SKRIPSI
Oleh
170710101333
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2021
PENERAPAN ASAS RESIPROSITAS DALAM PENGEMBALIAN
PELAKU TINDAK PIDANA KE NEGARA ASAL
SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2021
ii
MOTTO
iii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah
SWT dan juga rasa terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Rikki Wibisono dan Ibunda Dian
Wardiana, serta saudari kembar saya Nabila Farahdila Putri yang
senantiasa yang telah senantiasa memberikan doa restu, kasih sayang,
motivasi, semangat, dan juga pengorbanan yang tak terhingga;
2. Bapak dan Ibu guru saya mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, serta
Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Hukum Universitas Jember;
3. Almamater kampus yang saya cintai Fakultas Hukum Universitas Jember.
iv
PRASYARAT GELAR
SKRIPSI
Oleh :
170710101333
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2021
v
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
3 Mei 2021
Oleh:
NIP: 198002162008121002
Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Jember
vi
PENGESAHAN
Panitia Penguji :
Ketua : Sekretraris :
Dodik Priahatin AN, S.H., M.Hum. Fiska Maulidian N., S.H., M.H.
197408302008121001 760025750
I Gede Widhiana S., S.H., M.HUM., PH.D Samuel Saut M. S., S.H., M.H
197802102003121001 198002162008121002
Mengesahkan,
Dekan,
vii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Panitia Penguji :
197408302008121001 760025750
viii
PERNYATAAN
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan
dan paksaan dari pihak lain, serta bersedia mendapat sanksi akademik jika kemudian
hari pernyataan ini tidak benar.
Yang menyatakan,
170710101333
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-
Nya yang telah memberikan saya kesempatan sehingga dapat menyelesaikan
penelitian skripsi ini yang berjudul PENERAPAN ASAS RESIPROSITAS DALAM
PENGEMBALIAN PELAKU TINDAK PIDANA KE NEGARA ASAL dengan baik
sebagai syarat untuk menyelesaikan studi ilmu hukum dan mencapai gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember.
Pada kesempatan kali ini izinkan saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah memberikan saya bimbingan, ilmu, petunjuk, dan
dukungan yang tak terhingga kepada saya untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini,
yang antara lain yaitu :
1. Bapak Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Jember;
2. Ibu Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I,
Bapak Echwan Iriyanto, S.H., M.H selaku Wakil Dekan II, dan Bapak
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III;
3. Bapak I Gede Widhiana S., S.H., M.HUM., PH.D selaku Dosen
Pembimbing Utama yang selalu memberikan saya bimbingan, ilmu,
petunjuk, dan dukungan kepada saya untuk menyelesaikan penelitian
skripsi ini;
4. Bapak Samuel Saut M. S., S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing
Anggota yang selalu memberikan saya bimbingan, ilmu, petunjuk, dan
dukungan kepada saya untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini;
5. Bapak Dodik Prihatin AN, S.H., M.Hum., selaku Ketua Penguji atas
saran dan masukan yang diberikan guna kesempurnaan penelitian
karya tulis ini dan Bapak Fiska Maulidian Nugroho, S.H., M.H. selaku
x
Sekretaris Penguji atas saran dan masukan dalam melengkapi karya
tulis ini;
6. Bapak Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing
Akademik (DPA) yang dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ikhlas
dalam memberikan arahan selama melaksanakan kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Jember;
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang
terhormat yang telah memberikan ilmu, pengetahuan dan dukungan
yang tidak terbatas;
8. Ayahanda Rikki Wibisono dan Ibunda Dian Wardiana Dwi Putri,
kedua orang tua saya, serta saudari kembar saya, Nabila Farahdila
Putri, sebagai sumber atas segala doa, pengorbanan dan kasih sayang
tak terhingga dan semangat yang tiada henti senantiasa diberikan
kepada saya;
9. Seluruh teman-teman Pejantan Tangguh, Achmad Aryasuta sebagai
teman terbaik, Robbi Qowi teman terhumble, Arif Budiawan sebagai
teman terkocak, Valiant Alfarizy sebagai teman tergabut, Ricky Arief
Prasetya sebagai teman terloyal, Ludfi Wicaksana sebagai teman
pertama, Lintang Anshori sebagai teman tergokil, Muhammad
Faizudin sebagai teman terkalem, Fernanda Nikko sebagai teman
terasyik, serta teman-teman Hukum 3 Kelompok 6, Barbequi, Pidana
Niggas, ALSA, CLSA, dan KKN Kelompok 09;
10. Semua pihak yang membantu terselesaikannya skrispsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Jember, 2 Maret 2021
Peneliti
xi
RINGKASAN
Ekstradisi adalah sebuah upaya atau proses yang dilakukan oleh suatu negara
untuk memulangkan pelaku tindak kejahatan kepada negara asal untuk kemudian
diadili disana. Pada umumnya sebelum sebuah proses ekstradisi dilakukan, negara
yang bersangkutan haruslah memilki perjanjian ekstradisi dengan negara lain
sebelumnya. Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa terdapat sebuah kasus
dimana proses pengekstradisian pelaku tindak kejahatan dapat dilakukan walaupun
negara yang bersangkutan tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya. Salah satu
peristiwa yang terjadi adalah pengembalian Maria Pauline Lumowa yang menjadi
buronan kasus letter of credit (L/C) fiktif Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun. Maria
sendiri telah telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri sejak 2003
silam, namun ia baru ditangkap oleh otoritas keamanan Serbia saat berada di Bandara
Internasional Nikola Tesla di Beograd pada 16 Juli 2019. Hal tersebut bukanlah kasus
yang bertentangan dengan hukum positif. Justru hal tersebut menjadi contoh bahwa
hukum di dunia terus berkembang seiring berjalannya waktu. Asas resiprositaslah
yang melopori proses pengekstradisian pelaku tindak kejahatan dapat dilakukan
walaupun negara yang bersangkutan tidak memilki perjanjian ekstradisi. Pada
dasarnya, asas resiprositas adalah suatu asas dalam hukum internasional yang menitik
beratkan pada hubungan timbal balik dari negara yang bersangkutan. Jadi apapun
perbuatan yang dilakukan suatu negara kepada negara lain, akan dibalas setimpal baik
perbuatan positif maupun negatif sekalipun. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat dua
permasalahan yang akan diangkat yaitu permasalahan pertama adalah apakah asas
resiprositas dapat menjadi alasan untuk pengembalian tersangka dari luar negeri yang
tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya, sedangkan permasalahan kedua
adalah apakah asas resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan,
pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi kali ini adalah pertama
adalah untuk mengetahui apakah asas resiprositas dapat dijadikan suatu alasan untuk
pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian ekstradisi
sebelumnya dan tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui apakah asas resiprositas
dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan, pemberantasan, dan
penghukuman pelaku tindak pidana. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian hukum normatif
sendiri adalah penelitian hukum untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi
sehingga pokok kajian dalam hukum normatif akan berlaku dalam masyarakat dan
bagi perilaku setiap orang. Lalu berkaitannya dengan penelitian ini, pendekatan yang
xii
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Hasil penelitian yang pertama adalah asas resiprositas dapat menjadi alasan
untuk pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian
ekstradisi sebelumnya karena asas resiprositas termasuk pada asas prinsip hukum
umum yang dianut secara nasional maupun internasional oleh setiap negara di dunia,
serta menjadi prinsip kedaulatan dari suatu negara dan hukum dari negara tersebut,
dam asas resiprositas juga menjadi dasar penerapan kerja sama internasional antar
negara dalam penerapan yurisdiksi. Lalu hasil penelitian yang kedua adalah Asas
resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan, pemberantasan, dan
penghukuman pelaku tindak pidana dikarenakan prosedurnya yang sangat mudah,
tidak memakan banyak biaya dan waktu yang diperlukan sangat singkat. Terlebih lagi
kasus-kasus ekstradisi pelaku pidana tanpa perjanjian ekstradisi sebelumnya seperti
ekstradisi Indonesia-Serbia dan Indonesia-Amerika Serikat pun dapat dipraktekkan
dan tidak menuai protes ataupun polemik.
