Anda di halaman 1dari 149

IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG DIDUGA


MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018


Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
AGUNG LAKSONO WIBOWO NIM: 11140480000096

PROGRAMSTUDIILMUHUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
(Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
AGUNG LAKSONO WIBOWO NIM: 11140480000096

PROGRAMSTUDIILMUHUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M

i
(Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S

Oleh:
AGUNG LAKSONO WIBOWO NIM: 11140480000096

Pembimbing:

Abdul Qodir, S. H., M. Hum. Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si.


NIP. 19550614 197803 1 002 NIP. 19741213 200312 1 002

PROGRAMSTUDIILMUHUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M

ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN


ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG DIDUGA
MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)” telah diajukan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Januari 2019, Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 Januari 2019
Mengesahkan
Dekan,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.


NIP. 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH


1. Ketua : Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. (.....................)
NIP. 19691121 199403 1 001

2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. (.....................)


NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Abdul Qodir, S.H., M. Hum. (.....................)


NIP. 19550614 197803 1 002

4. Pembimbing II : Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si. (.....................)


NIP. 19741213 200312 1 002

5. Penguji I : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. (.....................)


NIP. 19760213 200312 2 001

6. Penguji II : Dr. Sodikin, S.H., M.H. (.....................)


NIDN. 0310056801

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam

karta.

dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif H
wa karya ini bukan karya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang ber

Jakarta, 10 Januari 2019

AGUNG LAKSONO WIBOWO


NIM:11140480000096

iv
ABSTRAK
Agung Laksono Wibowo. NIM 11140480000096. IZIN PRESIDEN DALAM
TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Menurut Pasal 245 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018). Skripsi
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/1440 H, x + 138 Halaman.
Ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 (UU
MD3) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018
menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224, harus
mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan untuk mengetahui
izin/persetujuan tertulis Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari aspek kekuasaan Presiden dalam
konsep negara hukum dan memahami sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan sejarah (history approach). Pendekatan perundang-undangan
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, sedangkan pendekatan sejarah
adalah pendekatan yang diperoleh dari teknik pengumpulan data library research
yang mengkaji berbagai dokumen terkait objek penelitian terkait latar belakang
pembentukan dan dinamika ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait izin Presiden
dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
ditinjau dari aspek kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum tidak sesuai
dengan prinsip negara hukum karena bertentangan dengan asas equality before the
law dan independent judiciary, serta adanya disharmonisasi Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 terhadap Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945, dan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik.
Kata Kunci : Izin, Presiden, Penyidikan, Anggota DPR, Tindak Pidana.
Pembimbing : Abdul Qodir, S.H., M.Hum., dan
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
Daftar Pustaka : Tahun 1969, sampai Tahun 2018

v
KATA PENGANTAR
‫ميحرال نمحرال هلال‬ ‫بسم‬

Puji dan rasa syukur mendalam, peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam semoga selalu senantiasa
tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran peneliti skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan
dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian
skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan terima
kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan arahan dan
masukannya atas penyusunan skripsi.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dan Abdul Qodir, S.H., M.Hum.,


Pembimbing Skripsi yang telah memberikan segenap waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memberikan kritik konstruktif dan motivasinya terhadap
proses hingga penyelesaian dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, beserta civitas akademika
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melayani dan membantu peneliti
selama menempuh studi S-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, Bapak
Djoko Suhandoko dan Ibu Rondiyah yang telah memberikan segala daya,
serta upayanya demi purnanya jenjang studi S-1 peneliti. Dan kepada kakak

vi
tercinta, Renny Retnowati, S.H., M.H. dan adik tercinta, Anita Maffhilinda
yang senantiasa mengingatkan, dan memotivasi peneliti dalam proses
penyusunan hingga penyelesaian skripsi ini.

6. Teman hidup peneliti, Esti Monalis yang senantiasa memberikan semangat


dan dukungan moril, serta perhatian, cinta, dan kasih sayang dari kejauhan
sana dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah senantiasa
memberkahi dan meridhai kebersamaan kita.

7. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum, khususnya


Adlan Kamil, Fikri Khoiri, Syanel, Wahid, Purba, Farhan, Acun, Eddy,Vira,
Naufal, Alfi, Prama, Riyadi, Haidar, Iqbal, Fajar, Fachri, kawan-kawan DPR
ataupun Ilmu Hukum 2014 lainnya yang tidak dapat saya sebutkan.

8. Pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Periode 2016,


Pengurus Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2017,
khususnya Khaidir Musa, Muhyidin, Mentari, Jeje, Astika, Dian, Atik dan
lainnya, Pengurus Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia Wilayah
Jabodetabek Periode 2018, dan Himpunan Mahasiswa Islam, khususnya
Tebe,Vanya, Syahnaz, Najm, Eza dan lainnya, serta adinda-adinda Ikatan
Alumni Pondok Pesantren Asshiddiqiyah UIN Jakarta.

Demikian, peneliti haturkan terima kasih yang tak terhingga atas segala dukungan
semua pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini dan mohon maaf
atas segala kekurangan maupun kesalahan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak, terkhusus peneliti.

Wassalammualaikum
Jakarta, 10 Januari 2019
Peneliti

Agung Laksono Wibowo

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................................ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN.................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................iv
ABSTRAK.......................................................................................................v
KATA PENGANTAR....................................................................................vi
DAFTAR ISI...................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah...................11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................14
D. Metode Penelitian......................................................................15
E. Sistematika Penulisan................................................................19

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Kerangka Konseptual................................................................21
1. Izin.......................................................................................21
2. Presiden...............................................................................23
3. Penyidikan...........................................................................26
4. Dewan Perwakilan Rakyat..................................................28
5. Tindak Pidana......................................................................31
B. Kerangka Teori..........................................................................34
1. Teori Kekuasaan..................................................................34
2. Teori Negara Hukum...........................................................37
3. Teori Kewenangan..............................................................40
4. Teori Perwakilan.................................................................45
C. Studi (Review) Kajian Terdahulu..............................................46

viii
BAB III PRESIDEN, DPR, DAN MKD DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN RI
A. Sistem Pemerintahan.................................................................50
B. Presiden.....................................................................................72
C. Dewan Perwakilan Rakyat........................................................82
D. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018......87

BAB IV IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA


DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA
MENURUT PASAL 245 AYAT (1) UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2018 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVI/2018
A. Izin Presiden Dalam Tahap Penyidikan Anggota DPR RI Yang
Diduga Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Aspek
Kekuasaan Presiden dalam Konsep Negara Hukum.................92
B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia...........................................116

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 128
B. Rekomendasi .......................................................................... 129
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 130

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang telah terjadi
pasang surut dalam kekuasaan Presiden RI. Pada awal kemerdekaan, berdasarkan
ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945, Presiden memiliki
kekuasaan yang sangat besar karena memegang kekuasaan pemerintahan dalam
arti luas. Ketika itu dalam menjalankan kekuasaannya, Presiden hanya dibantu
oleh sebuah Komite Nasional.1 Kekuasaan yang diberikan oleh Pasal IV Aturan
Peralihan UUD NRI Tahun 1945, secara formal menyerupai kekuasaan seorang
penguasa dalam pemerintahan autokrasi. Susunan organisasi kekuasaan yang
menempatkan Komite Nasional di bawah Presiden, tidak layak diterapkan pada
negara demokrasi, seperti Indonesia.
Kekuasaan yang begitu besar tersebut berakhir dengan dikeluarkannya
Maklumat No. X oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta kala itu yang ditetapkan
pada 16 Oktober 1945. Inti dari maklumat tersebut, yakni Presiden bersama-sama
dengan Komite Nasional menjalankan kekuasaan legislatif dan berhak untuk ikut
serta menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Pada 2 September
1945, Presiden Soekarno membentuk kabinet pertama berdasarkan usulan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kabinet ini tercatat dalam sejarah
sebagai kabinet presidensial pertama. Dalam susunan kabinet presidensial,
Presiden memegang kekuasaan eksekutif. Namun, fungsi Presiden selaku
pemegang kekuasaan eksekutif tersebut menjadi goyah ketika ada usul Badan

1
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya:
Universitas Airlangga, 1990), h. 2

1
2

Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNIP) yang menghendaki perubahan sistem


pertanggungjawaban kepada parlemen.
Usul tersebut diterima oleh pemerintah dengan keluarnya Maklumat
Pemerintah pada 14 November 1945 yang berisikan perubahan sistem
presidensial menjadi parlementer. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut,
maka Presiden tidak lagi berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, melainkan
hanya berfungsi sebagai Kepala Negara atau Presiden konstitusional. Untuk
kedua kalinya terjadi pengurangan atas kekuasaan Presiden.2
Kekuasaan Presiden menjadi besar kembali setelah mengambil alih
kekuasaan eksekutif. Pengambilalihan ini terjadi sehubungan dengan
dinyatakannya negara dalam bahaya oleh Menteri Pertanahan, Amir Syarifuddin
dan terjadinya penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir. 3 Pada masa
berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 dan UUDS 1950,
sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlementer sehingga
menempatkan Presiden hanya sebagai Kepala Negara, tidak lagi sebagai Kepala
Pemerintahan. Ini artinya, kekuasaan Presiden berkurang kembali.
Ketika UUD NRI Tahun 1945 berlaku kembali, Presiden sebagai Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan berfungsi kembali sehingga memberikan
peluang yang besar bagi Presiden untuk menjalankan kekuasaannya. Kekuasaan
Presiden RI menurut UUD NRI Tahun 1945 lebih besar dari kekuasaan Presiden
Amerika Serikat. Sebagai contoh, Presiden Amerika Serikat tidak mempunyai
kekuasaan membentuk Undang-Undang sebagaimana yang dimiliki oleh

2
Moh. Mahfud, MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia; Studi Tentang Interaksi Politik
dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 47
3
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan,… h. 4
Presiden RI. Presiden Amerika hanya mempunyai kekuasaan memveto suatu
rancangan Undang-Undang.4
Pada perkembangan selanjutnya, UUD NRI 1945 mengalami perubahan
setelah lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, akibat protes yang bertubi-tubi
dan terus-menerus dari rakyat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya di
tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.5 Setelah Soeharto lengser dari
kursi kepresidenan atas desakan dari berbagai elemen masyarakat, MPR untuk
pertama kalinya dalam sejarah Republik ini, melakukan perubahan terhadap
UUD NRI 1945 yang dilakukan dalam empat tahapan.
Pada perubahan tahap pertama telah terjadi perubahan dalam 9 pasal di
UUD NRI tahun 1945. Hal-hal substantif yang mengalami perubahan adalah
sebagai berikut:
Pertama, terjadi pembatasan masa jabatan Presiden. Sebelum dilakukan
perubahan, ada peluang seorang Presiden dapat menjabat terus-menerus
sebagaimana yang dilakukan Soeharto dan Soekarno, karena bunyi pasal tentang
masa jabatan Presiden sangat terbuka untuk dilakukan interpretasi. Setelah
perubahan tahap pertama, seorang Presiden Indonesia paling lama menjabat
sebagai Presiden selama 10 tahun.6 Kedua, adanya pembatasan kekuasaan
Presiden dalam bidang legislasi. Dalam perubahan tahap pertama ditegaskan
bahwa kekuasaan legislasi ada di tangan DPR. Sekalipun demikian, Presiden
dapat mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Ketiga,
4
Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional, dalam Rofiqul Umam Ahmad, dkk., (ed.), Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia
Kontemporer: Pemikiran Prof. Jimly Asshiddiqie, SH, dan Pakar Hukum, (Jakarta: The Biography
Institute, 2007), h. 6
5
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Masa Transisi Politik di Indonesia, Cet. Ke-2,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 2005), h. 57-58
6
Afan Gaffar, “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan
Kelembagaan” dalam Buku Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik
Indonesia, (Jakarta: Asosiasi Ilmu Politik Indonesia bekerjasama dengan Partnership for Governance
Reform in Indonesia (PGRI), 2002), h. 435
adanya usaha membangun mekanisme checks and balances antara lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif.7
Semangat Perubahan UUD 1945 tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun
2000, terjadi perubahan lagi yaitu tepatnya 18 Agustus 2000. Pada perubahan
tahap kedua ini terdapat 25 pasal yang mengalami perubahan dengan 6 materi
pokok, yaitu menyangkut pemerintahan daerah atau desentralisasi, wilayah
negara, kedudukan warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, pertahanan
dan keamanan negara, dan menyangkut bendera, bahasa dan lambang negara,
serta lagu kebangsaan.
Dari sejumlah perubahan tersebut, ada dua hal yang paling mendasar
mengalami perubahan yaitu: menyangkut pemerintahan daerah yang terdapat
pada Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Dalam pasal tersebut, pertama terdapat
penegasan yang kuat melalui konstitusi, bahwa negara Indonesia menjamin
dilaksanakannya pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Kedua, mengenai
hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Pasal ini
mengalami penambahan, jika dilihat dari jumlah pasalnya dan sekaligus juga
mengalami penegasan.
Proses perubahan terus berlanjut. Namun sebelum itu, MPR mengadakan
sidang yang sangat bersejarah, yaitu meng-impeachment Presiden Abdurrahman
Wahid pada Juni 2001. Setelah itu, pada November 2001, MPR melakukan
perubahan UUD 1945 tahap ketiga. Pada perubahan tahap ketiga ini, terjadi
perubahan sangat mendasar terhadap UUD 1945 terkait dengan kedaulatan,
perombakan parlemen, pemilihan Presiden secara langsung, membentuk lembaga
baru yang bernama Mahkamah Konstitusi dan mengatur prosedur perubahan
terhadap UUD 1945.
Pada Agustus 2002, MPR kembali melakukan perubahan tahap keempat.
Perubahan tersebut terfokuskan pada susunan MPR, cara pemilihan Presiden,

7
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia: Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).
penyelesaian jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak bisa
melakukan kewajibannya, pemberian hak kepada Presiden untuk membentuk
suatu Dewan Pertimbangan Presiden, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung,
serta ketentuan mengenai independensi Bank Indonesia. Selain itu, pada
perubahan tersebut juga menetapkan batas minimal anggaran untuk biaya
pendidikan, yaitu sebanyak 20% dari APBN serta adanya ketentuan
mengharamkan perubahan pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.8
Hal ini menandakan, bahwa perubahan UUD 1945 pada interval kurun waktu
1999 hingga 2000 telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun
yudisial (kekuasaan kehakiman).
DPR RI adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan
memiliki fungsi legislasi. Hal ini diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, bahwa DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-
Undang.
Dengan demikian, maka kedudukan DPR sangat vital dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia. Hasil Amandemen UUD NRI Tahun 1945 melahirkan
kontruksi kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan
saling melakukan kontrol (checks and balances), mewujudkan supremasi hukum
dan keadilan, serta menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia. Kesetaraan
atau ketersediaan mekanisme saling kontrol ini, merupakan prinsip dari sebuah
negara demokrasi atau negara hukum.9
Perubahan lain pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 ialah mengenai
hak anggota DPR yang menyatakan bahwa setiap anggota DPR memiliki hak

8
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju,… h. 3-4
9
B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Pustaka Utama, 2000)
untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas.10
Pada perkembangannya, pada tahun 2003 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1999 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD diganti dengan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD karena
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat dan perkembangan
ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003, memuat susunan keanggotaan DPR mengalami perubahan, dikatakan
bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta Pemilu dipilih berdasarkan
hasil Pemilu.
Pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, kedudukan DPR
merupakan perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai Lembaga Negara.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 kemudian diganti dengan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009, Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk
meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan rakyat.
Berselang 5 tahun kemudian, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan terakhir diganti dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD hingga mengalami
perubahan kembali pada beberapa tempo lalu yang menghasilkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang lebih
populis disebut dengan UU MD3.
Dalam konteks proses penyidikan, kedudukan anggota DPR memiliki hak
istimewa dibandingkan dengan warga negara Indonesia lainnya. Terkait
pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan

10
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), h.
105-106
tindak pidana telah diatur secara khusus mekanismenya dalam Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini
praktis menimbulkan polemik pada khalayak publik dan tentu hal ini dianggap
sebagai bentuk diskriminasi dalam penegakan hukum atau peneliti menyebut
poin pasal tersebut bertentangan dengan asas equality before the law dan
menciderai proses peradilan yang seharusnya bersifat independen sebagaimana
mestinya tidak mencerminkan konsep negara hukum yang telah tegas
diamanatkan konstitusi UUD 1945.
Jika dirunut pada kronologis perkembangan ketentuan Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 ini mengalami pelbagai perubahan,
dimulai pada 22 September 2015, Mahkamah Konstitusi melahirkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang berasal dari Judicial
Review terhadap Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diajukan oleh Supriyadi Eddyono
Widodo dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Hukum Pidana.
Menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap telah merekonstruksi mekanisme
pemeriksaan anggota DPR. Semula, berdasarkan Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terkait
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana, harus mendapat persetujuan tertulis
dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Ketentuan ini kemudian dinyatakan oleh Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi terkait pasal a quo adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa
\"persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan\" tidak dimaknai
\"persetujuan tertulis dari Presiden\". Hal ini dilandasi atas Amar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang tertuang pada poin 2.1
Frasa “Persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal
245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Persetujuan tertulis
dari Presiden”. Artinya, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus
mendapat izin/persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam konteks inilah
Mahkamah Konstitusi telah merekonstruksi mekanisme \"izin MKD\" menjadi
\"izin Presiden\".
Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa terusik oleh adanya kontradiksi
dengan putusan Mahkamah Konstitusi terbaru mengenai mekanisme penyidikan
Anggota DPR menurut ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang
bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-
IX/2011 terhadap pengujian Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah terkait pembatalan izin/persetujuan tertulis
Presiden dalam proses penyelidikan dan penyidikan Kepala Daerah yang diduga
melakukan tindak pidana.
Pada Senin, 12 Februari 2018 beberapa waktu lalu, DPR melalui Rapat
Paripurna resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI,
Fadli Zon. Adapun salah satu pasal yang termuat dalam hasil pengesahan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang mengalami perubahan salah satunya, yakni pada Pasal 245 Ayat (1).
Adapun hasil revisi pada Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 berbunyi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada Anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.
Hal ini berimplikasi pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-
XII/2014 yang telah menegasikan pelibatan Mahkamah Kehormatan Dewan
terkait proses pemeriksaan anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak
pidana dengan mengaktifkan kembali wewenang Mahkamah Kehormatan
Dewan.11
Adapun yang terkini, telah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan
Konstitusi (FKHK), Dr. Husdi Herman, S.H., M.M., Yudhistira Rifky Darmawan
yang mengajukan Judicial Review terhadap sejumlah pasal yang menjadi sumber
kegelisahan rakyat Indonesia karena semakin super power-nya kekuasaan yang
dimiliki oleh DPR melalui penguatan imunitas DPR yang dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018. Namun, peneliti hanya terfokus pada
salah satu pasal yang diujikan mereka, yakni Pasal 245 Ayat (1) yang berhasil
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengembalikan substansi putusan
Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 74/PUU-XII/2014 dimana tetap mempertahankan izin/persetujuan tertulis
Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana.
Ditandai dengan diundangkan dan berlakunya Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana yang
tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan izin/persetujuan
tertulis Presiden ini menambah carut-marut mekanisme penegakan hukum yang

11
Revisi UU MD3 Disahkan Sore Ini, Ada Pasal Kontroversial, bersumber dari
www.detik.com, terbitan Senin, 12 Februari 2018 Pukul 16.34 WIB, diakses pada Selasa, 20 Februari
2018 Pukul 10.00 BBWI.
10

telah ada dan praktis menimbulkan keresahan publik dan menjadi polemik di
Indonesia hari ini.
Selain sarat akan kepentingan politik, dengan timbulnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018 ini sebelumnya dinilai ahistoris dan mencederai kaidah pembentukan
peraturan perundang-undangan yang mana pada salah unsur materi muatan suatu
undang-undang yang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 ini secara subtantif berkontradiksi dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 yang mengaktifkan kembali
persetujuan tertulis Presiden dalam proses pemeriksaan anggota DPR dalam
tahap penyidikan yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas anggota DPR. Padahal di lain sisi, izin/persetujuan
tertulis Presiden telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam penyelidikan
dan penyidikan Kepala Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sekaligus dalam hal ini, peneliti mencoba menganalisa ketentuan norma
yuridis dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait pemanggilan
dan permintaan keterangan dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana berdasarkan aspek kekuasaan Presiden dalam konsep
negara hukum, serta sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018 dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Dalam konteks demokrasi dewasa ini, reformasi kelembagaan parlemen
merupakan bagian penting dalam proses konsolidasi demokrasi dimana institusi-
institusi kenegaraan ditata sedemikian rupa sehingga memenuhi indikator
demokrasi yang ideal. Pelembagaan nilai-nilai demokrasi dalam keseluruhan
mekanisme dan prosedur kerja parlemen. Peraturan perundang-undangan terkait
dengan pengorganisasian dan tata tertib lembaga-lembaga perwakilan, serta
regulasi terkait dengan kehendak mewujudkan parlemen Indonesia sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang kredibel, akuntabel, transparan, dan profesional.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian mengenai,
“Izin Presiden Dalam Penyidikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Yang
Diduga Melakukan Tindak Pidana (Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran yang termaktub pada latar belakang,
maka terdapat identifikasi masalah pada studi ini diantaranya:
a. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang
berpotensi tidak berjalan efektif pada pelaksanaan putusannya mengacu
pada Putusan Mahkamah Kontitusi terdahulu Nomor 76/PUU-XII/2014
terhadap ketentuan norma Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018.
b. Adanya Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang merupakan hasil dari
Pengesahan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait izin Presiden dalam
tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR tidak
sesuai dengan prinsip negara hukum, bertentangan asas persamaan di
depan hukum (equality before the law), dan mencederai asas
independensi peradilan (independent judiciary).
c. Implikasi hukum terhadap ketentuan norma Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
yang merupakan hasil dari pengesahan Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
terkait izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas anggota DPR berpotensi menghambat proses penyidikan tindak
pidana dalam hal ini bersinggungan dengan asas peradilan cepat,
sederhana, dan biaya ringan.
d. Distorsi pada ketentuan norma Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018 dengan peraturan perundang-undangan lainnya, baik
dengan UUD 1945 maupun Undang-Undang terkait, serta ahistoris dan
kontradiksi dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka
peneliti memberi pembatasan masalah yang hanya terfokus pada Pasal 245
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 mengenai izin/persetujuan tertulis
Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota
DPR ditinjau dari aspek kekuasaan Presiden menurut konsep negara hukum,
dan menelaah sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018 ditinjau menurut sistem peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Adanya Revisi UU MD3 belakangan ini menimbulkan beberapa
polemik di khalayak publik Indonesia. Hal ini membuat peneliti menarik
untuk menyajikan penelitian pada Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018
mengenai Izin Presiden Dalam Tahap Penyidikan Anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan Pasal 27 Ayat
(1) dan Pasal 28 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, serta kontradiktif dengan
prinsip equality before the law, serta berpotensi mencederai independensi
peradilan dalam konsep negara hukum, dan dengan ini, peneliti merumuskan
rumusan masalah ialah sebagai berikut:
a. Bagaimana Izin Presiden dalam tahap penyidikan Anggota DPR RI
yang diduga melakukan tindak pidana menurut Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 ditinjau dari aspek kekuasaan
Presiden dalam konsep negara hukum?
b. Bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan sebagai berikut;
a. Untuk mengetahui izin Presiden dalam tahap penyidikan Anggota
DPR RI sebagaimana ketentuan norma Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 ditinjau menurut aspek kekuasaan Presiden
dalam konsep negara hukum menurut konstitusi UUD 1945.
b. Mampu mengupas secara komprehensif terhadap substansi, implikasi
hukum, dan sinkronisasi, serta harmonisasi ketentuan Pasal 245 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan disiplin
ilmu hukum, khususnya hukum tata negara, khususnya terkait dengan
penerapan teori-teori hukum berkenaan dengan “Izin Presiden Dalam
Penyidikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Menurut Analisa Yuridis
Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018”.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat
diharapkan dapat memberikan suatu masukan bagi para pegiat hukum
dan demokrasi, baik itu akademisi, praktisi, maupun pihak lain yang
terkait, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden. Dengan
demikian, maka diharapkan dapat memberikan solusi berupa pendapat
hukum mengenai diskursus ini secara nyata yang nantinya dapat
dijadikan sumber referensi dalam kebutuhan akademis maupun praktis
bagi siapapun yang hendak mendalami kajian hukum tata negara.

