Anda di halaman 1dari 151

TESIS

ANALISIS SOSIO-YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM


KORBAN PENGHINAAN CITRA TUBUH (BODY SHAMING)
MELALUI MEDIA SOSIAL

SOCIO-JURIDIC ANALYSIS OF LEGAL PROTECTION OF VICTIMS OF


BODY SHAMING TROUGH SOCIAL MEDIA

ANGRAENI RUSLI
B012191014

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
HALAMAN JUDUL

ANALISIS SOSIO-YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM


KORBAN PENGHINAAN CITRA TUBUH (BODY SHAMING)
MELALUI MEDIA SOSIAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Disusun dan Diajukan Oleh:

ANGRAENI RUSLI

NIM B012191014

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, Wasyukurillah, Lahawla Walaquwata Illahbillah.

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa

memberikan hidayah, rahmat, dan karunia-Nya kepada seluruh umat

manusia sehingga dalam setiap waktu kita diberikan kesempatan untuk

bersyukur dan mengingat kebesaran-Nya.

Sholawat yang disertai salam tidak lupa kita kirimkan kepada

junjungan Nabiullah Muhammad SAW beserta para sahabat-sahabatnya,

yang telah membawa kita dari alam gelap gulita ke alam yang terang-

benderang seperti saat ini. Sehingga penulis senantiasa diberikan

kesabaran, kemudahan, dan keikhlasan dalam menyelesaikan Tesis yang

berjudul: ANALISIS SOSIO-YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN

HUKUM KORBAN PENGHINAAN CITRA TUBUH BODY SHAMING

MELALUI MEDIA SOSIAL.

Tesis ini diajukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian

studi Magister pada program studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin. Pada kesempatan ini, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih yang sangat dalam kepada beberapa

sosok yang telah menemani dan mendampingi usaha penulis, sehingga

penulis mampu menyelesaikan Tesis ini. Terutama kepada kedua orang

tua penulis, Ayahanda Rusli Usman dan Ibunda Nuraeni Sultan yang telah

v
mengandung, melahirkan, mendidik, membesarkan penulis dengan

penuh kasih sayang dan kesabarannya serta usahanya tanpa pamrih.

Kepada Ayahanda tercinta yang telah benar-benar memberikan motivasi

dan dukungan penuh kepada penulis. Tidak terlupa pula seluruh keluarga,

rekan dan para sahabat penulis yang senantiasa membantu,

membimbing, serta memberikan arahan kepada penulis, sehingga penulis

sampai kepada penghujung proses Pendidikan Magister pada Program

Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Makassar Tahun 2021.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan

kepada Ibu Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H. selaku pembimbing utama dan

Ibu Dr.Hijrah Adhyanti Mirzana, S.H., M.H. selaku pembimbing

pendamping yang telah sabar memberikan bimbingan, petunjuk, dan

bantuan dari awal penulisan hingga selesainya Tesis ini. Ucapan terima

kasih juga penulis sampaikan kepada tim penguji ujian Tesis penulis yaitu

Bapak Dr. Hasbir Paserangi, SH., M.H., Bapak Dr. Abd. Asis, S.H., MH.,

dan Ibu Dr. Nur Azisa, S.H., M.H.

Melalui kesempatan ini, tidak lupa pula penulis juga haturkan rasa

hormat dan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. selaku Rektor

Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya;

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Hamzah Halim, SH.,

vi
MH. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Riset, dan Inovasi,

Dr. Syamsuddin Muchtar, SH., MH. selaku Wakil Dekan Bidang

Perencanaan, Keuangan, dan Sumber Daya, dan Dr. Hasrul, SH.,

MH. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.

3. Dr. Hasbir Paserangi, SH., MH. selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

4. Seluruh staf pegawai akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang telah banyak membantu melayani urusan

administrasi dan bantuan lainnya selama melaksanakan kuliah di

Universitas Hasanuddin;

5. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Magister Ilmu

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin angkatan

2019, terkhusus Kelas Magister Hukum A dan Kelas Pidana A

terima kasih atas persaudaraan dan solidaritas tanpa batas.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini memiliki banyak kekurangan

sehingga membutuhkan kritik, saran dan masukan yang sifatnya

membangun guna perbaikan tulisan dari Tesis ini. Akhir kata, penulis

berharap Tesis ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan hukum yang

memberikan referensi terkait topik penelitian yang dibahas.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 16 Juli 2021

Penulis

Angraeni Rusli

vii
ABSTRAK

ANGRAENI (B012191014) dengan Judul “ANALISIS SOSIO-YURIDIS


TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN PENGHINAAN CITRA
TUBUH BODY SHAMING MELALUI MEDIA SOSIAL”. (Dibimbing oleh
Wiwie Heryani dan Hijrah Adhyanti Mirzana). Penelitian ini bertujuan untuk
meganalisis dan memperoleh pemahaman tentang perlindungan hukum
korban penghinaan citra tubuh body shaming melalui media sosial.
Penghinaan citra tubuh body shaming masuk dalam kategori bentuk
penghinaan ringan selanjutnya perkara ini melalui media social diatur
dalam Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang kemudian diubah dalam Undang-undang No 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Body Shaming adalah
perilaku menghina bentuk fisik orang lain yang tidak sesuai dengan
standar ideal.Dapat memiliki efek psikologis yang dalam pada seseorang
yang merasa tidak aman atau tidak mampu menangani penolakan dan
kritik dari orang lain.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan ruang
lingkup dari permasalahan yang berkaitan dengan isu-isu, data/ informasi
fakta dan peristiwa-peristiwa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Implementasi
perlindungan hukum korban penghinaan citra tubuh body shaming.
Penghinaan citra tubuh body shaming masuk dalam kategori bentuk
penghinaan ringan yang diatur dalam Pasal 315 KUHP selanjutnya
perkara ini melalui media social diatur dalam Undang-undang No 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian
diubah dalam Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik payung hukum yang dianggap mampu melindungi
korban body shaming, nyatanya belum bisa menjadi pelindung bagi
korban penghinaan body shaming. (2) Penegakan hukum perlindungan
hukum korban penghinaan citra tubuh body shaming. Pihak kepolisian
lebih mengedepankan upaya Restorative Justice sehingga tidak
terpenuhinya perlindungan hukum terhadap korban yang merasa
mengalami penderitaan mental akibat dari perbuatan body shaming.
Kata kunci : perlindungan hukum, body shaming, media sosial

viii
ABSTRACT

ANGRAENI RUSLI (B012191014), with the title "SOCIO-JURIDIC


ANALYSIS OF LEGAL PROTECTION OF VICTIMS OF BODY SHAMING
THROUGH SOCIAL MEDIA". (Supervised by Wiwie Heryani and Hijrah
Adhyanti Mirzana). This study aims to analyze and gain an understanding
of the legal protection of victims of body image humiliation through social
media. Body image humiliation of body shaming is included in the category
of mild humiliation. Furthermore, this case through social media is
regulated in Law No.11 of 2008 concerning Electronic Information and
Transactions which was later amended in Law No. 19 of 2016 concerning
Amendments to Law No. Year 2008 concerning Electronic Information and
Transactions. Body Shaming is the behavior of insulting another person's
physical form that does not conform to ideal standards. It can have a
profound psychological effect on someone who feels insecure or is unable
to handle the rejection and criticism of others.
This study uses an empirical legal research method using a
statutory approach with a scope of problems relating to issues, data /
information facts and events.
The results of this study indicate that (1) The implementation of
legal protection for victims of body image humiliation is body shaming.
Body image humiliation of body shaming is included in the category of mild
humiliation as regulated in Article 315 of the Criminal Code furthermore
this case through social media is regulated in Law No.11 of 2008
concerning Electronic Information and Transactions which was later
amended in Law No. Regarding Law Number 11 of 2008 concerning
Electronic Information and Transactions, the legal umbrella that is
considered capable of protecting victims of body shaming, in fact it has not
been able to become a protector for victims of body shaming insults. (2)
Law enforcement for legal protection of victims of body image defamation
of body shaming. The police are prioritizing Restorative Justice efforts so
that legal protection is not fulfilled for victims who feel mental suffering as
a result of the act of body shaming.
Keywords: legal protection, body shaming, social media

ix
DAFTAR ISI

SAMPUL...................................................................................... i

HALAMAN JUDUL...................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................... iii

KATA PENGANTAR ................................................................... v

ABSTRAK ................................................................................... viii

ABSTRACT ................................................................................. ix

DAFTAR ISI................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................ 12

C. Tujuan Penelitian ............................................................. 12

D. Manfaat Penelitian ........................................................... 13

E. Orisinilitas Penelitian ......................................................... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................... 18

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana ......................... 18

B. Tinjauan Umum Tentang Penghinaan .............................. 44

C. Tinjauan Umum Tentang Citra Tubuh (Body Shaming)..... 59

D. Tinjauan Umum Tentang Media Sosial ............................. 65

E. Landasan Teori ................................................................ 70

x
F. Kerangka Pikir .................................................................. 77

Bagan Pikir ....................................................................... 79

G. Definisi Operasional ......................................................... 80

BAB III METODE PENELITIAN................................................... 83

A. Tipe Penelitian ................................................................. 83

B. Lokasi Penelitian .............................................................. 84

C. Populasi dan Sampel ....................................................... 84

D. Jenis dan Sumber Data..................................................... 85

E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 85

F. Analisis Data .................................................................... 86

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................... 87

A. Penegakan Hukum Korban Penghinaan Citra Tubuh Melalui Media

Sosial ............................................................................... 87

B. Implementasi Perlindungan Hukum Korban Penghinaan Citra

Tubuh Melalui Media Sosial .............................................. 105

BAB V PENUTUP........................................................................ 134

A. Kesimpulan........................................................................ 134

B. Saran ................................................................................. 135

DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 136

LAMPIRAN .................................................................................. 139

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi telah menghadirkan banyak kemudahan para

pengguna internet untuk mengakses transaksi informasi. Seiring

berjalannya waktu internet semakin meluas ke berbagai belahan

dunia tak hanya negara maju saja akan tetapi sudah merebak di

negara berkembang. Namun semakin berkembanganya teknologi

internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul,

misalnya provokasi, carding, hacking, malware, pencurian software

dan berbagai macam lainnya. Semakin deras arus kejahatan

melalui internet tidak di imbangi dengan kemampuan pemerintah

malalui perangkat hukumnya dalam menanggulangi cybercrime

yang terjadi di Indonesia.

Di Indonesia sendiri kejahatan cybercrime masih sangat

sering terjadi dikalangan masyarakat, menyebabkan kejahatan baru

di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi data,

spionase, sabotase, provokasi, money laundering, hacking,

pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai

macam lainnya. Bahkan laju kejahatan melalui jaringan internet

(cybercrime) tidak diikuti dengan kemampuan pemerintah untuk

mengimbanginya sehingga sulit untuk mengendalikannya.

Munculnya beberapa kasus cybercrime di Indonesia telah menjadi

1
ancaman stabilitas Kamtibmas dengan eskalatif yang cukup tinggi.

Pemerintah dengan perangkat hukumnya belum mampu

mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi

computer khususnya di jaringan internet dan internetwork.

Pada era digital saat ini menghadirkan kemudahan dalam

mengakses informasi dari berbagai media, baik melalui televisi,

hingga melalui perangkat canggih seperti smartphone. Hal ini

kemudian juga berdampak pada penyebaran nilai-nilai yang

dengan mudah dapat memengaruhi perspektif dan sikap

masyarakat terhadap sesuatu, termasuk standarisasi tubuh ideal,

baik bagi laki-laki maupun perempuan. Tubuh ideal, dalam hal ini

penampilan fisik telah menjadi salah satu nilai utama bagi setiap

individu, terutama bagi kaum perempuan. Bahkan sejak zaman

dahulu para perempuan diberbagai negara telah memiliki standar

kecantikannya masing-masing.1 Misalnya, tubuh ramping dengan

bahu sempit menjadi standar kecantikan tersendiri bagi para wanita

Mesir Kuno;tubuh seksi dengan bentuk tubuh yang tegap seperti

laki-laki dan kulit yang terang bagi wanita Yunani Kuno; tubuh

ramping, berkulit putih, bola mata besar dan kaki yang kecil bagi

wanita pada masa Dinasti Han; atau payudara yang besar, kulit

putih, bokong besar dan rambut ikal pada masa Italian

Jurnal Emik, Body Shaming, Citra Tubuh, Dampak dan Cara Mengatasinya
1

Volume 1 Nomor 1, Desember 2018

2
Renaissance2. Untuk memenuhi standar kecantikan tersebut, pada

perempuan pada masa itu bahkan rela memakai “ritual” agar

menjadi cantik dilingungan sosialnya. Dari masa ke masa istilah

tubuh masih sering dikaitkan dengan perempuan. Shilling

mengatakan bahwa citra tubuh (body image) merupakan sesuatu

yang bias gender sehingga ada ketimpangan di mana citra tubuh

ideal lebih ditekankan pada perempuan daripada laki-laki. Susan

Bordo mengamati berbagai karya seni, seperti puisi dan novel Barat

tentang perempuan dan kesemuanya membahas mengenai tubuh,

baik bentuk tubuh, bagian-bagian tubuh, gestur dan sebagainya.

Dalam tulisannya “Women as Body”, Bordo menjelaskan bahwa

dengan lekatnya istilah tubuh bagi perempuan, perempuan menjadi

terbiasa untuk memerhatikan tubuhnya lebih daripada laki-laki,

termasuk mengenai citra tubuh ideal yang harus dicapai, sekaligus

menjadi korban dari gambaran tubuh ideal yang seringkali tidak

realistis. Di Indonesia sendiri body shaming masih sangat sering

terjadi dikalangn masyarakat. Banyak yang menanggap hal ini

hanya bahan candaan atau untuk sekedar membangun komunikasi

dengan teman, sahabat, ataupun keluarga. Namun beda halnya

dengan korban yang merasa terhina dengan ungkapan tersebut.

Body shaming merupakan suatu kasus yang sudah cukup

lama terjadi di belahan dunia bagian barat. Body shaming ini juga

2
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2169617/ seperti-apa-standar-
kecantikan-wanita-dari-zamanke-zaman, diakses tanggal 22 September 2018.

3
menyebabkan individu yang mengalaminya menjadi lebih sensitif

terhadap penolakan yang terjadi ketika kita lebih memperhatikan

tubuhnya karna tidak sesuai dengan standar ideal masyarakat.

Awalnya, body shaming hanya menjadi tren untuk bahan

candaan saja, namun lama kelamaan menjadi serius hingga

menjatuhkan atau menjelek-jelekkan orang lain yang

mengakibatkan ketidaknyamanan dari orang yang menjadi objek

body shaming tersebut. Ditambah lagi pada era digital seperti saat

ini penggunaan kata-kata kerap sekali tidak terkontrol ketika

menggunakan media sosial tidak secara bijak. Bila body shaming

ini masih tetap berlanjut dalam jangka waktu yang lama maka akan

mempengaruhi harga diri seseorang, meningkatkan isolasi menarik

diri, menjadikan seseorang rentan terhadap stress dan depresi

serta rasa tidak percaya diri. Sementara instrumen hukum yang

diharapkan menjadi “pelindung” bagi korban perlakuan penghinaan

citra tubuh (body shaming) ini masih terdapat adanya

ketidakjelasan atau norma kabur yang dapat menimbulkan

multitafsir di dalam aturan-aturan terkait tindak pidana penghinaan

citra tubuh (body shaming) tersebut, sehingga bukan tidak mungkin

dengan semakin berkembangnya jaman dengan teknologi informasi

dan berbagai macam jejaring sosialnya akan mengakibatkan

perbuatan-perbuatan body shaming ini semakin meluas dan

4
semakin biasa.3 Peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang permasalahan body shaming ini diharapkan dapat

melindungi korbannya sehingga untuk kedepannya permasalahan

body shaming ini dapat dikurangi, dan juga diharapkan dapat

memberikan efek jera terhadap pelaku penghinaan body shaming

sehingga orang-orang dapat lebih berhati-hati untuk berkomentar

tentang seseorang.

Meskipun mengomentari (bahkan menghina) bentuk tubuh

orang lain seringkali dianggap hanya sebagai “candaan”, namun

temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut

dapat berdampak langsung pada mereka yang mengalaminya.

Korban body shaming, baik melalui ucapan yang dilakukan secara

lisan ataupun penghinaan tersebut dilakukan melalui media sosial

sekaligus tindakan yang dilakukan oleh seseorang dapat

mengganggu kenyamanan dan menimbulkan dampak yang buruk

bagi orang yang menjadi objek body shaming, yaitu semakin tidak

percaya diri (lack of self confidence) dan merasa tidak aman

(insecure feeling); dan berupaya untuk menjadi ideal (strive to be

ideal)

Pengaturan tindak pidana penghinaan citra tubuh (body

shaming) selain Pasal 315 KUHP yang dapat dijadikan payung

hukum bagi pemidanaan terhadap perbuatan penghinaan terhadap

Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi
3

Informasi, (Bandung; Refika Aditama, 2005), h.107.

5
citra tubuh (body shaming), terdapat pula aturan di luar KUHP yang

mengatur hal tersebut yang sudah digunakan dalam suatu putusan

11 pengadilan yaitu terdapat pada beberapa pasal pada Undang-

undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik yang kemudian diubah dalam Undang-undang No 19

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau

(selanjutnya disebut UU ITE).4.

komentar berbau bodyshaming dapat dijerat dengan pasal

penghinaan apabila korban merasa terhina dan melakukan aduan

serta pelaku memenuhi seluruh unsur pidana dan telah melalui

proses peradilan pidana. UU ITE No. 11 Tahun 2008 tentang

informasi dan transaksi elektronik resmi menjadi cyberlaw-nya

Indonesia yang mengatur tentang informasi serta transaksi

elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Sebelum adanya

UU ITE tersebut kasus criminal di dunia maya masih sulit ditindak.

Memang sudah ada KUHP, namun ternyata masih kurang memadai

sebab banyak detail di internet yang tidak tercantum di KUHP.

Terlebih lagi dunia maya itu sifatnya tidak mengenal batas negara.5

4
Dista Amalia Arifah, 2011, “Kasus Cyber Crime Di Indonesia”, Vol. 18, No.2,
Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Sultan Agung,
Semarang, h.4.
Sahrul Mauludi, Socrates Café: Bijak, Kritis & Inspiratif seputar Dunia &
5

Masyarakat Digital, (Jakarta: Elex Media Komputindo), 2018, hal. 130.

6
Pada tahun 2018 tercatat 966 laporan terkait ejekan atau

hinaan terhadap fisik tersebut.”Sudah diselesaikan 374 kasus,” ujar

Kadiv Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Jakarta

Brigjen Pol Dedi Prasetyo di kantornya, Jakarta, Rabu (28/11). Dia

menerangkan, dalam kasus body shaming polisi membagi menjadi

dua kategori. Yakni penghinaan dan pencemaran nama baik.6

Beberapa kasus yang menyita perhatian publik di akhir-akhir ini

terkait UU ITE ini. Pertama, kasus body shaming yang dialami

Maulina Pia Wulandari seorang Dosen Universitas Brawijaya.

“Belum juga memulai aktivitas di pagi hari, ponsel Maulina Pia

Wulandari sudah diributkan oleh masuknya banyak notifikasi pesan.

Karena penasaran, ia membuka salah satu pesan dari seorang

temannya.7 Temannya mengabarkan salah satu foto yang diunggah

Pia menjadi viral. Bukan cuma di media sosial, tapi beredar luas di

antara grup WhatsApp maupun aplikasi chat lainnya. Kabar ini

bukannya membuat ia senang, tapi justru membuat hati Pia seakan

tersayat, tapi sekaligusnya membuatnya naik pitam. Ada satu

fotonya di internet digunakan sebagai meme untuk bahan lelucon.

