Anda di halaman 1dari 93

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM YANG

MENGGUNAKAN NAMA LAIN DARI ANAK KORBAN


TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)

SKRIPSI

Oleh :

ZEVI

NIM. 170710101345

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM YANG
MENGGUNAKAN NAMA LAIN DARI ANAK KORBAN
TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)

SKRIPSI

Oleh :

ZEVI

NIM. 170710101345

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2021
MOTTO

“The wisdom of a law-maker consisteth not only in a platform of justice, but in the
application thereof; taking into consideration by what means laws may be made
certain.”
(Kebijaksanaan seorang pembuat hukum tidak hanya terdiri dari landasan
keadilan, tetapi juga penerapannya; mempertimbangkan dengan cara apa hukum
mendapat kepastian.
(Francis Bacon)
The Advancement of Learning.1

Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu para penegak keadilan karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu
golongan mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
keadilan itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
(Q.S Al-Maidah: 8)


https://www.hukumindo.com/2019/09/kata-mutiara-hukum-terpilih-i-selected.html

https://news.detik.com/infografis/d-5003163/surat-al-maidah-ayat-8-adil-lebih-dekat-
kepada-takwa

iii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan sebagai bentuk pengabdian, rasa cinta


dan kasih sayang, serta bentuk terimakasih untuk:
1. Orang tua saya tercinta, Ayahanda M. Zupri dan Ibunda Sarita yang selalu
menjadi penyemangat dalam terselesainya skripsi ini, terimakasih telah
senantiasa memberikan doa-doa, waktu, kasih sayang, nasehat, motivasi,
segala perhatian dan dukungan moril serta materiil yang tidak akan pernah
bisa tergantikan oleh sesuatu apapun yang ada di dunia ini. Kerja keras dan
perjuangan orang tua sampai saat ini yang mengantarkan saya tetap
semangat dan tidak pernah menyerah dalam menyelesaikan tugas akhir.
2. Seluruh Guru dan Dosen saya sejak Taman Kanak-Kanak sampai
Perguruan Tinggi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
memberikan dan mengajarkan segala ilmu yang dimiliki yang sangat
bermanfaat dan berguna, serta telah membimbing saya dengan penuh
kesabaran.
3. Almamater Fakultas Hukum Universitas Jember yang sangat saya
banggakan.

iv
PERSYARATAN GELAR

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM YANG


MENGGUNAKAN NAMA LAIN DARI ANAK KORBAN
TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Program Studi Ilmu Hukum Univeristas Jember.

Oleh :

ZEVI
NIM 170710101345

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2021

v
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi berjudul “Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Yang


Menggunakan Nama Lain Dari Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan
(Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)”
Karya Zevi telah diuji dan disahkan pada:
Hari, tanggal :
Tempat : Fakultas Hukum Universitas Jember

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota

Samsudi, S.H., M.H. Halif, S.H., M.H.


NIP.195703241986011001 NIP.197907052009121004

vi
PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Yang


Menggunakan Nama Lain Dari Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan
(Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)” karya Zevi telah diuji dan disahkan
pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Fakultas Hukum Universitas Jember

Panitia Penguji :

Ketua, Sekretaris,

Echwan Iriyanto, S.H., M.H. Sapti Prihatmini, S.H., M.H.


NIP.19620411198021001 NIP. 197004281998022001

Anggota Penguji I, Anggota Penguji II,

Samsudi, S.H., M.H. Halif, S.H., M.H.


NIP.195703241986011001 NIP.197907052009121004

Mengesahkan:
Dekan,

Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H.


NIP. 198206232005011002

vii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji pada :


Hari :
Tanggal :
Bulan :
Tahun : 2021
Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember

Panitia Penguji :

Ketua Penguji, Sekretaris Penguji,

Echwan Iriyanto, S.H., M.H. Sapti Prihatmini, S.H., M.H.


NIP.19620411198021001 NIP. 197004281998022001

Dosen Anggota Penguji,

Samsudi, S.H., M.H. ……………………….


NIP.195703241986011001

Halif, S.H., M.H. ………………………...


NIP.197907052009121004

viii
PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:


Nama : Zevi
NIM : 170710101345

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul


“Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum yang Menggunakan Nama Lain
dari Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan (Putusan Nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte)” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali
kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum pernah diajukan pada
institusi mana pun, dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas
keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung
tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan
dan paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika
ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 2021
Yang menyatakan,

ZEVI
NIM. 170710101345

ix
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum yang Menggunakan Nama Lain
dari Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan (Putusan Nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte)” Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Jember.
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam penelitian
skripsi ini, antara lain:
1. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jember, Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum., selaku
Pejabat Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember, Bapak
Echwan Iriyanto, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Jember dan selaku dosen pembimbing akademik, dan Bapak
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Jember;
2. Bapak Samsudi S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama, dan Bapak
Halif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Anggota yang dengan sabar,
tulus dan ikhlas memberikan arahan, meluangkan waktu, pikiran, dan
perhatian dalam penelitian skripsi ini;
3. Bapak Echwan Iriyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Penguji, dan Ibu Sapti
Prihatmini, S.H., M.H., selaku Sekretaris Penguji yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan arahan serta petunjuk sehingga
terselesaikannya skripsi ini;
4. Bapak dan Ibu dosen, civitas akademika, serta seluruh karyawan Fakultas
Hukum Universitas Jember atas segala ilmu dan pengetahuan yang
diberikan;

x
5. Orang tua saya tercinta, Ayahanda M. Zupri dan Ibunda Sarita yang selalu
menjadi penyemangat dalam terselesainya skripsi ini, terimakasih telah
senantiasa memberikan doa-doa, waktu, kasih sayang, nasehat, motivasi,
segala perhatian dan dukungan moril serta materiil yang tidak akan pernah
bisa tergantikan oleh sesuatu apapun yang ada di dunia ini. Kerja keras dan
perjuangan orang tua sampai saat ini yang mengantarkan saya tetap
semangat dan tidak pernah menyerah dalam menyelesaikan tugas akhir.
4. Saudara kandung saya kak Mega Puspita Sari dan Kak Indah Putri Sari
yang selalu memberi nasehat, motivasi dan dukungan moril serta materiil
selama saya di bangku perkuliahan yangmana kedua kakakku ini ialah
sudah seperti orang tua kedua bagi saya serta adik kandung saya M.
Fernandi, Zelda Savitri dan M. Friza Anggara yang merupakan adik-adik
saya yang membuat saya mendorong saya menjadi semangat dalam
mengerjakan skripsi ini.
5. Sahabat terbaik selama di Jember yaitu Kevin Wahyudatama Susanto dan
Tazkiya An-Nafs, Wheihelmina Syahraya, Raissa Yasmine dan Talitha
Rahma yang selalu menjadi tempat berkeluh kesah di dalam situasi
apapun, meluangkan waktunya menjadi penyemangat saya selama
perkuliahan dan proses mengerjakan skripsi ini.
6. Sahabat Belitung Rinanda Hapsari,Andini Maulidya, Trisdayanti, Nanda
Fajriah, Judithia Faraditha, Adelia Tacia Pane, Nisfi Meilani, Sri Widia
A.H, Mutia Dwi Juiatnti dan Jessyca Rosi yang masih senantiasa menjalin
komunikasi yang baik hingga saat ini dan menjadi pemacu penulis dalam
hal penyelesaian skripsi ini.
7. Febryano Dwi Rifani, yang selalu penuh dengan cinta kasih,
mendengarkan keluh kesah, memberikan semangat, dan support system
terbaik bagi Penulis selama mengerjakan skripsi ini sampai detik ini.
8. Seluruh delegasi National Moot Court Competition Piala Mahkamah
Agung ke-XXI Palembang dan delegasi National Moot Court Competition
Piala Mahkamah Agung ke-XXII yang memberikan banyak pembelajaran

xi
baik dari segi kehidupan maupun segi ilmu hukum yangmana hal tersebut
sangat berguna bagi saya untuk kedepannya.
9. Keluarga besar ALSA Local Chapter Universitas Jember yang merupakan
salahsatu UKM yang saya ikuti selama masa perkuliahan yangmana disana
saya mendapat banyak pembelajaran baik dalam berkenaan dengan
kepanitiaan, perlombaan, organisasi dan mendapat banyak teman.
10. Seluruh Guru dan Dosen saya sejak Taman Kanak-Kanak sampai
Perguruan Tinggi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
memberikan dan mengajarkan segala ilmu yang dimiliki yang sangat
bermanfaat dan berguna, serta telah membimbing saya dengan penuh
kesabaran.
11. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu dalam
skripsi ini, yang telah banyak membantu baik secara moril maupun
materiil dalam menyelesaikan skripsi ini;
Demikian skripsi ini yang penulis sadari masih banyak kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu, perlu adanya kritik dan saran yang membanbun
dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Jember, 2021
Yang menyatakan,

ZEVI
NIM. 170710101345

xii
RINGKASAN

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum yang Menggunakan Nama Lain


dari Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan (Putusan Nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte); Zevi; 170710101345; 2021; 93 halaman; Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember.
Pembuktian memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup”
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa tersebut
akan “dibebaskan” dari hukuman. Oleh karena itu, Hakim harus berhati-hati,
cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti
sampai mana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijskracht dari setiap
alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Namun pada faktanya masih
banyak terdapat alat bukti yang dicari tidak sesuai dengan prosedur yang tepat.
Dalam kaitan dengan pembuktian due process of law memiliki hubungan yang
erat dengan masalah penguraian bagaimana cara memperoleh, mengumpulkan,
dan menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan dimulai dari
proses atau biasanya disebut dengan bewijsvoering. Sering kali hal-hal yang
bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil. Terhadap negara-
negara yang menganut dan menjunjung tingggi due process of law dalam hukum
acaranya, memberikan perlindungan kepada individu dari tindakan sewenang-
wenangnya aparat negara dalm hal mendapatkan perhatian khusus.
Pada putusan perkara nomor: 159/Pid.Sus/2020/PN Tte alat bukti Visum et
Repertum Nomor R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT
BHAYANGKARA TK.IV POLDA MALUT tertanggal 15 April 2020 yang
ditandatangani oleh dr. Unzilla, Sp.og., M.Kes. atas nama Rukia Rukmana.
Sedangkan nama asli dari anak korban pada putusan perkara nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte sebagaimana dibuktikan dengan akata kelahiran yang
dihadirkan di persidangan ialah Putri Faradila. Sehingga terhadap bukti visum et
repertum tersebut tidak mempunyai kesusain penamaan dari anak korban. Hal
tersebut terjadi karena adanya miss process dalam pembuatan visum et repertum
anak korban pada saat awal pemeriksaan di kepolisian. Berdasarkan uraian
tersebut, terdapat dua permasalahan yang akan diangkat yaitu permasalahan
pertama adalah bagaimana kekuatan pembuktian visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban pada (Putusan Nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan Pasal 187 KUHAP. Sedangkan
permasalahan kedua adalaha pakah pertimbangan hakim dalam membuktikan
perbuatan terdakwa menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama
lain dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah
sesuai dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi kali ini adalah
pertama adalah untuk menganalisis kekuatan pembuktian visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban pada putusan perkara nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte berdasarkan Pasal 187 KUHAP dan tujuan yang kedua

xiii
adalah untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan
terdakwa menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari
anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai
dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian hukum
normatif sendiri adalah penelitian hukum untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi sehingga pokok kajian dalam hukum normatif akan berlaku dalam
masyarakat dan bagi perilaku setiap orang. Lalu berkaitannya dengan penelitian
ini, pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Hasil penelitian yang pertama adalah menganilisis bagaimana hakim
dalam menilai suatu alat bukti apabila dalam proses memperileh alat bukti
tersebut tidak sesuai dengan prosedur. Lalu hasil penelitian yang kedua adalah
mengetahui bagaimana pertimbangan hakim ketika terdapat dua alat bukti yang
memiliki nilai pembuktian yang sama.
Saran dari skripsi ini adalah pertama bagi pembuat undang-undang,
khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia agar mencamtumkan secara jelas pengaturan khusus
mengenai teknis pembuatan Visum Et Repertum sebagai “bukti permulaaan” pada
tindak pidana tertentu sebagai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 14
undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam rangka
menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah berdasarkan satu alat bukti dan
laporan polisi (Alat bukti keterangan Saksi dan Alat bukti Surat). Karena selama
ini hanya berdasarkan ketentuan umum sehingga pedoman yang dipakai penyidik
hanya berdasarkan kebiasaan. Kedua, Bagi Penyidik Kepolisian dalam hal proses
pencarian alat bukti perkara pidana haruslah berdasarkan prosedur yang benar dan
tepat bukan hanya berdasarkan permintaan dari pihak korban, karena hal tersebut
sudah tidak sesuai sebagaimana dengan asas due process of law. Ketiga, Bagi
Jaksa Penuntut Umum diharapkan lebih teliti dalam memperoleh alat bukti yang
dilimpahkan oleh penyidik. Keempat, Bagi Majelis Hakim ketika di persidangan
terdapat 2 alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sama
seperti keterangan ahli dan alat bukti surat visum et repertum. Seharusnya
menggunakan alat bukti keterangan ahli yang ad di dipersidangan sebagai
pertimbangan.

xiv
SUMMARY

The Evidentiary Power of Visum Et Repertum Which Uses Another Name


From The Child Victim of Sexual Offences Act (Verdict Number
159/Pid.Sus/2020/PN Tte) Zevi; 170710101345; 2021; 93 Pages; Law Study
Program Facuty of Law University of Jember.
Evidentiary plays a role in the process of examination of court hearings.
Through evidentiary determined the fate of the accused. If the result of proof with
the statutory evidence "insufficient" proves the alleged wrongdoing to the
accused, the accused will be "released" from punishment. Therefore, judges must
be careful, careful, and mature in assessing and considering the value of proof.
Examine the minimum limit of "evidentiary power" or bewijskracht of each
evidence tool mentioned in Pasal 184 KUHAP. But in fact there are still many
evidence tools that are sought not in accordance with the proper procedures. In
relation to the proof of due process of law has a close relationship with the
problem of decomposition how to obtain, collect, and submit evidence to the
judge in court starting from the process or usually referred to as bewijsvoering.
Often formalistic things override material truth. Against countries that adhere to
and uphold the due process of law in the law of the event, providing protection to
individuals from the arbitrary actions of state officials in terms of getting special
attention.
In the verdict of case number: 159/Pid.Sus/2020/PN Tte evidence tool
Visum et Repertum Number R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV from RUMKIT
BHAYANGKARA TK.IV POLDA MALUT dated April 15, 2020 signed by dr.
Unzilla, Sp.og., M.Kes. on behalf of Rukia Rukmana. While the real name of the
victim's child in the verdict of the case number: 159/Pid.Sus/2020/PN Tte as
evidenced by the birth certificate presented at the trial was Princess Faradila. So
the evidence visum et repertum has no decency naming of the victim's child. This
happened because of the miss process in the manufacture of visum et repertum of
the victim's child at the beginning of the examination in the police. Based on the
description, there are two problems that will be raised, namely the first problem is
how the power of proof visum et repertum using another name of the victim's
child on (Verdict No. 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) based on Article 187 KUHAP.
While the second problem is the consideration of the judge in proving the actions
of the accused using visum et repertum using another name of the victim's child
on (Verdict No. 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) is in accordance with the evidentiary
system in KUHAP.
The purpose to be achieved in the writing of the thesis this time is first is
to analyze the strength of proof visum et repertum using other names of the
victim's children in the verdict of the case number 159/Pid.Sus/2020/PN Tte based
on Article 187 kuhap and The second purpose is to analyze the consideration of
the judge in proving the defendant's actions using visum et repertum using another
name of the victim's child on (Verdict No. 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) is in
accordance with the evidentiary system in kuhap. The type of research used is
normative legal research. Normative law research itself is legal research to find
the rule of law, legal principles, and legal doctrines to answer legal issues faced so

xv
that the subject of study in normative law will apply in society and to the behavior
of everyone. Then related to this research, the approach used in writing this thesis
is the approach of legislation (statute approach) and conceptual approach
(conceptual approach). The first result of the study is to assess how the judge in
assessing a tool of evidence if in the process of ileh the evidence is not in
accordance with the procedure. Then the second result of the study is to know
how the judge considers when there are two evidence tools that have the same
evidentiary value.
The suggestion of this thesis is the first for lawmakers, especially Law No.
2 of 2002 concerning the State Police of the Republic of Indonesia in order to
clearly define the specific arrangements regarding the technicality of making
Visum Et Repertum as "evidence of commence" in certain crimes as referred to in
article 1 point 14 of Law No. 8 of 1981 concerning KUHAP, in order to establish
a person as a suspect is based on a tool of evidence and lapo police (Witness
evidence and Letter evidence). Because so far only based on general provisions so
the guidelines used by investigators are based only on habits. Second, for police
investigators in the process of finding evidence of criminal cases must be based on
the correct and appropriate procedures not only based on the request from the
victim, because it is not in accordance with the principle of due process of law.
Third, for the Public Prosecutor is expected to be more thorough in obtaining
evidence presented by investigators. Fourth, for the Panel of Judges when in the
trial there are 2 evidence tools that have the same evidentiary power value as
expert information and evidence visum et repertum. Should use expert evidence
that is present in court as a consideration.

xvi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................................ i


