Anda di halaman 1dari 86

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI

KEMASAN MAKANAN YANG TIDAK


MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUWARSA

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum

Disusun oleh:

KHOFIFAH MAULINDA
NPM : 119010206

Pembimbing 1 : Dr. Harmono, S.H.,MH


Pembimbing 2 : Raden Handiriono, S.H.,M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON
DESEMBER 2023
HALAMAN PERSETUJUAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI


KEMASAN MAKANAN YANG TIDAK
MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUWARSA

Disusun oleh:

KHOFIFAH MAULINDA
NPM : 119010206

Telah disetujui untuk dilaksanakan Seminar Hasil Penelitian

PEMBIMBING PERTAMA: PEMBIMBING KEDUA:

Dr. Harmono, S.H.,MH Raden Handiriono, S.H.,M.Kn


NIDN: 0401026803 NIDN: 0415078802

i
HALAMAN PENGESAHAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI


KEMASAN MAKANAN YANG TIDAK
MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUWARSA

SKRIPSI
Disetujui dan disahkan untuk memenuhi Gelar Sarjana Hukum
(Strata1) Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Swadaya Gunung Jati

Disusun oleh:

KHOFIFAH MAULINDA
NPM : 119010206

Mengesahkan:

PLT. Dekan: Wakil Dekan 1:


Selaku Ketua Panitia Ujian Selaku Sekertaris Panitia Ujian

Dr. M. Sigit Gunawan, S.H., M.Kn. Dr. M. Sigit Gunawan, S.H., M.Kn.
NIDN. 0412078103 NIDN. 0412078103

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI


KEMASAN MAKANAN YANG TIDAK
MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUWARSA
SKRIPSI
Disetujui dan disahkan untuk memenuhi Gelar Sarjana Hukum
(Strata1) Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Swadaya Gunung Jati

Disusun oleh:

KHOFIFAH MAULINDA
NPM : 119010206

Mengetahui:

Pembimbing 1: Pembimbing 2:

Dr. Harmono, S.H.,M.H Raden Handiriono, S.H.,M.Kn


NIDN: 0401026803 NIDN: 0415078802

Kepala Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Swadaya Gunung Jati

Dr. Sanusi, S.H.,MH


NIDN: 0410077101

iii
HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Nama : KHOFIFAH MAULINDA

NPM : 119010206

No HP : 0895365775010

Alamat : Jl. Kecapi No.77 G.G Family 3 RW.004 RW.001 Kel. Kecapi
.. ..Kec. Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Kode Pos 45142

Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (S-1) Sarjana Hukum, baik di Universitas Swadaya
Gunung Jati Cirebon maupun perguruan tinggi lain.

Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa
bantuan pihak lain, kecuali Tim Pembimbing.

.Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau di
publikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam
daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.

Cirebon, Desember 2023

Khofifah Maulinda

iv
MOTTO

Cape,ngeluh,nangis boleh yang penting jangan nyerah sama keadaan kamu.


Memang hidup terkadang tak sesuai ekpetasi, tapi bertahanlah dengan sesuatu
yang sangat penting bagimu

v
PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini saya
persembahkan kepada:

Orang tua saya Ibu Wahyati, Mamah Rochyanti, Bapak Jam, Bapak
Dadang, dan kakak-adikku. Terimakasih karena kalian telah mengiringi setiap
langkah saya dan mendoakan,dukungan dan pengorbanan yang begitu besar.

Orang – orang yang selalu mendukung saya sampai detik ini, terimakasih
karena kalian sudah menjadi bagian yang paling penting pada fase pedewasaan
ini.

Dan skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang selalu


bertanya “Kapan skripsimu selesai?” dan “Kapan kamu wisuda”. Terlambat lulus
atau lulus tidak tepat waktu bukanlah sebuah kejahatan, bukan pula sebuah aib.
Alangkah kerdilnya jika mengukur kecerdasan hanya dari siapa yang paling cepat
lulus. Bukankah sebaik – baiknya skripsi adalah skripsi yang selesai? Karena
mungkin ada sesuatu hal dibalik terlambanya mereka lulus, dan percayalah,alasan
saya disini adalah alasan yang sepenuhnya baik.

Cirebon, Desember 2023

Khofifah Maulinda

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena


berkat dan rahmatNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penulis
skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Swadaya
Gunung Jati Cirebon.Penulis menyadari penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan danbantuan dari berbagai pihak baik secara moral maupun material
yang membantu proses penyusunan skripsi ini hingga selesai. Untuk itu, dalam
kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Mukarto Siswoyo,Drs,. M.Si. selaku Rektor Universitas


Swadaya Gunung Jati Cirebon.
2. Dr. M. Sigit Gunawan, S.H., M.Kn. selaku PLT Dekan dan Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
3. Ibu Ratu Mawar Kartina, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
4. Bapak Dr. Sanusi S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon. Dan
Sekaligus Wali Kelas.
5. Diky Dikrurahman, S.H., M.kn, selaku Sekertaris Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati.
6. Bapak Dr. H. Harmono,S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada
penulis.
7. Bapak Raden Handiriono, S.H.,M.Kn selaku Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan
masukan yang sangat berarti kepada penulis dengan penuh kesabaran demi
kelancaran penyelesaian skripsi ini.
8. Ibu Hj. Tina Marlina,Sh.,M.Hum Selaku Penguji I yang telah bersedia
memberikan masukan saran dalam perbaikan penulisan skripsi ini.
9. Bapak Ismayana, SH.,MH Selaku Penguji II yang telah bersedia
memberikan masukan saran dalam perbaikan penulisan skripsi ini.
10. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati
Cirebon, yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan selama ini.
11. Seluruh staf civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Swadaya
Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan pelayanan akademik kepada
penulis.
12. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon,
Perpustakaan Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Perpustakaan
Umum 400 Kota Cirebon, Untuk tempat membaca yang telah memberikan
beberapa referensi bacaan.

vii
13. Terima Kasih Kepada seluruh Staf Kespangbol dan Disperindag
Kabupaten Cirebon yang telah membantu mencari data-data untuk
penelitian Skripsi ini.
14. Keempat Orangtuaku tercinta yaitu Ibu,Mamah,Bapak Jamhari, dan Bapak
Dadang atas do'a dan usaha yang tiada hentinya demi menyekolahkan
penulis hingga lulus Sarjana Hukum, yang kalian selalu idam-idamkan
anaknya menjadi Sarjana, serta A Taufik, A Rahmat, A Ramli dan Teh
April yang telah memberikanku semangat, serta adikku Kartika Nur
Jannah yang selalu memberiku semangat. Dan ponakan kecilku Altaf
selalu buat penulis merasa senang jika sedang rumit mengerjakan skripsi.
15. Keluarga Besar Ibu, untuk semua doa dan dorongan yang tiada pernah
berhenti mengalir.
16. Keluarga Besar Bapak, untuk semua doa dan dorongan yang tiada pernah
berhenti mengalir.
17. Teruntuk orang yang 10 tahun bersama yang bernama Riyan Maulana I,
yang selalu memberiku semangat untuk menyelesaikan skripsiku, yang
selalu membantuku jika aku ada kesulitan. Dan yang selalu menyemangati
dan menjadi Support System penulis.
18. Keluarga Besar kelas G Fakultas Hukum Unswagati Angkatan 2019, yang
telah berjuang bersama-sama menyelesaikan skripsi untuk meraih gelar
Sarjana Hukum.
19. Teman-teman KKN penulis yang telah berjuang bersama-sama
menyelesaikan skripsi untuk meraih gelar Sarjana Hukum.
20. Seluruh Pihak Lainnya yang telah ikut andil dalam Perjuangan penulis
Mencari Ilmu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam Skripsi
Ini.
21. Dan terakhir untuk diri saya sendiri yang bernama Khofifah Maulinda
terimakasih sudah bisa bertahan dan berjuang untuk menyelesaikan skripsi
ini.

Akhir kata dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan, penulis


berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan mendapat masukan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan.

Cirebon, Desember 2023

Penulis

viii
ABSTRAK

Perlindungan konsumen merupakan perlindungan hukum yang di berikan


oleh pemerintah untuk konsumen agar terhindar dari kecurangan perilaku pelaku
usaha,dalam arti perlindungan konsumen merupakan perlindungan untuk menjaga
hak – hak yang diperoleh oleh konsumen dan pelaku usaha,begitu pula dengan
kewajiban – kewajiban yang harus di taati oleh pelaku usaha maupun konsumen.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa, “Perlindungan Konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan
kepada konsumen.”
Masih ada saja perilaku pelaku usaha yang tiak mematuhi Undang –
Undang tersebut,seperti tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa pada kemasan
makanannya, padahal kadaluwarsa penting karena menandakan kapan tanggal
produk tersebut sudah tidak layak untuk di makan dan bisa saja menimbulkan
gejala penyakit seperti mual,sakit perut atau sampai kematian.
Maka dari itu untuk melindungi konsumen dari kerugian yang didapatkan
akibat perilaku pelaku usaha tersebut, konsumen dapat melakukan 3 (tiga) upaya
mendapatkan hak – haknya kembali, yaitu: dengan cara damai atau kekeluargaan,
dengan cara mengajukan tuntutan ke BPSK (Non Litigasi) biasanya dilakukan
dengan cara mediasi,konsiliasi atau arbitrase, dan kalau kedua upaya tersebut
tidak bisa mendamaikan kedua belah pihak maka akan menggunakan cara terakhir
yaitu pengadilan (Litigasi).
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen,Makanan Kemasan Yang Tidak
Mencantumkan Tanggal Kadaluwarsa,Upaya Hukum.

ix
ABSTRACT

Consumer protection is legal protection provided by the government for


consumers to avoid fraudulent behavior by business actors, in the sense that
consumer protection is protection to safeguard the rights obtained by consumers
and business actors, as well as the obligations that must be obeyed by consumers.
business actors and consumers. In Law Number 8 of 1999 concerning Consumer
Protection Article 1 number 1 states that, "Consumer Protection is all efforts that
guarantee legal certainty to provide protection to consumers."
There is still the behavior of business actors who do not comply with this
law, such as not including an expiry date on their food packaging, even though
expiry is important because it indicates when the product is no longer suitable for
eating and can cause symptoms of illness such as nausea, stomach ache or until
death.
Therefore, to protect consumers from losses resulting from the behavior of
these business actors, consumers can make 3 (three) efforts to get their rights
back, namely: in a peaceful or amicable way, by filing a lawsuit with BPSK (Non-
Litigation) which is usually done by means of mediation, conciliation or
arbitration, and if these two efforts cannot reconcile the two parties then the final
method will be used, namely court (litigation).
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen,Makanan Kemasan Yang Tidak
Mencantumkan Tanggal Kadaluwarsa,Upaya Hukum.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................................... iv
MOTTO ...................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii
ABSTRAK................................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
A. Latar Belakang Penelitian........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
C. Maksud dan Tujuan Penelitian................................................................................ 5
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................................... 6
E. Kerangka Pemikiran ................................................................................................ 6
F. Metode Penelitian ................................................................................................ 12
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN .......................... 17
A. Pengertian Perlindungan Konsumen .................................................................... 17
B. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen .............................................................. 21
D. Pengertian Pelaku Usaha ...................................................................................... 24
E. Hubungan Konsumen dan Pelaku Usaha .............................................................. 28
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ............................................................................. 32
G. Peran Pemerintah Melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan ........................ 36
BAB III...................................................................................................................... 40
A. Kasus Pertama....................................................................................................... 40
B. Kasus Kedua .......................................................................................................... 41
BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI KEMASAN MAKANAN YANG TIDAK
MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUWARSA ........................................................... 43
A. Perlindungan Konsumen Mengenai Kemasan Makanan Yang Tidak
Mencantumkan Tanggal Kadaluwarsa .......................................................................... 43
B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Konsumen Akibat Kerugian Yang
Dideritanya Karena Tindakan Pelaku Usaha Yang Tidak Mencantumkan Tanggal
Kadaluarsa ..................................................................................................................... 50
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 60

xi
A. Simpulan ................................................................................................................... 60
B. Saran ......................................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 62
Lampiran 1 ............................................................................................................... 65
Daftar Pertanyaan Wawancara ..................................................................................... 65
Laporan Penelitian ........................................................................................................ 67
Surat penelitian KESBANGPOL KAB.Cirebon ................................................................. 72
Amplop Surat untuk wawancara di DISPERINDAG ....................................................... 73
Wawancara dengan Bapak Rodiya (Kepala Industri DISPERINDAG) ............................. 73

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dalam masa perkembangan perusahaan yang sangat pesat saat ini,

hubungan antara pelaku usaha dengan pelanggan terus terjalin. Mereka sangat

bergantung satu sama lain dan memiliki keinginan yang kuat satu sama lain,

yang menyebabkan hubungan ini. Tanpa pelanggan maka aktivitas pelaku

usaha tidak akan terlaksana, dan tanpa pelaku usaha kebutuhan konsumen

tidak akan terpenuhi. Prinsip dasar interaksi antara pelaku usaha dan

pelanggan adalah saling ketergantungan. Kedua belah pihak harus puas agar

produksi dapat bermanfaat dan sebaliknya. Jasa atau/dan produk yang terbukti

dapat dipercaya dan memuaskan dijadikan sebagai iklan gratis bagi para

pengusaha.

Setiap individu atau badan hukum, apapun status hukumnya, yang

bertempat tinggal atau melakukan kegiatan komersial di wilayah hukum

Indonesia, baik secara mandiri atau melalui perjanjian kontrak, sering kali

menunjukkan ciri-ciri berikut: Ada tugas yang perlu diselesaikan.

mengoperasikan perusahaan dalam perekonomian.Tindakan bisnis ini

dilakukan untuk memenuhi permintaan klien. Konsumen individu dan

konsumen organisasi adalah dua kategori pelanggan yang berbeda. Meskipun

konsumen organisasi sering kali membeli barang/jasa untuk menjalankan

seluruh tugas organisasinya, Konsumen individu sering kali membeli produk

atau jasa untuk digunakan sendiri atau untuk digunakan oleh keluarganya.

