat yang namanya Dewan Pengawas Syariah
(DPS), yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari DSN-MUI.

Peran utama para ulama dalam DPS adalah mengawasi jalannya


operasional sehari – hari Lembaga Keuangan Syariah (seperti Bank,
Asuransi, Obligasi, Pasar Modal, Leasing, dan sebagainya), agar selalu
sesuai dengan ketentuan – ketentuan syariah. Fungsi Dewan Pengawas
Syariah adalah:

a. Melakukan pengawasan secara periodic pada lembaga


keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya,
b. Berkewajiban mengajukan usul – usul pengembangan
lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang
bersangkutan dan Dewan Syariah Nasional,
c. Melaporkan perkembangan produk dan operasional
lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN
sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran,
d. Merumuskan permasalahan-permasalahan yang
memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.

2. Sharing Of Risk Vs Transfer Of Risk

Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme


pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk ‘saling
menanggung risiko’. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta
asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak transfer

32
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), h., 300-319
32

risiko dari peserta ke perusahaan, karena dalam praktiknya kontribusi


(premi) yang dibayarkan oleh peserta tidak terjadi yang disebut transfer
of fund, status kepemilikan dana tersebut tetap melekat pada peserta
sebagai Shahibul mal.

3. Pengelolaan Dana

Mekanisme pengelolaan dana pada asuransi syariah sangat berbeda


dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah (life Insurance),
untuk produk-produk yang mengandung unsur saving ‘tabungan’, dana
yang dibayarkan peserta langsung dibagi dalam dua rekening, yaitu
rekening peserta dan rekening tabarru’. Kemudian total dana
diinvestasikan, dan hasil investasi dibagi secara proposional antara
peserta dengan perusahaan (pengelola) berdasarkan skim bagi hasil
yang telah ditetapkan sebelumnya.

4. Investasi Dana

Salah satu ciri lain yang sangat prinsip dari sudut pandang syariat
Islam dalam asuransi syariah adalah investasi dana-dana yang
terkumpul dari peserta hanya dibenarkan melalui instrument yang
menggunakan akad yang sesuai dengan syariat Islam. Asuransi syariah
dalam menginvestasikan dananya hanya kepada Bank-Bank Syariah,
BPRS, Obligasi Syariah, Pasar Modal Syariah, Leasing Syariah,
Penggadaian Syariah, serta instrument bisnis lainnya dengan tetap
menggunakan akad-akad yang dibenarkan oleh syariat Islam. Ketika
Asuransi Syariah melakukan investasi secara direct ‘langsung’ sesuai
persentasi yang dibenarkan undang-undang atau peraturan pemerintah,
maka itupun harus menggunakan sistem bagi hasil atau sistem lainnya
yang ada dalam akad perniagaan yang Islami.
33

5. Kepemilikan Dana

Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau


kontribusi merupakan milik peserta (shahibul mal). Asuransi syariah
hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola. Dana
tersebut, kecuali tabarru’ dapat diambil kapan saja, dan selama belum
dikembalikan tidak terkena bunga atau biaya apa pun. Disinalah salah
satu kekuatan dan keunggulan konsep asuransi syariah, di mana pada
life insurance apabila seorang peserta karena kebutuhan yang sangat
mendesak boleh mengambil sebagian dari akumulasi dananya yang ada.

6. Unsur Premi

Unsur premi pada asuransi syariah terdiri dari unsur tabarru’ dan
tabungan (untuk asuransi jiwa), dan unsur tabarru saja (untuk asuransi
kerugian dan term insurance pada life). Unsur tabarru’ pada jiwa,
perhitungannya diambil dari table mortalitas (harapan hidup), yang
besarnya tergantung usia dan masa perjanjian. Semakin tinggi usia dan
semakin panjang masa perjanjian, maka semakin besar pula nilai
tabarru’-nya.

7. Keuntungan (Profit)

Profit (laba) pada asuransi syariah untuk asuransi kerugian, yang


diperoleh dari surplus underwriting, komisis reasuransi, dan hasil
investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan sebagaimana
mekanisme yang ada di asuransi konvensional. Tetapi, dilakukan bagi
hasil (al-mudharabah) antara perusahaan dengan peserta sebagaimana
yang telah diperjanjikan atau menjadi akal di awal ketika baru masuk
asuransi syariah.
BAB III

GAMBARAN UMUM

A. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Sengketa di bidang ekonomi syariah diprediksi akan terjadi di


kemudian hari. Ekonomi syariah selalu dipandang berbeda dengan ekonomi
konvensional, namun keduanya selalu berkaitan dengan kontrak
(perjanjian). Karena itu, selain diperlukan SDM yang mumpuni, diperlukan
juga hukum materiil yang bisa dipakai untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah.

Lahirnya KHES berawal dari terbitnya UU No. 3 Tahun 2006


Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
(UUPA). UU No. 3 Tahun 2006 ini memperluas kewenangan PA sesuai
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan umat Islam Indonesia saat ini.
Dengan perluasan kewenangan tersebut, kini PA tidak hanya berwenang
menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
dan sadaqah saja, melainkan juga menangani permohonan pengangkatan
anak (adopsi) dan menyelesaikan sengketa dalam zakat, infaq, serta
sengketa hak milik dan keperdataan lainnya antara sesame muslim, dan
ekonomi syariah.1

Dalam rangka memenuhi amanat Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006


tentang Peradilan Agama selanjutnya disusunlah Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) yang merupakan kompilasi dari berbagai ragam
fiqh yang telah ada dan ada beberapa hal yang tergolong ijtihad baru. Pleh
karenanya, hukum ekonomi yang terdapat dalam KHES tentu saja

1
Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum
Islam”, Jurnal Al-Mawardi, XVIII, (2008), h. 142

34
35

merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran manusia yang akan terus dinamis


sesuai dengan perkembangan zamannya.2

Setelah UU No. 3/2006 tersebut diundangkan maka Ketua MA


membentuk Tim Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
berdasarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20
Oktober 2006 yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H. S.I.P.,
M.Hum. Tugas dari Tim tersebut secara umum adalah menghimpun dan
mengelola bahan (materi) yang diperlukan, menyusun draft naskah,
menyelenggarakan diskusi dan seminar yang mengkaji draft naskah tersebut
dengan lembaga, ulama dan para pakar menyempurnakan naskah, dan
melaporkan hasil penyusunan tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung RI.3

Setelah itu dilakukan finalisasi pada 10 Juni 2008 yang menyepakati


796 pasal sebagai substansi dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 4
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ditetapkan dengan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. KHES menjadi standar rujukan bagi para hakim di
peradilan agama sebagai pedoman untuk mengetahui prinsip-prinsip syariah
dan ekonomi syariah.

Dilihat dari kandungan isi KHES, dari 796 pasal, sejumlah 653 pasal
(80%) adalah berkenaan dengan akad atau perjanjian, dengan demikian
materi terbanyak dari ketentuan-ketentuan tentang ekonomi syariah adalah
berkenaan dengan hukum perikatan (akad).

2
Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah Di Lembaga Keuangan
dan Bisnis Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), H. 3
3
Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum
Islam”, Jurnal Al-Mawardi, XVIII, (2008), h. 142
4
Muhammad Fahmi Fahrurrodzi, “Akad Pembiayaan Murabahah Dan Musyarakah Pada
Perbankan Syariah Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK) Kesesuaian Dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018), h. 45
36

Bila kita memperhatikan cakupan bab dan pasal dalam KHES, maka
bias dikatakan bahwa ruang lingkup ekonomi syariah meliputi : ba’I, akad-
akad jual beli, syirkah, mudharabah, murabahah, muzara’ah dan musaqah,
khiyat, ististna’, ijarah, kafalah, hawalah, rahn, wadi’ah, ghashab dan itlaf,
wakalah, shulhu, pelepasan hak, ta’min, obligasi syariah mudharabah, pasar
modal, reksadana syariah, sertifikasi bank Indonesia syariah, pembiayaan
multi jasa, qard, pembiayaan rekening Koran syariah, dana pension syariah,
zakat dan hibah, dan akuntansi syariah.5

Seiring berjalannya waktu, terdapat masukan dari para ahli


mengenai substansi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, maka pada tahun
2010 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah direvisi yang berawal dari 796
pasal menjadi 790 pasal dan menjadi pedoman hingga saat ini.

Disamping itu, ada beberapa pasal yang terkait sekali dengan fatwa-
fatwa DSN, baik dalam formula yang hamper sama ataupun merujuk
sebagian saja. Keterkaitan itu dapat dilihat dalam table berikut ini: 6

Fatwa DSN-MUI Materi Fatwa Penyerapan KHES


No.5/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam Jenis-jenis Jual Beli
No.6/DSN-MUI/IV/2000 Ba’I al-Istisna’ Jenis-jenis Jual Beli
Jual Beli Murabahah
No.4/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah Konversi Akad
Murabahah
No.4/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah
No.16/DSN- Diskon dalam
MUI/IX/2000 Murabahah

5
avandishare.blogspot.com, Meninjau Kedudukan KHES dalam Hukum Positif Indonesia
dan Fungsinya Terhadap Produk Perbankan Syariah (Diakses pada tanggal 1 November 2019)
6
Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum
Islam”, Jurnal Al-Mawardi, XVIII, (2008), h., 155
37

Penyelesaian Piutang
No.47/DSN- Murabahah bagi
MUI/II/2005 Nasabah tidak
Mampu Membayar
Penjadwalan
No.48/DSN-
Kembali Tagihan
MUI/II/2005
Murabahah
No.49/DSN- Konversi Akad
MUI/II/2005 Murabahah
Pembiayaan Kontrak Kerjasama
No.8/DSN-MUI/2000
musyarakah (Syirkah)
No.9/DSN-MUI/2000 Pembiayaan Ijarah Sewa Menyewa
Wakalah (pemberian
No.10/DSN-MUI/2000 Wakalah
Kuasa)
Penjaminan
No.11/DSN-MUI/2000 Kafalah
(kafalah)
Pemindahan Hutang
No.12/DSN-MUI/2000 Hiwalah
(Hiwalah)
Pedoman Umum
No.21/DSN-MUI/2001
Asuransi Syariah
Asuransi
No.39/DSN-MUI/2002
Asuransi Haji

Jika ditinjau lebih lanjut, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini


dalam penyusunannya merujuk pada kompilasi yang dibuat oleh pemerintah
Turki Usmani yang bernama Al-Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah yang terdiri
dari 1851 pasal. Banyak yang berpendapat dari para ahli Hukum Islam,
bahwa secara praktik kitab rujukan dalam pembuatan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah ini telah terlampau mengalami ketertinggalan dalam segi
38

perkembangan hukum, sehingga belum mencangkup dan belum sesuai


dengan kebutuhan payung hukum untuk perkembangan Islam di Indonesia. 7

KHES terdiri atas Buku I tentang Subjek Hukum dan Amwal, Buku
II tentang Akad Syariah, Buku III tentang Zakat dan Hibah, serta Buku IV
tentang Akuntansi Syariah.

B. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Selama ini, pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di


Indonesia dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Bank Indonesia (BI) dan
Badan Pengawasan Pasar Modal dan sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lain-
lainnya. Pembentukan OJK ini mengakibatkan kewenangan-
kewenangan tersbut beralih dari BI dan Bapepam-LK ke OJK, sehingga
BI hanya memiliki kewenangan di bidang kebijakan moneter saja,
sedangkan Bapepam-LK lebur menjadi OJK dan tidak lagi di bawah
Kementrian Keuangan. 8

UU OJK sebagai dasar hukum pembentukan Lembaga Otoritas


Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan
tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas
pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan
ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan
batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria
lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial
serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain

7
Muhammad Fahmi Fahrurrodzi, “Akad Pembiayaan Murabahah Dan Musyarakah Pada
Perbankan Syariah Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK) Kesesuaian Dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018), h.,45
8
Hesty D. Lestari, “Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam Pengaturan dan
Pengawasan Sektor Jasa Keuangan”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12, (2012), h., 557.
39

sebagainya yang menyangkut tentang jasa penunjang sektor jasa


keuangan diatur dalam undang-undang sektor tersendiri. 9

Pembentukan lembaga OJK ada dari Undang-undang No.7


Tahun 1997, Undang-undang No. 23 Tahun 1999, dan diperbarui
dengan Undang-undang No. 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia pada
Pasal 34 Ayat 1 (1) dan (2) yang mengharuskan adanya suatu lembaga
independen untuk mengawasi bidang perbankan di Indonesia, maka
dapat dikatakan bahwa Undang-undang Bank Indonesia melahirkan
Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan.10

OJK dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang


Otoritas Jasa Keuangan yang telah diresmikan pada 16 Juli 2012. Ada
lima langkah yang dilalui OJK, Sebelum pada akhirnya OJK
menjalankan seluruh rangkaian tugasnya secara menyeluruh, antara
lain:11

a. 15 Agustus 2012 dibentuk Tim Transisi OJK Tahap I yang bertugas


untuk membantu para Dewan Komisioner OJK dalam
melaksanakan tugas.
b. 31 Desember 2012, OJK secara efektif beroprasi dengan cakupan
tugas Pengawasan Pasar Modal dan Industri Keuangan Non-Bank.
c. 18 Maret 2013, dibentuk Tim Transisi OJK Tahap II yang bertugas
membantu Dewan Komisioner OJK yang melaksanakan
pengalihan fungsi, tugas dan wewenang Pengaturan dan
Pengawasan dan Pengawasan Perbankan dari BI.

9
Rudy Hendra Pakpahan, “Akibat Hukm Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan
Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9, No 3,
(Oktober 2012), h., 416
10
M. Jeffri Arlinandes Chandra, “Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan
Pengawasan Perbankan Setelah Terbitnya Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan”, Jurnal Hukum Sehasen, Vol 1, No. 1 (2015), h. 33
11
www.cermati.com, Mengenal OJK: Sejarah, Fungsi dan Kebijakan Strategi Terkini,
(diakses 31 Oktober 2019)
40

d. 31 Desember 2013, OJK sepenuhnya menjalani tugasnya dalam


mengawasi kinerja Perbankan.
e. 01 Januari 2015, OJK mulai meluaskan pengawasannya ke
industry Non-Bank, yaitu Pengaturan dan Pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro (LKM).

Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industry jasa


keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat dan mampu mewujudkan industry jasa keuangan menjadi
pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat
memajukan kesejahteraan umum. Sedangkan Misi OJK adalah;
mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Mewujudkan
system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
Melimdungi kepentingan konsumen dan masyarakat.12

OJK diawasi oleh DPR, dalam hal ini, Komisi XI. Sebagai bagian
dari akuntabilitas publik, OJK wajib menyusun laporan keuangan yang
terdiri atas laporan keuangan tiga bulanan, semester dan tahunan.
Laporan ini akan berikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan DPR.
Selain itu OJK juga wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas
laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. 13

Dengan pembentukan OJK, maka lemabaga ini diharapkan dapat


mendukung kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh
sehingga meningkatkan daya saing perekonomian. Selain itu, OJK harus
mampu menjaga kepentingan nasioanl. Antara lain meliputi sumber daya
manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa
keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.
OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik,

12
www.ojk.go.id (diakses pada tanggal 13 November 2019)
13
www.ojk.go.id (diakses pada tanggal 13 November 2019)
41

yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,


transparansi, dan kewajaran (fairness).14

Dalam menjalankan tugas dan wewenang Otoritas Jasa


Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:15

1. Asas independensi, yakni idependen dalam pengembalian


keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundangan-undangan
dan keadilan dalam setiap kebijakan penyenggaraan Otoritas
Jasa Keuangan;
3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta
memajukan kesejahtraan umum;
4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta
rahasia negara, termasuk rahasia sebgamana ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan;
5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan
keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas
Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

14
www.ojk.go.id (diakses pada tanggal 13 November 2019)
15
www.ojk.go.id (diakses pada tanggal 13 November 2019)
42

6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-


nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang
diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.
BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Perundang-Undangan


Asuransi Syariah Pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)

Dalam bagian ini penulis akan menganalisis masalah yang ada pada
masing-masing klausul dari persamaan dan perbedaan pada peraturan
asuransi syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

1. Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam


KHES dan POJK

Tabel 1.1
Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK

Kompilasi Hukum Ekonomi Peraturan Otoritas Jasa


Syariah (BAB I, Ketentuan Keuangan No. 69 tahun 2016
Umum, Pasal 20, Angka 26) (BAB I, Ketentuan Umum,
Pasal 1, Angka 3)
Ta’min/asuransi adalah Perusahan Asuransi Syariah
perjanjian antara dua pihak atau adalah perusahaan asuransi
lebih, yang pihak penanggung umum syariah dan perusahan
mengikatkan diri kepada asurnasi jiwa syariah sebagai
tertanggung karena kerugian, mana dimaksud dalam Undang-
kerusakan, atau kehilangan

43
44

keuntungan yang diharapkan, Undang Nomor 40 Tahun 2014


atau tanggungjawab hukum tentang Perasuransian.
kepada pihak ketiga yang
Asuransi Syariah adalah
mungkin akan diderita
kumpulan perjanjian yang terdiri
tertanggung yang timbul dari
atas perjanjian antara perusahaan
peristiwa yang tidak pasti.
asuransi syariah dan pemegang
polis dan perjanjian diantara para
pemegang polis, dalam rangka
pengelolaan kontribusi
berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi.

Tabel di atas menjelaskan definisi asuransi syariah dalam dua


Peraturan Perundang-undangan Tentang Asuransi Syariah pada
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK). Dalam KHES Pasal 20 Angka 26 dan POJK
Pasal 1 Angka 3 yang menjelaskan definisi dari asuransi syariah. Kedua
regulasi asuransi syariah tersebut terdapat perbedaan redaksi yang
berbeda. Pada KHES menggunakan kata “pihak penanggung dan
tertanggung” sedangkan pada POJK “perusahaan asuransi syariah dan
pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis”.

Istilah penanggung dan tertanggung digunakan pada asuransi


konvensional, seperti yang sudah diatur dalam 2 (dua) peraturan
perundang-undangan yaitu :

a. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 1

“Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian, di mana


penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan

1
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 246
45

memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi


karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita
karena suatu peristiwa yang tidak pasti”

b. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Pasal 1


angka (1) huruf a dan b2

“a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang


polis karena kerugian,….”

“b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya


tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung….”

Penanggung dalam asuransi merupakan pihak perusahaan


asuransi yang memberikan polis asuransi kepada tertanggung.
Sedangkan tertanggung merupakan priadi kodrati atau pribadi hukum
yang akan menerima polis asuransi dan menerima penggantian
kerugian atas sesuatu risiko yang dipertanggungkan sesuai polis
asuransi yang diterima.3 Sedangkan definisi asuransi syariah yang
tertuang dalam POJK tidak menggunakan istilah “penanggung dan
tertanggung”, melainkan dengan istilah “perusahaan asuransi syariah
dan pemegang polis dan perjanjian diantara para pemegang polis”.

menurut ahli fiqih, seperti Wahbah Az-Zuhaili, mendefinisikan


asuransi syariah sebagai at-tamin at-taawuni (asuransi yang bersifat
tolong menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar
sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah satu seorang diantara

2
Lihat Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Pasal 1 angka (1) huruf
a dan b
3
S. Saiful Abdullah dkk, Penerapan Hukum Asuransi Kerugian Terhadap Perlindungan
Resiko E-Commerce Berbasis Portal (Jakarta: PT. Mandiri Nirizindo Utama,2018), h., 9-10
46

mereka ditimpa musibah. Musibah itu dapat berupa kematian ,


kecelakaan, sakit, kecurian, kebakaran atau bentuk-bentuk kerugian
lainnya. 4

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Pasal 1 angka 2


Tentang Perasuransian menjelaskan bahwa “pemegang polis dan
perjanjian diantara para pemegang polis” istilah ini digunakan dalam
Asuransi Syariah, dan definisi yang tertuang dalam POJK mengenai
Asuransi Syariah menggunakan definisi Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Selanjutnya, pada Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian bahwa
“Prinsip Syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan
perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.” 5,
dalam hal ini lembaga yang berwenang menerbitkan Fatwa adalah
Dewan Syariah Naional Majelis Ulama Indonesia.