HALAMAN SAMPUL DALAM .......................................................................... ii
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
HALAMAN PERSYARATAN GELAR ............................................................. v
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. vii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. ix
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ x
RINGKASAN ..................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ................................. xx
DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN ............................................................. xxi
DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xxii
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
1.4.1Manfaat Teoritis ....................................................................................... 7
1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................................... 7
1.5 Metode Penelitan ......................................................................................... 7
1.5.1 Tipe Penelitian ........................................................................................ 8
1.5.2 Pendekatan Masalah ............................................................................... 8
1.5.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................................ 9
1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum ................................................... 11
1.5.5 Analisis Bahan Hukum ......................................................................... 12
1.6 Sistematika Penelitian .............................................................................. 13

xvii
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 17
2.1 Tindak Pidana Pencabulan Dalam Undang Perlindungan Anak ......... 17
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana ................. 17
2.1.2 Pengertian Tindak Pidana Pencabulan dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak ........................................................................................ 20
2.2 Hukum Pembuktian Perkara Pidana ...................................................... 23
2.2.1 Sistem Pembuktian Perkara Pidana ...................................................... 23
2.2.2 Jenis-jenis Alat Bukti Perkara Pidana ................................................... 27
2.3 Visum Et Repertum................................................................................... 29
2.3.1 Pengertian Visum Et Repertum ............................................................ 29
2.3.2 Dasar Hukum Visum Et Repertum ........................................................ 32
2.4 Asas Due Process of Law .......................................................................... 33
2.5.1 Pengertian Due Process of Law ............................................................ 33
2.5.2 Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ....... 34
2.5 Putusan Pengadilan ................................................................................... 36
2.6.1 Pengertian dan Jenis Putusan Pengadilan ............................................. 36
2.6.2 Hal yang harus dimuat dalam Putusan Pengadilan ............................... 37
2.6.3 Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana ................................... 39
BAB 3. PEMBAHASAN ..................................................................................... 41
3.1 Kekuatan pembuktian visum et repertum yang menggunakan nama lain
dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan
Pasal 187 KUHAP ............................................................................................. 41
3.2 Pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak
korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai dengan
sistem pembuktian di dalam KUHAP ............................................................... 53
BAB 4. PENUTUP............................................................................................... 65
4.1 Kesimpulan ................................................................................................ 65
4.2 Saran ........................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte


DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
7. Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur
Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana
8. Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses penyidikan Tindak Pidana
9. Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997
tentang Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana;
10. Instruksi No. Pol: INS/E/20/IX/75 tentang Tata cara
permohonan/pencabutan Visum Et Repertum
11. Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi
Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya
dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan
Tindak Pidana

xx
DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN

1. Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte

xxi
DAFTAR ISTILAH

1. Due Process of Law : Seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh


hukum yang mana menjadi standar yang berlaku
secara umum
2. Visum Et Repertum. : Keterangan seorang ahli mengenai perlukaan
atau kondisi pada korban yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang.
3. Strafbaarfeit. : Tindak pidana, perbuatan pidana
4. Asas Lex Speciali : Aturan yang lebih khusus mengesampingkan
Derogat Lex aturan yang umum
Generalis
5. Sexual Abuse : Pencabulan
6. Sexual Assault : Serangan seksual
7. Positief Wettelijk : Pembuktian Yang Didasarkan Pada Undang-
Bewisjtheorie Undang Secara Positif
8. Conviction Intime : Pembuktian Yang Didasarkan Pada Keyakinan
Hakim Semata
9. Conviction Raisonee : Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
Atau Alasan Yang Logis
10. Negatief Wettelijk : Pembuktiannya Berdasarkan Undang-Undang
Bewisjtheorie Secara Negatif
11. Bewijsvoering : Penguraian bagaimana cara memperoleh,
mengumpulkan, dan menyampaikan alat-alat
bukti kepada hakim di pengadilan.
12. Bewijsmiddlen : Alat-alat bukti yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa
hukum.
13. Bewijslast : Pembagian beban pembuktian yang diwajibkan

xxii
atau burden of proof oleh undang-undang untuk membuktikan suatu
peristiwa hukum
14. Bewijskracht : Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti
dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu
dakwaan.
15. Bewijs : Bukti minimum yang diperlukan dalam
minimum pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim
yang mana dalam konteks hukum acara
Indonesia untuk menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa paling tidak harus ada dua alat bukti
ditambah dengan keyakinan hakim.

xxiii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perkembangan dari prinsip-prinsip negara hukum merupakan wujud dari
pelaksanaan ketentuan UUD 1945 sebagai konstitusi negara dalam bidang
penegakan hukum pidana sebagaimana diatur juga di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan perbuatan materiil dari
seorang tersangka ataupun terdakwa. Dalam hal ini juga memberikan
perlindungan hak asasi manusia terhadap masyarakat Indonesia yang terkait
dengan proses pidana sebagaimana ditetapkan peraturan perundang-undangan
teknis mengenai hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun dengan
seiringnya perubahan waktu dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, informasi, dan telekomunikasi, kini produk perundang-undangan
tersebut ternyata sudah banyak kekurangan dan tidak cukup mengakomodir
permasalahan yang ada dalam tataran praktik sehingga perlu disempurnakan.
Salah satu yang perlu disempurnakan adalah mengenai proses pembuktian perkara
pidana.
Proses pembuktian dalam perkara pidana merupakan suatu elemen yang
penting dan sangat krusial dalam suatu peradilan pidana sebab merupakan sarana
untuk menemukan kebenaran materiil terhadap dakwaan Penuntut Umum.2
Mengenai kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana tentu harus melalui
proses tahapan dalam pencariannya yaitu dimulai dari tahapan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang mana hal
tersebut untuk menentukan lebih lanjut mengenai putusan pidana yang akan
dijatuhkan nantinya.3

2
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Bakti, 2007),
h.185.
3
Muksimin, Keberadaan Hakim Komisaris dan Transparansi dalam proses penyidikan,
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 16 No. 2, 2016, h.215 – 230.
2

Penemuan terhadap kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana ini tidak
terlepas dari masalah bagaimana proses pembuktiannya, yaitu tentang seperti apa
kejadian yang sebenarnya dan senyatanya. Dalam hal ini aparat penegak hukum
seharusnya dalam memperoleh bukti-bukti untuk menggungkap suatu perkara
haruslah berhati-hati.Hal tersebut berguna untuk menghindari adanya kekeliruan
terhadap penjatuhan pidana nantinya. Sehingga proses pembuktian ini menjadi
proses yang paling penting dalam hukum acara pidana karena proses pembuktian
adalah suatu upaya dalam mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat
bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas besar tidaknya
kesalahan terhadap diri terdakwa.4
Dalam kaitan dengan pembuktian due process of law memiliki hubungan
yang erat dengan masalah penguraian bagaimana cara memperoleh,
mengumpulkan, dan menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan
dimulai dari proses atau biasanya disebut dengan bewijsvoering. Sering kali hal-
hal yang bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil. Terhadap
negara-negara yang menganut dan menjunjung tingggi due process of law dalam
hukum acaranya, memberikan perlindungan kepada individu dari tindakan
sewenang-wenangnya aparat negara dalm hal mendapatkan perhatian khusus.5
Adapun alat-alat bukti yang sah, syarat-syarat dan tata cara mengajukan
bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai
suatu pembuktian juga sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian
dalam memperoleh bukti-bukti yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan
suatu perkara pidana, seringkali aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu
masalah seperti tidak dapat menyelesaikan sendiri karena ada beberapa hal yang
diluar kemampuan atau keahlian dari aparat penegak hukum tersebut. Sehingga
dalam hal ini aparat penegak hukum memerlukan bantuan dari seorang yang
mampu menghadapi atau memecahkan persoalan tersebut dalam hal ini ialah
seorang tenaga ahli.

4
Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Surabaya:
Mandar Maju, 2003), h.10.
5
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.31.
3

Bantuan dari seorang ahli diperlukan dalam proses pembuktian tindak


pidana baik pada tahap pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan dan
peradilan. Berkenaan mengenai permintaan perbantuan dari tenaga ahli ini sudah
diatur di dalam KUHAP yaitu pada Pasal 120 ayat (1) KUHAP dan 180 ayat (1)
KUHAP. Perbantuan ahli ini di dibutuhkan dalam hal mengungkap perkara
pemerkosaan, penganiayaan maupun perkara yang menyebabkan korban
mengalami sakit maupun meninggal dunia. Disini memerlukan bantuan peranan
seorang dokter dalam memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban
tersebut. Hal tersebut merupakan cara untuk mendapatkan bukti atau tanda pada
diri korban dalam hal memberikan petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana
terhadap korban. Kemudian tulis keterangan dokter berupa surat hasil
pemeriksaan fisik yang diberi nama Visum Et Repertum.
Menurut R. Atang Ranoemihardja, S.H. Visum Et Repertum adalah tentang
apa yang dilihat dan diketemukan dalam melakukan terhadap orang yang
mengalami luka atau terhadap mayat yang dituangkan dalam bentuk surat
keterangan.6 Visum Et Repertum semakin hari semakin penting dalam
pengungkapan tanda-tanda kekerasan atau perlukaan terhadap korban pidana
karena keterangan tersebut dijadikan salah satu unsur penting dalam proses
pembuktian untuk membuktikan adanya suatu tindak pidana. Visum Et Repertum
diklasifikasikan sebagai alat bukti berupa surat, dalam Pasal 187 KUHAP huruf a,
b, dan c menunjukkan bahwa surat tersebut merupakan alat bukti yang sempurna.
Hal tersebut dikarenakan surat merupakan akta otentik yang dibuat secara resmi
berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Akan tetapi pada
pelaksanaan prosedur pembuatannya seringkali aparat penegak hukum sering
mengabaikan hal-hal prosedural. Berdasarkan hal tersebut sangat jelas
berimplikasi terhadap bagaimana nilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang
diperoleh yang didapatkan ketika tidak sesuai prosedur.
Kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan sampai dengan
persidangan di pengadilan sangat membantu dalam penyelesaian perkara pidana,

6
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung:
Tarsito,1983), h.18.
4

karena tanpa adanya alat bukti perkara tidak dapat diselesaikan untuk mengetahui
kebenaran meteriil terhadap telah terjadinya tindak pidana yang mana dalam
sistem peradilan keberadaan alat bukti sangat menentukan putusan hukum yang
diambil oleh hakim berdasarkan ketentuan sistem pembuktian sebagaimana dalam
KUHAP. Selain itu pertimbangan hakim mengenai bagamaina kekuatan alat bukti
yang ada di persidangan memiliki peran yang penting sebelum menjatuhkan
putusan sebagaimana proses sistem pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP.7
Disini peneliti menemukan salah satu putusan pengadilan negeri yang menarik
untuk dikaji dan dibahas adalah putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte
perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak. Adapun kasus posisinya adalah
sebagai berikut:
Terdakwa Risan Hurulean Alias Risan (selanjutnya disebut sebagai
Terdakwa), lahir di Ambon, tanggal 1 Desember 1996, jenis kelamin laki-laki,
agama Islam, kewarganegaraan Indonesi, tempat tinggal di Kelurahan Bastiong
Karance, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate, bekerja sebagai tukang
ojek. Pada hari Minggu tanggal 12 April 2020 sekitar pukul 10.30 WITA
bertempat di dalam kamar kos di Kelurahan Tonggole Bastiong Karance,
Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate terdakwa mendapati anak korban
Putri Faradila (selanjutnya disebut sebagai anak korban) sedang bermain dengan
kakaknya anak saksi Fitri Gamar Jaber alias Fitri (selanjutnya disebut sebagai
anak saksi). Setelah melihat anak korban, terdakwa langsung duduk diantara anak
korban dan anak saksi. Kemudian terdakwa mengatakan kepada anak korban “Ila,
pegang pepe dolo” (Ila, pegang (kemaluan peremuan) dulu) dan terdakwa
langsung memasukkan tangannya kedalam celana anak korban dan mencubit
kemaluan anak korban. Karena kemaluan anak korban telah dicubit anak korban
merasakan sakit dan berteriak sehingga terdakwa tidak melanjutkan lagi
perbuatannya dan pada saat itu terdakwa langsung pergi kedalam kamarnya.
Perbuatan terdakwa memegang kemaluan anak korban tersebut telah sering
dilakukan oleh terdakwa sejak bulan Maret 2020 tanpa sepengetahuan dari orang

7
Rusyadi, Kekuatan alat bukti dalam persidangan perkara pidana, Jurnal Hukum Prioris,
Vol 5 No.2, 2016, h.2.
5

tua anak korban. Setelah perbuatan yang dilakukan terdakwa terhadap anak
korban, anak korban sempat mengalami demam selama 4 (empat) hari serta
mengalami trauma psikis dimana anak korban sudah tidak ceria seperti biasanya
dan cenderung merasa ketakutan. Akibat perbuatan terdakwa anak korban
menderita sakit pada kemaluannya sebagaimana hasil Visum Et Repertum
Nomor: R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT BHAYANGKARA
TK.IV POLDA MALUT yang ditandatangani oleh dr. UNZILLA, Sp.og.M.Kes
yang pada kesimpulannya telah dilakukan pemeriksaa terhadap seorang
perempuan yang berdasarkan surat permintaan Visum Et Repertum berusia empat
tahun, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Pada
pemeriksaan tanda vital didapatkan tekananan darah seratus per delapan puluh
milimeter air raksa, laju nadi delapan puluh empat per menit laju nafas dua puluh
kali per menit, suhu tubuh tiga puluh enam koma empat derajat celcius. Kemudian
pada pemeriksaan alat kelamin ditemukan bengkak dan kemerahan dibagian bibir
vagina dengan ukuran dua kali dua centimeter akibat persentuhan benda tumpul.
Terdakwa di persidangan didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 82
Ayat (1) Jo Pasal 76 E UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Berdasarkan hasil
pembuktian yang ada di persidangan, JPU dalam surat tuntutannya meminta agar
majelis hakim menjatuhkan putusan bersalah sebagaimana tindak pidana
perlindungan anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan
tunggal yang melanggar Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76 E UU Nomor 17 Tahun
2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak dan menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan
membayar denda sebesar Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) Subsidair 3
(tiga) bulan penjara dikurangi selama terdakwa menjalani masa penahanan
sementara dengan perintah agar tetap ditahan.
Hal yang menarik dalam putusan ini ialah pada proses pembuktikannya
diketemukan bahwa terdapat salah satu bukti surat yang berupa Visum Et
Repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban yaitu Rukia Rukmana.
Penamaan anak korban tersebut tidak sesuai dengan nama anak korban
6

sebagaimana dalam kutipan akta kelahirannya yang tertera Putri Faradila. Hal
tersebut terjadi karena pada saat prosedur ketentuan pembuatan surat permintaan
Visum Et Repertum di tahap penyidikan tidak sesuai dengan aturan yang ada di
dalam prosedur yang ada di Lembaga Kepolisian sebagaimana yang tercantum
didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Sehingga seharusnya surat permintaan Visum Et Repertum
haruslah dibuat dengan dengan sesuai prosedur yaitu berdasarkan berkas laporan
kepolisian bukan berdasarkan permintaan dari pihak korban. Karena hukum acara
pidana menganut nilai kepastian hukum dalam setiap alat buktinya dan selain itu
fungsi dari Visum Et Repertum tersebut sangat penting dalam hal membuktikan
perbuatan terdakwa di dalam persidangan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas oleh Peneliti dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kekuatan pembuktian visum et repertum yang menggunakan nama
lain dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)
berdasarkan Pasal 187 KUHAP?
2. Apakah pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak
korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai dengan
sistem pembuktian di dalam KUHAP?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian skripsi ini antara lain
sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis kekuatan pembuktian visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban pada (Putusan Nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan Pasal 187 KUHAP?
2. Untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan
terdakwa menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari
7

anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai


dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis yakni
sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis


Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan manfaat dalam memahami
bagaimana kekuatan pembuktian dari visum et repertum yang menggunakan nama
lain dari anak korban yang mana diketahui dalam proses pembuatannya tidak
melalui prosedur yang benar dan tepat atau bertentangan dengan due process of
law atau proses hukum yang adil. Sehingga dalam hal ini mempengaruhi
bagaimana nilai kekuatan pembuktian atau parameter dari alat bukti surat yang
berupa visum et repertum tersebut.

1.4.2 Manfaat Praktis


Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat dalam memberi
pemahaman mengenai bagaimanakah sistem pencarian alat bukti perkara pidana
yang tepat dengan menekankan melalui prosedur yang benar sesuai aturan atau
ketentuan yang sudah diatur di dalam KUHAP. Sehingga pada akhirnya alat bukti
perkara pidana yang dicari oleh pihak penyidik pada saat tahap penyidikan akan
menjadi alat bukti sah dan mempunyai nilai pembuktian yang kuat pada saat tahap
di persidangan.

1.5 Metode Penelitan


Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten. Metodelogis berarti sesuai dengan sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangaka tertentu.8

8
Tajul Arifin, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.13.
8

Penelitian memiliki fungsi untuk jawaban atas suatu isu hukum tertentu
dan merupakan salah satu upaya untuk pengembangan hukum.9 Oleh karenanya,
dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metodologi penelitian
untuk mendapatkan kebenaran tersebut agar penulisan karya ilmiah sesuai dengan
kaidah hukum yang ada. Metode penelitian yang dilakukan meliputi tipe
penelitian, pendekatan penelitian, dan analisis bahan hukum.

1.5.1 Tipe Penelitian


Penelitian hukum dilakukan sebagai suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna mengatasi isu
hokum yang dihadapi.10 Penelitian hukum doktrinal (doctrinal research) adalah
penelitian yang berbasis kepustakaan, dan berfokus pada analisis bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Pendekatan kepustakaan berarti juga
mempelajari buku-buku, jurnal-jurnal, dan dokumen-dokumen lain yang
dibutuhkan dalam penelitian ini. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum doktrinal (doctrinal research), yaitu dengan menelaah
bahan hukum baik primer, sekunder, maupun tersier untuk menjawab isu hukum
yang menjadi fokus penelitian.