D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak
membutuhkan populasi dan sampel, karena jenis penelitian ini menekankan
pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat di dalam
perundang-undangan, serta norma-norma yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan yang menjadi
penelitiannya sebagai sumber data.12
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang memiliki metode
yang berbeda dengan penelitian yang lainnya. Metode penelitian hukum
merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian. 13
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma hukum.
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,
kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanijian,
serta doktrin (ajaran).14 Dalam penelitian hukum normatif mencakup
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,
penilitan terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan
penelitian perbandingan hukum.

12
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2005),
h. 46
13
Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), h. 57
14
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian
doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis
hukum, baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the
book), maupun berupa putusan hakim melalui proses pengadilan (law it is
decided by the judge through judicial process).15 Penelitian hukum
normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan
pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.16
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan masalah dalam skripsi ini, dengan jenis penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statutory approach)17 yang terdiri atas;
UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pendekatan
perundang-undangan (statutory approach) ini, diterapkan guna memahami
bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi antara putusan Mahkamah
Konstitusi dengan suatu produk undang-undang dapat berkesinambungan
dan koheren dengan kaidah ilmu perundang-undangan.
3. Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh

15
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 118
16
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 3
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), h. 136
dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai
literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut bahan hukum.18 Bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini terdapat 3 jenis, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.19 Bahan hukum yang
digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1978
Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Negara Lembaga
Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara;
3). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011;
4). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014;
5). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018;
6). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan;
7). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD;
8). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana;

18
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 52
9). Untuk buku-buku yang dijadikan bahan buku primer telah
terlampir dalam Daftar Pustaka.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel 20 yang berkaitan
dengan penelitian ini guna memberikan penjelasan mendalam
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-buku, skripsi,
tesis dan disertasi, serta artikel ilmiah dan tulisan di internet untuk
memperkaya sumber data dalam penulisan penelitian ini.
c. Bahan Non-Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, 21 seperti
Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan
lain-lain.
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non-hukum yang diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
tersistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Selanjutnya, setelah bahan hukum diolah, kemudian dilakukan analisis
terhadap bahan hukum tersebut, yang pada akhirnya akan diketahui
bagaimana izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52
XVI/2018 ditinjau menurut aspek kekuasaan Presiden dalam konsep negara
hukum, serta bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan norma Pasal
245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi
ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi
dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berkorelasi yang
menjadi objek masalah untuk diteliti. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
ialah sebagai berikut:
BAB-I: Bab ini memuat pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB-II: Bab ini menguraikan dua pokok pembahasan yang
mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya meliputi
kerangka konseptual yang mengulas secara rinci
mengenai konsep yang menjadi acuan dalam penulisan
skripsi ini dan membahas kerangka teoritis terkait teori-
teori yang relevan dengan pembahasan yang tertuang
dalam penelitian ini, serta mengulas tinjauan (review)
kajian terdahulu guna menghindari kesamaan terhadap
materi muatan dalam pembahasan dalam penelitian
skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh peneliti/pihak
lain.
BAB-III: Bab ini akan menguraikan mengenai Sistem
Pemerintahan, tinjauan umum mengenai kedudukan,
wewenang, tugas dan fungsi Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menurut konstitusi UUD 1945.
Kemudian diuraikan pula mengenai Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018.
BAB-IV: Bab ini menguraikan tentang analisis terhadap
konstitusionalitas izin Presiden dalam tahap penyidikan
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 ditinjau dari aspek
kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum dan
analisa terhadap sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
BAB-V: Bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan
dari penelitian ini untuk menjawab perumusan
masalah, serta memberikan rekomendasi yang dianggap
perlu.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus
yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan
diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.1 Berkenaan dengan uraian diatas,
maka untuk memudahkan peneliti memahami pelbagai istilah yang tertuang
dalam pembahasan penelitian ini telah peneliti susun beberapa kerangka
konseptual dalam penelitian ini yakni sebagai berikut.
1. Izin
Kata izin, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2, Izin adalah
pernyataan mengabulkan (tiada melarang dsb.); persetujuan membolehkan.
Sedangkan menurut E. Utrecht berpendapat, bahwa bilamana pembuat
peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga
memperkenankannya asal saja diadakan dengan cara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang
memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). Izin
(vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-
Undang atau Peraturan Pemerintah untuk dalam keadaan tertentu
menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-
undangan.3

1
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 132
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 1989), h. 341
3
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 167-168

21
22

Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan


dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana
yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin juga diartikan
sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau
peraturan pemerintah sekalipun dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan-ketentuan larangan aturan perundang-undangan.
Dengan memberikan izin/persetujuan tertulis, penguasa
memperkenankan orang yang memohonkannya untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, maka hal ini menyangkut
perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan
pengawasan khusus atasnya.4 Di samping itu, izin juga dapat diartikan,
apabila pembuat peraturan, secara umum tidak melarang sesuatu perbuatan,
asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya izin juga bermaksud, bilamana pembuat peraturan
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya, asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang konkret,
maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan
tersebut bersifat suatu izin.5 Pada umumnya sistem perizinan terdiri atas
larangan, persetujuan yang merupakan dasar pengecualian (izin) dan
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin.
Dalam penelitian ini, izin yang dimaksud di sini merupakan izin atau
yang menurut frasa perundang-undangan yakni persetujuan tertulis
merupakan suatu legitimasi atas suatu aturan/ketentuan yang sejatinya
dilarang ataupun memang sebagai suatu prosedural dalam penetapan aturan

4
N.M.Spelt dan J.BJ.M.Ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, (Surabaya: Yuridika, 1992),
h. 3
5
Rachman Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), h. 80
tertentu, karena belum diatur sebelumnya secara mengikat oleh suatu aturan
konstitusi maupun produk hukum perundang-undangan.
2. Presiden
Lembaga eksekutif merupakan salah satu cabang kekuasaan dalam
negara yang dalam pandangan Montesquieu dalam bukunya L‟espirit des
Lois (1748) (oleh Immanuel Kant dipopulerkan dengan sebutan Trias
Politica) merupakan cabang kekuasaan yang memiliki fungsi melaksanakan
Undang-Undang Pemerintahan.6 Lembaga eksekutif yang lazim disebut
dengan pemerintah (government). Namun demikian, kita perlu berhati-hati
dalam menggunakan istilah pemerintah karena dalam tradisi Amerika
Serikat ternyata Pemerintah digunakan untuk memberikan gambaran
mengenai semua cabang pemerintahan yakni: eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Sementara dalam tradisi Inggris, Eropa pada umumnya dan di
negara Asia maupun Afrika, perkataan pemerintah diartikan sebagai kabinet
saja, yaitu para menteri dan departemen-departemen atau kantor
kementerian.
Perihal tugas eksekutif, Stephen Leacock mengemukakan bahwa
kekuasaan eksekutif itu adalah mengenai pelaksanaan Undang-Undang.
Eksekutif menyelenggarakan kemauan rakyat sebagai perwujudan dari
negara demokrasi. Kemauan negara dituangkan oleh pembentuk Undang-
Undang (Kekuasaan Legislatif) ke dalam Undang-Undang yang telah
ditetapkan oleh legislatif.7
W. Ansley Wynes menyebutkan tugas-tugas dari eksekutif adalah
melaksanakan Undang-Undang, menyelenggarakan urusan pemerintahan

6
Sirajuddin, Fatkhurohman, Zulkarnain, Legislative Drafting: Pelembagaan Metode
Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Malang: Setara Press, 2015), h.
123
7
Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara, (Yogyakarta: Univ.
Atmajaya, 1998), h. 38
dan mempertahankan tata tertib dan keamanan baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Namun demikian, Jimly Asshiddiqie 8 mencatat bahwa dalam
hampir semua sistem yang ada sekarang pihak eksekutif telah menjadi
cabang kekuasaan yang lebih dominan pengaruh dan perannya sebagai
sumber inisiatif pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal pada
saat yang sama, eksekutif juga memegang kendali utama dalam rangka
pelaksanaan peraturan. Anggota parlemen dimana-mana biasanya hanya
memodifikasi rancangan peraturan yang berasal dari Pemerintah, jarang
mengajukan inisiatif sendiri.
Berbicara eksekutif, maka kita lazim mengenalnya dalam konteks
ketatanegaraan di Indonesia yakni Presiden. Menurut tata bahasa, kata
“Presiden” adalah derivative dari to preside (verbum) yang artinya
memimpin atau tampil di depan. Jika dicermati dari bahasa latin, yaitu prae
yang berarti depan dan sedere yang berarti menduduki.9 Presiden adalah
suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi, 10
perusahaan,11 perguruan tinggi,12 atau negara. Pada awalnya, istilah ini
digunakan untuk seseorang yang memimpin suatu acara atau rapat (ketua);
kemudian secara umum berkembang menjadi istilah untuk seseorang yang
memiliki kekuasaan eksekutif. Lebih spesifiknya, istilah “Presiden” terutama

8
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h. 44
9
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1999), h. 24
10
Semisal Shohibul Iman yang menjadi Presiden Partai Keadilan Sejahtera.
11
Sampai sekarang banyak perusahaan yang memberi nama jabatan tertingginya dengan
Presiden Direktur.
12
Pada awal kemerdekaan hampir semua pimpinan perguruan tinggi disebut dengan
Presiden.Namun sekarang sebutan tersebut diganti dengan Rektor.
digunakan untuk Kepala Negara bagi negara yang berbentuk republik, baik
dipilih secara langsung, ataupun tidak langsung.13
Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya di dunia, jabatan Presiden di
Eropa berasal dari negara Perancis yang dibentuk pada era Republik Kedua
Perancis (1848-1851). Ketika itu yang menjabat sebagai Presiden adalah
Louis-Napoleon Bonaparte. Namun, setahun kemudian diubah statusnya
menjadi Kaisar Napoleon III (1852) yang terus memerintah hingga Perancis
ditaklukkan oleh Jerman (1870). Jabatan Presiden baru kembali muncul pada
era Republik Ketiga Perancis (1875-1940).14
Namun, Presiden pertama yang diakui oleh masyarakat Internasional
adalah Presiden Amerika Serikat, sewaktu revolusi Amerika, yaitu George
Washington yang menjabat pada April 1789 sampai 3 Maret 1797. Di
Jerman, jabatan Presiden baru muncul setelah selesainya Perang Dunia I
(1918), yaitu dengan berlakunya konstitusi Weimar. Pada waktu Hitler
berkuasa (1934-1945), jabatan Presiden hilang.Jabatan Presiden kembali
muncul di Jerman setelah Perang Dunia II.15
Sementara di Asia, jabatan Presiden “ditularkan” oleh Amerika
Serikat ketika memberikan kemerdekaan yang terbatas kepada Filipina pada
1935. sedangkan di Afrika, Presiden Liberia yang hadir pada 1848 adalah
presiden pertama yang diakui dunia internasional.16 Menurut A. Hamid S.
Attamimi, kata “Presiden” di Indonesia adalah gelar bagi Kepala Negara.

13
“Presiden” www://www.presiden-wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa
Indonesia. Diakses tanggal 31 Agustus 2018 sekitar pukul 14.00 BBWI.
14
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden,… h. 25
15
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden,… h. 25
16
Denny Indrayana, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan “Presiden Sial‟ Atau
„Presiden Sialan’”, (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Memperkuat Sistem Pemerintahan
Presidensial, Jakarta, 13 Desember 2006), h. 4
Selain itu, Presiden juga sebagai Kepala Pemerintahan. 17 Posisi Presiden
sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan secara otomatis didapatkan
oleh seorang Presiden di negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensial seperti Amerika Serikat dan Indonesia.18
Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 sebelum perubahan
menempatkan seluruh elemen kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
pemerintahan berada dalam kendali Presiden. Pengaturan yang demikian
menjadikan kekuasaan Presiden eksekutif sangat kuat (executive heavy).
Namun, pasca amandemen UUD 1945 telah merubah struktur maupun
sistem ketatanegaraan RI yang lebih proporsional dengan menempatkan
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif setara. Secara konstitutif, Presiden
RI sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, namun secara
kewenangan, fungsi maupun kedudukan tidak sedominan dahulu ketika era
sebelum reformasi.
3. Penyidikan
Istilah “penyidikan” memiliki persamaan arti dengan “pengusutan”,
yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda “opsporing” atau yang
dalam bahasa Inggrisnya “investigation”. Istilah penyidikan pertama-tama
digunakan sebagai istilah yuridis dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

17
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Negara, (Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana UI, 1990), h. 139-140
18
Sistem Presidensial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; pertama Presiden adalah kepala
negara. Kedua, Presiden tidak dipilih oleh Parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular
elected). Ketiga, Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen,
kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment), dan keempat, Presiden tidak dapat membubarkan
parlemen. Denny Indrayana, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan “Presiden Sial‟ Atawa
„Presiden Sialan’”, (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Memperkuat Sistem Pemerintahan
Presidensial, Jakarta, 13 Desember 2006), h. 5
1961 tentang Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.19 Kini, dengan adanya
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah tercipta
persamaan persepsi diantara para Sarjana Hukum tentang pengertian
penyidikan.
Penyidikan dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHAP adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-
Undang ini untuk mencari, serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 Butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang


terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:
1. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung
tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling
berhubungan;
2. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
3. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
4. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan
menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa


sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi
tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang

19
Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Bina
Aksara, 1987), h. 5
melakukannya.Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari
penyelidikannya.20
Secara konkret penyidikan dapat didefinisikan secara rinci sebagai
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mendapatkan keterangan
tentang:21 1. Tindak pidana yang telah dilakukan; 2. Kapan tindak pidana
itu dilakukan; 3. Dimana tindak pidana itu dilakukan; 4. Dengan apa
tindak pidana itu dilakukan; 5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan; 6.
Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan 7. Siapa pembuatnya atau yang
melakukan tindak pidana itu.

4. Dewan Perwakilan Rakyat


Berbicara tentang Dewan Perwakilan Rakyat, maka tidak luput
dari tiga istilah yang melekat padanya, yakni perwakilan rakyat, parlemen,
dan legislatif. Diawali pada pemikiran J.J. Rousseau yang berkeinginan
untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung (direct democracy)
sebagaimana pelaksanaan yang berlaku pada zaman Yunani Kuno.Namun
pada kenyataannya sulit untuk dapat dipertahankan lagi. Faktor-faktor
seperti luasnya wilayah suatu negara, populasi penduduk yang sangat
cepat, makin sulit, dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan
kenegaraan adalah merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk
melaksanakan demokrasi langsung kala itu. Demokrasi langsung yang
diinginkan Rousseau hanya dapat dipertahankan dalam bentuk khusus dan
terbatas seperti referendum, plebisit, dan sebagainya. Dalam negara

20
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang:
Bayumedia Publishing, April 2005), h. 380-381
21
Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum,… h. 7
modern saat ini, rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikinya
melalui wakil-wakil yang dipilihnya secara berkala.22
Sebagai alternatif dari gagasan dan Rousseau ini lahirlah
demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui
lembaga perwakilan yang dikenal sebagai parlemen. Perwakilan
(representation) yang dikenal saat ini ialah perwakilan yang bersifat
politik (political representation),23 yaitu perwakilan rakyat melalui partai
politik yang memiliki kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan
bertindak atas nama orang yang memiliki partai tersebut.
Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi umum, akan tetapi
ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai dan perwakilan yang
berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata dengan mengabaikan
kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam
masyarakat. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan
ini dengan mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang
dianggap memerlukan perlindungan khusus, biasanya perwakilan ini
digunakan untuk perwakilan wilayah, golongan fungsional dan minoritas
atau apapun tujuan dan namanya disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi suatu negara untuk perwakilan ini. Dan biasanya perwakilan ini
dibentuk sebagai koreksi asas perwakilan politik.
Menurut Jellinek, timbulnya konstruksi perwakilan disebabkan
oleh tiga faktor yaitu sebagai berikut:
1. Pengaruh berkembangnya hukum perdata Romawi di abad menengah
yang menyebabkan timbulnya sistem perwakilan.

22
Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer Dan Demokrasi
Pancasila, (Jakarta: Gramedia Utama, 1994), h. 174
.
23
Makmur Amir, SH., MH., Reni Dwi Purnomowati, S.H., M.H., Lembaga Perwakilan
Rakyat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 10.
2. Adanya sifat dualistis pada abad menengah yaitu adanya hak raja dan
hak rakyat. Hal ini mengakibatkan timbulnya perwakilan untuk
mencerminkan hak rakyat.
3. Pada abad menengah, meskipun tuan-tuan tanah itu merupakan pusat
kekuasaan, sebenarnya pusat kekuasaan itu tidak ada. Masalahnya
kekuasaan pada masa itu merupakan hal yang diperebutkan antar para
tuan tanah.24
Menurut Maurice Duverger, parlemen semakin penting karena
mau tidak mau demi meluluskan secara permanen pemungutan pajak oleh
pemerintah sehingga Raja terpaksa memanggilnya bersidang, apabila
setiap kali ada urusan dalam masalah keuangan, karenanya maka cerdik
parlemen dapat memperluas pengaruh dan jangkauan kekuasaannya
sebagai badan legislatif, yakni dengan merebut kekuasaan keuangan untuk
dijadikan kebiasaan untuk mengajukan kepada raja petisi-petisi (bill)
sebelum ia meluluskan suatu bantuan/subsidi. Dengan demikian House of
Commons (Parlemen Inggris) telah memiliki alat pemaksa dan penekan
yang tepat terhadap raja.
Dalam pemerintahan modern saat ini, parlemen sebagai lembaga
perwakilan memiliki fungsi legislatif telah berkembang seiring dengan
perkembangan demokrasi. Dengan adanya pemisahan atau pembagian
fungsi pemerintah dalam fungsi yaitu fungsi legislatif, fungsi eksekutif,
dan fungsi yudikatif, maka parlemen lah yang biasanya diberikan fungsi
legislatif, walaupun Rancangan Undang-Undang biasanya lebih banyak
datang dari pihak eksekutif.
Legislatur, parlemen, atau lembaga perwakilan rakyat merupakan
bagian dalam suatu pemerintahan yang bertugas membuat suatu peraturan
hukum yang sejauh ini hukum diterima sebagai pernyataan pelaksanaan.

24
Padmo Wahjono, S.H., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, (Jakarta: Ind-Hill. Co,1996), h. 186
Di Indonesia parlemen bernama Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki
tiga fungsi pokok sebagaimana yang diamanatkan konstitusi UUD NRI
1945, yakni pengawasan, legislasi, dan anggaran.
Pengawasan yang bebas dan merdeka pada zaman modern
dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan fungsi legislasi.
Pergeseran fungsi parlemen demikian sejalan dengan pendapat Harold J.
Laski25 yang menyatakan: “the function of parliamentary is not to
legislate; it is native to expect that 615 man and woman can hope to
arrive at a coherent policy”. Menurut pendapatnya fungsi parlemen yang
penting adalah justru untuk menyalurkan keluhan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, dan membahas prinsip-prinsip yang perlu
dijadikan pegangan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas. Parlemen
tidak didirikan untuk mengatur, juga tidak untuk menyusun dan
merumuskan suatu kebijakan, tetapi untuk mengawasi pelaksanaan aturan
dan kebijakan itulah yang lebih penting.
5. Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan
pembuat Undang-Undang merumuskan suatu Undang-Undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-

25
Pendapat Laski dikutip dari Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi,… h. 54
peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana sehingga tindak
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan
jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat.26
Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang
Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi:27 a. Definisi
menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu
pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum
dan menyelamatkan kesejahteraan umum; b. Definisi menurut hukum
positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan
(feit) yang oleh peraturan perundangundangan dirumuskan sebagai
perbuatan yang dapat dihukum. Tindak pidana menurut Prof. Moeljatno
yaitu “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.28
Menurut E.Utrecht,29 pengertian tindak pidana dengan istilah
peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu
perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan
(natalennegatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena
perbuatan atau melalaikan itu). Tindak pidana merupakan suatu pengertian
dasar dalam hukum pidana, tindak pidana adalah pengertian yuridis, lain
26
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, h. 62
27
http://gsihaloho.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 30 Agustus 2018 pukul 17.35 BBWI,
h. 43

28
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html,
diakses tanggal 1 September 2018 pukul 16.25 BBWI.
29
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
1997, h. 193
halnya dengan istilah perbuatan atau kejahatan yang diartikan secara
yuridis atau secara kriminologis.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran
dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan
tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau
siksaan bagi yang bersangkutan. Pelanggaran sendiri mempunyai artian
sebagai suatu perbuatan pidana yang ringan dan ancaman hukumannya
berupa denda atau kurungan, sedangkan kejahatan adalah perbuatan
pidana yang berat. Ancaman hukumannya berupa hukuman denda,
hukuman penjara, hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan
hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta
pengumuman keputusan hakim.30 Perbuatan pidana dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu sebagai berikut:31
1. Perbuatan pidana (delik) formil, adalah suatu perbuatan pidana
yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar
ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang
bersangkutan. Contoh: Pencurian adalah perbuatan yang sesuai
dengan rumusan Pasal 362 KUHP, yaitu mengambil barang milik
orang lain dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan
melawan hukum.
2. Perbuatan pidana (delik) materiil, adalah suatu perbuatan pidana
yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh:
pembunuhan. Dalam kasus pembunuhan yang dianggap sebagai
delik adalah matinya seseorang yang merupakan akibat dari
perbuatan seseorang.

