SKRIPSI
Oleh :
ZEVI
NIM. 170710101345
SKRIPSI
Oleh :
ZEVI
NIM. 170710101345
“The wisdom of a law-maker consisteth not only in a platform of justice, but in the
application thereof; taking into consideration by what means laws may be made
certain.”
(Kebijaksanaan seorang pembuat hukum tidak hanya terdiri dari landasan
keadilan, tetapi juga penerapannya; mempertimbangkan dengan cara apa hukum
mendapat kepastian.
(Francis Bacon)
The Advancement of Learning.1
Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu para penegak keadilan karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu
golongan mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
keadilan itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
(Q.S Al-Maidah: 8)
https://www.hukumindo.com/2019/09/kata-mutiara-hukum-terpilih-i-selected.html
https://news.detik.com/infografis/d-5003163/surat-al-maidah-ayat-8-adil-lebih-dekat-
kepada-takwa
iii
PERSEMBAHAN
iv
PERSYARATAN GELAR
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Program Studi Ilmu Hukum Univeristas Jember.
Oleh :
ZEVI
NIM 170710101345
v
PERSETUJUAN PEMBIMBING
vi
PENGESAHAN
Panitia Penguji :
Ketua, Sekretaris,
Mengesahkan:
Dekan,
vii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Panitia Penguji :
viii
PERNYATAAN
Jember, 2021
Yang menyatakan,
ZEVI
NIM. 170710101345
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum yang Menggunakan Nama Lain
dari Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan (Putusan Nomor
159/Pid.Sus/2020/PN Tte)” Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Jember.
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam penelitian
skripsi ini, antara lain:
1. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jember, Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum., selaku
Pejabat Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember, Bapak
Echwan Iriyanto, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Jember dan selaku dosen pembimbing akademik, dan Bapak
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Jember;
2. Bapak Samsudi S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama, dan Bapak
Halif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Anggota yang dengan sabar,
tulus dan ikhlas memberikan arahan, meluangkan waktu, pikiran, dan
perhatian dalam penelitian skripsi ini;
3. Bapak Echwan Iriyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Penguji, dan Ibu Sapti
Prihatmini, S.H., M.H., selaku Sekretaris Penguji yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan arahan serta petunjuk sehingga
terselesaikannya skripsi ini;
4. Bapak dan Ibu dosen, civitas akademika, serta seluruh karyawan Fakultas
Hukum Universitas Jember atas segala ilmu dan pengetahuan yang
diberikan;
x
5. Orang tua saya tercinta, Ayahanda M. Zupri dan Ibunda Sarita yang selalu
menjadi penyemangat dalam terselesainya skripsi ini, terimakasih telah
senantiasa memberikan doa-doa, waktu, kasih sayang, nasehat, motivasi,
segala perhatian dan dukungan moril serta materiil yang tidak akan pernah
bisa tergantikan oleh sesuatu apapun yang ada di dunia ini. Kerja keras dan
perjuangan orang tua sampai saat ini yang mengantarkan saya tetap
semangat dan tidak pernah menyerah dalam menyelesaikan tugas akhir.
4. Saudara kandung saya kak Mega Puspita Sari dan Kak Indah Putri Sari
yang selalu memberi nasehat, motivasi dan dukungan moril serta materiil
selama saya di bangku perkuliahan yangmana kedua kakakku ini ialah
sudah seperti orang tua kedua bagi saya serta adik kandung saya M.
Fernandi, Zelda Savitri dan M. Friza Anggara yang merupakan adik-adik
saya yang membuat saya mendorong saya menjadi semangat dalam
mengerjakan skripsi ini.
5. Sahabat terbaik selama di Jember yaitu Kevin Wahyudatama Susanto dan
Tazkiya An-Nafs, Wheihelmina Syahraya, Raissa Yasmine dan Talitha
Rahma yang selalu menjadi tempat berkeluh kesah di dalam situasi
apapun, meluangkan waktunya menjadi penyemangat saya selama
perkuliahan dan proses mengerjakan skripsi ini.
6. Sahabat Belitung Rinanda Hapsari,Andini Maulidya, Trisdayanti, Nanda
Fajriah, Judithia Faraditha, Adelia Tacia Pane, Nisfi Meilani, Sri Widia
A.H, Mutia Dwi Juiatnti dan Jessyca Rosi yang masih senantiasa menjalin
komunikasi yang baik hingga saat ini dan menjadi pemacu penulis dalam
hal penyelesaian skripsi ini.
7. Febryano Dwi Rifani, yang selalu penuh dengan cinta kasih,
mendengarkan keluh kesah, memberikan semangat, dan support system
terbaik bagi Penulis selama mengerjakan skripsi ini sampai detik ini.
8. Seluruh delegasi National Moot Court Competition Piala Mahkamah
Agung ke-XXI Palembang dan delegasi National Moot Court Competition
Piala Mahkamah Agung ke-XXII yang memberikan banyak pembelajaran
xi
baik dari segi kehidupan maupun segi ilmu hukum yangmana hal tersebut
sangat berguna bagi saya untuk kedepannya.
9. Keluarga besar ALSA Local Chapter Universitas Jember yang merupakan
salahsatu UKM yang saya ikuti selama masa perkuliahan yangmana disana
saya mendapat banyak pembelajaran baik dalam berkenaan dengan
kepanitiaan, perlombaan, organisasi dan mendapat banyak teman.
10. Seluruh Guru dan Dosen saya sejak Taman Kanak-Kanak sampai
Perguruan Tinggi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
memberikan dan mengajarkan segala ilmu yang dimiliki yang sangat
bermanfaat dan berguna, serta telah membimbing saya dengan penuh
kesabaran.
11. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu dalam
skripsi ini, yang telah banyak membantu baik secara moril maupun
materiil dalam menyelesaikan skripsi ini;
Demikian skripsi ini yang penulis sadari masih banyak kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu, perlu adanya kritik dan saran yang membanbun
dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Jember, 2021
Yang menyatakan,
ZEVI
NIM. 170710101345
xii
RINGKASAN
xiii
adalah untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan
terdakwa menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari
anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai
dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian hukum
normatif sendiri adalah penelitian hukum untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi sehingga pokok kajian dalam hukum normatif akan berlaku dalam
masyarakat dan bagi perilaku setiap orang. Lalu berkaitannya dengan penelitian
ini, pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Hasil penelitian yang pertama adalah menganilisis bagaimana hakim
dalam menilai suatu alat bukti apabila dalam proses memperileh alat bukti
tersebut tidak sesuai dengan prosedur. Lalu hasil penelitian yang kedua adalah
mengetahui bagaimana pertimbangan hakim ketika terdapat dua alat bukti yang
memiliki nilai pembuktian yang sama.
Saran dari skripsi ini adalah pertama bagi pembuat undang-undang,
khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia agar mencamtumkan secara jelas pengaturan khusus
mengenai teknis pembuatan Visum Et Repertum sebagai “bukti permulaaan” pada
tindak pidana tertentu sebagai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 14
undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam rangka
menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah berdasarkan satu alat bukti dan
laporan polisi (Alat bukti keterangan Saksi dan Alat bukti Surat). Karena selama
ini hanya berdasarkan ketentuan umum sehingga pedoman yang dipakai penyidik
hanya berdasarkan kebiasaan. Kedua, Bagi Penyidik Kepolisian dalam hal proses
pencarian alat bukti perkara pidana haruslah berdasarkan prosedur yang benar dan
tepat bukan hanya berdasarkan permintaan dari pihak korban, karena hal tersebut
sudah tidak sesuai sebagaimana dengan asas due process of law. Ketiga, Bagi
Jaksa Penuntut Umum diharapkan lebih teliti dalam memperoleh alat bukti yang
dilimpahkan oleh penyidik. Keempat, Bagi Majelis Hakim ketika di persidangan
terdapat 2 alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sama
seperti keterangan ahli dan alat bukti surat visum et repertum. Seharusnya
menggunakan alat bukti keterangan ahli yang ad di dipersidangan sebagai
pertimbangan.
xiv
SUMMARY
xv
that the subject of study in normative law will apply in society and to the behavior
of everyone. Then related to this research, the approach used in writing this thesis
is the approach of legislation (statute approach) and conceptual approach
(conceptual approach). The first result of the study is to assess how the judge in
assessing a tool of evidence if in the process of ileh the evidence is not in
accordance with the procedure. Then the second result of the study is to know
how the judge considers when there are two evidence tools that have the same
evidentiary value.