1.5.2 Pendekatan Masalah


Pada suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan
didasarkan pada pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Ada
beberapa pendekatan di dalam penelitian hukum, yaitu:
1. pendekatan undang-undang
2. pendekatan kasus
3. pendekatan historis,
4. pendekatan komparatif

9
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Effendi, Penelitian Hukum (Legal Research),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h.7.
10
Ibid., h. 3.
9

5. dan pendekatan konseptual. 11


Dari pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan penelitan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual.
Melalui pendekatan perundang-undangan atau pendekatan yuridis yaitu
penelitian terhadap produk-produk hukum. penulis menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang berkaitan penelitian dengan isu-isu hukum yang akan
diteliti, pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara peraturan
perundang-undangan yang satu dan yang lain.12
Pendekatan konseptual dilakukan manakala penulis beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu
hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang
dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapi.13

1.5.3 Sumber Bahan Hukum


Bahan hukum merupakan suatu bentuk sarana dari suatu penulisan yang
digunakan untuk memecahkan isu atau permasalahan hukum dan sekaligus
memberikan pandangan atau perkripsi tentang apa yang dibuthkan dari sumber
hukum dalam mendukung penelitian. Bahan atau sumber hukum yang digunakan
dalam penelitian ini, antara lain:14

11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2016)., h. 93.
12
Ibid.
13
Ibid, h. 135
14
Ibid, h. 181
10

1. Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki sifat autoratif,
artinya bahan hukum primer mempunyai memiliki otoritas dan bersifat mengikat.
Bahan-bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim.15 Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini meliputi:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
f. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
g. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
h. Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur
Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana
i. Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses penyidikan Tindak Pidana
j. Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997
tentang Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana;
k. Instruksi No. Pol: INS/E/20/IX/75 tentang Tata cara
permohonan/pencabutan Visum Et Repertum
l. Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi
Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana,
khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses
Penyidikan Tindak Pidana

15
Ibid., h. 52.
11

m. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor


159/Pid.Sus/2020/PN Tte

2. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yang diperoleh dari studi
kepustakaan berupa literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi mengenai hukum
yang bukan merupakan dokumen resmi.16 Bahan hukum sekunder meliputi buku-
buku hukum yang ditulis oleh para ahli hukum, kamus hukum, ensiklopedia
hukum, jurnal-jurnal hukum, disertasi hukum, tesis hukum, dan skripsi hukum.17
Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam
penulisan skripsi ini meliputi buku-buku teks (literatur), jurnal-jurnal hukum,
komentar-komentar ahli hukum, media cetak maupun elektronik (internet).

3. Bahan Non Hukum


Selain bahan hukum, penelitian hukum dapat mempergunakan bahan non
hukum. Penggunaan bahan non hukum hanya meliputi bahan yang sesuai dengan
topik penelitian. Penggunaan bahan non hukum dalam penelitian hukum tidak
diwajibkan (fakultatif) dan hanya sekedar untuk memperkuat argumentasi
mengenai isu yang dibahas.18

1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum


Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan
(dokumen), dimana studi kepustakaan ini kemudian dapat dipahami sebagai suatu
alat pengumpulan bahan hukum yang didapatkan melalui bahan hukum tertulis
dengan mempergunakan content analisys. Sedangkan menurut Peter Mahmud
menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan yaitu jenis penelitian yang dilakukan
dengan membaca buku-buku atau majalah dan sumber data lainnya untuk
menghimpun data dari berbagai literatur, baik perpustakaan maupun di tempat-

16
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 181.
17
Dyah Ochtorina Susanti, Aan Efendi, Loc.Cit.
18
Ibid., h. 109.
12

tempat lain.19 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penelitian


kepustakaan tidak hanya kegiatan membaca dan mencatat data-data yang telah
dikumpulkan. Tetapi lebih dari itu, peneliti harus mampu mengolah data yang
telah terkumpul dengan tahap-tahap penelitian kepustakaan.

1.5.5 Analisis Bahan Hukum


Saat melakukan suatu analisis bahan hukum merupakan suatu cara atau
metode untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang diteliti dalam
penulisan karya ilmiah ini. Adapun penulisan dalam melakukan analisis terhadap
permasalahan ini adalah menggunakan metode deduktif. Metode deduktif yaitu
berpangkal pada prinsip dasar. Kemudian peneliti tersebut menghadirkan obyek
yang hendak diteliti.20 Langlah-langkah yang dilakukan untuk mencari solusi
terhadap isu hukum yang ada dalam karya tulis ilmiah ini ialah sebagai berikut:21
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan memilah hal-hal yang dianggap tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang akan diselesaikan atau
dipecahkan;
2. Mengumpulkan materi atau bahan hukum maupun non hukum yang
dianggap relevan dengan isu hukum;
3. Memeriksa kembali terkait isu hukum yang diajukan berdasarkan materi
yang dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi untuk menjawab isu
hukum; dan
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibuat di
dalam kesimpulan.
Langkah-langkah tersebut merupakan metode analisis untuk mendapatkan
hasil analisis yang dapat memberikan pemahaman tetanng isu hukum yang
ada, sehingga penelitian hukum yang dilakukan dapat menemukan
kesimpulan yang tepat. Dalam melakukan penulisan skripsi ini langkah-

19
Peter Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.
31.
20
Ibid, h.204.
21
Ibid, h.214.
13

langkah yang dilakukan oleh penulis ialah petama penulis mengidentifikasi


fakta hukum yang ada terkait kekuatan pembuktian visum et repertum
yang menggunakan nama lain dari anak korban tindak pidana pencabulan,
kemudian melakukan penetapan terhadap isu hukum sebagaimana telah
disebutkan dalam rumusan masalah diatas. Setelah itu penulis
mengumpulkan materi atau bahan-bahan hukum yang relevan dengan
permasalahan yang akan dipecahkan. Bahan-bahan hukum yang disusun
secara sistematis berdasarkan logika deduksi yakni didasarkan pada
prinsip-prinsip umum yang mengarah pada prinsip-prinsip khusus.
Kemudian dihubungkan dengan isu hukum yang akan dianalisis kemudian
ditarik kesimpulan berupa argumentasi untuk menjawab permasalahan
tersebut. Hasil dari analisa hukum yang telah diuraikan tersebut akan dapat
memberikan suatu pemahaman yang jelas dan lengkap dan dituangkan
dalam bentuk pemikiran berdasarkan argumentasi yang telah disebutkan
dalam kesimpulan.22

1.6 Sistematika Penelitian


Sistematika penulisan dalam penulisan karya ilmiah ini dibagi dalam 4
(empat) bab yaitu, Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Kajian Pustaka, Bab 3 Pembahasan,
dan Bab 4 Penutup. Sistematika penulisa dapat digunakan sebagai pedoman oleh
penulis untuk mempermudah pembahasan dan memberikan gambaran mengenai
sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum.
Adapun sistematika penulisan yang dipakai penulis sebagai berikut:
BAB 1. Pendahuluan. Didalam pendahuluan ini menguraikan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian.
1. Latar belakang masalah menguraikan alasan-alasan pentingnya pembahasan
tentang bagaiamana kekuatan pembuktian terhadap visum et repertum baik
dari segi formil dan materiil jika di tinjau dari proses perolehan alat bukti
tersebut berdasarkan asas due process of law.
2. Rumusan masalah terdiri dari 2 (dua) hal, yakni:

22
Ibid, h. 84.
14

a. Bagaimana kekuatan pembuktian visum et repertum yang menggunakan


nama lain dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN
Tte) berdasarkan Pasal 187 KUHAP?
b. Apakah pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak
korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai
dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP?
3. Tujuan Penulisan ini ialah:
a. Untuk menganalisis kekuatan pembuktian visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban pada (Putusan Nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan Pasal 187 KUHAP?
b. Untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan
terdakwa menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain
dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah
sesuai dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP.
4. Manfaat penulisan ini ialah:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan manfaat dalam memahami
bagaimana kekuatan pembuktian dari visum et repertum yang menggunakan
nama lain dari anak korban yang mana diketahui dalam proses pembuatannya
tidak melalui prosedur yang benar dan tepat atau bertentangan dengan due
process of law atau proses hukum yang adil. Sehingga dalam hal ini
mempengaruhi bagaimana nilai kekuatan pembuktian atau parameter dari alat
bukti surat yang berupa visum et repertum tersebut.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat dalam memberi
pemahaman mengenai bagaimanakah sistem pencarian alat bukti perkara
pidana yang tepat dengan menekankan melalui prosedur yang benar sesuai
aturan atau ketentuan yang sudah diatur di dalam KUHAP. Sehingga pada
akhirnya alat bukti perkara pidana yang dicari oleh pihak penyidik pada saat
15

tahap penyidikan akan menjadi alat bukti sah dan mempunyai nilai
pembuktian yang kuat pada saat tahap di persidangan.
5. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual
approach).
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA, menguraikan tentang pengertian-pengertian serta
istilah-istilah yang digunakan sebagai bahan penelitian dan pembahasan awal
dalam skripsi ini. Diantaranya meliputi, Tindak Pidana Pencabulan dalam
Undang-undang Perlindungan Anak yang didalamnya menjelaskan terkait
pengertian tindak pidana dan unsur- unsur tindak pidana secara umum dan juga
menjelaskan pengertian tindak pidana pencabulan dalam undang-undang
perlindungan anaka, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan Hukum
Pembuktian Perkara Pidana dengan sub pembahasan yakni sistem pembuktian
perkara pidana dan jenis-jenis alat bukti perkara pidana, selanjutnya pembahasan
mengenai Visum Et Repertum terkait permasalahan dengan sub pembahasan
pengertian dari visum et repertum itu sendiri dan dasar hukum visum et repertum,
kemudian membahas mengenai Asas Due Process of Law sub pembahasannya
mengenai pengertian Due Process of Law dan bagaimana Due Process of Law
dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia untuk pembahasan kajian pustaka
yang terakhir membahas tentang Putusan Pengadilan dengan sub pengertian dan
jenis putusan pengadilan, hal yang harus dimuat dalam putusan pengadilan dan
pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana.
BAB 3. PEMBAHASAN, dalam bab ini berisi pembahasan yang menjawab
rumusan masalah dalam bab 1 yaitu; pertama, Bagaimana kekuatan pembuktian
visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban pada (Putusan
Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan Pasal 187 KUHAP. Kedua,
Apakah pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban
pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai dengan sistem
pembuktian di dalam KUHAP.
16

BAB 4. PENUTUP, merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran bagi
masyarakat ataupun lembaga yang terkait dengan pembahasan skripsi ini.
Kesimpulan merupakan pernyataan akhir penulis tentang pembahasannya
terhadap rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian. Sedangkan saran
berisi masukan, pendapat, atau rekomendasi dari penulis atas penelitian yang telah
dilakukan dengan harapan dapat memberikan konstribusi dan solusi yang baik
bagi segala pihak yang berkepentingan.
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tindak Pidana Pencabulan Dalam Undang Perlindungan Anak


2.1.1 Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit. Istilah strafbaarfeit
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Istilah dari strafbaarfeit ini berasal
dari kata, yaitu straf yang berarti hukuman atau pidana, baar artinya dapat, dan
feit mempunyai arti perbuatan atau fakta, sehingga yang dimaksud dengan
strafbaarfeit adalah perbuatan yang dapat dipidana.23
Para pakar hukum pidana Indonesia memberikan definisi mengenai
pengertian strafbaarfeit, seperti Moeljatno yang merumuskan istilah strafbaarfeit
menjadi perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum. Perbuatan tersebut dilarang serta memiliki ancaman sanksi dalam
bentuk pidana tertentu, hal tersebut berlaku bagi siapa saja yang melanggar aturan
tersebut.24. Sedangkan menurut Andi Hamzah Strafbaarfeit ialah sebagai delik
yang memiliki pengertian yakni perbuatan atau tindakan yang terlarang dan
diancam hukuman oleh undang-undang (pidana).25 Selanjutnya menurut S.R.
Sianturi, tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu, dan
keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh
ketentuan undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan yang
telah dilakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab).26
Selain ahli hukum pidana Indonesia, ahli hukum mancanegara juga
memberikan definisi mengenai pengertian dari strafbaarfeit, seperti Simons yang
menerangkan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam oleh
pidana, yang bersifat melawan hukum, dimana berhubungan dengan kesalahan

23
Mascruchin Ruba’i, Buku Ajar Hukum Pidana, (Malang: Media Nusa Creative, 2015),
h.78.
24
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), h. 59.
25
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h.72-88.
26
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni, 1982), h.207.
18

dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.27 Selanjutnya


Van Hamel merumuskan strafbaarfeit adalah perilaku manusia (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan.28 Sedangkan
Jongkers memberi pengertian terhadap strafbaarfeit ini ialah sebagai suatu
perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yangmana berhubungan
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana.29
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengertian dari tindak
pidana merupakan terjemahan dari istilah kata strafbaarfeit, meskipun ada istilah
lain untuk memberikan gambaran mengenai tindak pidana yaitu seperti delik
pidana maupun perbuatan pidana. Sedangkan dalam pengertian strafbaarfeit itu
sendiri dapat diartikan sebagai peristiwa yang dapat dipidana atau suatu perbuatan
yang dapat dipidana. Sedangkan mengenai delik dalam bahasa asing disebut delict
yang berarti suatu perbuatan dimana pelakunya dapat dikenakan hukuman
(pidana).
Kemudian berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan diatas
baik dari pakar hukum Indonesia maupun manca negara memiliki pengertian yang
relatif sama mengenai strafbaarfeit ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
ketentuan aturan hukum atau undang-undang dan perbuatan tersebut dapat dijatuhi
hukuman berupa pidana. Sehingga pada penelitian ini istilah strafbaarfeit
diterjemahkan ke dalam tindak pidana.
Berdasarkan pengertian tindak pidana sebagaimana yang sudah dijelaskan
diatas maka dalam menentukan bagaimana suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai
tindak pidana adalah perbuatan tersebut harus dilarang dan diancamkan pidana
terhadap orang yang telah melakukan perbuatan tersebut atau biasanya di dalam
rumusan hukum pidana disebut sebagai barang siapa yang melanggar larangan

27
Moeljatno, Ibid. h.61.
28
Ibid.
29
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I; Stelsel Pidana, Teori-teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h.75.
19

tersebut. Hal tersebut bisa diketahui dangan cara menganalisis apakah perbuatan
yang dilakukan telah memenuhi unsur-unsur yang telah diatur dalam sebuah
ketentuan dala Pasal hukum pidana tertentu atau tidak. Menurut Moeljatno unsur-
unsur atau elemen-elemen dari perbuatan pidana (tindak pidana adalah:30
a. Kelakuan dan akibat (= perbuatan).
b. Hal Ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Menurut Van Hamel
hal ikhwal dibagi kedalam dua golongan yaitu mengenai diri orang yang
melakukan per buatan dan yang menegenai di luar diri si pelaku.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Keadaan yang timbul
sesudah dilakukan perbuatan tertentu yang mana keadaan tambahan ini
dikarenakan telah terpenuhinya unsur-unsur yang memberatkan pidana
pada suatu perbuatan pidana. Sebagai contoh Pasal 351 Ayar 1 KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Namun, jika perbuatan tersebut menimbulkan luka-luka berat, ancaman
pidananya menjadi diperberat selama lima tahun dan jika perbuatan
tesebut mengakibatkan kematian maka ancaman pidananya menjadi tujuh
tahun (Pasal 521 Ayat 2 dan 3 KUHP).
d. Unsur melawan hukum yang objektif. Unsur yang berasal dari luar diri si
pelaku yang mana unsur-unsur tersebut ada hubungannya dengan keadaan
dimana tindakan atau perbuatan si pelaku itu harus dilakukan. Sebagai
contoh bisa dilihat pada Pasal 406 yaitu mengenai mengahancurkan atau
merusak barang, sidang melawan hukumnya perbuatan ternyata dari hal
barang yang bukan miliknya dan tidak mendapat izin dari pemilik barang
tersebut untuk berbuat sepertim itu.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif. Unsur sifat melawan hukumnya
berasal dari dalam hati sanubari terdakwa itu sendiri yang mana sifat
melawan hukum perbuatannya tergantung pada bagaima sikap batin dari
diri terdakwa jadi merupakan unsur yang subjektif.

