Anda di halaman 1dari 395

PROCEEDINGS

PROCEEDINGS
The 3rd ANNUAL INCLE CONFERENCE FOR
CLINICAL LEGAL EDUCATION

LEGAL CLINICS AND THE FULFILMENT OF


ACCESS TO SOCIAL JUSTICE FOR SOCIETY
Editor
I Lidwina Nurtjahyo
Oce Madril
Maskun

UNIVERSITAS HASANUDIN, SULAWESI, INDONESIA


8-10 MAY 2017
PROCEEDINGS
The 3rd Annual INCLE Conference For Clinical Legal Education

Penyusun : Presidium INCLE


1. I Lidwina Nurcahyo
2. Oce Madril
3. Fatwa Fadillah
4. Widati Wulandari
5. Rosmalinda
6. Indah Febriani
7. Maskun
8. Yeni Rosliani
9. I. B Surya Dharma

ISBN :
978-602-51430-0-7

Reviewer :
Arip Yogiawan

Editor :
I Lidwina Nurtjahyo
Oce Madril
Maskun

Design/Sampul :
Muhammad Riza Anugrah Anugerah Natsir

Tata Letak :
Wildan Siregar

Diterbitkan oleh :
Indonesian Network For Clinic Legal Education

Kerja Sama dengan :


TAF & USAID

Alamat : Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta 10320


Website : www.incle.org
E-mail : secretariat@incle.org
KATA SAMBUTAN
KONFERENSI PENDIDIKAN KLINIK HUKUM INCLE 3RD
"Klinik Hukum dan Pemenuhan Akses terhadap KeadilanSosial bagi Masyarakat"

Pendidikan hukum memiliki posisi strategis dalam pembenahan dan perbaikan situasi
dan perkembangan hukum di Indonesia. Pengajaran Pendidikan Hukum Klinis atau Clinical
Legal Education (CLE) merupakan perkembangan terkini dalam pendidikan hukum di
Perguruan Tinggi di Indonesia yang diinisiasi oleh The Asia Foundation melalui program E2J
yang dikembangankan pada Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas
Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Sriwijaya, dan
Universitas Sumatera Utara, yang tentunya bermitra dengan beberapa Civil Society
Organization (CSO). Pendidikan hukum klinis ditujukan untuk menciptakan seorang sarjana
hukum yang mampu serta terampil dan memiliki paradigma keadilan sosial.
Konferensi ke-3 Indonesian Network Clinical for Legal Education (INCLE)
merupakan penyelenggaraan Konferensi yang diselenggarakan INCLE bekerjasama dengan
Fakultas Hukum yang menjadi Mitra INCLE., dimana Konferensi pertama di laksanakan di
Univeristas Indonesia pada tahun 2015 dan konferensi kedua di Universitas Udayana pada
tahun 2016. Kegiatan Konferensi yang dilaksanakan mulai dari Konferensi 1, 2, 3 selalu
dirangkaikan dengan kegiatan Training of Trainers (TOT).
Kehadiran beberapa universitas seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah
Mada, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas
Sriwijaya, Universitas Sumatera Utara, Universitas Nusa Cendana dari Nusa Tenggara Timur,
Universitas Andalas dari Sumatera Barat, dan universitas lainnya di wilayah Timur Indonesia
diantaranya Universitas Muslim Indonesia, Universitas Islam Negeri Alauddin, Universitas
Pattimura, Universitas Darussalam, Universitas Khairun, Universitas cendrawasih, Universitas
Musamus Merauke, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas
Tadulako, Universitas Haluoleo, Universitas Muhammadiyah Kendari, Universitas Sulawesi
Tenggara, Universitas Negeri Sulawesi Barat, Universitas Sawerigading, Universitas
Indonesia Timur, Universitas Atma Jaya Makassar, Universitas Satria, Universitas 19
November Kolaka, Universitas Bosowa, Universitas Ichsan Gorontalom, Universitas Kristen
Indonesia Paulus, Universitas Tomakaka, dan Universitas Madako. Selain itu beberapa
perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat seperti LBH Bandung, PUSAKA MEDAN, WCC
Palembang, LBH Surabaya, LBH APIK, Yayasan Konservasi Laut (YKL), Komite Pemantau
Legislatif (KOPEL), dan Anti Coruption Comitte (ACC), pada Konferensi INCLE ke-3
merupakan kontribusi nyata dan atensi yang besar dari berbagai stakeholders dalam
mengembangkan pola dan metode pendidikan hukum di Indonesia.

i
Konferensi inipun diharapkan akan menjadi sarana pertukaran gagasan dan
pengalaman dalam pengembangan pendidikan hukum klinis termasuk didalamnya sinergitas
kerja berbagai stakeholders seperti Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Komisi Yudisial (KY), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), dan pihak terkait lainnya
Akhirnya, terselenggaranya Konferensi INCLE ke-3 tentunya sangat ditentukan
komitmen dan kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak demi terselenggaranya
Konferensi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada INCLE, USAID-TAF, dan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah bahu membahu bagi terselenggaranya
Konferensi ini. Jika dalam penyelenggaraan Konferensi ini terdapat beberapa kekurangan
maka hal tersebut semata mata bentuk keterbatasan Panitia Pelaksana.

Makassar, 8 Mei 2017


Dekan

Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.H.

ii
Daftar Isi
Kata Sambutan i

Daftar Isi iii

I. Access To Justice For Marginalized Group


Dr. Agusmidah, SH, M.Hum
Perempuan Bekerja dalam Kevakuman Hukum 1
Dr. Maskun, S.H.,LL.M., Naswar, S.H.,M.H., Achmad, S.H.,M.H.
Identifikasi Pengembangan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal
(Studi Kasus Makassar) 9
Padma D. Liman
Kedudukan Anak Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/Puu-VIII/2010 26
Darul Huda Mustaqim, S.H & Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M
Akses Keadilan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Dan Tantangan Kedepan 32
Irvin Saut Tua Sihombing , Endah Sundari
Pemberian Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin Dalam
Implikasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kesejahteraan Rakyat (Walfare State) 43
Lidwina Inge Nutjahyo
Peran Klinik Hukum Perempuan dan Anak dalam Upaya Mendorong
Peningkatan Kesadaran Atas Pentingnya Perlindungan Perempuan
dan Anak di Kampus 56

II. Access To Justice And Anti-Corruption Movement


Abdul Fatah, SH, MH
Pemberantasan Korupsi Berbasis Organisasi Rakyat 69
Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M & Darul Huda Mustaqiem, S.H
Kaderisasi Mahasiswa Anti Korupsi Yang Berkarakter
(Studi Pada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruaan Tinggi) 84
Muhammad Rizaldi S.H. dan Sri Bayuningsih Praptadina S.H
Membangun Integritas Mahasiswa Melalui Studi Putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dan Relevansinya dengan Pemenuhan
Akses Terhadap Keadilan Sosial 95
Muh.Afif Mahfud, Yupitasari Saeful
Legal Protection For The People On Small Island Mastery 119
Based On Social Justice
Ulfa Apriani Hasan, Adzah Rawaeni, Monica Dewi Luqman, Evelyn Lay
Aspek Hukum Pendaftaran Tanah Hak Komunal 135
Wanodyo Sulistyani, S.H.,M.H.,LL.M.
Peranan Penting Mahasiswa Dalam Mendorong Akses Terhadap Keadilan 147

iii
Cok. Istri Diah Widyantari, Putu Ade Hariestha Martana, Kadek
Agus Sudiarawan, Kadek Sarna, Nyoman Satyayudha Dananjaya
Optimalisasi Peran Kampus dalam Menjawab Isu-Isu Lingkungan
di Provinsi Bali melalui Pengembangan Konsep Pembelajaran
Clinical Legal Education 163

III. Regional And International Relation To The Fulfillment Of


Community Justice
Birkah Latif, Prof. SM. Noor, SH., MH., Prof. Juajir Sumardi, SH.,
MH., Prof. Irwansyah, SH., MH.
Ketidakadilan Global: Perjanjian Perdagangan Bebas
(analisa terhadap Eksistensi Masyarakat Ekonomi ASEAN) 177

IV. The Latest Clinical Law Governance


Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH, MH, LLM, Putu Aras
Samsithawrati SH, LLM, I Made Budi Arsika SH, LLM., AA. Gede
Duwira Hadi Santosa SH, MHum
Menyebarluaskan Social Justice Melalui Klinik Hukum Perancangan
Kontrak Dengan Model Street Law: Efektifitasnya Di Fakultas Hukum
Universitas Udayana 186
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan SH, MHum, LLM, Dr. I Wayan
Wiryawan SH, MH, I Nyoman Darmadha SH, MH, Anak Agung Sri
Indrawati,SH,MH, I Made Dedy Priyanto,SH,MKn
Meningkatkan Nilai-Nilai Pro Bono Melalui Klinik Hukum Perdata
DenganModel Street Law 202
Aflah, SH., M.Hum
Keadilan Sosial Bagi Penumpang Angkutan Udara Dalam Memperoleh
Ganti Rugi Atas KeterlambatanPenerbangan 212

V. Access Community For Social Justice Of Land And Economy


Fauzia P. Bakti
Perjanjian Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Pelaku Perkawinan
Campuran (Suatu Telaah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 69/Puu-Xiii/2015) 225
Maria Kaban, SH., M.Hum.
Eksistensi dan Perkembangan Harta Bawaan dan Harta Bersama Dalam
Hukum Adat Karo di Kabupaten Karo 237

VI. Legal Reforms To Social Justice


Julandi J Juni, Ridwan A.Mantu, &Moh. Pradipta Duwila
Paradoks Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum :
Peran Dan Fungsi Paralegal Dalam Penanganan Kasus Secara Litigasi
Di Makassar 250

iv
VII. Access To Justice And Natural Resources
Bayu Vita Indah Yanti, Zahri Nasution
Tinjauan Terhadap Akses Keadilan Sosial Dan Akses Pemanfaatan Sumber
Daya Perikanan: Pembelajaran Dari Penerapan Sistem Lelang Terbuka
Dan Tertutup Perairan Lebak Lebung 257
Lasma Natalia
Akses Informasi Bagi Masyarakat Dalam Pemenuhan Hak Atas Lingkungan
Yang Baik Dan Sehat "Studi Terhadap Kasus-Kasus Pendampingan
Lembaga Bantuan Hukum Bandung Wilayah Jawa Barat” 268

VIII. Access To Justice And Public Policy


Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH1, A.A Istri Ari Atu Dewi,
SH.,MH, Made Nurmawati, SH.,MH, Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati,
SH,M.Kn.,LLM,
Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Melalui
Penyusunan Peraturan Daerah 384

IX. Access To Justice And The Criminal Law System


Dr. Nur Azisa
Konsep Pemenuhan Hak Restitusi Bagi Korban Kejahatan 305

X. Clinic Management, Curriculum, And Methods.


Sri Wahyuni S., Sitti Syahrani Nasiru, Abdul Muhaimin Rahim
Mulsin, Aldy Rinaldy Latif, Fitriani, Fenny Afriyanti
Membentuk Karakter Profesional, Handal, Dan Partisipatif Mahasiswa
Melalui Clinical Legal Education 321
Muhammad Zulfan Hakim
Sinergitas Pusat Konsultasi Dan Bantuan Hukum Universitas
Dan Fakultas Dalam Pembelajaran Klinik Hukum 333
Maria Ulfah, S.H., M.Hum.
Standar Pendidikan Hukum Klinis melalui Lembaga Bantuan Hukum Kampus 338
Erika Magdalena Chandra, S.H., M.H.
Pengaruh Kerjasama Institusi Bagi Keberlangsungan Street Law Dalam
Klinik Anti Korupsi Fh Unpad 353
Nella Sumika Putri
Model Koordinasi Antar Lembaga Dalam Pelaksanaan Model - Street
Law Clinic: Refleksi Terhadap Klinik Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpad 363
Dr. Ratih Lestarini, SH., MH, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, SH., M.Si
Klinik Hukum Sebagai Sarana Memperluas Akses Masyarakat terhadap
Keadilan 372
M. Irfan Alghifari
Upaya Mendorong Akses Terhadap Keadilan Melalui Sekolah Paralegal
Berbasis Komunitas Oleh Lembaga Bantuan Hukum 382
v
I. ACCESS TO JUSTICE FOR MARGINALIZED GROUP

Perempuan Bekerja dalam Kevakuman Hukum


Dr. Agusmidah, SH, M.Hum
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
midahagus@gmail.com

Abstrak— Perempuan bekerja dengan upah rendah, tanpa jaminan sosial, tanpa kontrak
yang jelas, selamanya berstatus pekerja lajang, kesemuanya merupakan kondisi yang
mudah ditemukan dalam hubungan kerja perempuan, baik di sektor formal maupun
non formal di Indonesia. Tulisan ini mengidentifikasi masih banyaknya ketidakpastian
hukum yang membuat maraknya buruh perempuan masuk dalam area marginal.
Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, data berasal dari literatur dan
observasi yang dilakukan dalam kegiatan street law, dimana penulis melakukan
komunikasi langsung dengan perempuan bekerja khususnya bekerja di sektor
perkebunan (formal), dan sektor pekerja rumahan (non formal). Data sekunder
diantaranya dari putusan pengadilan hubungan industrial (PHI). Penelitian ini
menemukan bahwa regulasi setengah hati yang menyebabkan perempuan bekerja
seolah dalam ruang hampa-tanpa perlindungan dan kepastian hukum.

Kata kunci : Kepastian Hukum, Perempuan, Undang-undang


Ketenagakerjaan.

Pendahuluan
Perempuan bekerja di ruang publik semakin lumrah dan diterima sebagai hal yang biasa saat
ini. Namun ini tidak diimbangi dengan kenyataan memperlakukan pekerja/buruh perempuan
setara dengan laki-laki, meski secara biologis ada perbedaan yang memberi dampak signifikan
atas perlakuan khusus bagi perempuan. Perlakuan khusus dimaksud antara lain cuti haid,
melahirkan, keguguran kandungan, dan istirahat menyusui bayi yang semuanya ada diatur
dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.1
Perlakuan diskriminatif antara pekerja/buruh laki-laki dan perempuan juga dilarang dalam
Undang-undang Ketenagakerjaan, antara lain dalam hal besaran upah, jabatan dan jenis
pekerjaan. Namun pada kenyataannya studi yang dilakukan dalam rangka street law ke
perusahaan perkebunan serta dokumen gugatan ke PHI masih ada menyangkut pelaksanaan
hak-hak tersebut. Kondisi inilah yang dimaksud dengan perempuan bekerja dalam
ketidakpastian regulasi.

1
Bahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (Convention On The Elimination Of All Forms Of
Discrimination Against Women) CEDAW dalam diktum Memperhatikan bahwa sejumlah dokumen seperti resolusi, rekomendasi, deklarasi
dll yag dikeluarkan PBB, namun pada kenyataannya diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih tetap ada, pada Pasal 11 menyatakan
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan
pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia
dalam bentuk UU, yaitu UU No. 7 Tahun 1984.

1
Masalah yang coba dipecahkan adalah apakah peraturan yang ada telah dijalankan sesuai
dengan tujuan dibuatnya aturan tersebut yaitu memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh
perempuan dari diskriminasi dan marginalisasi. Tujuan yang diharapkan adalah menemukan
dan menganalisis peraturan atau regulasi sehingga dapat dicapai perlindungan hukum bagi
perempuan bekerja pada masa yang akan datang. Manfaat dari penelitian ini adalah
memperkaya literatur sekaligus menjadi masukan bagi stakeholders untuk mengawasi
pelaksanaan regulasi sehingga pekerja/buruh perempuan tidak bekerja dalam kevakuman
hukum.

Status lajang buruh perempuan perkebunan


Status buruh lajang bagi pekerja berdampak terhadap pendapatan. Pendapatan bagi buruh
adalah akumulasi dari gaji pokok, tunjangan tetap dan atau tidak tetap. Status lajang jelas
mempengaruhi penerimaan tunjangan tetap yang diterima buruh berstatus kepala keluarga
yang menanggung isteri dan anak. Tunjangan tetap itu berupa beras, dan sembako lainnya,
tunjangan isteri, dan tunjangan anak. Buruh Perempuan di PT Perkebunan Soc selamanya
berstatus lajang, meski sebagian ada yang menjadi kepala keluarga dikarenakan suami telah
meninggal dunia.
Sejarah mencatat praktek diskriminatif yang dihadapi pekerja/buruh perempuan justru
dilegalisasi melalui peraturan yang pernah berlaku: pertama, diskriminasi terhadap pekerja
laki-laki dan perempuan dalam hal upah dalam PP No. 37 Tahun 1967 - sistem
pengupahan bagi tenaga kerja di perusahaan menyatakan bahwa istri dan anak-anak diakui
sebagai tanggungan tenaga kerja laki-laki. Oleh sebab itu, tenaga kerja perempuan yang
menikah dianggap lajang sedangkan suami dianggap sebagai tanggungan. Kedua, Permen
No. 2/P/M/Mining Tahun 1971menyatakan bahwa seluruh perempuan menikah yang
bekerja di perusahaan pertambangan negara dan perusahaan pertambangan asing diakui
sebagai lajang dan seluruh penghasilan akan diberikan kepada mereka dan bukan kepada
keluarganya. Perempuan menikah akan dianggap sebagai pencari nafkah utama hanya bila
dinyatakan sebagai janda atau jika suaminya tidak mampu untuk bekerja. Ketiga Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja RI Nomor SE-04/MEN/1988 Tentang Pelaksanaan Larangan
Diskriminasi Pekerja Wanita, dalam Point 2 menyatakan: Apabila dalam KKB atau
peraturan perusahaan diatur mengenai pemeliharaan kesehatan pekerja dan keluarganya
agar hak pekerja wanita disamakan dengan hak pekerja laki-laki kecuali apabila suami
pekerja wanita telah memperoleh pemeliharaan kesehatan untuk dirinya maupun
keluarganya baik dari perusahaan yang sama maupun dari perusahaan/instansi yang
berbeda. Misal: Perusahaan memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk pekerja
beserta keluarganya (seorang istri/suami + orang anaknya). Untuk pekerja wanita dianggap
berstatus tidak menikah sehingga jaminan kesehatan hanya berlaku untuk dirinya saja,
kecuali dapat dibuktikan dengan surat keterangan resmi bahwa di tempat suami bekerja
tidak mendapatkan jaminan kesehatan untuk dirinya dan keluarganya dan pekerja wanita
tersebut berstatus janda dan anak-anaknya menjadi tanggungannya. Surat Edaran
menyebutkan bahwa pengurus serikat buruh masih bisa berupaya agar para buruh
perempuan mendapatkan hak jaminan kesehatan yang sama, apabila diupayakan surat
keterangan resmi yang misalnya menyatakan suami tidak mendapatkan jaminan kesehatan
2
(untuk istri dan anak-anak) dan apabila buruh perempuan tersebut adalah orang tua tunggal
dengan anak-anak. Surat Edaran ini masih kental ―diskriminasi ‖ nya, masih dalam
pandangan bahwa perempuan dikatakan ―bukan pencari nafkah utama‖ sehingga upah dan
perlindungan nya juga bukan yang utama. Keempat, Pasal 3PP No. 8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah, ditegaskan bahwa Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh
mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang
sama nilainya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh
mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh
buruh pria sama besarnya dengan upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh
wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lihat PenjelasanPasal 3 PP 8/1981).
Peraturan pemerintah terbaru tentang Pengupahan tidak secara eksplisit mengatur
larangan diskriminasi bagi pekerja perempuan dalam besaran upah untuk jenis pekerjaan
yang sama. Kesempatan dan perlakuan yang sama disebut dalam UU No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UUK). 2 Pasal 5 dan Pasal 6 menyebut bahwa setiap tenaga kerja
memiliki kesempatan sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, juga berhak
memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Dua pasal di atas mengatur perihal larangan perlakuan diskriminasi yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik, termasuk
penyandang cacat. Dilihat dari kekuatan pasal itu maka keduanya termasuk dalam norma
memaksa, sebab disertai ancaman hukuman bagi yang melanggar, berupa sanksi
administratif. Sanksi administratif disebut dalam Pasal 190 ayat (2) UUK, berupa: teguran,
peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan
persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat
produksi, atau pencabutan ijin.

Pekerja rumahan (home workers) tanpa status hubungan kerja


Pekerja rumahan atau pekerja berbasis rumah dalam produksi di industri disebut
sebagai putting out system. Alasan mendasar pelaku usaha menerapkan bentuk
subkontrak yaitu meminimalkan ongkos produksi. Cara mudah dan fleksibel untuk
memenuhi permintaan yang fluktuatif dan sebagai sarana untuk menggantikan biaya
overhead ketimbang dengan menggunakan pekerja standar, inilah fleksibilitas tenaga
kerja itu, mempekerjakan pekerja secara lepas (casualisation of labour), subkontrak dan
atau alih daya. Tujuan utama tentu efisiensi, dengan sedapat mungkin bersaing dalam
fluktuasi dan kecenderungan pasar.3
Masalah normative yang dihadapi pekerja rumahan adalah tidak terpenuhinya unsur
hubungan kerja (formal) yang diatur dalam UUK. Hubungan kerja dirumuskan dalam

2
ILO memetakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam UU No. 13 Tahun 2003, dapat dilihat dalam
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_203337.pdf
3
Agusmidah, Hak Ekonomi Perempuan: Pekerja Rumahan dalam Jangkauan Undang-undang Ketenagakerjaan, Prosiding Seminar Ilmiah
Nasional Dies Natalis USU 64, 2016, hl. 1-8.

3
Pasal 1 angka 15 UUK sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Pekerja rumahan jelas memenuhi unsur adanya pekerjaan, dan pekerjaan yang dilakukan
tersebut melahirkan hak dan kewajiban yaitu pembayaran upah, namun tidak memenuhi
unsur perintah, dan tanpa diawali perjanjian kerja (tertulis).

―Unsur perintah menjadi sangat kabur sehingga menyamarkan hubungan kerja


dalam kerja rumahan ini. Kekaburan tersebut memang suatu yang sengaja
diciptakan. Lihatlah bahwa lapisan dalam rantai subkontrak sangatlah panjang
dan kompleks, pekerja rumahan adalah ujung dari rantai itu. Perantara atau
agen dalam sistem ini bukan seperti yang dikehendaki UUK, yang
mensyaratkan harus berbadan hukum. Perantara atau agen bisa perorangan,
baik memiliki hubungan kerja dengan perusahaan maupun tidak (bahkan di
antaranya adalah preman). Berikutnya adalah unsur Perintah yang menjadi ciri
khas dalam hubungan kerja majikan-buruh di mana menunjukkan adanya sub
ordinasi, hubungan diperatas. Perintah diwujudkan dalam bentuk adanya
instruksi kerja (peraturan perusahaan atau standart operasional prosedur)
yang harus dipenuhi pekerja atau buruh, konsekwensi dari tidak dijalankannya
perintah akan berdampak terhadap hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Tanpa ada perintah, seseorang bekerja layaknya pekerja mandiri: bekerja
kapan saja saat ia mau, tidak terikat jam kerja, lokasi kerja ditentukan sendiri,
namun tidak memiliki akses langsung terhadap pasar, jadi untuk menyamakan
pekerja rumahan dengan pekerja mandiri juga tidaklah mungkin.‖4

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara dalam rapat
dengar pendapat5 dengan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara dan LSM Bitra serta
akademisi (penulis) menyampaikan pandangan atas Rancangan peraturan daerah
Perlindungan Pekerja Rumahan pada payung hukumnya. Dugaan penulis ranperda ini akan
kandas, bukan karena substansi yang akan diatur tidak diperlukan, melainkan payung
hukum tempat menggantungkan perda ini belum ada dalam UUK, apalagi di daerah lain
juga belum ditemukan perda sejenis.
Riset yang dilakukan penulis memberi gambaran bahwa pekerja rumahan secara
langsung berkontribusi terhadap jalannya produksi dan peningkatan produktifitas
perusahaan. Seandainya pekerjaan mereka tidak dilakukan atau dilakukan dengan asal-
asalan, maka perusahaan akan menaggung kerugian besar. Di Desa Sei Semayang
pekerjaan yang dilakukan pekerja rumahan adalah menjahit dudukan baby walker sebuah
produk yang dipasarkan secara luas bahkan diiklankan oleh seorang tokoh anak nasional.
Upah mereka tidak mencapai upah minimum jika drata-ratakan berdasar hasil kerja
sebulannya. Upah tersebut sesungguhnya masuk biaya listrik, biaya perawatan mesin jahit,

4
Ibid.
5
RDP di DPRD Provinsi Sumatera Utara, Tanggal 2 Mei 2017.

4
membeli minyak pelumas mesin, tidak ada sewa tempat penyimpan barang yang ditumpuk
di rumah pekerja, sehingga sesungguhnya upah tersebut sangatlah rendah.

PHK karena Hamil

Perselisihan PHK di PHI dalam perkara No. 13/Pdt.Sus-PHI/2014/PN-Tjk antara buruh


perempuan yang telah bekerja lebih dari 9 tahun dengan status PKWT. PHK yang diterima
buruh perempuan yang menjadi pihak Penggugat dalam perselisihan ini saat dalam keadaan
ia hamil, dengan alasan PHK habis masa kontrak. Sebelumnya kontrak (PKWT) selalu
diperpanjang. Penggugat menyatakan berhak mendapat pembayaran hak-hak pasca
hubungan kerja berakhir berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja, ganti kerugian,
cuti tahunan, ongkos pulang ke tempat asal, JHT Jamsostek.

Putusan hakim PHI menyatakan gugatan Penggugat dikabulkan sebagian, berupa uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak (cuti tahunan, perumahan,
serta pengobatan dan perawatan). Atas putusan ini perusahaan sebagai tergugat mengajukan
kasasi. Putusan kasasi menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon.
Kasus jika ditelusuri lebih jauh tidak mengungkap tentang penyebab PHK yang
dikarenakan buruh hamil. Justru yang diungkap oleh penggugat pun hanya mengenai
persoalan hak purna kerja saja. Ini menunjukkan masih sangat rentannya kedudukan
pekerja perempuan dalam hubungan kerja, bahkan di pengadilan sekalipun mereka tidak
mempersoalkan tentang keperempuan-an yang telah dikebiri dan berujung PHK. Hakim
juga dalam pertimbangan hukumnya tidak membahas tentang perlakuan diskriminatif itu,
hanya fokus pada hak purna kerja. Meski hakim memutuskan bahwa pengusaha harus
membayar hak-hak purna kerja, namun ada sisi kepastian hukum yang terabaikan, yaitu
tidak boleh ada perlakuan diskriminatif yang disebabkan gender. 6

Buruh Harian Lepas (BHL) tidak sesuai aturan

Kondisi yang banyak terjadi di perusahaan perkebunan. Perkara dalam Putusan No.
14/G/PHI/PN.Mdn memperlihatkan sebanyak 26 dari total 41 orang penggugat adalah
perempuan yang melakukan pekerjaan terus menerus, setiap hari, mendapat upah tiap
bulannya dari perusahaan (tergugat). Umumnya masa kerja mereka antara 7 tahun sampai
30 tahun dengan status BHL. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah menggaruk/
mencangkul piringan tanaman kelapa sawit, bagian penyemprot tanaman kelapa sawit, dan
bagian pembibitan tanaman kelapa sawit.
Perselisihan yang diajukan ke PHI berawal dari peristiwa meningkatnya volume/ target
kerja pekerjaan yang dianggap tidak patut atau wajar berupa: 1) bagian Penggarukan/
Mencangkul dari 66 piringan tanaman kelapa sawit setiap harinya menjadi 132 piringan

6
VG. Tinuk Istiarti, Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal (The Policy for Women Labors), Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia

Vol. 11 No. 2 / Oktober 2012, hlm. 103-108, penelitian terhadap responden menyatakan adanya pemotongan upah saat cuti haid.

5
setiap harinya. 2) bagian pembibitan dari 150 polibet menjadi 250 polibet setiap harinya. 3)
bagian penyemprotan dari 2 hektar menjadi 3 hektar setiap harinya. Para pekerja
(Penggugat) menyatakan bahwa target sulit tercapai, sehingga mereka tidak lagi bekerja
seperti biasanya. Tindakan menaikkan volume kerja/ target secara sepihak dan di luar
kemampuan para penggugat dianggap merupakan tindakan PHK sepihak.
Putusan Hakim menetapkan bahwa hubungan kerja antara para penggugat dengan
tergugat (perusahaan) demi hukum berubah dari PKWT menjadi PKWTT, menyatakan
hubungan kerja para tergugat dengan tergugat putus dengan kwalifikasi para penggugat
mengundurkan diri, menghukum tergugat membayar uang penggantian hak para penggugat.

Bagi Penulis, amar putusan hakim yang menyatakan demi hukum status hubungan
kerja berubah dari PKWT menjadi PKWTT memang tepat. Mengingat ada norma yang
tidak dipatuhi oleh pengusaha dalam status hubungan kerja yang dipraktik kan di
perusahaan perkebunan tersebut. Status BHL menurut Pasal 10 Peraturan Menteri
(Permenakertrans No. 100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu) harus memenuhi kondisi tertentu sebagai syarat BHL yaitu: pekerjaan itu
berubah-ubah dalam hal volume kerja serta upah didasarkan pada kehadiran. Pekerjaan
yang berubah-ubah tersebut dilakukan dalam waktu kurang dari 21 hari dalam sebulan,
apabila pekerjaan dilakukan 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih
maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT (pekerja tetap).
Amar putusan berikutnya yang menetapkan bahwa hubungan kerja antara para
penggugat dengan tergugat putus dengan kwalifikasi mengundurkan diri menjadi sangat
tidak adil bagi para pekerja. Ketika status hubungan kerja mereka dikuatkan sebagai
PKWTT pada saat itu juga di PHK dengan hanya menerima penggantian hak yang tentunya
nilainya sangat kecil jika dibandingkan dengan kontribusi para pekerja selama 7 sampai 30
tahun di perusahaan tersebut. Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan penyebab
ketidakhadiran para penggugat yaitu beban kerja atau target kerja yang ditetapkan
meningkat sangat tajam, sehingga meskipun para pekerja menggunakan tenaga bantuan
(sanak keluarga) tetap tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan perusahaan. Indikasi
terjadinya eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan tidak diperhatikan oleh majelis hakim.

Kevakuman dan ketidakpastian hukum


Judul sub bab ini tepat untuk menggambarkan bahwa dari beberapa peristiwa di atas terbukti
pekerja/buruh perempuan berada dalam kevakuman hukum dan tentu saja bekerjanya
hukum dalam keadaan ini tidak memenuhi prinsip kepastian hukum. Norma atau aturan
sesungguhnya telah cukup dituangkan oleh negara dalam peraturan perundangan, utamanya
UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, namun kenyataannya pelaksanaan atas ketentuan
tersebut bergantung pada kemauan pengusaha.
Penelitian yang dilakukan di daerah Tanjung Balai juga menemukan intensitas
pelanggaran hak pekerja/buruh perempuan yang cukup tinggi, baik dalam hal penggajian,
diskriminasi, dan memperlakukan pekerja perempuan sebagai kelompok yang tidak
diperhitungkan, sebab dengan mudahnya mengeluarkan/PHK hanya alasan sepele misal

6
seringnya buruh permisi atau cuti karena alasan sakit haid.7 Perusahaan juga tidak
memberikan upah saat cuti hamil, melahirkan, haid.8 Keadaan ini menurut pengakuan
responden telah diketahui pihak terkait (dinas tenaga kerja) setempat, namun tidak ada
tindakan/aksi secara tegas terhadap pihak yang melanggar. 9
Perempuan dalam bekerja telah dikelilingi oleh sejumlah norma yang mengatur agar
fungsi reproduksi kaum perempuan terjaga tanpa merugikan kepentingannya untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun hasil temuan di atas menunjukkan bahwa
perempuan berada tetap dalam ruang hampa hukum (kevakuman hukum) yang jelas
menyingkirkan prinsip kepastian hukum yang menjadi salah satu tujuan hukum.

Rechtssicherkeit/security/rechtszekerheid atau kepastian hukum ada sejak hukum itu


dituliskan, dipositifkan, dan mengatur publik. Kepastian hukum lebih pada ‗law being
written down‟. Hukum seyogyanya panglima dan memiliki kekuatan penuh untuk mengatur
agar tercapai tujuan hidup bersama yang tertib dan sejahtera. Jika melihat pada fungsi ini
maka sejak terjadinya berbagai peristiwa yang menunjukkan gap antara aturan tertulis
dengan peristiwa yang dialami pekerja/buruh perempuan maka kepastian hukum dapat
dipertanyakan keberadaannya. 10

kesimpulan
Norma yang mengatur perlindungan dan larangan diskriminasi bagi perempuan di tempat
kerja telah dimuat dalam UUK No. 13 Tahun 2003, namun dalam pelaksanaannya akan
bergantung pada dimuat atau diatur tidaknya di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
dan Perjanjian Kerja Bersama, sehingga manakala perusahaan menerapkan cuti haid dengan
menetapkan sejumlah ketentuan yang dirasa buruh justru menyulitkan untuk dilaksanakan atau
tidak bermanfaat untuk istirahat di rumah, kepastian hukum bagi perlindungan buruh
perempuan dapat dikatakan belum ada.
Pengakuan terhadap keberadaan buruh non formal seperti pekerja rumahan sudah sangat
mendesak, sebab sistem produksi dengan menciptakan rantai yang panjang menjadi trend di
kalangan pengusaha untuk meminimalisir resiko kerugian dengan menggunakan pola hubungan
kerja formal.
Putusan hakim dapat membantu pekerja/buruh mendapat kepastian hukum, namun dari
beberapa kasus yang dijadikan objek penelitian kepastian hukum berkaitan dengan status
hubungan kerja tidak diikuti dengan hak pemulihan status tersebut, melainkan dinyatakan
hubungan kerja putus. Lagi-lagi pekerja/buruh mengalami ketidakpastian hukum.

7
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Kajian Perlidungan Terhadap Hak-hak Buruh Perempuan dan Anak di
Sumatera Utara, Draft Laporan Akhir, 2016, hlm. 68
8
Ibid, hlm. 69.
9
Ibid hlm. 70.
10
Dapat dibaca dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban, (Jakarta: UI Press, 2006). Juga dalam Achmat Ali, Menguak Teori
Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence)., (Jakarta: Kencana
Pranada Media Group, 2009).

7
Daftar Pustaka

Agusmidah. Hak Ekonomi Perempuan: Pekerja Rumahan dalam Jangkauan Undang-undang


Ketenagakerjaan. Medan: Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Dies Natalis USU 64,
2016.

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Kajian Perlidungan Terhadap
Hak-hak Buruh Perempuan dan Anak di Sumatera Utara. Draf Laporan Akhir
Penelitian, Medan, 2016.
ILO.http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/--asia/---ro-bangkok/--ilo
jakarta/documents/presentation/wcms_203337.pdf
Putusan Nomor 14/G/2011/PHI.Mdn
Putusan Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Tjk
Tinuk Istiarti, VG. Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor
Formal (The Policy for Women Labors). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol.
11 No. 2 / Oktober, 2012.
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

8
IDENTIFIKASI PENGEMBANGAN BANTUAN HUKUM
BAGI MASYARAKAT MARGINAL
(Studi kasus Makassar)

Dr. Maskun, S.H.,LL.M., Naswar, S.H.,M.H., Achmad, S.H.,M.H.


Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH)
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Email: maskunmaskun31l@gmail.com

Abstrak---- Indonesia melindungi hak-hak warga negaranya dalam bidang hukum.


Hal ini dipertegas dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I
ayat (4) dan ayat (5). Oleh karenanya perlindungan hak-hak warga negara
termasuk didalamnya masyarakat marginal yang berhubungan dengan hukum
harus dipenuhi. Untuk mengawal perlindungan terhadap hak-hak warga negara
tersebut, Indonesia membentuk sebuah instrumen perlindungan hukum melalui
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan
Hukum). Undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat,
utamanya masyarakat tidak mampu, ketika berhadapan dengan masalah hukum.
Melalui Undang-undang ini masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum
dijamin bisa mendapatkan bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum. Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) merupakan lembaga yang mempunyai peran utama
sebagai penyelenggara dan pemberi bantuan hukum di Indonesia. LBH
sebagaimana disebutkan bukan merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara,
akan tetapi LBH biasanya dibentuk sendiri oleh para advokat ataupun melalui
instrumen badan hukum seperti Yayasan ataupun lembaga pendidikan. Negara
dalam hal ini tidak berperan langsung sebagai pihak yang memberikan bantuan
hukum. Negara hanya memberi fasilitasi kepada lembaga-lembaga bantuan
hukum untuk menjalankan bantuan hukum kepada masyarakat. Oleh karena itu,
perlu dilakukan identifikasi terhadap LBH bagi masyarakat marginal, khususnya
di Kota Makassar. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalisasikan peran LBH
dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat marginal.

Kata Kunci: Identifikasi, LBH, dan Masyarakat Marginal

9
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia melindungi hak-hak warga negaranya dalam bidang hukum. Hal ini dipertegas
pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5). Oleh karenanya perlindungan
hak-hak warga negara yang berhubungan dengan hukum harus dipenuhi di negara Indonesia.
Indonesia merupakan negara Hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia harus
menunjukkan ciri negara hukum. Menurut Friedrich Julius Stahl, ada 4 unsur/ciri negara
hukum yang salah satunya yaitu perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau
pembagian kekuasan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, serta peradilan administrasi dalam perselisihan.11 Oleh karenanya,
sebagai negara hukum Indonesia harus mewujudkan perlindungan hak-hak asasi manusia,
termasuk dalam bidang hukum.
Untuk mengawal perlindungan terhadap hak-hak warga negara di bidang hukum tersebut,
Indonesia membentuk sebuah instrumen perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum). Undang-undang ini
dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat, utamanya masyarakat yang tidak mampu
ketika berhadapan dengan masalah hukum. Melalui Undang-undang ini masyarakat yang
membutuhkan bantuan hukum dijamin bisa mendapatkan bantuan hukum oleh pemberi
bantuan hukum.
Bantuan hukum dapat dilakukan agar masyarakat yang tidak mampu tetap bisa
mendapatkan pendampingan hukum baik di dalam pengadilan atau litigasi maupun dalam
upaya-upaya litigasi di pengadilan. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program
peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial, politik dan hukum. 12 Masyarakat
sebagai pencari keadilan dapat menggunakan jasa pemberi bantuan hukum untuk membantu
menangani permasalahan hukumnya. Pemberi bantuan hukum di Indonesia dilakukan oleh
para advokat atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Lembaga Bantuan Hukum merupakan lembaga yang mempunyai peran utama sebagai
penyelenggara bantuan hukum di Indonesia. Lembaga bantuan hukum bukan merupakan
lembaga yang dibentuk oleh negara. Lembaga bantuan hukum biasanya dibentuk sendiri oleh
para advokat ataupun melalui instrumen badan hukum seperti Yayasan ataupun lembaga
pendidikan. Negara dalam hal ini tidak berperan langsung sebagai pihak yang memberikan
bantuan hukum. Negara hanya memberi fasilitas kepada lembaga-lembaga bantuan hukum
untuk menjalankan bantuan hukum kepada masyarakat. Pemerintah melakukan berbagai
macam upaya dalam rangka menjamin berjalannya bantuan hukum oleh lembaga-lembaga
bantuan hukum misalnya dengan pendanaan, pengembangan bahkan sampai akreditasi
terhadap LBH.
Setelah adanya UU Bantuan Hukum, pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia dapat
berjalan lebih baik. Masyarakat dapat mendapatkan bantuan hukum melalui LBH secara gratis
tanpa perlu memikirkan ataupun mengeluarkan biaya. LBH pun sangat terbantu dengan

11
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 3.
12Martiman Prodjohamidjojo, Penasihat dan Bantuan Hukum Indonesia: Latar Belakang dan Sejarahnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987, hal. 23.

10
adanya UU tersebut karena kini LBH mendapat dana dalam menjalankan program bantuan
hukum. Saat ini pun tak hanya terjadi peningkatan kualitas LBH tetapi juga kuantitas LBH,
terutama di kota-kota besar yang mempunyai banyak permasalahan hukum, misalnya saja di
Makassar.
Program bantuan hukum di kota makassar dilaksanakan oleh berbagai LBH dan juga
advokat-advokat yang menangani perkara prodeo. Tercatat bahwa jumlah LBH yang berada di
makassar yang sudah terakreditasi oleh pemerintah (dalam hal ini oleh Kementerian Hukum
dan HAM) sebanyak sebelah LBH. LBH tersebut termasuk pula LBH kampus yang bernaung
dalam Lembaga Pendidikan. Jumlah ini sebenarnya tergolong banyak, karena di daerah lain di
Sulawesi Selatan sangat sulit ditemukan adanya lembaga bantuan hukum. Meskipun demikian,
pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH yang telah terakreditasi tersebut juga belum dapat
dikatakan efektif dan maksimal. Salah satu LBH yang terakreditasi namun masih belum
mampu menjalankan program bantuan hukum secara maksimal adalah Unit Kegiatan dan
Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Sejak Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin (FHUH) dibentuk pada tahun 2013, hanya terdapat lebih kurang 13 (tiga belas)
kasus yang telah ditangani melalui proses peradilan. Angka ini terhitung sedikit jika
dibandingkan dengan kasus yang dialami oleh warga kurang mampu yang terjadi di lapangan
sekitar wilayah hukum UKBH FHUH, dimana UKBH FHUH dapat melakukan
pendampingan. Sementara banyak permasalahan hukum yang terjadi di sekitar UKBH FHUH
yang masih belum tersentuh oleh bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi.
Selama ini, pelaksanaan bantuan hukum memang sangat jarang mendapatkan perhatian
dikarenakan pelaksanaan bantuan hukum selama ini bukanlah hal yang banyak diketahui
masyarakat. Bahkan kajian akademik tentang bantuan hukum pun masih jarang ditemukan.
Padahal hal tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka optimalisasi dan pengembangan LBH
dalam melakukan bantuan hukum serta dalam rangka kurangnya kajian-kajian tentang LBH
terutama di Makassar membuat identifikasi terhadap pelaksanaan dan pengembangan bantuan
hukum tidak dapat diketahui secara jelas.
Pelaksanaan bantuan hukum harusnya berjalan efektif dan diperhatikan agar masyarakat
dapat mengakses bantuan hukum dan mencari keadilan ketika mempunyai permasalahan
hukum. Identifikasi dalam pengembangan bantuan hukum juga seharusnya dilakukan dalam
guna mewujudkan pelaksanaan bantuan hukum yang efektif oleh LBH. Oleh karenanya
dibutuhkan adanya kajian lebih lanjut dalam rangka identifikasi pelaksanaan dan
pengembangan program bantuan hukum di Kota Makassar.

B. PERMASALAHAN/RUANG LINGKUP
1. Pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH kurang maksimal.
2. Kurangnya informasi bagi warga negara kurang mampu mengenai proses hukum.
3. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan warga kurang mampu mengenai pendampingan
hukum di dalam maupun di luar pengadilan yang menjadi hak mereka.
4. Kurangnya informasi mengenai LBH yang belum sampai secara merata kepada warga
kurang mampu.
5. Kurangnya sarana dan prasarana penunjang LBH.

11
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1. Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah :


a. Untuk mengetahui pencapaian pelaksanaan dan pengembangan bantuan hukum oleh
lembaga-lembaga bantuan hukum di Makassar.
b. Untuk mengetahui dan memberikan solusi terkait kendala-kendala pelaksanaan
bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum di Makassar.
2. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik dalam segi
kegunaan teoritis maupun keguanaan praktis, yaitu :
a. Kegunaan teoritis, diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam
rangka pengembangan bantuan hukum pada umumnya, sebagai bahan referensi yang
bersifat akademis serta kepustakaan, dan sebagai bahan kajian dalam merealisasikan
teori hukum dalam pengembangan bantuan hukum bagi warga kurang mampu.
b. Kegunaan praktis, diharap penelitian ini mampu memberikan upaya perbaikan dalam
sistem bantuan hukum dan mendapatkan gambaran pelaksanaan bantuan hukum
beserta kendala yang dihadapi dalam penerapan bantuan hukum dilapangan.

D. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Sosiologis. Dimaksudkan sebagai
pendekatan sosiologi hukum, yaitu sasaran studinya adalah hukum sebagai variabel akibat atau
apa yang disebut studi hukum dan masyarakat. Dalam hal, sasaran studinya ditujukan pada
hukum sebagai variabel penyebab dimana penerapan hukum sebagai penyebab yang
menimbulkan dampak pada berbagai kehidupan sosial masyarakat. Hukum yang secara
empiris merupakan gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable
penyebab yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial dengan
bantuan ilmu-ilmu sosial.
Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu wawancara
dengan pihak terkait, dalam hal ini adalah LBH Makassar, LKaBH UMI dan UKBH FHUH.
Sedangkan data sekunder berupa data yang didapat melalui sumber tertulis seperti buku,
artikel website, dan lain sebagainya.

12
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN DAN PENGEMBANGAN BANTUAN HUKUM DI MAKASSAR


Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Abdul Azis sebagai Direktur LBH
Makassar pada 17 November 2015, Muhammad Ilyas Billah dari LKaBH UMI pada tanggal 7
November 2015 dan Ahmad Selaku Ketua UKBH FHUH pada tanggal 13 November 2015,
maka didapatkan data terkait jumlah pelaksanaan dan pengembangan program bantuan hukum
sebagai berikut:
 LBH Makassar telah banyak melakukan program bantuan hukum baik litigasi maupun
non litigasi. Pelaksanaan pada tahun 2015 terjadi peningkatan dibandingkan tahun
sebelumnya. Data pelaksanaan bantuan hukum ini dapat diakses lebih lengkap melalui
website LBH Makassar. LBH Makassar terakreditasi B.
 LBH Makassar mempunyai 14 Advokat, dan 7 Advokat kerjasama serta 12 paralegal.
 LBH Makassar biasanya menggunakan media dalam memperkenalkan akses bagi para
pencari keadilan. Termasuk website resmi yang dimiliki oleh LBH Makassar.
 LKaBH UMI telah melaksanakan program bantuan hukum litigasi pada tahun 2015
sebanyak 7 kasus. Jumlah ini diperkirakan meningkat pada tahun sebelumnya karena
ada kemungkinan tambahan kasus di akhir tahun. Target awal pada tahun 2015
sebenarnya berjumlah 25 perkara. Pada tahun 2014 LKaBH UMI juga menyelesaikan
perkara litigasi sebanyak 7. Target awal pada tahun 2014 adalah 13 perkara. Target ini
dalam rangka peningkatan akreditas lembaga. Jumlah advokat yang ada pada LKaBH
UMI adalah sejumlah 7 orang dengan beberapa paralegal. Sebelumnya LKaBH UMI
hanya mempunyai 3 advokat.
 LKaBH UMI juga melaksanakan program-program non litigasi seperti penyuluhan
hukum yang dilakukan sebanyak 3 kali. LKaBH juga membuka konsultasi hukum.
 UKBH FHUH belum pernah melakukan bantuan hukum di bidang litigasi pada tahun
2015. Namun demikian, diperkirakan ada 3 kasus yang akan bermuara kepada litigasi.
UKBH FHUH mengoptimalkan kinerjanya pada upaya non litigasi. Upaya non litigasi
yang dilaksanakan pada tahun 2015 ini adalah: Penyuluhan hukum sebanyak 3 kali;
penelitian; pendampingan 2 kasus, serta drafting dokumen hukum. UKBH FHUH
hanya memiliki satu advokat pendamping, serta beberapa paralegal, dan dosen yang
diberdayakan berjumlah lebih dari 10 orang.

B. KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM DI


MAKASSAR
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Muhammad Ilyas Billah dari
LKaBH UMI pada tanggal 7 November 2015 dan Ahmad Selaku Ketua UKBH FHUH pada
tanggal 13 November 2015, serta Abdul Azis maka didapatkan data terkait kendala-kendala
pelaksanaan bantuan hukum adalah sebagai berikut.
 LBH Makassar mengemukakan beberapa kendala baik eksternal maupun internal, yaitu
:
a. Eksternal :
 Semakin Banyaknya LBH di kota Makassar;
13
 Kesulitan rekruitmen calon-calon pemberi bantuan hukum pada waktu-waktu
tertentu;
 Sistem BPHN yang belum sempurna, terutama dalam hal pemenuhan syarat-
syarat;
 Surat keterangan miskin yang terkadang sulit didapatkan oleh masyarakat;
 Sistem online dari BPHN yang belum sempurna; dan
 Jenis Pendanaan yang ―pukul rata‖.
b. Iinternal :
 Kendala dana yang tidak sepenuhnya bisa ditanggulangi; dan
 Lambannya pencairan dana dari Kemenkumham yang menunggu hingga 2
minggu sampai 1 bulan.
 Pada LKaBH UMI ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan bantuan
hukum yaitu pembiayaan yang harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap serta
prosesnya yang lama, kurangnya pengetahuan masyarkat terhadap LKaBH UMI, serta
tenaga-tenaga litigasi dianggap masih perlu ditingkatkan
 Pada UKBH FHUH terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
bantuan hukum yaitu masalah finansial yang masih mengandalkan biaya swamandiri,
tidak adanya advokat, paralegal yang mempunyai kesibukan lain; serta kurangnya
pengetahuan masyarakat terhadap UKBH FHUH.

C. PELAKSANAAN DAN PENGEMBANGAN


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada
negara untuk memenuhi hak-hak warganya di bidang hukum. Negara juga menjamin
kesamaan hak dan kedudukan warga negaranya di hadapan hukum. Negara berkewajiban
untuk dapat mewujudkan terselenggaranya peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya
suatu keadaan dimana setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for
all).13
Selain itu negara harus memastikan perlindungan dan pemenuhan tersebut dapat
dilaksanakan dan dirasakan oleh masyarakatnya. Perolehan pembelaan dari seorang advokat
atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia untuk setiap orang dan
merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan (acces to justice) bagi semua orang
(justice for all).14
Oleh karenanya berbagai upaya terus dilakukan oleh negara dalam hal ini pemerintah
demi menjaga hak asasi manusia di bidang hukum itu, salah satunya adalah dengan menjamin
terwujudnya bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu.
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara
cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.15Bantuan hukum di Indonesia diberikan oleh
―Pemberi Bantuan Hukum‖ yaitu lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan
yang memberi layanan Bantuan Hukum. Bantuan hukum juga merupakan kewajiban bagi
Advokat dalam hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang
13
Frans Hendra Winarta, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan
Hukum, Jakarta: Gramedia, 2009, hal. 2.
14
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Republik Institute, 2013, hal. 129.
15
Pasal 1 angka 1 UU No.16 tahun 2011 Tenatang Bantuan Hukum.
14
Advokat. Pasal 22 ayat (1) menyatakan Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Selama ini yang terjadi adalah adanya
kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk adanya kantor-kantor advokat yang
mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan
memungut fee yang menyimpang dari konsep pro bono publico.16 Oleh karenanya, saat ini
pengembangan bantuan hukum lebih banyak dilakukan LBH baik yang di bawah naungan
yayasan maupun lembaga pendidikan.
Sejarah bantuan hukum sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda. Adnan Buyung
Nasution menyatakan bahwa bantuan hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa
penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan
besar dalam sejarah hukumnya. 17 Namun pada saat itu belum dikenal yang namanya LBH.
Sedangkan peristiwa penting dalam pembentukan LBH di Indonesia yaitu pembentukan LBH
di Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran. Biro Konsultasi Hukum UI dibentuk
pada 2 Mei 1963 yang kemudian dirubah menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan berubah
lagi pada tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH). 18 Pada
tahun 1967, Mochtar Kusumaatmadja mendirikan Biro Bantuan Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Pajajaran Bandung. Kemudian dilanjutkan dengan pendirian LBH di tahun 1971
yang dipelopori oleh Adnan Buyung Nasution dan terjadi perubahan di bawah suatu yayasan
(YLBHI) pada tahun 1980.
Di Makassar sendiri salah satu LBH yang pertama kali berdiri yaitu LBH Makassar
dibentuk sejak tahun 1983. LBH Makassar (awalnya LBH Ujung Pandang) didirikan pada
tanggal 23 September 1983 oleh para Advokat dan Advokat PERADIN (Persatuan Advokat
Indonesia) dan kemudian bergabung dengan YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM
INDONESIA (YLBHI) yang berkantor pusat di Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. Hingga
saat ini tercatat, LBH yang terakreditasi di Makassar berjumlah 11 (sebelas) LBH. LBH
menjadi tokoh utama dalam penyelenggaraan bantuan hukum di kota Makassar.
Dalam menjalankan perannya sebagai pemberi bantuan hukum, LBH tidak bertindak
sebagai bagian dari negara (pemerintah) langsung. Adapun peran negara hanyalah
memfasilitasi penyelenggaraan bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum.
Sehingga pemerintah tidak melakukan intervensi dalam penyelenggaraan bantuan hukum oleh
LBH.
Dalam penyelenggaraan bantuan hukum, dilakukan program-program litigasi dan non
litigasi yang berhubungan dengan bantuan hukum. Pasal 9 Huruf c UU No. 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum dijelaskan bahwa pemberi bantuan hukum berhak untuk
menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang
berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum. Dalam penjelasan pasal tersebut
diterangkan bahwa yang dimaksud dengan "program kegiatan lain yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Bantuan Hukum" adalah program: investigasi kasus, pendokumentasian

16
Andi Sofyan, Op.CIt.,hal. 128.
17
Iwan Wahyu Pujiarto, Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Skripsi), Medan: Universitas Sumatera Utara, 2015, hal. 30.
18
Lihat Mohammad Mahfud MD, Sunaryati Hartono, dkk.,Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran hukum
Progresif, Semarang: Thafa Media, 2013, hal. 903.
15
hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini pulalah
yang menjadi program-program kerja dari LBH termasuk kedua LBH kampus di atas.
Pendampingan di dalam pengadilan biasanya merupakan salah satu program utama yang
ada pada setiap LBH. Pendampingan di pengadilan merupakan hal yang sangat penting
dilakukan bagi para pencari keadilan. Pasal 56 ayat (1) KUHAP dijelaskan ―Dalam hal
tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang
tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka‖. Pada ayat (2) diterangkan
Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Jadi dalam perkara pidana pendampingan di
pengadilan oleh advokat merupakan hal yang sangat penting.
Dalam perkara perdata dikenal adanya asas tidak ada keharusan mewakilkan. HIR tidak
mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di
persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan saja. Akan tetapi
para pihak dapat dibantu dan diwakili oleh kuasanya kalau dikehendaki (Pasal 123 HIR, 147
Rbg).19 Saat ini yang berhak untuk mewakilkan para pihak dalam perkara perdata di
persidangan tidak lain adalah advokat. Meskipun tidak terdapat kewajiban mewakilkan, namun
dalam perkara perdata, pendampingan di pengadilan juga tidak kalah penting. Pendampingan
di pengadilan sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama dalam perkara yang rumit, apalagi
melibatkan banyak pihak, sehingga jasa bantuan hukum menjadi sangat penting bagi pencari
keadilan.
Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara litigasi oleh LBH di Makassar cenderung
berjalan dengan baik. Peneliti menyatakan hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh
penulis terhadap 4 (empat) LBH yang terakreditasi di kota makassar yaitu, LBH Makassar,
Lembaga Kajian Advokasi dan Bantuan Hukum Universitas Muslim Indonesia (LKaBH
UMI), Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UKBH
FHUH), serta LBH APIK Makassar. Pelaksanaan bantuan hukum telah dilakukan dalam
jumlah dan kualitas yang cukup baik.
LBH APIK Makassar merupakan salah satu LBH yang cukup banyak menjalankan
program bantuan hukum. LBH APIK Makassar memusatkan pemberian bantuan hukumnya
pada perlindungan perempuan dan anak. Dari data statistik penanganan kasus bulanan pada
tahun 201420, penanganan kasus oleh LBH APIK cukup banyak yaitu rata-rata berkisar pada
20 kasus setiap bulan. Bahkan pada Bulan september, kasus yang ditangani mencapai angka
67 kasus. Hal ini menunjukkan pemberian bantuan hukum oleh LBH APIK secara umum
berjalan cukup baik.
LBH Makassar juga melaksanakan program bantuan hukum dengan pencapaian yang
baik. Sebagai salah satu LBH tertua di Makassar, LBH Makassar termasuk yang paling banyak
dalam melakukan program bantuan Hukum, terutama di bidang litigasi. Hal ini dapat dilihat
dari grafik di bawah ini:

19
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Liberty, 2006, hal. 19.
20
Dapat dilihat lebih mendetail melalui website LBH APIK Makassar, http://lbhapikmakassar.org.
16
Grafik ini menunjukkan penerimaan permohonan bantuan hukum di LBH
Makassar pada tahun 2015 hingga bulan oktober. Terlihat disini bahwa proses penanganan
jumlah permohonan bantuan hukum rata-rata berkisar pada angka dua puluhan. Jika
melihat data ini maka jika dibandingkan pada tahun 2014, sebenarnya terjadi sedikit
peningkatan dalam hal peningkatan jumlah permohonan bantuan hukum. Berikut adalah
grafik permohonan bantuan juga grafik jumlah penanganan perkara litigasi yang
dilaksanakan oleh LBH Makassar
Pada
tahun
2014
kasus
litigasi
yang
ditangani
oleh LBH
Makassar
didominas
i oleh
perkara
pidana.
Sementara
pada tahun
2015,
kasus
litigasi yang ditangani oleh LBH Makassar terlihat jumlah perkara pidana dan perdata cukup
berimbang, dengan jumlah perkara perdata sedikit lebih banyak. Dari grafik tersebut juga
dapat dilihat program pelaksanaan bantuan hukum litigasi telah berjalan cukup baik dan terjadi
peningkatan dari tahun sebelumnya.
Selain bidang litigasi, memang LBH juga berhak melakukan penanganan lain yang
sifatnya non litigasi. Program-program tersebut diatur dalam Pasal 9 UU No.16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum yaitu, penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi kasus,
pendokumentasian hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan
masyarakat. Penanganan yang sifatnya non litigasi memang mulai banyak dilakukan di era
hukum modern ini mengingat peradilan yang dirasa mulai kurang efektif. Salah satu upaya non
litigasi berkaitan dengan bantuan hukum yang saat ini dilakukan adalah mediasi dan negosiasi.
Mediasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa alternatif melalui sistem kompromi di
antara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai
penolong dan fasilitato.21Mediasi dilaksanakan dalam perkara perdata agar perkara dapat
diselesaikan tanpa melalui pengadilan. Bahkan saat ini, dalam menangani perkara perdata,
diwajibkan terlebih dahulu dilaksanakan mediasi oleh hakim mediator, baik di Pengadilan

21
Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara PerdataJakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 236.
17
Negeri maupun Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor
01 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
LBH Makassar juga melakukan program-program non litigasi terutama mediasi dan
konsultasi. Meskipun demikian, jumlah pelaksanaan upaya non litigasi ini tidak sebanyak
upaya litigasi.Berikut tabel pelaksanaan upaya non litigasi pada tahun 2014 dan 2015.