Saran dari skripsi ini adalah pertama dalam pengembalian pelaku pidana ke
negara asal atau ekstradisi dengan menggunakan asas resiprositas, dibutuhkan suatu
rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang lebih terperinci untuk
memberikan rumusan yang pasti terkait penggunaaan asas resiprositas sebagai mana
mestinya. Lalu saran dari skripsi ini yang kedua adalah dibutuhkannya pembangunan
sistem koordinasi dan pembangunan task force antar instansi terkait dan juga
penguatan sisi integritas aparatur penegak hukum dan kementerian Hukum dan HAM,
karena aparatur penegak hukum tersebut akan menentukan keberhasilan proses
ekstradisi baik menggunakan perjanjian, maupun menggunakan asas resiprositas.
Suatu negara juga dihimbau untuk tetap menjaga hubungan dinamis dengan negara
lain untuk menjaga unsur resiprokalnya, karena asas resiprositas mengedepankan
perlakuan yang sama dari negara lain dan semuanya akan dibalas setimpal oleh
negara tersebut.
xiii
SUMMARY
Extradition is an attempt or process carried out by a country to repatriate a
crime against the country of origin for trial there. In general, before an extradition
process is carried out, the country concerned must have an extradition treaty with
another country beforehand. However, the facts on the ground show that there is a
case where the extradition process of crimes can be carried out even though the state
did not comply with the previous extradition treaty. One of the events that occurred
was that of Maria Pauline Lumowa who was the recipient of a letter of credit (L / C)
from Bank BNI worth IDR 1.7 trillion. Maria herself has been named a suspect by the
Indonesian Criminal Investigation Police since 2003, but she was only arrested by the
Serbian security authorities while at Nikola Tesla International Airport in Belgrade on
July 16, 2019. This is a case that is against positive law. In fact, this is an example
that the laws of the world continue to evolve over time. It is the principle of
reciprocity that spearheads the extradition process of crimes that can be carried out
even if the country concerned does not have an extradition treaty. In fact, the
principle of reciprocity is a principle in international law that focuses on the
reciprocal relationship of the country concerned. Whether a country's actions against
a country will be rewarded for both positive and negative actions. Based on this
description, there are two issues that will be raised, namely the first problem is
whether the principle of reciprocity can be a reason to support suspects from abroad
who do not have previous extradition agreements, while the second problem is
whether the principle of reciprocity in extradition is effective as a means of
prevention, eradication and a criminal act.
The objectives that can be achieved in this thesis are the first is to ensure that
reciprocity can be used as an excuse to support those from abroad who do not have
previous extradition agreements and the second objective is to see whether reciprocity
in extradition is effective as a means of prevention, eradication, and criminal
punishment. This type of research is normative legal research (normative legal
research). Normative legal research itself is legal research to find legal rules, legal
principles, or legal doctrines in order to answer legal problems so that the subject of
study in normative law will apply in society and the behavior of everyone. Then the
relationship with this research, the approach used in this thesis is subject to invitation
and conceptual approach.
The first research result is that the principle of reciprocity can be a reason for
the return of suspects from abroad who do not have previous extradition treaties
because the principle of reciprocity is included in the principles of general law
adhered to nationally and internationally by every country in the world, as well as the
principle of sovereignty of a country. and the laws of these countries, and the
principle of reciprocity are also the basis for the application of international
cooperation between countries in the application of jurisdiction. Then the second
xiv
research result is the principle of reciprocity in extradition which is effective as a
means of prevention, eradication, and punishment of criminal offenders because the
procedure is very easy, does not take a lot of money and takes a very short time.
Moreover, cases of extradition of criminals without previous extradition agreements,
such as the extradition of Indonesia-Serbia and Indonesia-United States of America,
can also be practiced and have not resulted in protests or polemics.
The suggestion of this thesis is that first, in returning the criminal offender to
the country of origin or extradition by using the principle of reciprocity, a more
detailed article formulation is needed in the statutory regulations to provide a definite
formula regarding the use of the principle of reciprocity as it should be. Then the
second suggestion of this thesis is the need for the development of a coordination
system and the development of a task force between related agencies and also
strengthening the integrity side of law enforcement officials and the Ministry of Law
and Human Rights, because these law enforcement officials will determine the
success of the extradition process either using agreements or using principles.
reciprocity. A country is also encouraged to maintain dynamic relationships with
other countries to maintain its reciprocal element, because the principle of reciprocity
promotes equal treatment from other countries and all of them will be rewarded in
kind by the country.
xv
DAFTAR ISI
xvi
1.9 Analisa Bahan Hukum............................................................................. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 10
2.1 Tindak Pidana ........................................................................................... 10
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana .................................................................. 10
2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................................... 11
2.1.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana .................................................................. 12
2.2 Ekstradisi .................................................................................................. 14
2.2.1 Pengertian Ekstradisi ......................................................................... 14
2.2.2 Unsur-Unsur Ekstradisi ...................................................................... 16
2.2.3 Prinsip-Prinsip Ekstradisi ................................................................... 17
2.2.4 Syarat-Syarat Ekstradisi ..................................................................... 18
2.3 Asas Resiprositas ...................................................................................... 21
2.3.1 Pengertian Asas ................................................................................. 21
2.3.2 Pengertian Resiprositas ...................................................................... 21
2.3.3. Pengertian Asas Resiprositas.................................... ............................23
xvii
4.2 Saran ........................................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 60
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perjanjian Ekstradisi
(Jakarta: BPHN, 2020), h. 123.
1
2
negara lain adalah ekstradisi. Pengertian dari ekstradisi adalah proses atau upaya
penyerahan seorang tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara
lain karena negara lain tersebut lebih berwenang untuk mengadili si tersangka atau
pelaku. 2
Isilah ekstradisi menunjukan dimana menurut asas timbal balik, suatu negara
dapat menyerahkan kepada negara lain seorang tersangka atau terpidana karena
negara lain tersebut lebih berwenang untuk menghukum si pelaku.3
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, pasal 1.
