Anda di halaman 1dari 81

PENERAPAN ASAS RESIPROSITAS DALAM PENGEMBALIAN

PELAKU TINDAK PIDANA KE NEGARA ASAL

SKRIPSI

Oleh

MUHAMMAD NABILWAN FARHAN PUTRA

170710101333

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2021
PENERAPAN ASAS RESIPROSITAS DALAM PENGEMBALIAN
PELAKU TINDAK PIDANA KE NEGARA ASAL

SKRIPSI

Oleh

MUHAMMAD NABILWAN FARHAN PUTRA


170710101333

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2021

ii
MOTTO

“ignorantia non excusat legem”.

“ketidaktahuan akan hukum bukanlah sebuah alasan”.

iii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah
SWT dan juga rasa terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Rikki Wibisono dan Ibunda Dian
Wardiana, serta saudari kembar saya Nabila Farahdila Putri yang
senantiasa yang telah senantiasa memberikan doa restu, kasih sayang,
motivasi, semangat, dan juga pengorbanan yang tak terhingga;
2. Bapak dan Ibu guru saya mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, serta
Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Hukum Universitas Jember;
3. Almamater kampus yang saya cintai Fakultas Hukum Universitas Jember.

iv
PRASYARAT GELAR

PENERAPAN ASAS RESIPROSITAS DALAM PENGEMBALIAN


PELAKU TINDAK PIDANA KE NEGARA ASAL

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD NABILWAN FARHAN PUTRA

170710101333

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2021

v
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

3 Mei 2021

Oleh:

Dosen Pembimbing Utama :

I Gede Widhiana Suarda, S.H., M.Hum., Ph.D.


NIP: 197802102003121001

Dosen Pembimbing Anggota :

Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H.

NIP: 198002162008121002

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Jember

I Gede Widhiana Suarda, S.H., M.Hum., Ph.D.


NIP: 197802102003121001

vi
PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Penerapan Asas Resiprositas Dalam Pengembalian Pelaku


Tindak Pidana Ke Negara Asal” karya Muhammad Nabilwan Farhan Putra telah
diuji dan disahkan pada :
Hari dan Tanggal : Senin, 5 April 2021
Tempat : Fakultas Hukum Universitas Jember

Panitia Penguji :

Ketua : Sekretraris :

Dodik Priahatin AN, S.H., M.Hum. Fiska Maulidian N., S.H., M.H.

197408302008121001 760025750

Anggota Penguji I : Anggota Penguji II :

I Gede Widhiana S., S.H., M.HUM., PH.D Samuel Saut M. S., S.H., M.H
197802102003121001 198002162008121002

Mengesahkan,
Dekan,

Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H.

vii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji pada,


Hari : Senin
Tanggal :5
Bulan : April
Tahun : 2021

Panitia Penguji :

Ketua Penguji, Sekretaris Penguji,

Dodik P. AN, S.H., M.Hum. Fiska Maulidian Nugroho, S.H., M.H.

197408302008121001 760025750

Dosen Anggota Penguji,

I Gede Widhiana S., S.H., M.HUM., PH.D .........................


197802102003121001

Samuel Saut M. S., S.H., M.H .........................


198002162008121002

viii
PERNYATAAN

Saya sebagai penulis yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Muhammad Nabilwan Farhan Putra
NIM : 170710101333
Menyatakan dengan sesungguhnya karya ilmiah yang berjudul
“PENERAPAN ASAS RESIPROSITAS DALAM PENGEMBALIAN PELAKU
TINDAK PIDANA KE NEGARA ASAL” adalah benar-benar karya saya sendiri,
kecuali kutipan yang sudah saya sebut sumbernya, dan belum pernah diajukan kepada
instansi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas
keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung
tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan
dan paksaan dari pihak lain, serta bersedia mendapat sanksi akademik jika kemudian
hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 2 Maret 2021

Yang menyatakan,

MUHAMMAD NABILWAN FARHAN PUTRA

170710101333

ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-
Nya yang telah memberikan saya kesempatan sehingga dapat menyelesaikan
penelitian skripsi ini yang berjudul PENERAPAN ASAS RESIPROSITAS DALAM
PENGEMBALIAN PELAKU TINDAK PIDANA KE NEGARA ASAL dengan baik
sebagai syarat untuk menyelesaikan studi ilmu hukum dan mencapai gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember.
Pada kesempatan kali ini izinkan saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah memberikan saya bimbingan, ilmu, petunjuk, dan
dukungan yang tak terhingga kepada saya untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini,
yang antara lain yaitu :
1. Bapak Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Jember;
2. Ibu Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I,
Bapak Echwan Iriyanto, S.H., M.H selaku Wakil Dekan II, dan Bapak
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III;
3. Bapak I Gede Widhiana S., S.H., M.HUM., PH.D selaku Dosen
Pembimbing Utama yang selalu memberikan saya bimbingan, ilmu,
petunjuk, dan dukungan kepada saya untuk menyelesaikan penelitian
skripsi ini;
4. Bapak Samuel Saut M. S., S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing
Anggota yang selalu memberikan saya bimbingan, ilmu, petunjuk, dan
dukungan kepada saya untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini;
5. Bapak Dodik Prihatin AN, S.H., M.Hum., selaku Ketua Penguji atas
saran dan masukan yang diberikan guna kesempurnaan penelitian
karya tulis ini dan Bapak Fiska Maulidian Nugroho, S.H., M.H. selaku

x
Sekretaris Penguji atas saran dan masukan dalam melengkapi karya
tulis ini;
6. Bapak Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing
Akademik (DPA) yang dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ikhlas
dalam memberikan arahan selama melaksanakan kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Jember;
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang
terhormat yang telah memberikan ilmu, pengetahuan dan dukungan
yang tidak terbatas;
8. Ayahanda Rikki Wibisono dan Ibunda Dian Wardiana Dwi Putri,
kedua orang tua saya, serta saudari kembar saya, Nabila Farahdila
Putri, sebagai sumber atas segala doa, pengorbanan dan kasih sayang
tak terhingga dan semangat yang tiada henti senantiasa diberikan
kepada saya;
9. Seluruh teman-teman Pejantan Tangguh, Achmad Aryasuta sebagai
teman terbaik, Robbi Qowi teman terhumble, Arif Budiawan sebagai
teman terkocak, Valiant Alfarizy sebagai teman tergabut, Ricky Arief
Prasetya sebagai teman terloyal, Ludfi Wicaksana sebagai teman
pertama, Lintang Anshori sebagai teman tergokil, Muhammad
Faizudin sebagai teman terkalem, Fernanda Nikko sebagai teman
terasyik, serta teman-teman Hukum 3 Kelompok 6, Barbequi, Pidana
Niggas, ALSA, CLSA, dan KKN Kelompok 09;
10. Semua pihak yang membantu terselesaikannya skrispsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Jember, 2 Maret 2021

Peneliti

xi
RINGKASAN
Ekstradisi adalah sebuah upaya atau proses yang dilakukan oleh suatu negara
untuk memulangkan pelaku tindak kejahatan kepada negara asal untuk kemudian
diadili disana. Pada umumnya sebelum sebuah proses ekstradisi dilakukan, negara
yang bersangkutan haruslah memilki perjanjian ekstradisi dengan negara lain
sebelumnya. Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa terdapat sebuah kasus
dimana proses pengekstradisian pelaku tindak kejahatan dapat dilakukan walaupun
negara yang bersangkutan tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya. Salah satu
peristiwa yang terjadi adalah pengembalian Maria Pauline Lumowa yang menjadi
buronan kasus letter of credit (L/C) fiktif Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun. Maria
sendiri telah telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri sejak 2003
silam, namun ia baru ditangkap oleh otoritas keamanan Serbia saat berada di Bandara
Internasional Nikola Tesla di Beograd pada 16 Juli 2019. Hal tersebut bukanlah kasus
yang bertentangan dengan hukum positif. Justru hal tersebut menjadi contoh bahwa
hukum di dunia terus berkembang seiring berjalannya waktu. Asas resiprositaslah
yang melopori proses pengekstradisian pelaku tindak kejahatan dapat dilakukan
walaupun negara yang bersangkutan tidak memilki perjanjian ekstradisi. Pada
dasarnya, asas resiprositas adalah suatu asas dalam hukum internasional yang menitik
beratkan pada hubungan timbal balik dari negara yang bersangkutan. Jadi apapun
perbuatan yang dilakukan suatu negara kepada negara lain, akan dibalas setimpal baik
perbuatan positif maupun negatif sekalipun. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat dua
permasalahan yang akan diangkat yaitu permasalahan pertama adalah apakah asas
resiprositas dapat menjadi alasan untuk pengembalian tersangka dari luar negeri yang
tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya, sedangkan permasalahan kedua
adalah apakah asas resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan,
pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi kali ini adalah pertama
adalah untuk mengetahui apakah asas resiprositas dapat dijadikan suatu alasan untuk
pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian ekstradisi
sebelumnya dan tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui apakah asas resiprositas
dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan, pemberantasan, dan
penghukuman pelaku tindak pidana. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian hukum normatif
sendiri adalah penelitian hukum untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi
sehingga pokok kajian dalam hukum normatif akan berlaku dalam masyarakat dan
bagi perilaku setiap orang. Lalu berkaitannya dengan penelitian ini, pendekatan yang

xii
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Hasil penelitian yang pertama adalah asas resiprositas dapat menjadi alasan
untuk pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian
ekstradisi sebelumnya karena asas resiprositas termasuk pada asas prinsip hukum
umum yang dianut secara nasional maupun internasional oleh setiap negara di dunia,
serta menjadi prinsip kedaulatan dari suatu negara dan hukum dari negara tersebut,
dam asas resiprositas juga menjadi dasar penerapan kerja sama internasional antar
negara dalam penerapan yurisdiksi. Lalu hasil penelitian yang kedua adalah Asas
resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan, pemberantasan, dan
penghukuman pelaku tindak pidana dikarenakan prosedurnya yang sangat mudah,
tidak memakan banyak biaya dan waktu yang diperlukan sangat singkat. Terlebih lagi
kasus-kasus ekstradisi pelaku pidana tanpa perjanjian ekstradisi sebelumnya seperti
ekstradisi Indonesia-Serbia dan Indonesia-Amerika Serikat pun dapat dipraktekkan
dan tidak menuai protes ataupun polemik.
Saran dari skripsi ini adalah pertama dalam pengembalian pelaku pidana ke
negara asal atau ekstradisi dengan menggunakan asas resiprositas, dibutuhkan suatu
rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang lebih terperinci untuk
memberikan rumusan yang pasti terkait penggunaaan asas resiprositas sebagai mana
mestinya. Lalu saran dari skripsi ini yang kedua adalah dibutuhkannya pembangunan
sistem koordinasi dan pembangunan task force antar instansi terkait dan juga
penguatan sisi integritas aparatur penegak hukum dan kementerian Hukum dan HAM,
karena aparatur penegak hukum tersebut akan menentukan keberhasilan proses
ekstradisi baik menggunakan perjanjian, maupun menggunakan asas resiprositas.
Suatu negara juga dihimbau untuk tetap menjaga hubungan dinamis dengan negara
lain untuk menjaga unsur resiprokalnya, karena asas resiprositas mengedepankan
perlakuan yang sama dari negara lain dan semuanya akan dibalas setimpal oleh
negara tersebut.

xiii
SUMMARY
Extradition is an attempt or process carried out by a country to repatriate a
crime against the country of origin for trial there. In general, before an extradition
process is carried out, the country concerned must have an extradition treaty with
another country beforehand. However, the facts on the ground show that there is a
case where the extradition process of crimes can be carried out even though the state
did not comply with the previous extradition treaty. One of the events that occurred
was that of Maria Pauline Lumowa who was the recipient of a letter of credit (L / C)
from Bank BNI worth IDR 1.7 trillion. Maria herself has been named a suspect by the
Indonesian Criminal Investigation Police since 2003, but she was only arrested by the
Serbian security authorities while at Nikola Tesla International Airport in Belgrade on
July 16, 2019. This is a case that is against positive law. In fact, this is an example
that the laws of the world continue to evolve over time. It is the principle of
reciprocity that spearheads the extradition process of crimes that can be carried out
even if the country concerned does not have an extradition treaty. In fact, the
principle of reciprocity is a principle in international law that focuses on the
reciprocal relationship of the country concerned. Whether a country's actions against
a country will be rewarded for both positive and negative actions. Based on this
description, there are two issues that will be raised, namely the first problem is
whether the principle of reciprocity can be a reason to support suspects from abroad
who do not have previous extradition agreements, while the second problem is
whether the principle of reciprocity in extradition is effective as a means of
prevention, eradication and a criminal act.
The objectives that can be achieved in this thesis are the first is to ensure that
reciprocity can be used as an excuse to support those from abroad who do not have
previous extradition agreements and the second objective is to see whether reciprocity
in extradition is effective as a means of prevention, eradication, and criminal
punishment. This type of research is normative legal research (normative legal
research). Normative legal research itself is legal research to find legal rules, legal
principles, or legal doctrines in order to answer legal problems so that the subject of
study in normative law will apply in society and the behavior of everyone. Then the
relationship with this research, the approach used in this thesis is subject to invitation
and conceptual approach.
The first research result is that the principle of reciprocity can be a reason for
the return of suspects from abroad who do not have previous extradition treaties
because the principle of reciprocity is included in the principles of general law
adhered to nationally and internationally by every country in the world, as well as the
principle of sovereignty of a country. and the laws of these countries, and the
principle of reciprocity are also the basis for the application of international
cooperation between countries in the application of jurisdiction. Then the second

xiv
research result is the principle of reciprocity in extradition which is effective as a
means of prevention, eradication, and punishment of criminal offenders because the
procedure is very easy, does not take a lot of money and takes a very short time.
Moreover, cases of extradition of criminals without previous extradition agreements,
such as the extradition of Indonesia-Serbia and Indonesia-United States of America,
can also be practiced and have not resulted in protests or polemics.
The suggestion of this thesis is that first, in returning the criminal offender to
the country of origin or extradition by using the principle of reciprocity, a more
detailed article formulation is needed in the statutory regulations to provide a definite
formula regarding the use of the principle of reciprocity as it should be. Then the
second suggestion of this thesis is the need for the development of a coordination
system and the development of a task force between related agencies and also
strengthening the integrity side of law enforcement officials and the Ministry of Law
and Human Rights, because these law enforcement officials will determine the
success of the extradition process either using agreements or using principles.
reciprocity. A country is also encouraged to maintain dynamic relationships with
other countries to maintain its reciprocal element, because the principle of reciprocity
promotes equal treatment from other countries and all of them will be rewarded in
kind by the country.

xv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................................... i


HALAMAN SAMPUL DALAM ............................................................................. ii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. iv
HALAMAN PERSYARATAN GELAR ................................................................. v
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ vi
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ vii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. ix
HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................................ x
HALAMAN RINGKASAN .................................................................................. xiii
HALAMAN SUMMARY ...................................................................................... xv
HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
1.5 Metode Penelitian ....................................................................................... 5
1.6 Tipe Penelitian ............................................................................................ 5
1.7 Pendekatan Masalah ................................................................................... 6
1.8 Bahan Hukum ............................................................................................. 7
1.8.1 Bahan Hukum Primer .......................................................................... 7
1.8.2 Bahan Hukum Sekunder ...................................................................... 8
1.8.3 Bahan Non Hukum .............................................................................. 8

xvi
1.9 Analisa Bahan Hukum............................................................................. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 10
2.1 Tindak Pidana ........................................................................................... 10
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana .................................................................. 10
2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................................... 11
2.1.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana .................................................................. 12
2.2 Ekstradisi .................................................................................................. 14
2.2.1 Pengertian Ekstradisi ......................................................................... 14
2.2.2 Unsur-Unsur Ekstradisi ...................................................................... 16
2.2.3 Prinsip-Prinsip Ekstradisi ................................................................... 17
2.2.4 Syarat-Syarat Ekstradisi ..................................................................... 18
2.3 Asas Resiprositas ...................................................................................... 21
2.3.1 Pengertian Asas ................................................................................. 21
2.3.2 Pengertian Resiprositas ...................................................................... 21
2.3.3. Pengertian Asas Resiprositas.................................... ............................23

2.3.4. Jenis-Jenis Resiprositas.........................................................................25

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................. 25


3.1 Asas Resiprositas Dapat Menjadi Alasan Untuk Pengembalian Tersangka
Dari Luar Negeri Yang Tidak Memilki Perjanjian Ekstradisi Sebelumnya ........... 25
3.1.1 Asas Resiprositas dan Konsep Bantuan Timbal Balik ........................ 25
3.1.2 Ekstradisi dan Konsep Ekstradisi ....................................................... 33
3.2.3 Korelasi antara Asas Resiprositas dan Ekstradisi dalam Kasus Maria
Pauline Lumowa ............................................................................................. 42
3.2 Asas Resiprositas Dalam Ekstradisi Efektif sebagai Sarana Pencegahan,
Pemberantasan, dan Penghukuman Pelaku Tindak Pidana ................................... 45
3.2.1 Kendala dan Tantangan Asas Resiprositas dalam Ekstradisi ............... 45
3.2.2 Efektivitas dari Asas Resiprositas dalam Ekstradisi ............................ 51
BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 58
4.1 Kesimpulan............................................................................................... 58

xvii
4.2 Saran ........................................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 60

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara-negara di dunia ini pasti memiliki keinginan untuk dapat memerangi


kejahatan. Namun suatu negara tidak dapat melakukan yurisdiksi hukumnya begitu
saja di negara lain yang menjadi wilayah pelaku kriminal berada karena berkaitan
dengan yurisdiksi atau asas berlakunya hukum pidana suatu negara tersebut.1 Hal ini
dikarenakan adanya asas teritorial yang berlaku di setiap negara. Menurut asas
teritorial, berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata
digantungkan pada tempat di mana suatu tindak pidana itu telah dilakukan, dan
tempat tersebut haruslah terletak di dalam wilayah negara yang bersangkutan.