The suggestion of this thesis is the first for lawmakers, especially Law No.
2 of 2002 concerning the State Police of the Republic of Indonesia in order to
clearly define the specific arrangements regarding the technicality of making
Visum Et Repertum as "evidence of commence" in certain crimes as referred to in
article 1 point 14 of Law No. 8 of 1981 concerning KUHAP, in order to establish
a person as a suspect is based on a tool of evidence and lapo police (Witness
evidence and Letter evidence). Because so far only based on general provisions so
the guidelines used by investigators are based only on habits. Second, for police
investigators in the process of finding evidence of criminal cases must be based on
the correct and appropriate procedures not only based on the request from the
victim, because it is not in accordance with the principle of due process of law.
Third, for the Public Prosecutor is expected to be more thorough in obtaining
evidence presented by investigators. Fourth, for the Panel of Judges when in the
trial there are 2 evidence tools that have the same evidentiary power value as
expert information and evidence visum et repertum. Should use expert evidence
that is present in court as a consideration.
xvi
DAFTAR ISI
xvii
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 17
2.1 Tindak Pidana Pencabulan Dalam Undang Perlindungan Anak ......... 17
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana ................. 17
2.1.2 Pengertian Tindak Pidana Pencabulan dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak ........................................................................................ 20
2.2 Hukum Pembuktian Perkara Pidana ...................................................... 23
2.2.1 Sistem Pembuktian Perkara Pidana ...................................................... 23
2.2.2 Jenis-jenis Alat Bukti Perkara Pidana ................................................... 27
2.3 Visum Et Repertum................................................................................... 29
2.3.1 Pengertian Visum Et Repertum ............................................................ 29
2.3.2 Dasar Hukum Visum Et Repertum ........................................................ 32
2.4 Asas Due Process of Law .......................................................................... 33
2.5.1 Pengertian Due Process of Law ............................................................ 33
2.5.2 Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ....... 34
2.5 Putusan Pengadilan ................................................................................... 36
2.6.1 Pengertian dan Jenis Putusan Pengadilan ............................................. 36
2.6.2 Hal yang harus dimuat dalam Putusan Pengadilan ............................... 37
2.6.3 Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana ................................... 39
BAB 3. PEMBAHASAN ..................................................................................... 41
3.1 Kekuatan pembuktian visum et repertum yang menggunakan nama lain
dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan
Pasal 187 KUHAP ............................................................................................. 41
3.2 Pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak
korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai dengan
sistem pembuktian di dalam KUHAP ............................................................... 53
BAB 4. PENUTUP............................................................................................... 65
4.1 Kesimpulan ................................................................................................ 65
4.2 Saran ........................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xx
DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN
xxi
DAFTAR ISTILAH
xxii
atau burden of proof oleh undang-undang untuk membuktikan suatu
peristiwa hukum
14. Bewijskracht : Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti
dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu
dakwaan.
15. Bewijs : Bukti minimum yang diperlukan dalam
minimum pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim
yang mana dalam konteks hukum acara
Indonesia untuk menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa paling tidak harus ada dua alat bukti
ditambah dengan keyakinan hakim.
xxiii
BAB 1. PENDAHULUAN
2
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Bakti, 2007),
h.185.
3
Muksimin, Keberadaan Hakim Komisaris dan Transparansi dalam proses penyidikan,
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 16 No. 2, 2016, h.215 – 230.
2
Penemuan terhadap kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana ini tidak
terlepas dari masalah bagaimana proses pembuktiannya, yaitu tentang seperti apa
kejadian yang sebenarnya dan senyatanya. Dalam hal ini aparat penegak hukum
seharusnya dalam memperoleh bukti-bukti untuk menggungkap suatu perkara
haruslah berhati-hati.Hal tersebut berguna untuk menghindari adanya kekeliruan
terhadap penjatuhan pidana nantinya. Sehingga proses pembuktian ini menjadi
proses yang paling penting dalam hukum acara pidana karena proses pembuktian
adalah suatu upaya dalam mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat
bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas besar tidaknya
kesalahan terhadap diri terdakwa.4
Dalam kaitan dengan pembuktian due process of law memiliki hubungan
yang erat dengan masalah penguraian bagaimana cara memperoleh,
mengumpulkan, dan menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan
dimulai dari proses atau biasanya disebut dengan bewijsvoering. Sering kali hal-
hal yang bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil. Terhadap
negara-negara yang menganut dan menjunjung tingggi due process of law dalam
hukum acaranya, memberikan perlindungan kepada individu dari tindakan
sewenang-wenangnya aparat negara dalm hal mendapatkan perhatian khusus.5
Adapun alat-alat bukti yang sah, syarat-syarat dan tata cara mengajukan
bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai
suatu pembuktian juga sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian
dalam memperoleh bukti-bukti yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan
suatu perkara pidana, seringkali aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu
masalah seperti tidak dapat menyelesaikan sendiri karena ada beberapa hal yang
diluar kemampuan atau keahlian dari aparat penegak hukum tersebut. Sehingga
dalam hal ini aparat penegak hukum memerlukan bantuan dari seorang yang
mampu menghadapi atau memecahkan persoalan tersebut dalam hal ini ialah
seorang tenaga ahli.
4
Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Surabaya:
Mandar Maju, 2003), h.10.
5
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.31.
3
6
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung:
Tarsito,1983), h.18.
4
karena tanpa adanya alat bukti perkara tidak dapat diselesaikan untuk mengetahui
kebenaran meteriil terhadap telah terjadinya tindak pidana yang mana dalam
sistem peradilan keberadaan alat bukti sangat menentukan putusan hukum yang
diambil oleh hakim berdasarkan ketentuan sistem pembuktian sebagaimana dalam
KUHAP. Selain itu pertimbangan hakim mengenai bagamaina kekuatan alat bukti
yang ada di persidangan memiliki peran yang penting sebelum menjatuhkan
putusan sebagaimana proses sistem pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP.7
Disini peneliti menemukan salah satu putusan pengadilan negeri yang menarik
untuk dikaji dan dibahas adalah putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte
perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak. Adapun kasus posisinya adalah
sebagai berikut:
Terdakwa Risan Hurulean Alias Risan (selanjutnya disebut sebagai
Terdakwa), lahir di Ambon, tanggal 1 Desember 1996, jenis kelamin laki-laki,
agama Islam, kewarganegaraan Indonesi, tempat tinggal di Kelurahan Bastiong
Karance, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate, bekerja sebagai tukang
ojek. Pada hari Minggu tanggal 12 April 2020 sekitar pukul 10.30 WITA
bertempat di dalam kamar kos di Kelurahan Tonggole Bastiong Karance,
Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate terdakwa mendapati anak korban
Putri Faradila (selanjutnya disebut sebagai anak korban) sedang bermain dengan
kakaknya anak saksi Fitri Gamar Jaber alias Fitri (selanjutnya disebut sebagai
anak saksi). Setelah melihat anak korban, terdakwa langsung duduk diantara anak
korban dan anak saksi. Kemudian terdakwa mengatakan kepada anak korban “Ila,
pegang pepe dolo” (Ila, pegang (kemaluan peremuan) dulu) dan terdakwa
langsung memasukkan tangannya kedalam celana anak korban dan mencubit
kemaluan anak korban. Karena kemaluan anak korban telah dicubit anak korban
merasakan sakit dan berteriak sehingga terdakwa tidak melanjutkan lagi
perbuatannya dan pada saat itu terdakwa langsung pergi kedalam kamarnya.