3
J.G Stark, Pengantar Hukum Internasional (jilid II) (Jakarta: Aksara Persada, 1986), h. 143
4
Dani Prabowo. “Tak Punya Perjanjian Ekstradisi, Begini Cara Pemerintah Bawa Maria
Pauline Lumowa dari Serbia”, https://nasional.kompas.com/read/2020/07/10/08105541/tak-
punya-perjanjian-ekstradisi-begini-cara- pemerintah-bawa-maria-pauline?page=all#page2.
(diakses pada 13 Oktober 2020, pukul 19.45 WIB).
3
Asas resiprositas sendiri adalah suatu asas pada hukum internasional yang
menintikberatkan pada hubungan timbal balik suatu negara dengan negara lainnya.
Asas resiprositas merupakan asas yang berintikan bahwa baik tindakan yang bersifat
negatif ataupun positif, suatu negara dapat membalas setimpal tindakan tersebut
terhadap negara lain. 6 Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka penulis tertarik
untuk menganalisa lebih dalam dalam bentuk karya ilmiah skripsi ini untuk
mengkaji tentang apakah asas resiprositas dapat menjadi suatu alasan untuk
pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi
sebelumnya, dan bagaimana asas resiprositas dalam ekstradisi dilakukan jika suatu
negara dan negara lain yang bersangkutan tidak memiliki perjanjian ekstradisi
sebelumnya, apakah dapat efektif dalam menjadi sarana pencegahan,
pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana ataulah tidak, dan dan
menuangkannya pada karya ilmiah ini dengan judul “Penerapan Asas Resiprositas
dalam Pengembalian Pelaku Tindak Pidana ke Negara Asal”.
5
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron Pembobol Bank
BNI”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-resiprositas-dalam-
ekstradisi-buron-pembobol- bank-bni?page=all (diakses pada 28 Oktober 2020, pukul 18.50
WIB).
6
Wagiman Anasthasya Saartje Mandagi, Terminologi Hukum International (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), h. 50.
4
7
Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumiaksara,
1996), h. 42.
8
Peter Mahmud Marzuk, Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta : Prenadamedia, 2016) h. 57.
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) h. 19.
6
sendiri. 10
10
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004)
h. 52.
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta: Prenadamedia, 2016) h. 57.
12
Vidya Prahassacitta, Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis,
https://business- law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-dan-penelitian-
hukum-yurudis/ (diakses pada 13 Januari 2021, pukul 09.29 WIB).
13
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 93.
7
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang dikeluarkan oleh pihak
8
yang berwenang dan bersifat untuk mengikat secara umum. 14 Contohnya seperti
peraturan perundang-undangan atau putusan badan peradilan yang sesuai dengan isu
hukum yang sedang diteliti, diantaranya adalah:
Bahan hukum pada dasarnya tidak perlu menggunakan bahan non hukum
karena sebenarnya penggunaan bahan non hukum bertujuan untuk memperkuat
argumentasi penulis mengenai permasalahan hukum yang sedang diteliti. Di sisi lain
apabila penggunaan bahan non hukum dianjurkan untuk tidak terlalu dominan
karena hal ini akan mengurangi makna penelitian dari penulis sebagai penelitian
hukum. 16 Pada karya ilmiah ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan
karya ilmiah, Kamu Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan bahan non hukum lainnya
yang diperoleh dari sumber non hukum lain.
14
Ibid, h. 141.
15
Ibid, h. 196.
16
Ibid, h. 204.
9
Penulis akan melakukan analisis terhadap semua bahan hukum yang tersedia
setelah bahan hukum telah terkumpul. Dalam hal ini, dibutuhkan beberapa cara yang
dilakukan penulis untuk memecahkan permasalahan hukum yang sedang penulis
kaji. Adapun langkah-langkahnya antara lain sebagai berikut:17
17
Ibid, h. 171.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
18
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994) h. 91.
19
Guse Prayudi, Hukum Pidana & Jaminan: Dalam Bentuk Tanya Jawab Disertai Dengan Dasar
Hukumnya (Yogyakarta: Tora Book: Mitra Setia, 2012), h 6.
10
11
2. Tujuan (voornemen);
3. Macam-macam tujuan (oogmerk);
4. Perencanaan (voorbedachte raad);
5. Rasa takut.
20
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1997), h.
193.
12
1. Subjek;
2. Kesalahan;
c. Delik persiapan;
21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 122.
22
Ibid.
13
23
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
(Jakarta: PT Utama, 2003), h 61-82.
14
2.2 Ekstradisi
2.2.1 Pengertian Ekstradisi
Kata “ekstradisi” berasal dari bahasa latin, yaitu “extradere” atau
penyerahan. Secara etimologis, kata ekstadisi berasal dari dua suku kata yaitu
“extra” dan “tradition”.25 Ekstradisi adalah sebuah konsep yang berbeda dengan
tradisi lama yang telah dipraktikan di antara bangsa-bangsa di dunia ini. Ekstradisi
tersebut merupakan kewajiban setiap negara untuk menjadi “asylum” (pelindung)
24
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004), h. 60.
25
Romli Atmasasmita, Hukum Tentang Ekstradisi (Jakarta: Fikahati Aneska, 2001), h. 1.
15
bagi pihak yang memohon perlindungan dan tradisi untuk menjaga kehormatan
(hospitality) sebagai negara (tuan rumah) atas pihak yang memohon perlindungan
tersebut.26
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 1
menyatakan bahwa ekstradisi adalah proses atau upaya penyerahan seorang
tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara lain karena negara
lain tersebut lebih berwenang untuk mengadili si tersangka atau pelaku.
Oppenheim juga mengemukakan bahwa ekstradisi adalah proses
diserahkannya orang yang disangka oleh suatu negara di wilayah mana ia berada,
kepada negara dimana ia disangka melakukan ataupun telah melakukan atau telah
dihukum karena perbuatan kejahatan yang ia lakukan. 27 Sementara itu, Starke juga
menyatakan bahwa ekstradisi menunjukan suatu proses di mana suatu negara
menyerahkan seseorang atas dasar permintaan negara lainnya, seorang yang
disangka karena kejahatan yang dilakukannya terhadap undang-undang negara
pemohon yang berewajiban untuk mengadili tersangka kejahatan tersebut. Biasanya
yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya adalah
negara peminta.28
Dari rumusan tersebut di atas, maka ekstradisi pada dasarnya memiliki dua
elemen mendasar yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, yaitu elemen
kerjasama antarnegara dan elemen penegakan hukum. Ekstradisi sebagai bentuk
kerjasama antarnegara dapat dilihat dari landasan pelaksanaan ekstradisi, yaitu
adanya perjanjian atau dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara
menghendakinya. Sementara itu, ekstradisi sebagai bagian dari upaya penegakan
hukum dapat disimpulkan dari tujuan dilaksanakannya ekstradisi tersebut, yaitu
untuk mengadili dan memidana seseorang karena disangka atau dipidana atas
kejahatan yang dilakukan dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta
26
Jan S. Maringka, Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 4.
27
Ibid.
28
J.G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F, Isjwara) (Bandung, 1972), h. 13.
16
penyerahan tersebut.29
2.2.2 Unsur-Unsur Ekstradisi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 1
menyatakan bahwa ekstradisi adalah proses atau upaya penyerahan seorang
tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara lain karena negara
lain tersebut lebih berwenang untuk mengadili si tersangka atau pelaku. Dari definisi
tersebut, maka unsur dalam ekstradisi menurut hukum Indonesia adalah sebagai
berikut:30
29
Jan S. Maringka, loc.cit.