Sebetulnya tak ada yang aneh dengan foto itu. Pia berpose sambil

menggunakan kebaya berwarna merah. Kebiasaan Pia

mengunggah foto diri dengan kebaya atau baju lainnya juga bukan

6
https://fajar.co.id/2018/11/28/966-kasus-body-shaming-ditangani-polri-begini-
ledekan-yang-dilaporkan
7
https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20181230/Stop-Body-Shaming-atau-
Masuk-Penjara/

7
barang sekali dua kali. Apalagi sejak ia mendirikan clothing

line Curvilinea tiga tahun silam. Fotonya itu memang sengaja dibuat

untuk memamerkan desain baju buatannya. Baju khusus untuk

wanita dengan ukuran besar. Ternyata ada orang ‘iseng’

menggambil foto itu dan mengeditnya. Entah dari mana asal ilham

itu, dia menyunting foto Pia dengan mengubah bentuk tubuhnya

menjadi lebih kurus. Foto suntingan itu lantas disandingkan dengan

foto sebelum disunting, seolah menunjukan hasil sebelum dan

sesudah menjalani program penurunan berat badan. Tak sampai di

situ, orang itu juga menambahkan keterangan foto yang berisi

cibiran terhadap tubuh Pia sebelum disunting. Keterangan foto itu

dibuat seolah Pia sedang bercakap dengan sang penyunting foto.

"Bu.. ini photonya dah selesai..", "Oh udah ya.. berapa biayanya..?"

"Photonya 50 ribu, editannya 500 ribu, "Loh..!! Kok mahal editannya

mas..?" "Ya iya lah bu. coba ibu beli obat pelangsing sampe bisa

sekecil itu kira2 ibu habis biaya berapa.? Pasti jutaan kan?" "Iya

juga ya mas.. haddewww".

8
Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa

Timur, itu menuliskan protes lewat akun Facebooknya. Saat itu Pia belum

tahu orang macam apa yang tega melecehkannya. Tak menunggu lama,

lingkaran teman di Facebooknya berhasil menemukan pelaku. “Saya

sebagai pribadi insyaallah sudah memaafkan. Tapi proses hukum harus

ditegakkan. Kalau tidak ditegakkan, banyak perempuan plus size seperti

saya yang mungkin lebih buruk kasusnya, akan merasa tidak punya

harapan,” kata Pia, yang saat ini juga menjabat sebagai Staf Ahli Wakil

Rektor Bidang Perencanaan dan Kerja Sama Universitas Brawijaya.

Melalui kasus ini, Pia ingin memberikan pelajaran agar tidak sembarangan

mencemooh orang. Apalagi urusan bentuk tubuh seseorang. “Saya

sebagai akademisi ingin memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa

kita tidak bisa menggunakan foto orang lain untuk bahan ejekan. Saya

ingin ada efek jera di mana kalau kamu melakukan body shaming, ada hal

yang harus kamu bayar, yaitu dipenjara.” “Bayangin, foto saya itu beredar

tidak hanya di Indonesia, tapi juga ke luar negeri. Sampai ke Amerika

sana lewat WhatsApp group orang Indonesia yang ada di sana, dibagikan

dan jadi bahan olok-olokan. Teman saya yang tinggal di luar negeri jadi

kaget, kok saya jadi bahan olok-olokan,” kata lulusan program pendidikan

doktor di University of Newcastle, Australia, ini.

9
Menurut pakar kecantikan Herwinda Brahmanti saat berbincang

dengan detik.com Jumat (3/8/2018).8 Pelaku melakukan tindakan yang tak

hanya ceroboh tetapi juga berdampak fatal, meskipun kemudian

menyatakan bahwa itu hanya sekedar bercanda. "Apalagi kita paham

betul efek media sosial begitu dahsyatnya. Walaupun banyak orang yang

merasa iba dan kasihan kepada korban, tapi efek bullying seperti ini,

apalagi di medsos, akan berdampak besar bagi psikis korban," ujar

Herwinda.

Kedua, Curhatan korban body shaming yang dipublikasiskan

pada pertengahan tahun 2020 melalui kanal “line today” dan berita

tersebut sempat menjadi perbincangan publik. “Media sosial tengah

diramaikan dengan kasus komentar jahat atau hinaan fisik (body

shaming) yang dialami oleh seorang warganet. Kejadian ini diungkap

oleh seorang sender (merupakan salah satu kata sapaan yang sering

dijumpai di Twitter) dari @AREAJULID, ia mengunggah sebuah

percakapan pesan instagram perempuan dengan salah satu temannya.

Dalam percakapan itu Nampak temannya melontarkan beberapa

komentar jahat mengenai kondisi fisik dari perempuan itu. “Badan lo

gede banget,” hingga” Diet lu, badan lu gendut banget.” Sender

tersebut merasa kesal dengan komentar jahat mengenai bentuk tubuh

itu, ia menilai pernyataan tersebut terlalu berlebihan. Body shaming

8
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4148036/kasus-foto-dosen-unibraw-
diedit-langsing-pakar-ini-tindak-pidana

10
masuk dalam kategori bullying secara verbal. Bullying jenis ini dapat

membahayakan jiwa korban karena memicu trauma serta rasa tidak

percaya diri.

Menurut penulis sendiri kasus seperti ini acap kali diabaikan

oleh masyarakat perilaku body shaming umumnya dinilai sebagai hal

biasa dan wajar. Tetapi para pelaku body shaming tidak sadar akan

dampak yang akan terjadi pada korban yang mendapat perlakuan

tersebut. Kedua kasus diatas menginformasikan bahwa payung hukum

yang dianggap mampu melindungi korban body shaming, nyatanya

belum bisa menjadi pelindung bagi korban penghinaan body shaming.

Maraknya kasus body shaming juga berdampak negatif bagi korban

yang merasa dirugikan. Berikut dampak yang ditimbulkan, ada yang

depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan seperti anoreksia,

bulimia seperti memuntahkan makanan akibat dari perlakuan tersebut.

Bahkan dampak yang lebih parah bisa menyebabkan korban bunuh

diri. Seperti yang terjadi di Thailand. Seorang remaja berusia 17 tahun

nekad bunuh diri di sekolah karena selalu dipanggil “gendut” oleh teman-

temannya.9

Dalam mengantisipasi upaya perbuatan yang berulang ini menjadi

sangat penting untuk melakukan suatu perlindungan hukum khususnya

kepada aparat penegak hukum yang memilki wewenang pemenuhan hak-

9
https://cewekbanget.grid.id/read/06917607/enggak-tahan-dipanggil-gendut-
remaja-ini-bunuh-diri-di-sekolah?page=all

11
hak korban, yaitu bagaimana memformulasikan suatu perbuatan yang

dianggap sebagai tindak pidana body shaming, syarat apa saja yang

harus dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan

seseorang melakukan perbuatan body shaming dan sanksi/pidana apa

yang sepatutnya dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan hukum

oleh aparat penegak hukum.

Dari berbagai uraian diatas maka penulis berkeinginan untuk

meneliti lebih dalam tentang hal tersebut dan penulis sajikan dalam bentuk

uraian ilmiah (tesis) dengan judul ANALISIS SOSIO-YURIDIS TERHADAP

TINDAK PIDANA TERHADAP CITRA TUBUH (BODY SHAMING) MELALUI

MEDIA SOSIAL.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah kendala penegakan hukum terhadap korban

penghinaan citra tubuh (body shaming) ?

2. Bagaimanakah implementasi perlindungan hukum terhadap

korban tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming) ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian tesis ini,

berdasarkan rumusan masalah di atas adalah untuk :

1. Menganalisis kendala penegakan hukum terhadap korban

penghinaan citra tubuh body shaming.

12
2. Menganalisis implementasi perlindungan hukum terhadap korban

tindak pidana body shaming.

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan dapat

memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi

pengembangan ilmu pengetahuan. Manfaat penelitian ini dapat

diuraikansebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan dibidang ilmu hukum, khususnya di bidang hukum

pidana yang berkaitan dengan tindak pidana penghinaan (body

shaming) melalui media sosial.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat baik kepada pembaca, maupun keada penulis sendiri.

Adapun manfaat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :

a. Manfaat bagi pembaca.

Diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pemikiran

dan pengetahuan kepada semua pihak khususnya tentang

tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming) melalui

media sosial dalam KUHP Pasal 315 tentang penghinaan

ringan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah

13
diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Manfaat bagi penulis sendiri.

Diharapkan disamping memenuhi salah satu syarat

penyelesaian studi Magister Ilmu Hukum Universitas

Hasanuddin, juga untuk menambah pengetahuan serta

wawasan dibidang Ilmu Hukum Pidana.

E. Orisinalitas Penelitian

Orisinalitas penelitian menyajikan perbedaan dan persamaan

bidang kajian yang diteliti antara peneliti dengan peneliti-peneliti

sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk untuk menghindari adanya

pengulangan kajian terhadap hal-hal yang sama. Dengan demikian

akan diketahui sisi-sisi apa saja yang membedakan dan akan

diketahui pula letak persamaan antara penelitian peneliti dengan

penelitian-penelitian terdahulu yang penulis paparkan sebagai

berikut :

1. Jurnal Hukum, Volume 9, Nomor 1, Desember 2019, Tinjauan

Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penghinaan Citra Tubuh

(Body Shaming) Menurut Hukum Pidana Indonesia Oleh Ni

Gusti Agung Ayu Putu Rismajayanti dan I Made Dedy

Priyatno Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas

14
Hukum Universitas Udayana. Dalam penulisan ini mengkaji

dari segi pengaturan tindak pidana penghinaan citra tubuh

(body shaming) ditinjau dari KUHP? Dan pengaturan tindak

pidana citra tubuh (body shaming) ditinjau dari Peraturan

Perundang-undangan di luar KUHP? sebagai upaya untuk

menjamin hak-hak para korban akibat penghinaan citra tubuh

(body shaming) perlu adanya aturan hukum yang

jelas. Mengingat aturan hukum mengenai body shaming di

dalam KUHP dan di luar KUHP terdapat ketidak jelasan

dalam pengaturannya yang tidak menyebutkan secara

langsung tentang body shaming, maka perlu adanya

pengkajian atas aturan yang mengatur tentang body

shaming sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam

menggunakannya. Permasalahan hukum dalam penelitian ini

adalah pengaturan tindak pidana dalam penghinaan citra

tubuh (body shaming) yang ditinjau dari KUHP dan

Peraturan perundang-undangan di Luar KUHP. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode

penelitian yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian,

pengaturan tindak pidana citra tubuh (body shaming) sampai

saat ini dapat dirujuk dengan Pasal 315 KUHP, jika dilihat

dari ciri-ciri body shaming yang telah memenuhi unsur-unsur

obyektif maupun subyektif dari pasal tersebut, sehingga body

15
shaming dapat dikatakan tindak pidana penghinaan ringan

terhadap citra tubuh. Pengaturan tindak pidana penghinaan

citra tubuh di luar KUHP dapat dirujuk menggunakan Pasal

27 ayat (3) UU ITE apabila tindak pidana tersebut dilakukan

melalui media sosial.

2. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 26, Nomor 8, Tahun 2020,

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penghinaan Citra

Tubuh (Body Shaming) Dalam Hukum Pidana di Indonesia.

Oleh Ayunah Nafsul Mutmainnah Fakultas Hukum Universitas

Islam Malang. Banyaknya bentuk-bentuk kejahatan yang

dapat dilakukan pelaku penghinaan citra tubuh. Banyak yang

mengganggap remeh tentang hal tersebut.Berdasarkan latar

belakang tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan

masalah sebagai berikut: 1.Perbuatan yang bagaimana saja

yang dikualifikasikan penghinaan citra tubuh (body shaming)?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku

melakukan perbuatan penghinaan citra tubuh (body

shaming)?3. Bagaimana pengaturan dan upaya mengenai

perbuatan penghinaan citra tubuh (body shaming) di

Indonesia ? Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis

normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-

undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus.

Pengumpulan bahan hukum melalui metode studi literatur,

16
denganbahan hukum primer maupun sekunder. Bahan

hukum dikaji dan dianalisis dengan pendekatan yang

digunakan dalam penelitian untuk menjawab isu hukum

dalam penelitian ini.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa

perbuatan mengejek/menghina citra tubuh seseorang. Faktor

yang mempengaruhi yaitu secara kriminologi dan psikolog.

Upaya yang dilakukan dapat melapor kepada polisi.Karena

polisi tidakakan mengadli tanpa ada korban yang mengadu.

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana

1. Definisi Hukum Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana belanda yaitu strafrecht.walaupun istilnah ini terdapat

dalam, Wetboek Van Strafrecht (Selanjutnya disingkat WvS) Belanda,

dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada

penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafrecht itu.

Oleh karena itu , para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti da

nisi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman

pendapat.

Dalam bahasa belanda Strafrecht terdapat dua unsur

pembentuk kata, yaitu strafbaarfeit. Perkataan feit dalam bahasa

belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang strafbaar berarti

dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaarfeit

berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.

Pengertian dari perkataan strafbaarfeit menurut para ahli :

a. Simons

Dalam rumusannya strafbaarfeit itu adalah:10 “Tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun

10
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1), (Jakarta: Rajawali
Pers,2011), hal.67

18
tidak dengan sengajaoleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

b. E.Utrecht

Utercht menerjemahkan strafbaarfeit dengan istilah

peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa

itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu

melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang

ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa

pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu

peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh

hukum.11

c. Pompe

Menurut Pompe perkataan strafbaarfeit secara teoritis

dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau

gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak

sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,dimana pejatuhan

hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.

d. Moeljatno

a. “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi

Utrecht, Ernst. Hukum pidana. Vol. 2. Penerbitan Universitas, 1962.


11

19
barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga

dikatakan bahwa perbutan pidana adalah perbuatan yang

dialarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu

diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian

atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang

ancaman pidanya ditujukan pada orang yang menimbulkan

kejahatan)”.

Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

(1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam undang

(syarat formil), (3)bersifat melawan hukum (syarat materil). Syarat

formil harus ada, karena asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1)

KUHP.

2. Unsur-Unsur Tindak pidana

a. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya

dari dua sudut pandang, yakni : (a) dari sudut teoritis; dan (2) dari

sudut undang-undang12.teoritis berdasarkan para ahli hukum, yang

tercermin dalam rumusannya. Sementara itu, sudut undang-

undang adalah sebagaimana kenyataan tindak pidana dirumuskan

menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan

perudang-undangan yang ada.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Pers,


12

2011), hal. 79

20
a) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teori

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah :

1. Perbuatan

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3. Ancaman pidana (bagi pelanggar larangan).

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang oleh

aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbatan

pidana, maka pokok-pokok pengertian ada pada

perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.

Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan

bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya

benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana

merupakan pengertian umum, yang artinya pada

umumnya dijatuhi pidana. Apakah in concreto orang yang

melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak

merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan

pidana.

Dari rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari

unsur-unsur,yakni;

a. Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan;

c. Diadakan tindakan penghukuman.

21
Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan

penghukuman terdapat pengertian bahwa seolah-olah

setiap tindakan yang dilarang itu selalu diikuti dengan

tindakan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan

Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti

perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian

dijatuhi pidana.Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap

perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang

selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu

tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang

melekat pada orangnya dapat dijatukannya pidana.

Sementara itu, Schravendjik dalam batasan yang

dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

c. Diancam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);

e. Dipersalahkan/kesalahan.

Walaupun rincian dari rumusan-rumusan itu tampak

berbeda-beda namun pada hakikatnya ada persaaannya ,

yaitu: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai

22
perbuatannya dengan unsur yang menegenai diri

orangnya.

b) Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam Undang-Undang

Buku II KUHP memuat sejumlah rumusan perihal

tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok

kejahatan, dan buku III KUHP memuat

pelanggaran.Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan

dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah

laku/perbuatan walaupun ada penegecualian seperti pasal

351 KUHP (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan

hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga

tidak dicantumkan; sama sekali tidak dicantumkan unsur

kemampuan bertanggungjawab. Disamping itu, banyak

mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai

objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk

rumusan tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam

KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur pidana, yaitu:

1. Unsur tingkah laku;

2. Unsur melawan hukum;

3. Unsur kesalahan;

4. Unsur akiat konstitutif;

5. nsur keadaan yang menyertai;

23
6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut

pidana;

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

9. Unsur objek hukum tindak pidana;

10. Unsur kausalitas subjek hukum tindak pidana;

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan

pidana.

Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni

kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur

subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur objektif.

Unsur yang bersifat obejektif adalah semua unsur yang

berada di luar keadaan batin manusia/si pembuat, yakni

semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan

dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada

perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara itu, unsur

yang bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai

batin atau melekat pada keadaan batin orangnya13.

Adapun menurut Teguh Prasetyo unsur-unsur tindak

pidana14 yaitu:

Ibid, hal. 83
13

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 50


14

24
a. Unsur subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat diri si pelaku, atau yang

dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk didalamnya

segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur ini

terdiri dari:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa).

2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan pada

Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3. Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan

pencurian, penipuan, pemalsuan, pemerasan dan lain-

lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu,seperti yang terdapat

dalam kejahatan menrut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

b. Unsur Objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang

ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-

keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus

dilakukanterdiri dari:

1. Sifat melanggar hukum.

25
2. Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri

sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415

KUHP.

3. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai

penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.

1. Pelaku Tindak Pidana(Dader)

Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah

barangsiapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak

pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam

undang-undang menurut KUHP. Seperti yang terdapat dalam

Pasal 55 (1) KUHP yang berbunyi:

“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan,

yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan

perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan

sesuatu denggan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,

denga kekerasan, ancaman atau penysatan, atau dengan

memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja

menganjurkan orang lain melakukan perbuatan.”

Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 (1) KUHP di atas,

bahwa pelaku tindak pidana itu dapat dibagi dalam 4 (empat)

golongan15 yaitu:

1. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (pleger)

Adami Chajawi, Percobaan & Penyertaan (Pelajaran Hukum Pidana),(Rajawali


15

Pers:Jakarta, 2002). hal

26
Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan

pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menetukan

seseoarang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat

pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah dengan

2 kriteria yaitu perbutannya adalah perbuatan yang

menentukan terwujudnya tindak pidana dan perbutannya

tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.

2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan

tindak pidana (doen pleger)

Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa

yang dimaksud dengan menyuruh melakukan itu. Untuk

mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan

sebagai orang yang melakukan (doen pleger), pada

umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang

ada dalam Memorie van Toelichting (selanjutnya disingkat

MvT) WvS Belanda, yang berbunyi:

“yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan

tindak pidana, tapi tidak secara pribadi melainkan perantara

orang lain sebagai alat di dalam tangannya apabila orang

lain itu melakukan perbuatan tanpa kesengajaan, kealpaan

atau tanpa tanggungjawab, karena sesuatu hal yang tidak

diketahui,disesatkan atau tunduk pada kekerasan.”

a. Orang lain sebagai alat di dalam tangannya

27
Yang dimaksud orang lain sebagai alat di dalam

tangannya adalah apabila orang/pelaku tersebut

memperalat orang lain untuk melakukan tindak pidana.

Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis

pembuat penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif.

Dalam doktrin hukum pidana orang diperalat disebut juga

sebagai manus ministra sedangkan orang yang

memperalat disebut juga sebagai manus dimitra juga

disebut sebagai middeliijke dader (pembuat tidak

langsung).

Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana

yang dilakukan dengan cara memperlalat orang lain:

1. Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung

oleh pembuat penyuruh, tetapi oleh perbuatan orang

lain (manus ministra);

2. Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas

perbuatannya yang pada kenyataannya telah

melahirkan tindak pidana;

3. Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang

dipidana adalah perbuatan penyuruh.

b. Tanpa kesengajaan atau kealpaan

Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau

tanpa kealpaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh

28
orang yang disuruh (manus ministra) tidak dilandasi oleh

kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana bukan

karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif

perbuatan dating dari pembuat penyuruh, demikian juga

niat untuk mewujudkan tindak pidana itu hanya berada

pada pembuat penyuruh (doen pleger)

c. Karena tersesatkan

Yang dimaksudkan dengan tersesatkan disini adalah

kekeliruan atau kesalahpahaman akan suatu unsur tindak

pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain

dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas

kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk

perbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu timbul

kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan

pembuat penyuruh sendiri.

d. Karena kekerasan

Yang dimaksudkan dengan kekerasan (geweld) di sini

adalah perbuatan yang dengan menggunakan kekerasan

fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang,

mengakibatkan orang itu tidak berdaya.

Dari apa yang telah diterangkan di atas maka jelaslah

bahwa orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana.

29
Kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya orang yang

disuruh disebabkan karena :

1. Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan ataupun

kemampuan bertanggungjawab;

2. Berdasarkan Pasal 44 KUHP (1)kurang sempurna

akalnya (2) sakit berubah akalnya);

3. Daya paksa Pasal 48 KUHP;

4. Berdasarkan Pasal 51 ayat 2 KUHP; dan

5. Orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang

disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP.

3. Orang yang melakukan tindak pidana (medepleger)

Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak

memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan

turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut

doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana

harus memenuhi dua syarat yaitu harus adanya kerjasama

secara fisik dan harus ada kesadaran bahwa mereka satu

sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana.

Yang dimaksud dengan turut serta melakukan

(medepleger), oleh MvT dijelaskan bahwa yang turut serta

melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet)

dalam melakukan suatu tindak pidana penelasan MvT ini,

merupakan penjelasan yang singkat yang masih

30
membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Dari berbagai

pandangan para ahli tentang bagaiamana kategori untuk

menentukan pembuat peserta (medepleger), maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang

sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang

tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana

dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat

pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut.

Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi

seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memilki

andil terhadap terwujudnya tindak pidana tersebut, serta di

dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama

dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana.

4. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan

orang lain untuk melakukan tindak pidana (uitlokken)

Adapun syarat-syarat uitlokken yaitu:

a. harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak

untuk melakukan tindak pidana;

b. harus ada orang lain digerakkan untuk melakukan tindak

pidana;

c. cara menggerakkan harus menggunakan salah satu

daya upaya yang tersebut didalam Pasal 55 (1) sub 2e

(pemberian, perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya);

31
d. orang yang digerakan harus benar-benar melakukan

tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang

menggerakan.

Ditinjau dari sudut pertanggungjawabannya maka Pasal 55

ayat (1) KUHP tersebut di atas kesemua adalah sebagai

penaggung jawab penuh, yang artinya mereka semua diancam

dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang

dilakukan.

1. Alat Bukti dan Barang Bukti

Dalam siding pengadilan pidana terdapat tiga pihak, yakni

majelis hakim panitera pengganti, jaksa penuntut umum terdakwa

(dapat) didampingi oleh penasihat hukum. Seluruh rangkaian

kegiatan dalam persidangan yang dilakukan dan diikuti oleh tiga

pihak tersebut dapat juga disebut dengan kegiatan atau proses

pembuktian di siding pengadilan. Bagi majelis hakim sebagai

pimpinan sidang dan pemutus perkara, hasil pembuktian akan

berakhir pada titik kesimpulan16 sebagai berikut :

a. Terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan jaksa

penuntut umum.

b. Apabila terbukti, seberapa berat kadar kesalahan terdakwa

sehingga dapat ditetapkan sejauh mana beban

pertanggungjawaban pidana terdakwa yang menimbulkan

Adami Chazawi, Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana, (Malang:


16

MNC Publishing, 2011), hal.200

32
peristiwa yang mengandung muatan tindak pidana yang

didakwakan tersebut.

c. Apabila tidak terbukti, maka diikuti oleh amar pembebasan

terdakwa.

Seseorang hanya dapat dikatakan “melanggar hukum” oleh

pengadilan dan dalam hal melanggar hukum pidana oleh pidana

oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

Sebelum seseorang diadili oleh pengadilan, orang tersebut berhak

dianggap tidak bersalah. Hal ini dikenal dengan asas “praduga tak

bersalah” (presumption of innocence).

Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum” pengadilan

harus dapat menentukan “kebenaran” akan hal tersebut, dan untuk

menetukan kebenaran diperlukan bukti-bukti.17

A. Alat Bukti yang Sah

Hal ini diatur oleh Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disingkat KUHAP) yang

berbunyi sebagai berikut: “alat bukti yang sah ialah” :

1. Keterangan Saksi;

2. Keterangan Ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan Terdakwa.

Leden Merpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan


17

Penyidikan), (Jakarta: Sinar Grafika,2011), hal. 22

33
1. Keterangan Saksi

Pengertian umum dari saksi dicantumkan di dalam Pasal 1

butir 26 KUHAP yang berbunyi : “Saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutandan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan saksi

adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar

sendiri, ia melihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut

alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 138 butir 27 KUHP).

Dengan demikian pendapat atau rekaan diperoleh dari hasil

pemeriksaan saja, bukanlah keterangan saksi. Keterangan saksi

baru dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila si saksi yang

memberikan keterangan itu mendengar sendiri, mengalami sendiri,

dan melihat sendiri18. Pada umumnya semua orang dapat menjadi

saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah harus

dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana

dicantumkan Pasal 184 ayat (1) a KUHAP. Hal ini tercantum dalam

pasal 185 ayat (7) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

“keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai

dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila

Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung:


18

Nuansa Aulia, 2013), hal.129

34
keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah,

dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain”.

Dengan demikian dapat dipahami hal yang diatur oleh Pasal 171

KUHAP yang berbunyi : “Yang boleh diperiksa untuk memberikan

keterangan tanpa sumpah ialah :

a. anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah

kawin;

b. orang sakit ingatan dan sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatannya baik kembali;

Dan demikian juga, orang-orang yang tercantum

dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi : “kecuali

ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak

dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan

diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas

atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa bersama-

sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa, saudara, saudara ibu atau saudara bapak, juga

mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan

anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau

secara bersama-sama sebagai terdakwa.

35
Mereka tercantum dalam Pasal 168 KUHAP, boleh dilanggar

sebagai saksi sebagaimana diatur oleh Pasal 169 KUHAP yang

berbunyi:

“(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168

menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara

tegasmenyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.

(2) Tanpa persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal (1), maka

diperbolehkan memberi keterangan tanpa sumpah”.

Selain dari orang yang belum dewasa, orang sakit ingatan

atau sakit jiwa atau karena hubungan kekeluargaan, masih ada

yang diizinkan dapat dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi,

yakni orang-orang yang dicantumkan Pasal 170 KUHAP, sebagai

berikut :

“(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau

jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta

dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai

saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk

permintaan tersebut”.

Selanjutnya, akan diteliti mengenai keterangan saksi. Secara

tidak langsung tercantum dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP yakni

“orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi

korban peristiwa yang merupakan tindak pidana”. Perlu

36
diperhatikan mengenai keterangan saksi de auditu, yaitu

keterangan yang didengar dari orang lain. Namun, ketrangan

tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat bukti sah “keterangan

saksi”. Dalam istilah sehari-hari juga dikenal saksi a charge, yakni

saksi yang memberatkan terdakwa sedang saksi

meringankan/menguntungkan terdakwa disebut saksi a de charge

(Pasal 160 ayat (1) c)19.

Mengenai penyumpahan saksi, KUHAP mengatur sebagai berikut :

1) Pada tahap “penyidikan”, saksi diperiksa tidak disumpah kecuali

apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan

dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan (Pasal 116 ayat

(1) KUHAP).

2) Sumpah promisories, yakni sumpah yang dilakukan sebelum

memberikan keterangan/kesaksian (Pasal 160 ayat (3) KUHAP).

3) Sumpah assertoris, yakni sumpah yang dilakukan setelah

memberikan keterangan/kesaksian (Pasal 160 ayat (4) KUHAP).

2. Keterangan Ahli

Sebagai alat bukti yang diatur diatur dalam KUHAP adalah

keterangan ahli. Yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah

keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian

khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guan kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28

Leden Merpaung, Loc.cit, hal.33


19

37
KUHAP). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas seorang ahli

ialah membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan. Keterangan ahli yang dimaksud dapat dikemukakan

di kepolisisan atau pada saat pemeriksaan di pengadilan. Oleh

karena di dalam KUHAP, tidak diatur secara tegas mengenai

kriteria seorang ahali, hanya menyebutkan “memiliki keahlian

khusus" perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Ketrangan

ahli yang dimaksud dapat dikemukakan dikepolisian atau pada

saat pemeriksaan di pengadilan. Oleh karena di dalam KUHAP,

tidak diatur secara tegas menegnai hkriteria seorang ahli, hanya

menyebutkan “memiliki keahlian khusus”20. Oleh karena itu, dalam

praktik sebelum seorang ahli dimintai keterangan terlebih dahulu

dimintai Curriculum Vitae-nya sebagai gambaran apakah orang

tersebut pantas dimintai keterangan atau tidak.

3. Surat

Surat adalah alat bukti yang ditempatkan dalam urutan

ketiga di dalam Pasal 184 KUHAP. Di dalam Pasal 187 KUHAP

dirumuskan: “Surat sebagaimana tersebut Pasal 184 ayat (1) huruf

c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah

adalah :

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang

Djisman Samosir, Loc.cit, hal.134


20

38
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan

alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

2) Surat yang dibuat memuat ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat leh pejabat mengenai hal yang

termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya

dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu keadaan;

3) Surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya

dengan isi dari alat pembuktian lain.”

Surat-surat yang ditetapkan dalam Pasal 187 KUHAP

tersebut agar dapat dijadikan sebagai alat bukti haruslah

merupakan suatu surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah21.

4. Petunjuk

Di dalam KUHAP, masalah petunjuk ini dianggap sebagai

suatu alat bukti sah. Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk

adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun

Ibid, hal.141
21

39
dengan tindak pidana dan siapa pelakunya, Selanjutnya dalam ayat

(2) disebutkan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari :

a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa

Penilaian atas kekuatan pembukti9an dari suatu petunjuk

dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif

lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh

kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya 22.

5. Keterangan terdakwa

Alat bukti yang berakhir dalam susunan alat bukti yang diatur

di dalam KUHAP adalah keterangan terdakwa, Pasal 189 KUHAP

menyebutkan :

“Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di


sidang tentang perbuatan yang dilakukannnya atau yang
diketahuinya sendiri atau dialaminya sendiri”
Dengan demikian keterangan terdakwa itu sebagai alat bukti

harus dinyatakan di sidang, sedangkan keterangan terdakwa yang

diberikan di luar sidanga dapat digunakan untuk membantu

menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh

suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan

kepadanya. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang

Ibid, hal.143
22

40
didakwakan kepadanya , melainkan harus dinilai dengan alat bukti

yang sah.

Sebenarnya penempatan keterangan terdakwa itu sebagai

alat bukti yang sah kurang tepat sebab bagi terdakwa bisa saja

memberikan keterangan yang senantiasa menguntungkan

pribadinya, dan juga kalaun dihubungkan dengan Pasal 175 KUHAP

yang memungkinkan terdakwa untuk tidak menjawab pertanyaan

yang diajukan kepadanya, jelaslah bahwa untuk mendapatkan atau

untuk menjadikan keterangan terdakwa sebgai alat bukti yang sudah

barang tentu tidak mungkin, oleh karena terdakwa mempunyai hak

bungkam23.

B. Barang Bukti

Dengan mengikuti rumusan Pasal 29 KUHAP, barang bukti

dapat didefinisikan sebagai benda-benda yang berwujud berupa

benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau

digunkan untuk mempersiapkan tindak pidana, atau yang dipakai

menghalang-halangi penyidikan, atau yang dibuat khusus atau

diperuntukkan melakukan tindak pidana, benda-benda lainnya yang

mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana, dan atau

benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari

tindak pidana24. Benda-benda seperti itulah yang dapat disita, dan

Ibid, hal.144
23

Adami Chazawi, Loc.cit, hal. 208


24

41
Pasal 39 ayat (1) KUHAP, dapat diketahui tantang macam barang

bukti sebagai berikut :

1. Benda berwujud, yang berupa :

a. Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana

(instrumenta delicta) atau untuk mempersiapkannya;

b. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan;

c. Benda yang dibuat khusus atau diperuntukkan melakukan

tindak pidana (instrument delicti);

d. Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan

langsung dan tidak langsung dengan dilakukannnya

tindak pidana (corpora delicta). Misalnya, uang palsu hasil

kejahatan pemalsuan uang.

2. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga bersal dari

tindak pidana.

Dalam Pasal 41 KUHAP disebut benda tertentu dalam

hal tertangkap tangan, dalam hal ini penyidik berwenang

menyita paket atau surat benda yang pengangkutannya atau

pengirimnya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi,

sepanjang benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau

berrasal darinya.

Dalam rangkaian kegiatan penyidikan, barang bukti dapat

diperoleh dari kegiatan berikut :

a. Penggeledahan rumah, badan, dan pakaian.

42
1. Penggeledahan dilakukan untuk mencari dan

mendapatkan barang bukti tertentu yang terlebih dahulu

telah disiapkan surat perintah penyitaan dan surat izin

dari Ketua Pengadilan Negeri.

2. Apabial surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri

belum disapkan dan dalam penggeledahan rumah

ditemukan barang penting yang berhubungan dengan

tindak pidana yang dilakukan serta dianggap mendesak,

maka tidak perlu mendapatkan izin terlebih dahulu dari

Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penyitaan barang

bukti tersebut dapat dilakukan. Namun, wajib segera

melaporkan tentang penyitaan itu kepada Ketua

Pengadilan Negeri setempat (Pasal 38 ayat 2).

3. Apabila dalam penggeledahan pakaian ketika hendak

melakukan penangkapan ditemukan barang yangdapat

disita, maka dapat disita (Pasal).

b. Penyitaan yang dilakukan oleh penyidik, penyitaan hanya

dapat dilakukan jika sebelumnya telah mendapatkan surat

izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat kecuali

bila dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak (Pasal

28) atau dalam hal tertangkap tangan (Pasal 40).

43
B. Tinjauan Umum Tentang Penghinaan

Penghinaan atau dalam bahasa asing disebut defamation, secara

harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan

kehormatan seseorang. Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 315 KUHP,

penghinaan memiliki pengertian yaitu “menyerang kehormatan dan nama

baik seseorang”. Yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan

yang diserang disini hanya mengenai kehormatan yang dapat

dicemarkan.Mengenai perbuatan yang menyinggung kehormatan dalam

lapangan seksuil tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan

tetapi masuk kejahatan kesopanan atau kejahatan kesusilaan.25 Menurut

Leden Marpaung, dipandang dari sisi sasaran atau objek delicti, yang

merupakan maksud atau tujuan dari pasal tersebut yakni melindungi

kehormatan, maka tindak pidana kehormatan lebih tepat.

Pembuat undang-undang sejak semula bermaksud melindungi :

1. Kehormatan, yang dalam bahasa belanda disebut eer.

2. Nama baik, yang dalam bahasa belanda disebut geode naam.

a. Akan tetapi, jika dipandang dari sisi feit atau perbuatan, maka

tindak pidana penghinaan tidak keliru.26

Dalam sejarah hukum Indonesia, konsep mengenai penghinaan

pernah dirumuskan oleh Mahkamah Agung sebagai akibat dari penafsiran

R. Soesilo, Op.Cit., hal.225.


25

Leden Marpaung, Op. Cit., hal. 7.


26

44
terhadap haatzai artikelen27 yang delik pokoknya terdapat pada Pasal

154-Pasal 156 KUHP dan verpreidings delict yang delik pokoknya

terdapat pada Pasal 155-Pasal 157 KUHP. Dalam perumusan tersebut,

penghinaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan mengeluarkan

pernyataan perasaan permusuhan, benci atau meremehkan

(merendahkan), yang ditujukan terhadap pemerintah ataupun terhadap

golongan rakyat dalam pasal-pasal haatzai. Apabila dilihat secara tekstual

pasal-pasal tersebut memidanakan mereka yang di muka umum

mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau meremehkan

(merendahkan), hal ini bukanlah konsep penghinaan seperti halnya yang

pernah diterjemahkan dari kata-kata minachting terhadap Pemerintah

(Pasal 154 KUHP) atau golongan rakyat tertentu (Pasal 156 KUHP).

Dengan demikian, karena adanya interpretasi itu oleh Mahkamah Agung,

maka pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan (yang dimana

berasal dari kata vijandschap, haat of minachting) dapat diartikan sebagai

pernyataan perasaan yang berbentuk penghinaan (in beledigende

vorm).28

Oemar Seno Adji mendefinisikan pencemaran nama baik sebagai:

Haatzai artikelen merupakan sebutan populer untuk sekumpulan delik pidana


27

yang mengancam mereka "yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian,


ataupun penghinaan terhadap penguasa Negara” ( lihat
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1994/10/19/0006.html).
Martinus Evan Aldyputra, Pengaturan Penyebaran Informasi yang
28

Memiliki Muatan Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik dalam Undang-


Undang No.11 Tahun 2008 (Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 27 Ayat (3)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
LN. No. 58 Tahun 2008, TLN No.4843 ), Tesis Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 58

45
“menyerang kehormatan atau nama baik (aanranding of geode
naam)”. Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah
pencemaran nama baik secara tertulis dan dilakukan dengan
menuduhkan sesuatu hal.”
Dari kata “atau” diantara kata “nama baik” dan “kehormatan”, bisa

kita simpulkan bahwa keduanya yaitu “nama baik” dan “kehormatan”

adalah dua hal yang berbeda dan bisa dibedakan, sekalipun seringkali

terkait erat satu sama lain. Dalam konsep penghinaan seringkali dikaitkan

dengan kehormatan dari seseorang. Jika ditinjau dari segi istilah

pengertian dari kehormatan dapat didasarkan atas beberapa pendapat,

yaitu :

a. De subjectieve opvatting

Yang dimaksud dengan pendapat ini adalah bahwa pengertian

kehormatan dapat disamakan dengan “rasa kehormatan”. Pendapat ini

karena beberapa alasan tidak lagi diterapkan oleh ilmu hukum maupun

yurisprudensi. Alasan-alasan tersebut adalah :29

1) Apabila pendapat ini dijadikan ukuran untuk menentukan apakah

kehormatan seseorang tersinggung atau tidak, maka akan sulit jika

yang dihadapi ialah orang-orang yang “rasa kehormatannya” tebal

(overgevoeling) atau yang kurang atau yang sama sekali tidak

mempunyai rasa kehormatan.

2) Dengan menganut pandangan subjektif, maka hak untuk

memberikan pendapat secara bebas menjadi berkurang.

Ibid., hal. 54.


29

46
3) Bahwa dengan menganut pandangan ini, sebetulnya kita

melepaskan de jurisdiche begrifsbepalingen dan memasuki

psychologich.

b. De objectieve opvatting

Yang dimaksud dengan pendapat ini adalah bahwa pengertian

kehormatan dapat didasarkan kepada dua pandangan, yang antara lain :

1) Pandangan yang membatasi diri pada pengakuan nilai-nilai moral

dari manusia;

2) Pandangan yang hendak memperluas, yaitu tidak membatasi diri

pada pengakuan nilai-nilai moral dari manusia, tetapi

memperluasnya dengan semua faktor yang dapat digunakan

sebagai pegangan oleh manusia30.