Di dalam POJK berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun


2014 Tentang Perasuransian, definisi asuransi syariah dalam
pengelolaan kontribusinya berdasarkan prinsip syariah dan memiliki
sifat yang saling tolong menolong dan melindungi. Seperti yang di
jelaskan dalam Fatwa DSN-MUI asuransi syariah (Ta’min, Takaful atau
Tadamun) sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di
antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset
dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai
syariah. 6

4
Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), h.,
19.
5
Lihat Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Pasal 1 angka 3.
6
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah.
47

Berdasarkan penjelasan diatas dalam ketentuan definisi pada


asuransi syariah, bahwasannya istilah “tertanggung” dan “penanggung”
tidak digunakan pada definisi asuransi syariah. Karena istilah tersebut
pada umumnya digunakan pada asuransi konvensional. Pada asuransi
syariah yang digunakan adalah “perusahaan asuransi syariah dan
pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis”
sebagaimana hubungan hukum antara peserta dan perusahaan
dituangkan dalam polis.

Tabel 1.2
Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK

Kompilasi Hukum Ekonomi Peraturan Otoritas Jasa


Syariah (BAB XX, Ta’min) Keuangan Nomor 69 tahun
2016
Pasal 548 Pasal 54

Akad yang digunakan pada (1) Polis asuransi syariah dan


ta’min dan I’adah ta’min adalah : perjanjian reasuransi syariah
wajib mengandung Akad
a. Wakalah bil ujrah.
Tabarru’ dan Akad Tijarah.
b. Mudharabah; dan
(2) Polis anuitas syariah untuk
c. Tabaru’.
program pension wajib
mengandung akad Hibah
Tanahud dan Akad Tijarah.
(3) Akad Tijarah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) dapat berupa
Akad Wakalah bil Ujrah,
Akad Mudharabah,
48

dan/atau Akad Mudharabah


Musytarakah.
(4) Penggunaan salah satu Akad
Tijarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
wajib dilakukan secara
konsisten sampai
berakhirnya polis asuransi
syariah.
(5) Dalam hal disepakati
perusahaan Akad Tijarah,
penggunaan Akad Tijarah
yang baru hanya dapat
diterapkan pada polis
asuransi syariah yang baru.
(6) Dalam hal perubahan Akad
Tijarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (5)
terjadi untuk pengelolaan
investasi Dana Tabarru’
atau Dana Tanahud,
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi syariah, atau
Unit Syariah wajib
memisahkan Dana Tabarru’
atau Dana Tanahud yang
dikelola berdasarkan Akad
Tijarah yang lama dari Dana
Tabarru’ atau Dana
Tanahud yang dikelola
49

berdasarkan Akad Tijarah


yang baru.
(7) Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi syariah, atau
Unit Syariah dapat
menggunakan Akad Tijarah
dalam rangka pengelolaan
investasi dari Dana
Tabarru’ atau Dana
Tanahud yang berbeda
dengan Akad Tijarah dalam
rangka kegiatan lain.
(8) Berdasarkan Akad Wakalah
bil Ujrah, Akad
Mudharabah, dan Akad
Mudharabah Musytarakah,
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi syariah, atau
Unit Syariah wajib
menanggung seluruh
kerugian yang terjadi dalam
kegiatan pengelolaan risiko
dan/atau kegiatan
pengelolaan investasi yang
diakibatkan oleh kesalahan
yang disengaja, kelalaian,
atau wanprestasi yang
dilakukan Perusahaan
Asuransi Syariah,
50

Perusahaan Reasuransi
syariah, atau Unit Syariah.

Tabel diatas menjelaskan akad-akad yang digunakan pada


asuransi syariah. Dalam KHES Pasal 548 dan POJK Pasal 54 yang
menjelaskan tentang akad yang digunakan pada asuransi syariah.
Dalam POJK asuransi syariah menggunakan akad sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) yaitu “polis asuransi syariah dan
perjanjian reasuransi syariah wajib mengandung Akad Tabarru’ dan
Akad Tijarah”. Akad Tijarah sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal
54 ayat (3) adalah “Akad Tijarah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) dapat berupa Akad Wakalah bil Ujrah, Akad
Mudharabah, dan/atau Akad Mudharabah Musytarakah.” Namun pada
KHES akad yang digunakan adalah wakalah bil Ujrah, Mudharabah,
dan Tabarru’. Dan pada POJK menjelaskan secara rinci keterangan-
keterangan akad apa saja yang digunakan dalam asuransi syariah pada
Pasal 54

Terlihat bahwa KHES tidak mencantumkan akad


“Mudharabah Musytarakah” pada klausul akad. Pada umumnya akad
yang digunakan pada Asuransi Syariah adalah Akad Tijarah dan akad
Tabarru’. Untuk akad Tijarah dan akad Tabarru’ ini, ada beberapa
akad yang mengikuti dalam pelaksanaannya. akad-akad tersebut
meliputi7 Akad Wakalah bil Ujrah, Akad Mudharabah, Akad
Mudharabah Musytarakah.

Akad mudharabah adalah akad kerja sama yang memberikan


kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi
dana tabarru’ dan/atau dana investasi peserta, sesuai kuasa atau

7
Junaidi Abdullah, “Akad-Akad di dalam Asuransi Syariah”, Jurnal of Sharia Economic
Law, Vol. 1, No. 01, (Maret 2018), h., 18
51

wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)


yang besarnya telah disepakati sebelumnya. 8

Akad mudharabah musytarakah adalah akad kerja sama yang


memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk
mengelola investasi dana tabarru’ dan/atau dana investasi peserta, yang
digabungkan dengan kekayaan perusahaan, sesuai kuasa atau
wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)
yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang
digabungkan dan telah disepakati sebelumnya. 9

Jika dilihat akad mudharabah dan mudharabah musytarakah


tidak dapat di gabungkan karena terlihat sedikit ada yang berbeda dari
segi pengertian. Dalam hal ini dapat di lihat bahwa akad mudharabah
musytarakah menjelaskan bahwa hasil kekayaan peserta yang bekerja
sama dengan perusahaan dapat digabungkan. Hal ini mengakibatkan
KHES tidak sesuai dengan akad Asuransi Syariah saat ini, maka pada
bagian ini KHES tidak update dengan perkembangan akad yang
digunakan dalam praktik Asuransi Syariah.

8
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), h., 337
9
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), h., 337
52

Tabel 1.3
Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK

Kompilasi Hukum Ekonomi Peraturan Otoritas Jasa


Syariah (BAB XX, Ta’min) Keuangan Nomor 69 tahun
2016
Pasal 551 Pasal 57 (2)

Akad wakalah bil ujrah harus Akad wakalah bil ujrah wajib
mencantumkan, antara lain : memuat paling sedikit sebagai
berikut :
a. Hak dan kewajiban peserta
dan perusahaan. a. Objek/kegiatan yang
b. Besaran, cara dan waktu dikuasakan
pemotongan ujrah fee dari pengelolaannya;
premi. b. Hak dan kewajiban
c. Syarat yang disepakati, pemegang polis atau
sesuai dengan jenis ta’min peserta secara kolektif
yang ditransaksikan. dan/atau pemegang polis
atau peserta secara
individu sebagai
muwakkil (pemberi
kuasa);
c. Hak dan kewajiban
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah sebagai
wakil (penerima kuasa);
53

d. Batasan kuasa atau


wewenang yang
diberikan pemegang polis
atau peserta kepada
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah;
e. Besaran, cara, dan waktu
pemotongan ujrah (fee)
dan;
f. Ketentuan lain yang
disepakati.

Berikut ini pada KHES pasal 551 dan POJK Pasal 57 ayat (2)
menjelaskan ketentuan yang sama yang ada pada klausul akad Wakalah
bil Ujrah namun terlihat adanya perbedaan. Jika dilihat pada pasal 57
ayat (2) mencantumkan istilah muwakkil (pemberi kuasa) dan wakil
(penerima kuasa). Pada istilah tersebut berkaitan dengan rukun dan
syarat pada wakalah, yaitu dengan adanya syarat-syarat muwakkil
(yang mewakilkan), syarat-syarat wakil (yang mewakili), dan Hal-hal
yang diwakilkan.10

Menurut kelompok Hanafiah, rukun wakalah itu hanya ijab


qabul, akan tetapi jumhur ulama tidak memiliki pendapat yang serupa,
mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat wakalah Sekurang-
kurangnya terdapat empat rukun yaitu pihak pemberi kuasa (muwakkil),

10
Lihat Fatwa DSN No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
54

pihak penerima kuasa (wakil), obyek yang dikuasakan (tawkil) dan ijab
qabul (sigat).11

Wakalah bil Ujrah dalam praktiknya di asuransi syariah yaitu


peserta dengan perusahaan atau dalam istilah syariah adalah wakil
dengan muwakkil. Dalam kedua peraturan tersebut terlihat bahwa POJK
lebih menjelaskan secara rinci dalam hak dan kewajiban dari masing-
masing yaitu hak dan kewajiban muwakkil dan wakil. Sedangkan dalam
KHES tidak seperti yang tertuang dalam POJK.

Tabel 1.4
Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK

Kompilasi Hukum Ekonomi


Syariah (BAB XX, Ta’min, Peraturan Otoritas Jasa
Akad Mudharabah Keuangan Nomor 69 tahun
Musytarakah Ta’min dan 2016
I’adah Ta’min)
Pasal 555 Pasal 59 (2)

Dalam transaksi mudharabah Akad Mudharabah Musytarakah


musytarakah harus disebutkan sebagaimana dimaksud pada ayat
paling sedikit: (1) wajib memuat paling sedikit
sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban peserta
dan perusahaan ta’min a. Hak dan kewajiban
b. Besaran, cara dan waktu pemegang polis atau
pembagian hasil investasi peserta secara kolektif
c. Syarat-syarat lain yang dan/atau pemegang polis
disepakati, sesuai dengan atau peserta secara

11
Hendi Suhendi, Fiqh Mamalah, (Jakarta : Grafindo Persada, 2010), h,. 234
55

produk ta’min yang individu sebagai polis


ditransaksikan. atau peserta secara
individu sebagai shahibul
maal (pemilik dana);
b. Hak dan kewajiban
Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau unit syariah
sebagai mudharib
(pengelola dana)
c. Batasan wewenang yang
diberikan pemegang polis
atau peserta kepada
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah;
d. Cara dan waktu
penentuan besar
kekayaan pemegang polis
atau peserta dan
kekayaan Perusahaan
Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit
Syariah;
e. Bagi hasil (nisbah), cara,
dan waktu pembagian
hasil investasi; dan
56

f. Ketentuan lain yang


disepakati.

Pada table ini adanya perbedaan pada rincian ketentuan dalam


pasal 555 KHES dengan Pasal 59 ayat (2) yang mengatur hal yang
sama. Dalam POJK Pasal 59 ayat (2) menjelaskan hak dan kewajiban
dari shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana),
namun pada KHES tidak dijelaskan.

Istilah shahibul maal dan mudharib jika di telaah istilah tersebut


digunakan pada beberapa akad mudharabah. Mudharabah adalah suatu
transaksi pembiayaan yang melibatkan sekurang-kurangnya dua pihak,
yaitu:12

a. Pihak yang memiliki dan menyediakan modal guna membiayai


proyek atau usaha yang memerlukan pembiayaan; pihak tersebut
disebut shahib al-maal (atau shahibul maal) atau rabb al-mal
(atau rabb-ul mal).
b. Pihak pengusaha yang memerlukan modal dan yang bertugas
menjalankan proyek atau usaha yang dibiayai dengan modal dari
shahib al-mal (atau shahibul maal) tersebut; pihak tersebut
disebut mudharib.

Jadi di dalam praktik asuransi syariah jika perusahaan asuransi


syariah menggunakan akad mudharabah maka para pihaknya adalah
peserta dengan perusahaan atau dalam syariah yaitu Shahibul maal dan
mudharib. Namun dalam KHES tidak menyebutkan para pihaknya.

12
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya,
(Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h., 308
57

Tabel 1.5
Persamaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK

Kompilasi Hukum Ekonomi


Peraturan Otoritas Jasa
Syariah (BAB XX, Ta’min,
Keuangan Nomor 69 tahun
Akad Non Tabungan Ta’min
2016
dan I’adah Ta’min)
Pasal 562 Pasal 56 (2)

Dalam akad non tabungan, Akad Tabarru’ yang digunakan


sekurang-kurangnya harus dalam polis asuransi syariah
disebutkan: sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) wajib memuat
a. Hak dan kewajiban masing-
paling sedikit sebagai berikut:
masing peserta secara
individu; a. Kesepakatan para
b. Hak dan kewajiban antara pemegang polis atau
peserta secara individu peserta untuk tolong
dalam akun non tabungan menolong (ta’awuni);
selaku peserta dalam arti b. Hak dan kewajiban
badan/kelompok masing-masing pemegang
c. Cara dan waktu pembayaran polis atau peserta secara
premi dan klaim; dan individu;
d. Syarat-syarat lain yang c. Hak dan kewajiban
disepakati sesuai dengan pemegang polis atau
jenis ta’min yang peserta secara kolektif
ditransaksikan. dalam kelompok;
d. Cara dan waktu
pembayaran kontribusi;
58

e. Cara dan waktu


pembayaran
santunan/klaim;
f. Ketentuan mengenai
boleh atau tidaknya
kontribusi ditarik kembali
oleh pemegang polis atau
peserta dalam hal terjadi
pembatalan oleh
pemegang polis atau
peserta;
g. Ketentuan mengenai
alternative dan persentase
pembagian surplus
underwriting; dan
h. Ketentuan lain yang di
sepakati.

Table berikut ini menjelaskan mengenai non tabungan atau di


dalam POJK menggunakan kata tabarru’. Namun jika dilihat antara
“non tabungan” dengan “tabarru’” memiliki arti yang berbeda. Dalam
sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran
premi menjadi dua yaitu non-tabungan dan tabungan. Untuk produk
yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang
dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan rekening
tabarru’. sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur
59

tabungan (non-saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan


seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. 13

Selanjutnya, dalam KHES pasal 562 dan POJK pasal 56 ayat 2


menjelaskan klausul yang sama namun terdapat perbedaan. Tidak
seperti KHES, di dalam POJK pasal 56 (2) huruf a, f, dan g. Pada POJK
pasal 56 ayat (2) huruf a menjelasakan bahwa “kesepakatan para
pemegang polis atau peserta untuk saling tolong menolong (ta’awuni)”.
Pada umumnya akad tabarru’ pada asuransi syariah menerapkan dasar
saling tolong menolong atau peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, seperti
yang dijelaskan pada Fatwa DSN MUI tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah bahwa “akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang
dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata
untuk tujuan komersial”. 14

Pada POJK huruf f menjelaskan bahwa “Ketentuan mengenai


boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh pemegang polis atau
peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh pemegang polis atau peserta”
dan huruf g menjelaskan “Ketentuan mengenai alternative dan
persentase pembagian surplus underwriting; “. Kedua rincian tersebut
tidak dijelaskan pada KHES dalam Klausul tersebut.

13
M. Arif Hakim, “Analisis Aplikasi Akad Tabarru’ dalam Asuransi Syariah: Studi Kasus
AJB Bumiputera 1912 Syariah Cabang Kudus”, Jurnal Muqtasid, Vol. 3, No. 2, (Desember, 2012).
h., 241
14
Llihat Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
60

2. Perbedaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam


KHES dan POJK

Tabel 1.6
Perbedaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK

Peraturan Otoritas Jasa


Kompilasi Hukum Ekonomi
Keuangan Nomor 69 tahun
Syariah (BAB XX, Ta’min)
2016
TIDAK DIATUR Pasal 58

(1) Akad Mudharabah digunakan


dalam pengelolaan investasi
Dana Tabarru’, Dana
Tanahud, dan/atau
pengelolaan investasi Dana
Investasi Peserta.
(2) Akad Mudharabah
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memuat paling
sedikit sebagai berikut:

a. Hak dan kewajiban


pemegang polis atau
peserta secara kolektif
dan/atau pemegang polis
atau peserta secara
individu sebagai shahibul
maal (pemilik dana);
b. Hak dan kewajiban
Perusahaan Asuransi
61

Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah sebagai
mudharib (pengelola
dana);
c. Batasan wewenang yang
diberikan pemegang
polis atau peserta kepada
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah;
d. Bagi hasil (nisbah), cara,
dan, waktu pembagian
hasil investasi; dan
e. Ketentuan lain yang
disepakati.

Pada table di atas terlihat bahwa KHES dalam peraturan


asuransi syariah tidak mencantumkan klausul akad Mudharabah.
Namun dalam POJK mencantumkan secara rinci klausul akad
Mudharabah. Akad mudharabah adalah Akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk
mengelola investasi dana Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta,
sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa
bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati sebelumnya. 15

Menurut Fatwa DSN-MUI akad dalam asuransi syariah salah


satunya adalah tijarah (mudharabah). Fatwa DSN MUI pada

15
Lihat Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2010 Tentang Penerapan Prinsip
Dasar Penyelenggaraan Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah.
62

kedudukan para pihak dalam akad tijarah yang tercantum menjelaskan


bahwa “Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak
sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul
mal (pemegang polis)”. 16

Dalam hal ini terlihat bahwa KHES tidak menjelaskan akad


mudharabah pada praktik asuransi syariah saat ini, maka pada bagian
ini KHES tidak update dalam perkembangan praktik saat ini.

Tabel 1.7
Perbedaan regulasi pada pengaturan Asuransi Syariah dalam
KHES dan POJK

Kompilasi Hukum Ekonomi Peraturan Otoritas Jasa


Syariah (BAB XX, Ta’min, Keuangan Nomor 69 tahun
Ta’min Haji) 2016
Pasal 567 TIDAK DIATUR

Penyelenggaraan ta’min haji


dilakukan dengan prinsip sebagai
berikut:

a. Berdasarkan prinsip-prinsip
syariah
b. Bersifat tolong menolong
antar sesame jamaah haji
c. Transaksi bertujuan untuk
menolong sesame jamaah
haji yang terkena musibah
kecelakaan atau kematian.

16
Lihat Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah
63

d. Transaksi dilakukan antara


jamaah haji sebagai peserta
ta’min non tabungan dengan
Lembaga Asuransi Syariah
yang bertindak sebagai
pengelola dana non
tabungan.