30
Ibid, h. 59.
31
Ibid.
32
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, penjelasan pasal 2 ayat (1).
17
33
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, penjelasan pasal 4.
18
dokumen asli dokumen copy yang dilegalisasi oleh petinggi yang berwenang dari
negara peminta. Dokumen-dokumen tersebut antara lain sebagai berikut 34 :
d. Tempat dan waktu terjadinya kejahatan dan dapat disertai dengan detil
mengenai korban-korbannya;
34
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 223
20
h. Jika negara peminta mengetahui dengan pasti tempat tinggal atau alamat
terakhir dari orang yang diminta itu di wilayah negara diminta, bisa juga
disebutkan dalam surat permintaan tersebut, demi memudahkan negara
diminta untuk mencari dan menangkapnya.
35
Ibid, h. 225.
21
Yang menjadi pokok dalam hal ini adalah semakin lengkap dan jelas
dokumen-dokumen pendukungnya, maka tentu saja semakin baik sebab semakin
memudahkan negara diminta dalam mencari dan mengidentifikasi orang yang
bersangkutan. Jika negara peminta dan negara diminta menggunakan bahasa
nasionalnya masing-masing yang tidak sama, semua dokumen di atas harus
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang sudah
pasti dipahami oleh kedua belah pihak ataupun akan lebih baik jika diterjemahkan
ke dalam bahasa nasional dari negara diminta. 37
Secara luas, asas ialah suatu dalil yang bersifat umum tanpa menyarankan
cara yang bersifat khusus berkaitan dengan prosedurnya yang telah ditetapkan pada
sederajat perilaku yang menjadi pedoman untuk hal yang tepat bagi perilaku itu,
atau anggapan dan pertimbangan dasar yang menjadi pokok perilaku
kemasyarakatan 39.
2.3.2 Pengertian Resiprositas
Secara bahasa, istilah resiprositas berasal dari bahasa Inggris “reciprocity”
yang berarti hubungan timbal balik yang saling berhubungan satu sama lain baik
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 60-61.
39
Bruggink, Refleksi tentang Ilmu Hukum (Bandung: Citra Adytya Bakti, 1999), h. 132.
22
40
Wagiman Anasthasya Saartje Mandagi, Terminologi Hukum International (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), h. 50.
41
Wenny Megawati, Legalitas Perjanjian Ekstradisi yang Dilakukan Indonesia terhadap Negara-
Negara yang Melakukan Kerjasama (Semarang: Universitas Stikubang, 2019) h. 77.
23
42
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 150.
43
Ibid, h.11.
24
44
Bambang Hudayana, Konsep Resiprositas dalam Antropologi Ekonomi, Universitas Gadjah Mada,
Vol. 1, No. 3, 1991, h. 24.
BAB III
PEMBAHASAN
25
26
perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan timbal balik di bidang pidana. 45 Sampai
saat ini Indonesia telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara
yang sudah diundangkan antara lain: 46
45
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 149.
46
Wenny Megawati, Legalitas Perjanjian Ekstradisi yang Dilakukan Indonesia terhadap Negara-
Negara yang Melakukan Kerjasama (Semarang: Universitas Stikubang, 2019) h. 77.
27
Dengan adanya bantuan timbal balik, masalah pidana ini masih mungkin
dilakukannya penyerahan pelaku kejahatan dari negara peminta dan negara yang
menyerahkan, karena bantuan timbal balik memberikan bantuan kerja sama pula
47
Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Jurnal
RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 6, No. 1, 2017, h. 23.
48
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h .150.
28
dalam penyerahan pelaku kejahatan atas dasar permintaan. Bagi negara yang belum
memiliki perjanjian ekstradisi, perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana atau lebih dikenal dengan Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
(MLA). Prinsip MLA ini ialah dengan menggunakan asas resiprositas yang dimana
masing-masing negara memberikan bantuan kerja sama dalam penyerahan pelaku
kejahatan transnasional atas dasar permintaan. Menurut Siswanto Sunarso, MLA
adalah suatu perjanjian yang bertumpu pada permintaan bantuan yang berkaitan
dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang
pengadilan, dan lain-lain, dari negara diminta dengan negara peminta. 49 Selain itu
MLA juga dapat menjadi perjanjian bantuan hukum antara dua negara asing untuk
tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.
49
Ibid, h. 133.
50
Ibid.
29
51
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, pasal
3 ayat (2).
52
Siswanto Sunarso, op.cit, h. 152.
30
53
Ibid.
31
54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid, h. 153.
32
Terkait hal tersebut, bantuan timbal balik dapat juga ditolak apabila
permohonan yang diajukan bertentangan dengan aturan hukum yang diatur oleh
negara diminta. Namun, sebelum menolak pemberian bantuan timbal balik, menteri
haruslah mempertimbangkan persetujuan pemberian bantuan dengan tata cara atau
syarat khusus yang dikehendaki untuk dipenuhi. Pada persyaratan pengajuan
permintaan bantuan haruslah memuat mengenai identitas, inti permasalahan,
rangkuman fakta hukum, peraturan perundang-undanan, detil mengenai bantuan dan
prosedur khusus, dan tujuan bantuan, serta syara-syarat lain yang ditentukan oleh
negara diminta.
Asas resiprositas sangatlah penting bagi para pihak dengan berpedoman pada
perjanjian untuk memberikan hak dan kewajiban secara adil dan setimpal sebagai
57
I Wayan Parthiana, Hukuman Perjanjian Internasional: Bagian 1 (Bandung: Mandara Maju, 2002)
h. 12.
33
58
J.G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F, Isjwara) (Bandung, 1972) h. 13.
34
a. Subjek Hukum
Dilihat dari unsur subjek hukumnya, yaitu sbjek-subjek
hukum yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi, terdiri atas:
(i) Negara peminta sebagai negara yang berkepentingan untuk
mengadili atau menghukumnya.
(ii) Negara diminta sebagai negara tempat si pelaku kejahatan itu
berada.
b. Objek Hukum
Unsur objek hukumnya, seabgai orang yang diminta, boleh jadi
59
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), UU No. 12 Tahyn 2005,
LN No. 119 Tahyn 2005, TLN No. 4558.
60
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (Jakarta: Sinar Grafika,2002), h. 4.
61
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 39.
35
ataupun penyerahan oleh negara yang dimintai ekstradisi atas diri orang
yang diminta adalah dengan maksud dan tujuan untuk mengadilinya atas
kejahatan yang telah dilakukan yang menjadi yurisdiksi dari negara
peminta, atau jika sudah berstatus sebagai terhukum dengan maksud dan
tujuan untuk pelaksanaan hukuman atau sisa hukumannya di negara
peminta. Jika hal itu sudah berhasil dilakukan berarti maksud dan tujuan
dari ekstradisi itu sudah tercapai.
e. Dasar atau Landasan
Unsur dasar atau landasan yaitu dapat seperti perjanjian
ekstradsi yang sudah ada sebelumnya antara kedua pihak atau jika
perjanjian ekstadisi itu tidak atau belum ada, sepanjang para pihk
bersedia dapat juga didasarkan atas hubungan baik secara timbal balik.