Negara mempunyai yurisdiksi dan wewenang untuk mengadili para pelaku


kriminal yang berada di negaranya, akan tetapi dalam melakukan penyelesaian
perkara pidana tersebut ternyata terdapat beberapa kasus yang ternyata pelaku yang
diduga melakukan kejahatan tersebut telah melarikan diri ke negara lain demi
menghindari pertanggungjawabkan yang harus ia terima. Dikarenakan suatu negara
tidak dapat menegakkan yurisdiksinya di wilayah negara lain, oleh karena itu hal
tersebut mendorong suatu negara untuk melakukan kerjasama internasional dengan
negara lain dalam menegakkan keadilan bersama.

Salah satu kerjasama internasional mengenai upaya yang dapat dilakukan


suatu negara untuk memulangkan pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan di
negaranya akan tetapi pelaku tersebut ternyata berada atau sudah pergi ke dari

1
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perjanjian Ekstradisi
(Jakarta: BPHN, 2020), h. 123.

1
2

negara lain adalah ekstradisi. Pengertian dari ekstradisi adalah proses atau upaya
penyerahan seorang tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara
lain karena negara lain tersebut lebih berwenang untuk mengadili si tersangka atau
pelaku. 2

Isilah ekstradisi menunjukan dimana menurut asas timbal balik, suatu negara
dapat menyerahkan kepada negara lain seorang tersangka atau terpidana karena
negara lain tersebut lebih berwenang untuk menghukum si pelaku.3

Sebagaimana diketahui bahwa suatu negara dapat melakukan penyerahan


seorang tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara lain karena
negara lain tersebut lebih berwenang dan berkompeten untuk mengadili para pelaku
dan hal tersebt dapat terlaksana karena adanya perjanjian internasional antar negara
yang saling berkepentingan, dalam kenyataannya terdapat suatu peristiwa yang
berbeda dalam usaha pengembalian salah satu tersangka yang melarikan diri di luar
negeri tanpa adanya perjanjian ektradisi sebelumnya. Salah satu peristiwa yang
terjadi adalah pengembalian Maria Pauline Lumowa yang menjadi buronan kasus
letter of credit fiktif Bank BNI. Maria telah melakukan tindak pidana tersebut dan
berdampak pada bank BNI yang mengalami kerugian senilai Rp 1,7 triliun. Maria
ditangkap oleh otoritas keamanan Serbia saat berada di Bandara Internasional
Nikola Tesla yang terletak di Beograd, Serbia. Maria sendiri baru ditangkap pada 16
Juli 2019, padahal ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri sejak
2003.4

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly,


mengatakan bahwa upaya ekstradisi Maria memliki sejumlah rintangan, sebab

2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, pasal 1.
3
J.G Stark, Pengantar Hukum Internasional (jilid II) (Jakarta: Aksara Persada, 1986), h. 143
4
Dani Prabowo. “Tak Punya Perjanjian Ekstradisi, Begini Cara Pemerintah Bawa Maria
Pauline Lumowa dari Serbia”, https://nasional.kompas.com/read/2020/07/10/08105541/tak-
punya-perjanjian-ekstradisi-begini-cara- pemerintah-bawa-maria-pauline?page=all#page2.
(diakses pada 13 Oktober 2020, pukul 19.45 WIB).
3

pemerintah Indonesia dan pemerintah Serbia tidak memiliki perjanjian ekstradisi


sebelumnya. Hubungan baik kedua negara tersebut di bidang diplomasi hukum
menjadi kunci keberhasilan pengembalian tersangka tersebut. Yasonna mengatakan
bahwa, pemerintah Indonesia dan pemerintah Serbia belum memiliki perjanjian
ekstradisi sampai saat ini. Permintaan ekstradisi Maria dapat dikabulkan karena
Yasonna turu melakukan pendekatan dengan para petinggi Pemerintah Serbia.
Yasonna berpendapat bahwa asas resiprositas juga menjadi keberhasilan ekstradisi
dari Maria Pauline Lumowa. 5

Asas resiprositas sendiri adalah suatu asas pada hukum internasional yang
menintikberatkan pada hubungan timbal balik suatu negara dengan negara lainnya.
Asas resiprositas merupakan asas yang berintikan bahwa baik tindakan yang bersifat
negatif ataupun positif, suatu negara dapat membalas setimpal tindakan tersebut
terhadap negara lain. 6 Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka penulis tertarik
untuk menganalisa lebih dalam dalam bentuk karya ilmiah skripsi ini untuk
mengkaji tentang apakah asas resiprositas dapat menjadi suatu alasan untuk
pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi
sebelumnya, dan bagaimana asas resiprositas dalam ekstradisi dilakukan jika suatu
negara dan negara lain yang bersangkutan tidak memiliki perjanjian ekstradisi
sebelumnya, apakah dapat efektif dalam menjadi sarana pencegahan,
pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana ataulah tidak, dan dan
menuangkannya pada karya ilmiah ini dengan judul “Penerapan Asas Resiprositas
dalam Pengembalian Pelaku Tindak Pidana ke Negara Asal”.

5
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron Pembobol Bank
BNI”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-resiprositas-dalam-
ekstradisi-buron-pembobol- bank-bni?page=all (diakses pada 28 Oktober 2020, pukul 18.50
WIB).
6
Wagiman Anasthasya Saartje Mandagi, Terminologi Hukum International (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), h. 50.
4

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah asas resiprositas dapat menjadi alasan untuk pengembalian
tersangka dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian ekstradisi
sebelumnya?
2. Apakah asas resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana
pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui apakah asas resiprositas dapat dijadikan suatu alasan
untuk pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memilki
perjanjian ekstradisi sebelumnya
2. Untuk mengetahui apakah asas resiprositas dalam ekstradisi efektif
sebagai sarana pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman pelaku
tindak pidana?

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat teoritis untuk memberikan penjelasan yang kongkrit serta
memberikan pemahaman mengenai asas resiprositas dapat menjadi
alasan untuk pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak
memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya dan mengetahui asas
resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan,
pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana.
2. Manfaat praktis untuk referensi bagi mahasiswa atau akademisi serta
masyarakat luas untuk penelitian selanjutnya mengenai asas resiprositas
dapat menjadi alasan untuk pengembalian tersangka dari luar negeri
yang tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya dan mengetahui
asas resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan,
pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana.
5

1.5 Metode Penelitian


Metode penelitian berasal dari dua suku kata yaitu metode dan penelitian.
Metode berasal dari bahasa Yunani “hodos” yang memiliki arti yaitu cara atau jalan
untuk mengetahui sesuatu dengan memakai langkah-langkah yang ada secara
sistematis dan terstruktur.7 Metode penelitian menjadi faktor penting dalam
penulisan karya ilmiah karena berkaitan dengan cara bagaimana untuk memperoleh
hasil yang konkrit dan valid dan juga cara bagaimana untuk mencapai tujuan yang
ingin didapat dalam suatu penelitian. Menemukan aturan, prinsip, serta doktrin
hukum untuk menjawab isu hukum yang sedang diteliti merupakan tujuan
dilakukannya penelitian hukum.8
Metode penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis, teknik
pengumpulan sumber hukum, lalu dilanjutkan dengan teknik analisis bahan hukum
sehingga penelitian ini memiliki arah dan sistematika yang sesuai dengan penelitian
lainnya.

1.6 Tipe Penelitian


Pada karya ilmiah ini, penulis menggunakan penelitian hukum normatif atau
dapat disebut dengan normative legal research. Penelitian hukum normatif sendiri
adalah penelitian hukum untuk menemukan aturan, prinsip, maupun doktrin hukum
untuk menjawab isu hukum yang sedang diteliti sehingga hukum normatif tetap
akan berlaku dalam masyarakat dan bagi perilaku setiap orang.9 Penelitian hukum
normatif dilakukan untuk memfokuskan kepada inventarisasi hukum positif atas
asas dan doktrin hukum yang berlaku, penemuan hukum dalam perkara in concreto,
sistematika hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum itu

7
Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumiaksara,
1996), h. 42.
8
Peter Mahmud Marzuk, Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta : Prenadamedia, 2016) h. 57.
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) h. 19.
6

sendiri. 10

1.7 Pendekatan Masalah


Peter Mahmud Marzuki mengemukakan mengenai penelitian hukum sebagai
suatu upaya untuk menemukan aturan, prinsip, maupun doktrin hukum untuk dapat
menjawab isu hukum yang sedang diteliti, dengan tujuan yang ingin dicapai. 11
Penelitian hukum bertujuan untuk menemukan kebenaran koherensi,
dikarenakan penelitian hukum bersifat normatif sehingga tidak hanya meneliti
hukum positif. Maksudnya adalah untuk mengetahui apakah hukum, prinsip,
kewajiban, sanksi, dan tindakan hukum tersebut telah sesuai dengan norma hukum
yang telah ada.12 Peter Mahmud Marzuki menguraikan pendekatan-pendekatan yang
digunakan di dalam penelitian hukum tersebut sebagai berikut:13

1. Pendekatan undang-undang (statute approach) memiliki pengertian


yaitu pendekatan yang dilaksanakan dengan mengkaji semua
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan
hukum yang sedang diteliti.

2. Pendekatan kasus (case approach) memiliki pengertian yaitu pendekatan


yang dilaksanakan dengan mengkaji kasus-kasus yang berkaitan dengan
permasalahan hukum yang sedang diteliti dan yang telah menjadi putusan
pengadilan berkekuatan yang tetap.

3. Pendekatan historis (historical approach) memiliki pengertian yaitu

10
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004)
h. 52.
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta: Prenadamedia, 2016) h. 57.
12
Vidya Prahassacitta, Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis,
https://business- law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-dan-penelitian-
hukum-yurudis/ (diakses pada 13 Januari 2021, pukul 09.29 WIB).
13
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 93.
7

pendekatan yang dilaksanakan dengan mengkaji latar belakang dan


perkembangan pada pengaturan mengenai permasalahan hukum yang
sedang diteliti.

4. Pendekatan komparatif (comparative approach) memiliki pengertian yaitu


pendekatan yang dilaksanakan dengan cara membandingkan regulasi
hukum negara satu dengan regulasi hukum negara lain mengenai
permasalahan hukum yang sedang diteliti.

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach) memiliki pengertian yaitu


pendekatan yang dilaksanakan dengan mempelajari pandangan dan doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum berkaitan dengan permasalahan
hukum yang sedang diteliti.

6. Pendekatan historis (historical approach) memiliki pengertian yaitu


pendekatan yang dilaksanakan dengan cara mengkaji sejarah terkait
lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu
peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu.

Berkaitan dengan penelitian pada karya ilmiah ini, pendekatan yang


digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach).

1.8 Bahan Hukum

1.8.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang dikeluarkan oleh pihak
8

yang berwenang dan bersifat untuk mengikat secara umum. 14 Contohnya seperti
peraturan perundang-undangan atau putusan badan peradilan yang sesuai dengan isu
hukum yang sedang diteliti, diantaranya adalah:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi;

c. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik


dalam Masalah Pidana.
1.8.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersifat untuk


mendukung sumber bahan hukum primer, namun kedudukannya tidak kalah penting
dengan bahan hukum primer. Contoh dari bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam karya ilmiah ini antara lain adalah buku, skripsi, dan jurnal yang berkaitan
dengan isu hukum yang sedang dikaji. 15
1.8.3 Bahan Non Hukum

Bahan hukum pada dasarnya tidak perlu menggunakan bahan non hukum
karena sebenarnya penggunaan bahan non hukum bertujuan untuk memperkuat
argumentasi penulis mengenai permasalahan hukum yang sedang diteliti. Di sisi lain
apabila penggunaan bahan non hukum dianjurkan untuk tidak terlalu dominan
karena hal ini akan mengurangi makna penelitian dari penulis sebagai penelitian
hukum. 16 Pada karya ilmiah ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan
karya ilmiah, Kamu Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan bahan non hukum lainnya
yang diperoleh dari sumber non hukum lain.

14
Ibid, h. 141.
15
Ibid, h. 196.
16
Ibid, h. 204.
9

1.9 Analisa Bahan Hukum

Penulis akan melakukan analisis terhadap semua bahan hukum yang tersedia
setelah bahan hukum telah terkumpul. Dalam hal ini, dibutuhkan beberapa cara yang
dilakukan penulis untuk memecahkan permasalahan hukum yang sedang penulis
kaji. Adapun langkah-langkahnya antara lain sebagai berikut:17

1. Mencari fakta hukum, menyingkirkan hal-hal yang tidak tepat, dan


memutuskan permasalahan hukum.
2. Mengkualifikasi bahan-bahan hukum.
3. Menjalankan analisis permasalahan hukum yang dikaji.
4. Membentuk hasil akhir dalam bentuk argumentasi guna memberikan
jawaban atas permasalahan hukum.
5. Menyerahkan petunjuk berdasarkan atas bukti yang telah
dibentuk pada hasil akhir.

17
Ibid, h. 171.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tindak Pidana

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana


Tindak pidana berasal dari kata “tindak” yang merupakan singkatan dari kata
“tindakan” yang dimana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
sesuatu yang dilakukan. Sedangkan kata “pidana” menurut KBBI adalah perkara
kejahatan (kriminal). Pada dasarnya kejahatan dan tindak pidana ialah berbeda.
Kejahatan adalah suatu tindakan yang dianggap jahat oleh masyarakat. Hal ini
berbeda dengan tindak pidana yaitu suatu tindakan yang dianggap kejam atau jahat
yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.