Pasal 568

1. Dalam penyelenggaraan
ta’min haji:

a. Menteri Agama bertindak


sebagai pemegang polis
induk dari seluruh jamaah
haji dan bertanggung
jawab atas pelaksanaan
ibadah haji, sesuai
dengan ketentuan yang
berlaku.
b. Jamaah haji berkewajiban
membayar premi sebagai
dana non tabungan yang
merupakan bagian dari
komponen Biaya
Perjalanan Ibadah Haji
(BPIH)
64

2. Premi ta’min haji yang


diterima harus dipisahkan dari
premi ta’min lainnya.
3. Perusahaan ta’min dapat
menginvestasikan dana
kebajikan
4. Perusahaan ta’min berhak
memperoleh imbalan atas
pengelolaan dana non
tabungan yang besarnya
ditentukan sesuai dengan
prinsip adil dan wajar.
5. Perusahaan ta’min
berkewajiban membayar
klaim kepada jamaah haji
sebagai peserta ta’min
berdasarkan kesepakatan
yang disepakati pada awal
perjanjian.
6. Kelebihan biaya operasional
haji adalah hak jamaah haji
yang pengelolaannya
diamanatkan kepada Menteri
Agama sebagai pemegang
polis induk untuk
kemaslahatan umat.

Pada table di atas KHES memaparkan secara rinci mengenai


ta’min haji/asuransi haji namun pada POJK tidak diatur. Berdasarkan
Fatwa DSN Nomor 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji
menjelaskan bahwa perjalanan haji mengandung risiko berupa
65

kecelakaan dan untuk meringankan beban risiko tersebut perlu adanya


asuransi, setiap calon jamaah haji mengharapkan semua proses
pelaksanaan ibadah haji termasuk asuransinya sesua dengan prinsip
syariah agar mendapatkan haji yang mabrur.17

Berdasarkan penjelasan di atas bahwasannya POJK perlu


mengatur tentang asuransi haji karena menyangkut keselamatan saat
melaksanakannya. Karena di dalam bisnis asuransi syariah ada yang
mengeluarkan produk asuransi syariah seperti pada PT. Takaful
Keluarga. Peraturan asuransi haji tersebut juga harus berprinsipkan
syariah karena dalam kegiatan tersebut menyangkut ibadah, maka
segala prosesnya harus berprinsipkan syariah.

B. Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan


Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan

1. Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Melengkapi pilar Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang


No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 9 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama telah membawa perubahan besar terhadap kedudukan
dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Di samping kewenangan
yang telah diberikan dalam bidang Hukum Keluarga Islam, Peradilan
Agama juga diberi wewenang menyelesaikan perkara dalam bidang
ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan
mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah,
obligasi syariah, dan surat berharga berjangka menengah syariah,

17
Lihat Fatwa DSN Nomor 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji
66

sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pension


lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. 18

Dengan lahirnya KHES berarti mempositifkan hukum ekonomi


syariah di Indonesia. Seandainya KHES tidak disusun maka hakim
pengadilan agama memutus perkara ekonomi syariah dengan merujuk
kepada kitab-kitab fiqh yang tersebar dalam berbagai mazhab, karena
tidak ada rujukan hukum positif yang bersifat unifikatif, sehingga
terjadilah disparitas dalam putusan antar suatu pengadilan dengan
pengadilan yang lain, antar hakim yang satu dengan hakim yang lain. 19

KHES adalah produk hukum berupa Peraturan Mahkamah


Agung (PERMA). Kedudukan PERMA sendiri dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan tidak diatur dalam susunan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada pasal 7 menjelaskan
bahwasannya jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas:20

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi

18 18
avandishare.blogspot.com, Meninjau Kedudukan KHES dalam Hukum Positif
Indonesia dan Fungsinya Terhadap Produk Perbankan Syariah, (diakses pada tanggal 1 November
2019)
19
avandishare.blogspot.com, Meninjau Kedudukan KHES dalam Hukum Positif Indonesia
dan Fungsinya Terhadap Produk Perbankan Syariah, (diakses pada tanggal 1 November 2019)
20
Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
67

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Namun di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di dalam
ayat (2) menjelaskan bahwa Peraturan Perundang-Undangan diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan, 21 dalam hal ini termasuk
Mahkamah Agung di dalamnya.

Kekuatan hukum menurut Yuliandri adalah sesuai dengan


hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan setiap jenis
peraturan perundang-undangan yang didasari pada asas bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. 22

Jika melihat sejarahnya, Mahkamah Agung adalah sebagai


kelanjutan dari Het Hooggerechts Hof Vor Indonesia (Mahkamah
Agung Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia), yang didirikan
berdasarkan RO tahun 1824, diubah, Het Hoogerechtshoft (HGH) yang
merupakan hakim kasasi terhadap putusan-putusan Raad van justitite
(RVJ) merupakan pengadilan sehari-hari bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan dengan mereka. Setelah Indonesia merdeka keberadaan
Het Hoogerechtshof ini tetap dipertahankan dan diberlakukan sebagai
lembaga Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal II aturan
peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1978 pada Pasal 1 ayat (2)

21
Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
22
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2010),
h.,67
68

mengukuhkan Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi Negara


bersama-sama dengan lembaga tinggi lainnya. 23

Tugas dan fungsi yang diberikan kepada Mahkamah Agung


berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang
Perubahan terhadap UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku saat ini, maka Mahkamah Agung Mempunyai beberapa fungsi
yaitu, fungsi mengadili, fungsi pengujian peraturan perundang-
undangan, fungsi pengaturan, fungsi pengawasan dan pembinaan,
fungsi pertimbangan dan nasehat hukum, dan fungsi administratif.

Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga Negara yang


memiliki kewenangan tertinggi di bidang yudikatif dan memiliki
kekuasaan yang merdeka untuk mengawasi jalannya/pelaksanaan
undang-undang melalui suatu lembaga peradilan, guna menegakkan
hukum dan keadilan. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi di bidang
yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) yang membawahi 4
(empat) badan peradilan yaitu, peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.24

Melalui diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung atau yang


disebut dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2008, maka Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) secara resmi menjadi pedoman bagi para
Hakim Peradilan dalam menyelesaikan perkara Ekonomi Syariah.
Peraturan Mahkamah Agung ini kemudian dijadikan pegangan oleh para
Hakim Peradilan Agama. 25

23
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2012), h., 263.
24
Ronald S. Lumbuun, PERMA RI Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan
Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h,. 173
25
Pratiwi dan Ahmad Rifai, “Urgensi Pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum
Ekonomi Syariah Indonesia”, Jurnal Syariah 4, (Juli, 2016)
69

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pada prinsipnya


merupakan produk fiqh yang dipositifisasi. Oleh karena itu, pada
dasarnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah mengacu pada sumber
hukum Islam yang sudah popular.26 Meskipun KHES sebagai pedoman
standar para hakim di pengadilan agama dalam memutus perkara
ekonomi syariah, namun hakim dapat melekukan penemuan hukum atau
tetap harus berpedoman pada sumber hukum yang lain, yaitu regulasi
yang dibuat oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Fatwa DSN-
MUI, dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Hal ini sebagaimana
dituangkan dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 2,
“memeprgunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan
hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

2. Kedudukan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)

Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, pemerintah diamanatkan membentuk lembaga
pengawas sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya
akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga
ini bertugas mengawasi industry perbankan, asuransi, dana pension,
pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-
badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan. 27

26
Muhammad Fahmi Fahrurrodzi, “Akad Pembiayaan Murabahah Dan Musyarakah Pada
Perbankan Syariah Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK) Kesesuaian Dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018), h. 47
27
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan,(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014),
h., 38
70

Sejalan dengan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3


Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia adalah dibentuknya lembaga pengawasan
pada jasa keuangan, maka pada tanggal 22 November 2011
diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lahirnya lembaga Otoritas Jasa
Keuangan, maka peran serta Bank Indonesia sebagai lembaga
pengawasan Bank beralih kepada lembaga Otoritas Jasa Keuangan. 28

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang dibentuk


berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi
menyelenggarakan sistem peraturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. 29

Sebelum Otoritas Jasa Keuangan dibentuk, undang-undangnya


harus dibuat terlebih dahulu. Jika tidak, Otoritas Jasa Keuangan tidak
punya dasar hukum. Alasan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, antara
lain makin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, dan
globalisasi industry jasa keuangan. Di samping itu, salah satu alasan
rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan adalah karena pemerintah
beranggap Bank Indonesia sebagai Bank Sentral telah gagal dalam
mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat
krisis ekonomi melanda Indonesia mulai pertengahan 1997, sejumlah
bank yang ada pada saat itu dilikuidasi. 30

OJK berwenang di bidang pengawasan yaitu melakukan


pengawasan dan perlindungan konsumen sektor perbankan, pasar modal,
dan lembaga keuangan non-bank, memberikan dan/atau mencabut izin

28
Anthonius Adhi Soedibyo dan Agustin Widjiastuti, “Kedudukan Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Perundang-Undangan Terhadap Produk Perbankan”, Jurnal
29
Laurensius Aeliman S, Lembaga-Lembaga Negara Independen, (Yogyakarta:
Deepublish, 2019), h., 187
30
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan,(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014),
h., 39
71

usaha dan pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran. OJK


juga berwenang di bidang pengaturan, yaitu menetapkan peraturan
pelaksanaan UU OJK, menetapkan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan, menetapkan pengaturan mengenai pengawas, serta
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis.
Peraturan yang diterbitkan OJK terdiri dari peraturan OJK dan Surat
Edaran OJK.31

Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011, OJK


dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan:32

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;


b. Mampu mewujudkan system keuanganyang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil; dan
c. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

Dengan lahirnya Otoritas Jasa Keuangan, maka sama halnya


dengan lembaga independen negara setingkat kementrian lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan ini diberi keleluasaan oleh Undang-undang No.
21 Tahun 2011 untuk mengeluarkan segala peraturan demi menciptakan
keadilan dan stabilitas dalam sektor keuangan. Kaitannya dengan hal ini,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan bersifat mengikat.33

Menurut Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011


tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK adalah lembaga independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pada Pasal 2 ayat 2 juga

31
Dhian Indah Astanti dan Subaidah Ratna Juita, “Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dalam Melakukan Fungsi Pengawasan pada Lembaga Perbankan Syariah” Jurnal Law and
Justice, Vol 2, No 2 (Oktober, 2017), h. 159
32
Yuni Utami dan Tabrani, “Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Pengawas Lembaga
Keuangan dan Non Keuangan Yang Independen Di Indonesia”, Jurnal Universitas Pancasakti Tegal
33
Hesty D. Lestari, “Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam Pengaturan dan
Pengawasan Sektor Jasa Keuangan”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12, (2012), h., 558.
72

disebutkan bahwa setiap pihak dilarang campur tangan dalam


pelaksanaan tugas dan wewenang OJK serta dalam rangka tugas dan
wewenangnya OJK wajib menolak dan mengabaikan segala bentuk
campur tangan dari pihak lain. Dari ketentuan Pasal 2 ayat 2 tersebut, kita
dapat melihat bahwa kedudukan OJK adalah independen, tidak dapat
dipengaruhi oleh pihak lain dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.34

Berdasarkan pemaparan di atas dalam hal ini Peraturan Otoritas


Jasa Keuangan (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) lahir dari Undang-
Undangan Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Sebagaimana Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan terbentuk dan
dibentuk dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.

OJK sebagai lembaga independensi memiliki kewenangan dalam


mengatur dan mengawasi dalam sektor perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun lembaga pembiayaan dan lembaga jasa
keuangan lainnya. Hal ini berdasarkan dalam Undang-undang 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

34
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Depok: Kencana, 2017
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari analisis dan pembahasan yang telah penulis


kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan yang merujuk
pada rumusan masalah sebagai berikut:

1. Perbedaan yang ada pada kedua regulasi yang mengatur tentang


asuransi syariah yaitu KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) dan
POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) Nomor 69/POJK.05/2016.
Terdapat perbedaan pada KHES dan POJK diantaranya adalah:

a. Definisi pada asuransi syariah yang terdapat pada KHES


menggunakan istilah yang ada pada definisi asuransi
konvensional.
b. Akad yang digunakan pada asuransi syariah dalam KHES
terlihat ada yang tidak tercantum seperti yang dijelaskan dalam
POJK sebagaimana akad yang digunakan pada asuransi syariah
saat ini.
c. Pada akad Wakalah bil Ujrah di dalam KHES tidak menjelaskan
adanya istilah pemberi kuasa (muwakkil) dan penerima kuasa
(wakil).
d. Pada akad Mudharabah Musytarakah di dalam KHES tidak
menjelaskan adanya istilah pemilik dana (shahibul maal) dan
pengelola dana (mudharib).
e. Dalam akad tabarru’ atau di dalam KHES yaitu non tabungan,
namun “non tabungan” dengan “tabarru’” memiliki arti yang
berbeda. Di dalam tabarru’ terdapat dua bagian yaitu unsur
tabungan dan unsur non tabungan, maka non tabungan adalah
bagian dari akad tabarru’. Selanjutnya pada ketentuan yang

73
74

sama terlihat adanya yang tidak tercantum pada KHES seperti


dasar dari akad tabarru’ bahwa kesepakatan pemegang polis
untuk saling tolong menolong seperti yang dijelaskan dalam
POJK, lalu pada POJK huruf f menjelaskan “Ketentuan
mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh
pemegang polis atau peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh
pemegang polis atau peserta” dan huruf g menjelaskan
“Ketentuan mengenai alternative dan persentase pembagian
surplus underwriting.”
f. KHES tidak mengatur klausul akad mudharabah namun di
dalam POJK akad mudharabah diatur sebagaimana akad
mudharabah menjadi bagian dari akad yang digunakan dalam
praktik asuransi syariah.
g. POJK tidak mengatur mengenai asuransi haji seperti yang diatur
di dalam KHES, sebagaimana bisnis asuransi syariah saat ini
sudah ada yang mengeluarkan produk asuransi haji.

2. Kedudukan dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan


Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) berada di tingkat yang sama
yaitu sebagai suatu lembaga negara. Selanjutnya, jika dilihat dari sisi
kewenangan OJK dilahirkan guna mengawasi sektor jasa keungan yang
ada di Indonesia. Dalam hal ini kewenangan OJK lebih berwenang
dalam mengatur dan mengawasi jalannya praktik pada bisnis asuransi
syariah dan sektor jasa keuangan lainnya. Namun jika terdapat adanya
sengketa asuransi syariah yang sehingga harus diseleaikan di Peradilan
Agama maka KHES yang berwenang, karena sengketa peradilan adalah
kewenangan dari Mahkamah Agung, sebagaimana KHES ini terbitan
dari Peraturan Mahkamah Agung. Bahwa terkait dengan adanya
perbedaan pengaturan antara KHES dan POJK, maka ketika kedua
regulasi tersebut saling melengkapi sehingga keduanya dapat
digunakan. Dan jika di dalam KHES terdapat adanya kekurangan maka
75

tidak mengurangi tanggungjawab hakim dalam menggali dan


menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar,
dalam hal ini hakim dapat menggunakan POJK atau peraturan lainnya
untuk dijadikan bahan putusan di Peradilan Agama.

B. Saran

Berdasarkan hasil dari kesimpulan yang sudah penulis tuangkan di


bab ini, maka perlu adanya saran diantaranya sebagai berikut:

1. bagi para Stakeholder perlu adanya pertemuan yang membahas kembali


mengenai Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan, agar tidak terjadinya disharmonisasi dan dapat
menyempurnakan Hukum Materiil di Peradilan Agama.
2. bagi akademisi dan pembaca diharap agar nantinya ada penelitian
selanjutnya yang lebih terperinci agar tidak terjadi tumpang tindih dan
kekosongan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Literature

Abdullah, Junaidi, “Akad-Akad di dalam Asuransi Syariah”, Jurnal of


Sharia Economic Law, Vol. 1, No. 01, Maret 2018.

Abdullah, S. Saiful, dkk, Penerapan Hukum Asuransi Kerugian Terhadap


Perlindungan Resiko E-Commerce Berbasis Portal, Jakarta: PT.
Mandiri Nirizindo Utama,2018.

Aelman, Laurensius, Lembaga-Lembaga Negara Independen, Yogyakarta:


Deepublish, 2019.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,


Ciputat: Lembaga Penelitian, 2010.

Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Prespektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan
Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Jakarta Kecana,
2004.

Ali, Zaenuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Amrin, Abdul, Asuransi Syariah (Keberadaan dan Kelebihannya Ditengah


Asumsi Konvensional), Jakarta: PT. Gramedia, 2006.

Anwar, Khoiril, Asuransi Syariah Halal dan Maslahat, Solo: Tiga


Serangkai, 2007.

Astanti, Dhian Indah dan Subaidah Ratna Juita, “Kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dalam Melakukan Fungsi Pengawasan pada
Lembaga Perbankan Syariah” Jurnal Law and Justice, Vol 2, No 2,
Oktober, 2017.

76
77

Chandra, M. Jeffri Arlinandes, “Kewenangan Bank Indonesia dalam


Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Setelah Terbitnya Undang-
undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”,
Jurnal Hukum Sehasen, Vol 1, No. 1, 2015.

Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian


di Indonesia. Depok: Kencana, 2017.

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif


dan Empiris, Depok: Prenadamedia Group, 2018.

Effendi, Arif. “Asuransi Syariah Di Indonesia (Studi Tentang Peluang ke


Depan Industri Asuransi Syariah)”. Wahana Akademika. Vol 3,
2016.

Fahrurrodzi, Muhammad Fahmi, “Akad Pembiayaan Murabahah Dan


Musyarakah Pada Perbankan Syariah Menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) Dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) Kesesuaian Dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia”, Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif


dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Fidhayanti, Dwi, “Pelaksanaan Akad Tabarru’ Pada Asuransi Syariah (Studi


di Takaful Indonesia Cabang Malang), Jurisdictie, Jurnal Hukum
dan Syariah, Vol. 3, No. 1, Juni 2012.

Goesniadhie, Kusnu. “Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata


Pemerintahan Yang Baik”. Jakarta : Nasa Media, 2010.
78

Hadi, Ahmad Chairul, Hukum Asuransi Syariah: Konsep Dasar, Aspek


Hukum, dan Sistem Operasionalnya, Ciputat: UIN Press, 2015.

Hakim, M. Arif, “Analisis Aplikasi Akad Tabarru’ dalam Asuransi Syariah:


Studi Kasus AJB Bumiputera 1912 Syariah Cabang Kudus”,
Jurnal Muqtasid, Vol. 3, No. 2, Desember 2012.

Hisamuddin, Nur dan Delon Wira Tri Manggala, Implementasi Akuntansi


Akad Wakalah Bil Ujrah Perusahaan Asuransi Syariah
Berdasarkan PSAK 108: Studi di PT Asuransi Takaful Keluarga,
Jurnal Addin, Vol.8, No. 1, Februari 2014.

Indrawan, Rully dan Poppy Yaniawi, Metodologi Penelitian Kuantitatif,


Kualitatif dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan
pendidikan, Bandung: PT Rafika Aditama, 2014.

Iqbal, Muhaimin, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, Jakarta: Gema


Insani Press, 2005.

Latif, Azharuddin dan Diana Mutia. “Disparitas Penyelesaian Sengketa


Jalur Litigasi Pada Polis Asuransi Syariah dan Putusan
Pengadilan”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 16, 2019.

Lestari, Hesty D, “Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam Pengaturan


dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan”, Jurnal Dinamika Hukum,
Vol 12, 2012.

Lumbuun, Ronald S, PERMA RI Wujud Kerancuan Antara Praktik


Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.

