Anda di halaman 1dari 23

UNIVERSITAS INDONESIA

PERKEMBANGAN EKSISTENSI LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING)


DALAM HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA KEPAILITAN

Diajukan sebagai Tugas Kapita Selekta Hukum Acara Perdata

Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Kelas A (Reguler)

Disusun oleh:
Adelwin Airel Anwar (1706048210)
Bellatric Andini Putri (1706977222)
Chandra Bagaskara (1706047536)
Halida Damayanti (1706049125)
Herlinda Safira (1706977424)
Joy Febe Ismikesasta S. (1706977475)
Maulidina Amanda Putri (1706977531)
Nada Salsabila (1706977626)
Nurul Hasanah (1706977664)
Rania Aurelia Ayu D. (1706977720)
Yotia Jericho Urbanus (1706048375)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
NOVEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lembaga gijzeling telah dikenal cukup lama di Indonesia. Gijzeling berasal dari
bahasa Belanda yang artinya sandera atau penyanderaan. Pada awalnya, ketentuan mengenai
gijzeling diatur dalam HIR/Rbg, yaitu Pasal 209 sampai 224 HIR dan pasal 242 sampai dengan
258 Rbg. Dalam ketentuan HIR/Rbg, gijzeling diartikan dengan istilah penyanderaan, yaitu
menahan pihak yang kalah di lembaga pemasyarakatan dengan tujuan untuk memaksanya
memenuhi putusan hakim.1 Lebih jelasnya, pengaturan mengenai gijzeling dapat dilihat dalam
Pasal 209 HIR dan 249 Rbg yang berbunyi:
“Jika tidak ada atau tidak cukup barang-barang untuk menjamin pelaksanaan putusan
hakim, maka ketua pengadilan negeri atau jaksa yang dikuasakan atas permohonan
tertulis atau lisan pihak yang dimenangkan, dapat mengeluarkan perintah tertulis
kepada pejabat yang berwenang melakukan pekerjaan -jurusita (exploit) untuk
menyandera debitur.”
Dari bunyi pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disita bukanlah barang,
melainkan orang. Namun demikian, lembaga ini dianggap telah melanggar hak asasi manusia,
di mana gijzeling dianggap sebagai tindakan perampasan kebebasan bergerak seseorang.
Maka, Mahkamah Agung membekukan lembaga gijzeling sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975.
Kemudian, terjadi suatu perkembangan, di mana lembaga gijzeling dihidupkan
kembali melalui Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Dalam Perma
ini, kata “sandera” atau “penyanderaan” yang merupakan arti istilah gijzeling diganti menjadi
“paksa badan”. Adapun alasan mengapa lembaga ini dihidupkan kembali ialah lembaga paksa
badan dianggap diperlukan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan hukum di Indonesia. Selain
itu, perbuatan tidak memenuhi kewajiban untuk membayar kembali hutang-hutang oleh
debitur, penanggung atau penjamin hutang padahal ia mampu, merupakan pelanggaran hak
asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan

1
Khoirul Hidayah dan Mudawamah, Gijzeling dalam Hukum Pajak di Indonesia, (Malang: UIN-Maliki
Press, 2015), hlm. 25.
paksa badan terhadap debitur, penanggung atau penjamin hutang tersebut. Selanjutnya,
perkembangan yang terjadi ialah Perma tersebut mempersempit pengertian siapa yang dapat
dijatuhkan paksa badan. Menurut Perma 1/2000, paksa badan ini hanya dijatuhkan hanya
kepada debitur beritikad baik, sehingga bukan kepada debitur yang tidak mampu membayar
utangnya saja.
Lembaga paksa badan juga dikenal dalam bidang hukum perpajakan. Istilah gijzeling
dalam hukum perpajakan diartikan sebagai penyanderaan. Penyanderaan dalam perpajakan
merupakan pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan
menempatkannya di tempat tertentu.2 Adapun fungsi diadakannya penyanderaan dalam
hukum pajak ialah menjadi upaya hukum terakhir atas ketidakmauan atau ketidakmampuan
debitur untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya kepada kreditur. Dengan
demikian, wajib pajak yang tidak beritikad baik dapat disandera apabila ia tidak melaksanakan
kewajibannya untuk membayar pajak. Namun, sejalan dengan SEMA Nomor 2 Tahun 1964
dan Nomor 4 Tahun 1975, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor 06/Pj.4/1979 yang
menyatakan penggunaan gijzeling dalam penagihan utang pajak diberhentikan. Tidak lama
berselang, muncul SEMA Nomor MA/ Pemb/0109/1984 yang menyatakan bahwa gijzeling
yang dilarang adalah dalam hal eksekusi perdata yang tidak mempunyai barang lagi. Dengan
demikian, penyanderaan dihidupkan kembali dalam masalah perpajakan melalui UU No. 19
tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Selain itu, lembaga paksa badan juga dikenal dalam bidang hukum kepailitan.
Berdasarkan Pasal 93 UUK-PKPU, hakim pengawas, kurator, atau seorang kreditor atau lebih
dapat memohon penahanan debitor. Fungsi dari penahanan debitor pailit adalah agar Debitor
Pailit bersikap kooperatif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila debitor pailit tidak
kooperatif membantu kurator dalam pemberesan harta pailit.