Perbuatan terdakwa memegang kemaluan anak korban tersebut telah sering
dilakukan oleh terdakwa sejak bulan Maret 2020 tanpa sepengetahuan dari orang
7
Rusyadi, Kekuatan alat bukti dalam persidangan perkara pidana, Jurnal Hukum Prioris,
Vol 5 No.2, 2016, h.2.
5
tua anak korban. Setelah perbuatan yang dilakukan terdakwa terhadap anak
korban, anak korban sempat mengalami demam selama 4 (empat) hari serta
mengalami trauma psikis dimana anak korban sudah tidak ceria seperti biasanya
dan cenderung merasa ketakutan. Akibat perbuatan terdakwa anak korban
menderita sakit pada kemaluannya sebagaimana hasil Visum Et Repertum
Nomor: R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT BHAYANGKARA
TK.IV POLDA MALUT yang ditandatangani oleh dr. UNZILLA, Sp.og.M.Kes
yang pada kesimpulannya telah dilakukan pemeriksaa terhadap seorang
perempuan yang berdasarkan surat permintaan Visum Et Repertum berusia empat
tahun, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Pada
pemeriksaan tanda vital didapatkan tekananan darah seratus per delapan puluh
milimeter air raksa, laju nadi delapan puluh empat per menit laju nafas dua puluh
kali per menit, suhu tubuh tiga puluh enam koma empat derajat celcius. Kemudian
pada pemeriksaan alat kelamin ditemukan bengkak dan kemerahan dibagian bibir
vagina dengan ukuran dua kali dua centimeter akibat persentuhan benda tumpul.
Terdakwa di persidangan didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 82
Ayat (1) Jo Pasal 76 E UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Berdasarkan hasil
pembuktian yang ada di persidangan, JPU dalam surat tuntutannya meminta agar
majelis hakim menjatuhkan putusan bersalah sebagaimana tindak pidana
perlindungan anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan
tunggal yang melanggar Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76 E UU Nomor 17 Tahun
2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak dan menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan
membayar denda sebesar Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) Subsidair 3
(tiga) bulan penjara dikurangi selama terdakwa menjalani masa penahanan
sementara dengan perintah agar tetap ditahan.
Hal yang menarik dalam putusan ini ialah pada proses pembuktikannya
diketemukan bahwa terdapat salah satu bukti surat yang berupa Visum Et
Repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban yaitu Rukia Rukmana.
Penamaan anak korban tersebut tidak sesuai dengan nama anak korban
6
sebagaimana dalam kutipan akta kelahirannya yang tertera Putri Faradila. Hal
tersebut terjadi karena pada saat prosedur ketentuan pembuatan surat permintaan
Visum Et Repertum di tahap penyidikan tidak sesuai dengan aturan yang ada di
dalam prosedur yang ada di Lembaga Kepolisian sebagaimana yang tercantum
didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Sehingga seharusnya surat permintaan Visum Et Repertum
haruslah dibuat dengan dengan sesuai prosedur yaitu berdasarkan berkas laporan
kepolisian bukan berdasarkan permintaan dari pihak korban. Karena hukum acara
pidana menganut nilai kepastian hukum dalam setiap alat buktinya dan selain itu
fungsi dari Visum Et Repertum tersebut sangat penting dalam hal membuktikan
perbuatan terdakwa di dalam persidangan.
8
Tajul Arifin, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.13.
8
Penelitian memiliki fungsi untuk jawaban atas suatu isu hukum tertentu
dan merupakan salah satu upaya untuk pengembangan hukum.9 Oleh karenanya,
dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metodologi penelitian
untuk mendapatkan kebenaran tersebut agar penulisan karya ilmiah sesuai dengan
kaidah hukum yang ada. Metode penelitian yang dilakukan meliputi tipe
penelitian, pendekatan penelitian, dan analisis bahan hukum.
9
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Effendi, Penelitian Hukum (Legal Research),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h.7.
10
Ibid., h. 3.
9
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2016)., h. 93.
12
Ibid.
13
Ibid, h. 135
14
Ibid, h. 181
10
15
Ibid., h. 52.
11
16
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 181.
17
Dyah Ochtorina Susanti, Aan Efendi, Loc.Cit.
18
Ibid., h. 109.
12
19
Peter Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.
31.
20
Ibid, h.204.
21
Ibid, h.214.
13
22
Ibid, h. 84.
14
tahap penyidikan akan menjadi alat bukti sah dan mempunyai nilai
pembuktian yang kuat pada saat tahap di persidangan.
5. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual
approach).
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA, menguraikan tentang pengertian-pengertian serta
istilah-istilah yang digunakan sebagai bahan penelitian dan pembahasan awal
dalam skripsi ini. Diantaranya meliputi, Tindak Pidana Pencabulan dalam
Undang-undang Perlindungan Anak yang didalamnya menjelaskan terkait
pengertian tindak pidana dan unsur- unsur tindak pidana secara umum dan juga
menjelaskan pengertian tindak pidana pencabulan dalam undang-undang
perlindungan anaka, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan Hukum
Pembuktian Perkara Pidana dengan sub pembahasan yakni sistem pembuktian
perkara pidana dan jenis-jenis alat bukti perkara pidana, selanjutnya pembahasan
mengenai Visum Et Repertum terkait permasalahan dengan sub pembahasan
pengertian dari visum et repertum itu sendiri dan dasar hukum visum et repertum,
kemudian membahas mengenai Asas Due Process of Law sub pembahasannya
mengenai pengertian Due Process of Law dan bagaimana Due Process of Law
dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia untuk pembahasan kajian pustaka
yang terakhir membahas tentang Putusan Pengadilan dengan sub pengertian dan
jenis putusan pengadilan, hal yang harus dimuat dalam putusan pengadilan dan
pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana.
BAB 3. PEMBAHASAN, dalam bab ini berisi pembahasan yang menjawab
rumusan masalah dalam bab 1 yaitu; pertama, Bagaimana kekuatan pembuktian
visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban pada (Putusan
Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan Pasal 187 KUHAP. Kedua,
Apakah pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban
pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) sudah sesuai dengan sistem
pembuktian di dalam KUHAP.
16
BAB 4. PENUTUP, merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran bagi
masyarakat ataupun lembaga yang terkait dengan pembahasan skripsi ini.
Kesimpulan merupakan pernyataan akhir penulis tentang pembahasannya
terhadap rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian. Sedangkan saran
berisi masukan, pendapat, atau rekomendasi dari penulis atas penelitian yang telah
dilakukan dengan harapan dapat memberikan konstribusi dan solusi yang baik
bagi segala pihak yang berkepentingan.
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA
23
Mascruchin Ruba’i, Buku Ajar Hukum Pidana, (Malang: Media Nusa Creative, 2015),
h.78.
24
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), h. 59.
25
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h.72-88.
26
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni, 1982), h.207.
18
27
Moeljatno, Ibid. h.61.
28
Ibid.
29
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I; Stelsel Pidana, Teori-teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h.75.