1
Karena keduanya berkontribusi besar terhadap kemajuan dan pertumbuhan

ekonomi, maka pelanggan individu dan korporasi sangatlah penting.1

Pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha yang sangat pesat ini dapat

membawa dampak positif antara lain, pemenuhan kebutuhan hidup terpenuhi,

namun disisi lain juga dapat memberikan dampak negatif. Ketika persaingan

semakin meningkat di antara para pelaku bisnis, persaingan semakin

meningkat dalam upaya memaksimalkan keuntungan. Hal ini dapat

menyebabkan perilaku pelaku usaha beralih ke persaingan tidak sehat yang

dapat merugikan pelanggan. Pemerintah Indonesia telah menciptakan

sejumlah langkah perlindungan konsumen untuk menghentikan hal ini. Salah

satunya Undang – Undang No.8 Tahun 1999 yang isi pokoknya adalah

mengatur perilaku pelaku usaha.

Faktanya, masih ada pelaku usaha tertentu yang memilih mengabaikan UU

Perlindungan Konsumen. Salah satunya berprofesi sebagai wirausaha di

industri makanan kemasan. Hal ini dapat kita cermati karena meskipun pangan

kemasan merupakan syarat kadaluwarsa, masih banyak pelaku industri pangan

kemasan yang dibuatnya tidak memiliki tanggal kadaluwarsa.

Kadaluarsa merupakan keadaan dimana produk dianggap tidak dapat

digunakan karena telah melebihi apa yang dimungkinkan dalam kemasan.

Tentu saja produk ini tidak untuk dijual dalam keadaan tidak berfungsi,

sehingga pembeli harus berhati-hati saat melakukan pembelian.2 Seperti

1
Sumarwan, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran (Bogor: Ghalia
Indonesia: 2012), hlm.1.
2
Pratama, I. G. E. B., & Sudjana, I. K., Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan Kemasan
Tanpa Tanggal Kadaluarsa (Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6(4), 2018), hlm. 2.

2
diketahui bahwa makanan kedaluwarsa dapat berbahaya bagi tubuh dan

kesehatan manusia, dampak yang ditimbulkan dari mengkonsumsi makanan

kadalaursa biasanya sakit perut, diare, sembelit, keracunan dan rentan melukai

lambung.

Ada tiga kategori kapan makanan kemasan harus habis: a. tanggal

pembuatan atau pengepakan (tanggal pembuatan atau pengepakan); B. yang

terjual minimal tanggal lama (jual berdasarkan tanggal); C. tanggal yang

digunakan minimal lama (digunakan berdasarkan tanggal); dan d. tanggal

yang harus habis (tanggal daya tahan minimal) atau (terbaik sebelum).

menyebutkan tanggal kadaluwarsanya, bulan dan tahun pada produk kemasan

pangan, yaitu bagian informasi makanan yang diterima dari pengusaha

(penjual atau produsen). Kepada konsumen yang harus disertakan dalam

setiap produk yang ingin dipasarkan.3

Maka dari itu sebagai konsumen sebaiknya meningkatkan kesadaran akan

makanan kemasan yang tidak memiliki tanggal kadaluarsa untuk menghindari

produk makanan kemasan yang dapat membahayakan tubuh, karena Tanggal

kedaluwarsa merupakan salah satu instrumen yang penting dalam makanan

kemasan.

Seperti halnya di kota Cirebon banyak produsen/pelaku usaha yang

bergerak dibidang makanan kemasan tetapi masih tidak mencantumkan

tanggal kadaluarsa pada produknya. Salah satunya pelaku usaha yang berada

3
Andi Luthfi Maulana, Tesis: Analisis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk
Kemasan Tanpa Tanggal Kedaluwarsa Dalam Perspektif Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42),
(Kalimantan: Universitas Islam Kalimantan MAB, 2021), hlm. 3.

3
di pasar Harjamukti yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa dalam

produk makanan kemasannya Konsumen mungkin menghadapi risiko karena

mereka tidak tahu kapan makanan yang mereka makan akan kedaluwarsa.

Adapun penelitian terdahulu terkait permasalahan makanan kemasan yang

tidak memperhatikan tanggal kadaluarsa sudah dilakukan diantaranya:

1. Pada tahun 2019, penelitian bertajuk “Analisis Regulasi

Perlindungan Konsumen Produk Pangan Tanpa Tanggal Kedaluwarsa

(Studi Kasus Industri Rumah Tangga di Kabupaten Alam Barajo)”

dilakukan oleh peneliti Darmawati di Universitas Islam Negeri Sulthan

Thaha Saifuddin Jambi. Teks pengguna tidak memberikan informasi apa

pun untuk ditulis ulang secara akademis. Subyek wacana utama, dari sudut

pandang ekonomi Islam, adalah peraturan perlindungan konsumen terkait

barang pangan yang tidak memiliki tanggal kadaluwarsa di pasar

domestik.

2. Berdasarkan dokumentasi yang ada dari Universitas Islam Negeri

Sunan Gunung Djati Bandung, disebutkan bahwa Ryan Fachryan Lesmana

Putra melakukan penelitian pada tahun 2021 dengan judul “Perlindungan

Hukum Konsumen Terhadap Penjualan Produk Industri Makanan Rumah

Tangga (PIRT) Yang Tidak Mencantumkan Tanggal Kedaluwarsa:

Menganalisis Hubungan Kemasan dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.” Subyek penelitian utama

dalam penelitian ini adalah tingkat pemahaman pelanggan tentang

pentingnya tanggal kadaluwarsa.

4
Berdasarkan penelitian diatas perbedaan mendasar antara karya ilmiah

tersebut dengan penelitian yang penulis teliti adalah lokasi penelitian berada di

Cirebon. Dan penelitian ini berfokus pada perlindungan konsumen mengenai

kemasan makanan yang tidak memiliki tanggal kadaluarsa berdasarkan aturan

hukum positif yang berlaku di Indonesia,

Dengan memperhatikan latar belakang yang penulis berikan, terlihat

jelas bahwa penulis berkeinginan untuk melakukan kajian lebih lanjut

mengenai “Perlindungan Konsumen Mengenai Kemasan Makanan Yang

Tidak Mencantumkan Tanggal Kadaluwarsa”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perlindungan Konsumen mengenai kemasan makanan

yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa?

2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen akibat

kerugian yang dideritanya karena tindakan pelaku usaha yang tidak

mencantumkan tanggal kadaluwarsa?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini artinya buat memahami lebih mendalam

tentang perlindungan konsumen mengenai kemasan makanan yang tidak

memiliki tanggal kadaluarsa (expired date) menggunakan tujuan menjadi

berikut :

1. Untuk mengetahui perlindungan konsumen mengenai kemasan

makanan yang tidak mencantumkan expired date.

5
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen

akibat kerugian dari tindakan pelaku usaha yang tidak mencatumkan

tanggal kadaluarsa (expired date).

D. Kegunaan Penelitian

Berikut kegunaan penelitian ini::

1. Kegunaan teoritis

Temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data,

sumber literatur, atau sumber referensi untuk penelitian terkait

perlindungan konsumen di masa depan.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi penulis untuk melengkapi prasyarat Program Sarjana (S1)

Universitas Swadaya Gunung Jati Jurusan Hukum Cirebon.

b. Untuk memberikan informasi dan masukkan bagi masyarakat

selaku konsumen maupun yang menjalankan usaha tentang

perlindungan konsumen.

E. Kerangka Pemikiran

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya dengan

memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti sandang, gizi, dan perumahan yang

layak, merupakan tujuan utama dalam agenda pembangunan negara.

Perlindungan hukum mencakup seperangkat peraturan yang eksplisit dan

implisit, yang berfungsi sebagai alat pencegah dan sarana untuk melindungi

kepentingan dan memajukan perdamaian, keadilan, dan stabilitas yang pada

dasarnya mewujudkan peran hukum dalam menjamin cita-cita tersebut.

6
Muktie A. Fadjar berpendapat bahwa “pengertian perlindungan secara

eksklusif dalam istilah pengamanan hukum itulah yang dimaksud dengan

“perlindungan hukum”. Pemenuhan hak dan tanggung jawab individu sebagai

badan hukum, dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungannya, erat

kaitannya dengan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang yang ada

dan yang akan ada. Dalam perannya sebagai badan hukum, anggota

masyarakat mempunyai hak istimewa dan tanggung jawab untuk melakukan

perbuatan hukum tertentu.”4

Perlindungan konsumen merupakan salah satu tindakan perlindungan

hukum yang diterapkan di Indonesia. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak

konsumen. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,

yang dimaksud dengan “perlindungan konsumen” adalah segala upaya yang

bertujuan untuk menjamin kejelasan hukum bagi konsumen.

Menurut Satjipto Rahardjo, konsep “perlindungan hukum” berarti menjaga

hak asasi manusia terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak luar,

sekaligus menjamin tersedianya perlindungan hukum yang langgeng bagi

masyarakat, sehingga memungkinkan individu untuk bebas menikmati hak-

hak hukumnya.5

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa “landasan perlindungan hukum

terletak pada pelarangan kesewenang-wenangan yang sangat penting dalam

4
Muktie, A. Fadjar, Tipe Negara Hukum (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm.10.
5
Agustinus Shihombing dkk, Hukum Perlindungan Konsumen ( Sumatra Barat: CV. Azka
Pustaka, April 2023), hlm. 2.

7
rangka menjunjung tinggi kehormatan dan martabat, serta mengakui hak asasi

individu di hadapan hukum.” Selain itu, Philipus M. Hadjon membedakan dua

jenis perlindungan hukum bagi mereka yang bergantung pada sistem hukum.

Perlindungan preventif mencakup pemberian kesempatan kepada masyarakat

untuk mengekspresikan pandangan mereka sebelum pemerintah mengambil

keputusan akhir untuk mencegah konflik kepentingan. Sebaliknya,

perlindungan represif berupaya mengatasi ketegangan yang sudah ada

sebelumnya. Perlindungan hukum mengacu pada komitmen yang dibuat oleh

pemerintah untuk memastikan bahwa semua individu dan badan diberikan

kesempatan untuk menjalankan kepentingan dan hak hukum mereka sebagai

aktor hukum yang diakui.

Menurut A.Z. Nasution, pemahaman hukum konsumen didasarkan pada

kumpulan asas dan peraturan hukum yang mengatur interaksi dan

permasalahan yang terjadi antar berbagai entitas mengenai perolehan suatu

produk dan/atau jasa dalam suatu masyarakat tertentu. Sementara itu, undang-

undang dan peraturan perlindungan konsumen merupakan komponen inti

peraturan konsumen. Hal ini mencakup konsep dan norma peraturan yang

dirancang untuk melindungi kepentingan konsumen.”6 Perlindungan

konsumen pada hakikatnya mencakup bagaimana hak-hak konsumen diakui,

diatur dengan undang-undang, dan ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.

Perlindungan konsumen antara lain mencakup perlindungan saat membeli

barang dan jasa. Dimulai dari tahapan memperoleh barang dan jasa dan

6
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015, cet.pertama)
,hlm.4

8
diakhiri dengan dampak pemanfaatannya. Berikut penjelasan mengenai sejauh

mana perlindungan konsumen pada kedua bidang tersebut :

a. Gagasan tentang tanggung jawab produk, yaitu adanya keharusan

bagi para pelaku usaha yang menghasilkan barang untuk

bertanggungjawab atas segala cacat yang menyebabkan kerugian

pelanggan, dibahas pada bagian pertama yang mengkaji tentang

pelepasan barang-dagangan atau jasa-jasa yang dibuat dan

dipertukarkan. Misalnya, karena kualitasnya yang buruk, barang

yang tidak sesuai, dll., produk tidak dapat digunakan sesuai tujuan

aslinya karena keracunan makanan. Dalam kaitannya, Banyak

masalah yang muncul saat membuat barang berkaitan dengan

bahan mentah, prosedur pembuatan, desain, dan faktor terkait

lainnya.

b. Komponen kedua adalah bagaimana pelanggan memperoleh

produk atau jasa yang tergolong dalam lingkup kontrak baku,

sehingga menimbulkan permasalahan mengenai syarat-syarat yang

harus disetujui oleh pelanggan agar dapat membeli barang atau jasa

yang diperolehnya. Ketentuan tersebut diberlakukan oleh produsen

atau pelaku usaha. memerlukan. Perlindungan konsumen

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

1) Produsen atau pelaku usaha

Produsen biasanya digunakan untuk merujuk pada pemilik

bisnis yang menciptakan produk atau layanan. Ini mencakup

produsen, pedagang grosir, pemasok, dan pengecer ahli dalam

9
7
pengertian ini. Secara khusus, setiap individu atau organisasi

yang terlibat dalam penyediaan produk dan layanan hingga

konsumen mendapatkannya.

2) Konsumen

Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan konsumen disebutkan:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai atau jasa yang tersedia


dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk di
perdagangkan”.

3) Produk dan Standarlisasi Produk

Produk sangat erat kaitannya dengan teknologi karena

semuanya merupakan benda dan jasa yang diciptakan melalui suatu

proses. Layanan dan barang-barang bersama-sama membentuk

produk.

Menurut pasal 1 angka 4 Undang – Undang Perlindungan


Konsumen disebutkan:

“Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak


berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.”

Sedangkan menurut pasal 1 angkat 5 Undang – Undang Nomor 8


Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen:

“Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi


yang disediakan bagi mansyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.”
Untuk kepentingan dan kerjasama dengan semua pihak

yang terlibat, proses standardisasi memerlukan pengumpulan dan

penerapan standar secara sistematis untuk operasi tertentu, dengan


7
Ibid. hal 12.

10
fokus pada memaksimalkan penghematan total seefektif mungkin

sambil mempertimbangkan kendala fungsional dan persyaratan

keselamatan. berdasarkan persyaratan keamanan dan batasan

fungsional. Hal ini didasarkan pada sintesis pengetahuan teknologi

dan terapan.