2
Ibid., hlm. 27.
B. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana sejarah perkembangan Lembaga Paksa Badan berdasarkan HIR, Perma No.1
Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan dan UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Bagaimana permasalahan yang terdapat dalam penerapan Lembaga Paksa Badan di
Indonesia berdasarkan UUK-PKPU?
3. Bagaimana penerapan Lembaga Paksa Badan berdasarkan Putusan 03/K/N/2001?
BAB II
PEMBAHASAN

I. Lembaga Paksa Badan Menurut Hukum Acara Perdata (HIR)


Mengenai Lembaga Paksa Badan pertama kali diatur dalam pasal 209-224 HIR. Pasal
209 ayat (1) HIR menjelaskan mengenai Lembaga Paksa Badan: jika tidak ada atau tidak
cukup barang untuk menjalankan keputusan, maka atas permintaan pihak yang menang
perkaranya, dengan lisan atau dengan surat, ketua memberi perintah dengan surat kepada
orang yang berkuasa akan menjalankan surat juru sita, supaya orang yang berutang
disandera (digijzel). Menurut penjelasan pasal tersebut, maka Lembaga Paksa Badan ini
sendiri merupakan upaya lain dalam melakukan eksekusi keputusan hakim selain dengan cara
menyita dan menjual lelang barang-barang milik pihak yang kalah. Upaya paksa penahanan
ini dilakukan untuk menjamin kepentingan daripada debitur dengan cara melakukan
penahanan di dalam rumah lembaga pemasyarakatan dengan maksud untuk mendesak pihak
yang bersangkutan untuk memenuhi kewajibannya yang telah diputus oleh hakim. Upaya
penahanan ini dapat dimintakan oleh Hakim Pengawas atau permintaan Kreditur yang
nantinya perintah penahanan tersebut hanya dapat dikeluarkan oleh seorang juru-sita dan
hanya dapat dilakukan dalam kondisi apabila memang barang-barang atau harta yang
digunakan untuk memenuhi isi keputusan itu tidak ada atau tidak cukup.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964, maka peraturan
mengenai sandera (gijzeling) sebagaimana diatur dalam pasal 209-224 HIR sudah tidak lagi
diberlakukan, hal ini dikarenakan hal-hal mengenai penyanderaan dianggap bertentangan
dengan peri kemanusiaan. Namun SEMA Nomor 2 Tahun 1964 tersebut kembali dicabut oleh
PERMA No. 1 Tahun 2000 yang isinya menghidupkan kembali lembaga gijzeling, kemudian
di tahun yang sama keluar Undang-Undang No 19Tahun 2000 tentang penagihan pajak
dengan surat paksa yang isinya memperbolehkan melakukan penyaderaan kepada pengutang
pajak diatas 100 juta rupiah dan diragukan itikad baiknya, 3 dan yang terbaru Undang-Undang
No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dimana
dalam satu pasalnya debitor pailit dapat ditahan melalui putusan pengadilan.

3
Irwan Adi Cahyadi, “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Positif di
Indonesia”, 2014, hlm. 12.
II. Sejarah Perkembangan Lembaga Paksa Badan
A. Lembaga Paksa Badan Menurut UU No.4 Tahun 1998 tentang Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang
Dalam ketentuan hukum gijzeling yang lebih dikenal masyarakat dalam kaitannya
dengan utang piutang ,juga dikenal sebagai imprisonment of civil debts, merupakan
pelaksanaan dari putusan pengadilan yang bersifat assesoir dari putusan pokok, karena
debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.Dalam perkara kepailitan berdasarkan pasal 84 UU
Nomor 4 Tahun 1998, pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya debitur dapat
dimasukkan dalam tahanan apabila dengan sengaja tanpa sesuatu alasan yang sah, tidak
memenuhi kewajibannya dan meninggalkan tempat tinggalnya tanpa ijin dari hakim
pengawas. Dari ketentuan tersebut menunjukan bahwa sistem hukum Indonesia mengenal
Lembaga gijzeling adalah merupakan kewenangan badan peradilan. Hal tersebut dapat
dimengerti karena penyanderaan merupakan perampasan atas kebebasan dan
kemerdekaan orang yang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu
perampasan atas kebebasan manusia seyogyanya diputuskan oleh badan pengadilan
sebagai penyelenggara penegakan hukum dan keadilan.
Dalam Pelaksanaanya, beberapa usulan terhadap debitor yang tidak kooperatif
untuk dikenakan paksa badan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional tidak dapat
dilaksanakan secara efektif, baik sebagai implementasi dari pasal 84 Undang-Undang No
4 Tahun 1998. Alasan yang diajukan antara lain perangkat hukum paksa badan belum
jelas dan pasti. Alasan yang sama ditemukan pada masa lima tahun berlakunya Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 yaitu perangkat hukum dan peraturan pelaksananya belum
ada,sehingga belum ada satupun gijzeling yang ditetapkan Pengadilan Niaga.Alasan lain
tidak adanya gijzeling adalah good will untuk melaksanakannya sebagaimana yang
diberlakukan dalam perpajakan.4

4
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia.
Yogyakarta: Total Media. Cet. II, 2008. Hlm. 209-300.
Dengan demikian penerapan dan pelaksanaan lembaga penahanan atau paksa
badan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan menurut Undang-Undang No 4
Tahun 1998 ternyata belum dapat dilaksanakan secara efektif, mengingat masih adanya
kelemahan-kelemahan dari pengaturan kedua Undang-Undang tersebut serta masih ada
beberapa hal yang belum jelas dan belum ada belum adanya peraturan pelaksananya
sebagai pedoman hakim dalam memutuskan mengabulkan permohonan penahanan
terhadap debitor. Sehingga hakim terkesan enggan menerapan lembaga penahanan
terhadap debitor. Selain kelemahan pengaturan Penahanan atau paksa badan terhadap
debitor, Ketentuan Penahanan /paksa badan terhadap debitor juga tidak dapat
dilaksanakan secara efektif, sebagai implementasi dari pasal 84 Undang-Undang No 4
Tahun 1998 dengan alasan perangkat hukum dan peraturan pelaksananya belum ada dan
good will untuk melaksanakannya belum ada,sehingga belum ada satupun ginzeling yang
ditetapkan pengadilan Niaga terhadap debitor dalam kepailitan.

B. Lembaga Paksa Badan Menurut PERMA No.1 Tahun 2000 tentang Lembaga
Paksa Badan
Lembaga paksa badan menurut Pasal 1 PERMA No. 1 Tahun 2000 adalah upaya
paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitor yang beritikad tidak baik ke
dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang
bersangkutan memenuhi kewajibannya.5 Definisi dari debitor yang beritikad tidak baik
menurut Perma ini ialah debitor yang mampu membayar, namun tidak mau memenuhi
kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya. Terdapat beberapa syarat mengenai
debitor yang beritikad tidak baik yang dimaksud dalam PERMA No. 1 Tahun 2000, yaitu
tidak dapat dikenakan terhadap debitor yang beritikad tidak baik yang telah berumur 75
tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan mempunyai hutang minimal
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 4. Mengenai
putusan tentang Paksa Badan, dapat ditetapkan untuk 6 (enam) bulan dan dapat
diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan maksimum 3 (tiga) tahun (Pasal 5) dan
ditetapkan juga bersama-sama dengan putusan pokok perkara (Pasal 6 ayat (1)).

