Anda di halaman 1dari 92

SKRIPSI

ANALISIS YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA


TENTANG ANAK HASIL PERKAWINAN SIRI
(Studi Putusan Nomor 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd)

Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh:
Erina Dwi Trisnawati
NPM: 19.0201.0046

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2023
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama


Tentang Anak Hasil Perkawinan Siri (Studi Putusan Nomor
571/Pdt.P/2021/PA.Mkd)” yang disusun oleh Erina Dwi Trisnawati (NPM.
19.0201.0046), telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Sidang Ujian
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, pada :

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Nurwati, S.H.,M.H Puji Sulistyaningsih, S.H.,M.H


NIDN. 0605115801 NIDN. 0630046201
Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum UNIMMA

Chrisna Bagus Edhita Praja, S.H., M.H


NIK. 158908136

II
PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama


Tentang Anak Hasil Perkawinan Siri Studi Putusan Nomor
571/Pdt.P/2021/PA.Mkd” yang disusun oleh ERINA DWI TRISNAWATI
(NPM. 19.0201.0046), telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Sidang
Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, pada :

Hari :
Tanggal :
Penguji Utama

Dakum, S.HI., M.H


NIDN. 0605088602

Penguji I Penguji II

Nurwati, S.H.,M.H Puji Sulistyaningsih, S.H.,M.H


NIDN. 0605115801 NIDN. 0630046201
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Magelang

Dr. Dyah Adriantini Sintha Dewi, S.H., M.Hum


NIP. 196710031992032001
III
PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Erina Dwi Trisnwati

NPM : 19.0201.0046

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan

Agama Tentang Anak Hasil Perkawinan Siri (Studi Putusan Nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd)” adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik

yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Apabila dikemudian hari diketahui adanya plagiasi maka saya siap

mempertanggungjawabkan secara hukum.

Magelang, 22 Mei 2023


Saya yang menyatakan,

Erina Dwi Trisnawati


NPM. 19.0201.0046
IV
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Muhammadiyah Magelang, saya yang


bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Erina Dwi Trisnawati

NIM : 19.0201.0046

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Muhammadiyah Magelang Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini,
Universitas Muhammadiyah Magelang berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saja
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Magelang
Pada tanggal : 17 Mei 2023
Yang menyatakan,

Erina Dwi Trisnawati


19.0201.0046

V
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Only you can change your life, Nobody else can do it for you”

Orang lain engga akan bisa paham struggle dan masa sulitnya kita, yang mereka

ingin tahu hanya bagian succes stories. Berjuanglah untuk diri sendiri walaupun

ngga ada yang tepuk tangan, kelak diri kita dimasa depan akan sangat bangga

dengan apa yang kita perjuangkan hari ini.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

- QS. Al Baqarah 286 -

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk diri saya sendiri yang telah berjuang
sampai di titik ini, dosen pembimbing saya Ibu Nurwati, S.H., M.H dan Ibu Puji
Sulistyaningsih, S.H., M.H yang telah membimbing serta memberikan bantuan
masukan dan saran sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa
untuk kedua orang tua saya karena mereka lah yang membuat segalanya menjadi
mungkin sehingga saya bisa sampai pada tahap dimana skripsi ini akhirnya
selesai. Terima kasih atas segala pengorbanan, nasihat, dan doa baik yang tidak
pernah berhenti kalian berikan padaku. Selamanya aku bersyukur dengan
keberadaan kalian sebagai orang tua ku.

VI
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohiim,

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdullilahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT atas segala nikmat karunia serta hidayah-Nya kepada kita semua
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu dalam bidang Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Magelang, yang
berjudul “Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama Tentang Anak Hasil
Perkawinan Siri (Studi Putusan Nomor 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd)” dengan lancar,
dan tidak lupa shalawat serta salam senantiasa penulis haturkan kepada junjungan
besar kita Baginda Rasullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan tugas akhir ini, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya serta rasa hormat kepada:

1. Keluarga saya yang sangat saya cintai, ayah saya Bapak Sutrasno dan Ibu
saya Robiyati yang selalu memberikan kasih sayang, nasihat, semangat,
dukungan moril maupun materiil serta tak pernah lupa mendoakan saya
dalam segala hal termasuk kelancaran supaya dapat menyelesaikan skripsi
ini, serta kakak saya Erlina Widyastuti yang selalu memberikan dukungan
dan semangat kepada saya. Terima kasih banyak atas perhatian dan kasih
sayangnya yang selalu membuat saya bahagia;
2. Seluruh jajaran pimpinan Universitas Muhammadiyah Magelang;
3. Ibu Nurwati S.H., M.H selaku dosen pembimbing pertama saya yang telah
membimbing, memberikan arahan, dan masukan, serta memberikan
motivasi demi terselasaikannya skripsi ini;

VII
4. Ibu Puji Sulistyaningsih, S.H., M.H selaku dosen pembimbing kedua saya
yang telah membimbing, memberikan arahan, dan masukan, serta
memberikan motivasi demi terselasaikannya skripsi ini;
5. Segenap dosen Fakultas Hukum yang telah membantu penulis dalam
mendidik dan memberikan ilmunya selama masa perkuliahan;
6. Sahabat dan teman-teman saya yang selalu ada menemani, mendoakan,
menguatkan, mendukung, membantu, dan memberikan semangat di saat
saya mengalami kendala, serta mendengarkan semua keluh kesah saya
ketika menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Magelang hingga
saya menyelesaikan skripsi ini;
7. Bapak Drs Ali Irfan, S.H., M.H, Ibu Anis Nasim Mahiroh, S.HI., M.H dan
Bapak Taufiqurrachman, M.H selaku hakim Pengadilan Agama Mungkid
yang telah membantu saya dalam memberikan data dan wawancara;
8. Bapak Masrukin, S.H., M.A.g, Bapak Foead Kamaludin, S.Ag, dan Bapak
Syafrul, S.H.I., M.Sy selaku hakim di Pengadilan Agama Temanggung
yang telah membantu saya dalam memberikan data dan wawancara;
9. Ibu Lita Apriyana, S.E., M.M selaku Kepala Bidang Pengelolaan
Administrasi Kependudukan dan Pemanfaatan Data Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kabupaten Magelang yang telah membantu saya dalam
memberikan data dan wawancara;
10. Bapak Drs. Husain Haikal, M.A selaku Kepala Kantor Urusan Agama
Secang yang telah membantu saya dalam memberikan data dan
wawancara;
11. Bapak Dr. Nurodin Usman, Lc., M.A selaku Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Magelang yang telah membantu saya dalam
memberikan data dan wawancara;
12. Teman-teman angkatan 2019 yang sudah menemani saya selama masa
perkuliahan, memberikan semangat serta dukungan kepada saya;
13. Segenap pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu saya selama masa studi di Fakultas Hukum, Universitas
Muhammadiyah Magelang.
VIII
Demikian ucapan terima kasih yang dapat saya sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuan, semangat, motivasi, kasih sayang, dan
terutama doa kepada saya selama ini. Semoga segala kebaikan yang telah
diberikan kepada saya mendapatkan berkah dan balasan dari Allah SWT, serta
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

Magelang, 17 Mei 2023

Penulis

IX
Abstrak

ERINA DWI TRISNAWATI: Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama


Tentang Anak Hasil Kawin Siri (Studi Putusan Nomor 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd).
Skripsi. Magelang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang,
2023.
Perkawinan siri merupakan perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat
perkawinan dalam Islam tetapi tidak dicatatkan. Anak yang lahir dari pasangan
yang menikah siri hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya,
sehingga orang tuanya harus mengajukan permohonan asal usul anak supaya
status anak jelas dan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Skripsi
ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hukum Hakim
dalam perkara asal usul anak yang menetapkan sebagai anak biologis serta akibat
hukum terhadap anak setelah adanya penetapan anak hasil perkawinan siri sebagai
anak biologis. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang
dianalisis secara kualitatif dengan metode pendekatan kasus. Sumber dan jenis
bahan dalam penelitian ini adalah bahan primer yaitu dari hasil wawancara dengan
Hakim Pengadilan Agama, Kepala KUA, Ahli Agama, Pegawai Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Bahan hukum sekunder yaitu Al Quran,
Undang-Undang, buku hukum, jurnal hukum.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa putusan hakim Pengadilan Agama dalam
menetapkan anak sebagai anak biologis dalam studi putusan Nomor
571/Pdt.P/2021/PA.Mkd sudah tepat. Pertimbangan hakim dalam menetapkan
perkara asal usul anak dipastikan terlebih dahulu perkawinan sirinya telah
memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara Islam, selain itu waktu kelahiran
anak juga menjadi pertimbangan. Akibat hukum yang timbul bagi anak biologis
adalah hubungan hukum anak biologis tidak seluas dengan anak sah, jika anak sah
mendapatkan hak keperdataan penuh sampai mewaris dari ayahnya. Sedangkan
anak biologis hanya mendapatkan biaya kehidupan seperti biaya nafkah, biaya
pendidikan, biaya kesehatan, tempat tinggal tetapi, tidak mendapatkan waris dari
ayahnya dan tidak bisa dinasabkan dengan ayahnya. kalaupun memperoleh waris
melalui wasiat wajibah setelah ayah biologis meninggal dunia. Dalam akta
kelahiran anak biologis tetap tertulis sebagai anak ibu saja, pihak Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil tidak bisa menindaklanjuti penetapan anak
biologis, karena Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berpedoman pada
pencatatan pengesahan anak.
Kata kunci: Kawin Siri, Penetapan Hakim, Asal Usul Anak.

X
Abstrak
ERINA DWI TRISNAWATI: Juridical Analysis of the Determination of the
Religious Courts Regarding Children from Siri Marriage (Study of Decision
Number 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd). Thesis. Magelang: Faculty of Law, University
of Muhammadiyah Magelang, 2023.
Siri marriage is a marriage that has fulfilled the pillars and conditions of
marriage in Islam but is not registered. Children born to unregistered married
couples only have a civil relationship with their mother, so their parents must
apply for the origin of the child so that the child's status is clear and has a civil
relationship with their father. This thesis aims to find out what the judge's legal
considerations are in cases of the origin of children who determine them as
biological children and the legal consequences for children after the
determination of children resulting from unregistered marriages as biological
children. This research uses a type of normative legal research which is analyzed
qualitatively with the case approach method. The sources and types of material in
this study are primary materials, namely from the results of interviews with
Religious Court Judges, Heads of KUA, Religion Experts, Civil Registry and
Population Service Employees. Secondary legal materials, namely the Koran,
laws, law books, legal journals.
The results of this study indicate that the decision of the Religious Court judge in
determining the child as a biological child in the study of decision Number
571/Pdt.P/2021/PA.Mkd is correct. The judge's consideration in determining the
case of the origin of the child is to ensure that the siri marriage has fulfilled the
pillars and conditions of Islamic marriage, besides that the time of the child's
birth is also a consideration. The legal consequence that arises for biological
children is that the legal relationship of biological children is not as wide as that
of legitimate children, if legitimate children get full civil rights to inherit from
their father. Meanwhile, biological children only get living expenses such as
living expenses, education costs, health costs, housing but, they do not get
inheritance from their father and cannot be related to their father. even if
obtaining inheritance through a mandatory will after the biological father dies. In
the birth certificate of a biological child it is still written as the mother's child, the
Population and Civil Registry Office cannot follow up on the determination of
biological children, because the Population and Civil Registry Service is guided
by the registration of child validation.
Keywords: Siri Marriage, Determination of Judges, Origin of Children.

XI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri


Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 05' b/U/1987, tanggal 22
Januari 1988.
Konsonan Tunggal

Nama Huruf Latin Keterangan


Huruf Arab

‫ا‬ Alif Tidak Tidak dilambangkan


dilambangkan
‫ب‬ Ba‘ b Be
‫ت‬ Ta‘ t Te
‫ث‬ Sa‘ s Es dengan titik diatasnya
‫ج‬ Jim j Je
‫ح‬ Ha h Ha dengan titik dibawahnya
‫خ‬ Kha kh Ka dan Ha
‫د‬ Dal d De
‫ذ‬ zal z Zet dengan titik diatasnya
‫ر‬ ra r Er
‫ز‬ zai z Zet
‫س‬ sin s Es
‫ش‬ syin sy Es dan Ye
‫ص‬ sad s Es dengan titik dibawahnya
‫ض‬ dad d De dengan titik di bawahnya
‫ط‬ ta t Te dengan titik dibawahnya
‫ظ‬ za z Zet dengan titik dibawahnya
‫ع‬ ‗ain ‗ Koma terbalik dia atas
‫غ‬ ghain gh Ge
‫ف‬ fa f Ef
‫ق‬ qaf q Qi
‫ك‬ kag k Ka
‫ل‬ lam l El
‫م‬ mim m Em
‫ن‬ nun n En
‫و‬ wau w We
‫ﻫ‬ ha h Ha
‫ﺀ‬ hamzah ‗ Apostrof
‫ي‬ ya y Ye

Vokal
Vokal bahasa Arab adalah seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
1. Vokal Tunggal
Vokal tunggal dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau

XII
harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama


fatḥah A A
Kasrah I I
ḍammah U U

2. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Gabungan
Tanda dan Huruf Nama Nama
Huruf
‫ي‬ fathah dan ya ai a dan i
‫و‬ fathah dan waw au a dan u

Contoh:
kataba : ‫كتب‬
fa’ala : ‫فعل‬
żukira : ‫ذكر‬
yażhabu : ‫يذﻫب‬
Su’ila : ‫سعل‬
Kaifa : ‫كيف‬
Haula : ‫ﻫول‬

3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Tanda dan Huruf dan


Huruf Nama tanda Nama
‫ـــؘ ا‬ fathah dan alif atau ya ā a dan garis di atas
‫ـــ ي‬ kasrah dan ya ĩ i dan garis di atas
‫ـــ و‬ dhammah dan wau ũ u dan garis di atas

Contoh:
qāla : ‫قا ل‬
ramā : ‫رما‬
qĩla : ‫قيل‬
Yaqūlu : ‫يقول‬

XIII
4. Ta marbutah
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua:
a. Ta marbuṭah hidup
Tamarbutah yang hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah
dan dhmamah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta marbuṭah mati
Tamarbutah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah “h”.
c. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta marbutah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata
itu terpisah, maka ta marbuṭah itu di transliterasikan dengan ha
“h”.
Contoh:
: ‫ المدينة المنورة‬rauḍah al-atfâl : ‫روضة األطفل‬
: ‫طلحه‬ al-Madînah al-munawwarah
Ṭalḥah