30
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika),
2004, h. 60
31
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia,… h. 63
3. Perbuatan pidana (delik) dolus, adalah suatu perbuatan pidana
yang dilakukan dengan sengaja. Contoh: pembunuhan berencana
(Pasal 338 KUHP) .
4. Perbuatan pidana (delik) culpa, adalah suatu perbuatan pidana
yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan luka atau
matinya seseorang. Contoh: Pasal 359 KUHP tentang kelalaian
atau kealpaan.
5. Delik aduan, adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan
pengaduan orang lain. Jadi, sebelum ada pengaduan belum
merupakan delik. Contoh: Pasal 284 mengenai perzinaan atau
Pasal 310 mengenai Penghinaan.
6. Delik politik, adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan
kepada keamanan negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Contoh: Pasal 107 mengenai pemberontakan akan
penggulingan pemerintahan yang sah.
B. Kerangka Teori
Secara terminologi, teori diartikan sebagai suatu skema gagasan yang
dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari kelompok fakta maupun
fenomena yang tersusun secara sistematis dan ilmiah untuk dapat memetakan
suatu pengetahuan mengenai sebuah objek kajian. Guna memudahkan pembaca
dalam menelaah atau mengkaji judul penelitian ini, maka peneliti mencoba
menyajikan beberapa kerangka teori yang relevan dengan judul penelitian yang
diangkat oleh peneliti, yakni antara lain:
1. Teori Kekuasaan
Alat atau sarana yang dipergunakan oleh pemerintah dalam
melaksanakan tugas administrasinya disebut dengan instrumen
pemerintahan.32 Instrumen pemerintahan merupakan bagian dari instrumen
penyelenggaraan negara secara umum (pemerintahan dalam arti luas). Pada
dasarnya, pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara di Indonesia paling
tidak dilakukan oleh tiga elemen organ lembaga negara, yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif.
Banyak teori yang mencoba menjelaskan darimana kekuasaan
berasal. Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah
bersumber dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan
yaitu dari sejak abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah
Agustinus, Aquinas dan Marsilius.
Sementara itu, menurut teori hukum alam bahwa kekuasaan itu
berasal dari rakyat. Pendapat seperti itu dimulai dari aliran monarkomaken
yang dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan kekuasaan itu
berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak
lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian
kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang yang
disebut raja untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan penyerahan tersebut, dalam teori hukum alam
ada perbedaan pendapat, menurut J.J. Rousseau yang mengatakan bahwa
kekuasaan tersebut ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian
kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Mekanisme penyerahan
kekuasaan tersebut dimulai dari penyerahan masing-masing orang kepada
masyarakat sebagai suatu kesatuan. Lalu melalui perjanjian antar
masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja, penyerahan

32
Negara merupakan suatu organisasi, dimana organisasi pemerintah termasuk di dalamnya
yang sangat besar dan sangat pelik susunannya menurut hukum publik (hukum tata negara), yang
terdiri dari berbagai lembaga hukum publik dan nama-nama lainnya yang dijumpai seperti badan,
instansi, jabatan, daerah dan lain sebagainya. Lembaga hukum publik yang besar di antaranya adalah
negara, lembaga negara, departemen/lembaga negara non departemen, provinsi, kabupaten/kota, lihat
Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha
Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 65
kekuasaan disini sifatnya bertingkat. Sedangkan menurut Thomas Hobbes,
penyerahan kekuasaan tersebut dilakukan langsung dari masing-masing
orang kemudian diserahkan secara langsung kepada raja melalui perjanjian
yang dilakukan bersama masyarakat.
Menurut Montesquieu (1688-1755), kekuasaan negara terdiri atas
3 cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat
Undang-Undang), cabang kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang), dan cabang kekuasaan yudikatif
(kekuasaan untuk mengadili pelanggaran Undang-Undang). Kekuasaan itu
meliputi fungsi, yaitu serangkaian kegiatan yang harus dilakukan dan organ
atau badan yang melaksanakan kegiatan tersebut. Dalam teorinya tersebut,
Montesquieu menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power), ketiga cabang kekuasaan itu tidak boleh bertumpu pada
satu tangan, tetapi harus dipisahkan satu dengan yang lainnya (separation
of power), dengan kata lain setiap fungsi kekuasaan harus dijalankan oleh
organ yang berbeda.33
Dalam teori klasiknya mengenai fungsi kekuasaan ini,
Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu
dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara yang mana satu
organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh
mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak
demikian, maka kebebasan akan terancam.
Konsepsi yang kemudian disebut dengan Trias Politica tersebut
tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi
mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara
eksekutif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.
Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang

33
Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 105
kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan
ketiganya setara dalam kedudukan dan saling mengontrol satu sama lain
sesuai dengan prinsip checks and balances.34
Masing-masing cabang kekuasaan tersebut dalam menjalankan
fungsinya pasti mengeluarkan suatu kebijakan (policy) dalam suatu bentuk
tatanan hukum. Kebijakan tersebut, tentunya sangat tergantung dari
perkembangan dan perubahan sosial yang menghendaki hadirnya suatu
tatanan hukum yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang dikehendaki
masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi cita hukum dapat mengakomodasi
semua aspirasi rakyat, maka dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan yang bersifat demokratis harus merepresentasikan peran hukum
sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Dengan demikian, cita
hukum yang berisi patokan nilai harus mewarnai setiap produk peraturan
perundang-undangan sehingga terwujud tatanan hukum yang demokratis.
2. Teori Negara Hukum
Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya,
bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada
pengaturan (hukum) yang baik disebut dengan istilah nomoi. Kemudian ide
tentang negara hukum populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi
politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme.35
Konsep negara hukum tersebut, selanjutnya berkembang dalam dua
sistem hukum, yaitu sistem European Continental dengan istilah
Rechtsstaat dan sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat. Konsep

34
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 9-11
35
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 10
negara hukum European ContinentalRechtsstaat dipelopori oleh Immanuel
Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl, konsep ini ditandai oleh
empat unsur pokok: 1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia; 2) negara didasarkan pada teori trias politica; 3) pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bertuur); dan 4)
ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh Pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad).36
Adapun konsep negara hukum Anglo-Saxon, Rule of Law dipelopori
oleh A.V. Dicey (Inggris). Menurut A.V. Dicey, konsep rule of law ini
menekankan pada tiga tolak ukur: 1) supremasi hukum (supremacy of law);
2) persamaan di hadapan hukum (equality before the law) ; 3) konstitusi
yang didasarkan atas hak-hak perseorangan (the constitution based on
individual rights). Berdasarkan pandangan para pakar tersebut, maka
negara hukum hakikatnya adalah negara yang menolak melepaskan
kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola kehidupannya berdasarkan
hukum yang adil dan demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya harus
tunduk pada aturan main.
Menyoal konsep negara hukum di Indonesia menurut pendapat
Gary F. Bell dalam bukunya “The New Indonesian Laws Relating to
Regional Autonomy Good Intentions, Confusing Laws” seperti dikutip
Denny Indrayana: sebagai terminologi negara hukum (a nation of law)
dalam konteks hukum Indonesia lebih mendekati konsep hukum negara
kontinental (rechtstaat) dibandingkan konsep rule of law di negara-negara

36
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 66
Anglo-Saxon.37 Berbeda dengan Bell, R.M. Ananda B. Kusuma melihat
bahwa Republik Indonesia menganut asas Rechtsstaat Continental dan asas
rule of law.
Indonesia secara formal sudah sejak tahun 1945 (UUD 1945 pra-
amandemen) mendeklarasikan diri sebagai negara hukum terbukti dalam
penjelasan UUD 1945 pernah tegas dinyatakan, “Indonesia adalah negara
yang berdasarkan hukum dan bukan negara yang berdasarkan “kekuasaan
belaka”. Konsep negara hukum Indonesia dipertegas UUD 1945 hasil
amandemen dalam Pasal 1 ayat (3) yang menetapkan: “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.”
Memerhatikan konsep negara hukum, Ismail Suny mencatat empat
syarat negara hukum secara formal yang menjadi kewajiban kita untuk
melaksanakannya dalam Republik Indonesia: 1) HAM; 2) Pembagian
kekuasaan; 3) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang; dan 4)
Peradilan administrasi.38 Berdasarkan uraian konsep tentang negara hukum
tersebut terdapat dua substansi mendasar, yaitu: 1) adanya paham
konstitusi dan 2) sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.
UUD 1945 pasca amandemen mempertegas deklarasi negara
hukum dari yang semula hanya ada dalam penjelasan, menjadi bagian dari
batang tubuh UUD 1945. Berkaitan dengan eksistensi prinsip negara
hukum tersebut, Pasal 1 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah negara hukum.

37
Denny Indrayana, Negara Hukum Pasca-Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi vs Korupsi,
Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No. 1, Juli 2004, h. 101
38
Ismail Suny, Kedudukan MPR, DPR, dan DPD Pasca-Amandemen UUD 1945, Makalah
dipresentasikan pada seminar tentang Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945
diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama
dengan FH-Unair dan Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM RI Prov. Jatim di Surabaya, tanggal
9-10 Juni 2004, h. 5-6
Dengan mempertegas prinsip negara hukum, maka prinsip
negara hukum Indonesia yang tertuang dalam Amandemen UUD 1945
meliputi: pertama, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia dan warga negara. Hal ini dapat kita lihat dengan
dimasukkannya ketentuan-ketentuan tentang HAM dalam bab tersendiri
(Bab XA Pasal 28A hingga Pasal 28J). Kedua, adanya kekuasaan
kehakiman yang merdeka (Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945). Ketiga, adanya
peradilan tata usaha/administrasi negara (Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945).
3. Teori Kewenangan
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu
hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan
wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan
kewenangan, dan kekuasaan sering dipahami dengan istilah
kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk
hubungan dalam arti, bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak
lain yang diperintah (the rule and the ruled).39
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat terjadi kekuasaan
yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan
dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote
match”40, sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh
Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni
wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai

39
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h.
35-36
40
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan,… h. 30
suatu kaidah-kaidah yang telah diakui dan serta dipatuhi oleh
masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.41
Dalam hukum publik, kewenangan berkaitan dengan
kekuasaan.42 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang
karena kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif
adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari
suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping
unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c)
keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan.43
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar
negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara
itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja
melayani warganya. Oleh karena itu, negara harus diberi kekuasaan.
Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo, ialah kemampuan seseorang
atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku
seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga
tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau
negara.44
Untuk dapat menjalankan kekuasaan maka dibutuhkan
instrumen di dalamnya, yakni penguasa atau organ sehingga negara itu
dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex)
41
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 52.
42
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa
tahun, h. 1.
43
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia,
1998), h. 37-38.
44
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,… h. 35.
dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung
hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstitusi subyek kewajiban.45
Dengan demikian, kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu
aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek
hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi,
juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya
melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber
dari konstitusi.
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang.
Istilah kewenangan digunakan dalam bentuk kata benda dan sering
disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda.
Menurut Philipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan
antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan
tersebut terletak pada karakter hukumnnya.Istilah “bevoegheid”
digunakan dalam konsep hukum publik, maupun dalam hukum
privat.Dalam konsep hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang
seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.46
Ateng Syafrudin, berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara
pengertian kewenangan dan wewenang.47 Kita harus membedakan
antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
yakni kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam

45
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan,… h. 39.
46
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah,… h. 20.
47
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22.
kewenangan, terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).
Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam
rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum.48 Dari berbagai pengertian kewenangan
sebagaimana tersebut di atas, peneliti berkesimpulan bahwa
kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal
yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu
spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang
diberikan kewenangan oleh Undang-Undang, maka ia berwenang untuk
melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ/institusi pemerintahan
dalam melakukan perbuatan riil/nyata, mengadakan pengaturan atau
mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang
diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat.
Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar
konstitusi (UUD 1945). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan
suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.
Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian
wewenang, akan tetapi yang diberi mandat yang bertindak atas nama
pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat

48
Indroharto, Asas-Asas Hukum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994),
h. 65.
menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi
mandat).
J.G. Brouwer berpendapat, bahwa atribusi merupakan
kewenangan yang diberikan kepada suatu organ/institusi pemerintahan
atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen.
Kewenangan ini adalah asli yang tidak diambil dari kewenangan yang
ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri
dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada
organ yang berkompeten.
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan
atribusi dari suatu organ/institusi pemerintahan kepada organ lainnya
sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat
menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat,
tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat
(mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris)
untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas
namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan
kewenangan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap
dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan
asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-
besaran, tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan
hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:49
a. Delegasi harus definitif, artinya penerima kewenangan tidak dapat
lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

49
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005).
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang
memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan
wewenang tersebut; dan
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegasi memberikan
intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
4. Teori Perwakilan
Perwakilan diartikan sebagai hubungan di antara dua pihak, yaitu
wakil dengan terwakil, dimana wakil memegang kewenangan untuk
melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang
dibuatnya dengan terwakil.50 Perwakilan dalam konteks teori modern
merupakan mekanisme hubungan antara penguasa dan rakyat. Maka
hubungan antara penguasa dan rakyat harus harmonis, serta harus memiliki
tanggung jawab penuh kepada seluruh masyarakat dalam menjalankan roda
pemerintahan, guna terciptanya keseimbangan dalam menjalankan roda
pemerintahannya.51
Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat kaitannya dengan prinsip
kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern, kekuasaan rakyat
tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga
perwakilan. Sebagai realisasi, sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga
hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah

50
A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi : Jejak Langkah Parlemen
Indonesia Periode 1999-2004, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h. 77.
51
Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 1.
perwakilan ini, pertama menyangkut pihak yang diwakili, kedua berkenaan
dengan pihak yang mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana
hubungan serta kedudukannya.52
Tata pemerintahan perwakilan demokratis meniscayakan hubungan
fungsional yang harus terjalin antara anggota DPR dengan Pemerintah
terpilih, yakni dewan menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat dengan
Pemerintah memenuhi kepentingan dan kebutuhan rakyat yang
terpantulkan dari aspirasi dan kepentingan yang disuarakan perwakilan
politik, kemudian Pemerintah terpilih mengakomodasi hasil pengawasan
dan koreksi dewan untuk menyempurnakan kebijakan pemenuhan
kebutuhan masyarakat.53
Secara singkat dalam teori perwakilan ini, rakyat bertindak selaku
pihak terwakil memberikan aspirasi, serta kepercayaan mereka akan
kebutuhan dalam hidup bernegara dan berbangsa kepada para anggota
dewan melalui lembaga perwakilan rakyat sebagai wakil yang dipilih oleh
rakyat secara demokratis. Perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak
didasarkan atas kepentingan masyarakat secara menyeluruh bukan untuk
kepentingan sepihak, baik untuk si terwakil maupun si wakil. Melalui teori
ini, diharapkan terjadi keseimbangan dan keselarasan antara rakyat dan
lembaga perwakilan dalam menjalankan roda pemerintahan.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul, maka peneliti ajukan dalam bentuk skripsi
ini kemudian perlu kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang
menjadi bahan pertimbangan, antara lain:

52
Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, (Medan: Syah Kuala University Press, 2008),
h. 41.
53
Sebastian Salang, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta:
Forum Sahabat, 2009), h. 195.
1. Skripsi Muhammad Iqbal Hidayatullah, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 yang
berjudul “Problematika Pemberian Izin Penyidikan Oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan Terhadap Anggota DPR Yang Diduga Melakukan
Tindak Pidana”, menyimpulkan bahwa Kewenangan Mahkamah
Kehormatan Dewan yang termaktub pada Pasal 245 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus
mendapat izin/persetujuan tertulis dari MKD yang tidak sesuai dengan
asas independensi peradilan. Karena MKD merupakan lembaga etik
DPR dan memiliki kedudukan yang sama dengan anggota DPR lainnya
yang fungsinya bukan sebagai lembaga peradilan. Adapun perbedaan
penelitian peneliti dengan tinjauan (review) kajian terdahulu pada
skripsi Muhammad Iqbal Hidayatullah, yaitu terletak pada objek
penelitian peneliti yang berbeda secara substantif, karena batu uji atau
analisa yuridis normatif penulis yang mengacu pada UU MD3 terbaru
yang telah direvisi dan diundangkan kembali dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta
analisa terhadap ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018 mengenai izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau menurut aspek
kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum dan mengulas
sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
2. Buku berjudul “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia” yang
ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie. Dalam buku ini membahas sejarah
awal konstitusi di Indonesia mengenai demokrasi dan nomokrasi,
prinsip kekuasaan dan bagaimana penerapan ideal sebuah konstitusi,
buku ini lebih komprehensif dalam memahami konstitusi dan
konstitusionalisme.
3. Jurnal hukum berjudul, “Kewenangan Penyidik Dalam Memanggil
dan Memeriksa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Diduga
Melakukan Tindak Pidana”, ditulis oleh Tri Sarmedi Saragih dari
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dalam jurnal ini membahas
mengenai Pasal 245 UU MD3 terdahulu, yakni Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Adapun
substansi yang dibahas dalam jurnal ini yaitu mengenai urgensitas
Presiden dalam mekanisme pemeriksaan Anggota DPR RI yang
bersinggungan dengan asas Equality Before The Law, dan dianggap
menghambat proses Penyidik dalam mempercepat proses penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Lain hal
penelitian ini dari jurnal tersebut, peneliti mengangkat tema mengenai
Pasal 245 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 mengenai
pemanggilan dan permintaan keterangan oleh penyidik kepada anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang harus melalui
persetujuan tertulis Presiden. Adapun perbedaan penelitian peneliti
dengan tinjauan (review) terdahulu pada jurnal hukum yang ditulis oleh
Tri Sarmedi Saragih yaitu pada fokus objek penelitian peneliti yang
membahas izin/persetujuan tertulis Presiden dalam tahap penyidikan
anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana menurut objek
batu uji konstitusional yang terkini yakni Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang ditinjau
menurut sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Ta
42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR
BAB III
PRESIDEN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN RI

A. Sistem Pemerintahan
1. Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata, yakni
sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata
“system” (Bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara.
Sedangkan pemerintahan berasal dari kata “pemerintah”, dan yang berasal
dari kata “perintah”.1
Menurut Titik Triwulan Tutik, sistem adalah suatu keseluruhan yang
terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik
antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya
sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-
bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan
mempengaruhi keseluruhannya itu.2
Adapun pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang
dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan
kepentingan negara sendiri. Karena itu apabila berbicara tentang sistem
pemerintahan pada dasarnya adalah membicarakan bagaimana pembagian
kekuasaan, serta hubungan antara lembaga-lembaga negara menjalankan
kekuasaan negara itu dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah

1
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2011), h.
38
2
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Kencana, 2010).

50
51

yang dilakukan oleh badan eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai
tujuan Negara.3
Sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja
antara lembaga-lembaga negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sistem pemerintahan berkaitan dengan mekanisme yang dilakukan
pemerintah dalam menjalankan tugasnya.4 Sistem Pemerintahan, menurut
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dapat dibagi menurut pembagian
kekuasaannya ke dalam garis yang bersifat horizontal dan vertikal. Secara
horizontal, bagan organisasi itu dapat dibagi ke dalam fungsi-fungsi yang
didasarkan atas perbedaan sifat pekerjaan atau tugasnya sehingga
menjadikan bentuk organisasi yang berbeda-beda. Sedangkan, pembagian
organisasi secara vertikal melahirkan garis hubungan antara pusat dan daerah
ataupun negara bagian yang menggunakan asas desentralisasi dan
dekonsentrasi.5 Menurut Mahfud MD, sistem pemerintahan dapat dipahami
sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antar lembaga negara.6
Jimly Asshiddiqie memberikan batasan rincian tentang sistem
pemerintahan dengan menyatakan istilah sistem pemerintahan biasanya
dibicarakan dalam hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi
negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi-fungsi badan
eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif.7 Secara lebih tegas,

3
Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), h. 57
4
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif
Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 120
5
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1978), h. 171
6
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,
2000).
7
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 59
Asshiddiqie menyebutkan bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan
pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh
eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.8
2. Bentuk dan Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan
Menurut Jimly Asshiddiqie, pada umumnya dalam berbagai
konstitusi berbagai negara dirumuskan mengenai bentuk dan struktur badan
eksekutif dan hubungannya dengan legislatif, khususnya yang bersifat
nasional. Perumusan mengenai sistem pemerintahan pada tingkat nasional
itu biasanya dilakukan berdasarkan salah satu dari dua model utama
ditambah satu model campuran, yakni (1) Sistem Kabinet (Parlementer);
Sistem Presidensial; dan (2) Sistem Campuran atau disebut “Kuasi
Parlementer” atau “Kuasi Presidensial”.9 Menurut Mahfud MD, sistem
pemerintahan terbagi menjadi tiga, yaitu Parlementer, Presidensial dan
Referendum.10
a. Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem Parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling
luas diterapkan diseluruh dunia. Sistem ini, pertama kali dijalankan di
Kerajaan Inggris sebagai suatu pengganti sistem pemerintahan kerajaan
yang absolut.11 Sistem pemerintahan parlementer terbentuk karena
pergeseran sejarah hegemoni kerajaan. Pergeseran tersebut seringkali
dijelaskan kedalam tiga fase peralihan, meskipun perubahan dari fase ke

8
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:
Buana Ilmu, 2007), h. 311
9
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 59
10
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan,… h. 74
11
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap
Pidato Nawaksara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 21
fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pertama, pada mulanya
pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas
seluruh sistem politik atau sistem ketatanegaraan. Kedua, Kemudian
muncul sebuah majelis dengan anggota yang menentang hegemoni Raja.
Ketiga, majelis mengambil ahli tanggung jawab atas pemerintahan yang
bertindak sebagai parlemen, maka Raja kehilangan sebagian besar
kekuasaan tradisionalnya.12
Menurut Djokosoetono, sistem parlementer merupakan
sistem yang ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung
jawab kepada parlemen) ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih
kepada parlemen).13 Sistem parlementer memang didasarkan landasan
bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi, A.V. Dicey
menyebutnya parliamentary sovereignity.14
Miriam Budiardjo menyatakan bahwa dalam sistem
pemerintahan parlementer badan eksekutif dan badan legislatif
bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif
yang “bertanggung jawab” diharap mencerminkan kekuatan-kekuatan
politik dalam badan legislatif yang mendukungnya dan mati-hidupnya
kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan legislatif (asas-asas
tanggung jawab menteri).15 Dalam praktiknya, Miriam Budiardjo
menambahkan, sifat serta bobot “ketergantungan” tersebut berbeda dari
satu negara dengan negara lain, akan tetapi pada umumnya dicoba untuk
12
Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1995), h. 36
13
R. M. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 1 Nomor 1, Juli 2004, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h. 156
14
A.V. Dicey, Intoduction to Study of The Law of The Constitution, (Indianapolis: Liberty
Fund, 1982), h. 3-4
15
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,… h. 210
mencapai semacam keseimbangan antara badan eksekutif dan badan
legislatif.
Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 6 ciri umum yang dapat
dikembangkan dalam sistem parlementer, antara lain:16
1. Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlemen;
2. Kabinet dibentuk sebagai suatu kesatuan dengan tanggung jawab
kolektif di bawah Perdana Menteri;
3. Kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan
parlemen sebelum periode kerjanya berakhir;
4. Setiap anggota kabinet adalah anggota parlemen terpilih;
5. Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh
rakyat, melainkan hanya dipilih menjadi salah seorang anggota
parlemen;
6. Adanya pemisahan yang tegas antara Kepala Negara dengan Kepala
Pemerintahan.
Adapun penjelasan mengenai ciri-ciri sistem pemerintahan
parlementer yang disebutkan oleh Jimly Asshidiqie adalah sebagai
berikut:
a. Kabinet Dibentuk dan Bertanggung Jawab Kepada Parlemen
Ciri pertama dalam setiap sistem kabinet adalah bahwa
kabinet atau dewan menteri dibentuk oleh lembaga legislatif dan
secara politik bertanggung jawab kepada lembaga legislatif yang
membentuknya itu. Sistem pertanggung jawaban ini diterapkan,
baik dalam sistem liberal maupun dalam sistem sosialis. Bahkan,
bentuk pertanggungjawaban ini nyata dalam sistem sosialis-
komunis yang diterapkan di Bulgaria. Misalnya, ditentukan bahwa