5
Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Paksa Badan, Perma No. 1 Tahun
2000, Ps. 1.
Berdasarkan Pasal 8, pelaksanaan putusan ini dilakukan oleh Panitera/Jurusita atas
perintah Ketua Pengadilan Negeri dan mengenai biaya selama debitor menjalani Paksa
Badan dibebankan kepada pemohon Paksa Badan berdasarkan Pasal 9. Ketentuan-
ketentuan mengenai paksa badan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2000 ini, mencabut
ketentuan-ketentuan paksa badan yang diatur dalam HIR dan RBg yang dikenakan kepada
debitur yang tidak mampu membayar utangnya dan memberlakukan paksa badan
terhadap debitur mampu yang tidak beritikad baik untuk melunasi utangnya.6

C. Lembaga Paksa Badan Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU)
Lembaga paksa badan atau gijzeling diatur dalam Pasal 93 sampai dengan Pasal
97 UUK-PKPU yang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memerintahkan
agar debitor pailit ditahan setelah adanya putusan pernyataan pailit. Debitor pailit dapat
ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah
pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.
Perintah pengadilan berasal dari usulan hakim pengawas atau permintaan kurator
atau kreditor setelah mendengarkan hakim pengawas. Penahanan debitor pailit
dilaksanakan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan debitor pailit
dibatasi hanya untuk 30 hari namun dapat diperpanjang setiap kali masa penahanan paling
lama 30 hari oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau
kreditor setelah mendengarkan hakim pengawas. Biaya penahanan akan dibebankan
kepada harta pailit sebagai utang harta pailit.7
Permintaan menahan debitor pailit harus dikabulkan jika didasarkan pada alasan
debitor pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal
98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan (2) UUK-PKPU. Kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhi debitor pailit tersebut antara lain pengamanan harta pailit; menghadap
hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditor jika dipanggil untuk memberikan
keterangan; memberikan keterangan terkait semua perbuatan yang dilakukan terhadap

6
Khoirul Hidayah dan Mudawamah, Gijzeling dalam Hukum Pajak di Indonesia, cet. 1, (Malang: UIN Press:
2015), hlm. 25.
7
Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembyaran Utang, UU No. 37 Tahun
2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 93.
harta bersama dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit; dan menghadiri rapat
pencocokan piutang untuk memberikan keterangan kepada hakim pengawas mengenai
sebab kepailitan dan keadaan harta pailit.8
Pengadilan berwenang melepas debitor pailit dari tahanan atas usul hakim
pengawas atau atas permohonan debitor pailit, dengan jaminan uang dari pihak ketiga,
bahwa debitor pailit setiap waktu akan menghadap panggilan. Jumlah uang jaminan
ditetapkan oleh Pengadilan dan apabila debitor pailit tidak datang menghadap, uang
jaminan tersebut menjadi keuntungan harta pailit. Apabila kehadiran debitor pailit
diperlukan dalam suatu kepentingan yang berkaitan dengan harta pailit, maka apabila
debitor pailit ditahan, maka atas perintah hakim pengawas dapat dilepaskan untuk
sementara.9
Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa penahanan atau gijzeling debitor pailit
dilakukan atas usul hakim pengawas ataupun permintaan kurator atau kreditor. Apabila
debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam UUK-PKPU,
maka permintaan penahanan harus dikabulkan. Beberapa alasan untuk melepas debitor
pailit adalah apabila ada jaminan uang dari pihak ketiga bahwa debitor akan menghadap
panggilan dan dapat dilepaskan sementara jika terdapat kepentingan yang berkaitan
dengan harta pailit.

D. Perbedaan Syarat Formil dan syarat materiil Lembaga Paksa Badan Menurut
Perma Nomor 1 Tahun 2000 dan UUK-PKPU
Lembaga penahanan (Gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang dikenal
dalam hukum untuk proses penegakan hukum. Penegakan hukum melalui lembaga
penahanan secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di PERMA Nomor 1
Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Ada dua hal yang patut dicermati dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2000 ini, yaitu:10
1. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis diberlakukan
terhadap debitor untuk melunasi hutang pokok.

8
Ibid., Ps. 95.
9
Ibid., Ps. 94.
10
Mulyasi W. Gizeling dalam Perkara Pajak, http://eprints.
undip.ac.id/15739/1/Mulyatsih_Wahyumurti.pdf, diakses pada tanggal 9 November 2019.
2. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang
debitor yang beritikad tidak baik ke dalam rumah tahanan negara yang
ditetapkan pengadilan. Debitor beritikad tidak baik yang dimaksud adalah
debitur yang mampu tetapi tidak mau membayar utangnya.
Beberapa hal penting dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2000 antara lain
pengecualian penerapan paksa badan kepada debitor pailit yang tidak beritikad baik yang
berusia 75 tahun pada Pasal 3 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2000 dan paksa badan
hanya dapat diterapkan untuk debitor yang beriktikad tidak baik yang memiliki utang
sekurang-kurangnya Rp 1 milyar pada Ps.4 Perma Nomor 1 Tahun 2000. Selain itu, paksa
badan ditetapkan untuk 6 (enam) bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam)
bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun berdasarkan Pasal 5 Perma
Nomor 1 Tahun 2000.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU tidak mendefinisikan Lembaga penahanan secara tertulis, ketentuan Ps.93 UU
Nomor 37 Tahun 2004 hanya menyebutkan penahanan debitor dapat diusulkan hakim
pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih setelah
mendengar hakim pengawas pengadilan dalam putusan pernyataan pailit atau setiap
waktu setelah itu dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan. Penahanan debitor
pailit dilaksanakan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan berlaku
paling lama 30 (tiga puluh) hari dapat memperpanjang masa penahanan setiap kali untuk
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari atas usul Hakim Pengawas atau atas
permintaan Kurator atau seorang Kreditor atau lebih.11
Penahan debitor wajib dikabulkan oleh hakim niaga, dengan alasan bahwa
debitor pailit tidak kooperatif dalam membantu kurator untuk melakukan pemberesan
harta pailit, seperti dalam ketentuan Pasal 98 UU Nomor 37 Tahun 2004 yang
menyebutkan sejak pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk
mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek,
dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Hal ini berarti bahwa
kurator harus diberikan semua daftar serta dokumen mengenai aset yang dimiliki oleh