19
tersebut. Hal tersebut bisa diketahui dangan cara menganalisis apakah perbuatan
yang dilakukan telah memenuhi unsur-unsur yang telah diatur dalam sebuah
ketentuan dala Pasal hukum pidana tertentu atau tidak. Menurut Moeljatno unsur-
unsur atau elemen-elemen dari perbuatan pidana (tindak pidana adalah:30
a. Kelakuan dan akibat (= perbuatan).
b. Hal Ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Menurut Van Hamel
hal ikhwal dibagi kedalam dua golongan yaitu mengenai diri orang yang
melakukan per buatan dan yang menegenai di luar diri si pelaku.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Keadaan yang timbul
sesudah dilakukan perbuatan tertentu yang mana keadaan tambahan ini
dikarenakan telah terpenuhinya unsur-unsur yang memberatkan pidana
pada suatu perbuatan pidana. Sebagai contoh Pasal 351 Ayar 1 KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Namun, jika perbuatan tersebut menimbulkan luka-luka berat, ancaman
pidananya menjadi diperberat selama lima tahun dan jika perbuatan
tesebut mengakibatkan kematian maka ancaman pidananya menjadi tujuh
tahun (Pasal 521 Ayat 2 dan 3 KUHP).
d. Unsur melawan hukum yang objektif. Unsur yang berasal dari luar diri si
pelaku yang mana unsur-unsur tersebut ada hubungannya dengan keadaan
dimana tindakan atau perbuatan si pelaku itu harus dilakukan. Sebagai
contoh bisa dilihat pada Pasal 406 yaitu mengenai mengahancurkan atau
merusak barang, sidang melawan hukumnya perbuatan ternyata dari hal
barang yang bukan miliknya dan tidak mendapat izin dari pemilik barang
tersebut untuk berbuat sepertim itu.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif. Unsur sifat melawan hukumnya
berasal dari dalam hati sanubari terdakwa itu sendiri yang mana sifat
melawan hukum perbuatannya tergantung pada bagaima sikap batin dari
diri terdakwa jadi merupakan unsur yang subjektif.
30
Moeljatno, Op. Cit, h. 69.
20
31
Soedarso, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.65.
32
Adami Chawawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005), h.80.
33
Rahmat Hidayat, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan
(Studi Putusan Pidana No.42/PID. B/2012/PN-YK), Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum
Indonesia.
34
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Islam Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1995), h. 212.
21
memiliki dampak yang sangat buruk terutama pada korbannya. Karena dalam hal
ini, korban biasanya menderita ancaman fisik kekerasan atau bentuk psikologis,
dan biasanya dalam keadaan kehilangan kesadaran, tidak berdaya, masih di bawah
umur atau keterbelakangan mental, atau dalam keadaan lain tidak dapat menolak
apa yang terjadi maupun tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi
padanya. Dengan ini perbuatan pencabulan melanggar hak asasi manusia serta
dapat merusak martabat kemanusiaan, khususnya terhadap jiwa, akal dan
keturunan.
Kemudian menganai pencabulan terhadap anak diatur di dalam beberapa
Pasal dalam Buku II tentang Pidana Kesusilaan dalam KUHP, yaitu pada 292
KUHP, Pasal 293, Pasal 294 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dan Pasal 295 KUHP.
Akan tetapi pada saat ini mengenai tindak pidana pencabulan terhadap korban
anak diatur lebih khusus dalam UU Perlindungan Anak dalam rangka
menegakkan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana
persetubuhan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E
UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.35
Sistem pidana di Indonesia berlaku asas Lex Speciali Derogat Lex
Generalis yang berarti bahwa aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan
yang umum. Hal tersebut diterapkan dalam rangka memeberikan kepastian hukum
hukum kepada para penegak hukum dalam bagaimana menerapkan suatu
peraturan perundang-undangan. Maka dari itu disini dengan adanya UU
Perlindungan Anak khususnya Pasal 82 dapat dikatakan mengesampingkan Pasal
294 KUHP karena Pasal tersebut sudah tidak dapat diterapkan lagi untuk
pencabulan yang dilakukan terhadap anak.
Kasus yang menjadi penelitian dalam penulisan ini , dalam surat tuntutan
jaksanya ialah Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang
perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam proses persidangan yang terbukti dan menjadi dasar hakim memutus
35
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
22
perkara tersebut yaitu Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E UU Nomor 12 Tahun 2016
tentang perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Sedangkan yang dimaksud dari Anak menurut bahasa merupakan keturunan
dari hasil hubungan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Undang-Undang
No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, memberikan definisi mengenai
anak ialah amanah yang telah dikaruniai dari Tuhan Yang Maha Esa dimana di
dalam diri anak tersebut telah melekat harkat dan martabat menjadi manusia yang
seutuhnya.36
Sebagai generasi penerus anak adalah calon pengelola negara harus
dipersiapkan sejak dini melalui bagaimana perwujudan dari haknya. Hak tersebut
mengacu pada hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta medapatkan bentuk perdlindungan
terhadap tindak kekerasan dan diskriminasi. Berikut ini adalah uraian tentang
pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan:
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kedudukan seorang
anak dalam hukum pidana di Indonesia diletakkan dalam pengertian seorang
anak yang belum dewasa yang memiliki hak-hak khusus yang dijaminkan
dalam undang-undang dan berhak mendapat perlindungan berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku.37
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menekankan
perlunya memperkuat atau menegakkan sanksi pidana dan denda bagi pelaku
kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual, untuk memberikan
efek jera terhdap pelaku dan mendorong tindakan yang lebih nyata dalam
memulihkan kondisi anak secara fisik, mental maupun sosial.38
3. Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia tahun 1999 Menurut
36
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
37
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
38
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
23
39
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
40
Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), h.1.
24
41
Syaiful Bakhri¸ Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan, (Jakarta: P3IH dan Total
Media, 2009), h.27.
42
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h.252.
43
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.5.
25
44
Waluyadi, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi,
(Bandung: Mandar Maju, 2004), h.39.
26
tersebut. Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang sah terdiri dari
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Selain itu Eddy O.S. Hiariaej menyebutkan bahwa pembuktian mempunyai
parameter kekuatan pembuktiannya antara lain yaitu: bewijstheorie,
bewijsmiddlen, bewijsvoering, bewijslast, bewijskracht, dan bewijs minimum.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwa yang pertama bewijstheorie
adalah sebuah teori nyang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di
pengadilan yang teridiri dari empat teori yaitu: Positief wettelijk bewisjtheore,
conviction intime, conviction raisonee negatief dan wettelijk bewisjtheorie.
Kemudian kedua bewijsmiddlen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Ketiga, bewijsvoering
diartikan sebagai penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti
kepada hakim di pengadilan. Bewijslast atau burden of proof adalah pembagian
beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
suatu peristiwa hukum. Keempat, bewijskracht diartikan sebagai kekuatan
pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu
dakwaan. Sedangkan yang kelima bewijs minimum adalah butkti minimum yang
diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim yang mana dalam
konteks hukum acara Indonesia untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
paling tidak harus ada dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim.45
Berdasarkan kutipan diatas dapat diartikan bahwa praktik pembuktian
dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Uraian mengenai sistem pembuktian perkara
pidana di Indonesia perlu dimasukkan dalam kajian penelitian sebab sistem
pembuktian perkara pidana turut mengimplementasikan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana secara lengkap dan detail. Sebelum masuk ke dalam
pembahasan mengenai masing-masing dari alat bukti dalam pembuktian perkara
pidana maka kajian mengenai pembuktian perkara pidana seperti apa yang dianut
oleh Indonesia perlu untuk dibahas.
45
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.15-27.
27
46
Flora Dianti. 2011. Perbedaan alat bukti dan barang bukti, diakses melalui
www.hukumonline.com, pada tanggal 25 November 2020
47
Van Pramodya Puspa. Kamus Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), h.252.
48
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar grafika, 2011), h.260.
28
49
Yahya Harahap, Op. Cit. h.274.
50
Hari Sasangka, Lily Rosita, Op. Cit, h.62.