5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydîd, dalam transliterasi ini
tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang
sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
: ‫ر ّبنا‬
: ‫ ّزل‬rabbanâ
‫ ن‬nazzala
al-birr :‫الب ّر‬
al-ḥajj :‫الح ج‬
nu’ima :‫ن ّعم‬

6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu: ‫ ال‬, namun dalam transliterasi ini kata sandang itu
dibedakan atas kata sandang yang ikuti yang diikuti oleh huruf syamsiah
dan kata
a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu huruf /i/ diganti dengan huruf yang sama
dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

XIV
b. Kata sandang diikuti oleh huruf qamariah
Kata sandang diikuti oleh huruf qamariah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan
bunyinya, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf qamariah, kata
sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan
dengan tanda sempang.
Contoh:
ar- : ‫الرجل‬
as- : ‫ السيدة‬rajulu
: ‫ الشمس‬sayyidatu
: ‫ القلم‬asy-syamsu
al-qalamu
al- : ‫البديع‬
badî’u
al- : ‫الجالل‬
jalãlu

XV
Daftar isi

Cover …………………………………………………………………………………………………………………. I

Persetujuan Pembimbing …………………………………………………………………………………… II

Halaman Pengesahan ………………………………..……………………………………………….…….. III

Pernyataaan Orisinalitas ………………………………..…………………………………………………. IV

Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………..……………………………………………………. V

Motto dan Persembahan …………………………..………………………………………………………. VI

Kata Pengantar ………………………………………….……………………………………….….……….. XII

Abstrak ……………………………………………………………………………………………..………………. X

Abstrak ……………………………………..……………………………………………………………………… XI

Pedoman Transliterasi ……………….……………………………………………………………..…… XII

Daftar Isi ………………………………………….………………………………………………….………… XVI

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………… 1

A. Latar Belakang ……………………………………………………………………………..………. 1


B. Rumusan Masalah ……..…………………………………………………………………….…… 10
C. Tujuan ……………………………………………………………………………………………..…… 11
D. Manfaat ………………………………………………………………………………………………… 12

BAB II Kajian Pustaka …………………………………………………………………………………….. 12

A. Penelitian Terdahulu ………………………………………………………………………..…… 12


B. Kerangka Teori ……………………………………………………………………………..……… 16

BAB III Metode Penelitian ………………………………………………………………………………. 37

A. Jenis Penelitian …………………………………………………………………………………….. 37


B. Pendekatan Penelitian …………………………………………………………………………… 37
C. Objek Penelitian ………………………………………………………………………………..…. 37
D. Sumber Data …………………………………………………………………………………………. 38
E. Teknik Pengambilan Data ………………………………………………………………..…… 38

BAB IV Hasil dan Pembahasan …………………………………………………………………..…… 39

XVI
A. Fokus Penelitian …………………………………………………………………………………… 39
1. Gambaran Umum Pengadilan Agama Mungkid …………………………….. 39
a. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid ……………………………………..… 39
b. Letak Geografis dan Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama
Mungkid ………………………………………………………………………….……….. 40
c. Kewenangan Pengadilan Agama Mungkid ………………………………. 40
2. Studi Putusan Nomor 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd ……………………………… 41
B. Pertimbangan Hakim dalam penetapan anak hasil perkawinan siri ..……. 44
C. Akibat hukum terhadap anak setelah penetapan ………………………….……….. 61

BAB V PENUTUP …………………………………………………………………………………………… 70

A. Kesimpulan ……………………..…………………………………………………………..………. 70
B. Saran …………………………………………………………………………………………………….. 71

Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………..………… 75

XVII
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan siri secara etimologi dari kata “sirri” berasal dari bahasa

Arab, yaitu “sirrun” yang artinya rahasia, diam, tersembunyi, kata sirri ini

kemudian digabung dengan kata nikah sehingga menjadi nikah siri dalam

artian nikah secara diam-diam atau tersembunyi. Makna diam-diam dan

tersembunyi ini memunculkan dua makna, yaitu pernikahan yang diam-

diam tidak diumumkan kepada khalayak ramai atau pernikahan yang tidak

diketahui atau tidak tercatat di Pegawai Pencatatan Nikah (Syamdan,

2019). Perkawinan siri dilakukan oleh orang-orang Islam yang telah

memenuhi rukun dan syarat perkawinan dalam Islam tetapi tidak

dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Namun berdasarkan praktek

dalam masyarakat, masih banyak ditemukan adanya perkawinan yang

dilangsungkan dengan tidak mengikuti aturan yang ada, seperti

perkawinan siri yang menjadi masalah karena tidak diketahui oleh pejabat

yang berwenang (Kharisudin, 2021).

Allah telah memerintahkan manusia untuk melakukan pernikahan

sebagaimana dalam Q.S. An-Nur (24) : 32

1
ۤ ۤ
ّٰ ‫ي ِم ُْن ِعبَ ِاد هك ُْم َواَِما ِٕى هك ُْم اِ ُْن يَّ هك ْونه ْوا فه َقَرا ُءَ يه ْغنِ ِه هُم‬
ُ‫الله‬ َُ ْ ‫الصلِ ِح‬ ِ ِ
ّٰ ‫َواَنْك هحوا ْاْلَ ََي ٰمى مْن هك ُْم َو‬

ُ‫الله َو ِاسعُ َعلِْيم‬


ُّٰ ‫ضلِهُٖۗ َو‬
ْ َ‫ِم ُْن ف‬

Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu

dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba

sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.

Jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka

dengan karunia-Nya.

Adapun hikmah perkawinan untuk mendapatkan keluarga bahagia

yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari

firman Allah dalam Q.S. Ar-Rum (30) : 21

ً‫اجا لِِّتَ ْس ُكنُ ْوا اِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َّم َوَّدة‬ ِ ِ ِ ِ


ً ‫َوم ْن اٰيٰتهّٓ اَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم ِّم ْن اَنْ ُفس ُك ْم اَْزَو‬
‫ت لَِِّق ْوٍم يَّتَ َف َّك ُرْو َن‬
ٍ ٰ‫ك َ َٰلي‬ ِ ِ
َ ‫َّوَر ْْحَةً ۗ ا َّن ِ ِْف ٰذل‬

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu

cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya

diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Tata cara perkawinan yang sah menurut hukum negara dan hukum

Islam telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

2
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Bahwa dalam Islam pernikahan

jika telah memenuhi rukun dan syarat maka hukum pernikahan tersebut

menjadi sah. Hal ini berbeda dengan hukum negara yang menyatakan

bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan oleh pejabat yang berwenang,

maka perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Selain itu

berdasarkan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008

tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan

Sipil mengatur dalam hal pelaporan kelahiran tidak disertai kutipan akta

nikah/akta perkawinan orang tua, pencatatan kelahiran tetap dilaksanakan.

Dengan demikian dalam perspektif peraturan perundang-undangan,

perkawinan siri tergolong perkawinan yang tidak sah dan ilegal.

Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

pada Pasal 34 yang berbunyi “Penduduk dapat membuat surat pernyataan

tanggung jawab mutlak atas kebenaran data dengan diketahui (2) dua

orang saksi dalam hal:

a. Tidak memiliki surat keterangan kelahiran;

b. Tidak memiliki buku nikah atau kutipan akta perkawinan atau

bukti lain yang sah tetapi status hubungan dalam Kartu Keluarga

menunjukan sebagai suami isteri.

Maka dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pasangan nikah siri

bisa membuat kartu keluarga (KK). Namun, ada syarat khusus yang harus

dipenuhi oleh pasangan nikah siri atau dalam peraturan ini disebut

3
perkawinan yang belum dicatatkan. Syarat tersebut, yakni membuat surat

pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) perkawinan belum tercatat.

Dalam peraturan ini, SPTJM atas kebenaran data dapat dibuat bagi

pasangan suami isteri yang tidak memiliki buku nikah atau kutipan akta

perkawinan.

Perkawinan berdasarkan hukum Islam tertuang dalam Pasal 2 Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan

bahwa: "Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah". Sebagaimana dijelaskan

sebelumnya kata sangat kuat menunjukkan bahwa perkawinan bukanlah

seperti perjanjian keperdataan semata, melainkan perkawinan dilandasi

dengan niat ibadah dan menyempurnakan agama (Sanjaya, 2017).

Q.S. An-Nisa’ (4) : 21

ٍ ‫ض ُك ْم اِ ٰٰل بَ ْع‬
‫ض َّواَ َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِِّمْي ثَاقًا َغلِْيظًا‬ ُ ‫ف ََتْ ُخ ُذ ْونَهّ َوقَ ْد اَفْضٰى بَ ْع‬
َ ‫َوَكْي‬

Artinya : “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal

kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka

(istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan)

dari kamu”.

Kasus kawin siri menjadi fenomena tersendiri walaupun telah

memenuhi rukun dan syarat tetapi karena alasan tertentu tidak dicatat di

lembaga yang berwenang yaitu Kantor Urusan Agama (KUA). Sampai


4
saat ini praktik kawin siri masih sering dijadikan alternatif pernikahan

sebagai bentuk mengantisipasi pergaulan bebas yang semakin marak

antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim walaupun jika dilihat

secara psikologis, moril, sosial, dan materil belum ada kesiapan yang

memumpuni secara formal.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Hukum Islam memang

memperbolehkan melakukan perkawinan siri, tetapi akibat hukum dari

kawin siri apabila terjadi permasalahan di kemudian hari maka tidak akan

mendapatkan jaminan hukum untuk para pihak, karena negara

menganggap perkawinan tersebut tidak pernah ada sebab tidak ada bukti

pencatatan perkawinan. Dalam hal ini yang akan menjadi korban adalah

perempuan dan anak.

Sebagaimana tercantum pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

Perkawinan menjelaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal ini bertujuan untuk

kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena dengan adanya perkawinan

siri yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab, akan

sangat mudah lari dari kewajibannya terhadap istri dan anak-anaknya,

seperti tidak terjaminnya hak isteri untuk memperoleh nafkah, suami bisa

melakukan kawin cerai dengan sesuka hati, dan masalah-masalah lain

yang sulit untuk dituntut secara hukum karena tidak adanya alat bukti

pencatatan perkawinan (Adillah, 2016).

5
Akibat hukum lainnya terhadap anak yaitu kesulitan dalam perwalian

anak perempuan bila ia hendak menikah, sulit untuk mendapatkan hak

waris, statusnya dalam hukum negara tidak jelas. Selain itu anak yang

dilahirkan pada akta hanya tertulis nama ibunya saja sebagaimana

dijelaskan pada Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang

berbunyi “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Terkait dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan yang telah diajukan permohonan pengujian terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh

Hj. Aisyah Mochtar alias Machica dan Muhammad Iqbal Ramadhan,

Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian permohonan pengujian

tersebut, dengan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Mahkamah

Konstitusi telah membuat putusan revolusioner dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status asal usul anak di luar

perkawinan yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar

perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya,

akan tetapi juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya

yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dirasa

sudah terpenuhi rasa keadilan terhadap status anak luar nikah. Khususnya

dalam hubungan keperdataan dan memberikan perlindungan terhadap hak-

hak anak di mata hukum dan masyarakat. Karena fakta yang terjadi selama

6
ini dalam kasus anak yang lahir di luar nikah belum ada hukumnya,

sehingga memberikan rasa keadilan bagi anak di luar nikah yang menurut

konstitusi harus diperlakukan sama di hadapan hukum (Iqbal, 2022).

Putusan ini melahirkan suatu prinsip hukum dalam bidang hukum

keluarga, yaitu prinsip tanggung jawab ayah biologis terhadap anak

di luar perkawinan, yang tentunya membawa perubahan paradigma

yang mewajibkan kedua orang tua kandung atau orang tua biologis

bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan

(Usman, 2014).

Berdasarkan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa

seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya tanpa menunggu anaknya lahir, sehingga saat

melangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan

perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Kemudian dalam

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “Anak yang lahir di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya”.

Dilansir dari humas.magelangkota.go.id Kepala Disdukcapil Kota

Magelang Larsita mengatakan, berdasarkan database kependudukan Tri

Wulan I Tahun 2022 di Kota Magelang, terdapat data penduduk dengan

status kawin tidak tercatat sebanyak 8.784 penduduk (4.392 KK). Dari

kasus ini dapat kita lihat bahwa walaupun sudah ada peraturan yang jelas,

namun pada kenyataannya masyarakat masih banyak yang melaksanakan

7
perkawinan siri tanpa memikirkan dampak yang bisa merugikan

khususnya terhadap anak.

Pada tanggal 28 Oktober 2021 telah terdaftar surat permohonan di

Register Kepaniteraan Pengadilan Agama Mungkid mengenai permohonan

penetapan asal usul anak dengan register perkara Nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd. Pada kasus ini dijelaskan, Pemohon telah

melangsungkan pernikahan sesuai rukun dan syarat nikah menurut agama

Islam dengan Almarhumah Rahmita Wahyu Anggraeni binti Darmoko

pada tanggal 14 Oktober 2010 di Kabupaten Sidoarjo. Pernikahan

pemohon dengan almarhumah hanya dilakukan menurut agama saja

sehingga tidak mempunyai kutipan akta nikah resmi yang dikeluarkan oleh

Kantor Urusan Agama (KUA). Selanjutnya pemohon dan almarhumah

telah dikarunia satu orang anak laki-laki yang bernama Reyza Alvino yang

lahir pada tanggal 31 Januari 2011 dan pada akta kelahiran anaknya hanya

tertulis nama ibunya saja. Oleh karena itu keduanya melakukan pernikahan

ulang pada tanggal 31 Mei 2012 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah

Kantor Urusan Agama Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo.

Kemudian, pada tanggal 19 April 2013 istri pemohon meninggal

dunia. Karena Pemohon dan Almarhumah memang telah berhubungan

secara biologis dan mempunyai anak laki-laki, dan juga faktanya mereka

sudah menikah sah secara hukum agama, sehingga pemohon harus

mengajukan permohonan asal usul anak supaya dalam Kutipan Akta

Kelahiran anak tercantum nama pemohon. Maka dari itu, pemohon ingin

8
dalam akta kelahiran anak menerangkan bahwa anak tersebut adalah anak

kandung dari pemohon dan almarhumah dan harus mendapatkan hak

keperdataan yang penuh dari pemohon sebagai ayah biologisnya.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang

menyatakan bahwa “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan

akta nikah, dapat diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama” hal ini dapat

disimpulkan bahwa pernikahan siri diperbolehkan tetapi harus mengajukan

isbath nikah di Pengadilan Agama dengan syarat yang telah ditentukan.