Berbagai pendapat ahli dan juga perundang-undangan digunakan untuk


mendefinisikan arti sebenarnya dari kata strafbaar feit yang menjadi kata lain dari
“tindak pidana”. Pompe juga turu memberikan definisi terhadap strafbaar feit yaitu
adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum. 18 Dalam bukunya Moeljatno (1983:56),
Simons mengemukakan bahwa Strafbaarfeit memiliki arti yaitu tindakan yang
bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan diancam dengan pidana
oleh orang yang mampu bertanggung jawab.19

18
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994) h. 91.
19
Guse Prayudi, Hukum Pidana & Jaminan: Dalam Bentuk Tanya Jawab Disertai Dengan Dasar
Hukumnya (Yogyakarta: Tora Book: Mitra Setia, 2012), h 6.

10
11

2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Untuk menyatakan seorang pelaku tindak pidana memang bersalah karena


telah melakukan tindak pidana, maka kita harus mendalami unsur-unsur dalam pasal
dan tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku tindak pidana tersebut.

Lamintang memberikan pengertian bahwa tindak pidana yang ada pada


KUHP umumnya dapat dijelaskan unsur-unsurnya menjadi 2 (dua) macam, yaitu
unsur-unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur internal berkaitan
dengan dalam diri pelaku tindak pidana tersebut. Sedangkan unsur objektif
merupakan unsur eksternal berkaitan dengan alasan mengenai tindakan dari pelaku
yang telah dilakukan.20 Unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Tujuan (voornemen);
3. Macam-macam tujuan (oogmerk);
4. Perencanaan (voorbedachte raad);
5. Rasa takut.

Sedangkan unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar hukum (wederrechtelicjkheid);


2. Kualitas dari si pelaku;
3. Kausalitas dari si pelaku.
Berhubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, Prof. Moeljatno
memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidana itu sendiri, antara lain
yaitu :

1. Merupakan perbuatan manusia;

2. Dilarang dan diancam dengan pidana;

20
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1997), h.
193.
12

3. Bertentangan dengan undang-undang;

4. Dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan;

5. Dapat dipersalahkan kepada si pembuat.21

EY Kanter dan SR Sianturi juga turut memberikan pengertian terhadap unsur-


unsur tindak pidana, yaitu adalah:

1. Subjek;

2. Kesalahan;

3. Bersifat melawan hukum;

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh perundangan-


undangan dan pelanggarannya diancam dengan pidana;
5. Waktu, tempat, keadaan, dan unsur objektif lainnya.22
2.1.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana terdapat tiga pembagian utama terkait bab-bab di
dalamnya. Pada Buku 1 dikenal dengan Aturan Umum, Buku 2 dikenal dengan
Kejahatan (Misdrijven), dan Buku 2 dikenal dengan pelanggaran (overtredingen).
Dalam Hukum Pidana ada suatu pemilahan dan kategorisasi jenis-jenis dalam
tindak pidana antara lain :

a. Delik yang bersifat merugikan (krenkingsdelicten) dan delik yang


menimbulkan ancaman (gevaarzettingsdelicten);

b. Delik yang menimbulkan bahaya konkret dan abstrak;

c. Delik persiapan;

21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 122.
22
Ibid.
13

d. Kejahatan dan pelanggaran;

e. Delik materiil dan formil;

f. Delik umum dan khusus (delicta communia dan delicta propria);

g. Kejahatan umum dan politik;

h. Delik komisi dan omisi;

i. Delik berdiri sendiri dan lanjutan (zelfstandige en voortgezette


delicten);

j. Delik rampung dan berlanjut (aflopende en voortdurende delicten);

k. Delik tunggal dan gabungan (enkelvoudige en samengestelde


Delicten);

l. Delik sederhana dan yang terkualifikasi serta delik yang


dikhususkan.23

Menurut Yulies Tiena Masriani, tindak pidana dapat pula dibedakan


menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut:

1. Tindak pidana formil merupakan suatu tindak pidana yang telah


dilakukan dan perbuatan tersebut memang benar adanya melanggar
aturan-aturan yang telah diatur dalam perundang-undangan.
Contohnya adalah pencurian yaitu perbuatan yang sesuai dengan
Pasal 362 KUHP, yaitu mengambil barang milik orang lain untuk
dimiliki sendiri dengan melawan hukum.

2. Tindak pidana materiil merupakan suatu tindak pidana yang memang

23
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
(Jakarta: PT Utama, 2003), h 61-82.
14

dilarang dan menimbulkan dampak dan akibat dari perbuatan itu.


Contohnya adalah pembunuhan yaitu yang dimana matinya seseorang
yang merupakan akibat dari perbuatan orang lain tersebut.
3. Tindak pidana dolus merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan
dengan unsur kesengajaan. Contohnya adalah pembunuhan berencana
yang telah dirumuskan pada Pasal 338 KUHP.
4. Tindak pidana culpa merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan
karena tidak sengaja, dan juga karena kealpaannya mengakibatkan luka
atau matinya seseorang. Contohnya pada Pasal 359 KUHP tentang
kelalaian atau kealpaan.
5. Tindak pidana aduan merupakan suatu tindak pidana yang baru menjadi
suatu tindak pidana ketika mendapatkan aduan dari orang lain. Jadi,
sebelum ada pengaduan belum merupakan tindak pidana. Contohnya
Pada pasal 284 mengenai perzinaan.
6. Tindak pidana politik merupakan suatu tindak pidana yang ditujukan
kepada kedaulatan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Contohnya pada Pasal 107 mengenai pemberontakan akan penggulingan
pemerintahan sah. 24

2.2 Ekstradisi
2.2.1 Pengertian Ekstradisi
Kata “ekstradisi” berasal dari bahasa latin, yaitu “extradere” atau
penyerahan. Secara etimologis, kata ekstadisi berasal dari dua suku kata yaitu
“extra” dan “tradition”.25 Ekstradisi adalah sebuah konsep yang berbeda dengan
tradisi lama yang telah dipraktikan di antara bangsa-bangsa di dunia ini. Ekstradisi
tersebut merupakan kewajiban setiap negara untuk menjadi “asylum” (pelindung)

24
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004), h. 60.
25
Romli Atmasasmita, Hukum Tentang Ekstradisi (Jakarta: Fikahati Aneska, 2001), h. 1.
15

bagi pihak yang memohon perlindungan dan tradisi untuk menjaga kehormatan
(hospitality) sebagai negara (tuan rumah) atas pihak yang memohon perlindungan
tersebut.26
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 1
menyatakan bahwa ekstradisi adalah proses atau upaya penyerahan seorang
tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara lain karena negara
lain tersebut lebih berwenang untuk mengadili si tersangka atau pelaku.
Oppenheim juga mengemukakan bahwa ekstradisi adalah proses
diserahkannya orang yang disangka oleh suatu negara di wilayah mana ia berada,
kepada negara dimana ia disangka melakukan ataupun telah melakukan atau telah
dihukum karena perbuatan kejahatan yang ia lakukan. 27 Sementara itu, Starke juga
menyatakan bahwa ekstradisi menunjukan suatu proses di mana suatu negara
menyerahkan seseorang atas dasar permintaan negara lainnya, seorang yang
disangka karena kejahatan yang dilakukannya terhadap undang-undang negara
pemohon yang berewajiban untuk mengadili tersangka kejahatan tersebut. Biasanya
yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya adalah
negara peminta.28
Dari rumusan tersebut di atas, maka ekstradisi pada dasarnya memiliki dua
elemen mendasar yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, yaitu elemen
kerjasama antarnegara dan elemen penegakan hukum. Ekstradisi sebagai bentuk
kerjasama antarnegara dapat dilihat dari landasan pelaksanaan ekstradisi, yaitu
adanya perjanjian atau dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara
menghendakinya. Sementara itu, ekstradisi sebagai bagian dari upaya penegakan
hukum dapat disimpulkan dari tujuan dilaksanakannya ekstradisi tersebut, yaitu
untuk mengadili dan memidana seseorang karena disangka atau dipidana atas
kejahatan yang dilakukan dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta

26
Jan S. Maringka, Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 4.
27
Ibid.
28
J.G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F, Isjwara) (Bandung, 1972), h. 13.
16

penyerahan tersebut.29
2.2.2 Unsur-Unsur Ekstradisi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 1
menyatakan bahwa ekstradisi adalah proses atau upaya penyerahan seorang
tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara lain karena negara
lain tersebut lebih berwenang untuk mengadili si tersangka atau pelaku. Dari definisi
tersebut, maka unsur dalam ekstradisi menurut hukum Indonesia adalah sebagai
berikut:30

1. Negara yang meminta penyerahan.

2. Negara yang diminta untuk menyerahkan, yaitu negara tempat orang


tersebut diketahui atau diduga berada.
3. Tujuan penyerahan adalah untuk mengadili atau memidana orang
tersebut karena disangka atau dipidana melakukan suatu kejahatan di
luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah
negara yang meminta penyerahan tersebut.
Menurut Dr. Jan S. Maringka, pada arti sederhana unsur ekstradisi menurut
sistem hukum Indonesia meliputi antara lain: 31
1. Unsur negara, meliputi negara yang meminta penyerahan dan negara
yang diminra untuk menyerahkan seseorang. Hubungan antar kerdua
negara tersebut menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979
dibangun atas dasar suatu perjanjian yaitu perjanjian (“treaty”) yang
diadakan oleh Negara Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya
dilakukan dengan peraturan perundang-undangan.32
2. Unsur orang, menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

29
Jan S. Maringka, loc.cit.
30
Ibid, h. 59.
31
Ibid.
32
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, penjelasan pasal 2 ayat (1).
17

1979, orang yang dapat diekstradisikan ialah mereka yang diminta


karena disangka atau telah melakukan kejahatan atau untuk menjalani
pidana atau perintah penahanan. Pasal 3 ayat (2) memberikan perluasan
terhadap pengertian “disangka melakukan kejahatan” yaitu meliputi
juga orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena
melakkan pembantuan, percobaan, dan pemufakatan jahat untuk
melakukan kejahatan tersebut, sepanjang pembantuan, percobaan, dan
pemufakatan jahat, itu dapat dipidana menurut hukum Negara Republik
Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi.
3. Unsur tujuan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tujuan
penyerahan dalam esktradisi adalah untuk mengadili atau memidana
orang tersebut karena disangka atau dipidana melakukan suatu
kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam
yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1979 menganut prinsip bahwa tidak semua
kejahatan dapat diekstradisikan, melainkan kejahatan-kejahatan berat
yang secara khusus diatur dalam undang-undang maupun perjanjian
ekstradisi antar kedua negara.33
2.2.3 Prinsip-Prinsip Ekstradisi
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979, terdapat beberapa asas atau
prinsip yang telah diatur di dalamnya, antara lain:

1. Ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik (Pasal 5).

2. Permintaan ekstradisi ditolak, jika putusan yang dijatuhkan oleh


pengadilan telah inkracht (Pasal 10).
3. Permintaan ekstradisi ditolak, apabila orang yang dimintakan
ekstradisinya telah dihukum dan dibebaskan atau telah selesai menjalani

33
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, penjelasan pasal 4.
18

pidananya di negara lain mengenai kejahatan yang dimintakan


ekstradisinya (Pasal 11).
4. Permintaan ekstradisi ditolak, jika menurut hukum Indonesia hak untuk
menuntut atau melaksanakan putusan pidana telah kadaluwarsa (Pasal
12).
5. Permintaan ekstradisi ditolak, jika kejahatan yang dimintakan ekstradisi,
diancam dengan pidana mati menurut hukum negara peminta sedangkan
menurut hukum Indonesia kejahatan itu tidak diancam dengan pidana
mati atau pidana mati namun tidak selalu dilaksanakan, kecuali jika
negara peminta memberikan jaminan yang cukup meyakinkan, bahwa
pidana mati tidak akan dilaksanakan (Pasal 13).
6. Permintaan ekstradisi ditolak, jika menurut instansi yang berwenang
terdapat sangkaan yang cukup kuat, bahwa orang yang dimintakan
ekstradisinya akan dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain
karena alasan yang berkaitan dengan agamanya, keyakinan politiknya,
atau kewarganegaraanya, ataupun karena ia termasuk suku bangsa atau
golongan penduduk tertentu (Pasal 14).
7. Permintaan ekstradisi ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisi
akan dituntut, dipidana, atau ditahan karena melakukan kejahatan lain
daripada kejahatan yang karenanya ia dimintakan ekstradisinya, kecuali
atas izin presiden (Pasal 15).
8. Permintaan ekstradisi ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisinya
akan diserahkan kepada negara ketiga untuk kejahatan-kejahatan lain
yang dilakukan sebelum ia dimintakan ekstradisinya tersebut (Pasal 16).
2.2.4 Syarat-Syarat Ekstradisi
Dalam meminta suatu proses ekstradisi, supaya dapat meyakinkan dan
memberi bukti keseriusan kepada negara peminta, maka pengajuan permintaan
tersebut yang diajukan secara tersurat disertai dengan dokumen-dokumen yang
mendukung relevansi untuk memperkuatnya. Dokumen tersebut bisa terdiri dari
19

dokumen asli dokumen copy yang dilegalisasi oleh petinggi yang berwenang dari
negara peminta. Dokumen-dokumen tersebut antara lain sebagai berikut 34 :

a. Identitas lengkap dan jelas mengenai orang yang diminta, misalnya


nama sebenarnya dari orang yang diminta dan apabila ada, juga disertai
dengan nama samarannya atau alias, tempat dan tanggal lahir, umur,
identifikasi atas fisiknya seperti tinggi dan berat badan, warna kulit,
rambut, dan lain-lain, foto terakhir jika memang ada,
kewarganegaraannya, dan lain-lain yang dapat membantu memperjelas
pengidentifikasian atas diri orang yang diminta;

b. Kejahatan-kejahatan yang dituduhkan atau didakwakan kepada orang


yang diminta beserta dengan ketentuan-ketentuan hukum atau undang-
undang pidana yang berkenan dengan kejahatan tersebut yang dilanggar
oleh orang yang diminta dan dijadikan sebagai dasar suatu alasan untuk
meminta pengekstradisian yang semua harus diuraikan dengan sedetil-
detilnya;

c. Uraian tentang ketentuan-ketentuan hukum pidana yang menyatakan


bahwa kejahatan yang dilakukan tersebut telah memenuhi kualifikasi
sebagai tindak pidana;

d. Tempat dan waktu terjadinya kejahatan dan dapat disertai dengan detil
mengenai korban-korbannya;

e. Jika negara peminta telah mengeluarkan surat perintah penangkapan


atau penahanan atas diri orang yang diminta, surat perintah itupun harus
disertakan;

f. Permintaan dari negara peminta kepada negara diminta supaya

34
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 223
20

melakukan penangkapan dan penahanan orang yang diminta;

g. Jika orang yang berstatus sebagai terhukum, dokumen penting yang


harus disertakan adalah putusan badan peradilan nasional negara
peminta yang telah inkracht;

h. Jika negara peminta mengetahui dengan pasti tempat tinggal atau alamat
terakhir dari orang yang diminta itu di wilayah negara diminta, bisa juga
disebutkan dalam surat permintaan tersebut, demi memudahkan negara
diminta untuk mencari dan menangkapnya.