11
Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembyaran Utang, UU No. 37 Tahun
2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Pasal 93 ayat (1),(2),(3),(4).
debitor pailit. Hal ini juga dipertegas dalam ketentuan Pasal 110 ayat (1) UU Nomor 37
Tahun 2004 bahwa debitor pailit wajib menghadap hakim pengawas, kurator, atau panitia
kreditor apabila dipanggil untuk memberikan keterangan dan Pasal 110 ayat ayat (2) UU
Nomor 37 Tahun 2004, dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, istri atau suami yang
dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai semua perbuatan yang
dilakukan oleh masing-masing terhadap harta bersama. Ada kewajiban yang harus
dipenuhi oleh debitor untuk memberikan informasi maupun keterangan mengenai harta
pailit. Ketentuan Pasal 121 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa debitor
pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan
keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan
keadaan harta pailit dan ayat (2) kreditor dapat meminta keterangan dari debitor pailit
mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas. Maka dari itu berdasarkan
alasan-alasan tersebut debitor wajib ditahan apabila debitor tidak melaksanakan ketentuan
aturan tersebut.

III. Alasan Pro dan Kontra terhadap Pengaturan Lembaga Paksa Badan menurut Para Ahli

A. Alasan Pro Menurut Sudargo Gautama dan P. H. Sidarta


Menurut Sudargo Gautama, amat disayangkan lembaga paksa badan dihilangkan
di negara kita karena lembaga paksa badan / sandera masih penting dipertahankan. Hal
ini dikarenakan lembaga paksa badan merupakan deterrent (alat pencegah ) bagi orang
yang sengaja atau melakukan chincanes (penipuan) yang dengan sekehendak hatinya mau
berutang tanpa mau memikirkan akan pelunasan utangnya tersebut, sehingga lembaga
paksa badan memaksa si calon berutang untuk berpikir dua kali sebelum berutang.
Disamping itu lembaga paksa badan dapat menjaga kewibawaan dan kepercayaan
masyarakat terhadap pengadilan, serta kenyataan di masyarakat menunjukan bahwa
keberatan melaksanakan lembaga paksa badan ialah karena bertentangan dengan
perikemanusian ternyata banyak disalahgunakan.12 Pendapat tersebut sejalan dengan P.
H. Sidarta yang menyatakan bahwa lembaga paksa badan akan menimbulkan penderitaan

12
Sudargo Gautama, “Perlukah Dihidupkan kembali Lembaga Paksa Badan,” Majalah Hukum dan
Keadilan, No. 2, (1970), hlm. 6.
lahir dan batin terhadap tergugat yang tidak bertanggung jawab begitu pula terhadap
keluarganya. Namun penderitaan itulah yang dapat menggugah dan membuat si tergugat
sadar akan kesalahan dan kewajibannya sehingga akan memaksanya untuk membereskan
utangnya yang menjadi tanggung jawabnya. Dan tindakan penggugat yang memintakan
penyanderaan terhadap tergugat tidaklah bertentangan dengan perikemanusian penggugat
terpaksa berbuat demikian semata-mata untuk membela dan menuntut haknya yang
diperkosa dengan sewenang-wenang.13

B. Alasan Kontra Menurut Zainal Asikin


Menanggapi eksistensi penerapan lembaga sandera atau paksa badan dalam
Undang-Undang Kepailitan, Zainal Asikin berpendapat bahwa terlalu berlebihan untuk
diterapkan pada masa sekarang karena sejak keputusan kepailitan harta kekayaan (boedel)
si pailit telah diurus oleh kurator untuk dijadikan jaminan pelunasan utang-utangnya,
sehingga tentunya tidak ada alasan bagi debitor untuk tidak memenuhi kewajiban dalam
kepailitan. Dengan tidak ditahannya si pailit, justru akan sangat membantu pemberesan
kepailitan itu secara lancar, bahkan bagi si pailit sedikit demi sedikit berusaha agar dapat
bangkit dalam bidang usahanya untuk menyongsong hari depan yang lebih baik.14

IV. Permasalahan dalam Penerapan Lembaga Paksa Badan berdasarkan UUK-PKPU di


Indonesia dan Perlunya Pembaruan Hukum mengenai Lembaga Paksa Badan
Pelaksanaan Lembaga paksa badan berdasarkan UUK-PKPU diatur dalam pasal 93
sampai pasal 96. Namun ketentuan tersebut memiliki beberapa kelemahan sehingga
menyebabkan beberapa masalah. Menurut Sutan Remy Sjahdeni terdapat beberapa kelemahan,
diantaranya adalah:15
1. Dalam pasal 93 tidak terdapat ketentuan yang mengatur dalam hal apa saja
penahanan terhadap debitor pailit dapat diperintahkan. Sehingga pelaksanaan
Lembaga paksa badan terhadap debitor pailit tidak diatur secara limitatif. Padahal