Selain itu, perkawinan siri dalam hukum islam, sah atau tidaknya suatu

perkawinan tidak terletak pada dicatatkan atau tidak dicatatkan pada

pejabat yang berwenang, tetapi yang membuat sah tidaknya suatu

perkawinan terletak pada syarat dan rukun pernikahan yakni ijab, qabul,

dua orang mempelai, wali, dan dua orang saksi (Kusumo, 2017).

Isbat nikah merupakan solusi atas berlakunya Undang-Undang

perkawinan Pasal 2 ayat (2) yang mengharuskan pencatatan perkawinan.

Selain isbat nikah, solusi lain bagi pasangan yang telah menikah siri

supaya anak mendapatkan perlindungan hukum dan dalam akta kelahiran

anak tercantum nama ayahnya dilakukannya penetapan pengadilan agama

tentang asal usul anak. Ketentuan ini bertujuan untuk menegaskan status

hukum seorang anak sebagai anak kandung dari kedua orang tuanya

berdasarkan pembuktian di pengadilan tentang status hukum anak tersebut.

Dengan demikian, perkawinan siri memang sah dalam agama islam,

namun disisi lain akan ada dampak dan akibat hukum yang merugikan

9
khususnya bagi anak, dari bukti kelemahan yang ada salah satunya dalam

kasus permohonan asal usul anak nomor 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd yang

mana pada kasus tersebut istri pemohon telah meninggal dunia sehingga

pemohon harus mengajukan penetapan asal usul anak ke Pengadilan

Agama untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan atas hak

hak anak yang sebenarnya anak tersebut adalah anak kandung dari

pemohon.

Berdasarkan dari uraian yang telah dipaparkan oleh penulis di atas

maka penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis dalam skripsi yang

berjudul “Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama Tentang Anak

Hasil Perkawinan Siri”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penetapan anak hasil

perkawinan siri?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap anak setelah adanya penetapan

anak hasil perkawinan siri sebagai anak biologis?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan

studi putusan tentang anak hasil perkawinan siri.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap anak setelah adanya

penetapan anak hasil perkawinan siri sebagai anak biologis.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini sebagai berikut:

10
a. Kegunaan teoritis

Memberikan konstribusi pemikiran dalam ilmu pengetahuan

khususnya pengetahuan yang terkait dengan penetapan anak hasil

kawin siri dan diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan referensi bagi

peneliti selanjutnya.

b. Kegunaan praktis

a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah

pengetahuan mengenai penetapan pengadilan agama tentang asal

usul anak dari hasil perkawinan sirri.

b. Bagi hakim Pengadilan Agama, penelitian ini diharapkan bisa

menjadi bahan masukan dalam penyelesaian perkara penetapan

asal usul anak.

c. Bagi masyarakat dan mahasiswa, hasil penelitian ini harapkan

dapat berguna sebagai bahan pembelajaran dalam rangka

menganalisis perkara penetapan asal usul anak dan akibat hukum

yang ditimbulkan setelah adanya putusan di Pengadilan Agama

Mungkid.

11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

a. Penelitian Terdahulu

Skripsi yang ditulis oleh Mirza Muis (2018) dengan judul “Analisis

Yuridis Terhadap Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama Sidoarjo

Nomor 280/Pdt.P/2015/PA.Sda Tentang Penolakan Asal Usul Anak Hasil

Perkawinan Sirri Tanpa Dihadiri Wali”. Penelitian ini menggunakan

penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan teknik

pengumpulan data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.

Skripsi ini menjelaskan bahwa majelis hakim Pengadilan Agama Sidoarjo

menolak permohonan pemohon. Dalam mengadili perkara tersebut,

hakim berpendapat bahwa perkawinan pemohon tidak memiliki wali

yang sah sehingga tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan Islam di

Indonesia dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku dan

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat

1 Undang-Undang Perkawinan. Selain itu, hakim juga mengutip hadits

yang diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Tayarihi sebagai dalil,

menjelaskan bahwa Nabi melarang pernikahan tanpa wali nikah dalam

hadits tersebut. Oleh karena itu, jika permohonan ingin dikabulkan sesuai

dengan prosedur permohonan penetapan asal usul anak ini seharusnya

dilakukannya isbat nikah terlebih dahulu.

Salma Novianti (2019) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis

Penetapan Hakim Pengadilan Agama Salatiga Tentang Asal Usul Anak


12
dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Studi Penetapan

No.0025/Pdt.P/2019/PA.Sal dan No.0017/Pdt.P/2019/PA.Sal)”. Penelitian

ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dan dianalisis secara

deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut hukum

Islam, anak yang lahir di luar nikah hanya dapat memiliki hubungan

darah dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dasar hukum putusan anak

luar kawin ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 tentang anak luar kawin. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, dengan syarat bukti kuat dari hasil

tes DNA. Berbeda dengan peraturan Persidangan Salatiga Nomor

0025/Pdt.P/2019/PA.Sal dan Nomor 0017/Pdt.P/2019/PA.Sal, anak yang

lahir di luar nikah hanya dapat dibuktikan dengan keterangan para

pemohon dan para saksi. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, telah

menimbulkan kontroversi dalam hukum Islam karena tidak sesuai dengan

aturan hukum Islam yang ada.

Hartini (2020) dalam jurnalnya yang berjudul “Asas Personalitas

Keislaman Dalam Penetapan Asal Usul Anak Luar Kawin ke Pengadilan

Negeri”. Jenis penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif dengan

dianalisis secara kritis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

berdasarkan asas personalitas keislaman, pengajuan penetapan anak luar

kawin ke pengadilan negeri, tidak sepenuhnya salah karena terbukanya

peluang penafsiran secara luas pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

khususnya ketika dikaitkan dengan bidang administrasi kependudukan.

13
Perkara yang diajukan ke pengadilan negeri terkualifikasi sebagai perkara

pengakuan atau pengesahan anak. Penetapan tersebut berimplikasi pada

perbedaan akibat hukum dan berpotensi melanggar hukum Islam

khususnya yang kaitan dengan hak anak luar kawin terhadap ayahnya.

Skripsi yang ditulis oleh Rizqi Yulia (2021) dengan judul

“Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Penetapan Status Anak Hasil

Poligami Pegawai Negeri Sipil Yang Tidak Dicatatkan di Pengadilan

Agama Brebes (Studi Perkara Nomor 482/Pdt.P/2020/PA.Bbs)”.

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kepustakaan (library

research) kemudian dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian

ini adalah ditolaknya permohonan pengesahan asal usul anak yang lahir

dari PNS dalam poligami terselubung. Majelis Hakim berpendapat bahwa

perkawinan yang dilakukan Para Pemohon adalah poligami terselubung,

karena suami yang melakukan perkawinan tersebut masih terikat

perkawinan dengan wanita lain, akibatnya perkawinan yang dilakukan

telah melanggar Pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

sehingga anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut tidak diakui dan

tidak dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran. Pernikahan yang dilakukan

oleh pemohon sah secara agama tetapi tidak dicatat. Jadi, anak yang

dilahirkan dalam perkawinan tersebut adalah sah. Sebagaimana prosedur

penetapan asal usul anak yang lahir dalam perkawinan yang tidak

dicatatkan, para pemohon harus melakukan isbat nikah terlebih dahulu,

bukan langsung melakukan nikah ulang di Kantor Urusan Agama. Dalam

14
perkara ini, Majelis Hakim dapat menerapkan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagai acuan untuk menetapkan

asal usul anak, yaitu dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan

teknologi atau alat bukti lain misalnya tes DNA. Sehingga dapat

melindungi penelantaran anak sebagaimana dalam Pasal 26 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Abdul Rohim (2022) dalam skripsinya yang berjudul “Pengesahan

Asal-Usul Anak Luar Nikah (Disparitas Penetapan Hakim Nomor

151/Pdt.P/2020/PA.Cbn dan Penetapan Nomor 40/Pdt.P/2017/PA.Bky)”.

Jenis penelitian ini yaitu hukum normatif yang dianalisis secara kualitatif.

Penelitian yang dihasilkan menunjukkan bahwa adanya disparitas dalam

putusan hakim terhadap upaya pengesahan asal-usul anak dalam penetapan

Nomor 151/Pdt.P/2020/PA.Cbn. Hakim mengabulkan permohonan

pengesahan asal-usul anak luar nikah tersebut dengan mengacu kepada

ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam putusan

tersebut hakim cenderung mengarah kepada hukum Positif serta mengacu

pada aspek perlindungan anak. Kemudian pada penetapan Nomor

40/Pdt.P/2017/PA.Bky bahwa Hakim menolak permohonan pengesahan

asal-usul anak luar nikah tersebut dengan mengacu pada ketentuan hukum

Islam yang menyinggung tentang ketentuan batas minimal masa kehamilan

dimana dalam perkara tersebut tidak memenuhi kriteria dalam ketentuan

hukum Islam tersebut maka Hakim menolaknya.

15
Berdasarkan penelitian diatas terdapat perbedaan dimana peneliti

membahas mengenai penetapan pengadilan agama tentang anak hasil

perkawinan siri sebagai anak biologis.

b. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia

a. Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan untuk

membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah (Isnaini,

2014). Perkawinan mengikatkan antara seorang laki-laki dan

wanita untuk menghalalkan hubungan dengan dasar sukarela untuk

mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa

kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh

Allah (Pangaribuan, 2019). Selain itu berdasarkan Pasal 2

Kompilasi Hukum Islam Perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidtzan

untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Ungkapan akad yang sangat kuat merupakan penjelasan

dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan

Undang-Undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan

itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan

(Syarifuddin, 2006).

Q.S. Al Baqarah (2) : 230

16
ْۢ
‫فَاِ ْن طَلَّ َق َها فَ ََل ََِت ُّل لَهّ ِم ْن بَ ْع ُد َح ِّّٰت تَ ْن ِك َح َزْو ًجا َغ ْ َْيهّ ۗ فَاِ ْن‬

ۗ ِ‫اّلل‬ ِ ِ ‫طَلَّقها فَ ََل جناح علَي ِهما اَ ْن يََّت‬


ِّٰ ‫اج َعا ا ْن ظَنَّا اَ ْن يُّقْي َما ُح ُد ْوَد‬
َ ََ َ ْ َ َ َُ ََ
‫اّللِ يُبَ يِِّنُ َها لَِق ْوٍم يَّ ْعلَ ُم ْو َن‬ َ ‫َوتِْل‬
ِّٰ ‫ك ُح ُد ْوُد‬

Artinya : “Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang

kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia

menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain

itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami

pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya

berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah

ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-

orang yang berpengetahuan”.

b. Tata Cara Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

tidak diatur mengatur dengan tegas tentang tata cara pencatatan

nikah, akan tetapi dalam Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan mengatur tentang tata cara perkawinan.

Dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu:

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak

pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat

seperti yang dimaksud Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

17
2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-

masing hukum agamanya dan kepercayaan itu, perkawinan

dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh

dua orang saksi (Zainuddin, S.H., 2017).

c. Syarat dan rukun perkawinan Islam

Adapun syarat dan rukun dalam sebuah pernikahan sebagai

berikut:

1. Rukun perkawinan

a. Calon suami;

b. Calon isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi;

e. Ijab dan Qabul.

2. Syarat sah perkawinan

a. Beragama Islam;

b. Calon isteri tidak sedang masa iddah;

c. Bukan mahram calon suami/isteri;

d. Telah dewasa dan berakal sehat;

e. Bisa melihat dan mendengar;

f. Bersifat adil;

g. Tidak sedang ihram.

18
d. Pernikahan Siri

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata nikah

merupakan sebuah ikatan atau akad dalam melakukan perkawinan

menurut ketentuan hukum dan agama. Istilah pernikahan dikenal

berasal dari bahasa Arab yang berarti na-ka-ha atau za-wa-ja

mengandung maksud bahwa akad membolehkan hubungan

kelamin antara laki-laki dan perempuan (Amir Syarifuddin, 2006).

Sedangkan arti dari kata kawin atau perkawinan adalah membentuk

sebuah keluarga dengan lawan jenis atau bersuami isteri. Sehingga

pernikahan atau perkawinan memiliki arti yang sama hanya saja

berbeda bahasa, kemudian banyak orang yang menggunakan istilah

nikah siri karena pernikahan siri banyak dilakukan oleh orang-

orang islam.

Nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali dan

disaksikan oleh saksi tetapi nikah tidak dilakukan di hadapan

pejabat pencatatan nikah yang merupakan aparat resmi dari

pemerintah sehingga perkawinan tidak tercatat di Kantor Urusan

Agama, sehingga tidak mempunyai akta nikah yang dikeluarkan

oleh pemerintah walaupun nikah siri ini sah secara agama, namun

secara administratif pernikahan tersebut tetap tidak mendapatkan

pengakuan dari pemerintah (Jamaluddin & Amalia, 2016).

Pada umumnya nikah siri atau perkawinan siri mempunyai tiga

pengertian (Kusumo, 2017), yaitu :

19
1. Pernikahan tanpa wali atau saksi, pernikahan ini dilakukan

secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Pernikahan semacam

ini menurut hukum Islam tidak sah atau dilarang.

2. Pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi

saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkan pada khalayak

ramai. Sebagian ulama menyatakan sah tetapi makruh dan

yang lainnya menyatakan tidak sah.

3. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang

saksi yang adil serta adanya ijab qobul, namun pernikahan ini

tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA). Bila

dilihat dari hukum islam, pernikahan ini termasuk pernikahan

yang sah.

Penyebab masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya

kembali kepada pribadinya masing-masing seperti kurangnya

pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan nikah.

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan

perkawinan siri antara lain karena faktor ekonomi dimana

masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk

membayar biaya-biaya untuk mencatatkan pernikahannya sehingga

lebih memilih nikah siri, faktor sosial dikarenakan adanya kesulitan

pencatatan perkawinan, belum memenuhi batas usia perkawinan

menurut peraturan perundang-undangan, dan faktor agama dimana

nikah siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar

20
dijauhkan dari zina dan dosa (Aminah, 2014). Tujuan kawin siri

sendiri untuk memberikan nama baik di lingkungan masyarakat

yang ditempati, karena dengan adanya ikatan perkawinan walaupun

siri masyarakat akan menganggap suatu perbuatan yang tidak

melanggar hukum, khususnya hukum Islam.