Dokumen-dokumen yang mengandung nilai sebagai alat bukti, seperti surat


menyurat antara orang yang diminta dengan pihak ketiga yang ada hubungannya
dengan kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta
pengekstradisiannya, dokumen-dokumen perbankan yang berhasil disita oleh aparat
yang berwenang dari negara peminta tentu tidak perlu disertakan. Akan tetapi
salinannya yang sudah dilegalisasi oleh aparat yang berwenang dari negara peminta
dapat juga disertakan meskipun bukan sebagai suatu keharusan. 35

Demikian juga alat-alat bukti yang berupa benda-benda berwujud seperti


senjata api, pisau, dan lain-lain yang dijadikan sebagai alat untuk melakukan
kejahatan ataupun alat-alat bukti lain yang berupa berwujud sebagai hasil dari
kejahatannya walaupun juga penting untuk mendukung permintaan negara peminta
sehingga tidak perlu disertakan dalam permintaan sebab sangat bernilai sebagai alat
bukti di depan peradilan negara peminta jika nantinya orang yang bersangkutan
diserahkan oleh negara diminta kepadanya. Jika alat-alat bukti tersebut disertakan,
dikhawatirkan kemungkinan ada yang hilang atau rusak selama dalam perjalanan
dari negara peminta ke negara diminta dan demikian pula sebaliknya. Kalau
dibutuhkan, sudah cukup berupa keterangan tertulis dari negara peminta mengenai

35
Ibid, h. 225.
21

alat-alat bukti yang berupa benda-benda nyata tersebut.36

Yang menjadi pokok dalam hal ini adalah semakin lengkap dan jelas
dokumen-dokumen pendukungnya, maka tentu saja semakin baik sebab semakin
memudahkan negara diminta dalam mencari dan mengidentifikasi orang yang
bersangkutan. Jika negara peminta dan negara diminta menggunakan bahasa
nasionalnya masing-masing yang tidak sama, semua dokumen di atas harus
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang sudah
pasti dipahami oleh kedua belah pihak ataupun akan lebih baik jika diterjemahkan
ke dalam bahasa nasional dari negara diminta. 37

2.3 Asas Resiprositas


2.3.1 Pengertian Asas
Terdapat dua pengertian dari kata “asas” menurut bahasa. Arti asas yang
pertama adalah dasar, alas, serta fundamen. Sedangkan arti asas yang kedua adalah
suatu kebenaran yang bersifat pokok dasar atau tumpuan berpikir ataupun
berpendapat.38

Secara luas, asas ialah suatu dalil yang bersifat umum tanpa menyarankan
cara yang bersifat khusus berkaitan dengan prosedurnya yang telah ditetapkan pada
sederajat perilaku yang menjadi pedoman untuk hal yang tepat bagi perilaku itu,
atau anggapan dan pertimbangan dasar yang menjadi pokok perilaku
kemasyarakatan 39.
2.3.2 Pengertian Resiprositas
Secara bahasa, istilah resiprositas berasal dari bahasa Inggris “reciprocity”
yang berarti hubungan timbal balik yang saling berhubungan satu sama lain baik

36
Ibid.
37
Ibid.
38
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 60-61.
39
Bruggink, Refleksi tentang Ilmu Hukum (Bandung: Citra Adytya Bakti, 1999), h. 132.
22

individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan


kelompok dalam masyarakat. Resiprositas sendiri memiliki banyak arti tergantung
dari bidang yang menaunginya. Dalam sosiologi misal, resiprositas berarti adalah
pertukaran barang/jasa yang bernilai sama, dalam politik, resiprositas berarti suatu
persetujuan untuk saling memberi dan juga menerima, dan dalam ilmu pengetahuan
sosial, resiprositas berarti pertukaran timbal balik barang/jasa diprediksi bernilai
sama.
2.3.3 Pengertian Asas Resiprositas
Asas resiprositas merupakan asas yang berintikan bahwa baik tindakan yang
bersifat negatif ataupun positif, suatu negara dapat membalas setimpal tindakan
tersebut terhadap negara lain.40 Asas resiprositas merupakan asas utama dalam suatu
perjanjian bantuan timbal balik. Bantuan timbal balik dibentuk karena
dilatarbelakangi adanya kerjasama antar negara yang belum ada landasan
hukumnya, meskipun sebelumnya sudah dikenal dengan lembaga ekstradisi.

Sampai saat ini Indonesia telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan


beberapa negara yang sudah diundangkan antara lain: 41

a. Indonesia dengan Malaysia diatur dalam UU No. 9 Tahun 1974.


b. Indonesia dengan Philippina diatur dalam UU No. 10 Tahun 1976.
c. Indonesia dengan Thailand diatur dalam UU No. 2 Tahun 1978.
d. Indonesia dengan Australia diatur dalam UU No. 8 Tahun 1994.
e. Indonesia dengan Korea diatur dalam UU No. 42 Tahun 2007.
f. Indonesia dengan India diatur dalam UU No. 13 Tahun 2014.
g. Indonesia dengan Vietnam diatur dalam UU No. 5 Tahun 2015.

h. Indonesia dengan Papua Nugini diatur dalam UU No. 6 Tahun 2015.

40
Wagiman Anasthasya Saartje Mandagi, Terminologi Hukum International (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), h. 50.
41
Wenny Megawati, Legalitas Perjanjian Ekstradisi yang Dilakukan Indonesia terhadap Negara-
Negara yang Melakukan Kerjasama (Semarang: Universitas Stikubang, 2019) h. 77.
23

i. Indonesia dengan China diatur dalam UU No. 13 Tahun 2017.

j. Indonesia dengan Uni Emirat Arab diatur dalam UU No 1 Tahun 2019.

k. Indonesia dengan Singapura, pada tanggal 27 April 2007.


Sedangkan perjanjian bantuan timbal balik sangatlah diperlukan bagi negara
yang belum memiliki perjanjian ekstradisi untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan pidana, karena dengan bantuan timbal balik, dapat dilakukannya
proses ekstradisi pelaku kejahatan dari negara peminta dan negara yang
menyerahkan. Sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2006 yang menerbitkan undang-
undang untuk mengatur tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, yang
bertujuan memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam
meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan juga
sebagai pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana dengan negara asing. 42 Masalah dasar yang terkandung dalam fungsionalisasi
hukum pidana terhadap permasalahan tindak pidana di luar teritorial Indonesia,
diperlukan kesiapan sarana peraturan perundang-undangan pidana positif untuk
dapat menjangkau tindak pidana di luar teritorial Indonesia dan yurisdiksi
pengadilan di Indonesia haruslah memiliki kewenangan untuk memperluas
yurisdiksi kriminalnya. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka hal tersebut akan
berdampak pada dapat terjangkaunya tindak pidana yang sedang terjadi. 43

2.3.4. Jenis-Jenis Resiprositas

Menurut Sahlins, terdapat tiga macam resiprositas, yaitu resiprositas umum


(generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity), dan
resiprositas negatif (negative reciprocity). Lalu Swartz dan Jordan (1976:490)

42
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 150.
43
Ibid, h.11.
24

menambahkan jenis resiprositas baru yaitu resiprositas simbolik (simbolic


reciprocity). Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis-jenis resiprositas tersebut
berhubungan dengan pola-pola organisasi sosial, ukuran kekayaan, dan hasil yang
ditukarkan. Terkait hal tersebut, berikut penjelasan dari setiap jenis-jenis
resiprositas:44

a. Resiprositas umum, memiliki arti bahwa setiap negara memberikan hasil


kerja sama atas dasar hubungan timbal balik tanpa menentukan batas
waktu kepada negara lain untuk melakukan perlakuan yang sama. Dalam
resiprositas ini, masing-masing pihak percaya bahwa mereka akan saling
memberi, dan percaya bahwa perlakuan baik yang diberikan akan dibalas
entah kapan. Resiprositas ini tidak disertai pamrih, tetapi kedua belah
pihak berbekal moral bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan.
b. Resiprositas sebanding, memiliki arti bahwa resiprositas ini
menghendaki hasil atau perlakuan yang sebanding dari negara lain. Ciri-
ciri resiprositas ini adalah ditujunkannya dengan adanya norma-norma
atau aturan-aturan atau sanksi-sanksi sosial karena apabila suatu negara
melanggar perjanjian resiprositas maka akan mendapatkan hukuman atau
tekanan moral dari negara lain.
c. Resiprositas negatif, memiliki arti bahwa resiprositas ini menimbulkan
sebuah kerugian kepada pihak lain sehingga mengakibatkan adanya
perbedaan dalam hubungan atau pertukaran timbal balik.
d. Resiprositas simbolik, memiliki arti bahwa salah satu bentuk resiprositas
dalam hal memberi dan menerima sebagai adat kebiasaan untuk menjalin
hubungan kerja sama semata tanpa mempunyai makna yang dekat
dengan usaha memenuhi kebutuhan suatu negara.

44
Bambang Hudayana, Konsep Resiprositas dalam Antropologi Ekonomi, Universitas Gadjah Mada,
Vol. 1, No. 3, 1991, h. 24.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Asas Resiprositas Dapat Menjadi Alasan Untuk Pengembalian Tersangka


Dari Luar Negeri Yang Tidak Memilki Perjanjian Ekstradisi
Sebelumnya
Dalam memahami konteks asas resiprositas dapat menjadi alasan untuk
pengembalian tersangka dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian ekstradisi
sebelumnya, yakni mengetahui terlebih dahulu apakah itu asas resiprositas dan
apakah itu perjanjian ekstradisi. Disini penulis memulai dengan membahas tentang
asas resiprositas, yang dibagi lagi menjadi beberapa pembahasan. Yakni,
pembahasan mengenai pengertian, regulasi, konsep, dan prosedur asas
resiprositas/bantuan timbal balik. Setelah itu penulis akan melanjutkan dengan
membahas tentang ekstradisi, yang dibagi lagi menjadi beberapa pembahasan.
Yakni, pembahasan mengenai pengertian dan regulasi, konsep, dan prosedur
ekstradisi. Kemudian penulis akan melanjutkan dengan membahas keterkaitan atau
korelasi antara asas resiprositas dan ekstradisi untuk kemudian dikaji sebagai
jawaban atas rumusan masalah diatas. Sehingga dari penjelasan-penjelasan di atas
penulis dapat memberikan gambaran sebagai petunjuk untuk mengetahui apakah
asas resiprositas dapat menjadi alasan untuk pengembalian tersangka dari luar negeri
yang tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya.

3.1.1 Asas Resiprositas dan Konsep Bantuan Timbal Balik

Di bidang perjanjian antarnegara, masih dibutuhkan kesepahaman tentang

25
26

perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan timbal balik di bidang pidana. 45 Sampai
saat ini Indonesia telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara
yang sudah diundangkan antara lain: 46

a. Indonesia dengan Malaysia diatur dalam UU No. 9 Tahun 1974.


b. Indonesia dengan Philippina diatur dalam UU No. 10 Tahun 1976.
c. Indonesia dengan Thailand diatur dalam UU No. 2 Tahun 1978.
d. Indonesia dengan Australia diatur dalam UU No. 8 Tahun 1994.
e. Indonesia dengan Korea diatur dalam UU No. 42 Tahun 2007.
f. Indonesia dengan India diatur dalam UU No. 13 Tahun 2014.
g. Indonesia dengan Vietnam diatur dalam UU No. 5 Tahun 2015.
h. Indonesia dengan Papua Nugini diatur dalam UU No. 6 Tahun 2015.
i. Indonesia dengan China diatur dalam UU No. 13 Tahun 2017.
j. Indonesia dengan Uni Emirat Arab diatur dalam UU No 1 Tahun 2019.
k. Indonesia dengan Singapura, pada tanggal 27 April 2007.
Upaya untuk mengembangkan perjanjian ekstradisi tidaklah mudah, karena
terbentur dengan masalah kepentingan masing-masing negara, seperti asas teritorial
dari masing-masing negara, sistem hukum dari masing-masing negara, dan
kecepatan penegak hukum dari masing-masing negara itu sendiri. Asas teritorial
berguna untuk menentukan tempat berlakunya peraturan pidana, maka hal mendasar
yang harus dijadikan sebagai landasan ialah menentukan batas-batas teritorial
berlakunya hukum pidana. Asas teritorial terdapat dalam rumusan pasal 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan: “Aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan
pidana di dalam (wilayah/teritorial) Indonesia.” Titik berat asas teritorial ini adalah
pada tempat atau teritorial atau wilayah terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini

45
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 149.
46
Wenny Megawati, Legalitas Perjanjian Ekstradisi yang Dilakukan Indonesia terhadap Negara-
Negara yang Melakukan Kerjasama (Semarang: Universitas Stikubang, 2019) h. 77.
27

menitikberatkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah atau teritorial negara,


dengan mengesampingkan siapa yang melakukannya. Dengan rumusan setiap orang,
maka mengandung pengertian siapa saja, baik warga negara Indonesia sendiri
maupun warga negara asing.47 Adapun menentukan batas-batas teritorial tersebut,
ditentukan melalui asas hukum yang menjadi landasan berlakunya peraturan hukum
konkret. Oleh karena itu asas resiprositas sangatlah diperlukan bagi negara-negara
yang berkepentingan yang belum memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya.

Pengembalian pelaku tindak pidana ke negara “asal” disini memiliki maksud


yaitu mengembalikan ke pelaku ke tempat dimana ia melakukan suatu tindak pidana
agar diadili di pengadilan yang berwenang sesuai loctus delecti-nya.

Tindak pidana transnasional berdampak dengan munculnya konflik atau isu


hukum suatu negara dengan negara lain yang membutuhkan solusi dengan
mengandalkan hubungan baik berdasarkan hukum di negara yang bersangkutan
tersebut. Penggunaan asas resiprositas dalam ekstradisi bukanlah merupakan upaya
satu-satunya yang mengandalkan hubungan timbal balik antar negara yang
bersangkutan. Terdapat satu upaya lain yang mengandalkan hubungan timbal balik
antar negara yang bersangkutan, namun kali ini penggunaannya difokuskan untuk
kepentingan seputar litigasi, upaya tersebut lebih dikenal dengan istilah “Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana”. Pengaturan bantuan timbal balik dalam
masalah pidana yang selama ini telah dilaksanakan memalui media International
Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol.48

Dengan adanya bantuan timbal balik, masalah pidana ini masih mungkin
dilakukannya penyerahan pelaku kejahatan dari negara peminta dan negara yang
menyerahkan, karena bantuan timbal balik memberikan bantuan kerja sama pula

47
Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Jurnal
RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 6, No. 1, 2017, h. 23.
48
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h .150.
28

dalam penyerahan pelaku kejahatan atas dasar permintaan. Bagi negara yang belum
memiliki perjanjian ekstradisi, perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana atau lebih dikenal dengan Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
(MLA). Prinsip MLA ini ialah dengan menggunakan asas resiprositas yang dimana
masing-masing negara memberikan bantuan kerja sama dalam penyerahan pelaku
kejahatan transnasional atas dasar permintaan. Menurut Siswanto Sunarso, MLA
adalah suatu perjanjian yang bertumpu pada permintaan bantuan yang berkaitan
dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang
pengadilan, dan lain-lain, dari negara diminta dengan negara peminta. 49 Selain itu
MLA juga dapat menjadi perjanjian bantuan hukum antara dua negara asing untuk
tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.

Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi


orang, tempat dan sesuatu, transfer kustodi, dan memberikan bantuan dengan
immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah
satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan,
atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak dihukum sama di kedua
negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi
warga negara di negara-negara lain. Objek MLA antara lain, pengambilan dan
pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi
lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti
dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan,
mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau
membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA. 50

Dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah


pidana dan dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana
dengan negara lain, Pemerintah Indonesia melakukannya berdasarkan hukum pada

49
Ibid, h. 133.
50
Ibid.
29

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam


Masalah Pidana. Bantuan timbal balik merupakan permintaan bantuan yang
berkaitan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta.
Lingkup bantuannya meliputi antara lain sebagai berikut:51
a. mencari dan menemukan orang;
b. mencari pernyataan atau bentuk lainnya;
c. menginformasikan dokumen atau bentuk lainnya;
d. mengatur kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu
penyidikan;
e. memberikan surat;
f. melakukan penggeledahan dan penyitaan;
g. menyita hasil tindak pidana;
h. mengumpulkan sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak
pidana;
i. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan
atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda
yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana;
j. mengidentifikasi kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan
dengan tindak pidana; dan/atau
k. bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pada UU No 1 Tahun 2006, dijelaskan mengenai berbagai jenis bantuan
yang dapat diminta Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut:52
a. Bantuan Timbal Balik yang mana Indonesia sebagai Negara Peminta
Menkumham dalam pengajuan permintaan bantuan, diajukan secara

51
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, pasal
3 ayat (2).
52
Siswanto Sunarso, op.cit, h. 152.
30

langsung atau melalui jalur diplomatik. Permintaan ini didasarkan atas


permohonan dari Kapolri, Jaksa Agumg, atau Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam hal tindak pidana korupsi. Pengajuan permintaan bantuannya
meliputi :
(i) Persyaratan pengajuan permohonan;
(ii) Mencari dan menemukan orang;
(iii) Memperoleh alat bukti;
(iv) Mengusahakan kehadiran orang yang bersangkutan di Indonesia;
(v) Meminta surat perintah di negara lain dalam memperoleh alat
bukti;
(vi) Menyampaikan surat;
(vii) Memproses putusan pengadilan;
(viii) Limitasi pernyataan dokumen dan alat bukti;
(ix) Transit.

Pengajuan permintaan bantuan memang harus memenuhi syarat-


syarat seperti identitas instusi yang meminta, pokok permasalahan,
rangkuman fakta hukumnya, ketentuan peraturan hukum yang terkait, detil
dan rincian tentang bantuan dan prosedur khusus, serta tujuan diadakannya
bantuan, dan juga syarat-syarat lainnya yang ditentukan oleh negara
peminta. 53 Bantuan untuk mencari dan menemukan orang yang disangka
berada di negara lain yang diyakini memiliki keterlibatan atau dapat
memberikan bantuan guna memperoleh alat bukti yang ada kaitannya dengan
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan permintaan
kepada negara lain tersebut dengan mengusahakan perolehan pernyataan
negara lain atau proses penyerahan dokumen atau alat bukti lain yang berada

53
Ibid.
31

di negara lain tersebut.54

Bantuan untuk mengusahakan kehadiran orang di Indonesia guna


kepentingan pemberian keterangan, penyerahan dokumen atau alat bukti
lain, juga untuk memberikan kesaksian. Namun jika orang yang dimintakan
kehadiran tersebut berstatus sebagai tahanan dan bersedia atas kehendak
sendiri untuk memberikan kesaksian dan atas permintaan negara lain bahwa
orang tersebut ditempatkan dalam tahanan, maka orang tersebut ditempatkan
dalam tahanan selama di Indonesia pula dan selama dalam perjalanan dari
atau ke Indonesia sekalipun. Hal ini bertujuan untuk kepentingan membawa
orang tersebut ke Indonesia, melakukan penahanan tersebut selama berada di
Indonesia, dan mengembalikan orang tersebut ke negara asalnya. 55

Bantuan untuk permintaan dikeluarkannya surat perintah di negara


lain, terdiri dari pemblokiran, penggeledahan, penyitaan, atau lainnyaa yang
diperlukan sesuai dengan ketentutan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Bantuan untuk penyerahan surat tersebut berhubungan
dengan proses penyelesaian penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan. Hal ini juga termasuk akan permintaan untuk
menindaklanjuti putusan pengadilan yang telah inkracht.56

b. Bantuan Timbal Balik yang mana Indonesia sebagai Negara Diminta


Permintaan bantuannya meliputi antara lain;
(i) Pengajuan permintaan bantuan;
(ii) Mencari dan menemukan orang;
(iii) Memperoleh pernyataan, dokumen, dan alat bukti lain;
(iv) Mengusahakan kehadiran orang di negara lain
(v) Untuk kepentingan transit bagi pelaku;

54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid, h. 153.
32

(vi) Meggeledah dan menyita barang, benda, atau harta kekayaan;


(vii) Menyampaikan surat;
(viii) Masalah pendanaan.

Terkait hal tersebut, bantuan timbal balik dapat juga ditolak apabila
permohonan yang diajukan bertentangan dengan aturan hukum yang diatur oleh
negara diminta. Namun, sebelum menolak pemberian bantuan timbal balik, menteri
haruslah mempertimbangkan persetujuan pemberian bantuan dengan tata cara atau
syarat khusus yang dikehendaki untuk dipenuhi. Pada persyaratan pengajuan
permintaan bantuan haruslah memuat mengenai identitas, inti permasalahan,
rangkuman fakta hukum, peraturan perundang-undanan, detil mengenai bantuan dan
prosedur khusus, dan tujuan bantuan, serta syara-syarat lain yang ditentukan oleh
negara diminta.

Sayangnya, bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini tidak


memberikan aturan pasti untuk melaksanakan sebuah proses ekstradisi atau
penyerahan orang, melakukan penangkapan atau penahanan, serta pengalihan
narapidana atau pengalihan perkara. Oleh karena itu perjanjian sangatlah berperan
penting dalam memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini.
Perjanjian internasional sendiri memiliki makna sebagai kata sepakat dari dua atau
lebih subyek hukum internasional terhadap suatu objek dengan tujuan tertentu yang
melahirkan hak serta kewajiban dan dalam hukum internasional mengaturnya.57
Apabila belum ada perjanjian, maka bantuan ini dapat juga dilakukan atas dasar
hubungan baik dari negara bersangkutan yang atau lebih dikenal dengan asas
resiprositas

Asas resiprositas sangatlah penting bagi para pihak dengan berpedoman pada
perjanjian untuk memberikan hak dan kewajiban secara adil dan setimpal sebagai

57
I Wayan Parthiana, Hukuman Perjanjian Internasional: Bagian 1 (Bandung: Mandara Maju, 2002)
h. 12.
33

dasar kesepakatan yang telah disepakati. Pada hakikatnya, penggunaan asas


resiprositas oleh Indonesia merupakan cerminan nilai-nilai hukum internasional
universal, mengingat asas resiprositas ini memang diakui keberadaannya oleh
seluruh negara di dunia. Selain menjadi prinsip kedaulatan dari suatu negara dan
hukum dari negara tersebut, asas resiprositas juga menjadi dasar penerapan kerja
sama internasional antar negara dalam penerapan yurisdiksi.

3.1.2 Ekstradisi dan Konsep Ekstradisi


Mengenai ekstradisi itu sendiri, Indonesia telah mengatur peraturan
perundang-undangan mengenai ekstradisi yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Pada undang-undang tersebut, tepatnya
pada pasal 1 menyatakan bahwa ekstradisi adalah proses atau upaya penyerahan
seorang tersangka atau pelaku pidana oleh suatu negara kepada negara lain karena
negara lain tersebut lebih berwenang untuk mengadili si tersangka atau pelaku.
Sementara itu, Starke juga menyatakan bahwa ekstradisi menunjukan suatu proses di
mana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh
karena criminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang
berwenang untnuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan yang
berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya dalam wilayah
yang diserahkan. 58

Sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi disahkan,


terdapat perubahan fundamental dalam hukum acara pidana di Indonesia, yaitu
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (lebih dikenal dengan istilah KUHAP) dan diratifikasinya Konvenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convention on Civil
and Political Rights, disingkat ICCPR) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12

58
J.G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F, Isjwara) (Bandung, 1972) h. 13.
34

Tahun 2005.59 Hal tersebutlah yang mewajibkan Indonesia untuk segera


menyesuaikan ketentuan hukum positif sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur
dalam ICCPR tersebut.

Dengan berlakunya KUHAP dan diratifikasikannya ICCPR tersebut


menunjukan komitmen bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi penghormatan
akan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Dalam konteks tersebut,
maka tujuan penegakan hukum bukan saja semata-mata untuk menghukum para
pelaku kejahatan, namun harus diimbangi dengan procedural safeguards agaisn’t
the arbitary conduct of the state sebagai perlindungan terhadap hak-hak individu
dari tersangka ataupun terdakwa yang terlibat di dalamnya dari bentuk kesewenang-
wenangnya negara, yaitu antara lain diwujudkannya melalui proses hukum yang adil
(due process of law), serta pembatasan jangka waktu penahanan yang dapat
dilakukan oleh negara. 60 Dari berbagai uraian di atas, maka ekstradisi dapat
dijabarkan dalam beberapa unsur dasar, yaitu sebagai berikut:61

a. Subjek Hukum
Dilihat dari unsur subjek hukumnya, yaitu sbjek-subjek
hukum yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi, terdiri atas:
(i) Negara peminta sebagai negara yang berkepentingan untuk
mengadili atau menghukumnya.
(ii) Negara diminta sebagai negara tempat si pelaku kejahatan itu
berada.
b. Objek Hukum
Unsur objek hukumnya, seabgai orang yang diminta, boleh jadi

59
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), UU No. 12 Tahyn 2005,
LN No. 119 Tahyn 2005, TLN No. 4558.
60
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (Jakarta: Sinar Grafika,2002), h. 4.
61
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 39.
35

berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa ataupun sebagai


terhukum. Dalam hubungan ini kedudukannya adalah sebagai objek atau
sasaran dari permintaan negara peminta kepada negara yang dimintai
ekstradisi maupun sebagai objek dari pengekstradisian atas dirinya oleh
negara diminta kepada negara peminta, apabila permintaan negara
peminta itu dikabulkan oleh negara yang dimintai ekstradisi. Secara
singkat orang ini disebut sebagai “orang yang diminta” (the requested
person).
c. Tata Cara/Prosedur
Unsur tata cara atau prosedur meliputi tata cara untuk
mengajukan permitaan dengan segala persyaratannya, tata cara untuk
memberitahukan apakah permintaan itu dikabulkan ataukah ditolak,
dan jika dikabulkan selanjutnya adalah tata cara untuk menyerahkan
orang yang diminta. Dengan demikian ada suatu prosedur atau tata cara
formalitas tertentu yang harus dipenuhi atau diikuti oleh kedua piha.
Itulah sebabnya permintaan ataupun penyerahan lazim disebut
permintaan ataupun penyerahan yang dilakukan secara formal. Terkait
hal tersebut prosedurnya dilakukan dengan cara dibawah ini:
a. Saluran diplomatik;
b. Inisiatif dilakukan oleh negara yang memiliki yurisidiksi terhadap
pelaku kejahatan;
c. Negara tempat pelaku kejahatan berada dilarang melakukan
penangkapan sepanjang keberadaan pelaku di negara tersebut
tidak menggangu kepentingan nasional ataupun melanggar
hukum;
d. Masalah ekstradisi baru muncul apabila ada permohonan dari
negara peminta secara formal.
d. Maksud dan Tujuan
Unsur maksud dan tujuan, di mana permintaan negara peminta
36

ataupun penyerahan oleh negara yang dimintai ekstradisi atas diri orang
yang diminta adalah dengan maksud dan tujuan untuk mengadilinya atas
kejahatan yang telah dilakukan yang menjadi yurisdiksi dari negara
peminta, atau jika sudah berstatus sebagai terhukum dengan maksud dan
tujuan untuk pelaksanaan hukuman atau sisa hukumannya di negara
peminta. Jika hal itu sudah berhasil dilakukan berarti maksud dan tujuan
dari ekstradisi itu sudah tercapai.
e. Dasar atau Landasan
Unsur dasar atau landasan yaitu dapat seperti perjanjian
ekstradsi yang sudah ada sebelumnya antara kedua pihak atau jika
perjanjian ekstadisi itu tidak atau belum ada, sepanjang para pihk
bersedia dapat juga didasarkan atas hubungan baik secara timbal balik.
Apabila para pihak sebelumnya telah terikat pada suatu perjanjian
ekstradisi ternyata pada suatu waktu menghadapi kasus ekstradisi,
penyelesaiannya masalahnnya haruslah berdasarkan pada perjanjian
tersebut. Sebaliknya jika para pihak belum terikat pada perjanjian
ekstradisi dan menghadapi kasus ekstradisi jika para pihak menyetujui
bahwa prosesnya nanti akan didasarkan pada hubungan baik atau hukum
tidak tertulis tentang ekstradisi.

Terkait hal tersebut, menurut Dr. Jan S. Maringka, pada arti sederhana unsur
ekstradisi menurut sistem hukum Indonesia meliputi antara lain: 62

a. Unsur negara, meliputi negara yang meminta penyerahan dan negara yang
diminra untuk menyerahkan seseorang. Hubungan antar kerdua negara
tersebut menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 dibangun
atas dasar suatu perjanjian yaitu perjanjian (“treaty”) yang diadakan oleh
Negara Republik Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan

62
Jan S. Maringka, Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h. 59
37

dengan undang-undang.22
b. Unsur orang, menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1979, orang yang dapat diekstradisikan ialah mereka yang oleh yang
berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan
atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.
c. Unsur tujuan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tujuan penyerahan
dalam esktradisi adalah untuk mengadili atau memidana orang tersebut
karena disangka atau dipidana melakukan suatu kejahatan. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1979 menganut prinsip bahwa tidak semua kejahatan dapat
diekstradisikan, melainkan kejahatan-kejahatan berat yang secara khusus
diatur dalam undang-undang maupun perjanjian ekstradisi antar kedua
negara. 63
Dalam pelaksanannya, ekstradisi memiliki beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh negara peminta, antara lain sebagai berikut:
a. Surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran
diplomatik kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia untuk diteruskan
kepada Presiden.
b. Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk
menjalani pidana harus disertai:
a. Lembaran asli dari putusan pengadilan yang sudah inkracht;
b. Keterangan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan
orang yang dimintakan ekstradisinya;
c. Lembaran asli dari surat perintah penahanan yang dikelurkan oleh
pejabat yang berwenang dari negara peminta.
c. Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahatan
harus disertai:

63
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, penjelasan pasal 4.
38

a. Surat perintah penahanan dari negara peminta;


b. Detail dari kejahatan yang diminta;
c. Penjelasan mengenai ketentuan hukum negara peminta yang
dilanggar;
d. Keterangan saksi;
e. Keterangan lain guna menentukan identitas dan kewarganegaraan
orang yang bersangkutan;
f. Permohonan penyitaan barang-barang bukti.
Mencermati mekanisme pelaksanaan ekstradisi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 dalam kapasitas Indonesia sebagai negara
yang dimintai ekstradisi, maka pada proses pelaksanaan ekstradisi dapat dibagi
dalam beberapa tahapan yaitu pra permintaan ekstradisi, permintaan ekstradisi,
pemeriksaan ekstradisi, persetujuan ekstradisi, dan penyerahan ekstradisi. Masing-
masing dari tahapan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 64
a. Tahap Pra Permintaan Ekstradisi
Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979, Kapolri ataupun
Jaksa Agung dapat memerintahakan penahanan yang dimintakan oleh negara
lain atas dasar alasan yang mendesak jika penahanan itu tidak bertentangan
dengan hukum Negara Republik Indonesia sebelum diterimanya permintaan
ekstradisi dari sebuah negara, dengan ketentuan bahwa dokumen permintaan
ekstradisi sudah tersedia dan bahwa negara tersebut segera dalam waktu
dekat akan menyampaikan permintaan ekstradisi. Selanjutnya, menurut Pasal
19, setelah menerima permintaan penahanan yang disampaikan oleh pejabat
yang berwenang dari negara peminta yang disampaikan melalui Interpol
Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau
telegram. Kapolri atau Jaka Agung dapat mengeluarkan surat perintah untuk
menangkap dan atau menahan orang yang bersangkutan berdasarkan