Grafi
k
menunjuk
kan
bantuan
hukum
dalam
bidang
non litigasi tidak sebanyak penanganan kasus litigasi. Namun hal ini bukanlah hal yang perlu
dipermasalahkan, mengingat upaya perdamaian mungkin saja dilakukan oleh para pencari
keadilan tanpa pendampingan dari LBH. Dari grafik juga terlihat terjadi peningkatan
penanganan kasus non litigasi pada tahun 2015, terutama dalam hal mediasi dan negosiasi.
Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat bahwa pelaksanaan bantuan hukum di
Makassar oleh LBH Makassar sudah berjalan dengan cukup baik. Pelaksanaan bantuan hukum
tersebut telah mencapai jumlah yang cukup baik dan menunjukkan peningkatan pada tahun ini.
Hal ini sedikit berbeda dengan pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH kampus di Makassar
dalam hal ini adalah LKaBH UMI dan UKBH FHUH.
Penyelenggaraan bantuan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum Kampus merupakan
salah satu hal yang banyak dilakukan di universitas-universitas yang menyelenggarakan
pendidikan bidang hukum. Universitas maupun di tingkat fakultas berupaya
menyelenggarakan program bantuan hukum tidak hanya demi kepentingan pendidikan hukum
semata, tetapi juga sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai
tuntutan universitas dalam mewujudkan tri dharma perguruan tinggi.
Universitas Hasanuddin dan Universitas Muslim Indonesia merupakan dua kampus di
kota makassar yang juga menjalankan program bantuan hukum kepada masyarakat.
Universitas Muslim Indonesia melakukan program bantuan hukum melalui wadah yang
bernama Lembaga Kajian Advokasi dan Bantuan Hukum Universitas Muslim Indonesia
(LKaBH UMI). Sedangkan Universitas Hasanuddin menjalankan program bantuan hukum
melalui wadah bernama Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin (UKBH FHUH). UKBH FHUH merupakan salah satu unit kerja Laboratorium
Hukum Fakutas Hukum Universitas Hasanuddin yang bernaung di bawah Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.22

22
Lihat Maskun, Naswar, Ramli Rahim, Achmad, Birkah Latif, Studi PerbandinganPelaksanaan Bantuan
hukum Oleh LBH Kampus di Makassar, dalam Diversity of Clinical Legal Education and the Road to Social
Justice, Proceedings, Bali, 2016, hal. 157-167.
18
Dalam melaksanakan program pendampingan di pengadilan, LKaBH UMI telah cukup
banyak melakukannya. LKaBH UMI hingga bulan Oktober tahun 2015 telah menangani
sebanyak 7 (tujuh) perkara pendampingan di pengadilan (litigasi) dan sudah memiliki putusan
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pada tahun 2014, LKaBH UMI juga
melaksanakan bantuan hukum di bidang litigasi sejumlah 7 (tujuh) perkara. Sehingga tahun ini
diperkirakan LKaBH UMI memiliki peningkatan jumlah perkara, karena diperkirakan masih
ada perkara litigasi yang akan ditangani oleh LKaBH UMI di akhir tahun 2015 ini. Namun
demikian jumlah tersebut sebenarnya masih belum mencapai target. Tahun 2014 sebenarnya
LKaBH UMI ditargetkan menangani 13 perkara, sedangkan tahun 2015 ditargetkan 15
perkara. Target ini ingin dicapai dalam rangka peningkatan akreditasi LKaBH UMIyang saat
ini terakreditasi C di Kemenkumham untuk ditingkatkan menjadi B. 23
Di UKBH FHUH, penanganan perkara litigasi pada tahun 2015 ini belum mencapai hasil
yang memuaskan. Pada tahun ini, UKBH FHUH belum pernah menangani perkara dalam
bidang litigasi. Meskipun demikian, diperkirakan ada beberapa perkara yang akan bermuara di
pengadilan yang mungkin akan ditangani oleh UKBH FHUH berjumlah sekitar 2 (dua)
perkara.
Perbedaan jumlah penanganan litigasi ini dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat
terhadap LBH kampus tersebut serta sumber daya manusia yang diberdayakan pada LBH
kampus masing-masing. Secara umum, masyarakat mengetahui kedua LBH tersebut hanya
dari mulut ke mulut. Artinya, keberadaan kedua LBH tersebut masih banyak belum diketahui
oleh masyarakat. Sedangkan dari segi sumber daya manusia, ini berimplikasi terhadap
kemampuan dalam menangani perkara.
Dalam hal penanganan perkara litigasi, LBH harus memiliki advokat karena
pendampingan di pengadilan hanya dapat dilakukan oleh advokat. LKaBH UMI memiliki
advokat sebanyak 7 (tujuh) orang sehingga dapat melakukan penanganan di pengadilan. Selain
itu jumlah advokat ini dianggap masih berimbang dengan jumlah perkara yang masuk. Selain
itu, LKaBH UMI juga memiliki beberapa paralegal yang merupakan mahasiswa Fakultas
hukum yang diberdayakan di LKaBH tersebut. Sedangkan UKBH FHUH belum mempunyai
advokat tetap. UKBH FHUH hanya melakukan kerjasama dengan advokat yang sifatnya
kasuistis, artinya kerjasama dilakukan berdasarkan kasus, belum merupakan kerjasama yang
tetap. Inilah yang menjadi kendala bagi UKBH FHUH dalam melaksanakan bantuan hukum
litigasi. UKBH FHUH hanya mempunyai sumber daya manusia yang berasal dari dosen-dosen
dan mahasiswa yang diberdayakan sebagai paralegal. Sehingga UKBH FHUH saat ini
memfokuskan programnya di bidang non litigasi.24
Pada pelaksanaan bantuan hukum bidang non litigasi, kedua LBH Kampus tersebut
sebenarnya memasukkan pula ke dalam program bantuan hukumnya. Namun pada
pelaksanaannya pada tahun 2015 ini, belum ada perkara yang diselesaikan dengan mediasi
secara khusus. LKaBH UMI memang selama ini lebih berfokus pada program litigasi sehingga
tidak banyak penanganan kasus non litigasi seperti mediasi ini. Pada UKBH FHUH sendiri,
mediasi menjadi program utama mengingat sumber daya manusia yang kebanyakan paralegal
23
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ilyas Bilah, Sekretaris LKaBH UMI, pada tanggal 7 November
2015 di Fakultas Hukum UMI.
24
Berdasarkan Wawancara dengan Bapak Ahmad, Ketua UKBH FHUH, pada tanggal 13 November 2015 di
Fakultas Hukum UNHAS.
19
dan dosen yang mempunyai sertifikat mediator. Tetapi kurangnya pengetahuan masyarakat
terhadap UKBH FHUH menjadi salah satu pengaruh belum adanya perkara mediasi yang
ditangani di LBH kampus ini. Hal ini dapat dimaklumi mengingat UKBH FHUH memang
sedang menjalani tahap pengembangan dan pembenahan. Meskipun demikian, banyak pula
program lain yang dilakukan oleh kedua LBH kampus ini, selain yang dipaparkan di atas.
Pada UKBH FHUH memang program bidang non litigasi menjadi fokus utama dalam
kinerjanya. Pada tahun 2015, UKBH FHUH menerima konsultasi Hukum sebanyak kurang
lebih 8 kasus. Dua kasus diantaranya diperkirakan akan bermuara di pengadilan. Selain itu
UKBH FHUH telah melakukan 3 (tiga) kali penyuluhan hukum. Kemudian, UKBH FHUH
juga sedang melakukan penelitan hukum yang ditargetkan akan berjumlah 3 (tiga) penelitan.
Serta UKBH FHUH juga telah melakukan drafting dokumen hukum dan juga merencanakan
program investigasi kasus dalam rangka bahan pembelajaran bagi mahasiswa. Hal inilah
menunjukkan peningkatan program kerja dibandingkan tahun 2014.25
LKaBH UMI tidak banyak melakukan program kerja yang sifatnya non litigasi. LKaBH
UMI hanya menjalankan konsultasi hukum serta melakukan penyuluhan hukum sebanyak 3
(tiga) kali pada tahun 2014 ini. Namun LKaBH UMI melaksanakan salah satu program
penting dalam pengembangan advokat yaitu Pelatihan Kerja Profesi Advokat (PKPA) Peradi
(Perhimpunan Advokat Indonesia). PKPA ini dilaksanakan bekerjasama dengan Peradi dan
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) cabang Makassar. Hingga saat ini PKPA LKaBH UMI,
yang dilaksanakan sejak tahun 2012, telah mencapai angkatan VIII (delapan). UKBH FHUH
sendiri sebenarnya pernah juga melakukan PKPA sekitar dua kali. Akan tetapi sejak tahun
2013 PKPA tersebut tidak lagi terlaksana.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan program bantuan hukum oleh LKaBH
UMI dan UKBH FHUH belum berjalan secara maksimal. Jumlah kasus yang ditangani kedua
LBH kampus tersebut belum sebanding dengan yang ditangani oleh LBH Makassar. Namun
ini adalah hal yang wajar mengingat jumlah sumber daya manusia terutama Advokat yang
belum berimbang. LBH Makassar memiliki jumlah advokat sebanyat 14 orang dan kerjasama
dengan advokat-advokat lain.26 Padahal banyaknya sumber daya manusia yang dapat
diberdayakan oleh LBH kampus seperti mahasiswa dan dosen harusnya dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja dari LBH kampus. Meskipun demikian, ada hal positif yang sama-sama
dicapai oleh semua LBH tersebut yaitu terjadi peningkatan dalam hal kualitas maupun
kuantitas bantuan hukum pada tahun 2015.

D. KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM OLEH


LEMBAGA-LEMBAGA BANTUAN HUKUM DI MAKASSAR

Pelaksanaan bantuan hukum selama ini telah mengalami perkembangan dan perbaikan
dari waktu ke waktu. Akan tetapi masih saja terjadi masalah dalam pelaksanaan program
bantuan hukum. Meskipun pelaksanaan bantuan hukum di makassar sudah cukup baik, namun
kendala-kendala masih banyak dihadapi oleh pemberi bantuan hukum.

25
Berdasarkan Wawancara dengan Bapak Ahmad, Ketua UKBH FHUH, pada tanggal 13 November 2015 di
Fakultas Hukum UNHAS.
26
Berdasarkan Wawancara di LBH Makassar, pada tanggal 3 November 2015 di LBH Makassar.
20
Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa LBH yaitu LBH Makassar, LKaBH
UMI dan UKBH FHUH, bahwa meskipun terjadi peningkatan kinerja dalam pemberian
bantuan hukum pada masyarakat miskin, masih banyak kendala yang harus dibenahi dalam
rangka peningkatan dan pengembangan bantuan hukum tersebut. Kendala-kendala ini
berpengaruh kepada efektifitas pelaksanaan hukum di bidang bantuan hukum. Berdasarkan
wawancara yang sempat dilakukan dengan pihak dari LBH Makassar, LKaBH UMI dan
UKBH FHUH, Peneliti merangkum kendala-kendala tersebut ke dalam beberapa poin sebagai
berikut:
1. Masyarakat
Kendala yang datang dari masyarakat adalah kurangnya ketidaktahuan masyarakat tentang
bantuan hukum, proses bantuan hukum serta lembaga bantuan hukum itu sendiri. Selama ini,
bantuan hukum masih merupakan hal yang asing di tengah masyarakat, apalagi terkait dengan
keberadaan LBH. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pihak dari LBH Makassar,
LKaBH UMI dan UKBH FHUH, bahwa semua LBH tersebut mengakui masyarakat
kebanyakan mengetahui perihal keberadaan LBH tersebut melalui mulut ke mulut.
Kebanyakan informasi dari masyarakat diketahui hanya dari advokat, paralegal, pegawai LBH,
alumni, mahasiswa dan jaringan-jaringan terkait. Artinya masyarakat masih kurang
pengetahuan tentang akses adanya bantuan hukum, terlebih terhadap adanya LBH.
Memang selama ini belum banyak LBH di Makassar yang mempunyai media dalam
mensosialisasikan LBH tersebut. Namun LBH Makassar mengakui bahwa media, baik cetak
maupun elektronik, menjadi salah satu tempat masyarakat mendapatkan informasi tentang
bantuan hukum. LBH Makassar dan LBH APIK memang mempunyai website dan media
sosial tersendiri guna sarana sosialisasi kepada masyarakat.
Kalau warga masyarakat sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka, maka mereka
juga akan mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi,
memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan yang ada. Hal
itu semua biasanya dinamakan kompetensi hukum yang tidak mungkin ada, apabila warga
masyarakat:
1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar atau
terganggu;
2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya;
3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor keuangan,
psikologis, sosial, maupun politik;
4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya;
5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam interaksi dengan berbagai
unsur kalangan hukum formal.27
Masyarakat terkadang juga sulit mengakses bantuan hukum karena persyaratan
administrasi, dalam hal ini surat keterangan tidak mampu. Semua LBH yang diwawancara
mengakui bahwa masyarakat terkadang kesulitan mendapat bantuan hukum karena tidak

27
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2012,
hal. 56.
21
memiliki surat keterangan tidak mampu. Surat keterangan tidak mampu adalah persyaratan
yang wajib ada untuk mendapatkan bantuan hukum.
Masalah persyaratan administrasi ini bisa disebabkan oleh dua faktor, pertama dari
masyarakat itu sendiri, dan kedua adalah aparat pemerintah. Masyarakat bisa tidak
mendapatkan surat keterangan tidak mampu karena tidak tertibnya administrasi kependudukan
yang ia miliki sehingga pemerintah tidak bisa menerbitkan surat tersebut. Selain itu terkadang,
ada aparat pemerintah daerah yang mempersulit masyarakat dalam membuat surat tersebut,
misalnya dengan meminta sejumlah uang dan memperlambat proses penerbitan sehingga
menghambat masyarakat dalam proses menerima bantuan hukum.
Oleh karenanya yang perlu dibenahi adalah peningkatan pengetahuan masyarakat
terhadap bantuan hukum. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan melakukan sosialisasi,
khususnya oleh pemerintah yang berkewajiban menjamin bantuan hukum kepada masyarakat.
Selain itu proses dalam pembuatan surat keterangan tidak mampu atau miskin jangan sampai
mempersulit masyarakat.

2. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh LBH dalam
pengembangan dan pelaksanaan bantuan hukum. Hasil wawancara menunjukkan bahwa LBH
mengakui sumber daya manusia terkadang menjadi salah satu faktor penghambat pelaksanaan
bantuan hukum. Keberadaan sumber daya manusia tentu akan sangat mempengaruhi kualitas
dan kuantitas pelaksanaan bantuan hukum.
Pada LBH Makassar, diakui bahwa terkadang kesulitan dalam hal perekrutan sumber daya
manusia. Saat ini tercatat ada 14 advokat, 7 advokat kerjasama, dan 12 paralegal yang bekerja
di LBH Makassar. Meskipun begitu, sumber daya manusia tersebut masih dirasa cukup
sehingga tidak ada kesulitan yang berarti dalam menyalurkan bantuan hukum. Hal ini agak
sedikit berbeda dengan yang terjadi di LBH kampus, terkhusus di UKBH FHUH.
Saat ini, UKBH FHUH masih sangat kekurangan sumber daya manusia terutama advokat.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab tidak ada penanganan litigasi yang dilakukan
oleh UKBH FHUH. Selain itu paralegal yang juga punya kesibukan lain juga mengurangi
efektivitas pelaksanaan program non litigasi. LKaBH UMI pun diakui masih membutuhkan
tenaga dalam hal perkara litigasi.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi LBH untuk memperhatikan kuantitas serta kualitas
sumber daya manusia guna mewujudkan pemberian bantuan hukum yang efektif.
3. Anggaran
Anggaran merupakan salah satu masalah terpenting dalam menjalankan bantuan hukum.
Semua LBH mengakui bahwa permasalahan anggaran menjadi kendala utama dalam
menjalankan bantuan hukum. Meskipun saat ini biaya bantuan hukum diberikan oleh negara,
namun pada pelaksanaannya masuh banyak kekurangan yang terjadi. Anggaran merupakan
salah satu sarana prasarana bantuan hukum, yang menurut Soerjono Soekanto bahwa sarana
dan prasarana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.28

28
Ibid. hal. 37.
22
Berdasarkan wawancara di LBH Makassar, mereka mengakui bahwa sistem pendanaan
saat ini masih belum sempurna. Syarat-syarat seperti adanya putusan yang sudah berkekuatan
hukum tetap (Inkracht van gewijsde) membuat pencairan dana tidak dapat langsung dilakukan.
Selain itu LBH Makassar mengakui bahwa sistem pencairan dana secara online yang dibangun
oleh BPHN belum sempurna. Sehingga dalam proses penanganan perkara, terkadang dana
tidak sepenuhnya dapat ditutupi oleh LBH tersebut. Masalah yang tak kalah penting adalah
jenis pendanaan yang pukul rata. Hal ini membuat LBH terkadang kesulitan dalam menalangi
dana perkara, terutama yang melibatkan banyak pihak dan memiliki domisili yang jauh, karena
perkara semacam ini membutuhkan lebih banyak biaya daripada perkara yang biasa.
LKaBH UMI mengomentari hal yang hampir sama dengan LBH Makassar. Sistem
pendanaan yang lambat dikarenakan perkara harus putus dan berkekuatan hukum tetap
(Inkracht van gewijsde) membuat LBH harus menutupi terlebih dahulu biaya perkara. Selain
itu dana baru cair dua pekan sampai satu bulan setelah laporan dipenuhi.
UKBH FHUH pun merasakan hal yang sama. Dalam pelaksanaan program non litigasi,
lambatnya pencairan dana juga terjadi. Terlebih UKBH FHUH tidak mendapatkan dana
khusus dari Fakultas maupun Universitas, sehingga dana dalam penyelenggaraan bantuan
hukum hanya melalui usaha yang sifatnya swamandiri.
Masalah anggaran ini sudah seharusnya dibenahi secepatnya. Anggaran merupakan
―bahan bakar‖ dalam menggerakkan proses bantuan hukum. Pemerintah bersama dengan LBH
harus berusaha membenahi dan melakukan perbaikan bagi sistem pendanaan LBH sehingga
terwujud efektivitas bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu.

III. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
1. Pelaksanaan bantuan hukum di makassar dapat dikatakan belum sudah cukup baik.
Namun demikian pelaksanaan tersebut belum maksimal terutama pada LBH kampus.
Hal ini terlihat dari masih sedikitnya jumlah perkara yang ditangani, serta jumlah
program kerja yang terwujud hingga tahun 2015 ini. Namun di sisi lain, pada tahun
2015 terjadi peningkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas pelaksanaan bantuan
hukum dibandingkan tahun 2014.
2. Kendala-kendala yang dihadapi pelaksanaan program bantuan hukum meliputi:
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bantuan hukum; Kendala administrasi
keterangan tidak mampu; Kurangnya sosialisasi dan publikasi; Kurangnya sumber daya
manusia; Lambatnya pendanaan serta sistem pendanaan yang belum sempurna.

B. SARAN
1. Pemerintah bersama dengan LBH harus lebih gencar melakukan sosialisasi dan
publikasi terkait bantuan hukum.
2. Pemerintah harus mempermudah akses masyarakat terhadap bantuan hukum, misalnya
dengan sosialisasi, serta mempermudah dalam proses pembuatan surat keterangan tidak
mampu.
3. LBH harus membenahi sarana dan prasarana, terutama terkait kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia.

23
4. Pemerintah harus melakukan pembenahan sistem bantuan hukum, misalnya
menyangkut dana bantuan hukum, agar dapat berjalan efektif,

24
DAFTAR PUSTAKA

Andi Sofyan. 2013. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Republik Institute.


Frans Hendra Winarta. 2009. Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk
Memperoleh Bantuan Hukum. Jakarta: Gramedia.
Iwan Wahyu Pujiarto. 2015. Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Skripsi). Medan:
Universitas Sumatera Utara.
M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan
dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Martiman Prodjohamidjojo. 1987. Penasihat dan Bantuan Hukum Indonesia : Latar Belakang dan Sejarahnya Jakarta: Ghalia Indonesia.
.
Maskun, Naswar, Ramli Rahim, Achmad, Birkah Latif. 2016. Studi Perbandingan Pelaksanaan
Bantuan hukum Oleh LBH Kampus di Makassar, Dalam Diversity of Clinical Legal
Education and the Road to Social Justice, Proceedings, Bali : INCLE – Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Mohammad Mahfud MD, Sunaryati Hartono, dkk. 2013. Dekonstruksi dan Gerakan
Pemikiran hukum Progresif. Semarang: Thafa Media.
Ridwan HR. 2013. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Soerjono Soekanto. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty.
Yahya Harahap. 2013. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

25
KEDUDUKAN ANAK BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Nomor 46/PUU-VIII/2010
Padma D. Liman

Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

A. Pendahuluan

Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari


2012 karena adanya permohonan dari seorang perempuan yang bernama
Hj.AisyahMochtaraliasMachicabinti H.MochtarIbrahim dan anaknya yang bernama MuhammadIqbal
Ramadhanbin Moerdiono yang memohon agar pernikahan antara Hj.AisyahMochtaraliasMachicabinti
H.MochtarIbrahim dengan Drs.Moerdiono, denganwalinikahalmarhum
H.MoctarIbrahim,disaksikanoleh2orang saksi,masing-masingbernamaalmarhum
KH.M.YusufUsmandan Risman,denganmaharberupaseperangkatalatshalat,uang 2.000Riyal
(matauangArab),satusetperhiasan emas,berliandibayartunaidan denganijabyangdiucapkan
olehwalitersebutdanqobuldiucapkanoleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono, sudah sah menurut
norma agama / Hukum islam dapat disahkan menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun
1974.

Perkawinan Pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah dan norma agama
Islam,menurut norma hukummenjaditidaksahkarena tidak tercatat menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang
Perkawinan), yang mengatur bahwa :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yg berlaku.

Pemberlakuannormahukum iniberdampakterhadapstatushukum anak


yangdilahirkandariperkawinanPemohonmenjadianak diluarnikah dan
berdasarkanketentuannormahukum dalamPasal43ayat(1)Undang-Undang Perkawinan, anak
tersebut hanya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Perlakuandiskriminatif ini menimbulkanpermasalahan karenastatus seoranganak
dimukahukum menjaditidakjelas dan tidak sah.AnakPemohon yang dilahirkandari
perkawinan yang sah menurut rukun nikah dan normaagamadianggaptidaksaholehUndang-
Undang Perkawinan karena perkawinan pemohon tidak tercatat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Dari permohonan di atas, nampak bahwa yang dimohonkan Pemohon adalah agar
perkawinannya yang sah menurut norma agama dapat pula sah menurut norma hukum yaitu
sah menurut Undang-Undang Perkawinan meskipun tidak tercatat menurut peraturan
perundang-undangan yg berlaku. Menurut penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan

26
tentang azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini, huruf b,
dijelaskan bahwa :
b. Dalam UU ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing2 agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu
tiap2 perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan.

Berdasarkan penjelasan di atas nampak bahwa agar suatu perkawinan dianggap sah
apabila perkawinan tersebut sudah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sehingga apabila belum dicatat maka perkawinan tersebut dianggap belum sah.
Sehubungan dengan permohonan Pemohon, maka berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012,secara tidak langsung
menganggap perkawinan Pemohon tidak sah atau setidak-tidaknya belum terjadi perkawinan.
Hal ini nampak dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang hanya memperbaiki isi
Pasal 43 ayat (1 ) Undang-undang perkawinan bukan Pasal 2 ayat (2 ) Undang-Undang
Perkawinan atau Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan yang menetapkan bahwa Anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang semula mengatur bahwa :

(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
harus dibaca :
―Anak yang dilahirkan di luarperkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”;

Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengakibatkan pula bahwa seorang lelaki yang
meskipun tidak mengakui anaknya akan tetapi apabila dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah dengan lelaki yang tidak mau mengakuinya tersebut maka dianggap bahwa anaknya itu
mempunyai hubungan perdata dengan lelaki yang tidak mau mengakuinya dan keluarga lelaki
yang tidak mau mengakuinya. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan ketidak
pastian dalam hukum khususnya dalam hukum waris yang menyangkut pembagian warisan
bagi anak luar kawin karena dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) tidak
mengenal status anak luar kawin yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012.

27
B. PEMBAHASAN
Pengaturan turunan dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) maupun dalam
Undang-Undang Perkawinan, dibedakan atas :

1. Anak sah
2. Anak Luar kawin.
Selanjutnya untuk anak luar kawin, menurut KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW)
dibedakan lagi atas :
1. Anak Luar Kawin yang boleh diakui, yaitu :
a. Anak Luar Kawin yang disahkan;
b. Anak Luar Kawin yang diakui.
2. Anak Luar Kawin yang tidak boleh diakui, yaitu :
a. Anak sumbang
b. Anak zinah.
Berdasarkan Pasal 283 BW, anak sumbang masih ada kemungkinan menjadi anak luar
kawin yang diakui apabila anak sumbang tersebut dilahirkan dari orang tua yang tanpa
memperoleh dispensasi dari Pemerintah tidak boleh kawin satu sama lainnya dan
pengakuannya dapat dicantumkan dalam akta kelahiran anak luar kawin tersebut

Berdasarkan Pasal 281 BW pengakuan seorang anak dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu :
a. Akta kelahiran si anak (Psl 281 ayat 1)
b. Dimuat dalam akta perkawinan ayah ibunya pada waktu melangsungkan perkawinan
c. Dibuat dalam bentuk akta otentik yaitu akta yang dibuat dihadapan notaris, dan pihak
yang berkepentingan berhak menuntut pencatatan pengakuan itu dalam buku register
kelahiran
d. Akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan/dicatat dalam register
kelahiran menurut hari penanggalannya.
Dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek dikenal ada 2 jenis pengakuan anak, yaitu :

a. Pengakuan dengan sukarela;


b. Pengakuan dengan paksaan, yaitu pengakuan berdasarkan putusan pengadilan yang
menetapkan perihal seorang lelaki sebagai ayah seorang anak luar kawin.
Pengakuan anak menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
tertanggal 17 Februari 2012 apakah termasuk pengakuan anak luar kawin dengan paksaan,
tidak diatur lebih lanjut. Menurut penulis, status anak luar kawin berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 tersebut
termasuk jenis pengakuan dengan paksaan. Bukti yang berdasarkanilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah dapat dijadikan
alat bukti bagi hakim dalam menetapkan bahwa seorang lelaki adalah ayah dari seorang anak
luar kawinnya.
28
Pengakuan anak luar kawin dari seorang lelaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari
2012 tersebut hanya memperbaiki Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sedangkan
ayat (2) pasal tersebut yang mengatur bahwa kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas
selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak mengalami perubahan. Peraturan
Pemerintah yang khusus mengatur anak luar kawin ini sampai sekarang belum ada. Oleh
karena itu berdasarkan azas konkordansi, ketentuan pengaturan anak luar kawin dalam
KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) masih berlaku. Perbaikan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan dalamPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
tertanggal 17 Februari 2012 tanpa memberikan penjelasan kriteria anak luar kawin
menimbulkan pertentangan atau kontroversi sendiri dalam putusan tersebut. Hal ini nampak
dalam pengaturan hak dari anak luar kawin adalah mempunyai hubungan perdata dengan
lelaki yang mengakuinya dan keluarga lelaki yang mengakuinya, sedangkan dalam Pasal 283
BW diatur bahwa anak zinah tidak dapat diakui dan dalam Pasal 867 BW dengan tegas
mengatur bahwa anak luar kawin yang berstatus anak zinah tidak mendapat warisan. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 hanya
memberikan hak kepada anak luar kawin tanpa mengatur status anak luar kawin yang
bagaimana dalam masyarakat.
Selanjutnya dalam pembagian warisan menurut KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek
(BW), status anak luar kawin yang diakui tidak otomatis mendapat warisan dari seorang ayah
yang mengakuinya. Hal ini tergantung dari kapan pengakuan dilakukan oleh lelaki yang
mengakuinya. Apabila pengakuan yang dilakukan oleh lelaki yang mengakuinya sudah
dalam keadaan terikat perkawinan dengan perempuan lain (bukan ibu biologis dari anak luar
kawin tersebut) maka anak luar kawin ini tidak akan mendapat warisan ketika lelaki yang
mengakuinya meninggal dunia. Hal ini diatur dalam Pasal 285 BW, bahwa:

Pengakuan yg dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan
anak luar kawin, yg sebelum kawin olehnya diperbuahkan dgn seorang lain dari pada
istri atau suaminya, tak akan membawa kerugian baik bagi istri atau suami itu, maupun
bagi anak2 yg dilahirkan dari perkawinan mereka

Akan tetapi apabila ayah yang mengakuinya tersebut bubar perkawinannya dan dalam
perkawinan yang bubar itu tidak mempunyai keturunan maka barulah anak luar kawin yang
diakui tersebut bisa menerima warisan.
Contoh kasus :

- Sebelum lelaki A menikah dengan perempuan B, lelaki A mempunyai seorang anak luar
kawin dengan perempuan C, yaitu D. Apabila A mengakui D sebagai anak luar kawinnya
sebelum A melangsungkan perkawinan dengan B, maka ketika A meninggal dunia, D
dapat menerima warisan A dengan status anak luar kawin yang diakui sah. Akan tetapi
kalau pengakuan anak luar kawin terhadap D dilakukan oleh A ketika A sudah terikat

29
perkawinan dengan B, maka ketika A meninggal dunia, D tidak mendapat warisan A
meskipun statusnya sebagai anak luar kawin yang diakui sah.
- Selanjutnya apabila perkawinan A dengan B bubar, maka D bisa menerima warisan A jika
dalam perkawinan A dengan B tidak ada keturunan (anak) A dan B. Sedangkan kalau ada
anak dalam perkawinan A dengan B maka D tidak memperoleh warisan.
Meskipun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17
Februari 2012, diputuskan bahwa anak luar kawin tersebut mempunyai hubungan perdata
dengan ayah yang mengakuinya maupun keluarga ayah yang mengakuinya akan tetapi
pengaturan pembagian warisan anak luar kawin ini tidak ditetapkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut sehingga yang digunakan adalah pengaturan pembagian warisan yang
diatur dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW).

Adapun besarnya bagian warisan yang diterima oleh anak luar kawin yang diakui adalah :
a. Sepertiga dari bagian yang sedianya ia peroleh seandainya ia merupakan anak sah, jika
anak luar kawin tersebut mewaris bersama dengan golongan pertama.
b. Seperdua dari warisan, jika anak luar kawin tersebut mewaris bersama dengan
golongan Kedua atau golongan Ketiga.
c. Tiga perempat dari warisan, jika anak luar kawin tersebut mewaris bersama dengan
golongan Keempat.

Salah satu pertimbangan hakim yang digunakan dalam memberikan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 adalah bahwa :
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan
antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui
cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya
pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan
bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar
perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang
melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran
anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersama an dengan itu
hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-
lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat
dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului
dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah
hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang
subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.

Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada
pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.

30
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang
dilahirkan harus mendapat- kan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang
dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak
berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di
tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang
adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;

Berdasarkan pertimbangan di atas nampak dengan jelas bahwa ayah biologis dari
seorang anak yang lahir diluar perkawinan diwajibkan bertanggung jawab atas anak yang lahir
diluar perkawinan tersebut. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan anak yang lahir
diluar perkawinan tersebut. Keadaan ini tidak menjadi masalah apabila ayah biologis dari
anak luar kawin tersebut tidak dalam keadaan terikat perkawinan dengan perempuan yang
bukan ibu biologis anak yang akan diakuinya. Akan tetapi apabila lelaki yang harus
bertanggung jawab untuk mengakui anak luar kawinnya terikat dalam perkawinan dengan
perempuan lain, apakah perlindungan terhadap anak yang lahir diluar perkawinan ini tersebut
sudah sepatutnya ? Apakah tidak berlebihan karena telah mengganggu hak prioritas dari anak
sah yang lahir dalam perkawinan yang sah ? Bagaimana dengan hak anak sah yang lahir
dalam perkawinan, apakah dosa dari perempuan lain yang tidak dikenalnya dan dengan sadar
mengambil keuntungan dari ayahnya sehingga mengganggu haknya harus pula ditanggungnya
? Sedangkan status hukum anak sah dan ibu kandungnya lebih tinggi dari anak luar kawin.
Dalam hal ini majelis hakim Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/2010
tertanggal 17 Februari 2012 sama sekali tidak mempertimbangkan hak dari anak sah yang
lahir dalam perkawinan sah lelaki yang merupakan ayah biologisnya anak luar kawin tersebut.
Keadaan ini tentu menimbulkan ketidak adilan dan berbeda dengan pengaturan anak luar
kawin dalam BW yang tetap melindungi anak luar kawin yang diakui akan tetapi haknya
berada dibawah anak sah.

C. KESIMPULAN
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012
yang hanya memperbaiki Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan justru
menimbulkan pertentangan pengaturan dengan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan.
2. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17
Februari 2012 tidak dijelaskan tentang pengertian status anak luar kawin.
3. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17
Februari 2012 tidak mempertimbangkan kepentingan anak sah dan pasangan hidup
yang sah dari lelaki yang mempunyai anak luar kawin sehingga mengakibatkan ketidak
adilan bagi mereka
31
AKSES KEADILAN SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS DAN
TANTANGAN KEDEPAN

Oleh :

Darul Huda Mustaqim, S.H & Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance& Dosen Fakultas
Hukum/ Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance
Universitas Lambung Mangkurat
hudha27@gmail.com&ahmad.fikri@unlam.ac.id

ABSTRAK
Persoalan akses kesetaraan bagi penyandang disabilitastidak hanya menyangkut
infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga minimnya akses
keadilan (access to justice). Prosedur hukum yang ada dalam beberapa kasus masih
ditafsirkan secara tekstual, sehingga menghalangi hak-hak penyandang disabilitas
ketika berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai saksi/korban maupun pelaku.
Prinsip hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan persamaan di hadapan hukum
merupakan salah satu prinsip dari 26 prinsip yang tertuang dalam UU No. 19 Tahun
2011 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas.
Prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum ini termasuk hak mendapatkan perlakuan
yang sama dalam sistem peradilan. Prinsip ini akan sangat banyak instrumen aturan
lebih rinci yang dibutuhkan. Misalnya, ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk
mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono (gratis). Penyandang disabilitas
sangat sulit mendapatkan akses keadilan ketika berproses di pengadilan baik jaminan
sarana fisik maupun prosedur hukum yang ‗ramah‘. Sarana dan prasana fisik di
sejumlah lembaga hukum masih didesain untuk masyarakat umum, belum
mengakomodir aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Selain itu, prosedur hukum
acara yang melibatkan penyandang disabilitas masih ditafsirkan secara kaku oleh
aparat penegak hukum yang mengakibatkan hak-haknya terabaikan. Hal ini sangat
berdampak dengan berjalannya kesinambungan dalam proses hukum sehingga tidak
sedikit para penyandang difabel tidak bisa melanjutkan kasusnya dengan alasan tidak
bisa menggali keterangan dari yang bersangkutan. Untuk itu perlu di berlakukan
berbagai upaya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan upaya lain
dalam mengatasi berbagai persoalan hukum terkait ketidaksetaraan akses keadilan
sosial bagi para penyandang disabilitas sehingga kekhawatiran perlakuan diskriminatif
terhadap penyandang disabilitas dalam mengakses perlakuan di hadapan hukum dapat
diminimalisir.

Kata Kunci : Keadilan Sosial, Disabilitas, Tantangan kedepan

32
A. Latar Belakang
Persoalan akses kesetaraan bagi penyandang disabilitastidak hanya menyangkut
infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga minimnya akses
keadilan (access to justice). Prosedur hukum yang ada dalam beberapa kasus masih
ditafsirkan secara tekstual, sehingga menghalangi hak-hak penyandang disabilitas
ketika berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai saksi/korban maupun pelaku.
Penyandang disabilitas mengalami hambatan fisik, mental, intelektual, atau sensorik
dalam waktu lama yang dalam berinteraksi di lingkungan sosialnya, sehingga dapat
menghalangi partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat
berdasarkan pada asas kesetaraan dengan warga Negara pada umumnya.29 Sebagai
bagian dari umat manusia dan warga Negara Indonesia, maka penyandang disabilitas
secara konstitusional mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan
pemerintahan. Oleh karena itu, peningkatan peran serta penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak dan kewajiban para penyandang disabilitas dalam akses hukum
merupakan hal yang sangat urgen dan strategis.
Dengan bergulirnya semangat reformasi dan demokratisasi yang bertumpu
pada penguatan sendi-sendi dasar HAM, maka penyandang disabilitas pada
hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa di kesampingkan dalam berbagai
ruang lingkup terkait akses mendapatkan keadilan dan kesetaraan dalam proses
hukum. Penegasan mengenai lingkup itu sangat penting, karena HAM bagi
penyandang disabilitas masih kerap diabaikan, bahkan dilanggar. Pelanggaran terjadi
karena penyandang disabilitas kerap sekali dalam akses hukum tidak dianggap sebagai
bagian dari warga negara, bahkan juga tidak dianggap manusia. Indonesia mengikuti
Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas tahun 2007 dengan
mengesahkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan ‗Convention
on The Right Of Person With Disabilities‟ (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas) atau yang disebut CRPD. Dalam Konvensi tersebut, Negara Pihak harus
menjamin hak-hak dasar bagi para penyandang Disabilitas untuk mendapatkan
kesetaraan kesempatan dan aksesibilitas dalam berbagai hal termasuk akses hukum
dalam proses mendapatkan kesetaraan yang sama. Pemberdayaan penyandang
disabilitas harus meningkatkan kapasitas diri melalui peningkatan sarana dan
prasarana/fasilitas maupun kesempatan kepada penyandang disabilitas.
Para penyandang disabilitas bukanlah kelompok manusia yang seragam.
Mereka ada yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas sensorik, disabilitas
intelektual atau mental. Mereka pun ada yang menyandang disabilitas sejak lahir, atau
saat kanak-kanak, remaja atau dewasa ketika masih bersekolah atau bekerja. Kondisi
disabilitas mereka mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan mereka untuk
bekerja dan berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar
sehingga memerlukan dukungan atau bantuan dari orang lain. Para penyandang

29
United Nations, Convention on the Rights of Persons with Disabilities, CRPD, 2007, Article 3 (e).

33
disabilitas seharusnya memiliki hak-hak dan kesempatan yang sama seperti yang
lainnya untuk mendapatkan aksek keadilan sosial.
Dalam beberapa kasus yang pernah ada, penyandang disabilitas (difabel) kerap
mengalami ketidakadilan dalam proses hukum. Misalnya, dalam kasus pemerkosaan
seksual dimana difabel menjadi korban seorang tuna rungu, tetapi pihak kepolisian
tidak bisa melanjutkan kasusnya dengan alasan tidak bisa menggali keterangan korban
lebih lanjut. Prosedur hukum yang ada saat ini yang diterapkan bagi difabel masih
belum berpersfektif difabel. Hal ini disebabkan belum adanya ketentuan/aturan khusus
yang menjamin kesetaraan perlakuan dalam sistem peradilan yang fair bagi
penyandang disabilitas termasuk di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, terutama
ketika saksi korban tidak dapat memberikan keterangan memadai. Sehingga sangat
dikhawatirkan perlakuan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas dalam
mengakses kesetaraan perlakuan di hadapan hukum bukanlah mengada-ada.
Dalam konteks hukum, ketika para penyandang disabilitas ini diberikan
kesempatan untuk setara dengan masyarakat umum, maka perlakuan hukum terhadap
difabel akan menimbulkan kesetaraan dan memudahkan dalam memperoleh keterangan
yang berkeadilan. Sampai sekarang akses dalam mendapatkan perlakuan yang setara
terhadap difabel di depan hukum masih belum terlihat dan belum ditunjang dengan
sarana dan prasarana yang memadai, terlebih bila kita melihat secara globalisasi yang
terus berkembang sehingga kaum difabel akan sangat jauh dari upaya dalam mendapat
kesetaraan akses keadilan sosial. Tantangan kedepan akan sangat sulit sehingga perlu
adanya upaya untuk mendorong agar lahir regulasi yang dapat mengakomodir akses
kesetaraan bagi penyandang disabilitas dalam berbagai akses hukum dan sosial di
masyarakat.

B. PERUBAHAN PARADIGMA PERATURAN TERKAIT DISABILITAS


Seiring dengan terjadinya perubahan yang sangat dinamis tentang paradigma
pemberdayaan masyarakat sipil dalam konteks Welfare State maka pola penanganan
juga mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift). Perubahan dimaksud
mencakup pergeseran dari paradigma pelayanan dan rehabilitasi (charity based)
menjadi pendekatan berbasis hak (right based). Dalam hal ini, penanganan
penyandang disabilitas tidak hanya menyangkut pada aspek kesejahteraan sosial
sebagaimana yang menjadi ciri undang-undang sebelumnya, tetapi semua aspek,
terutama pemeliharaan dan penyiapan lingkungan yang dapat mendukung perluasan
aksesibilitas pelayanan terhadap penyandang disabilitas. Gagasan tersebut, tentu
merupakan hal yang perlu terus diperjuangkan sedemikian rupa oleh segenap
komponen bangsa. Komitmen pemerintah sendiri tentang gagasan luhur tersebut sudah
sampai pada kebulatan tekad untuk mewujudkannya. Apalagi dengan perubahan
paradigma dari charity based menjadi right based, memberikan harapan cerah bagi
upaya perwujudan hak penyandang disabilitas secara sistematis, terarah, menyeluruh,
sungguh-sungguh dan berkesinambungan. Hal ini selaras dengan CRPD yang diadopsi

34
Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006 dan menjadi hukum positif di
Indonesia (Ius Constitutum) berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2011. Hal yang relevan
dengan penegasan ini adalah statement CRPD yang disadur dari kantor PBB di New
York, yaitu:30
The Convention marks a "paradigm shift" in attitudes and approaches to
persons with disabilities. It takes to a new height the movement from viewing persons
with disabilities as "objects" of charity, medical treatment and social protection
towards viewing persons with disabilities as "subjects" with rights, who are capable of
claiming those rights and making decisions for their lives based on their free and
informed consent as well as being active members of society.The Convention is
intended as a human rights instrument with an explicit, social development dimension.
It adopts a broad categorization of persons with disabilities and reaffirms that all
persons with all types of disabilities must enjoy all human rights and fundamental
freedoms.
Isi konvensi penyandang disabilitas tersebut memberikan dasar atau jaminan bahwa
penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengembangkan diri dan berdaya. Sebagai
anggota masyarakat, lingkungan perlu memberikan kesempatan untuk pemenuhan hak
-hak tersebut.
Sebelum pengesahan UU Penyandang Disabilitas, sebenarnya jauh-jauh waktu
sudah ada peraturan perundang-undangan sebagai upaya untuk melindungi,
menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas,
diantaranya: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat serta
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The
Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas) yang ditetapkan oleh Pemerintah pada tanggal 10 November 2011, dimana
konvensi internasional tersebut telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia sejak
tanggal 30 Maret 2007 di New York.; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007
tentang Perkeretaapian; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Selain
undang-undang, terdapat juga dalam peraturan daerah, seperti yang dilakukan oleh
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang termaktub dalam Peraturan Daerah

30
Ibid

35
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas.
Negara yang bermartabat adalah Negara yang menghormati, menghargai,
memenuhi dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya tanpa kecuali.
Isu tentang penyandang disabilitas atau orang-orang yang memiliki perbedaan
kemampuan seringkali dikenal dengan istilah ―difable‖ (differently abled people) atau
sekarang dikenal sebagai ―disabilitas‖ adalah masalah yang paling jarang mendapatkan
perhatian dari Pemerintah maupun masyarakat. Negara Republik Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok
rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dalam
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.31

C. IMPLEMENTASI AKSES KEADILAN SOSIAL BAGI PENYANDANG


DISABILITAS
Secara kultur, kaum difabel dianggap sebagai orang berdosa, orang pembawa
aib, hasil dari perbuatan dosa dan sebagainya. Dalam medis mereka adalah orang sakit
atau rusak dan mempunyai kondisi yang harus disembuhkan atau diperbaiki supaya
bisa ‗normal‘. Dan secara sosial masalah bukan pada individu yang memiliki
‗kecacatan‘, tetapi lingkungan fisik (infrastuktur) dan lingkungan sosial yang
menciptakan hambatan bagi individu tersebut dalam mendapatkan haknya. Dalam Hak
Asasi, penyandang disabilitas sebagai individu yang memiliki hak dan sebagai subjek
dalam hukum sehingga pengakuan dan penghormatan individu sangatlah penting
dilakukan sebagai bagian dari sebuah perbedaan, hal ini merupakan tanggungjawab
sosial dan pemerintah.
Yang terjadi sekarang adalah secara kultur, kaum difabel tidak dianggap
sebagai seorang manusia yang mempunyai hak, bahkan hak untuk hidup. Dan secara
medis dalam penyelesaiannya melalui pendekatan yang lebih fokus pada
‗penyelesaian‘ atau penyembuhan fisik individu yang dianggap sebagai sesuatu yang
tidak normal dan harus diperbaiki. Kondisi fisik yang dianggap tidak normal dan tidak
mandiri, sehingga kelanjutannya adalah penempatan di panti panti untuk rehabilitasi
sosial. Pandangan model medis ini menjadi dasar pendekatan ‗charity‘ yang dilakukan
oleh pemerintah. Dalam pranata sosial, mereka melakukan penanganan berbasis hak
dan komprehensif, promosi sikap positif terhadap ‗kecacatan‘, namun tidak melakukan
modifikasi sarana dan prasarana, tidak menyediakan informasi dalam format yang

31
Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang
Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD)”, Jurnal Inovatif, Volume VIII
Nomor I Januari 2015

36
aksesibel, sehingga hal ini belum memastikan perlindungan hukum dalam bentuk
konvensi baik undang undang maupun kebijakan.
Akses terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas di Indonesia antara lain :

a. Penolakan pelaporan kasus di kepolisian


b. Rendahnya pengetahuan aparat hukum dan kepolisian terhadap isu disabilitas
termasuk hak nya
c. Tidak tersedianya sarana pendukung seperti petunjuk braille, penerjemah bahasa
isyarat, gedung yang menyulitkan
d. Penolakan penyandang disabilitas sebagai saksi
e. Hukum pengampuan
f. Undang –undang yang tidak berpihak dan tidak melindungi penyandang disabilitas
g. Sistem administrasi peradilan yang tidak aksesibel
h. Rendahnya sosialisasi tentang informasi hukum kepada penyandang disabilitas
i. Tidak ada implementasi undang undang yang sudah akomodatif

Grafik 1.1 Jenis Peraturan Perundang-undangan terkait Disabilitas Tahun 2015


Peraturan
Daerah
19%

Peraturan Presiden 2% Undang-undang 40%

Peraturan Pemerinth39%

Sumber : Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia Tahun 2015

37
Contoh undang-undang dan kebijakan yang dibuat tersebut masih belum
sepenuhnya mengakomodir dalam akses keadilan sosial bagi penyandang
disabilitas. Ketentuan sehat jasmani dan rohani masih banyak diberlakukan di
berbagai bidang sosial dan hukum sehingga orang yang tidak sehat jasmani sangat
minim peluang mendapatkan akses dalam berbagai bidang. Undang-undang
perkawinan tahun 1974 yang membolehkan menyeraikan istri jika menjadi cacat
atau sakit juga salah satu bentuk upaya kurangnya perhatian pada kaum difabel
yang bisa dilakukan seperti apapun karena keadaan fisik yang kurang bersahabat.
Juga terlihat pada undang undang tentang penyandang cacat tahun 1997 hanya
melakukan pandangan dan pendekatan berdasarkan ‗charity‘. Demikian juga pada
undang undang tentang Pelayanan Publik tahaun 2010, tidak ada kebijakan yang
mengatur sebagai pendukung pelaksanaannya serta pada undang-undang tentang
Bangunan Umum dan Permen PU tentang Pedoman Teknis fasilitas dan
Aksesibilitas pada Bangunan dan Lingkungan yang implementasinya masih
banyak menimbulkan pertanyaan.

D. HAMBATAN DAN TANTANGAN KE DEPAN

Berkaca dari pengalaman di Kalimantan Selatan Keluarnya Perda No. 17


tahun 2013 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas
telah memberikan warna baru bagi tonggak awal pengakuan dan perlindungan
dari pemerintah daerah terhadap para penyandang disabilitas ini. Sosialisasi
kemudian menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan para pihak dapat
menjalankan dan memberikan hak-hak penyandang disabilitas ini, khususnya
terkait masalah ketenagarkerjaan.

Namun dari data yang diperoleh terlihat dari 91 responden yang peneliti
wawancarai dari 13 kabupaten kota (satu orang dari dinas ketenagakerjaan dan
sosial, dua orang dari dinas PU yakni dari bina marga dan cipta karya, satu orang
dari perusahaan umum dan satu orang dari perusahaan daerah serta dua orang
difable) , 96 persen diantaranya menyatakan bahwa mereka belum pernah
mendengar tentang adanya perda tentang disabilitas ini.

38
Gambar 1. Pengetahuan tentang Perda 17/2013

4%

Mengetahui
Tidak Tahu

96%

Sumber : Balitbangda Kalsel, 2015.

Pengetahuan akan adanya perda No. 17 tahun 2013 tentang


perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas menjadi
penting adanya, dimana para pelaku usaha ataupun SKPD memiliki dasar
dan mandat untuk melakukan kegiatan usahanya ataupun proses pelayanan
dan pembangunan fisik dan sarana prasaran yang ramah dan peka terhadap
hak-hak penyandang disabilitas. Untuk dunia usaha misalnya, penetapan
minimal 1 % dari jumlah pegawai harus difabel dan ditempatkan di bidang
produksi atau distribusi, menjadi suatu proses mainstreaming (pengarus
utamaan) yang dapat ditekankan oleh dinas Ketenaga kerjaan kepada pihak
perusahaan.

Menurut Jimly Asshiddiqie, ada beberapa hambatan dalam


mencapai tujuan untuk lahirnya keadilan, antara lain :32

a. Hambatan fisik pada kantor polisi, pengadilan, penjara, dan gedung


bangunan umum lainnya, sangat tidak aksesibel terhadap difabel yang
cenderung fisik dibangun untuk masyarakat umum.
b. Tidak adanya transportasi yang aksesibel untuk bisa pergi ke kantor
polisi, lembaga bantuan hukum, pengadilan, dan gedung bangunan
umum lainnya
c. Legislasi, regulasi, kebijakan, atau praktisi yang mendiskriminasi
penyandang disabilitas seperti menjadi saksi, pengacara, hakim masih
belum terjangkau dengan baik.

32
http://www.jimlyschool.com/read/news/337/akses-terhadap-hukum-dan-
peradilan-bagi-penyandang-disabilitas/

39
d. Rendahnya informasi yang aksesibel tentang tata kerja sistem
peradilan, hak penyandang disabilitas sebagai individu didalam sistem
peradilan
e. Rendahnya ketersediaan akomodasi sebagai fasilitas berkomunikasi
bagi penyandang disabilitas, terutama bagi orang dengan gangguan
intelektual, tunanetra, tunarungu, orang dengan gangguan belajar,
orang dengan masalah kejiwaan
f. Sikap terhadap kemampuan penyandang disabilitas untuk
berpartisipasi aktif dalam administrasi peradilan, misalnya keyakinan
bahwa orang dengan masalah kejiwaan tidak bisa diakui kesaksiannya
g. Rendahnya training bagi petugas kepolisian, pengadilan, lembaga
bantuan hukum lainnya untuk mengerti penyandang disabilitas dan
kebutuhan spesifik dalam mengakses keadilan serta bagaimana
menyediakan akomodasi yang diperlukan.

E. Konklusi

Perlu penghormatan yang melekat pada martabat seseorang tanpa


melihat kondisi fisik maupun kehidupan sosialnya dan cerminan otonomi
individual termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan merupakan
bentuk kemerdekaan perseorangan yang non diskriminasi. Partisipasi
penuh dan efektif harus tercermin dalam masyarakat sehingga peran dan
keikutsertaan dalam membangun masyarakat sangat berpengaruh untuk
menunjang dan support terhadap kaum difabel. Penghormatan atas
perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas ini sebagai bagian dari
keragaman manusia dan kemanusiaan, kesetaraan kesempatan,
aksesibilitas, kesetaraan antara laki laki dan perempuan serta
penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari penyandang
disabilitas anak guna mempertahankan identitas mereka.

Dalam pengakuan atas kesetaraan dimuka hukum Negara


menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk
diakui dimana pun berada sebagai seorang manusia di muka hokum,
negara wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas
hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek
kehidupan dan Negara wajib mengambil langkah yang tepat untuk
menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang
mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum mereka.

Dalam Akses terhadap Keadilan, negara wajib menjamin secara


efektif akses penyandang disabilitas pada keadilan didasarkan atas
kesamaan dengan yang lain, termasuk melalui pengakomodasian
pengaturan yang berkaitan dengan prosedur dan kesesuaian usia, dalam

40
rangka memfasilitasi peran efektif penyandang disabilitas sebagai
partisipan langsung maupun tidak langsung, termasuk sebagai saksi, dalam
semua persidangan, termasuk dalam penyidikan dan tahap-tahap awal
lainnya. Dan dalam rangka menolong terjaminnya akses efektif terhadap
keadilan bagi penyandang disabilitas, Negara-Negara Pihak wajib
meningkatkan pelatihan yang tepat bagi mereka yang bekerja di bidang
penyelenggaraan hukum, termasuk polisi dan sipir penjara.

41
DAFTAR PUSTAKA

Daming, Saharuddin. Sekapur Sirih Tentang Perwujudan Hak


Penyandang Disabilitas Di Indonesia. Jakarta: Komnas
HAM, 2003.
Degener, Theresia. International Disability Law- A New Legal Subject on
the Rise, disampaikan pada Experts Meeting di Hongkong,
13-17 Desember 1999. Berkeley Journal International.
2000.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

. Undang-undang tentang Penyandang Cacat, UU No. 4 Tahun 1997,


LN No. 9Tahun1997, TLN No.3670.
United Nations, Convention on the Right of People with Disabilities,
CRPD,
http://www.un.org/disabilities/documents/convention/con
voptprot-e.pdf diakses pada 01 Mei 2017 pukul 10.09

http://www.jimlyschool.com/read/news/337/akses-terhadap-hukum-
dan-peradilan-bagi-penyandang-disabilitas/ diakses pada
01 Mei 2017 pukul 11.00

42
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI RAKYAT MISKIN DALAM

IMPLIKASINYA DENGAN PELAKSANAAN


TEORI KESEJAHTERAAN RAKYAT
(WALFARESTATE)
Oleh:Irvin Saut Tua Sihombing &Endah Sundari

Abstrak
Kredo ―hukum tajam ke atas dan tumpul ke bawah‖ masih berlaku hingga saat ini.
Alih-alih hukum menata ketertiban dan memberikan keadilan, justru menurut
Satjipto Rahardjo, malah menjadi ―benda asing dalam tubuh yang telah mengiris
kedalam daging sendiri. Seringkali tersangka yang miskin karena tidak tahu hak-
haknya sebagai tersangka atau terdakwa disiksa, diperlakukan tidak adil, atau
dihambat haknya untuk didampingi advokat. Bantuan hukum adalah sebuah
gerakan upaya untuk membebaskan rakyat miskin dari struktur yang menindas
mereka. Oleh karena itu gerakan bantuan hukum harus mampu membuka mata
dan perasaan masyarakat bahwa bantuan hukum adalah hak asasi manusia dan
bukan merupakan sebuah belas kasihan.
Terkait hal itu, salah satu proposal yang ditawarkan melalui paper yang
menggunakan metode penelitian yuridis-normatif ini adalah negara harus turun
tangan menjadi aktor dan fasilitator sesuai dengan dianutnya Teori Kesejahteraan
rakyat (walfare State) dengan cara membentuk Komisi Bantuan Hukum Nasional
yang berisi dan menerapkan system Triple Track System. Dimana Komisi Bantuan
Hukum Nasional,Organisasi Advokat dan Lembaga Bantuan Hukum bersinergi
Untuk memberikan bantuan hukum secara gratis bagi masyarakat miskin dengan
dibiayai oleh Negara.
Keyword: Bantuan Hukum, Negara Kesejahteraan (welfare state)

PENDAHULUAN
Bantuan hukum adalah sebuah upaya untuk mengisi hak asasi manusia
(HAM) terutama bagi lapisan termiskin rakyat Indonesia. Orang kaya sering tidak
membutuhkan bantuan hukum karena sebetulnya hukum itu dekat dengan orang
kaya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering
juga melestarikan ketidakadilan hukum antara si kaya dan si miskin. 33 Hidup
dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi Indonesia tentang ―persamaan dan
kesamaan di hadapan hukum‖ semakin lama akan memudar. Professor Paul
Moedikdo, sebagaimana dikutip oleh Todung Mulya Lubis dalam bukunya yang
berjudul ―Mengapa Bantuan Hukum Struktural‖ menganalogikan suatu
permasalahan ini dengan kisah tenggelamnya kapal Titanic. Prof. Paul
menceritakan bahwa pada pelayarannya yang pertama pada tanggal 10 April 1912,

33
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktur (Jakarta: Lp3es, 1986), Hlm. 9.

43
kapal Titanic tenggelam.34 Dalam situasi ini ternyata jumlah sekoci yang tersedia
tidak mampu menyelamatkan jiwa penumpangnya. Data yang diperoleh
menunjukkan bahwa korban paling banyak yang jatuh adalah penumpang yang
berada pada kelas ketiga yang mencapai 45%, kelas kedua 16% dan kelas satu
hanya sebesar 0,7%‖.35
Melalui analogi ini Prof. Paul menunjukkan bahwa secara sistemik, sistem
yang ada lebih melindungi penumpang yang memiliki sumber daya sosial,
ekonomi dan politik ketimbang mereka yang tidak memiliki sumber daya tersebut.
Penumpang yang miskin secara sosial, ekonomi dan politik mau tidak mau harus
menjadi korban mayoritas dari peristiwa tenggelamnya kapal Titanic. 36 Tragedi
dari adanya ―kelas-kelas‖ tersebut juga terjadi disini. Seorang yang mampu
membayar dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar dari seorang
yang hanya mampu membayar seorang pokrol bambu.37 Seorang yang mampu
membayar dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar dari seorang
yang hanya mampu membayar mantra biasa. Pengkotak-kotakkan memang telah
jadi sifat kehidupan pada saat ini. pengk
Dalam medan berpikir seperti inilah harus dipandang bahwa gerakan
bantuan hukum adalah upaya perjuangan menegakkan HAM bagi si miskin. HAM
rakyat miskin telah cukup lama ‗ditawan‘ oleh orang-orang kaya, dan HAM itu
tidak akan diberikan begitu saja. Bantuan hukum adalah sebuah gerakan upaya
untuk membebaskan rakyat miskin dari struktur yang menindas mereka. Oleh
karena itu, gerakan bantuan hukum harus mampu membuka mata dan perasaan
masyarakat bahwa bantuan hukum adalah hak asasi manusia dan bukan
merupakan sebuah belas kasihan.
Pembelaan terhadap orang miskin mutlak diperlukan dalam suasana sistem
hukum pidana yang belum mencapai titik keterpaduan (Integrated Criminal
Justice System). Sering kali tersangka yang miskin karena tidak tahu hak-haknya
sebagai tersangka atau terdakwa disiksa, diperlakukan tidak adil, atau dihambat
haknya untuk didampingi advokat.38 Kredo‖ hukum tajam ke atas dan tumpul
kebawah‖ masih tetap berlaku hingga saat ini. Alih-alih hukum menata ketertiban
dan memberikan keadilan, justru menurut Satjipto Rahardjo, malah menjadi

34
Ichsan Zikry, Membentuk Perspektif Keadilan Sosial Dalam Sistem Peradilan Pidana Melalui
Bantuan Hukum Struktural Studi Kasus: Salah Tangkap 6 Orang Pengamen Cipulir, Proceeding
INCLE 2nd Conference Diversity Of Clinical Legal Education And The Road To Social Justice 11 – 13
May 2016, Universitas Udayana, Bali, Indonesia, Hlm. 14.
35
ibid
36
ibid
37
Opcit, hlm. 9
38
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan , Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2000, hlm. 98.