4) Peranan Pemerintah

Sebagai bagian dari inisiatif pemerintah yang bertujuan

melindungi konsumen dari produk berbahaya, produksi, distribusi,

dan penjualan barang dapat tunduk pada peraturan, jaminan, dan

pengawasan. Pendekatan proaktif ini membantu memitigasi potensi

risiko terhadap kesehatan dan kesejahteraan finansial konsumen.8

5) Klausula Baku

Klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang – Undang


Perlindungan konsumen menyatakan bahwa :

“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat –


syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.”
Berbeda dengan produsen dan badan usaha lainnya, konsumen pada

umumnya menempati posisi yang kurang diuntungkan. Misalnya saja pada

informasi produk, produsen dan pelaku usaha menciptakan dan memproduksi

produk, sedangkan konsumen hanya membeli dan memanfaatkannya.9

8
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti:
2004), hlm. 19.
9
Darmawati, Skripsi: Analisis Regulasi Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan
Tanpa Tanggal Kadaluarsa (Studi Kasus Pada Home Industry Kecamatan Alam Barajo) (Jambi:
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin, 2019), hlm. 11.

11
Perlindungan konsumen sangatlah penting, terutama seiring dengan

berkembangnya bisnis dan teknologi, sehingga memungkinkan seluruh lapisan

masyarakat mengakses barang-barang teknologi dan mengambil bagian dalam

diskusi mengenai perlindungan konsumen.

Dibangun berdasarkan lima prinsip inti yang meliputi keunggulan,

keadilan, keseimbangan, kesejahteraan dan keselamatan konsumen, serta

jaminan hukum, seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk masyarakat,

badan usaha, dan pemerintah, bekerja sama untuk menjamin perlindungan

konsumen.

F. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti memanfaatkan teknik berbasis bahan

hukum yang mengkaji teori, konsepsi, landasan hukum, dan aturan hukum

yang relevan. Metode ini dikenal dengan strategi penelitian yuridis

normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, Menemukan peraturan hukum,

ajaran hukum, dan doktrin hukum merupakan proses melakukan penelitian

hukum normatif.10

Dalam metode penelitian yuridis normatif, penyidikan hukum meliputi

pemeriksaan sumber-sumber sekunder dan bahan pustaka yang berkaitan

dengan perlindungan konsumen. Hal ini memungkinkan peneliti

memperoleh wawasan mengenai penerapan sebenarnya dari langkah-

langkah perlindungan konsumen.

10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), hlm. 35.

12
b. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif untuk menghasilkan

informasi deskriptif dengan tujuan menjelaskan atau mengevaluasi

persepsi individu dan kelompok terhadap fenomena atau peristiwa. 11

Kajian kualitatif ini digunakan untuk memperoleh pemahaman umum

mengenai kedudukan hukum, gejala hukum, atau peristiwa hukum yang

terjadi dimasyarakat sehubungan dengan keprihatinan terhadap

perlindungan konsumen pangan yang tidak mempunyai tanggal

kadaluwarsa.

c. Objek Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, “penelitian hukum normatif

memusatkan perhatiannya pada pengujian hukum yang dikonsep sebagai

norma atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat, yang berfungsi

sebagai kerangka pedoman perilaku individu. Oleh karena itu, penelitian

hukum normatif berkonsentrasi pada penyelidikan terhadap kompilasi

hukum positif, asas, dan doktrin hukum positif yang ada, serta temuan

hukum dalam kasus tertentu, organisasi sistem hukum, derajat koherensi

hukum, perbandingan hukum, dan konteks sejarah hukum.”12

Mengenai permasalahan penelitian mengenai perlindungan konsumen

terhadap pangan kemasan yang tidak memiliki tanggal kadaluarsa, tujuan

11
Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik) (Kota
Depok: PT Rajagrafindo Persada,2020), hlm. 139.
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, ed 1. (Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), hlm. 52.

13
penelitiannya adalah berkonsentrasi pada katalogisasi ketentuan hukum

yang ada terkait dengan perlindungan konsumen.

d. Instrumen Penelitian

Pada penelitian kualitatif, penulis bertindak sebagai instrument kunci

yang bertindak sebagai pengumpul data. Instrument penelitian sendiri

merupakan suatu alat yang diperlukan dalam proses pengumpulan data.

Dengan kata lain data yang di perlukan dalam suatu penelitian

dikumpulkan menggunakan suatu alat yang disebut instrument

penelitian.13

Dalam melakukan penelitian dengan pendekatan hukum normatif,

instrumen pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan memilih format

dokumentasi terkini agar dapat mengikuti kecepatan perubahan.Analisis Bahan

Hukum

a) Bahan Hukum Primer

Sumber daya hukum primer diartikan sebagai teks hukum yang

esensial dan berwibawa. Sumber hukum yang pokok adalah peraturan

perundang-undangan dan dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum.

Sumber-sumber ini secara luas diakui sebagai komponen integral dari

kerangka hukum:

1. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

13
Thalha Alhamid dan Budur Anufia, Resume: Instrumen Pengumpulan Data (Sorong: Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), 2019), hlm. 2.

14
2. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan

Perlindungan Konsumen Nasional.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2019 tentang Badan

Perlindungan Konsumen Nasional

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder memberikan penjabaran yang komprehensif

mengenai sumber hukum primer. Mereka mengekstrak informasi dari

dokumen hukum utama yang ditemukan dalam buku, literatur, dan karya

ilmiah untuk memberikan wawasan yang mendalam.

e. Teknik Pengumpulan Data

Sumber informasi berikut ini dikonsultasikan oleh peneliti untuk

mendapatkan data:

a) Kepustakaan/Study Dokumen

Secara khusus, melakukan penelusuran di berbagai perpustakaan atau

media online untuk menganalisis dan mengumpulkan data dan

informasi dari literatur yang relevan dengan penelitian ini, termasuk

sumber hukum primer dan sekunder.

b) Wawancara

Wawancara (Interview), yaitu teknik pengumpulan data yan dilakukan

dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, biasanya dilakukan jika ingin

15
diketahui hal-hal yang heboh mendalam dari responden. Data yang

dihasilkan adalah data yang kualitatif.14

14
Nuril Rachmawati, Nurudin Siraj, dan RM. Haryo Bharoto “Implementasi Perencanaan
Partisipatif Dalam Pembangunan Fisik Di Desa Suci Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon”.
Jurnal Publika, Vol.6 No. 2 ,Juli-Desember 2018, hlm.132.

16
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen mencakup perlindungan hukum yang diterapkan

untuk memenuhi persyaratan mereka terhadap produk yang berpotensi

menimbulkan kerugian pribadi.15 Perlindungan konsumen dan perlindungan

hukum saling berkaitan. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mempunyai

komponen hukum. Selain hak milik yang berwujud, hak yang tidak berwujud juga

dilindungi. Oleh karena itu, baik hak konsumen maupun perlindungan konsumen

dilindungi undang-undang dengan cara yang sama.16

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa:
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.”
Dalam bidang perlindungan konsumen, ada dua istilah hukum yang relevan,

yaitu “hukum perlindungan konsumen” dan “hukum konsumen”, yang sering

digunakan secara bergantian. Meskipun ada yang berpendapat bahwa

perlindungan konsumen tercakup dalam undang-undang konsumen, ada pula yang

membedakan keduanya, dengan menyatakan bahwa keduanya mempunyai tujuan

yang berbeda tergantung pada ruang lingkup dan substansinya. 17

Az. Nasution memperjelas perbedaan kedua istilah tersebut. Dalam konteks

hukum konsumen, "hukum konsumen" mengacu pada gagasan dan aturan yang

15
Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,( PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2010),
hlm.9.
16
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika: Jakarta, 2011),
hlm.30
17
Op.Cit, hlm 9.

17
mengatur pertukaran produk (barang dan/atau jasa) dan interaksi serta

permasalahan yang diakibatkannya antara penyedia dan konsumen. Sebaliknya,

“aturan perlindungan konsumen” secara tegas berhubungan dengan kebijakan dan

prosedur yang dimaksudkan untuk memantau dan melindungi pelanggan dalam

hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan dan penggunaan produk dan jasa

konsumen (barang dan/atau jasa) dalam aktivitas sehari-hari.18 Berikut ini Az.

Definisi Nasution mengenai istilah ini: “Salah satu segi pengaturan konsumen

adalah Undang-undang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen

merupakan tujuan utama dari undang-undang konsumen, yang pada pokoknya

mengatur tentang transaksi-transaksi dan persoalan-persoalan yang berkenaan

dengan penyediaan barang dan/atau jasa. peraturan perundang-undangan

perlindungan adalah untuk mengatur kepentingan konsumen, atau hak-hak

konsumen.”

Dalam Pasal 4 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan


konsumen, “disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan
perlindungan dari hukum, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

18
az. nasution, hukum perlindungan konsumen: suatu pengantar,(Jakarta: diadit media, 2014),
hlm.12.

18
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan Pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang –
undangan lainnya.”
Jika dibandingkan dengan produsen atau entitas komersial lainnya,

konsumen sering kali dirugikan, yang biasanya mempunyai pengaruh lebih besar.

Misalnya saja mengenai informasi produk, produsen atau pelaku usaha

mempunyai tanggung jawab utama baik dalam menjual maupun menggunakan

produknya.19

Perlindungan konsumen sangatlah penting, terutama dengan pesatnya

kemajuan industri dan teknologi, yang telah membuat barang-barang teknologi

tersedia bagi semua lapisan masyarakat dan memungkinkan semua individu untuk

berpartisipasi dalam perlindungan konsumen.

Terdapat lima prinsip dalam bidang perlindungan konsumen, sebagai

berikut:

1. Prinsip Manfaat

Sesuai dengan asas kemanfaatan, maka penyelenggaraan perlindungan

konsumen harus bertujuan untuk memaksimalkan manfaat baik bagi konsumen

maupun keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.

19
Darmawati, Skripsi: Analisis Regulasi Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan
Tanpa Tanggal Kadaluarsa (Studi Kasus Pada Home Industry Kecamatan Alam Barajo) (Jambi:
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin, 2019), hlm. 11.

19
2. Prinsip Keadilan

Dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan, hal ini berarti

memaksimalkan peluang bagi konsumen dan pemilik bisnis untuk mengakses

hak-hak mereka dan memastikan penerapan yang adil yang memungkinkan

semua orang untuk berpartisipasi.

3. Prinsip Keseimbangan

Prinsip keseimbangan berupaya menjaga keseimbangan antara

kepentingan material dan spiritual pemerintah, pemilik usaha, dan konsumen.

4. Prinsip Keselamatan dan Keamanan Konsumen

Prinsip ini menitikberatkan pada pemberian jaminan keamanan kepada

konsumen dalam menggunakan jasa dan/atau produk yang dikonsumsi atau

dimanfaatkannya.

1. Asas Kepastian Hukum

Untuk memperkuat perlindungan konsumen dan memastikan pelaku

usaha dan konsumen taat hukum dan mempunyai akses terhadap keadilan,

dikembangkan konsep kepastian hukum, dimana negara bertanggung jawab

memberikan kepastian hukum tersebut.

Tujuan dibuatnya perlindungan konsumen menurut Pasal 3 Undang –


Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, “yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;

20
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan hak – haknya sebagai konsumen;
d. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
e. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.”

B. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen

Cakupan keberadaan manusia sebagai konsumen pada hakikatnya

meliputi seluruh kehidupan manusia. Bidang hukum dan perlindungan

konsumen mengawasi dan membela kehidupan manusia. Kepentingan

manusia mencakup segala sesuatu yang terjadi sejak seseorang dalam

kandungan hingga akhirnya dikuburkan. Oleh karena itu, seluruh kepentingan

konsumen, termasuk kepentingan yang tercakup dalam hak asasi manusia,

dapat diterapkan secara universal. Karena semua manusia mempunyai

kepentingan yang sama dalam keselamatan fisik, pembangunan manusia,

integritas pribadi, akses terhadap pengetahuan, partisipasi dalam pengambilan

keputusan, dan akses mudah terhadap dukungan hukum, maka perlindungan

konsumen menjadi perhatian global dan mendunia.20

Meskipun undang-undang perlindungan konsumen menetapkan langkah-

langkah tertentu terkait dengan perilaku perusahaan dan melindungi kepentingan

konsumen, undang-undang konsumen sering kali memiliki keterbatasan dalam hal

perlindungan konsumen. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang

khusus mengatur tentang perlindungan konsumen dimasukkan ke dalam peraturan

20
Rahmawati I, “Tinjauan Umum Mengenai Hubungan Antara Pelaku Usaha dan Konsumen”
diakses dari http://repository.unpas.ac.id/30944/3/G.%20BAB%20II.pdf pada tanggal 31 2023,
pukul 1:54.

21
yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, serta bagian dari ketentuan

hukum lainnya yang melindungi masyarakat luas dan badan usaha yang berstatus

konsumen, seperti UUPK (UU Perlindungan Konsumen). Hal ini didasari oleh

UUPK Pasal 64 yang menyatakan bahwa, “segala pembatasan hukum yang

bertujuan untuk elinduni konsumen yang ada pada saat UUPK di terbitkan,

Kecuali jelas-jelas dilarang dan/atau sesuai dengan standar UUPK.” Karena

orang-orang yang dikategorikan sebagai konsumen hadir di hampir setiap bidang

dan departemen hukum, maka undang-undang perlindungan konsumen selalu

bersinggungan dan berhubungan dengan bidang hukum lainnya.

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,


pada 1 butir 2 menyatakan bahwa :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam Masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain maupun
makhluk hidup lain da tidak untuk di perdagangkan.”
Konsumen dibagi menjadi 2 jenis, yaitu21:

1) Orang yang membeli suatu barang dengan tujuan untuk ditukarkan dengan

barang lain, umumnya dengan tujuan memperoleh keuntungan, disebut

konsumen sementara. Contohnya adalah sebagai berikut: Produk atau jasa

adalah barang modal atau jasa untuk pelanggan perantara, baik dalam

bentuk barang jadi, bahan penolong, atau bahan mentah. Di pasar

produsen atau industri, konsumen membeli barang atau jasa. Para

perantara ini pada dasarnya adalah pemilik bisnis, baik itu perorangan,

orang yang mempunyai otoritas, maupun kontraktor Badan Usaha Milik

Negara (BUMN), tergantung pada sifat konsumsi produk dan/atau jasa.

21
Celina tri siwi kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen,(Malang: Sinar Grafika, 2008,
cetakan I), hlm. 25.

22
Mereka juga dapat mencakup pemodal (investor), produsen produk akhir

bekas dari pengguna akhir, produsen, penyedia layanan, atau penjual

barang.