30
Moeljatno, Op. Cit, h. 69.
20

2.1.2 Pengertian Tindak Pidana Pencabulan dalam Undang-Undang


Perlindungan Anak

Berkaitan dengan persoalan tentang perbuatan pencabulan, pecabulan


merupakan istilah dari sebuah kejahatan terhadap seksual yaitu istilah
“pencabulan” (sexual abuse), “serangan seksual” (sexual assault), dan “pelecehan
seksual (sexual harassment). Perbuatan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 390 RUU KUHP yang diambil dari Pasal 289 KUHP adalah kejahatan
dalam lingkungan nafsu birahi kelamin atau seksual misalnya seorang laki-laki
menarik tangan seorang wanita dengan paksa dan menyentuhkan pada alat
kelaminnya atau seorang laki-laki yang meraba-raba seorang anak perempuan dan
kemudian membuka kancing baju anak tersebut agar dapat mengelus buah dada
dan menciumnya dengan maksud untuk memuaskan nafsu seksualnya.31
Menurut Adami Chazawi perbuatan Cabul (ontuchtige handeligen) adalah
segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun
dilakukan oleh orang lain maupun dilakukan terhadap orang lain yang
berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yangmana dapat
merangsang nafsu seksual.32 Selanjutnya Soetandyo Wignjosoebroto memberikan
pengertian mengenai pencabulan ialah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu
seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara yang
menurut moral atau hukum sudah melanggar ketentuan yang berlaku.33 Sedangkan
menurut R. Soesilo pencabulan adalah perilaku atau segala perbuatan yang
melanggar nilai kesusilaan atau perbuatan yang keji di lingkungan seksual, seperti
mencium, menyentuh anggota alat kelamin, menyentuh payudara, dll.34
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengertian dari pencabulan
adalah suatu perbuatan pidana atau kejahatan terhadap seksual yang mana

31
Soedarso, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.65.
32
Adami Chawawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005), h.80.
33
Rahmat Hidayat, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan
(Studi Putusan Pidana No.42/PID. B/2012/PN-YK), Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum
Indonesia.
34
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Islam Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1995), h. 212.
21

memiliki dampak yang sangat buruk terutama pada korbannya. Karena dalam hal
ini, korban biasanya menderita ancaman fisik kekerasan atau bentuk psikologis,
dan biasanya dalam keadaan kehilangan kesadaran, tidak berdaya, masih di bawah
umur atau keterbelakangan mental, atau dalam keadaan lain tidak dapat menolak
apa yang terjadi maupun tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi
padanya. Dengan ini perbuatan pencabulan melanggar hak asasi manusia serta
dapat merusak martabat kemanusiaan, khususnya terhadap jiwa, akal dan
keturunan.
Kemudian menganai pencabulan terhadap anak diatur di dalam beberapa
Pasal dalam Buku II tentang Pidana Kesusilaan dalam KUHP, yaitu pada 292
KUHP, Pasal 293, Pasal 294 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dan Pasal 295 KUHP.
Akan tetapi pada saat ini mengenai tindak pidana pencabulan terhadap korban
anak diatur lebih khusus dalam UU Perlindungan Anak dalam rangka
menegakkan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana
persetubuhan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E
UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.35
Sistem pidana di Indonesia berlaku asas Lex Speciali Derogat Lex
Generalis yang berarti bahwa aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan
yang umum. Hal tersebut diterapkan dalam rangka memeberikan kepastian hukum
hukum kepada para penegak hukum dalam bagaimana menerapkan suatu
peraturan perundang-undangan. Maka dari itu disini dengan adanya UU
Perlindungan Anak khususnya Pasal 82 dapat dikatakan mengesampingkan Pasal
294 KUHP karena Pasal tersebut sudah tidak dapat diterapkan lagi untuk
pencabulan yang dilakukan terhadap anak.
Kasus yang menjadi penelitian dalam penulisan ini , dalam surat tuntutan
jaksanya ialah Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang
perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam proses persidangan yang terbukti dan menjadi dasar hakim memutus

35
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
22

perkara tersebut yaitu Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E UU Nomor 12 Tahun 2016
tentang perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Sedangkan yang dimaksud dari Anak menurut bahasa merupakan keturunan
dari hasil hubungan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Undang-Undang
No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, memberikan definisi mengenai
anak ialah amanah yang telah dikaruniai dari Tuhan Yang Maha Esa dimana di
dalam diri anak tersebut telah melekat harkat dan martabat menjadi manusia yang
seutuhnya.36
Sebagai generasi penerus anak adalah calon pengelola negara harus
dipersiapkan sejak dini melalui bagaimana perwujudan dari haknya. Hak tersebut
mengacu pada hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta medapatkan bentuk perdlindungan
terhadap tindak kekerasan dan diskriminasi. Berikut ini adalah uraian tentang
pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan:
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kedudukan seorang
anak dalam hukum pidana di Indonesia diletakkan dalam pengertian seorang
anak yang belum dewasa yang memiliki hak-hak khusus yang dijaminkan
dalam undang-undang dan berhak mendapat perlindungan berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku.37
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menekankan
perlunya memperkuat atau menegakkan sanksi pidana dan denda bagi pelaku
kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual, untuk memberikan
efek jera terhdap pelaku dan mendorong tindakan yang lebih nyata dalam
memulihkan kondisi anak secara fisik, mental maupun sosial.38
3. Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia tahun 1999 Menurut

36
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
37
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
38
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
23

Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia tahun 1999,


pengertian anak tertuang dalam Bab Satu Ketentuan Umum. Pasal 1 ayat 5
menyatakan: "Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut untuk kepentingannya."39
Dalam penelitian ini, penulis menganalisis tentang anak yang berkaitan
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2.2 Hukum Pembuktian Perkara Pidana


2.2.1 Sistem Pembuktian Perkara Pidana
Pada dasarnya sistem pembuktian merupakan pengaturan mengenai tentang
jenis maupun macam-macam alat bukti yang dapat digunakan, bagaimana
penguraian alat bukti tersebut, seperti apa cara penggunaan alat bukti tersebut, dan
pengaturan bagaimana hakim menegakkan keyakinan terhadap alat bukti tersebut
di pengadilan. Karena pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting
dalam proses persidangan perkara pidana.
Pembuktian itu sendiri adalah perbuatan membuktikan, membuktikan
berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai
kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan. R.
Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.40
Selanjutnya Syaiful Bakhri juga memberi pengertian pembuktian sebagai
ketentuan-ketentuan yang memuat garis besar dan pedoman cara hukum yang
benar dan membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Pembuktian adalah suatu
pengaturan mengenai alat bukti yang di benarkam dalam undang-undang. Hakim
menggunakan alat bukti tersebut untuk membuktikan kesalahan terdakwa di

39
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
40
Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), h.1.
24

pengadilan, namun tidak benarkan membuktikan kesalahan terdakwa tanpa alasan


yuridis dan berdasarkan keadilan.41
Menurut M. Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan yang berisi garis
besar dan pedoman tentang cara yang tepat dalam membuktikan kesalahan
terdakwa sebagaimana surat dakwaan yang telah didakwakan yang mana hal
tersebut juga dibenarkan oleh undang-undang. Pembuktian juga merupakan
ketentuan tentang alat bukti yang mengatur bagaimana alat-alat bukti dan
mengatur kesalahan terdakwa berdasarkan undang-undang.42
Menurut Eddy O.S. Hiariej hukum pembuktian adalah ketentuan-ketentuan
yang berkenaan dengan segala proses dari pencarian alat bukti, barang bukti,
bagaimana cara mengumpulkannya, dan memperoleh bukti-bukti tersebut hingga
sampai bukti tersebut ke sidang pengadilan serta bagaimana kekuatan pembuktian
maupun beban pembuktiannya.43
Dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian merupakan upaya hukum
untuk memperjelas status hukum para pihak berdasarkan dalil-dalil hukum yang
dikemukakan oleh para pihak yang berperkara. Hal ini dapat memberikan
gambaran yang jelas bagi hakim untuk mengambil kesimpulan dan keputusan
benar dan salahnya para pihak dalam perkara tersebut.
Kemudian dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,
dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian atau yang dikenal dengan
bewisjtheorie yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan.
Dalam teori tersebut ada empat macam pembuktian yaitu pembuktian yang
didasarkan pada undang-undang secara positif (positief wettelijk bewisjtheorie),
pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hakim semata (conviction intime),
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atau alasan yang logis (conviction
raisonee) dan pembuktiannya berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk bewisjtheorie).

41
Syaiful Bakhri¸ Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan, (Jakarta: P3IH dan Total
Media, 2009), h.27.
42
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h.252.
43
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.5.
25

Pertama, Positief wettelijk bewisjtheore ini digunakan dalam hukum acara


perdata. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa kebenaran yang dicari
dalam hukum perdata adalah kebenaran formal. Artinya, kebenaran hanya
didasarkan pada alat bukti semata sebagaimana disebutkan undang-undang.
Kedua, conviction intime yang berarti keyakinan semata. Artinya, dalam
menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya semata-mata diserahkan kepada
keyakinan hakim. Dia tidak terikat kepada alat bukti, namun atas dasar keyakinan
yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksana seorang hakim, ia dapat
menjatuhkan putusan. Ketiga, conviction raisonee. Artinya, dasar pembuktian
menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Disini
hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti disertai dengan alasan yang
logis. Keempat, negatief wettelijk bewisjtheorie atau pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Indonesia menggunaka sistem peradilan dengan teori ini.
Sistem pembuktian negatif ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam
menentukan kesalahan terdakwa dan tidak ada yang paling dominan diantara
kedua unsur tersebut. Terdakwa dapat dikatakan bersalah jika ada suatu alat bukti
yang sah menurut undang-undang dan keyakinan hakim terhadap tindakan
terdakwa.44 Dalam hal ini dasar pembuktian dari suatu perkara pidana
berpedoman pada keyakinan hakim yang timbul dari alat bukti dalam undang-
undang secara negatif. Hal ini dituangkan dalam Pasal 183 KUHAP yang
berbunyi bahwa :
”Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”.
Dari Pasal tersebut dapat secara nyata kita tarik kesimpulan bahwa
pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang terkait dalam hal ini adalah
KUHAP, yaitu dua alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 184
KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti

44
Waluyadi, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi,
(Bandung: Mandar Maju, 2004), h.39.
26

tersebut. Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang sah terdiri dari
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Selain itu Eddy O.S. Hiariaej menyebutkan bahwa pembuktian mempunyai
parameter kekuatan pembuktiannya antara lain yaitu: bewijstheorie,
bewijsmiddlen, bewijsvoering, bewijslast, bewijskracht, dan bewijs minimum.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwa yang pertama bewijstheorie
adalah sebuah teori nyang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di
pengadilan yang teridiri dari empat teori yaitu: Positief wettelijk bewisjtheore,
conviction intime, conviction raisonee negatief dan wettelijk bewisjtheorie.
Kemudian kedua bewijsmiddlen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Ketiga, bewijsvoering
diartikan sebagai penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti
kepada hakim di pengadilan. Bewijslast atau burden of proof adalah pembagian
beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
suatu peristiwa hukum. Keempat, bewijskracht diartikan sebagai kekuatan
pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu
dakwaan. Sedangkan yang kelima bewijs minimum adalah butkti minimum yang
diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim yang mana dalam
konteks hukum acara Indonesia untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
paling tidak harus ada dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim.45
Berdasarkan kutipan diatas dapat diartikan bahwa praktik pembuktian
dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Uraian mengenai sistem pembuktian perkara
pidana di Indonesia perlu dimasukkan dalam kajian penelitian sebab sistem
pembuktian perkara pidana turut mengimplementasikan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana secara lengkap dan detail. Sebelum masuk ke dalam
pembahasan mengenai masing-masing dari alat bukti dalam pembuktian perkara
pidana maka kajian mengenai pembuktian perkara pidana seperti apa yang dianut
oleh Indonesia perlu untuk dibahas.

45
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.15-27.
27

2.2.2 Jenis-jenis Alat Bukti Perkara Pidana


Berkaitan dengan hukum pembuktian dalam perkara pidana, pembuktian
tidak terlepas dari adanya alat bukti karena alat bukti tersebut berkaitan dengan
suatu perbuatan dan dimana alat bukti yang ada dapat digunakan sebagai bahan
pembuktian yang berguna untuk menimbulkan keyakinan pada hakim bahwa
benar telah terjadi suatu tindak pidan yang mana dan terdakwalah yang melakukan
perbuatan tersebut.
Alat bukti memiliki istilah Bahasa Belanda yaitu Convictie, Volledig
Overtuigend bewijs inrecht atau dapat dimaknai sebagai bukti yang meyakinkan.
Sedangkan dalam istilah bahasa inggris memiliki arti the convinced proof; the
convinced evidence merupakan bukti yang meyakinkan. Indonesia yang menganut
sistem pembuktian secara negatif berdasarkan undang-undang atau negatief
wettelijk membatasi hanya alat bukti yang sah yang dapat digunakan untuk
pembuktian perkara pidana.46 Sehingga dalam proses pemeriksaan pembuktian
perkara pidana hakim juga diwajibkan memiliki keyakinan berdasarkan semua
bukti yang ada bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dapat
diklasifikasikan sebagai kejahatan.47 Dalam KUHAP, tidak ada pengertian secara
detail apa itu alat bukti namun langsung memberikan suatu jenis alat bukti yang
sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Alat bukti sah yang pertama adalah keterangan saksi yang merupakan
seseorang yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu tindak pidana
berdasarkan Pasal 185 KUHAP. Dalam praktik yang terjadi di lapangan,
terkadang saksi bukan hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami
suatu tindak pidana namun justru mendengar dari orang lain. Sebenarnya
keterangan saksi yang diperoleh dari keterangan orang lain disebut juga
testimonium de auditu atau hearsay evidence bukanlah merupakan bukti yang
sah.48 Meskipun demikian, namun saksi testimonium de auditu tetap akan

46
Flora Dianti. 2011. Perbedaan alat bukti dan barang bukti, diakses melalui
www.hukumonline.com, pada tanggal 25 November 2020
47
Van Pramodya Puspa. Kamus Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), h.252.
48
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar grafika, 2011), h.260.
28

didengar oleh hakim meski pembuktiannya nanti hanya dijadikan sebagai


petunjuk dan bukan bukti yang utama.
Alat bukti yang kedua adalah keterangan ahli yang berdasarkan Pasal 1
angka 28 KUHAP yaitu keterangan seseorang yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Menurut Yahya Harahap,
keterangan ahli memiliki beberapa kriteria untuk menjadi suatu alat bukti yang
sah yaitu keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian
khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara
pidana yang sedang diperiksa agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi
terang demi penyelesaian pemeriksaan perkara tersebut.49
Alat bukti yang sah ketiga adalah alat bukti surat yang memiliki dua macam
yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan surat yang dikuatkan dengan
sumpah. Menurut Sudikno Mertokusumo, surat adalah yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan
buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian
maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun
memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah
termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.50
Alat bukti yang keempat adalah alat bukti petunjuk. Pasal 188 KUHAP
menjelaskan bahwa petunjuk adalah keadaan, perbuatan maupun sebuah
peristiwa yang mana terdapat konsistensi antara satu dengan yang lain berkaitan
dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi tindak pidana
dan siapa pelakunya. Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diperoleh dengan cara sebagai berikut: keterangan saksi, surat, keterangan
terdakwa. Untuk menilai suatu petunjuk maka hakim bebas menilainya dan
mempergunakannya sebagai upaya dalam pembuktian.51
Alat bukti yang terakhir adalah keterangan terdakwa (erkentenis) sesuai
dengan Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP. Dalam keterangan terdakwa

49
Yahya Harahap, Op. Cit. h.274.
50
Hari Sasangka, Lily Rosita, Op. Cit, h.62.
51
M. Yahya Harahap, Op. Cit, h.317.
29

mengandung makna bahwa segala hal diterangkan oleh terdakwa sekalipun tidak
berisi pengakuan salah merupakan alat bukti yang sah. Sehingga proses dan
prosedural pembuktian perkara pidana menurut KUHAP tidak mengejar
pengakuan terdakwa ataupun memaksa agar terdakwa mengaku. Semua
keterangan terdakwa harus didengar dalam bentuk apapun bisa berupa
penyangkalan, pengakuan, atau bahkan pengakuan sebagian dari perbuatan dan
keadaan.52
Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui jenis-jenis alat bukti dalam
pembuktian perkara pidana sesuai dengan KUHAP beserta uraiannya. Uraian
mengenai jenis alat bukti dalam pembuktian perkara pidana di Indonesia perlu
dimasukkan dalam kajian penelitian karena keterkaitannya dengan pembahasan
salah satu satu jenis alat bukti surat dalam pembahasan berikutnya. Sebelum
masuk ke dalam pembahasan alat bukti surat khususnya pada Visum Et Repertum
maka dalam pembuktian perkara pidana kajian mengenai peranan masing-masing
jenis alat bukti dalam pembuktian perkara pidana sangat penting untuk dibahas.