Apabila para pihak sebelumnya telah terikat pada suatu perjanjian
ekstradisi ternyata pada suatu waktu menghadapi kasus ekstradisi,
penyelesaiannya masalahnnya haruslah berdasarkan pada perjanjian
tersebut. Sebaliknya jika para pihak belum terikat pada perjanjian
ekstradisi dan menghadapi kasus ekstradisi jika para pihak menyetujui
bahwa prosesnya nanti akan didasarkan pada hubungan baik atau hukum
tidak tertulis tentang ekstradisi.
Terkait hal tersebut, menurut Dr. Jan S. Maringka, pada arti sederhana unsur
ekstradisi menurut sistem hukum Indonesia meliputi antara lain: 62
a. Unsur negara, meliputi negara yang meminta penyerahan dan negara yang
diminra untuk menyerahkan seseorang. Hubungan antar kerdua negara
tersebut menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 dibangun
atas dasar suatu perjanjian yaitu perjanjian (“treaty”) yang diadakan oleh
Negara Republik Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan
62
Jan S. Maringka, Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h. 59
37
dengan undang-undang.22
b. Unsur orang, menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1979, orang yang dapat diekstradisikan ialah mereka yang oleh yang
berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan
atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.
c. Unsur tujuan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tujuan penyerahan
dalam esktradisi adalah untuk mengadili atau memidana orang tersebut
karena disangka atau dipidana melakukan suatu kejahatan. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1979 menganut prinsip bahwa tidak semua kejahatan dapat
diekstradisikan, melainkan kejahatan-kejahatan berat yang secara khusus
diatur dalam undang-undang maupun perjanjian ekstradisi antar kedua
negara. 63
Dalam pelaksanannya, ekstradisi memiliki beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh negara peminta, antara lain sebagai berikut:
a. Surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran
diplomatik kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia untuk diteruskan
kepada Presiden.
b. Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk
menjalani pidana harus disertai:
a. Lembaran asli dari putusan pengadilan yang sudah inkracht;
b. Keterangan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan
orang yang dimintakan ekstradisinya;
c. Lembaran asli dari surat perintah penahanan yang dikelurkan oleh
pejabat yang berwenang dari negara peminta.
c. Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahatan
harus disertai:
63
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, penjelasan pasal 4.
38
64
Jan S. Maringka, op,cit, h. 72.
39
lain, maka negara tersebut juga harus memberi perlakuan yang baik terhadap negara
yang bersangkutan. Dalam konteks ekstradisi, jika kita mengharapkan negara lain
akan menyerahkan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diminta untuk diproses
atau dieksekusi menurut hukum nasional negara kita, maka harus ada jaminan yang
seimbang bahwa negara kita pada suatu saat akan diminta oleh negara tersebut untuk
menyerahkan tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk diproses atau dieksekusi
menurut hukum nasional negara tersebut.65 Jadi baik tanpa perjanjian maupun tidak,
asas resiprositas tetap dianut dalam perjanjian ekstradisi karena memang ekstradisi
dapat lahir karena adanya hubungan baik kedua pihak negara bersangkutan. Selain
ekstradisi sendiri, asas resiprositas juga memunculkan jenis-jenis kerja sama lain,
seperti kerja sama dalam bidang ekonomi (ekspor-impor), kerja sama dalam bidang
kebudayaan, dll.
Jika sebuah negara telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain
namun negara tersebut memilih untuk melaksanakan proses ekstradisi dengan tanpa
perjanjian maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber dari hukum
internasional sehingga perjanjian yang telah dibuat antar negara yang
berkepentingan haruslah diutamakan sebagaimana tujuan dibuatnya perjanjian
tersebut. Pada penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam ayat ini,
ialah perjanjian ("treaty") yang diadakan oleh Negara Republik Indonesia dengan
negara lain dan yang ratifikasinya dilakukan dengan Undang-undang.”. Dari
penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian internasional yang telah
dibuat oleh negara yang bersangkutan akan diratifikasi oleh Undang-Undang
sehingga memiliki kekuatan hukum dan setiap negara yang bersangkutan di
dalamnya berkewajiban melaksanakan kepentingan hukum sesuai pada perjanjian
tersebut.
65
Wildani Angkasari, Tinjauan Yuridis Perjanjian Ekstradisi Terhadap Kejahatan Ekonomi Dalam
Kepentingan Nasional Indonesia, Vol. 11, No. 1, 2014, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, h. 53.
42
3.2.3 Korelasi antara Asas Resiprositas dan Ekstradisi dalam Kasus Maria
Pauline Lumowa
Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pembobolan kas
BNI lewat Letter of Credit (L/C) fiktif senilai Rp1,7 Triliun rupiah. Ia menjadi
buronan penegak hukum Indonesia selama 17 tahun tahun terakhir setelah terbang
ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai
tersangka oleh tim khusus bentukan Mabes Polri. 66 Pemerintah Indonesia pernah
mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Maria kepada Pemerintah Belanda
sebanyak dua kali, yaitu pada 2009 dan 2014 namun permintaan ekstradisi tersebut
ditolak. Penolakan Pemerintah Belanda terhadap pengajuan permintaan ekstradisi
Maria beralasan karena Maria telah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Maria kemudian ditangkap oleh NCB Interpol Serbia saat mendarat di
Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia pada Juli 2019 dengan merujuk pada red
notice Interpol pada 2003. Setelah pemberitahuan penangkapan dari Pemerintah
Serbia tersebut, Dirjen AHU (Administrasi Hukum Umum), Kementerian Hukum
dan HAM, dan aparat penegak hukum Indonesia langsung mengirimkan surat
permintaan percepatan permintaan ekstradisi tanggal 31 Juli 2019 yang kemudian
di-follow up kembali dengan surat tanggal 3 September 2019 tentang permintaan
percepatan ekstradisi. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Serbia melakukan
pendekatan-pendekatan high level, berbagai negoisasi, dan meningkatkan intensitas
percepatan ekstradisi dikarenakan setelah melampaui tanggal 16 maka penahanan
Maria akan berakhir dan harus segera dibebaskan.67
Proses ekstradisi Maria yang melibatkan Serbia dan Indonesia ini memiliki
banyak tantangan dikarena sebagaimana yang kita ketahui, negara Serbia dan
Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya. Namun meskipun begitu,
66
Aji Prasetyo. “Ekstradisi, Awal Penegakan Hukum terhadap Maria Pauline Lumowa”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0711559ccfa/ekstradisi--awal-penegakan-hukum-
terhadap-maria-pauline-lumowa?page=all (diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.11 WIB).
67
Hestiana Dharmastuti. “10 Fakta Akhir Pelarian Pembobol BNI Rp 1,7 T Maria Pauline Lumowa”.
https://news.detik.com/berita/d-5087402/10-fakta-akhir-pelarian-pembobol-bni-rp-17-t-maria-
pauline-lumowa?single=1 (diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.34 WIB).