13
Sidarta, “Lembaga Penyanderaan (Gijzeling)”, Majalah Hukum dan Keadilan, No. 11 (1970). Hlm. 66-
68.
14
Zainal Azikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 50.
15
Rahmawati, Diana. "Penerapan Penahanan (Paksa Badan) terhadap Debitor Pailit Menurut UU No 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU" Lambung Mangkurat Law Journal, 2017, hlm. 78-79.
debitor sendiri terbagi menjadi debitor yang beritikad baik dan yang tidak beritikad
baik. Hal ini tentu dapat menimbulkan praktek yang tidak sehat serta dapat pula
disalahgunakan.
2. Dalam pasal 93 ayat (4) diatur mengenai perpanjangan masa penahanan, yakni
untuk setiap kali jangka waktu paling lama 30 hari. Pada ketentuan ini tidak ada
batas waktu perpanjangan, sehingga masa penahanan tidak dibatasi dan dapat terus
diperpanjangan untuk batas waktu yang tidak ditentukan.
3. Dalam pasal 95 permohonan penahanan debitor pailit harus dikabulkan apabila
alasan tersebut didasarkan alasan bahwa debitor pailit dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 98, pasal 110, atau
pasal 121 ayat (1) dan (2). Ketentuan ini menjadi menimbulkan pertanyaan karena
dalam pasal 98 diatur mengenai kewajiban kurator, jadi bagaimana bisa debitor
pailit dapat dikatakan melanggar pasal tersebut.
4. Dalam pasal 95 diatur bahwa permohonan penahanan harus dikabulkan apabila
debitor tidak memenuhi kewajiban dalam pasal 110 dan 121. Sedangkan, dalam
UUKPKPU tidak menentukan alasan yang bersifat limitatif dalam hal apa saja
debitor pailit dapat diputuskan untuk ditahan. Dengan kata lain, hakim dapat saja
mengabulkan permohonan penahanan tanpa debitor melanggar kewajiban debitor
yang diatur dalam pasal 110 dan 121.
Selain dari kelemahan yang diutarakan oleh Sutan Remy, masalah lain adalah tidak
adanya kesempatan debitor untuk melakukan upaya hukum terhadap permohonan dan
perintah penahanan dan jika tidak dilengkapi dengan ketentuan yang mengatur
perlindungan terhadap debitor selama dalam penahanan.16 Sehingga dalam
pelaksanaannya, penerapan Lembaga paksa badan ini jika diterapkan terhadap debitor yang
beritikad baik, debitor yang benar-benar tidak mampu dalam membayar utangnya, atau
debitor yang secara fisik dan psikologis tidak manusiawi untuk dilakukan penahanan, maka
penerapannya akan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Selanjutnya, terdapat beberapa hambatan mengenai penerapan Lembaga paksa
badan dalam UUK-PKPU, yakni: 17

16
Ibid, hlm. 84.
17
Meir Elizabeth Batara, “Paksa Badan (Gijzeling) Sebagai Upaya Pemaksa Terhadap Debitor dalam
Kepailitan,” (Tesis Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2011), abstrak.
1. Adanya pendapat bahwa paksa badan bertentangan dengan hak asasi manusia;
2. Hambatan ekonomis, dalam memberlakukan Lembaga paksa badan membutuhkan
biaya yang cukup besar; serta
3. Pola pikir masyarakat umum yang menganggap bahwa penegakkan hukum di
Indonesia yang cenderung berpihak pada mereka yang memiliki kuasa dan materi.
Dengan adanya penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Lembaga paksa
badan dalam UUK-PKPU masih memiliki berbagai permasalahan sehingga
pelaksanaannya masih belum dapat diterapkan dengan efektif di Indonesia. Padahal,
Lembaga Paksa Badan telah diatur dengan baik dalam UU perpajakan dimana Lembaga
Paksa Badan dalam penagihan pajak diatur dengan adanya surat paksa. Paksa badan
tersebut menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menagih pajak yang diwujudkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 137 tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan.
Tujuannya adalah untuk mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan masyarakat
bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta
merupakan salah satu kewajiban kenegaraan sehingga dengan penagihan pajak melalui
surat paksa tersebut setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan
sendiri kewajiban perpajakannya.
Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa UUK-PKPU yang saat
ini merupakan undang-undang yang menjadi dasar dalam penyelesaian kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang, setelah lebih dari 13 tahun masa berlakunya
pasca diundangkan pada tahun 2004, masih memiliki kelemahan, khususnya dalam dalam
praktik penyelenggaraannya. Dengan demikian, beberapa kelemahan harus segera
dilakukan penyempurnaan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat
Indonesia. Salah satu permasalahannya adalah masih kurang optimalnya pelaksanaan
Lembaga Paksa Badan, seperti tidak terdapat ketentuan yang mengatur dalam hal apa saja
penahanan terhadap debitor pailit dapat diperintahkan. Sehingga pelaksanaan Lembaga
paksa badan terhadap debitor pailit tidak diatur secara limitatif. Dalam prakteknya pun,
terdapat kekeliruan norma pengacuan terhadap syarat penahanan.
Apabila dibandingkan dengan pengaturan mengenai penahanan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan perpajakan, penahanan (gijzeling)
yang dimaksud dalam UUK-PKPU sesungguhnya memiliki tujuan yang sama, yaitu
dilakukan dalam rangka mengamankan proses kepailitan yang sedang berlangsung dan
mempermudah pemberian keterangan dalam proses kepailitan apabila patut diduga Debitor
tidak memiliki itikad baik, termasuk adanya itikad tidak baik untuk melarikan diri keluar
wilayah domisilinya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum
penerapan lembaga penahanan (gijzeling) perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
ketentuan Pasal 95 UU KPKPU, dimana permintaan untuk menahan Debitor Pailit harus
dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa Debitor pailit
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, Pasal
110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2) UU KPKPU. Selain itu disarankan penempatan
pasal perlu disesuaikan dengan norma yang ada dalam UU KPKPU. Untuk mempertegas
penerapannya di lapangan perlu adanya perangkat yang mempertegas pelaksanaannya
dimana Pengadilan harus memberikan jawaban terhadap permohonan yang diajukan.
Selain itu, untuk memperkuat penerapan tindakan pengurusan/pemberesan oleh Kurator
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 UU KPKPU harus diberikan penghubung agar
ketentuan paksa badan dapat diterapkan kepada Debitor yang tidak kooperatif.18
Perlunya peraturan baru untuk menjamin agar pelaksanaan lembaga paksa badan
tidak mengalami kekeliruan lagi. RUU KPKPU diharapkan memberikan perlindungan
yang adil tidak hanya bagi Kreditor namun juga kepada Debitor serta pihak-pihak lain,
dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. UU KPKPU
yang baru diharapkan memberikan penyelesaian yang adil bagi pelaku usaha, sehingga
pelaksanaan lembaga paksa badan tetap memperhatikan aspek-aspek kemampuan usaha.