Mudrikah, Zulfa, “Transformasi Akad Bisnis Asuransi Syariah PT Takaful


Keluarga”, Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
79

Mughits, Abdul, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam


Tinjauan Hukum Islam”, Jurnal Al-Mawardi, XVIII, 2008,

Nashihul Ibad Elhas, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Tinjauan


Umum Hukum Islam)”. Jurnal Qolamuna, Vol 1, 2016.

Nopriansyah, Waldi, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga,


Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2016.

Nugraheni, Destri Budi, “Analisis Yuridis Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah
Dalam Produk Unit Link Syariah”, Mimbar Hukum, Vol. 28, No.
2, Juni 2012.

Nugroho, Setio Sapto. “Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan”. Jakarta, Kepala Biro Peraturan Perundang-
Undangan, 2009.

Nurwidiatmo, Tim Analisi dan Evaluasi Hukum Tentang Perasuransian


(Asuransi Syariah) UU No. 2 Tahun 1992, Jakarta : Laporan Akhir,
2008.

Pakpahan, Rudy Hendra, “Akibat Hukm Dibentuknya Lembaga Otoritas


Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan di
Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9, No 3, Oktober 2012.

Prastowo, Andi, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan


Penelitian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Pratiwi dan Ahmad Rifai, “Urgensi Pembentukan Kitab Undang-Undang


Hukum Ekonomi Syariah Indonesia”, Jurnal Syariah 4, Juli, 2016.

Pratiwi, Rilia Cindi. “Analisis Efektivitas Pengawasan dan Pemeriksaan


Kinerja Keuangan Perbankan Syariah di Otoritas Jasa Keuangan
(Studi Kasus di Otoritas Jasa Keuangan Solo).”, Skirpsi S-1
80

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri


Surakarta, 2018.

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta:


Kencana Prenada Media Grup, 2012.

Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek-


Aspek Hukumnya, Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015.

Soedibyo, Anthonius Adhi dan Agustin Widjiastuti, “Kedudukan Bank


Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Perundang-
Undangan Terhadap Produk Perbankan”, Jurnal.

Soegiyono. “Pentingnya Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan”. Jurnal Kajian Kebijakan dan Hukum Kedirgantaraan,
2015.

Soemitra, Andri, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah Di


Lembaga Keuangan dan Bisnis Kontemporer, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2019.

Sugiyono. “Memahami Penelitian Kualitatif”. Bandung: Alfabeta, 2012.

Suhartono. “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan dalam


Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara”. Desertasi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2011.

Suhendi, Hendi, Deni K. Yusup, Asuransi Takaful dari Teoritis ke Praktis,


Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.

Suhendi, Hendi, Fiqh Mamalah, Jakarta : Grafindo Persada, 2010.

Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and General): Konsep dan
Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
81

Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan,Jakarta: Raih Asa


Sukses, 2014.

Thoin, Muhammad dan Anik, “Aspek Syariah dalam Asuransi Syariah”,


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol 01, No. 01, Maret 2015.

Utami, Yuni dan Tabrani, “Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai


Pengawas Lembaga Keuangan dan Non Keuangan Yang
Independen Di Indonesia”, Jurnal Universitas Pancasakti Tegal.

Wariesta, Ario, “Pemahaman Pengusaha Kecil Terhadap Asuransi Syariah”,


Skripsi S-1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang


Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan,
Depok: RajaGrafindo Persada, 2010.

B. Regulasi

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang


Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Fatwa DSN No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah

Fatwa DSN Nomor 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji.

Fatwa DSN-MUI No: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Wakalah bil Ujrah


Pada Asuransi Syari’ah dan Reasuransi Syari’ah.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang


82

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 Tahun 2010 tentang Penerapan


Prinsip Dasar Penyelenggaraan Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan
Prinsip Syariah.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69 Tahun 2016 tentang


Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan.

C. Internet

Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/prinsip.

Mengenal OJK: Sejarah, Fungsi dan Kebijakan Strategi Terkini,


www.cermati.com.

Meninjau Kedudukan KHES dalam Hukum Positif Indonesia dan


Fungsinya Terhadap Produk Perbankan Syariah, avandishare.blogspot.com.

Otoritas Jasa Keuangan, www.ojk.go.id.


BUKU II Tentang Akad

Pasal 545 545 ‫املـادت‬


Orang yang dilepaskan haknya harus di- ‫ون اًْ ُم ْ َرب ُء َون َم ْؾَُو ِم َني َو ُم َؾ ََّ ِي َني‬
َ ‫َجي ُِة َب ْن ٍَ ُى‬
ketahui dengan jelas dan tertentu.

Pasal 546 546 ‫املـادت‬


1. Pelepasan hak tidak tergantung ‫ َال ًَخَ َوكَّ ُف ْاال ْج َصا ُء ؽَ َىل اًْ َل ُدول‬.9
kepada kabul. ّ
2. Apabila pelepasan hak ditolak maka ‫ إذا رد االٕجصاء فل ًـحلى هل كحمك‬.0
penolakan ini tidak mempunyai
kekuatan hukum.

Pasal 547 547 ‫املـادت‬


1. Pelepasan hak utang dari seseorang ‫ ٕا َذا َب ْج َص َب َب َح ٌس َب َحسَ اًْ َو َرز َ ِة ِيف َم َص ِض َم ْو ِث َِ ِم ْن‬.9
yang sedang menderita sakit keras
kepada anggota keluarganya, dinyata- ‫حصَ ًحا َوانَ ِف ًشا‬ِ َ ‫ون‬ُ ‫َدًْ ِي َِ فَ َل ٍَ ُى‬
kan tidak sah dan tidak mempunyai
akibat hukum.
2. Apabila pelepasan hak utang kepada ‫ ً َ ْو َب ْج َصَب ٔبحس َب ْحٌَ ِح اَا ً َ ْم ٍَ ُى ْن َو ِار ًاث َ ُهل ِم ْن ادلَّ ٍْ ِن‬.0
seseorang yang bukan anggota
keluarganya, maka pelepasan hak itu
‫فَ َع ِح ٌَح َوًُ ْؾخَ َ ُرب ِم ْن زَُُ ِر َم ِ ِاهل‬
adalah sah apabila tidak lebih dari
1/3 hartanya.

BAB XX ‫انباب انعشرون‬


TA’MIN ‫اًخبٔمني‬

Bagian Pertama ‫انفصم األول‬


Ta’min dan I’adah Ta’min ‫اًخبٔمني و إؽادت اًخ ٔبمني‬

Pasal 548 548 ‫املـادت‬


Akad yang digunakan pada ta’min dan : ‫ًخىون ؼلس اًخبٔمني و إؽادت اًخبٔمني من‬
i’adah ta’min adalah :
a. Wakalah bil ujrah. ‫ؼلس اًواكةل اب ٔلحصت‬ .‫ٔب‬
b. Mudharabah; dan ‫ؼلس املضارتة‬ .‫ة‬
c. Tabarru’. ‫ؼلس اًخربع‬ .‫ح‬

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 149 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

Pasal 549 549 ‫املـادت‬


Prinsip wakalah bil ujrah pada ta’min : ‫املحادئ امليغمة ىف اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني يه‬
dan i’adah ta’min adalah:
a. Wakalah bil ujrah boleh dilakukan ‫ ًعح ؼلس اًواكةل اب ٔلحصت تني لك من رشنة‬.‫ٔب‬
antar perusahaan ta’min, agen seba-
gai bagian dari perusahaan dengan ‫اًخبٔمني ممثةل توهََِا من هجة واًؾملء من هجة‬
peserta. ‫ٔبدصى‬
b. Wakalah bil ujrah dapat diterapkan ‫ ؼلس اًواكةل اب ٔلحصت ًيطحق ؽىل مٌخجاث اًخبٔمني‬.‫ة‬
pada produk ta’min syariah yang
mengandung unsur tabungan maup
‫االٕسليم ذاث اًعفة الدذارًة ٔبو فريُا‬
un unsur non tabungan.

Pasal 550 551 ‫املـادت‬


Objek wakalah bil ujrah meliputi antara :‫موضوع اًواكةل اب ٔلحصت حيخوي ؽىل‬
lain:
a. Kegiatan administrasi; ‫اًؾمََة االٕدارًة‬ .‫ٔب‬
b. Pengelolaan dana; ‫إدارت ظيسوق ا ٔلموال‬ .‫ة‬
c. Pembayaran klaim;
‫سساد املطاًحة‬ .‫ح‬
d. Dhaman ishdar/underwriting;
‫ضٌلن االٕظسار‬ .‫د‬
e. Pengelolaan portofolio risiko; ‫إدارت اخملاطص ً ٔلسِم‬ .‫ه‬
f. Pemasaran; dan ‫اًرتوجي‬ .‫و‬
g. Investasi. ‫السدامثر‬ .‫ز‬

Pasal 551 559 ‫املـادت‬


Akad wakalah bil ujrah harus mencan- :‫جية ىف ؼلس اًواكةل اب ٔلحصت ذهص ما ًًل‬
tumkan, antara lain :
a. Hak dan kewajiban peserta dan ‫ كحلوق اًؾمَي و اًرشنة و اًزتاماث لك مهنٌل‬.‫ٔب‬
perusahaan.
b. Besaran, cara dan waktu pemotongan ‫ ملسار ا ٔلحصت وطصًلة دعمِا وزمن اخلعم‬.‫ة‬
ujrah fee dari premi.
c. Syarat yang disepakati, sesuai dengan ‫ اًرشوط املخفق ؽَهيا كحسة هوع اًخبٔمني املؾلود‬.‫ح‬
jenis ta’min yang ditransaksikan. )44
َََ‫ؽ‬

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 150 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

Pasal 552 550 ‫املـادت‬


Kedudukan para pihak dalam akad waka- :‫اًؾلكة تني ٔبطصاف ؼلس اًواكةل اب ٔلحصت‬
lah bil ujrah:
a. Perusahaan bertindak sebagai wakil ‫ ثلوم اًرشنة ملام اًوهَي اذلي كحعي ؽىل‬.‫ٔب‬
yang mendapat kuasa untuk menge-
lola dana; ‫اًوالًة الٕدارت اًعيسوق املايل‬
)45
b. Peserta/pemegang polis sebagai ‫ ٍىون اًؾملء ٔبو حامَو توًَعة اًخبٔمني‬.‫ة‬
individu, dalam produk tabungan dan
non tabungan bertindak sebagai
‫كٔصزاص طحَؾَة مولكني ٌَوالًة يف إدارت‬
pemberi kuasa untuk mengelola dana. ‫ا ٔلموال سواء ٔب اكهت ىف امليخجاث الدذارًة‬
‫ٔبو فري الدذارًة‬
c. Peserta sebagai suatu badan/ ‫ ٍىون اًؾملء يف اًخبٔمني كٔصزاص اؼخحارًة‬.‫ح‬
kelompok, dalam akun non tabungan,
bertindak sebagai pemberi kuasa ‫يف مٌخجاث فري الدذار ابؼخحارُا موِّك‬
untuk mengelola dana. ‫ٌَوالًة يف إدارت ا ٔلموال سواء ٔباكهت ىف‬
‫امليخجاث الدذارًة ٔبو فري الدذارًة‬
d. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada ‫ ال جيوز ٌَوهَي ٔبن ًولك اًطصف الٓدص تياء‬.‫د‬
pihak lain atas kuasa yang diterima- ‫ؽىل اًوالًة اًيت ثَلاُا إال إذا ٔبذن املولك‬
nya, kecuali atas izin pemberi kuasa/
pemegang polis. ‫ا ٔلول ظاكحة اًحوًَعة‬

e. Akad wakalah bersifat amanah dan ‫ ؼلس اًواكةل ُو ؼلس ا ٔلماهة وًُس تؾلس‬.‫ه‬
bukan tanggungan sehingga wakil
tidak menanggung risiko terhadap ‫اًضٌلن حبَر الًخحمي اًوهَي خماطص‬
kerugian investasi dengan mengurangi ‫اخلسائص السدامثرًة تطصًق ثيلِط ا ٔلحصت‬
imbalan yang telah diterima oleh
perusahaan ta’min, kecuali karena ‫ إال يف حاةل‬،‫اًيت اس خَمهتا رشنة اًخبٔمني‬
kecerobohan, wanprestasi, dan per- ‫اًخلعري واًخؾسي‬
buatan melawan hukum, di samping
sifat akad pada umumnya.
f. Perusahaan ta’min sebagai wakil tidak ‫ ال جس خحق رشنة اًخبٔمني ابؼخحارُا وهَل كحعة‬.‫و‬
berhak memperoleh bagian dari hasil
investasi apabila transaksi yang di-
‫من ؼوائس السدامثراث إذا اكن اًؾلس ُو ؼلس‬
gunakan adalah pelaksanaan akad ‫اًواكةل‬
wakalah.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 151 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

Pasal 553 553 ‫املـادت‬


1. Perusahaan selaku pemegang amanah ‫ جية ؽىل اًرشنة اسدامثر ا ٔلموال اجملمؾة وفلا‬.9
wajib menginvestasikan dana yang
terkumpul dan investasi wajib dilaku- ‫ٔلكحمام اًرشًؾة االٕسلمِة‬
kan sesuai dengan syariah.
2. Dalam pengelolaan dana investasi, ‫ سواء‬،‫ جيوز الٕدارت ظيسوق ا ٔلموال السدامثرًة‬.0
baik tabungan maupun non tabungan,
dapat digunakan akad Wakalah bil
‫ٔباكن ادذاراي ٔبو فري ادذاري اس خزسام ؼلس‬
Ujrah dengan mengikuti ketentuan ‫اًواكةل اب ٔلحصت ؽىل اًيحو املشهور ساتلا ٔبو‬
seperti di atas atau akad Mudharabah
dengan mengikuti ketentuan Mudha-
‫اس خزسام ؼلس املضارتة ؽىل اًيحو اًوارد ىف‬
rabah. ‫ٔبكحمام املضارتة‬

Bagian Kedua ‫الفصل الثاني‬


Akad Mudharabah Musytarakah pada ‫ؼلس املضارتة املضرتنة يف اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني‬
Ta’min dan I’adah Ta’min

Pasal 554 554 ‫املـادت‬


Ketentuan hukum dari akad mudharabah ‫ا ٔلكحمام اًيت حتمك ؼلس املضارتة املضرتنة يف اًخبٔمني‬
musytarakah pada ta’min dan i’adah
ta’min: :‫ٕواؽادت اًخبٔمني يه‬
a. Akad yang digunakan adalah akad ‫ هون اًؾلس ذََطا تني ؼلس املضارتة وؼلس‬.‫ٔب‬
mudharabah musytarakah merupa-
kan perpaduan antara pelaksanaan ‫املضارنة مػ مصاؽات ٔبكحمام لك مهنٌل‬
transaksi mudharabah dengan tran-
saksi musyarakah dengan ketentuan
yang mengikat pada masing-masing
transaksi.
b. Perusahaan ta’min sebagai mudharib ‫ ٔبن حىون رشنة اًخ ٔبمني اكملضارة يف ؼلس‬.‫ة‬
menyertakan modal atau dananya
dalam investasi bersama peserta.
‫املضارتة جضارك رٔبس املال ىف ؼلس السدامثر مػ‬
‫معلهئا‬
c. Modal atau dana perusahaan ta’min ‫ رٔبس مال اًرشنة واًؾملء ٌسدمثص يف رشاء‬.‫ح‬
dan dana peserta diinvestasikan secara
bersama-sama dalam portofolio. ‫ا ٔلسِم‬
d. Perusahaan ta’min sebagai mudharib ‫ ٔبن ثلوم رشنة اًخبٔمني اكملضارة يف ؼلس‬.‫د‬
mengelola investasi dana tersebut. ‫املضارتة ابسدامثر رؤوس ا ٔلموال‬

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 152 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

Pasal 555 555 ‫املـادت‬


Dalam transaksi mudharabah musytara- ‫جية ٔبن ًشهص ىف ؼلس املضارتة املضرتنة ؽىل ا ٔلكي ما‬
kah harus disebutkan paling sedikit:
:‫ًًل‬
a. Hak dan kewajiban peserta dan ‫ احللوق والًزتاماث تني اًؾملء ورشنة‬.‫ٔب‬
perusahaan ta’min;
b. Besaran, cara dan waktu pembagian ‫اًخبٔمني‬
hasil investasi; ٌَ‫ ملسار ثوزًػ ؼوائس السدامثر وهَفِخَ وزم‬.‫ة‬
c. Syarat-syarat lain yang disepakati,
sesuai dengan produk ta’min yang ‫ كحسة‬،‫ اًرشوط ا ٔلدصى املخفق ؽَهيا‬.‫ح‬
ditransaksikan. ‫مٌخجاث اًخبٔمني املخؾاكس ؽَهيا‬

Pasal 556 556 ‫املـادت‬


Ketentuan hukum dari transaksi mudha- ‫ا ٔلكحمام اًيت حتمك ؼلس املضارتة املضرتنة يف اًخبٔمني‬
rabah musytarakah pada ta’min dan
i’adah ta’min: :‫ٕواؽادت اًخبٔمني يه‬
a. Mudharabah musytarakah boleh di- ‫ جيوز ًرشنة اًخبٔمني ٔبن ثلوم تؾلس املضارتة‬.‫ٔب‬
lakukan oleh perusahaan ta’min, karena
merupakan bagian dari hukum ‫املضرتنة ًىوهَ حزءا من ٔبكحمام املضارتة‬
mudharabah. ‫ جيوز ثطحَق ؼلس املضارتة املضرتنة يف مٌخجاث‬.‫ة‬
b. Mudharabah musytarakah dapat di-
terapkan pada produk ta’min dan ‫اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني سواء اكن ادذاراي ٔبو فري‬
i’adah ta’min yang mengandung unsur
tabungan maupun non tabungan.
‫ادذاري‬

Pasal 557 557 ‫املـادت‬


Pembagian hasil investasi dapat dilaku- :‫جيوز ثوزًػ ؼوائس السدامثر من ذلل‬
kan dengan salah satu alternatif sebagai
berikut:
a. Hasil investasi dibagi antara perusa- ‫ؼوائس السدامثر ثيلسم تني اًرشنة وؾامي‬ .‫ٔب‬
haan sebagai pengelola modal dan
peserta sebagai pemilik modal sesuai ‫وتني اًؾملء مكضارة كحسة اًًس حة املخفق‬
dengan nisbah yang disepakati, atau ‫ ٔبو ثبٔذش رشنة اًخبٔمني حزءا من ؼوائس‬،‫تُهنٌل‬
hasil investasi sesudah diambil
oleh/dipisahkan untuk/disisih- ‫السدامثر مث ثلسم اًؾوائس اًحاكِة تُهنٌل‬
kan perusahaan sebagai pengelola ‫نيعُة اًؾامي واملضارة‬
modal, dibagi antara perusahaan
dengan para peserta sesuai
dengan porsi masing-masing.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 153 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

b. Hasil investasi dibagi secara pro- ‫ ؼوائس السدامثر ثلسم كحسة اًًس حة املخفق‬.‫ة‬
porsional atau bagian hasil investasi
sesudah diambil/dipisahkan/disisih- ‫ؽَهيا ٔبو حزء من ؼوائس السدامثر ًؤذش تؾس‬
kan untuk perusahaan sebagai penge- ‫إفصاد رشنة اًخبٔمني مث ًلسم تُهنٌل كحسة‬
lola modal dengan peserta sesuai
dengan nisbah yang disepakati. ‫وس حة اًؾامي واملضارة‬

Pasal 558 558 ‫املـادت‬


Apabila terjadi kerugian maka lem- ‫ثخحمي رشنة اًخبٔمني مسؤًَة اخلسارت كحسة ملسار‬
baga keuangan syariah sebagai musy- )46
tarik menanggung kerugian sesuai ‫رٔبس املال‬
dengan porsi modal yang disertakan

Pasal 559 559 ‫املـادت‬


1. Perusahaan ta’min selaku pemegang ‫ جية ؽًل رشنة اًخبٔمني مبلذػىض اًؾلس ٔبن ثلوم‬.9
amanah wajib melakukan investasi
dari dana yang terkumpul. ‫ابسدامثر رؤوس ا ٔلموال اجملمؾة‬
2. Investasi sebagaimana dalam ayat (1) ‫ السدامثر ؽىل اًيحو امليعوص ؽَََ ىف اًفلصت‬.0
wajib dilakukan sesuai dengan ‫) جية ٔبن ًخوافق مػ اًضوات اًرشؼَة‬9(
prinsip syariah.