44
―benda asing dalam tubuh‖ yang telah mengiris kedalam daging sendiri. 39 Hal
tersebut justru menimbulkan kekecewaan mendalam bagi rakyat miskin terhadap
praktek hukum yang tidak memihak tersebut.
Disaat hukum menjadi wilayah kewenangan dan kekuasaan yang hanya
dimiliki satu pihak, maka di saat itu pula hukum tidak bekerja sebagaimana
mestinya. Hukum hanya menjadi alat dari sekelompok orang yang menguasai
aset.40 Penguasaan alat produksi menjadi domain dari segelintir orang yang tidak
terdistribusikan dengan adil kepada rakyat hingga menimbulkan ketidakadilan
secara struktural. Di saat orang menghamba kepada hukum yang dikuasai oleh
segelintir orang, bukan keadilan yang didapat melainkan ketidakadilan. Kondisi
ini menciptakan kemiskinan struktural yang mesti dirombak dengan tujuan
perombakan ketidakadilan struktural agar menjadi lebih adil.41
Adnan Buyung Nasution menyatakan bantuan hukum bertujuan
membentuk gerakan untuk menyusun kembali negara, masyarakat dan budaya.
Sementara Todung Mulya Lubis mengatakan bantuan hukum adalah konsep yang
mencoba mengaitkan kegiatan bantuan hukum dengan upaya merombak tatanan
sosial yang tidak adil.42 Jadi sasarannya tidak lagi sekadar membantu individu
dalam sengketa yang dihadapinya, tetapi lebih mengutamakan sengketa yang
mempunyai dampak struktural. Bantuan hukum dijadikan sebagai kekuatan
pendorong ke arah tercapainya perombakan tatanan sosial, sehingga ada pola
hubungan yang lebih adil.43
Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga
dirancang untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi
setiap warga Negara, melindungi setiap anak bangsa.44 Intelektual menggunakan
pendapatnya tentang betapa pentingnya gerakan bantuan hukum, karena
kemiskinan bukan timbul secara alamiah tetapi lebih merupakan akibat dari
pembangunan sosial dan mekanisme yang tidak seimbang.45
Para pendiri negara Indonesia telah menyepakati bahwa salah satu tujuan
didirikannya negara Indonesia adalah agar keadilan dan kemakmura bangsa
Indonesia dapat diwujudkan. Pembukaan UUD 1945 yang memuat rumusan

39
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir catatan kritis tentang pergulatan Manusia dan
Hukum, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 9.
40
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di
Indonesia pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2014, hlm. 471.
41
Ibid.
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Anies Baswedan, Merawat Tenun Kebangsaan Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan
Pendidikan, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015, hlm. 17.
45
Frans Hendra Winarta, op.cit., hlm. 115.

45
tujuan negara Indonesia dan juga Pancasila menyatakan bahwa negara Indonesia
dibentuk ‖…untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…dengan berdasar
kepada [disini teks Pancasila muncul]… keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.‖46 Rumusan dasar ideologi welfare state tadi (―memajukan
kesejahteraan umum‖ dan sila kelima Pancasila ―keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia‖) kemudian dimanifestasikan ke dalam batang tubuh konstitusi
negara Indonesia untuk dijadikan pedoman hidup berbangsa dan penyelenggaraan
kenegaraan.
Secara sederhana, berarti bahwa Indonesia harus memiliki peran yang besar
untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dalam konsepsi ini juga
mengijinkan negara untuk terlibat dalam setiap bagiandari kehidupan masyarakat
dan kebutuhan sehari-hari dalam rangka mencapai kemakmuran. Konkritnya
negara bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi
warganya sampai pada tingkatan tertentu. Hal ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh Yos Johan Utama dalam pengukuhan guru besarnya yang
menyatakan:
Paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara ataupun
orang perorang menjadi subyek hukum, yang harus dilindungi serta
disejahterakan dalam segala aspek kehidupannya. Negara dalam
paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga sebagai subyek, dan
tidak lagi menempatkan warga negara sebagai objek. Negara mempunyai
kewajiban, untuk menempatkan warga negara sebagai objek. Negara
mempunyai kewajiban, untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan
warganya, dalam rangka menjalankan fungsinya, melayani dan
mengupayakan kesejahteraan (bestuursorg).47

Konsepsi Welfare state yang menjadi staatside bangsa Indonesia memimpikan


terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Dilihat dari semangat tersebut,
konstitusi Indonesia memiliki corak yang cenderung sosialistik. Hal ini dikuatkan
dengan falsafah negara Indonesia pada sila kelima yang menegaskan pandangan
untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sebagai suatu
penekanan bahwa makna yang terkandung dalam sila kelima Pancasila tersebut,
merupakan suatu tujuan negara, yaitu negara bertujuan mewujudkan suatu
kesejahteraan rakyat dengan melalui keadilan bagi semua pihak.48 Dengan
demikian maka sila ‗keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‘ merupakan
46
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
47
Mochamad Adib Zain, Ananda Prima Yurista dan Mailinda Eka Yuniza, Jurnal Penelitian Hukum,
volume 1 Nomor 2 Juli 2014, hlm. 64.
48
Kaelan, negara Kebangsaan Pancasila Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya,
Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2013, hlm. 64.

46
suatu ‗core values‘ negara kesejahteraan (welfare state). Dalam konsepsi negara
kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh rakyat banyak, peran
personal untuk menguasai hajat hidup rakyat banyak dihilangkan. 49
Konstitusi mengamanatkan bahwa fakir miskin merupakan tanggung
jawab negara yang diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi, ―fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara‖. Pasal
tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip keadilan sosial. Secara
umum, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa setiap orang
Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial,
ekonomi dan kebudayaan.50 Prinsip keadilan adalah inti moral ketuhanan,
landasan pokok prikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat.
Ontensitas pengalaman Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial
dalam perikehidupan berbangsa.51 Kesungguhan negara dalam melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan bisa
dinilai dari usaha nyatanya dalam mewujudkan keadilan sosial.52 Oleh karena itu,
gerakan bantuan hukum sesungguhnya adalah gerakan konstitusional.
Pada 2 November 2011 Presiden mengesahkan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. berlakunya undang-undang ini menjadi
babak baru dalam pemberian bantuan hukum bagi masyarakat Indonesia. Harapan
untuk lebih baiknya pelaksanaan bantuan hukum probono dititipkan pada undang-
undang baru ini. Berdasarkan uraian tersebut menarik untuk dilakukan
pendalaman lebih lanjut mengenai keberdampakkan UU nomor 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum setelah 6 tahun berlangsungnya. tulisan ini juga
diharapkan dapat memberikan masukan dan rekomendasi berkaitan dengan
bantuan hukum dengan memperbandingkan pelaksanaan bantuan hukum di negara
lain.

PEMBAHASAN
Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang lahir
sebagai bentuk pelaksanaan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 53 ini dalam
perjalanannya selama enam tahun pada kenyataannya tetap tidak berdampak
positif bagi pengembangan jaminan bantuan hukum probono di Indonesia.
Pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum yang awalnya ditujukan guna

49
Mochamad Adib Zain, Ananda Prima Yurista dan Mailinda Eka Yuniza, Loc.cit.
50
Tim kerja Sosialisasi empat Pilar, Empat Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara, Sekretariat
jenderal MPR RI, Jakarta, 2012, hlm. 81.
51
Ibid.
52
Ibid.
53
Periksa dalam konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum.

47
meningkatkan jumlah pengacara bagi masyarakat miskin54 tetap tidak
menimbulkan angka yang ideal. Lampung misalnya, saat ini memiliki 42
pengacara Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang harus menangani kebutuhan
hukum 4.304.935 warga miskin. Satu orang pengacara mau tidak mau harus
menangani 102.498 orang. 55 Jawa Barat memiliki 55 orang pengacara OBH
dengan jumlah penduduk miskin 4.375.100 sehingga rasionya 1:79.547.
Yogyakarta memiliki 93 pengacara OBH dan jumlah warga miskin 562.100
sehingga rasionya 1: 6.044, dan Sulawesi Selatan memiliki rasio 1: 19.781. 56
Amerika Serikat menyarankan angka ideal perbandingan jumlah pengacara dan
jumlah penduduk miskin adalah 1:274, Malaysia 1:1.887, dan Singapura 1:
1.203.57 Berdasarkan saran dari ketiga negara tersebut tetap tidak didapatkan
kesimpulan bahwa Indonesia telah memenuhi angka ideal.
Penerapan dari undang-undang ini juga masih menimbulkan
permasalahan, pelaksanaan bantuan hukum masih mewajibkan advokat untuk
memberikan bantuan hukum.58 Ada tiga pertanyaan yang hendak dilontarkan
berkaitan dengan hal tersebut. Pertanyaan lugasnya adalah apakah advokat ―mau‖,
―mampu, dan ―efektif‖. Sejujurnya dalam diri advokat secara umum tentu
menimbulkan keenganan untuk melaksanakan pemberian bantuan hukum
(probono). Sifat dari profesi advokat adalah memberikan jasa hukum, artinya
menjual kemampuannya dibidang hukum. Sekalipun profesi advokat diakui
sebagai profesi yang mulia (officium nobile), realitasnya dia adalah ―corporate‖,
bukan lembaga nirlaba.59 Jika melakukan bantuan hukum probono karena perintah
undang-undang dan bukan karena kepeduliannya atau penghargaannya terhadap
hak ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya) masyarakat miskin tentu hal ini akan
mempengaruhi kualitas dari advokasi itu sendiri, karena sejatinya
―konsentrasinya‖ berbeda. Orang jawa bilang ―ngribeti‖ atau ―mengganggu‖ tugas
pokok advokat sebagai penyedia jasa hukum (legal services).
Pengertian bantuan hukum lebih bermakna sebagai pemberian bantuan
hukum cuma-cuma (probono) yang bersifat nirlaba sedangkan jasa hukum
merupakan aktivitas profesional yang memberikan (menjual) jasa bersifat profit.
Jauh sebelum Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
terbentuk, hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

54
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bantua Hukum, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, hlm. 1
55
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56a74ee917a37/rasio-jumlah-pengacara-dan-
penduduk-di-empat-provinsi. Diakses pada 6 Agustus 2017
56
.Ibid.
57
Ibid.
58
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2003 tentang Advokat.
59
http://www.mitrahukum.org/publikasi/opini/bantuan-hukum-dalam-perspektif-
tanggungjawab-negara/ , diakses pada 6 Agustus 2017.

48
membuktikan bahwa 62,6% responden advokat yang diwawancarai menyatakan
bahwa penyedia bantuan hukum probono seharusnya adalah pengadilan dengan
anggaran penuh dari negara.60 Fakta tersebut dapat diartikan bahwa sebenarnya
advokat tidak mau melakukan bantuan hukum probono.
Strategi untuk mengatasi masalah tidak seimbangnya jumlah pencari
keadilan dengan advokat, dan tidak menyebarnya advokat keseluruh pelosok
tanah air diatasi pemerintah dalam undang-undang ini dengan diakui dan
diperluasnya para pihak yang dapat memberikan bantuan hukum. Tidak hanya
advokat saja yang kini dapat memberikan bantuan hukum, tetapi juga paralegal,
dosen dan mahasiswa fakultas hukum, termasuk mahasiswa dari fakultas syariah,
perguruan tinggi militer, dan perguruan tinggi kepolisian, yang direkrut sebagai
pemberi bantuan hukum berdasarkan Pasal 9 huruf a UU Bantuan Hukum.
Namun, hal ini juga mengalami kendala, terutama biro bantuan hukum
yang didirikan di perguruan tinggi, yang mengalami pemecahan konsentrasi
antara tugas mengajar sebagai dosen dan tugas sebagai advokat, selain itu biro
bantuan hukum di perguruan tinggi bersifat ―non profit oriented‖, sedangkan
tingkat penghasilan dosen yang tergolong rendah. Tingkat profesionalitas tenaga
advokat dan paralegal yang masih berstatus mahasiswa di biro bantuan hukum di
perguruan tinggi juga berpengaruh besar dan mengakibatkan kurangnya
kepercayaan masyarakat.61 Hingga berdampak banyak biro bantuan hukum
perguruan tinggi yang ―mati suri‖.62
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan pembangunan bantuan
hukum probono dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum belum terlaksana dengan baik. Hingga berdampak
terhadap pelaksanaan kebijakan pembangunan bantuan hukum probono.

A. Sebuah perbandingan
Belajar dari kesuksesan dan kegagalan bangsa lain adalah salah satu cara
yang bijak dalam merancang dan melaksanakan bantuan hukum di Indonesia.
Ketiga negara yang diuraikan dibawah ini merepresentasikan pengalaman dalam
pemberian bantuan hukum.
1. Belanda
Pada saat ini Belanda menuangkan program Bantuan Hukumnya dalam
Undang-Undang Bantuan Hukum Tahun 1994 yang kemudian diamandemen pada
2004. Undang-undang ini menyediakan seperangkat peraturan yang menjadi dasar

60
Ibid.
61
Ade Irawan Taufik, Sinergitas Peran Dan Tanggung Jawab Advokat Dan Negara Dalam
Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal Rechtsvinding BPHN Volume 2 Nomor 1, April
2013, Hlm. 59.
62
Ni Komang Sutrisni, Tanggung Jawab Negara Dan Peranan Advokat Dalam Pemberian Bantuan
Hukum Terhadap Masyarakat Tidak Mampu,Jurnal Advokasi Vol. 5 No.2 September 2015, Hlm.
158

49
bantuan hukum di negara ini. Menurut ketentuan undang-undang ini hanya orang
atau badan tertentu yang kemampuan keuangan atau kekayaannya tidak mencapai
jumlah tertentu pengeluaran maksimum (maximum disposable income) misalnya
berpenghasilan Rp 13 juta atau memiliki aset senilai Rp 90 juta.
Program ini dilaksanakan oleh suatu badan yang disebut Legal Aid, Advice
& Assistance Centres (Pusat Bantuan, Nasehat dan Pembelaan Hukum) yang
merupakan lembaga independen dan didanai dari dana publik. Lembaga ini
menangani seluruh jenis perkara, asalkan pemohon bantuan telah memenuhi
kriteria batas penghasilan sebagaimana disebutkan di atas. Namun demikian,
perkara-perkara dengan nilai di bawah 180 Euro (Rp 2 juta), perkara yang tidak
memiliki dasar yang jelas (manifestly unfounded), perkara dengan biaya yang
tidak proporsional, dan perkara dengan ancaman hukuman yang terlalu ringan
juga tidak ditangani oleh lembaga ini. Dana bantuan hukum ini hanya membayar
biaya advokat. Sedangkan biaya sidang dan biaya-biaya lain tidak didanai. Selain
bisa menggunakan advokat dari The Legal Aid, Advice & Assistance Centres,
pemohon bantuan hukum juga dapat memilih sendiri advokatnya. Masyarakat
yang membutuhkan bantuan untuk memilih advokat boleh meminta nasehat dari
Raad voor Rechtsbijstand atau asosiasi advokat disana.63

2. Australia
Sebagai perbandingan, di Australia bantuan hukum dibentuk dan dibiayai
oleh negara. Sumber utama pemberian bantuan hukum dilaksanakan sebuah
Komisi Bantuan Hukum yang dibentuk dan didanai oleh negara. Pemberian kuasa
atau yang bertindak sebagai penasihat hukum, dilakukan oleh staf pengacara
Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Privat atau pengacara yang membuka
kantor sendiri.64 Pelaksanaan bantuan hukum di Australia dilaksanakan secara
sinergis oleh pengacara Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Profesional
/Pengacara Sipil.
Berbeda dengan konsep di Belanda, Australia justru tidak mencantumkan
hak bantuan hukum dalam konstitusinya, demikian pula tidak terdapat hak ini
dalam undang-undang federalnya. Hak-hak ini diakui dalam yurisprudensi dan
undangundang negara bagian yang menciptakan komisi bantuan hukum.
Yurisprudensi yang umum diikuti oleh hakim di Australia berdasarkan kekuatan
mengikat yurisprudensi . Untuk mendapatkan bantuan hukum pemohon harus
diuji melalui tiga kriteria yaitu kriteria pendapatan (Means Test), kriteria
kelayakan perkara (Reasonableness Test) dan kriteria jenis perkara (Kind of
Cases). Pemohon diperiksa pendapatan dan kekayaannya dalam kriteria

63
Naskah akademik ruu bantuan hukum, yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia,
64
Goldie, Cassandra, “Legal Aid and Acces to Justice in Australia; The Role of Legal Aid to Promote
Acces to Justice for Marginalized in The Contex of Human Rights.” , (makalah disampaikan pada
seminar Internasional Tentang: Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan
Masyarakat Marjinan dalam Kontek Hak Asasi Manusia, Jakarta, 29 April 2006), hlm. 3-4.

50
pendapatan. Dalam kriteria kelayakan perkara yang dimohonkan pembelaannya
akan dinilai kemungkinan menangnya, efisiensi biaya berbanding dengan manfaat
untuk klien, dan kelayakan biaya berbanding dengan kebutuhan lain yang lebih
mendesak. Untuk kriteria jenis perkara, dana bantuan hukum ini tidak disediakan
untuk perkaraperkara tertentu seperti perkara sewa menyewa dan perkara
perburuhan. Sehari-hari bantuan hukum dilaksanakan oleh pusat-pusat pelayanan
hukum masyarakat (Community Legal Centres) yang dilaksanakan oleh NGO dan
organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Di seluruh Australia terdapat 214
pusat pelayanan hukum masyarakat ini yang mempekerjakan 580 pekerja purna
waktu, 662 pekerja paruh waktu dan 3.464 sukarelawan. Dalam lingkup yang
lebih luas pusat pelayanan hukum masyarakat ini juga mengelola program-
program bantuan hukum di luar beracara di pengadilan.65
Lembaga ini juga mengelola program pendidikan dan pelatihan hukum
(Clinical Legal Education) bersama-sama dengan fakultas hukum dari berbagai
universitas, program pendidikan hukum komunitas (Community Legal Education)
dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti penerbitan, online resouces,
publikasi melalui radio, workshop dan sebagainya. Lembaga ini juga aktif dalam
melakukan advokasi dan reformasi hukum secara keseluruhan. Selain disediakan
oleh pusat pelayanan bantuan hukum sebagaimana dijelaskan di atas, bantuan
hukum juga dilaksanakan secara aktif oleh advokat prodeo (pro bono lawyers)
yang tergabung dalam National Pro Bono Resource Centre, Public Interest Law
Clearing House atau dikelola sendiri oleh firma-firma hukum di negara ini. Para
advokat prodeo ini diperkirakan telah menyumbang setidaknya 866.300 jam kerja
untuk melaksanakan pendampingan hukum gratis, 123.100 jam kerja untuk
reformasi hukum dan pendidikan hukum masyarakat dan membantu mengurangi
beban biaya pengacara sampai 536.700 jam kerja. Program ini didanai oleh
pemerintah federal Australia, pemerintah negaranegara bagian sebesar
$AU9.700.000, dari persemakmuran (Commonwealth) sebesar $AU 20.400.000
dan berbagai sumber dana yang lain seperti universitas.66

3. Thailand
Kalau pembicaraan dialihkan ke Asia, maka perlu di telaah perkembangan
bantuan hukum di salah satu negara Asia. Di Thailand misalnya bantuan hukum di
mungkinkan dengan diundangkannya udang-undang hukum secara perdata pada
tahun 1908. Dalam hak ini, maka pengadilanlah yang mempunyai wewenang
untuk membebaskan seseorang (yang terbukti miskin) dari segala biaya perkara.
Hal ini juga berlaku bagi perkara-perkara pidana yang di kualifikasikan sebagai
perkara berat, dan apabila seorang anak menjadi tersangka atau terdakwa. Akan
tetapi di dalam perkara-perkara pidana ada kemungkinan bahwa terdakwa

65
Naskah akademik ruu bantuan hukum, op.cit. hlm.26
66
Ibid, hlm. 26

51
dibebani dengan biaya untuk pencarian bukti pendatangan saksi-saksi, dan
seterusnya.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka di Thailand tumbuh
berbagai badan swasta, yang menyelenggarakan bantuan hukum, seperti misalnya.
1. The Woman Lawyer Association of Thailand yang berkantor di Universitas
Thammasat yang sudah beroperasi sejak tahun enam puluhan dan hanya
menyelenggarakan bantuan hukum diagnostik (konsultasi hukum).
2. The Association of University Graduates, Chulalongkorn University yang
memberikan bantuan hukum diagnostik sejak tahun 1967. Badan ini sebenarnya
bertujuan untuk melatih mahasiswa-mahasiswa hukum tingkat terakhir
berpraktek.
3. The Free People League of Thailand, yang memberikan konsultasi hukum serta
dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi tertentu agar orangorang tertentu
(yang miskin) dibebaskan dari kewajiban membayar jasajasa seorang advokat.
4. The Lawyer‟s Association of Thailand yang dalam hal-hal tertentu memberikan
bantuan hukum pengendalian konflik secara bebas, atas dasar prinsip-prinsip,
sebagai berikut: a. The justice of the community as a whole concerning the matter
requestes.
b. The effect of the proceeding the light of the preliminary facts given.
c. The conditions of the family of the applicant.

5. Legal Aid Office of the Thai Bar Association, yang mempekerjakan mahasiswa
hukum tingkat akhir untuk melakukan praktek hukum, terutama diagnostik dan
bantuan hukum pengendalian konflik. Mereka yang mendapatkan bantuan hukum
harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut.67
a. He is of small means or having so poor salary that being unable to pay
for the consultation or counsel fees, and that he deserves the aid.
b. He has a reasonable ground for the aid.”

Saat ini Thailand masih memberlakukan sistem Ex-Officcio Assigned Counsel


System. Bantuan hukum dilaksanakan oleh pengadilan, institusi negara termasuk
kantor perdana menteri dan kejaksaan agung, dan oleh Dewan Advokat Thailand
(The Lawyers Council of Thailand-LCT). Masing-masing lembaga itu menunjuk
advokat untuk membela terdakwa yang miskin dan bayaran advokat yang ditunjuk
diambil dari dana negara yang khusus dialokasikan untuk tujuan ini. Section 242
Konstitusi Thailand menegaskan hak rakyat untuk mendapatkan bantuan hukum
dari negara. Thailand juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik yang memberikan jaminan untuk hak ini. Namun demikian tidak ada
undang-undang yang diturunkan dari ketentuan undang-undang dasar ini.68

67
T. Rutanosoth., S. Thongprapal., S. Criteria fof Legal Aid, Singapore Law Review, Vol. 3,
1971/1972, hlm. 71-72.
68
Naskah Akademik RUU Bantuan Hukum, Op. cit., hlm. 29

52
Sistem ini menyediakan pembelaan terutama untuk perkara pidana yang
mewajibkan adanya pembela. Konstitusi mewajibkan negara untuk menyediakan
bantuan hukum cuma-cuma mulai dari pengusutan sampai pemeriksaan di
pengadilan sebagai prasyarat mutlak untuk keabsahan suatu pemeriksaan yang
jika tidak dipenuhi akan mengarah pada putusan pada tingkat banding. Pasal 173
Criminal Procedural Code(CPC) mewajibkan pengadilan untuk menyediakan
pembela bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati. Kewajiban ini juga
ditetapkan jika terdakwa adalah terdakwa anak. Sedangkan dalam perkara perdata,
yang berhak mendapatkan pendampingan hukum hanya mereka yang miskin.
Selain itu sebagian perkara ditangani oleh The Lawyers Council of Thailand
(LCT) yang dibentuk berdasarkan sebuah undang-undang pada tahun 1985
sebagai organisasi profesi untuk praktisi hukum. Advokat yang bergabung di LCT
juga membela perkara yang menjadi kepentingan umum, seperti perkara-perkara
lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan perkara-perkara perlindungan
konsumen dengan bekerja sama dengan NGO. Sebagian dana yang dibutuhkan
oleh LCT yang juga melaksanakan bantuan hukum ini disubsidi dengan dana yang
disediakan oleh pemerintah sebesar US$ 1,3 juta per tahun.100

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis berpendapat, bahwa peran


negara harus diperluas. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator dan
donatur, tapi lebih dari itu negara harus bertindak sebagai aktor dan fasilitator.
Untuk memperluas akses bantuan hukum, model yang penulis tawarkan adalah
melalui model sistem tiga jalur (triple tract system), yaitu negara (pemerintah)
membentuk Komisi bantuan Hukum Nasional yakni lembaga khusus sebagai
pembela umum (public defender) yang sepenuhnya didanai oleh negara untuk
melaksanakan bantuan hukum dan mempekerjakan sejumlah pengacara,
disamping itu juga bantuan hukum yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) dan oleh advokat/organisasi advokat.

53
DAFTAR PUSTAKA

Anies Baswedan, Merawat Tenun Kebangsaan Refleksi Ihwal Kepemimpinan,


Demokrasi, dan Pendidikan, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015.
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan , Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000.
Goldie, Cassandra, ―Legal Aid and Acces to Justice in Australia; The Role of
Legal Aid to Promote Acces to Justice for Marginalized in The
Contex of Human Rights.‖ , (makalah disampaikan pada seminar
Internasional Tentang: Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan
Akses Keadilan Masyarakat Marjinan dalam Kontek Hak Asasi
Manusia, Jakarta, 29 April 2006).
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56a74ee917a37/rasio-jumlah-pengacara-
dan-penduduk-di-empat-provinsi.
http://www.mitrahukum.org/publikasi/opini/bantuan-hukum-dalam-perspektif-
tanggungjawab-negara/.
Ichsan Zikry, Membentuk Perspektif Keadilan Sosial Dalam Sistem Peradilan
Pidana Melalui Bantuan Hukum Struktural Studi Kasus: Salah
Tangkap 6 Orang Pengamen Cipulir, Proceeding INCLE 2nd
Conference Diversity Of Clinical Legal Education And The Road To
Social Justice 11 – 13 May 2016, Universitas Udayana, Bali, Indonesia.
Irawan Taufik, Sinergitas Peran Dan Tanggung Jawab Advokat Dan Negara
Dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal Rechtsvinding
BPHN Volume 2 Nomor 1, April 2013.
Kaelan, negara Kebangsaan Pancasila Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2013.
Mochamad Adib Zain, Ananda Prima Yurista dan Mailinda Eka Yuniza, Jurnal
Penelitian Hukum, volume 1 Nomor 2 Juli 2014.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bantua Hukum, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Naskah akademik ruu bantuan hukum, yayasan lembaga bantuan hukum
Indonesia,

Ni Komang Sutrisni, Tanggung Jawab Negara Dan Peranan Advokat Dalam


Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Tidak Mampu,
Jurnal Advokasi Vol. 5 No.2 September 2015.

54
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir catatan kritis tentang pergulatan
Manusia dan Hukum, Kompas, Jakarta, 2007.
T. Rutanosoth., S. Thongprapal., S. Criteria fof Legal Aid, Singapore Law
Review, Vol. 3, 1971/1972, hlm. 71-72.
Tim kerja Sosialisasi empat Pilar, Empat Pilar Kehidupan berbangsa dan
bernegara, Sekretariat jenderal MPR RI, Jakarta, 2012.
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktur (Jakarta: Lp3es,
1986).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2003 tentang Advokat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan
Hukum di Indonesia pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan
Masalah Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2014.

55
Peran Klinik Hukum Perempuan dan Anak
dalam Upaya Mendorong Peningkatan Kesadaran
Atas Pentingnya Perlindungan Perempuan dan Anak di Kampus
Lidwina Inge
Nutjahyo69lidwina.inge@ui.
ac.id
Irena Lucy
Ihsimora70irenalucy@ui.ac.i
d

Abstrak

Tujuan pembentukan klinik hukum di kampus bukan hanya sebagai sarana bagi
mahasiswa fakultas hukum untuk belajar dengan mempergunakan metode
experential based learning. Akan tetapi klinik hukum juga diselenggarakan dalam
rangka menanamkan sikap pro keadilan sosial,. Salah satu bentuk upaya
penanaman sikap pro keadilan sosial itu dilakukan melalui upaya mendorong
mahasiswa peserta klinik atau lulusan klinik hukum aktif berperan dalam kegiatan
sosialisasi dan advokasi di komunitasnya. Hal tersebut dilaksanakan oleh para
lulusan Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Mereka setelah memperoleh pemahaman dan pengalaman bekerja
mengadvokasi perlindungan perempuan dan anak di Klinik, mencoba untuk
menularkan pengetahuan dan pengalamannya itu kepada kawan-kawan mahasiswa
di sivitas akademika UI. Beberapa gerakan yang telah dimulai antara lain
sosialisasi himbauan anti kekerasan seksual dan pembentukan jaringan pelaporan
khusus untuk mahasiswa/mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual di
kampus. Tulisan ini pertama-tama menyampaikan ide bahwa manfaat kegiatan
klinik seyogyanya tidak hanya berhenti pada mahasiswa yang terlibat kegiatan
klinik. Penting untuk mendorong mahasiswa mengembangkan pengetahuan,
ketrampilan, dan memperkuat nilai keadilan sosial melalui berbagi manfaat yang
diperolehnya melalui kuliah klinik hukum, kepada masyarakat. Dalam tulisan ini
masyarakat yang dimaksud di dalamnya adalah peer group mahasiswa. Hal kedua
yang disampaikan penulis adalah gambaran contoh kegiatan yang dilakukan
mahasiswa Klinik Hukum Perempuan dan Anak yang dilakukan di dalam kampus.
Beberapa di antaranya adalah pengembangan gerakan ‗stop anti kekerasan
seksual‘ dan upaya mendirikan jaringan layanan pengaduan kekerasan berbasis
kampus.

69
Dosen Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia

70
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

56
Pendahuluan

Catatan Tahunan yang dikeluarkan Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi


Perempuan dan Anak (Komnas Perempuan) tahun 2016 menunjukkan bahwa dari
5.002 kasus, sebanyak 61% adalah termasuk kasus kekerasan seksual 71. Dari
prosentase tersebut, bentuk kekerasan seksual yang paling sering terjadi adalah
perkosaan sebanyak 1.657 kasus. Disusul dengan pencabulan sebanyak 1.064
kasus. Pelecehan seksual berada pada posisi ketiga dari urutan bentuk kekerasan
seksual yang terjadi, dengan jumlah 268 kasus. Di bawahnya terdapat bentuk
kekerasan seksual lain sebanyak 130 kasus, yang sayangnya tidak dilengkapi
keterangan tentang bentuk kekerasan tersebut apa saja. Pada tempat kelima
terdapat kekerasan seksual dalam bentuk melarikan anak perempuan, sebanyak 49
kasus. Bentuk kekerasan seksual yang juga kerap terjadi dan berada di tempat
kelima dalam Catahu adalah percobaan perkosaan sejumlah enam kasus.
Berdasarkan Peta Kekerasan terhadap Perempuan (2002), kekerasan seksual
adalah segala bentuk tindakan yang mengandung makna seksual, di mana tindakan
tersebut tidak diinginkan korban. Kekerasan seksual juga merujuk kepada
berbagai bentuk pemaksaan untuk berhubungan seks.
Data dari Catahu Komnas Perempuan Tahun 2016 di atas menunjukkan bahwa
kekerasan seksual di Indonesia amat sering terjadi. Akan tetapi perlu dipahami
bahwa angka yang dipaparkan dalam Catahu hanyalah mencakup kasus-kasus
yang dilaporkan. Para aktivis perlindungan hak perempuan dan anak menyatakan
bahwa kasus kekerasan seksual yang diketahui publik sering hanya merupakan
pucuk gunung es. Artinya, data angka yang dipublikasi lembaga pemerintah sering
hanya menggambarkan secuplik kecil saja dari belantara kasus kekerasan seksual
yang jumlahnya sangat banyak.
Kasus Kekerasan Seksual Tidak Selalu Dilaporkan

Pertanyaan kemudian muncul. Mengapa tidak semua kasus kekerasan seksual


dilaporkan? Apakah faktor-faktor penyebab kasus kejahatan seksual jarang
dilaporkan? Dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, ada beberapa
faktor penyebab amat khas yang membuat perempuan (dan anak perempuan)
enggan melaporkan kekerasan (fisik, psikis maupun seksual) yang terjadi pada
dirinya. Pertama, korban tidak paham bahwa dirinya menjadi korban. Kedua,
korban memiliki hubungan ketergantungan dengan pelaku atau keluarga pelaku.
Hal ini terjadi sebagian besar dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam
lingkup keluarga, atau ketika korban dan pelaku memiliki relasi karena pekerjaan
di mana korban adalah pekerja yang nasibnya tergantung pada pelaku yang
memberi kerja, atau korban tergantung secara ekonomi. Kemudian faktor ketiga,
ada ancaman dari pelaku atau keluarga pelaku. Keempat, tekanan keluarga korban

71
Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016.

57
sendiri yang merasa malu atas peristiwa yang menimpa korban. Kelima, proses
hukum yang berbelit-belit dan belum kondusif terhadap situasi korban sehingga
menyebabkan korban enggan melapor (Wulandari, 2015; Nurtjahyo 2015).
Ditambah lagi faktor keenam, tekanan dari komunitas atau lembaga tempat korban
dan atau pelaku berada. Bartky (2005) menambahkan dua faktor lagi penyebab
para korban enggan melapor: ketidakpahaman atas bahasa hukum dan rasa
terintimidasi korban yang timbul atas sikap para aparat penegak hukum.
Ketidakpahaman atas bahasa hukum, membuat orang kemudian sulit memahami
bagaimana sebetulnya hak-haknya diatur di dalam hukum karena bahasa hukum
tidaklah sesederhana laras bahasa sehari-hari. Tidak hanya sulit memahami soal
perlindungan hak, orang juga akan mengalami kesulitan mencerna informasi
berkaitan dengan mekanisme dan prosedur untuk mempertahankan atau
melindungi hak-haknya tersebut.
Ketidakmampuan orang memahami bahwa haknya dilindungi di dalam hukum
serta mekanisme dan prosedur yang harus dilalui dalam rangka melindungi hak (-
hak) itu, membuat orang enggan untuk melakukan pelaporan atas kasus kekerasan
seksual yang dialaminya. Dengan demikian menjadi amat penting untuk membuat
suatu mekanisme pelaporan yang mudah diakses, sederhana serta melindungi
korban. Hal ini menjadi salah satu isu yang dibahas di dalam makalah ini.
Hal lain yang menarik untuk dijelaskan lebih lanjut terkait dengan data dari
Catahu adalah wilayah terjadinya kekerasan seksual itu. Catahu membedakan
wilayah terjadinya kekerasan seksual atas ranah personal – di dalamnya termasuk
kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga/keluarga atau sering diebut
sebagai KDRT; ranah komunitas – termasuk di dalamnya tempat bekerja,
lingkungan sekitar rumah/tetangga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan;
dan sebagainya. Jadi, berdasarkan Catahu, terlihat bahwa kekerasan seksual dapat
atau mungkin terjadi pada lingkup tempat bekerja, lingkungan sekolah termasuk
juga kampus. Makalah ini secara khusus fokus pada kampus sebagai locus
terjadinya kekerasan seksual, karena kampus sebagai ruang publik dan tempat
dilaksanakannya kegiatan akademis ternyata tidak steril dari kejahatan seksual.

Pemilihan kampus untuk dibahas sebagai ruang terjadinya kejahatan seksual,


di dalam makalah ini, disebabkan juga karena penulis, sebagai pihak yang
berkecimpung di kampus, merasa memiliki tanggung jawab untuk
mengembangkan perlindungan terhadap hak-hak korban kekerasan seksual pada
komunitas yang terdapat di kampus. Khususnya perlindungan untuk korban
kekerasan seksual yang berstatus mahasiswa. Kepedulian ini muncul karena para
penulis bekerja bersama di dalam Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (Klinik). Berangkat dari pengalaman bersama di
Klinik tersebut, para penulis sepakat untuk menulis dan mengembangkan makalah
ini.

58
Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan (Kampus)

Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja tanpa mengenal ruang dan
waktu. Hal ini tidak mengecualikan lingkungan akademik seperti universitas
sebagai tempat terjadinya kekerasan seksual, mahasiswa sebagai korban maupun
sebagai pelaku. Makalah ini didasarkan pada data hasil penelitian dan pelaporan
yang masuk baik melalui Klinik Hukum Perempuan dan Anak maupun lewat
BEM. Secara khusus, data yang ditampilkan adalah data kasus yang terjadi di
FHUI. Sebetulnya cakupan laporan dan penelitian tidak hanya di FHUI melainkan
di kampus-kampus lain juga. Akan tetapi untuk alasan metodologis dan demi
keakuratan data, penulis fokus pada data kasus yang terjadi di FHUI untuk
makalah ini.

Pada tahun 2016, sebanyak sembilan kasus yang terlapor kepada Badan
Eksekutif Mahasiswa FHUI. 72 Kasus-kasus ini terjadi dari rentang waktu 2014-
2016. Dari sembilan kasus, tujuh kasus dilakukan oleh mahasiswa FHUI dengan
korban mahasiswa FHUI; dan dua kasus lainnya dilakukan oleh pihak eksternal
namun korbannya adalah mahasiswa FHUI. Korban yang tercatat hingga saat ini
sebanyak 33 orang. Korban terdiri dari 23 mahasiswa FHUI dan 10 mahasiswa
dari universitas lain. Dari sembilan kasus ini terdapat tiga kasus yang korbannya
untuk tiap kasus lebih dari satu orang.
Tabel 1. Data Laporan Kekerasan Seksual di FHUI Tahun 2016
No Pelaku Jumlah Korban Bentuk Kejahatan
Percobaan perkosaan
1 Mahasiswa T 5 orang mahasiswa FHUI
(4), Pencabulan (1)
2 Mahasiswa B 1 orang mahasiswa FHUI Pelecehan seksual
Kekerasan dalam pacaran
3 Mahasiswa C 1 orang mahasiswa FHUI
Pelecehan seksual,
7 orang mahasiswa
kekerasan seksual
FHUI, 10 orang mahasiswa
4 Mahasiswa R berbasis online,
universitas
intimidasi, kekerasan
lain
verbal, pencabulan
Kekerasan dalam pacaran
5 Mahasiswa E 1 orang mahasiswa FHUI
Kekerasan dalam pacaran
6 Mahasiswa F 1 orang mahasiswa FHUI
Percobaan perkosaan,
7 Mahasiswa G 1 orang mahasiswa kekerasan verbal,
eksploitasi seksual

72
Hasil wawancara dengan Shafira Anindia Alif Hexagraha sebagai Ketua BEM FHUI 2016. Data
yang ada di dalam tulisan ini sebatas pada data pelaporan kepada saudara Hexa pada tahun 2016.

59
Pihak eksternal
8 (tempat magang) 1 orang mahasiswi Pencabulan
S
3 orang mahasiswa, 2 Pelecehan, percobaan
9 Alumni FHUI
anonim perkosaan, perkosaan.

Penulis akan menggambarkan beberapa kasus kekerasan seksual yang


cukup banyak menarik perhatian di kampus. Kasus pertama yaitu dilakukan oleh
Mahasiswa Senior T terhadap beberapa junior mahasiswi V, C, E, F dan G.
Mahasiswi V mengalami kejadian pada tahun 2014 awal pada saat ia masih
menjalani kegiatan penerimaan mahasiswa baru sedangkan mahasiswi C,E,F dan
G menjadi korban T pada saat pergi ke sebuah kota untuk menjadi delagasi
perlombaan yang mana T adalah ketua dari organisasi tersebut.
V menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh mentor
kelompoknya pada saat mengerjakan tugas kelompok di apartemen milik senior T.
V kemudian tidak sengaja tertidur di kamar tersebut dan ternyata anggota
kelompok telah terlebih dahulu pulang. Ia lalu membuka matanya dan menemukan
dirinya berada di atas kasur dengan kondisi kancing baju telah terbuka setengah.
Pada saat itu ia melihat senior T berada di atas kasur juga sambil memegang alat
kelaminnya ke arah mahasiswi V. Pada akhirnya mahasiswi V berhasil keluar dari
kamar tersebut.
Mahasiswi C, E, F dan G juga menjadi korban kekerasan dari senior T. Sekitar
pertengahan tahun 2015, mahasiswi C, E, F dan G menjadi delegasi lomba ke
sebuah kota ditemani juga oleh senior T sebagai ketua organisasi. Selepas
kegiatan perlombaan, mereka merayakannya dengan pergi ke bar lalu dalam
keadaan mabuk pergi kamar hotel yang ditempati para delegasi. Berdasarkan
keterangan yang diperoleh penulis, senior T berpura-pura mabuk disaat keempat
mahasiswi setengah mabuk lalu melakukan perkosaan dan pencabulan dengan
empat (4) mahasiswi tersebut secara bergantian.

Kasus berikutnya adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mahasiswa R


terhadap 17 korbannya yang merupakan mahasiswi dari berbagai universitas. R
melakukan pendekatan terhadap korbannya melalui beberapa cara yaitu melalui
aplikasi chat dan kemudian mengajak bertemu. R mengajak beberapa pergi ke bar
dan beberapa lainnya ke bioskop. Mahasiswi yang bertemu dengan R kemudian
mengalami pelecehan seksual atau pencabulan pada saat pertemuan. Mahasiswi
lainnya yang kemudian tidak melakukan pertemuan nyata dengan R biasanya
mendapatkan tekanan melalui chat atau telepon. R melakukan ancaman akan
mendatangi, membunuh dirinya, menyebarluaskan informasi pribadi korban
secara online dengan tujuan yang tidak baik hingga menggunakan nama orang
tuanya yang mejabat di posisi penting di pemerintah. Korban kebanyakan adalah

60
orang yang bertemu di aplikasi chat. Selain itu, beberapa korban merupakan
junior pelaku baik pada saat SMA atau kuliah.
Kasus yang cukup menarik perhatian publik berikutnya adalah kasus pelecehan
seksual yang dilakukan oleh anggota Interpol S pada seorang mahasiswi FHUI
yang sedang magang di Interpol Indonesia pada tahun 2016. Saat itu, lembaga
tersebut sedang melakukan rapat di daerah Puncak. Pada saat pulang, korban dan
satu orang ibu tidak mendapat kursi di bus. S menawarkan kedua orang yang tidak
mendapat bus untuk naik mobil bersama dengan S. Tujuan korban adalah ke
Depok sedangkan seorang lagi ke Cibubur. Setelah menurunkan satu penumpang
di Cibubur, S mulai berperilaku tidak wajar dengan korban. S mulai meletakkan
tangan di atas paha korban, kemudian mengajak korban untuk mampir ke rumah S
di daerah Cibubur. Namun karena di rumah tersebut ada penjaga rumah maka S
kemudian pergi dan membawa korban ke tempat lain. Berdasarkan keterangan
korban, ia tidak mengetahui jalan yang diambil hingga akhirnya sampai di dekat
pintu Tol Barat Bekasi. Sepanjang perjalanan S terus melakukan pelecehan
dengan menyentuh bagian-bagian tubuh milik korban. Kemudian, pelaku
memarkir mobil di gedung parkir apartemen milik pelaku di Bekasi. Pelaku terus
melakukan perbuatan seperti menyentuh dan mencium korban hingga akhirnya
korban berhasil keluar dari mobil dan terjadi adegan tarik menarik tas. Korban
mencoba mencari waktu yang tepat untuk pergi karena ia takut membahayakan
dirinya mengingat adanya posibilitas S sebagai anggota interpol membawa
senjata. Pelaku juga bahkan sempat meletakkan uang di dalam tas korban yang
beberapa hari setelahnya korban kembalikan melalui jasa pengiriman paket.
Korban kemudian berhasil kabur dan kembali ke rumahnya.

Selain dari tiga kasus di atas terdapat berbagai jenis kasus lain yang terjadi
namun berhenti pada tataran pelaporan kepada ketua BEM pada saat itu. Kasus
seperti kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual dan percobaan perkosaan juga
terjadi pada beberapa mahasiswi FHUI. Apabila dilihat dari beberapa kasus yang
terjadi dapat dikategorikan jenis-jenis kekerasan yang terjadi yaitu:
1. Perkosaan dan percobaan perkosaan
2. Pencabulan
3. Pelecehan seksual
4. Kekerasan dalam pacaran (fisik dan verbal)
5. Kekerasan berbasis online
6. Eksploitasi seksual (penipuan dan pemaksaan perkawinan)

Pelaku kekerasan seksual di kampus memiliki beberapa karakteristik yang


dapat dilihat dalam beberapa kasus di atas. Pelaku biasanya ada senior atau orang
yang lebih tua dari pada korban sehingga pada awalnya korban merasa tidak enak
atau sungkan untuk menolak ajakan dari para pelaku. Beberapa pelaku juga

61
memiliki hubungan yang dekat dengan korban seperti pada kasus-kasus kekerasan
dalam pacaran. Kemudian, beberapa pelaku juga merupakan pemimpin organisasi
atau orang yang diidolakan oleh mahasiswa lainnya. Hal ini membuat korban
tidak terpikir akan potensi orang-orang tersebut sebagai pelaku kekerasan seksual.
Berdasarkan kasus-kasus yang terlapor, dapat dilihat pula beberapa
karakteristik korban kasus kekerasan seksual. korban biasanya junior atau orang
yang lebih muda dibandingkan pelaku sehingga korban kadang merasa tidak enak
untuk menolak ajakan dari pelaku. Beberapa korban juga merupakan orang
terdekat dengan pelaku dan mengidolakan beberapa pelaku karena pelaku
memiliki track record yang baik pada profesinya.
Strategi Korban dalam Mencari Keadilan

Korban kekerasan seksual di kampus jarang yang melaporkan kasus


kekerasannya kepada lembaga formal seperti dekanat atau rektorat. Dari 33
korban kekerasan seksual yang berhasil tercatat, hanya tiga orang dari kasus
kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama R dan satu
orang pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh senior di tempat magang
korban, yang memutuskan untuk melapor ke pihak dekanat untuk ditindaklanjuti.
Empat orang ini sebelumnya telah melapor kepada Ketua BEM FHUI lalu
didampingi untuk melapor ke pihak Dekanat. Sebanyak 16 orang melakukan
pelaporan hanya kepada ketua BEM FHUI 2016 dan 13 orang mendiamkan saja
atau tidak melakukan pelaporan sama sekali.
Peran Peer Group dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual

Korban kekerasan seksual biasanya melakukan pelaporan kepada teman atau


senior terdekat mereka setelah kejadian yang mereka alami. Setelah
menceritakannya kepada teman terdekat mereka, dalam beberapa kasus teman
terdekat tersebut akan merekomendasikan korban untuk menceritakannya kepada
lembaga mahasiswa seperti BEM untuk ditindaklanjuti. Selain itu, adapula korban
yang langsung melaporkannya kepada ketua BEM FHUI. Namun sedikit sekali
yang kemudian memutuskan untuk melanjutkan proses ke pihak dekanat.
Peer group dapat menjadi lapisan pertama yang dapat membantu korban
menghadapi kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Namun dalam beberapa
kasus, peer group yang juga dimiliki oleh pelaku memainkan peran penting pasca
kasus kekerasan seksual. Pada kasus yang dilakukan oleh mahasiswa T, peer
group T justru menyebarluaskan informasi yang justru memojokkan korban V
seperti korban centil dan sebagainya. Hal ini yang kemudian menjadikan korban
V makin terpojokkan di masyarakat dan enggan untuk melapor.
Victim Blaming oleh Orang Tua

62
Orang tua menjadi faktor penting dalam pertimbangan seorang korban kekerasan
seksual dalam melapor atau menindaklanjuti kasusnya. Korban memiliki
ketakutan akan diketahuinya pola hidup korban seperti pergi ke bar atau
meminum minuman beralkohol. Selain itu beberapa orang tua juga justru
menyalahkan korban atas tindakan yang dilakukannya. Hal-hal tersebut kemudian
menyebabkan korban tidak mau melaporkan kasus kepada orang tua dan lembaga
formal lainnya.
Beberapa kasus menunjukkan ketakutan anak terhadap penliaian yang diberikan
oleh orang tua berpengaruh kepada pilihan korban untuk melapor ke lembaga
formal. Pada kasus mahasiswi V, setelah ia mengalami kekerasan seksual di
apartemen senior T, ia akhirnya memutuskan untuk melapor kepada orang tuanya.
Orang tua V kemudian mendatangi T untuk mengklarifikasi kejadian tersebut,
namun T terus menghidnar dan tidak mengaku telah melakukan hal tersebut
kepada V. Orang tua V kemudian justru menyalahkan V karena pergi ke
apartemen T untuk mengerjakan tugas bersama dengan kelompoknya. Hal ini juga
yang menyebabkan V tidak melaporkan kasus ini ke jalur hukum. Selain itu, pada
beberapa korban di kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh R enggan untuk
melakukan tindakan pelaporan kepada lembaga formal dikarenakan takut
ketahuan orang tua pergi ke bar dan minum minuman beralkohol. Korban
memiliki pemahaman bahwa tindakan pergi ke bar dan minum minuman
beralkohol merupakan hal yang salah bagi para orang tua dan justru akan menjadi
faktor yang menjadi beban bagi korban.
Pada kasus mahasiswa G, korban merupakan pacar dari pelaku. Dengan
bermodalkan kedok taaruf, pelaku berhubungan dengan korban selama 1,5 tahun.
Seiring berjalannya waktu, G mulai meniadakan unsur-unsur yang ada dalam
taaruf seperti adanya pihak ketiga yang hadir saat G dan korban bertemu, G mulai
melakukan sentuhan fisik seperti mencium, memeluk bahkan berkali-kali
memaksa bersetubuh dengan korban. G juga seringkali berkata kasar terhadap
korban apabila korban tidak mau menurutinya. Hal ini diperparah dengan kondisi
dimana orang tua korban yang sudah menganggap G sebagai orang yang baik
menyuruh korban untuk menikahinya. Korban melakukan perlawanan namun
tidak merubah apapun hingga pada akhirnya korban menikah dengan G.
Resistensi Terhadap Jalur Hukum

Dari seluruh kasus yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini, tidak ada satu
pun yang membawanya ke jalur hukum (pidana). Hanya ada satu kasus yang
kemudian dilaporkan kepada organisasi pihak pelaku yaitu Interpol. Namun, hal
ini hanya sebatas permintaan untuk mengadakan sidang disiplin terhadap pelaku.
Korban enggan untuk melaporkan kasus mereka ke pihak berwenang dikarenakan
beberapa faktor yang dianggap korban justru dapat lebih merugikan dirinya
sendiri.

63
Pada kasus yang melibatkan pihak Interpol sebagai pelaku kekerasan, korban
memutuskan untuk melaporkan korban kepada pihak lembaga tersebut untuk
ditindaklanjuti dari segi disiplin. Korban merasa apabila dibawa ke jalur hukum
maka akan menghambat korban dari segi akademik karena ia harus melalui
prosedur yang tidak sederhana. Korban hanya menginginkan agar informasi ini
diketahui oleh orang lain agar tidak menjadi korban dari pelaku.

Hampir seluruh korban yang melaporkan cerita mereka kepada ketua BEM
FHUI saat itu menyatakan bahwa sebagai mahasiswa hukum mereka mengetahui
bagaimana sulitnya untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual yang mereka
alami. Ketiadaan saksi dan pemikiran akan aparat penegak hukum yang tidak
berperspektif menjadi faktor yang membuat korban akhirnya merasa bahwa tidak
ada lagi harapan bagi korban untuk menindaklanjuti kasus tersebut. Selain itu
dalam beberapa kasus, bentuk kekerasan yang terjadi berupa percobaan perkosaan
dan pencabulan yang menurut korban sulit untuk dibuktikan sehingga korban
akhirnya memutuskan untuk tidak membawanya ke jalur hukum.

Berdasarkan pemaparan mengenai keputusan yang diambil oleh para korban


kekerasan seksual dapat disimpulkan bahwa korban kebanyakan melaporkan
kepada teman terdekat terlebih dahulu. Selain itu juga ada yang melapor langsung
kepada ketua BEM FHUI. Namun hanya sedikit dari para korban yang ingin
melapor ke pihak dekanat, rektorat kampus atau kepolisian. Hal ini dikarenakan
berbagai faktor seperti perasaan bahwa kasus tersebut tidak akan ditindaklanjuti
karena tidak adanya saksi, pandangan bahwa banyak aparat penegak hukum yang
tidak berperspektif, bentuk kekerasan bukan perkosaan, kejadian terjadi setelah
korban pulang dari bar dan sebagainya. Korbankorban yang kemudian melapor
kepada pihak dekanat biasanya beralasan bahwa ia tidak ingin ada korban lain
atau dikarenakan korban yang tidak sedikit ia merasa perlu untuk ditindaklanjuti
dan disebarluaskan informasinya.

Peran dan Inisiatif Lembaga di Kampus

Lembaga mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa cukup berperan


signifikan sebagai tempat pelaporan korban kekerasan seksual dan juga
mengkampanyekan gerakan anti kekerasan seksual di kampus. Pada tahun 2014,
BEM FHUI mulai aktif mengadvokasikan kasus kekerasan seksual yang terjadi
pada mahasiswi FIB. Sejak saat itu, BEM FHUI mulai menjalin relasi dengan
lembaga-lembaga lain yang berkecimpung dalam pengadvokasian kasus
kekerasan seksual diantaranya lembaga bantuan hukum baik di dalam kampus
ataupun diluar kampus dan juga klinik hukum perempuan dan anak.

Pada tahun 2015, mahasiswa UI dari berbagai fakultas mulai mengadakan


seminar-seminar mengenai kekerasan seksual di masing-masing fakultas dan
merekomendasikan kepada pihak rektorat untuk membentuk pusat pelayanan

64
kekerasan seksual di kampus. Hal ini dikarenakan belum adanya pusat pelaporan
kasus kekerasan seksual yang terintegerasi di kampus. BEM FHUI juga mulai
mendapatkan laporanlaporan kekerasan seksual sebagaimana yang dipaparkan
dalam tulisan ini dan mencoba unuk mengadvokasikan kasus tersebut melalui
pimpinan fakultas atau merujuk ke Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI.
Dari beberapa kasus yang kemudian dilaporkan kepada pihak dekanat hingga saat
ini, respon awal menunjukkan adanya keinginan untuk menindaklanjuti peristiwa
tersebut. Namun dari dua kasus yang dilaporkan hingga saat ini tidak ada tindak
lanjut lebih jauh yang ditunjukkan oleh Dekanat. Pada kasus yang dilakukan oleh
Mahasiswa R, tidak ada tindakan terbuka dan strategis yang dilakuan oleh pihak
dekanat terhadap pelaku. Saat ini tidak ada kepastian terhadap apa yang akan
dilakukan terhadap pelaku kekerasan tersebut. Pada kasus yang melibatkan pihak
Interpol, pihak fakultas tidak melakukan inisiatif untuk mendamping dan
melanjutkannya ke ranah hukum. Akan tetapi pihak fakultas memang
mengirimkan surat laporan resmi kepada Kapolri untuk menindak tegas
anggotanya yang melakukan tindak kekerasan seksual tersebut.
Tidak responsifnya pihak fakultas dan universitas menjadi latar belakang dari
terciptanya ruang-ruang oleh dosen dan mahasiswa yang peduli akan kasus
kekerasan seksual ini. Salah satu peminatan di FHUI yaitu Hukum Masyarakat
dan Pembangunan membuat posko anti kekerasan. Selain itu, mahasiswa juga
menjalin relasi dengan Klinik Hukum Perempuan dan Anak (HPA) sehingga
ketika ada kasus yang diterima mahasiswa, mahasiswa dapat dengan bekerja sama
dengan klinik HPA dalam penyelesaian kasus. Mahasiswa juga semakin responsif
dan mulai membentuk komunitas untuk menjadi pusat pelaporan kasus-kasus
kekerasan seksual yang terjadi di kampus yang bernama HOPEHELPS.
Peran Klinik Hukum Perempuan dan Anak.

Mahasiswa yang tertarik terhadap isu-isu perempuan dan anak mengambil


bergabung dengan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI. Setelah mahasiswa
lulus dari Klinik, ada dorongan dalam diri mahasiswa (dan alumni) untuk tetap
melaksanakan aktivitas mengadvokasi korban kasus kekerasan seksual dan
melakukan sosialisasi anti kekerasan seksual. Dengan demikian, mahasiswa tetap
berjuang untuk masyarakat dalam lingkup luas, dan komunitas peer group dalam
lingkup yang lebih sempit. Seperti telah dijelaskan di atas, di dalam kampus
ternyata juga terjadi kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak kalah
mengerikannya. Mahasiswa Klinik maupun alumni Klinik merasa terpanggil
untuk melakukan tindakan advokasi. Beberapa hal yang dilaksanakan antara lain
mensosialisasikan gerakan anti kekerasan seksual dengan merancang bersama,
membuat dan membagikan stiker bertema anti kekerasan seksual di kampus
bekerjasama dengan peserta kuliah wanita dan hukum; melakukan penelitian
terkait dengan kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Klinik Hukum

65
Perempuan dan Anak FHUI juga dapat berperan dalam mendorong advokasi
kekerasan seksual kepada pihak dekanat dan universitas.
Sekelumit Tantangan dan Potensi HOPEHELPS

HOPEHELPS merupakan sistem yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa


Fakultas Hukum UI sebagai respon atas maraknya kasus kekerasan seksual di
kampus dan minimnya tempat pelaporan yang dapat membantu korban untuk
mencari keadilan. Dalam mengembangkan sistem HOPEHELPSini, mahasiswa
dibantu dosen untuk beberapa hal. Pertama, dalam pengembangan ide melalui
diskusi-diskusi intens dengan beberapa dosen. Kedua, untuk konsultasi korban
dalam tahap selanjutnya kalau korban memutuskan kasusnya diproses lebih lanjut.
Sistem ini memiliki potensi besar untuk menstimulus terlapornya kasus-kasus
kekerasan seksual di kampus. Hal ini akan sangat membantu para korban
kekerasan seksual untuk memperoleh keadilan atas kekerasan yang terjadi
terhadapnya. HOPEHELPS membantu para korban yang merupakan sivitas
akademika UI untuk menjadi tempat bercerita, mendapatkan konsultasi dengan
psikolog hingga pendampingan ke ranah hukum. Anggota HOPEHELPS yang
terdiri dari para mahasiswa dan mekanisme pelaporan yang mudah dapat menjadi
hal positif untuk menghilangkan kesungkanan korban untuk melapor dan merasa
lebih dekat serta terbuka.
Akan tetapi sistem ini juga memiliki tantangan antara lain anggotanya yang
terdiri dari mahasiswa membuat adanya kebutuhan untuk dibantu oleh para
profesional. Oleh karena itu, HOPEHELPS menjalin relasi dengan lembaga
bantuan hukum, psikologpsikolog atau yayasan psikologi yang berfokus pada
penanganan kasus kekerasan seksual. Selain itu, HOPEHELPS juga berusaha
untuk menjalin relasi dengan fakultas lain karena penanganan kasus kekerasan
seksual juga memerlukan konsentrasi lain seperti psikoogi, kedokteran dan
sebagainya. Tantanan lainnya sebagai pusat pelaporan kasus kekerasan seksual di
kampus, HOPEHELPS diharuskan merangkul semua fakultas di kampus sehingga
diperlukan mengembangkan pusat-pusat pelaporan kekerasan seksual di fakultas
lain di Universitas Indonesia. Yang paling terpenting adalah tantangan bagi para
anggota HOPEHELPS agar dapat menjadi tempat pelaporan yang strategis dan
berperspektif.
Penutup: sebuah catatan reflektif

Berangkat dari paparan di atas, menjadi semakin jelas bahwa kekerasan seksual
dapat menimpa siapa saja, dilakukan oleh siapa saja, dan terjadi di mana saja
termasuk juga di kampus. Bentuk kekerasan seksual pun amat beragam. Dari
mulai perkosaan sampai dengan menayangkan foto dan data pribadi korban di
media sosial dengan katakata yang tidak senonoh. Menjadi amat penting bagi

66
kampus untuk memiliki mekanisme pengaduan dan penanganan kasus kekerasan
seksual yang mudah diakses oleh korban dan melindungi privasi korban.
Mahasiswa peserta Klinik Hukum maupun alumni, merasa terpanggil untuk
berbuat sesuatu bagi komunitasnya. Di antaranya adalah melalui HOPEHELPS.
Sangat diharapkan bahwa mekanisme seperti HOPEHELPSini dapat berkembang
juga di kampus dan sekolah lain dalam rangka mengadvokasi hak-hak korban
kekerasan seksual.

67
Daftar Pustaka

Bartky, Sandra. ”Battered Women, Intimidation, and The Law” dalam Marlyn
Friedman, Women and Citizenship. New York: Oxford Press, 2005.
Irianto, Sulistyowati dan Lidwina Inge Nurtjahyo. Perempuan di Persidangan
Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006.
Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. ―Peta Kekerasan: Pengalaman
Perempuan Indonesia‖. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan, 2002.

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. ―Catatan Tahunan Komisi Nasional Hak
Asasi Perempuan Tahun 2016 Kekerasan terhadap Perempuan Meluas: Mendesak
Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Domestik,
Komunitas dan Negara‖.Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan, 2016.
MacKinnon, Catherine A. “Rape: On Coercion and Consent” dalam Kelly D.
Weisberg,
Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work,
and Reproduction. New York: Temple Univ. Press, 1996.