Kehormatan merupakan rasa harga diri (eergevoel, perasaan

terhormat) yang muncul dalam batin seseorang. Jadi, “harga diri”

merupakan sesuatu yang mengenai segi “intern” orang perorangan.

Sedangkan “nama baik” merupakan penghargaan yang datang dari luar,

dari masyarakat sekeliling, yang berkaitan dengan tindakan atau sikap

seseorang, atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. “Nama baik”

bersifat extern.

Para pakar belum sependapat tentang arti dan definisi kehormatan dan

nama baik, tetapi sependapat bahwa kehormatan dan nama baik menjadi

hak seseorang atau hak asasi setiap manusia.

Ibid., hal. 55. .


30

47
Selanjutnya, dari kata “atau” tersebut di atas, bisa disimpulkan

bahwa syarat melanggar nama baik atau menyerang kehormatan bukan

merupakan syarat kumulatif untuk adanya penghinaan, melainkan

merupakan syarat alternatif. Dipenuhinya salah satu saja dari dua unsur

itu (di samping unsur-unsur khusus lain) sudah cukup untuk adanya tindak

pidana penghinaan31.

Sebagaimana diketahui umum, bahwa hukum merupakan

pengaturan dan perlindungan kepentingan manusia. Oleh sebab itu,

“kehormatan atau nama baik” seseorang merupakan kepentingan

manusia yang mendapatkan perlindungannya dalam hukum baik secara

pidana maupun perdata.

Dalam doktrin common law dikatakan “one of the most important

rights possessed by the individual is the rights to a good reputation” (Rate

A. Howell, Readers Digest). Dengan demikian suatu “nama baik” dan

“kehormatan” pada prinsipnya merupakan hak asasi manusia. Namun

tidak dengan mudah seseorang dianggap telah melakukan pencemaran

nama baik apabila dianggap telah menyerang kehormatan dan nama baik

seseorang. Karena kehormatan dan nama baik bersifat subjektif dari rasa

harga diri (eergevoel) masing-masing batin individu tidak sama satu

dengan yang lainnya. Oleh karena tidak sama, maka unsur-unsur lain dari

suatu perbuatan penghinaan atau pencemaran nama baik perlu dipenuhi,

seperti unsur kesengajaan (opzet) berupa kehendak melakukan tindakan

Ibid., hal. 27
31

48
menghina, dan adanya unsur tindakan penghinaan tersebut ditujukan

untuk diketahui oleh umum (publication)32.

Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa tindakan penghinaan

adalah tindakan yang berkaitan dengan tindakan menyerang nama baik

dan/ atau kehormatan seseorang yang sifatnya sangat subyektif dan

sangat sulit diukur.

Ketentuan mengenai penghinaan sebagaimana dipaparkan di atas

di tujukan untuk melindungi kepentingan kehormatan dan nama baik

individu sebagai bentuk hak asasi manusia. Tetapi perlindungan tersebut

perlu dilihat juga dari pandangan umum atau masyarakat apakah suatu

perbuatan dianggap telah menyerang kehormatan dan atau nama baik

seseorang. Oleh sebab itu unsur kepentingan umum memegang peranan

penting untuk menentukan apakah suatu tindakan dianggap sebagai

perbuatan penghinaan atau pencemaran nama baik33. Hal tersebut dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 310 ayat (3) KUHP yang menyatakan, “Tidak

termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si

pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran

teerpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri”. Sementara, untuk

alasan membela diri diperlukan dua syarat. Pertama, harus terlebih dahulu

ada perbuatan berupa serangan oleh orang lain yang bersifat melawan

hukum. Serangan itu amat merugikan kepentingan hukumnya. Oleh

karena itu yang bersangkutan terpaksa harus membela diri.

O.C. Kaligis, Op. Cit., hal.228.


32

Ibid., hal 229.


33

49
Perwujudannya, ia menuduhkan perbuatan tertentu yang menghinakan

orang lain. Kedua, apa yang dituduhkan isinya harus benar. Si pembuat

harus dapat membuktikan syarat-syarat tersebut34

Pencemaran nama baik / penghinaan / fitnah yang disebarkan

secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut

slander. KUHP menyebutkan bahwa penghinaan/pencemaran nama baik

bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak).

Dalam bukunya, Oemar Seno Adji menyatakan pencemaran nama

baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi sebagai

berikut :

a. Penghinaan materiil

Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi

pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun

secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi

dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan.

Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan

tersebut dilakukan demi kepentingan umum.

b. Penghinaan formil

Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan,

melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu

dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor

menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan

Ibid., hal.215.
34

50
cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk

membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat

dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.35

Berikut adalah bentuk-bentuk pencemaran nama baik sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

1) Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Penghinaan

Kejahatan penghinaan oleh Adami Chazawi membedakannya

menjadi penghinaan umum (diatur dalam bab XVI buku II KUHP), dan

penghinaan khusus (tersebar diluar bab XVI buku II KUHP). Objek

penghinaan umum adalah berupa rasa harga diri atau martabat mengenai

kehormatan dan mengenai nama baik orang pribadi (bersifat pribadi).

Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan adalah rasa/perasaan

harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang

bersifat komunal atau kelompok36.

a) Penghinaan Umum

Penghinaan menurut penjelasan R. Soesilo terdiri atas 6 (enam)

bentuk yakni menista (smaad), menista dengan surat (smaadachrift),

memfitnah (laster), penghinaan ringan (eenvoudige belediging), mengadu

secara memfitnah (lasterajke aanklacht), dan tuduhan secara memfitnah

(lasterajke verdarhtmaking).

Jumardi, Op.Cit.hal.47.
35

Ibid., hal.37.
36

51
1. Menista (smaad).

Menista (smaad) dirumuskan dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang

menyatakan :

“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik


seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu
perbuatan dengan maksud nyata akan tersiarnya tuduhan itu,
dihukum dengan menista, dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,-”.
2. Menista dengan surat (smaadachrift).

Menista dengan surat (smaadachrift) dirumuskan dalam Pasal 310 ayat

(2) KUHP yang menyatakan :

“Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat
itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukumana
penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-”.

3. Memfitnah (laster).

Mengenai memfitnah (laster), diatur dalam Pasal 311 KUHP yang

menyatakan:

“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan


tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu,
jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya
sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.

4. Penghinaan ringan (een voudige belediging).

Mengenai penghinaan ringan (een voudige belediging) diatur dalam

Pasal 315 KUHP yang menyatakan:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista


atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang
baik di tempat umum dengan lisan atau dengan tulisan, maupun
dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan,
begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan
kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman

52
penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-”.

5. Mengadu secara memfitnah (lasterajke aanklacht).

Mengadu secara memfitnah (lasterajke aanklacht) diatur dalam Pasal

317 KUHP yang menyatakan :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh


menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu
kepada pembesar Negeri tentang seseorang sehingga kehormatan
atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena
mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun; (2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan
hak yang tersebut pada Pasal 35 No. 1-3”.
6. Tuduhan secara memfitnah (lasterajke verdarhtmaking).

Tuduhan secara memfitnah (lasterajke verdarhtmaking) diatur dalam

Pasal 318 KUHP yang menyatakan :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan suatu


perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka
melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum
karena tuduhan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun; (2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan
hak yang tersebut pada Pasal 35 No. 1-3”.

7. Penistaan terhadap orang yang sudah meninggal.

Ketentuan mengenai penistaan terhadap orang yang sudah meninggal

yaitu:

1) Pasal 320 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Barangsiapa melakukan perbuatan mengenai orang yang sudah


mati jika sekiranya ia masih hidup perbuatan itu bersifat menista
dengan surat dihukum penjara selama-lamanya empat bulan dua
minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-”.
2) Pasal 321 ayat (1)

“Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan


tulisan atau gambar yang isinya menghina atau menista orang yang
sudah mati, dengan maksud supaya isi tulisan atau gambar yang
menghina dan menista itu tersiar atau lebih tersiar, maka dihukum
penjara selama-lamanya satu bulan dua minggu atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- ”.

53
b) Penghinaan Khusus

Tindak pidana terhadap kehormatan atau tindak pidana penghinaan

pada umumnya ditujukan terhadap seseorang manusia yang masih hidup,

sebab kehormatan atau nama baik adalah hal yang dipunyai/ dimiliki oleh

manusia yang masih hidup, sedangkan manusia yang sudah mati tidak

dapat memiliki lagi. Demikian halnya dengan badan hukum, pada

hakikatnya tidak mempunyai kehormatan, tetapi KUHP menganut bahwa

badan hukum tertentu, antara lain Presiden/ Wakil Presiden, Perwakilan

Negara sahabat, Golongan/Agama/Suku dan badan umum memiliki

kehormatan dan nama baik37

Adapun bentuk-bentuk penghinaan khusus, disebutkan di bawah ini:

1) Penghinaan terhadap kepala Negara RI dan atau wakilnya (Pasal

134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP). Oleh Mahkamah

Konstitusi dalam putusannya tanggal 6 Desember 2006 Nomor

013-022/PUU-IV/2006 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.

2) Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (Pasal 142 KUHP).

3) Penghinaan terhadap wakil negara asing di Indonesia (Pasal 143

dan Pasal 144 KUHP).

4) Penghinaan terhadap bendera kebangsaan RI dan lambang negara

RI (Pasal 154a KUHP).

Leden Marpaung, Op. Cit., hal. 47.


37

54
5) Penghinaan terhadap bendera kebangsaan negara lain (Pasal

142a).

6) Penghinaan terhadap pemerintah RI (Pasal 154, Pasal 155 KUHP).

Oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.6/PUU-V/2007

tanggal 16 Juli 2007 kedua norma kejahatan Pasal ini telah

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

7) Penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia tertentu (Pasal

156 dan Pasal 157 KUHP).

8) Penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum (Pasal 207,

dan Pasal 208 KUHP).

9) Penghinaan dalam hal yang berhubungan dengan agama, yaitu:

a. Penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia

(Pasal 156a KUHP).

b. Penghinaan terhadap petugas agama yang menjalankan

tugasnya (Pasal 177 butir 1 KUHP).

c. Penghinaan mengenai benda-benda untuk keperluan ibadah

(Pasal 177 butir 2 KUHP)38.

Bentuk-bentuk penghinaan dalam KUHP bersumber pada

pencemaran sebagaimana ketentuan Pasal 310 KUHP yang unsur-

unsurnya adalah :

1) Dengan sengaja
2) Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
3) Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan
4) Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.

Jumardi, Op.Cit., hal.51.


38

55
2) Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Penghinaan Dalam Undang-

Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi

Elektronik

Selain dalam KUHPidana, penghinaan juga diatur dalam Undang-

Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

yakni dalam Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 45 Ayat (1).

Pasal 27 Ayat (3) dinyatakan :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan


dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Kemudian dalam Pasal 45 Ayat (1) :

“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar)”.
Pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik tidak memuat bentuk-bentuk penghinaan atau

pencemaran nama baik seperti yang terdapat di dalam KUHP, namun

hanya memuat kualifikasi dari tindak pidana penghinaan atau pencemaran

nama baik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal tersebut diatas yakni

dilakukan dengan cara “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diakses”. Namun di dalam Undang-Undang No.

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terdapat

penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses”. Menurut

56
pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009

halaman 89 menjelaskan sebagai berikut :

a. Mendistribusikan yaitu menyebarluaskan melalui sarana/media

elektronik ditujukan kepada orang-orang tertentu yang dikehendaki.

b. Mentransmisikan yaitu memasukkan informasi ke dalam jaringan media

elektronik yang bisa diakses publik oleh siapa saja yang tidak dibatasi

oleh tempat dan waktu (kapan saja dan dimana saja).

c. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik

yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.

d. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,

rancangan, foto, electronic data intercharge (EDI).surat elektronik

(electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, kode, akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang

memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.

e. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,

diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog,

digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,

ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau Sistem

Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,

peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode,

57
akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya 39.

Melihat dari penjelasan dalam putusan tersebut dikaitkan dengan

penggunaan konsep penyebaran dalam KUHP, dapat ditafsirkan bahwa

penggunaan konsep penyebaran dalam KUHP tidak dapat dianggap sama

dengan konsep penyebaran yang terdapat dalam Undang-Undang No. 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dapat dikatakan

bahwa dengan adanya penggunaan unsur yang berbunyi

“mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat

diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”, konsep

penyebaran dalam Undang-Undang ITE mengartikan bahwa semua media

elektronik merupakan batasan dari penyebaran.

Berdasarkan Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) Undang-

Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik,

maka harus dibuktikan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya kesengajaan;

2. Tanpa hak (tanpa izin);

3. Bertujuan untuk menyerang nama baik atau kehormatan;

4. Agar diketahui oleh umum.

O.C. Kaligis, Op. Cit., hal.131.


39

58
C. Tinjauan Umum Tentang Citra Tubuh (body shaming)

1. Pengertian Citra Tubuh (body shaming)

Body shaming terdiri dari dua suku kata yang terdiri dari body dan

shaming. Body dalam Bahasa Indonesia artinya tubuh dan shaming

artinya mempermalukan. Body shaming adalah istilah yang merujuk

kepada kegiatan mengkritik dan mengomentari secara negatif terhadap

fisik atau tubuh orang lain atau tindakan mengejek / menghina dengan

mengomentari fisik (bentuk tubuh maupun ukuran tubuh) dan

penampilan seseorang.

Pengertian body shaming Dalam kamus Oxford, body shaming

dalam kata benda berarti tindakan atau praktik mempermalukan

seseorang dengan membuat komentar mengejek atau kritis tentang

bentuk atau ukuran tubuh mereka. Dan sebagai kata sifat, body

shaming merupakann ungkapkan ejekan atau kritik tentang bentuk atau

ukuran tubuh seseorang. Dalam situs Rampages US mengatakan body

shaming adalah tindakan membuat komentar kritis, tentang hal

memalukan dari ukuran atau berat badan seseorang. Hasil dari body

shaming ini yaitu kemunduran kepercayaan diri, atau penilaian negatif

terhadap diri sendiri. Konsekuensi ini menyebabkan efek buruk pada

wanita dengan mengkategorikan dan menilai kecantikan. Pengaruh

keseluruhan adalah perasaan malu pada tubuh dapat mempengaruhi

kesehatan mental wanita muda secara negatif, yang dapat

membahayakan diri mereka sendiri secara mental dan fisik. Saat

59
individu mengalami body shaming akan ada jarak antara diri dengan

tubuh, bahwa individu yang merasa tubuh adalah miliknya dia akan

merasa bahwa apa yang diharapkannya pada tubuhnya

sebaiknya/seharusnya ada di tubuhnya. Padahal sebenarnya tidak

semua yang diharapkan atau diinginkan harus dimiliki. Misalnya,

individu akan merasa tidak nyaman dengan kulitnya sendiri karena saat

itu media menampilkan standar yang tidak dimiliki kulitnya.

Body shaming adalah perilaku mengkritik atau mengomentari fisik

atau tubuh diri sendiri maupun orang lain dengan cara yang negatif.

Entah itu mengejek tubuh gendut, kurus, pendek, atau tinggi sama

seperti saat melakukan bullying secara verbal. Korban body shaming

umumnya akan menarik diri dari keramaian untuk menenangkan diri.

Ada banyak perubahan sikap yang akan terjadi, misalnya mudah

tersinggung, pendiam, malas makan, hingga depresi.

2. Ciri-ciri melakukan body shaming kepada orang lain

Perilaku body shaming menunjukkan beberapa ciri-ciri yang

dapat kita kenali sebagai berikut:

a. Menganggap tubuhnya paling gemuk, padahal kenyataannya

tidak Secara tidak langsung atau tidak sadar sering

membandingbandingkan tubuh sendiri dengan orang lain.

Sekurus apapun wanita, biasanya ia akan selalu merasa paling

gemuk diantara teman-temannya. Padahal, kenyataannya

tubuhnya terbilang ideal. Menurut psikoterapi Karen R. Koenig,

60
M. Ed, LCSW, komentar ini bisa jadi sangat menyakitkan bagi

orang lain. Bila melakukannya, hal ini dapat mempermalukan

teman atau orang sekitar yang berat badannya berlebih.

b. Menyuruh orang lain untuk olahraga mungkin mengira bahwa

hanya sekedar memberikan informasi penting yang patut dicoba

oleh orang lain, padahal bisa jadi orang tersebut malah

tersinggung dan menganggap anda menyuruhnya olahraga

karena tubuhnya gemuk.

c. Senang membandingkan tubuh orang lain, menganggap tubuh

sendiri paling ideal diantara orang lain. Ini bukan berarti baik

karena rasa percaya diri anda sedang meningkat, tapi justru

tanda body shaming yang harus dihindari. Secara tidak sadar

kita sedang membandingkan tubuh diri sendiri dengan orang

lain yang bertubuh gemuk atau kurus daripada kita. Apalagi

sampai menganggap diri kita telah sukses menjalani hidup

sehat sedangkan yang lain tidak.

d. Mengungkapkan keprihatinan atas bentuk tubuh seseorang,

sepertti seseorang yang mengungkapkan perkataan kepada

orang lain seperti “Loe kalau punya badan jangan gemuk, nanti

bisa terkena diabetes” atau perkataan seperti “Coba deh diet

agar badan kamu lebih sehat dan tidak mudah sakit”. Ungkapan

diatas seperti sebuah bentuk kepedulian atau perhatian, namun

sesungguhnya itu masuk dalam kategori body shaming secara

61
tidak langsung. Seorang pendiri brand pakaian Plus-Size

CurveWOW, Darrel Freeman mengungkapkan “Beranggapan

bahwa seseorang yang kelebihan berat badan itu tidak sehat,

dietnya asal-asalan atau malas adalah sebuah prasangka dan

ketidakpekaan. Mungkin saja mereka mengalami gangguan

kesehatan, dan sebenarnya sudah menjalani gaya hidup sehat.

Tapi kan mereka tidak harus memberitahumu tentang itu.

Kecuali mereka membahasnya lebih dulu, kamus harus berhenti

tanya-tanya.

e. Ekspresi kaget pada saat ada orang gemuk olahraga,

menunjukkan ekspresi terkejut atau lebih parah memberi

ucapan selamat pada saat mengetahui orang yang kelebihan

berat badan berolahraga, secara tidak sadar merupakan suatu

perilaku body shamin atau lebih detailnya fat shaming. Orang

yang gemuk atau berat badannya berlebih masih dapat

berolahraga dan melakukan banyak aktivitas secara intensif.