51
M. Yahya Harahap, Op. Cit, h.317.
29
mengandung makna bahwa segala hal diterangkan oleh terdakwa sekalipun tidak
berisi pengakuan salah merupakan alat bukti yang sah. Sehingga proses dan
prosedural pembuktian perkara pidana menurut KUHAP tidak mengejar
pengakuan terdakwa ataupun memaksa agar terdakwa mengaku. Semua
keterangan terdakwa harus didengar dalam bentuk apapun bisa berupa
penyangkalan, pengakuan, atau bahkan pengakuan sebagian dari perbuatan dan
keadaan.52
Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui jenis-jenis alat bukti dalam
pembuktian perkara pidana sesuai dengan KUHAP beserta uraiannya. Uraian
mengenai jenis alat bukti dalam pembuktian perkara pidana di Indonesia perlu
dimasukkan dalam kajian penelitian karena keterkaitannya dengan pembahasan
salah satu satu jenis alat bukti surat dalam pembahasan berikutnya. Sebelum
masuk ke dalam pembahasan alat bukti surat khususnya pada Visum Et Repertum
maka dalam pembuktian perkara pidana kajian mengenai peranan masing-masing
jenis alat bukti dalam pembuktian perkara pidana sangat penting untuk dibahas.
52
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 287.
30
tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang diliat
dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang buktilain,
kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-
baiknya.53
Menurut R. Atang Ranoemihardja, S.H. pengertian Visum Et Repertum
ialah yang “dilihat” dari “ketemukan”, jadi Visum Et Repertum adalah suatu
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan dalam melakukan
terhadap orang luka atau terhadap mayat.54
Menurut R. Soepomo, S.H. Visum Et Repertum kata-kata visual yaitu
melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti apa yang dilihat dan diketumakan
sehingga Visum Et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter tentang
apa yang dilihat dan diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang
yang dibuat berdasarkan sumpah, yakni perihal apa saja yang dilihat dan
diketemuka atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudia
dilakukakan pemeriksaan yang didasarkan oleh keahliannya dengan sebaik-
baiknya.55
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari visum et
repertum ialah didasarkan pada hasil pemeriksaan terbaik atas temuan dokter
yang dilakukan berdasarkan keahliannya dengan sebaik-baiknya berkenaan
tentang korban yang meninggal akibat kekerasan (ruda paksa) atau akibat dari
penganiayaan maupun kejahatan yang berhubungan dengan asusila
(pemerkosaan/pencabulan).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan visum et repertum adalah keterangan dokter atas
hasil pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau terganggu kesehatannya atau
yang meninggal dunia (mayat) yang diduga sebagai akibat perbuatan pidana atau
53
Iwan Alfani (et.al), Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2017), h.46.
54
R. Atang Ranoemihardja, Loc.Cit, h.18.
55
R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2016), h.98.
31
56
Winda Trijayanthi Utama, Visum Et Repertum: A Medicolegal Report As A Combination
Of Medical Knowledge And Skill With Legal Jurisdiction, Juke, Vol. IV, No. 8, 2006, h. 272.
32
57
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Penjelasannya), (Jakarta:
Yayasan Pelita, 1982), h.43.
33
Pasal 187 KUHAP. Maka dari itu bantuan dari dokter baik secara lisan maupun
tertulis semuanya terakomodir di dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut ketentuan
KUHAP di atas, tindakan dokter dalam membantu proses peradilan (dalam hal ini
pembuatan Visum Et Repertum untuk penanganan perkara pidana) dan tindakan
penyidik dalam meminta bantuan tersebut, keduanya memiliki dasar hukum dalam
proses pelaksanaannya.
58
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.30.
59
Ibid.
60
Ibid.
34
law buat an essential element of justice itself. In 29 general due process of law is
the administration of established court justice the protection of private right’s.”61
Due process of law memiliki hubungan yang erat dengan masalah proses
pembuktian (bewijsvoering) yaitu bagaimana cara memperoleh, mengumpulkan
bukti, dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan. Tidak jarang hal yang
bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil. Di negara/ kawasan
yang mengedepankan due process of law, dalam hukum acaranya, memberikan
perlindungan terhadap individu dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat
negarayang menjadi perhatian khusus.
Menurut Mardjono Reksodiputro due process of law sebagai proses hukum
yang adil, yang merupakan lawan dari arbitrary process atau proses yang tidak
sewenang-wenang yang tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Menurutnya
bahwa keliru peradilan yang adil hanya dihubungkan dengan penerapan aturan-
aturan hukum acara pidana terhadap Tersangka dan terdakwa. Maksud dari
peradilan yang adil adalah keadilan, dibandingkan dengan ketentuan UUD 1945
termasuk penghormatan kita terhadap hak-hak warga negara yang menyatakan
bahwa kemerdekaan adalah hak semua negara. Sekalipun warga negara itu warga
negara Indonesia atau warga negara asing, hak warga negara tersebut tidak akan
hilang. Selain itu masih diingat bahwa ketika masih dalam status seorang
Tersangka maka belum bisa dikatakan warga tersebut bersalah sebelum ada
putusan berkekuatan hukum tetap.
Maka dari itu begitu penting memperjuangkan hak-hak Tersangka untu
didengar dan didampingi oleh penasehat hukum dalam hal mengajukan pembelaan
terhadap kesalahanya yang dibuktikan oleh penuntut umum di siang pengadilan
yang adil dan tidak berpihak.
61
Marc weber Tobias, R David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure A Survey on
Constitusional Right (Charles C. Thomas Publisher), h. 211.
35
62
Yahya harahap, Op. Cit, h. 90.
63
Yahya Harahap, Op. Cit, h. 95.
36
(KUHAP). KUHAP sebagai hukum acara pidana yang meliputi tata cara peradilan
pidana, juga harus harus dijadikan landasan bagi penyelenggaraan peradilan
pidana berdasarkan tata cara hukum yang benar atau due process of law.
Penyelenggaran peradilan pidana harus sesuai dengan KUHAP, serta melalui
berbagai prosedur atau tahapan yang telah diatur dalam KUHAP untuk mencapai
keadilan substantif.
64
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2010), h.129.
65
Ibid, h. 130.
37
tuntutan hukum dan dibuat dalam bentuk tertulis yang bertujuan untuk
menyelesaikan suatu perkara.
Pada Bab 1 Pasal 1 angka 11 KUHAP pengertian mengenai putusan
pengadilan adalah, “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
secara terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, atau putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum”.66
Secara substansial putusan hakim dalam perkara pidana, mempunyai tiga
sifat jenis putusan, yaitu:
a. Putusan Pemidanaan. Putusan dengan amar seperti ini dijatuhkan kepada
terdakwa yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
menurut hukum sebagaimana tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193
Ayat 1 KUHAP).
b. Putusan Bebas. Putusan dengan amar seperti ini dijatuhkan oleh hakim
apabila perbuatan terdakwa secara sah tidak terbukti dan menyakinkan
hakim terhadap perbuatan yang telah didakwakan terhadapnya (Pasala
192 Ayat 1 KUHAP) serta pembebasan itu juga atas tidak terbuktinya
perbuatan terdakwa sebagaimana sesuai dengan asas minimum
pembuktian.
c. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, hakim dalam hal
menjatuhkan putusann ini kepada terdakwa berpendapat bahwa perbuatan
terdakwa sebenarnya terbukti akan tetapi perbuatan yang dilakukan
terdakwa bukanlah termasuk kedalam suatu tindak pidana (Pasal 191
Ayat 2 KUHAP).
Dalam penelitian ini, hakim Pengadilan Negeri Ternate menjatuhkan
putusan kepada terdakwa berupa putusan pemidanaan.