2.3 Visum Et Repertum


2.3.1 Pengertian Visum Et Repertum
Dalam proses penyidikan suatu tindak pidana contohnya seperti
pembunuhan, penyerangan, dan kejahatan terhadap asusila, perlu diberikan bukti
bahwa kejahatan tersebut telah terjadi. Salah satu alat bukti yang diperhitungkan
dalam UU Acara Pidana adalah keterangan ahli dalam bentuk tertulis dalam hal
ini "Visum Et Repertum". Visum Et Repertum adalah laporan tertulis yang ditulis
oleh seorang dokter atau ahli forensik lainnya, yang memuat segala sesuatu yang
ditemukan pada tubuh korban.
Sebenarnya istilah VeR tidak ditemukan dalam KUHAP maupun RIB
(Reglemen Indonesia yang diperbaharui), melainkan hanya ditemukan di dalam
Staatsblad No. 350 Tahun 1937 tentang Visa Reperta. Visa Reperta merupakan
bahasa latin, Visa berarti penyaksian atas pengakuan telah melihat sesuatu dan
Reperta berarti laporan. Sehingga visum et repetum merupakan suatu laporan

52
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 287.
30

tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang diliat
dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang buktilain,
kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-
baiknya.53
Menurut R. Atang Ranoemihardja, S.H. pengertian Visum Et Repertum
ialah yang “dilihat” dari “ketemukan”, jadi Visum Et Repertum adalah suatu
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan dalam melakukan
terhadap orang luka atau terhadap mayat.54
Menurut R. Soepomo, S.H. Visum Et Repertum kata-kata visual yaitu
melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti apa yang dilihat dan diketumakan
sehingga Visum Et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter tentang
apa yang dilihat dan diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang
yang dibuat berdasarkan sumpah, yakni perihal apa saja yang dilihat dan
diketemuka atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudia
dilakukakan pemeriksaan yang didasarkan oleh keahliannya dengan sebaik-
baiknya.55
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari visum et
repertum ialah didasarkan pada hasil pemeriksaan terbaik atas temuan dokter
yang dilakukan berdasarkan keahliannya dengan sebaik-baiknya berkenaan
tentang korban yang meninggal akibat kekerasan (ruda paksa) atau akibat dari
penganiayaan maupun kejahatan yang berhubungan dengan asusila
(pemerkosaan/pencabulan).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan visum et repertum adalah keterangan dokter atas
hasil pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau terganggu kesehatannya atau
yang meninggal dunia (mayat) yang diduga sebagai akibat perbuatan pidana atau

53
Iwan Alfani (et.al), Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2017), h.46.
54
R. Atang Ranoemihardja, Loc.Cit, h.18.
55
R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2016), h.98.
31

kejahatan yang mana berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dokter akan


membuat kesimpulan perbuatan dan akibat dari perbuatan itu.
Adapu jenis-jenis dari visum et repertum yang diperuntukan untuk
kepentingan peradilan yang digolongkan berdasarkan obyek ialah sebagai berikut:
1. Visum et Repertum untuk orang hidup Jenis ini dibedakan lagi dalam:
a. Visum et Repertum biasa. Visum ini diberikan kepada pihak
peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan
perawatan lebih lanjut.
b. Visum et Repertum sementara. Visum ini sementara diberikan
apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum
dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh
dibuat VeR lanjutan.
c. Visum et Repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah
dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
4. Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan VeR ini,
dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis
kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (autopsi).
5. Visum et Repertum tempat Kejadian Perkara Visum ini dibuat setelah
dokter selesai melaksanakan pemeriksaan TKP.
6. Visum et Repertum penggalian jenazah Visum ini dibuat setelah dokter
selesai melaksanakan penggalian jenazah.
7. Visum et Repertum psikiatri Visum pada terdakwa yang pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejalagejala penyakit
jiwa.
8. Visum et Repertum barang bukti Misalnya visum terhadap barang bukti
yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya
darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.56

56
Winda Trijayanthi Utama, Visum Et Repertum: A Medicolegal Report As A Combination
Of Medical Knowledge And Skill With Legal Jurisdiction, Juke, Vol. IV, No. 8, 2006, h. 272.
32

2.3.2 Dasar Hukum Visum Et Repertum


Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, ketentuan tersebut memberikan
kemungkinan penggunaan bantuan ahli untuk untuk mempermudah dalam
pengungkapan maupun pemeriksaan perkara pidana. Ketentuan dalam KUHAP
memuat tentang landasan hukum mengenai bahwa keterangan ahli bisa diminta
pada awal proses penyidikan, termasuk juga didalamnya keterangan ahli yang
diberikan oleh dokter di dalam Visum Et Repertum saat memeriksa barang bukti
seperti di bawah ini:
a. Pasal 7 KUHAP mengatur tentang tindakan penyidik yang mempunyai
wewenang dalam hal mendatangkan orang ahli, terutama dalam hal tenaga
ahli yang diperlukan keberadaannya dalam suatu pemeriksaan perkara.
b. Pasal 120 KUHAP. Pada ayat (1) Pasal ini disebutkan : “Dalam hal
penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus.”
c. Pasal 133 KUHAP dimana pada ayat (1) dinyatakan : “Dalam hal penyidik
untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.
Ayat (2) Pasal 133 KUHAP menyebutkan : “Permintaan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat
itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan
atau pemeriksaan bedah mayat.” Sedangkan mengenai dasar hukum tindakan
dokter dalam memberikan bantuan keahliannya pada pemeriksaan perkara pidana,
hal ini tercantum dalam Pasal 179 KUHAP dimana pada ayat (1) disebutkan
:“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”57
Pada proses peradilan bantuan dari dokter dapat diberikan secara lisan
berdasarkan Pasal 186 KUHAP, dapat juga diberikan secara tertulis berdasarkan

57
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Penjelasannya), (Jakarta:
Yayasan Pelita, 1982), h.43.
33

Pasal 187 KUHAP. Maka dari itu bantuan dari dokter baik secara lisan maupun
tertulis semuanya terakomodir di dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut ketentuan
KUHAP di atas, tindakan dokter dalam membantu proses peradilan (dalam hal ini
pembuatan Visum Et Repertum untuk penanganan perkara pidana) dan tindakan
penyidik dalam meminta bantuan tersebut, keduanya memiliki dasar hukum dalam
proses pelaksanaannya.

2.4 Asas Due Process of Law


2.4.1 Pengertian Due Process of Law
Due Process of Law di definisakan sebagai seperangkat prosedur yang
disyaratkan oleh hukum yang mana menjadi standar yang berlaku secara umum.
Due process lahir dari amandemen ke ke-5 dan 14 konstitusi Amerika yang
bertujuan untuk mencegah penghilangan atas kehidupan, kebebasan, dan hak
milik tanpa suatu proses hukum. Due Process menciptakan prosedur dan substansi
perlindungan terhadap individu.58 Setiap prosedur dalam due process memeriksa
dua hal, yaitu : (apakah) penuntut umum telah menghilangkan kehidupan,
kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa prosedur (b) jika prosedur yang
digunakan, itu adalah prosedur yang ditempuh sesuai dengan yang proses
seharusnya. 59
Dalam sistem peradilan pidana, Hebert L. Packer, selain memperkenalkan
due process model, juga memperkenalkan crime control model. Kedua model
tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Crime control model memiliki karakteristik
efisiensi, memprioritas kecepatan dan praduga bersalah atau presumptionn of
guilt oleh karena itu tindak pidana harus segera dituntut dan tersangka dibiarkan
melakukan perlawanan. Model seperti ini di ibaratkan seperti sebuah bola yang
sedang bergelinding tanpa adanya penghalang.60
Dalam sistem peradilan pidana terpadu Due Process of law adalah nyawa
dari peradilan dengan ditandai adanya perlindungan terhadap hak-hak Tersangka.
Seperti yang dinyatakan oleh M.W. Tobias “Due process of law is not a rule of

58
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.30.
59
Ibid.
60
Ibid.
34

law buat an essential element of justice itself. In 29 general due process of law is
the administration of established court justice the protection of private right’s.”61
Due process of law memiliki hubungan yang erat dengan masalah proses
pembuktian (bewijsvoering) yaitu bagaimana cara memperoleh, mengumpulkan
bukti, dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan. Tidak jarang hal yang
bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil. Di negara/ kawasan
yang mengedepankan due process of law, dalam hukum acaranya, memberikan
perlindungan terhadap individu dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat
negarayang menjadi perhatian khusus.
Menurut Mardjono Reksodiputro due process of law sebagai proses hukum
yang adil, yang merupakan lawan dari arbitrary process atau proses yang tidak
sewenang-wenang yang tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Menurutnya
bahwa keliru peradilan yang adil hanya dihubungkan dengan penerapan aturan-
aturan hukum acara pidana terhadap Tersangka dan terdakwa. Maksud dari
peradilan yang adil adalah keadilan, dibandingkan dengan ketentuan UUD 1945
termasuk penghormatan kita terhadap hak-hak warga negara yang menyatakan
bahwa kemerdekaan adalah hak semua negara. Sekalipun warga negara itu warga
negara Indonesia atau warga negara asing, hak warga negara tersebut tidak akan
hilang. Selain itu masih diingat bahwa ketika masih dalam status seorang
Tersangka maka belum bisa dikatakan warga tersebut bersalah sebelum ada
putusan berkekuatan hukum tetap.
Maka dari itu begitu penting memperjuangkan hak-hak Tersangka untu
didengar dan didampingi oleh penasehat hukum dalam hal mengajukan pembelaan
terhadap kesalahanya yang dibuktikan oleh penuntut umum di siang pengadilan
yang adil dan tidak berpihak.

2.4.2 Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia


Sistem peradilan pidana dalam KUHAP merupakan sistem peradilan
pidana yang komprehensif, yang didasarkan pada kriteria “diferensiasi

61
Marc weber Tobias, R David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure A Survey on
Constitusional Right (Charles C. Thomas Publisher), h. 211.
35

fungsipnal”, yaitu membedakan lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahapan


proses kewenangan” yang diberikan oleh undang-undang. Pelaksanaan kekuasaan
di antara lembaga-lembaga ini merupakan fungsi bersama yang berkelanjutan dan
saling mendukung.62
1. Legislator;
2. Polisi;
3. Jaksa;
4. Pengadilan;
5. Penjara
6. Badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di
luarnya.
Berlakunya KUHAP merupakan harapan adanya keinginan dari segenap
aparat penegak hukum untuk memperjuangkan dan menegakan hukum yang
berkeadilan, berkemanfaatan, dan jujur. Ketentuan pengaturan KUHAP
diharapkan dapat menjadi norma hukum acara peradilan pidana komprehensif
yang spesifik, guna mewujudkan tata kerja yang baik dan berwibawa serta
memberikan perlindungan hukum bagi martabat pribadi tersangka pidana. Dalam
pelaksanaannya diperlukan cara yang manusiawi, yaitu memelihara hukum secara
manusiawi dan menjaga harkat dan martabat manusia. Aparat penegak hukum
harus peka terhadap rasa keadilan atau "sense of justice" guna mengasah jiwa,
perasaan, penampilan dan gayanya. Selain itu, Anda juga harus memiliki rasa
tanggung jawab yang baik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan Yang
Maha Esa.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa hakikat dari due process of law
adalah bahwa setiap pelaksanaan dan penerapan hukum pidana harus memenuhi
“persyaratan konstitusional” dan harus “mentaati hukum”. Oleh karena itu, due
process of law tidak memperbolehkan adanya pelanggaran terhadap suatu bagian
ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan hukum yang lain.63 Peradilan
pidana, harus sesuai dengan UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

62
Yahya harahap, Op. Cit, h. 90.
63
Yahya Harahap, Op. Cit, h. 95.
36

(KUHAP). KUHAP sebagai hukum acara pidana yang meliputi tata cara peradilan
pidana, juga harus harus dijadikan landasan bagi penyelenggaraan peradilan
pidana berdasarkan tata cara hukum yang benar atau due process of law.
Penyelenggaran peradilan pidana harus sesuai dengan KUHAP, serta melalui
berbagai prosedur atau tahapan yang telah diatur dalam KUHAP untuk mencapai
keadilan substantif.

2.5 Putusan Pengadilan


2.5.1 Pengertian dan Jenis Putusan Pengadilan
Aspek terpenting dalam suatu perkara pida adalah putusan pengadilan.
Putusan pengadilan merupakan cerminan dari “mahkota” dan sekaligus “puncak”
dari nilai-nilai keadilan, kebenaran yang hakiki, hak asasi manusia, kemampuan
atau penguasaan mengenai hukum yang secara mapan, berkualitas dan faktual,
serta moralitas, mentalistis, dan visualisasi etika dari para hakim yang
bersangkutan.64
Dengan adanya putusan pengadilan dapat memberikan kepastian hukum
bago terdakwa tentang statusnya, sekaligus dapat mempersiapkan terdakwa untuk
langkah selanjutnya terhadap putusan tersebut dalam arti menerima putusan atau
meminta keringanan hukuman dengan cara menempuh upaya hukum lainnya
berupa verzet, banding atau kasasi, maupu grasi dan sebagainya
Beberapa pengertian dari para ahli mengenai putusan pengadilan adalah
sebagai berikut:65
a. Menurut Leden Marpaung, putusan pengadilan adalah hasil atau kesimpulan
dari hal-hal yang telahdipertimbangkan dan dinilai dengan sebenarnya-
benarnya yang berupa tulisan maupun lisan.
b. Menurut Lilik Mulyadi, putusan pengadilan adalah putusan oleh hakim yang
telah diucapkan di dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk
umum setelah melalui proses dan prosedur hukum acara pidana yang
biasanya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

64
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2010), h.129.
65
Ibid, h. 130.
37

tuntutan hukum dan dibuat dalam bentuk tertulis yang bertujuan untuk
menyelesaikan suatu perkara.
Pada Bab 1 Pasal 1 angka 11 KUHAP pengertian mengenai putusan
pengadilan adalah, “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
secara terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, atau putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum”.66
Secara substansial putusan hakim dalam perkara pidana, mempunyai tiga
sifat jenis putusan, yaitu:
a. Putusan Pemidanaan. Putusan dengan amar seperti ini dijatuhkan kepada
terdakwa yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
menurut hukum sebagaimana tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193
Ayat 1 KUHAP).
b. Putusan Bebas. Putusan dengan amar seperti ini dijatuhkan oleh hakim
apabila perbuatan terdakwa secara sah tidak terbukti dan menyakinkan
hakim terhadap perbuatan yang telah didakwakan terhadapnya (Pasala
192 Ayat 1 KUHAP) serta pembebasan itu juga atas tidak terbuktinya
perbuatan terdakwa sebagaimana sesuai dengan asas minimum
pembuktian.
c. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, hakim dalam hal
menjatuhkan putusann ini kepada terdakwa berpendapat bahwa perbuatan
terdakwa sebenarnya terbukti akan tetapi perbuatan yang dilakukan
terdakwa bukanlah termasuk kedalam suatu tindak pidana (Pasal 191
Ayat 2 KUHAP).
Dalam penelitian ini, hakim Pengadilan Negeri Ternate menjatuhkan
putusan kepada terdakwa berupa putusan pemidanaan.

2.5.2 Hal yang harus dimuat dalam Putusan Pengadilan


Syarat sah suatu putusan pengadilan merupakan hal yang sangat penting
karena dalam penyusunan suatu putusan dapat diterapkan dengan baik dan

66
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
38

putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Salah satu yang menjadi
syarat sah putusan pengadilan ialah diatur di dalam Pasal 195 KUHAP. Bahwa
putusan haruslah diucapkan semua putusan pengadilan dalam sidang terbuka
untuk umum. Selain itu putusan juga harus memuat ketentuan lain yaitu ketentuan
Pasal 197 KUHAP tentang putusan pidana dan putusan non pidana yaitu
ketentuan Pasal 199 UU Acara Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
bahwa pengadilan Putusan merupakan bentuk pemidanaan, dan putusan non
pidana yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1) mengakibatkan putusan menjadi
tidak sah. Pasal 197 (1) UU Acara Pidana mengatur sebagai berikut:
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHAHAN YANG MAHA ESA”;
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang ditujukan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.

Sedangkan surat putusan yang memuat putusan non pemidanaan menurut


Pasal 199 Ayat (1) harus memuat:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Ayat (1) kecuali
huruf e, f dan h;
39

b. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala


tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan Pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. Perintah agar terdakwa segera dibebaskan jika statusnya masih ditahan.
d. Pasal 199 Ayat (2) yaitu, “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 197 Ayat (1) dan Ayat (3) berlaku juga bagi Pasal ini”. 67
Dalam penelitian ini putusan yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa
yaitu berupa putusan yang bersifat pemidanaan.

2.5.3 Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana


Dalam menjatuhkan putusan pidana hakim mempunyai dua
pertimbangan yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan no yuridis.
Pertimbangan yuridis dalam` menjatuhkan pidana merupak aspek yang
penting dalam putusan hakim. Pada dasarnya dalam menentukan
pertimbangan yuridis adalah pembuktian terhadap unsur-unsur dari suatu
tindak pidana, apakah unsur-unsur tindak pidana tersebut telah terbukti
sebagaimana yang didakwakan olah penuntut umum.
Pertimbangan yuridis ini memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap amar/diktum putusan hakim. Pertimbangan hakim yang baik, yang
memiliki kualifikasi yang mana sekiranya putusan ini dapat diuji melalui
empat kriteria utama yaitu pertanyaan berupa:68 benar apa tidak putusan yang
telah dibuat oleh hakim, bagaimana kejujuran dari seorang hakim saat
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, apakah adil jika terhadap terdakwa
dijatuhi putusan, bagaimana keberpihakan suatu putusan terhadap terdakwa
dan korban, dan putusan hakim tersebut dapat memberikan kepastian hukum.
Dengan pertimbangan tersebut dan empat peetanyaan tersebut hakim akan
mempertimbangkan putusan tersebut yang akan diputuskan olehnya dalam
sidang perkara tersebut.
Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai
keadilan dalam suatu pemidanaan perkara pidana, haruslah juga ditopang
dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis,

67
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
68
Lilik Mulyadi, Op. Cit, h. 119.
40

kriminologis, dan filosfis. Pertimbangan non-yuridis oleh hakim dibutuhkan


oleh karena itu, masalah tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh
terdakwa tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada segi normatif, visi
kerugiannya saja, tetapi faktor intern dan ekstern anak yang melatarbelakangi
terdakwa dalam melakukan kenakalan atau kejahatan juga harus ikut
dipertimbangkan secara arif oleh hakim yang mengadili.69

69
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 20.
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Kekuatan pembuktian visum et repertum yang menggunakan nama lain


dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)
berdasarkan Pasal 187 KUHAP
Pembuktian di dalam perkara pidana mempunyai peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ini
menjadi penentuan dari nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Maka terdakwa tersebut akan
“dibebaskan” dari hukuman. Oleh karena itu, Hakim haruslah berhati-hati,
cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.
Khususnya meneliti sampai mana batas minimum “kekuatan pembuktian”
atau bewijskracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184
KUHAP.70
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat
bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak
dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua
sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, terikat dan terbatas
hanya diperbolehkan menggunakan alat bukti itu saja. Pembuktian dengan
alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak
mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat.
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti adalah:71
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa

70
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.25.
71
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),
Sinar Grafika, jakarta, 2011, hal 28
42