64
Jan S. Maringka, op,cit, h. 72.
39

ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Dalam Hukum


Acara Pidana Indonesia sendiri dinyatakan bahwa mereka yang melakukan
kejahatan yang dapat diekstradisikan dapat dilakukan penahanan, dengan
ketentuan orang tersebut dibebaskan jika dalam waktu yang dianggap cukup
sejak tanggal penahanan.
b. Tahap Permintaan Ekstradisi
Menurut Pasal 22, surat permintan harus diajukan secara tertulis melalui
saluran diplomatik kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia untuk
diteruskan kepada Presiden. Namun merujuk pada Pasal 23, jika menurut
pertimbangan Menteri Kehakiman surat yang diserahkan tersebut tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan dalam perjanjian, maka pejabat negara
peminta diberikan kesempatan untuk melengkapi surat-surat tersebut dalam
jangka waktu yang dipandang cukup oleh Menteri Kehakiman Republik
Indonesia. Setelah syarat-syarat dan surat-surat terpenuhi, Menteri
Kehakiman mengirimkan surat permintaan ekstradisi beserta surat
lampirannya kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan. Setelah
menerima permintaan dari negara peminta dan pertimbangan dari Menteri
Luar Negeri, Menteri Kehakiman akan melaporkan kepada Presiden dan
setelah mendengar saran serta pertimbangan dari Menteri Luar Negeri dan
Menteri Kehakiman, Presiden dapat memutuskan untuk menyetujui atau
tidak menyetujui permintaan tersebut. Dalam hal tersebut, maka Presiden
akan memerintahkan Menteri Kehakiman untuk memproses lebih lanjut. Jika
permintaan ekstradisi tidak disetujui, maka Presiden akan memerintahkan
Menteri Kehakiman untuk diteruskan kepada Menteri Luar Negeri untuk
menginfokan hal tersebut kepada negara peminta.
c. Tahap Pemeriksaan Ekstradisi
Setelah surat-surat dan syarat-syarat permintaan ekstradisi terpenuhi, maka
Menteri Kehakiman akan mengirimkan surat permintaan ekstradisi dengan
40

lampiran-lampiran di dalamnya untuk mengadakan pemeriksaan kepada


Kapolri dan Jaksa Agung. Perkara-perkara ekstradisi termasuk perkara yang
didahulukan jika merujuk pada Pasal 28. Pada Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1979 dikatakan bahwa penetapan pengadilan pada perkara ekstradisi
memiliki kekuatan eksekutorial, yang dimana kekuatan eksekutorial adalah
kekuatan yang bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan. Namun yang perlu
diingat adalah penetapan pengadilan tersebut hanya digunakan sebagai salah
satu pertimbangan Presiden untuk memberikan persetujuan atau menolak
perkara ekstradisi.
d. Tahap Persetujuan Ekstradisi
Dalam sistem hukum Indonesia, keputusan tentang permintaan ekstradisi
bukan merupakan keputusan badan judikatif melainkan merupakan
keputusan eksekutif. Jadi penetapan pengadilan hanyalah sebatas sebagai
bahan pertimbangan Presiden untuk memutuskan memberikan atau tidak
memberikan persetujuan permintaan ekstradisi yang diajukan oleh negara
lain. Setelah menerima penetapan pengadilan, maka Presiden memutuskan
dapat atau tidaknya seseorang diekstradisikan. Keputusan presiden ini akan
diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada negara yang bersangkutan
melalui alur diplomatik.
e. Tahap Penyerahan Ekstradisi
Menurut Pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 dikatakan bahwa
jika permintaan ekstradisi disetujui, maka orang yang dimintakan ekstradisi
harus segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang dari negara peminta
sesuai dengan tempat dan waktu yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman. Namun jika orang yang dimintakan ekstradisi tidak diambil
pada watku yang ditentukan, maka orang tersebut dapat dilepaskan sesudah
lampau 15 hari dan akan wajib dilepaskan jika sesudah lampau 30 hari.
Asas resiprositas merupakan salah satu asas yang dianut dalam asas
ekstradisi. Jika suatu negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari negara
41

lain, maka negara tersebut juga harus memberi perlakuan yang baik terhadap negara
yang bersangkutan. Dalam konteks ekstradisi, jika kita mengharapkan negara lain
akan menyerahkan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diminta untuk diproses
atau dieksekusi menurut hukum nasional negara kita, maka harus ada jaminan yang
seimbang bahwa negara kita pada suatu saat akan diminta oleh negara tersebut untuk
menyerahkan tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk diproses atau dieksekusi
menurut hukum nasional negara tersebut.65 Jadi baik tanpa perjanjian maupun tidak,
asas resiprositas tetap dianut dalam perjanjian ekstradisi karena memang ekstradisi
dapat lahir karena adanya hubungan baik kedua pihak negara bersangkutan. Selain
ekstradisi sendiri, asas resiprositas juga memunculkan jenis-jenis kerja sama lain,
seperti kerja sama dalam bidang ekonomi (ekspor-impor), kerja sama dalam bidang
kebudayaan, dll.
Jika sebuah negara telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain
namun negara tersebut memilih untuk melaksanakan proses ekstradisi dengan tanpa
perjanjian maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber dari hukum
internasional sehingga perjanjian yang telah dibuat antar negara yang
berkepentingan haruslah diutamakan sebagaimana tujuan dibuatnya perjanjian
tersebut. Pada penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam ayat ini,
ialah perjanjian ("treaty") yang diadakan oleh Negara Republik Indonesia dengan
negara lain dan yang ratifikasinya dilakukan dengan Undang-undang.”. Dari
penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian internasional yang telah
dibuat oleh negara yang bersangkutan akan diratifikasi oleh Undang-Undang
sehingga memiliki kekuatan hukum dan setiap negara yang bersangkutan di
dalamnya berkewajiban melaksanakan kepentingan hukum sesuai pada perjanjian
tersebut.

65
Wildani Angkasari, Tinjauan Yuridis Perjanjian Ekstradisi Terhadap Kejahatan Ekonomi Dalam
Kepentingan Nasional Indonesia, Vol. 11, No. 1, 2014, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, h. 53.
42

3.2.3 Korelasi antara Asas Resiprositas dan Ekstradisi dalam Kasus Maria
Pauline Lumowa
Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pembobolan kas
BNI lewat Letter of Credit (L/C) fiktif senilai Rp1,7 Triliun rupiah. Ia menjadi
buronan penegak hukum Indonesia selama 17 tahun tahun terakhir setelah terbang
ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai
tersangka oleh tim khusus bentukan Mabes Polri. 66 Pemerintah Indonesia pernah
mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Maria kepada Pemerintah Belanda
sebanyak dua kali, yaitu pada 2009 dan 2014 namun permintaan ekstradisi tersebut
ditolak. Penolakan Pemerintah Belanda terhadap pengajuan permintaan ekstradisi
Maria beralasan karena Maria telah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Maria kemudian ditangkap oleh NCB Interpol Serbia saat mendarat di
Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia pada Juli 2019 dengan merujuk pada red
notice Interpol pada 2003. Setelah pemberitahuan penangkapan dari Pemerintah
Serbia tersebut, Dirjen AHU (Administrasi Hukum Umum), Kementerian Hukum
dan HAM, dan aparat penegak hukum Indonesia langsung mengirimkan surat
permintaan percepatan permintaan ekstradisi tanggal 31 Juli 2019 yang kemudian
di-follow up kembali dengan surat tanggal 3 September 2019 tentang permintaan
percepatan ekstradisi. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Serbia melakukan
pendekatan-pendekatan high level, berbagai negoisasi, dan meningkatkan intensitas
percepatan ekstradisi dikarenakan setelah melampaui tanggal 16 maka penahanan
Maria akan berakhir dan harus segera dibebaskan.67
Proses ekstradisi Maria yang melibatkan Serbia dan Indonesia ini memiliki
banyak tantangan dikarena sebagaimana yang kita ketahui, negara Serbia dan
Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya. Namun meskipun begitu,
66
Aji Prasetyo. “Ekstradisi, Awal Penegakan Hukum terhadap Maria Pauline Lumowa”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0711559ccfa/ekstradisi--awal-penegakan-hukum-
terhadap-maria-pauline-lumowa?page=all (diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.11 WIB).
67
Hestiana Dharmastuti. “10 Fakta Akhir Pelarian Pembobol BNI Rp 1,7 T Maria Pauline Lumowa”.
https://news.detik.com/berita/d-5087402/10-fakta-akhir-pelarian-pembobol-bni-rp-17-t-maria-
pauline-lumowa?single=1 (diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.34 WIB).
43

proses ekstradisi Maria tetap dapat dilaksanakan. Menteri Hukum dan HAM,
Yasonna Laoly, mengatakan bahwa keberhasilan menuntaskan proses ekstradisi ini,
tak lepas dari diplomasi hukum dan hubungan baik kedua negara. Yasonna
mengatkan bahwa Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan dengan para pejabat
Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan
ekstradisi Maria Pauline Lumowa dilaksanakan.68
Di sisi lain, Serbia dan Indonesia telah memiliki hubungan bilateral yang
resmi berdiri sejak pada 1954. Gerakan Non Blok lah yang menjadi faktor pertama
hubungan Serbia dengan Indonesia. Masing-masing presiden dari kedua negara
tersebut juga merupakan tokoh pendiri Gerakan Non Blok. Presiden Indonesia saat
itu adalah Sukarno dan presiden Yugoslavia saat itu adalah Josip Broz Tito.69 Faktor
hubungan baik tersebut lah yang juga turut mempengaruhi dikabulkannya proses
ekstradisi Maria walaupun Indonesia dan Serbia tidak memilki perjanjian ekstradisi
sebelumnya.
Sampai saat ini Maria sendiri sedang melalui proses pengadilan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Jika melihat dari locus delicti dan
tempus delecti, maka memang benar sepatutnya Maria diadili disana. Locus delecti
adalah sebuah teori penentuan tempat terjadinya suatu tindak pidana memiliki arti
yang penting untuk menentukan tempat pengadilan yang berwenang dalam
mengadili suatu tindak pidana tersebut, mengingat tindak pidana yang dilakukan
Maria adalah pencucian uang maka pengadilan yang berwenang untuk mengadili
tindak pidana tersebut adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan tempus
delecti adalah sebuah teori penentuan waktu atau kapan terjadinya suatu tindak
pidana dan juga untuk menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat
diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi tersebut. Suatu undang-
68
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron Pembobol Bank BNI”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-resiprositas-dalam-ekstradisi-
buron-pembobol-bank-bni?page=all (diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.40 WIB).
69
Admin.Rutanwonogiri. “Serbia Punya Hubungan Historis dengan Indonesia”,
http://rutanwonogiri.kemenkumham.go.id/berita-utama/serbia-punya-hubungan-historis-dengan-
indonesia (diakses pada 13 Februari 2020, pukul 09.25 WIB).
44

undang yang pemberlakuannya setelah terjadi suatu delik atau tindak pidana tidak
dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan memutuskan suatu tindak
pidana. Kasus Maria terjadi pada 2002-2003, dan kemudian Maria sedang dijerat
pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi dengan ancaman pidana seumur hidup. Oleh karena hal tersebut kita
mengetahui bahwa undang-undang yang menjerat Maria ini tidak berlaku surut.

Dari contoh kasus di atas dapat diketahui bahwa asas resiprositas sangat
mempengaruhi dan membantu proses ekstradisi antar negara yang tidak memiliki
perjanjian ekstradisi sebelumnya. Asas resiprositas memang telah banyak digunakan
pemerintah dalam penanganan kasus-kasus terkait buronan yang melarikan diri ke
luar negeri. Pada tahun 1966 Indoensia dan Amerika Serikat pernah melakukan
proses ekstradisi kepada buron pemilik 30.000 pil Ekstasi Zarima. Indonesia dan
Amerika Serikat juga pernah melakukan proses ekstradisi kepada tersangka
pembunuhan oleh Treezy atas permintaan dari FIB. Selain itu Indonesia dan Ceko
pernah melakukan proses ekstradisi juga terhadap Robert Illey Smidl. Indonesia dan
Korea juga pernah melalukan ekstradisi dalam kasus Han Donghoan. Contoh
terakhir Indonesia dan Rusia juga pernah melakukan ekstradisi terhadap Alexandra
Nevinechaia. I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, dalam jurnalnya yang
berjudul “Prospek Asas Resiprositas Dalam Hukum Ekstradisi” mengatakan bahwa
contoh-contoh kasus di atas merupakan contoh penggunaan asas resiprositas yang
signifikan dalam upaya-upaya ekstradisi. 70 Selain karena prosedurnya yang sangat
mudah, penggunaan asas resiprositas dalam proses ekstradisi juga tidak tidak perlu
banyak biaya dan waktu yang diperlukan sangat singkat. I Made dan Ni Komang
mengatakan bahwa kasus-kasus ekstradisi di atas berjalan mulus tanpa hambatan
dan tanpa protes dari pihak manapun. Hal tersebut berarti masyarakat internasional
telah mengakui bahwa cara seperti ini tidak bertentangan dengan asas hukum umum

70
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron Pembobol Bank BNI”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-resiprositas-dalam-ekstradisi-
buron-pembobol-bank-bni?page=all (diakses pada 13 Februari 2020, pukul 10.04 WIB).
45

dan sah-sah saja menurut hukum internasional. Selain itu pula dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 2 ayat (2) juga menjelaskan
bahwa pelaksaan ekstradisi tanpa adanya perjanjian yaitu dengan menggunakan
hubungan timbal balik memang dapat dibenarkan. Pada pasal tersebut berbunyi
bahwa “Dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam ayat (1), maka ekstradisi
dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik
Indonesia menghendakinya”.

3.2 Asas Resiprositas Dalam Ekstradisi Efektif sebagai Sarana Pencegahan,


Pemberantasan, dan Penghukuman Pelaku Tindak Pidana
Dalam memahami asas resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana
pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana sebelumnya,
yakni mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi parameter atau tolak ukur
mengenai efektifnya suatu media atau sarana pencegahan, pemberantasan, dan
penghukuman pelaku pidana. Lalu kemudian dilanjutkan dengan mengetahui
bagaimana kendala dan tantangan pelaksanaan ekstradisi dengan asas resiprositas di
Indonesia. Disini penulis memulai dengan membahas tentang kendala dan tantangan
dari asas resiprositas dalam ekstradisi. Kemudian penulis akan melanjutkan dengan
membahas apakah asas resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana
pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana untuk
kemudian dikaji sebagai jawaban atas rumusan masalah diatas. Sehingga dari
penjelasan-penjelasan di atas penulis dapat memberikan gambaran sebagai petunjuk
untuk mengetahui apakah asas resiprositas dalam ekstradisi efektif sebagai sarana
pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana.
3.2.1 Kendala dan Tantangan Asas Resiprositas dalam Ekstradisi
Seiring dengan perkembangan masyarakat dunia di era globalisasi yang
sangat pesat juga turut mempengaruhi perkembangan dunia kejahatan yang turut
berkembang pesat pula. Hal ini didasari oleh kemajuan teknologi dan perkembangan
46

peradaban masyarakat yang mencakup beberapa aspek, yaitu antara lain: 71


a. Tumbuhnya bentuk-bentuk kejahatan baru;
b. Semakin kompleks modus operasi kejahatan baik konvesional maupun
dimensi baru (inkonvensional);
c. Semakin canggih peralatan yang digunakan oleh pelaku kejahatan;
d. Semakin luas lingkup wilayah operasi kejahatan yang tidak terbatas di
satu negara, bahkan antar negara;
e. Semakin rumit penanggulangan kejahatan, karena kelangkaan aturan
hukum atau ketertinggalan peralatan yang dimiliki oleh aparat penegak
hukum dibandingkan dengan peralatan pelaku kejahatan.
Di satu sisi, maraknya kejahatan yang terus berkembang tersebut
menimbulkan kekhawatiran masyarakat dunia karena bila tidak diatasi dengan baik
dapat mempercepat kehancuran dunia. Perkembangan dari kejahatan ini juga
memberikan kesadaran negara-negara di dunia untuk saling bekerja sama dalam
menanggulangi kejahatan yang berlingkup antar negara. Negara-negara Asean juga
telah menyepakati kriteria-kriteria yang termasuk dalam transnational crimes yang
dituang dalam “Deklarasi Asean” pada tanggal 20 Desember 1997 di Manila sebagai
upaya negara-negara Asean dalam memerangi kejahatan transnasional. Jenis-jenis
kejahatan transnasional tersebut meliputi: 72
a. Illicit drug trafficking;
b. Money laundering;
c. Terrorism;
d. Arm smuggling
e. Traffiking in persons
f. Sea piracy;
g. Economics crime and curency counterfeiting