2) Istilah "konsumen akhir" menggambarkan orang-orang yang melakukan

transaksi non-komersial dan membeli barang atau jasa untuk konsumsi

mereka sendiri, keluarga, atau rumah tangga mereka. Misalnya, rumah,

keluarga, dan masyarakat (terkadang disebut sebagai pengguna akhir,

produk, atau layanan) biasanya memanfaatkan barang dan jasa konsumen

untuk memenuhi kebutuhan mereka. Secara tradisional, pasar konsumen

adalah tempat di mana produk dan/atau jasa konsumen dibeli.22

C. Klausula Dalam Perlindungan Konsumen

Klausul standar adalah aturan atau spesifikasi apa pun yang diputuskan secara

sewenang-wenang sebelumnya oleh mitra bisnis berdasarkan dokumen hukum

dan/atau perjanjian dan menuntut klien untuk mematuhinya.

Pada dasarnya klausula baku diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasal 1 ayat 10
UUPK menyatakan:
“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Sementara pada Pasal 22 ayat (1) POJK no. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, menyatakan bahwa:
“Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian
tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan
memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan
digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara
massal ”

22
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 21.

23
Meskipun klausul baku diperbolehkan, namun banyak hal yang tidak dapat

dimasukkan di dalamnya, antara lain pelimpahan tanggung jawab kepada

pedagang, penolakan menerima pengembalian barang atau pembayaran, peraturan

konsumen baru, amandemen dan perpanjangan, hak untuk mengambil tindakan

sepihak sehubungan dengan barang yang diperoleh melalui sewa, pengurangan

manfaat dan aset konsumen, dan penyertaan indeks konsumen.

Akibat dari pelanggaran klausula baku menyebabkan perjanjian batal demi


hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUPK menyatakan bahwa:
“Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum .”

D. Pengertian Pelaku Usaha

Dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan


konsumen Pasal 1 Angka 3 menyebutkan bahwa:
“pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan
usaha dalam bidang ekonomi.”
Yang dimaksud dengan “pelaku usaha” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

Angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen meliputi badan usaha,

korporasi, koperasi, badan usaha milik negara (BUMN), importir. , pedagang,

distributor, dan entitas serupa.

Bentuk Pelaku Usaha menurut Pasal 1 butir 3 Peraturan pemerintah No.58


Tahun 2001, menyatakan bahwa:
1) Orang perorangan, yaitu setiap individu yang melakukan kegiatan
usahanya secara seorang diri.
2) Badan usaha, yaitu kumpulan individu yang secara bersamasama
melakukan kegiatan usaha. Badan usaha dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori, antara lain :

24
a. Badan hukum, adalah badan usaha yang sudah mendaftarkan dirinya di
notaris untuk mendapatkan akta pendirian yang sudah disahkan oleh
Menteri Hukum dan HAM seperti Perseroan Terbatas (PT).
b. Bukan badan hukum, adalah badan usaha yang mendaftarkan dirinnya di
notaris yang hanya memiliki akta otentik dan tidak memiliki akta
pendirian yang disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, seperti Firma.
Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun Tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan “enam hak pelaku usaha diataranya:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beretikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan lainnya.”
Adapun kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam pasal 7 UUPK, yakni:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, pebaikan, dan pememeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen
tidak sesuai dengan perjanjian.

25
Dalam ketentuan Pasal 8 UUPK, “disebutkan perbuatan yang dilarang untuk
pelaku usaha tentang produksi barang/dan jasa, dan larangan memperdagangkan
barang dan/atau jasa, antara lain :
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.

26
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.”
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, “Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan

terlarang dalam mengedarkan dan memperdagangkan hasil produksinya, wajib

rela melepaskan sebagian atau seluruh barang dan/atau jasa yang dihasilkan dalam

siklus pasar konsumen dan mungkin menghadapi sanksi administratif yang harus

dipatuhi oleh pelaku usaha.”

Selain itu dalam Pasal 9 ayat 1, dan 2, diterangkan mengenai perbuatan yang
dilarang oleh pelaku usaha sebagai berikut:
(1) “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau
jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa
tersebut.”

27
Oleh karena itu, peraturan perlindungan konsumen seringkali mengatur

bagaimana pelaku perusahaan berperilaku ketika berinteraksi dengan konsumen,

maka penting bagi badan usaha untuk memiliki niat positif ketika mengelola dan

menjalankan operasinya.

E. Hubungan Konsumen dan Pelaku Usaha

Terdapat saling ketergantungan mendasar antara perusahaan dan

pelanggan. Konsumen memegang peranan penting dalam keberlangsungan

pelaku usaha karena merekalah yang membeli barang dan/atau jasa yang

disediakan oleh entitas tersebut. Sebaliknya, pelanggan juga mengandalkan

produk dan/atau layanan yang diciptakan pengusaha untuk memenuhi

kebutuhannya. Adanya saling ketergantungan antara konsumen dan pelaku

usaha, idealnya menumbuhkan pendekatan negosiasi yang seimbang dan

kooperatif dalam hubungan mereka.23

Biasanya, interaksi antara pelanggan dan pelaku korporasi terjadi dalam

konteks pembelian dan penjualan. Sesuai dengan Pasal 1457 KUH Perdata,

“perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian antara penjual dan pembeli yang

mana penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan hak milik atas suatu

barang kepada pembeli, dan pembeli mengikatkan diri pada barang tersebut.”

membayar harga barang itu." Terdapat pengaturan kontrak (perjanjian) yang

mengatur interaksi antara pelaku usaha dan klien. Berdasarkan ketentuan

kontrak, konsumen dapat meminta penggantian dari produsen jika barang

tersebut menyebabkan kerugian bagi mereka. Perjanjian berkembang menjadi

interaksi tidak langsung dengan revolusi industri melalui distribusi dari pelaku

23
Suwandono, Agus. Modul 1: Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Universitas Terbuka, tahun 2015),hlm. 13

28
korporasi, diarahkan atau disebarkan melalui agen, dan akhirnya pengecer

baru hingga pelanggan. Dalam hal ini, tidak ada pengaturan kontrak

(perjanjian) antara produsen dan pelanggan.

Terdapat tiga tahap transaksi perolehan suatu produk dari pelaku usaha

dan pelanggan, yang diuraikan sebagai berikut:

1. Tahap Pra-Transaksi

Fase ini mengacu pada periode sebelum terjadinya perjanjian atau

transaksi konsumen. Ini berkaitan dengan keadaan atau elemen yang

dipertimbangkan pelanggan sebelum memilih untuk membeli dan

menggunakan barang konsumsi. Pada titik ini, pelanggan berhak atas

informasi yang memenuhi permintaan mereka, seperti fitur dan manfaat

yang diperlukan, harga, komposisi, tujuan penggunaan, keunggulan

dibandingkan barang pesaing, petunjuk penggunaan, dan sebagainya.

Anda dapat memperoleh informasi ini langsung dari bisnis atau dengan

menyebarkan brosur, iklan, dan barang lainnya.

Sesuai dengan Pasal 1320 dan 1321 KUH Perdata “perjanjian yang

dibuat dengan persetujuan para pihak dianggap tidak sah (cacat) apabila

mengandung unsur pemaksaan, kelalaian dan penipuan (dan sejalan

dengan perkembangan praktek peradilan, penyalahgunaan keadaan)."

Produsen dan penjual wajib memberikan informasi yang akurat,

transparan, dan jujur tentang barang yang mereka tawarkan untuk

menghindari penipuan atau menipu konsumen dan pembeli.

2. Tahap Transaksi

29
Jika calon pelanggan cukup belajar tentang kebutuhannya,maka ia

akan menggunakan salah satu haknya, yaitu hak untuk memilih

(mengambil keputusan). Akad dikatakan selesai apabila konsumen telah

menyatakan persetujuannya, artinya tawaran pedagang telah dipenuhi

dengan penerimaan konsumen. Kontrak dibuat berdasarkan hukum perdata

ketika penawaran dan penerimaan terjadi karena kedua tindakan tersebut

merupakan pernyataan tujuan. Hak dan kewajiban serta rincian cara

pelaksanaannya kini telah disepakati oleh para pihak. Setelah pedagang

dan pelanggan mencapai kesepakatan, mereka dapat menuliskan atau

menyusun perjanjian tersebut menjadi kontrak tertulis. Jika kontrak

digunakan untuk membuat perjanjian dan ditandatangani oleh kedua pihak

yang saling bersangkutan.

1. Tahap Purnatransaksi

Tentu saja transaksi pasca-perdagangan (perjanjian, kontrak) yang

dilakukan antara pedagang dan konsumen tidak dianggap sah sampai

kedua belah pihak telah memenuhi hak dan kewajiban masing-masing

yang dituangkan dalam kontrak yang telah mereka buat. Intinya, kedua

belah pihak menginginkan perjanjian yang sah dan mengikat secara

hukum, terutama mengingat perjanjian tersebut merupakan kontrak

komersial. Misalnya, dalam kontrak penjualan, penjual dianggap akan

menyerahkan produk kepada pembeli dan menerima pembayaran sebagai

imbalannya. Kinerja mengacu pada tindakan yang harus dilakukan oleh

masing-masing pihak dalam kontrak. Suatu kontrak putus jika salah satu

30
pihak lalai melaksanakan kewajibannya, sehingga menyebabkan suatu hak

dilanggar.24

Masalah pemahaman terhadap perjanjian (kontrak) harus menjadi bahan

pertimbangan ketika akan melaksanakan suatu perjanjian. karena niat para pihak

tidak selalu tercermin dalam cara pelaksanaan perjanjian. Terkadang para pihak

dalam suatu perjanjian mempunyai maksud atau sudut pandang yang berbeda

mengenai bahasa yang digunakan dalam perjanjian tersebut. Hal ini menunjukkan

bahwa perjanjian tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh masing-masing pihak.

Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan akan timbul tantangan dalam penegakan

hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam perjanjian, yang pada

akhirnya akan menimbulkan konflik. Banyak faktor, termasuk penggunaan dan

kualitas produk (yang melibatkan informasi dan fakta), harga, dan hak konsumen

di luar kontrak, dapat mengarah pada transaksi komersial antara bisnis dan

pelanggan.

Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan


konsumen, tujuan pengembangan perlindungan konsumen adalah untuk:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan hak
– haknya sebagai konsumen;
d. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
e. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.

24
Sidabalok janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,(Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2006), hlm. 68-73.

31
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Istilah “kewajiban” dan “tanggung jawab” lazim diterjemahkan oleh

masyarakat sebagai “tanggung jawab” dalam bahasa Indonesia. Meski

demikian, banyak ahli hukum yang membedakan antara istilah “kewajiban”

dan “tanggung jawab” ketika menerjemahkannya. Dalam konteks UUPK (UU

Perlindungan Konsumen), istilah “tanggung jawab” berlaku pada ganti rugi

dan sanksi perdata.25

Pengusaha dan pelaku bisnis bertanggung jawab berdasarkan undang-

undang perlindungan konsumen jika tindakan mereka membahayakan

kesehatan pelanggan, melanggar hak dan kepentingan mereka, atau

menyebabkan mereka kehilangan uang. Tugas atau kewajiban produk adalah

nama lain dari tanggung jawab produk.Produsen produk (produsen), entitas

yang terlibat dalam perakitan produk (pengolah), penjual, dan distributor

(distributor produk) semuanya bertanggung jawab secara hukum atas segala

cedera atau kerusakan yang disebabkan oleh produk mereka.

Pertanggung jawaban menurut Pasal 1366 KUHPerdata bahwa:


“Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan
perbuatan – perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kesembronoannya.”
Menurut Pasal 19 UUPK, pelaku usaha tertentu mempunyai kewajiban

tertentu bahwa mereka wajib memberikan kompensasi kepada pelanggan

melalui pengembalian uang atau penukaran produk untuk menjaga kualitas

jasa atau produk yang diberikan oleh pengusaha. Sesuai dengan Pasal 7(g)

25
F. Yulianti, “Tanggungjawab Pelaku Usaha”, diakses dari
https://repository.unikom.ac.id/66064/1/MATERI%20PERTEMUAN%20ke%2011-
TANGGUNGJAWAB%20PELAKU%20USAHA%20SEHUBUNGAN%20DENGAN%20KERU
GIAN%20KONSUMEN%281%29.pdf pada tanggal 12 September 2023, pukul 12:20.

32
UUPK, pedagang menjalankan tugasnya dengan memberikan restitusi atau

kompensasi kepada pihak yang terkena dampak.26

Gagasan tentang kewajiban hukum mencakup gagasan tentang tanggung

jawab hukum. Konsep tanggung jawab memainkan peran penting dalam

undang-undang perlindungan konsumen. Dalam kasus pelanggaran konsumen,

kita perlu berhati-hati, mempertimbangkan siapa yang harus memikul

tanggung jawab dan berapa banyak yang dapat didelegasikan untuk pihak-

pihak yang terkait.27

Tanggung jawab pelaku usaha dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:

1. Asas tanggung jawab yang timbul karena kelalaian merupakan landasan

tanggung jawab

bersifat sewenang-wenang, artinya tindakan produsen menentukan apa

yang dimaksud dengan akuntabilitas. Kategori seseorang yang peduli

untuk tidak merugikan pelanggan mungkin bisa digunakan untuk

menggambarkan sifat subjektivitas. Menurut pemikiran ini, hak konsumen

untuk menuntut ganti rugi terhadap produsen tergantung pada kecerobohan

produsen yang menyebabkan kerugian bagi konsumen. kerugian

pelanggan dipengaruhi oleh kecerobohan produsen (Kecerobohan dan

kerusakan pelanggan berhubungan langsung dalam arti sebab akibat).

Tingkat pertanggung jawab yang berbeda-beda untuk kepentingan

26
Kristania Montolalu dkk, “Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Tentang
Kesalahan Pengiriman Pesana Makanan Melalui Aplikasi Gojek”, Lex Administratum Vol.XI,
No.04, Mei 2023, hlm.4.
27
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, Rajawali
Pers,2003), hlm. 365- 366.