Apabila ditelaah secara global, proses mendapatkan kebenaran


materiil dalam perkara pidana, alat-alat bukti memegang peranan sentral.
Oleh karena itu secara teoritik dan praktik suatu alat bukti haruslah
dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat, agar tercapai kebenaran
sejati sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa. Adapun alat bukti
yang diajukan dalam persidangan dalam putusan perkara nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte yang diangkat dalam skripsi ini ialah keterangan,
saksi, surat, keterangan ahli dan keterangan terdakwa. Permasalahan yang
diangkat dalam skripsi ini ialah keberadaan alat bukti surat yang dihadirkan di
persidangan yaitu berupa visum et repertum yang menggunakan nama lain
dari anak korban. Nama anak korban dalam Visum Et Repertum tersebut
tertera sebagai Rukia Rukmana (nama lain dari anak korban) padahal nama
asli korban ialah Putri Faradila sebagaimana dimaksud dalam akta kelahiran
yang dihadirkan di muka persidangan. Dalam hal ini pada saat persidangan
terdapat keraguan mengenai alat bukti surat berupa visum et repertum yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Pada dasarnya visum et repertum merupakan alat bukti keterangan
ahli yang tertuang dalam suatu laporan yang memuat keterangan dari
kedokteran Forensik yang menjelaskan sebab akibat tubuh korban. Visum et
repertum merupakan keterangan ahli kedokteran yang telah tertuang dalam
laporan tertulis. Sehingga tidak ada keharusan seorang ahli tersebut untuk
datang di muka persidangan selama hakim merasa keterangan yang telah
tertuang dalam visum et repertum tersebut telah jelas menjelaskan sebab
akibat meninggal ataupun terlukanya korban. Sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 187 KUHAP visum et repertum merupakan alat bukti sah yaitu
termasuk ke dalam Pasal 187 KUHAP angka 3, yang mana dengan uraian
sebagai berikut:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
43

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-


undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.72

Dengan ini alat bukti Visum Et Repertum tersebut masuk kedalam


Pasal 187 huruf c KUHAP. Pada visum et repertum yang di hadirkan di
persidangan tertera nama anak korban ialah Rukia Rukmana sedangkan jika
dilihat pada bukti lainnya yang berupa akta kelahiran anak korban ialah
bernama Putri Faradila sehingga dalam hal ini ada tidak persesuaian nama
terhadap visum et repertum yang dihadirkan di persidangan. Jika melihat
ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP visum et repertum yang menggunakan
anak korban sebenarnya sudah memenuhi syarat formil dari surat
sebagaimana bunyi Pasal tersebut. Karena visum tersebut sudah merupakan
produk hukum yang sudah ditandatangani dan di sahkan oleh pihak yang
berwenang membuat visum kedokteran forensik) dan di dalam ketentuan
Pasal 187 huruf c KUHAP tidak menyebutkan secara spesifik mengenai
format penamaan yang tercantum di dalam surat akan tetapi hal tersebut
dijelaskan berdasarkan ketentuan khusus di Kepolisian.
Ketidaksesuaian penamaan nama dari anak korban disebabkan pada
visum et repertum dikarenakan proses pembuatan visum et repertum anak
korban tindak pidana pencabulan dilakukan hanya berdasarkan permintaan
orang tua saja pada saat awal pemeriksaan dikepolisian. Prosedur pembuatan
pembuatan Visum Et Repertum sebenarnya dibuat secara prosedural
berdasarkan instruksi kepala kepolisian RI nomor Pol.Ins/E/20/20/IX/75 yang
mana terkait berkas penamaan korban maupun terdakwa dibuat sebagaimana
ketentuan pembuatan laporan kepolisian. Sehingga surat permintaan visum

72
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
44

yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian berlandaskan pada laporan polisi


dimana pada saat perkara itu masuk dikepolisian harus melampirakan
dokumen asli identitas diri baik akta kelahiran, kartu tanda penduduk ataupun
kartu keluarga.73
Maka dari itu proses pembuatan berkas pada saat awal masuknya
perkara yang dilakukan oleh orang tua korban maupun pihak penyidik
kepolisian yang terkait tersebut tentu tidak dibenarkan karena pada prinsipnya
proses pencarian alat bukti juga berkaitan dengan asas due process of law
yang memiliki hubungan yang erat dengan masalah bewijvoering, yaitu cara
memperoleh, mengumpulkan dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan
yang sesuai prosedur.74 Maka dari itu bagaimanakah nilai kekuatan
pembuktian dari visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak
korban yang mana dalam proses pembuatan visum et repertum tersebut
terdapat miss process atau tidak dibuat berdasarkan prosedur sebagaimana
mestinya (due process of law).
Jika dikaitkan dengan salah satu parameter pembuktian bewijskracht
atau biasanya diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat
bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian
terhadap alat bukti tersebut merupakan otoritas dari hakim, hakimlah yang
menilai dan menentukan kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat
bukti yang lainnya. Kemudian kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti
yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang
disidangkan. Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya
mengarah apakah bukti tersebut diterima ataukah tidak.75
Sebagaimana yang ditemukan penulis melalui studi lapangan yaitu
berupa wawancara mengenai pembuatan visum et repertum dengan para
praktisi hukum seperti Penyidik di Polres Jember, Penuntut Umum di
Kejaksaan Negeri Jember, Advokat dari Ikatan Advokat Indonesia Jember
serta Hakim di Pengadilan Negeri Jember dengan pendapat sebagai berikut:

73
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
74
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.31.
75
Eddy O.S. Hiariej, Loc.Cit.
45

Pertama, Iptu Dyah Vitasari yang menjabat Kepala Unit Perempuan


dan Perlindungan Anak (Kanit PPA) Satreskrim Polres Jember menyatakan
pada dasarnya pembuatan surat permohonan permintaan visum et repertum
yang di buat oleh penyidik kepada pihak rumah sakit haruslah sesuai dengan
berkas asli dari korban baik berupa akta kelahiran maupun kartu keluarga dari
korban, hal terebut juga tidak terlepas juga dari dokumen awal perkara masuk
yaitu laporan polisi. Kemudian seadainya terdapat perbedaan nama korban
pada visum et repertum maka akan menjadi permasalahan terhadap visum et
repertum tersebut yang akan dijadikan alat bukti nanti. Selain itu penamaan
dan pelaporan nama dari korban haruslah sesuai dengan data asli korban
karena jika tidak akan berimplikasi pada pendataan data base kepolisian dan
pihak rumah sakit yang melakukan visum et repertum terhadap korban.
Kedua, Aditya Okto Thohari, SH., MH., selaku ketua seksi pidana
umum pada Kejaksaan Negeri Jember yang pada intinya penamaan korban di
dalam visum et repertum haruslah berdasarkan dokumen asli dari korban,
karena jika berbeda nama akan menjadi permasalahan ketika dijadikan alat
bukti di persidangan. Sehingga sebenarnya ketika jaksa penuntut umum
mendapat alat bukti berupa visum et repertum yang menggunakan nama lain
dari korban atau berbeda nama dengan korban maka sebenarnya jaksa
penuntut umum mempunyai kewenangan untuk memeriksa kebenaran alat
bukti tersebut sebelum masuk ke sidang pengadilan. Sehingga dapat
mempertanyakan kembali kepada penyidik yang melimpahkan alat bukti
mengenai perbedaan nama korban pada visum et repertum tersebut (P-
21/Pengembalian berkas perkara). Ketika korban yang dimaksudkan memang
benar sama hanya saja ada kesalahan formil atau proses pembuatannya maka
penyidik nantinya akan melampirkan keterangan/berita acara tambahan
khusus alat bukti visum tersebut. Maka nantinya bukti visum et repertum
yang sudah dilengkapi berita acara tambahan tersebut tidak akan menjadi
permasalahan ketika dijadikan alat bukti di persidangan.
Ketiga, Bapak Jani Takarianto selaku ketua IKADIN Jember juga
menyatakan pada dasarnya jika diketemukan visum et repertum yang
46

menggunakan nama lain dari anak korban maka visum et repertum tidak bisa
dijadikan alat bukti dipersidangan selain itu menyatakan hal yang sama
seperti pendapat jaksa bahwa sebenarnya jaksa memiliki wewenang untuk
memeriksa alat bukti dan biasanya dibuatkan berapa berita acara keterangan
tambahan pada visum et repertum tersebut, bukan merubah langsung nama
korban yang salah pada visum et repertum karena visum et repertum
merupakan produk hukum yang sudah ditandatangani dsan disahkan oleh
kedokteran forensik tentu pembuatannya sudah sesuai dengan tempus
pemeriksaan pada korban.
Keempat, Bapak Alfonsus Nahak Kimwasmat yaitu salah satu Hakim
di Pengadilan Negeri Jember berpendapat bahwa jika terdapat alat bukti
berupa visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban
yang di hadirkan di persidangan kekuatan pembuktian terhadap visum et
repertum tersebut itu berdasarkan penilaian hakim, yangmana jika hakim ragu
terhadap alat bukti tersebut maka hakim mempunyai kewenangan untuk
menerima atau menolak adanya alat bukti tersebut. Akan tetapi ketika hakim
menerima alat bukti tersebut tidak hanya menerima saja hakim juga
menggunakan keyakinannya, untuk menimbulkan keyakinannya terhadap
alat bukti tersebut hakim akan mencari alat bukti lain untuk memperkuat nilai
pembuktian visum et repertum tersebut seperti mendatangkan ahli ke
persidangan. Sehingga alat bukti visum et repertum yang menggunakan nama
lain dari anak korban jika hanya dilihat sebagai visum et repertum yang
belum dinilai oleh hakim maka visum et repertum tersebut tidak mempunyai
nilai pembuktian atau tidak sah sebagai alat bukti karena secara formil tidak
penamaan anak korban sangat berbeda.
Terkait bagaimana penilaian terhadap nilai kekuatan pembuktian
Visum et Repertum sebagai alat bukti sejalan dengan teori yang dikemukakan
oleh Yahya Harahap bahwa pada dasarnya alat bukti keterangan ahli yang
berbentuk laporan atau Visum et Repertum tetap dapat menyentuh dua sisi
alat bukti yang sah, pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk
laporan atau Visum et Repertum tetap dapat dinilai sebagai alat bukti
47

keterangan ahli. Berkaitan dengan cara menilai kekuatan pembuktian yang


melekat pada alat bukti surat, dapat ditinjau dari segi teori serta
menghubungkannya dengan prinsip beberapa prinsip pembuktian yang diatur
dalam KUHAP.76
1) Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal huruf
a,b, dan c adalah alat bukti yang “sempurna. Sebab bentuk surat-surat
yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalistis yang
ditentukan peraturan serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang
pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang
terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau dari segi
formal alat bukti yang bernilai “sempurna oleh karna itu alat bukti surat
resmi mempunyai nilai “pembuktian formal yang sempurna”, dengan
sendirinya bentuk dan isi surat tersebut:
I. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain
II. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya
III. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran, keterangan yang dituangkan
pejabat berwenang dengan alat bukti yang lain
IV. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang
tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain
baik berupa alat bukti keterangan saksi keterangan ahli atau
keterangan terdakwa.
Begitulah nilai kesempurnaan alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187
huruf a, b, dan c dinjau dari “segi formal” dan harap jangan lupa, peninjau
dari segi formal ini dititkberatkan dari sudut “teoritis”. Belum tentu
sesuatu yang dapat dibenarkan dari segi teori dapat dibenarkan praktek,
sebab kenyataan, apa yang dibenarkan dari sudut teori dikesampingkan
oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP.

76
Yahya Harahap, Op. Cit. h.309.
48

2. Dintinjau dari segi materiil


Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam
Pasal 187, “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat” . pada
diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli,
sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian keterangan yang
“bersifat bebas”. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti
surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c sifat kesempurna
formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan
pembuktian yang mengikat hakim bebas untuk menilai kekuatan
pembuktiannya.. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkan. Dasar
alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut, didasarkan
pada beberapa asas; antara lain;
a) Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari
kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (materiel waarheid),
bukan mencari kebenaran formal. Dengan asas ini, Hakim bebas
menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat.
Walaupun dari segi formal alat bukti surat telah benar dan
sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu “dapat”
disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran
materiil. Kebenaran dan kesempurnaan formal harus mengalah
berhadapan dengan kebenaran sejati. Lain halnya dalam proses
pemeriksaan perkara perdata, Kebenaran yang hendak dicari dan
diwujudkan, sedapat mungkin mencapai kebenaran sejati, tetapi
jika seandainya sejati tidak dapat diwujudkan hakim, dapat
diperkenakan mewujudkan “kebenaran formal” Jelas dilihat, baik
dintinjau dari segi teori apalagi jika dihubungkan dengan asas
kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183, yang
memikulkan kewajiban bagi hakim, untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang maka
49

kebenaran formal harus dianggap tidak memadai mendukung


terwujudnya kebenaran sejati oleh karna itu hakim bebas menilai
kebenaran formal dalam rangka menjujung ting kebenaran sejati.
b) Asas keyakinan hakim
Asas keyakinan hakim seperti yang terdapat dalam jiwa ketentuan
Pasal 183, berhubungan erat dengan ajaran sistem pembuktian
yang dianut KUHAP. Berdasarkan Pasal 183, KUHAP menganut
ajaran sistem pembuktian “menurut undang-undang secara negatif .
Berdasar sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian
nitu hakim “yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukanya,
Bertitik tolak dari sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif, dalam mewujudkan “keyakinan hakim” menilai
salah atau tidaknya seorang terdakwa, memberi kebebas”
sepenuhnya kepada hakim untuk menilai salah atau tidaknya
seorang terdakwa, “memberi kebebasan” sepenuhnya kepada
hakim untuk menilai setiap kekuatan pembuktian yang
diperolehnya dalam persidangan. Bahkan asas keyakinan hakim itu
sendiri dapat melumpuhkan semua kekuatan pembuktian yang
diperoleh disidang pengadilan. Walaupun telah terkumpul bukti
sebesar gunung, hakim harus lagi menanya dan menguji kekuatan
pembuktian tersebut dengan “keyakinannya” akan tetapi, seperti
yang telah diperingatkan berulang-ulang, dalam mempergunakan
kebebasan dan asas keyakinan, hakim harus benar benar
bertanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan
tanggung jawab “demi mewujudkan kebenaran sejati”.
c) Asas batas minimun pembuktian
Walaupun dikatakan, ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi
(autentik) berbentuk surat yang dikeluarkan berdasar ketentuan
50

undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna,


namun nilai kesempurnaaan yang melekat pada alat bukti yang
bersangkutan tidak mendukungnya untuk berdiri sendiri
Bagaimanapun sifat kesempurnaan formal yang melekat pada
dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang
berdiri sendiri. Ia tetap memerlukan dukungan dari alat bukti
lainya.
Berati sifat kesempurnaan formalnya, mesti tunduk pada asas
“batas minimum pembuktian” yang telah ditentukan Pasal 183
KUHAP kalau kita kembali melihat asas batas minimum
pembuktian: “sekurang kurangnya dengan dua alat bukti yang sah”.
Bertitik tolak dari prinsip atau asas batas minimun pembuktian,
bagaimanapun sempurnanya “satu” alat bukti surat,
kesempurnaannya itu tidak dapat berdiri sendiri dia harus dibantu
lagi dengan dukungan paling sedikit “satu” alat bukti yang lain
guna memenuhi apa yang ditentukan oleh asas batas menimum
pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP.
Dengan alasan dan penjelasan dan penjelasan yang diuraikan,dapat
diambil kesimpulan. Bagaimanapun sempurnanya nilai pembuktian
alat bukti surat, kesumpurnaan itu tidak merubah sifatnya menjadi
alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
mengikat. Nilai kekuatan yang melekat pada kesempurnaannya
tetap bersifat kekuatan pembuktian “yang bebas” . Hakim bebas
untuk menilai kekuatanya dan kebenaranya.kebenaran penilaian itu
dapat ditinjau dari beberapa alasan. Boleh dari seggi asas
kebenaran sejati, atas keyakinan hakim maupun dari sudut batas
minimum pembuktian, Dan memang pada prinsipnya, ajaran
pembuktian yang dianut hukum acara pidana pada dasarnya tidak
mengenal alat bukti yang sempurna dan mengikat,kecuali bagi
negara yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang
“secara positif”.
51

Jika ditinjau dari dari segi formal dalam menilai kekuatan pembuktian
di dalam Visum Et Repertum tersebut sebenarnya sudah memiliki kriteria
dalam “pembuktian formal sempurna” selama bukti tersebut tidak
dilumpuhkan dengan alat bukti lain baik berupa alat bukti keterangan saksi
keterangan ahli atau keterangan terdakwa.
Kemudian jika ditinjau dari segi materiil semua bentuk surat yang
dijelaskan sebagaimana Pasal 187 termasuk surat Visum Et Repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban tadi “bukan merupakan alat bukti
yang mempunyai kekuatan pembuktian mengikat” sehingga dapat dikatakan
dalam alat bukti surat itu atau Visum Et Repertum tidak melekat kekuatan
pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat atau
Visum Et Repertum sama halnya dengan kekuatan pembuktian pada
keterangan saksi dan keterangan ahli dipersidangan yang mana sama-sama
memepunyai nilai kekuatan pembuktian keterangan yang “bersifat bebas”.77
Maka dari itu disini sebenarnya Hakim bebas untuk menilai nilai
kekuatan pembuktiannya baik mempergunakannya atau menyingkirkan alat
bukti tersebut. Hal ini didasari oleh beberapa asas yang telah dijelaskan
sebelumnya yaitu asas proses pemeriksaan perkara pidana, asas keyakinan
hakim, dan asas batas minimun pembuktian. Pada putusan perkara Nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte disini hakim dalam menilai kekuatan pembuktian
Visum Et Repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban ditinjau
segi materiil juga yaitu disini hakim menggunakan ketiga asas tersebut yaitu :
Pertama, asas pemeriksaan perkara pidana disini hakim tetap mencari
kebenaran materiil atau kebenaran sejati dalam sebuah kasus yang sedang
berlangsung sama halnya dengan kasus pada putusan ini hakim mencari
kebenaran tersebut dengan cara mengupas habis keterangan saksi, keterangan
ahli, maupun alat bukti surat yang diajukan di persidangan sebagaimana Pasal
183 KUHAP hakim memiliki kewajiban untuk menjamin tegaknya
kebenaran.