16
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 67
Dewan Menteri sebagai dewan eksekutif dan administratif tertinggi
(kabinet) bertanggung jawab untuk semua kegiatannya kepada
Majelis Nasional dan diharuskan membuat laporan tahunan kepada
Majelis Nasional tersebut. Dalam sistem pertanggung jawaban ini,
tidak ditentukan berapa lama masa atau periode jabatan kabinet
bekerja. Pun tidak ada pembatasan mengenai berapa kali seseorang
diperbolehkan menjabat sebagai Kepala Pemerintahan. Yang
terpenting adalah bahwa kepala pemerintahan diharuskan
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada badan yang mewakili
rakyat.
b. Kabinet Dibentuk dengan Tanggung Jawab Kolektif di Bawah
Perdana Menteri
Ciri kedua dari sistem kabinet adalah adanya unsur
tanggung jawab kolektif di bawah Perdana Menteri (Kepala
Kabinet). Begitu susunan kabinet diumumkan oleh Perdana
Menteri, maka sejak saat itu kabinet dengan dipimpin oleh Perdana
Menteri sebagai kepala kabinet merupakan satu kesatuan kolektif.
Mereka naik dan turun, diangkat dan diberhentikan sebagai satu
kesatuan.
Hal ini berbeda dengan sistem presidensial dimana kabinet
pada dasarnya merupakan sekelompok penasehat atau pembantu
Presiden, dan karena itu diangkat secara sendiri-sendiri oleh
Presiden. Memang dapat saja terjadi bahwa seorang Menteri dipecat
oleh Perdana Menteri karena melakukan tindak pidana korupsi.
Akan tetapi, dihadapan parlemen, kabinet itu harus tampil sebagai
satu kesatuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang menduduki
jabatan tertinggi dalam pemerintahan sebagai akibat dari
kepemimpinannya dalam partai yang memerintah ataupun karena
hasil koalisi antar partai yang berkuasa.17
c. Kabinet Mempunyai Hak Konstitusional untuk Membubarkan
Parlemen Sebelum Kerjanya Berakhir
Dalam sistem parlementer, pemerintah berwenang pula
membubarkan parlemen jika dianggap tidak sejalan dengan
kepentingan pemerintah yang berkuasa. Pembubaran parlemen itu
dapat dilakukan meskipun masa jabatan parlemen hasil pemilihan
umum tersebut belum berakhir secara resmi. Dalam sistem
demikian ini, masa jabatan parlemen itu sendiri menjadi kurang
relevan, mengingat sewaktu-waktu ia dapat saja dibubarkan. Inilah
yang menyebabkan naik turunnya suatu pemerintahan mewarnai
instabilitas pemerintahan yang pada umumnya terjadi dalam sistem
parlementer. Pengalaman seperti itu dapat dengan mudah
ditemukan di Negara-negara yang menganut sistem ini, seperti di
Thailand, di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal, ataupun di
negara-negara maju, seperti Perancis, Jepang, dan sebagainya.
Karena itu, di banyak negara sering dibuat aturan yang
membatasi frekuensi pembubaran tersebut dan mengatur jadwal
waktu pembubaran itu agar tidak terlalu sering dilakukan. Misalnya,
pembubaran parlemen dibatasi tidak boleh lebih dari dua kali dalam
setahun, dan tidak boleh dilakukan dalam bulan-bulan pertama
pembentukan parlemen tersebut ataupun tidak boleh dilakukan pada
bulan-bulan terakhir sebelum masa jabatan anggota parlemen
berakhir.
d. Setiap Anggota Kabinet adalah Anggota Parlemen yang Terpilih

17
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 71
Sejalan dengan ketiga ciri di atas, maka setiap anggota
kabinet haruslah direkrut dari anggota parlemen yang terpilih.
Seperti yang dilakukan di Inggris dan beberapa negara lain,
termasuk dalam sistem komunisme, pertama-tama dipilih anggota
parlemen. Partai yang berhasil memenangkan mayoritas suara, maka
diberi wewenang untuk membentuk kabinet dengan cara merekrut
beberapa anggota partainya yang terpilih atau merekrut anggota
partai lain yang berkoalisi untuk menduduki jabatan eksekutif dalam
kabinet.
Dalam Konstitusi Jepang juga dinyatakan, bahwa Perdana
Menteri dan mayoritas anggota kabinet haruslah dipilih dari antara
Diet (Parlemen Jepang). Bahkan, dalam Konstitusi India 1949 dan
Konstitusi Australia 1960, secara tegas dicantumkan pula secara
mutlak dukungan rakyat bagi anggota parlemen yang diangkat
menjadi anggota kabinet tersebut.18
e. Perdana Menteri Tidak Dipilih Menjadi Kepala Pemerintahan,
Melainkan Menjadi Salah Seorang Anggota Parlemen
Sehubungan dengan ciri keempat diatas, maka selalu terjadi
bahwa seseorang menduduki jabatan Kepala Pemerintahan (Perdana
Menteri) bukanlah karena ia dipilih secara langsung, melainkan
karena ia berhasil terpilih menjadi anggota parlemen dimana partai
yang dipimpinnya kebetulan memenangkan mayoritas suara di
parlemen tersebut.
f. Adanya Pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Ciri penting keenam dari sistem kabinet ini adalah
pemisahan yang tegas antara Kepala Negara dan Kepala

18
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 73-74
Pemerintahan. Di Negara yang berbetuk kerajaan, Kepala Negara itu
biasa disebut Raja seperti di Thailand, Ratu seperti di Inggris,
ataupun Sultan seperti di Malaysia. Di Negara yang berbentuk
Republik, Kepala Negara itu biasanya disebut Presiden ataupun
Ketua seperti di Cina. Sebagai Kepala Negara, Presiden, Raja,
Sultan, atau Ketua itu memiliki kedudukan simbolik sebagai
pemimpin yang mewakili segenap bangsa dan Negara. Hal ini
berbeda dengan jabatan Perdana Menteri yang memegang
kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan dengan kekuasaan politik
yang besar dengan perangkat kelembagaan yang mendukungnya
untuk menjalankan roda pemerintahan itu.19
Terlepas dari hal tersebut, sistem parlementer mempunyai
kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah:
a) Dalam sistem parlementer apabila ada ancaman kemandegan
hubungan antara eksekutif dan legislatif selalu menemukan
jalan keluar karena parlemen dapat membuat mosi terhadap
eksekutif.
b) Sistem parlementer dipandang lebih fleksibel karena tidak
ada pembatasan masa jabatan yang pasti. Sepanjang
parlemen masih memberikan dukungan terhadap eksekutif,
maka eksekutif dapat terus bekerja, namun sebaliknya
apabila parlemen tidak memberikan dukungannya, maka
kabinet akan jatuh. Sistem ini memberikan fleksibilitas
untuk mengubah atau mengganti pemerintahan dengan cepat
ketika keadaan atau kegagalan eksekutif yang menuntut
kepemimpinan baru.

19
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 76
c) Sistem parlementer lebik demokratis karena kabinet yang
dibentuk adalah koalisi dari berbagai partai yang ada di
parlemen.
Sistem Parlementer disamping mempunyai kelebihan juga mempunyai
kelemahan. Kelemahannya adalah:
1) Dalam sistem pemerintahan parlementer identik dengan
instabilitas eksekutif. Karena adanya ketergantungan kabinet
pada mosi tidak percaya legislatif.
2) Pemilihan kepala eksekutif tidak dilakukan secara langsung
oleh rakyat, tetapi oleh partai politik, serta tidak adanya
pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan
eksekutif. Hal ini dapat membahayakan kebebasan individu.
b. Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem Pemerintahan Presidensial merupakan sistem yang
memisahkan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif
sehingga sistem ini dikenal pula dengan nama sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power).20 Para ahli merumuskan lebih jauh
ciri-ciri yang terdapat dalam sistem pemerintahan presidensial.
Menurut Mahfud MD ciri-ciri dari sistem presidensial yaitu: 1).
Kepala negara menjadi kepala pemerintahan; 2). Pemerintah tidak
bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR); 3). Menteri-menteri
diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden; dan 4). Eksekutif
dan legislatif sama-sama kuat.
Tidak jauh berbeda dengan Mahfud MD, Ramlan Surbakti
mengemukakan ciri-ciri sistem presidensial antara lain: Pertama,
kepemimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih
jelas pada sistem presidensial, yakni di tangan presiden, daripada

20
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap
Pidato Nawaksara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 21
dalam kabinet parlementer, tetapi siapa yang bertanggungjawab dalam
pembuatan kebijakan lebih jelas pada kabinet parlementer
dibandingkan dengan kabinet presidensial. Kedua, kebijakan yang
bersifat komprehensif jarang dapat dibuat karena legislatif dan
eksekutif mempunyai kedudukan yang terpisah (seseorang tidak dapat
mempunyai fungsi ganda), ikatan partai yang longgar dan
kemungkinan kedua badan ini didominasikan oleh partai yang
berbeda.Ketiga, jabatan kepala pemerintahan dan kepala negara berada
pada satu tangan. Keempat, legislatif bukan tempat kaderisasi bagi
jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari berbagai sumber
termasuk legislatif.21
Menurut Jimly Asshiddiqie, ciri-ciri utama yang disebutkan
dalam sistem parlementer, tidak terdapat dalam sistem presidensial. Jika
ditelusuri lebih jauh, perbedaan utama di antara kedua sistem kabinet
dan sistem presidensial ini pada pokoknya menyangkut empat hal,
yaitu:22
1. Terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik (fusion of
ceremonial and politics power);
2. Terpisah tidaknya personalia legislatif dan eksekutif (separation
of legislative and executive personnels);
3. Tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem
pertanggungjawabannya (lack of collective responsibility); dan
4. Pasti tidaknya masa jabatan Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan (fixed term of office).

21
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 219
22
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 81-82
Adapun penjelasan mengenai ciri-ciri sistem pemerintahan
presidensial yang disebutkan oleh Jimly Asshidiqie adalah sebagai berikut:
1). Kekuasaan Seremonial, Politik, dan Administratif
Dalam sistem presidensial, fungsi-fungsi seremonial
terkombinasikan dalam kekuasaan politik dan administratif serta
tanggung jawab Presiden yang bersifat menyeluruh. Karena itu,
Presiden mempunyai fungsi ganda, sebagai Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Bagi penganut dan penganjur sistem
parlementer, penggabungan itu dianggap terlalu memusatkan
kekuasaan pada satu tangan. Semua kekuasaan dan fungsi-fungsi
simbolis disatukan sehingga memberikan kepada presiden suatu
kharisma kelembagaan yang luar biasa pengaruh dan
kewibawaannya. Penghormatan rakyat banyak terhadap
pemimpinnya yang merupakan simbol kekuasaan dan simbol dari
seluruh bangsa tidak dapat lagi dipisahkan dari perasaan kesal,
marah, ataupun antipati yang kadang-kadang timbul dikalangan
rakyat terhadap kepala eksekutif pemerintahan.
Dengan perkataan lain, rakyat tidak mungkin “mencintai raja
dan membenci perdana menteri”. Keduanya menjadi satu dalam diri
presiden. Padahal, peranan yang harus dilakukan oleh Presiden
dalam melakukan fungsi seremonial dan tanggung jawab politik dan
administratif itu cukup banyak menyita waktu dan energi. Karena
itu, para penganjur sistem parlementer berpendapat, bahwa sistem
presidensial ini kurang memenuhi harapan. Sebaliknya, dalam
sistem parlementer, kedua fungsi di atas terpisah dan demikian pula
personalianya.

2). Personalia yang Melakukan Tugas Legislatif dan Eksekutif


Dalam sistem presidensial, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh rakyat secara langsung ataupun melalui lembaga
legislatif untuk masa jabatan tertentu. Karena itu, secara langsung
ataupun tidak langsung mereka bertanggung jawab kepada rakyat.
Dalam sistem ini, lembaga legislatif dan eksekutif dipimpin oleh
personalia yang berbeda.Keanggotaan dalam kabinet juga tidak
dapat dirangkap oleh anggota parlemen.
Karena terpisahnya personalia kedua lembaga ini, maka
suara mayoritas Partai A menguasai dan memimpin lembaga
parlemen, sedangkan jabatan Presiden dipegang langsung oleh
suara mayoritas dari Partai B. Lalu, karena masa jabatan pimpinan
eksekutif dan legislatif kadang-kadang bersamaan, maka dalam
sistem ini dapat saja terjadi deadlock dalam persidangan dan
pelaksanaan tugas-tugas ketatanegaraan sehingga menimbulkan
ketegangan dalam hubungan antara parlemen dan pihak eksekutif
itu. Hal ini berbeda dengan sistem kabinet dimana mayoritas suara
di parlemen dengan sendirinya akan tercermin dalam personalia
kepemimpinan eksekutif. Karena pemimpin mayoritas suara di
parlemen itu akan menjadi Perdana Menteri yang memimpin
kabinet.
Namun meskipun perangkapan personil itu tidak
dimungkinkan, tetapi dalam hal pembagian fungsinya dalam
kekuasaan legislatif dan eksekutif, sistem parlementer dapat
dikatakan lebih tegas pengaturannya dibandingkan sistem
presidensil. Dalam sistem presidensil, personilnya terpisah, tetapi
fungsi legislatif dan eksekutif seringkali terbagikan secara jumbuh.
Pada prinsipnya Presiden melakukan fungsi eksekutif, tetapi juga
dilengkapi dengan hak-hak konstitusional yang bersifat legislatif
seperti mengajukan Rancangan Undang-Undang.
3). Sifat Pertanggungjawaban Kabinet
Dalam sistem presidensial, kabinet tidak memiliki tanggung
jawab kolektif seperti dalam sistem parlementer. Tiap-tiap menteri
anggota kabinet presidensial itu secara sendiri-sendiri bertanggung
jawab kepada Presiden yang mengangkatnya.23
4). Masa Jabatan yang Pasti
Dalam sistem presidensil, masa jabatan Kepala
Pemerintahan secara konstitusional selalu ditentukan dengan tegas.
Biasanya lama masa jabatan itu bervariasi dari 4 sampai dengan 7
tahun. Beberapa konstitusi malah menentukan dengan tegas berapa
kali masa jabatan itu dapat dipegang oleh orang yang sama.
Namun, meskipun masa jabatannya tertentu, Presiden dalam
sistem ini tetap dapat saja dijatuhkan dari kedudukannya selama
masa jabatan. Secara konstitusional, presiden dapat dijatuhkan
apabila ia melakukan tindakan kriminal ataupun kesalahan prinsipil
dalam melaksanakan tugasnya menurut Undang-Undang Dasar.
Di samping itu, konstitusi berbagai negara biasanya juga
mengatur penggantian Presiden karena yang bersangkutan
mengundurkan diri (meletakan jabatan) secara sukarela, karena
meninggal dunia ataupun karena tidak mampu lagi melaksanakan
tugasnya. Dalam hal ini, biasanya ditentukan bahwa kedudukannya
itu:
a). Digantikan oleh Wakil Presiden yang ditetapkan menjadi Presiden;

23
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 84-85
b). Diadakan pemilihan umum baru ataupun pemilihan khusus untuk
menentukan pejabat pengganti Presiden itu;
c). Ditunjuk seorang pejabat Presiden (ad interim) sampai masa
jabatan Presiden tersebut berakhir;
d). Dalam hal Wakil Presiden juga berhalangan tetap ataupun
memang tidak ada Wakil Presiden, maka di berbagai negara
ditentukan pula bahwa sampai masa jabatan Presiden
berakhirataupun sampai terpilih Presiden yang baru, tugas-tugas
Kepresidenan tersebut dipegang sementara oleh suatu tim yang
terdiri atas menteri-menteri tertentu, misalnya di Indonesia
Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pertahanan dan Keamanan, ataupun di Irlandia oleh suatu komisi
(collegial Vice President) yang terdiri dari Ketua Mahkamah
Agung, Ketua Dail Eireann, dan Ketua Seanad Eireann.24
Secara umum sistem presidensial mempunyai tiga
kelebihan dan tiga kekurangan. Kelebihannya adalah:
a). Stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden.
b). Pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih
demokratis dari pada pemilihan tidak langsung.
c). Pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi
(perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah).
Sistem presidensial disamping mempunyai kelebihan juga
mempunyai kelemahan. Kelemahannya adalah:
a). Kemandegan atau konflik eksekutif-legislatif bisa berubah menjadi
jalan buntu, adalah akibat dari konsistensi dari dua badan

24
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 85-87
independen yang diciptakan oleh pemerintahan presidensial yang
mungkin bertentangan.
b). Masa jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode
yang dibatasi secara kaku dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak
memberikan kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian
yang dikehendaki oleh keadaan.
c). Sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang menguasai semua”
yang cenderung membuat politik demokrasi sebagai sebuah
permainan dengan semua potensi konfliknya.
c. Sistem Pemerintahan Campuran (Kuasi)
Dalam sistem pemerintahan campuran berupaya mencarikan
titik temu antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem
pemerintahan parlementer. Fungsi ganda Presiden sebagaimana dalam
sistem pemerintahan presidensial tetap dipertahankan. Namun sebagai
Kepala Pemerintahan, Presiden berbagi kekuasaan dengan Perdana
Menteri yang menimbulkan dual executive system.25
Menurut Jimly, dalam sistem semi presidensial, fungsi Kepala
Negara yang dipegang oleh Presiden, tetapi fungsi Kepala
Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri yang bertanggung jawab
kepada parlemen.26 Menurut Maurice Duverger, sebuah rezim politik
dianggap sebagai quasi presidensial, jika UUD yang menetapkannya
menyatakan tiga unsur antara lain, yaitu:
1). Presiden Republik dipilih melalui hak pilih universal/umum;
2). Presiden memiliki kekuasaan yang cukup besar;
3). Presiden memiliki lawan politik, namun seorang Perdana Menteri
25
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam
Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 48
26
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 64
atau para menteri yang memegang kekuasaan eksekutif dan
pemerintahan dapat tetap memegang jabatan seandainya parlemen
tidak menunjukan oposisi kepada mereka.
Robert Elgie, seorang yang cukup banyak menulis soal
semi presidensialisme, mengamati berbagai definisi yang diajukan
oleh para ahli terdahulu, menganjurkan sebuah pengertian dengan
mengecualikan soal kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden atau
Perdana menteri, seperti yang dilakukan oleh para ahli
sebelumnya. Elgie berpendapat, semi presidensial dapat dilihat
dari cara memilih dua pemimpin eksekutif di negara tersebut.
Menurut Elgie, semi presidensial dapat di definisikan sebagai
berikut:27
“Semi-presidentialisme is where a popularly elected fixed-term
president exists alongside a prime minister and cabinet who are
responsible to the legislature”
d. Sistem Pemerintahan Referendum
Sistem referendum merupakan bentuk variasi dari sistem quasi
(quasi presidensial) dan sistem presidensial murni. Tugas pembuat
Undang-Undang berada di bawah pengawasan rakyat yang
mempunyai hak pilih. Pengawasan itu dilakukan dalam bentuk
referendum. Dalam sistem ini pertentangan antara eksekutif
(bundersrat) dan legislatif (keputusan dari pada rakyat) jarang terjadi.
Anggota-anggota dari eksekutif ini dipilih oleh bundersversammlung
untuk tiga tahun lamanya dan bisa dipilih kembali.
Berkenaan dengan pengawasan rakyat dalam bentuk
referendum, maka dikenal dua sistem referendum yaitu:

27
Robert Elgie and Sophia Moestrup, Semi-Presidentialism Outside Europe: A Comparative
Study (New York: Routledge, 2007), h. 2
1). Referendum Obligator, yaitu jika persetujuan dari rakyat mutlak
harus diberikan dalam pembuatan suatu peraturan undang-undang
yang mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat penting. Contoh,
persetujuan yang diberikan oleh rakyat terhadap pembuatan
Undang-Undang Dasar.
2).Referendum Fakultatif, yaitu jika persetujuan dari rakyat dilakukan
terhadap undang-undang biasa, karena kurang pentingnya, setelah
undang-undang itu diumumkan dalam jangka waktu yang
ditentukan.
Keuntungan dari sistem pemerintahan referendum adalah
bahwa setiap masalah negara, rakyat langsung ikut serta
menanggulanginya dan kedudukan pemerintah stabil yang membawa
akibat pemerintahan akan memperoleh pengalaman yang baik dalam
menyelenggarakan kepentingan rakyatnya.
Adapun kelemahannya, tidak setiap masalah rakyat mampu
menyelesaikannya karena untuk mengatasinya perlu pengetahuan yang
cukup bagi rakyat dan sistem ini tidak dapat dilaksanakan jika banyak
terdapat perbedaan pemahaman antara rakyat dan eksekutif yang
menyangkut kebijaksanaan politik. Contoh sistem pemerintahan
referendum adalah Swiss. Adapun ciri-ciri dari sistem referendum
sebagai berikut:
1) Tugas pembuat undang-undang (legislatif) berada dibawah
pengawasan rakyat yang mempunyai hak pilih.
2) Legislatif adalah representasi dari rakyat.
3) Eksekutif dipilih oleh legislatif untuk waktu tiga tahun lamanya
dan dapat dipilih kembali.
4) Kestabilan dari sistem ini dipengaruhi oleh adanya kesepahaman
antara eksekutif selaku pemegang kebijakan politik dengan
rakyat.
e. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Menurut Jimly Asshidiqie, dapat dikemukakan adanya
sembilan prinsip pokok yang mendasari penyusunan sistem
penyelenggaraan Negara Indonesia dalam rumusan Undang-Undang di
masa depan. Kesembilan prinsip pokok itu dapat ditemukan jikalau
kita menelaah secara mendalam berbagai pergumulan pemikiran yang
berkembang di kalangan para ahli, dan di kalangan para perumus dan
perancang naskah Undang-Undang Dasar maupun naskah Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 sejak tahun 1945 sampai sekarang.
Kesepuluh prinsip itu adalah: (i) Ketuhanan Yang Maha Esa, (ii) Cita
Negara Hukum atau Nomokrasi, (iii) Paham Kedaulatan Rakyat atau
Demokrasi, (iv) Demokrasi Langsung dan Demokrasi perwakilan, (v)
Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip „Checks and Balances’, (vi) Sistem
Pemerintahan Presidensiil, (vii) Prinsip Persatuan dan Keragaman
dalam Negara Kesatuan, (viii) Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi
Pasar Sosial, dan (ix) Cita Masyarakat Madani.28
Berdasarkan uraian Jimly Asshiddiqie tersebut, maka baik
dalam Undang-Undang Dasar sebelum Perubahan maupun Undang-
Undang Dasar sesudah Perubahan, sistem pemerintahan Indonesia
adalah Sistem Pemerintahan Presidensil. Dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD
1945 (sebelum amandemen) mengatakan dianutnya sistem
pemerintahan presidensial, tetapi sistem yang diterapkan tetap
mengandung ciri parlementernya, yaitu dengan adanya MPR yang