Nurtjahyo, Lidwina Inge. ―Perempuan dan Anak Korban Kejahatan Seksual‖ Bab
8 dalam Sulistyowati Irianto ed., Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak.
Jakarta: USAID & E2J The Asia Foundation, 2015.
Wulandari, Widati. ―Kekerasan Dalam Rumah Tangga‖ Bab dalam Sulistyowati
Irianto ed., Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak. Jakarta: USAID & E2J
The Asia Foundation, 2015.

68
II. ACCESS TO JUSTICE AND ANTI-CORRUPTION MOVEMENT

Pemberantasan Korupsi Berbasis Organisasi Rakyat

Abdul Fatah, SH, MH73


Lembaga Bantuan Hukum Surabaya & FH UM-Surabaya
efat7@yahoo.com

Abstrak— Politik hukum negara memberi penegasan


bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime). Dilihat dari akibat yang ditimbulkan
korupsi memiliki daya rusak yang cukup tinggi. Kejahatan
korupsi di Indonesia selain terjadi pada semua tingkat
pengambil kebijakan pusat juga terjadi di lapisan
masyarakat paling rendah pedesaan. Korupsi yang terjadi
di pedesaan ini terjadi dengan beberapa modus operandi,
salah satu modus operandi korupsi di desa adalah
pungutan liar (pungli) dan penjualan aset dalam
pelaksanaan Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona), in
casu Prona atas bekas lahan Perkebunan Gambaranyar,
Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar yang dilakukan
secara bersama-sama oleh panitia redistribusi tanah.
Kasus ini telah disidangkan dan diputus oleh pengadilan
tipikor Surabaya dengan nomor perkara Nomor
74/Pid.Sus/PTK/2016/PN.Sby. putusan tersebut pada
pokoknya menyatakan Terdakwa SLAMET KATIRAN
dan terdakwa MARJI terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhi
hukuman 1 tahun 3 bulan dan denda Rp. 50.000.000,00.
Terjadinya korupsi di desa ini perlu dilakukan upaya
pemberantasan yang holistik dan simultan. Salah satu
kekuatan untuk melakukan upaya-upaya pemberantasan
korupsi di tingkat desa adalah organisasi rakyat yang ada
dan tumbuh di desa. Upaya-upaya yang dapat dilakukan
oleh organisasi rakyat adalah pengorganisasian rakyat
yang menjadi korban, pendidikan hukum, publik hiering,
dan melakukan upaya legal misalnya pelaporan dan
pengaduan kepada Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi
73
Kepala Bidang Riset, Pengembangan dan Kerjasama Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, bergabung dengan LBH
Surabaya sejak tahun 2007-sekarang dan saat ini sebagai Program Officer eMpowering Access to Justice (MAJU)
bekerjasama dengan The Asia Foundation dan USAID. Selain itu juga sebagai Dosen pada FH UM-Surabaya serta Direktur
Pusat Kajian dan Pengembangan Anti Korupsi FH UM-Surabaya.

69
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan melakukan proses
pendidikan hukum bagi Aparat Penegak Hukum (APH).
Kendala-kendala dalam pemberantasan korupsi di
perdesaan adalah minimnya pengetahuan dan kapasitas
masyarakat desa, adanya praktik acuh dan abai dari
penegak hukum, instrumen penegakan hukum yang jauh
dari desa misalnya sidang kasus korupsi harus dilakukan
di kota besar karena di daerah tersebut belum ada
pengadilan tindak pidana korupsinya in casu harus
disidangkan di pengadilan tipikor Surabaya.

Kata kunci: Korupsi, Kejahatan Luar Biasa, Organisasi Rakyat

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara demokratis yang berdasarkan hukum
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Akan tetapi, konsep
kenegaraan yang demikian tidak berbanding lurus dengan kenyataan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Fakta konstitusional tersebut kemudian bertolak
belakang dengan masih maraknya praktik koruptif di Indonesia, termasuk
didalamnya adalah praktik kolusi dan nepotisme. Praktik korupsi tersebut terjadi
di beberapa daerah di Indonesia diantaranya terjadi di Provinsi Jawa Timur.
Praktik-praktik korupsi tersebut terjadi dalam beberapa domain hak konstitusional
warga negara misalnya terjadi dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Praktik
korupsi di Indonesia dari hari-kehari masih terjadi dan segala upaya sudah
dilakukan sebagai bagian ikhtiar pemberantasan korupsi.
Data ACCH KPK RI menunjukan bahwa sejak tahun 2004-2016
didapatkan rincian perkara 803 dalam proses penyeldikan, penyidikan 514
perkara, penuntutan 419 perkara, berkekuatan hukum tetap (inkracht) 354 perkara
dan pelaksanaan putusan (eksekusi) 375 perkara yang ditangani oleh KPK. 74 Dari
data KPK tersebut menunjukan masih tinggi perkara korupsi di Indonesia itu
belum data penanganan kasus korupsi yang ada di intansi yang lain yaitu
Kejaksaan RI dan Kepolisian RI. Sebagaimana ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh tiga serangkai
lembaga penegak hukum, yang terdiri atas : Kepolisian Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

74
http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidanakorupsi, diakses pada 29 September 2016.

70
Politik hukum negara negara memberi penegasan bahwa korupsi merupakan
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) serta bersifat white collar crime yang
karakteristiknya melibatkan banyak pihak yang terlibat. Upaya-upaya banyak
dilakukan sebagai langka pencegahan dan penegakan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Upaya-upaya itu sebenarnya telah dilakukan dan diupayakan agar
membuahkan hasil berupa tumbuhnya i‗tikad pemberantasan korupsi hingga ke
pelosok Indonesia. Pada masa reformasi, selain Kepolisian dan Kejaksaan
sejumlah instansi pelaksanaan dan pendukung pemberantasan korupsi juga
dibentuk, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), juga telah dibentuk pengadilan khusus tindak pidana korupsi.
Semua itu dilakukan dalam rangka mengoptimalkanupaya pemberantasan korupsi
di Indonesia. Dilihat dari akibat yang ditimbulkan korupsi memiliki daya rusak
yang cukup tinggi dan luar biasa. Korupsi dengan sendirinya menyeret bangsa
Indonesia ke dalam “situasi bahaya” atau “situasi de facto darurat” melebihi
bahaya disintegrasi dan/atau bahaya-bahaya lain ikut merubung/melanda bangsa
kita ini.75
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
dampaknya membuat kerusakan yang sangat parah. Sehingga upaya yang bersifat
luar biasa harus dilakukan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasannya,
dengan cara-cara yang luar biasa dan bersama-sama. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo76,
menyarankan adanya 2 (dua) hal dalam mengahadapi perkara tindak pidana
korupsi. Pertama, dibuat semacam in-roads atau tusukan-tusukan dalam prosedur
hukum yang berlaku. Apabila korupsi sudah dianggap sebagai extra ordinary
crimes, maka diperlukan juga adnaya keberanian untuk membuat putusan yang
mengadakan prosedur luar biasa (extra ordinary measures).Kedua, membangun
kultur kebersamaan (corporate culture) dalam proses peradilan. Para hakim,
jaksa, dan advokat hendaknya membangun suatu kebersamaan keyakinan bahwa
korupsi adalah suatu kejahatan yang sangat merusak banyak aspek kehidupan
bangsa ini. Mereka harus bersatu melawan dan mengutuk korupsi.

Di samping itu Baharudin Lopa 77 berpendapat bahwa korupsi merupakan


perbuatan yang dapat menghancurkan moral bangsa. Tindak pidana korupsi yang
selama ini marak adalah tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian
keuangan negara, suap-menyuap dan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.
Implikasi dari tindak pidana korupsi ini oleh Wolvowits disebutkan ―korupsi
merupakan faktor utama penghambat pemulihan ekonomi Indonesia‖.

75
Mochtar Pabotinggi, dalam Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Buku Kompas Gramedia, Jakarta,2009, p. xx.
76
Mukadimah Tuntutan Jaksa KPK in casu Tomi Hindratno.
77
Ibid

71
Kejahatan korupsi di Indonesia selain terjadi pada semua tingkat
pengambil kebijakan pusat juga terjadi di lapisan masyarakat paling rendah
perdesaan. Korupsi yang terjadi di perdesaan ini terjadi dengan beberapa modus
operandi, salah satu modus operandi korupsi di desa adalah pungutan liar (pungli)
dan penjualan aset dalam pelaksanaan Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona),
in casu Prona atas bekas lahan Perkebunan Gambaranyar, Kecamatan Nglegok,
Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur yang dilakukan secara bersama-sama oleh
panitia redistribusi tanah. Kasus ini telah disidangkan dan diputus oleh Pengadilan
Tipikor Surabaya dengan nomor perkara Nomor 74/Pid.Sus/PTK/2016/PN.Sby.
putusan tersebut pada pokoknya menyatakan Terdakwa SLAMET KATIRAN dan
terdakwa MARJI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi dan menjatuhi hukuman 1 tahun 3 bulan dan denda Rp.
50.000.000,00.
Keberhasilan pemberantasan di Desa Gambaranyar, Kecamatan Ngegok,
Kabupaten Blitar ini tidak lepas dari sumbangsih atau peran serta dari beberapa
orang yang tergabung dalam organisasi tani atau biasa mereka sebut sebagai
organisasi rakyat yang terkonsolidasi. Komunitas tani inilah yang banyak
melakukan upaya-upaya agar pemberantasan korupsi di level desa dapat
ditegakkan. Pada satu sisi keberhasilan komunitas tani melalui organisasi taninya
diakui oleh banyak orang sebagai bentuk cerita sukses pemberantasan korupsi
berbasis perdesaan atau dapat disebut berbasis warga. Keberhasilan pemberasan
korupsi di tingkat perdesaan yang dilakukan oleh kelompok (komunitas) tani ini
melalui organisasi tani patut untuk dikaji secara detail dan mendalam.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian (riset) ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi landasan dan dasar pemikiran pemberantasan korupsi di
Indonesia?
2. Peran aktif apa yang dapat dilakukan oleh organisasi rakyat dalam
pemberantasan korupsi di segala tingkatan?
3. Rencana aksi apa yang dapat dilakukan organisasi rakyat dalam
pemberantasan korupsi di pedesaan?
4. Kendala apa yang dihadapi oleh organisasi rakyat dalam pemberantasan
korupsi di pedesaan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan pertama, untuk mengkaji apa yang menjadi landasan
dan dasar pemikiran pemberantasan korupsi di Indonesia, kedua untuk mengkaji
peran aktif apa yang dilakukan oleh organisasi rakyat dalam pemberantasan
korupsi di segala tingkatan, dan yang terakhir untuk menelaah rencana aksi apa
yang dapat dilakukan oleh organisasi rakyat dalam pemberantasan korupsi, serta
untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh organisasi rakyat dalam
pemberantasan korupsi di pedesaan. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah

72
memberika solusi alternatif dalam kegiatan-kegiatan advokasi sekaligus
pemberantasan korupsi dalam rangka untuk mewujudkan dan terciptanya keadilan
sosial.78

D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan
sosio-legal. Sosio-legal sebenarnya ‗konsep payung‘, ia memayungi segala
pendekatan terhadap hukum, proses hukum, maupun sistem hukum. Pendekatan
sosio-legal merupakan kombinasi antara pendekatan yang berapa dalam rumpun
ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya ilmu lainnya yang dikombinasikan
dengan pendekatan yang dikenal dalam ilmu hukum, seperti pembelajaran
mengenai asas-asas, doktrin dan hirarki perundang-undangan.79Pendekatan sosio-
legal ini merupakan upaya untuk lebih jauh menjajaki sekaligus mendalami suatu
masalah dengan tidak mencukupkan pada kajian norma-norma atau doktrin
hukum terkait, melainkan pula melihat secara lengkap konteks norma dan
pemberlakuannya. Pendekatan yang sifatnya kombinatif demikian, justru
diharapkan dapat memperkuat upaya pencarian atas kebenaran, penjelajahan atas
masalah yang terjadi serta berupaya menemukannya untuk upaya yang lebih
kreatif dan membebaskan. Pendekatan sosio-legal, dari sudut konsep yang
demikian, pula merupakan pendekatan yang membebaskan.80Pendekatan sosio-
legal dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab problem
pemberantasan korupsi yang komplek.

II. landasan dan dasar pemikiran pemberantasan korupsi di indonesia


A. Korupsi sebagai Bentuk Kejahatan dan Landasan Hukum
Korupsi menurut Transparency International adalah penyalagunaan
kekuasaan yang diberikan, untuk keuntungan diri sendiri (the abuse of entrusted
power for private gain), sedangkan menurut Samuel P. Huntington korupsi adalah
penyakit demokrasi dan modernitas.81 Korupsi adalah salah satu bentuk kriminal
yang merusak disiplin nasional. Kerusakan disiplin nasional berakar dari
hilangnya ketaatan individu terhadap peraturan ataupun hukum negara yang
berlaku.82 Dalam ilmu politik, gagasan arus utama pemberantasan korupsi
dikembangkan dari teori principal-agent. Teori melihat korupsi sebagai
78
Hans Kelsen dengan General Theory-nya menjelaskan bahwa keadilan sosial adalah kebahagian sosial. Jika keadilan
dimaknai sebagai kebahagian sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individu sosial
terpenuhi. Kebutuhan individu sosial dapat dimaknai sebagai hak dasar. Pencapai kebahagian sosial tersebut harus
memperhatikan moral sebagai syarat nilai, keadilan sosial akan gagal dicapai apabila tidak menjadikan moral sebagai
syarat nilai. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, p. 17
79
Herlambang P. Wiratraman, Makalah, Penelitian Sosio-Legal dan Konsekuensi Metodologisnya,p. 1
80
Ibid. p.2
81
Etty Indriati, Pola dan Akar Korupsi : Menghancurkan Lingkaran Setan Dosa Publik, Gramedia Mustaka Utama, Jakarta,
2014, p. 1-2
82
Mutiara Aerlang, Annisa Reginasari, dan Verdiantika Annisa, Pakar Rupia (Apa Kerja Keras Koruptor Indonesia?):
Membangun Sanksi Psikososial Bagi Terpidana Kasus Korupsi, Jurnal Integritas, KPK, Volume 2 Nomor 1 Agustus 2016, p.
176.

73
pengkhianatan agen terhadap mandate yang telah diberikan oleh principal.83
Sedangkan menurut Meriam-Webster, korupsi meliputi 4 hal :84
a. Rusaknya integritas, nilai dan prinsip moral;
b. Pembusukan;
c. Induksi terhadap cara yang tidak benar dan melanggar hukum seperti suap;
d. Tindakan yang tidak pantas.
Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia secara mendasar
sudah dilakukan berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun
2001 yang didasarkan pada United Nations on Convention Against Corruption
(UNCAC). UU 31 Tahun 1999 menggantikan undang-undang yang lama yaitu
UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.
UNCAC sendiri di Indonesia sudah diratifikasi dengan UU Nomor 7
Tahun 2006 (UNCAC). Ratifikasi dari konvensi internasional mengenai tindak
pidana korupsi ini adalah respon konkrit pemerintah agar perundang-undangan
Indonesia sinkron dengan hukum di aras Internasional.85 Didalam UNCAC
disebutkan bahwa Korupsi adalah kuncu kemunduran ekonomi dan penghambat
luar biasa pengentasan kemiskinan dan pembangunan. 86
Regulasi lain yang memberikan larangan praktik korupsi adalah UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintah Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, Nepotisme, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 15 Tahun 2002 Jo. UU Nomor 25 Tahun
2003 dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, dan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Beberapa regulasi ini kemudian dilengkapi dengan Kebijakan Presiden
dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Startegi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka
Menengah Tahun 2012-2014 (PP Stranas PPK). PP tersebut ditindaklanjui
dengan instruksi-instruksi Presiden.
Dengan dilarangnya tindak pidana korupsi di Indonesia secara ratio legis
dinyatakan sebagai kejahatan, maka dengan sendirinya korupsi di Indonesia
adalah sebagai bentuk kejahatan yang merupakan tindak pidana. berdasarkan
ajaran hukum pidana yang mengajarkan bahwa norma yang mengandung sifat
larangan (sesuatu yang dilarang) maka dengan sendirinya menjadi perbuatan yang
dilarang atau apabila perbuatan tersebut dilakukan maka dengan sendirinya
disebut sebagai perbuatan pidana dan yang melakukan baik itu orang dan/atau
83
J.Danang Widoyoko, Menimbang Peluang Jokowi Memberantas Korupsi : Catatan untuk Gerakan Anti Korupsi, ibid, p.
270
84
Etty Indriati, Op. Cit, p. 4
85
Bambang Widjojanto, Berkelahi Melawan Korupsi : Tunaikan Janji, Wakafkan Diri, Intrans Publishing, Malang, 2016,
p.131.
86
Pembukaan United Nation Convention on Against Corruption sebagaimana diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.

74
korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Atas dilakukannya
perbuatan pidana korupsi akan melahirkan konsep sanksi bagi pelakunya.
Menurut Hans Kelsen, sanksi pidana memiliki tujuan retributive atau menurut
pandangan modern adalah adanya pencegahan (deterrence, prevention).87
Sebagai salah satu bentuk kejahatan maka politik hukum negara menghendaki
agar pemberantasan korupsi dan penegakan hukumnya harus dilakukan.
B. Dasar Pemikiran Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Korupsi sebagai kejahatan dan harus dilakukan pemberantasan sudah
barang tentu atas dasar pemikiran panjang. Dasar pemikiran tersebut mengandung
landasan filosofis dan sosiologis, hal itu dapat dilacak dari dokumen legislatif
(risalah pembahasan yang ada di DPR RI dan Pemerintah) terkait pembahasan UU
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001. Paling tidak ada beberapa
dasar pemikiran pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan, diantaranya
:
a. Bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas
dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang didasarkan
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Bahwa korupsi mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efiseinsi tinggi;
c. Bahwa korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial, ekonomi,
masyarakat secara luas;
d. Bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan pemberantasannnya
harus dilakukan secara luar biasa;
e. Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman
penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas
tindak pidana korupsi.
Berdasarkan dasar-dasar pemikiran di atas, pemerintah memberikan porsi
prioritas pemberantasn korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi telah menjadi
salah satu fokus utama Pemerintah Indonesia pasca reformasi. Berbagai upaya
telah ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas tindak pidana korupsi
(tipikor) secara serentak oleh pemegang kekuasaan eksekutif (melalui Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah), legislatif, dan yudikatif.

87
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Op.Cit. p.46.

75
III. PERAN ORGANISASI RAKYAT DALAM PEMBERANTASAN
KORUPSI
A. Organisasi Rakyat
Organisasi Rakyat (People/Popular Organization), disingkat OR, merupakan
kelembagaan yang merepresentasi identitas dan kepentingan orang-orang kampung
dan kelompok marjinal (korban ketidakadilan). Istilah OR dipakai untuk
menjelaskan aktivitas pengorganisasian rakyat (community organizing) di tingkat
kampung dan kota. OR dibedakan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya
seperti LSM atau pun Ormas. OR menjabarkan perjuangan atau gerakannya ke
dalam berbagai aktivitas pengorganisasian di level kelompok, kampung dan kota.88
Pembentukan Organisasi Rakyat di beberapa daerah di Indonesia kebanyakan
merupakan inisiasi dari kegiatan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
sipil misalnya di Jawa Timur yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Surabaya dengan pendidikan hukum kritis. Pendidikan hukum kritis ini
diikuti oleh simpul-simpul kelompok (komunitas) masyarakat (disadvantaged
community) misalnya kelompok buruh, kelompok nelayan, kelompok miskin kota,
kelompok petani, kelompok perempuan, kelompok minoritas iman, kelompok
minoritas etnis, dan inklusi sosial lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
organisasi rakyat tumbuh dan berkembang dalam komunitas masyarakat. Beberapa
contoh organisasi rakyat yang ada di Jawa Timur diantaranya Paguyuban Petani
Jawa Timur (Papanjati), Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB),
Serikat Pedagang Kali Lima (Spekal) Surabaya, Bina Matraman Putat Jaya
(BMP), Paguyupan Jukir Surabaya (PJS), Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB),
dan untuk isu korupsi ada Kompak Bersih.

B. Peran Organisasi Rakyat dan Peran Organisasi dalam Pemberantasan Korupsi


Organisasi rakyat memiliki peran strategis dalam masyarakat. Peran-peran
tersebut berkorelasi dengan kebutuhan langsung rakyat atau masyarakat yaitu
pemajuan keadilan dan hak-hak asasi manusia. Secara garis besar organisasi rakyat
berperan dalam kegiatan-kegiatan advokasi dan pengorganisasi, investigasi,
monitoring, kampanye publik, pendokumentasian kasus dan pengawas alami
segala bentuk ketidakadilan.89 Sehingga dengan kata lain dapat disebutkan bahwa
organisasi rakyat memiliki peran untuk mendorong proses demokratisasi di
masyarakat.
Disamping itu organisasi rakyat melakukan beberapa upaya-upaya sebagai
bagian upaya advokasi.90 Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh organisasi
88
http://www.urbanpoor.or.id/artikel/perjuangan-organisasi-rakyat-dalam-habitus-kampung-dan-kota, diakses 3 Mei
2017
89
Abdul Fatah, dkk, Panduan Hukum Bagi Paralegal, Ae Publishing, Malang, 2016, p.58-59.
90
Advokasi adalahusaha untuk menciptakan (to create) yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya(The Heritage
Dictionary of Current English, Oxford (1958). Atau segenap aktivitas pengerahan sumber daya untuk membela,

76
rakyat adalah pengorganisasian rakyat yang menjadi korban, pendidikan hukum,
publik hiering, dan melakukan upaya legal misalnya pelaporan dan pengaduan
kepada Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan
melakukan proses pendidikan hukum bagi Aparat Penegak Hukum (APH).

Beberapa Ilustrasi Peran Organisasi Rakyat

memajukan, bahkan mengubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik atau diharapkan, Abdul Fatah,Makalah,
Advokasi Buruh Litigasi dan Non Litigasi, Rapat Kerja FSPMI Logam Sidoarjo, 21 Maret 2017, p.1.

77
Organisasi rakyat biasanya mendorong agar hak-hak dasar anggotanya
dapat dipenuhi misalnya hak atas pendidikan, hak atas informasi, hak atas
kesehatan, hak untuk berpatisipasi dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk
mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya, hak untuk bebas dari ancaman dan
pungutan apapun yang tidak diperbolehkan, dan hak atas akses pada keadilan dan
persamaan di hapan hukum. Sehingga secara tidak langsung organisasi rakyat
dengan tegas telah melakukan empowering acces to justice. Beberapa organisasi
rakyat misalnya organisasi tani Paguyupan Petani Mandiri Blitar (PPMB) di Blitar
secara aktif juga melakukan beberapa aktif pemberantasan korupsi. Karena korupsi
juga terjadi di tingkat perdesaan. PPMB memandang bahwa praktik korupsi di desa
merupakan penyebab kemiskinan struktural di desa, khususnya masyarakat petani.
Organisasi tani melakukan beberapa upaya untuk pemberantasan korupsi.
Kasus korupsi di Blitar ini adalah kasus pungli Prona atas bekas lahan Perkebunan
Gambaranyar, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur yang
dilakukan secara bersama-sama oleh panitia redistribusi tanah. Kasus ini telah
disidangkan dan diputus oleh Pengadilan Tipikor Surabaya dengan nomor perkara
Nomor 74/Pid.Sus/PTK/2016/PN.Sby. putusan tersebut pada pokoknya
menyatakan Terdakwa SLAMET KATIRAN dan terdakwa MARJI terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhi
hukuman 1 tahun 3 bulan dan denda Rp. 50.000.000,00.
Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Paguyuban Petani Mandiri Blitar
dalam rangka pemberantasan korupsi terdiri atas :
a. Pendidikan hukum bagi petani (sekolah petani)
Kegiatan ini diadakan oleh Paguyuban Petani Mandiri Blitar dengan tajuk
Sekolah Petani : Bergerak Melawan Korupsi Dari Desa yang diadakan
pada tanggal 19 -22 September 2016, Di Gambaranyar, Nglegok, Blitar.
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat.
Kegiatan yang diinisasi di level desa ini bekerjasama dengan Paguyuban
Petani Jawa Timur (Papanjati) Jatim, Pusat Studi Hukum HAM / HRLS FH
UNAIR, KontraS Surabaya, LBH Surabaya, Walhi Jatim, Malang
Corruption Watch, Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana FH
UNAIR, Kantor Penghubung Komisi Yudisial Jawa Timur, Front
Nahdiyin, Intrans Institute, BPJS Watch Surabaya, dan Transparency
International Indonesia/TII. Kegiatan ini juga didukung oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.

78
Aris Kabiono, Koordinator Paguyuban Petani Mandiri Blitar (PPMB),
gambar didapat dari http://www.beritaoposisi.com/2016/09/melawan-
korupsi-di-desa-melalui-sekolah.html
b. Melakukan Pengaduan dan/atau Pelaporan kepada Kejaksaan, Kepolisian,
dan KPK-RI
c. Monitoring Kasus selama disidangkan pada Pengadilan Tipikor Surabaya
d. Melakukan public hiering kepada pemangku kepentingan
e. Pengorganisasi rakyat untuk melawan korupsi
f. Dan membangun jarangan kerjasama dengan multipihak, serta kampanye
publik.

iv.Rencana Aksi organisasi rakyat dalam pemberantasan korupsi dan hambatan-


hambatan dalam pemberantasan korupsi

A. Rencana Aksi Organisasi Rakyat Dalam Pemberantasan Korupsi

Gerakan pemberantasan korupsi di tingkat perdesaan yang dilakukan oleh


organisasi rakyat tidak lepas dari rencana aksi yang sudah disusun. Rencana –
rencana aksi tersebut meliputi atas :
a. Pencegahan
Aspek pencegahan menjadi hal penting dalam gerakan pemberantasan
korupsi di desa. Beberapa hal yang dapat dilakukan di aspek pencegahan
ini peningkatan akses masyarakat terhadap informasi terkait tindak pidana
korupsi, peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam gerakan anti

79
korupsi, melakukan penyuluhan dampak negatif korupsi, kampanye
toleransi nol terhadap korupsi.91
b. Penegakan hukum
Penegakan hukum ini dengan cara melakukan pelaporan dan/atu pengaduan
kepada Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK RI.
c. Pengorganisasian
Agenda mendesak bagi organisasi rakyat dalam mengawal pemberantasan
korupsi adalah pengorganisasian, dengan tujuan organisasi tani menjadi
kuat dan memiliki posisi tawar untuk memperjuangkan pemberantasan
korupsi ditingkat desa.
d. Kerjasama dengan multipihak
Agenda ini menjadi penting dan mendesak bagi organisasi rakyat (tani)
dalam mengawal pemberantasan korupsi agar kekuatannya yang dimiliki
menjadi besar. Kerjasama ini dapat dilakukan oleh organisasi rakyat
dengan Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati) Jatim, Pusat Studi
Hukum HAM / HRLS FH UNAIR, KontraS Surabaya, LBH Surabaya,
Walhi Jatim, Malang Corruption Watch, Pusat Studi Anti Korupsi dan
Kebijakan Pidana FH UNAIR, Kantor Penghubung Komisi Yudisial Jawa
Timur, Front Nahdiyin, Intrans Institute, BPJS Watch Surabaya, dan
Transparency International Indonesia/TII, dan dimungkingkan dengan
organisasi-organisasi lainnya misalnya kampus.
e. Pendidikan Budaya Anti Korupsi, dengan sasaran anak-anak dan generasi
muda.
f. Menumbuhkan kearifan lokal dalam mengawal pemberantasan korupsi,
sera
g. Menciptakan upaya alternative.
B. Hambatan-Hambatan Pemberantasan Korupsi oleh Organisasi Rakyat
Pemberantasan korupsi yang berbasis Organisasi Rakyat tidak lepas dari
hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya : instrumen
penegakan hukum yang jauh dari desa misalnya sidang kasus korupsi harus
dilakukan di kota besar karena di daerah tersebut belum ada pengadilan tindak
pidana korupsinya in casu harus disidangkan di pengadilan tipikor Surabaya
a. Minimnya pengetahuan dan kapasitas masyarakat desa, hal ini merupakan
problem utama dan turun temurun masyarakat desa yang disebabkan
terbatasnya akses pendidikan. Kebanyakan masyarakat desa tingkat
pendidikannya rendah.
91
Summary Sekolah Agraria, Blitar 19-22 September 2016 dan disarikan dari Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung
Maling, Bukan Desa Ustadz : Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar, Buku Kompas, Jakarta, 2008, p.266

80
b. Praktik Acuh dan Abai dari Penegak Hukum, problem ini merupakan
problem tematik yang dirasakan oleh organisasi rakyat. Kadangkala gerakan
pembarantasan korupsi yang dilakukan masyarakat desa yang tergabung
dalam organisasi rakyat tidak menjadi perhatian utama bagi aparat penegak
hukum.
c. Instrumen penegakan hukum yang jauh dari desa misalnya sidang kasus
korupsi harus dilakukan di kota besar karena di daerah tersebut belum ada
pengadilan tindak pidana korupsinya in casu harus disidangkan di
pengadilan tipikor Surabaya
Hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dengan rencak aksi yang telah
disusun oleh organisasi rakyat.

v.penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan
kejahatan luar biasa dan politik hukum pidana Indonesia menempatkannya sebagai
suatu kejahatan yang harus dilakukan pemberantasan. Pemberantasan korupsi di
Indonesia dapat dilakukan dengan strategi melibatkan organisasi rakyat dalam
pemberantasan korupsi dengan model berbasis komunitas. Organisasi rakyat punya
andil besar dalam pemberantasan korupsi dengan model pengorganisasian sebagai
rencana aksi pemberantasan korupsi berbasis organisasi rakyat disamping rencana-
rencana aksi yang lain diantaranya pencegahan, penegakan hukum, kemitraan,
pendidikan budaya anti korupsi, pengembangan kearifan lokal (local wisdom), dan
inisiasi upaya alternatif. Rencana aksi tersebut akan dapat menanggulagi
hambatan-hambatan yang ada dalam pemberantasan korupsi.

81
Daftar Pustaka
Buku

Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz : Memoar
930 Hari di Puncak Gedung Bundar, Buku Kompas, Jakarta, 2008.

Abdul Fatah, dkk, Panduan Hukum Bagi Paralegal, Ae Publishing, Malang,


2016.

Bambang Widjojanto, Berkelahi Melawan Korupsi : Tunaikan Janji, Wakafkan


Diri, Intrans Publishing, Malang, 2016.

Etty Indriati, Pola dan Akar Korupsi : Menghancurkan Lingkaran Setan Dosa
Publik, Gramedia Mustaka Utama, Jakarta, 2014.

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‘at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, 2012.

Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Buku Kompas Gramedia, Jakarta,
2009.

The Heritage Dictionary of Current English, Oxford (1958).

Jurnal, Makalah, dan Dokumen Lainnya

Herlambang P. Wiratraman, Makalah, Penelitian Sosio-Legal dan Konsekuensi


Metodologisnya

Mutiara Aerlang, Annisa Reginasari, dan Verdiantika Annisa, Pakar Rupia (Apa
Kerja Keras Koruptor Indonesia?): Membangun Sanksi Psikososial Bagi
Terpidana Kasus Korupsi, Jurnal Integritas, KPK, Volume 2 Nomor 1
Agustus 2016.

82
J. Danang Widoyoko, Menimbang Peluang Jokowi Memberantas Korupsi :
Catatan untuk Gerakan Anti Korupsi, Jurnal Integritas, KPK, Volume 2
Nomor 1 Agustus 2016.

Dokumen Hukum, Tuntutan Jaksa KPK in casu Tomi Hindratno.

United Nation Convention on Against Corruption (UNCAC)

Abdul Fatah, Makalah, Advokasi Buruh Litigasi dan Non Litigasi, Rapat Kerja
FSPMI Logam Sidoarjo, 21 Maret 2017.

Summary Sekolah Agraria, Blitar 19-22 September 2016.

Internet

http://www.urbanpoor.or.id/artikel/perjuangan-organisasi-rakyat-dalam-habitus-
kampung-dan-kota. diakses 3 Mei 2017.

http://www.beritaoposisi.com/2016/09/melawan-korupsi-di-desa-melalui-
sekolah.html, diakses 3 Mei 2017
http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana korupsi, diakses pada 29 September
2016.

83
KADERISASI MAHASISWA ANTI KORUPSI YANG BERKARAKTER
(Studi Pada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruaan
Tinggi)

Oleh :
Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M & Darul Huda Mustaqiem, S.H
Dosen Fakultas Hukum/ Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good
Governance& Peneliti
Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance
Universitas Lambung Mangkurat
ahmad.fikri@unlam.ac.id&hudha27@gmail.com

Abstract

Law Number 20 of 2003 on Civic education is one of the program in education or


compulsory material in curriculum at every level of education especially in
University. Civic education is a compulsory subject and meant to be taught in
University of any faculty and major throughout Indonesia. Civic Education as a
subject is taught in the first year of the first semester in University, thus it is
meant to give students enough initial knowledge and cultivate their self-awareness
of corruption in the early stage of their journey. In order to strengthen the role of
University as an institution to eradicate corruption should be done outright, to
cultivate self-awareness of corruption in early stage is the right and relevant
anticipation and fits the aim of education. Thus it is really substantial to develop
material based on Anti-corruption education. Basically, good material needs to
contain facts, concept, principles, procedures and action, which needs to contain
behavior competence, skilled competence and knowledge using various teaching
methods which are interesting. Hence, it is necessary to design the material of
Civic Education based on education of anti-corruption, not only indoor activities
but also supporting activities such as analytical decision making, campaign, or
oration in public which are beneficial in experiential learning. The main goal is to
engrave and regenerate students of anti-corruption which are experienced and
characterized. This matter needs to be done immediately because the high level of
urgency seeing the cases of corruption which are growing drastically as it
becomes general phenomenon throughout people, but we know that corruption is
a felony which is extraordinary crime. With such material latter said, students are
expected to gain knowledge, training through such anti-corruption activities that
are going to give future impacts of students‟ behaviors to be the generation of
anti-corruption which is experienced and characterized. The author is a teacher
of Civic education subject who has already implemented the model of teaching
and learning materials. From some observations of the benefit of indoctrination in
anti-corruption which has been cultivated, it makes students easily understand the
next subject which is related to the spirit of anti-corruption until we bring them to

84
their commencement day as the generation of anti-corruption. Seeing the general
thought of society which anoints civic education subject as the subject of
memorizing, it is very seldom that civic education becomes the “role-model”
subject to problems in our nation and country. It is for civic education to raise its
flag and become a compulsory subject in university as a “role-model” to the
generation of anti-corruption students which are experienced and characterized
in early stage.

Key words : generation, students,, characterized and civic education

Intisari

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengatur Pendidikan Kewarganegaran


merupakan salah satu program pendidikan atau materi yang wajib dimuat dalam
kurikulum di setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan tidak terkecuali di
Perguruan Tinggi. Mata kuliah pendidikan kewarganegaraan wajib ada dan
diajarkan di setiap Universitas, Fakultas maupun seluruh jurusan Program Studi di
Indonesia. Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan pada tahun
pertama perkuliahan, hal ini dilakukan untuk memberikan wawasan awal dan
menanamkan sikap anti korupsi sejak dini pada mahasiswa. Dalam upaya untuk
memperkuat peran Perguran Tinggi untuk memberantas tindak Korupsi harus
dimulai dari sekarang, menumbuhkan sikap antikorupsi sejak dini yang berguna
bagi mahasiswa merupakan antisipasi yang tepat dan relevan sesuai dengan tujuan
pendidikan maka sangat perlu dilakukan pengembangan bahan ajar pendidikan
kewarganegaraan berbasis pendidikan anti korupsi. Bahan ajar yang baik
hakikatnya harus memiliki muatan bahan ajar fakta, konsep, prinsip, prosedur dan
sikap, yang mana dari muatan-muatan bahan ajar itu harus memuat kompetensi
sikap, keterampilan dan pengetahuan dengan menggunakan metode pembelajaran
yang variatif dan menarik. Untuk itu perlu kiranya mendesain bahan ajar (materi
ajar) Pendidikan Kewarganegaraan berbasis Pendidikan Anti Korupsi yang tidak
hanya belajar dikelas namun juga melakukan kegiatan pendukung seperti analisis
putusan, kampanye, atau penyampaian di depan publik bermanfaat memberikan
experential learning. Dengan tujuan utama untuk membentuk dan mengkaderisasi
mahasiswa antikorupsi yang berkarakter. Hal ini sudah seyogyagnya harus
dilakukan segera karena tingkat urgen yang tinggi karena melihat banyak
fenomena-fenomena kasus korupsi yang kian hari kian ramai seolah-olah tidak
ada kata berhenti diperbincangkan dan menjadi hal biasa saja padahal tindak
pidana korupsi adalah tindak pidana extraordinary crime. Dengan materi-materi
ajar seperti itu diharapkan mahasiswa bisa memperoleh pengetahuan, pelatihan
mengenai kegiatan-kegiatan antikorupsi yang mana akan berpengaruh terhadap
sikap mahasiswa untuk menjadi generasi antikorupsi yang terampil dan
berkarakter. Penulis merupakan pengajar matakuliah Pendidikan

85
Kewarganegaraan yang sudah mengimplementasikan model desain materi ajar
tersebut. Dari beberapa pengamatan manfaat doktrin antikorupsi yang ditanamkan
mengantarkan mahasiswa lebih mudah memahami mata kuliah selanjutnya yang
berhubungan dengan semangat anti korupsi sampai dengan mencetak sarjana yang
berkarakter anti korupsi. Karena melihat fenomena selama ini bahwa mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi biasanya hanya bersifat
hapalan, jarang sekali mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dijadikan
sebagai mata kuliah “role model” untuk permasalahan-permasalahan bangsa dan
negara. Sudah saatnya menjadikan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
yang merupakan mata kuliah wajib ada di semua universitas sebagai “role
Model” untuk mengkaderisasi mahasiswa anti korupsi yang terampil,
berpengelaman dan berkarakter sejak dini.

Kata kunci : Kaderisasi, Mahasiwa, berkarakter dan PKn.

A. Pendahuluan

Perjuangan melawan korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan


berbagai cara baik dengan pendekatan prefentif maupun represif. Salah satu
upaya yang dilakukan untuk menanamkan pola pikir, sikap, dan perilaku
antikorupsi adalah melalui Pendidikan di Perguruan Tinggi, karena perguruan
tinggi adalah sebuah proses pembudayaan. Sekaligus sebagai lingkungan kedua
bagi mahasiswa dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak.
Caranya, perguruan tinggi memberikan nuansa dan atmosfer yang mendukung
upaya untuk menginternalisasikan nilai dan etika yang hendak ditanamkan,
termasuk di dalamnya perilaku antikorupsi.

Pendidikan Antikorupsi (PAK) selain bisa berdiri sendiri sebagai mata


kuliah, PAK juga dapat diintegrasikan dalam berbagai mata kuliah yang sudah
ada sehingga mampu mewarnai pola pikir, sikap, dan perilaku mahasiswa.
Untuk maksud tersebut dukungan kultur dan iklim perguruan tinggi sangat
dibutuhkan terutama dalam konteks penanaman nilai dan pembentukan karakter
mahasiswa. Salah satu mata kuliah yang dapat mengintegrasikan PAK adalah
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). PKn menjadi sangat strategis di tengah
upaya pemerintah dalam membangun karakter bangsa mulai dari jenjang
Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). 92 Dalam UU No 20
Tahun 2003 mengatur bahwa Pendidikan Kewarganegaran merupakan salah
satu program pendidikan atau materi yang wajib dimuat dalam kurikulum di
setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Tidak terkecuali di Perguruan Tinggi
mata kuliah pendidikan kewarganegaraan wajib ada dan diajarkan di setiap
92
Endang Danial dan Harmanto, “Pendidikan Antikorupsi dalam Pembelajaran
PKn Sebagai Penguat Karakter Bangsa”, Jurnal Penndiidkan dan Pembelajaran, Volume
19, Nomor 3, Oktober 2012., hlm. 158

86
Universitas, Fakultas , maupun Program Studi di Indonesia. Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan pada tahun pertama perkuliahan, hal ini
dilakukan untuk memberikan wawasan awal dan menanamkan sikap anti
korupsi pada mahasiswa sejak dini.93
Mata kuliah pendidikan kewarganegaraan (PKn) di pandang tepat untuk
matakuliah yang di dalamnya diintegrasikan materi-materi ajar seputar
pendidikan anti korupsi, karena mata kuliah ini merupakan mata kuliah wajib
disemua perguruan tinggi di Indonesia ,mata kuliah ini tidak hanya serta merta
diajarkan di beberapa Fakultas saja melainkan wajib bagi semua fakultas untuk
mengajarkan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Sehingga mata kuliah
pendidikan kewarganegaraan merupakan matakuliah strategis dalam hal
melakukan dan menciptakan dan mengkader mahasiswa anti korupsi yang
berkarakter.
Tetapi yang terjadi selama ini mata kuliah pendidikan kewarganegaran di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia hanya bersifat hapalan tidak lebih hanya
seperti “transfer of knowledge‖ saja, tidak ada nilai-nilai dan pelajaran yang
bisa diambil dan dirasakan ketika mengikuti perkuliahan, dan jarang sekali mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dijadikan sebagai mata kuliah “role
model” untuk permasalahan-permasalahan bangsa dan negara, seperti
permasalahan pendidikan anti korupsi.
Untuk itu perlu kiranya mendesain model materi ajar Pendidikan
Kewarganegaraan berbasis Pendidikan Anti Korupsi yang tidak hanya belajar
dikelas namun juga melakukan kegiatan pendukung seperti analisis putusan,
kampanye, atau penyampaian di depan publik bermanfaat memberikan
experential learning. Dengan tujuan utama untuk membentuk dan
mengkaderisasi mahasiswa antikorupsi yang terampil, berpengalaman dan
berkarakter. Hal ini sudah seyogyagnya harus dilakukan segera karena tingkat
urgen yang tinggi, karena melihat banyak fenomena-fenomena kasus korupsi
yang kian hari kian ramai seolah-olah tidak ada kata berhenti diperbincangkan
dan menjadi hal biasa saja padahal tindak pidana korupsi adalah tindak pidana
extraordinary crime. Dengan materi-materi ajar seperti itu diharapkan
mahasiswa bisa memperoleh pengetahuan, pelatihan mengenai kegiatan-
kegiatan antikorupsi yang mana akan berpengaruh terhadap sikap mahasiswa
untuk menjadi generasi antikorupsi yang berkarakter.

B. Urgensi “Generasi Muda Anti Korupsi”

Pendidikan antikorupsi pada dasarnya adalah penanaman dan penguatan


nilai-nilai dasar yang diharapkan mampu membentuk sikap antikorupsi pada diri
peserta didik. Tingkat urgensi kaderisasi anti korupsi sudah di titik nadir.

93
Ibid

87
Berkaca dengan Departemen pendidikan Lithuania yang telah
mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di negaranya sejak 2005
mengatakan bahwa tugas utama dari pendidikan anti korupsi setingkat
perguruan tinggi adalah untuk memberikan pemahaman kepada siswa
bagaimana siswa bisa membedakan antara kejahatan korupsi dengan bentuk
kejahatan lainnya, memberikan argumen yang logis dan rasional kenapa korupsi
dianggap sebagai suatu kejahatan, serta menunjukan cara-cara yang bisa
ditempuh dalam mengurangi terjadinya tindakan korupsi.94
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dapat dijadikan satu jawaban
untuk pembibitan generasi antikorupsi yang nyatanya sampai saat ini belum
dijadikan mata kuliah role model sebagai pembibitan generasi muda anti korupsi
padahal memiliki potensi besar. Potensibesar itu antara lainPendidikan
Kewarganegaraan diajarkan pada tahun pertama perkuliahan hal ini dapat
melakukan ―doktrinisasi‖ wawasan awal dan menanamkan sikap anti korupsi
sejak dini. Selain sebagai pintu masuk atau jalan awal membibit generasi anti
korupsi dari pengalaman pembelajaran yang telah dilakukan dapat
mengantarkan mahasiswa lebih mudah memahami mata kuliah selanjutnya yang
berhubungan dengan semangat anti korupsi serta membibit generasi anti korupsi
yang nantinya aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Pengalaman yang
telah dilakukan penulis di Unlam saat ini, sudah melakukan kaderisasi melalui
pelibatan bagi mahasiswa angkatan awal yang sedang mengambil mata kuliah
PKn sebagai tim perekaman sidang kasus korupsi serta dilibatkan pada kegiatan
eksaminasi putusan pengadilan tipikor. Selain itu dalam upaya mengkaderasi
mahasiswa anti korupsi itu tidak hanya terfokus di Fakultas Hukum Saja.
Karena kedudukan matakuliah PKn merupakan mata kuliah wajib disemua
fakultas. Hal ini tepat dan strategis sebagai upaya mengkaderisasi mahasisawa
yang terampil, berpengalaman dan berkarakter anti korupsi di Unlam.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata kuliah wajib yang


diajarkan di semua universitas dan fakultas di Indonesia. Sebagian besar
Fakultas Hukum di Indonesia juga mengembangkan klinik hukum sebagai mata
kuliah yang semangatnya mengkader gerakan anti korupsi dengan tujuan akhir
tercapainya social justice namun klinik hukum saat ini hanya terbatas untuk
mata kuliah pilihan serta diajarkan pada semester akhir masa kuliah. Selain itu
juga potensi PKn yang sangat besar adalah untuk membentuk regenerasi seluruh
bidang kajian pendidikan dan profesi apapun dapat menjadi kader gerakan anti
korupsi saat menempuh mata kuliah PKn dengan harapan mereka merupakan
‖agent of change‖ untuk perubahan kondisi bangsa dan Negara terkhusus
semangat anti korupsi.

C. Model Materi Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Anti Korupsi

94
Modern Didactic Center, 2006, Anti Corruption Education At School, Garnelish
Publishing, Vilnius Lithuania, hlm. 14

88
Secara umum tujuan pendidikan anti-korupsi adalah : (1) pembentukan
pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; (2)
pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3) pembentukan
keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan korupsi.
Dengan ketiga tujuan itu dapat dilihat bahwa pendidikan antikorupsi meskipun
mempunyai sasaran utama sebagai pendidikan nilai akan tetapi tetap meliputi
ketigaranah pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Bloom yaitu
pengembangan ranah kognitif, afektif dan psikomotor siswa.
Berdasarkan rumusan yang ditentukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK),95 ada sembilan nilai dasar yang perlu ditanamkan dan diperkuat
melalui pelaksanaan pendidikan antikorupsi di sekolah maupun perguruan
tinggi, yaitu nilai kejujuran, adil, berani, hidup sederhana, tanggung jawab,
disiplin, kerja keras, hemat dan mandiri. Nilai-nilai ini sebenarnya ada di
masyarakat sejak zaman dahulu, dan termuat secara jelas dalam dasar falsafah
negara Pancasila, namun mulai tergerus oleh budaya konsumerisme yang
dibawa oleh arus modernisasi dan globalisasi.
Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, maka pelaksanaan pendidikan
antikorupsi di Perguruan Tinggi perlu memperhatiakan beberapa hal terkait
diantaranya adalah :

1. Pengetahuan tentang korupsi.


Untuk memiliki pengetahuan yang benar dan tepat tentang korupsi,
mahasiswa perlu mendapatkan berbagai informasi yang, terutama
informasi yang memungkinkan mereka dapat mengenal tindakan korupsi
dan juga dapat membedakan antara tindakan kejahatan korupsi dengan
tindakan kejahatan lainnya. 96 Untuk itu pembahasan tentang kriteria,
penyebab dan akibat korupsi merupakan materi pokok yang harus
diinformasikan pada mahasiswa. Analisis penyebab dan akibat dari
tindakan korupsi pada berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk aspek
moralitas akan memberi mahasiswa wawasan tentang korupsi yang lebih
luas.
2. Pengembangan sikap anti Korupsi
Sebagai pendidikan nilai dan karakter, pendidikan antikorupsi memberi
perhatian yang besar pada pengembangan aspek sikap mahasiswa. Sikap
adalah disposisi penilaian yang diberikan terhadap suatu objek yang
didasarkan atas pengetahuan, reaksi afektif, kemauan dan perilaku
sebelumnya akan objek tersebut.97 Oleh karena itu ketika memberikan
95
Maria Montessori, “Pendidikan Anti Korupsi Sebagai Pendidikan Karakter di
Sekolah”, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 19, Nomor 2, Oktober 2012,
hlm. 295
96
Modern Didactic Center, 2006, Op.cit, hlm. 36
97
Maria Montessori, loc.cit

89
informasi tentang korupsi, dosen berusaha mengembangkan sikap
berdasarkan kognisi. Satu hal yang paling penting adalah korupsi itu
dinilai jahat dilihat dari perspektif moral dan konvensi. 98 Lebih lanjut
Aspin juga mengemukakan bahwa apapun juga nilai yang ingin dimasukan
dalam pendidikan, maka pendidikan menyangkut moral adalah hal yang
utama, karena itu merupakan bagian dari kewajiban untuk mempersiapkan
generasi muda memasuki dunia yang enghendaki perilaku lebih baik dari
yang pernah ada.

Materi pembelajaran (bahan ajar) dalam kurikulum perlu disusun dan


dikembangkan dengan tepat agar seoptimal mungkin membantu mahasiswa dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran atau perkuliahan PKn berbasis Anti
Korupsi hendaknya memuat lima jenis materi diantara :99 Materi Fakta, Materi
Konsep, Materi Prinsip,Materi Prosedur dan Materi Sikap. untuk lebih jelasnya
akan dijelaskan dalam tabel berikut :

Jenis Materi Perkuliahan Tuntutan Perkuliahan


Fakta Mencari dan Menyebutkan kasus-
kasus korupsi yang pernah
terjadi/dilakukan oleh pejabat-pejabat
negara.
Konsep Mendefinisi, mengidentifikasi, dan
mengklasfikasi mengenai tindakan
Korupsi.
Prinsip Memahami dan menganalisis kasus-
kasus korupsi dimulai dari hal yang
melatarbelakangnya sampai putusan
dari pengadilan .
Prosedur Pembuatan skema alur berfikir hasil
dari analisis/pengamatan mengenai
satu kasus korupsi sampai
menghasilakan sebuah solusi untuk
pencegahan dan penanggulangan.
Sikap atau Nilai Terampil, berpengalaman dan
Bekarakter
Sumber : diolah Penulis

Dari Tabel di atas bisa dijelaskan bahwa materi ajar untuk mata kuliah
Pendidikan kewarganegaraan dimulai dengan materi Fakta, dimana mahasiswa
98
Robert E. Slavin, 1994, Educational Psychology: Theory and Practice. Allyn
and Bacon, Boston, hlm. 238
99
Kokom Komalasari, 2013, Pembelajaran Konstektual Konsep & Aplikasi,
Refika Utama, Bandung, hlm. 134

90
diminta untuk mencari dan menyebutkan kasus-kasus korupsi yang pernah terjadi,
setelah mahasiswa mendapatkan kasus-kasus tindak Korupsi kemudian dosen
terlebih dahulu menjelaskan mengenai pengertian Korupsi, Jenis-Jenis Korupsi,
Klasifikasi tindak Korupsi dan lain sebagainya yang mana semua merupakan
materi Konsep. Kemudian setelah mahasiswa mengerti mengenai materi Konsep,
Dosen menyuruh mahasiswa untuk mengamati dan menganalisis kasus-kasus
yang sudah disebutkan oleh mahasiswa di awal, mahasiswa disuruh mencari data-
data mengenai kasus tersebut dari awal kasus sampai dengan putusan pengadilan,
mahasiswa dibebaskan untuk mencari data-data tersebut dari berbagai sumber di
internet, literature maupun narasumber yang relevan dengan kasus tindak korupsi
itu merupakan bagian dari materi Prinsip. Kemudian setelah data-data terkumpul
mahasiswa menuliskan hasil analisisnya dan pengamatanya yang diperoleh dari
berbagai sumber mahasiswa disuruh untuk membuat skema alur berfikir dari hasil
pengamatanya dan analisisnya sehingga menghasilakan sebuah solusi dan
pencegahan untuk tindak pidana korupsi. Kemudian hasil analisis dan hasil
rekomendasi berupa solusi pencegahan akan ditampilkan dan presentasikan di
depan kelas secara bergantian. Dengan materi ajar seperti itu maka harapanya
akan terbentuk mahasiswa anti korupsi yang terampil menangani dalam
memberantas korupsi, berpengalaman dalam mencegah dan mengatas korupsi
serta berkarakter antipasti terhadap korupsi.
Kemudian jika digambarkan dalam bentuk skema (gambar) maka akan
terlihat bahwa model materi ajar seperti itu akan membuat mahasiswa
memperoleh pengetahuan tentang tindak korupsi, keterampilan menganalisis
kasus-kasus tindak korupsi seperti analisis putusan, kampanye, atau penyampaian
di depan publik bermanfaat memberikan experential learning. Dengan tujuan
utama untuk membentuk sikap dan mengkaderisasi mahasiswa antikorupsi yang
terampil, berpengalaman dan berkarakter.

91
MATERI AJAR PKN BERBASIS ANTI
KORUPSI

PENGETAHUAN
KETERAMPILA
(SEMUA YANG
BERKAITAN N
DENGAN TINDAK (experential
KORUPSI) learning)

SIKAP
( terampil,
berpengalaman dan
berkarakter)

Sumber : diolah Penulis

D. Posisi Strategis Pkn Sebagai Kaderisasi Gerakan Anti Korupsi

Menarik yang pernah dituliskan oleh Jeremy Pope mengenai Unsur-unsur


upaya anti-korupsi yang sungguh-sungguh dan terarah yaitu :100
1. Kemauan yang teguh di pihak pemimpin politik untuk memberantas
korupsi di mana pun terjadi dan untuk diperiksa (meninjau kembali
perlu tidaknya kekebalan hukum dan hak istimewa, yang mungkin
melindungi petinggi politik tertentu dari proses hukum);
2. Menekankan pencegahan korupsi di masa datang dan perbaikan system
(bukan menghabiskan waktu mencari kambing hitam);
3. Adaptasi undang-undang anti-korupsi yang menyeluruh dan
ditegakkan oleh lembaga-lembaga yang punya integritas (termasuk
polisi, jaksa, dan hakim);
4. Identifikasi kegiatan-kegiatan pemerintah yang paling mudah
menimbulkan rangsangan untuk korupsi dan meninjau kembali
undang-undang terkait, dan prosedur administrasi;

100
Jeremy Pope, 2003,Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas
Nasional, Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia,
Jakarta, hlm. xxxi

92
5. Program untuk memastikan bahwa gaji pegawai negeri dan pemimpin
politik mencerminkan tanggung jawab jabatan masing-masing dan
tidak jauh berbeda dari gaji di sector swasta;
6. Penelitian mengenai upaya perbaikan hokum dan administrasi yang
memastikan upaya hokum dan administrasi bersangkutan cukup
mampu berfungsi sebagai penangkal korupsi;
7. Menciptakan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil
(termasuk sector swasta, profesi, organisasi keagamaan);
8. Menjadikan korupsi perbuatan ―berisiko tinggi‖ dan ―berlaba rendah‖
(yakni mempertinggi risiko tertangkap dan kemungkinan dijatuhi
hukuman yang setimpal bila terbukti bersalah);
9. Mengembangkan ―gaya manajemen yang selalu berubah‖ yang
memperkecil risiko bagi orang-orang yang terlibat dalam korupsi
―kelas teri‖, dan yang mendapat dukungan dari tokoh-tokoh politik
(peran serta mereka mungkin penting sekali) namun yang dilihat oleh
masyarakat luas sebagai program yang adil dan masuk akal bagi situasi
yang ada (memberikan amnesti pada semua koruptor dapat
mencetuskan kerusuhan di jalan-jalan; sama halnya, menjatuhkan
hukuman tanpa pandang bulu akan menghasilkan kekalahan politik).

Posisi Pendidikan Kewarganegaraan sangat strategis dikaitkan pendapat


Jeremy Pope dalam upaya anti-korupsi yang sungguh-sungguh dan terarah. Pkn
menawarkan ―obat penawar‖ membentuk perilaku yang karakter mahasiswa untuk
menekankan pencegahan korupsi di masa datang dan perbaikan sistem tanpa
menghabiskan waktu mencari kambing hitam.

E. Penutup

Posisi Pendidikan Kewarganegaraan yang sangat strategis serta potensi


yang besar memposisikan PKn dapat dijadikan role model sebagai pintu masuk
pengkaderan generasi anti korupsi di Perguruan Tinggi. Materi ajar PKn berbasis
pendidikan anti korupsi perlu diimplementasikan di semua Universitas di seluruh
Indonesia, materi ajar seperti ini adalah tidak hanya menitikberatkan kepada
pengetahuan (knowledge) semata, melainkan juga membekali mahasiswa dengan
keterampilan-keterampilan seperti menganalisis dan berfikir kritis (analytical &
critical thinking) sehingga akan membentuk keterampilan-keterampilan
experential learning yang lain , selain itu fokua utama materi ajar ini adalah
pembentukan dan kaderisasi mahasiswa yang terampil, berpengalaman dan
berkarakter.

93
Daftar Pustaka

Aspin, David N & Chapman, Judith D, 2007, Values Education and Lifelong
Learning, Springer, Netherland.

Danial, Endang & Harmanto, ―Pendidikan Antikorupsi dalam Pembelajaran


PKn Sebagai Penguat Karakter Bangsa”, Jurnal Penndiidkan dan
Pembelajaran, Volume 19, Nomor 3, Oktober 2012.

Komalasari, Kokom, 2013, Pembelajaran Konstektual Konsep & Aplikasi,


Refika Aditama, Bandung.

Montessori, Maria, ―Pendidikan Anti Korupsi Sebagai Pendidikan Karakter


di Sekolah”, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 19, Nomor 2,
Oktober 2012.

Modern Didactic Center, 2006, Anti Corruption Education At School,


Garnelish Publishing, Vilnius Lithuania.

Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas


Nasional, Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan Transparency
International Indonesia, Jakarta.

Slavin, Robert E, 1994, Educational Psychology: Theory and Practice, Allyn


and Bacon, Boston.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301).

94
MEMBANGUN INTEGRITAS MAHASISWA MELALUI STUDI
PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
RELEVANSINYA DENGAN PEMENUHAN AKSES TERHADAP
KEADILAN SOSIAL
(Oleh: Muhammad Rizaldi S.H.101 dan Sri Bayuningsih Praptadina S.H. 102)

I.Pendahuluan

A. Dampak Korupsi Terhadap Pemenuhan Hak Asasi Manusia


Dampak negatif dari korupsi bukan merupakan pertanyaan yang baru.
Kerugian yang ditanggung akibat praktik korupsi secara tidak langsung dirasakan
oleh masyarakat. Hampir di semua sektor korupsi, uang negara yang di korupsi,
merupakan uang untuk pemenuhan hak-hak rakyat baik secara individu maupun
bersama-sama103. Jeremy Pope menyatakan alasan semakin mudahnya korupsi
ditemukan di berbagai bidang kehidupan ialah karena 1) melemahnya nilai-nilai
sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum,
serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi
perilaku sosial sebagian besar orang, 2) tidak ada transparansi dan tanggung gugat
sistem integritas publik.104 Meningkatnya aktivitas korupsi membuat terjadinya
perubahan politik yang sistematis yang memperlemah atau menghancurkan tidak
hanya lembaga sosial dan politik, akan tetapi juga lembaga hukum. 105
Konferensi di Seoul tahun 2003106 menyatakan bahwa korupsi dalam skala
besar termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. 107 Konferensi
tersebut juga menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup bebas
dari lingkungan yang korup. Negara yang terjangkit korupsi akan kehilangan
otoritas dan kemampuannya dalam memimpin pemerintahan. Kondisi tersebut
diikuti dengan adanya pembungkaman terhadap kritik publik, ketidakadilan, dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang tidak diberikan hukuman. Selain itu
101
Penulis adalah Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Lulus dari Fakultas
Hukum Universitas Indonesia pada Januari 2013.
102
Penulis adalah Peneliti lepas. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada
Agustus 2015.
103
Haris, Azhar, Korupsi Melanggar Hak Asasi, diunduh
darihttp://referensi.elsam.or.id/2017/01/korupsi-melanggar-hak-asasi/, diakses pada tanggal 26
April 2017.
104
Marwan, Efendi, Perjanjian Bilateral Mengenai Bantual Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, makalah disampaikan pada seminar Bantuan
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM
Rl bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan HAM Rl Provinsi Jawa Barat, Bandung 29-30 Agustus 2006, hlm. 161
105
Ibid., Lihat Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, terjemahan
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama, 1999, him. 11
106
The Seoul Finding : 11th International Anti – Corruption Conference, Seoul, May 2003
107
The Impact of Corruption on The Human Rights Based Approach to Development,
(United Nation Development Programme - Oslo Governance Centre : 2004) , pg. 9.