2. Tinjauan Umum Tentang Anak

a. Pengertian Anak

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

tentang Perlindungan Anak di tegaskan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih

dalam kandungan. Orang tua wajib memberinya kasih sayang,

mendidik dan merawatnya hingga mencapai usia dewasa dan

memberikan perlindungan untuk anak. Jenis perlindungan yang

dimaksud adalah hak-hak yang harus dilindungi dan diberikan

kepada anak, seperti hak untuk hidup, tumbuh dan, dan hak atas

pendidikan (Ismawati, 2021). Dalam sistem hukum perdata, anak

sah memiliki hak penuh untuk mendapatkan pemeliharaan,

pendidikan dan hak waris. Tetapi anak luar kawin, tidak

mendapatkan hak apapun. Anak yang lahir di luar kawin ibarat

anak tanpa ayah atau ibu. Ko Tjai Sing mengatakan, bahwa di masa

lalu, hubungan perkawinan sangat sakral, sehingga hubungan

antara laki-laki dengan perempuan di luar ikatan perkawinan yang

sah dalam pandangan masyarakat dipandang rendah. Anak yang


21
tidak sah diberikan kedudukan hukum yang buruk dan akibat-

akibat kesalahan ayah dan ibu dibebankan pada anak-anak yang

tidak bersalah (Nurhayati, 2019).

Berdasarkan ketentuan hukum perdata, ada tiga macam anak yaitu:

1. Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam ikatan

perkawinan yang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 250

BW;

2. Anak yang diakui, yaitu pengakuan anak terhadap anak luar

kawin, pengakuan ini dapat dilakukan oleh ayah atau ibunya

dengan maksud antara anak dengan kedua orang tuanya ada

hubungan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 280 BW;

3. Anak yang disahkan, yaitu anak luar kawin antara seorang

wanita dan pria yang mengakui anak yang lahir sebelum

menikah itu sebagai anak mereka yang sah, pengakuan

tersebut dilaksanakan dengan mencatatnya dalam akta

perkawinan (Abdul Manan, 2006).

b. Kedudukan Anak dalam Perkawinan

1. Menurut Hukum Islam

Kedudukan Anak sangat penting dalam keluarga, sahnya

seorang anak didalam Islam adalah menentukan apakah ada

atau tidak hubungan nasab dengan seorang laki-laki. Dalam hal

hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh

kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh

22
perkawinan dengan nama Allah disucikan. Dalam Kompilasi

Hukum Islam juga mengatur mengenai anak sah sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam bahwa

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat

perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami-istri yang

diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. Menurut

Hukum Perkawinan Islam anak baru dianggap sah dan

mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya, jika

perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya minimal 6

(enam) bulan dari perkawinan yang sah, Oleh karena itu bila

anak lahir kurang dari 6 bulan, maka hubungan

kekerabatannya tidak bisa dikaitkan dengan bapaknya

walaupun dalam perkawinan yang sah (Edyar, 2016). Selain itu

menurut Aswadi Syukur menyebutkan bahwa para fukaha

menetapkan suatu tenggang kandungan yang terpendek adalah

180 hari. Seluruh mazhab fiqih, baik mazhab Sunni maupun

Syi’ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah 6 bulan.

Anak yang dilahirkan pada waktu kurang dari enam bulan

setelah akad nikah tidak dapat dinisbahkan kepada laki-laki

atau suami dari yang menghamilinya karena anak tersebut

dianggap tidak legal, tidak mempunyai nasab sehingga tidak

mempunyai hak sebagaimana layaknya seorang anak dengan

ayahnya atau orang tuanya (Zainuddin, 2017).

23
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan

Kedudukan anak menurut Undang-Undang Perkawinan terbagi

menjadi dua golongan, yaitu:

1) Anak sah

Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa

“anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau

sebagai akibat perkawinan yang sah“ dalam hal ini anak

tersebut adalah anak sah dari ibu dan ayahnya.

2) Anak diluar kawin

Anak diluar kawin adalah anak yang lahir dari

perempuan yang tidak berada dalam ikatan perkawinan

yang sah dengan pria yang menyetubuhinya (Abdul

Manan, 2006). Maksud dari di luar nikah adalah hubungan

antara seorang pria dengan wanita yang dapat melahirkan

keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam

ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan

agama yang dipeluknya.

c. Macam-Macam Status Anak

1. Anak sah

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai

akibat perkawinan yang sah” sebagamana tercantum dalam

24
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

2. Anak angkat

Anak angkat yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan

kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain

yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan

membesarkan anak tersebut. Anak angkat ditetapkan

berdasarkan putusan atas penetapan pengadilan sebagaimana

tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

3. Anak luar kawin

Anak yang dihasilkan dimana kedua orang tuanya tidak

menikah secara sah. Anak luar kawin nasabnya dipertalikan

kepada ibunya dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan

ayah biologisnya. Dalam hal ini seorang anak bisa memakai

bin kepada bapaknya tersebut. Sebaliknya, kalau tidak sah

maka tidak berhak menyandang bin kepada bapak biologisnya

tersebut. Demikian juga dengan kewarisan, anak yang sah

berhak mewarisi dan mewariskan antara anak dan bapaknya

(Edyar, 2016).

4. Anak hasil zina

Anak zina adalah anak yang lahir akibat hubungan biologis

antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan

25
perkawinan dengan demikian anak hasil zina tetap tidak

mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menzinai

ibunya. Berdasarkan Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata dijelaskan

bahwa anak zina tidak dapat diakui oleh orang tua biologisnya

sehingga secara hukum anak tersebut tidak memiliki hubungan

perdata dari orang tua biologisnya kecuali sebatas hak untuk

mendapatkan nafkah hidup. Mazhab Syafi’I juga berpendapat

mengenai zina, dalam fikih tradisional menyatakan bahwa

Ulama Islam menyetujui zina tidak mendapatkan hak waris

dari ayahnya (Hasibuan, 2019).

5. Anak asuh

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan

Anak menjelaskan bahwa “anak asuh adalah anak yang diasuh

oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan,

pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena

orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu

menjamin tumbuh kembang anak secara wajar”. Pengasuhan

anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat

menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik,

mental, spiritual, maupun sosial. Pengasuhan anak tersebut,

dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk

itu (Sipahutar, 2019).

26
d. Hak-Hak Anak Sah

1. Menurut Undang-Undang Perkawinan

Orang tua wajib memelihara dan memberi bimbingan anak-

anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan

kemampuannya masing-masing sebagaimana tercantum Pasal

45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kewajiban

ini merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, dan bukan

sebagai akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut

disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua dengan

anak yang tercipta karena keturunan (Hasan, 2021).

2. Menurut Hukum Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala bentuk kegiatan untuk

melindungi dan menjamin hak-hak anak agar dapat hidup,

tumbuh dan berkembang, sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta berpartisipasi secara optimal, serta

terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Undang-

Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, Anak

yang dimaksud adalah seseorang yang berumur kurang dari 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka dari

itu, pengertian anak dalam Undang-Undang ini adalah

seseorang sebagai individu masyarakat, yang belum

mencapai usia dewasa. Jadi, pengertian anak yang dimaksud

bukan pengertian anak dalam hubungan keluarga, tetapi

27
sebagai seseorang yang lahir sebagai akibat adanya

perkawinan (Sholihah, 2018). Perlindungan anak bertujuan

untuk menjamin terpenuhinya hak anak untuk hidup, tumbuh,

berkembang, untuk mencapai kualitas berakhlak mulia dan

kesejahteraan anak Indonesia. Orang tua mempunyai

kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak sebagaimana

tercantum pada Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi

“Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk

mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak”.

Dalam Bab III Undang-Undang Perlindungan Anak yang

berjudul Hak dan Kewajiban Anak, menurut Undang-Undang

ini setiap anak :

a. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan;

b. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya,

dalam bimbingan orang tua;

c. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan

diasuh oleh orang tuanya sendiri;

d. Berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak

angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, jika karena suatu

28
sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh

kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar;

e. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan

sosial.

3. Menurut Hukum Islam

Hak anak dalam hukum islam memberikan perhatian besar

mengenai pemeliharaan anak dan perlindungan anak. Hak-hak

anak menurut hukum Islam sebagai berikut :

a. Hak Hidup

Islam sangat menjunjung tinggi hak hidup setiap manusia,

termasuk anak yang masih didalam kandungan.

Sebagaimana dalam Q.S. Al-Isra (17) : 31


۟
‫نَْرُزقُ ُه ْم َوإِ ََّّي ُك ْم ۚ إِ َّن قَ ْت لَ ُه ْم‬ ‫َوََل تَ ْقتُلُوا أ َْوٰلَ َد ُك ْم َخ ْشيَةَ إِ ْم ٰلَ ٍق ۖ ََّّْن ُن‬

‫َكا َن ِخطًْا َكبِ ًْيا‬

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu

karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi

rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya

membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.

29
b. Hak Mendapat Pengakuan Nasab

Hak anak untuk memperoleh pengakuan dalam silsilah

keturunan atau nasab merupakan hak terpenting dan

memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan anak.

sebagaimana dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam

menyatakan “anak yang lahir diluar perkawinan hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya”, dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa hak

anak sah sudah pasti akan dinasabkan dengan ayahnya.

c. Hak Mendapat Nama Baik

Dalam syari’at Islam memerintahkan agar memberi nama

yang baik untuk seorang anak, karena nama dalam

pandangan syaria’at Islam memiliki arti penting dan

pengaruh yang besar, selain itu nama akan selalu melekat

dan berhubungan dengan dirinya baik semasa hidup

ataupun sesudah mati.

d. Hak Memperoleh Pengasuhan dan Perawatan

Mengasuh dan merawat anak adalah wajib karena orang

tua memiliki kewajiban untuk memberikan pengasuhan

yang baik bagi anaknya. Semua ini harus dilakukan untuk

kepentingan dan kelangsungan hidup anak itu sendiri.

Beberapa ahli ilmu mengatakan bahwa Allah SWT akan

meminta pertanggungjawaban orang tua kepada anak-

30
anaknya pada hari kiamat, sebelum anak-anak diminta

pertanggungjawaban tentang orang tuanya. Oleh karena itu,

sebagaimana orang tua mempunyai hak atas anaknya,

maka seorang anak juga mempunyai hak atas orang

tuanya.

e. Hak anak memperoleh penyusuan

Dalam Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam menyatakan

bahwa semua biaya penyusuan anak

dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya

telah meninggal dunia maka biaya penyusuan dibebankan

kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada

ayahnya atau walinya.

f. Hak Mendapatkan Nafkah (Biaya Hidup)

Anak berhak diberi nafkah dan dibiayai oleh ayahnya

untuk memenuhi segala kebutuhan pokok hidupnya,

sebagaimana hak isteri untuk memperoleh nafkah dari

suaminya. Bahkan, jika seorang suami (ayah) tidak

memberi nafkah untuk isteri dan anaknya, maka isteri

dapat mengambil harta suami untuk memenuhi

kebutuhannya dan anak-anaknya.

g. Hak Diperlukan secara Adil

Seorang anak berhak memperoleh perlakuan yang adil

dari orang tuanya, baik dalam hal materi maupun

31
dalam hal yang bersifat non materi, sebagaimana Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ َك َما َُِتبُّو َن أَ ْن يَ ْع ِدلُوا بَْي نَ ُك ْم ِِف‬،‫ُّح ِل‬ ِ


ْ ‫ْي أ َْوَلد ُك ْم ِِف الن‬
ِ
َ َْ‫ْاعدلُوا ب‬

ِ ْ‫الِْ ِب واللُّط‬
‫ف‬ َ ِّ

Artinya : “Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian

dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka

berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah

lembut”.

h. Hak Walayah (Perwalian)

Tugas perwalian selain mengandung pengertian dalam

perkawinan, juga untuk tugas pemeliharaan atas diri anak

sampai ia dewasa, atau sampai menikah bagi anak

perempuan dan perwalian dalam hal harta. Perwalian anak

dalam hukum Islam anak terbagi menjadi tiga, yaitu:

Perwalian dalam pemeliharaan dan pendidikan anak,

Perwalian perkawinan, Perwalian harta (Halim & Darwis,

2020).

4. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Anak dalam kandungan memiliki hak yang berlaku untuk

kepentingannya. Oleh sebab itu, dalam KUH Perdata janin

dianggap sudah lahir waktu masih dalam kandungan. Hal

32
tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 KUH Perdata

yang berbunyi sebagai berikut: “Anak yang ada dalam

kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah lahir,

setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah

mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada”.

Sebagaimana telah dijelaskan, anak dalam kandungan dapat

memperoleh hak waris, namun jika anak tersebut meninggal

sebelum atau pada saat dilahirkan maka ia tidak memiliki hak

waris (Dahlia, 2021).

e. Penetapan Asal Usul Anak

Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia,

penetapan asal usul anak dapat dilakukan dengan pengakuan secara

sukarela. Pengakuan anak secara sukarela adalah pernyataaan

sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang

ayah dan ibu atau ibunya mengakui seorang anak yang lahir itu

memang dari hasil hubungan biologis mereka dan hubungan itu

tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan karena

hubungan zina dan sumbang (Abdul Manan, 2006).

Penetapan asal usul anak dalam Islam sangatlah penting,

karena dengan penetapan inilah dapat diketahui hubungan mahram

(nasab) antara anak dengan ayahnya. Seorang anak dapat dikatakan

sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari

perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar

33
perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah,

biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang

sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya

(Ghusairi, 2018). Nasab merupakan hubungan darah antara seorang

anak dengan ayahnya karena adanya akad nikah yang sah dan

timbul garis keturunan ayahnya sehingga anak itu menjadi salah

seorang anggota keluarga dari keturunan tersebut dan anak berhak

untuk mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan

nasab (Zainuddin, 2017).

Berdasarkan penetapan akan menentukan kedudukan anak,

dan menyangkut hubungan yang lainnya, seperti waris, nafkah

anak dan lain-lain. Dalam hal Pembuktian asal usul anak telah

diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

dalam Pasal 55 yang menyatakan bahwa:

1. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta

kelahiran atau alat bukti lainnya.

2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya yang tersebut dalam

Ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat

mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah

mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti

yang sah.

3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam

Ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam

34
daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta

kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

3. Tinjauan Umum Pengadilan Agama

a. Kedudukan

Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam,

berperan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan

kepastian hukum mengenai perkara perdata Islam tertentu. Oleh

karena itu, Pengadilan Agama ini disebut pengadilan khusus orang-

orang yang beragama islam (Cahyani, 2019). Adapun strata

peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan

tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau kabupaten

dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding

yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya

meliputi wilayah provinsi (Mujahidun, 2012). Fungsi utama

peradilan perdata adalah menentukan sah tidaknya berbagai macam

tingkah laku dengan fungsi yang menekankan keabsahan berbagai

jenis tingkah laku masyarakat, maka asas hukum acara sederhana,

cepat, dan biaya ringan salah satu asas hukum berupa aturan

hukum yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan

asas hukum yang penting, yang melandasi tahapan dan proses

peradilan (Susanto, 2020).