33
konsumen juga muncul dalam konsep tanggung jawab berbasis kelalaian,

khususnya:

(1) Tanggung jawab atas tidak terpenuhinya persyaratan kontrak

Dalam teori tanggung jawab murni yang didasarkan pada

konsep kelalaian, terdapat dua komponen: hubungan kontraktual

dan tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Dua syarat yang harus

dipenuhi agar gugatan baru dapat diajukan: harus ada kesalahan

atau kecerobohan dan harus ada perjanjian kontrak antara produsen

dan pelanggan.

(2) Kelalaian dengan pengecualian tertentu yang dilakukan terhadap

persyaratan hubungan kontraktual

Konsep tanggung jawab berkelanjutan berdasarkan

kelalaian, yang merupakan langkah kedua dalam pengembangan

gagasan tanggung jawab kelalaian, memungkinkan adanya

pengecualian terhadap kriteria hubungan kontraktual dalam

keadaan tertentu. Sebagaimana telah ditetapkan, salah satu

hambatan bagi pelanggan untuk menuntut produsen atas kerugian

adalah pengaturan kontrak.

(3) Kelalaian tanpa persyaratan hubungan kontrak

Landasan hukum pertanggungjawaban produk adalah

konsep tanggung jawab yang muncul dalam evolusi interaksi

kontrak. Beberapa di antaranya diberikan sebagai tahap kedua

dalam pertumbuhan hubungan kontraktual sebagai substansi

hukum tanggung jawab produk.

34
(1) Asas praduga kelalaian dan asas tanggung jawab dengan

pembuktian yang terbaik

Pergeseran pengertian tanggung jawab atas kesalahan merupakan

langkah terakhir dalam pengembangan konsep tanggung jawab

berbasis kelalaian. Modifikasi ini membebaskan konsumen dari

menerapkan tanggung jawab berdasarkan kecerobohan, namun

dasar akuntabilitas dalam respons ini masih bertumpu pada

kesalahan. Modifikasi ini dilakukan dalam rangka menetapkan

tanggung jawab penuh.

2. Tanggung jawab berdasarkan wanprestasi

Undang-undang ini juga berlaku ketika produsen dituntut karena

pelanggaran kontrak oleh pelanggan selain juga dituntut karena

kecerobohan produsen. Kewajiban kontraktual adalah tanggung jawab

produsen atau tanggung jawab wanprestasi. Konsumen biasanya

mencermati syarat-syarat kontrak, perjanjian, atau jaminan tertulis atau

lisan yang merupakan salah satu komponen kontrak, perjanjian, atau

jaminan apabila pangan diproduksi dengan menggunakan bahan baku

tidak halal dan mempunyai dampak negatif. Penerapan tugas atau

tanggung jawab mutlak yang tidak bergantung pada upaya penjual untuk

memenuhi komitmennya, bermanfaat bagi konsumen dalam kasus-kasus

yang didasarkan pada pendekatan ini. Hal ini berarti bahwa produsen tetap

bertanggung jawab atas kerugian jika ia berusaha memenuhi janjinya

namun pelanggan tetap merugi. Namun, konsep pertanggungjawaban

berbasis kelalaian memiliki sejumlah kelemahan yang mungkin membuat

35
perlindungan semacam ini menjadi kurang efektif. Konsumen akan

mendapatkan keuntungan dari undang-undang ini dengan cara sebagai

berikut: A. Pembatasan waktu dalam litigasi. B. Kebutuhan akan

notifikasi. C. Pembatalan mungkin terjadi. D. Kewajiban kontrak,

termasuk hubungan horizontal dan vertikal.

3. Tanggung Jawab Penuh (Mutlak)

Prinsip moral ini dikenal sebagai tanggung jawab produk. Dalam

hal ini, produsen pada dasarnya diharuskan membayar kerugian yang

dialami pelanggan akibat memanfaatkan barang-barang di pasar.

Akuntabilitas mutlak adalah tanggung jawab yang ketat, oleh karena itu

tidak ada keharusan untuk membuktikan kelalaian untuk mendapatkan

kompensasi. Secara umum klausul ini berfungsi sebagai lex specialis

dalam proses hukum. Penggugat yang merupakan konsumen hanya perlu

menunjukkan hubungan antara tindakan produsen dan kerugian yang

ditimbulkannya. Dengan menggunakan gagasan akuntabilitas ini, setiap

pelanggan yang mengalami kerugian akibat produk yang tidak sesuai atau

berbahaya dapat mengajukan klaim kompensasi tanpa khawatir apakah

produsen bersalah. Jika ditentukan bahwa suatu produk tidak aman atau

tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diiklankan atau disebarluaskan,

produsen harus bertanggung jawab.

G. Peran Pemerintah Melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan

Untuk memastikan hidup berdampingan secara harmonis antara pelaku

komersial, kepentingan perusahaan, dan konsumen, intervensi pemerintah

memainkan peran penting dalam menjaga hak-hak konsumen. Tugas

36
pemerintah adalah mengarahkan, mengawasi, dan membantu penerapan

undang-undang perlindungan konsumen. Mereka menjamin bahwa mereka

menjalankan tugas mereka dengan serius dan melindungi kepentingan

perusahaan dan pelanggan dengan melakukan hal ini. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, khususnya pada Pasal 29 dan

30, inisiatif pemerintah dalam perlindungan konsumen meliputi peningkatan

standar, pemberdayaan konsumen, pemantauan produk dan jasa yang beredar,

pengawasan pengukuran, dan pengendalian mutu. Gerakan perlindungan

konsumen yang berkembang berpusat pada memfasilitasi pertumbuhan dunia

usaha, memungkinkan mereka mengembangkan dan menawarkan produk dan

layanan yang canggih dan bernilai tambah yang berkontribusi terhadap

perekonomian lokal.28

Pemerintah menegakkan perlindungan konsumen melalui pengawasan dan

pengarahan. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 yang mengatur

mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan

perlindungan konsumen, disebutkan dalam Pasal 2 bahwa “Pemerintah

bertanggung jawab membina penyelenggaraan perlindungan konsumen yang

menjamin hak-hak konsumen dan pelaku usaha serta pelaksanaannya.”

kewajiban konsumen dan pelaku usaha.” Pasal 7 peraturan pemerintah yang

sama menjelaskan secara rinci tentang pengawasan pemerintah. Pemerintah,

bekerja sama dengan masyarakat sipil dan organisasi perlindungan konsumen

independen, bertanggung jawab untuk menegakkan kebijakan perlindungan

28
Direktorat Jendral perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, “Tentang Kami”, diaskes dari
https://ditjenpktn.kemendag.go.id/tentang-kami pada tanggal 13 September 2023, pukul 4:05.

37
konsumen dan peraturan hukum. Terbukti, pemerintah dipercaya untuk

menjaga hak-hak masyarakat umum sebagai konsumen.29

Hal ini sesuai dengan persyaratan pasal 29 Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut,
jika dilihat dari hak dan kewajibannya dimana masyarakat sebagai konsumen
harus dilindungi oleh pemerintah:
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen
dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a. terciptanya iklim
usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan
konsumen; b. berkembangnya lembaga perlidungan konsumen
swadaya masyarakat; c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia
serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017, pemerintah telah

memberikan kewenangan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) untuk melaksanakan tugas kedinasan di bidang pengawasan obat dan

makanan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengendalian

obat dan makanan memerlukan koordinasi antara BPOM dan instansi

pemerintah pusat dan daerah lainnya untuk membangun sistem pengendalian

yang kuat dan terintegrasi. Mengingat pemerintah daerah memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap sistem pengawasan obat dan makanan, maka

partisipasi aktif mereka dalam bidang ini sangatlah penting, sebagaimana

29
Ibid.

38
disyaratkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun

2014. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan mengatur pangan dan obat-

obatan pada tingkat kabupaten atau kota. Memberikan izin kepada apotek,

apotik, dan usaha obat tradisional skala kecil untuk beroperasi. Selain itu,

pemerintah daerah negara bagian/kota mempunyai kewenangan untuk

menerbitkan izin produksi dan melakukan pengawasan pasca pasar (post-

market surveilans/IRT) terhadap produk makanan dan minuman dalam negeri.

Verifikasi hasil pemeriksaan perizinan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah

provinsi pada saat pemberian izin.30

30
Balai Besar POM di Yogyakarta, “Bimbingan Teknis Pengawas Obat dan Makanan di Daerah”,
di akses dari https://sippn.menpan.go.id/berita/35254/balai-besar-pom-di-yogyakarta/bimbingan-
teknis-pengawas-obat-dan-makanan-di-daerah, pada tanggal 13 September 2023, pukul 3:08.

39
BAB III
KASUS HUKUM PELAKU USAHA MAKANAN YANG TIDAK
MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUARSA PADA KEMASAN

A. Kasus Pertama
Pada jumat tanggal 22 Desember 2017, Kepolisian Resor Kota Cirebon

(Polresta) Cirebon, Jawa Barat menyita ratusan dus yang berisikan produk

makanan dan minuman yang telah kadaluarsa atau tidak mencantumkan tanggal

kadaluarsa dari salah satu kios di pasar tradisional. Salah satu lokasi tersebut

berada di Pasar Harjamukti, Kota Cirebon.

Kemudian Polisi juga mengamankan 2 orang tersangka yaitu, OR (57)

tahun sebagai pelaku usaha dan ME (40) tahun sebagai orang yang menyuplai

makanan dan minuman yang dijual tersebut, selain itu polisi menyita produk

makanan dan minuman sebagai barang bukti. AKBP Adi Vivid AB mengatakan

bahwa “bahan pangan yang disita terdiri dari permen Yupi Choco Pie (seratus

sembilan puluh dus), sarden merek King Fisher (seratus sebelas dus), susu kental

manis Frisian Flag (dua puluh lima dus), kecap manis merek ABC (dua ratus lima

puluh lima dus), snack Taro Cirn Puff (seratus lima puluh delapan dus), White

Tea Kemasan Botol (lima dus), minuman NU Green Tea (enam puluh dus),

minuman susu botol merk Frisian Flag dan permen relaxa Izzi (tiga puluh dus),

ada pula pembalut wanita (lima puluh tujuh dus) serta uang tunai senilai

Rp.730.000,00- ( tujuh ratus tiga puluh ribu rupiah) yang ikut di sita”.

Berdasarkan AKBP Adi Vivid AB bahwa modus tersangka dilakukan

dengan cara menghapus dan mencap ulang tanggal kadaluarsa pada produk

pangan sebelum kemudian menjualnya dengan harga yang lebih murah dari harga

40
asli. Tersangka OR mendapatkan barang – barang tersebut dengan cara

membelinya dari tersangka ME, yang berasal dari Kecamatan Kedawung,

Kabupaten Cirebon. Setelah mengetahui hal tersebut polisi melakukan

penggeledahan di rumah tersangka ME, pihak polisi menemukan produk makanan

dan minuman yang telah kadaluarsa atau tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa

, yang kemudian di amankan menggunakan tiga unit truk Dalmas ke Mapolres

Cirebon Kota.

Maka dari itu atas perbuatannya para tersangka dijerat Pasal 134 Undang –

Undang Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Juncto pasal 8

huruf G Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan konsumen dan Undang – Undang Kesehatan, dengan ancaman dua

tahun penjara dan denda sebesar Rp.4.000.000.000,00- ( empat milyar rupiah).

B. Kasus Kedua

Pada tanggal hari selasa, tanggal 16 September 2008, Balai Besar

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Disperindag jabar menggelar razia

ke sejumlah toko parcel,pasar tradisional, dan mal. Mereka menurunkan 5 (lima)

tim untuk menggelar razia di beberapa titik seperti jalan Cibadak, pasar

astanaanyar, pusat perbelanjaan di jalan merdeka, toko –toko di jalan IR H

Juanda, serta pusat perbelanjaan di jalan Gatot Subroto.

Dari sejumlah toko yang menjual parcel di jalan Cibadak, ada salah satu

toko yan bernama toko Smile Shop, Istana dan Indah, memang tidak ditemukan

makanan yang tanggal kadaluarsanya melebihi batas waktu. Namun ada beberapa

41
makanan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsanya, namun ada beberapa

makanan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsanya. Maka dari itu di toko

Smile Shop dan Toko Istana, petugas panganan anak – anak menemukan merek

Donald Jelly produksi Cirebon yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa,

bahkan kemasan kardus yang membungkus agar – agar tersebut, berbeda dengan

isinya. Selain itu ada juga snack merek yusuka yang juga tidak mencantumkan

tanggal kadaluwarsa.Tidak hanya itu saat razia di Pasar Astanaanyar, petugas

menemukan adanya produk makanan roti olahan merek Mantou Frutty produk PT

elson Bernadi yang penyimpanannya tak sesuai dan juga tak mecantumkan

tanggal kadaluawarsa.

Maka dari itu KADISPERINDAG JABAR Agus Gustiar menarik produk

– produk tersebut untuk di teliti karena tidak mencantumkan tanggal

kadaluarsanya, dan akan ada peringatan untuk produsen produk – produk tersebut.

42
BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI KEMASAN MAKANAN

YANG TIDAK MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUWARSA

A. Perlindungan Konsumen Mengenai Kemasan Makanan Yang Tidak

Mencantumkan Tanggal Kadaluwarsa

Menurut Philipus M. Hadjon, “Perlindungan hukum, yaitu pembelaan

terhadap kesusilaan manusia dan pengakuan hak asasi manusia sebagai objek

hukum terhadap pengambilan keputusan yang sewenang-wenang berdasarkan

ketentuan hukum. Hadjon selanjutnya membagi dua jenis perlindungan hukum

terhadap masyarakat menjadi perlindungan preventif dan represif berdasarkan

metodenya. Sebelum tindakan pemerintah diambil untuk mencegah perselisihan,

tujuan dari perlindungan preventif adalah memberikan kesempatan kepada warga

negara untuk menyuarakan gagasannya. Setelah itu, tujuan perlindungan represif

adalah menyelesaikan perselisihan. Semua pihak dijamin perlindungan hukumnya

oleh negara sehingga dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukumnya sebagai

subjek hukum.”31 Seiring berkembangnya dunia usaha, manusia yang merupakan

subjek hukum berperan sebagai pelaku bisnis dan klien. Untuk mengatasi potensi

risiko produk yang dapat merugikan konsumen secara langsung, maka ditetapkan

peraturan mengenai perlindungan konsumen. Yang dimaksud dengan

“perlindungan konsumen” adalah perlindungan legislatif yang diterapkan untuk

menjamin kesejahteraan dan keselamatan pelanggan.