95
pemenuhan hak dasar serta kebebasan masyarakat di bidang sosial dan ekonomi
menjadi tidak terprediksi dan terabaikan.108 Korupsi memberikan dampak
terhadap pemenuhan hak asasi manusia di berbagai sektor. Sebagai contoh hak
atas makanan, pendidikan, air, kesehatan dan hak untuk mencari keadilan akan
menjadi mustahil apabila para pelaku korupsi memiliki akses terhadap hak – hak
dasar tersebut.109 Korupsi dalam skala tinggi oleh pejabat pemerintah dapat
menyedot kekayaan negara, yang mana hal tersebut menghalangi pemerintah
dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi, menjamin dan menghormati
hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat.110 Dengan demikian maka korupsi tidak
hanya memberikan dampak negatif terhadap pemenuhan hak sipil dan politik
masyarakat, namun juga terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya.
Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana perilaku korup dapat
mencederai pemenuhan hak asasi manusia111 :
1. Hak untuk bekerjasama, termasuk di dalamnya hak untuk menentukan
nasib sendiri112, hak untuk berkumpul dan berserikat113, hak untuk
menjalankan kepercayaan114, dan hak kebebasan beragama115. Salah satu
contoh pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak yang telah disebutkan
tersebut ialah perilaku korup sebagian oknum pemerintahan dalam
industri pertambangan. Pada wilayah industri tambang terdapat
keberadaan penduduk asli yang menempati wilayah tersebut. Adanya
kegiatan penambangan dan penebangan liar yang ekstensif maka dapat
melanggar hak yang dimiliki oleh penduduk asli terkait hilangnya wilayah
penghidupan dan hak dalam menentukan nasibnya sendiri. Disisi lain, hal
tersebut juga berdampak pada pelanggaran hak untuk dalam menjalankan
budaya dan keyakinan yang dimiliki oleh penduduk asli karena adanya
perubahan lingkungan sekitar secara drastis yang mengubah cara hidup
mereka. Larmour, dalam laporannya menyebutkan terdapat 2 (dua) negara
di Pasifik Selatan yang pemerintahannya lekat dengan perilaku korup
dalam industri perkayuan hingga dengan sengaja merusak kehidupan
masyarakat penduduk asli di wilayah tersebut. .Rose Ackerman
menyatakan bahwa berbagai dampak negatif sekaligus kerusakan
lingkungan yang mempengaruhi kehidupan penduduk asli memiliki
keterkaitan dengan perilaku korup dan penyediaan dan pengeksploitasian

108
Ibid.,
109
James, Thuo Gathii, Defining The Relationship Between Human Rights and
Corruption, University of Pennsylvania Journal of International Law, Vol. 31 Iss 1 Art. 3,
(Pennsylvania : University Pennsylvania, 2014), pg. 126.
110
Ibid.,
111
Lihat Zoe Pearson, An International Human Rights Approach to Corruption, dalam
Corruption and Anti Corruption, (Canberra : The Australian National University, 2001), hlm. 52
112
Pasal 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Pasal 1
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
113
Pasal 22 ICCPR, dan Pasal 8 ICESR.
114
Pasal 27 ICCPR, dan Pasal 15 ICESR.
115
Pasal 18 ICCPR.

96
kekayaan alam.
2. Hak hidup, kesehatan dan kekayaan intelektual. Hak-hak yang termasuk
dalam kategori hak-hak tersebut meliputi hak bebas dari penyiksaan 116,
hak untuk hidup117, hak keamanan118, kebebasan119, hak atas standar hidup
yang layak120 dan hak atas kesehatan dan penghidupan yang layak 121.
Salah satu contoh pelanggaran terhadap hak-hak tersebut ialah adanya ijin
yang diberikan oleh pejabat publik yang korup untuk membuang sampah
beracun di area yang ditujukan sebagai tempat tinggal. Bentuk-bentuk
penyuapan dan manipulasi dokumen digunakan untuk melegalisasi
pembuangan sampah beracun di area yang tidak diperuntukkan. Kondisi
tersebut melanggar hak atas kesehatan, penghidupan yang layak dan hak
hidup dari masyarakat.
3. Hak non diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum, termasuk
didalamnya hak atas peradilan yang adil dan persamaan di depan
hukum122. Korupsi dapat menjangkiti proses judisial melalui berbagai cara
hingga melanggar hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat. Apabila pihak
dalam proses peradilan seperti hakim, pegawai pengadilan, jaksa,
pengacara dan kepolisian terlibat dalam penyuapan dan perilaku korup
lainnya, maka akan sulit untuk mengakses keadilan melalui peradilan yang
adil oleh masyarakat.
4. Hak sosial dan ekonomi, yang termasuk kategori dari hak tersebut adalah
hak atas kenyamanan bekerja123 dan hak atas pendidikan124. Pelanggaran
terhadap kedua hak tersebut diantaranya merupakan akibat adanya
penyelewengan anggaran oleh pemerintah melalui korupsi. Adapun
penyelewengan-penyelewengan ini biasanya melalui proyek-proyek skala
besar dan padat modal yang memberikan lebih banyak kesempatan kepada
para oknum yang korup terhadap proyek padat karya yang menyediakan
lapangan pekerjaan atau pengeluaran untuk pelayanan publik seperti,
pendidikan.

Melalui pendekatan hak asasi manusia terkait isu korupsi, dapat kita
ketahui bahwa korupsi bukan hanya sekadar penyalahgunaan uang atau
kekuasaan; korupsi juga memiliki dampak yang buruk bagi masyarakat, yang
dapat melanggar pemenuhan hak asasi manusia. Berkaca pada situasi tersebut
maka diperlukan upaya pemberantasan korupsi dengan meningkatkan kesadaran

116
Pasal 7 ICCPR
117
Pasal 6 ICCPR
118
Pasal 9 ICCPR
119
Pasal 9-13 ICCPR
120
Pasal 11 ICESR
121
Pasal 12 ICESR
122
Pasal 9-15 ICCPR
123
Pasal 6-9 ICESR
124
Pasal 13-14 ICESR

97
terkait dampak buruk dari korupsi, akuntabilitas dan transparansi di dalam
pemerintahan serta peningkatan berbagai strategi dalam upaya memberantas
korupsi. Selain itu, keterlibatan organisasi dan institusi non pemerintah baik
internasional maupun nasional - yang banyak diantaranya juga terlibat dalam
penegakan hak asasi manusia - dapat menguatkan upaya terhadap perlindungan
hak asasi manusia dan anti korupsi. Keterlibatan organisasi dan institusi tersebut
diharapkan mampu memberikan tekanan kepada pemerintah untuk mereformasi
penegakan hukum terkait hak asasi manusia dan korupsi.

B. Refleksi Pemahaman Anak Muda Terhadap Konsep Anti-Korupsi


Fenomena korupsi di Indonesia masih menjadi permasalahan yang tak
urung terselesaikan. Jika mengacu pada indeks persepsi korupsi, Indonesia pada
tahun 2014 memiliki skor 34 dan sejak saat itu memiliki tren positif dengan
kenaikan sebesar 3 poin dalam rentang 2 tahun hingga memiliki skor 37 di tahun
2016.125 Meski mengalami perbaikan, Indonesia masih memerlukan banyak
perbaikan terutama di sektor penegakan hukum dan politik sebagai penghambat
terbesar.
Publik memiliki persepsi negatif yang cukup kuat terhadap dua sektor tersebut.
Data survey Global Corruption Barometer 2013, menempatkan partai politik,
parlemen, pengadilan, dan kepolisian sebagai lembaga yang paling korup di
Indonesia.126 Lebih dari 80% responden merasa bahwa keempat lembaga tersebut
merupakan lembaga yang korup/sangat korup di Indonesia. Menariknya, persepsi
negatif tersebut diikuti dengan optimisme yang cukup tinggi bahwa publik
memiliki peran besar untuk terlibat dalam upaya memperbaiki hal tersebut.
Sebesar 70% responden setuju bahwa masyarakat biasa dapat membuat perubahan
dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya, upaya pemberantasan korupsi
diyakini oleh publik tidak hanya menjadi tugas pemerintah melainkan menjadi
tanggung jawab bersama.
Salah satu investasi yang harus dibangun untuk membenahi permasalahan
korupsi di Indonesia adalah dengan menyadarkan bahwa anak muda memiliki
posisi strategis dalam mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang bersih.
Terutama disaat komitmen integritas anak muda yang saat ini kerap terbentur oleh
realitas yang memaksa harus bersikap permisif dan kompromistik terhadap
praktik korupsi. Survei Integritas Anak Muda 2013 menemukan bahwa mayoritas
anak muda umumnya mendukung nilai kejujuran dan taat hukum, namun mereka
tidak ragu untuk mengkompromikannya terutama jika dihadapkan dengan
125
Lihat Transparansi Internasional Indonesia, ―Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun
2016”, http://www.ti.or.id/index.php/publication/2017/01/25/corruption-perceptions-index-2016,
diakses pada 24 April 2017.
126
Lihat Transparansi Internasional Indonesia, ―Kehidupan Sehari-Hari dan Korupsi:
Opini Publik di Asia
Tenggara‖,http://ti.or.id/media/documents/2013/07/09/r/e/report_gcb_bahasa.pdf page 8-10,
diakses pada 24 April 2017.

98
kebutuhan akan pekerjaan dan menolong keluarga dari kesulitan.127
Situasi ini disebut sebagai krisis integritas dan pada dasarnya terjadi di
beberapa negara berkembang. Survey sejenis dilakukan juga di 3 negara lain di
asia pasifik yaitu di Sri Lanka, Korea Selatan, dan Fiji. Senada dengan Indonesia,
pemuda dari 3 negara tersebut mengaku akan melakukan korupsi jika dibutuhkan
untuk mendapatkan pekerjaan atau tempat di sekolah yang mereka inginkan. 128
Tidak hanya itu, sepertiga dari pemuda tersebut juga percaya bahwa
menyontek/berbohong/berbuat curang dapat membantu mereka mendapakan
kesuksesan dalam hidup.
Dari perspektif sejarah, pemuda juga tidak memiliki posisi yang strategis
dalam pemberantasan korupsi. Sejarawan senior Anhar Gonggong dalam sebuah
kesempatan menyampaikan bahwa selama ini tidak pernah ada gerakan
antikorupsi yang secara kontinu dari kalangan pemuda.129 Bahkan, tidak jarang
figur pemuda yang ada justru tertelan oleh arus pragmatisme dan kemudian
meninggalkan integritasnya. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi urgensi
pelibatan anak muda dalam gerakan anti-korupsi.Mayoritas responden pada dua
survey sebelumnya percaya bahwa pemuda memiliki peran penting untuk
memberantas korupsi dan membuat perubahan di masyarakat. Mayoritas dari
pemuda tersebut berkomitmen untuk melapor pada pihak yang berwajib apabila
menemukan perbuatan korupsi.
Secara angka, populasi pemuda merepresentasikan 25% populasi dunia
dan 32% populasi di negara yang belum berkembang. Pasca 2015, masyarakat
sipil yang mendorong Millennium Development Goals (MDGs) mengestimasi
bahwa 87% dari populasi di negara berkembang adalah pemuda yang berusia di
bawah 25 tahun. Angka tersebut mengindikasikan bahwa peran pemuda sangat
penting dalam mendorong perubahan sosial ke arah masyarakat global anti-
korupsi. Kenyataannya, pemuda sangat rentan berhadapan dengan praktik suap
dan karenanya rentan terjerumus pada praktik korupsi.130
Namun demikian, komitmen tersebut tidak dapat dilepaskan semata-mata
hanya menjadi tanggung jawab pemuda. Komitmen tersebut perlu dilengkapi
dengan usaha-usaha untuk meningkatkan pemahaman dan kepercayaan diri

127
Lihat Transparency International, ―Youth in a Corrupt
Country”,http://www.ti.or.id/media/documents/2014/05/22/h/i/high_res_hasil_survei_integritas_a
nak_muda_2013_bahasa_inggris_copy.pdf page 16-18, diakses pada 24 April 2017.
128
Lihat Transparency International, ―Asia Pacific Yotuh: Integrity in
Crisis‖,http://www.transparency.org/whatwedo/publication/asia_pacific_youth_integrity_in_crisis,
page 7, diakses pada 24 April 2017.
129
Lihat Indonesia Corruption Watch, ‖Spirit Antikorupsi Anak Muda‖,
http://www.antikorupsi.org/id/content/spirit-antikorupsi-anak-muda, diakses pada 26 April 2017.

130
Lihat, ―Best Practices in Engaging Youth in The Fight Against Corruption‖,
http://www.u4.no/publications/best-practices-in-engaging-youth-in-the-fight-against-corruption/,
diakses pada 27 April 2017.

99
mereka dalam memberantas korupsi. Usaha yang dimaksud datangnya bisa dari
pemerintah, universitas, sekolah, orang tua, guru, dan perkumpulan siswa yang
dipercaya sebagai pihak yang dapat memberi pengaruh terbesar kepada anak
muda.

II.Peran Pendidikan Antikorupsi Melalui Pendidikan Klinis Hukum dalam


Mendorong Pemenuhan Akses Terhadap Keadilan Sosial

A.Konsep Keadilan Sosial dan Kesenjangan Sosial


Pembahasan mengenai konsep keadilan sosial tidak ditujukan untuk
mendapatkan satu definisi yang ketat mengenai apa itu keadilan sosial dan
kesenjangan sosial. Pembahasan ini lebih menekankan pada penjabaran secara
runtut perkembangan pemahaman tentang keadilan di masyarakat. Kita sering kali
menggunakan terminologi ―keadilan‖ tanpa memahami keadilan seperti apa yang
dimaksud. Hal ini juga yang sering kali membuat masyarakat dibutakan dengan
realitas praktik korupsi yang mengatasnamakan keadilan sosial. Oleh karenanya,
dalam pendidikan antikorupsi, mahasiswa tidak hanya diharapkan paham
mengenai implementasi hukum dalam mencegah dan memberantas korupsi tapi
juga bagaimana negara memposisikan kebijakan yang dibuatnya untuk
mendorong pemenuhan akses terhadap keadilan sosial. Pada akhirnya, pandangan
politis tetap akan menentukan model sistem mana yang dikatakan adil bagi
masyarakat. Namun demikian, mahasiswa juga harus dapat membedakan konsep-
konsep yang hadir di masyarakat lalu menggunakannya untuk memperluas akses
terhadap keadilan ke masyarakat dan tidak terjebak pada konsepsi keadilan yang
inkonsisten hasil dari retorika semata.
Studi normatif dan filosofis terhadap tema keadilan sosial terus
berkembang sepanjang waktu. Setidaknya, pendekatan historis dapat digunakan
untuk memahami konsep dasar mengenai keadilan sosial. Ide mengenai keadilan
sosial dapat ditemukan dalam pendapat dari beberapa sarjana yang mencoba
menentukan apa yang dimaksud dengan pendistribusian yang adil. Tentunya tidak
mungkin membahas semua pandangan sarjana yang menulis tentang keadilan
sosial. Oleh karena itu, penulis membatasinya dengan mengkonsentrasikan
pembahasan pada konsep keadilan sosial kontemporer yang lahir dari pandangan
sarjana-sarjana eropa-amerika di abad 19 dan 20.
Pendapat pertama mengenai keadilan sosial mengedepankan kesejahteraan
kelompok mayoritas dalam masyarakat (the greatest amount of good for the
greatest number) sebagai dasar melakukan distribusi. Kelompok ini dikenal
dengan utilitiarian dengan tokoh utamanya yaitu John Stuart Mill. Pada
prinsipnya, kelompok utilitarian menghendaki agar pengambilan kebijakan
mengenai pendistribusian didasarkan pada asumsi bahwa semua manusia
merupakan mahluk yang rasional dan memiliki hasrat untuk memaksimalkan
kepuasan untuk memperoleh kesejahteraan. Sebagai hasilnya, pandangan ini
memiliki dampak yang negatif terhadap kelompok minoritas, yang sangat rentan

100
diabaikan kepentingannya demi memberikan kepuasan maksimal kepada
masyarakat.
Pada tahun 1971, John Rawls membuat konsepsi mengenai keadilan sosial
yang dituliskan dalam buku ―A Theory of Justice‖. Rawls mencoba memberikan
alternatif atas teori keadilan yang dikemukakan oleh kelompok utilitarian yang
mendominasi pemikiran politik di negara-negara anglo saxon untuk waktu yang
cukup lama. Teori keadilan utilitarian dipandang memiliki kelemahan dalam
menjelaskan mengenai penghormatan atas hak individu sebagai syarat utama
negara demokrasi.
Jika mengacu pada teori yang dikemukakan oleh JJ Rousseau, suatu
negara terbentuk atas dasar kesepakatan warganya dalam suatu kontrak sosial
yang bertujuan untuk menentukan seberapa luas kebebasan warga dan kebebasan
negara. Setiap warga bersepakat untuk menundukkan diri di bawah satu
kekuasaan bersama yang tertinggi. Rawls mengkritik teori utilitarian dengan
memberikan suatu perumpaan posisi awal yang dikenal dengan ―the veil of
ignorance‖ atau bilik ketidaktahuan. Dalam posisi awal ini, seseorang tidak
mengetahui akan seperti apa kehidupannya dikemudian hari. Apakah terlahir
sebagai pria/wanita, kaya/miskin, kulit putih/kulit berwarna, dan seterusnya.
Dengan demikian, posisi ini memungkinkan orang untuk menghilangkan bias,
memiliki pandangan yang imparsial, dan dengan demikian memiliki kebebasan
individual. Oleh karenanya, seseorang akan menentukan bahwa sistem yang adil
adalah sistem yang adil untuk semua orang dan bukan hanya untuk adil bagi
sebagian orang.
Rawls selanjutnya membuat argumentasi mengenai sistem pendistibusian yang
adil berdasarkan dua prinsip utama yaitu equal liberty principle (prinsip
kebebasan) dan difference principle (prinsip diferensiasi). Prinsip pertama
menegaskan bahwa dalam pendistribusian yang adil negara harus menjamin hak
dasar warganya untuk memiliki kebebasan individu terutama dalam hal
berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat. Dalam kondisi ini, Rawls
menggambarkan bahwa tidak ada hambatan bagi warga negara untuk berekspresi,
menganut keyakinan, berpartisipasi dalam politik (memilih dan dipilih), dan
seterusnya. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjalani
hidup menuju kesejahteraan yang dinginkan oleh masyarakat (egaliter).
Lebih dalam, Rawls memandang prinsip kebebasan saja tidak cukup untuk
menjamin bahwa sudah ada sistem pendistribusian yang adil. Pada kenyataannya,
dalam suatu negara pasti ada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki
keunggulan dari kelompok lainnya. Oleh karena itu, negara memiliki peran
penting untuk memastikan bahwa sistem yang ada dapat menjangkau semua
kelompok, tidak hanya memberikan manfaat kepada kelompok tersebut, tetapi
juga kelompok-kelompok lainnya yang berada di kelas bawah dari suatu
kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Rawls melengkapi teorinya dengan prinsip
diferensiasi yang sekaligus menjadi solusi atas kritik terhadap teori utilitarian
yang hanya mengedepankan kepentingan kelompok mayoritas.

101
Pendistribusian yang adil berdasarkan prinsip diferensiasi Rawls
menghendaki agar kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat harus diatur
sedemikian rupa sehingga pendistribusian tidaklah harus sama terhadap setiap
kelompok. Masyarakat dapat saja memberikan penghargaan lebih terhadap
kelompok tertentu, sepanjang insentif tersebut dapat memberikan manfaat terbesar
kepada masyarakat yang hidup dalam kelompok yang kurang beruntung. Rawls
kemudian mendefinisikan ketidakadilan secara singkat sebagai pendistribusian
nilai-nilai dalam masyarakat yang dilakukan secara tidak merata dan tidak untuk
kebermanfaatan semua kelompok.
“Injustice, then is simply inequalities that are not to the benefit of all”131
Sanggahan tersebut dikemukakan oleh kelompok yang menilai bahwa
pendistribusian yang adil seharusnya dilakukan berdasarkan sistem merit. Dalam
sistem merit, seseorang yang bekerja lebih keras dibanding lainnya, berhak untuk
mendapatkan insentif lebih karena usahanya tersebut. Akan tetapi, memberikan
insentif lebih kepada seseorang yang melakukan usaha lebih besar dibanding
lainnya ternyata menimbulkan perdebatan mengenai penghargaan terhadap proses
atau hasil. Jika seorang karyawan mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya
dalam waktu satu hari, maka tentunya dia akan mengharapkan insentif lebih dari
karyawan lainnya yang hanya sanggup menyelesaikan tugas yang sama dalam
waktu dua hari atau lebih. Karyawan pertama tetap mengharapkan insentif lebih
walaupun karyawan kedua mengeluarkan usaha yang lebih besar dari dirinya. Hal
ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam menilai kinerja seseorang jika
ditinjau dari usaha orang tersebut. Oleh karenanya, pendapat lain menyebutkan
bahwa sistem merit tidak menekankan pada usaha yang dilakukan sesesorang,
melainkan kontribusinya pada kebutuhan masyarakat.
Pandangan Rawls mengenai keadilan sosial juga mendapatkan sanggahan
dari beberapa sarjana lainnya. Sanggahan tersebut terutama datang dari kelompok
libertarian yang mempertanyakan mengenai kebebasan seseorang dalam
menentukan pilihan. Robert Nozick mempertanyakan prinsip diferensiasi yang
dikemukakan Rawls karena menurutnya, seseorang yang bebas seharusnya tidak
dikenakan paksaan dalam melakukan pendistribusian kekayaannya. Nozick
menekankan pentingnya penghargaan terhadap hak milik individu atas properti.
Seseorang tidak dapat dikenakan tindakan koersif terhadap properti miliknya
apabila kepemilikan tersebut diperoleh secara sah.132
Sebagai contoh, Rawls menghendaki agar, dalam kehidupan masyarakat,
negara memberlakukan sistem pajak yang bertujuan untuk membatasi
ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat dapat dihindari dengan kontribusi
dari kelompok-kelompok yang memiliki keuntungan lebih dibanding kelompok

131
Rawls, John, A Theory of Justice, rev. Edition, Cambridge, MA: The Belknap Press of
Harvard University Press, page. 54.
132
Lihat Stanford University, ―Nozick Political‖, https://plato.stanford.edu/entries/nozick-
political/, diakses pada 30 April 2017.

102
lainnya. Sedangkan, Nozick menentang konsep tersebut dan mengatakan bahwa
sistem pajak hanya dapat dikatakan adil apabila dilakukan secara sukarela oleh
warganya. Negara hanya dapat bertindak sebagai ―Nightwatchman‖ yang bertugas
untuk melindungi hak individu atas properti atau atas perjanjian yang sah dari
individu lain.
Terlepas dari sanggahan-sanggahan tersebut, manusia sebagai makhluk
sosial tidak dapat lepas dari faktor-faktor alamiah yang tidak dapat mereka
kontrol. Faktor-faktor tersebut pada kenyataannya dapat berpengaruh terhadap
usaha dan kontribusi seseorang terhadap masyarakat. Akan tetapi, perlu dipahami
bahwa setiap manusia memiliki posisi yang sama di mata hukum. Seseorang yang
terlahir di kelompok masyarakat yang kaya tidak membuatnya menjadi lebih
berhak atas akses terhadap keadilan sosial dan begitu juga sebaliknya di kelompok
masyarakat yang miskin. Sistem yang adil tidak mempermasalahkan perbedaan-
perbedaan yang hadir secara alamiah dan tidak dapat dikontrol oleh manusia.
Sistem yang adil berbicara mengenai bagaimana mengeliminasi hambatan dan
membuka kesempatan seluas-luasnya agar masyarakat dapat mengakses keadilan
sosial.

B. Korelasi Gerakan Antikorupsi Dan Keadilan Sosial


Praktik korupsi memiliki implikasi negatif terhadap perekonomian negara,
standar hidup dan keadilan sosial133. Berangkat dari hal tersebut maka sebelumnya
akan dibahas mengenai teori keadilan sosial menurut Rawl‘s. Teori Keadilan
Sosial Rawl‘s mayoritas membahas tentang substantive justice (keadilan
substantif), equality liberties (prinsip kebebasan), fair equality of opportinity
(prinsip kesetaraan), dan difference principles (prinsip differensiasi) sebagai
prinsip dasar134. Rawl‘s menjelaskan mengenai formal justice (keadilan formal)
sebagai ―administrasi hukum dan institusi yang tidak memihak dan konsisten‖.
Keadilan substantif adalah tentang peraturan terkait institusi/lembaga 135,
sedangkan keadilan formal adalah tentang perilaku individual pihak-pihak yang
bekerja di dalam institusi/lembaga.
Keadilan formal membatasi kebijakan dan pengambilan keputusan untuk
memastikan persamaan di hadapan hukum. Keadilan tersebut menghendaki bahwa
dalam administrasi, hukum maupun institusi setiap orang diperlakukan sama.
Konsepsi tentang keadilan formal diinterpretasikan sebagai supremasi hukum
ketika diaplikasikan dalam sistem hukum. Sebuah institusi/lembaga yang adil
dapat terwujud apabila pihak yang berwenang bersikap adil, tidak memihak dan

133
Lihat Daily Times, ―Corruption is Mother of All Evils‖,
http://dailytimes.com.pk/pakistan/22-Nov-16/corruption-is-mother-of-all-evils-affects-
economy-and-social-justice-nab, diakses pada 30 April 2017.
134
Prinsip differensiasi Rawl‘s yang merupakan inti dari teori keadilan sosial miliknya
menyatakan ketidaksetaaran dalam sosial - ekonomi adalah ketidakadilan kecuali menguntung
mereka yang paling tidak beruntung.
135
Institusi atau lembaga yang dimaksud adalah lembaga publik yang memiliki hak dan
kewajiban, kewenangan dan kekebalan.

103
tidak terpengaruh oleh pribadi, uang, atau pertimbangan lain yang tidak relevan
dalam penanganan suatu perkara136.
Korupsi dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap keadilan formal.
Sejalan dengan keadilan formal yang mengatur tentang perilaku individu
seseorang, korupsi diidentifikasikan sebagai sebuah perbuatan yang dilakukan
oleh individu. Sebagai contoh apabila sebuah peraturan tidak adil maka kita tidak
dapat menyatakan bahwa peraturan tersebut berlaku korup. Sebaliknya jika
seseorang berlaku tidak adil demi keuntungan pribadi maka orang tersebut dapat
dikategorikan berlaku korup. Saat kita menyatakan bahwa suatu institusi/lembaga
korup maka yang dimaksud adalah peraturan terkait institusi atau masyarakat
diberlakukan secara sewenang-wenang dan inkonsisten. Sedangkan jika kita
menyatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan berlaku korup maka artinya dia
menjalan peraturan secara tidak adil demi kepentingan pribadinya. Dengan
demikian korupsi melanggar keadilan formal demi keuntungan pribadi dan
menghasilkan ketidakadilan substantif137.
Lebih dalam, keadilan formal dilanggar saat individu yang bersangkutan
seperti polisi, birokrat, atau aparat penegak hukum tidak mengikuti prinsip
keadilan. Korupsi merupakan pelanggaran terhadap keadilan formal apabila
individu yang bersangkutan melanggar kewajiban keadilan untuk keuntungan
pribadinya138.
Bentuk pelanggaran keadilan formal yang terkait dengan korupsi
contohnya adalah kasus Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi yang
tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan
menerima suap terkait jabatan dan kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa
pemilukada139. Tindakan Akil tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak yang
berperkara dengan memberikan putusan yang tidak mencerminkan keadilan
karena menerima suap dari salah satu pihak demi keuntungan pribadi140.
Adanya korelasi antara korupsi dan pelanggaran terhadap pemenuhan
keadilan sosial tersebut mencerminkan bahwa upaya pemberantasan korupsi
sangat diperlukan demi mendorong terbentuknya kebijakan-kebijakan yang
mendorong akses terhadap pemenuhan keadilan sosial. Pemberantasan korupsi

136
You, Jong Sung, Corruption as Injustice, Paper for 2006 Annual Meeting of Midwest
Political Science Association, Chicago, April 20-23 April, (Massachusets: Kennedy School of
Government, Harvard University), hlm. 5.
137
Ibid.,
138
Op.cit.,hlm. 9
139
Akil diduga menerima suap terkait sengketa pemilihan kepala daerah di sejumlah
daerah seperti Kabupaten Lebak, Palembang, Lampung Selatan dan Pulau Morotai. Selain itu, Akil
juga dijadikan tersangka terkait kasus suap penanganan perkara pilkada Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Lihat dalam
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/06/140630_vonis_akil_muchtar
140
Pelaku suap terhadap Akil Mochtar diantaranya 1) Alex Hesegem (Wakil Gubernur
Papua periode 2006-2011) terkait pilkada di Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten
Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga, 2) Ratu Atut dan Tubagus Chaeri Wardana
terkait pilkada Lebak, 3) Bonaran Situmeang terkait Pilkada Tapanuli Tengah, 4) Romi Herton
(Walikota non aktif Palembang) dan Masyito terkait pilkada Palembang.

104
dapat dilakukan dengan adanya political will dari pemerintah yang didukung oleh
partisipasi masyarakat. Gerakan anti korupsi oleh pemerintah tanpa mengakses
partisipasi masyarakat bukan mustahil justru kontraproduktif untuk keseluruhan
kepentingan pemberantasan korupsi itu sendiri. Karena itu, akses publik dalam
gerakan antikorupsi seharusnya diposisikan di depan. Dalam proses itu, peran pers
harus aktif dilibatkan. Pers yang terus-menerus bicara soal pemberantasan korupsi
harus dipahami sebagai wujud kecintaan kepada pemerintah, bangsa dan
negara.141

III.Tantangan dan Kesempatan Membangun Integritas Mahasiswa Melalui


Pendidikan Hukum Klinis.

A. Tantangan
1. Minat Mahasiswa
Pendidikan hukum di Indonesia sedikit banyak berorientasi pada
penguasaan pengetahuan hukum. Selain itu, beberapa fakultas hukum juga
mengajarkan skill atau keterampilan hukum melalui berbagai mata kuliah, seperti
praktik hukum yang diperkuat dengan lembaga konsultasi/bantuan hukum. Selain
itu, mahasiswa juga diberikan pilihan dalam menentukan peminatan bidang
hukum yang ingin ditekuni. Peminatan ini kemudian menjadi dasar mahasiswa
untuk menentukan lingkup riset dalam menuliskan tugas akhir skripsi.
Pada umumnya, pendidikan tentang korupsi di fakultas hukum diajarkan
pada peminatan hukum pidana tepatnya melalui mata kuliah tindak pidana
korupsi. Pada subjek ini, mahasiswa diajarkan mengenai bentuk-bentuk tindak
pidana korupsi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh
karenanya, tujuan pembelajaran dari mata kuliah ini pada dasarnya menekankan
pada pemahaman mahasiswa terhadap penerapan asas-asas hukum pidana pada
tindak pidana korupsi. Sayangnya, mahasiswa tidak diperkenalkan dengan nilai-
nilai dan semangat pemberantasan korupsi di dalam perkuliahan tersebut.
Pekerjaan rumah bagi kampus seharusnya tidak berhenti pada
mengajarkan mahasiswa tentang hukum yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi. Mahasiswa perlu melalui pendidikan tentang nilai-nilai kebenaran dan
etika profesi. Pendidikan tinggi hukum harus dapat membantu mahasiswa untuk
siap terjun menjalani praktik profesi hukum. Pemahaman yang dimiliki
mahasiswa tentang hukum, apabila tidak diikuti dengan penanaman nilai-nilai
integritas, sangat rentan untuk digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi.
Saat ini, beberapa fakultas hukum memang sudah memiliki klinik hukum
antikorupsi dalam sebaggai mata kuliah. Pendidikan hukum yang sebelumnya
tidak ada dalam kurikulum, kini sudah terintegrasi sehingga mahasiswa sekaligus
bisa mendapat pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai keadilan sosial yang
kuat. Namun demikian, pengenalan pendidikan antikorupsi kepada mahasiswa
141
Novel, Ali, Gerakan Anti Korupsi dalam Koran Suara Karya, Senin 1 Maret 2004, lihat
juga dalam http://www.antikorupsi.org/en/content/gerakan-antikorupsi.

105
bukan tanpa tantangan.
Pengaruh pemberitaan terhadap kasus-kasus korupsi belakangan ini
semakin marak dilakukan oleh media. Harus diakui, kasus korupsi memang
memiliki nilai tarik yang tinggi bagi peminat berita terutama ketika kasus tersebut
melibatkan pejabat publik. Walaupun demikian, kenyataannya, korupsi tidak
hanya dilakukan oleh pejabat publik semata.
Di lingkungan akademis, korupsi sudah tidak bisa dibilang asing lagi.
Tidak sedikit pelaku tindak pidana korupsi yang justru berasal dari kalangan
terdidik. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, dari 600 tersangka korupsi,
sebagian besar justru memiliki latar belakang pendidikan tinggi dimana sebanyak
200 tersangka memiliki titel sarjana Strata-2 dan 40 tersangka berpendidikan
Strata-3.142 Tidak hanya pendidik, yang lebih mengkhawatirkan adalah korupsi
justru dilakukan juga oleh kalangan pendidik. Setidaknya sudah ada 13 orang
petinggi (rektor/wakil rektor) perguruan tinggi yang dijadikan tersangka korupsi
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).143
Kondisi-kondisi di atas tentunya dapat berpengaruh terhadap minat
mahasiswa untuk membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of
change yang bebas dari ancaman korupsi. Media tidak dapat menyuruh apa yang
dipikirkan seseorang, akan tetapi pers dapat mempengaruhi masyarakat atau
publik tentang apa yang seharusnya mereka pikirkan. Hal ini harus dapat
diantisipasi sebelum menawarkan pendidikan antikorupsi kepada mahasiswa.
Pada akhirnya, minat mahasiswa dipengaruhi juga atas persepsi
mahasiswa terhadap citra penegakan hukum yang terjadi saat ini. Citra merupakan
kesan mental yang ditimbulkan oleh apa yang diterima oleh khalayak umum. Citra
tidak selalu sama dengan realitas yang ada. Oleh karenanya, penting bagi kampus
untuk mendidik mahasiswa agar selalu tidak terjebak pada citra yang ditampilkan
oleh media sejak awal mereka memulai pendidikan hukum. Dengan kata lain,
kampus juga memiliki peran penting dalam membentuk citra positif penegak
hukum terhadap mahasiswanya. Setidaknya, mahasiswa harus mampu
menempatkan diri sebagai individu yang selektif dan selalu mencari kejelasan
tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya (tabayyun). Kegagalan dalam
melakukan hal tersebut dapat berujung pada semakin tingginya skeptisme
mahasiswa terhadap penegakan hukum dan pada akhirnya apatisme terhadap
pencegahan dan pemberantasan korupsi.

2. Akses Terhadap Informasi


Secara teori, korupsi akan semakin dapat terdeteksi apabila usaha untuk

142
Lihat Laode M Syarif dalam, ―Penyebab Intelektual Rentan Terjerumus Kasus
Korupsi‖, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/853646-inikah-penyebab-intelektual-
rentan-terjerumus-kasus-korupsi, diakses pada 1 Mei 2017.
143
Lihat Indonesia Corruption Watch, ―Korupsi di Perguruan Tinggi‖,
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-di-perguruan-tinggi, diakses pada 1 Mei
2017.

106
memberantasnya diikuti dengan sistem informasi yang transparan pula. 144 Peran
negara untuk membuka akses terhadap informasi publik mendapat penegasan
dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang
mengenakan kewajiban kepada negara peserta konvensi untuk melakukan
langkah-langkah guna memastikan pemenuhan hak atas informasi warganya. 145
Keterbukaan informasi merupakan langkah awal bagi negara untuk mendorong
akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan. Dengan menghormati,
mempromosikan, dan melindungi hak atas informasi warganya, negara membuka
ruang bagi publik untuk terlibat dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Tidak bisa dipungkiri, akses terhadap informasi seakan sudah menjadi
kebutuhan pokok setiap orang dalam hal pengembangan pribadi maupun
kehidupan sosialnya. Dalam konteks hukum nasional, hak atas informasi publik
sudah diatur di dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP). Idealnya, seluruh badan publik memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan informasi kepada publik secara komprehensif dan
mudah diakses melalui sarana teknologi informasi. Akan tetapi, beberapa hal yang
menjadi inti dari UU KIP masih belum sepenuhnya diimplementasikan oleh badan
publik, khususnya yang berada dalam lingkup penegakan hukum.
Dengan disahkannya UU KIP, setiap badan publik memiliki kewajiban
untuk secara proaktif menyediakan informasi publik yang masuk dalam kategori
―wajib disediakan dan diumumkan secara berkala‖ kepada masyarakat. 146
Penyediaan informasi publik tersebut tidak hanya menekankan pada aspek
kuantitas data tapi juga akses terhadap informasi, kualitas data, dan nilai
kegunaannya. Sayangnya, hal tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh lembaga-
lembaga peradilan yang menjadi ujung tombak dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi.
Pelaksanaan UU KIP umumnya masih sebatas pada tataran kebijakan saja.
Beberapa lembaga penegak hukum sebetulnya sudah memiliki peraturan internal
mengenai keterbukaan informasi. Beberapa ada yang sudah lebih dulu
mengesahkan peraturan internalnya sebelum UU KIP disahkan pada tahun
2008.147 Peraturan internal tersebut pada umumnya sudah mengidentifikasi daftar
informasi publik yang berada dalam lingkup tanggung jawab lembaganya.
Namun, hal tersebut terkesan hanya menjadi jargon semata untuk membuat citra
bersih dari korupsi ketimbang menjadi pegangan bagi pejabat/aparat penegak

144
Teori tersebut tidak selamanya berlaku di setiap kelompok masyarakat. Pada
kelompok yang sangat koruptif, transparansi dapat menjadi celah untuk mempengaruhi pengambil
kebijakan. Informasi yang dibuka secara luas kepada publik dapat disalahgunakan untuk
membangun koneksi dan membangun aset yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pemberian
suap, gratifikasi, atau bentuk-bentuk insentif lainnya guna mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik. Lihat, Mehmet Bac, ―Corruption, Connections, and Transparency:Does a Better Screen
Imply a Better Scene?‖, https://link.springer.com/article/10.1023/A:1010349907813, page 87.
145
Lihat Artikel 13 UNCAC
146
Lihat Pasal 9 ayat (1) UU KIP
147
Pada tahun 2007 Mahkamah Agung sudah mengesahkan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/VIII/2007 Tentang Keterbukaan Informasi Di Pengadilan.

107
hukum untuk menegakkan keterbukaan informasi di lembaganya.
Semangat untuk membuka akses informasi kepada publik yang
ditunjukkan dalam peraturan internal umumnya tidak diikuti dengan praktik yang
sama. Lihat saja bagaimana keterbukaan informasi dilaksanakan di pengadilan.
Penelitian lapangan MaPPI pada tahun 2013 saat mengakses informasi
menemukan bahwa petugas pengadilan memberi perlakuan yang berbeda-beda
terhadap pemohon informasi.148 Pelayanan yang lebih memuaskan diberikan
ketika pemohon informasi datang dari kelompok LSM. Pelayanan yang
sebaliknya dirasakan oleh pemohon informasi masyarakat umum/awam. Petugas
tidak segan untuk menolak permohonan informasi manakala pemohon tidak
memiliki surat tugas resmi.
Lain halnya dengan pengadilan, keterbukaan informasi di kejaksaan
memiliki masalahnya sendiri. MaPPI menemukan bahwa peran sebagai Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dijabat oleh Kepala Seksi Intelijen
di masing-masing kejaksaan negeri.149 Hal ini tentunya mengundang kebingungan
jika dikaitkan dengan tugas utama pejabat intelijen yang lebih banyak berurusan
dengan hal-hal yang bersifat tertutup atau rahasia. PPID seharusnya merupakan
pejabat yang melayani masyarakat untuk mendapat informasi. Tidak heran apabila
peringkat keterbukaan informasi di kejaksaan kerap lebih rendah dibanding
pengadilan, kepolisian, dan KPK. 150

Total Skor 2 (verifikasi) Skor 1 (self assessment) Nama Lembaga

86 65 21 Komisi Pemberantasan Korupsi

79 56 23 Mahkamah Agung

76 55 21 Kepolisian

58 36 22 Kejaksaan

Data diatas kembali menegaskan bahwa komitmen keterbukaan informasi


di lembaga peradilan nampaknya masih sekedar janji belaka. Praktiknya, pola
pikir petugas informasi di lapangan masih kental dengan gaya birokrat konservatif
dan pro status quo. Hal ini akan terus menjadi polemik selama tidak ada

148
Lihat Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Survey, ―Keterbukaan Informasi Di
Pengadilan‖, http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/10/MaPPI_laporan-akhir-
penelitian_unodc_290813-1.pdf, diakses pada 1 Mei 2017.
149
Lihat, Masyarakat Pemantau Peradilan, ―Kejaksaan RI dan Keterbukaan Informasi‖,
http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/10/Kejaksaan-RI-dan-Keterbukaan-
Informasi-Policy-Brief-MaPPI.pdf, diakses pada 2 Mei 2017.
150
Lihat, Komisi Informasi Pusat,―Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Penganugerahan
Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2014‖.
https://www.komisiinformasi.go.id/news/view/laporan-tahunan-kip-2014, diakses pada 2 Mei
2017

108
pembenahan internal yang dilakukan oleh setiap institusi penegak hukum. Dalam
konteks pendidikan, pembenahan tersebut perlu diikuti dengan penyadaran publik
tentang keterbukaan informasi. Dengan demikian pembenahan yang dimaksud
tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan informasi tapi juga
mendorong partisipasi aktif dari masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan
kebijakan. Publik juga perlu menyadari pentingnya mengawasi kinerja penegak
hukum dalam mencegah dan memberantas korupsi.

3. Budaya Permisif
Kesadaran akan dampak negatif korupsi terhadap pembangunan ekonomi
dan kehidupan berdemokrasi telah membuat studi terkait transparansi
pemerintahan meningkat pesat. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Transparansi Internasional terkait korupsi di sektor publik, ditemukan bahwa
korupsi bukan hanya perbuatan korup yang dilakukan oleh aparat pemerintahan,
akan tetapi juga merefleksikan adanya faktor budaya. 151 Budaya yang dimaksud
adalah sikap membenarkan atau mengganggap biasa oleh masyarakat awam
terkait perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori korupsi yang dilakukan
pejabat pemerintahan. Budaya membenarkan atau mengganggap biasa ini disebut
juga sebagai sikap permisif.
Penilaian terhadap korupsi di masing-masing budaya sangatlah beragam.
Banyak kalangan masyarakat yang masih mengganggap korupsi sebagai suatu hal
yang lumrah dilakukan oleh pejabat pemerintah. Sikap permisif terhadap korupsi
ini berimplikasi kuat dan negatif terhadap kepercayaan publik. Sikap permisif
menjadi tantangan tersendiri dalam pemberantasan korupsi. Cábelková
berpendapat bahwa tingkat korupsi yang sebenarnya dipengaruhi oleh persepsi
tentang korupsi dan fasilitas saat mengambil keputusan terkait perbuatan korup 152.
Dengan kata lain, tingkat persepsi korupsi yang tinggi memunculkan sisi
penawaran dari ―pasar suap‖. Maksudnya adalah bahwa persepsi terjadinya
tindakan ilegal yakni korupsi dapat dipengaruhi dengan cara berikut153:
1. Ketika orang merasa bahwa tingkat korupsi tinggi
kemungkinannya;
2. Masyarakat berpikir bahwa tindakan suap menyuap memang
dibutuhkan;
3. Pejabat pemerintah tidak mengganggap bahwa suap menyuap
merupakan tindakan yang salah.
Dalam jajak pendapat Litbang Kompas tentang Permisif Terhadap Perilaku
Korupsi154 menyatakan walaupun publik sepakat bahwa tindakan-tindakan

151
Alejandro, Moreno, Corruption and Democracy : A Cultural Assesment, Journal
Comparative Sociology, Vo. 1, issue 3-4, (Leiden : Koninklijke Brill NV, 2002), hlm. 496.
152
I,Cábelková,Perceptions of corruption in Ukraine: are they correct?‖ CERGE-EI
working paper 176, 2001.
153
Natalia, Melgar dan Maximo Rossi, Permissiveness Toward Illegal Actions in Urugay
: Has This Attitude Changed in Time?, Journal Economic Research International Vol. 2012.
154
Jakak pendapat dilakukan pada 07 April 2015,

109
permisif mengarah pada perilaku tidak baik, hampir dua pertiga responden
mengakui bahwa hal itu sudah menjadi kebiasaan dan berlaku umum di tengah
masyarakat. Sikap permisif masyarakat terhadap perilaku yang mengarah pada
korupsi terbilang memprihatinkan. Hal ini tercermin dalam hasil survei perilaku
anti korupsi tahun 2014 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik155.
Lebih jauh, sikap permisif tersebut juga mempengaruhi minat mahasiswa
untuk ikut serta dalam pendidikan anti korupsi. Anggapan yang berkembang jika
perilaku korupsi atau yang mengarah kesana sudah menjadi kebiasaan dan berlaku
umum di masyarakat membuat mahasiswa enggan untuk ikut serta dalam
pendidikan anti korupsi. Namun demikian keengganan tersebut dapat di antisipasi
dengan adanya kampanye anti korupsi dengan mengoptimalkan berbagai media
misalnya; musik, film, media sosial, menulis, video dan mendorong untuk
bergabung di berbagai komunitas yang melakukan gerakan anti korupsi 156.
Melalui kampanye anti korupsi tersebut diharapkan mampu menumbuhkan
kesadaran mahasiswa tentang peran mereka dalam melawan korupsi.
B. Kesempatan
1. Perintah Undang-Undang
Salah satu aspek penting dalam upaya pemberantasan korupsi ialah
adanya partisipasi publik untuk meningkatkan kepedulian terkait tumbuhnya
korupsi dan dampak negatif yang disebabkan karenanya. Partisipasi publik terkait
pemberantasan korupsi diatur diantaranya dalam United Nation Convention
Against Corruption (selanjutnya disebut UNCAC) 157 yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003. Bentuk partisipasi publik dalam
pemberantasan korupsi salah satunya melalui program pendidikan baik di jenjang
sekolah maupun perguruan tinggi 158. Perguruan tinggi sebagai pusat pembelajaran
memiliki peran strategis dalam mendorong percepatan pemberantasan korupsi.
Perguruan tinggi harus menggali, merumuskan dan mengembangkan nilai dan
rinsip anti korupsi dan integritas159. Selain itu, perguruan tinggi dalam kapasitas
dan kompetensinya, berfungsi melahirkan ide dan gagasan yang asli dan utuh
mengenai nilai prinsip integritas tersebut serta melakukan inovasi dalam
pengembangan strategi dan program pemberantasan korupsi.
Pendidikan anti korupsi adalah program pendidikan tentang korupsi
bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kepedulian warganegara terhadap
bahaya dan akibat dari tindakan korupsi. Target utama pendidikan anti korupsi

http://print.kompas.com/baca/2015/04/07/Permisif-terhadap-Perilaku-Korupsi
155
Ibid.,
156
Lihat, Indonesia Corruption Watch,
http://www.antikorupsi.org/en/content/mahasiswa-bsi-belajar-antikorupsi, diakses pada 3
Mei 2017.
157
Pasal 13 UNCAC tentang Partisipasi Publik
158
Pasal 13 huruf (C) UNCAC
159
http://www.antaranews.com/berita/407456/empat-peran-perguruan-tinggi-berantas-
korupsi

110
adalah memperkenalkan fenomena korupsi yang mencakup kriteria, penyebab dan
akibatnya, meningkatkan sikap tidak toleran terhadap tindakan korupsi,
menunjukan berbagai kemungkinan usaha untuk melawan korupsi serta
berkontribusi terhadap standar yang ditetapkan sebelumnya seperti mewujudkan
nilai-nilai dan kapasitas untuk menentang korupsi dikalangan generasi muda.160
Terkait upaya pemberantasan korupsi melalui pendidikan anti korupsi,
secara khusus Presiden Republik Indonesia telah menginstruksikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan KPK yang dinyatakan melalui
Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Dalam rangka persiapan pembelajaran
pendidikan anti korupsi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama
dengan KPK telah melaksanakan kegiatan Training of Trainers (TOT) Pendidikan
Anti Korupsi tahun 2012 bagi 1007 dosen di 526 perguruan tinggi di seluruh
Indonesia161. Sebelumnya, pendidikan anti korupsi di Indonesia banyak
melibatkan kelompok masyarakat sipil dan organisasi internasional dalam
meningkatkan kesadaran terkait pemberantasan korupsi. Selain itu langkah-
langkah lain dalam pendidikan anti korupsi juga ditempuh melalui penyebaran
informasi melalui buku-buku, brosur, media masa dan media sosial. Hal tersebut
diharapkan mampu memberikan dukungan terhadap pemerintah dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.162
Pendidikan anti korupsi dengan melibatkan kalangan civitas akademik
juga telah diterapkan di berbagai negara diantaranya Korea, Kamboja, Malaysia,
Vanuatu, Kazakhstan, Pakistan, Kepulauan Fiji dan Filipina.163 Di negara-negara
tersebut pendidikan anti korupsi dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, sejak
bangku dasar hingga perguruan tinggi. Penyusunan materi pendidikan anti korupsi
ini melibatkan tenaga pengajar dan kementerian pendidikan di negara masing-
masing.164 Selain negara-negara tersebut, Hongkong adalah salah satu negara
yang telah menunjukkan hasil yang signifikan terkait pelaksanaan pendidikan anti
korupsi di sekolah-sekolah. Jika pada tahun 1974 Hongkong adalah negara yang
sangat korup, maka saat ini Hongkong merupakan salah satu negara di Asia
dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang sangat tinggi yakni 8,3 dan menjadi
negara terbersih ke 15 dari 158 negara di dunia165. Keberhasilan ini merupakan
efek simultan dari upaya pemberantasan korupsi dari segala sisi termasuk
pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan sekolah secara formal.166

160
Maria, Montessori, Pendidikan Antikorupsi Sebagai Pendidikan Karakter di Sekolah,
hlm. 294, diakses dari http://noviandy.com/wp-content/uploads/2016/03/PAK-sbg-Pendidikan.pdf.
161
Diikuti dari pengantar buku ajar pendidikan anti korupsi, kementerian pendidikan dan
kebudayaan
162
Anti Corruption Initiative for Asia and The Pacific,
https://www.oecd.org/site/adboecdanti-corruptioninitiative/policyanalysis/35144038.pdf, hlm. 56
163
Loc.cit.,hlm. 55
164
Ibid.,
165
Krisna, Harahap, Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi, Jurnal of Historical
Studies X, Juni 2009.
166
Tony, Kwok Man-wai, Formulating an Effective Anti-Corruption Strategy, The

111
Menyikapi fenomena korupsi yang telah merambah ke berbagai sektor
menjadikan pendidikan anti korupsi di perguruan tinggi yang melibatkan
mahasiswa menjadi hal yang penting untuk dilakukan untuk meningkatkan
integritas dan pengetahuan terkait strategi anti korupsi. Hal ini mengingat
mahasiswa adalah calon pemimpin masa depan di berbagai sektor meliputi
pemerintahan, swasta, non government organisation (NGO), organisasi
internasional, dan sebagainya.
Pendidikan anti korupsi di kalangan mahasiswa harus dijadikan sebagai
strategi jangka panjang dalam upaya pemberantasan korupsi. Menyentuh ranah
pendidikan dan berbicara aktif secara langsung kepada mahasiswa terkait korupsi
dapat dijadikan sebagai salah satu kunci yang penting untuk mengkampanyekan
sikap anti korupsi, dan berpotensi untuk mengubah ―budaya‖ dan ―kebiasaan‖
yang sudah ada. Melalui penyelenggaraan pendidikan anti korupsi, mahasiswa
sebagai agent of change (agen perubahan) diharapkan mampu menyuarakan
kepentingan rakyat, mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif dan mampu
menjadi watch dog lembaga-lembaga penegak hukum.167

2. Dukungan Pemerintah
Semakin masifnya praktik korupsi saat ini mendorong adanya komitmen
dari pemerintah dan seluruh pihak yang terlibat untuk berkolaborasi menangani
hal tersebut. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pencegahan
yang dielaborasikan melalui pendidikan anti korupsi dan internalisasi sikap anti
korupsi terhadap sektor publik dan privat168. World Bank menyatakan bahwa
keberhasilan gerakan anti korupsi didukung oleh koalisi yang solid antara politisi,
pejabat pemerintah, swasta, masyarakat, komunitas dan koalisi masyarakat sipil 169
Pendidikan anti korupsi dapat berhasil dengan adanya dukungan serta
keterlibatan pemerintah di dalamnya. Sayangnya di Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada pasal atau ketentuan khusus
mengenai pencegahan korupsi. Namun demikian pada level pencegahan korupsi,
Presiden telah mengeluarkan instruksi presiden terkait aksi pencegahan dan
pemberantasan korupsi170. Dukungan pemerintah diantaranya dilakukan melalui
elaborasi dengan kalangan akademik dalam menyusun kurikulum anti korupsi
terkait pelaksanaan pendidikan anti korupsi.

Experience of Hongkong ICAC, 2002, diakses dari


http://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/no69/16_P196-201.pdf
167
Pendidikan Anti Korupsi dalam Perguruan Tinggi, (Jakarta : Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI, 2011), lihat dalam Aryo P, Wibowo dan Nanang T Puspito, Peranan
Mahasiswa Dalam Gerakan Anti Korupsi, hlm. 145.
168
National Strategy of Corruption Prevention and Eradication,
https://www.unodc.org/documents/indonesia/publication/2012/Attachment_to_Perpres_55-
2012_National_Strategy_Corruption_Prevention_and_Eradication_translation_by_UNODC.pdf.
169
http://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption
170
Lihat Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2012

112
Selain penyusunan kurikulum anti korupsi, pemerintah juga berperan
dalam pemberian akses informasi publik kepada masyarakat.171 Informasi publik
tersebut diantaranya terkait putusan, peraturan perundang-undangan tindak pidana
korupsi yang dapat diakses melalui situs resmi Mahkamah Agung yang beralamat
di https://www.mahkamahagung.go.id/ . Keterbukaan informasi publik di
lingkungan pengadilan pada umumnya telah bergerak ke arah yang jauh lebih baik
dibandingkan sebelumnya. 172 Situs tersebut mengumumkan informasi-informasi
publik sesuai fungsi mereka seperti info perkembangan perkara, informasi
putusan, jaringan dokumentasi dan informasi hukum serta organisasi internal
Mahkamah Agung. Kehadiran situs ini telah membuka akses masyarakat untuk
mendapatkan informasi perkembangan perkara dan salinan putusan173 salah
satunya adalah yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
Adanya akses informasi publik berupa putusan dan informasi
perkembangan perkara tindak pidana korupsi merupakan salah satu peluang yang
baik bagi mahasiswa dalam pelaksanaan pendidikan anti korupsi. Mahasiswa
dapat melakukan studi putusan terkait pengimplementasian undang-undang,
konsistensi vonis, disparitas pemidanaan, dan ―tren‖ korupsi dalam tiap perkara
korupsi.

3. Aksi Kolaborasi Dengan Masyarakat Sipil


Aksi kolaborasi atau collective action pada dasarnya merupakan proses
kooperatif antara banyak pihak untuk bersama-sama melawan korupsi. Secara
konsep, aksi kolaborasi memiliki tujuan untuk memberikan wadah bagi publik
untuk mencegah dan memberantas korupsi menggunakan pendekatan multi aktor.
Aksi kolaborasi menghendaki sektor privat, pemerintah, dan organisasi
masyarakat sipil untuk bergabung bersama-sama mencari solusi atas
permasalahan korupsi tertentu.
Bagi pelaku usaha dan masyarakat umum, korupsi tidak lagi dapat dilihan
sebagai pilihan untuk memuluskan bisnis. Paulo Mauro menyimpulkan bahwa
korupsi memperlambat pertumbuhan ekonomi174 dan merupakan penyebab
terhambatnya arus investasi. Bagi pemerintah, pencegahan dan pemberantasan
korupsi memiliki arti penting dalam menjamin pengadministrasian keadilan
sosial. Kesamaan kepentingan tersebut merupakan peluang untuk melakukan aksi
bersama dalam mencegah dan memberantas korupsi. Harapannya, kolaborasi
tersebut menghasilkan budaya bersih dari korupsi dengan mengeliminasi celah

171
Pasal 9 ayat (1) UU Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan seluruh badan publik
untuk mengumumkan informasi yang masuk dalam kategori ―wajib disediakan dan diumumkan
secara berkala‖.
172
Anggara, dkk, Keterbukaan Informasi pada Lembaga Peradilan : Review Lima Tahun
Berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, (Jakarta :
Institute for Criminal Justice Reform, 2013).
173
Ibid.,
174
Paulo Mauro, The Persistence of Corruption and Slow Economic
Growth,http://www.imf.org/external/pubs/ft/staffp/2004/01/pdf/mauro.pdf

113
yang dapat digunakan oleh pihak tertentu untuk melakukan korupsi.
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, praktik ini sudah mulai
dikembangkan. Sinergi antara pengusaha, organisasi masyarakat sipil, dan
pemerintah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Paling tidak terdapat empat
jenis collective action yang pernah dilakukan dalam menjalankan aksi pencegahan
dan pemberantasan korupsi. Keempat aksi tersebut diantaranya (i) transparency
pact; (ii) integrity pact; (iii) principle-based initiative; dan (iv) multi-stakeholder
coalition. Berikut penjelasan singkat dari masing-masing aksi:175
1. Transparency Pact
Transparency pact seringkali digunakan dalam pengadaan barang
dan jasa. Tujuan dari aksi ini adalah membuat kompetisi dalam pengadaan
barang dan jasa menjadi lebih sehat dan adil. Transparency pact mengatur
standar pengadaan barang yang ideal seperti: tidak memberikan suap
kepada petugas; menjelaskan persyaratan atau dokumen secara terbuka
kepada seluruh perusahaan yang berminat (interested bidder); dan
ketentuan pemilihan pemenang. Negara yang pernah melakukan ini salah
satunya adalah Kolumbia.
2. Integrity Pact
Integrity pact atau biasa dikenal pakta integritas telah disusun dan
diimplentasikan oleh Transparency International di Jerman sejak periode
1990-an. Pakta integritas yang dibuat TI dikenal sebagai sebagai praktik
terbaik dalam collective action. Salah satu yang sering dibahas adalah
pakta integritas dalam pembangunan bandara Berlin. Kontraktor dan
pemerintah mendandatangani perjanjian yang mengikat untuk patuh
terhadap aturan, etik, dan standar dalam menjalankan kegiatannya.
Kepatuhan atas perjanjian tersebut dikawal oleh masyarakat sipil yang
diyakini sebagai ―prinsip terpenting‖ dalam pakta integritas.
3. Principle-Based Initiative
Principle-based initiative disusun oleh TI dengan
nama Transparency International‟s Principle for Countering Bribery.
Collective Action ini dinilai tepat untuk memperbaiki kegiatan bisnis untuk
salah satu sektor atau industri dalam jangka waktu yang lama.
4. Multi-Stakeholder Coalition
Multi-Stakeholder Coalition merupakan perluasan dari
konsep principle-based initiative karena ditambahkan mekanisme

175
Lihat Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, ―Pelaku Usaha Harus Melawan
Korupsi‖, http://mappifhui.org/2016/06/07/pelaku-usaha-harus-lawan-korupsi/, diakses pada 3 Mei
2017

114
verifikasi atas kepatuhan. Pelaku-pelaku usaha yang tidak lolos verifikasi
tidak mendapatkan sertifikat. Mereka yang tidak mendapat sertifikat dapat
dikeluarkan dari asosiasi kelompok usaha. Hal ini tentunya akan
membatasi ruang gerak bisnis mereka.
Contoh-contoh diatas tentunya dapat menjadi peluang bagi kampus untuk
menumbuhkan nilai-nilai integritas mahasiswa melalui pendidikan hukum klinis.
Pendidikan hukum klinis memberikan penekanan lebih pada peningkatan
skill/keterampilan mahasiswa yang diterapkan dengan melakukan praktik kerja
selayaknya menjalankan profesi hukum. Mahasiswa dapat belajar dari praktik
terbaik yang sudah ada saat ini untuk ikut serta dalam menggagas collective action
yang melibatkan kampus dan pihak-pihak lainnya untuk berkontribusi dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan terlibat aktif dalam gerakan
tersebut, mahasiswa dapat merasakan langsung bagaimana nilai-nilai integritas
diterapkan dalam dunia kerja.