28
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 53-54
berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, tempat kemana Presiden
harus tunduk dan bertanggung jawab.29 Dengan kata lain, sistem
presidensial Indonesia tidak begitu tegas karena Presiden tidak dipilih
langsung oleh rakyat. Namun, sejak konstitusi diamandemen, tepatnya
amandemen ketiga presidensialisme di Indonesia sudah lebih murni.
Dikatakan lebih murni, karena Presiden menurut UUD NRI
Tahun 1945 sebelum amandemen harus tunduk dan bertanggungjawab
kepada MPR yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya
menurut UUD NRI 1945. Presiden menurut UUD NRI 1945 sebelum
reformasi, adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggungjawaban
kepada MPR ini justru memperlihatkan adanya unsur parlementer
dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Namun setelah
diamandemen Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan tidak
bertanggungjawab lagi kepada MPR sebagai mandataris MPR.
Perubahan Ketiga UUD 1945 di tahun 2001 memberikan arti
tersendiri bagi keberadaan Lembaga Kepresidenan sebagai pemangku
kekuasaan eksekutif. Dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung oleh rakyat, menyebabkan hilangnya pertanggungjawaban
politik Presiden kepada MPR. Hal ini diperkuat dengan dihapuskannya
Penjelasana UUD 1945 secara implisit sehingga peran Presiden
sebagai mandataris MPR juga tidak berlaku. Beberapa aspek dari
sistem presidensial yang dianut lebih murni dibandingkan dengan
sebelum Perubahan UUD 1945.30 Hal-hal yang mencerminkan

29
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam
Sistem Presidensial Indonesia,… h. 48

30
Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, (Bandung, Penerbit
Tarsito, 1976), h. 56
reafirmasi terhadap sistem presidensial atau dikenal dengan prinsip
penguatan sistem presidensial.
Adanya pengaturan Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945,
mengenai pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, mencerminkan pertanggungjawaban Lembaga
Kepresidenan tidak lagi bersifat politis, melainkan bersifat hukum.
Namun, demikian karena akhir pertanggungjawaban yang bersifat
hukum tersebut ada pada Sidang Umum MPR, dan sifat
pertanggungjawaban tersebut tidak lagi bersifat hukum, melainkan
pertanggungjawaban politis. Terlepas dari persoalan
pertanggungjawaban hukum yang berakhir pada Keputusan MPR
sebagai lembaga politik. Artinya, pertanggungjawaban Presiden dan
Wakil Presiden tidak lagi didasarkan pada alasan-alasan yang sifatnya
kebijakan (policy). Kebijakan Lembaga Kepresidenan, sekalipun itu
bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, maka tidak dapat dijadikan
alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 tidak dikenal lagi
pertanggungjawaban atas dasar kebijakan, akan tetapi secara teoritis
Presiden dan Wakil Presiden (Pemerintah) bertanggung jawab kepada
konstituennya.31 Pada proses Perubahan UUD 1945, sistem
pemerintahan parlementer tidak menjadi pertimbangan untuk dianut
kembali. Hal ini terlihat dari kesepakatan Panitia Ad-Hoc (PAH) III
Badan Pekerja MPR dalam proses Perubahan UUD 1945 yang salah
satunya adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial.32

31
Herbert J. Spiro, Responsibility in Government: Theory and Practice, (New York: Van
Nostrand Reinhold Company, 1969), h. 4

32
Setjen MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Setjen MPR RI, 2006), h. 13
Hasilnya, Perubahan Ketiga UUD 1945 mempertegas keberadaan
sistem pemerintahan presidensial, walaupun dalam hal pembentukan
Undang-Undang masih mencerminkan aspek parlementer.
Dalam Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “menteri-
menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, mengindikasikan
bahwa kabinet tidak bertanggung jawab pada parlemen, melainkan
pada Presiden. Hal ini menggambarkan ciri dari sistem pemerintahan
presidensial.
Terkait masa jabatan Presiden, sebelum diadakannya
perubahan terhadap UUD 1945, seseorang yang sedang atau pernah
menjabat sebagai Presiden dapat dipilih kembali untuk beberapa kali
tanpa ada pembatasan. Namun, setelah diadakannya perubahan,
pembatasan dilakukan. Presiden dan Wakil Presiden yang pernah
menjabat, sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,
hanya untuk satu kali masa jabatan.
Belum ada contoh yang menunjukan, bahwa seorang anggota
DPR RI dapat merangkap pula menjadi Menteri. Biasanya, seseorang
yang terpilih sebagai anggota DPR kemudian diangkat menjadi
Menteri, biasanya anggota DPR tersebut mengundurkan diri dari
jabatan anggota legislatif tersebut. Hal ini bisa dilihat dari misalkan
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Dimana ia mundur dari
keanggotaannya sebagai anggota DPR Periode 2014-2019.33
Selain hal-hal diatas, setelah perubahan UUD telah mengurangi
kekuasaan Presiden dimana masa sebelum UUD 1945 diubah,
Presiden memegang hak-hak prerogatif secara penuh namun sesudah
perubahan UUD 1945, ditukar atau dikurangi dengan hak-hak lembaga

33
Moch. Harun Syah, “Ini Alasan Lukman Hakim Pilih Jadi Menteri Ketimbang Anggota
DPR”, di akses dari https://www.google.co.id/amp/s/m.liputan6.com/amp/2101045/ini-alasan-lukman-
hakim-pilih-jadi-menteri-ketimbang-anggota-dpr pukul 14.00 WIB, tanggal 14 Agustus 2018.
lain. Sebagai contoh, terkait pembentukan Undang-Undang, sebelum
Perubahan UUD 1945 sebagaimana Pasal 5 Ayat (1) Presiden
memegang Kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan
Persetujuan DPR. Namun sesudah Amandemen UUD 1945,
sebagaimana Pasal 5 Ayat (1) jo. Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945
sesudah Perubahan, Kekuasaan membentuk Undang-Undang ada di
tangan DPR, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan Undang-
Undang.
Kemudian sebelum Perubahan UUD 1945, perihal mengangkat
duta dan konsul serta menerima duta Negara lain adalah hak
prerogratif Presiden. Namun sesudah Perubahan UUD 1945
sebagaimana Pasal 13 Ayat (2) dan Ayat (3), terkait mengangkat duta
dan menerima duta Negara lain, presiden diminta untung
memperhatikan pertimbangan DPR. Begitu juga dengan memberi
Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi, sesudah Amandemen UUD
1945, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dan
Mahkamah Agung.

B. PRESIDEN
Pemerintahan (government) pada dasarnya memiliki dua pengertian:
pertama, pemerintahan dalam arti luas (government in broader sense) yaitu
meliputi keseluruhan fungsi yang ada dalam negara. Dilihat dari teori trias
politika, pemerintahan dalam arti luas meliputi kekuasaan membentuk
Undang-Undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan Undang-Undang
(eksekutif), dan kekuasaan mengadili (yudikatif).
Dengan demikian, kekuasaan dalam arti luas meliputi kekuasaan
membentuk Undang-Undang yang terbatas, kekuasaan eksekutif, dan
kekuasaan kehakiman yang terbatas. Kedua, pemerintahan dalam arti sempit
(government in narrower sense), yaitu pemerintahan yang hanya berkenaan
dengan fungsi eksekutif saja.34
Menurut Stephen Leacock,35 kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan
yang mengenai pelaksanaan Undang-Undang. Dengan kata lain, bahwa
eksekutif menyelenggarakan kemauan negara. Dalam suatu negara demokrasi,
kemauan negara itu dinyatakan melalui badan pembentuk Undang-Undang.
Tugas utama dari eksekutif, tidak mempertimbangkan, tetapi melaksanakan
Undang-Undang yang ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi dalam negara
modern, urusan eksekutif adalah tidak semudah sebagai adanya pada masa-
masa Yunani. Oleh karena beranekaragamnya tugas-tugas negara, dirasa perlu
menyerahkan urusan pemerintahan dalam arti luas kepada tangan eksekutif
dan tak dapat lagi dikatakan, bahwa kekuasaan eksekutif hanya terdiri dari
pelaksanaan undang-undang.
Kekuasaan eksekutif menurut W. Ansley Wynes:36 sebagai kekuasaan
dalam negara yang melaksanakan undang-undang, menyelenggarakan urusan
pemerintahan dan mempertahankan tata tertib dan keamanan, baik di dalam
maupun di luar negeri. Kekuasaan-kekuasaan umum dari eksekutif adalah
berasal dari Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang yang meliputi:
1. Kekuasaan Administratif (Administrative Power), yaitu pelaksanaan
Undang-Undang dan politik administratif;
2. Kekuasaan Legislatif (Legislative Power), yaitu memajukan rencana
Undang-Undang dan mengesahkan Undang-Undang;

34
Sri Soemantri, “Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawaban Presiden Pasca Perubahan
UUD 1945”, Makalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, yang
diselenggarakan oleh Depkumham bekerjasama dengan FH Unair dan Kanwil Depkumham Provinsi
Jawa Timur di Surabaya pada tanggal 9-10 Juni 2004, h. 8
35
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 43
36
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,… h. 44
3. Kekuasaan Yudikatif (Judicial Power), yaitu kekuasaan untuk
memberikan grasi dan amnesti;
4. Kekuasaan Militeris (Military Power), yaitu kekuasaan mengenai
angkatan perang dan urusan pertahanan; dan
5. Kekuasaan Diplomatif (Diplomatic Power), yaitu kekuasaan yang
mengenai hubungan luar negeri.
Menurut Ismail Suny, apa yang disebutkan itu adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan kekuasaan Presiden di waktu normal. Pada waktu-
waktu krisis yang memuncak apabila oleh satu dan lain sebab kabinet tak
dapat dengan efektif menyelenggarakan tugasnya, kekuasaan darurat
dilaksanakan oleh Presiden.
UUD 1945 menentukan bahwa kekuasaan eksekutif dilakukan oleh
Presiden. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 UUD 1945:
Ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar.”
Ayat (2): “Dalam melaksanakan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu
orang Wakil Presiden.”
Selain itu, dalam menjalankan kewajiban pemerintahan, khususnya
dalam menentukan politik negara, Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945. Berikut
meliputi ruang lingkup Presiden menurut konstitusi yakni sebagai berikut.
1. Pengisian Jabatan Presiden
UUD 1945 pra-amandemen meletakkan kedaulatan berada di
tangan MPR. Sehingga pengaturan masalah pengisian jabatan Presiden
dan Wakil Presiden dilakukan oleh MPR. Sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
MPR dengan suara terbanyak.” Tuntutan reformasi menghendaki
pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara
demokratis, transparansi dan beradab, serta partisipasi rakyat seluas-
luasnya. Berdasarkan itui, Pasal 6A UUD 1945 pasca-amandemen
menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
calon secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum”.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU
Pilpres) menyatakan, “Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah
Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik
atau gabungan partai politik.”
Berkaitan dengan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai menurut Pasal 6 UU Pilpres, seseorang hanya dapat
dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden, apabila memenuhi dua
persyaratan pokok yaitu: Pertama, persyaratan personal; Kedua, syarat
administratif. Syarat personal di antaranya; (1) bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa; (2) mampu secara rohani dan jasmani; (3) setia kepada
Pancasila dan UUD 1945, serta cita-cita proklamasi. Adapun syarat
administrasi, meliputi; (1) WNI sejak kelahiran dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain; (2) tidak pernah berkhianat terhadap
negara; (3) bertempat tinggal di wilayah NKRI; (4) telah melaporkan dan
diaudit kekayaan pribadinya; (5) tidak sedang memiliki tanggungan utang;
(6) tidak sedang pailit; (7) tidak sedang dicabut hak pilihnya; (8) tidak
melakukan perbuatan tercela; (9) terdaftar sebagai pemilih (10) memiliki
nomor pokok wajib pajak (NPWP); (11) memiliki daftar riwayat hidup;
(12) belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama
dua kali masa jabatan; (13) tidak pernah dihukum penjara karena
makar;
(14) berusia sekurang-kurangnya 30 tahun; (15) berpendidikan minimal
SMA/sederajat; dan (16) bukan bekas anggota Partai Komunis Indonesia
(PKI) atau sejenisnya; dan (17) tidak pernah dijatuhi hukuman pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih.
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk satu kali masa jabatan. Namun demikian, ia dapat
diberhentikan dari masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila
terbukti melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-
undangan setelah ada Keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa Presiden dan/Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum, perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat.
2. Kedudukan
Kedudukan utama dari Presiden dinyatakan secara tegas dalam
UUD 1945, yaitu kekuasaan pemerintahan negara (executive power).
Meskipun demikian, menurut Ismail Suny, Presiden Indonesia tidak
menjadi kepala eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif
seperti halnya di Amerika Serikat.37 Ada dua alasan pokok berkaitan
dengan pendapat Ismail Suny tersebut; Pertama, dalam melaksanakan
kekuasaan itu telah ditentukan oleh UUD; Kedua, dalam melaksanakan
tugasnya, Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah
dalam konteks politik yang melaksanankan tugas-tugas pemerintahan.
3. Kekuasaan, Wewenang, dan Tugas Presiden
Berbicara mengenai wewenang dan kekuasaan Presiden
memerlukan penjelasan yang lebih jauh. Menurut Inu Kencana Syafiie,
wewenang dan kekuasaan Presiden dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
selaku Kepala Negara dan selaku Kepala Pemerintahan. Tugas dan

37
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,… h. 42
tanggung jawab sebagai Kepala Negara, meliputi hal-hal yang seremonial
dan protokoler kenegaraan. Jadi, mirip dengan kewenangan para kaisar
atau raja/ratu, tetapi tidak berkenaan dengan kewenangan penyelenggaraan
pemerintahan.38 Wewenang dan kekuasaan Presiden sebagai kepala
pemerintahan, adalah fungsinya sebagai penyelenggara tugas legislatif.
Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan; “Presiden RI memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Makna yang
terkandung dari ketentuan tersebut bahwa Presiden adalah kepala
kekuasaan eksekutif dalam negara.
Berkaitan dengan kekuasaan Presiden tersebut menurut Abubakar
Busra dan Abu Daud Busroh:39 “Kenyataannya UUD 1945 hanya
menyebutkan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan atau eksekutif saja,
sedangkan Presiden sebagai Kepala Negara tidak ditegaskan oleh pasal-
pasal di dalam UUD 1945.”
Hal terpenting yang perlu dikaji, bahwa dalam sistem
pemerintahan kabinet parlementer umumnya, Presiden berfungsi hanya
sebagai kepala negara, sedangkan dalam sistem kabinet presidensial.
Maka, Presiden di samping berfungsi sebagai Kepala Negara juga
berfungsi sebagai Kepala Eksekutif.
Dari pasal-pasal UUD 1945 dan penjelasannya dapat ditarik
kesimpulan bahwa sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 ialah
sistem presidensial. Dengan demikian, Presiden berfungsi sebagai Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan. Kenyataan fungsi Presiden sebagai
Kepala Negara dapat dilihat dari penjelasan Pasal 10 sampai 15 yang

38
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,
1994), h. 53
39
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), h. 80
menyatakan: “Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini, ialah
konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.”
Kekuasaan Presiden berdasarkan UUD 1945, dapat
dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu: a. Kekuasaan Presiden dalam bidang
eksekutif; b. Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif; c. Kekuasaan
Presiden sebagai Kepala Negara dan d. Kekuasaan Presiden dalam bidang
yudikatif.40 Kekuasaan Presiden menurut konstitusi UUD 1945 peneliti
paparkan sebagai berikut.
a. Kekuasaan Presiden dalam Bidang Eksekutif
Kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif termaktub di
dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
Pasal 4 ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Pasal 5 ayat (2): “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
Menurut Ismail Suny, meskipun Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan: Kekuasaan pemerintahan negara (executive power)
dipegang oleh Presiden, seperti dinyatakan pula dalam Undang-
Undang Dasar Amerika Serikat, Presiden Indonesia tidak menjadi
kepala eksekutif ataui pimpinan yang sebenarnya dari eksekutif,
karena dalam melaksanakan kekuasaannya yang ditentukan baginya
oleh Undang-Undang Dasar menurut Undang-Undang Dasar.
Sedangkan menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 41
karena UUD 1945 mengatur hal-hal yang pokok, maka sebenarnya

40
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
… h. 197
41
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
… h. 80
ketentuan Pasal 4 Ayat 1 tersebut memberi wewenang kepada
Presiden yang luas dan tidak terperinci, sehingga segala pelaksanaan
pemerintahannya itu sedikit banyak tergantung kepada Presiden.
Namun demikian, tidak berarti, bahwa Presiden dapat berbuat
sekehendak hatinya, karena UUD 1945 membatasinya.
Sebaliknya, Inu Kencana Syafiie mengutip pendapat
Muhammad Ridhwan Indra,42 menyatakan bahwa akan halnya
besarnya kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 itu terlihat karena:
Pertama, Presiden di samping memimpin eksekutif tertinggi, juga
mempunyai kekuasaan legislatif, Kedua, Presiden di samping
memimpin eksekutif tertinggi, juga mempunyai kekuasaan yudikatif;
Ketiga, Presiden mempunyai kekuasaan untuk membentuk peraturan
pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang (pouvoir
reglementair); dan Keempat, Undang-Undang yang mengatur seluruh
lembaga tinggi negara lainnya dapat dibuat Presiden.
b. Kekuasaan Presiden dalam Bidang Legislatif
Kekuasaan Presiden di bidang legislatif, meliputi;
Pasal 5 Ayat (1): “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-
Undang kepada DPR”;
Pasal 21 Ayat (2): “Jika usul Rancangan Undang-Undang (oleh
anggota DPR), meskipun disetujui DPR tidak disahkan oleh Presiden,
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan
DPR masa itu.”
Pasal 22 Ayat (1): “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapka peraturan pemerintah sebagai pengganti
Undang-Undang.”

42
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia,… h. 56-57
Pasal 23 Ayat (1): “Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama-
sama DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD.”
Pasal 23 Ayat (2): “Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan Negara diusulkan oleh
Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu.”
c. Kekuasaan Presiden Sebagai Kepala Negara
Sebagai Kepala Negara, Presiden mempunyai tugas-tugas
pokok yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 10
sampai 16 UUD 1945:
Pasal 10: “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi dan angkatan
darat, angkatan laut, dan angkatan udara.”;
Pasal 11 Ayat (1): “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”;
Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan
akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”;
Pasal 13 Ayat (2): “Presiden mengangkat duta dan konsul (Pasal 13
Ayat (1)). Dalam hal mengangkat duta, Presiden memerhatikan
pertimbangan DPR”;
Pasal 13 Ayat (3): “Presiden menerima duta penempatan duta negara
lain dengan memerhatikan pertimbangan DPR”;
Pasal 14 Ayat (1): “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan MA”;
Pasal 14 Ayat (2): “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memerhatikan pertimbangan DPR”;
Pasal 15: “Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang”;
Pasal 16: “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang
bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang
selanjutnya diatur dalam UU”;
Pasal 17 Ayat (2): “Presiden mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri”.
Dalam konteks Inu Kencana Syafiie, memberi grasi, abolisi,
amnesti dan rehabilitasi merupakan kekuasaan presiden di bidang
yudikatif yang masuk dalam kekuasaan Presiden di bidang
pemerintahan (Kepala Pemerintahan).43
d. Kekuasaan Presiden Bidang Yudikatif
Menurut ketentuan Pasal 14 UUD NRI 1945 sebelum
perubahan, Presiden memiliki kewenangan untuk memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Namun, setelah terjadi perubahan
UUD 1945, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan yaitu
dalam hal memberi grasi dan rehabilitasi Presiden memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan dalam hal memberikan
abolisi dan amnesti Presiden dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam hal perlunya memperoleh pertimbangan dari MA untuk
memberikan grasi dan rehabilitasi, serta pertimbangan DPR dalam hal
memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 14 UUD 1945 setelah perubahan, menurut Bagir Manan untuk
grasi pertimbangan MA diperlukan karena grasi menyangkut putusan
hakim, tetapi kalau rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan
hakim.

43
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia,… h. 54
Sementara mengenai amnesti dan abolisi yang memerlukan
pertimbangan DPR, menurut Bagir Manan dalam pandangan yang
lazim berlaku grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi dipandang
sebagai kekuasaan konstitusional Presiden di bidang yudisial. Oleh
karena itu, senantiasa dikaitkan dengan MA, kalau dikaitkan dengan
DPR menunjukkan adanya unsur politik dalam pemberian amnesti dan
abolisi, tentu saja hal itu kurang sesuai dengan sifat kekuasaan
Presiden yaitu kekuasaan Presiden di bidang yudisial.
Selain itu, pemberian amnesti dan abolisi tidak selalu terkait
dengan pidana politik sehingga kalaupun diperlukan pertimbangan
cukup dari MA. Hal ini dikarenakan DPR adalah badan politik
sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan hukum.44

C. Dewan Perwakilan Rakyat


Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia
mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara
tertinggi. Di bawahnya, terdapat 5 lembaga negara yang berkedudukan
sebagai lembaga tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya sebagai
lembaga tertinggi negara pada sebelum perubahan UUD 1945, MPR
pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liege allein
bei der Majelis), karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes).
Sementara itu, DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat,
kemudian dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengawasi
tindakan-tindakan Presiden. Bahkan, jika DPR menganggap bahwa Presiden
sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 atau

44
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: UII Press, 2006).
oleh MPR, maka DPR dapat mengundang MPR untuk menyelenggarakan
sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden.
Setelah amandemen UUD 1945, DPR mengalami perubahan, fungsi
legislasi yang sebelumnya berada di tangan Presiden, maka setelah
amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran
pendulum itu dapat dibaca dengan adanya perubahan secara substansial Pasal
5 Ayat (1) UUD 1945 dari “Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan DPR, menjadi Presiden berhak
mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR”.
Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi Presiden dalam proses
pembentukan undang-undang. Perubahan itu penting, artinya karena undang-
undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan
rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD 1945. Adapun ruang
lingkup Dewan Perwakilan Rakyat menurut konstitusi ialah sebagai berikut.
1. Susunan, Kedudukan, dan Fungsi DPR
Menurut Ismail Suny,45 mengatakan bahwa dalam masa demokrasi
Pancasila, DPR peranannya kurang memadai, karena ternyata sejak tahun
1971-1998 tidak lebih dari hanya menyetujui dan tidak mengajukan usul
inisiatif. Selain itu, tidak diperlakukannya sifat kebersamaan dalam sifat-
sifat pemilu Indonesia yang hanya luber, belum memenuhi sifat-sifat
pemilu yang demokratis mengenai sifat kelima yaitu sifat kebersamaan.
Ketiadaan sifat kebersamaan ini, melanggar aturan umum yang dijamin
oleh Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yaitu diakuinya persamaan warga
negara di hadapan hukum dan pemerintahan, dalam hal ini dalam ikut
serta memilih dan dipilih dalam pemilu. Terdapatnya anggota ABRI dan

45
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,… h. 9
non-ABRI yang tidak dipilih dalam DPR, merupakan tindakan
inkonstitusional.
Pada masa reformasi (awal) berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPRD dimana pengisian anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil
pemilu dan pengangkatan. DPR terdiri atas: (1) anggota partai politik hasil
Pemilihan Umum; dan (2) anggota ABRI yang diangkat. Jumlah anggota
DPR adalah 500 orang dengan perincian: (1) anggota partai politik hasil
pemilu sebanyak 462 orang; dan (2) anggota ABRI yang diangkat
sebanyak 38 orang.
Pada masa pra-amandemen dalam ketentuan Pasal 20 Ayat (1)
UUD 1945, ditetapkan bahwa DPR dapat: (1) memberi persetujuan
undang-undang, (2) berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 pra-amandemen, dan (3)
berhak memberi persetujuan Perpu sebagaimana diatur dalam Pasal 22
Ayat (2) UUD 1945 pra-amandemen. Untuk benar-benar melaksanakan
demokrasi pasca-amandemen UUD 1945 mereformasi keanggotaan DPR,
yaitu anggota DPR terdiri dari anggota-anggota golongan politik (partai)
yang dipilih melalui pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUD
pasca-amandemen.
Berdasarkan Pasal 20A Ayat 1 menyatakan, bahwa DPR
merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara yang memiliki fungsi antara lain: (1) fungsi legislasi yaitu
fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama; (2) fungsi anggaran, yaitu fungsi
untuk menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) bersama Presiden dengan memerhatikan pertimbangan
DPD; dan (3) fungsi pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang, dan
peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD menetapkan: “DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.”
2. Tugas dan Wewenang DPR
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa amandemen UUD
1945 telah menempatkan DPR sebagai lembaga legislasi yang sebelumnya
berada di tangan Presiden. Dengan demikian, DPR memiliki fungsi politik
yang sangat strategis, yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan
kenegaraan.
Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR yang sangat
dominan, karena kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya tersebut,
yaitu: (1) DPR mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang; (2)
setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama; (3) jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU, dan
(5) dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU itu disetujui, RUU tersebut
sah menjadi UU dan wajib diundangkan sebagaimana ketentuan Pasal 20
UUD 1945 pasca-amandemen.
Selain berkaitan dengan proses legislasi, dalam kewenangannya
DPR sebagai penentu kata “putus” dalam bentuk memberi persetujuan
terhadap agenda kenegaraan yang meliputi: (1) menyatakan perang,
membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 Ayat (1)
UUD 1945); (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara (Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945); (3)
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi
Undang-Undang (Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945); (4) pengangkatan Hakim
Agung (Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 ); (5) pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945);
Agenda kenegaraan lain yang memerlukan “pertimbangan” DPR yaitu: (1)
pengangkatan Duta (Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945); (2) menerima
penempatan duta negara lain (Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945); (3)
pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945).
Kekuasaan DPR semakin komplit dengan adanya kewenangan
untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti: (1) memilih
anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23F ayat (1) UUD 1945); (2)
menentukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi (Pasal 24C Ayat (3)
UUD 1945); (3) menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses
pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies), seperti Komisi
Nasional HAM, Komisi Pemilihan Umum. Selain juga adanya keharusan
untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima
TNI, Kepolisian Negara RI (Kapolri).46
3. Hak dan Kewajiban DPR
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan Pasal
20A Ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
menyatakan sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR memiliki hak,
antara lain; (1) hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan
kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan
strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara; (2) hak angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan

46
Bima Arya Sugiarto, seperti dikutip dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif:
Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia,… h. 122.
terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis, serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan (3) hak
menyatakan pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat
terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang
terjadi di tanah air, disertai dengan solusi tindak lanjut dari hak interpelasi
dan hak angket.
Sementara di luar hak institusi, anggota DPR juga memiliki hak,
diantaranya: (1) mengajukan RUU; (2) mengajukan pertanyaan; (3)
menyampaikan usul dan pendapat, dan; (4) imunitas. Dan dalam
menggunakan hak angket, DPR dapat melakukan pemanggilan paksa. Kalau
panggilan paksa itu tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, DPR dapat
melakukan penyelamatan.

D. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018


Pemohon terkait putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) selaku Pemohon I, Dr. Husdi
Herman, S.H., M.M. selaku Pemohon II, Yudhistira Rifky Darmawan selaku
Pemohon III.
Adapun objek yang dimohonkan yakni terkait pengujian
konstitusionalitas Pasal 73 Ayat (3) s/d Ayat (6), Pasal 122 Huruf I dan Pasal
245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Namun secara khusus, peneliti terfokus pada objek penelitian yang
tertuang dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Bahwa Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap
kata “tidak” dan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” telah merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk
mendapatkan persamaan kedudukannya di dalam hukum sebagaimana diatur
Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Terhadap Pemohon II dan Pemohon III yang
merupakan warga negara pemilih dalam Pemilu, tidak pernah memberikan
hak imunitas absolut kepada anggota DPR. Kemudian khusus untuk Pemohon
I, berdasarkan Pasal 8 Huruf e AD/ART, Pemohon I mempunyai tugas
melakukan upaya hukum apapun yang sah secara hukum dalam upaya
perlindungan-perlindungan nilai-nilai konstitusionalisme dimana dalam nilai-
nilai konstitusionalisme terkandung prinsip persamaan kedudukan di hadapan
hukum.
Oleh karena terdapat kata “tidak” dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dapat
ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi bagian hak imunitas
sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR.
Kemudian, terhadap frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dapat berpotensi menghambat atau bahkan
menghentikan mekanisme persetujuan Presiden terkait pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya
tindak pidana sehingga dapat ditafsirkan persetujuan Presiden tidak dapat
keluar apabila belum mendapatkan pertimbangan Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD). Oleh karenanya, pemanggilan dan permintaan keterangan
tidak bisa dilakukan sehingga menimbulkan ketidaksamaan kedudukan di
dalam hukum dan merugikan hak atas kepastian hukum yang adil bagi para
Pemohon.
Dengan demikian, apabila Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap kata “tidak”
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan terhadap frasa “setelah
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Apabila dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima,
Mahkamah Kehormatan Dewan tidak memberikan pertimbangan, maka
Mahkamah Kehormatan Dewan dianggap telah mengeluarkan pertimbangan
yang menyatakan bahwa tindak pidana yang dijadikan dasar pemanggilan
dan permintaan keterangan kepada anggota DPR tidak berhubungan dengan
pelaksanaan tugas dan karenanya tidak perlu persetujuan tertulis Presiden”,
maka kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi.
Adapun alasan para Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal
245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD ialah sebagai berikut;
Sebagaimana yang tertuang pada pasal a quo, yang menyatakan:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, harus mendapat persetujuan
tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah
Kehormatan Dewan”.
Sebagaimana yang patut dicermati mengenai ketentuan Pasal 224
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD, yakni sebagai berikut;
1). Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan
maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan
dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
2). Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap,
tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang
semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau
anggota DPR.
3). Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat
DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang
dan tugas DPR.
4). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai
rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

Para Pemohon mendalilkan, kata “tidak” dan frasa “setelah mendapat


pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bertentangan
dengan prinsip negara hukum berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang
menjamin persamaan di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27
Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, serta bertentangan dengan hak imunitas yang
termaktub dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 sehingga menurut Para
Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi:
1. Kata “tidak” dalam Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
2. Frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan
Dewan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Apabila dalam waktu paling lama
30 hari sejak permohonan diterima, Mahkamah Kehormatan Dewan tidak
memberikan pertimbangan, maka Mahkamah Kehormatan Dewan dianggap
telah mengeluarkan pertimbangan yang menyatakan, bahwa tindak pidana
yang dijadikan dasar pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan karenanya tidak perlu
persetujuan tertulis Presiden”
Berdasarkan uraian tersebut, Para Pemohon pada intinya
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasa
BAB IV
IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA DPR
YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT
PASAL 245 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-
XVI/2018

A. Izin Presiden Dalam Tahap Penyidikan Anggota DPR RI Yang Diduga


Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Aspek Kekuasaan Presiden
Dalam Konsep Negara Hukum
Dalam sejarah ketatanegaraan suatu negara, umumnya konstitusi
digunakan untuk mengatur dan sekaligus membatasi kekuasaan negara
termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan kekuasaan Presiden.
Kekuasaan Presiden dalam suatu negara sangat penting sehingga kekuasaan
Presiden harus diatur secara jelas di dalam kontitusi dan peraturan perundang-
undangan di bawahnya. Besar tidaknya kekuasaan Presiden bergantung pada
kedudukan, tugas dan wewenang yang diberikan konstitusi kepadanya.
Pasal 4 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah menggariskan bahwa
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
UUD”. Artinya, kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan berada di
tangan satu orang yaitu dipegang oleh Presiden. Presiden yang memegang
kekuasaan pemerintahan dalam pasal ini menunjuk kepada pengertian
Presiden menurut Sistem Pemerintahan Presidensial.1 Dengan dianutnya
Sistem Presidensial, maka sistem pemerintahan terpusat pada jabatan Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan (head of government) sekaligus sebagai Kepala
Negara (Head of State).

1
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 127

92
93

Menurut Jimly Asshiddiqie, kedua jabatan sebagai Kepala Negara dan


Kepala Pemerintahan itu pada hakikatnya sama-sama merupakan cabang
kekuasaan eksekutif.2 Oleh karena itu, dalam jabatan Presiden itu tercakup
dua kualitas kepemimpinan sekaligus, yaitu Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan, maka pemegang jabatan Presiden (ambtsdrager) menjadi
sangat kuat kedudukannya. Karena itu pula, Indonesia dalam bingkai sistem
republik yang demokratis, maka kedudukan Presiden selalu harus dibatasi
oleh konstitusi.
Diakui bahwa pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh Presiden
berdasarkan tafsir UUD 1945 pra-amandemen, Presiden dibekali hak
konstitusional atau yang lebih populis dikenal hak prerogatif. Misalnya, dalam
hal menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); mengangkat duta dan konsul
(Pasal 13); memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan MA (Pasal 14 Ayat (1)); amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat (2)); membentuk Dewan
Pertimbangan Presiden (Pasal 16); mengangkat dan memberhentikan Menteri
(Bab V Pasal 17 Ayat (2)). Sebenarnya UUD 1945 tidak menyebutkan secara
eksplisit bahkan menjadi argumentasi utama dalam membenarkan penggunaan
hak-hak prerogatif tertentu oleh Presiden secara mandiri (tanpa adanya
mekanisme pengawasan dari lembaga lainnya).
Dalam pelaksanaannya, ternyata hak-hak prerogatif sebagai bentuk
kekuasaan Presiden telah banyak menimbulkan banyak permasalahan yang
hingga kini masih diwarnai pro-kontra seputar implementasinya dalam
konteks hukum tata negara maupun ranah disiplin lain yang terkait. Hal ini
dapat disebabkan oleh tiga hal ialah sebagai berikut.
Pertama, besarnya kekuasaan Presiden tersebut tidak diikuti dengan
mekanisme dan bentuk pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak

2
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,… h. 311
tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan
adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan
kabinet, wewenang untuk menyatakan perang dan lain-lain.
Kedua, fenomena ketidakpercayaan publik/masyarakat terhadap
kinerja Pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan
skeptisme (keraguan/ketidakpercayaan) dalam tubuh masyarakat terhadap
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Presiden.
Ketiga, berkaitan erat dengan hal yang kedua, skeptisme ini juga
didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat yang
dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan hingga saat ini yang
belum memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap perubahan negara kea rah
yang lebih baik.
Dalam praktik ketatanegaraan negara-negara modern saat ini,
berkenaan dengan hak prerogatif Presiden yang sudah tidak lagi bersifat
mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Hak khusus/istimewa ini
bahkan dapat dikatakan sudah mengalami penyempitan, karena ia hanya
diberikan dalam hal-hal yang terbatas dan kepada kekuasaan tertentu saja,
yakni seperti raja dalam sistem negara monarki.
Sistem pemerintahan negara-negara modern kini kebanyakan berusaha
menempatkan segala model kekuasaan negara dalam kerangka
pertanggungjawaban publik secara akuntabel dan transparan sehingga suatu
kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan,
sulit untuk mendapat tempat dalam praktik ketatanegaraan yang baik demi
kesejahteraan umum setiap warga negaranya. Sebagai contoh, pengangkatan
Kepala Departemen (Menteri) di Amerika Serikat yang menganut sistem
presidensial murni saja, tetap harus mendapatkan persetujuan dari Senat
Amerika. Padahal dengan jelas kekuasaan tersebut adalah kekuasaan eksekutif
yang dalam sistem presidensial yang ditegaskan bahwa Menteri-Menteri
diangkat oleh Presiden Amerika, tetapi memerlukan persetujuan Senat dalam
proses pengangkatan Menteri di Amerika Serikat.
Lain halnya dengan di Indonesia, mengenai hak prerogatif Presiden
telah termanifestasi dalam konstitusi, salah satunya Pasal 14 Ayat (1) UUD
1945 pasca amandemen dimana Presiden diberikan hak prerogatif untuk
memberikan grasi dan rehabilitasi kepada seseorang terpidana dengan
memperhatikan pertimbangan MA. Dengan adanya kata “memperhatikan
pertimbangan MA” ini sejatinya bukan lagi dikatakan sebagai hak prerogatif
Presiden karena hak prerogatif diartikan sebagai hak mutlak seorang Presiden
tanpa adanya campur tangan dari pihak lain sehingga pemaknaan hak
prerogatif Presiden telah mengalami penyimpangan dari makna
sesungguhnya. Artinya pemberian grasi dan rehabilitasi sebagai wujud
pelaksanaan kekuasaan Presiden tidak dapat lagi dikatakan sebagai hak
prerogatif Presiden, melainkan hak konstitusional Presiden sebagaimana hasil
amandemen konstitusi UUD NRI Tahun 1945 yang salah satunya
menghindari kekuasaan Presiden yang berlebih yang berpotensi otoriter.
Berbicara hak konstitusional Presiden yang menjadi suatu kewenangan
khusus yang dimiliki Presiden, maka amat relevan dengan pembahasan
penelitian ini. Menyoal izin/persetujuan tertulis Presiden dalam hal
pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana merupakan manifestasi dari hak konstitusional
dalam cabang kekuasaan yudikatif yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 16/PUU-XVI/2018.
Pada Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Pengertian tersangka menurut Pasal 1 Butir 14
KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Perlu
diketahui bahwa secara umum, sebagaimana Pasal 7 Butir 1, penyidik
berwenang untuk:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
b. Melakukan tindak pidana pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Jadi, pemanggilan anggota DPR yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana untuk diperiksa keterangannya merupakan salah satu wewenang
penyidik dalam proses penyidikan. Diperlukannya pertimbangan dari MKD
dalam mendapatkan persetujuan tertulis Presiden untuk melakukan
pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana, maka dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
sebagaimana telah diubah terakhir kali oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Adapun bunyi pasal tersebut
selengkapnya adalah sebagai berikut;
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan.”
Berdasarkan bunyi Pasal di atas, bahwa yang dimaksud dengan tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR
menurut Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 UU MD3 adalah
pertama, Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan baik secara
lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang
berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Kedua, Anggota
DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan,
kegiatan, di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang semata-mata karena
hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR. Ketiga,
Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan,
dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di
luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Sebagaimana yang patut dicermati dalam Pasal 245 Ayat (2) UU MD3
Tahun 2018 bahwa persetujuan tertulis dari Presiden tersebut tidak berlaku
terhadap anggota DPR yang (1)Tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
(1) Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup;
dan (3) Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 telah menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 Tahun 2018 terdapat frasa
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas” yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga setelah terbit Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, maka frasa Pasal 245 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 selengkapnya berbunyi:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud Pasal 224, harus mendapatkan persetujuan tertulis
dari Presiden.”
Pertimbangan dicabutnya frasa tersebut adalah karena frasa pada Pasal
245 Ayat (1) UU MD3 Tahun 2018 dinilai kontradiktif dengan filosofi dan
hakikat pemberian hak imunitas anggota DPR yang secara kontekstual
seharusnya menjadi dasar pemikiran atau latar belakang pembentukan MKD.
Selain itu, tidak relevan dan tidak tepat apabila MKD dilibatkan untuk
memberi pertimbangan terkait persetujuan tertulis Presiden dalam hal seorang
anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam rangka penyidikan
karena dugaan melakukan tindak pidana karena MKD adalah lembaga etik
yang keanggotaannya berasal dari dan oleh anggota DPR sehingga berpotensi
besar menimbulkan konflik kepentingan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka, Penyidik tidak perlu
mendapatkan izin/persetujuan tertulis dari MKD untuk menyidik, namun
wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam melakukan
pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD terkait izin Presiden dalam pemanggilan dan
permintaan keterangan dalam tahap penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas anggota DPR bertentangan dengan UUD 1945 yakni:
Pasal 24 Ayat (1): “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”;
Pasal 27 Ayat (1): “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”;
Pasal 28D Ayat (1): “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”; dan
Pasal 28I Ayat (2): “setiap orang berhak dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Berkenaan dengan jaminan-jaminan yang diberikan oleh UUD 1945, maka
ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD telah menegasikan/menderogasikan jaminan-jaminan
tersebut dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan ketentuan pasal tersebut, penyidik hanya dapat
melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan dalam tahap penyidikan
terhadap anggota DPR, jika ada persetujuan atau izin tertulis Presiden.
Meskipun dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam hal persetujuan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling
lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan proses penyidikan
dapat dilakukan (namun kata „dapat‟ seharusnya bermakna voluntary dalam
praktiknya bermakna imperative/wajib)
Negara Indonesia adalah negara hukum dengan jelas ditegaskan oleh
konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Dalam negara
hukum yang demokratis yang mensyaratkan adanya penerapan hukum yang
berprinsip persamaan di depam hukum (equality before the law), serta
penghormatan dan penegakan hukum sesuai dengan prinsip independent
judiciary (peradilan yang bersifat independen).
Bahwa kendati secara tertulis Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945
menunjukkan kekuasaan kehakiman, namun hal tersebut dapat ditafsirkan luas
yakni meliputi hal-hal terkait dengan penegakan hukum dan keadilan. Hal ini
sesuai dengan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VII/20120 halaman 240 yang
menyebutkan: “Bahwa hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan
keadilan menurut ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”.
Ketentuan mengenai izin Presiden dalam proses penyidikan anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
diartikan bahwa persetujuan tertulis Presiden hanya berlaku, jika terjadi tindak
pidana yang dilakukan anggota DPR yang tidak berhubungan dengan tugas
dari anggota DPR.
Padahal, seharusnya persetujuan tertulis Presiden itu diberikan terkait
dengan tugas dari anggota DPR, maka secara tidak langsung hal ini
merupakan penguatan imunitas yang dibangun oleh DPR sebagai lembaga
pembentuk undang-undang bersama Pemerintah yang sejatinya hak imunitas
itu sendiri telah diatur dalam ketentuan Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Menurut peneliti, ketentuan pasal tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai bentuk restrictions (pembatasan-pembatasan) yang dilakukan oleh
Presiden sebagaimana pengaturan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tersebut dan
berpotensi menimbulkan pengaruh yang buruk atau tidak tepat (improper
influences) dan gangguan secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kemerdekaan aparat penegak hukum (independent judiciary) dalam upaya
menegakan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu (equality before the
law).
Sehubungan dengan hal di atas, apabila dikomparasikan dengan hak
konstitusional Presiden lainnya, yaitu dalam pemberian grasi, rehabilitasi,
amnesti, dan abolisi dengan izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana ialah berbeda. Perbedaannya
yakni pada hak konstitusional Presiden dalam pemberian grasi, rehabilitasi,
amnesti dan abolisi diatur dalam UUD NRI 1945 dan dibatasi oleh
pertimbangan MA (grasi dan rehabilitasi) dan DPR (amnesti dan abolisi),
sedangkan pemberian izin/persetujuan tertulis Presiden dalam tahap
penyidikan anggota DPR diatur oleh UU yang merupakan aturan di bawah
UUD dan dilaksanakan tanpa adanya pertimbangan dari pihak lain, meskipun
sebelumnya terdapat pertimbangan dari MKD yang merupakan alat
kelengkapan yang dimiliki DPR, namun pertimbangan tersebut dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terhadap Pengujian Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang No. 2 Tahun 2018.
Terkait izin atau persetujuan tertulis Presiden dalam tahap penyidikan
anggota DPR ini merupakan hak konstitusional Presiden yang diatur dalam
Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, sejatinya telah mengalami beberapa perubahan baik
direvisi oleh DPR maupun di-Judicial Review di MK. Hal ini berimplikasi
pada respon publik yang menyorotinya secara kritis, karena substansi yang
dimiliki oleh pasal tersebut banyak memunculkan kontroversi dan praktis
menimbulkan keresahan pada masyarakat umum.
Publik menganggap Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan
asas persamaan di depan hukum (equality before the law)3 sebagaimana

3
Equality berasal dari bahasa Inggris dengan dasar kata equal. Kata equal, menurut Concise
Oxford Dictionary-Tenth Edition, Oxford University Press diartikan sebagai “being the same in
quantity, size, degree, value, or status”, yang diterjemahkan “sama dalam jumlah, ukuran, derajat,
nilai, status (kedudukan)”. Istilah “equality before the law” ini merupakan istilah yang lazim
digunakan dalam bahasa hukum, utamanya hampir di setiap negara hukum tidak luput menyertakan
dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan “setiap warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dimana “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”, serta peradilan yang menjunjung
tinggi independensi peradilan (independent judiciary) sebagaimana dijamin
dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”, dan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, serta penegakkan hukum
yang berprinsip non diskriminasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I Ayat
(2) UUD 1945, yang menyatakan, bahwa “setiap orang berhak dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Di samping itu, berkenaan dengan adanya izin Presiden dalam tahap
penyidikan yang dilakukan oleh anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR ini,
menurut hemat peneliti merupakan sesuatu yang tidak tepat. Karena secara
struktur ketatanegaraan pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 ketiga
cabang kekuasaan baik itu Eksekutif (Presiden), Legislatif (MPR, DPR,
DPD), danYudikatif (MA dan MK) secara kedudukan hierarki ialah setara
dimana antara cabang kekuasaan antara satu dengan lainnya saling melakukan
mekanisme checks and balances. Terlebih dalam proses penegakan hukum
haruslah dilaksanakan oleh lembaga yudikatif yang memiliki domain
kekuasaannya sehingga Presiden tidak perlu turut serta dalam penyidikan

istilah equality before the law ini dalam konstitusinya, karena istilah “equality before the law” ini
merupakan simbol populis yang timbul sebagai norma hukum yang melindungi hak-hak asasi setiap
warga negara.
anggota DPR yang berpotensi besar menghambat proses hukum yang
berjalan.
Menilik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 yang
menghapuskan izin/persetujuan tertulis Presiden dalam proses penyelidikan
dan penyidikan terhadap Kepala Daerah sebagaimana dalam pengujian Pasal
36 Ayat 1,2,3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Hal ini dilandaskan pada alasan pertimbangan MK
dalam putusan tersebut,bahwa dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari
Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai bentuk
diskriminasi hukum yang bertentangan dengan amanat konstitusi UUD 1945
yang tentunya akan menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung
mengintervensi sistem penegakan hukum yang dijalankan oleh penyidik.
Hal tersebut diamini oleh Kejaksaan Agung RI dalam keterangannya
dalam agenda sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011
terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa berdasarkan
laporan yang diterima dari KPK bahwasannya KPK mendapat banyak laporan
tentang kendala penanganan perkara lantaran izin Presiden banyak yang
belum turun.4
Dengan ini, ketentuan yang ada dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018, dimana menegasikan pertimbangan Mahkamah
Kehormatan Dewan, namun tetap mempertahankan “persetujuan tertulis
Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR”,
maka dapat dikatakan inkonsisten dan ahistoris dengan Pasal 36 Ayat 1,2,3,4
dan 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011.