Bagian Ketiga ‫انفصم انثانث‬


Akad Non Tabungan pada ‫اًؾلود فري إدذارًة ىف اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبمني‬
ٔ
Ta’min dan I’adah Ta’min

Pasal 560 561 ‫املـادت‬


Ketentuan umum dari ta’min dan i’adah ‫اًضوات اًؾامة ىف اًؾلود فري الدذارًة ىف اًخبٔمني‬
ta’min non tabungan adalah:
:‫ٕواؽادت اًخبٔمني‬
a. Akad non tabungan harus melekat ‫ جية ٔبن حىون اًؾلود فري الدذارًة مذوفصت ىف‬.‫ٔب‬
pada semua produk ta’min dan i’adah
ta’min. ‫مجَػ مٌخجاث اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني‬
b. Akad non tabungan pada ta’min dan ‫ اًؾلود فري الدذارًة ىف اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني‬.‫ة‬
i’adah ta’min berlaku pada semua
bentuk transaksi yang dilakukan antar
‫جرسي يف مجَػ املؾاملث اًلامئة تني حامًل‬
peserta pemegang polis. ‫اًحوًَعة‬

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 154 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

c. Ta’min dan i’adah ta’min yang di- ‫ ًلعس تؾلس اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني ؽىل اًيحو‬.‫ح‬
maksud pada huruf a adalah:
:‫امليعوص يف اًفلصت ( ٔب) ُو‬
1) Ta’min ‘ala hayat/ta’min jiwa. ‫) اًخبٔمني ؽىل احلَات ٔبو اًخبٔمني ؽىل اًيفس‬9(
2) Ta’min ‘ala khasarah/ta’min ‫) اًخبٔمني ؽىل اخلسارت‬0(
kerugian.

Pasal 561 569 ‫املـادت‬


Akad non tabungan pada ta’min dan ‫اًؾلود فري الدذارًة يف اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني ثَزم‬
i’adah ta’min mengikat semua bentuk
transaksi yang dilakukan dalam bentuk ‫مجَػ ٔبصمال املؾاملث اًلامئة ؽىل ٔبساس اًِحة ًقصض‬
hibah dengan tujuan tolong menolong ‫اًخؾاون تني اًؾملء وًُس ً ٔلـصاض اًخجارًة‬
antar peserta, bukan untuk tujuan
komersial.

Pasal 562 560 ‫املـادت‬


Dalam akad non tabungan, sekurang- ‫جية ٔبن ثشهص يف اًؾلود فري الدذارًة ؽىل ا ٔلكي ما‬
kurangnya harus disebutkan:
:‫ًًل‬
a. Hak dan kewajiban masing-masing ‫ كحلوق اًؾملء واًزتاماهتم اك ٔلصزاص اًطحَؾَة‬.‫ٔب‬
peserta secara individu;

b. Hak dan kewajiban antara peserta ‫ احللوق والًزتاماث تني اًؾملء اك ٔلصزاص‬.‫ة‬
secara individu dalam akun non ‫اًطحَؾَة ىف ؼلس فري ادذاري وضرعَة‬
tabungan selaku peserta dalam arti
badan/kelompok; ‫اؼخحارًة‬
c. Cara dan waktu pembayaran premi ‫ طصًلة دفػ اًؾوائس وزمهنا وطصًلة طَة اًخبٔمني‬.‫ح‬
dan klaim; dan
d. Syarat-syarat lain yang disepakati ‫ اًرشوط ا ٔلدصى املخفق ؽَهيا كحسة ٔبهواع‬.‫د‬
sesuai dengan jenis ta’min yang di-
transaksikan.
‫اًخبٔمني املخؾاكس‬

Pasal 563 563 ‫املـادت‬


Kedudukan para pihak dalam transaksi :‫ؽلكة ا ٔلطصاف يف اًؾلود فري الدذارًة‬
non tabungan:
a. Dalam transaksi non tabungan, ‫ ًلوم اًؾملء تخلسمي‬،‫ يف اًؾلس فري الدذاري‬.‫ٔب‬
peserta memberikan dana hibah yang ‫ا ٔلموال ُحة ملساؽست ا ٔلطصاف احملخاخني‬
digunakan untuk menolong peserta
atau peserta lain yang terkena
musibah.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 155 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

b. Peserta secara individu merupakan ‫ اًؾامي تعفذَ فصدا ٌس خحق ٔبن ٍىون مىفوال‬.‫ة‬
pihak yang berhak menerima dana
non tabungan dan secara kolektif ‫وتعفذَ حٌلؼَا ٍىون اكفل‬
selaku penanggung.
c. Perusahan bertindak sebagai penge- ‫ ؽىل ٔبساس‬،‫ ثلوم اًرشنة ابٕدارت ٔبموال اًِحة‬.‫ح‬
lola dana hibah, atas dasar transaksi ‫ؼلس اًواكةل تني اًؾملء‬
wakalah dari para peserta di luar
pengelolaan investasi.

Pasal 564 564 ‫املـادت‬


1. Pengelolaan ta’min dan i’adah ta’min ‫ إدارت اًخبٔمني ٕوادارت إؽادت اًخبٔمني ثلوم هبا‬.9
hanya boleh dilakukan oleh suatu
lembaga yang berfungsi sebagai ‫مؤسسة ٔبمِيا ؽَهيا‬
pemegang amanah.

2. Pembukaan dana non tabungan harus ‫ فذح احلساة فري الدذاري جية ٔبن ٍىون‬.0
terpisah dari dana lainnya. ‫مٌفعل ؼن احلساابث ا ٔلدصى‬
3. Hasil investasi dari dana non tabungan ‫ ؼوائس السدامثر من ٔبموال فري ادذارًة ثعحح‬.3
menjadi hak kolektif peserta dan
dibukukan dalam akun non tabungan.
‫كحلوكا حٌلؼَة وجسجي يف كحساة فري ادذاري‬

4. Dari hasil investasi, perusahaan ta’min ‫ جس خحق رشنة اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني اًصحب من‬.4
dan i’adah ta’min dapat memperoleh ‫ؼوائس السدامثر وفق ؼلس املضارتة ٔبو وفق ؼلس‬
bagi hasil berdasarkan transaksi mu-
dharabah atau transaksi mudharabah ‫املضارتة املضرتنة ٔبو ٔبحصت ؽىل ٔبساس ؼلس‬
musytarakah atau memperoleh upah ‫اًواكةل اب ٔلحصت‬
berdasarkan transaksi wakalah bil
ujrah.

Pasal 565 565 ‫املـادت‬


Apabila terjadi kelebihan dana non ‫ىف حاةل وحود اًفائغ من ا ٔلموال فري الدذارًة‬
tabungan maka boleh dilakukan bebe-
rapa alternatif sebagai berikut:
:‫جيوزاًخرصف مهنا ابٕحسى اًخرصفاث الٓثَة‬
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai ‫ ٔبن ًػرصف مجَػ فائغ ا ٔلموال اك ٔلموال‬.‫ٔب‬
dana cadangan dalam akun non
tabungan. ‫الكحذَاطَة يف كحساة فري ادذاري‬
b. Disimpan sebagian sebagai dana ‫ ٔبن ًسدص تؾغ فائغ ا ٔلموال اك ٔلموال‬.‫ة‬
cadangan dan dibagikan sebagian
lainnya kepada para peserta yang ‫الكحذَاطَة وًوزع تلِخَ ؽىل اًؾملء طحلا‬
memenuhi syarat aktuaria/ manaje- ‫ًرشوط إدارت اخملاطص‬
men risiko.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 156 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
BUKU II Tentang Akad

c. Disimpan sebagian sebagai dana ‫ و ٔبن ًسدص تؾغ فائغ ا ٔلموال اك ٔلموال‬.‫ح‬
cadangan dan dapat dibagikan seba-
gian lainnya kepada perusahaan ‫الكحذَاطَة وًوزع تلِخَ ؽىل رشنة اًخبٔمني‬
ta’min dan i’adah ta’min dan para ‫ٕواؽادت اًخبٔمني واًؾملء كحسة االثفاق تُهنم‬
peserta sepanjang disepakati oleh
para peserta.

Pasal 566 566 ‫املـادت‬


1. Apabila terjadi kekurangan dana ‫ جية ؽًل‬،‫ إذا حسج هلط يف ٔبموال اًخربع‬.9
kebajikan, maka perusahaan ta’min
dan i’adah ta’min wajib menang- ‫رشنة اًخبٔمني ٕواؽادت اًخبٔمني ثوفري ذكل اًيلط‬
gulangi kekurangan tersebut dalam ‫ؼن طصًق اًلصض‬
bentuk pinjaman.

2. Pengembalian dana pinjaman kepada ‫ رد ٔبموال اًلصض املبٔدوذت من اًرشنة ًمت من‬.0
perusahaan ditutup dari surplus dana
non tabungan.
‫فائغ ا ٔلموال فري الدذارًة‬

Bagian Keempat
‫انفصم انرابع‬
Ta’min Haji ‫ثبٔمني احلجاح‬

Pasal 567 567 ‫املـادت‬


)47
Penyelenggaraan ta’min haji dilakukan ‫ؼلس اًخبٔمني ؽىل احلجاح ًمت ؽىل ا ٔلسس اًخاًَة‬
dengan prinsip sebagai berikut:
a. Berdasarkan prinsip-prinsip syariah. ‫ ٔبن ٍىون موافلا ٌَرشًؾة االٕسلمِة‬.‫ٔب‬
b. Bersifat tolong-menolong antar ‫ ٔبن ٍىون مديَا ؽىل ٔبساس اًخؾاون تني‬.‫ة‬
sesama jamaah haji. )48
‫احلجاح‬
c. Transaksi bertujuan untuk menolong ‫ ٔبن ٍىون اًؾلس ًقصض اًخؾاون تني احلجاح يف‬.‫ح‬
sesama jamaah haji yang terkena
musibah kecelakaan atau kematian. ‫حاةل االٕظاتة ابحلوادج ٔبو املوث‬
d. Transaksi dilakukan antara jamaah ‫ ٔبن ٍىون اًؾلس تني احلجاح وؾملء مضارتني‬.‫د‬
haji sebagai peserta ta’min non ‫وتني رشنة اًخبٔمني وؾامةل يف إدارت ا ٔلموال‬
tabungan dengan Lembaga Asuransi
Syariah yang bertindak sebagai
pengelola dana non tabungan.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 157 ‫مسوهة ا ٔلكحمام الكذعادًة اًرشؼَة‬
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 69 /POJK.05/2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,
DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3),


Pasal 18 ayat (4), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (6), Pasal
29 ayat (5), Pasal 31 ayat (5), dan Pasal 39 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang


Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
-2-

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN
REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa
pertanggungan risiko yang memberikan penggantian
kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau
pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang
tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
5. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang
memberikan pembayaran kepada pemegang polis,
tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal
tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau
-3-

pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung,


atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang
diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
6. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan
reasuransi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
7. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi dengan memberikan
penggantian kepada peserta atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta
atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa
yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
8. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi dengan memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau
hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada
peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu
tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
9. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan
risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang
-4-

dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah,


perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan
reasuransi syariah lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
10. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum.
11. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa.
12. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah
perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi
Umum Syariah.
13. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah.
14. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Reasuransi.
15. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.
16. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penutupan asuransi atau
asuransi syariah serta penanganan penyelesaian
klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
17. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi
dan/atau keperantaraan dalam penempatan
reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta
penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak
untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
penjaminan, perusahaan penjaminan syariah,
Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi
Syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau
reasuransi syariah.
-5-

18. Perusahaan Ceding adalah:


a. Perusahaan Asuransi Umum yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi atau Perusahaan Asuransi Umum
lain;
b. Perusahaan Asuransi Umum Syariah yang
mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Asuransi Umum Syariah lain atau unit syariah
pada Perusahaan Asuransi Umum;
c. unit syariah pada Perusahaan Asuransi Umum
yang mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Asuransi Umum Syariah atau unit syariah pada
Perusahaan Asuransi Umum lain;
d. Perusahaan Asuransi Jiwa yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi;
e. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah yang
mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi;
f. unit syariah pada Perusahaan Asuransi Jiwa
yang mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi;
g. perusahaan penjaminan yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi; atau
h. perusahaan penjaminan syariah atau unit syariah
pada perusahaan penjaminan yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi Syariah atau unit syariah pada
Perusahaan Reasuransi.
-6-

19. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam


kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
20. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di
luar kantor pusat yang menjalankan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
21. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi
yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk
asuransi yang paling sedikit memberikan
perlindungan terhadap risiko kematian, dan
memberikan manfaat yang mengacu pada hasil
investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk
untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam
bentuk unit maupun bukan unit.
22. Asuransi Kredit adalah lini Usaha Asuransi Umum
yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban
finansial penerima kredit apabila penerima kredit
tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian kredit.
23. Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang
memberikan jaminan atas kemampuan principal
dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian
pokok antara principal dan obligee.
24. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan
berdasarkan perjanjian asuransi atau perjanjian
reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mendasari program asuransi wajib
untuk memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud
-7-

dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang


Perasuransian.
25. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau
bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk
mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau
produk asuransi syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
26. Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal
dari kontribusi para peserta, yang mekanisme
penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi
syariah atau perjanjian reasuransi syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
27. Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal
dari kontribusi tanahud, hasil investasi dana tanahud,
qardh dari Perusahaan kepada dana tanahud,
dan/atau dana tanahud dari reasuradur, yang
penggunaannya sesuai dengan perjanjian anuitas
syariah untuk program pensiun atau perjanjian
reasuransi syariah atas anuitas syariah untuk
program pensiun.
28. Akad Hibah Tanahud adalah akad hibah sejumlah
dana dari peserta secara individu kepada peserta
secara kolektif untuk membentuk Dana Tanahud pada
produk anuitas syariah untuk program pensiun.
29. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang
berasal dari kontribusi peserta pada PAYDI, yang
dikelola Perusahaan Asuransi Syariah atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi sesuai dengan
akad yang telah disepakati.
30. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat
kesepakatan tertentu, beserta hak dan kewajiban para
pihak sesuai Prinsip Syariah.
-8-

31. Akad Tabarru’ adalah Akad hibah dalam bentuk


pemberian dana dari satu peserta kepada Dana
Tabarru’ untuk tujuan tolong menolong di antara para
peserta, yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan
komersial.
32. Akad Tijarah adalah Akad antara peserta secara
kolektif atau secara individu dan Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah dengan tujuan komersial.
33. Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai wakil peserta untuk mengelola Dana
Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai
kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan
berupa ujrah (fee).
34. Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai mudharib (pengelola dana) untuk
mengelola investasi Dana Tabarru’ dan/atau Dana
Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang
diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)
yang besarnya telah disepakati sebelumnya.
35. Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tijarah
yang memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai mudharib (pengelola dana) untuk
mengelola investasi Dana Tabarru’ dan/atau Dana
Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah, sesuai kuasa atau
wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa
bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan
berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan
dan telah disepakati sebelumnya.
-9-

36. Program Asuransi Wajib adalah program yang


diwajibkan peraturan perundang-undangan bagi
seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat
guna mendapatkan perlindungan dari risiko tertentu,
tidak termasuk program yang diwajibkan undang-
undang untuk memberikan perlindungan dasar bagi
masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam
penetapan manfaat dan Premi atau kontribusinya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
37. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

BAB II
RUANG LINGKUP USAHA

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah

Pasal 2
(1) Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat
menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha
asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi
kecelakaan diri; dan
b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan
Asuransi Umum lain.
(2) Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini
usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini
usaha asuransi kecelakaan diri.
- 10 -

(3) Perusahaan Reasuransi hanya dapat


menyelenggarakan Usaha Reasuransi.

Pasal 3
(1) Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat
menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini
usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip
Syariah dan lini usaha asuransi kecelakaan diri
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko
Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum lain.
(2) Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah
termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip
Syariah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan
Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan
diri berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Perusahaan Reasuransi Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Reasuransi hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.

Bagian Kedua
Perluasan Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum,
Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah,
dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah

Pasal 4
Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan
perluasan ruang lingkup usaha pada:
- 11 -

1. kegiatan usaha PAYDI;


2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based);
3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship;
dan/atau
4. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari
pemerintah;
b. Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat
melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada:
1. kegiatan usaha PAYDI;
2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based);
dan/atau
3. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari
pemerintah;
c. Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Asuransi Jiwa
Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
Jiwa hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup
usaha pada kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee
based);
d. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based)
sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2, huruf b
angka 2, dan huruf c hanya dapat dilakukan pada:
1. administrative service only (ASO) dalam rangka
employee benefit; dan
2. pemasaran produk dari lembaga jasa keuangan
yang telah mendapat izin dari OJK dan bukan
merupakan produk asuransi atau reasuransi; dan
e. ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d angka
2 dikecualikan bagi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang melakukan pemasaran
produk asuransi syariah dari produk Perusahaan
Asuransi Syariah hasil spin-off paling lama 2 (dua)
tahun sejak dilakukannya spin-off.

Pasal 5
(1) Rencana perluasan ruang lingkup usaha yang akan
dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan
- 12 -

Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan


Asuransi wajib dicantumkan dalam rencana bisnis
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK.

Pasal 6
Untuk memperoleh persetujuan perluasan ruang lingkup
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi harus memenuhi ketentuan:
a. tingkat solvabilitas minimum Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi;
b. tidak sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan
usaha untuk Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi; dan
c. berdasarkan hasil penilaian risiko yang dilakukan oleh
OJK memiliki tingkat risiko rendah atau sedang-
rendah.