35
b. Landasan Hukum

Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 yang menjadi landasan hukum

bagi Peradilan Agama, pada ayat (1) menjelaskan bahwa Peradilan

adalah suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dirancang

untuk menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang

dalam Pasal 2 mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman dalam perkara perdata tertentu

bagi pencari keadilan yang beragama Islam sebagai suatu

perbuatan hukum.

c. Kewenangan

Berdasarkan Pasal 49 s/d 53 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah dan ekonomi syariah. Salah satu kewenangan pengadilan

agama dibidang perkawinan yaitu penetapan asal usul anak

(Sudirman, 2021).

36
BAB III
METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif (legal

research) atau studi kepustakaan (library research). Dengan sumber bahan

hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan/penetapan

pengadilan, teori hukum, dan pendapat para sarjana (Muhaimin, 2020).

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus (case approach)

dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Muhaimin, 2020). Kasus

permohonan penetapan asal usul anak yang telah ditetapkan oleh

Pengadilan Agama Mungkid menjadi fokus penelitian.

3. Objek Penelitian

Objek penelitian yang akan penulis teliti yaitu Putusan Majelis Hakim

Pengadilan Agama Mungkid dalam penetapan asal usul anak Nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd.

4. Sumber Data

Data-data penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa sumber data sebagai

berikut:

a) Data Primer

37
Data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti yaitu hasil dari

wawancara (interview) penulis dengan Hakim Pengadilan Agama,

Kepala KUA, Ahli Agama, pegawai Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil.

b) Data Sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti Al-Quran, Undang-Undang, buku-buku

hukum, skripsi terdahulu, jurnal hukum serta yang terkait dengan

permasalahan yang sedang diteliti.

5. Teknik Pengambilan Data

Untuk memperoleh data tersebut digunakan teknik sebagai berikut:

a. Wawancara yaitu sebagai bentuk konfirmasi atau data pendukung.

Penulis mewawancarai hakim Pengadilan Agama, Kepala KUA,

ahli agama, pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

b. Dokumentasi yaitu teknik untuk memperoleh data dari dokumen

penetapan yang terkait asal usul anak, buku dan bahan bacaan

mengenai penelitian yang dilakukan.

6. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan

analisis secara deskriptif untuk menggambarkan dan menafsirkan data

secara rinci dan sistematis tentang penetapan Pengadilan Agama Mungkid

Nomor 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd tentang permohonan asal usul anak hasil

perkawinan siri untuk memperoleh suatu kesimpulan.

38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Fokus Penelitian

1. Gambaran Umum Pengadilan Agama Mungkid

a. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid

Pengadilan Agama Mungkid dibentuk berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Agama Nomor 207 Tanggal 22 Juli 1986,

namun baru terealisasi pada tahun 1987, Pengadilan Agama

Mungkid untuk pertama kalinya diketuai oleh Drs. H. Yahya Arul,

SH (1987-1997). Saat itu menempati gedung seluas ± 150 m2 di

Jalan Syailendra Raya dengan cara menyewa. Pada tahun 1989

pindah ke gedung kantor milik Departemen Agama. Pada waktu

Pengadilan Agama Mungkid dipimpin oleh Drs. H. Ahmad

Mustofa ( 1997-2002 ) sebagai Ketua, Pengadilan Agama Mungkid

masih berkantor di gedung tersebut, namun pada masa

kepemimpinan Drs. H. Qomaruddin Mudzakir, SH (2002-2006)

kantor lama dapat berpindah kepemilikannya dari Departemen

Agama menjadi milik Mahkamah Agung RI serta Pengadilan

Agama Mungkid mendapatkan tanah untuk digunakan membangun

gedung kantor yang baru.

Pada masa kepemimpinan Drs. H. Nikmat Hadi, SH sebagai

Ketua Pengadilan Agama Mungkid (2006-2008), Pengadilan

Agama Mungkid mendapat anggaran untuk pembangunan gedung


39
kantor yang baru. Setelah dalam masa satu tahun pembangunan

dilaksankan, maka pada tanggal 19 Juni 2008 Gedung Kantor

Pengadilan Agama Mungkid yang baru diresmikan oleh 57 Ketua

Mahkamah Agung RI bersamaan dengan 13 gedung Pengadilan

Agama di Jawa Tengah, yang peresmiannya mengambil tempat di

Pengadilan Agama Mungkid.

b. Letak Geografis dan Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama

Mungkid

Pengadilan Agama Mungkid beralamat di Jl. Soekarno Hatta

No.36, Ngelerep, Deyangan, Kec. Mungkid, Kabupaten Magelang,

Jawa Tengah 56511. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Mungkid

meliputi seluruh wilayah daerah Kabupaten Magelang yang terbagi

menjadi 21 kecamatan, yang terdiri atas 5 kelurahan dan 367 desa.

Secara geografis Kabupeten Magelang yang menjadi wilayah

hukum (yurisdiksi) Pengadilan Agama Mungkid Kelas 1B terletak

antara 110001’51” dan 110026’13” Bujur Timur dan antara

7019’13” dan 7042’16” Lintang Selatan. Wilayah Hukum

Pengadilan Agama Mungkid meliputi seluruh wilayah daerah

Kabupaten Magelang yang terbagi menjadi 21 kecamatan, yang

terdiri atas 5 kelurahan dan 367 desa.

c. Kewenangan Pengadilan Agama Mungkid

Pengadilan Agama Mungkid adalah pengadilan tingkat pertama

yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

40
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-

orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat,

hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Salah

satu dari kewenangannya dibidang perkawinan yaitu penetapan

asal usul anak sebagai sample dari penelitian ini terkait dengan

Putusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor Perkara

571.Pdt.P/2021.PA.Mkd

2. Studi Putusan Nomor 571.Pdt.P/2021/PA.Mkd

Sebelum penulis mengemukakan hasil penelitian dan melakukan

pembahasan, maka sebelum itu akan dijabarkan Studi Penetapan Nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd. Pemohon mengajukan permohonan Asal Usul

Anak di Pengadilan Agama Mungkid pada tanggal 28 Oktober 2021,

dengan dalil-dalil sebagai berikut :

1. Pada tanggal 14 Oktober 2010 Pemohon melangsungkan

pernikahan menurut Agama Islam dengan Almarhumah Rahmita

Wahyu Anggraeni binti Darmoko dirumah bapak Darmoko yang

beralamat di Dusun Katerungan, Desa Katerungan, Kecamatan

Krian Kabupaten Sidoarjo;

2. Pernikahan yang dilakukan Pemohon dengan Almarhumah telah

dilaksanakan sesuai rukun dan syarat nikah sesuai agama Islam

yaitu: Wali nikah dengan Bapak Darmoko dan dua orang saksi

yaitu Muhammad Arifin dan Darsoko, dan saat Ijab Qabul wali

41
nikah menyerahkan kepada Bapak Kyai Pangati. Mahar berupa

uang tunai Rp. 100.000,00;

3. Bahwa pada saat pernikahan tersebut dilangsungkan Pemohon

berstatus Jejaka dan Almarhumah Rahmita berstatus Perawan.

4. Pada tanggal 31 Mei 2012 Pemohon dan Almarhumah Rahmita

melakukan nikah ulang di hadapan Pegawai Pencatatan Nikah

Kantor Urusan Agama Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo

sebagaimana tersebut dalam akta nikah Nomor 0445/129/V/2012,

tertanggal 31 Mei 2012;

5. Pada hari Jumat, 19 April 2013 istri pemohon yang bernama

Rahmita Wahyu Anggraeni binti Darmoko meninggal dunia karena

sakit sebagaimana dibuktikan dengan Surat Keterangan Kematian

(ditempat domisili) Nomor 474/3/4/2013 yang dikeluarkan oleh

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang;

6. Selama masa pernikahan dari tahun 2010 hingga sekarang

Pemohon hanya memiliki 1 (satu) orang istri yaitu Almarhumah

Rahmita Wahyu Anggraeni dan tidak terikat pernikahan dengan

perempuan lain;

7. Bahwa dar hasil pernikahan Pemohon dengan Almarhumah istrinya

telah dikarunia 1 (satu) orang anak yang bernama Reyza Alvino

yang lahir pada tanggal 31 Januari 2011;

8. Bahwa anak tersebut telah mendapatkan Kutipan Akta Kelahiran

dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Nomor : 3308-LT-

42
14102021-0028 dalam kutipan akta kelahiran tersebut tertulis (satu

anak laki-laki dari ibu Rahmita Wahyu Anggraeni)

9. Bahwa anak yang bernama Reyza Alvino adalah anak dari

Pemohon dan Almarhumah Rahmita Wahyu Anggraeni, maka anak

tersebut harus mendapatkan hak-hak keperdataan yang penuh dari

Pemohon sebagai ayah biologisnya.

10. Bahwa kemudian untuk merealisasikan kepastian hukum dan status

hukum anak serta melakukan perlindungan hukum atas hak-hak

Reyza Alvino sebagai anak kandung dari Pemohon dan memiliki

hubungan keperdataan sebagai bapak biologis, maka mengajukan

permohonan sesuai kewenangan Pengadilan Agama;

11. Bahwa Pemohon menyatakan bahwa anak yang bernama Reyza

Alvino adalah anak kandung dari Pemohon dan Almarhumah

istrinya, maka Pemohon berjanji akan melaksanakan kewajiban

sebagai orang tua untuk memelihara, merawat, memberi kasih

sayang dan membesarkan anak serta memberikan hak-hak anak

lahir dan batin.

PRIMAIR

1. Mengabulkan permohonan pemohon;

2. Menetapkan yang bernama Reyza Alvino, lahir di Sidoarjo, 31

Januari 2011 dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor 3308-LT-

14102021-0028 yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan

43
Pencatatan Sipil sebagai anak kandung yang sah dari Pemohon dan

Almarhumah Rahmita Wahyu Anggraeni binti Darmoko;

3. Menyatakan hukum bahwa Pemohon adalah ayah biologis dari anak

yang bernama Reyza Alvino;

4. Membebankan biaya permohonan sesuai dengan ketentuan hukum.

B. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Anak Hasil Perkawinan Siri sebagai

Anak Biologis.

Untuk menjawab rumusan penelitian ini penulis melakukan wawancara

dengan Hakim Pengadilan Agama sebagai berikut:

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Ali Irfan, S.H., M.H

selaku hakim Pengadilan Agama Mungkid bahwa pada prinsipnya

pernikahan itu harus sah dalam agama dan dicatat, terkait nikah siri yang

sudah mempunyai anak, karena ada kepentingan anak maka anak harus

mendapatkan perlindungan. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi

yang memberikan jaminan bahwa anak yang dilahirkan meskipun

perkawinan orang tuanya tidak tercatat, sepanjang perkawinannya sah dalam

agama maka anak tersebut dapat dikatakan anak sah dari pasangan tersebut,

sehingga anak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Ketika

saksi-saksi bisa menerangkan secara jelas bahwa pernikahan yang dilakukan

para Pemohon telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan maka

pernikahan itu bisa disahkan, sehingga permohonan asal usul anak dapat

dikabulkan tetapi dengan adanya disahkan ini terkait dengan kepentingan

anak. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam diperbolehkan laki laki menikah

44
dengan wanita yang dihamilinya dan mayoritas permohonan asal usul anak

pasti dikabulkan karena bertujuan untuk kepentingan anak (wawancara

tanggal 8-3-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Masrukhin, S.H., M.A.g

selaku hakim di Pengadilan Agama Temanggung bahwa terkait dengan asal

usul anak manakala perkawinan sirinya tidak melanggar hukum maka anak

yang lahir dari akibat perkawinan siri bisa disahkan, sehingga perkawinan

siri harus diperiksa terlebih dahulu apakah melanggar hukum atau tidak.

Anak luar kawin tidak bisa menjadi anak sah, namun ayah biologisnya

berkewajiban memenuhi hak-hak keperdataan seperti biaya hidup dan

pendidikan, sehingga anak yang lahir sebelum perkawinan resmi maka anak

tersebut dianggap anak biologis (wawancara tanggal 13-03-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Foead Kamaludin, S.Ag

selaku hakim di Pengadilan Agama Temanggung bahwa perempuan boleh

menikah dalam keadaan hamil selagi dengan lelaki yang menghamilinya,

dan terkait status anak yang lahir setelah perkawinan sah maka anak itu

dianggap anak sah, tetapi jika anak lahir sebelum perkawinan sah maka

anak itu tidak bisa dikatakan anak sah, tetapi akan dianggap anak biologis

karena saat mengajukan penetapan anak tersebut lahir sebelum perkawinan

sah. Sehingga jika ada kasus seseorang telah menikah siri dan anak sudah

lahir maka sebaiknya isbath nikah saja, sehingga anak akan langsung ikut

terlindungi karena anak lahir setelah pernikahan walaupun pernikahan siri

(wawancara tanggal 13-03-2023).

45
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Syafrul, S.H.I., M.Sy

selaku hakim di Pengadilan Agama Temanggung bahwa permohonan asal

usul anak harus diajukan oleh pasangan suami isteri, jika orang tersebut

telah melakukan perkawinan siri maka harus menikah resmi dahulu atau

juga bisa untuk isbath nikah. Jika pasangan tersebut mengakui sebelum

menikah siri sudah hamil duluan dianggap anak zina, tetapi bisa diajukan

penetapan asal usul anak demi melindungi anak tersebut karena orang tua

sudah memiliki ikatan perkawinan. Maka dari itu orang tersebut seharusnya

isbath nikah supaya dalam akta kelahiran anak lahir setelah pernikahan

orang tuanya, sebelum hakim menetapkan permohonan akan dipastikan

terlebih dahulu pernikahan sirinya apakah sudah sesuai dengan rukun dan

syarat (wawancara tanggal 13-3-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Anis Nasim Mahiroh, S.HI.,

M.H selaku hakim Pengadilan Agama Mungkid bahwa nikah siri sebaiknya

dihindari, tetapi jika dilihat dari segi hukum nikah siri dapat dikatakan sah

asalkan memenuhi rukun dan syarat. Oleh karena itu negara tidak mengakui

pernikahan siri karena negara melindungi hukum supaya aturan-aturan tidak

berbenturan, seperti kita ketahui masyarakat beragam pemahaman keilmuan

agamanya. Jika seseorang sudah terlanjur menikah ulang dan sudah

memiliki akta nikah, maka tidak bisa memayungi anak yang lahir sebelum

pernikahan ulang tersebut untuk itu solusinya yaitu asal usul anak, maka

dari itu hakim akan mengoreksi apakah pernikahan sirinya benar-benar

aman, tidak ada yang melanggar, dan memenuhi syarat dan rukun, pada

46
dasarnya semua permohonan asal usul anak itu pasti dikabulkan, hanya

permasalahnya yang dikabulkan itu apakah dia dianggap anak sah atau

biologis, sehingga dalam pembuktian harus membuktikan perkawinannya

orang tua si anak. (wawancara tanggal 15-03-2023).