4
Website https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5063148b69686/mk-pangkas-izin-
pemeriksaan-kepala-daerah, Diakses pada hari Rabu Tanggal 19 Desember 2018 Pukul 17.00 BBWI.
Apabila ditelaah secara hukum administrasi negara, mengacu pada
ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang ahistoris dan
kontradiktif terhadap ketentuan Pasal 36 Ayat 1,2,3,4 dan 5 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011, bahwa Presiden dan Anggota
DPR keduanya merupakan pejabat negara. Sama halnya dengan Presiden dan
Anggota DPR, Kepala Daerah merupakan termasuk pejabat negara
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara.
Terlebih secara garis struktur ketatanegaraan maupun sistem
pemerintahan, DPR yang secara kedudukan bukan berada di bawah garis
kordinasi dengan Presiden (setara secara kedudukan), tetapi tetap memerlukan
izin Presiden terkait proses penyidikan terhadapnya sebagaimana ketentuan
Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, sedangkan Kepala Daerah
yang telah jelas kedudukannya sebagai eksekutif yang berada di bawah garis
kordinasi Presiden telah dihapuskan izin/persetujuan tertulis Presiden dalam
proses penyelidikan maupun penyidikan terhadapnya sebagaimana ketentuan
Pasal 36 Ayat 1,2,3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-
IX/2011.
Terlepas dari hal itu, peneliti berpendapat bahwa hak prerogatif
Presiden sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum,
meskipun tiada satu pun pasal dalam konstitusi yang menyebut secara
eksplisit sebagai hak prerogatif. Peneliti menyebutnya sebagai hak
konstitusional Presiden adalah hak yang tidak lagi diartikan sebagai hak yang
mandiri, mutlak, dan tidak dapat mengikutsertakan lembaga-lembaga negara
lain dalam pelaksanaannya sebagaimana yang telah diatur oleh konstitusi
UUD 1945.
Lalu, pertanyaan yang timbul ialah apakah penggunaan hak
konstitusional Presiden di bidang yudikatif dalam hal pemberian izin dalam
tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang
tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR sebagai bentuk
pelaksanaan kekuasaan Presiden yang berpotensi besar mereduksi, bahkan
menegasikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum yang berkeadilan. Hal ini dilandaskan
pada rasionalisasi, bahwasannya dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimana Presiden dan Wakil
Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
berbentuk koalisi dimana harus memenuhi ketentuan ambang batas Presiden
sejumlah 20% kursi di parlemen.
Secara nyata, kaitannya hal ini terhadap ketentuan Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 terkait pemberian izin Presiden dalam
tahap penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas berpotensi
menimbulkan penyimpangan/penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
yang dilakukan oleh Presiden jika anggota DPR yang terlibat kasus hukum
berasal dari fraksi partai politik yang sama atau termasuk dari bagian koalisi
partai politik yang mengusungnya hingga menjadi Presiden sehingga besar
kemungkinan praktik intervensi dalam proses peradilan yang dijalankan oleh
penyidik niscaya terjadi. Mengingat, hasil kompromi antara anggota DPR
yang terduga melakukan tindak pidana dengan Presiden yang berasal dari
fraksi partai politik yang sama telah menjadi rahasia umum yang telah
beberapa kali peneliti peroleh sumbernya dari beberapa keterangan aparat
penegak hukum terkait dalam hal ini pihak kepolisian maupun berita-berita
yang dilansir di media cetak maupun online.
Menyoal ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ini dapat peneliti
simpulkan terhadap hasil penelitian di atas, yakni terdapat bentuk-bentuk
pengaruh gangguan dan hambatan dalam proses penegakan hukum menurut
peneliti mengenai izin Presiden dalam tahap penyidikan Anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas anggota DPR terhadap proses penegakan hukum, yakni antara lain:
Pertama, proses penyidikan menjadi terhambat karena mengganggu
keluarnya izin pemeriksaan. Bahkan, seringkali izin yang diminta tidak pernah
ada jawaban apakah disetujui atau ditolak sehingga penanganan perkaranya
menjadi tidak jelas dan terkatung-katung penyelesaiannya.
Kedua, terhambatnya proses pemeriksaan terhadap pejabat negara,
mempengaruhi proses penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam perkara
yang melibatkan pejabat negara sehingga penyidikannya menjadi lamban dan
terkesan macet.
Ketiga, Dengan adanya rentang waktu yang cukup lama sampai
keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas menghirup udara segar
sehingga dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan atau merusak barang
bukti, mengganti atau merubah alat bukti surat, dapat mengulangi tindak
pidana, dapat mempengaruhi para saksi, dan lain sebagainya yang menjadi
potensi penghambatan proses penegakan hukum yang berkeadilan, dan
menjunjung tinggi integritas dan independensi peradilan.
Berdasarkan tiga poin di atas yang berhasil dihimpun oleh peneliti
merupakan tindakan-tindakan yang berpotensi menyebabkan terhambatnya
proses penegakan hukum sebagaimana mestinya, dikarenakan prosedur izin
secara tidak langsung dapat dijadikan media intervensi penguasa (Presiden)
terhadap penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh penegak hukum.
Adapun bentuk praktik intervensi ini bisa dilakukan dengan cara
menunda atau tidak mengeluarkan izin/persetujuan tertulis, apabila pihak yang
tersangkut masalah hukum berasal dari kelompoknya dan sebaliknya dapat
mempercepat keluarnya izin pemeriksaan apabila pihak yang tersangkut
masalah hukum berasal dari lawan politiknya dalam hal ini dikenal dengan
istilah kriminalisasi hukum.
Pada tataran inilah eksistensi vital sebuah konstitusi bagi suatu negara
tidak hanya dimaksudkan untuk membatasi wewenang penguasa, menjamin
hak rakyat dan mengatur pemerintahan, tetapi konstitusi juga menjadi alat
rakyat mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur
kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita. Itulah sebabnya, pada saat ini
konstitusi tidak hanya memuat aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau
menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, garis haluan negara dan patokan
kebijaksanaan (policy) yang semuanya mengikat penguasa.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kekuasaan negara pada dasarnya
harus ditentukan secara tegas dan dibatasi oleh sifatnya masing-masing.
Konstitusi telah memberikan pedoman dan batasan sekaligus tentang cara
bagaimana kekuasaan negara dijalankan. Oleh karena, konstitusi mengikat
segenap lembaga negara dan seluruh warga negara, maka yang menjadi
pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan segenap warga negara
sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana yang telah
diamanahkan dalam konstitusi itu sendiri.
Konstitusi memiliki fungsi/kewenangan yang khusus dan merupakan
perwujudan atau manifestasi dari hukum tertinggi yang mengikat dan harus
ditaati oleh semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali. Dengan
pemaknaan demikian, maka dapat dikatakan bahwa konstitusi merupakan
landasan yang terpenting dalam sebuah bangsa (state). Politik hukum dalam
konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena pada
intinya kekuasaan itu sendiri memang perlu diatur dan dibatasi secara tegas
sesuai dengan teori pembagian dan pemisahan kekuasaan. Pengawasan atau
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan merupakan persoalan yang
penting dalam setiap konstitusi.
Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, sesungguhnya
tidak ada dikotomi antara Presiden sebagai Kepala Negara dan Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan, justru kedua fungsi tersebut melekat pada diri
seorang Presiden. Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945
itu terkandung pula makna Presiden sebagai Kepala Negara sehingga
kedudukan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan merupakan kekuasaan
eksekutif menyatu secara utuh yang tak terpisahkan dalam jabatan Presiden.
Pembedaan dan pemisahan antara kedua fungsi tersebut, sejatinya
hanya relevan dalam sistem pemerintahan parlementer yang memang
mempunyai dua jabatan secara terpisah yaitu sebagai Kepala Negara maupun
sebagai Kepala Pemerintahan. Adapun dalam sistem pemerintahan
presidensial, cukup memiliki Presiden dan Wakil Presiden saja tanpa
memahami kapan ia berfungsi sebagai Kepala Negara dan kapan sebagai
Kepala Pemerintahan.
Meskipun tidak adanya pasal yang menunjukkan siapa Kepala Negara
dalam UUD 1945, tidak berarti bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya
Kepala Negara. Walaupun hal ini tidak ditegaskan dalam UUD 1945 dengan
sendirinya, Presiden ialah Kepala Negara karena Presiden baik dalam sistem
pemerintahan apapun adalah sebagai suatu simbol suatu bangsa yang berstatus
merdeka. Bahkan dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain, Presiden
mencerminkan representasi kedaulatan bangsa tersebut.
110

Kekuasaan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bersifat


inheren artinya menyatu dalam jabatan Presiden. Bahkan dalam pandangan
Jimly,5 dalam konteks pengertian negara hukum berdasarkan prinsip rule of
law dapat dikatakan, bahwa secara simbolik yang dinamakan Kepala Negara
dalam sistem pemerintahan presidensial itu adalah konstitusi. Dengan kata
lain, Kepala Negara dari negara konstitusional Indonesia adalah UUD,
sedangkan Presiden dan Wakil Presiden beserta semua lembaga negara atau
subjek hukum tata negara lain seharusnya tunduk kepada konstitusi sebagai
the symbolic head of state.
Dengan demikian kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara dalam
sistem pemerintahan negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat (1)
UUD 1945 yang diwujudkan dalam bentuk penggunaan hak-hak
konstitusional hendaknya hanya digunakan dalam kapasitas sebagai
kekuasaan administratif, simbolis dan limitatif yang merupakan suatu
kekuasaan di samping kekuasaan utamanya sebagai Kepala Pemerintahan.
Penggunaan hak konstitusional Presiden selaku Kepala Negara selayaknya
diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain, karena
sesungguhnya pasca amandemen UUD 1945 telah menganut sistem checks
and balances sebagai konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan
presidensial yang dengan jelas memisahkan cabang-cabang kekuasaan sebagai
alat-alat kelengkapan negara.
Selain itu, sistem pemerintahan negara-negara hukum modern saat ini
berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka
pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat
dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan dalam praktiknya sulit
mendapat tempat sehingga dalam praktek ketatanegaraan negara-negara
modern. Hak konstitusional Presiden ini tidak lagi bersifat mutlak dan

5
Jimly Asshiddiqie, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,… h. 167
111

mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam penyelenggaraan


pemerintahan.
Kaitannya dengan eksistensi hak konstitusional Presiden dalam sistem
pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945 telah mengalami
pergeseran yang cukup banyak. Di dalam UUD 1945, eksistensi hak
prerogatif Presiden sudah semakin berkurang dengan ditandainya penggunaan
hak prerogatif tersebut oleh Presiden secara tidak mutlak lagi. Ini dikarenakan
implikasi dari menguatnya prinsip checks and balances dan sharing of power
antar lembaga negara, serta penerapan dari konsep pemisahan kekuasaan dari
lembaga-lembaga negara yang ada.
Oleh karena itu, istilah hak prerogatif Presiden tidak dikenal dalam
kontruksi UUD 1945, maka istilah yang paling tepat berdasarkan perspektif
yuridis ialah hak konstitusional Presiden. Karena memang kekuasaan Presiden
bersumber sepenuhnya dari konstitusi yang telah secara jelas diatur di
dalamnya bahwasannya Indonesia adalah negara berlandaskan hukum.
Dimana konstitusi telah secara jelas menegaskan apa-apa yang menjadi
kekuasaan Presiden.
Penerapan hak konstitusional Presiden di bidang yudikatif memiliki
relevansi dengan eksistensi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Paling tidak
relevansi itu dapat terlihat dari dua perspektif. Pertama, perspektif tentang
pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden sebagai manifestasi
pelaksanaan hak kontitusional Presiden. Kedua, perspektif campur tangan
Presiden dalam proses pengisian jabatan anggota KY, penetapan Hakim
Agung dan pengajuan serta penetapan Hakim MK. Ketiga, berkenaan dengan
pemberian izin/persetujuan tertulis Presiden terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana maka merupakan sesuatu akibat konsekuensi
logis terhadap upaya mereduksi bahkan berpotensi besar mencederai
kekuasaan kehakiman yang pada prinsipnya menjunjung tinggi independensi
dan non diskriminasi yang bersifat merdeka tanpa intervensi dari pihak
manapun termasuk Presiden yang merupakan penguasa (kepala negara dan
kepala pemerintahan). Hal ini merupakan suatu hal yang tidak dapat
terhindarkan mengingat Negara ini menganut sistem presidensial oleh
beberapa ahli dikatakan yang mana memposisikan Presiden sebagai kepala
pemerintahan sekaligus kepala negara dan dengan adanya relasi kuasa dalam
hubungan ketatanegaraan yang mencerminkan checks and balances antar
lembaga tinggi negara dalam kerangka sistem separation of power
(pemisahan kekuasaan).
Terlepas dari hal itu, peneliti menyoroti dalam optik telaah konsep
kekuasaan Presiden dalam pemberian izin penyidikan terhadap anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas anggota DPR sebagaimana ketentuan Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
jika ditelaah dalam perspektif negara hukum, bahwa terkait penerapan hak
konstitusional Presiden ini ialah sebagai kekuasaan yang melekat pada
Presiden sebagaimana yang telah diatur konstitusi yang harus tetap
dipertanggungjawabkan secara konstitusi adalah suatu keharusan
konstitusional.
Adapun bentuk pertanggungjawaban Presiden dalam penggunaan hak
konstitusional ini, yakni terkait pemberian izin dalam penyidikan anggota
DPR tidak hanya meliputi bentuk pertanggungjawaban secara politis, namun
jauh yang lebih vital ialah pertanggungjawaban secara hukum. Secara politis,
Presiden harus mempertanggungjawabkan penggunaan hak-hak konstitusional
yang dilekatkan negara kepadanya secara politik kepada rakyat yang
memilihnya yang wujudnya bisa saja pada pemilu selanjutnya dia tidak
terpilih lagi. Secara hukum, penggunaan kekuasaan Presiden itu dapat
dimintai pertanggungjawaban melalui mekanisme pemakzulan
(impeachment).
Sehubungan dengan sistem presidensiil yang dianut oleh bangsa
Indonesia, maka sudah menjadi konsekuensi logis bahwa Presiden memiliki
hak konstitusional dalam kekuasaan pemerintahan, khususnya kekuasaan
yudikatif yang salah satunya, terkait pemberian izin penyidikan terhadap
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan
pelaksanaan tugas anggota DPR, jika ditelaah secara normatif yuridis yang
dimuat dalam konstitusi Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 dapat dikatakan
konstitusional.
Namun, apabila ditinjau menurut sistem hukum yang berlaku di
Indonesia mengingat adanya asas legalitas dimana pelaksanaan suatu norma
hukum harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Dikatakan bahwa
ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 sebelum
terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tetaplah
konstitusional selama belum adanya pencabutan, penghapusan, atau revisi
yang diejawantahkan dalam suatu undang-undang yang merupakan tindak
lanjut terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut oleh DPR bersama
Pemerintah dalam political will-nya terhadap pembentukan suatu perundang-
undangan di Indonesia sebagaimana ketentuan konstitusi yang menjaminnya.
Hal ini didasarkan pada dasarnya sifat putusan MK yang final and binding,
namun dalam implementasinya putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah
Konstitusi kebanyakan pada praktiknya unexecutable, artinya tidak dapat
dieksekusi dikarenakan tidak dikuatkan atau ditegaskan kembali dalam
pengaturan Undang-Undang a quo.
Sejatinya dalam kerangka negara hukum, putusan pengadilan yang
dalam penelitian ini yakni putusan Mahkamah Konstitusi merupakan sumber
hukum bukanlah menjadi dasar hukum. Secara jelas, dalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 dikatakan mengenai materi muatan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan ialah tindak lanjut dari Putusan
Mahkamah Konstitusi. Maka, berdasarkan hal tersebut telah jelas bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi bukanlah bagian dari hierarki perundang-
undangan yang dijadikan sebagai dasar bernegara sebagaimana ketentuan
Undang-Undang, melainkan sebagai sumber kehidupan bernegara.
Adapun hal yang terpenting harus kita ketahui bersama, bahwasannya
kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat sebagaimana Pasal 1 Ayat (2)
UUD 1945 yang sudah seyogyanya Presiden sebagai daulat rakyat harus
menjalankan amanah rakyat dengan baik. Wewenang khusus yang dimiliki
Presiden ini yang dijalankan oleh fungsi administrasi/prosedur berdasarkan
perintah yang dilegitimasi oleh konstitusi, semata-mata bertujuan untuk
mengadakan pengawasan dalam perlindungan hukum bagi rakyat terlepas dari
latar belakang apapun.
Dengan ini, maka harus diupayakan agar jangan sampai pihak yang
seharusnya dikontrol justru mengontrol pihak yang seharusnya
mengontrolnya. Apabila ini terjadi, maka kepastian hukum serta tertib
administrasi akan menjadi kehilangan makna. Maka, demi
menghindari/mencegah kekuasaan yang tidak disalahgunakan maka harus
ditetapkan batasan-batasannya sebagaimana mestinya dengan cara membagi
kekuasaan tersebut kepada tiga cabang kekuasaan secara berimbang,
proporsional dan akuntabel demi terwujudnya cita negara hukum yang
berkeadilan yang berasaskan prinsip negara hukum.
Sejatinya, amandemen UUD 1945 memiliki semangat untuk
mengurangi kekuasaan Presiden yang dianggap terlalu besar berdasarkan
UUD 1945 sebelum perubahan. Namun, UUD 1945 pasca amandemen masih
menghendaki Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensil
sehingga walaupun kekuasaan Presiden dikurangi tetap saja tidak
menghilangkan sistem presidensil yang dimaksud.
Dalam hal ini peneliti berpendapat, bahwa sistem presidensil yang kita
anut saat ini, belum cukup mengakomodasi berbagai permasalahan bangsa
yang begitu besar dan kompleks dengan wilayah negara yang begitu luas.
Oleh karena itu, kekuasaan dan tanggungjawab politik mustahil
dikonsentrasikan hanya pada satu orang. Dikatakan, apalagi kekuasaan
Presiden saat ini, setelah empat kali amandemen UUD 1945 telah mengalami
beberapa pembatasan guna berjalannya sistem presidensial yang efektif dan
efisien serta akuntabel.
Adapun pokok penting dalam penelitian ini, peneliti melihat
penggunaan hak-hak konstitusional Presiden termasuk dalam hal pemberian
izin dalam penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR sebagai
wujud pelaksanaan kekuasaan Presiden selama ini masih belum diatur secara
jelas dan rinci, bahkan dapat dikatakan multitafsir yang menyebabkan para
penegak hukum mengartikulasikannya dengan interpretasi yang berbeda
antara satu sama lain dan bahkan tidak jarang menimbulkan ambiguitas dalam
memahami konteks tersebut sehingga membuat proses penegakan hukum
menjadi stagnan dan acapkali kasus yang dihadapi anggota DPR bak hilang
dari peredaran karena aturan yang dibuat merupakan pasal karet karena tidak
berjalan efektif akibat ketidakmampuan penyidik dalam memahami makna
ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 ini.
Untuk itu, kebutuhan di masa mendatang menuntut suatu peraturan
perundang-undangan yang jelas dan rinci mengenai hak konstitusional
Presiden RI dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait pemberian izin terhadap anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana meliputi ketentuan pengaturan
yang jelas mengenai batasan-batasan penggunaan, mekanisme pelaksanaan,
dan mekanisme pertanggungjawabannya yang mengacu pada (1) tujuan
bangsa Indonesia dalam bernegara sebagaimana diatur pada Alinea Keempat
Preambule UUD 1945, (2) Pancasila sebagai sumber segala hukum negara dan
(3) Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan bukan HAM dalam batang
tubuh UUD 1945.
Apabila kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan parameter
tersebut dalam hal ini terkait Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka dapat dibatalkan
kembali oleh Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan oleh UUD 1945
untuk menguji suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 karena dianggap
tidak selaras dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia. Sesungguhnya
pembentuk Undang-Undang diberikan keleluasaan dalam membentuk
Undang-Undang yang merupakan pilihan kebijakan pembuat Undang-Undang
sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945,
tidak melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang dan tidak
menyalahgunakan kewenangan.

B. Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang No. 2


Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018 Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Dalam pendekatan teori hukum konstitusi yang mengemukakan bahwa
dalam sistem presidensial sebagaimana yang dianut bangsa Indonesia tidak
mengenal adanya pembedaan antara Presiden selaku kepala negara dan kepala
pemerintahan, maka penggunaan istilah hak konstitusional Presiden menjadi
relevan untuk menunjukkan eksistensi Presiden selaku kepala pemerintahan
negara dimana di dalamnya terdapat dua fungsi yang menyatu pada diri
seorang Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala
Pemerintahan. Lazimnya jabatan kepala negara lebih bersifat simbolis
daripada substansial, tetapi dalam praktik justru bersifat substansial.Hal ini
disebabkan DPR sebagai mitra Presiden senyatanya tidak dapat menjalankan
fungsi legislasinya dengan baik sebagai akibat konfigurasi kepentingan dari
partai politik yang ada di dalamnya.
Terlepas dari pelbagai hal tersebut, agar tidak terjadi kesewenang-
wenangan Presiden dalam menggunakan kekuasaannya, maka penggunaan
kekuasaan Presiden tersebut harus dibatasi karena kekuasaan yang terlalu
besar akan membuka peluang bagi penyalahgunaannya secara lebih besar lagi.
Hal ini pernah didalilkan oleh Lord Acton bahwa “Kekuasaan itu cenderung
korup.” Karena itu, kekuasaan yang demikian harus dibatasi dan konstitusilah
merupakan media yang tepat dalam membatasi kekuasaan dalam suatu negara.
Konstitusi berfungsi untuk mengorganisir kekuasaan agar tidak dapat
digunakan secara paksa dan sewenang-wenang.
Dalam suatu negara hukum yang demokratis, seperti Indonesia,
konstitusi harus berfungsi menjadi leading constitution agar tidak hanya
dijadikan simbol ketatanegaraan yang tidak bergigi sama sekali akibat
banyaknya Undang-Undang yang tidak sejalan dengan substansi konstitusi
atau ditafsirkan berdasarkan kepentingan sesaat untuk mempertahankan
kekuasaan. Untuk itu, setiap Undang-Undang yang dibuat dalam rangka
memberikan pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi sebagai norma hukum tertinggi negara. Termasuk juga
penyelenggaraan negara yang didelegasikan kepada organ negara harus
berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ditentukan oleh konstitusi.
Terlepas dari hal tersebut, dalam sistem hukum di Indonesia terdapat
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu konstitusi UUD NRI
Tahun 1945 ialah sebagai konstitusi tertinggi.Selain konstitusi, berturut-turut
secara hierarki perundang-undangan adalah Undang-Undang atau Perppu, PP,
Perpres dan Perda. Peraturan perundang-undangan tersebut tersusun secara
bertingkat dimana peraturan yang lebih tinggi lebih kuat dibandingkan dengan
peraturan yang lebih rendah. Menurut asas perundang-undangan yang baik,
peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi.
Peraturan yang lebih tinggi merupakan acuan dari peraturan yang lebih
rendah kedudukannya. Apabila terjadi pertentangan antara peraturan yang
lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah
tidak dapat berlaku lagi. Prinsip ini dimaksudkan agar tidak terjadi
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga tercapai
harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal,
maupun horizontal.
Secara vertikal dapat diartikan peraturan perundang-undangan yang
berbeda tingkat dan kedudukannya, sedangkan secara horizontal merupakan
peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat yang setara.
Harmonisasi dan sinkronisasi ini sangat vital agar tidak terjadi tumpang tindih
dalam pengaturan dan kekosongan hukum yang berdampak pada efektifitas
pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan. Terkait peraturan
perundang-undangan dalam penelitian ini, yakni Pasal 245 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
seyogyanya mengacu dalam beberapa peraturan perundang-undangan meliputi
konstitusi UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perkembangan suatu lembaga negara tidak dapat terlepaskan dari
sejarah dinamika ketatanegaraan itu sendiri. Demikian halnya
perkembangan suatu lembaga politik terkait. Selaras dengan tuntutan
reformasi 1998 bahwa dengan dilakukannya amandemen terhadap UUD
NRI Tahun 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara
lain disebabkan masa orde baru dimana kekuasaan tertinggi berada di
tangan MPR, bukan di tangan rakyat.
Adapun tujuan amandemen UUD 1945 kala itu ialah
penyempurnaan aturan fundamental tatanan negara, kedaulatan rakyat,
perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam UUD 1945, terdapat unsur persamaan di depan hukum atau
yang lebih lazim dikenal equality before the law sebagaimana dijamin
dalam Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara
sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
Unsur-unsur yang dimuat dalam UUD NRI 1945, bukan karena
banyak negara yang memuat juga dalam konstitusi di negaranya. Tetapi
bagi bangsa Indonesia, hal ini memiliki sejarah kelam di bawah rezim
kolonial Belanda selama 3,5 abad kala itu. Bangsa Indonesia tempo lalu
disebut sebagai inlander adalah warga negara kelas tiga, karena
kedudukan hukumnya tidak sama dengan golongan Eropa dan Timur
Asing.
Sejarah dan pengalaman pahit tersebut menjadi pemicu dan pelecut
bagi bangsa Indonesia sebagai motivasi utama dalam menjunjung tinggi
120

harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, termaktub dalam


rumusan Pasal 27 Ayat (1) di samping kedudukan yang sama di depan
hukum juga kedudukan yang sama dalam pemerintahan. Dengan
demikian, telah secara tegas UUD NRI Tahun 1945 menjamin kedudukan
setiap warga negara di depan hukum tanpa adanya diskriminasi etnis, ras,
golongan, suku, strata sosial, maupun agama.
Kaitannya dengan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018, bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
pemeriksaan dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis Presiden ialah
bersifat imperatif (wajib). Dengan adanya dikotomi/pengistimewaan
terhadap anggota DPR dalam proses peradilan pidana ini maka amat
mencederai prinsip equality before the law sebagaimana yang
diamanahkan konstitusi Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI.
Secara substantif di dalam UUD 1945 tidak mengenal dikotomi
atau pengistimewaan kedudukan dalam hukum setiap warga negara,
melainkan hak imunitas yang dimiliki DPR yang sejatinya telah jelas
diatur dalam Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan demikian, dalam Pasal 245 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018, bukan merupakan hak
imunitas yang menurut peneliti para pembentuk Undang-Undang a quo
memiliki motif untuk mengkontruksi hak imunitas dalam muatan
substansi pasal ini.
Indonesia sebagai negara hukum dengan corak demokratisnya
mensyaratkan adanya penghormatan terhadap penegakan prinsip
independent judiciary (independensi peradilan). Sebagaimana yang
121

tertuang dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa


kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Hal ini didukung dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-
13-2/PUU-VII/2012 bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-hal
yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam
menyelenggarakan sistem peradilan pidana sehingga sifat independensi
dalam peradilan pidana yang mencakup proses sistem peradilan pidana
yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses
persidangan hingga penjatuhan vonis putusan dan pelaksanaan putusan.
Dalam hal proses penyelidikan dan penyidikan merupakan bagian
dari rangkaian pemeriksaan tersangka yang tidak dapat dipisahkan dari
kekuasaan kehakiman dalam konteks penegakan hukum. Oleh karenanya,
peradilan yang bersifat independen mensyaratkan kondisi dimana aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak boleh ada
kecenderungan/memihak, bekerja sesuai fakta-fakta kronologis kejadian
perkara, dan tentunya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, tanpa
adanya pembatasan kemerdekaan bertindak sebagaimana yang dijamin
konstitusi dalam hal ini bentuk intervensi maupun dikte, gangguan atau
ancaman secara langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun
dengan alasan apapun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018, bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR harus
mendapat persetujuan tertulis Presiden. Tidak ada pengaturan batasan
waktu dalam pemberian izin Presiden untuk penyidikan Anggota DPR,
sebagaimana diatur pada Pasal 245 Ayat (2) UU MD3 terdahulu, yakni
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang menyatakan bahwa dalam persetujuan tertulis tidak diberikan
oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak diterimanya permohonan,
pemanggilan dan permintaan untuk penyidikan baru dapat dilakukan.
Ketentuan tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan sebagai bentuk
restrictions (pembatasan-pembatasan) yang dilakukan oleh DPR dan
berpotensi besar menimbulkan pengaruh buruk serta gangguan secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak
hukum dalam upaya menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang
bulu.
Pada proses penyelidikan dan penyidikan berupa pemanggilan dan
permintaan keterangan dari tersangka merupakan satu kesatuan rangkaian
pemeriksaan dalam proses peradilan pidana yang tak dapat dipisahkan dari
kekuasaan kehakiman yang dijamin konstitusi UUD 1945. Dengan adanya
ketentuan dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 tersebut berimplikasi pada keberlangsungan proses penyidikan
menjadi terhambat karena menunggu terbitnya izin pemeriksaan dari
Presiden. Boleh jadi dimungkinkan izin dari Presiden tidak pernah ada
jawaban apakah disetujui atau ditolak sehingga membuat penanganan
perkara menjadi stagnan bahkan terkatung-katung dalam proses
penyelesaiannya.
Tidak adanya ketentuan batas waktu terkait izin penyidikan oleh
Presiden, dikhawatirkan tersangka dengan mudahnya melakukan hal-hal
yang dapat menghindarinya dari proses hukum yang dijalaninya berupa
melarikan diri, menghilangkan dan merusak barang bukti, atau dapat
mengulangi tindak pidana bahkan berkompromi dengan aparat penegak
hukum baik dalam bentuk pemufakatan jahat supaya kasusnya tidak diusut
atau pemberian gratifikasi kepada aparat penegak hukum untuk
menghentian proses hukum yang telah berjalan.
Sudah menjadi suatu keharusan yang bersifat imperatif
(kewajiban) dalam ketentuan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait pemanggilan
dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis
dari Presiden merupakan faktor yang menjadi pemicu memperlambat dan
menghambat proses penegakan hukum.
Hemat peneliti, hakikat negara hukum bahwa dalam sistem
hukumnya tersusun sistematis dalam kerangka norma hukum secara
hierarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-norma
hukumnya. Sehingga jika terjadi disharmonisasi yang menimbulkan
konflik antara norma-norma hukum, maka akan tunduk pada norma-norma
logisnya yakni norma-norma dasar yang termuat dalam konstitusi.
Menurut asas peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa lex
superiori derogate legi inferiori dimana hukum yang lebih tinggi
mengeyampingkan hukum yang lebih rendah.
UUD NRI Tahun 1945 merupakan lex superiori dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 (UU MD3) sebagai legi inferiori. Oleh
karenanya, ketentuan dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 tidak sinkron dengan Pasal 24 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945. Dengan begitu, seharusnya dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan asas-asas
yang terkandung dalam pembentukan perundang-undangan sebagaimana
yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga peraturan yang
dibuat tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
utamanya berimbas merugikan masyarakat melihat dari disparitas yang
ada.
Terlebih yang patut digarisbawahi bahwasannya dengan merujuk
putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Pasal a quo ini terbukti
tidak efektif mengingat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian
terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3 ini yang tertuang pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XII/2014 yang terbukti belum
dijalankan sebagaimana kita ketahui bahwasannya putusan MK bersifat
final and binding.
Hal ini tentu, harus dijadikan sebagai evaluasi besar bagi DPR
sebagai lembaga negara pembentuk UU bersama Pemerintah dalam
perumusan kebijakan terkhusus mengenai Pasal 245 Ayat (1) UU MD3
demi perbaikan kontruksi kebijakan hukum di masa mendatang. Hal ini
dimaksudkan bahwa ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 bukan
merupakan aturan istimewa untuk melindungi imunitas anggota DPR yang
sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 224 UU MD3 terkait pelaksanaan
tugas anggota DPR. Akan tetapi, ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3
bukan menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan
harus menjamin kepentingan umum demi terwujudnya keadilan bagi
semua warga negara.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil &
Politik
Sebagai negara hukum yang telah menetapkan Pancasila sebagai
falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara dan UUD NRI Tahun 1945
sebagai dasar negara, maka semua aturan yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus berpedoman pada Pancasila dan UUD
1945. Supremasi hukum menjadi instrumen penting dalam rangka
pengimplementasian negara hukum termasuk memelihara dan melindungi
hak-hak warga negara.
Indonesia menjamin perlindungan terhadap hak-hak oleh
konstitusi Republik Indonesia yaitu Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 yang menyatakan semua orang mempunyai kedudukan yang
sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. dalam menentukan
tuduhan pidana terhadapnya atau dalam menentukan segala hak dan
kewajiban dalam suatu gugatan, bahwa setiap orang berhak atas
pemeriksaan yang adil, menjunjung tinggi prinsip persamaan di depan
hukum (equality before the law), dan yang paling penting menjaga
marwah independensi peradilan (independent judiciary).
Sifat independensi peradilan meliputi keseluruhan proses
Integrated Justice System yang dimulai pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, proses persidangan sampai penjatuhan vonis
(putusan) oleh hakim dan pelaksanaan hukuman. Selain itu berdasarkan
Pasal 14 Ayat (1) ICCPR (International Covenant on Civil and Political
Rights) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Pasal 14
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan:
“All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the
determination of any criminal charge against him, or of his rights and
obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public
hearing by a competent, independent and impartial tribunal established
by law…” (“Semua orang harus sama di depan hukum dan peradilan.
Dalam penentuan tuntutan pidana apa pun terhadap dirinya, atau hak-hak
dan kewajibannya dalam gugatan hukum, setiap orang berhak atas
pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten,
independen dan tidak memihak yang didirikan oleh hukum.)”
Bahwa pengertian Independent Judiciary (Independensi Peradilan)
menurut Prinsip-Prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Peradilan,
diantaranya meliputi sebagai berikut:6
1). Independensi peradilan harus dijamin oleh Negara dan diabadikan
dalam Konstitusi atau hukum negara. Adalah tugas semua lembaga
pemerintah dan lainnya untuk menghormati independensi
peradilan;
2). Pengadilan akan memutuskan hal-hal sebelum mereka tidak memihak,
atas dasar fakta dan sesuai dengan hukum, tanpa batasan, pengaruh
yang tidak benar, bujukan, tekanan, ancaman atau gangguan, langsung
atau tidak langsung, dari setiap kuartal atau karena alasan apa pun.
Dengan demikian, peradilan yang independen mensyaratkan
kondisi-kondisi dimana aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya tidak boleh memihak, bekerja sesuai fakta-fakta dan hukum
tanpa pembatasan, pengaruh atau intervensi pihak lain, bujukan, tekanan,
ancaman atau gangguan baik langsung maupun tidak langsung dari pihak
manapun atau untuk alasan apapun.
Dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015
tersebut, menghendaki bahwa semua orang memiliki kedudukan yang
sama di hadapan hukum. Artinya, tidak seorang pun yang diberikan
keistimewaan ketika berhadapan dengan hukum. Sementara itu,
berdasarkan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018, menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan

6
Diadopsi oleh Kongres Ketujuh Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan
Perlakuan terhadap Pelanggar yang diadakan di Milan dari 26 Agustus hingga 6 September 1985 dan
disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/32 pada 29 November 1985 dan 40/146 dari 13 Desember
1985.
untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.
Dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 ini, telah
memberikan keistimewaan terhadap anggota DPR ketika akan dilakukan
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana. Mengingat Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005 menegaskan dari pada Pasal 27 Ayat (1)
UUD NRI 1945 yakni setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan hukum tanpa membeda-bedakan status dan kedudukan.
Berdasarkan kondisi di atas, maka diperlukan sistem perundang-
undangan yang harmonis, terintegrasi, dan konsisten semata-mata untuk
kemashlahatan rakyat yang selaras dengan keberlakuan hukum dan
konstitusi di Indonesia juga menjiwai nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Dalam optik telaah peneliti, maka perlu dicermati bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal dengan adagium lex
specialis derogate lex generalis yang artinya hukum yang bersifat khusus
mengenyampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam penelitian ini,
Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 merupakan lex
specialis dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 sebagai
lex generalis.
Namun, meskipun berlaku khusus, tetap harus memperhatikan
asas-asas hukum yang umum dan tidak boleh melanggar hak-hak dasar
seseorang secara berlebihan. Sehingga, tidak ada disharmonisasi dan
tumpang tindih antara norma hukum dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang menyebabkan kerancuan/ambiguitas hukum dalam
implementasi sistem hukum perundang-undangan di Indonesia.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam penelitian skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait izin/persetujuan tertulis
Presiden dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang
tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 adalah konstitusional menurut ketentuan Pasal
4 Ayat (1) Konstitusi UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD dan
secara tidak langsung menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara
yang menganut sistem Presidensil dimana Presiden sebagai episentrum
kekuasaan negara termasuk di dalamnya mengomandoi tiga cabang
kekuasaan, termasuk kekuasaan yudikatif yang tentunya dibatasi oleh
konstitusi UUD NRI Tahun 1945. Namun, apabila ditinjau berdasarkan
aspek kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum bahwa ketentuan
izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana sebagaimana ketentuan Pasal 245 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 menurut konsep negara hukum
ialah bertentangan dengan prinsip equality before the law dan independent

128
129

judiciary sebagaimana yang telah dijamin Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 24
Ayat (1) UUD 1945.
2. UUD 1945 merupakan norma hukum yang tertinggi (lex superior) dalam
sistem peraturan perundang-undangan berdasarkan hierarki peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kaitannya dengan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018 sebagai norma hukum yang lebih rendah (lex inferior)
bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (1)
UUD 1945 sebagai panglima hukum tertinggi, maka hal ini dapat
dikatakan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tidak sinkron dan harmonis dengan
ketentuan aturan yang berada di atasnya dalam hal ini UUD 1945 dimana
seharusnya aturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi unsur
asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Dan bertentangan
pula dengan ketentuan norma hukum yang setingkat dengannya yang lebih
dulu, yakni Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 Tentang
Hak-hak Sipil dan Hak Politik hasil ratifikasi ICCPR (International
Covenant on Civil and Political Rights).

A. Rekomendasi
1. Untuk kebutuhan di masa mendatang menuntut suatu peraturan
perundang-undangan yang jelas dan rinci mengenai hak konstitusional
Presiden RI dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait pemberian
izin/persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana, meliputi ketentuan pengaturan yang jelas mengenai
batasan-batasan penggunaan, mekanisme pelaksanaan, dan mekanisme
pertanggungjawabannya yang mengacu pada (1) tujuan bangsa Indonesia
dalam bernegara sebagaimana diatur pada Alinea Keempat Preambule
UUD 1945, (2) Pancasila sebagai sumber segala hukum negara dan (3)
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan bukan HAM dalam batang
tubuh UUD 1945. Apabila kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan
parameter tersebut dalam hal ini terkait Pasal 245 ayat (1) UU MD3 ini,
maka dapat dibatalkan kembali oleh Mahkmah Konstitusi yang diberi
kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji Undang-Undang terhadap
UUD 1945 karena dianggap tidak selaras dengan norma hukum yang
berlaku di Indonesia. Sesungguhnya pembentuk Undang-Undang
diberikan keleluasaan dalam membentuk Undang-Undang yang
merupakan pilihan kebijakan pembuat Undang-Undang sepanjang norma
tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak
melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang dan tidak
menyalahgunakan kewenangan.
2. DPR bersama Pemerintah, perlu untuk mengatur tentang menindaklanjuti
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018
terhadap ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diatur secara jelas dan
tidak multitafsir dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan mengacu ketentuan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini
dimaksudkan, agar tidak ada norma hukum yang bertentangan dan
tumpang tindih dalam sistem perundang-undangan yang berlaku. Serta,
demi terciptanya rasa keadilan dalam penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Alrasid, Harun, Masalah Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama


Grafiti, 1999.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:


Kencana, 2006.

Amir, Makmur, SH., MH., Purnomowati, Reni Dwi, S.H., M.H., Lembaga
Perwakilan Rakyat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI,
2005.

Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia Dalam Masa Transisi Politik Di Indonesia,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 2005.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:


Konstitusi Press, 2005.

, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar


Grafika, 2011.Asshiddiqie,

Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah


Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996.

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara


PascaReformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu, 2007.

130
131

Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam


Penyelenggaraan Negara, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana UI,
1990.

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-


Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang,
1992.

Ahmad, Rofiqul Umam, dkk., (ed.), Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia


Kontemporer: Pemikiran Prof. Jimly Asshiddiqie, SH, dan Pakar
Hukum, Jakarta: The Biography Institute, 2007.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 1998.Budiardjo, Miriam, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi
Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: Gramedia Utama,
1994.

Busroh, Abu Daud dan Busroh, Abu Bakar, Asas-Asas Hukum Tata Negara,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991.

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,


Malang: Bayumedia Publishing, April 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: Gramedia, 1989.

Dewata, Mukti Fajar Nur dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif Dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar 2010.

Dicey, A.V., Intoduction to Study of The Law of The Constitution, Indianapolis:


Liberty Fund, 1982.

Elgie, Robert and Moestrup, Sophia, Semi-Presidentialism Outside Europe:


A Comparative Study, New York: Routledge, 2007.
Fatwa, A.M., Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi : Jejak Langkah
Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2004.

Gaffar, Afan, “Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Perubahan


Kelembagaan” Dalam Buku Amandemen Konstitusi Dan Strategi
Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, Jakarta: Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in
Indonesia (PGRI), 2002.

Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia: Setelah Perubahan


UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009.

Hadjon, Philipus M., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press, 2005.

Hamidi, Jazim dan Lutfi, Mustafa, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia,


Bandung: Alumni, 2010.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada,
2006.

Indroharto, Asas-Asas Hukum Pemerintahan Yang Baik, Dalam Pandangan


Paulus Effendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar


Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi


Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2010.

Kantaprawira, Rusadi, Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: Universitas Islam


Indonesia, 1998.
Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1978.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Citra Aditya


Bakti, 1997.

Lijphart, Arend, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta:


PT. Grafindo Persada, 1995.

Marbun, B.N. DPR-RI Pertumbuhan Dan Cara Kerjanya, Jakarta: Pustaka


Utama, 2000.

Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: UII Press, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2005.

Masriani, Yulies Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar


Grafika, 2004.

MD, Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:


Rineka Cipta, 2000.

, Demokrasi Dan Konstitusi di Indonesia; Studi Tentang


Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.

Muhamad, Abdulkadir, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2004.

Mulyosudarmo, Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republik


Indonesia: Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis
Pertanggungjawaban Kekuasaan, Surabaya: Universitas Airlangga,
1990.

Mulyosudarmo, Suwoto, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis


terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Mustafa, Rachman, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001.

Prakoso, Djoko, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta:


Bina Aksara, 1987.

Purnama, Eddy, Lembaga Perwakilan Rakyat, Medan: Syah Kuala University


Press, 2008.

Radjab, Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Roestandi, Achmad, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Jakarta:


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Salang, Sebastian, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan,


Jakarta: Forum Sahabat, 2009.

Sanit, Arbi, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Sartori, Giovanni, Comparative Constitutional Engineering, New York: New


York Press, 1994.

Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan


Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Setjen MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia 1945, Jakarta: Setjen MPR RI, 2006.

Sibuea, Hotma P., Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981.

Soemantri, Sri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Bandung:


Penerbit Tarsito, 1976.
Sirajuddin, Fatkhurohman, Zulkarnain, Legislative Drafting: Pelembagaan
Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Malang: Setara Press, 2015.

Spelt, N.M. dan Berge, J.BJ.M.Ten, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya:


Yuridika, 1992.

Spiro, Herbert J., Responsibility in Government: Theory and Practice, New York:
Van Nostrand Reinhold Company, 1969.

Stefanus, Kotan Y., Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara,


Yogyakarta: Univ. Atmajaya, 1998.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, Bandung:


Alfabeta, 2005.

Sukardja, Ahmad, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Grasindo, 2010.

Sutedi, Adrian, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.

Syafiie, Inu Kencana, Sistem Pemerintahan Indonesia, Yogyakarta: Rineka


Cipta, 2011.

Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,


2004

Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010.
Wahjono, Padmo, S.H., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, Jakarta: Ind-Hill. Co,1996.

B. JURNAL/MAKALAH HUKUM
Hadjon, Philipus M., Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun.

Indrayana, Denny, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan “Presiden


Sial‟ Atau „Presiden Sialan’”, (Makalah disampaikan dalam Seminar
Sehari Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial, Jakarta, 13
Desember 2006.

Indrayana, Denny, Negara Hukum Pasca-Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi


vs Korupsi, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No. 1,
Juli 2004.

Kusuma, R. M. Ananda B., Sistem Pemerintahan Indonesiadalam Jurnal


Konstitusi, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004, Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2004.

Soemantri, Sri, “Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawaban Presiden Pasca


Perubahan UUD 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sistem
Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, yang
diselenggarakan oleh Depkumham bekerjasama dengan FH Unair dan
Kanwil Depkumham Provinsi Jawa Timur di Surabaya pada tanggal 9-
10 Juni 2004.

Suny, Ismail, Kedudukan MPR, DPR, dan DPD Pasca-Amandemen UUD 1945,
Makalah dipresentasikan pada Seminar tentang Sistem Pemerintahan
Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945 diselenggarakan oleh Badan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama
dengan FH Unair dan Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM RI
Prov. Jatim di Surabaya, tanggal 9-10 Juni 2004.

Syafrudin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara YangBersih


dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung,
Universitas Parahyangan, 2000).
C. PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR,


DPR, dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR,


DPR, DPD, Dan DPRD

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Undang-


Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

D. INTERNET
http://gsihaloho.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 30 Agustus 2018 pukul
07.35 BBWI.

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-
tindak- idana.html, diakses tanggal 1 September 2018 pukul 16.25
BBWI.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5063148b69686/mk-pangkas-izin-
pemeriksaan-kepala-daerah, Diakses pada hari Rabu Tanggal 19 Desember 2018
pukul 17.00 BBWI.

https://www.google.co.id/amp/s/m.liputan6.com/amp/2101045/ini-alasan-
lukman-hakim-pilih-jadi-menteri-ketimbang-anggota-dpr pukul 14.00 BBWI,
tanggal 14 Agustus 2018.
Moch. Harun Syah, “Ini Alasan Lukman Hakim Pilih Jadi Menteri Ketimbang
Anggota DPR”, diakses dari “Presiden” www://www.presiden-wikipedia
Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Diakses tanggal 31 Agustus
2018 sekitar pukul 14.00 BBWI.

e Ini, Ada Pasal Kontroversial, bersumber dari , terbitan Senin, 12 Februari 2018 Pukul 16.34 WIB, diakses pada Selasa, 20 Febr

Anda mungkin juga menyukai