Pasal 7
(1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Perusahaan Asuransi Umum,
Perusahaan Asuransi Umum Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum yang
melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada
PAYDI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah) untuk Perusahaan Asuransi
Umum;
- 13 -

b. memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar


Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar
rupiah) untuk Perusahaan Asuransi Umum
Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi Umum;
c. memiliki aktuaris;
d. memiliki pengelola investasi;
e. memiliki sistem informasi yang memadai; dan
f. memiliki sumber daya pendukung yang memadai.
(2) Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi
Umum Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan
ruang lingkup usaha pada PAYDI yang memiliki
kriteria paling sedikit sebagai berikut:
a. menanggung risiko kematian akibat kecelakaan
diri; dan
b. jangka waktu polis paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi
Umum Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi Umum yang sudah memperoleh persetujuan
perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha
PAYDI dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau dalam Pasal 6 wajib
menghentikan pemasaran PAYDI.
(4) Persetujuan dari OJK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) bagi Perusahaan Asuransi Umum,
Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dan Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum diberikan
dalam bentuk surat persetujuan PAYDI.
(5) Selain memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal
6, untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus juga memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK
mengenai produk asuransi dan pemasaran produk
asuransi dan peraturan pelaksanaannya.
- 14 -

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai PAYDI sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur
dalam Surat Edaran OJK mengenai PAYDI.

Pasal 8
(1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi yang melakukan perluasan ruang lingkup
usaha pada kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee
based) wajib memenuhi ketentuan:
a. memiliki pegawai yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan usaha berbasis imbalan
jasa (fee based) yang telah mengikuti pendidikan
dan pelatihan khusus di bidang produk yang
akan dipasarkan pada kantor pusat, kantor di
luar kantor pusat, dan/atau lokasi lain yang
melakukan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa
(fee based);
b. memiliki pejabat penanggung jawab kegiatan
usaha yang berbasis imbalan jasa (fee based)
pada kantor pusat, kantor di luar kantor pusat,
dan/atau lokasi lain yang melakukan kegiatan
usaha berbasis imbalan jasa (fee based); dan
c. memiliki perjanjian kerja sama secara tertulis.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dan
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau dalam Pasal 6 wajib
menghentikan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa
(fee based).
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dikenai sanksi administratif berupa sanksi
pembatasan kegiatan usaha, Perusahaan Asuransi,
- 15 -

Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada


Perusahaan Asuransi wajib menghentikan kegiatan
usaha berbasis imbalan jasa (fee based) sampai
dicabutnya sanksi pembatasan kegiatan usaha.
(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak membatalkan kewajiban
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi terhadap
kontrak yang telah disepakati sampai berakhirnya
kontrak tersebut dan tidak dapat diperpanjang.

Pasal 9
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang melakukan
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) wajib
memiliki sistem pengendalian internal secara tertulis
terhadap produk berbasis imbalan jasa (fee based) yang
akan dipasarkan, paling sedikit memuat:
a. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang dapat
menghindari timbulnya benturan kepentingan (conflict
of interest);
b. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan
produk berbasis imbalan jasa (fee based); dan
c. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk
memperbaiki penyimpangan yang terjadi.

Pasal 10
(1) Untuk mendapatkan persetujuan perluasan ruang
lingkup usaha berbasis imbalan jasa (fee based)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi harus
menyampaikan surat permohonan kepada OJK
dengan melampirkan spesimen perjanjian kerja sama.
(2) OJK memberikan persetujuan, penolakan, atau
permintaan kelengkapan dokumen terhadap
permohonan perluasan ruang lingkup usaha berbasis
- 16 -

jasa (fee based) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja


setelah permohonan diterima secara lengkap.

Pasal 11
(1) Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal pemberitahuan dari OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi tidak melengkapi
dokumen, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dianggap membatalkan permohonan perluasan ruang
lingkup usaha berbasis imbalan jasa (fee based).
(2) Apabila Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
tetap bermaksud melakukan perluasan ruang lingkup
usaha berbasis imbalan jasa (fee based) setelah
melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
harus menyampaikan kembali permohonannya kepada
OJK.

Pasal 12
(1) Total pendapatan jasa yang diperoleh Perusahaan
Asuransi dari seluruh kegiatan usaha berbasis
imbalan jasa (fee based) dilarang melebihi 25% (dua
puluh lima persen) total pendapatan Premi bruto yang
diperoleh Perusahaan Asuransi dalam satu periode
tahun buku berdasarkan laporan keuangan tahunan
yang telah diaudit.
(2) Total pendapatan jasa yang diperoleh Perusahaan
Asuransi Syariah dari seluruh kegiatan usaha berbasis
imbalan jasa (fee based) dilarang melebihi 50% (lima
puluh persen) total ujrah (fee) Perusahaan Asuransi
Syariah yang diterima dari kegiatan Usaha Asuransi
Umum Syariah atau Usaha Asuransi Jiwa Syariah
- 17 -

dalam satu periode tahun buku berdasarkan laporan


keuangan tahunan yang telah diaudit.
(3) Total pendapatan jasa yang diperoleh Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi dari seluruh kegiatan
usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dilarang
melebihi 50% (lima puluh persen) total ujrah (fee)
dalam satu periode tahun buku berdasarkan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit.

Pasal 13
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Perusahaan Asuransi Umum yang melakukan
perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha
Asuransi Kredit dan Suretyship wajib memenuhi peraturan
perundang-undangan di bidang penyelenggaraan usaha
Asuransi Kredit dan Suretyship serta memperhatikan
peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan.

BAB III
STANDAR PERILAKU USAHA

Bagian Kesatu
Pra Penjualan, Keagenan, dan Pialang

Pasal 14
Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyediakan
dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk
dan/atau layanan yang akurat, jelas, dan tidak
menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta,
atau Perusahaan Ceding terkait produk asuransi atau
produk asuransi syariah yang dipasarkan.

Pasal 15
(1) Dalam melakukan promosi atau iklan, Perusahaan
atau Unit Syariah wajib melakukan upaya terbaik
untuk memastikan bahwa informasi yang diberikan
- 18 -

dalam promosi atau iklan tersebut disampaikan secara


akurat, jelas, dan tidak menyesatkan.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menarik materi
iklan yang tidak akurat, tidak jelas, dan/atau dapat
menyesatkan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding.
(3) Dalam hal OJK menilai materi iklan yang disampaikan
tidak akurat, tidak jelas, dan/atau dapat menyesatkan
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan
Ceding, OJK dapat meminta Perusahaan atau Unit
Syariah untuk menarik materi iklan dimaksud dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal permintaan OJK.
(4) Informasi yang diberikan untuk promosi atau iklan
dalam bentuk brosur atau leaflet wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. mudah dimengerti;
b. memuat manfaat yang akan diperoleh pemegang
polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan
Ceding dari produk yang ditawarkan;
c. memuat proses pembayaran pengajuan klaim;
d. memuat pengecualian yang berpengaruh terhadap
proses persetujuan dan pembayaran klaim;
e. tidak menyembunyikan, mengurangi, atau
menghilangkan pernyataan penting; dan
f. memuat pernyataan mengenai syarat dan ketentuan
yang berlaku.
(5) Informasi yang diberikan untuk promosi atau iklan selain
brosur atau leaflet wajib memenuhi ketentuan paling
sedikit sebagaimana diatur pada ayat (4) huruf a, huruf b,
dan huruf f.

Pasal 16
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
menggunakan Agen Asuransi wajib memastikan
bahwa Agen Asuransi:
- 19 -

a. memiliki sertifikat keagenan sesuai dengan


bidang usahanya; dan
b. terdaftar di OJK.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
menggunakan Agen Asuransi paling sedikit wajib:
a. melaporkan Agen Asuransinya kepada asosiasi
yang sesuai dengan bidang usahanya; dan
b. membuat perjanjian secara tertulis dengan Agen
Asuransi yang memasarkan produk asuransinya
yang paling sedikit mencantumkan:
1. kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi
sesuai dengan bidang usahanya dalam
perjanjian keagenan;
2. kewajiban Agen Asuransi untuk mematuhi
kode etik atau sejenisnya yang ditetapkan
oleh asosiasi Perusahaan Asuransi sesuai
dengan bidang usahanya berikut sanksi yang
dikenakan pada setiap pelanggaran yang
dilakukan Agen Asuransi; dan
3. jangka waktu penyerahan Premi atau
kontribusi kepada Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, dalam
hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi memberikan
kewenangan kepada Agen Asuransi untuk
menerima Premi atau kontribusi.
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
menggunakan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi tersebut bertanggung jawab penuh terhadap
konsekuensi yang timbul dari penutupan asuransi
yang dilakukan oleh Agen Asuransi bersangkutan.
- 20 -

Pasal 17
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang
mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang masih
terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi lain yang sejenis.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang
merupakan Agen Asuransi yang masih bekerja sama
dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
lain yang tidak sejenis, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi wajib memastikan bahwa agen
dimaksud telah mendapatkan persetujuan dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tempat
agen dimaksud bekerja sebelumnya.
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang
merupakan Agen Asuransi yang berpindah dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lain yang
sejenis, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
wajib memastikan bahwa Agen Asuransi dimaksud
menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan:
a. telah menyelesaikan seluruh kewajibannya pada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi sebelumnya; dan
b. tidak melakukan twisting yaitu tindakan yang
membujuk dan/atau mempengaruhi pemegang
polis, tertanggung, atau peserta untuk merubah
- 21 -

spesifikasi polis yang ada atau mengganti polis


yang ada dengan polis yang baru pada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi lainnya, dan/atau membeli polis baru
dengan menggunakan dana yang berasal dari
polis yang masih aktif pada suatu Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lainnya.

Pasal 18
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang mengunakan
Agen Asuransi dalam memasarkan produknya wajib
memastikan bahwa dalam kegiatan pemasarannya, Agen
Asuransi paling sedikit telah melakukan tindakan sebagai
berikut:
a. menyampaikan identitas sebagai wakil sah dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan
menunjukkan lisensi keagenan yang berlaku untuk
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
diwakilinya;
b. menyampaikan informasi mengenai produk asuransi
yang ditawarkan dan informasi penting yang terkait
dengan syarat dan ketentuan polis dengan
memperhatikan ketentuan peraturan OJK mengenai
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan;
c. menyampaikan kepada pemegang polis, tertanggung,
atau peserta atas penerimaan atau penolakan surat
penutupan asuransi dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi kepada pemegang polis,
tertanggung, atau peserta paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak ada keputusan penerimaan atau penolakan
pertanggungan;
- 22 -

d. menginformasikan dokumen yang diperlukan untuk


pengajuan formulir permohonan penutupan asuransi;
e. meminta dokumen yang diperlukan untuk pengajuan
formulir permohonan dan dokumen lainnya yang
dimintakan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi untuk penutupan asuransi; dan
f. memastikan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta mengisi seluruh formulir surat permohonan
pertanggungan asuransi secara lengkap sesuai dengan
dokumen yang disampaikan.

Pasal 19
Dalam hal Agen Asuransi tidak lagi menjadi Agen Asuransi
dari sebuah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dimaksud wajib:
a. memberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung,
atau peserta yang penutupan asuransinya dilakukan
melalui Agen Asuransi tersebut; dan
b. memberikan informasi Agen Asuransi pengganti atau
petugas pelayanan pelanggan (customer service officer).

Pasal 20
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memberikan
pengetahuan secara berkelanjutan paling sedikit 2 (dua)
kali dalam 1 (satu) tahun mengenai produk asuransi atau
produk asuransi syariah yang dipasarkan termasuk tata
cara pemasaran, dan prosedur pengajuan klaim kepada
Agen Asuransi.

Pasal 21
(1) Penyelesaian sengketa Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi sebagai akibat dari penggunaan
- 23 -

Agen Asuransi dalam rangka kegiatan pemasaran


produk asuransi, diselesaikan secara musyawarah dan
mufakat antara para pihak yang bersengketa.
(2) Dalam hal tidak ditemukan kesepakatan antara para
pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa
diselesaikan melalui asosiasi yang sesuai dengan
kegiatan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi.

Pasal 22
(1) Perusahaan atau Unit Syariah dapat menerima
penutupan pertanggungan dari Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(2) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menerima
bisnis dari Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi di luar negeri,
Perusahaan atau Unit Syariah wajib memastikan
bahwa Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan
Pialang Reasuransi dimaksud telah memiliki izin
usaha dari otoritas perasuransian di luar negeri.
(3) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menutup
risiko atas objek asuransi di dalam negeri dari
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan atau Unit Syariah wajib
memastikan bahwa Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Asuransi dimaksud telah memiliki
izin usaha dari OJK.

Bagian Kedua
Polis, Premi, atau Kontribusi

Pasal 23
Dalam hal penutupan asuransi atau asuransi syariah
dilakukan melalui Agen Asuransi, pertanggungan atau
asuransi syariah dinyatakan mulai berlaku dan mengikat
para pihak terhitung sejak Premi atau kontribusi diterima
- 24 -

oleh Agen Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi,


Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi.

Pasal 24
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
memastikan bahwa pemegang polis, tertanggung, atau
peserta telah menerima polis dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
pembayaran Premi atau kontribusi dan pertanggungan
dinyatakan diterima.
(2) Dalam hal produk asuransi atau produk asuransi
syariah memiliki jangka waktu pertanggungan lebih
dari 1 (satu) tahun atau bukan merupakan produk
asuransi mikro, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi wajib memberikan kesempatan kepada
pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk
mempelajari polis dalam jangka waktu paling singkat
14 (empat belas) hari sejak pemegang polis,
tertanggung, atau peserta menerima polis.
(3) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dilarang melakukan investasi terhadap Premi yang
diterima dari pembayaran polis yang dikaitkan dengan
investasi, kecuali telah mendapatkan persetujuan
tertulis dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta
yang menyatakan bahwa pemegang polis, tertanggung,
atau peserta telah memahami risiko investasinya.
(4) Dalam hal pemegang polis, tertanggung, atau peserta
membatalkan pertanggungan atau asuransi syariah
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
wajib mengembalikan paling sedikit sejumlah Premi
- 25 -

atau kontribusi yang telah dibayarkan dikurangi


biaya, ditambah dengan hasil investasi atau dikurangi
kerugian investasi yang telah mendapatkan
persetujuan tertulis dari pemegang polis, tertanggung,
atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
mengembalikan bagian Premi atau kontribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak permohonan pembatalan
dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta
diterima secara lengkap oleh Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi.

Pasal 25
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
menginformasikan mengenai rincian biaya polis
kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(2) Dalam hal tertanggung atau peserta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan tertanggung atau
peserta dari produk asuransi atau produk asuransi
syariah yang dikaitkan dengan penyaluran kredit atau
pembiayaan syariah rincian biaya polis dapat
diinformasikan hanya kepada pemegang polis kecuali
atas permintaan tertanggung atau peserta.

Pasal 26
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
menyampaikan rincian mengenai bagian dari Premi atau
kontribusi yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang
Asuransi di dalam polis atau dokumen yang merupakan
kesatuan dengannya.
- 26 -

Pasal 27
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat
memberikan persetujuan kepada Agen Asuransi melalui
perjanjian keagenan atau peraturan internal lainnya untuk
menerima pembayaran Premi atau kontribusi dari
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
memastikan bahwa Agen Asuransi telah memberikan
bukti penerimaan pembayaran Premi atau kontribusi
kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta,
dalam hal Agen Asuransi menerima pembayaran Premi
atau kontribusi.

Pasal 28
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib bertanggung
jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul
apabila Agen Asuransi telah menerima Premi atau
kontribusi, tetapi belum menyerahkannya kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tersebut.

Pasal 29
(1) Perusahaan atau Unit Syariah dapat membuka
kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding untuk melakukan
pembayaran Premi atau kontribusi melalui
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan
Pialang Reasuransi.
(2) Dalam hal pembayaran Premi atau kontribusi yang
diterima oleh Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi telah diserahkan
kepada Perusahaan atau Unit Syariah, pembayaran
klaim atau manfaat yang timbul merupakan
tanggung jawab Perusahaan atau Unit Syariah.
- 27 -

(3) Pembayaran klaim atau manfaat yang timbul


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
apabila:
a. pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding membayar Premi atau
kontribusi dalam jangka waktu pembayaran
Premi atau kontribusi yang ditentukan di dalam
polis atau perjanjian reasuransi; dan
b. risiko yang terjadi dijamin di dalam polis atau
perjanjian reasuransi.
(4) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah belum
menerima pembayaran Premi atau kontribusi dari
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan
Pialang Reasuransi dalam jangka waktu paling lama
1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu
yang ditentukan dalam polis, Perusahaan atau Unit
Syariah dapat menerbitkan surat pembatalan polis
atau perjanjian reasuransi kepada pialang asuransi
untuk disampaikan kepada pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dan
Perusahaan atau Unit Syariah tidak bertanggung
jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang
timbul.
(5) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah tidak
melakukan pembatalan polis atau perjanjian
reasuransi dan menerima pembayaran Premi atau
kontribusi melalui Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi setelah berakhirnya
jangka waktu yang ditentukan di dalam polis atau
perjanjian reasuransi, Perusahaan atau Unit Syariah
wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim
atau manfaat yang timbul sejak Premi atau
kontribusi diterima.
(6) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menerima
pembayaran Premi atau kontribusi melalui
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang
Reasuransi setelah berakhirnya jangka waktu yang
- 28 -

ditentukan di dalam polis atau perjanjian reasuransi


dan tidak melakukan pembatalan polis atau perjanjian
reasuransi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak
Premi dan kontribusi diterima, Perusahaan atau Unit
Syariah wajib bertanggung jawab atas pembayaran
klaim atau manfaat yang timbul sejak Premi atau
kontribusi diterima.
(7) Dalam hal terjadi klaim sebelum Perusahaan atau
Unit Syariah menerima pembayaran Premi atau
kontribusi dari Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan atau
Unit Syariah wajib membantu pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dalam
penyelesaian klaim kepada Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(8) Dalam hal penyelesaian klaim sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menggunakan perusahaan
penilai kerugian asuransi, biaya yang timbul dapat
dibebankan kepada Perusahaan Pialang Asuransi
atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(9) Dalam hal penutupan asuransi melalui Perusahaan
Pialang Asuransi, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi dilarang melakukan off-set
antara Premi atau kontribusi dengan klaim.

Pasal 30
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
memberikan konfirmasi kepada Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi
terhadap rincian pembayaran masing-masing polis
atau perjanjian reasuransi yang disampaikan
Perusahaan Pialang Asuransi dalam jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah rincian
pembayaran Premi atau kontribusi masing-masing
polis atau perjanjian reasuransi diterima.
- 29 -

(2) Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi


Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Reasuransi wajib memberikan konfirmasi atau
verifikasi kepada Perusahaan Pialang Reasuransi
terhadap rincian pembayaran yang disampaikan
Perusahaan Pialang Reasuransi dalam jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah rincian
pembayaran Premi atau kontribusi diterima.

Pasal 31
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib membayar
imbalan jasa keperantaraan atau komisi yang
menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah konfirmasi atas rincian
pembayaran diterima oleh Perusahaan atau Unit
Syariah, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
kerja sama.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
hanya dapat memberikan bagian dari Premi atau
kontribusi yang merupakan imbalan jasa
keperantaraan atau komisi kepada pihak yang
terlibat dalam proses pemasaran produk asuransi
atau asuransi syariah.

Bagian Ketiga
Perjanjian Reasuransi atau Perjanjian Reasuransi Syariah

Pasal 32
Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk
perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah
otomatis.
- 30 -

Pasal 33
(1) Perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi
syariah wajib dibuat secara tertulis dan tidak
merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan
pasti bagi penanggung ulang atau reasuradur.
(2) Perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi
syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memuat pernyataan bahwa dalam hal Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi
dilikuidasi, hak dan kewajiban Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi yang
timbul dalam transaksi reasuransi tetap mengikat
sampai dengan saat salah satu atau kedua
Perusahaan tersebut dilikuidasi.