Analisis Hasil Wawancara

Fakta berdasarkan peristiwa yang dijelaskan sebelumnya sejak

pernikahan dimulai, Pemohon tidak pernah mendaftarkan pernikahannya

ke Kantor Urusan Agama sehingga pernikahan Pemohon tidak tercatat

yang mengakibatkan Pemohon tidak mempunyai buku nikah. Oleh sebab

itu, Pemohon tidak memiliki bukti perkawinan yaitu berupa akta nikah

yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagai syarat untuk

mengajukan permohonan asal-usul anak. Supaya Pemohon bisa

mengajukan permohonan asal-usul anak di Pengadilan Agama Mungkid

maka pernikahannya harus dicatatkan terlebih dahulu agar mendapatkan

buku nikah sebagai persyaratan permohonan asal-usul anak.

Peneliti menganalisis dari hasil wawancara responden bahwasanya

seseorang yang mengajukan penetapan asal-usul anak di Pengadilan

Agama dilatar belakangi dengan perkawinan siri, seperti yang kita ketahui

bahwa perkawinan siri tidak dianggap oleh negara karena perkawinannya

tidak tercatat sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan

yang menjelaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku” untuk itu setiap perkawinan

harus dicatatkan. Sehingga jika orang tua anak ingin mengajukan penetapan

47
asal usul anak agar anak mendapatkan status hukum yang jelas, maka salah

satu persyaratan dalam mengajukan permohonan asal usul anak harus

terpenuhi yaitu dengan adanya buku nikah.

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan memberikan salah satu solusi agar timbul

kepastian Hukum bagi Orang tua yang sudah melakukan perkawinan siri,

agar anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut dapat memiliki akta

kelahiran, yaitu dengan mengajukan Permohonan Akta Kelahiran. Tetapi

saat Pemohon membuatkan akta kelahiran anak di Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil hanya tercantum nama ibunya saja, dalam

kutipan akta kelahiran anak Pemohon tertulis “satu anak laki-laki dari Ibu

Rahmita Wahyu Anggraeni”. Untuk itu Pemohon dengan isterinya Rahmita

menikah ulang secara resmi di KUA pada tanggal 31 Mei 2012 supaya

Pemohon dan isterinya mempunyai buku nikah agar bisa mengajukan

permohonan asal usul anak demi kepastian hukum anaknya ke Pengadilan

Agama, selain itu Pemohon ingin didalam akta kelahiran anak tercantum

nama ayahnya atau nama Pemohon, untuk itu sesuai dengan Pasal 103

Kompilasi Hukum Islam bahwa seseorang yang memiliki kepentingan

hukum terhadap kedudukan atau status anak dapat mengajukan asal usul

anak atas dasar ketetapan Pengadilan Agama.

Saat mengajukan penetapan asal usul anak hakim mempunyai

pertimbangan-pertimbangan yang akan menjadi dasar untuk mengabulkan

permohonan para Pemohon, seperti halnya pada Putusan Perkara Nomor

48
571/Pdt.P/PA.Mkd bahwa Pemohon telah menikah siri dengan istrinya

dalam keadaan hamil, maka saat persidangan hakim harus memastikan

terlebih dahulu perkawinan sirinya telah memenuhi rukun dan syarat

perkawinan dalam Islam dan tidak melanggar ketentuan perkawinan.

Menurut penulis Pemohon telah memenuhi rukun dan syarat

perkawinan secara Islam karena dalam perkawinan Pemohon ada calon

mempelai yaitu Dimas Chandra Wicaksono sebagai Pemohon dan isteri

Pemohon yang bernama Rahmita Wahyu Anggraeni, kemudian saat

melakukan perkawinan siri wali nikahnya yaitu Bapak Darmoko (ayah dari

almarhumah Rahmita), ada dua orang saksi yaitu Mohammad Arifin dan

Darsoko kemudian mahar atau mas kawin berupa uang tunai sebesar Rp.

100.000,- dan saat Ijab dan Qabul dilaksanakan oleh Bapak Kyai Pangati

yang sebelumnya sudah mendapatkan penyerahan kuasa dari Bapak

Darmoko pada tanggal 14 Oktober 2010 untuk itu penulis menyimpulkan

bahwa perkawinan siri yang dilakukan oleh Pemohon dan isterinya sah

karena telah memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan dalam agama

Islam sebagaimana pada Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu dengan

adanya calon suami, calon isteri, wali, saksi, ijab dan qabul. Terkait dengan

kondisi isteri yang sedang hamil enam bulan saat pernikahan itu tidak

melanggar ketentuan perkawinan karena di dalam Pasal 53 Kompilasi

Hukum Islam sebagai berikut:

(1) “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria

yang menghamilinya”

49
(2) “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”

(3) “Dengan, dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir”

Dari Pasal KHI diatas penulis menyimpulkan bahwa perkawinan yang

dilakukan Pemohon tidak melanggar ketentuan Islam karena pada dasarnya

Pemohon dan isterinya melakukan pernikahan dalam keadaan hamil

memang diperbolehkan. Dalam Studi Putusan Nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd bahwa anak Pemohon yang bernama Reyza

Alvino lahir setelah perkawinan siri yang sah yaitu tiga bulan setelah

pernikahan siri pada tanggal 31 Januari 2013, sesuai dengan Pasal 42

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa anak

sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,

maka dalam kasus tersebut memang anak sah karena anak lahir setelah

perkawinan sah, tetapi hakim menetapkan dalam studi putusan Nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd bahwa anak tersebut ditetapkan sebagai anak

biologis karena anak Pemohon lahir tiga bulan setelah pernikahan yang sah.

Berdasarkan mazhab fiqih sepakat bahwa batas minimal kehamilan

yaitu enam bulan, maka anak yang dilahirkan dalam waktu kurang dari

enam bulan setelah akad nikah tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki atau

suami dari yang menghamilinya karena anak tersebut dianggap tidak legal,

sehingga dalam Putusan Nomor 571/Pdt.P/2021.PA.Mkd hakim dalam

menetapkan anak tersebut adalah anak biologis karena anak yang


50
dihasilkan dari hubungan laki-laki dan perempuan sebelum terjadinya

perkawinan yang sah yaitu anak lahir tiga bulan setelah pernikahan sah,

selain itu hakim mengabulkan permohonan tersebut tidak semata-mata

hanya mengesahkan perkawinan sirinya saja, tetapi juga untuk melindungi

kepentingan anak karena orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung

jawab terhadap anak sesuai pada Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “Orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara,

mendidik, dan melindungi anak”.

Pada tanggal 19 April 2013 isteri Pemohon meninggal dunia karena

sakit, karena didalam akta kelahiran anak hanya tercantum nama ibu yang

bernama Rahmita Wahyu Anggaraeni, dan sekarang ibu si anak sudah

meninggal dunia untuk itu Pemohon berinisiatif mangajukan permohonan

asal usul anak supaya anak mendapatkan perlindungan dan kepastian

hukum sebagaimana pada Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, dan

negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingan hak anak

itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam

kandungan.

Kemudian berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah


51
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dalam Pasal 2

yang mengatakan bahwa penyelenggaran perlindungan anak berasaskan

Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi Hak-Hak Anak

meliputi :

a. Non diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. Penghargaan terhadap anak.

Sedangkan pada Pasal 7 ayat (2) mengatakan “setiap anak berhak

untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya

sendiri”. Dari Pasal diatas penulis menyimpulkan bahwa anak wajib dan

berhak untuk dilindungi, dan diberikan hak-hak sebagai bentuk kepedulian

dan pengakuan negara terhadap dirinya.

Berdasarkan asas kepastian hukum yang mementingkan landasan

peraturan perundang-undangan dan keadilan, sesuai dengan tiga gagasan

tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yaitu kepastian

hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan yang mana dalam perkara a quo

anak akan mendapatkan kepastian hukum seperti hakim memastikan

perkawinan sirinya sah atau tidak dan istilah anak biologis dalam rangka

adanya perlindungan anak menjadikan adanya kemanfaatan hukum, selain

itu anak harus mendapatkan hak-haknya dan mendapatkan perlindungan

bahwa negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warganya itu yang

52
dinamakan keadilan, termasuk perlindungan anak terhadap hak anak yang

merupakan hak asasi manusia, sehingga anak yang lahir dari perkawinan

siri juga berhak untuk mendapatkan kepastian dan keadilan. Untuk

mewujudkan hal tersebut anak diperlukan dukungan kelembagaan dan

peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin perlindungan dan

kesejahteraan anak. Salah satu lembaga negara yang telah mendukung dan

memiliki andil dalam menjamin pelaksanaan perlindungan hak-hak anak

tersebut adalah pengadilan.

Mengingat dalam pertimbangan hakim mengenai perlindungan yang

dimaksud yaitu tentang perlindungan anak yang lahir dari hasil zina, maka

Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang status anak zina dan

penanganannya diatur dalam ketentuan hukum. Pemerintah memiliki

kewajiban untuk melindungi anak yang lahir dari perzinaan dan mencegah

penelantaran, terutama dengan menghukum laki-laki untuk memenuhi

kebutuhan anaknya. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman takzir

kepada pezina yang menyebabkan lahirnya seorang anak, mewajibkan dia

untuk memenuhi kebutuhan anak melalui wasiat wajib dan memberikan

harta setelah kematiannya. Perlindungan yang diberikan oleh Majelis

Ulama Indonesia dalam fatwanya bertujuan untuk melindungi hak-hak

anak-anak tersebut agar mereka mendapatkan apa yang pantas mereka

dapatkan, walaupun anak-anak ini tidak dapat dinasabkan atau tidak

memiliki hubungan nasab dengan orang yang menyebabkan anaknya lahir.

53
Hakim juga berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan

bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Berdasarkan

ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut

Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan Putusan Nomor 46/PUU-

VII/2010 pada tanggal 17 Februari 2012 yang menurut Hakim Mahkamah

Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang

dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat

bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai

ayahnya.

Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, selama anak yang lahir di

luar nikah dapat membuktikan dengan ilmu pengatahuan atau teknologi, ia

dianggap sebagai anak sah dan memiliki hubungan pewarisan dengan ayah

kandungnya. Namun jika Pemohon sudah melampirkan hasil tes DNA tetapi

saat melakukan perkawinan siri ternyata tidak memenuhi rukun dan syarat

maka anak tersebut akan ditetapkan sebagai anak biologis, termasuk juga

walaupun Pemohon telah melampirkan hasil tes DNA tetapi si anak lahir

sebelum perkawinan sah menurut Undang-Undang maka anak akan

dianggap sebagai anak biologis, maka dari itu yang menjadikan acuan

54
pertimbangan hakim dalam menetapkan anak juga dipastikan waktu

kelahiran anak.

Menurut Pasal 280 KUHPerdata anak tidak sah mempunyai peluang

untuk menjadi anak sah bila kedua orang tuanya melakukan perbuatan

hukum yaitu pengakuan dihadapan pejabat yang berwenang, selagi saat

melakukan pernikahan dan telah memenuhi syariat dalam Islam maka anak

dari pernikahan tersebut seharusnya anak sah. Namun ketika dikaitkan

dengan keabsahan status anak secara Undang-Undang anak tersebut belum

bisa diakui, karena didalam Undang-Undang Perkawinan anak akan

dianggap sah apabila anak lahir dari perkawinan yang sah yaitu perkawinan

yang tercatat dalam dokumen negara sesuai pada Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang Perkawinan. Dalam putusan Nomor 571.Pdt.P/2021/PA.Mkd anak

yang bernama Reyza Alvino ditetapkan sebagai anak biologis karena anak

Pemohon lahir sebelum perkawinan yang tercatat yaitu tanggal 31 Januari

2011 sedangkan perkawinan tercatatnya pada tanggal 31 Mei 2013, anak

tersebut memang anak sah tetapi sah menurut agama Islam karena anak lahir

setelah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan dalam

Islam. Namun dalam kacamata hukum Indonesia anak tersebut tidak bisa

dianggap sah karena anak lahir sebelum perkawinan yang sah menurut

Undang-Undang atau perkawinan yang dicatatkan oleh pejabat pencatatan

nikah.

Pada dasarnya semua permohonan asal usul anak pasti dikabulkan,

selagi para pemohon bisa membuktikan bahwa diantara mereka telah

55
terjadi pernikahan yang sah dan jika para pemohon tidak bisa

membuktikan bahwa orang tua si anak telah terjadi pernikahan yang sah

maka permohonan asal usul anak tersebut tetap dikabulkan tetapi sebagai

anak biologis. Penulis menyimpulkan bahwa dalam pertimbangan hakim

tentang anak hasil perkawinan siri, jika anak lahir sebelum perkawinan

yang sah dalam Undang-Undang Perkawinan maka anak akan dianggap

anak biologis, tetapi jika anak lahir setelah pernikahan sah maka akan

dianggap sebagai anak sah walaupun anak lahir satu hari setelah

pernikahan sah.

C. Akibat Hukum terhadap Anak setelah Adanya Penetapan Anak Hasil

Perkawinan Siri sebagai Anak Biologis.