Oleh karena itu sebaiknya jangan memberi selamat atau

bertingkat kaget ketika teman anda yang berat badannya

berlebih memutuskan untuk olahraga demi kesehatannya.

f. Memberi saran tentang memakai baju memberikan saran

kepada teman tentang bagaimana dia harus berpakaian supaya

terlihat nyaman atau langsing dalam beraktivitas adalah

tindakan yang tidak membantu, namun justru suatu perbuatan

62
body shamin yang bisa saja membuat teman anda menjadi

tersinggung. Hal pengecualian jika dia sendiri yang meminta

saran dalam berpakaian kepada anda. Darrel Freeman

menambahkan, “Dengan begitu menyiratkan bahwa mereka

tidak bisa memakai baju tertentu dan harus berbusana dengan

cara-cara tertentu sesuai ukuran tubuh mereka. Boleh saja

bersikap jujur dan membantu tapi jangan kamu yang

memutuskan apa yang boleh dan tidak untuk dia pakai.

g. Menghakimi cara diet seseorang biarkan ketika orang ingin

berpakaian, berkelakuan atau makan, merupakan hak dan

kebebasan mereka. Terlepas jika perbuatan itu baik atau tidak

untuk mereka. Bagi anda hal tersebut bukan tempatnya untuk

memutuskan apakah orang yang gemuk harus makan yoghurt

atau es krim. Darrel Freeman juga berujar “Bagaimana orang

bisa merasa bahagia dan percaya diri jika mereka terus-terusan

ditekan untuk diet menurunkan berat badan”.

h. Memuji yang tidak pada tempatnya memberikan pujian seperti

“Wow, kamu ganteng yang sekarang. Turun berapa kilo berat

badanmu? atau “Kamu nggak gemuk kok, kamu cantik” Secara

sekilas, dua kalimat diatas memberikan kesan memuji. Namun

komentar yang terlihat positif‟ tersebut malah dapat dianggap

sebaliknya. Jika anda mengatakan “kamu gak gemuk, kamu

cantik, adalah sebuah isyarat bahwa bertubuk gemuk itu adalah

63
sesuatu yang tidak baik. Artinya juga seseorang tidak dapat

bertubuh gemuk dan dianggap cantik. Padahal masalahnya

tidak melulu seperti itu. Orang dapat terlihat cantik dan bertubuh

gemuk di waktu yang bersamaan.

i. Skinny Shaming perbuatan body shaming tidak hanya terjadi

terhadap orang gemuk saja, namun juga pada orang kurus.

Harus diingat, berkomentar tentang tubuh orang dengan “terlalu

kurus”, “kurang gizi” atau “banyak makan agar sehat” adalah

salah satu contoh perilaku body shaming. Sebelum memberikan

komentar atau mengejek tubuh orang lain yang terlalu kurus

atau ceking, kerempeng dan lainnya ada beberapa hal yang

harus kamu ketahui. Beberapa orang mempunyai metabolisme

tubuh yang cepat menjadikan sulit untuk mereka dalam

menaikkan berat badan. Ada juga yang menyukai olahraga

hampir setiap hari menjadikan tubuh mereka selalu terlihat

kurus, dan bisa juga sebab mereka menderita gangguan pola

makan dan atau sedang melakukan perawatan yang intensif.

Anda tidak akan pernah tahu, dan sebaiknya tidak perlu tahu

apabila mereka memang tidak ingin menjelaskannya.

j. Kamu lumayan cantik/ganteng untuk ukuran. Berujar kepada

oran lain seperti “Kamu lumayan cantik/ganteng ya untuk ukuran

orang gemuk. Orang yang kulitnya hitam. Orang asia, orang

kurus”. Dari ungkapan diatas merupakan sebuah petunjuk jika

64
standar kamu terhadap istilah “cantik atau ganteng” sangat

rendah. Cantik dan ganteng bukan saja dimiliki wanita yang

bertubuh ramping, berkulit putih atau berambut hitam lurus.

Namun kecantikan atau ganteng dapat datang dalam segala

bentuk, warna kulit serta ukuran tubuh. Contoh lainya seperti

“Istrinya gendut banget”, “Kok kamu terlihat lebih hitam ya”,

“Wah, bibir kamu lebar bener”.

k. Mengomentari makanan orang lain Mengatakan bahwa

makanan orang lain yang sedang mereka konsumsi merupakan

makanan yang mengandung kalori tinggi dan lemak yang bisa

membuat berat badan naik.

D. Tinjauan Umum Tentang Media Sosial

1. Pengertian Media Sosial

Media sosial adalah sebuah media online dimana para

penggunanya dapat saling terhubung, berkomunikasi, berpartisipasi,

berbagi, dan menciptakan isi (konten) dari media yang digunakan

secara bersama-sama tersebut. Oleh karena sifatnya yang saling

terhubung secara online dan mampu menyajikan konten berupa

teks, gambar, dan video maka media sosial tidak hanya menjadi

sarana komunikasi tetapi juga menjadi media hiburan.40

Sahrul Mauludi Op. Cit., hal. 151-152


40

65
Pada dasarnya, beberapa ahli yang meneliti internet melihat

bahwa media sosial di internet adalah gambaran apa yang terjadi di

dunia nyata, seperti plagiarisme .

2. Menurut Mandibergh (2012), media sosial adalah media yang

mewadahi kerja sama di antara pengguna yang menghasilkan konten

(user generated content).

3. Menurut Shirky (2008), media sosial dan perangkat lunak sosial

merupakan alat untuk meningkatkan kemampuan pengguna untuk

berbagai (to share), bekerja sama (to co-operate) di antara pengguna

dan melakukan tindakan secara kolektif yang semuanya berada

diluar kerangka institusional maupun organisai.

4. Boyd (2009), menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat

lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk

berkumpul, berbagi, berkomunikasi dan dalam kasus tertentu saling

berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada

user generated content (UGC) dimana konten dihasilkan oleh

pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa.

5. Menurut Van Dijk (2013), media sosial adalah platform media yang

memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka

dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial

dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan

hubungan antarpengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.

66
6. Meike dan Young (2012), mengartikan media sosial sebagai

konvergensi antara komunikasi personal dalam arti saling berbagi di

antara individu (to be shared one to one) dan media publik untuk

berbagi kepada siapa saja tanpa ada kekhususan individu .

` Media sosial yang paling terpopular di Indonesia antara lain

Facebook, Google, Twitter, Youtube, WhatsApp, dan Instagram. Bahkan

jumlah pengguna Facebook sangat besar di Indonesia dan tercatat

sebagai tertinggi ketiga di dunia. “Berdasarkan data yang dimiliki

Kementrian Komunikasi dan Informatika, total ada 43,06 juta orang yang

menggunakan situs jejaring sosial Facebook. Sekarang tertinggi di dunia

ketiga,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementrian

Komunikasi dan Informatika Aswin Sasongko (Republika.co.id, 2012).

Media sosial merupakan cerminan dari kultur masyarakat Indonesia

yang bersifat paguyuban, suka bergaul, mengobrol, dan saling mengenal

satu sama lain. Karenanya, penggunaan tertinggi media sosial adalah

untuk berkomunikasi, chatting, dan mencari teman baru. Kecenderungan

ini semakin didukung oleh kemudahan akses media sosial, mudahnya

membuat akun, termasuk memuat banyak akun ataupun akun palsu.

Media sosial pun dirasakan sebagai ruang kebebasan untuk

mengeluarkan pendapat, mengekspresiakn diri, curhat, mengeluarkan

unek-unek, hingga menyatakan kemarahan dan kebencian pada

seseorang.

67
a. Karakteristik Media Sosial

Media sosial memliki beberapa karakter yang tidak dimiliki oleh

beberapa jenis media lainnya. Ada batasan maupun ciri khusus yang

hanya dimiliki oleh media social. Berikut beberapa karakteristik media

sosial.

1. Jaringan

Media sosial terbangun dari struktur sosial yang terbentuk dalam

jaringan atau internet. Karakter media sosial adalah membentuk

jaringan diantara penggunanya sehingga kehadiran media sosial

memberikan media bagi pengguna untuk terhubung secara mekanisme

teknologi.

2. Informasi

Informasi menjadi hal yang penting dari media sosial karena dalam

media sosial terdapat aktifitas memproduksi konten hingga interaksi

yang berdasarkan informasi.

3. Arsip

Bagi pengguna media sosial arsip merupakan sebuah karakter yang

menjelaskan bahwa informasi telah tersimpan dan bisa diakses

kapanpun dan melalui perangkat apapun.

4. Interaksi

Karakter dasar dari media sosial adalah terbentuknya jaringan antar

pengguna. Fungsinya tidak sekedar memperluas hubungan

pertemanan maupun memperbanyak pengikut di internet. Bentuk

68
sederhana yang terjadi di media sosial dapat berupa memberi

komentar dan lain sebagaiannya.

5. Simulasi Sosial

Media sosial memiliki karakter sebagai media berlangsungnya

masyarakat di dunia virtual (maya). Ibarat sebuah Negara, media

sosial juga memiliki aturan dan etika bagi para penggunanya. Interaksi

yang terjadi di media sosial mampu menggambarkan realitas yang

terjadi akan tetapi interaksi yang terjadi adalah simulasi yang

terkadang berbeda sama sekali.

6. Konten oleh Pengguna

Karakteristik ini menunjukan bahwa konten dalam media sosial

sepenuhnya milik dan juga berdasarkan pengguna maupun pemilik

akun. Konten oleh pengguna ini menandakan bahwa di media sosial

khalayak tidak hanya memproduksi konten mereka sendiri melainkan

juga mengonsumsi konten yang diproduksi oleh pengguna lain.

7. Penyebaran

Penyebaran adalah karakter lain dari media sosial, tidak hanya

menghasilkan dan mengonsumsi konten tetapi juga aktif menyebarkan

sekaligus mengembangkan konten oleh penggunanya.

Media sosial merupakan salah satu bentuk perkembangan dari

adanya internet. Melalui media sosial, seseorang dapat saling terhubung

dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama

untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Media sosial memiliki sifat

69
yang lebih interaktif apabila dibandingkan dengan bentuk media

tradisional seperti radio maupun televisi. Melalui media sosial, kita dapat

secara langsung berinteraksi dengan orang lain, baik melalui komentar

dalammedia sosial maupun dengan sekedar memberikan tanda like pada

setiap postingan seseorang.

E. Landasan Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Sebagai bagian dari beberapa macam upaya pihak

pemerintah dalam suatu Negara melalui sarana-sarana hukum yang

tersedia. Termasuk membantu subyek hukum mengenal dan

mengetahui hak-hak dan kewajibannya serta dalam menghadapi

permasalahan kesulitan memperoleh sarana dan prasaran untuk

memperoleh hak-haknya. Pemerintah yang merepresentasikan

Negara, sebagaimana tujuan Negara itu sendiri maka pemerintah

harus memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban, juga untuk

melindungi segenap bangsa didalam suatu Negara serta

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dari Negara itu

adalah termasuk di dalam makna perlindungan hukum.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum hadir dalam

masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkordinasikan

kepentingan-kepentingan yang bias tertubrukkan satu sama lain.

Pengkordinasian kepentingan-kepentingan tersebut dilakukan

70
dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan

tersebut.41

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

memberikan kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam

memenuhi kepentingannya tersebut. Pemberian kekuasaan, atau

yang sering disebut dengan hak ini, dilakukan secara terukur,

keluasan dan kedalamannya.

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang

dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan

oleh hukum.42

Selanjutnya menurut Philipus M. Hardjon bahwa perlindungan

hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat

preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan

untuk mencegah terjadinya sengketa yang mengarahkan tindakan

pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan

berdasarkan diskresi dan perlindungan yang reprensif bertujuan

untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya

dilembaga peradilan.43

Menurut Paton, suatu kepentingan merupakan sasaran hak,

bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga


41
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 53
42
Ibid, hal. 69.
43
Ibid, hal. 54.

71
karena ada pengakuan terhadap itu. Hak tidak hanya mengandung

unsur perlindungan dan kepentingan. Tapi juga kehendak. Terkait

fungsi hukum untuk memberikan perlindungan, Lili Rasjidi dan B.

Arief Sidharta mengatakan bahwa hukum itu ditumbuhkan dan

dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia

untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan

martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani

kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.44

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban ini memberikan perlindungan pada

Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana

dalam lingkungan peradilan. Perlindungan Saksi dan Korban

berasaskan pada: a.penghargaan atas harkat dan martabat

manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak diskriminatif; dan e.

kepastian hukum.

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa :

“Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak

pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep

tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 1994, Filsafat Hukum Madzhab dan Refleksi,
44

Bandung, PT. Remaja Rosada Karya, hal. 64.

72
manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan

kewajiban pada masayarakat dan pemerintah.45

Perlindungan hukum dalam bahasa inggris disebut legal

protection, sedangkan dalam bahasa belanda disebut

rechtsbecherming. Harjono mencoba memberikan pengertian

perlindungan hukum sebagai perlindungan dengan menggunakan

sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,

ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan

tertentu, yaitu dengan menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi

tersebut dalam sebuah hak hukum.46 Dapat dikatakan bahwa

perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan dengan

berlandaskan hukum dan perundang-undangan.

2 . Efektivitas Hukum

Mengutip Eksiklopedia, menyampaikan pemahaman tentang

efektivitas sebagai berikut :

“Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung

pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang

dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan

maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu

45
Philipus M.Hadjon, 1987, perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia
(Sebuah Studi tentang prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi Negara), Surabaya :PT. Bina Ilmu, hal. 38.

73
dikatakan efektif kaulau menimbulkan atau mempunyai maksud

sebagaimana yang dikehendaki.”

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat

dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki.

Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan

dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas

dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang

telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat

dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah

mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksudkan adalah

tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut

merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau

kegiatan menurut wewenang tugas dan fungsi instansi tersebut.

Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum,

Achmad Ali47 berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui

sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus

dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak

ditaati”. Lebih lanjut Achmad Ali punmengemukakan bahwa pada

umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu

perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan

peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di

47
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1, Kencana, Jakarta,
2010. Hal. 375.

74
dalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka

maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto48 adalah

bahwa keefektifan atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5

faktor, diantaranya yaitu :

a. Faktor Hukumnya sendiri (Undang-undang)

Dalam praktik penyelenggaraan penegakan hukum dilapangan

ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan

keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan

merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak.

b. Faktor penegak hukum


Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian

aparat penegak hukum memainkan peranan penting, kalau

peraturan sudah baik, tetapi kualitas aparat kurang baik, ada

masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di

kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai

petugas atau penegak hukum, artinya hukum di identikkan

dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum.

Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul

persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang

melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap

melunturkan citra dan wibawa penegak hukum. Hal ini

48
Soerjono Soekanto, Penegakkan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983. Hal. 80.

75
disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak

hukum tersebut.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum

Para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila

tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi

yang proporsional

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum yang berasal dari masyarakat dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat.

e. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang

merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa

yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap

buruk (sehingga dihindari).

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakkan hukum, juga merupakan tolok ukur

daripada efektivitas penegakkan hukum. Pada elemen kedua, yang

menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau

tidak adalah tergantung mentalitas dan kepribadian dari aparat penegak

hukum memilki peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi

kualitas aparat kurang baik, tentu aturan tersebut tidak akan berjalan

dengan semestinya. Dan pada elemen kelima yakni faktor kebudayaan

76
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,

nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak

mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang

dianggap buruk (sehingga dihindari).

F. Kerangka Pikir
1. Alur Pikir
Kerangka pikir atau kerangka teoritis (teoritical framework)

atau kerangka konseptual (conceptual framework) yaitu kerangka

berpikir dari peneliti yang bersifat teoritis mengenai masalah yang

akan diteliti, yang menggambarkan hubungan antara konsep-

konsep atau variable-variabel yang akan diteliti. Kerangka pikir

tersebut dilandasi oleh teori-teori yang sudah dijelaskan

sebelumnya. Bertitik tolak dari landasan teori yang digunakan

dalam pengkajian permasalahan maka dapat dimuat suatu

kerangka berpikir atau kerangka teori yang telah diuraikan tersebut

diatas.

Penelitian yang berjudul Analisis Sosio-Yuridis Terhadap

Korban Penghinaan Citra Tubuh (Body Shaming) Melalui Media

Sosial memiliki 2 variabel. Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang

dilakukan peneliti lebih terfokus dan terarah. Variabel pertama

adalah kendala-kendala dalam penegakan hukum memiliki 3

indikator yakni faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas,

77
dan faktor masyarakat. Mencari tahu alur pikiran manusia dan

alasan dibalik perilaku dan tindakan tersebut.

Pada variabel kedua yaitu bentuk perlindungan hukum

korban penghinaan citra tubuh body shaming, variable ini memiliki 2

(dua) indikator yakni preventif dan represif. Variable ini berkaitan

dengan variable pertama dimana penegak hukum memilki peran

yang sangat penting dalam pemenuhan perlindungan hukum

terhadap korban penghinaan citra tubuh (body shaming) maka

dapat diuji apakah perlindungan hukum terhadap korban body

shaming dapat terlaksana secara optimal oleh penegak hukum

dengan variabel pertama atau tidak.

Demi mewujudkan optimalisasi perlindungan hukum terhadap

tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming) melalui media

sosial, malalui kedua variable ini diharapkan penegak hukum betul-

betul fokus dalam memerangi tindak pidana citra tubuh (body

saming) yang dilakukan oleh pelaku melalui media sosial. Secara

sederhana, kerangka pikir ini dapat dijabarka dalam bagan sebagai

berikut;

78
2. Bagan Pikir

ANALISIS SOSIO-YURIDIS TERHADAP


PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN
PENGHINAAN CITRA TUBUH (BODY
SHAMING) MELALUI MEDIA SOSIAL

Kendala-kendala dalam Bentuk perlindungan hukum


penegakan hukum korban penghinaan citra tubuh
body shaming
1. Faktor Penegak Hukum
2. Faktor Sarana dan 1. Upaya Preventif
Fasilitas 2. Upaya Represif
3. Faktor Masyarakat

Terwujudnya optimalisasi perlindungan hukum terhadap


korban penghinaan citra tubuh (body shaming) melalui
F. Definisi Operasiona
media sosial.

79
G. DEFINISI OPERASIONAL

1. Penghinaan adalah penghinaan yang dilakukan di tempat umum

atau media sosial yang mengandung unsur penghinaan dan

membuat korbannya merasa dirugikan atas peruatan tersebut.

2. Citra tubuh (Body Shaming) adalah penghinaan terhadap citra

tubuh (body shaming) yang dapat menjatuhkan atau menjelek-

jelekkan fisik orang lain yang mengakibatkan ketidaknyamanan

dari orang yang menjadi objek body shaming tersebut.

3. Perlindungan hukum memberikan pengayoman terhadap hak

asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

4. Hak atas rasa aman adalah hak yang paling mendasar dari

setiap manusia yakni terlindungi baik secara fisik, psikis maupun

terlindungi dari ancaman ketakutan.

5. Penghormatan atas harkat dan martabat adalah hak yang secara

kodrati melekat dan tidak terpisahkan dari manusia, yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum,

Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.

6. Efektivitas hukum adalah suatu keadaan yang mengandung

pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang

80
dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan

dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang

itu dikatakan efektif kaulau menimbulkan atau mempunyai

maksud sebagaimana yang dikehendaki.”

7. Faktor penegak hukum adalah Dalam berfungsinya hukum,

mentalitas atau kepribadian aparat penegak hukum memainkan

peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

aparat kurang baik, ada masalah. Selama ini ada kecenderungan

yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum

sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum di

identikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak

hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering

timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang

melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap

melunturkan citra dan wibawa penegak hukum. Hal ini

disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak

hukum tersebut.

8. Faktor kebudayaan adalah Kebudayaan pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-

nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak

mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa

yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

81
9. Upaya Preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah

terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Ini

merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam

tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya

preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan

untuk dilakukannya kejahatan.

10. Upaya Represif adalah paya yang dilakukan pada saat telah

terjadi tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa

penegakan hukum (law enforcemenet) dengan menjatuhkan

hukuman. Penaggulangan dengan upaya represif dimaksudkan

untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan

perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar sadar bahwa

perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang

melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak

akan mengulanginya dan orang lain tidak akan melakukannya

mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.

82
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-empiris, yaitu

penelitian hukum objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan

perundang-undangan dan (in abstraco) serta penerapannya pada

peristiwa hukum (in concreto) yang dilakukan terhadap keadaan

sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi dimasyarakat dengan

maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data

yang dibutuhkan.

Sifat penelitian ini yaitu deskriptif analitis, yaitu

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum

positif yang menyangkut permasalahan di atas. Bersifat deskriptif,

bahwa dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu

gambaran yang bersifat menyeluruh dan sistematis. Dikatakan

analitis, karena berdasarkan gambaran-gambaran dan fakta-fakta

yang diperoleh melalui studi dokumen maka selanjutnya dilakukan

analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian.