Bagian Keempat
Underwriting

Pasal 34
Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki pedoman
underwriting untuk produk yang dipasarkan, yang
mencerminkan bahwa pelaksanaan proses seleksi risiko
dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan praktik
perasuransian yang berlaku umum.

Pasal 35
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sebelum
melakukan penutupan asuransi wajib memastikan bahwa
seluruh risiko yang ditanggung sudah ter-cover oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
- 31 -

Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang


bersangkutan dan/atau penanggung ulang/reasuradur.

Bagian Kelima
Penyelesaian Klaim

Pasal 36
Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki pedoman
penyelesaian klaim untuk produk yang dipasarkan, yang
mencerminkan bahwa penanganan klaim telah dilakukan
melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan
adil serta sesuai dengan praktik perasuransian yang
berlaku umum.

Pasal 37
(1) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan
tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan
keterlambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah dapat menunjuk
perusahaan penilai kerugian asuransi untuk
melakukan penilaian terhadap klaim yang diajukan.
(3) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah
menggunakan perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan
atau Unit Syariah dilarang mengabaikan hasil
penilaian kerugian tanpa didasari argumen yang kuat.

Pasal 38
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi hanya
dapat meminta dokumen sebagai persyaratan
pengajuan klaim sesuai dengan yang tertera dalam
polis.
- 32 -

(2) Dalam hal polis mencantumkan dokumen dan/atau


syarat lain sebagai persyaratan pengajuan klaim,
dokumen dan/atau syarat lain tersebut harus:
a. relevan dengan pertanggungan; dan
b. wajar dalam proses penyelesaian klaim.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang
melakukan pembayaran klaim asuransi melalui pihak
ketiga, kecuali Perusahaan Pialang Asuransi, pihak
penyedia layanan klaim, atau pihak yang telah
mendapatkan persetujuan dari penerima manfaat.

Pasal 39
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi yang
telah mendapat izin usaha dari OJK.
(2) Penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan
dalam bentuk perjanjian kerja sama antara
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan
perusahaan penilai kerugian asuransi.
(3) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib paling sedikit memuat:
a. hak dan kewajiban perusahaan penilai kerugian
asuransi dan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi;
b. jangka waktu pembayaran imbalan jasa penilaian
kerugian dan/atau imbalan jasa konsultasi
terkait dengan kerugian yang terjadi atas objek
asuransi; dan
- 33 -

c. ketentuan yang menyatakan bahwa setiap


pelaksanaan penilaian kerugian atas objek
asuransi oleh perusahaan penilai kerugian
asuransi harus didasari penugasan tertulis atau
surat perintah kerja dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi.
(4) Penugasan tertulis atau surat perintah kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
mengatur kinerja, atau tahapan penyelesaian penilai
kerugian.

Pasal 40
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan
pembayaran klaim sesuai jangka waktu pembayaran
klaim atau manfaat yang ditetapkan dalam polis
asuransi atau paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
adanya kesepakatan antara pemegang polis,
tertanggung, atau peserta dengan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, atau kepastian
mengenai jumlah klaim yang harus dibayar, mana
yang lebih singkat.
(2) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah diwajibkan
membayar klaim berdasarkan putusan lembaga
alternatif penyelesaian sengketa terkait, Perusahaan
atau Unit Syariah pada Perusahaan wajib membayar
klaim tersebut paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
putusan ditetapkan atau ditetapkan lain dalam
putusan lembaga alternatif penyelesaian sengketa
terkait.
(3) Dalam hal proses penyelesaian klaim telah
dilimpahkan kepada pengadilan, Perusahaan atau
Unit Syariah wajib membayar klaim paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah adanya putusan pembayaran
klaim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau
ditetapkan lain dalam putusan pengadilan.
- 34 -

(4) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan


pembayaran klaim melalui Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi kecuali
atas persetujuan tertulis dari pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.

Bagian Keenam
Keahlian di Bidang Perasuransian

Pasal 41
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan segenap
keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani
atau bertransaksi dengan pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah dalam melaksanakan
kegiatan usahanya wajib memiliki tenaga ahli dan
aktuaris yang sesuai dengan bidang usahanya.

Pasal 42
(1) Tenaga ahli Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai
berikut:
a. melakukan evaluasi penerapan manajemen
underwriting asuransi di Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi;
b. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses reasuransi di Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi;
c. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses penyelesaian klaim di Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi;
d. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
- 35 -

Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan


Asuransi; dan
e. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan
oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi.
(2) Tenaga ahli Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi memiliki wewenang sebagai berikut:
a. menerima atau menolak penutupan asuransi
dalam jumlah tertentu yang ditetapkan oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi; dan
b. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi.

Pasal 43
(1) Tenaga ahli Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Reasuransi memiliki tugas dan tanggung
jawab sebagai berikut:
a. melakukan evaluasi penerapan manajemen
underwriting reasuransi di Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi;
b. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses retrosesi di Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Reasuransi;
c. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses penyelesaian klaim di Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi;
d. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di
Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi
- 36 -

Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan


Reasuransi; dan
e. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan
oleh Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Reasuransi.
(2) Tenaga ahli Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Reasuransi memiliki wewenang sebagai
berikut:
a. menerima atau menolak pengajuan bisnis
reasuransi dalam jumlah tertentu yang
ditetapkan oleh Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Reasuransi; dan
b. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi.

Pasal 44
(1) Aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah memiliki tugas
dan tanggung jawab sebagai berikut:
a. memastikan kualitas data statistik Perusahaan
atau Unit Syariah;
b. melakukan evaluasi atas tingkat kesehatan
keuangan dan kecukupan modal Perusahaan
atau Unit Syariah;
c. merancang produk asuransi termasuk
menentukan tarif Premi dan profitabilitas atas
produk asuransi dimaksud;
d. melakukan perhitungan cadangan teknis
Perusahaan atau Unit Syariah;
e. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di
Perusahaan atau Unit Syariah;
f. melakukan evaluasi atas aspek aktuaria dalam
proses reasuransi di Perusahaan atau Unit
Syariah;
- 37 -

g. menyusun perkiraan kemampuan Perusahaan


atau Unit Syariah untuk memenuhi kewajiban di
masa depan; dan
h. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan
oleh Perusahaan atau Unit Syariah.
(2) Aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah memiliki
wewenang sebagai berikut:
a. menandatangani laporan aktuaris Perusahaan
atau Unit Syariah;
b. menandatangani laporan operasional Perusahaan
atau Unit Syariah;
c. menandatangani pengajuan pelaporan produk
asuransi; dan
d. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan
atau Unit Syariah.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, aktuaris Perusahaan
atau Unit Syariah wajib berpedoman pada kode etik
dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi
profesi di Indonesia.

Bagian Ketujuh
Penanganan Keluhan atau Pengaduan

Pasal 45
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan
setiap keluhan atau pengaduan terkait produk
asuransi yang diajukan oleh pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki dan
melaksanakan mekanisme penanganan keluhan atau
pengaduan dari pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding.
(3) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian keluhan
atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diberitahukan kepada pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.
- 38 -

(4) Mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan


diadministrasikan dan/atau didokumentasikan
secara elektronik, dan dimuat ke dalam situs web
Perusahaan.

Pasal 46
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki unit
kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan
menyelesaikan keluhan atau pengaduan yang
diajukan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang mengenakan
biaya apapun kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding terhadap
pengajuan keluhan atau pengaduan.
(3) Tata cara penyelesaian keluhan atau pengaduan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan dan peraturan OJK mengenai
lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor
jasa keuangan.

Bagian Kedelapan
Sarana Komunikasi dan Teknologi Informasi

Pasal 47
Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyediakan
berbagai sarana komunikasi dan informasi yang mudah
untuk diakses oleh pemegang polis, tertanggung, peserta,
atau Perusahaan Ceding, yang paling sedikit meliputi
alamat surat, surat elektronik, telepon, faksimile, dan
situs web.

Pasal 48
(1) Situs web Perusahaan atau Unit Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 wajib
memuat informasi paling sedikit:
- 39 -

a. profil Perusahaan atau Unit Syariah yang


secara lengkap antara lain mencantumkan:
1) izin usaha dari OJK atau otoritas lain
sebelum terbentuknya OJK;
2) struktur organisasi dan nama pejabat
Perusahaan atau Unit Syariah paling
sedikit memuat direksi, dewan komisaris
atau yang setara, dewan pengawas syariah,
dan pejabat satu tingkat di bawah direksi;
dan
3) jaringan, alamat, nomor telepon kantor di
luar kantor pusat, dan nama pejabat
kantor di luar kantor pusat;
b. ringkasan informasi produk dari seluruh produk
yang dipasarkan;
c. prosedur dan cara bertransaksi;
d. informasi tata cara pelayanan dan penyelesaian
pengaduan;
e. daftar Agen Asuransi yang masih aktif
memasarkan produk Perusahaan atau Unit
Syariah;
f. penerapan tata kelola Perusahaan atau Unit
Syariah yang termuat dalam laporan tahunan;
g. informasi lainnya baik yang telah diwajibkan
oleh peraturan lainnya maupun kebutuhan dari
Perusahaan atau Unit Syariah; dan
h. kinerja masing-masing sub dana investasi
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi dalam hal Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi memasarkan
PAYDI.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melakukan
pengkinian informasi yang disajikan dalam situs web
Perusahaan atau Unit Syariah paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah terjadi perubahan informasi
- 40 -

sebagaimana pada ayat (1) huruf a sampai dengan


huruf h.
(3) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah
merupakan emiten atau perusahaan publik,
informasi yang dimuat dalam situs web Perusahaan
atau Unit Syariah sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam peraturan OJK mengenai situs web
emiten atau perusahaan publik.

Pasal 49
(1) Kegiatan usaha Perusahaan atau Unit Syariah wajib
didukung dengan sistem pengelolaan data yang
dapat menghasilkan informasi yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan
keputusan.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan
manajemen risiko secara efektif dan terintegrasi
dalam menggunakan sistem pengelolaan data.
(3) Untuk kepentingan penegakan hukum,
perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara
terhadap data warga negaranya, Perusahaan atau
Unit Syariah wajib menempatkan data pada pusat
data (data center) dan pusat pemulihan bencana
(disaster recovery center) di wilayah Indonesia.

Pasal 50
Data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3)
wajib paling sedikit terdiri dari:
a. data dan informasi terkait data pribadi pemegang
polis, tertanggung, atau peserta;
b. data dan informasi yang berkaitan dengan transaksi
pembayaran Premi atau klaim;
c. data dan informasi kependudukan; dan
d. data dan informasi di bidang administrasi badan
hukum.
- 41 -

Pasal 51
(1) Perusahaan atau Unit Syariah dapat
menyelenggarakan teknologi informasi sendiri
dan/atau menggunakan pihak penyedia jasa
teknologi informasi.
(2) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah
menggunakan pihak penyedia jasa teknologi
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Perusahaan atau Unit Syariah wajib:
a. bertanggung jawab dalam penerapan
manajemen risiko;
b. melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap
kinerja penyedia jasa teknologi informasi; dan
c. memberikan akses terhadap data, informasi dan
database kepada OJK serta auditor internal dan
eksternal Perusahaan atau Unit Syariah
sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.

Pasal 52
Perusahaan atau Unit Syariah dapat menyelenggarakan
kegiatan usahanya secara digital atau elektronik.

BAB IV
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM
PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI UMUM
SYARIAH, USAHA ASURANSI JIWA SYARIAH,
DAN USAHA REASURANSI SYARIAH

Pasal 53
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah dalam menyelenggarakan
kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip dasar sebagai
berikut:
a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya
(amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan
- 42 -

b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti


ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar), perjudian
(maysir), bunga (riba), penganiayaan (zhulm), suap
(risywah), maksiat, dan objek haram.

Pasal 54
(1) Polis asuransi syariah dan perjanjian reasuransi
syariah wajib mengandung Akad Tabarru’ dan Akad
Tijarah.
(2) Polis anuitas syariah untuk program pensiun wajib
mengandung Akad Hibah Tanahud dan Akad Tijarah.
(3) Akad Tijarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) dapat berupa Akad Wakalah bil Ujrah,
Akad Mudharabah, dan/atau Akad Mudharabah
Musytarakah.
(4) Penggunaan salah satu Akad Tijarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan secara
konsisten sampai berakhirnya polis asuransi syariah.
(5) Dalam hal disepakati perubahan Akad Tijarah,
penggunaan Akad Tijarah yang baru hanya dapat
diterapkan pada polis asuransi syariah yang baru.
(6) Dalam hal perubahan Akad Tijarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) terjadi untuk pengelolaan
investasi Dana Tabarru’ atau Dana Tanahud,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah wajib memisahkan Dana
Tabarru’ atau Dana Tanahud yang dikelola
berdasarkan Akad Tijarah yang lama dari Dana
Tabarru’ atau Dana Tanahud yang dikelola
berdasarkan Akad Tijarah yang baru.
(7) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah dapat menggunakan Akad
Tijarah dalam rangka pengelolaan investasi dari Dana
Tabarru’ atau Dana Tanahud yang berbeda dengan
Akad Tijarah dalam rangka kegiatan lain.
(8) Berdasarkan Akad Wakalah bil Ujrah, Akad
Mudharabah, dan Akad Mudharabah Musytarakah,
- 43 -

Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi


Syariah, atau Unit Syariah wajib menanggung seluruh
kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang
diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian,
atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah,
atau Unit Syariah.

Pasal 55
(1) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah dapat menggunakan Akad
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
dan ayat (2) dalam penyelenggaraan Usaha Asuransi
Syariah atau Usaha Reasuransi Syariah.
(2) Penggunaan Akad sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia dan terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari OJK.

Pasal 56
(1) Akad Tabarru’ atau Akad Hibah Tanahud yang
digunakan dalam polis asuransi syariah atau anuitas
syariah untuk program pensiun tidak dapat diubah
menjadi Akad Tijarah.
(2) Akad Tabarru’ yang digunakan dalam polis asuransi
syariah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
wajib memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. kesepakatan para pemegang polis atau peserta
untuk saling tolong menolong (ta’awuni);
b. hak dan kewajiban masing-masing pemegang
polis atau peserta secara individu;
c. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif dalam kelompok;
d. cara dan waktu pembayaran kontribusi;
e. cara dan waktu pembayaran santunan/klaim;
- 44 -

f. ketentuan mengenai boleh atau tidaknya


kontribusi ditarik kembali oleh pemegang polis
atau peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh
pemegang polis atau peserta;
g. ketentuan mengenai alternatif dan persentase
pembagian surplus underwriting; dan
h. ketentuan lain yang disepakati.
(3) Dalam Akad Tabarru’ harus dibentuk Dana Tabarru’
dari kontribusi pemegang polis atau peserta sejak awal
perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi
syariah.
(4) Akad Hibah Tanahud sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban masing-masing pemegang
polis atau peserta secara individu;
b. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif;
c. hak dan kewajiban perusahaan sebagai pengelola
anuitas syariah untuk program pensiun;
d. cara dan waktu pembayaran kontribusi tanahud;
e. cara dan waktu pembayaran manfaat anuitas
syariah untuk program pensiun; dan
f. ketentuan lain yang disepakati.

Pasal 57
(1) Akad Wakalah bil Ujrah digunakan dalam kegiatan
meliputi:
a. kegiatan administrasi;
b. pengelolaan dana;
c. pembayaran klaim;
d. underwriting;
e. pengelolaan portofolio risiko;
f. pemasaran;
g. Investasi Dana Tabarru, Dana Tanahud, dan/atau
Dana Investasi Peserta; dan/atau
h. kegiatan lain sesuai dengan kesepakatan dalam
polis.
- 45 -

(2) Akad Wakalah bil Ujrah wajib memuat paling sedikit


sebagai berikut:
a. objek/kegiatan yang dikuasakan pengelolaannya;
b. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif dan/atau pemegang polis atau
peserta secara individu sebagai muwakkil
(pemberi kuasa);
c. hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai wakil (penerima kuasa);
d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan
pemegang polis atau peserta kepada Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah;
e. besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee);
dan
f. ketentuan lain yang disepakati.
(3) Dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru’, Dana
Tanahud, atau Dana Investasi Peserta didasarkan
Akad Wakalah bil Ujrah, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah
tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi.

Pasal 58
(1) Akad Mudharabah digunakan dalam pengelolaan
investasi Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan/atau
pengelolaan investasi Dana Investasi Peserta.
(2) Akad Mudharabah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif dan/atau pemegang polis atau
peserta secara individu sebagai shahibul maal
(pemilik dana);
b. hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola dana);
- 46 -

c. batasan wewenang yang diberikan pemegang


polis atau peserta kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah;
d. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian
hasil investasi; dan
e. ketentuan lain yang disepakati.

Pasal 59
(1) Akad Mudharabah Musytarakah digunakan dalam
pengelolan investasi Dana Tabarru’, Dana Tanahud,
dan/atau pengelolaan investasi Dana Investasi
Peserta.
(2) Akad Mudharabah Musytarakah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling
sedikit sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban pemegang polis atau
peserta secara kolektif dan/atau pemegang
polis atau peserta secara individu sebagai
shahibul maal (pemilik dana);
b. hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola
dana);
c. batasan wewenang yang diberikan pemegang
polis atau peserta kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah;
d. cara dan waktu penentuan besar kekayaan
pemegang polis atau peserta dan kekayaan
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah;
e. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian
hasil investasi; dan
f. ketentuan lain yang disepakati.
- 47 -

BAB V
PENGALIHAN SEBAGIAN PORTOFOLIO PERTANGGUNGAN

Pasal 60
(1) Pengalihan sebagian portofolio pertanggungan oleh
Perusahaan atau Unit Syariah hanya dapat dilakukan
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan OJK.
(2) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
bahwa pengalihan dimaksud:
a. tidak mengurangi hak pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding;
b. dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah
yang memiliki bidang usaha yang sama;
c. dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah
yang telah memiliki produk sejenis atau jenis
perjanjian reasuransi yang sejenis; dan
d. tidak menyebabkan Perusahaan atau Unit
Syariah yang menerima pengalihan dimaksud
melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian.
(3) OJK memberikan surat persetujuan atau penolakan
atas pengalihan portofolio sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah surat permohonan persetujuan pengalihan
portofolio diterima OJK, dalam hal OJK tidak
memerlukan pemeriksaan langsung.
(4) Dalam hal OJK menganggap perlu melakukan
pemeriksaan langsung terkait dengan pengalihan
portofolio dimaksud, OJK akan menyampaikan
pemberitahuan pemeriksaan langsung paling lama 14
(empat belas) hari kerja setelah surat permohonan
persetujuan pengalihan portofolio diterima OJK.
(5) Dalam hal OJK melakukan pemeriksaan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) OJK
memberikan surat persetujuan atau penolakan atas
pengalihan portofolio paling lama 14 (empat belas) hari
- 48 -

kerja sejak laporan hasil pemeriksaan langsung final


ditetapkan.
(6) Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Perusahaan atau Unit Syariah yang
akan mengalihkan portofolio pertanggungan wajib
terlebih dahulu:
a. memberitahukan secara tertulis kepada setiap
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal surat persetujuan pengalihan
portofolio; dan
b. mengumumkan pengalihan tersebut pada situs
web Perusahaan atau Unit Syariah dan surat
kabar harian Indonesia yang berperedaran
nasional paling singkat selama 3 (tiga) hari
berturut-turut, paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal surat persetujuan pengalihan
portofolio.
(7) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) wajib paling sedikit memuat:
a. jangka waktu penolakan pengalihan portofolio;
b. akibat yang timbul dari penolakan pengalihan
portofolio; dan
c. mekanisme penyelesaian hak pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding
yang menolak pengalihan portofolio.