77
Yahya Harahap, Op. Cit. h.312
52

Kedua, asas keyakinan hakim yang mana sudah terlihat jelas pada saat
hakim ragu terhadap nilai kekuatan pembuktian pada Visum Et Repertum
yang menggunakan nama lain dari anak korban, hakim tersebut meyakinkan
dirinya terhadap alat bukti tersebut dengan cara meminta agar ahli yang
memeriksa langsung anak korban untuk didatangkan di persidangan untuk
memastikan apakah anak yang tertera didalam Visum Et Repertum bernama
Rukia Rukmana benar merupakan anak korban Putri Faradila.
Ketiga, asas batas minimun pembuktian sebagaimana yang sudah
dijelaskan sebelumnya nilai kesempurnaan alat bukti pada surat tidak cukup
sebagai alat bukti yang berdiri sendiri yang mana tetap harus didukung
dengan alat bukti lainnya. Dalam hal ini hakim di dalam persidangan tetap
menggunakan asas ini ditentukan Pasal 183 KUHAP. Sehingga dalam menilai
kesempurnaan nilai kekuatan pembuktian dari visum et repertum
menggunakan nama lain dari anak korban hakim tentu mempertimbangkan
alat bukti yang ada lainnya seperti keterangan dari para saksi, keterangan ahli
maupun keterangan terdakwa perihal penamaan anak korban pada visum et
repertum tersebut.
Selain ditinjau berdasarkan teori, nilai kekuatan pada alat bukti visum
et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban haruslah ditinjau
berdasarkan fakta yang ada di persidangan. Adapun fakta persidangan pada
Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte yaitu telah didengar keterangan
Saksi Verbalisan Asri Ningsih yang melakukan pemeriksaan terhadap Anak
Korban dan Saksi Ratna Damim, Saksi Verbalisan Laila B. Mahubessy yang
melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa dan Ahli dr. Unzilla Aliviana
Natasya Husen yang melakukan visum pada Anak Korban. Keterangan para
saksi Verbalisan dan ahli tersebut terkait dengan Hasil Visum Et Repertum
Nomor R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT
BHAYANGKARA TK.IV POLDA MALUT yang ditandatangani oleh dr.
Unzilla, Sp.og., M.Kes dimana nama yang tercantum adalah Rukia Rukmana
bukan Putri Faradila alias Ila. Dari keterangan Saksi Verbalisan Asri Ningsih,
Rukia Rukmana adalah Putri Faradila alias Ila berdasarkan keterangan Saksi
53

Ratna Damim yang tidak mau memakai nama Putri Faradilla sehingga
identitas Anak Korban yang tercantum didalam hasil Visum Et Repertum
adalah Rukia Rukmana sesuai dengan Surat Permintaan Visum Et Repertum
(terlampir dalam berkas perkara). Sehingga dalam hal ini terdapat persesuaian
terkait pernamaan anak korban terhadap alat bukti lainnya bahwa anak korban
Rukia Rukmana yang tercantum dalam Visum Et Repertum adalah anak
korban Putri Faradilla pada Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte.
Sehingga bisa dikatakan Visum et repertum yang menggunakan nama
lain dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)
berdasarkan Pasal 187 KUHAP tepatnya pada huruf c merupakan alat bukti
yang sah selama tidak ada bukti lain yang menyangkal kebenarannya
sehingga visum et repertum tersebut memiiki kekuatan pembuktian, karena di
dalam persidangan juga terdapat fakta bahwa baik dari keterangan saksi, ahli,
terdakwa bahwa nama anak yang tertera dalam visum et repertum adalah anak
yang sama Putri Faradila sehingga berdasarkan alat bukti lainnya tersebut
terdapat persesuaian mengenai nama anak anak korban yang ada dalam dalam
visum et repertum sebagaimana Pasal 188 KUHAP. Selain itu penilaian
terhadap suatu alat bukti juga tergantung pada hakim yang menilai karena
hakim memiliki kebebasan untuk menilai. Hal tersebut tidak terlepas dari
beberapa alasan baik ditinjau dari segi asas kebenaran materiil, asas
keyakinan hakim maupun dari sudut batas minimum pembuktian.

3.2 Pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa


menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari
anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah
sesuai dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP

Sebelum menjatuhkan suatu putusan, majelis hakim melakukan


pertimbangan terlebih dahulu dengan mengemukakan alasan-alasan hukum di
dalam putusannya, hal ini disebut juga pertimbangan hakim. Pertimbangan
Hakim atau biasa dikenal dengan istilah “ratio decidendi” merupakan alasan-
alasan hukum atau dasar bagi hakim dalam memutuskan bunyi amar putusan.
54

Pertimbangan hakim merupakan aspek terpenting dalam menentukan


terwujudnya nilai keadilan dan kepastian hukum dari suatu putusan sehingga
pertimbangan hakim ini haruslah teliti, baik, dan cermat.78 Setiap putusan
hakim harus memuat pertimbangan yang disusun berdasarkan fakta-fakta
serta alat bukti yang diperoleh selama pembuktian di persidangan. 79 Fakta-
fakta tersebut disebut sebagai fakta hukum. Fakta hukum merupakan fakta
yang telah diuji kebenarannya dengan alat bukti-alat bukti di persidangan dan
telah memenuhi batas minimal pembuktian. Fakta hukum merupakan hasil
dari pergulatan hakim dalam mengkonstantir, yaitu melihat, mengetahui dan
membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa atau menurut Peter Mahmud
Marzuki ialah fakta yang diatur oleh hukum.80 Fakta-fakta hukum tersebut
akan diuraikan pada bagian dalam suatu putusan dan kemudian akan
dipertimbangkan oleh hakim untuk disesuaikan dengan ketentuan perundang-
undangan yang didakwakan oleh penuntut umum.
Berdasarkan Putusan Nomor: 159/Pid.Sus/2020/PN Tte yang penulis
analisis, diperoleh fakta-fakta hukum yang menjadi dasar dari pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ternate terkait visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban yang dijadikan pertimbangan
hakim putusan tersebut ialah sebagai berikut :
- Bahwa pada hari Minggu tanggal 12 April 2020 sekitar pukul 10.30
WIT bertempat di dalam kamar kosan milik Saksi Ratna Damim di
Kelurahan Bastiong Karance Kec. Kota Ternate Selatan Kota Ternate
Terdakwa memegang alat kelamin Anak Korban.
- Bahwa awalnya ketika Anak Korban dan Anak Saksi sedang berada
dalam kamar, Terdakwa masuk dan duduk didekat dinding lalu
menarik kaki An ak Korban dan memasukan tangan kirinya ke dalam
celana Anak Korban lalu mencubit alat kelamin Anak Korban

78
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cetakan ke-5
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 140.
79
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2007), h. 212.
80
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), h. 245.
55

menggunakan tangan kiri. Kemudian Anak Saksi mengambil sapu


dan memukul Terdakwa setelah itu Terdakwa mengatakan Anak
Kotban dipanggil oleh ibunya, Saksi Ratna Damim untuk makan.
- Bahwa setelah kejadian tersebut Anak Korban merasakan sakit pada
saat kencing dan demam selama 4 (empat) hari.
- Bahwa Terdakwa memegang alat kelamin Anak Korban sebanyak 3
(tiga) kali. Sebelumnya setiap Anak Korban dan Terdakwa bermain,
Terdakwa selalu mencubit alat kelamin dan pantat Anak Korban.
- Bahwa Terdakwa pernah memberikan uang sejumlah Rp 5.000,00
(lima ribu rupiah) kepada Anak Korban untuk membeli rokok
sejumlah Rp 4.000,00 (empat ribu rupiah) dan sisa Rp 1.000,00
(seribu rupiah) digunakan Anak Korban untuk membeli permen.
- Bahwa barang bukti yang diajukan dan dirperlihatkan didepan
persidangan adalah benar milik Anak Korban yang digunaka pada saat
kejadian tanggal 12 April 2020 tersebut.
- Bahwa pada saat kejadian Anak Korban berumur 3 (tiga) tahun 8
(delapan) bulan.
- Bahwa akibat perbuatan Terdakwa, Anka Korban mengalami bengkak
dan rasa sakit pada alat kelaminnya sebagaimana hasil Visum Et
Repertum Nomor R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT
BHAYANGKARA TK.IV POLDA MALUT yang ditandatangani
oleh dr. Unzilla, Sp.og. M.Kes.
- Bahwa Korban telah memaafkan Terdakwa di persidangan dan telah
ada surat perdamaian.

Lalu mengenai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri


Ternate menjatuhkan putusan dalam Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN
Tte ialah sebagai berikut :
- Menimbang, bahwa di persidangan telah pula didengar keterangan
Saksi Verbalisan Asri Ningsih yang melakukan pemeriksaan terhadap
Anak Korban dan Saksi Ratna Damim, Saksi Verbalisan Laila B.
56

Mahubessy yang melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa dan


Ahli dr. Unzilla Aliviana Natasya Husen yang melakukan visum pada
Anak Korban. Keterangan para saksi Verbalisan dan ahli tersebut
terkait dengan Hasil Visum Et Repertum Nomor R/958/XI/2019
Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT BHAYANGKARA TK.IV
POLDA MALUT yang ditandatangani oleh dr. Unzilla, Sp.og., M.Kes
dimana nama yang tercantum adalah Rukia Rukmana bukan Putri
Faradila alias Ila. Dari keterangan Saksi Verbalisan Asri Ningsih,
Rukia Rukmana adalah Putri Faradila alias Ila berdasarkan keterangan
Saksi Ratna Damim yang tidak mau memakai nama Putri Faradilla
sehingga identitas Anak Korban yang tercantum didalam hasil Visum
Et Repertum adalah Rukia Rukmana sesuai dengan Surat Permintaan
Visum Et Repertum (terlampir dalam berkas perkara). Bahwa Surat
Hasil Visum Et Repertum a quo telah dibacakan dipersidangan dan
dibenarkan oleh Anak Korban dan Saksi Ratna Damim, dimana dari
hasil pemeriksaan tersebut diperoleh kesimpulan pada pemeriksaan
terhadap anak perempuan berusia empat tahun ditemukan bengkak
dan kemerahan pada bibir vagina akibat persentuhan benda tumpul.
- Menimbang, bahwa didalam pencantuman nama Anak Korban
haruslah sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran bukan berdasarkan
kema u an seseorang tanpa dibuktikan dengan surat identitas berupa
Kutipan Akta Kelahiran. Sebagaimana kebiasaan masyarakat selain
nama lengkap, seseorang juga sering dipanggil dengan nama kecil
atau sebutan lain yang kemudian dicantumkan sesudah nama yang
bersangkutan diawali frasa “alias”. Oleh karenanya pencantuman
nama Anak Korban haruslah sesuai dulu dengan nama pada Kutipan
Akta Kelahiran baru nama panggilan atau nama kecil yan g
bersangkutan Sehingga menurut Majelis meskipun didalam hasil
Visum Et Repertum a quo tercantum Rukia Rukmana, namun hasil
Visum Et Repertu m a quo telah dibacakan dan dibenarkan oleh Anak
Korban dan Saksi Ratna Damim kesimpulan hasil pemeriksaan
57

adalah apa yang benar dialami oleh Anak Korban akibat perbuatan
Terdakwa, dikaitkan pula dengan keterangan ahli pada saat
melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban ia didampingi oleh
ibu Kandungnya. Maka terhadap bukti surat berupa Visum Et
Repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat yang
membuktikan perbuatan Terdakwa memgang alat kelamin Anak
Korban, terjadi pembengkakan dan kemerahan pada bibir vagina.
Akibat perbuatan Terdakwa pula, setelah kejadian tersebut Anaka
Korban mengalami sakit dan demam selama 4 (empat) hari.
- Menimbang, bahwa dari hasil Visum Et Repertum a quo bahwa
Terdakwa telah menggunakan tenaga jasmaninya yang tentunya
dipengaruhi oleh nafsu birahi memegang dan mencubit alat kelamin
Anak Korban hingga bengkak dan kemerahan pada bibir vagina,
selain itu Anak Korban juga merasakan sakit saat buang air kecil serta
mengalami demam selama 4 (empat) hari segaimana keterangan Anak
Korban dan Saksi Ratna Damim yang dibenarkan oleh Terdakwa.
Perbuatan Terdakwa tersebut dikategorikan sebagai melakukan
kekerasan baik secara fisik maupun psikhis;
- Menimbang, bahwa terkait umur Anak Korban meskipun didalam
berkas perkara Penyidik tidak melampirkan Kutipan Akta Kelah iran
Anak Korban namun pada saat pemeriksaan identitas Anak Korban
dipersidangan yang didampingi oleh Saksi Ratna Damim, ia mengaku
lahir pada tanggal 12 Juni 2016. Identitas Anak Korban sebagaimana
pula tercantum pada Laporan Sosial Perkembangan Anak Berhadapan
Dengan Hukum (Korban) ia lahir pada tanggal tersebut dengan NIK
8271022911130002 (terlampir dalam berkas perkara). Sebagaimana
keterangan Ahli bahwa Anak Korban pada saat dilakukan
pemeriksaan Visum Et Repertum berumur 4 (empat) Tahun,
Terdakwa pun mengaku Anak Korban merupakan anak yang masih
dibawah umur meskipun tidak tahu berapa umurnya. Dengan
demikian dari keteran gan saksi, Terdakwa dan surat tersebut
58

diperoleh petunjuk bahwa Anak lahir pada tanggal 12 Juni 2016 yang
artinya pada saat kejadian yaitu tanggal 12 April 2020 Anak Korban
baru berusia 3 (tiga) tahun 10 (sepuluh) bulan sehingga Anak Korban
termasuk dalam kategori Anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang a quo;
- Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut, menurut Majelis
perbuatan Terdakwa telah dengan kekerasan membujuk Anak
membiarkan dilakukan perbuatan perbuatan cabul pada unsur keempat
ini terpenuhi pada diri Terdakwa.
Jika di lihat berdasarkan teori Sistem Pembuktian Menurut Undang-
Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) yang dianut dalam
sistem peradilan pidana Indonesia, Pada prinsipnya menentukan bahwa hakim
hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti secara limitatif
ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim
terhadap eksistensinya alat bukti itu sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal
183 KUHAP. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif melekat
adanya pemahaman bahwa prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan
alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan oleh undang-undang dan terhadap
alat-alat bukti tersebut hakim yakin baik secara materill maupun secara
prosedural.81 Karena hal tersebut nantinya akan mempengaruhi bagaimana nilai
pembuktian dari suatu alat bukti yang ada dipersidangan yang akan menjadi
landasan pertimbangan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Sehingga persidangan pengadilan tidak boleh
sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Pertimbangan hakim menjadi hal yang sangat penting dalam menjadi
acuan suatu putusan tindak pidana, namun ternyata yang terjadi pertimbangan
hakim dipengaruhi oleh beberapa hal baik terkait kebenaran materiil dalam

81
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.31.
59

menggunakan keterangan ahli dalam pembuktian maupun terkait dengan


keyakinan hakim.82
Seperti yang telah dijelaskan di pembahasan sebelumnya pada dasarnya
Visum et Repertum merupakan alat bukti keterangan ahli yang tertuang dalam
suatu laporan yang memuat keterangan dari kedokteran Forensik yang
menjelaskan sebab akibat tubuh korban. Visum et Repertum merupakan
keterangan ahli kedokteran yang telah tertuang dalam laporan tertulis. 83 Sehingga
tidak ada keharusan ahli tersebut datang dimuka sidang selama hakim merasa
keterangan yang telah tertuang dalam Visum et Repertum tersebut telah jelas
menjelasakan sebab akibat meninggal ataupun terlukanya korban. Akan tetapi
pada putusan perkara nomor: 159/Pid.Sus/2020/PN Tte selain adanya alat bukti
surat visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban yang
dihadirkan di persidangan. Majelis hakim juga meminta keterangan ahli untuk
datang dipersidangan dalam hal membutikan kebenaran materiil apakah benar
anak korban sebagaimana yang tercantum di dalam visum et repertum merupakan
anak korban Putri Faradila pada putusan perkara nomor: 159/Pid.Sus/2020/PN
Tte.
Berikut merupakan putusan dari Pengadilan Negeri yang menangani
perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dangan menggunakan alat bukti
keterangan ahli kedokteran Forensik dalam bentuk Visum Et Repertum dengan
Putusan Nomor: 159/Pid,Sus/2020/PN Tte. Dalam perkara dengan Putusan
Nomor. 159/Pid,Sus/2020/PN Tte Pengadilan Negeri Ternate yang mengadili
perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama
menjatuhkan putusan dengan dalam pertimbangan hakim menggunakan Visum et
Repertum keterangan kedokteran yang termuat dalam bukti surat berupa Visum et
Repertum Nomor R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT
BHAYANGKARA TK.IV POLDA MALUT tertanggal 15 April 2020 yang
ditandatangani oleh dr. Unzilla, Sp.og., M.Kes dimana nama anak korban yang
tercantum adalah Rukia Rukmana bukan Putri Faradila alias Ila dengan hasil