Adapun akibat hukum terhadap anak setelah adanya penetapan

Pengadilan Agama maka penulis juga melakukan wawancara dengan Hakim

Pengadilan Agama, Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,

Kepala KUA, dan Ahli Agama sebagai berikut:

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Husain Haikal, M.A

selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Secang, bahwa

perkawinan siri walaupun sah di dalam agama Islam tetapi tindakan itu tidak

bisa dibenarkan. Pernikahan yang dilakukan seseorang tanpa sepengetahuan

KUA maka pernikahan itu dianggap tidak ada, dan yang hanya bisa

memutuskan bahwa pernikahan tersebut sah atau tidak hanya Pengadilan

Agama, karena biasanya orang yang melakukan perkawinan siri persyaratan

dan rukunnya masih kurang. Menurut Bapak Husain Dinas Kependudukan

56
dan Catatan Sipil dan Kementerian Agama tidak seirama karena untuk

menulis akta kelahiran seorang anak seharusnya orang tua anak mempunyai

buku nikah. Tetapi menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bisa

membuat Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM). Namun

dalam hal SPTJM tersebut bagi KUA tidak bisa menjadi pedoman bahwa

anak di nasabkan dengan ayahnya. Kemudian jika seseorang sudah menikah

siri tetapi anak sudah lahir maka jalan yang harus ditempuh yaitu isbat nikah

di Pengadilan Agama. Tetapi jika anak belum lahir pasangan yang sudah

menikah siri bisa menikah ulang di KUA sesuai dengan syarat dan prosedur

tata cara pernikahan (wawancara tanggal 23-02-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Lita Apriyana, S.E., M.M

selaku kepala Bidang Pengelolaan Administrasi Kependudukan dan

Pemanfaatan Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten

Magelang bahwa banyak masyarakat yang saat mendaftarkan Akta

Kelahiran tidak bisa membuktikan Buku Nikah, tetapi berdasarkan

Permendagri Nomor 109 Tahun 2019 anak yang lahir dari pasangan suami

istri yang pernikahan tidak tercatat maka tetap tercantum nama ayah dan

ibunya, hanya ditambah frasa “Yang perkawinannya belum tercatat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan”. Kemudian jika di dalam Kartu

Keluarga bagi pasangan yang menikah siri tertulis “Perkawinan Belum

Tercatat”. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam hal administrasi

anak. Terkait dengan pengesahan asal usul anak yang ditetapkan oleh

Pengadilan Agama hanya sebagai anak sah, sehingga jika saat mengajukan

57
permohonan dan ketika pembuktian anak lahir setelah perkawinan sah maka

Disdukcapil membuatkan catatan pinggir di aktanya dan akta pengesahan

anaknya. Tetapi jika hasil penetapan sebagai anak biologis maka tidak ada

tindaklanjut pengesahan, maka didalam akta kelahiran tetap sebagai anak

ibu yang sudah diterbitkan (wawancara tanggal 2-03-2023)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dr. Nurodin Usman, Lc.,

M.A selaku Dekan Fakultas Agama Islam Unimma bahwa nikah siri ada

beberapa kemungkinan yaitu tidak memenuhi syarat dan rukunnya atau

nikah yang telah memenuhi syarat dan rukunnya tetapi tidak dicatatkan di

KUA. Sehingga nikah siri yang tidak memenuhi syarat dan rukun akan

batal, tetapi kalau nikahnya memenuhi syarat dan rukun hukumnya sah

namun madharatnya besar karena anak tidak bisa dinasabkan dengan

ayahnya, semakin besar madharatnya maka hukumnya haram. Pernikahan

siri harus dipastikan terlebih dahulu selagi akad dan syarat rukun

pernikahannya benar dan sesuai maka anak tersebut bukan anak zina.

Berdasarkan KHI wanita hamil diperbolehkan menikah dengan pria yang

menghamilinya, sehingga besar peluang perkawinannya untuk dicatatkan,

semakin cepat jangka waktu untuk mencatatkan di KUA mudharatnya

semakin kecil dan masih bisa ditoleransi selama syarat dan rukun terpenuhi

(wawancara tanggal 9-3-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Ali Irfan, S.H., M.H

selaku hakim Pengadilan Agama Mungkid bahwa akibat hukum setelah

adanya penetapan asal usul anak, jika perkawinan itu telah memenuhi rukun

58
dan syarat maka dianggap anak sah, dan jika lahirnya juga masih batas

wajar yaitu diatas enam bulan setelah pernikahan. Kemudian jika hakim

menganggap pernikahan siri Pemohon tidak sah maka hakim akan

menetapkan status anak sebagai anak biologis karena dianggap anak diluar

nikah yaitu anak yang lahir dalam waktu kurang lebih tiga bulan setelah

menikah siri, dan anak yang berstatus biologis tidak bisa dinasabkan dengan

ayahnya termasuk waris, tetapi orang tua wajib untuk mencukupi kebutuhan

hidup anak dan memberikan harta setelah ayah biologis meninggal dunia

melalui wasiat wajibah (wawancara tanggal 8-3-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Masrukhin, S.H., M.A.g

selaku hakim di Pengadilan Agama Temanggung bahwa akibat hukum anak

luar kawin tidak bisa menjadi anak sah, tetapi ayah biologisnya

berkewajiban memenuhi hak-hak keperdataan seperti biaya hidup dan

pendidikan, sehingga anak yang lahir sebelum perkawinan resmi maka anak

tersebut dianggap anak biologis atau anak luar kawin (wawancara tanggal

13-03-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Foead Kamaludin, S.Ag

selaku hakim di Pengadilan Agama Temanggung bahwa akibat hukum

setelah adanya penetapan asal usul anak maka status anak akan jelas

sehingga bisa mengetahui nasab si anak, dalam penetapan asal usul anak ada

dua penetapan hakim yaitu anak sah dan anak biologis, jika anak berstatus

anak sah maka nasab bisa ayah kandungnya, tetapi jika anak berstatus

biologis anak tersebut tidak bisa dinasabkan dengan ayah kandungnya,

59
termasuk waris dari ayahnya, sebagaimana pada Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. (wawancara tanggal 13-03-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Syafrul, S.H.I., M.Sy

selaku hakim di Pengadilan Agama Temanggung bahwa akibat hukum anak

setelah ada penetapan yaitu status anak menjadi jelas, dan merujuk pada

Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 agar tercipta rasa keadilan dan

kemanfaatan manusia maka orang tua wajib memberikan biaya hidup dan

wasiat wajibah (wawancara tanggal 13-3-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Anis Nasim Mahiroh, S.HI.,

M.H selaku hakim di Pengadilan Agama Mungkid bahwa dalam produk asal

usul anak hakim bisa menetapkan anak sah dan anak biologis, jika anak

ditetapkan sebagai anak biologis maka anak tersebut bisa diberikan wasiat

wajibah oleh hakim. Selagi anak lahir setelah perkawinan sah maka anak itu

adalah anak sah walaupun sedang perempuan hamil, hanya saja

perbuatannya yang zina tetapi anaknya tidak bisa dikatakan anak zina

karena lahir setelah ijab. Sebaiknya jika mereka sudah mempunyai anak

lebih baik isbath nikah, karena hakim menetapkan pernikahan sirinya,

setelah diteliti pernikahan sirinya jika sudah sesuai maka tinggal membuat

akta nikah bahwa pada saat itu sudah terjadi pernikahan, sehingga anak

sudah langsung ikut terlindungi menjadi anak sah karena anak lahir setelah

pernikahan (wawancara tanggal 15-03-2023).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Taufiqurrachman, M.H

selaku hakim di Pengadilan Agama Mungkid bahwa perkawinan siri jika

60
dilihat dari hukum positif yaitu sesuatu perkawinan yang melanggar, tetapi

jika dilihat dari segi keabsahan akan dianggap sah selama sesuai dengan

rukun dan syarat perkawinan secara Islam. Akibatnya anak yang dilahirkan

memang anak sah tetapi status hukum anak tersebut tidak mempunyai hak-

hak sebagaimana anak yang lahir dari perkawinan tercatat. Secara Undang-

Undang anak yang lahir setelah perkawinan resmi adalah anak sah,

termasuk anak lahir setelah perkawinan siri bisa dianggap sah oleh negara

setelah pernikahan di isbathkan. Kemudian bisa juga menikah saat keadaan

hamil bisa dikatakan anak biologis karena anak lahir sebelum perkawinan

resmi. Untuk itu jika seseorang telah mempunyai anak lebih tepatnya untuk

isbath nikah karena pengadilan lebih menjamin, jika menikah ulang itu tidak

tepat karena anaknya tidak ikut terlindungi secara hukum, sehingga harus

mengajukan asal-usul anak tetapi jika anak lahir setelah pernikahan resmi

anak akan dianggap sebagai anak biologis (wawancara tanggal 16-03-2023).

Analisis Hasil Wawancara

Perkawinan yang tidak didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan

dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian yang utama bagi anak adalah

tidak diakuinya hubungan anak dengan ayah kandungnya, yang tentunya

tidak memungkinkan untuk menuntut ayah kandung atas kewajiban

menafkahi kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya karena

anak tidak dilindungi oleh negara. Ada stigma negatif yang melekat pada

anak jika anak tidak mempunyai ayah kandung, stigma ini merupakan

61
potensi kerugian bagi anak terutama psikososial yang sebenarnya dapat

dihindari dengan tetap mengakui hubungan anak dengan ayah biologisnya,

hal ini kurang tepat jika anak harus menanggung kerugian akibat

perbuatan kedua orang tuanya.

Dalam hukum Islam lembaga perkawinan merupakan lembaga yang

sakral karena tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis dan

memperoleh keturunan, tetapi lebih merupakan ibadah sehingga banyak

ayat ataupun hadist yang memerintahkan atau menganjurkan untuk

menikah sebagaimana pada dalam Q.S. An-Nur (24) : 32

ۤ ۤ
ّٰ ‫ي ِم ُْن ِعبَ ِاد هك ُْم َواَِما ِٕى هك ُْم اِ ُْن يَّ هك ْونه ْوا فه َقَرا ُءَ يه ْغنِ ِه هُم‬
ُ‫الله‬ َُ ْ ‫الصلِ ِح‬ ِ ِ
ّٰ ‫َواَنْك هحوا ْاْلَ ََي ٰمى مْن هك ُْم َو‬

ُ‫الله َو ِاسعُ َعلِْيم‬


ُّٰ ‫ضلِهُٖۗ َو‬
ْ َ‫ِم ُْن ف‬

Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu

dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba

sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.

Jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka

dengan karunia-Nya.

Kemudian setelah penulis menganalisis hasil dari responden dengan

adanya kedudukan anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah

dengan anak yang lahir diluar perkawinan jelas memiliki perbedaan,

seperti dalam hak waris, nasab, dan hak menjadi wali nikah bagi anak

62
perempuan. Namun demikian sangat tidak adil apabila seorang anak

karena kesalahan ibu dan ayah biologisnya si anak harus menanggung

beban dengan kehilangan hal-haknya sebagai seorang anak. Oleh karena

itu setelah Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Nomor 46/PUU-

VIII/2010 isi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

harus dibaca “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-

laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan

dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Kemudian Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 46/PUU-

VIII/2010 dalam pertimbangan hukum pokok permohonan menyebutkan,

bahwa: “Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum

menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan

seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan

tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang

menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari

tanggung jawabnya sebagai bapak dan bersamaan dengan itu hukum

meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-

lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada

memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak merupakan anak dari

laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa kelahiran, yang didahului

63
dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-

laki adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban

secara bertimbal balik, yang subyek hukumnya meliputi anak, ibu dan

bapak”.

Menurut penulis berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Mahkamah

Konsitusi diatas bahwa akan muncul hubungan hukum antara anak tidak sah

dengan ayah biologisnya yang ternyata dan terbukti bahwa ayah dan anak

memiliki hubungan darah atau si ayah adalah orang yang telah

membenihkan si anak di rahim ibunya, sehingga dengan terbukanya

hubungan perdata tersebut, maka timbullah hak alimentasi (pemeliharaan)

antara anak tidak sah dengan ayah biologisnya.

Akibat hukum terhadap anak yang sudah ditetapkan dalam studi

putusan Nomor 571.Pdt.P/2021/PA.Mkd jika anak tersebut terbukti lahir

sebelum perkawinan yang sah maka anak tersebut akan ditetapkan sebagai

anak biologis. Namun jika seandainya Pemohon tidak menikah ulang

karena Pemohon sudah menikah siri maka jalan seharusnya yang ditempuh

yaitu Pemohon mengajukan isbath nikah di Pengadilan Agama, sebab jika

anak sudah lahir maka anak akan langsung ikut terlindungi dengan adanya

isbath nikah, sehingga jika mereka sudah menikah siri lalu mereka

menikah ulang akan sangat berpengaruh pada penetapan, karena didalam

penetapan nomor 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd anak lahir sebelum pernikahan

sah yang dimaksud pernikahan sah disini adalah pernikahan yang

dicatatkan yaitu pada tanggal 31 Mei 2012 sedangkan anak Pemohon yang

64
bernama Reyza Alvino lahir pada tanggal 31 Januari 2011 maka dilihat

dari waktu anak lahir akta kelahiran tidak berlaku surut.

Menurut penulis ketika status anak ditetapkan sebagai anak biologis

oleh hakim maka anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak waris dari

ayahnya dan tidak bisa di nasabkan dengan ayah kandungnya seperti

akibat hukum yang ditimbulkan bagi anak Pemohon yang bernama Reyza

Alvino karena para ulama mazhab fiqh sepakat bahwa nasab merupakan

pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, nasab juga sebagai

fondasi yang kuat dalam membina kehidupan manusia, sebab pada

hakikatnya nasab juga merupakan nikmat dan karunia bersar yang Allah

SWT berikan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu nasab harus selalu

dijaga kemurniannya, selain itu nasab juga merupakan persoalan pokok

kaitannya dengan struktur hukum keluarga yang lain, seperti hak

hadhanah, nafkah, hukum kewarisan, dan masalah perwalian.

Maka dari itu akibat hukum terhadap anak Pemohon yang berstatus

anak biologis hanya bisa menuntut untuk biaya nafkah, biaya pendidikan,

biaya kesehatan, dan biaya tempat tinggal sesuai yang tercantum pada

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mana bisa

diberikan wasiat wajibah oleh hakim sebagai terobosan untuk hak anak,

dengan kata lain para hakim Pengadilan Agama telah menciptakan

terobosan hukum dengan mengabulkan permohonan penetapan asal-usul

anak biologis dan memberikan hubungan keperdataan secara terbatas (tidak

sempurna) dengan ayahnya. Dikabulkannya permohonan pengakuan anak

65
oleh kedua orang tuanya merupakan pemberian kejelasan asal-usul anak dan

kepastian hukum tentang adanya hubungan keperdataan antara si anak dan

kedua orang tuanya.

Hubungan keperdataan yang ditetapkan oleh hakim Pengadilan

Agama terhadap anak biologis merupakan tanggung jawab seorang ayah

untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan memberikan warisan melalui

wasiat wajibah supaya kesejahteraan anak dapat terjamin. Kewajiban ini

merupakan sanksi bagi laki-laki yang mengakibatkan anak lahir di luar

nikah karena melanggar norma hukum agama dan negara. Dengan adanya

pemberlakuan sanksi tersebut mempunyai tiga tujuan: pertama, untuk

memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi anak biologis. Kedua,

sebagai perlindungan terhadap anak biologis agar dapat hidup secara layak.

Ketiga, sebagai efek jera bagi pelaku zina, sehingga dapat meminimalisir

perbuatan zina di masyarakat.