66
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
38
putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Salah satu yang menjadi
syarat sah putusan pengadilan ialah diatur di dalam Pasal 195 KUHAP. Bahwa
putusan haruslah diucapkan semua putusan pengadilan dalam sidang terbuka
untuk umum. Selain itu putusan juga harus memuat ketentuan lain yaitu ketentuan
Pasal 197 KUHAP tentang putusan pidana dan putusan non pidana yaitu
ketentuan Pasal 199 UU Acara Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
bahwa pengadilan Putusan merupakan bentuk pemidanaan, dan putusan non
pidana yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1) mengakibatkan putusan menjadi
tidak sah. Pasal 197 (1) UU Acara Pidana mengatur sebagai berikut:
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHAHAN YANG MAHA ESA”;
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang ditujukan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
67
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
68
Lilik Mulyadi, Op. Cit, h. 119.
40
69
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 20.
BAB 3. PEMBAHASAN
70
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.25.
71
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),
Sinar Grafika, jakarta, 2011, hal 28
42
72
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
44
73
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
74
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.31.
75
Eddy O.S. Hiariej, Loc.Cit.
45
menggunakan nama lain dari anak korban maka visum et repertum tidak bisa
dijadikan alat bukti dipersidangan selain itu menyatakan hal yang sama
seperti pendapat jaksa bahwa sebenarnya jaksa memiliki wewenang untuk
memeriksa alat bukti dan biasanya dibuatkan berapa berita acara keterangan
tambahan pada visum et repertum tersebut, bukan merubah langsung nama
korban yang salah pada visum et repertum karena visum et repertum
merupakan produk hukum yang sudah ditandatangani dsan disahkan oleh
kedokteran forensik tentu pembuatannya sudah sesuai dengan tempus
pemeriksaan pada korban.
Keempat, Bapak Alfonsus Nahak Kimwasmat yaitu salah satu Hakim
di Pengadilan Negeri Jember berpendapat bahwa jika terdapat alat bukti
berupa visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban
yang di hadirkan di persidangan kekuatan pembuktian terhadap visum et
repertum tersebut itu berdasarkan penilaian hakim, yangmana jika hakim ragu
terhadap alat bukti tersebut maka hakim mempunyai kewenangan untuk
menerima atau menolak adanya alat bukti tersebut. Akan tetapi ketika hakim
menerima alat bukti tersebut tidak hanya menerima saja hakim juga
menggunakan keyakinannya, untuk menimbulkan keyakinannya terhadap
alat bukti tersebut hakim akan mencari alat bukti lain untuk memperkuat nilai
pembuktian visum et repertum tersebut seperti mendatangkan ahli ke
persidangan. Sehingga alat bukti visum et repertum yang menggunakan nama
lain dari anak korban jika hanya dilihat sebagai visum et repertum yang
belum dinilai oleh hakim maka visum et repertum tersebut tidak mempunyai
nilai pembuktian atau tidak sah sebagai alat bukti karena secara formil tidak
penamaan anak korban sangat berbeda.
Terkait bagaimana penilaian terhadap nilai kekuatan pembuktian
Visum et Repertum sebagai alat bukti sejalan dengan teori yang dikemukakan
oleh Yahya Harahap bahwa pada dasarnya alat bukti keterangan ahli yang
berbentuk laporan atau Visum et Repertum tetap dapat menyentuh dua sisi
alat bukti yang sah, pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk
laporan atau Visum et Repertum tetap dapat dinilai sebagai alat bukti
47
76
Yahya Harahap, Op. Cit. h.309.
48
Jika ditinjau dari dari segi formal dalam menilai kekuatan pembuktian
di dalam Visum Et Repertum tersebut sebenarnya sudah memiliki kriteria
dalam “pembuktian formal sempurna” selama bukti tersebut tidak
dilumpuhkan dengan alat bukti lain baik berupa alat bukti keterangan saksi
keterangan ahli atau keterangan terdakwa.
Kemudian jika ditinjau dari segi materiil semua bentuk surat yang
dijelaskan sebagaimana Pasal 187 termasuk surat Visum Et Repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban tadi “bukan merupakan alat bukti
yang mempunyai kekuatan pembuktian mengikat” sehingga dapat dikatakan
dalam alat bukti surat itu atau Visum Et Repertum tidak melekat kekuatan
pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat atau
Visum Et Repertum sama halnya dengan kekuatan pembuktian pada
keterangan saksi dan keterangan ahli dipersidangan yang mana sama-sama
memepunyai nilai kekuatan pembuktian keterangan yang “bersifat bebas”.77
Maka dari itu disini sebenarnya Hakim bebas untuk menilai nilai
kekuatan pembuktiannya baik mempergunakannya atau menyingkirkan alat
bukti tersebut. Hal ini didasari oleh beberapa asas yang telah dijelaskan
sebelumnya yaitu asas proses pemeriksaan perkara pidana, asas keyakinan
hakim, dan asas batas minimun pembuktian. Pada putusan perkara Nomor:
159/Pid.Sus/2020/PN Tte disini hakim dalam menilai kekuatan pembuktian
Visum Et Repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban ditinjau
segi materiil juga yaitu disini hakim menggunakan ketiga asas tersebut yaitu :
Pertama, asas pemeriksaan perkara pidana disini hakim tetap mencari
kebenaran materiil atau kebenaran sejati dalam sebuah kasus yang sedang
berlangsung sama halnya dengan kasus pada putusan ini hakim mencari
kebenaran tersebut dengan cara mengupas habis keterangan saksi, keterangan
ahli, maupun alat bukti surat yang diajukan di persidangan sebagaimana Pasal
183 KUHAP hakim memiliki kewajiban untuk menjamin tegaknya
kebenaran.
77
Yahya Harahap, Op. Cit. h.312
52
Kedua, asas keyakinan hakim yang mana sudah terlihat jelas pada saat
hakim ragu terhadap nilai kekuatan pembuktian pada Visum Et Repertum
yang menggunakan nama lain dari anak korban, hakim tersebut meyakinkan
dirinya terhadap alat bukti tersebut dengan cara meminta agar ahli yang
memeriksa langsung anak korban untuk didatangkan di persidangan untuk
memastikan apakah anak yang tertera didalam Visum Et Repertum bernama
Rukia Rukmana benar merupakan anak korban Putri Faradila.
Ketiga, asas batas minimun pembuktian sebagaimana yang sudah
dijelaskan sebelumnya nilai kesempurnaan alat bukti pada surat tidak cukup
sebagai alat bukti yang berdiri sendiri yang mana tetap harus didukung
dengan alat bukti lainnya. Dalam hal ini hakim di dalam persidangan tetap
menggunakan asas ini ditentukan Pasal 183 KUHAP. Sehingga dalam menilai
kesempurnaan nilai kekuatan pembuktian dari visum et repertum
menggunakan nama lain dari anak korban hakim tentu mempertimbangkan
alat bukti yang ada lainnya seperti keterangan dari para saksi, keterangan ahli
maupun keterangan terdakwa perihal penamaan anak korban pada visum et
repertum tersebut.
Selain ditinjau berdasarkan teori, nilai kekuatan pada alat bukti visum
et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban haruslah ditinjau
berdasarkan fakta yang ada di persidangan. Adapun fakta persidangan pada
Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte yaitu telah didengar keterangan
Saksi Verbalisan Asri Ningsih yang melakukan pemeriksaan terhadap Anak
Korban dan Saksi Ratna Damim, Saksi Verbalisan Laila B. Mahubessy yang
melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa dan Ahli dr. Unzilla Aliviana
Natasya Husen yang melakukan visum pada Anak Korban. Keterangan para
saksi Verbalisan dan ahli tersebut terkait dengan Hasil Visum Et Repertum
Nomor R/958/XI/2019 Rumkit Bhay Tk IV dari RUMKIT
BHAYANGKARA TK.IV POLDA MALUT yang ditandatangani oleh dr.