IV. Strategi Pendidikan Hukum Klinis Menggunakan Pendekatan


Studi Terhadap Putusan Pengadilan
A. Konsep Umum Pengelolaan Klinik Hukum
Pada awalnya, pendidikan hukum klinis merupakan wadah pelibatan
mahasiswa dalam aktivitas gerakan bantuan hukum melalui Lembaga Konsultasi
dan Bantuan Hukum (LKBH) kampus. Di Indonesia, aktivitas tersebut dikelola
sebagai kegiatan ekstrakurikuler dengan supervisi dosen. Saat ini, konsep
pendidikan hukum klinik (Clinical Legal Education/CLE) sudah berkembang di
beberapa fakultas hukum. Salah satu perkembangan penting berkaitan dengan
CLE adalah mengenai integrasi mata kuliah klinik hukum ke dalam kurikulum
beberapa fakultas hukum. Dengan demikian, mahasiswa bisa mendapatkan kredit
sehingga harapannya lebih banyak lagi mahasiswa yang tertarik dengan aktivitas
klinik hukum.
Saat ini, beberapa kampus memiliki klinik hukum yang lebih luas dari
sekedar klinik hukum pidana dan perdata saja. Tidak hanya itu, pendekatan
pengajarannya pun dapat berbeda untuk masing-masing klinik hukum. Meskipun
demikian, dalam pengembangannya dibutuhkan tiga komponen yang merupakan
perekat berjalannya pendidikan hukum klinik, yaitu komponen perencanan,
komponen praktik, dan komponen refleksi.176
Komponen perencanaan merupakan tahap persiapan dimana mahasiswa
dan dosen supervisi menyusun program yang akan dilaksanakan.Walaupun
penerapannya bisa berbeda-beda di tiap kampus, klinik hukum pada dasarnya
memiliki tiga elemen utama yang diberikan kepada mahasiswa, yaitu pengetahuan
praktis (practical knowledge), keterampilan (skill), dan nilai-nilai keadilan sosial

176
Lihat Indonesian Legal Resource Center, ―Pendidikan Hukum Klinis‖,
http://www.mitrahukum.org/wp-content/uploads/2015/02/Pendidikan-Hukum-Klinis.pdf, hlm. 6.

115
(social values).177 Ketiganya merupakan karakteristik dasar dari klinik hukum.
Sehingga, dosen dan mahasiswa perlu benar-benar menyentuh ketiganya pada saat
merencanakan kegiatan klinik hukum.
Pada komponen praktik, pendekatan yang digunakan oleh masing-masing
klinik dapat bervariasi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan ketersediaan
sumber daya klinik itu sendiri. Mahasiswa harus dapat menguji kemampuannya
dan keterampilannya dalam kondisi riil dengan supervisi dari dosen atau mentor.
Oleh karenanya, asesmen perlu dilakukan sebelum mahasiswa mulai berpraktik.
Penentuan target praktik harus mempertimbangkan aspek waktu dan sumber daya
yang tersedia. Hal ini perlu diantisipasi untuk memastikan mahasiswa benar-benar
bisa fokus menyerap tiga elemen utama klinik hukum selama praktik berlangsung.
Terakhir, komponen refleksi menjadi penutup penyelenggaraan kegiatan klinik
dimana mahasiswa dan dosen akan saling bertukar pandangan mengenai
pengalaman praktik yang dilakukan selama perkuliahan. Komponen ini bertujuan
untuk memastikan pencapaian dari ketiga elemen utama klinik hukum yang
direncanakan diawal program. Refleksi juga berguna sebagai forum dimana
mahasiswa dan dosen dapat mengevaluasi penyelenggaraan klinik hukum secara
umum.

B. Strategi Klinik Hukum Antikorupsi: Studi Putusan Pengadilan Tindak


Pidana Korupsi
Studi putusan pada dasarnya merupakan kajian ilmiah dengan
menggunakan putusan sebagai objek kajiannya. Studi terhadap putusan memiliki
fungsi yang cukup penting dalam perkembangan hukum. Sebagai produk akhir
yang dikeluarkan oleh pengadilan, putusan tidak hanya berfungsi memutus
perkara tetapi juga merupakan konkretisasi penerapan hukum dan peraturan
perundang-undangan. Penerapan hukum inilah yang kemudian penting untuk
dikaji secara mendalam oleh akademisi kampus. Dengan memahami bagaiamana
hukum diterapkan, kampus memiliki landasan empiris yang perlu diperhatikan
oleh pemerintah dan pembuat undang-undang dalam rangka menutup ruang-ruang
yang sebelumnya tidak terjangkau oleh hukum positif.
Urgensi studi putusan tidak hanya berkaitan dengan proses pembuatan
undang-undang. Dalam prakteknya, putusan pengadilan diharapkan dapat
memberikan kepastian pada publik terkait penerapan hukum. Oleh karena itu,
penting bagi Mahkamah Agung dan institusi peradilan dibawahnya untuk terus
menjaga konsistensi dari putusan-putusannya. Konsistensi yang dimaksud
berkaitan dengan penerapan hukum dan juga penjatuhan hukuman.
Untuk memahami urgensi studi putusan dalam perkembangan hukum,
seorang mahasiswa perlu diperkenalkan dengan konsep diskursus hukum berbasis
putusan. Konsep tersebut tidak bermaksud meniadakan fungsi peraturan
perundang-undangan sebagai sumber hukum primer, melainkan untuk

177
Ibid, hlm. 7.

116
menekankan pentingnya pemahaman yang utuh terhadap hukum. Sehingga,
mahasiswa tidak hanya memahami hukum yang ada di dalam buku (law in book),
tetapi juga mengenai implementasi hukum (law in action).
Dalam konteks pemberantasan korupsi, studi putusan memiliki fungsi
evaluatif untuk menilai sejauh mana penegakan hukum berhasil menerapkan
peraturan perundang-undangan yang ada untuk menjerat para koruptor. Untuk itu,
ada beberapa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam studi putusan.
Pertama, mahasiswa dapat memantau persidangan pada pengadilan tindak
pidana korupsi. Pemantauan persidangan menjadi langkah awal bagi mahasiswa
untuk menilai aspek formil dalam pemeriksaan perkara. Sebelum membahas
substansi putusan, mahasiswa perlu menilai kesesuaian proses formil suatu
persidangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak. Hal
ini menjadi satu prasayarat penting guna mencapai tujuan utama dari sistem
peradilan pidana yaitu, mengungkap kebenaran materiil dan memberikan
perlindungan atas hak asasi manusia. Melalui pemantauan persidangan,
mahasiswa akan memiliki perspektif yang lengkap atas proses penjatuhan putusan
yang dilakukan oleh hakim di pengadilan tindak pidana korupsi.
Kedua, mahasiswa perlu diperkenalkan dengan pemanfaatan data putusan
untuk mendorong reformasi kebijakan pidana. Terdapat beberapa bentuk alternatif
analisis yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan data putusan pengadilan.
Mahasiswa dapat memulai dengan melakukan indeksasi putusan pengadilan
tindak pidana korupsi. Indeksasi bertujuan untuk memberikan label terhadap
putusan pengadilan berdasarkan jenis informasi yang terdapat di dalamnya.
Dengan memberikan label terhadap putusan, data yang terkumpul dapat
diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan analisis.
Pada umumnya, mahasiswa dapat melakukan analisis secara kuantitatif
dan kualitatif terhadap data tersebut. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menilai
kecenderungan dari beberapa putusan yang telah dikelompokkan terlebih dahulu.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif atau
inferensial. Pendekatan deskriptif digunakan untuk mempermudah pembaca
memahami kecenderungan yang ada dalam putusan-putusan pengadilan.
Pendekatan inferensial selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan generalisasi
atas kumpulan data putusan yang telah dikelompokkan tersebut. Melalui
pendekatan inferensial, mahasiswa dapat menilai signifikansi korelasi antara dua
atau lebih variabel. Sebagai contoh, pendekatan deskriptif dapat membantu
pembaca melihat kecenderungan hakim dalam menjatuhkan vonis
minimum/maksimum pada kasus-kasus korupsi. Lebih dalam lagi, pendekatan
inferensial dapat menganalisas korelasi antara vonis maksimum/minimum dengan
besarnya kerugian negara yang dibuktikan dalam persidangan.
Ketiga, mahasiswa dapat melakukan analisis kualitatif melalui eksaminasi
putusan pengadilan tindak pidana korupsi. Pilihan untuk melakukan eksaminasi
pada dasarnya merupakan langkah awal bagi mahasiswa untuk menguji
pemahamannya terkait aspek materiil dan formiil dalam penegakan hukum kasus-

117
kasus tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, Studi terhadap merupakan proses
analisis yang dilakukan untuk mempelajari pertimbangan pengadilan dalam
menjatuhkan vonis dan menilai dampak-dampak yang timbul dari putusan
tersebut.
Kegiatan eksaminasi putusan sepatutnya diikuti juga dengan forum dengar
pendapat dengan pihak eksternal. Hal ini bertujuan untuk memastikan analisis
yang dibuat oleh mahasiswa memiliki pertimbangan yang cukup dengan
mendapatkan masukan dari pihak luar. Dalam hal ini, mahasiswa dapat
mendengar langsung bagaimana pandangan dari pakar/ahli dalam menilai kasus
yang sedang dianalisis. Dengan demikian, kegiatan eksaminasi putusan tersebut
dapat memberikan nilai tambah intrinsik bagi kapasitas mahasiswa dan juga nilai
tambah ekstrinsik terhadap legitimasi hasil analisis yang dihasilkan.

C. Kesimpulan

Pendidikan hukum klinis memiliki tiga elemen penting yang perlu diberikan
kepada mahasiswa, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan nilai-
nilai keadilan sosial (social justice value). Hal ini yang membedakan dengan mata
kuliah lainnya yang membahas tentang hukum tindak pidana korupsi dimana
pembahasannya memfoksukan pada pengetahuan mahasiswa tentang peraturan
perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan korupsi. Di dalam
klinik antikorupsi, proses pembelajaran mahasiswa menjadi lengkap dan
komprehensif ketika mahasiswa juga diuji dengan kasus nyata. Mahasiwa perlu
memahami bagaimana cara mengimplementasikan pengetahuannya dalam praktek
dan kemudian memastikan adanya keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan
sosial. Melalui studi putusan, mahasiswa dapat melatih ketiga elemen tersebut
guna mendukung kerja-kerja aktivis dan pemangku kebijakan dalam mencegah
dan memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang adil dan tidak
memihak.

118
LEGAL PROTECTION FOR THE PEOPLE ON SMALL ISLAND
MASTERY BASED ON SOCIAL JUSTICE
Muh.Afif Mahfud and Yupitasari Saeful

Doctoral Program of Law Faculty of Diponegoro University and Magister


Program of Law Faculty of Hasanuddin University
afifmahfud4@gmail.com and yupitasarisaeful13@gmail.com
Indonesia memiliki 17. 508 pulau yang terdiri dari pulau kecil dan besar.
Pengaturan yang terkait dengan pulau kecil harus didasarkan pada keadilan
sosial dari pasal kelima pancasila. Keadilan sosial berarti perlindungan terhadap
rakyat miskin dan peningkatan kesejahteraan rakyat. hal ini berarti, akses
keadilan harus diperuntukkan bagi masyarakat miskin, dalam hal ini orang-orang
yang tinggal di pulau-pulau kecil sangat penting untuk mendapat perlindungan.
Perlindungan terhadap rakyat miskin merupakan salah satu bagian penting yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria. Berdasar pada latar belakang tersebut, terdapat dua
permasalahan yaitu: 1) bagaimana pengaruh kebijakan penguasaan pulau kecil
oleh masyarakat dan bagaimana kebijakan penguasaan pulau yang ideal yang
dapat memberi perlindungan kepada masyarakat. Penelitian ini merupakan
penelitian normatif yang didasarkan pada data sekunder. Berdasarkan analisis
diperoleh bahwa 1) Peraturan Menteri Agrarian/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penatagunaan Tanah Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil menimbulkan pengaruh negatif terhadap penguasaan
pulau oleh masyarakat lokal karena membatasi penguasaan pulau oleh
masyarakat lokal, dimana pemerintah dapat menguasai atau memanfaatkan
secara utuh suatu pulau untuk kepentingan nasional, termasuk untuk kepentingan
investasi yang menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain,
dimungkinkan penguasaan pulau kecil secara utuh oleh investor sebagai bagian
dari isi kontrak investasi. Selain itu peraturan ini juga tidak mengatur tentang
pemberian ganti kerugian kepada masyarakat atau individu yang menguasai
pulau tersebut. 2) pengaturan yang ideal terkait penguasaan pulau oleh
masyarakat kecil dimana kedua kepentingan yakni kepentingan pemerintah dan
masyarakat harus didudukkan pada suatu titik keseimbangan. Pemerintah harus
mendefinisikan secara jelas pengertian dan ruang lingkup dari kepentingan
nasional sebagai dasar dari pengambilalihan penguasaan atas pulau-pulau kecil.
Pemberian ganti rugi atas pengambilalihan tanah harus dapat meningkatkan
kualitas hidup masyarakat lokal seperti peningkatan ekonomi, sosial, dan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk membuat dan
mengimplementasikan kebijakan terkait dengan penguasaan pulau kecil harus
melibatkan masyarakat. berdasarkan analisis tersebut, peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penatagunaan

119
Tanah di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil harus ditinjau dan direvisi
kembali.
Kata kunci: perlindungan hukum, penguasaan pulau kecil dan keadilan sosial

Background
Indonesia is an archipelago state as stated in Article 25 of Indonesian Constitution
Year 1945, Indonesia is an archipelago state with between the islands
characteristic with territory, borders and rights regulated in Act. Besides,
Indonesia as an archipelago state is also taken from acknowledgement of
International Community according to UNCLOS ratification in 1982 in Law No.
17 Year 1985. Physically, Indonesia is configuration of 17.508 islands and coastal
line 81.000 km2, in which most of configuration is small islands.

Small island is an island smaller or the same as 2.000 km 2 and its ecosystem in
entirety. Most of those small islands have been people residence. Those people
has been living in that island for long time and descendent. Descendent mastery
created people acknowledgement. Such an acknowledgement will create title
which contain access and exclusivity concept. Access means people entitle to use
and take advantage from that land. Besides, exclusivity means authority for the
title owner to relegate others in that land use. The title of people need legal
protection.
Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land National Agency
Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal and Small Islands
confirm that mastery, ownership and taking of advantage on the land has been
exist and based on local wisdom. Nevertheless, in the same regulation,
government stipulate that such a mastery can be taken over by government for
national interest. This condition means that there is contrast interest between
national and individual interest.

This condition is getting worse by unclear definition and specific about national
interest. This regulation only regulate the spheres of national interest in which one
of those is economical growth. So there is a defiance between government interest
for economical growth and individual interest. In this condition, the government
can dominate the individual interest or people refusal to defend their right which
end to land conflict between both of those parties.

The solution over this problem must be balance the interest of individual and
national interest. It means individual interest must not eliminate national interest
and national interest must not sacrifice individual interest. In practice, people title
on small islands should not hamper government effort in advancing economical
sector and in another hand the government should not ignore local people interest

120
on small islands by compensating to the people owning land title over that small
island.

Analysis
Reality of Small Islands Mastery By Local People
In sketchy, small islands in Indonesia can be divided into four categories namely
1) Small island without people living in and never visited by people; 2) small
islands without any people living in but visited by the people; 3) small islands in
which people living in with limited economical advance; 4) small islands in which
people living in with good economical advance such as between island economic
or export activity. 178 It means that the mastery for half of small island mastery by
local people who live in the descendant. Mastery in descendant arise people
recognition which finally embodied in title on small island mastery. It is
according to Roscoe Pound statement that:179
It has been said that the individual in civilized society claims to control and
to apply to his purposes what he discovers and reduces to his power, what
he creates by his labor, physical or mental, what he acquires under the
prevailing social, economic or legal system by exchange, gift or succession.

Pound state that a thing can be entitled by man through three ways namely 1)
through invention, 2) through creation and 3) through a legal system. It means that
legal system is not the only source of title. Existence of island invented by people,
in this case small island, and lived in that place for long time also must be
recognized. The state must present and legitimize people title on small islands
through state authority as regulated in Article 2 Verse 2 of Indonesian Agrarian
Act.
Existence of people who master, use and take advantage over small island also
seem in data of Ministry of Marine and Fishery of Makassar City and Ministry of
Internal Affair data in 2008 as stated by Farida Patittingi that :180

Name of Island Width (Ha) Number of People


Lae-Lae 11.6 1.619 Jiwa
Samalona 2.34 82 Jiwa

178
Dahuri Rokhmin. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
Berkelanjutan dalam Farida Patittingi. 2012. Dimensi HukumPulau-Pulau Kecil Di Indonesia.
Yogyakarta: Rangkang Education.
179
Roscoe Pound. 1922. An Introduction To The Philosophy of Law. New Haven : Yale
University Press. Page. 195.
180
Cited from Farida Patittingi, 2012.Dimensi HukumPulaua pulau kecil Di Indonesia.
Yogyakarta: Rangkang Education. Page. 171

121
BarrangCaddi 4.0 1.263 Jiwa
BarangLompo 19.23 3.563 Jiwa
KodingarengLompo 14 750 KK
Langkai 26.7 500 KK
Lumu-Lumu 3.75 400 KK
Bone Tambung 5.0 450 KK

Source : Ministry of Marine and Fishery of Makassar City and Ministry of


Internal Affair. 2008

Continuously stated in this research that small islands mastered by local people
can be categorized in 2 (two) namely : 1) the mastery on island in its entirety by
particular person and 2) mastery for the parcel of that person. Mastery of this
small islands can be registered and get the title. The title is given through title
recognition because the people can prove it by actual mastery on that small island
mastery because there is no administration proofs. The giving of title to build for
person through title request based on local government recommendation.181
Besides, there is also de facto mastery on small island mastery for the people who
have already lived in and taken advantage over that small island in descendant.
Such a mastery needs recognition and legal protection from the government.
Legal protection and legal certainty from government in people ownership over
land parcels in small islands are so important in order the government not be the
victim of development process and get compensation if expropriation for national
interest happen.

Policy on Small Island Mastery : Analysis on Minister of Agrarian and Space


Management/ Head of Land National Agency Regulation No. 17 Year 2016
on Land Management in Coastal and Small Islands
The reality of small island mastery has been already stated in consideration of
Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land National Agency
Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal and Small Islands
namely the mastery, ownership, use and taking advantage over land in small
island has happened for long time based on local wisdom. So that, based on such
consideration, in Article 9 Verse (1) government can register that island parcels
and give title to the owner. In contrast, article 9 verse (3) state that for national
interest, government can master and take advantage for the entire island. Such a
regulation means that small islands can be taken over by government in its
entirety for national interest. So that, the land parcels entitled by people also can
be taken over by government for national interest. So that, there is contrast
interest between national and individual interest. National interest and people

181
Ibid page 193

122
interest must be in balance point. Individual interest should not eliminate general
interest and national interest also should not eliminate individual interest.

The Balance between National Interest and Individual Interest


The desire to balance individual interest and national interest actually has been
depicted in principle and policy of National Agrarian Law. The first is desire to
put national interest in the higher level in hierarchy of land mastery than
individual mastery. National interest can be divided into state interest and social
interest as stated by Roscoe Pound. Pound classify interest protected by law,
namely :

1. State interest
a. the interest of the state as a juristic person in the maintenance of its
personality and substance
b. the interest of the state as a guardian of social interest
2. individual interest
a. interest of personality include the protection of physical integrity
b. Interest in domestic relations mainly concerns the legal protection of
marriage, maintenance claims and legal relations
c. Interest of substance include the protection of the property, industry and
contract and the consequent legal expectation of promised advantage.
3. Social interest
a. The social interest in general security
b. The security of social institution covers the protection of domestic
relations and political and economic institutions long recognized in legal
provision
c. The social interest in general moral concerns the protection of society
against moral disruption
d. The social interest in the conservation of social resources
e. There is the social interest in general progress182

state interest and social interest as categorized by Roscoe Pound in Indonesian


regulation is stated as general interest. General interest and individual interest
must be in balance point with individual interest. In this case, must be protection
of their land parcel ownership. Such recognition is embodied in land title. Land
title has function to give legal certainty and legal protection over for land parcel
owner. Legal certainty consist of three namely, certainty on subject, certainty on
object and certainty on land status. Legal certainty can arise legal protection to

182
Compared with Paron, which said: 1) social interest :a) the efficient working of legal order.
b) national security. c) the economic prosperity of society. d) the protection of religious, moral,
humanitarian and intellectual values. e) health and racial integrity. 2) private interest : a) personal
interests; b) family interests; c) economic interests; d) political interests

123
the people. Legal protection to the people means protection to the land title
holder to relegate others. It is the essence of right.
Creating balance between all of the interest in small island mastery is an essential
thing. It is also according to substance of Indonesian House of Assemblée No. IX
Year 2001 on Agrarian Reform stipulation.Article 4 of that stipulation stress about
the importance of respect to human right. Human right is not an absolute but
relative. It is relative because limited by national interest.
Article 28 J Indonesian Constitution 1945 regulate that :
1. Everyone must respect others human right in social life
2. In doing its right and freedom, everyone must obey the limit stipulated by
regulation to guarantee recognition and respect on title and freedom of others
and for the justice according to moral, religion values, order and security in
democratic society

This regulation shows that there is limit of human right. Limit of that human right
is justice according to morality religion values, security and order in a democratic
society. Social justice can be defined as justice in which implementation based on
economical, political, social, cultural and ideological process which ascertain that
everyone has right to get all of their rights. 183Justice is fundamental principle of
the state. The state has obligation to create justice. Justice is basic element to
solve all problems in society. 184
Analysis about general interest and individual interest must be begun by
understanding the definition of general interest and individual interest. Actually,
the definition of general interest has been stated in Law No. 2 Year 2012 on Land
Providing to General Interest. In that regulation, general interest is defined as
nation, state and people interest that must be embodied by government and used to
maximize people prosperity. The question arise whether national interest in
Article 9 verse (3) Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land
National Agency Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal
and Small Islands is the same as general interest in Law No. 2 Year 2012 on Land
Providing to General Interest. If we analyze, the spheres of national interest and
general interest is very different.185 The impact must be bias of national interest
in this regulation, more over national interest must represent social and state
interest not only for a group of people.
183
Franz Magnis-Suseno. 1994. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Cetakan Keempat. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama. Page. 332
184
Franz Magnis-Suseno. 1994. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Cetakan Keempat. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama. Page. 334
185
see article 10 Law No. 2 Year 2012 on Land Providing to General Interest and compared
with article 9 verse (4) Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land National
Agency Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal and Small Islands

124
There Is No Definition, Indicator And Sphere Of National Interest
National interest in Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land
National Agency Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal
and Small Islands has no specific definition. Besides, national interest in this
regulation also has no clear indicator so that difficult to find the sphere of national
interest. Definition and indicator in this minister regulation must be specifically
and clearly determined. In order, there is no misinterpretation and reflect society
interest and not only for one party.
Article 9 verse (4) of Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land
National Agency Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal
and Small Islands regulate that national interest as stated in article (3) namely:
1. Defense and security
2. State sovereignty
3. Economical growth
4. Social and culture
5. Environmental conservation
6. Preservation of world heritage
7. Program of national strategy

Formulation of national interest sphere is very wide or not specifically formulated.


Such a formulation in praxis will enlarge expropriation of people land in small
islands by government. Moreover, interpretation can be very monolithic namely
government interpretation which can relegate people titles for national interest. At
the end, the wider of national interest in this regulation, the larger of people‘s land
expropriation potency on small island mastery.

One of national interest is economical growth. Economical growth is really


connected with investment. The relation between economical growth and
investment caused economical growth need investment support as main source of
economical growth. Investment activity will increase capital stock. Then, capital
stock will increase productivity, capacity and quality of production which is in
turn can enhance economical growth186. In this case, the government open wide
access for investment in small island management. This policy can arise defiance
between individual and economical interest as one of national interest. Based on
national interest, the government can take over people mastery on small island for
the investment interest.

Analysis On Economical Growth As National Interest

186
Rini sulistiawati. 2012. Pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja serta kesejahteraan masyarakat di Provinsi di Indonesia. jurnal Ekonomi,
Bisnis dan Kewirausahaan Volume 3 No. 1 Tahun 2012. Page. 29

125
In macro economy scheme of National Development Planning 2015-2019, the
government predict that economical growth will be 7.0% in average, inflation rate
4.0% and currency exchange Rp 11.900. To support such economy growth,
needed investment total Rp 22.534 trillion or increase almost twice than five years
before namely 2010-2014. The role of investment to national income in period
2015-2019 in average 35,4% or increase 5 (five) years before (32,6%).187 The
government stipulate assumption of national income and expenditure 2017 for
economical growth must be 5.1 % even in 2017 can attain 5.9 %. 188
In supporting policy implementation of investment is in need of regulation
namely several fixation of regulation to enhance realization and investment
namely regulation related to land and location permit. To realize that
investment target besides give easiness of access to get land title, the
government also must manage strategic planning which stipulate several
priority sectors include marine and tourism industry. 189 The desire to increase
investment through easiness and priority sector has been boosting factor of land
expropriation of small islands for investment interest.
Economical growth as one of national interest ease investment is also interesting
if it is related to the wide sphere of investment from Micro and Small Enterprise
until macro enterprise. Besides, subject and business scale can be personal and big
enterprise. Implication of very wide sphere can be negative namely foreign
investor can rule over foreign company. More over, small island mainly in outer
side of Indonesia which is very important for national defense and security.
Article 9 verse (3) of Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land
National Agency Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal
and Small Islands give possibility for government to expropriate the entire small
islands for investment interest. Area taken over by government can be object of
cooperation between government and investor. Such a cooperation can be done by
central government and local government. Authority of local government to make
such cooperation is based on Article 363 verse (1) Law No. 23 Year 2014 on
Local Government which regulate that in increasing people prosperity, local

187
Badan koordinasi penanaman modal.Rencana strategis BKPM Tahun 2015-2019.Page. 51
didownload dari
http://www2.bkpm.go.id/images/uploads/ppid/file_upload/Rencana_Strategis_%28RENSTRA%2
9_BKPM_TA_2015_-_2019.pdf Tanggal 29 April Pukul 13. 57 WITA
188
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Outlook Perekonomian Indonesia
2017 :Tantangan Menghadapi Resiko Global. Didownload dari
http://www.bappenas.go.id/files/7114/7978/1344/outlook-final-IND.pdf pukul 16.03 WIB.
189
Badan koordinasi penanaman modal. Rencana strategis BKPM Tahun 2015-2019.Page. 35
didownloaddarihttp://www2.bkpm.go.id/images/uploads/ppid/file_upload/Rencana_Strategis_%28
RENSTRA%29_BKPM_TA_2015_-_2019.pdfTanggal 29 April Pukul 13. 57 WITA

126
government can cooperate based on efficiency and effectiveness of public service
and bring benefit for both parties.
If cooperation object is local government land asset it must be based on
management right. Cooperation is the use of local government asset not used to
maintain its function and task of local government and/or to optimize local
government asset by not changing ownership. In this case, local government land
asset as object of cooperation has been regulated in Article 84 verse (1a) and
article 223 verse (1a). This cooperation can be based on local government
initiative or third party initiative. 190 Through this cooperation, land parcels of
small island firstly expropriated by the government is transferred to investor for
investment. This process shows the transfer of small islands land from people who
have already mastered it in descendant and form a community to be then
expropriated by government for national interest and at the end, mastered by
particular investor for getting economical benefit. In this process seems that
government has Enbridge the transfer of land mastery from people to investor.
More over, the expropriation of people‘s land is also not supported by regulation
on compensation. This regulation shows how state as an organization for people
prosperity and social justice has diverted from those purpose by supporting
investor and ignore people who have already lived there for long time
This regulation can be analyzed by using cybernetic theory of Talcott Parsons.
Parsons state that human action is limited by two environments namely physical
environment and ideal environment. Physical environment has a very strong
energy and ideal environment is full of value. Based on its closeness to physical
environment consecutively, the first is economical subsystem as mechanism of
adaptation, the second is political subsystem to attain the goal, the third is social
subsystem aiming to maintain integration and the last is culture aiming to
maintain the pattern. By using cybernetic theory, it seems that people interest is
social subsystem and investment is economical subsystem.
In his theory, Parsons state that closer subsystem to source of energy can press
farther subsystem from source of energy. It means that economical subsystem, in
this case for investment interest, can relegate social subsystem, or people interest
in small islands mastery. Even, the government which has farther position than
economic subsystem is also pressed by economical subsystem. So that,
government follow the desire of economical subsystem namely investor to master
small islands as investment object.

As article 9 verse (4) of this regulation state that for economical growth interest,
the government can expropriate small islands in its entirety. In that regulation

190
Muh.Afif Mahfud. Analysis on Legal Substance in Regency Land Aset Cooperation.
Proceeding International Confrence and Call for Papers (ICCP) Universitas Sebelas Maret. Page.
123

127
there is article about the right of people to get compensation if their land is
expropriated. The desire to increase economical growth by sacrificing the people
interest is not according to pancasila economical system. Substance from
pancasila economical system means that prosperous and just people as purpose of
Indonesia will be attained through economical growth but economical growth
must be based on justice principle. National economical system based
pancasilahas several principles, namely: 191
1. To pay attention and put state interest and society interest at the top position
2. To put collective interest ahead of personal and group interest
3. Justice for all, keeping the balance between right and obligation, respect of
others right
4. Not using personal right for extorting others, exaggerating and bring detriment
for general interest

Policy On Small Island Mastery Based On Social Justice


Pancasila economical system is economicalgrowth that pay attention justice
aspect by respecting others right. Respect for others right is respect for people
mastery over small islands include in term of compensation. In reality,
government to attain economical growth has not been according to pancasila
especially in respecting people right. The government action which ignore people
right can be categorized as violation of human right. Government through state
authority of national resource should not eliminate individual right. Protection to
individual interest is regulated in Article 28 G Verse (1) Indonesia Constitution
1945 that :
Every one has right on protection of individual, family, dignity and
property under his authority and has right on safety and protection from
afraid to do or not do something which is fundamental right
The substance of this article is also according to Article 28 H verse (1) and (4) of
Indonesia Constitution which regulate that :
1) Every one has right to live in prosperity materially as well as immaterially,
to live and get good and healthy environment and also right on health
service
4) Every one has right on private ownership and that ownership can not be
taken over arbitrarily

The government action which sacrifice people property in small island mastery
can cause structural poverty. Structural poverty is poverty caused by the
discrepancy of wealth distribution. It means that structural poverty happen

191
Mubyarto . 1987. Ekonomi Pancasila :Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta : LP3ES. Page.
216

128
because of structural injustice. To create structural justice, the government must
take over policy related to small island mastery must be based on social justice
value. Andreas Doweng Bolo state that social justice is based on three piles,
namely:192
1. Social justice is related to guarantee and protection of man freedom. In
modern society context, justice is related to respect for what is validly
recognized as personal rights. Prerequisite for rights is guarantee over freedom
to maintain his life
2. Social justice not only oblige the existence of social system but mechanism of
that social system must be just for all parties and its implementation must
guarantee the protection of the right. Material dimension of social justice is
not only related to wealth distribution but also physical protection for every
one. In this context, all government policy in economical distribution aims at
making a justice distribution in fulfilling people basic necessity
3. It relates to social responsibility means government obligation and social
solidarity of the people. Social justice principle is to create a balance structure
and ordered in society to create justice for all. A just social structure is
implementation of just life and for the people. The state has two obligations in
creating social justice namely to increase social prosperity and worthy life for
every citizen. The citizen is also obliged to support state according to his
capability. The social justice is also purposed to protect the poor.

Implementation of social justice piles as stated by Andreas is not according to


government action. The first pile, recognition of people right is broken down by
government because the government can expropriate the entire small islands land
for investment interest to economical growth as one of national interests. Besides,
there is no respect for individual right also seem in no compensation for people
land expropriated by government. The second pilenamely a just social system is
also not implemented small island policy. The government plead investor interest
and restrict small island people mastery. Investor as title holder can close people
access on area and resources. The third, protection for the poor is also not
according to this policy. Most of small island people live in poverty. The people
have lived in that area for long time and subsist in that island too. But through this
policy, government can expropriate people land in small island which can bring
detriment for the people economically because lost his location to subsist.
Based on that reality, the government must change the policy in small island
mastery by emphasizing protection for people who live in small islands.
Protection for the poor is not according to social justice theory of John Rawls.
Social justice theory of John Rawls recognizedifferent principlewhich emphasize

192
Andreas Doweng Bolo et.al. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta: P.T.
Kanisius. Page. 251

129
that people must give more attention for unlucky people. It happens at the time
social structure has been managed until the balance point can be attained. 193
A just social structure means distribution of wealth according to justice principle.
There are three basic principles of society in regulating wealth distribution
according to social justice principle. The first, principle of right and obligation.
This principle means that justice can be maintained if the right of every one is
protected. Secondly, reciprocity.It realtes to reward and punishment principle in
state.Third, necessity fulfillment. It is state obligation to give everyone his basic
necessity194.

People protection as the poor in small island mastery is also according to


FransMagnisSuseno opinion that state is not a neutral institution. The state must
protect the poor for eradicating poverty. 195 Recently, in small island mastery the
government put ahead investment interest than people interest. The protection of
government to investor and eliminate people right can be analyzed through
Marxist Legal Theory. Marx say that economic is factor which determine world
history. His view is based on utilitarianism which state that every action is aimed
to particular interest. He say that superior class dominate inferior class.
Domination can be politically, economically and ideologically. 196 It is also
important to see how is the role of law and land in Marx theory. In his view, land
in capitalism is mastered by rich people and ordinary people lose his land to
survive and move from his own territory. Law in capitalism is formalistic to
maintain economic interest.197
Marx opinion on capitalism which shows domination also happen in Indonesia.
investment interest for economical growth has dominated people interest to master
the land in small islands. Land in small islands is mastered by investor for
economical interest. The mastery of small island in half or entirely by investor is
legitimized by Article 9 verse (3) and article (4) Minister of Agrarian and Space
Management/ Head of Land National Agency Regulation No. 17 Year 2016 on
Land Management in Coastal and Small Islands. Domination reality of small
island mastery has inspired the arise of critical legal studiesto detach domination
of rich people to the weak or poor. Millovanovic state thatonethesis ofcritical
193
Andreas Doweng Bolo et.al. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta: P.T.
Kanisius. Page. 247
194
Mubyarto . 1987. Ekonomi Pancasila : Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta : LP3ES. Page.
65
195
Franz Magnis-Suseno. 1994. Etika Politik :Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Cetakan Keempat. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama. Page. 334
196
AdjiSamekto. 2012. Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post
Modernisme. Bandar Lampung :Indepth Publishing. Page. 78
197
Maret Leiboff dan Mark Thomas. 2004. Legal Theories in Principle. New South Wales :
Law Book Co. Page. 183

130
legal studiesis detach hierarchy structure in society because domination
legitimized through the law.198
In changing domination of investor and government to the poor, the first step is to
evaluate Minister of Agrarian and Space Management/ Head of Land National
Agency Regulation No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal and Small
Islands which cause such domination. The government must not continuously let
and support such a domination for economical growth. It is caused there must be
no regulation which sacrifice particular people interest moreover the poor. In this
context, general interest must not eliminate individual. Both of those interests
must be in balance position. Moreover, economical growth as reason to legitimize
such domination has not brought impact for the society but only particular group
or people mainly investor. It is supported by data that economical growth is not
enjoyed by the poor. Based on House of Representative data, the increasing of
economical growth is enjoyed by 20% of the rich and 40% of middle income
people. It is also according to GINI ratio which depict income discrepancy. GINI
ratio is continuously increasing in 2005-2013. In 2005-2007, rate of economical
growth is 5.85% with coefficient 0.35. In 2011-2013 with higher economical
growth namely 6.1%, the discrepancy is higher with GINI ratio 0.41. In 201, 20%
of Indonesian population enjoy 41.24% of economical growth and increase until
48.5% in 2013.199
It seems that economical growth is not followed by the decreasing of income
discrepancy or people life. So that, put economical growth as reason of small
island expropriation by people must be reevaluated. However, this expropriation
an decrease people life quality.

Conclusion
Land management in coastal and small islands enter a new phase through Minister
of Agrarian and Space Management/ Head of Land National Agency Regulation
No. 17 Year 2016 on Land Management in Coastal and Small Islands. This
regulation confirm that land mastery in small island can be register and entitled.
Nevertheless, if the government needs that small island, it can expropriate the
entire island. National interest in this regulation has no indicator and clear
definition only there are several spheres which is categorized as national interest,
one of those is economical growth. In praxis, economical growth can be the
increasing of investment in small islands. So that, there are two contrast interest
namely national interest and individual interest which is unavoidable. National
interest must not eliminate individual interest and in turn, individual interest must

198
Dragan Millovanovic. 1994. A premier In The Sociology of Law, second edition. New
York : Harrow and Heston. Page. 63
199
Biro analisis anggaran dan pelaksanaan APBN. 2014. Capaian Pertumbuhan Ekonomi
Berkualitas di Indonesia. Sekretariat Jenderal DPR RI. Page. 4-5

131
not hamper national interest. Both of those interest should be put in balance
position. Balance position can be attained if government policy is aimed at social
justice. Government policy based on social justice can be done through protection
of people ownership in form of land title and just social structure through just
wealth distribution.

132
Bibliography
Adji Samekto. 2012. Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran
Menuju Post Modernisme. Bandar Lampung :Indepth Publishing.

Andreas Doweng Bolo et.al. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas.


Yogyakarta: P.T. Kanisius.

Biro analisis anggaran dan pelaksanaan APBN. 2014. Capaian


Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas di Indonesia. Sekretariat Jenderal DPR
RI.

Dragan Millovanovic. 1994. A premier In The Sociology of Law, second


edition. New York : Harrow and Heston.

Farida Patittingi. 2012. Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia.


Yogyakarta: Rangkang Education.

Franz Magnis-Suseno. 1994. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern, Cetakan Keempat. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Maret Leiboff dan Mark Thomas. 2004. Legal Theories in Principle. New
South Wales : Law Book Co.

Mubyarto . 1987. Ekonomi Pancasila : Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta :


LP3ES.

Muh. Afif Mahfud. Analysis on Legal Substance in Regency Land Aset


Cooperation. Proceeding International Confrence and Call for Papers (ICCP)
Universitas Sebelas Maret.

Rinisulistiawati. 2012. Pengaruh Investasi Terhadap Pertumbuhan


Ekonomi Dan Penyerapan Tenaga Kerja Serta Kesejahteraan Masyarakat
Di Provinsi Di Indonesia. jurnal Ekonomi, Bisnis dan Kewirausahaan Volume 3
No. 1 Tahun 2012.

Roscoe Pound. 1922. An Introduction To The Philosophy of Law. New


Haven : Yale University Press.

Badan Koordinasi Penanaman Modal. Rencana strategis BKPM Tahun 2015-


2019.Hlm. 51 didownload dari
http://www2.bkpm.go.id/images/uploads/ppid/file_upload/Rencana_Strategis_%2
8RENSTRA%29_BKPM_TA_2015_-_2019.pdf Tanggal 29 April Pukul 13. 57
WITA

133
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Outlook
Perekonomian Indonesia 2017 :Tantangan Menghadapi Resiko Global.
Didownload dari http://www.bappenas.go.id/files/7114/7978/1344/outlook-final-
IND.pdf pukul 16.03 WIB.
Badan koordinasi penanaman modal. Rencana strategis BKPM Tahun 2015-
2019.Hlm. 35
didownloaddarihttp://www2.bkpm.go.id/images/uploads/ppid/file_upload/Rencan
a_Strategis_%28RENSTRA%29_BKPM_TA_2015_-_2019.pdfTanggal 29 April
Pukul 13. 57 WITA

134
ASPEK HUKUM PENDAFTARAN TANAH HAK KOMUNAL
Oleh :
Ulfa Apriani Hasan, Adzah Rawaeni, Monica Dewi Luqman, Evelyn Lay

ABSTRAK
Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan Hak Pakai tanah oleh
individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota
masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau
melepaskan haknya atas tanah yang dibuka kepada anggota dari masyarakat lain
atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu
yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut. Penelitian ini
tergolong penelitian pustaka atau literature dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Syarat-syarat dan prosedur pendaftaran Hak Milik atas tanah yang
berasal dari Hak Ulayat dapat dilakukan dengan menyiapkan dokumen
persyaratan, membuat dan menyampaikan surat permohonan, membayar biaya
permohonan, menerima surat keputusan. Selain dari itu dapat juga dilihat dalam
Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan mengenai pemberian Hak Milik atas tanah
(baru) yang dikuasai Negara dan atas hak pengolahan diatur dalam Pasal 22
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak
Pengolahan.
Kata kunci: Pendaftaran tanah hak komunal

PENDAHULUAN
Hukum agraria didalamnya memuat berbagai macam hak penguasaan atas
tanah. Beberapa hal penting yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) adalah penetapan tentang jenjang kepemilikan hak atas penguasaan tanah
dan serangkaian wewenang, larangan, dan kewajiban bagi pemegang hak untuk
memanfaatkan dan menggunakan tanah yang telah dimilikinya tersebut
(Simanjuntak, 2012).
Beberapa pasal penting dalam hukum agraria yang berlandaskan Undang-
Undang Pokok Agraria atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah tentang
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa
Bangunan, Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak
Guna Ruang Angkasa, Hak Tanah untuk Keperluan Sosial.
Tanah bagi kehidupan mengandung makna yang multidimensional. Karena
makna yang multidimensional tersebut ada kecenderungan, bahwa orang yang
memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-

135
haknya dilanggar. Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun
negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

―Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang
selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Dalam UUPA kita lihat adanya
perbedaan pengertian bumi dan tanah. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat
dari kedua pasal, yakni Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang
Pokok Agraria menyatakan:

―Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk tubuh bumi


dibawahnya serta yang berada dibawah air.‖ Pasal tersebut diatas
memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah bumi.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria pengertian bumi meliputi
permukaan bumi (yang disebut tanah) berikut apa yang ada dibawahnya
yang berada dibawah air.‖

―Atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam-macam


hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan
dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain atau badan hukum.‖
Dominasi kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanah dibidang
ekonomi diwujudkan melalui pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan UUPA
dengan berbagai jenis hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha dan sebagainya. Akibat pemanfaatan tanah sesuai dengan kebutuhan
manusia melalui perbuatan hukum sering menimbulkan hubungan hukum sebagai
contoh pemilikan hak atas tanah. Selain itu tanah juga sering menjadi obyek yang
sangat subur untuk dijadikan ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok
(Budiman, 1996).

Penguasaan tanah di Indonesia sampai saat ini dibalut kekhawatiran dari


semua pihak baik dari masyarakat, swasta, maupun instansi pemerintah. Hal ini
dikarenakan legalisasi alas hak atas tanah menimbulkan banyak permasalahan
hukum. Salah satu penyebabnya adalah karena masih terjadi benturan konsep
penguasaan tanah secara hukum adat dengan konsep penguasaan tanah
berdasarkan peraturan perundang-undangan positif yang berlaku (Kalo, 2006).
Lebih lanjut, menurut Kalo (2006), hak menguasai negara dan hak
penguasaan tanah menurut hukum adat (hak ulayat) perlu mendapatkan legalisasi,
sehingga hak-hak atas tanah yang timbul atas dasar hak menguasai negara dan hak

136
ulayat, yang diberikan kepada Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia dalam
bentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan lain-lain perlu
didaftarkan untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum.

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah


merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap
anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah
terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah
tersebut dapat menjadi Hak Milik secara individual (Kalo, 2006).
Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan Hak Pakai
tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh
anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau
melepaskan haknya atas tanah yang dibuka kepada anggota dari masyarakat lain
atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu
yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut (Wignjodipoero, 1984).
Hak ulayat, menurut Kalo (2006), mengandung aspek hukum privat, yaitu
unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan aspek hukum publik
yaitu tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tanah
bersama termasuk bidang hokum administrasi negara, dimana pelaksanaannya
dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para ketua
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi dilingkungan masyarakat hukum adat bersangkutan.
Hak-hak perseorangan atas sebagian tanah tersebut baik langsung maupun tidak
langsung adalah bersumber dari padanya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji apa saja
yang menjadi syarat-syarat pendaftaran tanah Komunal dan bagaimana prosedur
pendaftaran tanah komunal
METODE
Penelitian ini tergolong penelitian pustaka atau literatur. Dalam penelitian
hukum, jenis penelitian ini masuk dalam kategori penelitian yuridis normative
atau penelitian hukum kepustakaan. Oleh karenanya dalam penelitian ini bahan
pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai
data sekunder (Soekanto dan Maudji, 2003).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan
menekankan analisisnya pada proses penyimpulan komparasi (membandingkan),
serta pada analisis terhadap dinamika hubungan fenomena yang diamati dengan
menggunakan logika ilmiah (Azmar, 2001).

137
PEMBAHASAN

Pendaftaran Tanah
Pendaftaran berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu
istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan
kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin
Capitastrum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk
pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam artian yang tegas Cadastre
adalah record (rekaman dari lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya
dan untuk kepentingan perpajakan) (Parlindungan, 1999).
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
Pendaftaran tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum, pendaftaran
tanah ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
pemerintah.
Pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah suatu rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa
pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang
ada diwilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum
dibidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.
Dilihat cara pelaksanaannya pendaftaran tanah dapat dibagi menjadi 2
(dua) (Simanjuntak, 2012):
a. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua
obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau sebagian
wilayah suatu desa/kelurahan.
b. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual
atau masal.
Secara garis besar tujuan pendaftaran tanah dinyatakan dalam Pasal 3
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

138
pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya
diberikan sertipikat sebagai tanda buktinya.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
A. Syarat Pendaftaran Tanah Komunal
Adapun syarat-syarat yang dipenuhi agar pendaftaran tanah dapat
menjamin kepastian hukum adalah (Lubis, 2010):
1. Tersedianya peta bidang tanah yang merupakan hasil pengukuran secara
kadasteral yang dapat dipakai untuk rekonstruksi batas dilapangan dan
batasbatasnya merupakan batas yang sah menurut hukum.
2. Tersedianya daftar umum bidang-bidang tanah yang dapat membuktikan
pemegang hak yang terdaftar sebagai pemegang hak yang sah menurut
hukum.
3. Terpeliharanya daftar umum pendaftaran tanah yang selalu mutakhir,
yakni setiap perubahan data mengenai hak atas tanah seperti peralihan hak
tercatat dalam daftar umum.
Selain dari itu syarat-syarat pendaftaran Hak Milik atas tanah yang berasal
dari Hak Ulayat dapat dilihat dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi:

Pasal 24 : (1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang
berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-
alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti
tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia
Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau
oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah
secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak,
pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-
alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan
penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20
(dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh
pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan
syarat:
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan
secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang
berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang
yang dapat dipercaya.

139
b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau
desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Pasal 25 (1) Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti sebagaimana
dimaksud Pasal 24 dilakukan pengumpulan dan penelitian
data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan oleh
Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah
secara sporadik.
(2) Hasil penelitian alat-alat bukti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam suatu daftar isian yang ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 26 : (1) Daftar isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
beserta peta bidang atau bidang-bidang tanah yang
bersangkutan sebagai hasil pengukuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) diumumkan selama 30
(tiga puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara
sporadik untuk memberi kesempatan kepada pihak yang
berkepentingan mengajukan keberatan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
di Kantor Panitia Ajudikasi dan Kantor Kepala
Desa/Kelurahan letak tanah yang bersangkutan dalam
pendaftaran tanah secara sistematik atau di kantor pertanahan
dan kantor kepala desa/kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dalam pendaftaran tanah secara sporadik serta
di tempat lain yang dianggap perlu.
(3) Selain pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), dalam hal pendaftaran tanah secara sporadik
individual, pengumuman dapat dilakukan melalui media
massa.
(4) Ketenttuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 27 : (1) Jika dalam jangka waktu pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ada yang mengajukan
keberatan mengenai data fisik dan atau data yuridis yang
diumumkan, Ketua Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik mengusahakan agar
secepatnya keberatan yang diajukan diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat.

140
(2) Jika usaha penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawa hasil,
dibuatkan berita acara penyelesaian dan jika penyelesaian
yang dimaksudkan mengakibatkan perubahan pada apa yang
diumumkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1), perubahan tersebut diadakan pada peta
bidang-bidang tanah dan atau daftar isian yang bersangkutan.
(3) Jika usaha penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan
atau tidak membawa hasil, Ketua Panitia Ajudikasi dalam
pendaftaran tanah secara sistematik dan Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadic
memberitahukan secara tetulis kepadapihak yang
mengajukan keberatan agar mengajukan gugatan mengenai
data fisik dan atau data yuridis yang disengketakan ke
Pengadilan.
Pasal 28 : (1) Setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) berakhir, data fisik dan data yuridis
yang diumumkan tersebut oleh Panitia Ajudikasi dalam
pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik disahkan
dengan suatu berita acara yang bentuknya ditetapkan oleh
Menteri.
(2) Jika setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) masih ada
kekurang kelengkapan data fisik dan atau data yuridis yang
bersangkutan atau masih ada keberatan yang belum
diselesaikan, pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan catatan mengenai hal-hal yang belum
lengkap dan atau keberatan yang belum diselesaikan.
(3) Berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi dasar untuk:
a. Pembukuan hak atas tanah yang bersangkutan dalam
buku tanah.
b. Pengakuan hak atas tanah.
c. Pemberian hak atas tanah.

Ketentuan mengenai pemberian Hak Milik atas tanah (baru) yang dikuasai
negara dan atas hak pengolahan diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan
Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengolahan. Pasal 22 ditegaskan ada 3 (tiga) hal
yang menjadi dasar hak atas Tanah:

141
a. Menurut Hukum Adat.
b. Karena Ketentuan Undang-Undang.
c. Karena Penetapan Pemerintah.
Terjadinya hak milik berdasarkan hukum adat yaitu yang diatur pada Pasal
16 UUPA bahwa hak-hak tanah berasal dari hukum adat atas seijin masyarakat
adat dan tanah yang telah diusahakan tersebut secara terus menerus bahkan turun-
temurun dapat diakui sebagai Hak Milik.
Terjadinya Hak Milik berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu
berdasarkan konversi sebagaimana dimaksud pada ketentuan kedua konversi
UUPA, yakni:
a. Konversi tanah-tanah eks hak eigendom kepunyaan Warga Negara
Indonesia (yang dibuktikan pada tanggal 24 September 1960), dikonversi
menjadi hak milik.
b. Konversi hak milik adat (hak-hak dapat atas tanah) kepunyaan Warga
Negara Indonesia dikonversi menjadi hak milik.
Prosedur Pendaftaran Tanah Komunal
Adapun langkah-langkah yang harus dilalui dalam pendaftaran hak ulayat
ini antara lain masalah lembaga konversi:

Langkah 1 : Menyiapkan dokumen persyaratan


Menyiapkan paket dokumen berikut yang akan menyertai
Surat Permohonan, sebagai berikut:
a. Fotocopy KTP (bila perorangan) atau Akta Pendirian (bila
Badan Hukum).
b. Pernyataan tertulis mengenai jumlah bidang luas dan
status hak tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon,
termasuk bidang tanah negara yang dimohon.
Langkah 2 : Membuat dan menyampaikan surat permohonan
a. Membuat surat permohonan Hak Milik atas tanah negara
yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Melampirkan dokumen persyaratan dilangkah 1.
b. Sampaikan surat permohonan yang sudah lengkap tersebut
kepada Kantor Pertanahan melalui sub bagian tata usaha
dan meminta tanda bukti terima surat dan berkas
permohonan.
Langkah 3 : Membayar biaya permohonan
Membayar segala biaya permohonan setelah menerima surat
pemberitahuan dari kantor pertanahan.
Langkah 4 : Menerima surat keputusan
Menerima surat keputusan pemberian hak milik atas tanah
Negara untuk atas nama pemohon, yang selanjutnya disebut
penerima hak. Surat permohonan bisa ditolak. Isyarat bahwa

142
surat permohonan akan ditolak adalah tidak adanya langkah
ketiga, melainkan langsung ke langkah 4 berupa SK
Penolakan.
Dalam hukum adat (recht verwaarkling) tentang pendaftaran tanah, diatur
dalam PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menggantikan PP No. 10
tahun 1961, yang mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana
diperintahkan dalam pasal 19 UUPA, PP tersebut diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 57 tahun 1997, sedang Penjelasannya dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696. Berlakunya
hukum adat (rechtverwaarkling) pada pendaftaran tanah dapat dilihat dalam
rumusan Pasal 24 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagai
berikut:
1. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut
berupa buktibukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam
pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan
dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar
hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
2. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan
selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran dan pendahuluan-pendahuluannya, dengan syarat:
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh
kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun
pihak lainnya.
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997,
meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
b. Tanah Hak Pengelolaan;
c. Tanah Wakaf;
d. Tanah Hak Milik atas satuan rumah susun;
e. Hak Tanggungan; dan
f. Tanah Negara.
Sebelum diterbitkannya sertipikat tanah hal pertama kali yang harus
dengan dilakukannya pendaftaran tanah. Dalam pendaftaran tanah tersebut ada 3

143
kegiatan yang harus dipenuhi untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah yaitu
dengan cara:
1. Mengumpulkan data fisik
Adalah data tentang tanah yang meliputi letak tanah, batas-batasnya, luas, ada
tidaknya bangunan diatasnya. Pertama kali yang harus dilakukan adalah
menentukan lokasi tanahnya terlebih dahulu Setelah diketahui letak tanahnya
maka dilakukan penetapan batas-batas tanah yang ditunjukkan oleh pemilik
tanah. Penetapan batasbatas tanah ini dilakukan bersama-sama antara pemilik
tanah dengan pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah tersebut. Hal ini
dilakukan untuk menghindari adanya sengketa batas dalam pembuatan
sertipikat. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan setelah diketahui batas-
batasnya adalah melakukan pengukuran untuk mengetahui luas tanahnya.
Hasil dari pengumpulan dari data fisik tersebut dituangkan dalam suatu
skema/denah isian yang disebut surat ukur. Surat ukur tersebut dibuat
rangkap 2.
2. Mengumpulkan data yuridis
Data yuridis meliputi:
 Status hak atas tanahnya.
 Pemilik tanahnya.
 Ada atau tidak beban lain diatas tanah tersebut.
Dilakukan penelitian terhadap data tersebut. Hasil data tersebut setelah diteliti
dan dinyatakan lengkap maka dibuatlah daftar isian yang disebut buku tanah.
3. Pembuatan sertipikat hak atas tanah
Setelah data fisik dan data yuridis lengkap, hasil dari data yuridis yang berupa
buku tanah dibuatlah salinan yang disebut salinan buku tanah dilampiri surat
ukur dijilid menjadi satu kemudian diberi sampul yang bergambar garuda.
Inilah yang disebut sertipikat hak atas tanah. Sedangkan untuk buku tanah
dan surat ukur disimpan di Kantor Pertanahan sebagai arsip dari tanah yang
bersangkutan. Setelah itu sertipikat diserahkan kepada pemegang hak atas
tanah sebagai alat bukti. Sertipikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang
namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang
hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya.
Keberadaan hak ulayat di suatu daerah akan dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah, dan bila batas-batasnya dapat ditentukan menurut tata cara
pendaftaran tanah, batas tersebut digambarkan pada peta dasar pendaftaran tanah
dan tanah dicatat dalam daftar tanah. Walaupun dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran, tetapi terhadap tanah ulayat tidak diterbitkan sertipikat. Karena
subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan orang
perseorangan dan bukan kepala persekutuan adat.
Kepala persekutuan adat adalah pelaksana kewenangan masyarakat hukum
adat, dalam kedudukannya selaku petugas masyarakat hukum yang bersangkutan.
Kewenangan mengatur hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan

144
wilayahnya dilaksanakan menurut hukum adat, yaitu norma-norma yang hidup
dalam masyarakat hukum adat yang dipatuhi dengan mempunyai sanksi.
Adapun aktifitas Kepala Adat dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu:
1. Tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat
antara tanah persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu.
2. Penyelesaian hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran
hukum (Preventieve Rechtzorg) supaya hukum dapat berjalan semestinya.
3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu
dilanggar (Repseive Reshtszorg).
Dengan demikian Kepala Adat didalam segala tindakannya dan dalam
memegang adat itu ia selalu memperhatikan perubahan-perubahan. Adanya
pertumbuhan hukum, sehingga dibawah pimpinan dan pengawasan Kepala Adat
yang sangat penting adalah pekerjaan dilapangan atau sebagai hakim perdamaian
desa. Apabila ada perselisihan atau perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan hukum adat, maka Kepala Adat bertindak untuk memulihkan perdamaian
adat, memilihkan keseimbangan didalam suasana desa serta memulihkan hukum.

PENUTUP
Kesimpulan
Syarat-syarat dan prosedur pendaftaran Hak Milik atas tanah yang
berasal dari Hak Ulayat dapat dilakukan dengan menyiapkan dokumen
persyaratan, membuat dan menyampaikan surat permohonan, membayar biaya
permohonan, menerima surat keputusan. Selain dari itu dapat juga dilihat dalam
Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan mengenai pemberian Hak Milik atas tanah
(baru) yang dikuasai Negara dan atas hak pengolahan diatur dalam Pasal 22
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak
Pengolahan.
Saran
Perlu adanya persamaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat
hukum adat mengenai eksistensi dan kedudukan hukum hak ulayat dengan jalan
peningkatan penyuluhan hukum di bidang pertanahan, terutama yang berkaitan
dengan tanah ulayat.

145
DAFTARA PUSTAKA
Azmar, Saifuddin. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Badan Pertanahan Nasional, 1989. Himpunan Karya Tulis Pendaftaran, Jakarta:


Maret, 1989.
Budiman, Arif. 1996. Fungsi Tanah dan Kapitalis, Jakarta: Sinar Grafika

Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan.

Kalo, Syafruddin. 2006. Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak


Atas Tanah Di Indonesia: Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Lasmaria Simanjuntak, Rebekka. 2012. Tinjauan Yuridis Atas Pensertifikatan
Tanah yang Berasal dari Hak Ulayat (Studi Kasus Putusan MA
No. 274/K/PDT/2005). Tesis. Univestas Sumatera Utara: Medan.
Lubis, Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis. 2010. Hukum Pendaftaran Tanah,
Bandung: CV. Mandar Maju.

Parlindungan, A.P. 1999. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung : Mandar


Maju.
Soekanto dan Maudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Rajawali.
Wignjodipoero, Soerojo. 1984. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta:
Gunung Agung.

146
PERANAN PENTING MAHASISWA DALAM MENDORONG AKSES
TERHADAP KEADILAN

Wanodyo Sulistyani, S.H.,M.H.,LL.M.


Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Abstrak
Secara teoritis, keadilan sosial merupakan kajian atas perubahan nilai-nilai,
politik, dan bentuk-bentuk institusional terkait dengan tuntutan atas kesetaraan,
demokrasi, dan kebebasan dalam iklim dunia modern. Akan tetapi, perubahan
serta pemenuhan tuntutan atas keadilan sosial ini dapat terhambat dengan adanya
korupsi, yang menyebabkan negara gagal untuk memberikan jaminan atas akses
masyarakat terhadap keadilan sosial. Sehingga untuk mengatasinya, negara terus
menerus melakukan terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi, tidak
terkecuali di Indonesia. Pelibatan masyarakat untuk menjadi bagian dari upaya
pemberantasan korupsi menjadi hal yang penting dilakukan. Hal ini ditunjukkan
dengan maraknya gerakan-gerakan anti korupsi di masyarakat, misalnya
konsolidasi gerakan anti korupsi berbasis akademisi dan kampus di Indonesia,
atau melalui kegiatan di dalam klinik anti korupsi. Namun, berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada
tahun 2015 mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2014 dan 2013.
Tahun 2015, IPAK Indonesia adalah 3,59, sedangkan berturut-turut tahun 2014
dan 2013 adalah 3,61 dan 3,64 dengan skala 0-5, dimana 0 menunjukkan bahwa
masyarakat permisif terhadap korupsi dan 5 menunjukkan bahwa masyarakat
berperilaku anti korupsi. Demikian juga berdasarkan Corruption Perception Index
(CPI), skor Indonesia adalah 37, dengan skala 0 (sangat korup) dan 100 (sangat
bersih/tidak korup), yang artinya Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara
yang tingkat korupsinya masih tinggi. Data yang menunjukkan fakta tersebut
tentu saja dapat menjadi hal yang berpotensi menghambat gerakan-gerakan anti
korupsi di Indonesia, tidak terkecuali gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
mahasiswa. Sehingga disini penting agar mahasiswa mampu mengatasi hambatan
dalam menyebarkan nilai-nilai anti korupsi melalui gerakan-gerakan anti korupsi
yang dilakukannya. Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa memiliki peran
yang penting sebagai agen perubahan (agent of change) untuk melakukan
perubahan di dalam masyarakat dari masyarakat yang permisif terhadap korupsi
menjadi berperilaku anti korupsi. Bahkan dalam perkembangannya, gerakan-
gerakan anti korupsi yang dilakukan mahasiswa ini dilakukan juga di beberapa
negara, seperti Thailand, dan Vietnam serta beberapa Negara lainnya. Gerakan-
gerakan ini juga mendapatkan perhatian dari beberapa lembaga seperti United
Nations Development Programme (UNDP) dan Transparansi Internasional.

147
Didalam artikel ini pertama-tama akan dibahas mengenai pentingnya peran
mahasiswa dalam gerakan anti korupsi yang dapat berdampak pada pemenuhan
akan akses terhadap keadilan sosial di Indonesia. Berikutnya, akan diuraikan
mengenai gerakan-gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa di
beberapa negara serta program-program yang mendukung gerakan anti korupsi
tersebut. Selanjutnya, akan diuraikan gerakan anti korupsi di Indonesia, serta fakta
pengaruh maraknya korupsi terhadap pemenuhan akan akses atas keadilan sosial
di Indonesia. Terakhir akan dibahas mengenai meningkatkan peran serta
mahasiswa dalam gerakan anti korupsi sebagai tuntutan atas kewajiban negara
dalam menjamin terpenuhinya akses atas keadilan sosial di Indonesia.

Kata kunci: Gerakan Anti Korupsi, Keadilan Sosial, Mahasiswa.

A. Latar Belakang

Indonesia masih dipersepsikan sebagai Negara yang korup. Hal ini


terbukti dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Transparansi Internasional. Berdasarkan data BPS, Indeks Perilaku Anti
Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2015 mengalami penurunan
dibandingkan pada tahun 2014 dan 2013. Tahun 2015, IPAK Indonesia adalah
3,59, sedangkan berturut-turut tahun 2014 dan 2013 adalah 3,61 dan 3,64
dengan skala 0-5, dimana 0 menunjukkan bahwa masyarakat permisif
terhadap korupsi dan 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku anti
korupsi.200 Demikian juga berdasarkan Corruption Perception Index (CPI),
skor Indonesia adalah 37, dengan skala 0 (sangat korup) dan 100 (sangat
bersih/tidak korup).201
Korupsi menjadi masalah serius yang harus ditangani oleh Indonesia, baik
oleh pemerintah maupun masyarakat. Upaya-upaya penanganan terhadap
korupsi baik secara represif telah dilakukan, bahkan lembaga khusus anti
korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibentuk dengan dasar
bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).
Akan tetapi, kesemua titik berat pelaksana upaya penanganan korupsi
dibebankan pada aparat penegak hukum. Hal ini menyebabkan upaya
pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif. Maka disini diperlukan juga
peran serta dari masyarakat.
Wacana untuk menerapkan strategi anti korupsi menjadi penting karena
melihat pada dampak yang ditimbulkan dari korupsi. Menurut KPK, terdapat
200
Badan Pusat Statistik, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2015 Sebesar 3,59 Pada Skala 0 Sampai 5,
https://www.bps.go.id/brs/view/id/1276, diunduh pada tanggal 6 Februari 2017.
201
Transparency International, Corruption Perception Index 2016,
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2016, diunduh pada tanggal 6 Februari 2017.

148
setidaknya 5 dampak korupsi, yakni kemiskinan, pengangguran, hutang luar
negeri, kerusakan alam, dan dampak sosial.202 Dari dampak-dampak tersebut,
maka timbul hambatan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap
keadilan sosial.
Secara teoritis, keadilan sosial merupakan kajian atas perubahan nilai-
nilai, politik, dan bentuk-bentuk institusional terkait dengan tuntutan atas
kesetaraan, demokrasi, dan kebebasan dalam iklim dunia modern. Keadilan
sosial didefinisikan sebagai proses bekerja terhadap dan kondisi yang dapat
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) dan potensi setiap orang agar dapat
hidup secara produktif dan memberdayakan masyarakat dengan partisipasinya
di dalam masyarakat global.203Basic needs disini tidak semata-mata hanya
makanan, pakaian, dan tempat tinggal; melainkan juga pemenuhan akan
perasaan aman, nyaman, dan terayomi. Selanjutnya untuk meningkatkan
potensi masyarakat, maka haruslah dipenuhi kebutuhan atas pendidikan,
kesehatan, sebagaimana juga perlunya menumbuhkan harga diri, dan
membuka pekuang untuk mencapai mimpi mereka.204
Akan tetapi, perubahan serta pemenuhan tuntutan atas keadilan sosial ini
dapat terhambat dengan adanya korupsi, yang menyebabkan negara gagal
untuk memberikan jaminan atas akses masyarakat terhadap keadilan sosial.
Tidak terkecuali di Indonesia, misalnya meskipun anggaran untuk pendidikan
cukup tinggi, akan tetapi faktanya masih banyak sekolah rusak, meningkatnya
jumlah anak putus sekolan, dan masih maraknya pungutan yang membebani
orangtua.205
Pelibatan masyarakat untuk menjadi bagian dari upaya pemberantasan
korupsi menjadi hal yang penting dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan
maraknya gerakan-gerakan anti korupsi di masyarakat, misalnya konsolidasi
gerakan anti korupsi berbasis akademisi dan kampus di Indonesia, atau
melalui kegiatan di dalam klinik anti korupsi. Dalam gerakan ini, mahasiswa
memainkan peranan penting.
Mahasiswa disasar sebagai agen perubahan (agent of change) untuk ambil
bagian dalam gerakan anti korupsi. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan-
gerakan perubahan bukanlah hal yang baru, banyak perubahan yang terjadi
karena gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Memperhatikan hal
tersebut, maka menarik untuk mengkaji peran mahasiswa dalam perubahan

202
Anonim, KPK: Ini 5 Fakta Dampak Korupsi di Indonesia, 3 Desember 2015,
http://www.berberita.com/2015/12/kpk-ini-5-fakta-dampak-korupsi-di-indonesia.html, diunduh pada tanggal 5 Mei 2017.
203
Rahima C. Wade, Sosial Studies for Sosial Justice: Teaching Strategies for the Elementary Classroom, Teachers
College Press, 2007, hlm. 5.
204
Idem.
205
Febri Hendri, Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita, http://www.antikorupsi.org/en/content/korupsi-
menggerogoti-dunia-pendidikan-kita, diunduh pada tanggal 06 Mei 2017.

149
perilaku di dalam masyarakat guna menumbuhkan budaya anti korupsi dengan
segala tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam menjalankan perannya
tersebut. Gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa tidak hanya
terjadi di Indonesia, melainkan juga di Negara-negara lain seperti Thailand,
dan Vietnam serta Negara-negara lainnya yang umumnya diinisiasi oleh
lembaga-lembaga internasional seperti United Nations Development
Programme (UNDP) dan Transparansi Internasional (TI).
Lebih lanjut, didirikannya klinik-klinik anti-korupsi di fakultas-fakultas
hukum di Indonesia merupakan salah satu bentuk gerakan anti-korupsi yang
dilakukan oleh mahasiswa. Mengingat sejarah pembentukan klinik-klinik
hukum di beberapa Negara yang diinisiasi oleh mahasiswa, maka adanya
klinik anti-korupsi merupakan sarana yang tepat untuk ikut andil dalam upaya
pemberantasan korupsi.
Banyak tantangan yang dihadapi dalam menjalankan klinik anti korupsi.
Sebagai mata kuliah praktikum dengan beban tugas yang lebih berat bagi
mahasiswa dibandingkan mata kuliah regular lainnya hanyalah salah satu
tantangan yang membuat mata kuliah ini kurang menarik minat mahasiswa.
Berikutnya tantangan datang dari mahasiswa itu sendiri, yakni masih belum
terpaparnya mahasiswa dengan realita-realita terkait akses terhadap keadilan
sosial telah membuat mereka cenderung abai dengan nilai-nilai anti korupsi.
Terakhir adalah belum terintergrasinya nilai-nilai anti korupsi, baik dalam
kurikulum maupun dalam kehidupan kampus sehari-hari. Menyadari
tantangan-tantangan tersebut, sehingga penting untuk memberikan gambaran
mengenai pentingnya peran mahasiswa dalam mendorong lebih terbukanya
akses terhadap keadilan sosial bagi masyarakat.
Didalam artikel ini pertama-tama akan dibahas mengenai pentingnya
peran mahasiswa dalam gerakan anti korupsi yang dapat berdampak pada
pemenuhan akan akses terhadap keadilan sosial di Indonesia. Berikutnya, akan
diuraikan mengenai gerakan-gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh
mahasiswa di beberapa negara serta program-program yang mendukung
gerakan anti korupsi tersebut. Selanjutnya, akan diuraikan gerakan anti
korupsi di Indonesia, serta fakta pengaruh maraknya korupsi terhadap
pemenuhan akan akses atas keadilan sosial di Indonesia. Terakhir akan
dibahas mengenai meningkatkan peran serta mahasiswa dalam gerakan anti
korupsi sebagai tuntutan atas kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya
akses atas keadilan sosial di Indonesia.

B. Gerakan-gerakan Anti Korupsi oleh Mahasiswa di Beberapa Negara


Korupsi sebagai masalah di setiap Negara, hampir tidak ada Negara yang
bebas dari korupsi. Dengan memperhatikan dampak merusak dari korupsi

150
terhadap sendi-sendi kehidupan bernegara, maka Negara-negara berkomitmen
untuk bersama-sama memberantas korupsi. Disadari bahwa penting untuk
membentuk strategi anti-korupsi yang strategis, maka upaya yang dilakukan
tidak hanya semata-mata upaya represif melalui penegakan hukum pidana,
melainkan juga untuk saat ini mengedepankan upaya-upaya preventif dengan
melibatkan seluruh bagian dari masyarakat untuk menjadi bagian dari
pembentukan budaya anti korupsi.
Sejarah membuktikan bahwa mahasiswa memiliki pengaruh dan peran
yang besar dalam menciptakan perubahan. Sikap kritis dan komitmen untuk
mengusung perubahan ke arah yang lebih baik untuk Negara, telah
menjadikan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa memiliki nilai
yang positif dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga
dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa di beberapa Negara
untuk menjadi bagian dari upaya memberantas korupsi.
Orang muda menjadi bagian penting dalam perubahan sosial. The
Population Refrence Bureau memperkirakan orang muda usia 10-24 tahun
mewakili 25% dari populasi dunia. Diperkirakan mulai 2015, diperkirakan
87% dari populasi di Negara-negara berkembang adalah dibawah 25 tahun.206
Memperhatikan data tersebut, besarnya populasi usia muda merupakan potensi
untuk membawa perubahan yang lebih baik pada Negara-negara untuk bebas
dari korupsi.

Kolaborasi dengan sekolah-sekolah dan universitas-universitas


merupakan salah satu praktek baik (best practice) dari upaya melibatkan siswa
dan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi . Kegiatan yang dilakukan antara
lain dengan menambahkannya dalah program-program akademik maupun
memfasilitasi kegiatan mereka di sekolah dan universitas. Salah satu bentuk
kegiatannya misalnya yang dilakukan oleh beberapa CSO dengan melakukan
simulasi dan debat/diskusi dengan tema korupsi dan etik serta dengan
membuat kurikulum khusus dan manual untuk mengintegrasikan topik anti
korupsi ke dalam kurikulum.207

Peran lembaga-lembaga internasional dalam upaya menggalang gerakan-


gerakan anti korupsi menjadi sangat penting, seperti yang dilakukan oleh
United Nations Development Programme (UNDP) dan Transparansi
Internasional (TI). Salah satu gerakan yang diinisiasi oleh UNDP adalah
dengan terbentuknya Thai Youth Anti-Corruption Network, dimana melibatkan
lebih dari 4000 mahasiswa dari lebih 90 universitas di Thailand. Gerakan ini
salah satunya adalah untuk merubah paradigma dari masyarakat Thailand
206
U4 Anti Corruption Resource Centre, Best Practices in Engaging Youth in the Fight Against Corruption,
https://www.transparency.org/files/content/corruptionqas/386_Best_practices_in_engaging_youth_in_the_fight_against_co
rruption.pdf, diunduh pada tanggal 04 Mei 2017.
207
Ibid., hlm. 3.

151
(63,4%) yang pada awalnya menganggap bahwa korupsi yang dilakukan oleh
pemerintah dapat diterima sepanjang mereka juga diuntungkan, dan umumnya
anak muda dengan usia di bawah 20 tahun berpandangan yang sama.208
Sehingga disini UNDP melakukan edukasi terhadap siswa maupun mahasiswa
tentang bahaya korupsi di dalam masyarakat.
Selain di Thailand, lembaga lainnya, TI menginisiasi youth box channel di
Vietnam. Youth box channel adalah media inisiatif yang dipimpin oleh
sukarelawan-sukarelawan muda. Gerakan ini menghasilan reportase berita,
wawancara, film pendek, article, dan komik terkait dengan isu-isu anti
korupsi. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk menyediakan dasar bagi orang
muda untuk berpikir kritis dan mendorong mereka untuk mempromosikan
integritas, transparansi, dan keadilan sosial.209

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa ini bukanlah sesuatu hal


yang baru dimulai. Sebagai contoh adalah dengan terbentuknya klinik-klinik
hukum di fakultas-fakultas hukum di beberapa Negara. Sebut saja
pembentukan klinik-klinik hukum di Amerika, Afrika, bahkan di Asia
Tenggara. Tujuan dari pembelajaran di dalam klinik ini adalah selain
memberikan pengetahuan dan keahlian hukum, juga untuk menumbuhkan
sosial justice sense kepada mahasiswa. Klinik hukum telah menyebar di
beberapa Negara dengan diterapkannya pendidikan hukum klinis di fakultas
hukum. Jaringan-jaringan klinik hukum-pun telah menyebar ke beberapa
bagian dunia. Beberapa contoh jaringan tersebut adalah European Network for
Clinical Legal Education, Legal Clinic Network di Irak, Bridges Across
Borders Southeast Asia Community Legal Education Initiative (BABSEA
CLE), Indonesian Network for Clinical Legal Education (INCLE), dll.
Meskipun pada awalnya tidak spesifik adalah klinik anti-korupsi, namun
klinik ini juga diadopsi untuk mendukung gerakan anti korupsi. Keberadaan
klinik anti-korupsi dapat menjadi sarana untuk mengintegrasikan nilai-nilai
anti korupsi di dalam kurikulum serta menyebarkan nilai-nilai anti korupsi
kepada masyarakat. Selain itu, dengan jaringan yang telah luas, maka akan
banyak pembelajaran (lesson learned) yang dapat diperoleh dari praktik-
praktik di Negara lain sehingga dapat mendukung peningkatan terhadap
strategi anti korupsi.

208
UNDP, UNDP-Sponsored „Thai Youth Anti-Corruption Network‟ wins best practice by World Economic Forum,
17 Juni 2013, http://www.undp.org/content/undp/en/home/presscenter/articles/2013/06/17/undp-sponsored-thai-youth-anti-
corruption-network-wins-best-practice-by-world-economic-forum.html, diunduh pada tanggal 05 Mei 2017, hlm. 2.
209
U4 Anti Corruption Resource Centre, Op.Cit., hlm. 5.

152
C. Korupsi dan Akses Atas Keadilan Sosial
Keadilan sosial didefinisikan sebagai proses bekerja terhadap dan kondisi
yang dapat memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) dan potensi setiap orang
agar dapat hidup secara produktif dan memberdayakan masyarakat dengan
partisipasinya di dalam masyarakat global. 210Basic needs disini tidak semata-
mata hanya makanan, pakaian, dan tempat tinggal; melainkan juga pemenuhan
akan perasaan aman, nyaman, dan terayomi. Selanjutnya untuk meningkatkan
potensi masyarakat, maka haruslah dipenuhi kebutuhan atas pendidikan,
kesehatan, sebagaimana juga perlunya menumbuhkan harga diri, dan
membuka peluang untuk mencapai mimpi mereka.211 Peluang untuk
mengakses keadilan sosial tersebut dapat terhambat karena adanya korupsi.
KPK menyebutkan terdapat setidaknya 5 dampak korupsi, yakni
kemiskinan, pengangguran, hutang luar negeri, kerusakan alam, dan dampak
sosial.212 Hubungan korupsi dan kemiskinan tidaklah dapat secara langsung.
Akan tetapi korupsi dapat memperburuk perekonomian dan tata kelola
pemerintahan yang akan berdampak pada kemiskinan. Korupsi dapat
mempengaruhi faktor-faktor pertumbuhan ekonomi, seperti mengurangi
investasi, menciptakan distorsi pasar, merusak kompetisi, serta meningkatkan
inefisiensi. Sedangkan terhadap tata kelola pemerintahan, korupsi akan
mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengelola pemerintahan.
Kesemua hal tersebut tentu saja akan berdampak pada peningkatan angka
kemiskinan.213
Di Indonesia sendiri, korupsi, pengangguran, dan kesenjangan masih
menjadi permasalahan yang pelik. Masih tingginya angka pengangguran
menunjukkan Negara gagal dalam menyediakan dan menciptakan lapangan
kerja bagi warga Negara nya. Masih maraknya praktek-praktek suap dalam
pelayanan public telah memperparah kondisi pengangguran; begitu juga
dengan adanya kesenjangan yang cukup tinggi antara si kaya dan si miskin.
Sehingga disini pemerintah mulai membentuk sistem pelayanan public yang
dapat mencegah terjadinya praktek-praktek korupsi, seperti misalnya
perbaikan sistem, seperti yang dilakukan Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM).214

210
Rahima C. Wade, Loc.Cit.
211
Idem.
212
Anonim, KPK: Ini 5 Fakta Dampak Korupsi di Indonesia, Loc.Cit.
213
Wandy Nicodemus Tuturoong, Hubungan Antara Korupsi dan Kemiskinan, 04 Oktober 2010,
http://www.ti.or.id/index.php/news/2010/10/04/hubungan-antara-korupsi-dan-kemiskinan, diunduh pada tanggal 06 Mei
2017.
214
Anonim, Presiden: Korupsi, Pengangguran, dan Kesenjangan adalah Masalah yang Rumit, 16 Mei 2016,
https://elshinta.com/news/61827/2016/05/16/presiden-korupsi-pengangguran-dan-kesenjangan-adalah-masalah-rumit,
diunduh pada tanggal 6 Mei 2017.

153
Lebih lanjut, korupsi berdampak pada meningkatnya hutang Negara.
Menurut Revrisond Baswir, pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada
(UGM), borosnya penggunaan anggaran Negara karena korupsi yang
merajalela telah meningkatkan hutang Negara.215 Dengan kata lain, hutang
Negara mensejahterakan koruptor.
Berikutnya, korupsi juga berdampak terhadap kerusakan lingkungan
misalnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam (SDA). Buruknya
pengelolaan sumber daya alam tersebut salah satunya disebabkan oleh
maraknya praktik-praktik korupsi dalam pengelolaannya yang menyebabkan
kerugian negara dan kerusakan lingkungan. Modus dari praktik-praktik
korupsi tersebut antara lain berupa suap menyuap, memperkaya diri sendiri
dan orang lain, masalah perizinan, state capture corruption, moral hazard,
conflict of interest, favouritism, dan bad governance.216 Buruknya pengelolaan
SDA tersebut telah berdampak pada kerusakan lingkungan dan kerugian
Negara. Misalnya saja pada sektor kehutanan, berdasarkan data dari Human
Rights Watch, antara 2007-2011, kerugian negara sebagai akibat dari
pembalakan liar (illegal logging) dan mis-manajemen akibat kelemahan
pemerintah dan minimnya akuntabilitas negara di sektor kehutanan mencapai
US$ 7 Miliar.217 Kerugian yang dialami oleh Indonesia ditahun 2011 saja
mencapai US$ 2 Miliar yang mana setara dengan budget negara untuk sektor
kesehatan.218Lebih lanjut, data di Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan
(KLHK) menunjukkan setidaknya 300 kasus lingkungan hidup, seperti
kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, pelanggaran hukum, dan
pertambangan yang tercatat pada tahun 2012.219

Terakhir adalah dampak sosial yang ditimbulkan karena korupsi. Korupsi


berdampak pada kehidupan masyarakat. Masih buruknya pelayanan seperti
pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk nyata dari masih maraknya
praktek-praktek korupsi. Seperti misalnya dalam pelayanan pendidikan di
Indonesia, meskipun anggaran untuk pendidikan cukup tinggi, akan tetapi
faktanya masih banyak sekolah rusak, meningkatnya jumlah anak putus
sekolan, dan masih maraknya pungutan yang membebani orangtua.220

215
Heronimus Ronito KS, Korupsi dan Pemborosan, Penyebab Utang Negara Terus Meningkat, 27 Januari 2014,
http://www.gresnews.com/berita/politik/816271-korupsi-dan-pemborosan-penyebab-utang-negara-terus-meningkat/0/,
diunduh pada tanggal 6 Mei 2017.
216
Kedeputian Bidang Peneagahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Koordinasi dan Supervisi Sektor Energi Tahun
2016: Gerakan Nasional Mewujudkan Kedaulatan Energi, 2016, hlm.1.
217
Human Rights Watch, The Dark Side of Green Growth: Human Rights Impacts of Weak Governance in
Indonesia‟s Forestry Sector, https://www.hrw.org/report/2013/07/15/dark-side-green-growth/human-rights-impacts-weak-
governance-indonesias-forestry, 2013, hlm. 1.
218
Idem.
219
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Peta Jalan Pembaharuan Hukum: Sumber Daya
Alam Lingkungan Hidup, 2015.
220
Febri Hendri, Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita, Loc.Cit.

154
Selanjutnya, dari sector pelayanan kesehatan, meskipun telah tersedia jaminan
kesehatan nasional sejak tahun 2014, ternyata hal ini memiliki dampak
timbulnya fraud yang menyebabkan kerugian finansial Negara. Hal ini
dibuktikan dengan data yang dilansir KPK hingga Juni 2015 terdeteksi potensi
Fraud yang dilakukan oleh faktor klinis dari 175.774 klaim Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp. 440 M. Kondisi
ini semakin diperparah dengan tindakan faktor lainnya seperti staf BPJS
Kesehatan, pasien, dan suplier alat kesehatan dan obat.221 Apabila hal ini terus
berlajut, tentu saja ini akan berdampak pada buruknya pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat.
Upaya untuk memberantas praktek-praktek korupsi terus dilakukan oleh
pemerintah. Selain dengan menggunakan cara-cara yang represif melalui
penegakan hukum pidana; cara-cara preventif juga digunakan untuk mencegah
korupsi dengan melibatkan masyarakat serta lembaga-lembaga negara.
Misalnya saja dengan banyak gerakan anti korupsi yang diinisiasi oleh KPK,
sebut saja gerakan Profesional Berintegritas (PROFIT), gerakan Saya
Perempuan Anti Korupsi (SPAK), Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber
Daya Alam (GN-SDA), belum lagi sosialisasi melalui film maupun buku-buku
cerita mengenai nilai-nilai anti korupsi.
Semua gerakan tersebut dilakukan untuk mengefektifkan upaya pemeritah
dalam memberantas korupsi. Upaya represif semata tidak akan berhasil dalam
menekan angka korupsi apabila di dalam masyarakat tidak ditumbuhkan
budaya anti korupsi. Kesadaran kolektif harus mulai terbentuk dengan
memahami akan dampak buruk dari korupsi dan bersama-sama berkomitmen
untuk memberantas korupsi.

D. Peran Mahasiswa Dalam Mendorong Akses Atas Keadilan Sosial


Dalam menumbuhkan dan menginternalisasi nilai anti korupsi di diri
mahasiswa maka penting untuk membentuk kesadaran kolektif bahwa mereka
merupakan calon pemimpin bangsa dan memiliki andil yang besar dalam
menciptakan keadilan sosial. Sebagai agen perubahan (agent of change),
mahasiswa haruslah mampu menciptakan perubahan yang baik di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pentingnya akses atas keadilan sosial
yang dalam beberapa hal dihambat karena adanya korupsi, telah menjadi
tugas mahasiswa untuk ikut ambil bagian dalam mengawal terjaminnya akses
terhadap keadilan social bagi masyarakat.

221
Komisi Pemberantasan Korupsi, Korupsi Dalam Pelayanan Kesehatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional:
Kajian Besarnya Potensi dan Sistem Pengendalian Fraud, 02 Desember 2016, https://acch.kpk.go.id/id/ragam/riset-
publik/korupsi-dalam-pelayanan-kesehatan-di-era-jaminan-kesehatan-nasional-kajian-besarnya-potensi-dan-sistem-
pengendalian-fraud, diunduh pada tanggal 4 Mei 2016.

155
Memberdayakan masyarakat (empowering) merupakan salah satu tujuan
yang hendak dicapai dari terbukanya akses atas keadilan sosial. Tersedianya
pelayanan publik yang baik, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang
memadai, serta terjaminnya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat
merupakan kondisi ideal yang diharapkan dapat tercipta. Namun hal ini masih
jauh dari harapan, mengingat masih maraknya korupsi di Indonesia.

Sebagaimana dinyatakan bahwa Indonesia masih dipersepsikan sebagai


Negara korup. Hal ini dibuktikan dengan data BPS, yang menunjukkan
Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2015 mengalami
penurunan dibandingkan pada tahun 2014 dan 2013. Tahun 2015, IPAK
Indonesia adalah 3,59, sedangkan berturut-turut tahun 2014 dan 2013 adalah
3,61 dan 3,64 dengan skala 0-5, dimana 0 menunjukkan bahwa masyarakat
permisif terhadap korupsi dan 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku
anti korupsi.222 Demikian juga berdasarkan Corruption Perception Index
(CPI), skor Indonesia adalah 37, dengan skala 0 (sangat korup) dan 100
(sangat bersih/tidak korup).223
Perilaku-perilaku permisif terhadap praktik-praktik korupsi telah
membuka peluang yang besar bagi para koruptor untuk melanggengkan
perbuatannya. Sebagai contoh sederhana, korupsi dimulai dalam bentuk yang
kecil, misalnya membayar uang pelicin untuk menguruk kartu tanda
penduduk, atau membayar juru parkir di kampus untuk mendapatkan tempat
parkir, bahkan praktek suap menyuap untuk mahasiswa memperoleh nilai,
serta praktek-praktek perjokian dikampus dan kecurangan akademik lainnya.
Fakta-fakta tersebut selain melanggengkan praktek-praktek korupsi, juga
telah menciptakan generasi yang koruptif. Motif untuk mencari keuntungan,
tidak adanya dampak langsung dari korupsi telah mereka lakukan, serta
anggapan bahwa semua orang melakukan yang sama untuk mendapatkan
pelayanan tertentu telah melanggengkan mata rantai korupsi. Hal ini haruslah
dipahami oleh mahasiswa, bahwa untuk mengatasinya maka integritas
haruslah terbentuk di diri mahasiswa dan menjadikan nilai-nilai anti korupsi
sebagai nilai dirinya dan menjadi jati dirinya.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh mahasiswa haruslah diapresiasi
sebagaimana yang telah terjadi di Thailand melalui gerakan Thai Youth Anti-
Corruption Network, youth box channel di Vietnam, serta keterlibatan
mahasiswa dalam klinik anti korupsi. Kesemua gerakan tersebut
membuktikan pentingnya peran mahasiswa untuk dilibatkan dalam upaya
pemberantasan korupsi.

222
Badan Pusat Statistik, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2015 Sebesar 3,59 Pada Skala 0 Sampai 5,
Loc. Cit.
223
Transparency International, Corruption Perception Index 2016, Loc.Cit.

156
Jaringan gerakan anti korupsi yang terbentuk dapat menjadi peluang
untuk terbentuknya keasadaran kolektif mengenai pentingnya merubah
paradigma yang salah selama ini. Seperti halnya di Thailand yang permisif
terhadap korupsi yang dilakukan oleh pemerintah selama mereka juga
memperoleh untung; tidak terkecuali di Indonesia, perilaku-perilaku yang
cenderung koruptif, dianggap biasa karena semua orang melakukan yang
sama dan tidak melihat kerugian dari perbuatannya, misalnya bentuk-bentuk
gratifikasi.
Perubahan di dalam masyarakat atau perubahan sosial merupakan
tanggungjawab bersama, tidak terkecuali mahasiswa. Terkait dengan
perubahan perilaku yang koruptif, penting untuk mendesain kegiatan-kegiatan
yang mana mahasiswa dapat terlibat di dalamnya dan bersama-sama
menyebarkan nilai-nilai anti korupsi. Salah satu bentuk kegiatan yang
dilakukan di beberapa fakultas hukum di Indonesia adalah dengan mendirikan
klinik anti korupsi.

Khusus tentang keterlibatan mahasiswa dalam klinik anti korupsi, masih


banyak tantangan yang dihadapi dalam menjalankan klinik ini. Tantangan
tersebut antara lain terkait dengan beban tugas yang lebih berat daripada mata
kuliah regular lainnya, sikap tidak perduli mahasiswa terhadap isu-isu terkait
akses terhadap keadilan sosial, dan belum terintergrasinya nilai-nilai anti
korupsi, baik dalam kurikulum maupun dalam kehidupan kampus sehari-hari.

Pertama, sebagai mata kuliah praktikum, mahasiswa yang terlibat di


dalam klinik anti korupsi diberikan beban yang lebih dibandingkan dengan
apabila mereka mengambil mata kuliah regular lainnya. Namun, banyak
keuntungan yang mahasiswa dapatkan dari kegiatan-kegiatan yang ada di
dalam klinik. Selain pengetahuan, keahlian, dan social justice sense yang
mereka dapatkan selama mengikuti kegiatan di klinik, mereka juga menjadi
bagian dari gerakan anti korupsi. Menjadi bagian dari gerakan ini tentu saja
dapat membantu mahasiswa untuk kedepannya menjadi generasi anti korupsi
dan membawa perubahan Negara ke arah yang lebih baik lagi.

Berikutnya, perkembangan teknologi dan globalisasi telah menciptakan


generasi instan dan tidak perduli terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini
terjadi karena teknologi memudahkan kehidupan tapi sekaligus juga dapat
memutus individu dari lingkungan sosialnya. Menjadi bagian dari gerakan
anti korupsi dengan keterlibatan mahasiswa dalam klinik anti korupsi, dapat
membuat mahasiswa memahami mengenai isu-isu yang terkait dengan akses
terhadap keadilan social. Hal ini dapat dilakukan karena salah satu tujuan
dengan mahasiswa terpapar langsung dengan fenomena-fenomena di
masyarakat adalah agar mereka dapat menumbuhkan sense of social justice.

157
Terakhir adalah, masih belum terintegrasikannya nilai-nilai anti korupsi,
khususnya di dalam kehidupan kampus telah membuat masih maraknya
perilaku-perilaku koruptif. Sebagai contoh perjokian, gratifikasi, jual beli
nilai, titip absen, atau bentuk-bentuk kecurangan yang lain seringkali tidak
dianggap serius oleh pihak fakultas maupun universitas dengan tidak
memberikan sanksi yang tegas. Dampaknya, para pelaku merasa bahwa
perilaku tersebut tidak berbahaya. Dengan adanya klinik anti korupsi,
mahasiswa dapat menjadikan kampus sebagai lokasi untuk mereka
melakukan penelitian, advokasi, dan sosialisasi mengenai nilai-nilai anti
korupsi dengan menunjukkan bukti perilaku-perilaku koruptif yang masih
ditemui di kampus.
Terkait dengan peran mahasiswa dalam mendorong akses terhadap
keadilan sosial dapat dilakukan melalui kegiatan mereka di klinik anti
korupsi. Sebagai research based clinic sebagaimana yang ada di Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, mahasiswa dapat mendorong pemerintah
untuk perbaikan layanan publik. Sebagai contoh melalui penelitian yang
mereka lakukan di dinas-dinas yang ada di pemerintah kota Bandung dan
melakukan advokasi, mahasiswa dapat menunjukkan bahwa praktek-praktek
korupsi masih terjadi dalam pelayanan publik dan memberikan saran untuk
perbaikannya. Adanya hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa ini
diharapkan bahwa pemerintah tidak akan abai terhadap praktek-praktek
korupsi yang masih terjadi hingga saat ini. Begitu juga dengan pengajaran
dan public campaign yang mereka lakukan dengan sasaran yang beragam,
yakni akan sekolah serta masyarakat umum, berarti juga mereka telah
menyebarkan nilai-nilai anti korupsi ke masyarakat.
Melalui gerakan-gerakan ini, diharapkan bahwa terjadi perubahan dalam
pelayanan publik yang dilakukan oleh Negara, sehingga akses untuk keadilan
sosial terbuka sangat luas kepada masyarakat, yang pada akhirnya Negara
mampu mensejaterakan warganegaranya. Selain itu, sebagai calon-calon
pemimpin Negara, keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi di usia
mereka yang masih sangat muda, diharapkan di masa depan mereka dapat
melakukan perubahan dan tidak melakukan korupsi, dimana harapannya akan
terbentuk budaya anti korupsi pada mahasiswa.

Dengan terbentuknya integritas di dalam diri mahasiswa diharapkan


bahwa yakni kemiskinan, pengangguran, hutang luar negeri, kerusakan alam,
dan dampak sosial dari korupsi tidak terjadi dan pada akhirnya Indonesia
bebas korupsi. Menjadi bagian dari gerakan perubahan haruslah mampu
menumbuhkan rasa bangga pada diri mahasiswa, disinilah pentingnya untuk
mendorong mahasiswa agar lebih mau peduli terhadap lingkungan mereka.
Sejarah membuktikan bahwa aksi-aksi atau gerakan-gerakan yang dilakukan

158
oleh mahasiswa, khususnya di Indonesia, telah membawa perubahan yang
signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pendekatan-pendekatan diformulasikan untuk membentuk strategi anti-
korupsi yang dapat berfungsi secara efektif. Salah satunya adanya dengan
melihat pada pendekatan dari prinsip-prinsip dan institusi-institusi hak asasi
manusia. Pendekatan hak asasi manusia menformulasikan bahwa untuk
membuat strategi anti korupsi dapat terus berkelanjutan maka pertama-tama,
pendekatan yang digunakan yakni dengan melihat korupsi sebagai masalah
yang sistemik dibandingkan dengan melihatnya sebagai masalah yang
individual sifatnya. Selanjutnya, upaya memberantas korupsi merupakan
upaya jangka panjang sebagaimana halnya dengan projek-projek terkait hak
asasi manusia, sehingga disini diperlukan adanya perubahan di dalam
masyarakat, termasuk juga institusi-institusi negara, hukum, dan budaya.224
Strategi anti korupsi sebagaimana yang diuraikan di atas mensyaratkan
keterlibatan dan komitmen dari berbagai pihak. Keterlibatan masyarakat sipil
serta terbangunnya budaya integritas di dalam suatu institusi menjadi syarat
mutlak untuk mengefektifkan kinerja lembaga-lembaga penegak hukum, serta
diikuti oleh kerangka hukum (legal framework) dan sistem politik terbuka
(open political system). Lebih lanjut, untuk menjaga proses tetap berjalan
sesuai dengan tujuannya, maka strategi anti korupsi dapat efektif apabila
didukung oleh peradilan yang independen, kebebasan pres, kebebasan
berekspresi, transparansi dalam sistem politik dan akuntabilitas.225

E. Kesimpulan
Korupsi merupakan masalah bersama yang harus secara serius ditangani.
Dampak yang ditimbulkan dari korupsi menjadi argumen bahwa merupakan
tanggungjawab bersama untuk memberantas korupsi; artinya memberantas
korupsi adalah tidak semata-mata tanggungjawab dari penegak hokum,
melainkan juga tanggungjawab dari masyarakat. Hal ini diwujudkan dengan
gerakan-gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh masyarakat, tidak terkecuali
yang dilakukan oleh mahasiswa, seperti contohnya melalui gerakan Thai
Youth Anti-Corruption Network, youth box channel di Vietnam, serta
keterlibatan mahasiswa dalam klinik anti korupsi. Sejarah membuktikan
bahwa mahasiswa memiliki peranan yang penting dalam perubahan-
perubahan yang terjadi di suatu Negara, termasuk Indonesia. Sebagai calon
pemimpin bangsa, penting untuk menumbuhkan integritas mahasiswa dan

224
United Nations Human Rights, Human Rights and Anti Corruption,
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Development/GoodGovernance/Pages/AntiCorruption.aspx, diunduh pada tanggal 5
Februari 2017.
225
Idem.

159
menginternalisasi nilai-nilai anti korupsi, yang mana ini dapat terjadi apabila
mereka terlibat langsung dengan kegiatan-kegiatan yang bersentuhan dengan
isu-isu keadilan sosial. Melalui dorongan yang dilakukan oleh mahasiswa
melalui gerakan-gerakan anti korupsi, maka ini akan dapat mempengaruhi,
khususnya pelayanan publik yang baik dan terbukanya akses untuk keadilan
sosial bagi masyarakat. Pada akhirnya, dengan terbukanya akses terhadap
keadilan sosial, maka upaya untuk membedayakan (empowering) dapat
tercapai.

160
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Rahima C. Wade, Sosial Studies for Sosial Justice: Teaching Strategies for the
Elementary Classroom, Teachers College Press, 2007.

Surat Kabar
Anonim, KPK: Ini 5 Fakta Dampak Korupsi di Indonesia, 3 Desember 2015,
http://www.berberita.com/2015/12/kpk-ini-5-fakta-dampak-korupsi-di-
indonesia.html.
Anonim, Presiden: Korupsi, Pengangguran, dan Kesenjangan adalah Masalah
yang Rumit, 16 Mei 2016,
https://elshinta.com/news/61827/2016/05/16/presiden-korupsi-pengangguran-
dan-kesenjangan-adalah-masalah-rumit.
Febri Hendri, Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita,
http://www.antikorupsi.org/en/content/korupsi-menggerogoti-dunia-
pendidikan-kita.
Heronimus Ronito KS, Korupsi dan Pemborosan, Penyebab Utang Negara Terus
Meningkat, 27 Januari 2014, http://www.gresnews.com/berita/politik/816271-
korupsi-dan-pemborosan-penyebab-utang-negara-terus-meningkat/0/.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Korupsi Dalam Pelayanan Kesehatan di Era
Jaminan Kesehatan Nasional: Kajian Besarnya Potensi dan Sistem
Pengendalian Fraud, 02 Desember 2016,
https://acch.kpk.go.id/id/ragam/riset-publik/korupsi-dalam-pelayanan-
kesehatan-di-era-jaminan-kesehatan-nasional-kajian-besarnya-potensi-dan-
sistem-pengendalian-fraud.
United Nations Human Rights, Human Rights and Anti Corruption,
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Development/GoodGovernance/Pages/Anti
Corruption.aspx, diunduh pada tanggal 5 Februari 2017.
Wandy Nicodemus Tuturoong, Hubungan Antara Korupsi dan Kemiskinan, 04
Oktober 2010, http://www.ti.or.id/index.php/news/2010/10/04/hubungan-
antara-korupsi-dan-kemiskinan, diunduh pada tanggal 06 Mei 2017.

Bahan Lainnya
Badan Pusat Statistik, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2015
Sebesar 3,59 Pada Skala 0 Sampai 5,
https://www.bps.go.id/brs/view/id/1276.

161
Human Rights Watch, The Dark Side of Green Growth: Human Rights Impacts of
Weak Governance in Indonesia‟s Forestry Sector,
https://www.hrw.org/report/2013/07/15/dark-side-green-growth/human-
rights-impacts-weak-governance-indonesias-forestry, 2013.
Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Koordinasi dan
Supervisi Sektor Energi Tahun 2016: Gerakan Nasional Mewujudkan
Kedaulatan Energi, 2016.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Peta Jalan
Pembaharuan Hukum: Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup,
2015.Transparency International, Corruption Perception Index 2016,
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_201
6.
U4 Anti Corruption Resource Centre, Best Practices in Engaging Youth in the
Fight Against Corruption,
https://www.transparency.org/files/content/corruptionqas/386_Best_practices
_in_engaging_youth_in_the_fight_against_corruption.pdf.
UNDP, UNDP-Sponsored „Thai Youth Anti-Corruption Network‟ wins best
practice by World Economic Forum, 17 Juni 2013,
http://www.undp.org/content/undp/en/home/presscenter/articles/2013/06/17/u
ndp-sponsored-thai-youth-anti-corruption-network-wins-best-practice-by-
world-economic-forum.html, diunduh pada tanggal 05 Mei 2017.

162
OPTIMALISASI PERAN KAMPUS DALAM MENJAWAB ISU-ISU
LINGKUNGAN DI PROVINSI BALI MELALUI PENGEMBANGAN
KONSEP PEMBELAJARAN CLINICAL LEGAL EDUCATION
Oleh :

Cok. Istri Diah Widyantari, Putu Ade Hariestha Martana, Kadek Agus
Sudiarawan, Kadek Sarna, Nyoman Satyayudha Dananjaya226

Abstrak

Klinik Hukum merupakan sebuah program pendidikan yang didasarkan pada


metode pengajaran interaktif dan reflektif yang di dalamnya mengandung
pengetahuan, nilai dan keahlian praktik. Pengembangan terhadap model-model
pelaksanaan klinik hukum (in house, out house, combination, street law) dan
komponen metode pengajaran (planning, experiential,reflection) menjadi upaya
strategis dan menarik untuk terus dilaksanakan dalam upaya mencapai tujuan dan
memberikan kemanfaatan sebesarbesarnya bagi masyarakat.

Sebagai salah satu klinik hukum yang dilaksanakan di Fakultas Hukum


Universitas Udayana, Klinik Hukum Lingkungan merupakan sebuah konsep
pembelajaran yang secara khusus membedah aspek-aspek mengenai isu dan
permasalahan lingkungan baik secara umum maupun khusus yang terjadi di
Provinsi Bali. Adapun salah satu fokus isu yang dikaji oleh Tim Klinik Hukum
Lingkungan Fakultas Hukum Udayana dalam satu tahun ke belakang ialah upaya
mendukung gerakan konservasi mangrove yang merupakan salah satu isu
lingkungan sensitif di Provinsi Bali.

Dalam pelaksanaannya, klinik hukum lingkungan menjalin kerjasama dengan


komunitas-komunitas dan atau organisasi sosial kemasyarakatan peduli
lingkungan di Provinsi Bali. Adapun bentuk pengembangan konsep pembelajaran
Klinik Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana dilakukan
melalui pembentukan kajian-kajian multiperspektif terkait permasalahan
lingkungan yang dikaji, kegiatan turun langsung kelapangan secara berkelanjutan,
social campaign, forum diskusi bersama mitra, riset lapangan hingga pelaksanaan
street law dengan menyasar peningkatan kesadaran generasi muda bali dalam
menjaga lingkungan khususnya terkait isu konservasi mangrove. Melalui
pengembangan konsep pembelajaran ini, kampus diharapkan mampu menajamkan
perannya dalam upaya menghadirkan keadilan sosial dan memberi kemanfaatan
sebesarnya bagi masyarakat. Pengembangan konsep pembelajaran Klinik Hukum
Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana ini juga merupakan salah

226
Penulis merupakan Tim Pengajar Klinik Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Denpasar Bali.

163
bentuk upaya nyata kampus untuk dapat berkontribusi bagi daerah sebagai wujud
dari tri dharma perguruan tinggi dalam menjawab isu-isu lingkungan yang terjadi
di Provinsi Bali.

Kata Kunci : Pengembangan Konsep Pembelajaran, Klinik Hukum Lingkungan


Fakultas Hukum Udayana, Isu-Isu Lingkungan, Provinsi Bali.

1.Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Klinik Hukum merupakan sebuah program pendidikan atau metode
pembelajaran komprehensif yang didalamnya mengandung pengetahuan, nilai
dan keahlian praktik. Adapun program pendidikan ini didasarkan pada metode
pengajaran yang bersifat interaktif dan reflektif yang memberi ruang luas bagi
mahasiswa untuk belajar lebih dalam, dimana pembelajaran terjadi bukan hanya
dalam ruang-ruang kelas perkuliahan tetapi juga hingga ke ruang praktikal
hukum dengan segala macam permasalahan yang terjadi. Klinik Hukum
Lingkungan merupakan salah satu klinik yang dikembangkan dan ditawarkan
dan merupakan mata kuliah pilihan di Fakultas Hukum Universitas Udayana
Bali. Substansi mata kuliah klinik hukum lingkungan mencakup aspek-aspek
mengenai isu dan permasalahan lingkungan baik secara umum maupun yang
khusus terjadi di Provinsi Bali serta bagaimana penegakannya. Hal ini
merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan klinik untuk memberikan
kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat khususnya dalam berperan aktif
menjawab permasalahan-permasalahan lingkungan yang terjadi di Provinsi Bali.

Klinik hukum lingkungan dalam perjalanannya di Fakultas Hukum


Universitas Udayana telah menjalin kerja sama dengan beberapa mitra yang
mendukung berjalannya klinik hukum lingkungan. Mitra ini diperlukan saat
akan melaksanakan tahapan experiential component sebagai salah satu
karakteristik menarik yang ada dalam konsep klinik hukum. Adapun peran
mitra dalam klinik hukum berbeda dengan mata kuliah berbasis praktik. Karena
saat mahasiswa turun ke lapangan bersama mitra tetap dalam pengawasan para
pengajar klinik, hal inilah yang membedakan klinik hukum dengan Praktek
Keterampilan dan Kemahiran Hukum (PKKH) salah satu mata kuliah praktik
yang ditawarkan di Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun dengan
praktek Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang merupakan suatu bentuk kegiatan
pengabdian yang dilaksanakan oleh mahasiswa.
Dalam pelaksanaan klinik hukum lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, penentuan tema setiap semester berjalan dilakukan
dengan mengkaji berbagai isu lingkungan yang berkembang baik secara
nasional maupun secara khusus yang terjadi di lingkup daerah Provinsi Bali.
Penentuan tema menjadi sebuah langkah penting untuk mengoptimalisasikan

164
potensi pelaksanaan klinik dalam upaya ikut menjawab permasalahan-
permasalahan yang terjadi dilingkungan masyarakat sekitar. Potensi
pengembangan konsep pembelajaran klinik khususnya pada pelaksanaan klinik
hukum lingkungan kemudian menjadi menarik untuk terus dilaksanakan dan
dikaji sebagai upaya memperkuat peran kampus dalam menjawab isu
lingkungan yang terjadi di Provinsi Bali.

Berangkat dari keinginan mengembangkan klinik hukum lingkungan


sebagai sebuah konsep pembelajaran yang mampu menjawab permasalahan
lingkungan yang terjadi dimasyarakat sekitar, tim klinik hukum lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Udayana kemudian menentukan satu tema besar
yang diangkat oleh tim Klinik Hukum Lingkungan selama beberapa tahun
kebelakang yaitu : “Optimalisasi Peran Kampus dalam Menjawab IsuIsu
Lingkungan di Provinsi Bali Melalui Pengembangan Konsep Pembelajaran
Clinical Legal Education”. Tema ini kemudian pada satu tahun kebelakang
dipertajam dengan fokus isu terkait

―Konservasi Mangrove‖ (kajian, aksi turun langsung melakukan konservasi di


lapangan, social campaign, diskusi bersama mitra, riset lapangandan
dilanjutkan dengan melakukan penyuluhan (street law) dengan menyasar siswa-
siswi Sekolah Menengah Atas dikawasan yang dekat dengan kawasan
konservasi mangrove).

Isu konservasi diambil karena pentingnya konservasi bagi kelangsungan


fungsi lingkungan hidup untuk mendukung kelangsungan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup.227 Secara lebih spesifik tujuan dari konservasi
telah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa makna dari
konservasi tersebut adalah:228
a. Preservasi, yang berarti proteksi atau perlindungan sumber daya
alam;
b. Pemulihan atau restorasi, yaitu koreksi atas kesalahan-kesalahan
yang telah dibuat;
c. Penggunaan yang seefisien mungkin;
d. Penggunaan kembali (recycling);
e. Mencari pengganti sumber daya alam yang sepadan atas sumber daya
yang menipis atau habis;
f. Penentuan lokasi yang paling tepat guna;
g. Integrasi dalam pengelolaan sumber daya alam.

227
Lihat juga Pasal 1 angka 6, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8 dan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
228
Dwidjoseputro, Ekologi Manusia dengan Lingkungannya, PT Erlangga, Jakarta, 1994, h. 32.

165
Pelaksanaan klinik hukum lingkungan dengan fokus isu konservasi
mangrove coba dikemas secara komprehensif dengan desain kegiatan menarik
namun tetap coba dilaksanakan secara santai dan berkelanjutan. Konsep ini juga
didukung dengan mitra klinik yang merupakan komunitas-komunitas muda
yang dari awal memiliki konsentrasi khusus dalam mendukung upaya
konservasi mangrove. Komunitas-komunitas ini terdiri dari anak-anak muda
progresif sehingga menambah kuat semangat pelaksanaan klinik sebagai
bingkai gerakan anak muda Bali yang konsen dan peduli terhadap isu
lingkungan khususnya terkait konservasi mangrove.

Bentuk pengembangan konsep pembelajaran Klinik Hukum Lingkungan


yang telah berjalan dilakukan melalui berbagai langkah komprehensif. Dimulai
dengan pembentukan kajian-kajian multiperspektif terkait konservasi mangrove,
kegiatan turun langsung kelapangan secara berkelanjutan, aksi social campaign
melalui media-media kreatif, diskusi santai bersama mitra terkait
permasalahan-permasalahan konservasi mangrove, riset lapangan hingga
pelaksanaan penyuluhan hukum ―street law‖ dengan menyasar anak-anak muda
bali ditingkat SMA untuk ikut berperan aktif dalam mendukung upaya
konservasi mangrove.

Pada penghujung tahun 2016, tim Klinik Hukum Lingkungan Fakultas


Hukum Universitas Udayana kemudian melakukan sebuah terobosan
dengan mencari isu baru yang akan menjadi fokus isu yang dikaji dalam
beberapa periode klinik ke depan. Adapun penentuan tema tetap
berpedoman terhadap semangat dari tema besar yang ingin dituju sejak
awal, yaitu untuk mengoptimalisasikan peran kampus dalam menjawab
isu-isu lingkungan di Provinsi Bali. Pengembangan tema-tema spesifik
ini kemudian penting dan menarik untuk terus dilakukan agar menjaga
dan mengawal tujuan dari pelaksanaan klinik yang utama yaitu untuk
mewujudkan keadilan sosial yang lebih luas bagi setiap elemen terkait.

Isu baru ditentukan berdasarkan permasalahan baru yang ditemukan dan


merupakan isu yang berbeda dibanding dengan yang telah dibahas sebelumnya.
Penetapan isu baru tentunya memerlukan mitra baru yang konsen dalam
penanganan masalah atau isu terkait. Berkaca dari berbagai permasalahan
lingkungan terkini yang terjadi di Provinsi Bali, permasalahan mengenai
sampah kemudian menjadi salah satu permasalahan sensitif lainnya yang
menarik untuk dikaji lebih dalam. Permasalahan sampah merupakan
permasalahan yang hampir terjadi di setiap wilayah di Indonesia, bahkan juga
dunia. Nama Indonesia belakangan kemudian kembali menjadi sorotan karena
dipandang sebagai negara peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke

166
laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton. 229 Permasalahan ini perlu menjadi
perhatian semua kalangan, termasuk juga kalangan mahasiswa yang diharapkan
dapat berperan di masa depan untuk mengatasi permasalahan sampah yang
makin lama justru makin parah. Apalagi di Provinsi Bali dengan potensi
pariwisata luar biasa tentu menyisakan berbagai permasalahan sensitif terkait
pengelolaan sampah. Karena pariwisata Bali saat ini menghadapi dua ancaman
serius, selain kemacetan ada pula masalah sampah, karena lingkungan yang
bersih akan berdampak pada kenyamanan dan berdampak positif bagi
pariwisata.230 Khusus mengenai mengenai persoalan sampah, pemerintah
terkesan masih gamang untuk mengurainya. Di sisi lain, kesadaran masyarakat
terkait kebersihan justru masih minim. Beranjak dari hal tersebut tim Klinik
Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana kemudian
menetapkan isu
―pengelolaan sampah‖ sebagai isu khusus yang dibedah dan dikaji dalam
pelaksanaan klinik hukum lingkungan Tahun 2017.

Tema baru yang diusung Klinik Hukum Lingkungan Universitas


Udayana mengenai pengelolaan sampah masih dalam pelaksanaan sehingga
belum dapat dievaluasi secara khsusus. Ruang lingkup pelaksanaannya isu ini
ditetapkan secara khusus di Kota Denpasar dikarenakan Kota Denpasar
merupakan salah satu Kota di Indonesia yang belakangan sangat konsen
menerapkan aturan pengelolaan sampah namun masih menyisakan berbagai
permasalahan dalam pelaksanaannya.

Konsep pembelajaran Klinik Hukum Lingkungan kali ini lebih


menekankan pada penelitian atas efektivitas produk hukum yang mengatur
mengenai pengelolaan sampah di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Penelitian yang
dilakukan terkait unsur-unsur yang mempengaruhi efektivitas produk hukum
daerah di Kota Denpasar terkait pengelolaan sampah. Hasil penelitian ini
kemudian akan dituangkan dalam suatu kajian yang diharapkan dapat
memberikan gambaran terkait bagaimana efektifitas Peraturan Daerah di Kota
Denpasar yang mengatur mengenai pengelolaan sampah dan menggambarkan
keadaan nyata di masyarakat mengenai permasalahan pengelolaan sampah
masyarakat kota Denpasar. Hasilnya diharapkan dapat berguna tidak hanya bagi
Klinik Hukum Lingkungan Universitas Udayana dan mitra tetapi juga bagi
Pemerintah Daerah Kota Denpasar dalam pelaksanaan peraturan daerah terkait
pengelolaan sampah dan bahkan jika diperlukan dapat dijadikan sebagai bahan
evaluasi atas peraturan daerah agar dapat efektif berlaku dimasyarakat dan
mampu menciptkan kota yang bersih dan memiliki managemen pengelolaan

229
http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160222182308-277-112685/indonesia-penyumbang-
sampahplastik-terbesar-ke-dua-dunia/, diakses pada tanggal 1 Mei 2017.
230
http://suaradewata.com/read/2015/10/26/3250/Sampah-Jadi-Ancaman-Serius-Pariwisata-Bali.html,
diakses pada tanggal 1 Mei 2017.

167
sampah yang baik yang dapat dijadikan contoh daerah-daerah lain di Provinsi
Bali.

Berangkat dari pemaparan singkat terkait arah pengembangan klinik hukum


lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana tersebut diatas, kemudian
penting untuk dijelaskan lebih dalam terkait bagaimana perkembangan mitra
klinik, pola pengembangan experiential component yang dilaksanakan klinik
hukum lingkungan sebagai upaya mengoptimalisasi peran kampus dalam upaya
menjawab isu-isu lingkungan di Provinsi Bali.

2.Pembahasan
2.1. Perkembangan Mitra Klinik Hukum Lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Udayana
Perkembangan mitra klinik hukum lingkungan FH UNUD dari pertama
berdiri hingga tahun 2017 disesuaikan dengan isu khusus yang ditentukan atau
dipilih oleh klinik hukum lingkungan. Mitra ditentukan berdasarkan
kesepakatan tim pengajar klinik dengan melihat kapasitas dan konsen mitra
terkait isu lingkungan tertentu. Pola komunikasi dilakukan terhadap mitra
dilakukan baik secara formal maupun informal untuk menyepakati konsep
pelaksanaan khususnya pada segmen experiential component dan reflection
componet agar sesuai dengan tujuan awal pembelajaran klinik. Dalam
pelaksanaan komunikasi ini dijelaskan pula fungsi, tugas dan kedudukan mitra,
pengajar dan mahasiswa dalam pelaksanaan konsep pembelajaran klinik
hukum. Hal ini ditujukan agar terdapat kesamaan persepsi antar setiap elemen
sehingga tujuan pembelajaran klinik hukum dapat berjalan baik dan memberi
manfaat maksimal kepada mahasiswa peserta klinik. Mitra juga diberikan
keleluasaan untuk menyampaikan pola pengembangan yang dapat dilaksanakan
dalam pelaksanaan experiential component klinik sesuai dengan program
ataupun arah gerakan komunitas/organisasi sosial kemasyarakatan yang
ditentukan sebagai mitra klinik.

Adapun dari awal berdirinya klinik hukum lingkungan hingga tahun


2017 telah dilakukan kerjasama dengan beberapa mitra terkait meliputi :

168
• WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Bali
Magang • BLH (Badan Lingkungan Hidup) Bali

• Penyuluhan tentang sampah di SMPK Harapan dan SMAN 8 Denpasar


Street
Law

Konservasi • Earth Hour Denpasar


Mangrove

Penelitian • PPLH (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Hidup) Bali


Lapangan

Dari bagan perkembangan mitra klinik hukum lingkungan di atas dapat


dijelaskan bahwa terjadi perubahan mitra setiap periode sesuai dengan
perkembangan fokus isu yang ditentukan oleh tim klinik hukum lingkungan.
Pada awal pelaksanaan klinik hukum lingkungan mencoba memberikan ruang
magang atau berpraktek langsung kepada mahasiswa dengan bekerjasama
dengan Badan Lingkungan Hidup sebagai representasi dari pemerintah dan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Provinsi Bali sebagai representasi
Lembaga Sosial Kemasyarakatan yang konsen terhadap isu-isu lingkungan
hidup diprovinsi Bali. Pola kegiatan diarahkan cukup sederhana yaitu dengan
mahasiswa melakukan praktek magang langsung dalam ikut mengkaji dan
melakukan pendampingan terhadap isu-isu lingkungan Bali yang sedang
menjadi fokus dari pemerintah maupun LSM mitra klinik.

Dalam perkembangannya kemudian, tim klinik kemudian disemester


selanjutnya mencoba untuk melaksanakan suatu konsep pengembangan lain
dalam metode klinik, yaitu pelaksanaan penyuluhan hukum (street law clinic)
dengan mengambil fokus terkait sampah dengan menyasar dan bekerjasama
dengan beberapa Sekolah Menegah Atas dan Sekolah Menengah Pertama.
Metode ini coba dikembangkan untuk coba menyebarluaskan semangat atau
konsep pengelolaan sampah yang coba dianalisis dalam proses pembelajaran
kelas berdasarkan instrumen hukum terkait untuk disebarkan ketataran yang
lebih luas khususnya kegenerasi muda ditingkat Sekolah. Adapun dalam
pelaksanaannya street law klinik dilakukan dengan bekerjasama dengan SMPK
Harapan dan SMA 8 Denpasar.