82
Hardianto, D, Pertimbangan Hakim Perkara Pencemaran Nama Baik Melalui Media,
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18, No.1, 2016, h.93-102.
83
R. Soeparmono, Loc.Cit.
60

kesimpulan: pada pemeriksaan terhadap anak perempuan berusia empat tahun,


ditemukan bengkak dan kemerahan pada bibir vagina akibat persentuhan benda
tumpul. Sehingga setelah Anak Korban mengalami kejadian tersebut, anak korban
sempat mengalami demam selama 4 (empat) hari serta mengalami trauma psikis
dimana anak korban sudah tidak ceria seperti biasanya dan cenderung merasa
ketakutan akibat perbuatan para Terdakwa.
Kemudian barang bukti yang di ajukan oleh jaksa penuntut umum yaitu 1
(satu) lembar baju anak berwarna pink motif little poni, 1 (satu) lembar celana
tidur berwarna pink motif little poni, 1 (satu) lembar celana dalam anak berwarna
biru motif mickey mouse, 1 (satu) lembar kaos dalam anak berwarna putih yang
mana baju, celana dan pakaian dalam tersebut dikenakan pada anak korban pada
saat dicabuli oleh Terdakwa dan berdasarkan pengakuan para terdakwa dalam
pemeriksaan di persidangan. Terdakwa pada hari minggu tanggal 12 April sekitar
pukul 10.30 WITA mencubit kemaluan Anak Korban dengan cara membuka
celana Anak Korban dan mencubit alat kelamin Anak Korban dengan
menggunakan tangan kiri, terdakwa juga mengaku telah mencubit alat kelamin
Anak Korban sekitar 3 (tiga) kali namun terdakwa lupa kapan melakukan hal
tersebut. Kemudian Terdakwa juga mengaku kalau Terdakwa juga pernah
memegang kemaluan Anak Saksi Fitri Gamar Jaber dan Nurul Fatima Jaber yang
merupakan kakak kandung dari Anak Korban. Selain itu Terdakwa pernah
memberikan Anak Korban uang sejumlah rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) untuk
membeli 2 (dua) batang rokok seharga Rp 4.000,00 (empat ribu rupiah) dan sisa
Rp 1.000,00 (seribu rupiah) untuk Anak Korban membeli permen. Sehingga
ditemukan benang merah antara perbuatan Terdakwa terhadap Anak korban yang
menyebabkan ditemukan bengkak dan kemerahan pada bibir vagina akibat
persentuhan benda tumpul. Visum et Repertum tersebut menjadi acuan sebab
akibat perbuatan terdakwa dan menimbulkan akibat Anak Korban.
Dari serangkaian fakta-fakta yang terungkap di persidangan antara satu
sama lain saling bersesuaian dan dihubungkan dengan Visum et Repertum
Nomor R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT BHAYANGKARA
TK.IV POLDA MALUT tertanggal 15 April 2020 yang ditandatangani oleh dr.
61

Unzilla, Sp.og., M.Kes. Majelis Hakim memperoleh kesimpulan bahwa benar


anak korban tindak pidana pencabulan pada putusan perkara nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte yang bernama Putri Faradila merupakan orang yang
sama dengan Rukia Rukmana sebagaimana tercantum di dalam visum et repertum.
Hal tersebut diyakini atas dasar kesaksian dari orang tua anak korban, saksi
verbalisan penyidik yang memriksa korban dan ahli yang memeriksa anak korban
pada saat dilakukan pemeriksaan untuk visum. Selain itu diketahui juga bahwa
anak korban benar mengalami tindak pidana pencabulan pada kemaluannya yang
mana ditemukan bengkak dan kemerahan pada bibir vagina akibat persentuhan
benda tumpul.
Peranan Visum et Repertum dalam pemeriksaan suatu tindak pidana
pencabulan tidak hanya berperan dalam membantu penyidik dalam mengungkap
tindak pidana pencabulan atau kekerasan seksual lainnya namun hal ini juga
penting dalam pemeriksaan persidangan perkara karena Visum et Repertum
tersebut merupakan suatu alat bukti yang sah, yang dibuat berdasarkan sumpah
jabatan seorang dokter dimana berfungsi memberi keyakinan dan pertimbangan
bagi hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Sehingga demikian, berdasarkan putusan perkara nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte adapun tujuan dibuatnya Visum et Repertum Nomor
R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT BHAYANGKARA TK.IV
POLDA MALUT tertanggal 15 April 2020 yang ditandatangani oleh dr. Unzilla,
Sp.og., M.Kes dalam tindak pidana pencabulan yang terjadi pada anak korban
Putri Faradila adalah agar hakim (Majelis) dapat mengambil keputusannya dengan
tepat atas dasar kenyataan atas fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi
pendukung atas keyakinan hakim, sebagaimana tertuang dalam bagian
pemberitaan Visum et Repertum tersebut tentang kenyataan akan fakta-fakta dari
bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/hal tentang fakta-fakta yang ditemukan
pada kemaluan anak korban. Walaupun penamaan anak korban berbeda di dalam
visum et repertum tersebut sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan
yang sebelumnya.
62

Keterangan ahli Forensik pada dasarnya tidak mengikat hakim. Namun


dalam acara pidana jikalau dirasa perlu dan tujuannya dihadirkan ahli untuk
menerangkan perkara, menjelaskan sebab akibat terkait kesalahan terdakwa dalam
melakukan perbuatan pidananya maka keterangan ahli Forensik diperlukan dalam
persidangan. Akan tetapi jika melihat putusan perkara nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte majelis hakim juga meminta ahli yang memeriksa anak
korban yaitu dr. Unzilla, Sp.og., M.Kes untuk hadir dipersidangan dalam
menerangkan apakah anak korban Rukia Rukmana sebagaimana tercantum
didalam visum et repertum merupakan anak korban Putri Faradila sebagaimana
yang tercantum di dalam kasus putusan perkara nomor: 159/Pid.Sus/2020/PN Tte.
Selain itu ahli menerangkan tentang keadaan kondisi fisik vagina maupun psikis
anak korban pada saat dilakukan pemeriksaan untuk visum et repertum.
Visum et repertum yang berbeda nama pada dasarnya tidak sah dijadikan
alat bukti dipersidangan sehingga sebenarnya tidak sah juga sebagai pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Akan tetapi visum et
repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban jika dikuatkan dengan
keterangan saksi ahli yang sah memeriksa korban sebagaimana yang tercantum
dalam visum et repertum maka alat bukti visum et repertum tersebut dapat
dijadikan dasar pertimbangan hakim. Dengan catatan keterangan ahli yang
mengungkapkan kebenaran identitas korban yang sesuai dengan visum dan
menerangkan juga keterangan hasil pemeriksaan sebagaimana dalam visum. Jika
saksi ahli hanya mengungkapkan kebenaran identitas korban, maka visum et
repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban lebih kuat karena
dikuatkan oleh keterangan ahli mengenai pembenaran terhadap korban yang
diperiksa. Tetapi di dalam putusan perkara nomor: 159/Pid.Sus/2020/PN Tte. Ahli
yang dihadirkan didalam persidangan selain menerangkan identitas anak korban
ahli juga menerangkan keadaan fisik anak korban sebagaimana yang tertuang di
dalam visum et repertum. Sehingga sebenarnya keterangan ahli yang dituangkan
dalam bentuk tertulis berupa visum et repertum dan keterangan ahli secara lisan di
muka persidangan mempunyai nilai pembuktian yang sama. Kedua alat bukti
tersebut sama-sama “bersifat kekuatan pembuktian yang bebas”, tidak mengikat
63

sehingga niai kekuatan pembuktian keduanya tergantung pada hakim, hakim


bebas untuk membenarkan dan menolak alat bukti tersebut.84
Jika dikaji lebih dalam sebenarnya kedudukan keterangan ahli Forensik
berdiri pada sifat dualisme alat bukti keterangan ahli. Pada suatu segi alat bukti
keterangan ahli yang berbentuk laporan atau Visum et Repertum tetap dapat
dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli pada sisi yang lain alat bukti keterangan
ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat sebagaimana bunyi
Pasal 186 dan 187 KUHAP sehingga mempunyai nilai pembuktian yang serupa.
Penentuan pada pengambilan keputusan akan sifat dualisme alat bukti keterangan
ahli Forensik terletak pada keyakinan hakim dalam membuat putusan pada
perkara tindak pidana pencabulan sebagaimana pada putusan perkara nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte karena kedua alat bukti tersebut sama-sama “bersifat
kekuatan pembuktian yang bebas”.85
Di dalam pertimbangan hakim terlihat jelas hakim juga menggunakan
surat visum et repertum yang dijadikan alat bukti dalam penjatuhan pidana
terhadap terdakwa dibandingkan keterangan ahli yang dihadirkan di dalam
persidangan. Sedangkan jika dikaitkan dengan Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHAP:
“Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa”86

Ditemukan fakta bahwa ahli yang memeriksa anak korban juga turut dihadirkan,
seharusnya ketika ahli forensik dihadirkan dipersidangan, alat bukti yang dipakai
sebagai alasan pertimbangan penjatuhan pidana terhadap terdakwa ialah cukuplah
keterangan ahli saja tidak perlu memakai alat bukti surat visum et repertum yang
dihadirkan dipersidangan. Jika dilihat kembali bahwa penggunaan alat bukti
keduanya seperti dualisme yang berlebihan karena secara substansi kedua alat
bukti tersebut sama. Kemudian jika di tinjau berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang
berbunyi bahwa :

84
Yahya Harahap, Op.Cit, h.304.
85
Yahya Harahap, Loc. Cit.
86
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
64

“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 87

Bisa di lihat bahwa alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan sudah
cukup yaitu dengan adanya keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk beserta
keyakinan hakim untuk dijadikan landasan pertimbangan halim dalam
menyatakan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan. Maka dari itu akankah lebih tepat jika hakim dalam persidangan
menggunakan keterangan ahli dan tidak menggunakan lagi surat visum et
repertum sebagai pertimbangan penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Akan tetapi
semua itu kembali berdasarkan penilaian hakim karena kedua alat bukti ini sama-
sama mempunyai nilai pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht” yang mana
semua itu berlandaskan pada keyakinan hakim itu sendiri untuk memilih
menggunakan keterangan ahli ataupun surat visum et repertum tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwa berkenaan dengan bagaiamanakah
pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa menggunakan
visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban pada (Putusan
Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) ini sudah sesuai dengan sistem pembuktian di
dalam KUHAP karena di sini hakim dalam menggunakan visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban tersebut tidak terlepas dari alat bukti
lainnya yang mendukung nilai kekuatan pembuktian dari visum et repertum itu
sendiri yang mana hal tersebut meyakinkan hakim agar visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban dapat dijadikan salah satu alat bukti di
persidangan dan menjadi bahan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan
putusan.

87
Ibid.
65

BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
a. Visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban pada
(Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan Pasal 187
KUHAP huruf c merupakan alat bukti yang sah selama tidak ada bukti lain
yang menyangkal kebenarannya sehingga visum et repertum tersebut
memiiki kekuatan pembuktian, karena di dalam persidangan juga terdapat
fakta bahwa dari keterangan saksi, ahli, terdakwa jika nama anak yang
tertera dalam visum et repertum Rukia Rukmana adalah anak yang sama
Putri Faradila sehingga berdasarkan alat bukti lainnya tersebut terdapat
persesuaian mengenai nama anak anak korban yang ada dalam dalam
visum et repertum sebagaimana Pasal 188 KUHAP. Selain itu penilaian
terhadap suatu alat bukti juga tergantung pada hakim yang menilai karena
hakim memiliki kebebasan untuk menilai. Hal tersebut tidak terlepas dari
beberapa alasan baik ditinjau dari segi asas kebenaran materiil, asas
keyakinan hakim maupun dari sudut batas minimum pembuktian.
b. Pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak
korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) ini sudah sesuai
dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP karena di sini hakim dalam
menilai kekekuatan pembuktian dari visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban tersebut menggunakan teori
sistem pembuktian Negatief Wettelijk Bewisjtheorie (pembuktiannya
berdasarkan undang-undang secara negatif) sesuai Pasal 183 KUHAP.
Kemudian tidak terlepas dari alat bukti lainnya yang mendukung nilai
kekuatan pembuktian dari visum et repertum itu sendiri, yang mana hal
tersebut meyakinkan hakim agar visum et repertum yang menggunakan
nama lain dari anak korban dapat dijadikan salah satu alat bukti di
persidangan dan menjadi bahan pertimbangan hakim sebelum
menjatuhkan putusan.
66

4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagi pembuat undang-undang, khususnya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia agar
mencamtumkan secara jelas pengaturan khusus mengenai teknis
pembuatan Visum Et Repertum sebagai “bukti permulaaan” pada tindak
pidana tertentu sebagai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 14
undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam rangka
menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah berdasarkan satu alat
bukti dan laporan polisi (Alat bukti keterangan Saksi dan Alat bukti Surat).
Karena selama ini hanya berdasarkan ketentuan umum sehingga pedoman
yang dipakai penyidik hanya berdasarkan kebiasaan.
2. Bagi Penyidik Kepolisian dalam hal proses pencarian alat bukti perkara
pidana haruslah berdasarkan prosedur yang benar dan tepat bukan hanya
berdasarkan permintaan dari pihak korban, karena hal tersebut sudah tidak
sesuai sebagaimana dengan asas due process of law.
3. Bagi Jaksa Penuntut Umum diharapkan lebih teliti dalam memperoleh alat
bukti yang dilimpahkan oleh penyidik. Karena sebelum alat bukti sampai
di proses dipersidangan Jaksa Penuntut Umum berhak memeriksa alat
bukti dan mempertanyakan kebenaran alat bukti tersbut kepada penyidik.
Sehingga sebenarnya alat bukti seperti yang sudah dibahas dalam skripsi
sebenarnya tidak akan menjadi permasalahan ketika visum et repertum
yang menggunakan nama lain dari anak korban sudah di konfrontasikan
kepada ahi yang memeriksa anak korban dengan bukti tambahan berita
acara tambahan terkait visum et repertum tersebut.
4. Bagi Majelis Hakim ketika di persidangan terdapat 2 alat bukti yang
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sama seperti keterangan ahli
dan alat bukti surat visum et repertum. Seharusnya menggunakan alat
bukti keterangan ahli sebagai pertimbangan.
67

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Alfani, Iwan. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-dasar hukum pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Amrullah, Arief. 2007. Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban
Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Cetakan Kedua. Malang:
Bayumedia Publishing.
Arifin, Tajul. 20019. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Arto, Mukti. 2004. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cetakan ke-
5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Astawa, I Gede Pantja. 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di
Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Black, Henry Campbell. 1968. Black’s Law Dictionary 4th. USA: West
Publishing Co.
Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I; Stelsel Pidana, Teori-
teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Raja
Grafindo.
Chazawi, Adam. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Effendi. 2015. Penelitian Hukum (Legal
Research). Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
Harahap, Yahya. 2005. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali
Jakarta: Sinar Grafika.
Hiariej, Eddy O.S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga
Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian hukum. Bandung: Mandar
Maju.
Marc weber Tobias, R David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure A Survey on
Constitusional Right (Charles C. Thomas Publisher).
Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Jakarta: Prenada Media
Group.
Moeljatno, 2015. Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra
Bakti.
Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori,
Praktek, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya
Bakti
Rahardjo, Satjipto. 2010. Ilmu Hukum Cetakan Ketujuh. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Ranoemihardja, R. Atang. 1983. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic
Science). Bandung: Tarsito
Ruba’i, Mascruchin. 2015. Buku Ajar Hukum Pidana. Malang: Media Nusa
Creative.
R. Soeparmono. 2016. Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek
Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
R. Soesilo. 1982. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
R. Sughondo. 1995. Tindak Pidana Pencabulan Anak. Bandung: Sinar Grafika.
Sasangka, Hari., dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana
untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung: Mandar Maju.
Setiady, Tholib. 2009. Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Cet Ke-2.
Bandung: Alfabeta.
Soedjatmiko, H.M,. 2001. Ilmu Kedokteran Forensik. Malang: Fakultas
Kedokteran UNIBRAW.
S.R. Sianturi. 1982. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Jakarta: Alumni
Subekti. Hukum Pembuktian. 2001. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Waluyadi. 2004. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan
Praktisi. Bandung: Mandar Maju.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan
Penyidikan Tindak Pidana
Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses penyidikan Tindak Pidana
Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana;
Instruksi No. Pol: INS/E/20/IX/75 tentang Tata cara permohonan/pencabutan
Visum Et Repertum
Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan
Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam
bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak
Pidana
Jurnal:
Asep Bambang Hermanto, Ajaran Positivisme Hukum di Indonesia: Kritik dan
Alternatif Solusinya, SELISIK, Vol. 2, No. 4, 2016.

Bahder Johan Nasution, Tinjauan tentang Ruang Lingkup dan Alat Ukur Tindak
Pemerintahan yang Baik, Jurnal DEMOKRASI, Vol. V, No. 2, 2006.

Hardianto, D, Pertimbangan Hakim Perkara Pencemaran Nama Baik Melalui


Media, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18, No.1, 2016, h.93-102.

Lorens Werluka, Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Jurnal Belo, Vol.4 No. 2, 2019.

Muksimin, Keberadaan Hakim Komisaris dan Transparansi dalam proses


penyidikan, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 16 No. 2, 2016..

Rusyadi, Kekuatan Alat Bukti,Prioris, Vol. 5 No. 2 Tahun 2016


Rahmat Hidayat, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana
Perkosaan (Studi Putusan Pidana No.42/PID. B/2012/PN-YK), Jurnal
Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa
Yogyakarta, Vol.1, No.2, 2015.
Skripsi:
Hadrian Tri Saputra, Peranan Visum Et Repertum Pada Tahap Penyidikan Dalam
Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan, Skripsi (Makassar, Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hassanudin, 2015).

Internet:
https://www.hukumindo.com/2019/09/kata-mutiara-hukum-terpilih-i-
selected.html
https://news.detik.com/infografis/d-5003163/surat-al-maidah-ayat-8-adil-lebih-
dekat-kepada-takwa
Flora Dianti. 2011. Perbedaan alat bukti dan barang bukti, diakses melalui
www.hukumonline.com, pada tanggal 25 November 2020
Joseph Raz, Legal Validity, Oxford Scholarship online, diakses melalui
www.OxfordScholarship.com pada tanggal 19 November 2020
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, YURIDIKA No. 5&6 Tahun XII, 1997,
September-Desember, diakses pada tanggal 20 April 2020 melalui
https://e-journal.unair.ac.id
Winda Trijayanthi Utama, Visum Et Repertum: A Medicolegal Report As A
Combination Of Medical Knowledge And Skill With Legal Jurisdiction,
Juke, Vol. IV, No. 8, 2006

Anda mungkin juga menyukai