V. Contoh Kasus dan Kaitannya dengan Teori Kepailitan


Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Niaga dalam tingkat kasasi yang memutus
perkara Nomor 03 K/N/2001 oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selaku
Pemohon Kasasi yang dahulu merupakan Termohon PKPU/Pemohon Pailit melawan PT.
Citra Mahkota Abadi selaku Termohon Kasasi yang dahulu merupakan Pemohon
PKPU/Termohon Pailit. Pada permohonan tersebut, pihak Pemohon kasasi meminta untuk

18
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerisn Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2018), hlm. 131-136.
dibatalkannya Penetapan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2000 Nomor :
42/PAILIT/2000/PN.NIAGA/JKT.PST yang mengabulkan permohonan PKPU pihak
Termohon Kasasi yang dahulu Pemohon PKPU/Termohon Pailit melakukan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara. Alasan pihak Termohon Kasasi yang
dahulu Pemohon PKPU/Termohon Pailit mengajukan dikarenakan aset Pemohon
PKPU/Termohon Pailit tidak mencukupi untuk membayar biaya kurator dan ongkos-ongkos
kepailitan. Namun, dalam amar putusan Pengadilan Niaga tersebut tidak disebutkan secara
jelas mengenai penolakan terkait permohonan Paksa Badan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi.
Terdapat kekeliruan yang dilakukan oleh Hakim pada Pengadilan Niaga, yakni
mengenai dasar permohonan Pemohon Kasasi mengenai Paksa Badan terhadap Direksi dan
Komisaris Termohon Kasasi berdasarkan Pasal 101 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun
1998, yakni Pengurus Termohon Kasasi tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan
keterangan yang diminta, yaitu Neraca dan Pembukuan Termohon Kasasi yang diajukan oleh
kreditor (Pemohon Kasasi), tanpa alasan yang sah menurut hukum. Mengenai Neraca dan
Pembukuan Termohon Kasasi dianggap sangat penting, karena alasan dilakukannya PKPU
oleh Termohon Kasasi dikarenakan Termohon Kasasi tidak lagi memiliki aset. Sementara
diketahui pinjaman-pinjaman yang diterima oleh Termohon Kasasi mencapai
Rp1.500.000.000.000,- (satu triliun lima ratus miliar rupiah). Oleh karena itu, dikarenakan
Termohon Kasasi tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut, tanpa suatu alasan yang sah
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, merupakan alasan Pemohon Kasasi untuk
mengajukan permohonan paksa badan sesuai dengan ketentuan Pasal 84 jo. Pasal 86 Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK-PKPU).
Gijzeling (paksa badan) sebenarnya bukanlah hal baru dalam sistem hukum negara
kita, sebab gijzeling sudah dikenal sejak tahun 1926 sebagaimana yang diatur dalam Herziene
Inlandsch Reglement (HIR) Pasal 209-224. Istilah gijzeling yang dikenal dalam UUK-PKPU,
yakni lembaga penyanderaan. Ketentuan mengenai penyanderaan dilakukan dengan
memasukan kedalam penjara seseorang yang telah dihukum oleh keputusan pengadilan untuk
membayar sejumlah uang tetapi tidak melaksanakan keputusan itu dan tidak ada atau tidak
cukup mempunyai barang yang dapat disita eksekusi.19 Penyanderaan terhadap seseorang
yang tidak mempunyai sesuatu apapun lagi itu, dimaksudkan untuk memaksa sanak
keluarganya agar membayar apa yang harus dibayar menurut keputusan pengadilan tersebut.
Ketentuan mengenai gijzeling yang dikenal masyarakat dalam kaitannya dengan utang
piutang, dikenal juga sebagai imprisonment of civil debts, merupakan pelaksanaan dari
putusan pengadilan yang bersifat accessoire dari putusan pokok, karena debitor tidak dapat
memenuhi kewajibannya terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, perkara kepailitan berdasarkan Pasal 84 dan Pasal 86 UU tentang Kepailitan
Staatsblad Tahun 1905 No. 217 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan UU No.
4 Tahun 1998 tentang UUK-PKPU, Pasal 86 UUK-PKPU menyatakan, permintaan untuk
menyandera debitor pailit harus dikabulkan apabila permintaan itu didasarkan atas alasan
bahwa debitor pailit itu memang dengan sengaja tanpa alasan yang sah, tidak memenuhi
kewajibannya yang dibebankan kepadanya dalam pasal-pasal 88, 101, dan 122.
Kasus dengan perkara Nomor 03 K/N/2001 antara pihak Pemohon Kasasi, yakni
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melawan pihak Termohon Kasasi, yakni PT.
Citra Mahkota Abadi. Di mana dalam permohonan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
dalam, meminta untuk dilakukannya paksa badan terhadap Termohon Kasasi sesuai dengan
Pasal 101 UUK-PKPU. Hal tersebut sudah sesuai dengan syarat permohonan yang dijelaskan
pada Pasal 86 UUK-PKPU, yang mana dalam hal ini pihak Termohon Kasasi tidak memenuhi
kewajibannya untuk memberikan segala keterangan, bila debitor pailit dipanggil untuk
kepentingan tersebut. Telah dijelaskan di paragraf awal, bahwasannya dalam kasus antara
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi, yakni tidak dilakukannya pencatatan mengenai
Neraca dan Pembukuan Perusahaan dari Termohon Kasasi. Sehingga hal tersebut
menyebabkan tidak diketahuinya aktiva dan pasiva perusahaan yang masih tersisa.
Paksa badan atau penyanderaan terhadap Termohon Kasasi (PT. Citra Mahkota Abadi)
menurut UU No. 4 Tahun 1998 tentang UUK-PKPU mudah saja dilakukan. Karena syarat
formil yang dijelaskan pada UU tersebut hanya menyebutkan mengenai dua hal, yakni alasan
tersebut tidak sah dan debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pertama, dalam kasus ini,
pihak Termohon Kasasi tidak dapat membuktikan pencatatan mengenai neraca dan