31
Hukum online, “teori – teori perlindungan hukum menurut para ahli”, diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/a/teori-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli-
lt63366cd94dcbc/?page=1, pada tanggal 13 September 2023, 12:15.

43
Menurut Undang – Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Hukum konsumen dan peraturan perlindungan konsumen adalah dua frase

hukum yang berkaitan dengan gagasan perlindungan konsumen. A.Z.

Nasution mengklaim peraturan perundang-undangan yang mengatur interaksi

dan mencegah konflik antar pihak terkait produk dan/atau jasa konsumen

termasuk dalam undang-undang konsumen. Penekanan undang-undang

perlindungan konsumen, di sisi lain, adalah pada standar atau undang-undang

yang bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen melalui fitur

peraturannya.

Menurut Undang – Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Ada dua jenis konsumen: konsumen akhir, yang membeli produk atau jasa

untuk konsumsi mereka sendiri dan tidak berurusan orang lain, dan konsumen

perantara, yang membeli produk atau jasa untuk keuntungan orang lain tetapi

bukan untuk dirinya sendiri. Istilah "konsumen" dalam konteks perlindungan

konsumen terutama berkaitan dengan kategori individu yang terakhir ini.

Selain memahami konsumen, penting juga untuk memahami pentingnya

barang dan jasa. Segala sesuatu yang dapat diperdagangkan, disalahgunakan,

dimanfaatkan secara berlebihan, atau dimanfaatkan oleh konsumen

diklasifikasikan sebagai komoditas, terlepas dari apakah barang tersebut

berwujud atau tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak, dapat dikonsumsi

44
atau tidak dapat dikonsumsi. Masing-masing manfaat, dengan caranya sendiri,

mewakili pencapaian atau penemuan yang dapat diakses publik untuk

dimanfaatkan oleh konsumen.32

Perlindungan konsumen dapat dikategorikan menjadi dua aspek utama:

1. Menjaga terhadap potensi pelanggan menerima produk yang menyimpang

dari spesifikasi yang telah disepakati sebelumnya.

2. Memberikan perlindungan kepada pelanggan yang terkena syarat dan

ketentuan yang tidak adil atau tidak menguntungkan.

Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen menguraikan lima prinsip dasar

perlindungan konsumen, yang meliputi prinsip kemanfaatan, keadilan,

keseimbangan, kesejahteraan dan keamanan konsumen, serta transparansi hukum.

Pada dasarnya, hak-hak konsumen dilindungi melalui kerangka undang-undang

perlindungan konsumen. Oleh karena itu, terdapat tiga (tiga) hak dasar

perlindungan konsumen, yaitu:

a. Hak atas penetapan harga barang dan/atau jasa yang adil.

b. Hak untuk mendapatkan solusi yang sesuai atas permasalahan yang

mereka hadapi.

c. Hak untuk mencegah pelanggan menyebabkan kerusakan pada properti

atau barang pribadi.

Berikut pemaparan perlindungan konsumen yang dikatakan oleh bapak

Rodiya selaku DISPERINDAG KAB. Cirebon:

32
Hukum online, Hukum Perlindungan Konsumen: Cakupan, Tujuan, dan Dasarnya, diakses dari:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-perlindungan-konsumen-cakupan-tujuan-dan-
dasarnya-lt62dfc65f7966c/ pada tanggal 13 September 2023,pukul 15:12.

45
“Untuk perlindungan konsumen sendiri secara regulasi sudah bagus namun
ada beberapa faktor yang menghambat, salah satunya konsistensi SDM
(Sumber Daya Manusia), SDB (Sumber Daya Bahan Baku dan Bahan
Tambahan Pangan), biasanya para pelaku usaha untuk awal mulanya bagus
namun semakin lama, banyak yang mengurangi konsistensi, contohnya
pewarna makanan, di ubah menjadi pewarna kain, pengawet buat makanan, di
ganti menjadi borak yang mudah di dapat dan harganya terjangkau, kalau hal
seperti ini terjadi dapat membahayakan konsumen, maka dari itu Disperindag
bersama badan lainnya mempunyai beberapa program untuk mencegah hal
tersebut terjadi, yaitu : pemerintah mengawasi s-pirt, mengadakan
penyulushan dan bimbingan untuk pelaku usaha.” (Bapak Rodiya,
wawancara 22 November 2023)
Berdasarkan pemaparan dari bapak rodiya sebagai informan kunci yang memiliki

peran penting di DISPERINDAG, peneliti menyimpulkan bahwa untuk

perlindungan konsumen secara hukum sudah bagus namun dengan kenyataan

masih banyak hambatan yang bisa terjadi, misalnya karena perilaku pelaku usaha

sendiri, atau SDD (Sumber Daya Dana) yang tidak memadai.

Negara dan pelaku korporasi harus menjaga hak-hak dasar ini untuk

memastikan bahwa konsumen terlindungi dengan baik karena hal ini akan

melindungi mereka dari bahaya dalam berbagai cara. Dalam praktiknya, masih

terdapat pelaku usaha yang tidak menaati komitmennya untuk memberikan hak

yang dibutuhkan pelanggan. Salah satunya berprofesi sebagai wirausaha di

industri makanan kemasan. Hal ini terlihat dari beberapa perusahaan yang

memproduksi makanan dalam kemasan masih belum memahami betapa

pentingnya mencantumkan tanggal kadaluarsa pada kemasan makanan yang

mereka buat, padahal makanan kemasan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa.

Berikut pemaparan yang dikatakan oleh bapak Rodiya selaku DISPERINDAG

KAB. Cirebon:

“Makanan kemasan yang aman adalah makanan kemasan yang memiliki izin
edar,mencantumkan tanggal kadaluwarsa, pembungkus yang minim resiko

46
terkontaminasi dengan bakteri fisik kimia dan biologi,memiliki izin s-pirt. Izin
s-pirt sekarang sudah bisa diakses melalui portal oss.co.id, untuk
persyaratannya akan tertera di portal tersebut. Kalau di temukana makanan
kemasan yang tidak layak di makan, maka disperindag akan melakukan
pengawasan, penyuluhan, pembimbingan, pengujian dan pre market ke
suplayer/pelaku usaha.” (Bapak Rodiya, wawancara 22 November 2023)
Berdasarkan pemaparan dari bapak rodiya sebagai informan kunci yang memiliki

peran penting di DISPERINDAG, peneliti menyimpulkan bahwa semakin

perkembangnya zaman dan teknologi para pelaku usaha dapat mempermudah

pelaku usaha untuk mendapatkan izin berdagang, namun hal ini harus di iringi

dengan pengawasan dan penyuluhan oleh DISPERINDAG dan badan lainnya

karena masih banyak pelaku usaha yang tidak biasa menggunakan teknologi, bisa

saja yang tadinya untuk mempermudah pelaku usaha malah menjadi mempersulit

karena banyak yang belum mengerti.

Pelaku usaha diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen untuk mencantumkan tanggal kadaluwarsa pada

kemasan produk. disebutkan dalam Pasal 8 Ayat 1 Huruf G UU Perlindungan

Konsumen bahwa pelaku usaha dilarang keras menghapus tanggal kadaluarsa atau

petunjuk pemanfaatan barang yang berkaitan dengan kegiatan usahanya.

Sebagaimana dimaksud secara tegas dalam Pasal 4 huruf A dan C, “hak

konsumen atas informasi yang tepat, transparan, dan lengkap mengenai status

produk dan jaminan berkaitan langsung dengan tanggal berakhirnya jaminan”.

Dalam menggunakan suatu produk, konsumen berhak atas kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan, terutama apabila pangan tersebut tidak

mencantumkan tanggal kadaluwarsa pada kemasannya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 Huruf A. Mengingat tidak adanya label pada banyak kemasan

47
produk, maka terdapat potensi risiko terhadap kesehatan dan keselamatan

konsumen, yang menggarisbawahi perlunya upaya perlindungan tersebut.

Pedagang berhak atas pembayaran jika terbukti bahwa seorang anggota

industri makanan lalai mengungkapkan tanggal kadaluarsa suatu produk atau

jangka waktu penggunaan yang disarankan. Khususnya, apabila nasabah tidak

dapat menggunakan haknya, maka ganti rugi tersebut dapat berupa ganti rugi

berupa uang atau ganti rugi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU

Perlindungan Konsumen.33

Persyaratan tersebut di atas, yang mengabaikan kewajiban pelaku korporasi,

menyatakan bahwa pemberian label pangan kemasan yang tidak tepat pada

kemasannya merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 huruf B Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Apabila banyak orang

yang dirugikan akibat membeli produk tanpa label kesehatan, pelanggan berhak

mendapatkan kompensasi. Pelaku usaha diwajibkan oleh aturan UU Perlindungan

Konsumen untuk mengganti kerugian tersebut.34 Berikut pemaparan yang

dikatakan oleh bapak Rodiya selaku DISPERINDAG KAB. Cirebon:

“Kalau ada pelaku usaha yang tidak mematuhi aturan seperti tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa pada kemasan makan DISPERINDAG
akan memberi teguran bimbingan terlebih dahulu, jika sudah 3 (tiga) kali di
beri bimbingan atau penyuluhan tetapi pelaku usaha tesebut masih bandel
maka jalur yang di tempuh menggunakan jalur pihak berwenang.” (Bapak
Rodiya, wawancara 22 November 2023)

33
Indradewi Anak Agung Sagung Ngurah, "Tanggung Jawab Yuridis Media Penyiar Iklan dalam
Menjamin Perlindungan Hukum terhadap Konsumen" PhD diss., Universitas Brawijaya, Januari
2012, hlm. 6.
34
Rahmawati dkk, "Perlindungan Hukum Konsumen Pengguna Kosmetik Tanpa Izin Edar dalam
Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Kertha
Semaya: Journal Ilmu Hukum7, no. 5, 2019, hlm. 1-16.

48
Berdasarkan pemaparan dari bapak rodiya sebagai informan kunci yang memiliki

peran penting di DISPERINDAG, peneliti menyimpulkan bahwa

DISPERINDAG hanya melakukan tugasnya sebagai pengawas bukan untuk

memberikan sanksi pada pelaku usaha.

Akibat hukum bagi pelaku usaha yang menjual bahan pangan diatur dalam

UU Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 19 yang menguraikan tentang

kewajiban pelaku usaha, serta Pasal 62 dan 63 yang memuat ketentuan pidana dan

UU Pangan khususnya Pasal 143 yang mengatur sanksi dan denda. Tanpa tanggal

kadaluwarsa yang disebutkan.

Pasal 19 Undang – Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa:


“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan kompensasi kepada pelanggan
atas kehilangan, kerusakan, dan/atau pencemaran yang diakibatkan oleh konsumsi
produk dan/atau jasa yang dibuat atau dialihkan. Pengembalian dana, penggantian
produk dan/atau layanan serupa, perawatan kesehatan, dan/atau pembayaran
kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
merupakan contoh bentuk kompensasi yang dapat diterima. Dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi, kompensasi diberikan. Prospek penuntutan
pidana berdasarkan bukti tambahan yang menunjukkan adanya unsur kesalahan
tetap ada setelah pembayaran ganti rugi. Jika pelaku usaha dapat menunjukkan
bahwa konsumenlah yang bersalah atas kesalahan tersebut, maka aturan pasal ini
tidak berlaku.”
UU Perlindungan Konsumen memperdalam hal ini dalam Pasal 62 ayat (1)

dan (3), serta Pasal 63. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 ayat (1), “pelaku

usaha yang melanggar persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat

dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 62 dan Pasal 63 yang

memperbolehkan sanksi tambahan seperti penyitaan barang tertentu, selain sanksi

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, memberikan perlindungan

terhadap pelanggaran yang mengakibatkan kerugian besar. Pasal 62 Ayat 3

49
mengatur bahwa pelanggaran yang mengakibatkan kerugian besar, penyakit berat,

cacat tetap, atau kematian memicu penerapan ketentuan pidana terkait”.

Pasal 143 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan


menyebutkan bahwa:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menghapus, mencabut, menutup,
mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun
kedaluwarsa Pangan yang diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”
Pasal 146 ayat 1 Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
juga menyebutkan bahwa:
“Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, Pasal 138, Pasal
142, Pasal 143, dan Pasal 145 yang mengakibatkan: a. luka berat atau
membahayakan nyawa orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah). b. kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).”
B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Konsumen Akibat Kerugian

Yang Dideritanya Karena Tindakan Pelaku Usaha Yang Tidak

Mencantumkan Tanggal Kadaluarsa

Upaya hukum adalah cara untuk menghentikan atau memperbaiki penilaian

yang tidak menguntungkan. Sudikno Mertokusumo menekankan bahwa dalam

keadaan tertentu, hal ini merupakan cara yang sah bagi orang atau organisasi

untuk menggugat putusan pengadilan. Pihak-pihak yang tidak setuju dengan

putusan hakim karena dinilai tidak menjaga keadilan, dipersilakan menggunakan

forum ini. Hakim, seperti halnya siapa pun, mungkin secara tidak sengaja

50
membuat kesalahan yang membahayakan penilaian mereka atau mungkin memilih

untuk lebih mengutamakan satu perspektif dibandingkan perspektif lainnya.35

menurut Pasal 1 Butir 12 KUHAP, mengatakan bahwa:


“ Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi
atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan upaya hukum itu adalah: a. Memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh

pengadilan yang memutus sebelumnya; b. Mencapai kesatuan dalam peradilan; c.

Memberi jaminan pada terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan

berdasarkan pada fakta dan hukum secara benar.

Kehadiran jalur hukum memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara adil,

berdasarkan fakta dan hukum, serta mengupayakan keseragaman semaksimal

mungkin. Upaya hukum biasa dan luar biasa merupakan dua kategori utama yang

termasuk dalam upaya hukum. Tata cara yang diuraikan pada bagian tertentu

untuk menggugat dan memeriksa putusan pengadilan yang telah final dan dapat

dilaksanakan disebut upaya hukum biasa. Dalam proses hukum, peninjauan

kembali terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum

tetap masih banyak terjadi. Dua alternatif hukum yang sering digunakan adalah:

a. pemeriksaan tingkat banding (beroep)

Apabila salah satu pihak tidak setuju dengan putusan Pengadilan

Negeri, maka dilakukan tindakan hukum. Dasar hukumnya adalah “UU

No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan

UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus

35
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2009),
hlm. 234.