83
B. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap dan

konkret, maka penulis melakukan penelitian di Polda Metro Jaya,

Mabes Polri, dan Polresta Kota Malang pemilihan lokasi ini

dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah ada laporan mengenai

korban penghinaan citra tubuh (body shaming) melalui media sosial.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek

atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya.49 Adapun menjadi populasi dalam penelitian ini

yaitu di Unit cybercrime di Polda Metro Jaya, Mabes Polri, dan

Polresta Kota Malang.

Sampel adalah sebagian untuk diambil dari keseluruhan

obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.

Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan secara purposive

sampling yaitu masing-masing sampel yang berhubungan dengan

populasi tersebut di atas, maka yang ditarik kesimpulan dan

dijadikan sampel dalam penelitian ini korban penghinaan citra

tubuh (body shaming).

Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2005, hal. 90.


49

84
D. Jenis dan Sumber Data

Dalam pengumpulan data dari informasi yang diperlukan

penulis maka data yang diperoleh dapat digolongkan ke dalam 2

(dua) jenis yaitu:

1. Sumber data primer, yaitu pengumpulan data melalui penelitian

lapangan (field research) terutama dengan menggunakan

metode wawancara yang berkaitan dengan masalah yang

dibahas.

2. Sumber data sekunder, yaitu pengumpulan data yang dilakukan

melalui penelitian kepustakaan (library research) terutama

melalui penelusuran buku-buku dan mempelajari serta mengkaji

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Data primer menggunakan metode pengumpulan data yang

diperoleh melalui wawancara yaitu pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh

jawaban yang relavan dengan masalah penelitian kepada

responden.50 Wawancara langsung ini dimaksudkan untuk

memperoleh informasi yang benar dan akurat dari sumber yang

ditetapkan.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja


50

Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.82

85
2. Data Sekunder menggunakan metode pengumpulan data yang

diperoleh melalui studi pustaka (library research) dengan

melakukan pencatatan data secara tertulis dari peraturan

perundang-undangan, buku-buku dan jurnal yang berkaitan

dengan masalah penelitian ini.

F. Analisis Data

Data yang digunakan baik data primer maupun data

sekunder akan diubah dan dianalisis secara kualitatif untuk

selanjutnya dideskripsikan guna memberikan pemahaman dengan

menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan hasil penelitian

ini.

Metode berpikir yang digunakan dalam menganalisis data

yang terkumpul adalah menggunakan metode deduktif, yaitu cara

berpikir yang dimulai dari hal-hal yang sifatnya umum lalu kemudian

diambil kesimpulan yang lebih bersifat khusus.

86
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kendala penegakan hukum terhadap korban tindak pidana

penghinaan citra tubuh body shaming

Penegakan hukum di Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari

asas penegakan hukum yang berkeadilan. Masalah keadilan didasarkan

pada asas kesamarataan, di mana setiap orang mendapat bagiannya

yang sama. Adakalanya keadilan didasarkan pada kebutuhan, sehingga

menghasilkan kesebandingan yang biasanya diterapkan di bidang

hukum. Tidak jarang digunakan asas kualifikasi untuk mengukur keadilan,

serta asas objektif yang melihat keadilan dari sudut prestasi seseorang.

Asas objektif juga lazim diterapkan apabila yang dipermasalahkan adalah

ketekunan untuk mencapai sesuatu, tanpa melihat hasilnya. Penting sekali

untuk meneliti, asas apa yang lazim diterapkan di bidang hukum,

walaupun ada kecendrungan untuk menggunakan asas kesebandingan

(keadilan). Dengan demikian, dapat diketahui batas keserasian antara

tugas hukum dalam menegakkan kepastian hukum adalah untuk

mencapai ketertiban dan kesebandingan dalam rangka mencapai

ketentraman.

Aparat penegak hukum ini punya tanggung jawab besar yang

menentukan eksistensi norma hukum. Dengan norma hukum ini, status

dan martabat negara ikut terjaga. Citra negara akan menampilkan citra

rechstaat bilamana aparat penegak hukum berhasil mengimplementasikan

87
norma hukum. Sebaliknya citra negara hukum ikut jatuh ketika aparat

gagal menegakkannya, karena ada kredibilitas yang ditinggalkan hingga

berdampak terhadap pencari keadilan. Ketika pencari keadilan

(masyarakat) merasa diabaikan hak-haknya, maka tentu saja terjadi

distorsi terhadap kewibawaan hukum dan kehidupan negara ini.

Penegakan hukum khususnya terkait dengan hukum pidana adalah

upaya untuk memastikan berfungsinya norma-norma hukum pidana

secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan-hubungan hukum

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tujuan akhir penegakan

hukum pidana yang dilakukan oleh kepolisian, kejakasaan, dan

pengadilan itu pada dasarnya adalah untuk menciptakan, memelihara,

dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Tujuan ini hanya dapat

tercapai jika penegakan hukum dilaksanakan dengan benar, berlandaskan

hati nurani dengan menyisihkan kepentingan-kepentingan lain hanya

semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan memenuhi rasa keadilan

bagi masyarakat.

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari politik criminal

(Criminal Policy) sebagai salah satu bagian dari keseluruhan kebijakan

penanggulangan kejahatan, memang penegakan hukum pidana bukan

merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan

atau menanggulangi kejahatan itu secara tuntas. Hal ini merupakan suatu

hal yang wajar karena pada hakikatya kejahatan itu merupakan masalah

kemanusiaan dan masalah sosial bahkan dinyatakan sebagai the oldest

88
social problem yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum

pidana.

Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut

mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial)

merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Kedudukan

tersebut ,merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang

mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak

merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan

kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat

dijabarkan dalam unsur-unsur sebagai berikut :

1. Peranan yang ideal / ideal role

2. Peranan yang seharusnya / expected role

3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role

4. Peranan yang sebenarnya dilakukan / actual role

Penegakan hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat

berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang

berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau

mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan

moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode

etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah

ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak

hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak

memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam

89
menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya

pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan

menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi kepercayaan

masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil wawancara penulis dengan

Akp Reno Apri Dwijayanto, S,Kom, Panit IV Subdit IV Tipid Siber

Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menjelaskan bahwa sudah banyak

laporan mengenai body shaming namun terkait dengan data dalam kasus

pencemaran nama baik/penghinaan melalui media sosial terkhusus

kasus body shaming tidak dapat diberikan secara detail.51

Tabel 1.2
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH METRO JAYA
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS

REKAPITULASI PERJENIS LP CYBER CRIME BULAN JANUARI -


DESEMBER TAHUN 2018
CC
JENIS TINDAK LP FOREN
NO SP CA
PIDANA (CT) P 21 LIMPAH SIK
3 BUT
Pencemaran
nama baik /
penghinaan
1 melalui 464 4 5 123
internet/Perbuata
n tidak
menyenangkan

51
Wawancara di Polda Metro Jaya, pada tanggal 14 Januari 2021

90
REKAPITULASI PERJENIS LP CYBER CRIME BULAN JANUARI -
DESEMBER TAHUN 2019
CC
JENIS TINDAK LP FOREN
NO SP SP2
PIDANA (CT) P 21 LIMPAH SIK
3 Lid
Pencemaran
nama baik /
penghinaan
1 melalui 358 2 14 162 21
internet/Perbuata
ntidakmenyenan
gkan

Berdasarkan table diatas, terlihat bahwa pada tahun 2018 laporan

mengenai kasus pencemaran nama baik/ penghinaan melalui media

online termasuk didalamnya kasus body shaming mengalami peningkatan

sebagaimana pemberitaan dalam media online bahwa Mabes Polri

mengungkap adanya 966 kasus body shaming atau ejekan rupa fisik di

seluruh Indonesia. Dari jumlah itu yang sudah diselesaikan ada 374

kasus. Ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes

Polri Brigjen Pol Dedi. Dengan berbagai pertimbangan seperti data yang

terhimpun dibuat menjadi satu rumpun atau secara global terkait dengan

pencemaran/penghinaan melalui media sosial.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Heru

menuturkan bahwa bentuk penerapan perlindungan hukum terhadap

korban body shaming harus memperhatikan konteks dalam kata-kata yang

di ucapkan atau di tuliskan di media sosial. Jika terdapat kata-kata yang

91
bersifat pencemaran dan penghinaan di media sosial dapat dikategorikan

tindak pidana yang pelakunya dapat dijerat UU ITE.52

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto adalah.53

Dari ke-5 (lima) faktor penegak hukum yang dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto terdapat 3 faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum dalam hal ini berkaitan dengan hasil penelitian penulis yakni

bentuk perlindungan hukum terhadap penghinaan citra tubuh (body

shaming) di Polda Metro Jaya, faktor-faktor tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Faktor Aparat Penegak Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak

hukum memainkan peranan penting, dalam efektivitas hukum namun

jika kualitas petugas kurang baik. Ada masalah. Oleh karena itu, salah

satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas

atau kepribadian penegak hukum.

Keterbatasan penegak hukum dalam menemukan pelaku yakni

pertama dikarenakan pelaku menggunakan akun palsu dalam

melakukan perbuatan body shaming , kedua memakan waktu yang

lama dalam menemukan pelaku. Selain itu juga pemahaman penyidik

terkait dengan aturan maupun teknis pemberian perlindungan hukum

masih sangat minim.


52
Wawancara di Polda Metro Jaya, pada tanggal 14 januari, 2021
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
53

Cetakan kelima, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 42

92
Dalam faktor penegak hukum ini, terkhusus untuk penyidik

berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa masih terdapat penyidik

yang belum memahami tentang proses pemberian perlindungan

hukum, baik yang berkaitan dengan aturannya maupun yang berkaitan

dengan teknis pemeberian perlindungan hukum.

Ketidakpahaman aparat penegak hukum akan sistem

peradilan pidana, akan menghambat dalam tercapainya pembangunan

hukum yang sangat di inginkan oleh bangsa ini. Penegak hukum

merupakan ujung tombak tercapainya keadilan, kepastian, dan

kemanfaatan hukum. Dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman

prinsip-prinsip etika dan moral sebagai sarana orientasi dalam

penegakan hukum, agar sekalian aparat penegak hukum dapat

mengambil tindakan penegakan hukum yang secara etis dapat

dipertanggung-jawabkan.

faktor dominan yang menjadi penentu kepercayaan

masyarakat terhadap praktek penegakan hukum. Aparat penegak

hukum yang diberi wewenang untuk menginterpretasi hukum yang

abstrak ke dalam perbuatan tertentu yang dilakukan oleh subjek

hukum yang bersifat konkrit dan, oleh sebab itu, penggunaan

wewenang yang diberikan oleh hukum kepada aparat penegak hukum

bisa mengubah hukum dalam praktek penegakan hukum. Mengingat

peran yang dominan aparat penegakan hukum tersebut, penulis

membuat motto pada bagian awal disertasi: “Hukum yang baik akan

93
menjadi rusak karena aparat penegakan hukumnya. Hukum yang

buruk akan menjadi baik karena aparat penegak hukumnya. Aparat

penegak hukum yang baik saja tidaklah cukup, untuk membuat hukum

menjadi lebih baik”. Posisi yang kuat dan strategik aparat penegak

hukum dan hakim tersebut yang dapat menegakkan hukum baik dan

akan menjadi lebih baik lagi, menegakkan hukum yang buruk menjadi

lebih baik, dan bahkan mengubah hukum melalui penggunaan

wewenangnya dalam praktek penegakan hukum ketika menghadapi

hukum yang buruk dan mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Peran aparat penegak hukum dalam praktek hukum memiliki peran

sentral dalam upaya untuk mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan.

Cita rasa keadilan hukum dalam praktek tidak ditentukan oleh

hukumnya, melainkan oleh aparat penegak hukum dan hakim, yaitu

nilai hukum atau keadilan dan asas-asas hukum apa yang hendak

dimasukkan ke dalam proses pengambilan putusan, teori apa yang

hendak dipergunakan untuk memasukkan nilai keadilan tersebut ke

dalam putusannya, dan norma hukum mana yang dijadikan dasar

hukum formal untuk memasukan nilai hukum atau keadilan, asas-asas

hukum, dan teori hukum sehingga bisa melahirkan cita rasa keadilan

dalam putusannya54

Penjabaran HAM berkaitan dengan perlindungan korban dan

saksi tertuang dalam beberapa undang-undang. Dapat dikemukakan

Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana,


54

Disertasi, 2001, Universitas Indonesia.

94
bahwa menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang perlindungan saksi dan korban, disebutkan perlindungan saksi

dan korban berdasarkan pada;

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia

2. Rasa aman

3. Keadilan

4. Tidak diskriminatif

5. Kepastian hukum

Jika mengacu pada teori perlindungan hukum yang memiliki dua

indicator yakni pertama penghormatan atas harkat dan martabat dan

yang kedua adalah rasa aman dan diatur dalam Undang-undang

Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dan

berdasar pada poin pertama yakni penghargaan atas harkat dan

mertabat manusia dan poin kedua rasa aman belum cukup memadai

bagi korban penghinaan citra tubuh, sebab dalam realitanya kasus

body shaming ini masih dianggap hal yang biasa baik bagi masyarakat

maupun penegak hukum itu sendiri. Sementara dampak yang

ditimbulkan oleh korban akan berpotensi mengganggu psikologisnya.

Seperti pada contoh kasus dibawah ini.

95
96
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu korban

penghinaan citra tubuh body shaming menyatakan bahwa dampak

yang ditimbulkan dari kasus ini bukanlah persoalan biasa sebab akan

mengganggu kondisi psikologi korban. Banyak korban yang

mengalami kasus serupa namun tidak tahu cara untuk

menangggulanginya sehingga kejadian pada media online ada korban

yang sampai bunuh diri karena dihina fisiknya.55 Walaupun dalam

Negara Indonesia belum ada kasus body shaming yang menimbulkan

dampak sampai bunuh diri akan tetapi kasus ini perlu perhatian

khusus dari aparat penegak hukum. Maka dari itu perlu adanya

kebijakan yang dapat mengurangi penderitaan korban. Dalam

perspektif viktimologi kebijakan dimaksud dapat berupa restitusi

dan/atau kompensasi.

Beberapa di antara kita dilahirkan dengan kondisi fisik,

kecerdasan, hingga status sosial ekonomi yang tidak baik. Kondisi

seperti ini membuat kita merasa minder. Masalahnya semakin runyam

ketika ada orang yang menghina diri kita.Dengan perkataannya, para

penghina mampu membuat perasaan seseorang menjadi rendah diri.

Orang yang kondisinya baik-baik saja bisa dibuat minder, apalagi

yang sejak awal sudah sering merasa minder.

Wawancara dilakukan melalui direct message instagram, pada tanggal 27


55

Februari 2021

97
Jika kita meninjau dari sudut pandang islamiyah, menegaskan

bahwa dalam ajaran Islam, ada beberapa tingkatan terkait cara

menghadapi hinaan. Salah satunya adalah melakukan introspeksi diri

karena boleh jadi hinaan yang dialamatkan kepada kita itu memang

benar adanya. Maka, sikap diam dan memperbaiki diri itu yang harus

kita lakukan dan berlatih untuk mensyukuri kondisi diri sendiri sebab

selalu ada sesuatu pada diri kita yang patut kita syukuri, misalnya

daya pikir dan kreativitas yang tinggi, pembawaan diri yang

menyenangkan, bakat di bidang tertentu, atau kesehatan yang

memampukan kita menjalani hidup dengan produktif.56

Dalam penelitian ini faktor masyarakat yang mempengaruhi.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Akp

Reno Apri Dwijayanto menyatakan bahwa, tingkat kesadaran hukum

masyarakat masih kurang bijak dalam berkomentar di media sosial.57

Lebih jauh lagi masyarakat masih memiliki pemahaman yang masih

kurang terkait dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga

memungkinkan masyarakat untuk berkomentar secara bebas. Yakni

terdapat pada Pasal 27 ayat 3 uu ite ini masih saja selalu terjadi,

mengapa demikian, karena tingkat kepatuhan masyarakat belum

berada di tingkat internalization sehingga sangat sulit pasal ini efektif

jika tidak dibarengi dengan pengetahuan hukum masyarakat yang

56
https://republika.co.id/berita/pfea3r313/cara-nabi-balas-hinaan
57
Wawancara di Polda Metro Jaya, pada tanggal 14 januari, 2021

98
memadai. Karena efektif tidaknya suatu aturan ditentukan oleh

apatisme masyarakat terhadap praktik penegakan hukum.

2. Faktor Sarana dan Fasilitas

Faktor Sarana atau Fasilitas pendukung secara sederhana

dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang

lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor

pendukung. Fasilitas pendukung mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup, dan sebagainya. Selain

ketersediaan fasilitas, pemeliharaan pun sangat penting demi

menjaga keberlangsungan. Sering terjadi bahwa suatu peraturan

sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap.

Kondisi semacam ini hanya akan menyebabkan kontra-produktif yang

harusnya memperlancar proses justru mengakibatkan terjadinya

kemacetan.

Dalam penanganan kasus body shaming pula diharapkan

kemaksimalan kinerja dari pihak kepolisian untuk menangani kasus

body shaming yang telah terjadi tidak dapat begitu saja terlepas dari

pengawasan hukum. Body shaming memiliki sifat efisien dan cepat

serta menyulitkan bagi pihak penyidik dalam melakukan penangkapan

terhadap pelakunya. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya

pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap jenis kejahatan

dunia maya dalam hal ini body shaming, pemahaman dan

99
pengetahuan ini menyebabkan upaya penanggulangan kejahatan

cyber mengalami kendala, dalam hal ini kendala yang berkenaan

dengan penataan hukum dan proses pengawasan masyarakat

terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan kejahatan

cyber crime tersebut.

3. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga

masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran

hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu

kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat

kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah

satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

Jika mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan

terhadap hukum secara umum, diakui oleh C. G. Howard dan R.S

Mumers yaitu:58

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan

hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum

secara umum. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang

dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-

undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum

dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan,
58

Kencana, 2009, h. 376

100
b. Kejelasan rumusan dan substansi aturan hukum, sehingga

mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.

Jadi, perumusan substansi aturan hukum itu, harus dirancang

dengan baik, jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas

dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap

membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan

menerapkannya.

c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum

itu. Kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan

bahwa semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu negara,

dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di

negaranya. Tidak mungkin penduduk atau warga negara

masyarakat secara umum, mampu mengetahui keberadaan

suatu aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum

tersebut tidak disosialisasikan secara optimal.

d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka

seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat

mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang lebih

mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat

mengharuskan.

e. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus

dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.

101
Suatu sanksi yang dapat kita katakana tepat untuk suatu tujuan

tertentu belum tentu tepat untuk tujuan lain.

f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum,

harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

Sebaliknya, sanksi yang terlalu ringan untuk suatu jenis

kejahatan, tentunya akan berakibat, warga masyarakat tidak

akan segan untuk melakukan kejahatan tersebut.

g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika

terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum, adalah memang

memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan

sanksi, memang tindakan konkret, dapat dilihat, diamati, oleh

karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan

(penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).

h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud

larangan, relative akan jauh lebih efektif ketimbang aturan

hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh

orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan

tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif, adalah aturan

hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan

yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain,

seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau

keiasaan dan lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan

dilarang oleh norma, akan lebih tidak efektif.

102
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum,

juga tergantung pada optimal dan professional tidaknya alat

penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum

tersebut; mulai dari tahap perbuatannya, sosialisasinya, proses

penegakan hukumnya yang mencakup tahapan penemuan

hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi, dan

konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu aturan konkret.

j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga

mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang

minimal di dalam masyarakat.