19
Diana Rahmawati, “Penerapan Penahanan (Paksa Badan) Terhadap Debitor Pailit Menurut UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU”, Vol. 2, Isu 1, (Banjarmasin, 2017), hlm. 6.
pembukuan perusahaan yang merupakan dasar untuk mengajukan permohonan PKPU. Selain
itu, pengadilan negeri niaga dianggap telah keliru untuk mengabulkan permohonan PKPU
pihak Pemohon PKPU/Termohon Pailit, padahal dalam putusan tersebut pihak Pemohon
PKPU/Termohon Pailit tidak dapat membuktikan harta perusahaan yang masih tersisa
dikarenakan tidak adanya neraca dan pembukuan perusahaan. Oleh karena itu, dengan dasar
apa hakim di pengadilan negeri niaga mengabulkan permohonan PKPU oleh Pemohon
PKPU/Termohon Kasasi. Kedua, mengenai pihak Termohon Kasasi yang tidak dapat
memenuhi kewajibannya. Kewajiban Termohon Kasasi pada Pemohon Kasasi per tanggal 26
Juni 2000 adalah sebesar Rp103.251.816.912,70,- (seratus tiga miliar dua ratus lima puluh
satu juta delapan ratus enam belas ribu sembilan ratus dua belas rupiah tujuh puluh sen). Selain
kepada Pemohon Kasasi, pihak Termohon Kasasi juga memiliki utang dengan kreditor lain,
yaitu: PT. Bank Aspac sebesar Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), PT. Danamon
sebesar Rp61.010.000.000,- (enam puluh satu miliar sepuluh juta rupiah), dan kreditor lain
sebagaimana terurai dalam surat permohonan.
Paksa badan atau penyanderaan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998 tentang
UUK-PKPU juga hanya menyebutkan mengenai dua alasan yang telah dijelaskan di atas,
tanpa memberi kejelasan mengenai niatan dari debitor yang sebenarnya. Debitor yang dikenal
masyarakat terdiri atas debitor yang beritikad baik dan debitor yang beritikad buruk atau
mengenai debitor yang beritikad baik namun tidak mampu membayar, ataupun debitor yang
beritikad buruk yang mampu mampu namun enggan membayar. Hal tersebut tidak diatur di
dalam UUK-PKPU tersebut, yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi debitor untuk
melakukan upaya hukum. Di dalam kasus, dijelaskan bahwa Pemohon PKPU berkeyakinan
dapat menyelesaikan utangnya kepada para kreditor apabila diberi tenggang waktu untuk
menunda pembayaran kepada para kreditor dengan penjadwalan kembali pembayaran utang
selama 30 tahun dengan masa tenggang selama 5 tahun. Meskipun dalam perkataan tersebut
mengandung arti bahwa masih terdapat niat baik yang dimiliki oleh debitor. Namun, hal
tersebut tidak semerta-merta menyebabkan tidak dilakukannya paksa badan terhadap
Pemohon PKPU/Termohon Pailit.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Awalnya, lembaga paksa badan diatur dalam HIR/Rbg. Lembaga Paksa Badan ini
sendiri merupakan upaya lain dalam melakukan eksekusi keputusan hakim selain dengan cara
menyita dan menjual lelang barang-barang milik pihak yang kalah. Upaya penahanan ini dapat
dimintakan oleh Hakim Pengawas atau permintaan Kreditur yang nantinya perintah
penahanan tersebut hanya dapat dikeluarkan oleh seorang juru-sita dan hanya dapat dilakukan
dalam kondisi apabila memang barang-barang atau harta yang digunakan untuk memenuhi isi
keputusan itu tidak ada atau tidak cukup. Namun, lembaga paksa badan dibekukan melalui
SEMA Nomor 2 Tahun 1964 dan dihidupkan kembali dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2000.
Ketentuan-ketentuan mengenai paksa badan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2000 mencabut
ketentuan-ketentuan paksa badan yang diatur dalam HIR dan RBg yang dikenakan kepada
debitur yang tidak mampu membayar utangnya dan memberlakukan paksa badan terhadap
debitur mampu yang tidak beritikad baik untuk melunasi utangnya. Namun, pemberlakuan
paksa badan kepada debitur yang tidak beritikad baik tidak dapat langsung diterapkan karena
harus memenuhi beberapa syarat. Debitor beritikad tidak baik yang dimaksud adalah debitur
yang mampu tetapi tidak mau membayar utangnya. Adapun syarat-syarat mengenai debitor
yang beritikad tidak baik yang dimaksud dalam PERMA No. 1 Tahun 2000, yaitu tidak dapat
dikenakan terhadap debitor yang beritikad tidak baik yang telah berumur 75 tahun
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan mempunyai hutang minimal
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 4. Paksa badan
menurut Pasal 5 Perma No. 1 Tahun 2000 dilakukan untuk 6 (enam) bulan lamanya, dan dapat
diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun.
Perkembangan selanjutnya yang terjadi adalah pihak-pihak lain selain kreditor dapat meminta
untuk dijatuhkannya gijzeling kepada Debitor Pailit. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 93
sampai dengan Pasal 97 UUK-PKPU yang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk
memerintahkan agar Debitor Pailit ditahan setelah adanya putusan pernyataan pailit.
Penahanan atau gijzeling debitor pailit dilakukan atas usul hakim pengawas ataupun
permintaan kurator atau kreditor. Sehingga apabila debitor tidak memenuhi kewajiban-
kewajiban yang telah ditentukan dalam UUK-PKPU, maka permintaan penahanan harus
dikabulkan. Masa penahanan berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang
setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari atas usul Hakim Pengawas
atau atas permintaan Kurator atau seorang Kreditor atau lebih.
Walaupun lembaga paksa badan di Indonesia telah mengalami perkembangan,
masih terdapat beberapa permasalahan dalam penerapannya berdasarkan UUK-PKPU. Dalam
pasal 93, tidak terdapat ketentuan yang mengatur dalam hal apa saja penahanan terhadap
debitor pailit dapat diperintahkan. Tidak pula mengatur batas waktu perpanjangan, sehingga
masa penahanan tidak dibatasi dan dapat terus diperpanjang untuk batas waktu yang tidak
ditentukan. Selanjutnya, dalam pasal 95 diatur bahwa permohonan penahanan harus
dikabulkan apabila debitor tidak memenuhi kewajiban dalam pasal 110 dan 121. Padahal
UUK-PKPU tidak menentukan alasan yang bersifat limitatif dalam hal apa saja debitor pailit
dapat diputuskan untuk ditahan. Sehingga hakim dapat saja mengabulkan permohonan
penahanan tanpa debitor melanggar kewajiban debitor yang diatur dalam pasal 110 dan 121.
Selanjutnya adalah tidak adanya kesempatan debitor untuk melakukan upaya hukum terhadap
permohonan dan perintah penahanan. Selain itu, permasalahan lainnya tkait dengan urgensi
dilakukannya penyempurnaan adalah mengenai persyaratan kepailitan, pembuktian
sederhana, keadaan diam otomatis debitor terkait dengan hak debitor dalam implementasi
Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU, hak kreditor separatis dalam kepailitan, kewenangan Otoritas
Jasa Keuangan dalam kepailitan bank, BUMN sebagai pihak yang dikecualikan dalam
kepailitan, kedudukan dan pengawasan kurator, akibat kepailitan terhadap sita pidana,
penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh kreditor, peringkat upah pekerja
dalam kepailitan sebagaimana perkembangan hukum berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi, kepailitan lintas negara (cross border insolvency), dan mengenai penjualan harta
kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UUKPKPU.
Selanjutnya adalah mengenai penerapan Lembaga Paksa Badan berdasarkan Putusan
03/K/N/2001. Penerapan paksa badan atau penyanderaan terhadap Termohon
Kasasi/Pemohon PKPKU (PT. Citra Mahkota Abadi) menurut UU No. 4 Tahun 1998 tentang
UUK-PKPU mudah saja dilakukan karena syarat formil yang dijelaskan pada UU tersebut
hanya menyebutkan mengenai dua hal, yakni alasan yang dijadikan sebagai dasar permohonan
tidak sah dan debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya, tanpa memberi kejelasan mengenai
niatan dari debitor yang sebenarnya.. Dalam hal memberikan dasar permohonan PKPU, telah
terbukti bahwa pihak Termohon Kasasi tidak dapat membuktikan pencatatan mengenai neraca
dan pembukuan perusahaan yang merupakan dasar untuk mengajukan permohonan PKPU.
Kemudian, juga dibuktikan bahwa Termohon Kasasi tidak dapat memenuhi kewajibannya. Ia
memiliki kewajiban pembayaran kepada Pemohon Kasasi per tanggal 26 Juni 2000 sebesar
Rp103.251.816.912,70,- (seratus tiga miliar dua ratus lima puluh satu juta delapan ratus enam
belas ribu sembilan ratus dua belas rupiah tujuh puluh sen). Selain kepada Pemohon Kasasi,
Termohon Kasasi juga memiliki kewajiban pembayaran kepada PT. Bank Aspac sebesar
Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), PT. Danamon sebesar Rp61.010.000.000,- (enam
puluh satu miliar sepuluh juta rupiah), dan kreditor lain sebagaimana terurai dalam surat
permohonan. Adapun demikian, apabila Pemohon PKPU ternyata adalah debitor yang
beritikad baik karena ia berkeyakinan dapat menyelesaikan utangnya kepada para kreditor,
hal tersebut tidak menyebabkan tidak dilakukannya paksa badan terhadap Pemohon
PKPU/Termohon Pailit.