51
diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan

(pasal 7 UU No 20/1947)”. Urutan banding menurut pasal 21 UU No

4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194

HIR, yaitu:

1. ada pernyataan ingin banding

2. panitera membuat akta banding

3. dicatat dalam register induk perkara

4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama

14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.

5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat

mengajukan kontra memori banding.

b. Pemeriksaan Tingkat Kasasi (cassatie)

Kasasi adalah prosedur peninjauan kembali yang digunakan oleh

Mahkamah Agung untuk menentukan apakah pengadilan tingkat akhir

selain Mahkamah Agung telah menerapkan hukum dengan benar (atau

membuat keputusan yang tidak sesuai dengan hukum). Tujuan kasasi

adalah untuk mempersatukan para pihak melalui cara-cara hukum untuk

membatalkan keputusan penerapan hukum yang tidak patut atau melawan

hukum tersebut.

Putusan banding telah dibuat dan dituangkan dalam putusan kasasi.

Dasar hukum permohonan kasasi dituangkan dalam UU Nomor 14 Tahun

1985 jo Pasal 30. UU Nomor 5 Tahun 2005 adalah:

1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk

melampaui batas wewenang;

52
2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;

3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya

putusan yang bersangkutan.

Secara teoritis, karena putusan-putusan tersebut masih memerlukan

prosedur hukum yang tidak biasa, maka upaya hukum ini tidak menutup

kemungkinan dilaksanakannya putusan yang mempunyai akibat hukum tetap.

Prosedur-prosedur ini meliputi:

a. Pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum (cassatie in het belang

van de wet)

KUHAP menyebutkan dalam Pasal 259 bahwa “kasasi adalah

upaya hukum luar biasa yang dilakukan untuk menggugat seluruh putusan

pengadilan di bawahnya yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

kecuali putusan Mahkamah Agung.” Sidang kasasi dilakukan atas dasar

alasan hukum untuk menjamin bahwa hukum ditegakkan secara adil dan

konsisten di seluruh lembaga peradilan. Hanya satu (satu) permohonan

kasasi yang dapat diajukan karena alasan hukum. Jaksa Agung adalah

orang yang dapat mengajukan permohonan.

b. Peninjauan Kembali (herziening)

Berdasarkan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, “peninjauan kembali

merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan terhadap semua

putusan pengadilan yang telah memperoleh kedudukan hukum tetap dan

meyakinkan.”

53
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no
14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:
1. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus
yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
yang dinyatakan palsu;
2. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemuksn;
3. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada
yang dituntut;
4. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu
kekeliruan yang nyata.
6. Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan
hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus
permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir
(pasal 70 UU no 14/1985).
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 mengatur dua

alternatif cara penyelesaian sengketa konsumen, yaitu dengan mengajukan perkara

hukum di pengadilan dan menyelesaikannya melalui cara non-yudisial.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 47 UU Perlindungan

Konsumen, konsumen mempunyai tiga jalur hukum untuk mencari keadilan:

melalui sistem peradilan, melalui hubungan dengan BPSK, atau dengan

mengajukan secara langsung dan damai.

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa konsumen melalui

pengadilan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dengan mengacu pada hukum

acara yang mendasar. Hal ini menunjukkan bahwa jika diperiksa Pasal 45, maka

peraturan hukum yang digunakan dalam mengadili dan mengurus suatu perkara

bersumber pada Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) atau Herzine Inland

Regeling (HIR).

54
UU Perlindungan Konsumen telah menyederhanakan proses bagi konsumen

yang tidak puas untuk mengambil tindakan hukum terhadap badan usaha asing.

Hal ini difasilitasi oleh Pasal 49 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor

8 Tahun 1999 yang mengamanatkan “pembentukan badan yang disetujui

pemerintah di setiap kabupaten atau kota, yang disebut Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen atau BPSK”. Sesuai Pasal 52 Huruf A Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, BPSK berwenang menangani dan

menyelesaikan permasalahan konsumen melalui salah satu dari tiga pendekatan,

yaitu:

1. Mediasi

Sebagai alternatif proses hukum penyelesaian konflik, Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melakukan mediasi, berfungsi

sebagai mediator dan/atau penasehat apabila diminta oleh salah satu pihak

yang terlibat. Memilih mediasi sebagai metode penyelesaian konflik

menawarkan keuntungan karena berfokus pada upaya kolaboratif untuk

mencapai kompromi, sehingga meringankan beban pembuktian bagi

pihak-pihak yang terlibat. Mediasi juga memfasilitasi penyelesaian yang

cepat, hemat biaya, dan rasional (karena tidak ada pihak yang menyadari

hasilnya, kecil kemungkinannya adanya campur tangan emosi). Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001

disebut juga Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:

350/MPP/Kep/12/2001, Pasal 31 Huruf B, Dewan BPSK bertindak sebagai

mediator aktif yang memberikan nasihat, bimbingan, saran, dan tindakan

lain untuk memfasilitasi penyelesaian. Namun, keputusan akhir ada di

55
tangan pihak-pihak yang terlibat, dan mediator semata-mata memfasilitasi

negosiasi dan membantu mencari penyelesaian.

2. Konsiliasi

Strategi yang diterapkan ketika satu pihak atau lebih mengambil

inisiatif dan Dewan BPSK tidak aktif, berfungsi sebagai mediator antara

pihak-pihak yang bertikai. Mediasi adalah salah satu metodenya.

Meskipun kurang aktif dibandingkan perantara dalam memberikan pilihan

penyelesaian konflik, mediator membantu para pihak untuk bekerja sama

menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

Pasal 29 huruf b Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan


Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 menjelaskan bahwa:
“orang yang bertindak sebagai perantara adalah BPSK. Bahwa
keputusan tersebut merupakan konsensus para pihak.”

3. Arbitrase

Arbitrase adalah proses yang langsung atau tidak rumit yang

diputuskan secara sukarela oleh para pihak. Seorang arbiter yang tidak

memihak yang mereka pilih akan membuat keputusan mengenai hal ini,

berdasarkan bukti-bukti yang disajikan pada saat itu. Keuntungan dari

proses arbitrase adalah pengambilan keputusan bersifat final dan

mengikat, sehingga memberikan bobot hukum yang bertahan lama dan

menjamin kepatuhan para pihak. Pihak yang menang dapat meminta

pengadilan memerintahkan penegakan hukum oleh polisi jika pihak yang

kalah menolak untuk mematuhi keputusan tersebut. Hal ini disebut sebagai

kewenangan eksekutorial putusan arbitrase. The parties choose an

arbitrator for consumer disputes from among the BPSK members. This

56
issue is clarified in paragraphs 1 and 2 of Article 32 of Ministry of

Industry and Trade Regulation Number: 350/MPP/Kep/12/2001.

Berikut pemaparan yang dikatakan oleh bapak Rodiya selaku DISPERINDAG

KAB. Cirebon:

“ketika pelanggan atau konsumen mengalami kerugian,yang pertama


konsumen dapat melakukan komplain secara langsung kepada pelaku usaha,
cara ini biasa disebut dengan cara damai. Yang kedua konsumen dapat
mengajukan gugatan ke BPSK (Badan Penyelesaian Konsumen) atau bisa juga
bisa melalui advokasi LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat).” (Bapak Rodiya, wawancara 22 November 2023)
Berdasarkan pemaparan dari bapak rodiya, dapat disimpulkan bahwa konsumen

dapat melakukan komplain secara langsung kepada pelaku usaha untuk meminta

ganti rugi berupa uang atau barang sesuai kerugian yang diderita konsumen

tersebut, namun jika pelaku usaha tidak berinisiatif baik, maka konsumen dapat

mengajukan gugatan lewat BPSK, atau LPKSM yang berada di wilayah terdekat

konsumen.

Dalam hal gugatan diajukan, BPSK yang dibentuk pemerintah wajib

memberikan putusan paling lambat 21 hari kerja setelah perkara diterima. UUPK,

khususnya Pasal 54 Ayat 3, menyatakan bahwa putusan BPSK bersifat final dan

tidak dapat dicabut, digugat, atau diajukan kasasi. Peraturan Menteri Perindustrian

dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang diperkuat dengan Pasal 56

ayat 2 UUPK antara lain menyebutkan bahwa “para pihak yang bersengketa di

dunia konsumen dan dunia usaha wajib menyatakan menerima atau menolak

keputusan BPSK.” Meski demikian, perlu diingat bahwa UUPK mengakui adanya

opsi untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri.”

57
Apabila para pihak tidak puas dengan hasil keputusan BPSK, maka mereka

mempunyai pilihan untuk meneruskan perselisihannya ke Pengadilan Negeri.

Setelah diberitahu mengenai putusan BPSK tersebut, mereka mempunyai waktu

14 hari kerja untuk mengajukan pengaduan ke Pengadilan Negeri. Konsumen dan

pelaku usaha dianggap menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) jika tidak melakukan protes, sesuai dengan Pasal 55 dan 56

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Apabila pelanggan merasa terkena dampak negatif atas barang dan/atau jasa

yang diproduksi atau diperdagangkan, maka pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk memberikan ganti rugi atas kerugian, kerusakan, atau kerugian apa pun.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur

kewajiban ini dalam Pasal 19 Ayat 1. “Kewajiban ini merupakan tambahan dari

proses hukum yang ada untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan dan

lembaga penyelesaian sengketa”. Contoh kompensasi dari ayat 1 sesuai dengan

ayat 2, yang mencakup penggantian sejumlah uang, penggantian produk dan/atau

layanan dengan jenis atau nilai serupa, penyediaan layanan kesehatan, atau

penerbitan hibah dalam batasan undang-undang. Demikian pula pada Ayat 3,

pelaku usaha diperbolehkan memberikan pengembalian dana dalam waktu tujuh

hari setelah transaksi. Pihak yang bersepakat dapat memilih salah satu dari ketiga

upaya penyelesaian tersebut, dengan syarat dengan kesepakatan bersama,

perselisihan dapat diselesaikan melalui perundingan langsung. Jika konflik tidak

dapat diselesaikan secara langsung antara para pihak, maka dua cara lain dapat

dilakukan. Pendekatan ini memastikan penyelesaian melalui BPSK tidak

dilakukan melalui jalur hukum, begitu pula sebaliknya.

58
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, konsumen mempunyai tiga pilihan

hukum apabila ia mengalami kerugian akibat perbuatan pelaku usaha yang tidak

mempunyai jangka waktu kadaluwarsa: melalui jalan damai, BPSK, atau melalui

pengadilan.

Sekarang ini konsumen bisa membuat laporan pelanggaran hak konsumen

melalui aplikasi yang disediakan oleh BPKN, aplikasi ini berfungsi

mempermudah konsumen untuk melapor jika merasa dirugikan. Adapun syarat

pelaporan yang akan diterima oleh BPKN yaitu: 1. pelapor adalah warga negara

Indonesia, 2. Laporan sudah secara langsung disampaikan kepada penyelesaian

sebagaimana mestinya, 3. Peristiwa, tindakan atau keputusan yang dilaporkan

belum lewat 2 (dua) tahun.bisa juga melalui web BPKN, yaitu: bpkn-apps.com

59
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Penulis sampai pada kesimpulan berikut berdasarkan temuan penelitian

dan diskusi di atas:

1. Perlindungan konsumen mengenai kemasan pangan yang tidak memiliki

tanggal kadaluwarsa merupakan hal yang sangat penting karena

memberikan informasi penting mengenai durasi aman konsumsi pangan.

Namun, masih ada pelaku usaha yang mungkin belum sepenuhnya

memahami pentingnya mencantumkan tanggal kadaluwarsa. Padahal,

pencantuman tanggal kadaluwarsa pada kemasan produk merupakan

keharusan bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 Ayat (1)

Huruf G.

2. Ada tiga upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen akibat kerugian

yang dideritanya karena tindakan pelaku usaha yang tidak mencantumkan

tanggal kadaluwarsa: 1. Melalui cara damai (biasanya pelaku usaha hanya

mengganti kerugian berupa barang atau pengembalian dana (uang) sesuai

kerugian yang di dapat oleh konsumen akibat kelalaian pelaku usaha). 2.

Melalui pengadilan (Litigasi) ini merupakan jalan terakhir yang dapat di

tempuh oleh konsumen jika komplain dengan pelaku usaha tidak bisa di

selesaikan secara damai. 3. Melalui BPSK (Non Litigasi) , penyelesaian

konsumen melalui BPSK bisa di lakukan dengan 3 cara yaitu: Konsiliasi,

60
mediasi, dan arbitrase. BPSK sendiri memiliki jangka waktu, jangka waktu

tersebut selama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.

B. Saran

Berdasarkan pembicaraan dan hasil penelitian sebelumnya, penulis dapat

memberikan rekomendasi berikut:

1. disarankan bagi pemerintah agar lebih tegas dalam mengambil tindakan

bagi pelaku usaha yang melanggar peraturan, apalagi tentang pencantuman

tanggal kadaluarsa (expired date), karena dapat membahayakan tubuh jika

sudah tidak layak dikonsumsi.

2. Pelaku usaha diharapkan terus menjaga kualitas produk yang dijualnya

serta bertanggung jawab terhadap keamanan produk dan konsumen.

Konsumen juga diharapkan agar lebih berhati hati ketika membeli produk

makanan kemasan dan jangan lupa untuk melihat informasi produknya

terlebih dahulu sebelum membeli produk tersebut.

61
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
A. Fadjar Muktie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.
Agus Suwando,2015, Modul 1: Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen,
Universitas Terbuka, Jakarta.
Agustinus Shihombing dkk, 2023, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Azka
Pustaka, Sumatra Barat.
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta.
Az nasution, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, diadit
media: Jakarta.
Celina tri siwi kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar
Grafika,cetakan I, Malang.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar
Grafika: Jakarta.
Edmon Makarim, 2003, Pengantar Hukum Telematika, Badan Penerbit FH UI,
Rajawali Pers, Jakarta.
Janus, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Mertokusumo Sudikno,2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty,
Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum,Kencana Prenada Group,
Jakarta.
Sidabalok janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Sumarwan, 2012, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam
Pemasaran, Ghalia Indonesia, Bogor.