Pasal 61
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memberikan
kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding untuk
menyampaikan penolakan pengalihan
pertanggungannya kepada Perusahaan atau Unit
Syariah lain dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (6) huruf b.
- 49 -

(2) Dalam hal pemegang polis, tertanggung, peserta, atau


Perusahaan Ceding menolak pertanggungannya
dialihkan kepada Perusahaan atau Unit Syariah lain,
pertanggungan menjadi berakhir dan Perusahaan atau
Unit Syariah wajib mengembalikan hak pemegang
polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.

Pasal 62
(1) Pengembalian hak pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dilakukan sebagai
berikut:
a. untuk polis asuransi atau asuransi syariah yang
tidak memiliki unsur tabungan adalah sebesar
jumlah yang dihitung secara proporsional
berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan
pada tanggal pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding menyampaikan
penolakan atas pengalihan pertanggungannya
(unearned premium), setelah dikurangi bagian
Premi atau kontribusi yang telah dibayarkan
kepada Perusahaan Pialang Asuransi dan/atau
komisi agen;
b. untuk reasuransi atau reasuransi syariah sebesar
jumlah yang dihitung sesuai perjanjian
reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah
pada tanggal Perusahaan Ceding menyampaikan
penolakan atas pengalihan pertanggungannya
(unearned premium), setelah dikurangi bagian
Premi atau kontribusi yang telah dibayarkan
kepada Perusahaan Pialang Reasuransi dan/atau
komisi lainnya;
c. untuk polis asuransi atau polis asuransi syariah
yang memiliki unsur tabungan adalah sebesar
nilai tunai pada tanggal pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding
- 50 -

menyampaikan penolakan atas pengalihan


pertanggungannya; atau
d. untuk polis asuransi PAYDI:
1) untuk Premi risiko atau kontribusi risiko
berlaku ketentuan sebagaimana diatur pada
huruf a; dan
2) untuk dana investasi adalah sebesar nilai
tunai neto pada tanggal diterimanya
penolakan pengalihan pertanggungan yang
disampaikan oleh pemegang polis,
tertanggung, atau peserta.
(2) Pengembalian hak pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dibebankan
dengan biaya administrasi termasuk biaya
pengakhiran polis atau surrender charge.

Pasal 63
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan
pengalihan portofolio pertanggungannya dan/atau
pengembalian hak pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal surat persetujuan dari OJK.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melaporkan hasil
pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan
kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak pengalihan portofolio selesai dilakukan.

BAB VI
KERJA SAMA PERUSAHAAN DALAM RANGKA PEROLEHAN
BISNIS DAN KERJA SAMA DALAM MELAKSANAKAN
SEBAGIAN FUNGSI DALAM PENYELENGGARAAN
USAHANYA

Pasal 64
Perusahaan atau Unit Syariah dapat melakukan kerja
sama dengan pihak lain dalam rangka memperoleh bisnis
- 51 -

atau melaksanakan sebagian fungsi dalam


penyelenggaraan usahanya.

Pasal 65
(1) Kerja sama dalam rangka memperoleh bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat
dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi dengan Agen Asuransi, bank,
badan usaha selain bank, atau badan usaha yang
mempekerjakan Agen Asuransi.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi melakukan kerja sama dengan badan usaha
yang mempekerjakan Agen Asuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi wajib:
a. memastikan badan usaha dimaksud tidak sedang
terikat dalam perjanjian kerja sama dengan
Perusahaan Asuransi yang sejenis, Perusahaan
Asuransi Syariah yang sejenis, atau Unit Syariah
yang sejenis pada Perusahaan Asuransi dengan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi dimaksud;
b. memastikan bahwa Agen Asuransi telah bekerja
sama dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi yang telah bekerja sama
dengan badan usaha yang mempekerjakan Agen
Asuransi dimaksud;
c. memastikan Agen Asuransi yang dipekerjakan oleh
badan usaha dimaksud telah memenuhi ketentuan
mengenai Agen Asuransi sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 ayat (1); dan
- 52 -

d. melaporkan perjanjian kerja sama dengan


badan usaha dimaksud kepada OJK.

Pasal 66
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
melakukan kerja sama dengan bank atau badan usaha
selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1), wajib memastikan bahwa pegawai bank atau
badan usaha selain bank yang secara aktif
memberikan penjelasan mengenai produk asuransi,
memiliki sertifikasi Agen Asuransi yang diterbitkan
oleh asosiasi industri asuransi terkait.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi melakukan kerja sama dalam rangka
memperoleh bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64, keputusan menerima atau menolak pertanggungan
tetap menjadi kewenangan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dalam hal produk yang dipasarkan adalah
produk asuransi mikro dan terhadap produk asuransi
yang dipasarkan melalui bancassurance dengan model
bisnis referensi.
(4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang
memberikan imbalan jasa keperantaraan selain
kepada Agen Asuransi atau pihak lain yang memiliki
perjanjian secara tertulis mengenai kerja sama
pemasaran dalam memperoleh bisnis.
(5) Kerja sama dalam rangka memperoleh bisnis wajib
dilakukan dengan perseorangan dan/atau institusi
yang memiliki izin usaha dari instansi yang berwenang
dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau
- 53 -

Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang


Reasuransi.

Pasal 67
(1) Kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian
fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
dilakukan kepada penyedia jasa dengan perjanjian
alih daya.
(2) Bentuk perjanjian alih daya dilakukan Perusahaan
atau Unit Syariah melalui perjanjian:
a. pemborongan pekerjaan; dan/atau
b. penyediaan jasa tenaga kerja.
(3) Perusahaan atau Unit Syariah hanya dapat
melakukan perjanjian alih daya dengan perusahaan
penyedia jasa yang memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. berbentuk badan hukum Indonesia;
b. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari
instansi berwenang sesuai bidang usahanya;
c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang
baik serta pengalaman yang cukup;
d. memiliki sumber daya manusia yang mendukung
pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan;
e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam alih daya;
f. memiliki standar kompetensi sesuai dengan
standar bisnisnya; dan
g. tidak memiliki benturan kepentingan.
(4) Perusahaan atau Unit Syariah dapat melakukan
perjanjian alih daya dengan perusahaan penyedia
jasa berbentuk badan hukum asing pada kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan produk;
b. sistem informasi; dan/atau
c. bidang lain yang belum dapat dipenuhi oleh
perusahaan penyedia jasa di Indonesia.
(5) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah melakukan
perjanjian alih daya dengan perusahaan penyedia
- 54 -

jasa berbadan hukum asing sebagaimana dimaksud


pada ayat (4) wajib dilaporkan kepada OJK paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum perjanjian
kerja sama ditanda tangani.
(6) Perjanjian alih daya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memuat ketentuan yang mengatur
paling sedikit mengenai jenis, nilai, dan jangka
waktu pengalihan fungsi penyelenggaraan usaha.
(7) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melakukan
pengendalian atas sebagian fungsi penyelenggaraan
usaha yang dialihkan kepada pihak lain yang
levelnya sama dengan pengendalian yang dilakukan
di internal Perusahaan atau Unit Syariah.
(8) Perusahaan atau Unit Syariah tetap bertanggung
jawab terhadap fungsi yang dialihkan kepada
perusahaan penyedia jasa.

Pasal 68
(1) Kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian
fungsi penyelenggaraan usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan dengan perintah langsung dari
Perusahaan atau Unit Syariah;
b. tidak menghambat kegiatan Perusahaan atau
Unit Syariah; dan
c. dituangkan dalam perjanjian tertulis.
(2) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan atau Unit
Syariah wajib memiliki dan menerapkan standar
seleksi dan akuntabilitas.
(3) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memastikan
bahwa kerja sama dalam rangka melaksanakan
sebagian fungsi dilakukan sesuai dengan perjanjian
yang dibuat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- 55 -

Pasal 69
Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan kerja
sama dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi pada
kegiatan:
a. persetujuan underwriting;
b. aktuaria; dan
c. persetujuan klaim.

BAB VII
PENUTUPAN ASURANSI SECARA
BERSAMA-SAMA (KO-ASURANSI)

Pasal 70
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat
melakukan penutupan pertanggungan melalui
mekanisme penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi).
(2) Mekanisme penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi) dapat dilakukan terhadap produk
asuransi yang dirancang untuk dipasarkan dan risiko
dikelola secara bersama-sama atau produk asuransi
lainnya dalam rangka penyebaran risiko untuk satu
objek pertanggungan yang dilakukan kasus per kasus.
(3) Penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-
asuransi) dalam rangka penyebaran risiko untuk satu
objek pertanggungan yang dilakukan kasus perkasus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
yang sebelumnya telah memasarkan produk asuransi
pada lini usaha yang sama dengan yang akan
dilakukan penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi).
(4) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
telah memiliki lini usaha yang sama namun belum
- 56 -

memiliki produk yang sama, penutupan asuransi


secara bersama-sama (ko-asuransi) dapat dilakukan
sepanjang Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
memiliki retensi sendiri yang cukup.

Pasal 71
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
melakukan penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi) dalam rangka penyebaran risiko untuk
satu objek pertanggungan yang dilakukan kasus per
kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2),
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ketua (leader) penutupan asuransi secara
bersama-sama (ko-asuransi) menanggung porsi
risiko terbesar;
b. proses pembayaran klaim dilakukan oleh ketua
(leader) atau anggota (member) lain dengan
persetujuan ketua (leader); dan
c. dituangkan di dalam perjanjian tertulis dan/atau
dokumen lainnya.
(2) Perjanjian tertulis dan/atau dokumen lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib
memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. susunan keanggotaan yang terdiri dari ketua
(leader) dan anggota (member);
b. ketua (leader) memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan underwriting dan
persetujuan klaim;
c. cara pembayaran Premi dan/atau kontribusi oleh
pemegang polis, tertanggung, atau peserta; dan
d. prosedur penerimaan dan penerusan Premi
dan/atau kontribusi antara ketua (leader) dan
anggota (member).
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
- 57 -

mencantumkan nama Perusahaan Asuransi,


Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi dan porsi pertanggungan dari
setiap anggota penutupan asuransi secara bersama-
sama (ko-asuransi) dalam polis.
(4) Penerbitan polis asuransi dilakukan oleh ketua
(leader).
(5) Ketua (leader) wajib menjelaskan kepada pemegang
polis, tertanggung, atau peserta mengenai
keanggotaan penutupan asuransi secara bersama-
sama (ko-asuransi) sebelum penutupan
pertanggungan.
(6) Pembayaran klaim terhadap pertanggungan yang
dilakukan penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi) wajib dibayarkan secara keseluruhan
sesuai dengan jumlah klaim yang telah disepakati
tanpa harus menunggu pembayaran porsi
pertanggungan dari masing-masing anggota
penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-
asuransi).
(7) Dalam hal pembayaran klaim terhadap pertanggungan
yang dilakukan penutupan asuransi secara bersama-
sama (ko-asuransi) sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) telah dibayar oleh ketua (leader) atau salah satu
anggota (member), anggota (member) lainnya wajib
membayar kewajiban sesuai porsinya paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak seluruh klaim dibayarkan.

BAB VIII
FRAUD

Bagian Kesatu
Anti Fraud

Pasal 72
(1) Dalam rangka mengendalikan risiko terjadinya fraud,
Perusahaan atau Unit Syariah wajib melaksanakan
- 58 -

fungsi pengendalian fraud dan menerapkan strategi


anti fraud.
(2) Fungsi pengendalian fraud sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi aspek sebagai berikut:
a. pengawasan aktif manajemen;
b. organisasi dan pertanggungjawaban;
c. pengendalian dan pemantauan; dan
d. edukasi dan pelatihan.
(3) Dalam rangka melaksanakan aspek pengendalian
dan pemantauan fraud sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, Perusahaan atau Unit Syariah
wajib menerapkan strategi anti fraud yang meliputi:
a. pencegahan;
b. deteksi;
c. investigasi, pelaporan dan sanksi; dan
d. pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut.
(4) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyampaikan
laporan strategi anti fraud kepada OJK sebagai
berikut:
a. laporan penerapan strategi anti fraud setiap
semester untuk posisi akhir bulan Juni dan
Desember, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah akhir bulan;
b. laporan setiap fraud yang diperkirakan
berdampak negatif secara signifikan terhadap
Perusahaan atau Unit Syariah, pemegang polis,
tertanggung, peserta dan/atau Perusahaan
Ceding termasuk yang berpotensi menjadi
perhatian publik, paling lama 3 (tiga) hari kerja
sejak manajemen perusahaan menandatangani
dokumen pelaporan fraud; dan
c. laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b
paling sedikit memuat:
1) nama pelaku;
2) bentuk atau jenis penyimpangan;
3) tempat kejadian;
4) informasi singkat mengenai modus; dan
- 59 -

5) indikasi kerugian.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian fraud
dan penerapan strategi anti fraud bagi Perusahaan
atau Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan laporan strategi anti fraud sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran OJK.

Bagian Kedua
Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme

Pasal 73
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan
program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
(2) Dalam menerapkan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan atau Unit
Syariah wajib mengacu pada peraturan OJK
mengenai penerapan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme.

BAB IX
PROGRAM ASURANSI WAJIB

Pasal 74
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat
menyelenggarakan Program Asuransi Wajib.
(2) Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk melayani seluruh
masyarakat atau golongan masyarakat tertentu.
(3) Program Asuransi Wajib yang diselenggarakan oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dilaksanakan secara kompetitif.
- 60 -

Pasal 75
(1) Program Asuransi Wajib dapat dilakukan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sesuai
dengan ruang lingkup usahanya dan wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki kantor di luar kantor pusat yang
dapat mendukung Program Asuransi Wajib
kecuali Program Asuransi Wajib yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah;
b. memiliki tingkat solvabilitas (risk based capital)
200% (dua ratus persen);
c. memiliki tingkat likuiditas 150% (seratus lima
puluh persen); dan
d. memiliki pegawai yang telah memperoleh
pelatihan terkait pengelolaan risiko Program
Asuransi Wajib.
(2) Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 ayat (1) dapat diselenggarakan
secara individual maupun secara konsorsium.

Pasal 76
(1) Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi secara individual maupun konsorsium yang
menyelenggarakan Program Asuransi Wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
OJK.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu kepada ketentuan mengenai
persetujuan dan pencatatan produk asuransi
sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai
produk asuransi dan pemasaran asuransi.
- 61 -

BAB X
SANKSI

Pasal 77
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 9, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15
ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 16
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,
Pasal 20, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25
ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
Pasal 29 ayat (5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 30,
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44 ayat (3),
Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 46
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47, Pasal 48 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 ayat (2),
Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat
(5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 55 ayat (2), Pasal
56 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 57 ayat (2), Pasal
58 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60 ayat (1),
ayat (6), dan ayat (7), Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65
ayat (2), Pasal 66 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5),
Pasal 67 ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7),
Pasal 68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 72 ayat
(1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 73, Pasal 75 ayat
(1), dan Pasal 76 ayat (1) Peraturan OJK ini
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian
atau seluruh kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
- 62 -

(2) Dalam hal pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3,


Pasal 5, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 8 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 12 ayat (3), Pasal
14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat
(5), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal
18, Pasal 19, Pasal 20, ayat (3), dan ayat (4), Pasal
24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28, Pasal 29 ayat (5), ayat (6), dan ayat (8),
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44
ayat (3), Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 47, Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49,
Pasal 50, Pasal 51 ayat (2), Pasal 53, Pasal 54
ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan
ayat (8), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 58
ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60 ayat (1), ayat
(6), dan ayat (7), Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65 ayat
(2), Pasal 66 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), Pasal
67 ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal
68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 72 ayat (1),
ayat (3), dan ayat (4), Pasal 73, Pasal 75 ayat (1),
dan Pasal 76 ayat (1) Peraturan OJK ini dilakukan
oleh Unit Syariah dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha Unit Syariah, untuk
sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin pembentukan Unit Syariah.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau ayat (2) dilakukan secara bertahap.
- 63 -

(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dan ayat (2), OJK dapat
menambahkan sanksi tambahan berupa:
a. larangan untuk memasarkan produk asuransi
atau produk asuransi syariah untuk lini usaha
tertentu; dan/atau
b. larangan menjadi pemegang saham, pengendali,
direksi, dewan komisaris, atau yang setara
dengan pemegang saham, pengendali, direksi,
dan dewan komisaris, atau menduduki jabatan
eksekutif di bawah direksi, atau yang setara
dengan jabatan eksekutif di bawah direksi,
pada perusahaan perasuransian.
(5) OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin
usaha tanpa didahului pengenaan sanksi
administratif yang lain terhadap pelanggaran
ketentuan Pasal 8 ayat (3) Peraturan OJK ini.

Pasal 78
(1) Dalam hal Perusahaan melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1)
dan Pasal 76 ayat (1) Peraturan OJK ini
dikenai sanksi administratif tambahan berupa
denda administratif.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 16
ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan denda administratif sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk
penggunaan setiap Agen Asuransi.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 76
ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan denda administratif sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
- 64 -

Pasal 79
Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam
peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara
pengenaan sanksi administratif.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 80
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang telah
menyelenggarakan kegiatan usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship sebelum berlakunya Peraturan OJK
ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap
ketentuan dalam Peraturan OJK ini paling lama 1
(satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
(2) Dalam hal peraturan pelaksanaan mengenai
penyelenggaraan kegiatan usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship belum ditetapkan ketentuan
mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha Asuransi
Kredit dan Suretyship tunduk pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008
tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship.

Pasal 81
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
telah melakukan kegiatan usaha berbasis imbal
jasa (fee based) pada administrative service only
(ASO) sebelum Peraturan OJK ini diundangkan,
tetap berlaku sampai berakhirnya perjanjian
administrative service only (ASO) dimaksud.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
telah melakukan penutupan asuransi dalam rangka
penyebaran risiko untuk satu objek pertanggungan
yang dilakukan secara kasus per kasus sebelum
- 65 -

Peraturan OJK ini diundangkan, tetap berlaku


sampai berakhirnya pertanggungan dimaksud.
(3) Perusahaan atau Unit Syariah yang telah
melakukan kerja sama dalam rangka perolehan
bisnis atau kerja sama dalam rangka melaksanakan
sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, tetap
berlaku sampai berakhirnya kerja sama dimaksud.

Pasal 82
Dalam hal peraturan OJK mengenai prosedur dan tata
cara pengenaan sanksi administratif belum
diundangkan, ketentuan mengenai prosedur dan tata
cara pengenaan sanksi administratif tunduk pada
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

Pasal 83
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
yang telah menempatkan data pada pusat data (data
center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery
center) di luar wilayah Indonesia pada saat Peraturan
OJK ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan
Peraturan OJK ini dalam jangka waktu paling lambat
tanggal 12 Oktober 2017.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 84
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 66 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016

KETUA DEWAN KOMISIONER


OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

MULIAMAN D. HADAD

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 302

Salinan sesuai dengan aslinya


Direktur Hukum 1
Departemen Hukum

ttd

Yuliana

Anda mungkin juga menyukai