Unzilla, Sp.og., M.Kes dimana nama yang tercantum adalah Rukia Rukmana
bukan Putri Faradila alias Ila. Dari keterangan Saksi Verbalisan Asri Ningsih,
Rukia Rukmana adalah Putri Faradila alias Ila berdasarkan keterangan Saksi
53
Ratna Damim yang tidak mau memakai nama Putri Faradilla sehingga
identitas Anak Korban yang tercantum didalam hasil Visum Et Repertum
adalah Rukia Rukmana sesuai dengan Surat Permintaan Visum Et Repertum
(terlampir dalam berkas perkara). Sehingga dalam hal ini terdapat persesuaian
terkait pernamaan anak korban terhadap alat bukti lainnya bahwa anak korban
Rukia Rukmana yang tercantum dalam Visum Et Repertum adalah anak
korban Putri Faradilla pada Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte.
Sehingga bisa dikatakan Visum et repertum yang menggunakan nama
lain dari anak korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte)
berdasarkan Pasal 187 KUHAP tepatnya pada huruf c merupakan alat bukti
yang sah selama tidak ada bukti lain yang menyangkal kebenarannya
sehingga visum et repertum tersebut memiiki kekuatan pembuktian, karena di
dalam persidangan juga terdapat fakta bahwa baik dari keterangan saksi, ahli,
terdakwa bahwa nama anak yang tertera dalam visum et repertum adalah anak
yang sama Putri Faradila sehingga berdasarkan alat bukti lainnya tersebut
terdapat persesuaian mengenai nama anak anak korban yang ada dalam dalam
visum et repertum sebagaimana Pasal 188 KUHAP. Selain itu penilaian
terhadap suatu alat bukti juga tergantung pada hakim yang menilai karena
hakim memiliki kebebasan untuk menilai. Hal tersebut tidak terlepas dari
beberapa alasan baik ditinjau dari segi asas kebenaran materiil, asas
keyakinan hakim maupun dari sudut batas minimum pembuktian.
78
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cetakan ke-5
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 140.
79
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2007), h. 212.
80
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), h. 245.
55
adalah apa yang benar dialami oleh Anak Korban akibat perbuatan
Terdakwa, dikaitkan pula dengan keterangan ahli pada saat
melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban ia didampingi oleh
ibu Kandungnya. Maka terhadap bukti surat berupa Visum Et
Repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat yang
membuktikan perbuatan Terdakwa memgang alat kelamin Anak
Korban, terjadi pembengkakan dan kemerahan pada bibir vagina.
Akibat perbuatan Terdakwa pula, setelah kejadian tersebut Anaka
Korban mengalami sakit dan demam selama 4 (empat) hari.
- Menimbang, bahwa dari hasil Visum Et Repertum a quo bahwa
Terdakwa telah menggunakan tenaga jasmaninya yang tentunya
dipengaruhi oleh nafsu birahi memegang dan mencubit alat kelamin
Anak Korban hingga bengkak dan kemerahan pada bibir vagina,
selain itu Anak Korban juga merasakan sakit saat buang air kecil serta
mengalami demam selama 4 (empat) hari segaimana keterangan Anak
Korban dan Saksi Ratna Damim yang dibenarkan oleh Terdakwa.
Perbuatan Terdakwa tersebut dikategorikan sebagai melakukan
kekerasan baik secara fisik maupun psikhis;
- Menimbang, bahwa terkait umur Anak Korban meskipun didalam
berkas perkara Penyidik tidak melampirkan Kutipan Akta Kelah iran
Anak Korban namun pada saat pemeriksaan identitas Anak Korban
dipersidangan yang didampingi oleh Saksi Ratna Damim, ia mengaku
lahir pada tanggal 12 Juni 2016. Identitas Anak Korban sebagaimana
pula tercantum pada Laporan Sosial Perkembangan Anak Berhadapan
Dengan Hukum (Korban) ia lahir pada tanggal tersebut dengan NIK
8271022911130002 (terlampir dalam berkas perkara). Sebagaimana
keterangan Ahli bahwa Anak Korban pada saat dilakukan
pemeriksaan Visum Et Repertum berumur 4 (empat) Tahun,
Terdakwa pun mengaku Anak Korban merupakan anak yang masih
dibawah umur meskipun tidak tahu berapa umurnya. Dengan
demikian dari keteran gan saksi, Terdakwa dan surat tersebut
58
diperoleh petunjuk bahwa Anak lahir pada tanggal 12 Juni 2016 yang
artinya pada saat kejadian yaitu tanggal 12 April 2020 Anak Korban
baru berusia 3 (tiga) tahun 10 (sepuluh) bulan sehingga Anak Korban
termasuk dalam kategori Anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang a quo;
- Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut, menurut Majelis
perbuatan Terdakwa telah dengan kekerasan membujuk Anak
membiarkan dilakukan perbuatan perbuatan cabul pada unsur keempat
ini terpenuhi pada diri Terdakwa.
Jika di lihat berdasarkan teori Sistem Pembuktian Menurut Undang-
Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) yang dianut dalam
sistem peradilan pidana Indonesia, Pada prinsipnya menentukan bahwa hakim
hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti secara limitatif
ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim
terhadap eksistensinya alat bukti itu sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal
183 KUHAP. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif melekat
adanya pemahaman bahwa prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan
alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan oleh undang-undang dan terhadap
alat-alat bukti tersebut hakim yakin baik secara materill maupun secara
prosedural.81 Karena hal tersebut nantinya akan mempengaruhi bagaimana nilai
pembuktian dari suatu alat bukti yang ada dipersidangan yang akan menjadi
landasan pertimbangan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Sehingga persidangan pengadilan tidak boleh
sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Pertimbangan hakim menjadi hal yang sangat penting dalam menjadi
acuan suatu putusan tindak pidana, namun ternyata yang terjadi pertimbangan
hakim dipengaruhi oleh beberapa hal baik terkait kebenaran materiil dalam
81
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, h.31.
59
82
Hardianto, D, Pertimbangan Hakim Perkara Pencemaran Nama Baik Melalui Media,
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18, No.1, 2016, h.93-102.
83
R. Soeparmono, Loc.Cit.
60
Ditemukan fakta bahwa ahli yang memeriksa anak korban juga turut dihadirkan,
seharusnya ketika ahli forensik dihadirkan dipersidangan, alat bukti yang dipakai
sebagai alasan pertimbangan penjatuhan pidana terhadap terdakwa ialah cukuplah
keterangan ahli saja tidak perlu memakai alat bukti surat visum et repertum yang
dihadirkan dipersidangan. Jika dilihat kembali bahwa penggunaan alat bukti
keduanya seperti dualisme yang berlebihan karena secara substansi kedua alat
bukti tersebut sama. Kemudian jika di tinjau berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang
berbunyi bahwa :
84
Yahya Harahap, Op.Cit, h.304.
85
Yahya Harahap, Loc. Cit.
86
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
64
Bisa di lihat bahwa alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan sudah
cukup yaitu dengan adanya keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk beserta
keyakinan hakim untuk dijadikan landasan pertimbangan halim dalam
menyatakan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan. Maka dari itu akankah lebih tepat jika hakim dalam persidangan
menggunakan keterangan ahli dan tidak menggunakan lagi surat visum et
repertum sebagai pertimbangan penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Akan tetapi
semua itu kembali berdasarkan penilaian hakim karena kedua alat bukti ini sama-
sama mempunyai nilai pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht” yang mana
semua itu berlandaskan pada keyakinan hakim itu sendiri untuk memilih
menggunakan keterangan ahli ataupun surat visum et repertum tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwa berkenaan dengan bagaiamanakah
pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa menggunakan
visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban pada (Putusan
Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) ini sudah sesuai dengan sistem pembuktian di
dalam KUHAP karena di sini hakim dalam menggunakan visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban tersebut tidak terlepas dari alat bukti
lainnya yang mendukung nilai kekuatan pembuktian dari visum et repertum itu
sendiri yang mana hal tersebut meyakinkan hakim agar visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban dapat dijadikan salah satu alat bukti di
persidangan dan menjadi bahan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan
putusan.