43
proses ekstradisi Maria tetap dapat dilaksanakan. Menteri Hukum dan HAM,
Yasonna Laoly, mengatakan bahwa keberhasilan menuntaskan proses ekstradisi ini,
tak lepas dari diplomasi hukum dan hubungan baik kedua negara. Yasonna
mengatkan bahwa Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan dengan para pejabat
Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan
ekstradisi Maria Pauline Lumowa dilaksanakan.68
Di sisi lain, Serbia dan Indonesia telah memiliki hubungan bilateral yang
resmi berdiri sejak pada 1954. Gerakan Non Blok lah yang menjadi faktor pertama
hubungan Serbia dengan Indonesia. Masing-masing presiden dari kedua negara
tersebut juga merupakan tokoh pendiri Gerakan Non Blok. Presiden Indonesia saat
itu adalah Sukarno dan presiden Yugoslavia saat itu adalah Josip Broz Tito.69 Faktor
hubungan baik tersebut lah yang juga turut mempengaruhi dikabulkannya proses
ekstradisi Maria walaupun Indonesia dan Serbia tidak memilki perjanjian ekstradisi
sebelumnya.
Sampai saat ini Maria sendiri sedang melalui proses pengadilan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Jika melihat dari locus delicti dan
tempus delecti, maka memang benar sepatutnya Maria diadili disana. Locus delecti
adalah sebuah teori penentuan tempat terjadinya suatu tindak pidana memiliki arti
yang penting untuk menentukan tempat pengadilan yang berwenang dalam
mengadili suatu tindak pidana tersebut, mengingat tindak pidana yang dilakukan
Maria adalah pencucian uang maka pengadilan yang berwenang untuk mengadili
tindak pidana tersebut adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan tempus
delecti adalah sebuah teori penentuan waktu atau kapan terjadinya suatu tindak
pidana dan juga untuk menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat
diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi tersebut. Suatu undang-
68
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron Pembobol Bank BNI”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-resiprositas-dalam-ekstradisi-
buron-pembobol-bank-bni?page=all (diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.40 WIB).
69
Admin.Rutanwonogiri. “Serbia Punya Hubungan Historis dengan Indonesia”,
http://rutanwonogiri.kemenkumham.go.id/berita-utama/serbia-punya-hubungan-historis-dengan-
indonesia (diakses pada 13 Februari 2020, pukul 09.25 WIB).
44
undang yang pemberlakuannya setelah terjadi suatu delik atau tindak pidana tidak
dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan memutuskan suatu tindak
pidana. Kasus Maria terjadi pada 2002-2003, dan kemudian Maria sedang dijerat
pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi dengan ancaman pidana seumur hidup. Oleh karena hal tersebut kita
mengetahui bahwa undang-undang yang menjerat Maria ini tidak berlaku surut.
Dari contoh kasus di atas dapat diketahui bahwa asas resiprositas sangat
mempengaruhi dan membantu proses ekstradisi antar negara yang tidak memiliki
perjanjian ekstradisi sebelumnya. Asas resiprositas memang telah banyak digunakan
pemerintah dalam penanganan kasus-kasus terkait buronan yang melarikan diri ke
luar negeri. Pada tahun 1966 Indoensia dan Amerika Serikat pernah melakukan
proses ekstradisi kepada buron pemilik 30.000 pil Ekstasi Zarima. Indonesia dan
Amerika Serikat juga pernah melakukan proses ekstradisi kepada tersangka
pembunuhan oleh Treezy atas permintaan dari FIB. Selain itu Indonesia dan Ceko
pernah melakukan proses ekstradisi juga terhadap Robert Illey Smidl. Indonesia dan
Korea juga pernah melalukan ekstradisi dalam kasus Han Donghoan. Contoh
terakhir Indonesia dan Rusia juga pernah melakukan ekstradisi terhadap Alexandra
Nevinechaia. I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, dalam jurnalnya yang
berjudul “Prospek Asas Resiprositas Dalam Hukum Ekstradisi” mengatakan bahwa
contoh-contoh kasus di atas merupakan contoh penggunaan asas resiprositas yang
signifikan dalam upaya-upaya ekstradisi. 70 Selain karena prosedurnya yang sangat
mudah, penggunaan asas resiprositas dalam proses ekstradisi juga tidak tidak perlu
banyak biaya dan waktu yang diperlukan sangat singkat. I Made dan Ni Komang
mengatakan bahwa kasus-kasus ekstradisi di atas berjalan mulus tanpa hambatan
dan tanpa protes dari pihak manapun. Hal tersebut berarti masyarakat internasional
telah mengakui bahwa cara seperti ini tidak bertentangan dengan asas hukum umum
70
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron Pembobol Bank BNI”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-resiprositas-dalam-ekstradisi-
buron-pembobol-bank-bni?page=all (diakses pada 13 Februari 2020, pukul 10.04 WIB).
45
dan sah-sah saja menurut hukum internasional. Selain itu pula dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 2 ayat (2) juga menjelaskan
bahwa pelaksaan ekstradisi tanpa adanya perjanjian yaitu dengan menggunakan
hubungan timbal balik memang dapat dibenarkan. Pada pasal tersebut berbunyi
bahwa “Dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam ayat (1), maka ekstradisi
dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik
Indonesia menghendakinya”.
71
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 185.
72
Siswanto Sunarso, op.cit, h. 150.
47
h. Cyber crimes.
Dengan ditetapkannya jenis-jenis kejahatan transnasional tersebut, negara-
negara Asean setiap dua tahun sekali secara periodik melaksanakan pertemuan
tingkat Menteri yaitu Asean Ministery Meeting on Transnational Crime).
Menanggapi beberapa kasus ekstradisi di Indonesia, untuk menjamin efektivitas
suatu ekstradisi, maka pertama-tama perlu mendapatkan perhatian apakah tindak
pidana yang disangkakan termasuk dalam kategori tindak pidana yang dapat
diekstradisikan atau tidak. Di sisi lain, perlu dikaji pula apakah Pemerintah
Indonesia dengan negara peminta maupun negara diminta.73
Sebagai salah satu mekanisme kerja sama internasional yang tertua,
ekstradisi telah lama mengalami perkembangan dan perubahan dari bentuk
tradisionalnya, yaitu perjanjian antarnegara untuk saling menyerahkan pelaku
kejahatan yang dicari karena alasan politis. Hal tersebut yang menjadi instrumen
dalam lingkup penegakan hukum untuk mencari dan menangkap seorang tersangka
atau pelaku kejahatan lalu menyerahkan kepada negara yang memiliki hak ntuk
mengadili dan membuat keputusan pengadilan74. Dapat dilihat bahwa ekstradisi
telah berkembang dari sekadar hubungan bilateral yang didasari oleh perjanjian atau
kesepakatan, menjadi kerja sama penegakan hukum yang diakui oleh internasional.
Kerugian Indonesia dalam mengembalikan tersangka tanpa melalui proses
ekstradisi adalah Pemerintah Indonesia tidak dapat menerapkan prinsip rule of
speciality atau prinsip kekhususan dan tidak dapat menggunakan jaminan resiprokal
yang telah diajukan oleh negara lain. Penulis akan mengambil contoh pada kasus
ekstradisi Indonesia dengan Korea Selatan untuk tersangka bernama Choi Byung Ho
yang menjadi tersangka kasus penipuan dan penggelapan di Korea Selatan.