Faktor masyarakat dalam hal ini sangat berperan penting

dalam kemajuan hukum itu sendiri. Agar tercapainya kedamaian

dalam masyarakat. Sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,

persoalan yg timbul adalah taraf kepatuhan hukum yg tinggi, sedang

ataupun kurang. Adanya derajat kepatuhan masyarakat terhadap

hukum merupakan salah satu indikator tercapainya cita-cita hukum.

Derajat kepatuhan atau ketaatan hukum terbagi tiga:59

1. Complience, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang

didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk

menghindarkan diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin

dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum.

Otje Salman dan Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, P.T. Alumni,
59

Bandung, 2004, hal. 54.

103
2. Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum

ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar

keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik

dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan

kaidah-kaidah hukum tersebut.

3. Internalization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-

kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi

mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai

dengan nilai-nilai dari pribadi yang bersangkutan, atau nilai-nilai

yang dianutnya.

Sebagai contoh yakni pada Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini masih

saja selalu terjadi, mengapa demikian, karena tingkat kepatuhan

masyarakat belum berada di tingkat internalization sehingga sangat

sulit pasal ini efektif jika tidak dibarengi dengan pengetahuan hukum

masyarakat yang memadai. Karena efektif tidaknya suatu aturan

ditentukan oleh apatis atau tidaknya masyarakat itu.

104
B. Implementasi perlindungan hukum terhadap korban tindak

pidana penghinaan citra tubuh body shaming

Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang di lakukan

secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta

yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan

pemenuhan kesehjahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada

sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. Dengan kata lain perlindungan hukum

sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum

dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,kepastian, kemanfaatan dan

kedamaian.

Pada dasarnya perindungan hukum tidak membedakan terhadap

kaum pria maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

pancasila haruslah memberikan terhadap warga masyarakatnya karena

itu perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan

perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk

individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang

menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan

bersama.

Pengertian perlindungan secara umum adalah memberikan

pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan

perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata

105
lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus

diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik

secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari

pihak manapun.

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan

martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki

oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan

atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat

melindungi suatu hal dari hal lainnya.

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan

untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau

kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesame

manusia.

Perlindungan hukum menurut Muchsin merupakan suatu hal

uang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu

sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan

untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini

terdapatdalam peraturan perundang-undangan dengan maksud

106
untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu

atau batasan-batasan dalam melakukan satu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir

berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang

diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran.

Adapun sarana perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon

ada dua macam, yaitu:

1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum

diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau

pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk

yang defintif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.

Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak

pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena

dengan adanya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong

untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan

pada diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai

perlindungan hukum preventif.

107
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh

pengadilan umum dan pengadilan administrasi di Indonesia termasuk

kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum

terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep

tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep

tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan

kewajiban masyarakat dan pemerintah.

Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak

pidana pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat

tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum60.

Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban menentukan bahwa perlindungan adalah segala upaya

pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman

kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau

lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina


60

Ilmu, Surabaya, 1987, h. 30

108
Namun Seiring dengan perkembangan teknologi, maka kejahatan

pun berkembang mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Jika

dahulu orang hanya bisa melakukan penghinaan dan pencemaran nama

baik lewat tulisan surat atau perkataan lisan, sekarang dengan adanya

internet seseorang juga bisa melakukan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik melalui internet.

Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang

berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media

massa cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut

tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan/kerugian bagi korban

dan juga keluarganya.

Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam

beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu di tanggulangi, baik

melalui pendekatan yang sifatnya preemtif, preventif maupun represif,

dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu

lembaga yang berkompeten.

Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu

informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh

korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian

atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.

Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional) artinya

bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang

memengaruhi korban baik yang sifatnya yang internal maupun eksternal.

109
Faktor internal adalah faktor yang asalnya dari dalam diri seseorang atau

individu itu sendiri. Faktor ini biasanya berupa sikap juga sifat yang

melekat pada diri seseorang. Terkait faktor internal, umumnya sifat dan

sikap yang menimbulkan permasalahan sosial adalah sifat atau sikap

seperti malas bekerja, tidak memilki kepedulian dan empati, tidak

mengindahkan peraturan, mudah menyerah dan lain sebagainya. Adapun

faktor yang asalnya dari luar diri seseorang atau individu. Faktor ini

meliputi lingkungan di sekitar termasuk orang-orang terdekat. Contohnya,

faktor eksternal yang menjadi pemicu munculnya permasalahan sosial

adalah faktor alam, faktor kependudukan, faktor lokasi, faktor ekonomi,

faktor lingungan, dan juga faktor sosial.

Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan

(fisik, mental, atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa

dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima

karena berbagai alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari

masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena

kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga

lebih baik korban menyembunikannya atau korban menolak untuk

mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan

menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada

timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.

Dalam pengaturan hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak

yang paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita

110
kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil,

fisik, maupun psikologis, korban juga harus meangggung derita berganda

karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi

terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali

mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi)

kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses

pemeriksaan, baik di tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya

diperiksa di pengadilan.

Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika

dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya

beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak

memberikan “hak istimewa” kepada tersangka (terdakwa) dibandigkan

kepada korban. Dapat dijelaskan bentuk penerapan perlindungan hukum

terhadap korban penghinaan terhadap citra tubuh (bodyshaming) harus

memperhatikan konteks dalam kata-kata yang diucapkan/ dituliskan di

media sosial apakah telah memenuhi unsur sebagaimana yang

tercantum dibawah ini

Dalam Pasal 27 ayat 3 berbunyi “Setiap orang dengan sengaja

dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memilki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama

baik.

111
Bunyi teks tersebut jika diuraikan unsurnya, maka terdapat

beberapa unsur, yaitu:

a. Unsur subjektif berupa unsur kesalahan

Dalam hal ini terdapat kata “dengan sengaja”. Penegak hukum

harus dapat membuktikan bahwa pelaku melakukan pencemaran

nama baik/atau penghinaan melalui internet dengan sengaja.

b. Unsur melawan hukum

Dalam hal ini terwakilkan dengan kata “tanpa hak”. Menurut hemat

penulis, sebagaimana penjelasan dan uraian mengenai

kesepadanan makna dari kata “tanpa hak” dengan melawan

hukum”.

c. Unsur kelakuan

Dalam hal ini yang dimaksud adalah perbuatan yang dilarang dan

menjadi objek pada Pasal 27 ayat (3) ini yaitu : “mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” yang memiliki

muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Unsur ini

dapat dipenuhi jika bermuatan penghinaan dan pencemaran nama

baik.

Perlindungan hukum dalam hal ini erat kaitannya dengan hak-hak,

dan langkah perlindungan yang diberikan lebih bersifat reaktif daripada

proaktif. Dikatakan reaktif karena langkah ini ditujukan kepada mereka

112
yang telah mengalami atau menjadi korban kejahatan dan

melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut.

Namun, yang menjadi permasalahannya adalah bahwasanya sering kali

korban memutuskan untuk tidak melaporkan adanya kejahatan yang

menimpa mereka seperti contoh kasus diatas karena korban merasa

bahwa proses hukum yang begitu panjang dan jauh dari asas cepat,

sederhana dan biaya ringan. Lebih luas banyak faktor yang menjadi

penyebab sehingga korban enggan untuk melaporkan kejahatan yang

terjadi, salah satu faktornya bahwa keputusan ini merupakan rangkaian

tingkah laku yang bersumber pada sikap individual dan interaksi korban

sebagai pelapor dengan polisi sebagai fungsi hubungan stimulus

diwujudkan dalam bentuk perilaku positif dalam “model bertingkah laku”

bagi korban dalam pengambilan keputusan. Demikian pula sebaliknan,

tingkah aku masyarakat adalah stimulus yang diwujudkan dalam bentuk

penghargaan dari masyarakat terhadap polisi yang akan menjadi faktor

pendorong polisi dalam menjalankan tugasnya.

Selain faktor tersebut di atas, faktor kepribadian korban masih

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam perlindungan

hukum. Faktor kepribadian korban tersebut antara lain:

a. Korban kejahatan pada umumnya tertuju pada manusia yang

mempunyai hak dan kewajiban serta menurut perlakuan yang sama

dengan orang lain, termasuk perlakuan terhadap pelaku kejahatan.

Jaminan perlakuan terhadap korban seringkali dituntut, karena

113
merupakan salah satubentuk perlindungan. Upaya penegakan

hukum tidak akan membawa hasil manakala tidak diimbangi

dengan perasaan keadilan, termasuk di dalamnya rasa keadilan

para korban kejahatan.

b. Adanya kecendrungan sikap korban yang pasif dan bahkan non-

kooperatif (uncooperative victims of crime) dengan aparat penegak

hukum, merupakan salah satu bukti konkrit dari kurangnya

perhatian sistem peradilan pidana terhadap hak-hak dan

perlindungan hukum korban kejahatan. Belum lagi ditambah

dengan kecendrungan yang “offender centered” yang

mengakibatkan kurangnya dukungan korban terhadap sistem

peradilan pidana. Sikap kurang loyal di atas akan lebih mengemuka

manakala korban harus pula berfungsi sebagai saksi yang

memberikan kesaksian secara benar dibawah sumpah. Jika

ternyata kesaksian korban tidak benar atau palsu dan

memberatkan tersangka atau terdakwa, ia diancam dengan pidana

penjara maksimal Sembilan bulan (Pasal 242 ayat (2) KUHP)

dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu.

c. Kurangnya kepercayaan korban terhadap peradilan pidana yang

tercermin dari banyaknya korban yang tidak melapor, merupakan

kegagalan sistem peradilan pidana, baik dalam menata sistem

maupun dalam mencapai tujuan akhir. Dalam hal yang terakhir,

selain harus berpedoman kepada ketentuan tertulis harus pula

114
diperhatikan moral yang di dasarkan pada kebenaran dalam

melihat suatu perkara. Oleh karenanya setiap sub-sistem dalam

sistem peradilan pidana senantiasa memilikitanggung jawab hukum

untuk menegakkan hukum negara dan tanggung jawab moral untuk

melindungi, memulihkan, dan menjungjung tinggi harkat martabat

manusia. Apabila terjadi penyimpangan di atas maka akan

menimbulkan efek negative terhadap tersangka maupun korban.

Dengan kata lain, penyimpangan di atas akan menjadikan sistem

peradilan pidana sebagai faktor kriminogen dan sekaligus faktor

viktimogen. Terhadap tersangka, ia akan menjadi korban structural

(structural victims), misalnya krena penangkapan dan penahanan

yang tidak sah , sedangkan terhadap korban selain ia telah menjadi

korban kejahatan harus pula menjadi korban sistem peradilan

pidana yang dalam mekanismenya kurang memperhatikan hak-hak

dan perlindungan korban yang merupakan bagian integral dari

keseluruhan sistem peradilan pidana.

d. Pendekatan humanistic dan pendekatan non-prosedural dapat

digunakan untuk mengatasi masalah tersebut. Namun jika

penggunaan pendekatan humanistik belum bisa memenuhi hak

dan kewajiban korban dimana ingin mendapat kepastian hukum

maka polisi dituntut untuk senantiasa menggedor nurani mereka

dalam menghormati harkat dan martabat manusia. Polisi harus

membatasi dirinya, kapan harus menggunakan kewenangan

115
dan tidak mengunakan kewenangan tersebut. Harkat dan

martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa harus

dilindungi dan dihormati. Dengan kata lain, polisi harus selektif dan

tidak bisa menyamaratakan semua perkara penghinaan citra tubuh

body shaming dapat diselesaikan dengan pendekatan mediasi,

karena pada prinsipnya setiap manusia memiliki kondisi mental

yang berbeda-beda.

Berdasarkan hasil wawancara dengan korban penghinaan citra

tubuh body shaming Ibu Dr. Maulina Pia Wulandari, S.Sos., M. Kom.,

Ph.D. salah satu Dosen Universitas Brawijaya menyatakan bahwa tidak

akan melakukan upaya mediasi karena dampak yang ditimbulkan dari

kasus ini membuat korban merasa down, merusak kredibilitas korban

sebagai akademisi, sebagai seorang Ibu dan segala proses peradilan

korban menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian. Akan tetapi

pihak kepolisian terus berupaya agar kasus ini dapat diselesaikan secara

restorative justice, sehingga korban menegaskan bahwa telah memafkan

pelaku tersebut tapi proses hukum harus terus berjalan sebagaimana

mestinya agar hak-haknya sebagai warga negara terpenuhi. Seiring

berjalannya waktu sampai tiga tahun kasus ini berlalu laporan korban

belum menemukan titik temu. Korban juga menuturkan bahwa tidak ingin

jika dalam kasus ini “ada uang yang berbicara” sehingga kasus tersebut

akan segera ditangani sebagaimana publik figur yang memiliki kasus

serupa dengan korban, contohnya Ussy Sulistiawaty yang berprofesi

116
sebagai Aktris Indonesia, dimana anak mendapat perlakuan kurang

menyenangkan melalui media sosial instagram sehingga diketahui oleh

banyak orang dan penghinaan terhadap fisik tersebut sudah menjadi

label yang melekat pada diri korban. Jika menelisik kedua kasus serupa

diatas terdapat berbedaan dalam penanganan kasus, dimana seorang

public figure tersebut lebih cepat mendapat perhatian oleh aparat hukum

namun sebaliknya yang dirasakan korban yang berprofesi sebagai

akademisi merasa kehilangan kepercayaan pada aparat hukum sebab

tiga tahun kasus tersebut berjalan, korban tidak mendapat kepastian

hukum.61

Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dalam teori perlindungan

hukum, maka hal tersebut belum sepenuhnya tercapai melihat dari

perlindungan berupa:

a. Upaya Preventif

Upaya preventif yakni dilakukan untuk mencegah terjadinya

atau timbulnya kejahatan yang pertama kali . Mencegah kejahatan

lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih

baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-

usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar

tidak terjadi lagi kejahatan yang berulang.

Berdasarkan tabel dibawah ini:

61
Wawancara dilakuan melalui media zoom, pada tanggal 5 Maret 2021

117
Tabel 2.2
Penyelesaian Atas Laporan Tindak Pidana
Penghinaan/Pencemaran Nama Baik
Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri

Tindak Pidana Penghinaan/Pencemaran Nama Baik


Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE
TAHUN
JUMLAH PENYELESAIAN
PERSENTASE
LAPORAN POLISI PERKARA
2016 21 9 42,86%
2017 65 16 24,62%
2018 61 42 68,85%
2019 53 38 71,70%
2020 55 17 30,91%
TOTAL 478 110 23,01%

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan penyidik tindak

pidana siber mengenai bagaimana implementasi perlindungan

hukum terhadap korban penghinaan citra tubuh body shaming dapat

diambil kesimpulan bahwa selama ini dalam setiap perkara body

shaming yang ditangani di kepolisian, sering mengedepankan upaya

mediasi antara pelapor dan terlapor. Itu artinya bahwa dalam perkara

body shaming masih sangat dikesampingkan. Banyaknya laporan

mengenai tindak pidana penghinaan citra tubuh body shaming

menginformasikan bahwa perkara ini bukanlah hanya sekedar

menjatuhkan harkat dan martabat sebgaimana pada kasus

pencemaran nama baik namun lebih jauh lagi perkara ini

118
menimbulkan dampak buruk seperti mengganggu kesehatan mental

bagi korban yang mengalaminya

Di Indonesia sendiri belum ada aturan khusus yang mengatur

tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana

penghinaan citra tubuh (body shaming). Pengaturan yang dapat

dijadikan dasar rujukan terhadap perbuatan penghinaan citra

tubuh (body shaming) terdapat Pasal 310, Pasal 311dan Pasal 315

KUHP. Akan tetapi sementara ini yang paling cocok menjadi dasar

hukum bagi tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming)

yakni Pasal 315 KUHP.

Secara umum body shaming masuk dalam kategori

penghinaan ringan diatur dalam Pasal 315 KUHP yang berbunyi “

Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat

pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap

seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun

di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan

surat yang diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan

ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Adapun unsur-unsur dari Pasal 315 KUHP yaitu:

a. Unsur Obyektif

1. Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran lisan atau

pencemaran tertulis; Penghinaan yang tidak bersifat

119
pencemaran adalah jika seseorang melakukan pembuatan

menghina atau mencela seseorang akan tetapi apa yang

dikatakan itu benar tanpa bermaksud mencemarkan nama

baiknya, namun perkataanya membuat orang lain merasa

tersinggung dan direndahkan harga dirinya sebagai manusia.

2. Yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan

lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri dengan

lisan atau perbuatan; Tindak pidana penghinaan yang

dilakukan tersebut dimaksud apabila suatu tindakannya

dilakukan di muka umum atau bahkan di muka orangitu

langsung baik dengan berbicara langsung secara spontan atau

menggunakan perantara tulisan, surat maupun bekomentar

menggunakan media elektronik.

3. Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya;

Apabila tindak pidana penghinaan tersebut dilakukan dengan

cara melalui bentuk tulisan berupa surat yang dikirimka

langsung kepada seseorang sehingga dapat menjadi bukti dari

perbuatan penghinaannya tersebut baik yang mengirimkan

atau yang menerima.

b. Unsur Subjektif

1. Dengan sengaja

Di dalam KUHP tidak memberikan penjelasan langsung

mengenai kata sengaja. Akan tetapi dapat kita ketahui bersama

120
arti dari kata sengaja yang diambil dari M.v.T (Memorie van

Toelicthing) yang artinya adalah menghendaki dan mengetahui.

Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja adalah menghendaki

atau mengetahui yang dilakukan. Seseorang yang melakukan

perbuatan dengan sengaja tersebut merupakan yang memang

mengehendaki perbuatan itu dan menyadari tentang apa yang

dilakukannya.

Berdasarkan hasil penelitian penulis, penulis menemukan

pada Polda Metro Jaya, masih terdapat ketidakpahaman

penyidik berkaitan dengan penerapan perlindungan korban

terhadap penghinaan citra tubuh (body shaming) sehingga

banyaknya laporan mengenai penghinaan citra tubuh (body

shaming) hanya dapat diselesaikan secara restorative justice,

hal ini sangat berdampak besar terhadap penegakan hukum

pidana itu sendiri terutama pada korban yang merasa

mengalami penderitaan mental akibat dari perbuatan body

shaming.

Seperti yang kita ketahui bahwa perkara body shaming

selalu mengedepankan upaya mediasi terlebih dahulu akan

tetapi seiring berjalannya waktu perkembangan teknologi

semakin pesat banyak perilaku menyimpang dalam masyarakat

modern perlu diwaspadai. Seperrti dalam perkara body

shaming banyak pelaku yang ingin mengomentari citra tubuh

121
seseorang atas dasar dendam atau hanya sekedar membuat

guyonan yang mengakibatkan korban tersebut merasa tidak

aman akan bentuk tubuh yang dimilikinya sendiri sehingga

perlindungan atas hak rasa aman tidak dapat terwujud.

b. Upaya Represif

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan

secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan.

Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak

para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta

memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang

dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan

merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang

lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan

ditanggungnya sangat berat. Berdasarkan hasil wawancara penulis

dengan korban mengemukakan bahwa perlu adanya dampak hukum

yang diberikan oleh penegak hukum terhadap pelaku body shaming

sehingga tidak menimbulkan kejahatan yang berulang. Namun dalam

realitanya penegakan hukum selalu mengupayakan mediasi sehingga

pada kasus-kasus body shaming belum pernah ada yang sampai pada

tahap pengadilan. Artinya penegak hukum gagal memenuhi hak-hak

korban yang merasa dijatuhkan mental atau harga diri dan direndahkan

fisiknya sehingga penghormatan atas harkat dan martabat yang tidak

berhasil di wujudkan oleh penegak hukum sebagaimana dalam UU 39

122
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang

secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan

langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan

tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selain hak

asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang

satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan korban, mereka

mengatakan bahwa tidak akan pernah tercapai rasa aman jika penyidik

atau pihak kepolisian masih memandang perkara ini bukanlah hal yang

serius untuk ditindaklanjuti. Bahkan lebih jauh lagi dapat menimbulkan

beban mental bagi yang bersangkutan dan membuka peluang untuk

menjadikannya sebagai sarana tindakan-tindakan yang bersifat menekan

dari si pelaku tindak pidana, dan bahkan pada gilirannya dapat

menjadikan sebagai korban yang kedua kalinya. Sekaitan dengan teori

perlindungan hukum menurut Satjipto Rahardjo, bahwa hukum hadir

dalam masyarakat untuk mengintegrasikan dan mengkordinasikan

kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain.

Pengkoordinasian kpentingan-kepentingan tersebut dilakukan dengan

cara membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan terkait.

Berangkat dari asas diperlakukan sama didepan hukum (equality

before the law) adalah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang

di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial,

123
ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya. Maksud

dari asas ini adalah di depan pengadilan kedudukan semua orang sama,

maka mereka harus diperlakukan sama. Seseorang bersalah maka harus

dihukum, sedangkan jika tidak bersalah, maka harus dibebaskan. Selain

itu, walaupun seseorang mendapatkan suatu hukuman, tetapi hukuman

yang diberikan haruslah sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya.

Dalam kasus yang penulis teliti bahwa tidak terpenuhinya hak rasa

keadilan dan kepastian hukum dari korban. Lebih jauh lagi bahwa bentuk

perlindungan hukum preventif dan represif seperti terjaminnya hak atas

rasa aman dan penghormatan atas harkat dan martabat belum bisa

direalisasikan oleh penegak hukum. Sebagaimana penuturan korban

bahwa kasus yang bermula dari tahun 2018 hingga tahun 2021 belum

mendapat kejelasan dari pihak kepolisian.

Jika asas dan tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik, bukan

saja korban dan saksi yang mendapat perlindungan, tetapi lebih luas lagi.

Tentu saja masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi dan negara

dianggap telah melaksanakan kewajibannya melindungi warganya

dengan baik. Hal ini merupakan salah satu tujuan negara yang termaktub

dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu

“Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Bukan itu saja,

perlindungan di atas merupakan bagian politik hukum pidana yang

selama ini terlihat lebih banyak memihak ke tersangka/terdakwa.

124
Diharapkan pula korban dapat berperan dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana/kejahatan. Pada gilirannya akan tercapai

tujuan yang lebih mendasar, bukan saja keadilan, kepastian hukum, dan

ketertiban, tetapi lebih dari itu, yaitu suatu welfare state.62

Dari fakta lapangan yang ditemukan oleh penulis terdapat

kejanggalan antara keterangan penyidik dan keterangan korban.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Adit selaku penyidik

di Polresta Kota Malang.63 menyatakan bahwa pada tahun 2019 ada

upaya mediasi telah disetujui oleh korban namun berdasarkan hasil

wawancara penulis dengan korban ia menuturkan bahwa tidak akan

melakukan upaya mediasi dan berharap pelaku bisa dijerat sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Pada tahun 2020 tepatnya pada bulan

april komunikasi terakhir yang dilakukan antara korban dan penyidik.

Penyidik lalu menuturkan kepada korban bahwa berkasnya telah lengkap

dan akan segera dilimpahkan di kejaksaan namun karena terkendala

pandemi covid-19 tersangka tidak dapat memberikan keterangan secara

langsung karena posisi pelaku sedang berada di Kota Kalimantan.

Menurut penulis adanya upaya penyidik dalam melindungi pelaku sebab

jika penyidik berdalih kesulitan mendapat keterangan dari tersangka

dengan alasan pandemi covid-19 terbantahkan dengan kebijakan terbaru

yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Yakni Mahkamah Agung (MA)

telah mengeluarkan surat edaran no. 1 tahun 2020 tentang pedoman

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika,


62

Jakarta, 2014, hal. 39


Wawancara dilakukan telephone whatsapp, 8 Maret 2021
63

125
pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Covid-19 di

lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya (SEMA no. 1 tahun 2020). SEMA no. 1 tahun 2020 kemudian

diubah dengan SEMA No. 2 tahun 2020 dan diubah lagi dengan SEMA

no. 3 tahun 2020. Sebagaimana peraturan tersebut mengatur hakim dan

aparatur peradilan dapat menjalankan tugas kedinasan dengan bekerja di

rumah atau tempat tinggalnya (work from home/WFH). WFH tersebut

termasuk pelaksanaan agenda persidangan pemeriksaan perkara yang

dilakukan secara elektronik melalui teleconference. Kebijakan untuk

melakukan persidangan secara elektronik diperkuat dengan adanya

perjanjian kerjasama antara MA, Kejaksaan Agung, dan Kementerian

Hukum dan HAM yang menyepakati untuk menyelenggarakan

persidangan secara elektronik untuk perkara tindak pidana selama

pandemi Covid-19 Dengan adanya SEMA No. 1 Tahun 2020 beserta

perubahannya dan perjanjian kerjasama antara MA, Kejaksaan Agung,

dan Kementerian Hukum dan HAM yang menyepakati untuk

menyelenggarakan persidangan secara elektronik, maka persidangan

secara elektronik telah banyak dilakukan pada masa pandemi Covid-19.

Kejaksaan Agung mencatat, sejak 30 Maret hingga 6 Juli 2020 ada

sebanyak 176.912 perkara tindak pidana umum yang telah menjalani

persidangan secara elektronik. Artinya jika mengacu pada ketentuan

yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hal ini sangat kontradiktif

dengan pernyataan yang diberikan oleh penyidik Polresta Kota Malang.

126
Oleh karenanya juga diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan

kemampuan SDM aparatur hukum di bidang Teknologi Informasi mulai

dari polisi, jaksa, hakim bahkan advokat khusus yang menangani

masalah-masalah ini (cybercrime). Penegakan hukum di bidang cyberlaw

mustahil bisa terlaksana dengan baik tanpa didukung SDM aparatur yang

berkualitas dan ahli di bidangnya.

Apabila memperhatikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan pada

dasarnya sudah diberikan pada saat pelaku (tersangka) ditangkap atau

ditahan, yaitu dalam bentuk pemberian bantuan hukum oleh penasihat

hukum (pendamingan selama dalam pemeriksaan) bahkan dengan

diperhatikannya surat tugas serta surat perintah penangkapan yang di

dalamnya mencantumkan identitas tersangka, dan menyebutkan alasan

dilakukannya penangkapan, serta uraian singkat kejahatan yang

disangkakan kepada pelaku/tersangka, maka pemberian perlindungan

hukum kepada tersangka/pelaku sudah mulai diberikan.

Pemberian perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan tidaklah

berhenti setelah selesainya pemeriksaan terhadap pelaku di tingkat

penyidikan, tetapi masih terus diberikan sampai dengan diperiksa dan

diadilinya pelaku/tersangka di pengadilan, yang diwujudkan dalam bentuk

kesempatan untuk mengajukan pembelaan yang dapat dilakukan oleh

pelaku sendiri maupun diwakili oleh kuasa hukumnya, diberikannya hak

kepada pelaku/tersangka di pengadilan, yang diwujudkan dalam bentuk

127
kesempatan untuk mengajukan pembelaan yang dapat dilakukan oleh

pelaku sendiri maupun diwakili oleh kuasa hukumnya, diberikannya hak

kepada pelaku/tersangka untuk mengajukan berbagai upaya hukum

(seperti: banding, kasasi, peninjauan kembali) atas suatui putusan

pengadilan, dan sebagainya.64

Jadi, dengan memperhatikan beberapa contoh perlindungan hukum

yang diberikan pada pelaku kejahatan/tindak pidana selama proses

pemeriksaan sampai dengan divonisnya tersangka, memunculkan kesan

bahwa perlindungan terhadap pelaku kejahatan memperoleh porsi lebih

besar dibandingkan dengan korban kejahatan.

Apabila diperhatikan secara lebih komprehensif, muncul kesan

bahwa korban kejahatan belum memperoleh perlindungan yang

memadai. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni salah satunya

terletak di faktor penegak hukum itu sendiri.

Jika sudah sampai pada aspek pencegahan dan pengayoman

terhadap pemilik informasi dari cyber crime, maka upaya yang dilakukan

untuk mewujudkan tahapan ini merupakan bentuk penghormatan

terhadap kreasi-kreasi intelektual. Jika selama ini indonesia dikenal

sebagai negara yang kurang serius menangani masalah cyber crime,

maka hal ini menunjukkan kalau masalah perlindungan hukum di bidang

ini belum sebaik perlindungan di bidang lainnya.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban


64

Kejahatan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 172

128
Dalam Crime Control Model (Model pengendalian kejahatan)

merupakan model sistem peradilan pidana yang bersifat represif dalam

menanggulangi perilaku jahat. Penanggulangan kejahatan dengan model

ini cenderung menggunakan penghukuman yang tinggi dan bersifat

penalty, melalui screening yang telah dilakukan oleh polisi dan jaksa

sebagai indicator untuk menentukan atau melakukan penilaian terhadap

seorang tersangka atau terdakwa bersalah atau tidak dalam proses

peradilan.65

Crime Control Model menyatakan bahwa pemberantasan atau

penaggulangan kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus

diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana, sehingga perhatian

utama dari model ini harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan

pidana. Penekanan pada model ini adalah efektivitas, yaitu kecepatan

dan kepastian. Pembuktian kesalahan seseorang tersangka atau

terdakwa sudah dapat diperoleh pada tingkat pemeriksaan oleh

kepolisian. Titik perhatian dari model ini adalah perlindungan yang efektif

terhadap masyarakat dari pelanggaran hukum dan ketertiban.

Dalam Crime Control Model (CCM) terdapat anggapan bahwa

penanggulangan kejahatan merupakan hal yang paling didambakan

masyarakat, oleh karena itu, diperlukan suatu represi terhadap perilaku

criminal. Menurut anggapan ini, gagalnya penegak hukum mengatasi

kejahatan dapat meruntuhkan tertib masyarakat (public order) dan

Edi Setiadi dan Kristian, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem
65

Penegakan Hukum di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2017, hal. 72

129
menjurus kepada hilangnya kemerdekaan sosial (social freedom).

Dengan anggapan demikian, Crime Control Model (CCM) menganggap

bahwa proses peradilan pidana atas pelaku-pelaku kejahatan merupakan

upaya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tertib masyarakat (public

order) dan kemerdekaan sosial (social freedom).

Adapun nilai-nilai yang melandasi Crime Control Model (CCM)

adalah sebagai berikut:

1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan

fungsi terpenting dari suatu proses peradilan.

Crime Control Model (CCM) beranggapan bahwa penanggulangan

kejahatan merupakan hal yang paling didambakan masyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan suatu represi terhadap perilaku kriminal.

Menurut anggapan ini, gagalnya penegak hukum mengatasi

kejahatan dapat meruntuhkan tertib maysarakat (public order) dan

menjurus kepada hilangnya kemerdekaan sosial (social freedom).

Oleh karena itu, Crime Control Model (CCM) menganggap proses

kriminal adalah jaminan atas social freedom yang positif.

2. Perhatian utama dalam Crime Control Model (CCM) harus ditujukan

kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi

tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau

melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya.

Berdasarkan anggapan tersebut di atas, terdapat suatu

konsekuensi harus adanya efisiensi dan efektivitas dalam proses

130
penegakan hukum. Kemampuan aparat penegak hukum untuk

melakukan penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman

kepada pelaku kejahatan dipakai sebagai ukuran keberhasilan.

3. Crime Control Model (CCM) lebih menekankan kepada

penanggulangan atau pengawasan kejahatan. Karakteristik atau

ciri khas yang menonjol adalah efisiensi karena yang ingin dicapai

adalah penangggulangan kejahatan. Dapat dipastikan, menurut

model ini, sekali pelaku kejahatan masuk kepolisian akan sampai

ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Semakin banyak perkara

yang masuk dan dapat diselesaikan merupakan ukuran

kesuksesan.

4. Proses penegakan hukum dalam Crime Control Model (CCM) harus

dilaksanakan berlandaskan pada prinsip cepat (speedy) dan tuntas

(finality), model yang dapat mendukung proses penegakan hukum

tersebut haruslah model administratif dan menyerupai model

manajerial.

5. Penggunaan “asas praduga bersalah” atau “presumption of guilt”

akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; dan

6. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas

temuan-temuan fakta administrative, oleh karena temuan tersebut

akan membawa kea rah:

a) Pembebasan tersangka dari penuntutan, atau

131
b) Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah (plead of

guilty)

Beberapa nilai Crime Control Model mengupayakan bahwa

kejahatan dalam perkara apapun perlu diterapkan sanksi pidana agar

dapat menimbulkan dampak hukum terhadap perilaku manusia. Dampak

dari ketentuan hukum, bukan sekedar berupa ketaatan, sebab dampak

merupakan efek total dari suatu ketentuan hukum terhadap perilaku

manusia, baik perilaku positif maupaun perilaku negative, contoh :

Larangan untuk tidak mengomentari kondisi fisik seseorang baik itu

secara lisan atau tulisan, dalam dunia nyata atau dunia maya medsos

dapat menimbulkan perilaku negative terhadap orang tertentu, misalnya

dengan dibenarkannya mengomentari fisik orang lain maka banyak

masyarakat yang menganggap perkara ini hanyalah hal biasa yang tidak

memiliki dampak hukum.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, penulis berkesimpulan

bahwa dari banyaknya kasus mengenai penghinaan citra tubuh body

shaming belum ada satu pun yang berhasil mendapatkan perlindungan

hukum dan lebih jauh lagi tidak tercapainya tujuan hukum itu sendiri salah

satunya kepastian hukum dimana korban melaporkan kasus penghinaan

terhadap citra tubuh body shaming pada awal tahun 2018 daan

menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Namun,

hingga tiga tahun kasus tersebut berlalu belum ada kejelasan dari pihak

kepolisian. Sehingga penulis berpendapat bahwa faktor yang

132
mempengaruhi pelaksanaan implementasi perlindungan hukum terhadap

korban penghinaan citra tubuh body shaming yakni terletak pada aparat

penegak hukum itu sendiri. Para penegak hukum antara lain hakim,

jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak

suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip

keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal

dan maksimal. Namun, hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus

penegakan hukum yang tidak berjalan semestinya.

133
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ketidakpahaman aparat penegak hukum akan sistem peradilan

pidana, akan menghambat dalam tercapainya pembangunan

hukum yang sangat di inginkan oleh bangsa ini. Penegak

hukum merupakan ujung tombak tercapainya keadilan,

kepastian, dan kemanfaatan hukum. Dibutuhkan pengetahuan

dan pemahaman prinsip-prinsip etika dan moral sebagai

sarana orientasi dalam penegakan hukum, agar sekalian

aparat penegak hukum dapat mengambil tindakan penegakan

hukum yang secara etis dapat dipertanggung-jawabkan.

Terjadinya hal tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu disamping kondisi sosial masyarakat sendiri yang

tidak tahu hukum, juga didukung oleh sumber daya manusia

yakni petugas kepolisian sendiri yang tidak memahami makna

perlindungan hukum.

2. Bentuk perlndungan hukum bagi korban penghinaan citra tubuh

body shaming belum berhasil diwujudkan. Baik dengan upaya

preventif maupun upaya represif sehingga lebih jauh lagi

korban yang sempat mengalami beban mental, menarik diri

dari lingkungan, hingga depresi sekalipun hanya bisa

menanggung penderitaan tersebut sendiri. Tidak adanya upaya

134
represif yang dilakukan penegak hukum akan menimbulkan

banyak korban dengan kasus yang serupa.

B. Saran

1. Profesional penyidik polisi dimaksudkan penyidik yang mampu

melaksanakan tugasnya sesuai dengan kapasitas keilmuan

yang diterimanya (ilmu hukum) dan mampu menggunakan

secara benar sejalan dengan perkembangan ilmu hukum serta

situasi tantangan dalam masyarakat saat ini. Oleh karenanya

meningkatkan sumber daya manusia yakni polisi melalui

pendidikan formal, pelatihan, maupun pelaksaan teknis

pemberian perlindungan hukum.

2. Perlu adanya kebijakan yang dapat mengurangi penderitaan

korban. Dalam perspektif viktimologi kebijakan dimaksud dapat

berupa restitusi dan/atau kompensasi Selain itu penulis juga

menyarankan kepada aparat kepolisian untuk lebih

memperhatikan apa yang menjadi hak-hak korban dalam kasus

body shaming.

135
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1,
Kencana, Jakarta.

Achmad Ali, 2008 Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.

Adami Chazawi, 2002 Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1,: PT


RajaGrafindo Persada, Jakarta

Adami Chajawi, 2002, Percobaan & Penyertaan (Pelajaran Hukum


Pidana), Rajawali Pers, Jakarta.

Adami Chazawi, 2011 Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum


Pidana, MNC Publishing, Malang.

Agus Raharjo, 2002, Cybercrime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan


Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Andi Hamzah, 2015 Delik-delik Tertentu di dalam KUHP, Sinar Grafika,

Jakarta.

Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law-Aspek Hukum


Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung.

Bambang Waluyo, 2014 Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar


Grafika, Jakarta.

Budi Suhariyatno, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime);


Rajawali Pers,Jakarta

Djisman Samosir, 2013, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana,


Nuansa Aulia, Bandung.

136
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2008 Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Edi Setiadi dan Kristian, 2017 Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan
Sistem Penegakan Hukum di Indonesia, Prenadamedia Group,
Jakarta.

Leden Merpaung, 2011 Proses Penanganan Perkara Pidana


(Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta.

Leden Merpaung, 2004 Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian


dan Penerapan, PT Grafindo Persada, Jakarta.

Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 1994, Filsafat Hukum Madzhab dan
Refleksi, PT. Remaja Rosada Karya, Bandung.

Otje Salman dan Susanto, 2004 Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, P.T.
Alumni, Bandung.

Philipus M. Hadjon. 1987 Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,


PT Bina Ilmu.

Sahrul Mauludi, 2018 Socrates Café: Bijak, Kritis & Inspiratif seputar Dunia
& Masyarakat Digital, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi,


Remadja Karya CV, Bandung

Teguh Prasetyo, 2012 Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta.

137
Mudzakkir, 2001 Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan
Pidana, Disertasi, Universitas Indonesia.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi


Elektronik

Jurnal Emik, Body Shaming, Citra Tubuh, Dampak dan Cara


Mengatasinya Volume 1 Nomor 1, Desember 2018

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2169617/seperti-apa-standar-
kecantikan-wanita-dari-zamanke-zaman, diakses tanggal 22
September 2020.
Dista Amalia Arifah, 2011, “Kasus Cyber Crime Di Indonesia”, Vol. 18,
No.2, Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Fakultas Ekonomi,
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang.

https://fajar.co.id/2018/11/28/966-kasus-body-shaming-ditangani-polri-
begini-ledekan-yang-dilaporkan diakses tanggal 22 September
2020.

https://cewekbanget.grid.id/read/06917607/enggak-tahan-dipanggil-
gendut-remaja-ini-bunuh-diri-di-sekolah?page=all diakses tanggal
22 September 2020

138
LAMPIRAN

A. Wawancara dengan penyidik Polda Metro Jaya

139
B. Wawancara dengan Korban Penghinaan Citra Tubuh body

shaming melalui zoom

140

Anda mungkin juga menyukai