87
Ibid.
65
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
a. Visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak korban pada
(Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) berdasarkan Pasal 187
KUHAP huruf c merupakan alat bukti yang sah selama tidak ada bukti lain
yang menyangkal kebenarannya sehingga visum et repertum tersebut
memiiki kekuatan pembuktian, karena di dalam persidangan juga terdapat
fakta bahwa dari keterangan saksi, ahli, terdakwa jika nama anak yang
tertera dalam visum et repertum Rukia Rukmana adalah anak yang sama
Putri Faradila sehingga berdasarkan alat bukti lainnya tersebut terdapat
persesuaian mengenai nama anak anak korban yang ada dalam dalam
visum et repertum sebagaimana Pasal 188 KUHAP. Selain itu penilaian
terhadap suatu alat bukti juga tergantung pada hakim yang menilai karena
hakim memiliki kebebasan untuk menilai. Hal tersebut tidak terlepas dari
beberapa alasan baik ditinjau dari segi asas kebenaran materiil, asas
keyakinan hakim maupun dari sudut batas minimum pembuktian.
b. Pertimbangan hakim dalam membuktikan perbuatan terdakwa
menggunakan visum et repertum yang menggunakan nama lain dari anak
korban pada (Putusan Nomor 159/Pid.Sus/2020/PN Tte) ini sudah sesuai
dengan sistem pembuktian di dalam KUHAP karena di sini hakim dalam
menilai kekekuatan pembuktian dari visum et repertum yang
menggunakan nama lain dari anak korban tersebut menggunakan teori
sistem pembuktian Negatief Wettelijk Bewisjtheorie (pembuktiannya
berdasarkan undang-undang secara negatif) sesuai Pasal 183 KUHAP.
Kemudian tidak terlepas dari alat bukti lainnya yang mendukung nilai
kekuatan pembuktian dari visum et repertum itu sendiri, yang mana hal
tersebut meyakinkan hakim agar visum et repertum yang menggunakan
nama lain dari anak korban dapat dijadikan salah satu alat bukti di
persidangan dan menjadi bahan pertimbangan hakim sebelum
menjatuhkan putusan.
66
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagi pembuat undang-undang, khususnya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia agar
mencamtumkan secara jelas pengaturan khusus mengenai teknis
pembuatan Visum Et Repertum sebagai “bukti permulaaan” pada tindak
pidana tertentu sebagai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 14
undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam rangka
menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah berdasarkan satu alat
bukti dan laporan polisi (Alat bukti keterangan Saksi dan Alat bukti Surat).
Karena selama ini hanya berdasarkan ketentuan umum sehingga pedoman
yang dipakai penyidik hanya berdasarkan kebiasaan.
2. Bagi Penyidik Kepolisian dalam hal proses pencarian alat bukti perkara
pidana haruslah berdasarkan prosedur yang benar dan tepat bukan hanya
berdasarkan permintaan dari pihak korban, karena hal tersebut sudah tidak
sesuai sebagaimana dengan asas due process of law.
3. Bagi Jaksa Penuntut Umum diharapkan lebih teliti dalam memperoleh alat
bukti yang dilimpahkan oleh penyidik. Karena sebelum alat bukti sampai
di proses dipersidangan Jaksa Penuntut Umum berhak memeriksa alat
bukti dan mempertanyakan kebenaran alat bukti tersbut kepada penyidik.
Sehingga sebenarnya alat bukti seperti yang sudah dibahas dalam skripsi
sebenarnya tidak akan menjadi permasalahan ketika visum et repertum
yang menggunakan nama lain dari anak korban sudah di konfrontasikan
kepada ahi yang memeriksa anak korban dengan bukti tambahan berita
acara tambahan terkait visum et repertum tersebut.
4. Bagi Majelis Hakim ketika di persidangan terdapat 2 alat bukti yang
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sama seperti keterangan ahli
dan alat bukti surat visum et repertum. Seharusnya menggunakan alat
bukti keterangan ahli sebagai pertimbangan.
67
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alfani, Iwan. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-dasar hukum pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Amrullah, Arief. 2007. Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban
Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Cetakan Kedua. Malang:
Bayumedia Publishing.
Arifin, Tajul. 20019. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Arto, Mukti. 2004. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cetakan ke-
5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Astawa, I Gede Pantja. 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di
Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Black, Henry Campbell. 1968. Black’s Law Dictionary 4th. USA: West
Publishing Co.
Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I; Stelsel Pidana, Teori-
teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Raja
Grafindo.
Chazawi, Adam. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Effendi. 2015. Penelitian Hukum (Legal
Research). Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
Harahap, Yahya. 2005. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali
Jakarta: Sinar Grafika.
Hiariej, Eddy O.S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga
Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian hukum. Bandung: Mandar
Maju.
Marc weber Tobias, R David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure A Survey on
Constitusional Right (Charles C. Thomas Publisher).
Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Jakarta: Prenada Media
Group.
Moeljatno, 2015. Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra
Bakti.
Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori,
Praktek, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya
Bakti
Rahardjo, Satjipto. 2010. Ilmu Hukum Cetakan Ketujuh. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Ranoemihardja, R. Atang. 1983. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic
Science). Bandung: Tarsito
Ruba’i, Mascruchin. 2015. Buku Ajar Hukum Pidana. Malang: Media Nusa
Creative.
R. Soeparmono. 2016. Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek
Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
R. Soesilo. 1982. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
R. Sughondo. 1995. Tindak Pidana Pencabulan Anak. Bandung: Sinar Grafika.
Sasangka, Hari., dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana
untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung: Mandar Maju.
Setiady, Tholib. 2009. Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Cet Ke-2.
Bandung: Alfabeta.
Soedjatmiko, H.M,. 2001. Ilmu Kedokteran Forensik. Malang: Fakultas
Kedokteran UNIBRAW.
S.R. Sianturi. 1982. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Jakarta: Alumni
Subekti. Hukum Pembuktian. 2001. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Waluyadi. 2004. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan
Praktisi. Bandung: Mandar Maju.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan
Penyidikan Tindak Pidana
Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses penyidikan Tindak Pidana
Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana;
Instruksi No. Pol: INS/E/20/IX/75 tentang Tata cara permohonan/pencabutan
Visum Et Repertum
Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan
Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam
bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak
Pidana
Jurnal:
Asep Bambang Hermanto, Ajaran Positivisme Hukum di Indonesia: Kritik dan
Alternatif Solusinya, SELISIK, Vol. 2, No. 4, 2016.
Bahder Johan Nasution, Tinjauan tentang Ruang Lingkup dan Alat Ukur Tindak
Pemerintahan yang Baik, Jurnal DEMOKRASI, Vol. V, No. 2, 2006.
Lorens Werluka, Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Jurnal Belo, Vol.4 No. 2, 2019.
Internet:
https://www.hukumindo.com/2019/09/kata-mutiara-hukum-terpilih-i-
selected.html
https://news.detik.com/infografis/d-5003163/surat-al-maidah-ayat-8-adil-lebih-
dekat-kepada-takwa
Flora Dianti. 2011. Perbedaan alat bukti dan barang bukti, diakses melalui
www.hukumonline.com, pada tanggal 25 November 2020
Joseph Raz, Legal Validity, Oxford Scholarship online, diakses melalui
www.OxfordScholarship.com pada tanggal 19 November 2020
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, YURIDIKA No. 5&6 Tahun XII, 1997,
September-Desember, diakses pada tanggal 20 April 2020 melalui
https://e-journal.unair.ac.id
Winda Trijayanthi Utama, Visum Et Repertum: A Medicolegal Report As A
Combination Of Medical Knowledge And Skill With Legal Jurisdiction,
Juke, Vol. IV, No. 8, 2006