B. Saran
Untuk mendukung daya saing nasional dalam menghadapi persaingan ekonomi
secara global, menciptakan iklim yang memberikan kemudahan berusaha (ease of doing
business), memberikan dasar hukum guna mendorong terwujudnya kepastian hukum dalam
penyelesaian utang piutang melalui kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang,
mendukung iklim investasi kompetitif , dan menjadikan pengaturan kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang sebagai instrumen hukum yang dapat memberikan pelindungan
yang adil, cepat, terbuka, dan efektif, maka sebaiknya diadakan perbaikan pengaturan
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam UUK-PKPU.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia. Yogyakarta: Total Media. Cet. II.2008.
Azikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia.Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2001.
Hikmah, Mutiara. Aspek – Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Perkara – Perkara
Kepailitan. Jakarta: Refika Aditama, 2007.
Hidayah, Khoirul dan Mudawamah. Gijzeling dalam Hukum Pajak di Indonesia. Cet. 1. Malang:
UIN Press, 2015.
Nating, Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan Dan Pemberesan
Harta Pailit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait
dengan Kepailitan. Bandung: Nuansa Aulia, 2006.
Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008.
Sjahdeni, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan, Cet. 5. Jakarta: Grafiti, 2012.

JURNAL
Cahyadi, Irwan Adi. “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Positif
di Indonesia”. 2014. Hlm. 12.
Diana, Rahmawati. "Penerapan Penahanan (Paksa Badan) terhadap Debitor Pailit Menurut UU No
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU" Lambung Mangkurat Law Journal. 2017.
Hlm. 74 - 87.
Gautama, Sudargo. “Perlukah Dihidupkan kembali Lembaga Paksa Badan.” Majalah Hukum dan
Keadilan No. 2 (1970). Hlm. 6.
Sidarta. “Lembaga Penyanderaan (Gijzeling)” Majalah Hukum dan Keadilan, No. 11 tahun
ke dua (1970). Hlm. 66-68
Bappenas, “Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya dalam Era Globalisasi”, Jurnal
Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hlm. 20-23
Wijayanta, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan
Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei
2014. Yogyakarta: Fakultas Hukum. Universitas Gadjah Mada.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI
Batara, Meir Elizabeth. “Paksa Badan (Gijzeling) Sebagai Upaya Pemaksa Terhadap Debitor
dalam Kepailitan.” Tesis Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 2011.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang
Kepailitan Menjadi Undang-Undang, UU No.4 Tahun 1998. TLN. 3778
Indonesia. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembyaran Utang, UU No. 37
Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443.
Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Paksa Badan. Perma No. 1
Tahun 2000.

Anda mungkin juga menyukai