71
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 185.
72
Siswanto Sunarso, op.cit, h. 150.
47

h. Cyber crimes.
Dengan ditetapkannya jenis-jenis kejahatan transnasional tersebut, negara-
negara Asean setiap dua tahun sekali secara periodik melaksanakan pertemuan
tingkat Menteri yaitu Asean Ministery Meeting on Transnational Crime).
Menanggapi beberapa kasus ekstradisi di Indonesia, untuk menjamin efektivitas
suatu ekstradisi, maka pertama-tama perlu mendapatkan perhatian apakah tindak
pidana yang disangkakan termasuk dalam kategori tindak pidana yang dapat
diekstradisikan atau tidak. Di sisi lain, perlu dikaji pula apakah Pemerintah
Indonesia dengan negara peminta maupun negara diminta.73
Sebagai salah satu mekanisme kerja sama internasional yang tertua,
ekstradisi telah lama mengalami perkembangan dan perubahan dari bentuk
tradisionalnya, yaitu perjanjian antarnegara untuk saling menyerahkan pelaku
kejahatan yang dicari karena alasan politis. Hal tersebut yang menjadi instrumen
dalam lingkup penegakan hukum untuk mencari dan menangkap seorang tersangka
atau pelaku kejahatan lalu menyerahkan kepada negara yang memiliki hak ntuk
mengadili dan membuat keputusan pengadilan74. Dapat dilihat bahwa ekstradisi
telah berkembang dari sekadar hubungan bilateral yang didasari oleh perjanjian atau
kesepakatan, menjadi kerja sama penegakan hukum yang diakui oleh internasional.
Kerugian Indonesia dalam mengembalikan tersangka tanpa melalui proses
ekstradisi adalah Pemerintah Indonesia tidak dapat menerapkan prinsip rule of
speciality atau prinsip kekhususan dan tidak dapat menggunakan jaminan resiprokal
yang telah diajukan oleh negara lain. Penulis akan mengambil contoh pada kasus
ekstradisi Indonesia dengan Korea Selatan untuk tersangka bernama Choi Byung Ho
yang menjadi tersangka kasus penipuan dan penggelapan di Korea Selatan.
Permintaan ekstradisi tersebut tidak berhasil dilakukan karena rapat koordinasi antar
departemen di Indonesia lebih menyepakati proses deportasi karena dasar hukum
untuk mendeportasi tersangka lebih kuat dan terdapat upaya perlawanan dari

73
Ibid, h. 200.
74
Ibid, h. 126.
48

tersangka untuk menolak dikembalikan ke Korea Selatan. 75


Selain itu, Red Notice juga dapat menjadi faktor kendala dalam sebuah
proses ekstradisi mengingat padahal dengan bantuan Red Notice lah tersangka atau
pelaku dapat ditangkap di negara lain dan dapat diekstradisikan ke negara lain. Red
Notice adalah sebuah istilah yang digunakan terhadap instrumen yang digunakan
Interpol dalam berbagi informasi penting terkait kerja sama penegakan hukum dan
pemberantasan kejahatan antara negara-negara anggota.76 Penerbitan Red Notice
dilakukan terhadap orang yang bersangkutan oleh yurisdiksi nasional terkait
penuntutan maupun penjalanan hukuman berdasarkan surat perintah penangkapan
atau putusan pengadilan. 77 Permasalahan menjadi menarik mengingat tidak semua
negara peminta penangkapan tersangka dengan Red Notice memiliki perjanjian
ekstradisi dengan Indonesia. Sebagaimana yang diketahui bahwa permintaan
ekstradisi yang diajukan oleh negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi
dengan Indonesia haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Presiden,
seperti yang telah dirumuskan pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979.
Setelah mendapat persetujuan Presiden, setelah itu diteruskan sesuai dengan
mekanisme yang berlaku selayaknya negara yang telah memilki perjanjian
Ekstradisi dengan Indonesia.
Dalam konteks tersebut, maka permintaan ekstradisi oleh negara yang belum
memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya akan menimbulkan problematika
tersendiri mengingat rangkaian mekanisme proses pelaksanaan ekstradisi baru dapat
dilaksanakan setelah mendapat persetujuan presiden. Dengan demikian persetujuan
presiden menjadi dasar keseluruhan proses pelaksanaan ekstradisi dan dasar
penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap negara yang belum memilki
perjanjian ekstradisi sebelumnya. 78
Jika suatu negara memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain, dan di

75
Ibid, h. 199.
76
Jan S. Maringka, Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 92.
77
Ibid.
78
Ibid., h. 98.
49

dalam substansi perjanjian tersebut telah mengatur tentang jenis-jenis tindak pidana
yang dapat diekstradisi, maka jika suatu saat nanti terdapat pelaku negara tersebut
yang melarikan diri ke negara lain maka tentu saja pelaku tersebut dapat langsung
diekstradisi berdasarkan perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Lalu
permasalahan akan muncul apabila terdapat seorang pelaku dari suatu negara yang
melarikan diri ke negara lain. Namun kedua negara yang bersangkutan tidak
memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya. Hal ini tentu akan menjadi problematika
tersendiri karena negara diminta tidak akan mau begitu saja mengekstradisikan
seorang pelaku tindak pidana ke negara peminta tanpa adanya feedback atau dasar
yang berarti. Hal ini lah yang menjadi tantangan bahwa asas resiprositas sendiri
tidak akan berguna atau berperan banyak apabila negara-negara yang bersangkutan
tidak memiliki hubungan yang baik sebelumnya.
Keterbatasan wewenang terkait batas negara dan yurisdiksi juga menjadi
faktor kendala dan tantangan dalam proses ekstradisi, dan dapat diidentifikasi
dengan adanya kendala yuridis dan kendala diplomatik. Keterbatasan yuridis yang
dimaksud ialah adanya keterbatasan sesuai wilayah yurisdiksi batas negara,
perbedaan sistem hukum, dan perjanjian antar negara. Keterbatasan wilayah
yurisdiksi ini berdampak kepada wewenang aparat penegak hukum dalam
melakukan kegiatan-kegiatan dalam menegakan hukum di wilayah tersebut.
Hukum pidana internasional memang benar memilki lingkup kejahatan-
kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional sebagaimana yang
dijelaskan di atas, namun terkait kewenangan untuk melaksanakan penangkapan,
penahanan, dan peradilan atas tersangka ataupun pelaku diserahkan sepenuhnya
kepada yurisdiksi pada negara yang berkepentingan. 79 Hal ini dilandasi oleh sebuah
pandangan yang beranggapan bahwa hubungan antar negara tidak dilandasi atas
dasar subordinasi, melainkan dilandasi atas dasar kerja sama dan hubungan baik

79
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana International (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), h. 12.
50

yang bersifat timbal balik atau resiprokal. 80 Jika pelaku tindak pidana yang berada di
wilayah di luar terirotial negaranya sendiri, dan berada di negara lain, maka negara
tersebut memiliki kedaulatan hukum sendiri. Terkait apakah pelaku tindak pidana
tersebut akan diserahkan kepada negara lain atau diadili sendiri di negara meminta,
pasti akan membutuhkan kerja sama antar negara.
Berdasarkan hal tersebut, secara substansi perluasan teritorial sangat
dipengaruhi dan dilandasi oleh hubungan baik antar negara. Oleh karena itulah hal
yang paling mendasar untuk menjamin keberhasilan suatu proses ekstradisi adalah
dengan cara memelihara hubungan baik antar negara. Hal ini memang benar adanya
karena pada fakta di lapangan, ekstradisi dapat berhasil dilakukan dikarenakan
adanya hubungan yang baik antar negara yang bersangkutan. 81
Asas resiprositas memang betul dapat digunakan dalam proses ekstradisi
tersangka yang belum mendapatkan perjanjian ekstradisi sebelumnya. Namun dalam
penerapannya sering mendapatkan hambatan terutama menyangkut administrasi. 82
Sekalipun masing-masing negara telah memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya,
dalam praktiknya proses penyerahan pelaku kejahatan melalui proses yang cukup
panjang dan dapat memakan waktu satu tahun atau lebih. Itulah mengapa saat
membuat perjanjian sekalipun dibutuhkan kecermatan agar tidak menghambat
terhadap proses penanganan kejahatan itu sendiri. Dalam hal penanggulangan
kejahatan, khususnya kejahatan transnasional, memang diperlukan kerja sama
regional dan internasional. Namun meski begitu terdapat kendala yang sering
terjadi, yaitu misalnya hambatan dalam tukar menukar informasi, terutama informasi
mengenai identitas dari tersangka atau pelaku.83 Berbagai pengalaman dan
pengetahuan terkait sistem hukum dari masing-masing negara akan menentukan
proses pelaksanaan ekstradisi nantinya. Penggunaan asas resiprositas juga tentu
tidak akan berjalan dengan baik jika masing-masing dari negara tidak memilki

80
Ibid, h. 13.
81
Ibid, h. 12.
82
Ibid, h. 228.
83
Ibid, h.229.
51

hubungan yang baik sebelumnya karena mengingat pengertian asas resiprositas itu
sendiri merupakan asas yang berintikan pada hubungan timbal balik kedua negara.
Terlepas dari asas resiprositas itu sendiri, perjanjian ekstradisi ini
menimbulkan masalah yang berkaitan erat terkait dengan penghormatan kedaulatan
negara. Sebagaimana diketahui, penyerahan (levering) tersangka atau pelaku dari
negara yang diminta kepada negara peminta merupakan proses akhir dalam upaya
ekstradisi yang dimana pada kenyataanya fakta di lapangan menunjukkan bahwa
penyerahan tersangka atau pelaku tersebut tidak dapat dilaksanakan, padahal segala
proses pengajuan ekstradisi yang berkaitan dengan segala tata cara dan kelengkapan
dokumen telah terpenuhi.
3.2.2 Efektivitas dari Asas Resiprositas dalam Ekstradisi
Pengaturan terkait ekstradisi di dalam lingkup perjanjian internasional juga
turut mengalami perkembangan dari semula hingga kini. Mula-mula pengaturannya
sangat singkat dan sederhana yakni dalam satu atau dua pasal saja, lalu berkembang
menjadi pengaturan yang substansinya lebih banyak dan akhirnya semakin
kompleks seperti sekarang. Penggunaan asas resiprositas memilki jangkauan yang
sangat luas, terlebih lagi setiap negara di dunia memiliki mimpi dan tujuan yang
sama yaitu untuk memberantas kejahatan, baik kejahatan kecil maupun kejahatan
besar sekalipun.84 Keterbatasan berlakunya yurisdiksi juga termasuk suatu hal yang
harus dipertimbangkan. Kita dapat membayangkan bagaimana jadinya apabila suatu
negara membuat perjanjian ekstradisi dengan semua negara yang ada di dunia ini,
mulai dari biaya yang harus dikeluarkan sampai dengan waktu yang dihabiskan
untuk merealisasikan perjanjian ekstradisi tersebut. Belum lagi, suatu negara
tersebut perlu melakukan studi banding ke semua negara yang ada di dunia ini guna
mengetahui sistem yurisdiksi masing-masing dari negara. 85
Merujuk pada parameter atau tolak ukur efektifitas asas resiprositas, terdapat

84
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, Prospek Asas Resiprositas Dalam Hukum Ekstradisi,
Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Vol. 9, No. 1, 2019, h. 89.
85
Ibid.
52

beberapa kelebihan, berikut di antaranya:


a. Dari segi pra-prosedural.
Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi, menyatakan bahwa pengajuan permintaan ekstradisi oleh
negara yang telah memiliki perjanjian ekstradisi dimulai dari adanya
penetapan pengadilan terkait permintaan ekstadisi tersebut. Dengan diawali
oleh saluran diplomatik kepada Menteri Kehakiman, lalu Menteri
Kehakiman akan membuat sebuah penetapan pengadilan yang nantinya akan
disampaikan kepada Presiden, namun tentu saja dengan pertimbangan dari
beberapa pihak, yaitu Menteri Kehakiman itu sendiri, Menteri Luar Negeri,
Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.86 Hal ini sedikit
berbeda dengan proses ekstradisi menggunakan asas resiprositas yang
dimana pengajuannya dengan saluran diplomatik selanjutnya oleh Menteri
Luar Negeri disampaikan kepada Menteri Kehakiman. Dengan cukup
disertai oleh pertimbangan Menteri Luar Negeri saja, Menteri Kehakiman
dapat melaporkan kepada Presiden yang nantinya Presiden dapat
memutuskan akan mengekstradisi atau tidak pelaku tindak pidana tersebut.
b. Dari segi waktu dan biaya
Jika terdapat sebuah negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi
dengan negara yang bersangkutan dan ingin melakukan ekstradisi, maka
terdapat dua cara untuk melaksanakan proses ekstradisi tersebut. Yang
pertama adalah membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu, dan yang
kedua adalah menggunakan asas resiprositas. Jika sebuah negara memilih
untuk membuat perjanjian ekstradisi, maka diperlukan waktu dan biaya
ekstra dalam merealisasikan hal tersebut. Belum lagi, negara tersebut perlu
melakukan studi banding ke negara lain yang bersangkutan untuk
mengetahui sistem yurisdiksi dari negara tersebut sebagai pertimbangan

86
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, pasal 36 ayat (1).
53

substansial yang akan dimasukan dalam perjanjian. Berbeda dengan asas


resiprositas, pelaksanaan asas ekstradisi ini dapat menggunakan hubungan
timbal balik kedua belah pihak yang bersangkutan. Hal ini tentu saja tidak
perlu membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu sehingga dapat
menghemat waktu dan biaya dan menandakan indikator diplomat yang baik.
c. Dari segi tujuan.
Tujuan juga dapat menjadi parameter efektifitas. Hal ini dapat dilihat bahwa
suatu proses ekstradisi dikatakan efektif jika tidak ada pihak yang dirugikan
dan kedua belah pihak sama-sama berhasil mencapai tujuannya masing-
masing. Namun suatu proses ekstradisi dikatakan tidak efektif jika ada pihak
yang dirugikan sehingga harus dilakukan upaya lain yang sekiranya dapat
menguntungkan kedua belah pihak.
Merujuk pada pernyataan pada sebelumnya, asas resiprositas tidak akan
berjalan efektif jika kedua belah negara memang tidak memiliki hubungan yang baik
sebelumnya. Karena jika pada suatu waktu terdapat pelaku dari negara A yang
melarikan diri ke negara B, dan dapat diketahui bahwa negara A dan negara B tidak
memiliki hubungan yang baik, maka tentu saja perjanjian ekstradisi akan sulit
dilakukan. Tidak hanya ekstradisi, melainkan hubungan kerja sama lain pun
pastinya akan sulit juga direalisasikan. Oleh karena itulah asas resiprositas akan
berperan penting jika memang kedua pihak negara memang memiliki hubungan
yang baik tetapi belum memiliki perjanjian ekstradisi sebelumnya, seperti kasus
Maria Pauline Lumowa tadi.
Dalam penggunaan asas resiprositas pula tetap harus diperhatikan seberapa
besar manfaat yang diperoleh dalam penggunaan asas tersebut. I Made Asmarajaya
dan Ni Komang Sutrisni berpendapat dalam jurnalnya yang berjudul “Prospek Asas
Resiprositas dalam Hukum Ekstradisi” bahwa dalam pengimplementasian atau
pelaksanaan asas resiprositas terdapat beberapa pengecualian yaitu harus
diterapkannya asas warga negara sendiri tidak diekstradisikan dan asas kejahatan
politik tidak diekstradisikan. Pada pasal VII pada Convention on the Prevention and
54