Permintaan ekstradisi tersebut tidak berhasil dilakukan karena rapat koordinasi antar
departemen di Indonesia lebih menyepakati proses deportasi karena dasar hukum
untuk mendeportasi tersangka lebih kuat dan terdapat upaya perlawanan dari
73
Ibid, h. 200.
74
Ibid, h. 126.
48
75
Ibid, h. 199.
76
Jan S. Maringka, Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 92.
77
Ibid.
78
Ibid., h. 98.
49
dalam substansi perjanjian tersebut telah mengatur tentang jenis-jenis tindak pidana
yang dapat diekstradisi, maka jika suatu saat nanti terdapat pelaku negara tersebut
yang melarikan diri ke negara lain maka tentu saja pelaku tersebut dapat langsung
diekstradisi berdasarkan perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Lalu
permasalahan akan muncul apabila terdapat seorang pelaku dari suatu negara yang
melarikan diri ke negara lain. Namun kedua negara yang bersangkutan tidak
memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya. Hal ini tentu akan menjadi problematika
tersendiri karena negara diminta tidak akan mau begitu saja mengekstradisikan
seorang pelaku tindak pidana ke negara peminta tanpa adanya feedback atau dasar
yang berarti. Hal ini lah yang menjadi tantangan bahwa asas resiprositas sendiri
tidak akan berguna atau berperan banyak apabila negara-negara yang bersangkutan
tidak memiliki hubungan yang baik sebelumnya.
Keterbatasan wewenang terkait batas negara dan yurisdiksi juga menjadi
faktor kendala dan tantangan dalam proses ekstradisi, dan dapat diidentifikasi
dengan adanya kendala yuridis dan kendala diplomatik. Keterbatasan yuridis yang
dimaksud ialah adanya keterbatasan sesuai wilayah yurisdiksi batas negara,
perbedaan sistem hukum, dan perjanjian antar negara. Keterbatasan wilayah
yurisdiksi ini berdampak kepada wewenang aparat penegak hukum dalam
melakukan kegiatan-kegiatan dalam menegakan hukum di wilayah tersebut.
Hukum pidana internasional memang benar memilki lingkup kejahatan-
kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional sebagaimana yang
dijelaskan di atas, namun terkait kewenangan untuk melaksanakan penangkapan,
penahanan, dan peradilan atas tersangka ataupun pelaku diserahkan sepenuhnya
kepada yurisdiksi pada negara yang berkepentingan. 79 Hal ini dilandasi oleh sebuah
pandangan yang beranggapan bahwa hubungan antar negara tidak dilandasi atas
dasar subordinasi, melainkan dilandasi atas dasar kerja sama dan hubungan baik
79
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 12.
50
yang bersifat timbal balik atau resiprokal. 80 Jika pelaku tindak pidana yang berada di
wilayah di luar terirotial negaranya sendiri, dan berada di negara lain, maka negara
tersebut memiliki kedaulatan hukum sendiri. Terkait apakah pelaku tindak pidana
tersebut akan diserahkan kepada negara lain atau diadili sendiri di negara meminta,
pasti akan membutuhkan kerja sama antar negara.
Berdasarkan hal tersebut, secara substansi perluasan teritorial sangat
dipengaruhi dan dilandasi oleh hubungan baik antar negara. Oleh karena itulah hal
yang paling mendasar untuk menjamin keberhasilan suatu proses ekstradisi adalah
dengan cara memelihara hubungan baik antar negara. Hal ini memang benar adanya
karena pada fakta di lapangan, ekstradisi dapat berhasil dilakukan dikarenakan
adanya hubungan yang baik antar negara yang bersangkutan. 81
Asas resiprositas memang betul dapat digunakan dalam proses ekstradisi
tersangka yang belum mendapatkan perjanjian ekstradisi sebelumnya. Namun dalam
penerapannya sering mendapatkan hambatan terutama menyangkut administrasi. 82
Sekalipun masing-masing negara telah memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya,
dalam praktiknya proses penyerahan pelaku kejahatan melalui proses yang cukup
panjang dan dapat memakan waktu satu tahun atau lebih. Itulah mengapa saat
membuat perjanjian sekalipun dibutuhkan kecermatan agar tidak menghambat
terhadap proses penanganan kejahatan itu sendiri. Dalam hal penanggulangan
kejahatan, khususnya kejahatan transnasional, memang diperlukan kerja sama
regional dan internasional. Namun meski begitu terdapat kendala yang sering
terjadi, yaitu misalnya hambatan dalam tukar menukar informasi, terutama informasi
mengenai identitas dari tersangka atau pelaku.83 Berbagai pengalaman dan
pengetahuan terkait sistem hukum dari masing-masing negara akan menentukan
proses pelaksanaan ekstradisi nantinya. Penggunaan asas resiprositas juga tentu
tidak akan berjalan dengan baik jika masing-masing dari negara tidak memilki
80
Ibid, h. 13.
81
Ibid, h. 12.
82
Ibid, h. 228.
83
Ibid, h.229.
51
hubungan yang baik sebelumnya karena mengingat pengertian asas resiprositas itu
sendiri merupakan asas yang berintikan pada hubungan timbal balik kedua negara.
Terlepas dari asas resiprositas itu sendiri, perjanjian ekstradisi ini
menimbulkan masalah yang berkaitan erat terkait dengan penghormatan kedaulatan
negara. Sebagaimana diketahui, penyerahan (levering) tersangka atau pelaku dari
negara yang diminta kepada negara peminta merupakan proses akhir dalam upaya
ekstradisi yang dimana pada kenyataanya fakta di lapangan menunjukkan bahwa
penyerahan tersangka atau pelaku tersebut tidak dapat dilaksanakan, padahal segala
proses pengajuan ekstradisi yang berkaitan dengan segala tata cara dan kelengkapan
dokumen telah terpenuhi.
3.2.2 Efektivitas dari Asas Resiprositas dalam Ekstradisi
Pengaturan terkait ekstradisi di dalam lingkup perjanjian internasional juga
turut mengalami perkembangan dari semula hingga kini. Mula-mula pengaturannya
sangat singkat dan sederhana yakni dalam satu atau dua pasal saja, lalu berkembang
menjadi pengaturan yang substansinya lebih banyak dan akhirnya semakin
kompleks seperti sekarang. Penggunaan asas resiprositas memilki jangkauan yang
sangat luas, terlebih lagi setiap negara di dunia memiliki mimpi dan tujuan yang
sama yaitu untuk memberantas kejahatan, baik kejahatan kecil maupun kejahatan
besar sekalipun.84 Keterbatasan berlakunya yurisdiksi juga termasuk suatu hal yang
harus dipertimbangkan. Kita dapat membayangkan bagaimana jadinya apabila suatu
negara membuat perjanjian ekstradisi dengan semua negara yang ada di dunia ini,
mulai dari biaya yang harus dikeluarkan sampai dengan waktu yang dihabiskan
untuk merealisasikan perjanjian ekstradisi tersebut. Belum lagi, suatu negara
tersebut perlu melakukan studi banding ke semua negara yang ada di dunia ini guna
mengetahui sistem yurisdiksi masing-masing dari negara. 85
Merujuk pada parameter atau tolak ukur efektifitas asas resiprositas, terdapat
84
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, Prospek Asas Resiprositas Dalam Hukum Ekstradisi,
Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Vol. 9, No. 1, 2019, h. 89.