Susanti Adi Nugroho, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau


Dari Hukum Acara Serta Kendala Impelementasinya, Kencana Perdana
Media Group, Jakarta.

Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi


Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Sumber Perundang – Undangan :


Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

62
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2019 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional

Sumber Jurnal,Skripsi, Tesis dan Lainnya :


Andi Luthfi Maulana, 2021, Tesis: Analisis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Terhadap Produk Kemasan Tanpa Tanggal Kedaluwarsa Dalam
Perspektif Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
42), Universitas Islam Kalimantan MAB, Kalimantan.
Darmawati, 2019, Skripsi: Analisis Regulasi Perlindungan Konsumen Terhadap
Produk Makanan Tanpa Tanggal Kadaluarsa (Studi Kasus Pada Home
Industry Kecamatan Alam Barajo), Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin, Jambi.
Indradewi Anak Agung Sagung Ngurah, 2012, "Tanggung Jawab Yuridis Media
Penyiar Iklan dalam Menjamin Perlindungan Hukum terhadap
Konsumen" PhD diss., Universitas Brawijaya.
Kristania Montolalu dkk, 2023, “Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap
Konsumen Tentang Kesalahan Pengiriman Pesana Makanan Melalui
Aplikasi Gojek”, Lex Administratum Vol.XI.No.04.
Marianus Gaharpung, 2000, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Korban Atas
Tindakan Pelaku Usaha,Vol.3 No.1, Jurnal Yustika, Jakarta.
Nuril Rachmawati, Nurudin Siraj, dan RM. Haryo Bharoto, 2018, Implementasi
Perencanaan Partisipatif Dalam Pembangunan Fisik Di Desa Suci Kecamatan
Mundu Kabupaten Cirebon, Vol.6 No. 2 Jurnal Publika, Universitas Gunung Jati
Cirebon.

Pratama, I. G. E. B., & Sudjana, I. K., 2018, Perlindungan Konsumen Terhadap


Makanan Kemasan Tanpa Tanggal Kadaluarsa, Kertha Semaya: Journal
Ilmu Hukum, 6(4).
Rahmawati dkk, 2019, "Perlindungan Hukum Konsumen Pengguna Kosmetik
Tanpa Izin Edar dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen”, Kertha Semaya: Journal Ilmu
Hukum7, no. 5.
Rida Ista Sitepu dan Hana Muhamad, 2021, “Efektifitas Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) SebagaiLembaga Penyelesaian Sengketa
Konsumen Di Indonesia”. Jurnal Rechten: Riset Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 7 ,Vol. 3 ,No. 2.
Thalha Alhamid dan Budur Anufia, 2019, Resume: Instrumen Pengumpulan
DataSekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Sorong.

63
Berita Pasuruan, Sidak ke Sejumlah Swalayan Dinkes Kota Pasuruan Temukan
Banyak Mamin Tak Layak Konsumsi, diakses dari
https://www.kabarpas.com/sidak-ke-sejumlah-swalayan-dinkes-kota-
pasuruan-temukan-banyak-mamin-tak-layak-konsumsi/ pada tanggal 13
September 2023, 10:57.
BPKN-RI,Tentang BPKN Tugas dan Fungsi, di akses dari
https://bpkn.go.id/page/tugas-dan-fungsi, pada tanggal 13 September
2023,pukul 9:22.
Direktorat Jendral perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, diaskes dari
https://ditjenpktn.kemendag.go.id/tentang-kami pada tanggal 13
September 2023, pukul 4:05.
Glosarium, Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli,diakses dari
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli
pada tanggal 7 Maret 2023, pukul 10:30.
Hukum online, teori – teori perlindungan hukum menurut para ahli, diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/a/teori-perlindungan-hukum-
menurut-para-ahli-lt63366cd94dcbc/?page=1 pada tanggal 13 September
2023, pukul 13:51
Hukum online, Hukum Perlindungan Konsumen: Cakupan, Tujuan, dan
Dasarnya, diakses dari: https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-
perlindungan-konsumen-cakupan-tujuan-dan-dasarnya-lt62dfc65f7966c/
pada tanggal 13 September 2023,pukul 15:12.
Hukumonline, teori – teori perlindungan hukum menurut para ahli, diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/a/teori-perlindungan-hukum-
menurut-para-ahli-lt63366cd94dcbc/?page=1 pada tanggal 13 September
2023, 12:15.
Pemerintah Kabupaten Pasuruan, Disperindag Gelar Razia Makanan Kadaluarsa,
Temukan Toko Yang Menjual Mie Tanpa Merk dan Tak Terpasang Masa
Kadaluarsa, diakses dari
https://www.pasuruankab.go.id/beritalike/6513/disperindag-gelar-razia-
makanan-kadaluarsa-temukan-toko-yang-menjual-mie-tanpa-merk-dan-
tak-terpasang-masa-kadaluarsa pada tanggal 13 September 2023, pukul
11:45.
Togar Julio Parhusip, Cara ajukan Keberatan AtasPutusan BPSK yang Final dan
Mengikat, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/cara-
ajukan-keberatasn-atas-putusan-bpsk-yang-finaldan- mengikat/ pada
tanggal 13 September 2023, pukul 13:21.
Rahmawati I, Tinjauan Umum Mengenai Hubungan Antara Pelaku Usaha dan
Konsumen,diakses dari
http://repository.unpas.ac.id/30944/3/G.%20BAB%20II.pdf pada tanggal
31 2023, pukul 1:54.

64
Lampiran 1

Daftar Pertanyaan Wawancara

Daftar pertanyaan wawancara ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah

pada penelitian yang berjudul “Perlindungan Konsumen Mengenai Kemasan Makanan

Yang Tidak Mencantumkan Tanggal Kadaluwarsa”. Berikut daftar pertanyaan

wawancara untuk menjawab rumusan masalah bagaimana perlindungan konsumen

mengenai kemasan makanan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa dan

Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen akibat kerugian yang

dideritanya karena tindakan pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa.

Daftar pertanyaan:

1. Bagaimana kriteriakualitas makanan kemasan yang aman menurut

DISPERINDAG?

2. Apa upaya yang dapat di lakukan konsumen ketika mengalami kerugian

3. Sejauh mana kepedulian pemerintah terhadap perlindungan konsumen tentang

pangan?

4. Bagimana bentuk pengawasan DISPERINDAG terhadap produk makanan

kemasan yang beredar di masyarakt tanpa izin PIRT, dan tanggal kadaluwarsa?

5. Bagaimana cara pembuatan izin S-PIRT sendiri untuk pelaku usaha?

6. Kalau ada pelaku usaha yang menjual kemasan tidak mencantumkan tanggal

kadaluarsa atau izin edar, apa yang akan di lakukan oleh DISPERINDAG?

7. Menurut Bapak apakah pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen di

Indonesia terhadap Makanan Kemasan yang tidak memiliki tanggal kadaluarsa

sudah berjalan dengan ketentuan yang ada?

65
8. Bagaimana kalau bukti/produk berbahaya tersebut tidak ada?apakah konsumen

masih bisa menggugat pelaku usaha tersebut?

9. Apa saja program yang di lakukan untuk masyarakat tentang keamaan dalam

memilih makanan? Termasuk makanan kemasan yang tidak mencantumkan

tanggal kadaluwarsa?

66
Lampiran 1

Laporan Penelitian
(Hasil Interview)

Tanggal : 22 November 2023

Waktu : 14.00 : 14.28 WIB

Narasumber : Bapak Rodiya

Jabatan : Kepala Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan

1. Bagaimana kriteriakualitas makanan kemasan yang aman menurut

DISPERINDAG?

2. Apa upaya yang dapat di lakukan konsumen ketika mengalami kerugian

3. Sejauh mana kepedulian pemerintah terhadap perlindungan konsumen tentang

pangan?

4. Bagimana bentuk pengawasan DISPERINDAG terhadap produk makanan

kemasan yang beredar di masyarakt tanpa izin PIRT, dan tanggal kadaluwarsa?

5. Bagaimana cara pembuatan izin S-PIRT sendiri untuk pelaku usaha?

6. Kalau ada pelaku usaha yang menjual kemasan tidak mencantumkan tanggal

kadaluarsa atau izin edar, apa yang akan di lakukan oleh DISPERINDAG?

7. Menurut Bapak apakah pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen di

Indonesia terhadap Makanan Kemasan yang tidak memiliki tanggal kadaluarsa

sudah berjalan dengan ketentuan yang ada?

8. Bagaimana kalau bukti/produk berbahaya tersebut tidak ada?apakah konsumen

masih bisa menggugat pelaku usaha tersebut?

67
9. Apa saja program yang di lakukan untuk masyarakat tentang keamaan dalam

memilih makanan? Termasuk makanan kemasan yang tidak mencantumkan

tanggal kadaluwarsa?

Jawaban :

1. Yang aman pertama memiliki izin edar, kalau makanan resiko terkontaminasi

kecium harus memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga, sebagai

syarat makanan itu layak dan aman untuk di edarkan, karena untuk mencapai pirt

dia harus terbebas dari kontaminasi bakteri, terus zat pewarna berbahaya,

terbebas dari kontak fisikal, kimia dan biologis itu yang di katakan aman, dari

regulasi dapet dan tidak terkontaminasi berarti aman.

2. Ketika konsumen meng lami kerugian yang pertama dia melakukan komplain

kepada pelaku usaha, kalau belum selesai bisa melalui BPSK (badan

penyelesaian sengketa konsumen), atau juga bisa melalui advokasi lembaga

LPKSM (lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) itu yang bisa

dilakukan.

3. Jadi secara umum keamanan pangan oleh pmerintah itu ada tiga dimensi, yaitu :

a. Pemerintah mengawasi pada saat perizinan PIRT, jadi sebelum makanan

beredar ke masyarakat, makanan tersebut harus mempunya izin PIRT.

Sekaligus melakukan pengawasan terhadap produk tersebut terkontaminasi

atau tidak.

b. kepada pelaku usahanya di berikan penyuluhan,bimbingan, dan pembinaan

dalam memproduksi pangan pangan yang sehat dan aman.

c. dari sisi pengawasan pre market surveyless ketika barang sudah diberedar di

masyarakat, di lakukan pengawasan, dan pos market surveyless.

4. Dinas kita yan pertama melakukan pengawasan ke sarana perdagangan, baik

pasar modern, pasar tradisional, nah nanti bagi makanan – makanan yang tidak

68
memiliki izin edar dan tanggal kadaluwarsa kita sita dan kemudian kita panggil

produsen, kalau memang dia tidak tau, kita kasih pembinaan agar supaya tidak

memproduksi lagi yang seperti ini, ranah DISPERINDAG sendiri merupakan

ranah pembinaan, jadi kita memberikan pemaaman bahwa ini makanan harus

memiliki izin edar, mencantumkan tanggal kadaluwarsa.

5. Izin PIRT sekarang eranya sudah online/digital melalui portal oss.co.id (online

single submitsend) nanti sebelum pelaku usaha membuat izin PIRT pelaku usaha

harus memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha), semuanya online semuanya

terintegrasi, jadi tidak perlu tatap muka. Jika ingin membuat NIB siapkan KTP,

No.HP, email aktif. Kalau PIRT harus menyiapkan label kemasan (terkait

informasi tentang produk tersebut) dan juga photo Produk kemasan (informasi

tentang kemasan produk contohnya: kemasan kaleng, plastik, atau kertas). Jadi

pemerintah memberikan kemudahan untuk berusaha, tidak seperti dulu sekarang

lebih mudah satu jam selesai.

6. Jadi kita melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha, beberapa produk yang

tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa biasa ditemukan, apalagi di kemasan

makanan yang kering, beberapa memang harus melalui uji lab, kita tetap ada

surat uji lab, di tarik produknya, kita bina sampai mereka benar benar memahami

kau tanggal kadaluwarsa itu penting.

7. secara regulasi sudah memamadai kita sudah ada Undang – Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, secara regulasi sudah cukup, namun

memang ya kadang – kadang untuk sampai kepada tahapan tuntutat terhadap

makanan nih, misalkan contoh: kemarin ada orang yang keracunan akibat

konsumsi makanan, tetapi pembuktiannya berat karena pembuktian harus dicari

sisa makanan yang tersisa, nah kadang kadang susahnya sisanya sudah abis, dan

kebanyakan orang kadang kadang tidak mau mengajukan gugatan baik ke BPSK

atau badan terkait lainnya, karena bisa diselesaikan secara damai, atau

69
kekeluargaan.satu sisi itu baik, tapikan efek jera pada pelaku usaha susah juga

jadi sisinya itu. Yang jadi kendala itu pembuktian dan keengganan dalam hukum,

kalau berhubungan dengan hukum masyarakat banyaknya maleslah ngurusnya,

jadi kebanyakan diselesaikan dengan secara damai.

8. Kalau delix hukum harus ada bukti jadi kalau tanpa bukti tidak bisa membuat

tuntutan karena berbicara kemajelis bpsk itu harus ada bukti, misalkan orang

keracunan berarti harus ada bukti bahwa makanan tersebut benar tidak

mengandung bahan yang menyebabkan orang keracunan atau mules,sakit

perut,diare,dll, kan gitu, di bawa ke BPSK beratnya kalau tidak ada bukti yang

pasti kecuali makanan yang siap saji, misalkan permen ad narkoba atau segala

macem kan mungkin bisa kalau barangnya kemasan, tapi kalau makanan yang

siap saji lebih susah, Pada prinsipnya kalau mau mengugat ke BPSK harus ada

bukti bahwa makanan tersebut mengandung racun,atau bahan yang berbahay bagi

tubuh.

9. Melakukan program penyuluhan ke berbagai pasar tradisional maupun pasar

modern, memberitahu kepada semua pelaku usaha bagaimana membuat suatu

produk makanan yang layak dan aman untuk dijual kepada masyarakat.

70
Lampiran 1

71
Surat penelitian KESBANGPOL KAB.Cirebon

72
Lampiran 1

Amplop Surat untuk wawancara di DISPERINDAG

Wawancara dengan Bapak Rodiya (Kepala Industri DISPERINDAG)

73

Anda mungkin juga menyukai