Menurut penulis Anak biologis tentu saja tidak mempunyai hak-hak

seperti anak sah, karena anak sah sudah pasti mendapatkan waris dan nasab,

sedangkan anak biologis tidak bisa mendapatkan waris dan nasab dari

ayahnya sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 tentang anak luar kawin. Oleh karena itu telah terjadi beberapa

pembaharuan di bidang hukum waris Islam, salah satunya adalah wasiat

wajibah. Wasiat wajibah ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh ulama

untuk ahli waris yang ditangguhkan oleh syara' untuk menerima bagian

mereka dari harta ahli waris yang menjadi haknya. Ada dua macam ahli

66
waris yang berhak mendapat bagian. Pertama, ahli waris non muslim,

kedua, anak luar kawin, dan ketiga, anak angkat. Mereka memiliki hak

untuk mewarisi dengan wasiat wajib. Namun, bagiannya tidak boleh

melebihi 1/3 sesuai dengan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai anak luar

kawin tidak menyebabkan bolehnya hukum Islam dilanggar atau diabaikan.

Oleh sebab itu Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa Nomor

11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan

terhadapnya. Anak zina atau anak di luar nikah oleh ayah dengan cara

wasiat wajibah, yang merupakan kebijakan ulil amri (Penguasa) yang

mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk

berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalannya.

Jika saat putusan Pengadilan Agama sudah ditetapkan sebagai anak

biologis maka akta kelahiran anak tidak bisa ditambahkan nama ayah, dan

akta kelahiran anak yang bernama Reyza Alvino tetap seperti semula yaitu

hanya terdapat nama ibu saja yaitu “anak laki-laki dari Ibu Rahmita”, tetapi

dengan adanya penetapan dari Pengadilan Agama tersebut Pemohon jadi

mempunyai bukti bahwa anak tersebut benar-benar anak biologis dari orang

tua anak yang bernama Reyza Alvino. Beda halnya jika akta sebelumnya

hanya ada nama ibu, kemudian hakim menetapkan sebagai anak sah maka

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil membuatkan catatan pinggir di akta

kelahiran anak dan akta pengesahan anaknya. Jika saja Pemohon tidak

terburu-buru untuk membuatkan akta kelahiran si anak, sebenarnya anak

67
tersebut bisa dianggap anak sah, karena jika Pemohon mengajukan isbath

nikah di Pengadilan Agama maka hakim hanya memeriksa apakah telah

terjadi pernikahan sah yang dilakukan oleh Pemohon dan isterinya lalu

hakim mengeluarkan penetapan bahwa Pemohon telah melaksanakan

perkawinan secara agama Islam pada tanggal 14 Oktober 2010 kemudian

Pemohon datang ke KUA untuk membuatkan akta nikah dengan membawa

bukti dari penetapan dari Pengadilan Agama, maka saat Pemohon membuat

akta kelahiran untuk anaknya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

anak otomatis akan berstatus sebagai anak sah karena anak lahir setelah

perkawinan sah walaupun perkawinan siri sebagaimana dalam Pasal 99

Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “anak yang sah adalah

anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah” dan dalam

Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu” dilihat dari Pasal diatas Peneliti menyimpulkan bahwa

putusan hakim sudah tepat tetapi tindakan yang dilakukan Pemohon kurang

tepat karena terburu-buru untuk membuatkan akta kelahiran si anak. Jika

Pemohon tidak melakukan pernikahan ulang dan lebih memilih untuk

melakukan isbath nikah maka sebenarnya anak yang bernama Reyza Alvino

akan dianggap anak sah karena lahir setelah perkawinan sah menurut agama

Islam yang mana perkawinan tersebut telah memenuhi rukun dan syarat

dalam Islam maka perkawinan tersebut adalah sah hanya saja tidak

dicatatkan.

68
Menurut penulis berdasarkan kasus putusan 571/Pdt.P/2021/PA.Mkd

akta kelahiran anak yang bernama Reyza Alvino sebelumnya hanya

tercantum nama ibu Rahmita, kemudian mendapatkan putusan dari hakim

bahwa anak ditetapkan sebagai anak biologis dari ayahnya atau Pemohon,

namun saat Pemohon mengurus akta kelahiran anak supaya tercantum nama

Pemohon didalam akta kelahiran anak tetap tertulis nama ibu saja, pihak

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak merubah akta kelahiran anak

menjadi anak biologis dari ayahnya karena Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil berpedoman pada Pasal 75 ayat 1 (b) Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pengesahan Anak, yang

mana hanya anak yang ditetapkan sebagai anak sah saja yang bisa

ditindaklanjuti, sedangkan di Pengadilan Agama perkara asal usul anak

menggunakan istilah anak sah dan anak biologis, namun jika hakim

menetapkan sebagai anak sah, maka pihak Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil akan membuatkan catatan pinggir di aktanya dan akta

pengesahan anaknya. Oleh karena itu jika ayahnya tidak memenuhi

kewajiban menanggung biaya kehidupan anak dengan adanya penetapan

dari Pengadilan Agama ini sebagai lampiran untuk menuntut hak-hak

anaknya.

69
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian diatas yang telah peneliti lakukan, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan asal usul

anak dipastikan terlebih dahulu perkawinan sirinya telah memenuhi

rukun dan syarat perkawinan secara Islam, selain itu waktu

kelahiran anak juga menjadi pertimbangan. Oleh karena itu dalam

perkara putusan Nomor 571.Pdt.P/2021/PA.Mkd bahwa hakim

sudah tepat menetapkan anak Pemohon sebagai anak biologis,

karena dalam perkara tersebut anak lahir sebelum perkawinan

resmi yang dicatatkan. Jika saja Pemohon tidak terburu-buru untuk

mencatatkan akta kelahiran anak, dan Pemohon melakukan isbat

nikah di Pengadilan Agama maka anak otomatis akan menjadi anak

sah, karena anak lahir setelah perkawinan yang telah memenuhi

rukun dan syarat dalam Islam, sehingga Pemohon tidak perlu

mengajukan permohonan asal usul anak.

2. Akibat hukum yang timbul bagi anak biologis adalah hubungan

hukum anak biologis tidak seluas dengan anak sah, jika anak sah

mendapatkan hak keperdataan penuh yang meliputi biaya nafkah,

biaya pendidikan, biaya kesehatan, tempat tinggal, nasab dan

sampai mewaris ketika orang tua meninggal dunia sebagai ahli

70
waris yang sah, sedangkan anak biologis hanya mendapatkan biaya

kehidupan seperti biaya nafkah, biaya pendidikan, biaya kesehatan,

tempat tinggal tetapi, tidak mendapatkan waris dari ayahnya karena

anak biologis tidak tidak bisa dinasabkan dengan ayahnya, dan jika

anaknya perempuan ayahnya pun tidak bisa menjadi wali saat

pernikahannya, kalaupun memperoleh waris melalui wasiat

wajibah setelah ayah biologis meninggal dunia. Dalam akta

kelahiran anak biologis tetap tertulis sebagai anak ibu saja, pihak

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak bisa menindaklanjuti

penetapan anak biologis, karena Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil berpedoman pada pencatatan pengesahan anak.

B. Saran
1. Masyarakat

Sebaiknya jika seseorang sudah terlanjur melakukan perkawinan siri

harus segera dicatatkan di KUA, seperti pada studi putusan Nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd bahwa perkawinan yang tidak segera

dicatatkan dapat merugikan khususnya bagi anak yang hanya akan

mempunyai hubungan perdata dengan ibu, anak tidak bisa

mendapatkan waris dan nasab dari ayahnya, selain itu dengan adanya

perkawinan yang tercatat anak pasti akan mendapatkan kepastian

hukum demi melindungi hak anak.

2. Kantor Urusan Agama

Jika ada masyarakat perseorangan yang ingin menikah ulang,

sebaiknya kepala KUA bertanya terlebih dahulu alasan untuk


71
pernikahan ulang, sebab jika ternyata mereka menikah ulang hanya

untuk mendapatkan bukti buku nikah sebagai syarat asal usul anak di

Pengadilan Agama seperti pada studi putusan nomor

571/Pdt.P/2021/PA.Mkd maka kepala KUA sebaiknya

merekomendasikan pasangan tersebut untuk mengajukan isbath nikah

di Pengadilan Agama. Selain itu pihak KUA bisa bekerja sama dengan

UNIMMA atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk

mensosialisasikan tentang akibat dari perkawinan siri atau perkawinan

yang tidak tercatat.

3. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Seharusnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menindaklanjuti

penetapan Pengadilan Agama sebagai anak biologis, karena seseorang

mengajukan permohonan asal usul anak demi kepastian hukum atau

kejelasan identitas anak, maka sebaiknya dibuatkan peraturan atau

kebijakan untuk menindaklanjuti putusan hakim sebagai anak biologis

walaupun didalam akta kelahiran anak akan tertulis anak biologis dari

ayahnya setidaknya ada akta atau bukti yang kuat bahwa anak tersebut

adalah anak biologis dari ayahnya.

72
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan. (2006). Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia.


Kencana.
Addin Daniar Syamdan, D. P. (2019). Aspek Hukum Perkawinan Siri Dan Akibat
Hukumnya. Notarius, 12(1), 452–466.
Adillah, S. U. (2016). Implikasi Hukum Dari Perkawinan Siri Terhadap
Perempuan Dan Anak. PALASTREN Jurnal Studi Gender, 7(1), 193–222.
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Palastren/article/view/1011
Aminah, S. (2014). Hukum Nikah Di Bawah Tangan (Nikah Siri). 12(02), 1–29.

Amir Syarifuddin. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Kencana.

Bernadeta Resti Nurhayati. (2019). Harmonisasi Norma Hukum Bagi


Perlindungan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum
Indonesia. Ganesha Law Riview, 8(5), 55.
Cahyani, A. I. (2019). Peradilan Agama sebagai Penegak Hukum Islam di
Indonesia. Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam, 6(1),
119. https://doi.org/10.24252/al-qadau.v6i1.9483
Dahlia, E. (2021). Kewarisan Anak Dalam Kandungan (Studi Komperatif
Menurut Hukum Islam dan KUHPerdata). Universitas Islam Negeri.
Dr. Ahmad Mujahidun, M. . (2012). Pembaharuan Hukum Acara Peradilan
Agama (Zaenudin A. Naufal (ed.)). Ghalia Indonesia.
Edyar, B. (2016). Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang Undang
Perkawinan. Al-Istinbath : Jurnal Hukum IslamJurnal Hukum Islam, 1(2),
181–208. http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/alistinbath/article/view/115
Ghusairi. (2018). Pengaruh Keputusan Kasus Machica Mochtar Terhadap Status
Nasab Anak Luar Nikah di Indonesia. Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, 4(1), 1–13. http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/madania/article/view/4757
Halim, I., & Darwis, I. (2020). Urgensi Penetapan Wali Nikah Bagi Perempuan
Yang Lahir Kurang Dari 6 Bulan Setelah Akad Nikah Dari Perkawinan
Hamil Perspektif Hukum Islam. Jurnal Tana Mana, 1(1), 1–16.
https://doi.org/10.33648/jtm.v1i1.144
Hasan, L. (2021). Kajian Yuridis Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak Menurut
KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.,

73
VI(7), 2013–2015.
Hasibuan, I. H. (2019). Inheritance Rights For Adultery Children; An Analysis Of
Prosperity Approach To The Inherintance Rights For Adultery Children In
The Islamic Law Compilation. International Journal on Language, Research
and Education Studies, 3(3), 351–363.
https://doi.org/10.30575/2017/IJLRES-2019091202
Ismawati, S. (2021). Penal and non-penal approaches to the legal enforcement of
child marriage: A political analysis of criminal law. International Journal of
Criminology and Sociology, 10(1), 45–50. https://doi.org/10.6000/1929-
4409.2021.10.07
Isnaini, E. (2014). Perkawinan Siri Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum
Positif Dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Independent, 2(1), 51.
https://doi.org/10.30736/ji.v2i1.18
Jamaluddin, N. A. (2016). Buku Ajar Hukum Perkawinan. In M. . Dr. Faisal,
S.Ag, S.H (Ed.), Unimal Press (Vol. 4, Issue 1).
Kharisudin. (2021). Nikah Siri Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam Dan
Undang-Undang Perkawinan Indonesia. Perspektif, 26(1), 56.
https://doi.org/10.30742/perspektif.v26i1.791
Koniyo, V. F. M. (2020). Analisis Sosio Yuridis Terhadap Penetapan Asal Usul
Anak Pernikahan Sirih Untuk kepentingan Pemenuhan Hak Anak. Jurnal
Legalitas, 13(02), 94–102. https://doi.org/10.33756/jelta.v13i02.7683
Kusumo, B. A. (2017). Perkawinan Sirri Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum
Positif. 75–88.
Lia Amaliya. (2022). Penetapan Asal Usul Anak Sebagai Upaya Perlindungan
Hukum Terhadap Anak hasil Dari Perkawinan Siri (Studi Kasus di
Pengadilan Agama Karawang). E-ISSN : 2(April 2020), 375.
M. Iqbal. (2022). Legal Position Of Children Resulting From Contract In The
Context Of Marriage Legal In Indonesia. Journal Of Law Mitzvah, 1(1), 53–
70.
Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram University Press.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results
Pangaribuan, M. I. (2019). Tinjauan Yuridis Status Hukum Anak Hasil
Perkawinan Sirri Dan Akibat Hukumnya (Menurut Hukum Islam Dan
Hukum Positif Indonesia) | Pangaribuan | Jurnal Civil Law Usu. Jurnal Civil
Law, 2. https://jurnal.usu.ac.id/index.php/civil_law/article/view/25632
Sholihah, H. (2018). Perbandingan Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dan Hukum Islam. Al-
Afkar: Journal for Islamic Studies, 1(2), 88–111.
https://doi.org/10.5281/zenodo.3554863
74
Sipahutar, A. (2019). Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Anak Dari Hasil
Perkawinan Siri Yang Ditelantarkan Menurut Hukum Islam Dan Undang-
Undang Perlindungan Anak. Doktrina: Journal of Law, 2(1), 66.
https://doi.org/10.31289/doktrina.v2i1.2383
Sudirman. (2021). Hukum Acara Peradilan Agama (M. S. . ABD. Karim Faiz
(ed.); Vol. 4, Issue 1). IAIN Parepare Nusantara Press.
Susanto. (2020). E-Court As the Prevention Efforts Against the Indonesia Judicial
Corruption. Yustisia Jurnal Hukum, 9(1), 116.
https://doi.org/10.20961/yustisia.v9i1.41127
Umar Haris Sanjaya, A. R. F. (2017). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. In
A. RM (Ed.), Asy-Syir’ah: Vol. Vol. 46 (Issue II). Gama Media.
Usman, R. (2014). Prinsip Tanggung Jawab Orangtua Biologis terhadap Anak Di
Luar Perkawinan. Jurnal Konstitusi, 11(1), 168–193.
Zainuddin, S.H., M. . . (2017). Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (M. .
Dr. Fuadi, S.H. (ed.)). Deepublish.

75

Anda mungkin juga menyukai