85
Ibid.
52
86
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, pasal 36 ayat (1).
53
87
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 442.
88
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, op.cit, h.90.
89
Ibid.
55
90
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 442.
91
Ibid, h. 437.
92
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, op.cit, h. 93
56
93
Ibid.
57
ekstradisi tersebut. Belum lagi, pemerintah Indonesia perlu melakukan studi banding
ke Serbia untuk mengetahui sistem yurisdiksi dari negara tersebut. Dengan adanya
asas resiprositas, hal ini tentu saja selain mempersempit Maria dalam melarikan diri,
tetapi juga dapat memulangkan Maria ke Indonesia untuk diadili. Terlebih lagi tidak
terlalu memakan banyak biaya dan waktu.
Dengan adanya asas resiprositas itulah dapat mempersempit lingkup dan
kesempatan pelaku tindak pidana untuk melarikan diri ke negara lain sehingga
membuat pelaku tindak pidana dapat diadili atau dihukum di negara yang
bersangkutan. Tentu saja ini menjadi bukti bahwa asas resiprositas memang efektif
dalam sarana pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana.
Namun jika kedua pihak negara tidak memiliki hubungan baik sebelumnya, maka
tentu perjanjian ekstradisi memiliki dasar yang lebih kuat untuk kesuksesan ektradisi
karena substansi dan syarat-syaratnya telah tertuang dalam perjanjian ekstradisi
tersebut.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Asas resiprositas dapat menjadi alasan untuk pengembalian tersangka
dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya
karena asas resiprositas termasuk pada asas prinsip hukum umum yang
dianut secara nasional maupun internasional oleh setiap negara di dunia,
serta menjadi prinsip kedaulatan dari suatu negara dan hukum dari
negara tersebut, dam asas resiprositas juga menjadi dasar penerapan
kerja sama internasional antar negara dalam penerapan yurisdiksi.
2. Jika kedua belah pihak negara telah memiliki hubungan yang baik
sebelumnya dan belum memiliki perjanjian ekstradisi, asas resiprositas
dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan, pemberantasan, dan
penghukuman pelaku tindak pidana dikarenakan prosedurnya yang
sangat mudah, tidak memakan banyak biaya dan waktu yang diperlukan
sangat singkat. Terlebih lagi kasus-kasus ekstradisi pelaku pidana tanpa
perjanjian ekstradisi sebelumnya seperti ekstradisi Indonesia-Serbia dan
Indonesia-Amerika Serikat pun dapat dipraktekkan dan tidak menuai
protes ataupun polemik. Namun jika kedua pihak negara tidak memiliki
hubungan baik sebelumnya, maka tentu perjanjian ekstradisi memiliki
dasar yang lebih kuat untuk kesuksesan ektradisi karena substansi dan
syarat-syaratnya telah tertuang dalam perjanjian ekstradisi tersebut.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan yang mana sebagai berikut:
58
59
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Atmasasmita, Romli. 2001. Hukum Tentang Ekstradisi. Jakarta: Fikahati
Aneska.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2020. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Perjanjian Ekstradisi. Jakarta: BPHN.
Bruggink. 1999. Refleksi tentang Ilmu Hukum. Bandung: Citra Adytya Bakti.
Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Citra
Aditya Bakti.
Mandagi, Wagiman Anasthasya Saartje. 2016. Terminologi Hukum
International. Jakarta: Sinar Grafika.
Maringka, Jan S. 2018. Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:
Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Marzuki, Peter Mahmud. 2016. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Prenadamedia.
Masriani, Yulies, Tiena 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika.
Megawati, Wenny. 2019. Legalitas Perjanjian Ekstradisi yang Dilakukan
Indonesia terhadap NegaraNegara yang Melakukan Kerjasama.
Semarang: Universitas Stikubang.
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Parthiana, I Wayan. 2002. Hukuman Perjanjian Internasional: Bagian 1.
Bandung: Mandara Maju, 2002.
Parthiana, I Wayan. 2009. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern.
61
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
62
C. Jurnal
Bambang Hudayana. 1991. Konsep Resiprositas dalam Antropologi Ekonomi,
Universitas Gadjah Mada, Vol. 1, No. 3.
Flora Pricilla Kalalo. 2016. Efektifitas Perjanjian Ekstradisi Sebagai Sarana
Pencegahan, Pemberantasan Dan Penghukuman Pelaku Tindak Pidana
Internasional, Lex et Societatis, Vol. IV, No.1.
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni. 2019. Prospek Asas Resiprositas
Dalam Hukum Ekstradisi, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Vol. 9, No. 1.
Moh Khasan. 2017. Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas
Hukum Pidana Islam, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum
Nasional, Vol. 6, No. 1.
D. Skrispi
Waskito Setyo Nugroho. 2020. Tinjauan Hukum Penyebaran Berita Bohong
Pada Media Sosial Dalam Perspektif Undang-Undang Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme [Skripsi]. Jember: Universitas
Jember.
Yusuf Hotlas Panjaitan. 2019. Perbuatan Makar Dan Penerapan Hukumnya
[Skripsi]. Jember: Universitas Jember.
E. Internet
Admin.Rutanwonogiri. “Serbia Punya Hubungan Historis dengan Indonesia”,
http://rutanwonogiri.kemenkumham.go.id/berita-utama/serbia-punya-
hubungan-historis-denganindonesia (diakses pada 13 Februari 2020, pukul
09.25 WIB).
Aji Prasetyo. “Ekstradisi, Awal Penegakan Hukum terhadap Maria Pauline
Lumowa”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0711559ccfa/ekstradisi--
63
awal-penegakan-hukumterhadap-maria-pauline-lumowa?page=all (diakses
pada 9 Februari 2020, pukul 20.11 WIB).
Dani Prabowo. “Tak Punya Perjanjian Ekstradisi, Begini Cara Pemerintah Bawa
Maria Pauline Lumowa dari Serbia”,
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/10/08105541/tak-punya-
perjanjian-ekstradisi-begini-cara-pemerintah-bawa-maria-
pauline?page=all&page2. diakses pada 13 Oktober 2020, pukul 19.45
WIB.
Hestiana Dharmastuti. “10 Fakta Akhir Pelarian Pembobol BNI Rp 1,7 T Maria
Pauline Lumowa”. https://news.detik.com/berita/d-5087402/10-fakta-
akhir-pelarian-pembobol-bni-rp-17-t-mariapauline-lumowa?single=1
(diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.34 WIB).
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron
Pembobol Bank BNI”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-
resiprositas-dalamekstradisi-buron-pembobol- bank-bni?page=all (diakses
pada 28 Oktober 2020, pukul 18.50 WIB).
Vidya Prahassacitta, Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis,
https://business- law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-
dan-penelitianhukum-yurudis/ (diakses pada 13 Januari 2021, pukul 09.29
WIB).