Suppresion of the Crime of Genocide atau disebut Genocide Convention misalnya,


disana dijelaskan bahwa pelaku kejahatan genosida tidak dapat berlindung dari
proses ekstradisi antara dua negara perserta konvensi dengan beralasan bahwa jenis
kejahatannya adalah kejahatan politik. Demikian juga dengan negara diminta juga
tidak bisa melindunginya dengan alasan kejahatan yang dijadikan sebagai dasar
untuk meminta pengekstradisiannya oleh negara peminta adalah kejahatan politik. 87
Hal ini tentu saja memperkuat proses pengekstradisiannya dengan menyatakan
bahwa para pihak yang terikat pada konvensi tersebut berikrar antara mereka untuk
menjamin pengekstradisiannya dari si pelaku sesuai dengan hukum nasionalnya
masing-masing, maupun perjanjian-perjanjian terkait yang berlaku. Ikrar ini
sebenarnya hanyalah sebagai suatu pernyataan umum yang dimana pelaksanaannya
dalam praktek sangat tergantung pada itikad baik masing-masing negara yang
bersangkutan.
Asas-asas hukum umum juga turut diperhatikan mengingat asas tersebut
berasal dari Statuta Mahkamah Internasional dan hampir semua negara di dunia ini
menerima dan menghormati asas tersebut sebagai sumber hukum yang mendasari
semua hukum, baik hukum nasional maupun internasional. Asas hukum umum
dalam lingkup hukum perdata sekalipun seperti asas facta sunt servanda, asas bona
fides (itikad baik), asas abus de droit (penyalahgunaan hak), dan asas adimplenty
non est adiplendum dalam hukum perjanjian juga menjadi perhatian dalam
penggunaan asas resiprositas ini. 88 Asas hukum internasional seperti misalnya asas
kelangsungan negara, penghormatan kemerdekaan negara, asas non intervensi dan
sebagainya juga sudah tentu termasuk hal yang menjadi perhatian dalam
penggunaan asas resiprositas ini. 89 Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa asas
resiprositas ini memang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum.
Pranata hukum ekstradisi sebenarnya telah mengalami perluasan berlakunya

87
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 442.
88
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, op.cit, h.90.
89
Ibid.
55

seiring berjalannya waktu, yang sebelumnya hanya didasarkan atas perjanjian-


perjanjian ekstradisi baik bilateral maupun multilateral ataupun hukum kebiasaan
internasional terkait ekstradisi, kini ekstradisi juga bisa dilakukan berdasarkan
perjanjian yang bukan pernjanjian ekstradisi tetapi memiliki kaitannya dengan
ekstradisi. Hal tersebut menimbulkan dampak positif karena para pelaku yang
melarikan diri keluar negeri pun akan semakin sempit ruang lingkupnya untuk
melepaskan diri dari tuntutan hukum dari negara yang memilki yurisdiksi untuk
mengadili dirinya.90 Tentu saja hal ini tidak lepas dari perkembangan hukum yang
telah berkembang di dunia selama ini. Berbagai pengalaman, kasus, aturan yang
pernah terjadi di dunia ini juga turut menjadi faktor bagaimana hukum dapat
berkembang menjadi lebih baik untuk mempersempit kemungkinan terjadinya
tindak kejahatan di dunia. Semua ini menggambarkan perkembangan yang sesuai
dengan perkembangan dari kejahatan internasional maupun masyarakat
internasional itu sendiri. 91
Asas resiprositas termasuk dari asas hukum umum yang dimana jika asas ini
ditelaah, maka asas ini termasuk asas itikad baik seperti yang terdapat dalam asas
pembuatan perjanjian, kemudian termasuk asas pacta sunt servanda yang ditaati
secara diam-diam tanpa pernah diucapkan tetapi dilaksanakan secara timbal balik.
Negara-negara akan merasa wajib untuk membalasan dengan setimpal setiap
perbuatan dari negara lain dan itu merupakan keadilan yang hakiki. Tindakan
resiprositas ini akan ditepati jika memang apabila bangsa-bangsa di dunia ini
memang bangsa yang beradab. 92 Terdapat fakta di lapangan yang memperkuat
bahwa telah banyak kasus pengekstradisian tersangka dari negara yang tidak
memilki perjanjian esktradisi sebelumnya dengan Indonesia, contohnya kasus Maria
Pauline Lumowa dari negara Serbia yang penulis telah kaji pada bab sebelumnya.
Tidak hanya itu, banyak kasus-kasus lain seperti kasus Zarima, tersangka pengedar

90
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern (Bandung: CV Yrama Widya,
2009), h. 442.
91
Ibid, h. 437.
92
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni, op.cit, h. 93
56

narkotika, yang diekstradisikan dari Amerika Serikat ke Indonesia dan kasus


pembunuhan oleh Treezy, warga negara Amerika Serikat yang tertangkap di Bali
dan diekstradisi ke negaranya sebagai respon atas permintaan dari kepolisian dan
FBI. Selain itu Indonesia dan Ceko pernah melakukan proses ekstradisi juga
terhadap Robert Illey Smidl. Indonesia dan Korea juga pernah melalukan ekstradisi
dalam kasus Han Donghoan. Contoh terakhir Indonesia dan Rusia juga pernah
melakukan ekstradisi terhadap Alexandra Nevinechaia. 93
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa jika kedua belah pihak negara
telah memiliki hubungan yang baik sebelumnya dan belum memiliki perjanjian
ekstradisi, maka dapat dikatakan bahwa asas resiprositas ini sangat efektif prospektif
mengingat prosedurnya yang sangat mudah, tidak memakan banyak biaya dan waktu
yang diperlukan sangat singkat. Terlebih lagi kasus-kasus ekstradisi pelaku pidana
tanpa perjanjian ekstradisi sebelumnya seperti ekstradisi Indonesia-Serbia dan
Indonesia-Amerika Serikat pun dapat dipraktekkan dan tidak menuai protes ataupun
polemik. Dikarenakan sebuah ekstradisi dapat dilakukan tanpa adanya perjanjian,
yaitu cukup dengan menggunakan asas resiprositas, hal ini tentu saja mempersempit
lingkup atau kesempatan suatu pelaku tindak pidana untuk melarikan diri ke negara
lain. Dalam kasus Maria Pauline Lumowa yang telah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya misal, Maria cukup cerdas untuk mengetahui bahwa Serbia dan
Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi, oleh karena itu Maria memutuskan
untuk melarikan diri ke negara tersebut dengan tujuan bahwa pemerintah Indonesia
tidak dapat memulangkannya ke negara asalnya. Jika tidak ada asas resiprositas,
maka mau tidak mau pemerintah Indonesia wajib untuk membuat sebuah perjanjian
ekstradisi terlebih dahulu sebelumnya dengan pemerintah Serbia untuk
memulangkan Maria. Dapat dibayangkan bahwa pemerintah Indonesia membuat
perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Serbia, mulai dari biaya yang harus
dikeluarkan sampai dengan waktu yang dihabiskan untuk merealisasikan perjanjian

93
Ibid.
57

ekstradisi tersebut. Belum lagi, pemerintah Indonesia perlu melakukan studi banding
ke Serbia untuk mengetahui sistem yurisdiksi dari negara tersebut. Dengan adanya
asas resiprositas, hal ini tentu saja selain mempersempit Maria dalam melarikan diri,
tetapi juga dapat memulangkan Maria ke Indonesia untuk diadili. Terlebih lagi tidak
terlalu memakan banyak biaya dan waktu.
Dengan adanya asas resiprositas itulah dapat mempersempit lingkup dan
kesempatan pelaku tindak pidana untuk melarikan diri ke negara lain sehingga
membuat pelaku tindak pidana dapat diadili atau dihukum di negara yang
bersangkutan. Tentu saja ini menjadi bukti bahwa asas resiprositas memang efektif
dalam sarana pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman pelaku tindak pidana.
Namun jika kedua pihak negara tidak memiliki hubungan baik sebelumnya, maka
tentu perjanjian ekstradisi memiliki dasar yang lebih kuat untuk kesuksesan ektradisi
karena substansi dan syarat-syaratnya telah tertuang dalam perjanjian ekstradisi
tersebut.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Asas resiprositas dapat menjadi alasan untuk pengembalian tersangka
dari luar negeri yang tidak memilki perjanjian ekstradisi sebelumnya
karena asas resiprositas termasuk pada asas prinsip hukum umum yang
dianut secara nasional maupun internasional oleh setiap negara di dunia,
serta menjadi prinsip kedaulatan dari suatu negara dan hukum dari
negara tersebut, dam asas resiprositas juga menjadi dasar penerapan
kerja sama internasional antar negara dalam penerapan yurisdiksi.
2. Jika kedua belah pihak negara telah memiliki hubungan yang baik
sebelumnya dan belum memiliki perjanjian ekstradisi, asas resiprositas
dalam ekstradisi efektif sebagai sarana pencegahan, pemberantasan, dan
penghukuman pelaku tindak pidana dikarenakan prosedurnya yang
sangat mudah, tidak memakan banyak biaya dan waktu yang diperlukan
sangat singkat. Terlebih lagi kasus-kasus ekstradisi pelaku pidana tanpa
perjanjian ekstradisi sebelumnya seperti ekstradisi Indonesia-Serbia dan
Indonesia-Amerika Serikat pun dapat dipraktekkan dan tidak menuai
protes ataupun polemik. Namun jika kedua pihak negara tidak memiliki
hubungan baik sebelumnya, maka tentu perjanjian ekstradisi memiliki
dasar yang lebih kuat untuk kesuksesan ektradisi karena substansi dan
syarat-syaratnya telah tertuang dalam perjanjian ekstradisi tersebut.

4.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan yang mana sebagai berikut:

58
59

1. Dalam pengembalian pelaku pidana ke negara asal atau ekstradisi


dengan menggunakan asas resiprositas, dibutuhkan suatu rumusan pasal
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih terperinci untuk
memberikan rumusan yang pasti terkait penggunaaan asas resiprositas
sebagai mana mestinya.
2. Dibutuhkan pembangunan sistem koordinasi dan pembangunan task
force antar instansi terkait dan juga penguatan sisi integritas aparatur
penegak hukum dan kementerian Hukum dan HAM, karena aparatur
penegak hukum tersebut akan menentukan keberhasilan proses ekstradisi
baik menggunakan perjanjian, maupun menggunakan asas resiprositas.
Suatu negara juga dihimbau untuk tetap menjaga hubungan dinamis
dengan negara lain untuk menjaga unsur resiprokalnya, karena asas
resiprositas mengedepankan perlakuan yang sama dari negara lain dan
semuanya akan dibalas setimpal oleh negara tersebut.
60

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Atmasasmita, Romli. 2001. Hukum Tentang Ekstradisi. Jakarta: Fikahati
Aneska.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2020. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Perjanjian Ekstradisi. Jakarta: BPHN.
Bruggink. 1999. Refleksi tentang Ilmu Hukum. Bandung: Citra Adytya Bakti.
Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Citra
Aditya Bakti.
Mandagi, Wagiman Anasthasya Saartje. 2016. Terminologi Hukum
International. Jakarta: Sinar Grafika.
Maringka, Jan S. 2018. Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:
Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Marzuki, Peter Mahmud. 2016. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Prenadamedia.
Masriani, Yulies, Tiena 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika.
Megawati, Wenny. 2019. Legalitas Perjanjian Ekstradisi yang Dilakukan
Indonesia terhadap NegaraNegara yang Melakukan Kerjasama.
Semarang: Universitas Stikubang.
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Parthiana, I Wayan. 2002. Hukuman Perjanjian Internasional: Bagian 1.
Bandung: Mandara Maju, 2002.
Parthiana, I Wayan. 2009. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern.
61

Bandung: CV Yrama Widya.


Poernomo, Bambang. 1992. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia.
Poerwadarminta W.J.S. 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Prayudi, Guse. 2012. Hukum Pidana & Jaminan: Dalam Bentuk Tanya Jawab
Disertai Dengan Dasar Hukumnya: Panduan Lengkap. Yogyakarta: Tora
Book, Mitra Setia.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT
Utama.
Starke, J.G. 1972. An Introduction International Law. Bandung: F, Isjwara.
Starke, J.G. 1986. Pengantar Hukum Internasional (jilid II). Jakarta: Aksara
Persada.
Sunarso, Siswanto. 2009. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana International. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 1996. Metodologi Penelitian
Sosial. Jakarta: Bumiaksara.

B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
62

C. Jurnal
Bambang Hudayana. 1991. Konsep Resiprositas dalam Antropologi Ekonomi,
Universitas Gadjah Mada, Vol. 1, No. 3.
Flora Pricilla Kalalo. 2016. Efektifitas Perjanjian Ekstradisi Sebagai Sarana
Pencegahan, Pemberantasan Dan Penghukuman Pelaku Tindak Pidana
Internasional, Lex et Societatis, Vol. IV, No.1.
I Made Asmarajaya dan Ni Komang Sutrisni. 2019. Prospek Asas Resiprositas
Dalam Hukum Ekstradisi, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Vol. 9, No. 1.
Moh Khasan. 2017. Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas
Hukum Pidana Islam, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum
Nasional, Vol. 6, No. 1.

D. Skrispi
Waskito Setyo Nugroho. 2020. Tinjauan Hukum Penyebaran Berita Bohong
Pada Media Sosial Dalam Perspektif Undang-Undang Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme [Skripsi]. Jember: Universitas
Jember.
Yusuf Hotlas Panjaitan. 2019. Perbuatan Makar Dan Penerapan Hukumnya
[Skripsi]. Jember: Universitas Jember.

E. Internet
Admin.Rutanwonogiri. “Serbia Punya Hubungan Historis dengan Indonesia”,
http://rutanwonogiri.kemenkumham.go.id/berita-utama/serbia-punya-
hubungan-historis-denganindonesia (diakses pada 13 Februari 2020, pukul
09.25 WIB).
Aji Prasetyo. “Ekstradisi, Awal Penegakan Hukum terhadap Maria Pauline
Lumowa”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0711559ccfa/ekstradisi--
63

awal-penegakan-hukumterhadap-maria-pauline-lumowa?page=all (diakses
pada 9 Februari 2020, pukul 20.11 WIB).
Dani Prabowo. “Tak Punya Perjanjian Ekstradisi, Begini Cara Pemerintah Bawa
Maria Pauline Lumowa dari Serbia”,
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/10/08105541/tak-punya-
perjanjian-ekstradisi-begini-cara-pemerintah-bawa-maria-
pauline?page=all&page2. diakses pada 13 Oktober 2020, pukul 19.45
WIB.
Hestiana Dharmastuti. “10 Fakta Akhir Pelarian Pembobol BNI Rp 1,7 T Maria
Pauline Lumowa”. https://news.detik.com/berita/d-5087402/10-fakta-
akhir-pelarian-pembobol-bni-rp-17-t-mariapauline-lumowa?single=1
(diakses pada 9 Februari 2020, pukul 20.34 WIB).
Moch. Dani Pratama Huzaini. “Asas Resiprositas dalam Ekstradisi Buron
Pembobol Bank BNI”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bfb3020cef/asas-
resiprositas-dalamekstradisi-buron-pembobol- bank-bni?page=all (diakses
pada 28 Oktober 2020, pukul 18.50 WIB).
Vidya Prahassacitta, Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis,
https://business- law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-
dan-penelitianhukum-yurudis/ (diakses pada 13 Januari 2021, pukul 09.29
WIB).

Anda mungkin juga menyukai