169
Pada Tahun 2016 klinik hukum lingkungan berupaya membangun sebuah tema
besar yaitu terkait optimalisasi peran kampus dalam ikut menjawab
permasalahan-permasalahan lingkungan di Provinsi Bali. Hal ini membawa
konsekuensi terhadap penguatan konsep kemitraan klinik yang sesuaikan
dengan isu-isu aktual yang terjadi di masyarakat. Pada periode ini klinik hukum
lingkungan kemudian memilih mitra pelaksanaan klinik terhadap komunitas-
komunitas muda yang konsen dibidang isu lingkungan tertentu. Dengan fokus
isu yang dipilih yaitu terkait dengan konservasi mangrove maka penentuan
mitra klinik disesuaikan dengan pilihan isu yang ditentukan. Pada
pelaksanaannya klinik hukum lingkungan kemudian memilih Earth Hour
Denpasar sebagai mitra pelaksanaan klinik Tahun 2016. Berbagai macam
program dan metode pengembangan pembelajaran klinik disepakati dan
dilaksanakan pada periode ini dengan tujuan dapat memaksimalkan peranan
kampus dalam ikut berperan pada upaya konservasi mangrove yang saat ini
menjadi salah satu isu sensitif dan menarik di Provinsi Bali.

Perkembangan selanjutnya pada Tahun 2017 yang pada semester ini ini sedang
berjalan kemudian bekerjasama dengan mitra baru yang relevan dengan isu
yang disepakati. Klinik Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Udayana memilih khusus segmen pengelolaan sampah sebagai isu khusus yang
dikaji. Mitra ditentukan dengan menimbang program dan arah gerakan yang
selaras dengan segmen isu yang dipilih oleh tim klinik hukum lingkungan. Pada
periode ini dipilih Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali (PPLH Bali)
sebagai mitra klinik hukum lingkungan Fakultas Hukum Udayana. Di tahun
2017 Klinik Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana
bermitra dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali. PPLH bali
merupakan sebuah organisasi swadaya masyarakat yang fokus pada masalah
lingkungan dan pemberdayaan masyarakat di Provinsi Bali. PPLH telah banyak
melakukan penelitian dan kegiatan terkait perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup terutama dalam lingkup Provinsi Bali. PPLH juga konsen
terhadap masalah pendidikan lingkungan bagi para pelajar usia muda di
Provinsi Bali.

Klinik Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana kemudian tertarik


untuk bekerja sama dan bermitra dengan PPLH Bali dalam pelaksanaan Klinik
Hukum Lingkungan tahun 217. Sesuai dengan tema besar yaitu Optimalisasi
Peran Kampus dalam Menjawab Isu-Isu Lingkungan di Provinsi Bali Melalui
Pengembangan Konsep Pembelajaran Clinical Legal Education dan fokus isu
lingkungan yang diangkat kali ini adalah tentang pengelolaan sampah maka
Klinik Hukum Lingkungan dan mitra yaitu PPLH Bali kemudian menggagas
suatu rencana penelitian.

Dalam pelaksanaannya pengembangan dilaksanakan dengan mencoba


melakukan riset langsung ke lapangan terkait permasalahan pengelolaan

170
sampah yang dikaitkan dengan pengaturanya dalam produk hukum daerah
terkait, pembentukan hasil riset dalam bentuk kajian, presentasi masing-masing
kajian bersama mitra yang tujuannya tidak lain selain merupakan bentuk
pembelajaran langsung terhadap mahasiswa peserta klinik juga memberikan
masukan strategis terhadap mitra, sehingga mitra ke depannya dapat melakukan
pendampingan kepada masyarakat dan pemberdayaan terkait sampat dengan
lebih tepat guna dan tepat sasaran. Masukan strategis juga diharapkan dapat
diperhatikan oleh pemerintah (lembaga terkait) dalam menemukan
permasalahan dari pelaksanaan aturan terkait pengelolaan sampah.

2.2 Pola Pengembangan Expreintal Componet Klinik Hukum Lingkungan

Pengembangan metode pembelajaran klinik hukum lingkungan khususnya


dalam tahapan expriential component bersama mitra klinik menjadi hal yang
begitu menarik untuk terus dilaksanakan. Hal ini tidak lain ditujukan untuk
semakin mendekatkan diri ke tujuan utama dari pelaksanaan klinik yaitu untuk
mencapai keadilan sosial dan mampu memberi kemanfaatan yang sebesar-
besarnya melalui langkah-langkah yang inovatif dan kreatif. Dalam makalah ini
kemudian akan coba dipaparkan secara mendalam mengenai salah satu pola
pengembangan expriential component yang dilaksanakan klinik hukum
lingkungan bersama mitra Earth Hour Denpasar yang dalam pelaksanaannya
secara khusus mendukung upaya konservasi mangrove di Provinsi Bali. Pola ini
dipilih untuk dipaparkan lebih lanjut dari seluruh rangkaian pola klinik hukum
lingkungan yang telah terlaksana karena dianggap memiliki karakteritik unik
dan menarik yang digagas dengan kreatif secara bersama-sama dengan mitra
yang berkesesuian erat dengan fokus isu utama yang ingin dilaksanakan klinik
hukum lingkungan yaitu terkait optimalisasi peran kampus dalam menjawab isu
lingkungan di Provinsi Bali.

Adapun deskripsi terkait pola pengembangan pelaksanaan experiential


component Klinik Hukum Lingkungan Tahun2016 dengan mitra Earth Hour
Denpasar yang secara khusus mengangkat tema terkait ―Konservasi Mangrove‖
meliputi :

Pengembangan Konsep Pembelajaran Klinik Hukum Lingkungan FH UNUD


2016 dilakukan dengan melaksanakan beberapa gerakan khusus yaitu :

- Pembentukan Kajian Multiperspektif terkait konservasi mangrove,


- Gerakkan Turun ke lapangan melakukan konservasi mangrove,
- Melakukan gerakan social campaign (gerakan mengajak generasi muda
untuk ikut berperan aktif dalam mendukung konservasi melalui media-
media kreatif dan media sosial)

171
- Melakukan diskusi berkala bersama mitra terkait permasalahan-
permasalahan konservasi mangrove
- Pelaksanaan Forum ―Mahasiswa Bicara‖ terkait Isu-Isu yang didapat
dalam Konservasi Mangrove
- Street Law terkait Isu Konservasi Mangrove.

A.Pembentukan Kajian Multiperspektif


Pembentukan tim kajian ini ditujukan untuk memperkuat ruang kritis
mahasiswa dalam menganalisa permasalahan-permasalahan yang ditemukan
langsung dilapangan dan potensi yang dapat dioptimalkand dalam upaya
mendukung upaya konservasi mangrove. Dalam pelaksanaanya mahasiswa
diminta untuk membentuk tim-tim kecil dan melakukan riset langsung
kelapangan sembari merumuskan ide atau isu terkait yang dapat diambil dan
dikaji secara khusus yang diakhir proses klinik akan dipresentasikan di
depan mitra klinik dan keseluruhan peserta klinik.

Adapun beberapa contoh isu yang diangkat beberapa tim klinik hukum
lingkungan meliputi :

1. Pengaturan Konsep Corporate Social Responsibility Sebagai Upaya


Mendukung Konservasi Mangrove Di Kabupaten Badung
2. Strategi Kebijakan Pengembangan Hutan Mangrove Sebagai Wisata
Edukasi
3. Peran Pemerintah Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan
Kerusakan Terhadap Ekosistem Mangrove
4. Optimalisasi Konservasi Mangrove Guna Peningkatan Pendapatan
Masyarakat Pesisir Menurut Perspektif Hukum Lingkungan
5. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Penanggulangan
Gangguan Terhadap Ekosistem Mangrove Di Kabupaten Badung,
Bali

B.Gerakan Turun Langsung ke Lapangan Melakukan Konservasi


Unsur Experiential Component pada klinik hukum lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Udayana Tahun 2016 juga dilakukan dengan mengajak
mahasiswa turun langsung ke lapangan untuk ikut berperan dan melakukan
langkah nyata dalam mendukung upaya konservasi mangrove di Provinsi
Bali. Hal ini ditujukan untuk memperkuat sensitifitas atau kepekaan
mahasiswa langsung terhadap permasalahan konservasi mangrove
dilapangan yang sering dihadapi.

172
Adapun beberapa kegiatan rutin yang dilakukan setiap minggunya
bersama mitra klinik hukum yaitu EH Denpasar di kawasan konservasi
mangrove bertempat di Hutan Mangrove Kampung Kepiting Tuban Kuta
(Kawasan Tahura Ngurah Rai) meliputi :

1. Pembibitan mangrove
2. Penanaman bibit mangrove
3. perawatan mangrove
4. Gerakan pembersihan kawasan konservasi

C.Social Campaign
Gerakan social campaign dilakukan oleh klinik hukum lingkungan FH
UNUD merupakan gerakan pelengkap yang mencoba mengunakan
pesatnya perkembangan teknologi dengan memaksimalkan akses media
sosial mahasiswa (sebagai kaum muda) untuk mendukung dan/atau
menyebarluaskan semangat akan pentingnya konservasi mangrove kepada
masyarakat terutama generasi muda. Gerakan ini merupakan gerakan
sederhana untuk mengajak dan mengkampanyekan bahwa bersedia untuk
ikut turun kelapangan merupakan langkah nyata yang dapat diambil
generasi muda untuk mempertahankan ekosistem mangrove semakin hari
semakin berkurang.

D.Forum Diskusi Bersama Mitra


Forum diskusi bersama mitra klinik hukum lingkungan merupakan
langkah penguatan yang coba dikonsep dan dilaksanakan guna mendukung
dan memperkuat proses pemahaman mahasiswa terhadap isu-isu
konservasi yang sedang dikaji mahasiswa klinik. Forum diskusi bersama
ini dilakukan dengan konsep sederhana seperti pada saat melakukan riset
dilapangan, kunjungan ke kantor mitra, kegiatan diskusi bersama sebelum
proses turun ke lapangan dan beberapa diskusi khusus dalam rangka
penguatan kajian mahasiswa klinik terkait isu konservasi.

E.Mahasiswa Bicara
Kegiatan Mahasiswa Bicara yang dilakukan oleh Klinik Hukum
Lingkungan FH UNUD merupakan salah satu bentuk pengembangan
terkait sarana evaluasi klinik dengan melibatkan mahasiswa peserta klinik,
pengajar dan mitra klinik hukum lingkungan. Pada kegiatan ini setiap
kelompok mahasiswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil
kajian yang diangkat terkait isu konservasi. Forum ini juga digunakan
sebagai media diskusi dan penguatan pemahaman mahasiswa terkait isu-
isu konservasi. Selain itu forum ini juga memiliki fokus penting yaitu
digunakan secara khusus untuk melakukan evaluasi dan refleksi terkait
penyelenggaraan klinik hukum lingkungan 2016.

173
F.Street Law Clinic
Kegiatan experiential component selanjutnya adalah model street law di
SMA 2 Kuta, sekolah yang wilayahnya dekat dengan kawasan konservasi
mangrove. Model Street Law secara khusus telah diterapkan dalam
pelaksanaan klinik hukum lingkungan pada Tahun 2015 dengan
mengambil fokus isu terkait pengelolaan sampah yang menyasar pada
siswa SMP dan SMA diseputaran Kota Denpasar. Pelaksanaan penyuluhan
(street law) tahun 2016 ini ditujukan secara khusus untuk membahas
terkait pentingnya peran pemuda dalam mendukung konservasi mangrove
yang menyasar siswa- siswi SMA di kawasan dekat konservasi. Hal ini
merupakan langkah lanjutan dari proses pengembangan konsep
pembelajaran yang telah dilakukan oleh Tim Klinik Hukum Lingkungan
pada saat mengambil fokus isu terkait konservasi mangrove. Tujuannya
tidak lain untuk meningkatkan semangat dan pengetahuan siswa,
memberikan informasi, memaparkan hasil analisis dan berusaha mengajak
siswa siswi untuk ikut turun tangan berbuat langsung dalam pelaksanaan
konservasi mangrove.

Dalam kegiatan street law ini para mahasiswa hanya didampingi dan
diawasi oleh para pengajar, sehingga mahasiswalah yang berperan aktif
sebagai penyuluh. Karena pentingnya peran mahasiswa dalam kegiatan ini
maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum dan ketika
kegiatan street law tersebut dilaksanakan, yaitu:231

a. Mempersiapkan tema street law dan tempat pelaksanaannya,


b. Role play, mempersiapkan peran masing-masing mahasiswa yang
akan terjun untuk street law,
c. Simulasi, mahasiswa melakukan simulasi sesuai dengan masing-
masing peran yang telah ditentukan di dalam role play, agar
nantinya mahasiswa siap saat melaksanakan street law di lapangan.
d. Penyuluhan, mahasiswa melaksanakan penyuluhan di tempat yang
telah ditentukan dengan menyampaikan suatu tema tertentu sesuai
dengan role play dan simulasi yang telah dilaksanakan.
e. Penilaian, sesuai dengan kesepakatan dosen pengampu dan
mahasiwa. Dalam klinik hukum lingkungan nilai street law selain
dari praktik yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa juga didapat
dari laporan akhir yang dibuat oleh mahasiswa.

Pada pelaksanaan street law dengan mitra Earth Hour yang telah lalu,
mahasiswa Klinik Hukum Lingkungan FH Unud mengambil tema
penyuluhan ―Meningkatkan Kesadaran Siswa Dalam Pelestarian Hutan

231
Kadek Sarna et.al., 2016, Pengembangan Metode Pembelajaran Klinik Hukum Lingkungan, Planning,
Experiential dan Reflection Component, Udayana University Press, Denpasar, h. 108.

174
Mangrove‖, mahasiswa sebagai penyuluh ingin membantu meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan para siswa tentang pentingnya konservasi
mangrove dan bagaimana manfaat mangrove untuk kelestarian alam dan
manusia, jadi kesadaran untuk peduli ditanamkan sejak dini.

3. Penutup
3.1. Kesimpulan
Demikian pembahasan singkat Tim Klinik Hukum Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Udayana terkait Perkembangan Mitra dan Pola
Pengembangan Konsep Pembelajaran Klinik Hukum Lingkungan Universitas
Udayana. Dimana dalam penentuan mitra klinik dilakukan secara selektif dan
disesuikan dengan fokus isu yang ditentukan Tim klinik. Terhadap Mitra juga
dilakukan komunikasi berkala dan diberikan ruang yang luas untuk ikut serta
melakukan pengembangan pola pembelajaran sesuai dengan program dan arah
gerakan namun dengan tetap berkesesuian dengan tujuan klinik. Adapun mitra
klinik Hukum Lingkungan Universitas Udayana dari mulai dilaksanakan hingga
tahun 2017 meliputi : BLH, Wahli Bali, EH Denpasar, PPLH Bali dan
Komunitas-komunitas lingkungan di Provinsi Bali.

Terkait dengan Pengembangan Pola Pembelajaran, Tim Klinik Hukum


Lingkungan telah mencoba beberapa langkah baru dan kreatif dalam
pengembangan proses pembelajaran khususnya dalam pelaksanaan experiential
component bersama mitra. Salah satu yang dapat dijadikan contoh adalah saat
pelaksanaan klinik hukum lingkungan dengan fokus isu konservasi mangrove
dengan mitra komunitas Earth Hour Denpasar. Pengembangan pola experiential
component dilakukan bersama mitra dengan tetap melandaskan pada tujuan
utama yang ingin dicapai yaitu memberi kemanfaatan sebesarnya dan
mendukung upaya konservasi mangrove. Bentuk pengembangan pola
experiential component yang dilakukan meliputi : pembentukan kajian
multiperspektif terkait konservasi mangrove, aksi turun kelapangan, social
campaign, diskusi bersama mitra, forum mahasiswa bersama dan ditutup
dengan penyebarluasan hasil dalam bentuk street law clinic dengan fokus isu
terkait konservasi.

Dengan pengembangan pola pembelajaran klinik hukum ini kami berkeyakinan


bahwa Peran kampus dalam menjawab isu-isu lingkungan dapat dioptimalisasi
dengan nyata melalui pengembangan konsep pendidikan yang dimasukkan
dalam sistem kurikulum perkuliahan. Kampus sudah seharusnya hadir ditengah
masyarakat sebagai wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Gagasan
pengembangan konsep pembelajaran Klinik Hukum Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Udayana untuk dapat ikut menjawab isu-isu lingkungan di
Provinsi Bali kemudian dapat menjadi upaya nyata kampus untuk dapat
berkontribusi bagi daerah dan memberi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi
masyarakat.

175
Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419.

Buku
Dwidjoseputro, Ekologi Manusia dengan Lingkungannya, PT Erlangga, Jakarta, 1994, h.
32.
Sarna, Kadek, et.al., 2016, Pengembangan Metode Pembelajaran Klinik Hukum
Lingkungan, Planning, Experiential dan Reflection Component, Udayana
University Press, Denpasar, h. 108.

Internet http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160222182308-
277-112685/indonesiapenyumbang-sampah-plastik-terbesar-ke-dua-dunia/,
diakses pada tanggal 1 Mei 2017.
http://suaradewata.com/read/2015/10/26/3250/Sampah-Jadi-Ancaman-
Serius-PariwisataBali.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2017.

176
III. Regional And International Relation To The Fulfillment Of
Community Justice

KETIDAKADILAN GLOBAL: PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS


(ANALISA TERHADAP EKSISTENSI MASYARAKAT EKONOMI
ASEAN)

Birkah Latif
Prof. SM. Noor, SH., MH.
Prof. Juajir Sumardi, SH., MH.
Prof. Irwansyah, SH., MH.

Sejak resmi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2016
yang lalu menciptakan suatu kewajiban bagi negara-negara yang bergabung
kedalam integrasi ekonomi ini. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut serta
juga diwajibkan untuk ikut dalam pengaturan baik secara internal dan eksternal di
lajur MEA. Beberapa hal kemudian menjadi titik balik bagi Indonesia untuk dapat
melihat tantangan serta juga peluang dalam pasar bebas kawasan Asia ini.
Beberapa isu muncul sebagai bentuk-bentuk kekhawatiran akan kesiapan
menghadapi MEA seperti: ketimpangan ekonomi, kompetisi, lingkungan hingga
perlindungan Hak Asasi Manusia. Selain itu, beberapa pengalaman dari
komunitas perdagangan bebas dari negara-negara diluar Asia menjadi sorotan bagi
negara untuk melihat persoalan mendasar atas kinerja dari suatu ―peramuan‖
perdagangan bebas. Untuk itu, dirasakan sangat penting untuk dapat
―mengekstrakkan‖ pemikiran untuk mengkaji serta menyusun perencanaan serta
pengaturan yang matang atas pelaksanaan MEA agar dapat menghindari
ketimpangan serta ketidakadilan dari elaborasi ekonomi yang mengatasnamakan
untuk kesejahteraan serta pertumbuhan ekonomi masayarakat dari negara-negara
di kawasan Asia Tenggara.

1. Perekonomian global dan perdagangan


1. A. Skope dari Ekonomi Global
Perkembangan serta pertumbuhan ekonomi merupakan suatu hal yang bersifat
multidimensional dan kompleks. Pemusatan pemikiran atas prakarsa
pengembangan ekonomi telah dilaksanakan melalui dasawarsa yang sangat
panjang. Secara teoritik perkembangan laju ekonomi di mulai melalui beberapa
perkembangan alur yaitu aliran teori klasik: model perubahan struktur (structural
change models), model ketergantungan internasional (international dependence
models), Model kontra-revolusi neoklasik (neoclassical counter-revolution

177
models). Selanjutnya di tingkatan selanjutnya adalah Teori perkembangan
ekonomi kontemporer (contemporary theories of economic development).
Perkembangan model ekonomi ini saling berkaitan dengan lajun pertumbuhan
ekonomi dunia.
Perkembangan perekonomian menjadi salah satu fungsi yang dipegang oleh
negara. Untuk mencapai kemakmuran negara, maka diperlukan formulasi serta
perencanaan dari negara untuk membuat kerangka kerja dalam menggerakkan
roda perekonomian yang ada. Salah satu upaya yang ditempuh oleh negara dalah
dengan melakukan perdagangan dengan menampilkan keunggulan dari negaranya
kepada negara lain yang membutuhkan. Konsep sederhana dari perdagangan
dimulai dari pertukaran barang sampai kepada pola perdagangan ecommerce
dewasa ini.

Konsep dari arah perdagangan internasional tersebut bersifat:

a. Free trade adalah daerah perdagangan bebas beberapa negara yang


mengizinkan perdagangan bebas di antara mereka sendiri dengan
menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif (bea cukai, pembatasan /
ekspor ekspor kuantitatif dan tindakan dengan efek setara).
b. custom union adalah penerapan tarif bea cukai yang umum untuk
perdagangan eksternal.

Selain bentuk perdagangan antar negara (bilateral) juga terdapat perdagangan


yang bersifat multilatera dan bahkan coraknya pun berkembang menjadi suatu
entitas baru berupa blok232 perdagangan. Salah satu yang dapat kita lihat saat ini
adalah kesatuan perdagangan bebas yang dibentuk oleh masyarakat Uni Eropa.

Perdagangan bebas tentunya juga memberikan sejumlah manfaat, seperti


terbukanya akses pasar barang dan jasa, terpenuhinya bahan baku, bahan
penolong, dan barang modal, peningkatan investasi yang akan mempengaruhi
struktur industri, mendorong adanya peningkatan kapasitas (capacity building)233
untuk peningkatan daya saing industri domestik, dan peningkatan daya beli

232
economic union adalah sebuah serikat ekonomi mereka bahkan mengkoordinasikan kebijakan
ekonomi domestik mereka. Integrasi (Integration) ekonomi bersifat melampaui, berarti
penyatuan negara dan masyarakat mereka dalam persatuan jangka panjang dan menyeluruh
yang mempertimbangkan masa depan bersama. Untuk terminologi single market para peserta
menjamin pergerakan bebas barang, jasa, orang dan modal secara komplementer,
mempromosikannya dengan harmonisasi undang-undang yang relevan dan melindunginya dari
distorsi persaingan.
233
Kementerian Perdagangan Luar Negeri Republik Indonesia, Kajian Dampak Kesepakatan
Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia, Pusat Kebijakan
Perdagangan Luar Negeri Badan pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, 2011.

178
masyarakat. Implementasi kesepakatan perdagangan bebas membawa konsekuensi
terhadap daya saing produk, baik daya saing di pasar internasional maupun daya
saing di pasar domestik. Namun, perdagangan bebas tidak akan dapat memberikan
manfaat yang besar jika daya saing industri dalam negeri jauh lebih rendah
dibandingkan dengan industri luar negeri.

Segala konsep serta arah dari dinamisasi perrdagangan diatas sebenarnya termuat
dari jenis-jenis perjanjian internasional yang dibuat serta berdasar kepada
―kepentingan‖ dari negara-negara sendiri untuk memilih.

1. b. Keterkaitan antara perdagangan dan perkembangan ekonomi

Perdagangan dalam ilmu ekonomi adalah suatu proses tukar menukar yang
didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Aspek sukarela ini
penting karena memiliki implikasi fundamental, hal ini dilakukan apabila setiap
pihak memperoleh manfaat dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Motif
pertukaran adalah adanya manfaat dari perdagangan (gains from trade).

Krugman dan Obstfeld234 menjelaskan bahwa terdapat dua alasan utama setiap
negara melakukan perdagangan internasional.

1) negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah karena mereka


berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-
individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di
antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak
dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik.

2) negara-negara berdagang satu-sama lain dengan tujuan untuk mencapai


apa yang lazim disebut sebagai skala ekonomis (economics of scale) dalam
produksi.

Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau kegiatan perdagangan


internasional suatu negara tidak terlepas dari segala tindakan pemerintahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan perdagangan internasional
memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya dalam volume dan komposisi
impor dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah pengembangan, tetapi juga
kondisi persaingan, kondisi biaya, pola konsumsi, dan berbagai pertimbangan
lainnya.

Krugman dan Obstfeld melihat perdagngan internasional dalam meningkatkan

234
Paul R Krugman and Maurice Obstfeld, International Economic: Theory and Policy,
http://course.sdu.edu.cn/G2S/eWebEditor/uploadfile/20120417191243_590081573385.pdf,
diakses pada 16 April 2017.

179
output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang
mereka kuasai keunggulan komparatifnya. Suatu negara memiliki keunggulan
komparatif (comparative advantage) dalam memproduksi suatu barang jika biaya
yang dikeluarkan dalam memproduksi barang tersebut (dalam satuan barang lain)
lebih rendah daripada negara-negara lainnya.

Saylor menyatakan bahwa:235

International trade is a field in economics that applies microeconomic


models to help understand the international economy. Its content includes
basic supply-and-demand analysis of international markets.

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai


berikut:

1) Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak


faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat
penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional,
setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

2) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan


perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan
oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang
sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih
baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.

3) Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para


pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan
maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang
mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan
internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal,
dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.

4) Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu


negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara
manajemen yang lebih modern

Secara teoritis, perdagangan bebas dapat memberikan keuntungan secara ekonomi


karena meningkatnya akses pasar dan surplus ekonomi secara keseluruhan.

235
Saylor, Introductory Trade Issues: History, Institutions, and Legal Framework,
https://www.saylor.org/site/textbooks/International%20Trade%20-
%20Theory%20and%20Policy.pdf, diakses pada 16 April 2017.

180
Keterbukaan ekonomi dan perdagangan memberikan konsekuensi dua hal secara
sekaligus, yaitu:

1) Peluang. Semakin terbukanya perdagangan antar satu negara dengan


negara lainnya dapat memberikan peluang meningkatnya akses pasar produk
dalam negeri di pasar internasional sekaligus juga

2) tantangan terhadap daya saing industri dalam negeri terhadap produk luar
negeri.

Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif dengan


perdagangan internasional, yaitu perdagangan antara dua negara akan
menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan
mengekspor produk yang keunggulan komparatif dari negara tersebut.

2. Ruang lingkup dari Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

Matthias Busse, Jens K niger menyatakan bahwa:236

The integration of countries into the world economy is often regarded as


an important determinant of differences in income and growth across
countries. Economic theory has identified the well-known channels
through which trade can have an effect on growth. More specifically,
trade is believed to promote the efficient allocation of resources, allow a
country to realize economies of scale and scope, facilitate the diffusion of
knowledge, foster technological progress, and encourage competition
both in domestic and international markets that leads to an optimization
of the production processes and to the development of new products.

Berkaitan dengan hal tersebut maka negara-negara di Asia Tenggara bersepakat


untuk melakukan integrasi ekonomi melalui ASEAN Economic Community atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN (biasa disingkat dengan MEA)

MEA adalah tujuan untuk merealisasikan integrasi ekonomi kawasan ini. MEA
bertujuan untuk mencipatakan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi,
wilayah yang kompetitif, dengan pembangunan ekonomi yang adil, dan
terintegrasi sepenuhnya ke dalam ekonomi global.

Dengan di ratifikasinya perjanjian MEA ini di 2016, maka pelaksanaan dari MEA
dimulai dengan pergerakan barang, layanan, dan investasi bebas serta arus modal
236
Matthias Busse, Jens niger, Trade and Economic Growth: A Re-examination of the Empirical
Evidence, https://www.ifw-kiel.de/konfer/staff-seminar/paper/2012/Koeniger.pdf

181
dan keterampilan yang lebih bebas. Dengan undang-undang perdagangan dan
investasi yang harmonis, ASEAN, sebagai organisasi berbasis peraturan akan
diperkuat dan sebagai tujuan investasi tunggal.

Sumber http://investasean.asean.org/index.php/page/view/asean-
economic-community/view/670/newsid/755/about-
aec.html

Sebagai penunjang dari integrasi ekonomi ini, ASEAN juga membuat kesepakatan
penunjang berupa ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), yang
menggantikan Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT); ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS); Dan ASEAN Comprehensive
Investment Agreement (ACIA), yang menggantikan ASEAN Investment Agreement
(AIA). Juga dihimpun aturan mengenai ASEAN Agreement on Movement of
Natural Persons (AAMNP) tentang pergerakan orang-orang di kawasan ASEAN
dan Mutual Recognition Arrangements on Services (MRAs) menyangkut layanan
timbal balik.

Kesepakatan ini bertujuan untuk:

1. Memfasilitasi pergerakan barang, jasa, investasi, modal, dan keterampilan


2. Meningkatkan perdagangan (barang dan jasa) dan investasi antar negara
anggota

182
3. Mempromosikan dan memperluas pembagian dan jaringan produksi
regional
4. Mempromosikan tingkat transparansi dan prediktabilitas yang lebih tinggi

Selain itu juga terdapat perjanjian terkait transportasi, yang mencakup the ASEAN
Framework Agreement on the Facilitation of Foods in Transit (AFAFGIT)
berkaitan dengan fasilitasi transit atas makanan, ASEAN Framework Agreement
on Multimodal Transport (AFAMT) berkaitan dengan Multimodal Transport, and
ASEAN Framework Agreement on Facilitation of Inter-State Transport
(AFAFIST) berkaitan dengan fasilitasi transportasi antar negara.

Dengan tujuan MEA tersebut diatas berarti iklim investasi akan lebih baik di
ASEAN. MEA akan memfasilitasi pelaksanaan perdagangan, jasa, investasi, dan
reformasi lainnya yang diperlukan di masing-masing negara Anggota ASEAN,
sehingga meningkatkan ―nilai tawar‖ masing-masing negara. Di tingkat regional,
MEA sangat penting dalam mengembangkan ASEAN sebagai kawasan dan
menjadikannya salah satu blok ekonomi paling kompetitif di dunia.

3. Tantangan dan ancaman MEA

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai komunitas ekonomi regional


merupakan integrasi ekonomi yang diharapkan dapat mengarahkan dan
menguatkan ASEAN secara komunal. Tentunya operasional atas MEA ini
belumlah terlepas dari kekhawatiran akan enforcing-nya di negara-negara. Secara
umum untuk bergelut dan masuk kedalam integrasi pasar ini maka diperlukan
pembahasan khusus mengenai kerangka dari MEA dengan menilai beberapa
kekurangan yang ada pada komposisi dari regulasi MEA. Berikut beberapa aspek
internal dan eksternal atas MEA yang masih perlu untuk dipertajam lagi:

Secara internal,

1. No legal foundations in the ASEAN Charter:

While the legal foundations of the European internal market are laid down
in numerous institutional, procedural and substantive provisions in the
FEU Treaty and the Protocols, there is nothing like that in the ASEAN
Charter. The Charter is confined to the establishment of an institution at
the working level, the ASEAN Economic Community Council (art. 9). In
order to realization the objectives of the AEC, this subordinated institution
ensures the implementation of the relevant decisions of the ASEAN
Summit, coordinates the work of the different sectors and submits reports
and recommendations to the Summit - but does not decide itself (cf. art.
9(4)).

Hal ini menyebabkan bahwa posisi dari landasan hukum MEA yang masih

183
rapuh. Sangatlah berbeda dengan EU yang telah memiliki paranat hukum
yang lengkap hingga tingkat konstitusi negara masaing-masing.

Dasar hukum pasar internal Eropa diletakkan dalam berbagai ketentuan


institusional, prosedural dan substantif dalam Traktat FEU dan
Protokolnya, tidak ada yang seperti itu dalam Piagam ASEAN. Piagam ini
terbatas pada pembentukan institusi di tingkat pekerja, Dewan Komitmen
Ekonomi ASEAN (pasal 9). Untuk mewujudkan tujuan AEC, lembaga
subordinasi ini memastikan pelaksanaan keputusan yang relevan melalui
KTT ASEAN untuk mengkoordinasikan pekerjaan berbagai sektor dan
melaporkan laporan dan rekomendasi ke KTT - namun tidak memutuskan
sendiri (Lihat pasal 9 (4)). Dengan demikian maka akan membutuhkan
prosedur dan waktu yang cukup lama dalam pengimplementasiannya.

1) Implementasi dan penegakan hukum

Aturan hukum merupakan faktor kunci untuk integrasi supra dan


internasional, bahkan untuk penggabungan beberapa pasar nasional ke
dalam satu pasar geo-regional tunggal. Hal ini telah terbaca dan
dituangkan dalam masyarakat EU namun sulit untuk dilaksanakan di MEA
jika belum dirampungkan untuk mekanisme penuangan dan khususnya
untuk penegakan hukumnya.

Ekternal:
Kesiapan negara-negara dalam melaksanakan:

1. Isu skill (perburuhan)


Dimana terdapat beberapa isu tentang kesulitan dalam berkompetisi
dengan tenaga kerja dari negara lain yang lebih siap kerja dan memiliki
keterampilan.
2. pengaplikasian (enforcing): aturan pelaksana dan penguatan ―peradilan‖
yang berkaitan dengan implementasi serta kasus-kasus yang akan muncul.
Termasuk ―gap‖ celah antar negara dalam interpretasi sistemnya.

4. Penutup

1. Perlunya penguatan internal dari ASEAN dan khususnya untuk MEA


dalam menjembatani serta memfasilitasi kerangka komunitas ekonomi
regional.
2. Perlunya pengkajian lebih mendetail mengenai perjanjian internasional
khususnya untuk meramu ―MEA‖ yang sesuai dengan semangat ASEAN.
3. Masing-masing negara perlu untuk mempersiapkan diri serta mendukung
dari MEA dengan mengedepankan access to social justice

184
Daftar Pustaka:
ASEAN Economic Community Blueprint

Kementerian Perdagangan Luar Negeri Republik Indonesia, Kajian Dampak


Kesepakatan Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur
Indonesia, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Badan pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Perdagangan, 2011.

Matthias Busse, Jens K niger, Trade and Economic Growth: A Re-examination of


the Empirical Evidence, https://www.ifw-kiel.de/konfer/staff-
seminar/paper/2012/Koeniger.pdf

Paul R Krugman and Maurice Obstfeld, International Economic: Theory and


Policy,
http://course.sdu.edu.cn/G2S/eWebEditor/uploadfile/20120417191243_59008157
3385.pdf

Saylor, Introductory Trade Issues: History, Institutions, and Legal Framework,


https://www.saylor.org/site/textbooks/International%20Trade%20-
%20Theory%20and%20Policy.pdf

185
IV. The latest Clinical Law Governance

MENYEBARLUASKAN SOCIAL JUSTICE MELALUI KLINIK HUKUM


PERANCANGAN KONTRAK DENGAN MODEL STREET LAW:
EFEKTIFITASNYA DI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Oleh:
1
Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH, MH, LLM
2
Putu Aras Samsithawrati SH, LLM
3
I Made Budi Arsika SH, LLM
4
AA. Gede Duwira Hadi Santosa SH, MHum

1,2,3,4
Dosen Klinik Hukum Perancangan Kontrak Fakultas Hukum Universitas
Udayana

Abstract

Klinik Hukum Perancangan Kontrak (KHPK) berdiri pada tahun 2015 sebagai
suatu mata kuliah yang ditawarkan bagi para mahasiswa strata 1 di Fakultas
Hukum Universitas Udayana (FH Unud). Dengan mempertimbangkan secara utuh
filosofi terpenting dari pendidikan hukum klinis, klinik ini didedikasikan untuk
membantu menyebarluaskan social justice. Salah satu alasan utama pendirian
klinik ini adalah kebutuhan untuk memberikan lebih banyak aspek experiential
kepada mahasiswa sehingga mereka dapat memiliki pengetahuan, kemampuan
praktis dan tingkah laku yang sopan santun sebagai kesatuan yang komprehensif
ketika mereka lulus kuliah. Pada dasarnya, mahasiswa didorong untuk bertindak
seperti seorang pengacara yang membantu menyebarkan pengetahuan hukum bagi
pihak-pihak yang sangat membutuhkan bantuan hukum, khususnya dalam hal
perancangan kontrak. Klinik ini menggunakan metode interaktif dan reflektif
dengan mengombinasikan klinik in-house, ex-house dan street law. Sejauh yang
telah dievaluasi, klinik street law merupakan klinik pembelajaran yang paling
efektif. Hal ini disebabkan oleh kualitas tantangan yang mahasiswa hadapi dalam
memberikan pengetahuan dan membangun kesadaran merancang kontrak kepada
setiap komunitas yang berbeda-beda hingga akhirnya social justice terbantu untuk
dicapai serta keterlibatan mahasiswa dalam memilih komunitas untuk diberi
bantuan dan isu yang tepat untuk dibawakan terkait perancangan kontrak. Sejak
tahun 2016, KHPK telah mengimplementasikan klinik street law sebanyak tiga
kali. Yang pertama dilaksanakan dengan memberikan pengetahuan hukum tentang
perancangan kontrak eksporimpor perhiasan pada pengrajin perak yang bekerja
untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Yang kedua adalah sosialisasi kepada
siswa- siswi SMAN 2 Denpasar mengenai pentingnya kontrak dalam belanja
online dan usaha franchisedan yang ketiga mengenai kontrak pada Pentas Seni.

186
Komunitas dan topik yang telah dipilih tersebut berdasarkan pada penilaian
kebutuhan komunitas. Meskipun variasi dalam komponen experiential sangatlah
dibutuhkan untuk perkembangan mahasiswa, masyarakat dan klinik, tim pengajar
KHPK lebih mengutamakan keselamatan para mahasiswa. Street law ini ternyata
mendapatkan apresiasi yang baik, terbukti dari adalah undangan dari pihak
SMAN 2 Denpasar untuk mengajak KHPK FH Unud sebagai mitra permanen
mereka melalui penandatangananMemorandum of Understanding (MoU). Hal ini
tentu merupakan suatu pertanda baik yang mengindikasikan bahwa masyarakat
semakin berniat untuk meningkatkan kesadaran hukumnya. Artikel ini bertujuan
untuk mendeskripsikan alasan dan tantangan yang dihadapi dalam
mengimplementasikan model street law di KHPK yang akan terbagi dalam
pendahuluan, pembahasan dan kesimpulan. Artikel ini bertujuan juga untuk
menginspirasi para pembaca potensial terutama bagi mereka yang terjun dalam
praktik klinik hukum, untuk mempelajari pengalaman yang diperoleh dan juga
berbagai tantangan yang dihadapi pada klinik street law KHPK FH Unud. Dari
berbagai bahasan tersebut, tim KHPK mencoba untuk membantu memenuhi akses
terhadap social justice bagi masyarakat yang sangat kurang pengetahuannya
mengenai perancangan kontrak. Dapat juga kiranya dikemukakan bahwa Klinik
street lawtelahmembawa manfaat yang luar biasa baik itu bagi pengajar (termasuk
institusi), mitra, masyarakat dan tentu saja mahasiswa karena klinik ini
mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi seorang pengacara profesional yang
memperhatikan social justice.

Kata kunci: Street Law, Social Justice, Perancangan Kontrak, Klinik Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Abstract

The Contract Drafting Law Clinic (CDLC) was established in 2015 as a course
that is offered to bachelor students at the Law Faculty University of Udayana (FL
Unud). Fully considering the primary philosophy of clinical legal education, this
course is dedicated to achieve social justice. One of the main reasons of its
establishment is the need to give more experiential aspects to the students so they
will have comprehensive knowledge, practical skill and proper attitude once they
graduated. Basically, students are encouraged to act like a lawyer, to spread their
legal knowledge, especially to help those in needs of legal aid related to contract
drafting. This course applies interactive and reflective methods by combining in-
house, ex-house, and street law clinic. As far as it has been evaluated, street law
clinic is the most effective learning model due to the challenges they faced in
transferring the knowledge and awareness of the importance of contract drafting
to each communities, thus social justice can be achieved and students engagement
in selecting the community with relevant issues. Since 2016, CDLC already
implemented street law clinic three times. The first was executed by transferring

187
legal knowledge to silver jewellery craftsmen who work for Micro, Small, and
Medium-sized Enterprises(MSMEs) regarding contract drafting for export and
import jewellery products. The second one was dissemination to students
of the public high school at SMAN 2 Denpasar regarding the importance of
contract in online shopping and franchise and the third was about contract
drafting in art and culture performance. The chosen communities and topics were
based on community need assessment. Although variety of experiential component
is important, the CDLC team teaching is also considering the student safety in the
very first place. The implementation of street law clinic has been very much
appreciated, as indicated by the invitation of SMAN 2 Denpasar to make CDLC
UNUD as their permanent partners through MoU signing. As for us, this is a
good sign that people are increasing their legal awareness. This article is aimed
to describe the reasons and challenges behind the implementation of street law
model in CDLC which will be divided into introduction, analysis and discussion
as well as conclusion. This writing may inspire potential readers, primarily those
who practice law clinic, to learn from experienced obtained from and also
challenges faced during the implementation of contract drafting street law clinic
at FL Unud. From all the above explained, the CDLC team is trying to fulfil
access to social justice for society which is less in knowledge of contract law. It
may be regarded that the street law clinic bring advantages both to the lecturers
(institution included), partner, community and obviously students as this clinic
preparing students to become a professional lawyer concerned with social justice.

Keywords: Street Law, Social Justice, Contract Drafting, Law Clinic, Law
Faculty University of Udayana.

I. PENDAHULUAN
Klinik Hukum Perancangan Kontrak (KHPK) didirikan sejak tahun 2015
berdasarkan kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud)
dengan Educating and Equipping Tomorrow‟s Justice Reformers (E2J) dan The
Asia Foundation-USAID. Saat ini FH Unud memiliki 5 (lima) klinik hukum
selain KHPK, yaitu: Klinik Hukum Pidana, Klinik Hukum Perdata, Klinik Hukum
Anti Korupsi, Klinik Hukum Lingkungan dan Klinik Perancangan Produk Hukum
Daerah. Mata kuliah klinik hukum dikualifikasikan sebagai mata kuliah pilihan
dengan bobot 2 (dua) Sistem Kredit Semester (SKS) yang ditawarkan kepada
mahasiswa Strata 1 di FH Unud. Pembentukan KHPK di FH Unud
dilatarbelakangi oleh banyaknya dilakukan transaksi bisnis internasional di Bali.
Telah amat lazim dipraktikkan bahwa transaksi bisnis internasional dalam skala
besar mensyaratkan adanya kontrak sebagai dasar hukum bagi para pihak yang
melakukan transaksi tersebut.. Penyusunan kontrak bisnis internasional
membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus mengingat adanya perbedaan
sistem hukum di dunia yang menimbulkan perbedaan tradisi dalam berkontrak.

188
Pengetahuan dan keahlian dalam menyusun kontrak bisnis internasional
merupakan hal fundamental yang harus dimiliki oleh seorang profesional hukum
(pengacara; konsultan hukum). Melalui mata kuliah KHPK di FH Unud,
mahasiswa hukum mendapatkan lebih banyak bagian praktik (experiential
component) dalam menyusun kontrak bisnis internasional, pengetahuan hukum
secara menyuluruh (teori, prinsip kontrak bisnis internasional), keahlian praktis
(teknik negosiasi, teknik penyusunan kontrak bisnis internasional) dan nilai-nilai
serta tingkah laku yang baik setelah mereka menjadi seorang sarjana hukum. Pada
dasarnya, mahasiswa diajak, dibina, dibimbing untuk bertindak/bertingkah laku
sebagai seorang sarjana hukum yang profesional, menggunakan dan
mengaplikasikan pengetahuan hukumnya, memberikan bantuan hukum,
menyebarluaskan keadilan sosial (social justice) bagi masyarakat yang
membutuhkan (terutama yang kurang mampu) terkait dengan penyusunan kontrak
bisnis internasional. Masyarakat yang kurang mampu (baik dari segi finansial
maupun pengetahuan hukum) biasanya tidak mengetahui akibat-akibat yang
timbul apabila mereka menjadi pihak dalam suatu kontrak bisnis internasional.
Biasanya mereka menjadi pihak yang posisinya lemah sehingga sering dirugikan.
Sebagai contoh, nama mereka sebagai orang Bali asli dipinjam oleh orang asing
yang ingin mendirikan perusahaan di Bali. Otomatis segala tindakan yang
dilakukan perusahaan tersebut atas nama orang Bali termasuk dalam membuat
kontrak bisnis internasional. Seringkali orang Bali yang dipinjam namanya
tersebut tidak tahumenahu tentang isi kontrak yang dibuat perusahaan dan ketika
kontrak tidak terlaksana dengan baik maka orang Bali ini yang harus bertanggung
jawab dan mengganti sejumlah kerugian.

Komponen praktik (experiential component) merupakan komponen


terbanyak (60 – 65%) dalam pendidikan hukum klinis (termasuk KHPK FH
Unud). Inilah salah satu keunikan yang dimiliki pendidikan hukum klinis sebagai
salah satu metode pembelajaran. Mahasiswa tidak hanya diberikan teori secara
monoton,melainkan juga diajak terjun langsung ke masyarakat untuk
menyebarluaskan keadilan sosial (social justice) sehingga mereka akan menjadi
sarjana hukum siap pakai di dunia kerja. Teori, prinsip atau asas hukum diberikan
kepada mahasiswa pada tahap perencanaan (planning component) yang
komposisinya 30–35%. Mahasiswa KHPK FH Unud akan mempelajari teori-teori
hukum kontrak internasional (syarat pembuatan kontrak, prinsip-prinsip kontrak
internasional, anatomi kontrak dan penyelesaian sengketanya), teknik menghadapi
klien (bagaimana cara mengajukan pertanyaan, bagaimana cara melakukan
negosiasi dan bagaimana menyusun kontrak yang benar). Teori-teori itulah yang
akan dipraktekkan pada tahapan experiential component.

Tahapan yang terakhir adalah komponen evaluasi dan refleksi (evaluation


and reflection component) sebanyak 5 – 10%. Dalam tahap ini dilakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan mata kuliah KHPK FH Unud. Evaluasi dapat dilakukan di

189
setiap akhir tatap muka, berupa Ujian Tengah Semester (UTS), setelah melakukan
experiential component,atau berupa Ujian Akhir Semester (UAS). Evaluasi dalam
pendidikan hukum klinis ini tidak seperti metode pembelajaran konvensional pada
umumnya. Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa tetapi
juga dari mahasiswa kepada dosen, antara mahasiswa yang satu dengan
mahasiswa lainnya, dari dosen kepada mitra (partner) dan sebaliknya, dari dosen
kepada klien dan sebaliknya, serta dari klien kepada mahasiswa dan sebaliknya.
Hal ini juga menjadi kelebihan dari pendidikan hukum klinis yang tidak hanya
mengedepankan knowledge dan skill tetapi value juga memegang peranan penting.

Ada beberapa model dalam pelaksanaan perkuliahan pendidikan hukum


klinis, di antaranya in-house clinic, external (out-house) clinic237atau kombinasi
dari keduanya. Out-house clinic dapat dilakukan dengan cara magang (externship)
di suatu kantor hukum atau pemerintahan, klinik komunitas (community clinic)
yaitu mahasiswa bekerja langsung dengan suatu komunitas dan mobile clinic,
dimana mahasiswa mengunjungi suatu tempat untuk memberikan bantuan hukum
bagi masyarakat yang membutuhkan.238KHPK FH Unud menggunakan kombinasi
dari in-house clinic dan out-house clinic. Planning component diberikan di in-
house clinic dan experiential component diberikan di out-house clinic. Khusus
experiential component sudah beberapa kali dlakukan, yaitu dengan magang
(externship), simulasi, role play dan street law. KHPK FH Unud cenderung
memilih model street law sebagai model yang tepat dalam melakukan experiential
component. Alasan KHPK FH Unud memilih street law sebagai model yang
paling efektif akan diuraikan pada bagian pembahasan berikutnya.

II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN


II.1. Model Street Law Secara Umum dan Berbagai Keuntungannya
Pendidikan hukum klinis turut memegang peranan yang penting pada
perkembangan pendidikan, khususnya di tingkat Perguruan Tinggi. Dalam bidang
ilmu hukum sendiri, pendidikan hukum klinis sangat membantu para mahasiswa
menjadi terampil dalam menerapkan teori hukum yang telah dimilikinya pada
kehidupan riil masyarakat terutama melalui experiential component. Salah satu
model yang dipergunakan adalahstreet law. Sebelum membahas lebih lanjut
mengenai model street law, akan dijelaskan terlebih dahulu secara ringkas
mengenai pendidikan hukum klinis.
Pada dasarnya pendidikan hukum klinis mengajak para mahasiswa untuk
sedari awal sadar membantu penyebaran social justice terutama bagi masyarakat

237
Mariana Berbec-Rostas dan Zaza Namoradze, Clinical Legal Education: General
Overview,paper ini disampaikan pada Sesi 1: Introduction to Training and Clinical Legal
Education General Overview, First Southeast Asian Clinical Legal Education Teacher‘s Training,
27 Januari-3 Februari 2007 di Manila, Filipina, 23
238
Ibid.

190
yang kurang mampu, kurang diuntungkan, termarginalisasi, terdiskriminasi atau
ringkasnya, masyarakat yang sangat membutuhkan akases terhadap hukum namun
tidak cukup mampu untuk menyewa jasa lawyer yang handal. Interaktif dan
reflektif merupakan metode pembelajaran yang dipergunakan dalam pendidikan
hukum klinis. Sebagaimana hal tersebut dapat ditemukan dalam pengertian
pendidikan hukum klinis, yaitu, ―an educational program grounded in an
interactive and reflective teaching methodology with the main aim of providing
law students with practical knowledge, skills and values”. 239 Dengan kata lain,
pendidikan hukum klinis adalah suatu ideologi dan pedagogi pendidikan yang
progresif serta seringkali diimplementasikan melalui program-program di
perguruan tinggi.240 Selain metode pembelajarannya yang sangat mendukung
pengetahuan, keahlian dan nilai praktis bagi mahasiswa, komponen
pembelajarannya pun dirancang sedemikian sistematis, baik dan proporsional.
Adapun ketiga komponen pembelajaran tersebut adalah diawali dengan planning
component (30-35%), diikuti oleh experiential component(60-65%) dan diakhiri
dengan evaluation and reflection component misalnya sebesar (5-10%). Dari
kisaran persentase tersebut sangat terlihat bahwa pendidikan hukum klinis ini
bertujuan untuk mengasah kemampuan praktik mahasiswa, dimana experiential
component memiliki proporsi yang paling besar.

Dalam pengimplementasian suatu mata kuliah klinik hukum, terdapat


beberapa model yang dapat disepakati oleh tim pengampu mata kuliah dan
mahasiswa klinik hukum untuk dilaksanakan. Model klinik hukum tersebut
misalnya adalah in-house clinic241, out-house clinic242(externship, community
clinic, mobile clinic)dan street law clinic. Model yang diangkat dalam artikel ini
adalah street law clinic. Jika dilihat dari gabungan katanya, street law

239
Odigie-Emmanuel Omoyemen Lucia, “The Impact of Clinical Legal Education Curriculum and
Delivery on Students Performance: A Case Study of the Nigerian Law School‖,
https://www.gaje.org/wp-content/uploads/2011/06/RESEARCH-FINDINGS.pdf, diakses pada 29
April 2017, 5.
240
Terjemahan bebas. Lihat BABSEACLE, About Clinical Legal Education (CLE),
https://www.babseacle.org/clinical-legal-education/, diakses pada 30 April 2017.
241
In-house clinic pada dasarnya telah lama dikenal sebagai suatu bentuk kunci dari experiential
education yang menawarkan pendidikan dimana mahasiswa secara holistik untuk
mengintegrasikan seluruh elemen dari pendidikan hukum. Model ini menyediakan suasana dimana
mahaiswa mengeksplorasi makna dan pengaplikasian hukum, etika, dan identitas profesional
dalam kehidupan nyata di abwah pengawasan secara dekat dar anggota fakultas yang serentak
bekerja pada atau mengawasi materi hukum yang menyediakan pengalaman berpendidikan
(terjemahan bebas). Lihat Deborah Maranville, Lisa Radtke Bliss, Carolyn Wilkes Kaas &
Antoinette Sedillo Lopez eds, Delivering Effective Education in In-House Clinics ,
https://papers.ssrn.com/sol3/Data_Integrity_Notice.cfm?abid=2536497, diakses pada 29 April
2017.
242
Merupakan klinik hukum dimana mahasiswa mengaplikasikan kemampuan praktis ilmu hukum
mereka di luar fasilitas kampus. Lihat Mariana Berbec-Rostas dan Zaza Namoradze, op.cit, 24.

191
sesungguhnya menjelaskan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat dalam
kehidupan sehari-hariya di jalanan.243

Model Street law pada mulanya berasal dari Pusat Hukum Georgetown
University (Georgetown University Law Center) yang berada di Washington DC
pada tahun 1972.244 Saat itu para mahasiswa Fakultas Hukum dikirim ke inner
city school dimana banyak anak muda di daerah black ghetto merasa tertekan akan
sistem hukum.245 Pada dasarnya model street law ini merupakan teknik yang
menjelaskan bagaimana hukum sesungguhnya menginginkan seseorang untuk
melakukan sesuatu pada situasi tertentu agar haknya dapat dilindungi atau
dipaksakan, merupakan ragam persoalan hukum yang harus ia antisipasi dan
bagaimana ia dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut.246Sederhananya
adalah ketika seseorang membeli sesuatu di sebuah toko, melakukan pernikahan,
mencari surat izin mengemudi, mengadakan kegiatan sewa menyewa,
sesungguhnya ia telah berada dalam situasi dimana ia berhubungan dengan
hukum. Oleh karenanya ia diharapkan sadar akan keberadaan hukum dan dapat
melakukan hal-hal yang benar di mata hukum agar hak-haknya dapat dilindungi
dan dipaksakan oleh hukum itu sendiri. Keberadaan model street law salah
satunya adalah bertujuan untuk membuat masyarakat sadar akan keberadaan
sistem hukum yang dapat melindungi mereka.247 Selain itu, model street law juga
mendorong masyarakat untuk turut menyumbang pemikirannya mengenai hukum
yang bagaimanakah sesungguhnya mereka ingin miliki di masa yang akan
datang.248

Sebagaimana terlihat dari pengertian street law di atas, model ini


mengandung komponen yang disebut sebagai komponen pelayanan masyarakat
(community service component). Komponen pelayanan masyarakat pada model
street law pada umumnya bervariasi. Sebagai contoh, dibeberapa perguruan
tinggi, mahasiswa fakultas hukum hanya melakukan pelayanan tersebut dalam
kelas-kelas di berbagai sekolah menengah atas, sementara di perguruan tinggi
lainnya mungkin saja para mahasiswa fakultas hukumnya mengajar di penjara-
penjara dan organisasi masyarakat.249

243
Terjemahan bebas. Lihat Mutaz M. Qafisheh dan Stephen A. Rosenbaum, ed. Experimental
Legal Education in a Globalized World: The Middle East and Beyond (Cambridg Scholars
Publishing),
https://books.google.co.id/books?id=UNT6DAAAQBAJ&pg=PA339&lpg=PA339&dq=definition
+street+law+clinical+legal+education&source=bl&ots=v3YAvW_DNt&sig=cgaNKmX8Ji6l8Wf
VQzx3C0soIMg&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjL1vrm8MnTAhUGTo8KHW6YBLUQ6AEIZT
AH#v=snippet&q=street%20law&f=false, diakses pada 30 April 2017, 339.
244
Ibid.
245
Ibid.
246
Ibid.
247
Ibid.
248
Ibid.
249
Op..cit.,342.

192
Sehubungan dengan model street law, sebelum para mahasiswa fakultas
hukum terjun memberikan pengajaran, penjelasan atau sosialisi hukum atas suatu
topik tertentu, mereka terlebih dahulu harus melaksanakan penilaian kebutuhan
komunitas (community needs assessment). Para mahasiswa akan diajak untuk
mempertimbangkan satu atau lebih dari enam elemen ini (Institutions in place to
resolve disputes, publics‟ legal knowledge of rights and responsibilities, publics‟
access to legal representation, publics‟ access to a justice to resolve disputes,
fairness of the procedure in place to resolve disputes dan enforciability of a
dispute resolution from an institution)250 untuk selanjutnya dievaluasi. Setelah
melakukan hal tersebut, mahasiswa dapat menentukan topik hukum yang sesuai
untuk diangkat bagi masyarakat yang dipilih. Pelaksanaan assessment tersebut
tidak lain bertujuan untuk membantu menyebarkan social justice bagi masyarakat.
Social justice itu sendiri memiliki esensi agar pendistribusian hukum salah
satunya dapat terlaksana dengan fair dalam masyarakat.251

Pelaksanaan model street law memiliki keuntungannya tersendiri


dibandingkan dengan model klinik lainnya pada pendidikan hukum klinis.
Beberapa contohnya yaitu: 1) mengajarkan hukum pada siswasiswi sekolah
menengah atas akan memberikan keterampilan praktik yang sangat baik bagi
mahasiswa fakultas hukum yang melaksanakannya untuk kelak dijadikannya
bekal menjadi seorang attorneys, khususnya dalam hal teknik berkomunikasi dan
hubungan dengan klien. Misalnya mahasiswa akan melakukan usaha terbaiknya
untuk menerjemahkan hukum yang begitu kompleks kepada siswa sekolah
menengah atas dan membuatnya sadar akan hukum252; 2) para mahasiswa fakultas
hukum menjadi lebih peka terhadap kebutuhan hukum masyarakat sebab sedari
menuntut ilmu di perguruan tinggi ia sudah terbiasa untuk melakukan community
needs assessment dan menyalurkan ilmu hukumnya pada masyarakat; dan 3)
Masyarakat yang mendapat pengajaran atau penyuluhan hukum juga memperoleh
pengetahuan baru dalam ranah hukum yang tepat dan bermanfaat sesuai
kebutuhan sehari-harinya. Berdasarkan penjabaran tersebut terlihat bahwa tidak
hanya mahasiswa saja yang diuntungkan karena mendapatkan real-life client

250250
David Tushaus, Developing Student Research Project to Improve Human Rights Clinic,
Presentasi Power Point disampaikan dalam International Workshop on the Human Rights Issues
Based on Clinical Legal Education Approach, Bali, 25 Agustus 2016.
251
Disarikan dari pengertian social justice yakni ―Fair distribution of health, housing, welfare,
education and legal resources in society, including, where necessary, the distribution of such
resources on an affirmative action basis to disadvataged members of the community.‖ Lihat Cf
AM Honore ―Social Justice‖ in R Summer (ed) Essays in Legal Philosophy (1968) 68; PN
Bhagwati ―Human Rights as Evolved by the Jurisprudence of the Supreme Court of India” 1987
Commonwealth Legal Bulletion 236 dalam David McQuid-Mason, General Introduction Into
Street Law and Street Law Teaching Methods, First Southeast Asian Clinical Legal Education
Teachers Training, 30 Januari-3 Februari 2007,
https://www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/clinic_20070206.pdf, diakses pada 1
Mei 2017, 56.
252
North Carolina Central University School of Law, Street Law, http://law.nccu.edu/clinics/street-
law/, diakses pada 1 Mei 2017.

193
sebagai tempatnya belajar namun juga masyarakat terbantu untuk
menyebarluaskan aksesnya terhadap social justice.

II.2. Model Street Law Pada Klinik Hukum Perancangan Kontrak Fakultas
Hukum Universitas Udayana
Model street law mulai diterapkan sejak tahun 2016 di KHPK FH Unud.
Semenjak itu, KHPK telah mengimplementasikan klinik dengan modelstreet law
sebanyak tiga (3) kali. Yang pertama dilaksanakan dengan memberikan
pengetahuan hukum tentang perancangan kontrak ekspor impor perhiasan pada
pengrajin perak yang bekerja untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; Yang
kedua adalah sosialisasi kepada siswa siswi Sekolah Menengah Atas Neeri
(SMAN) 2 Denpasar mengenai pentingnya kontrak dalam belanja online dan
usaha franchise; ketiga, sosialisasi mengenai kontrak pentas seni (PENSI) kepada
pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan pengurus organisasi ekstra
kurikuler lainnya di SMAN 2 Denpasar.

Sebelum dapat terjun ke lapangan secara langsung, para mahasiswa yang


mengambil mata kuliah KHPK di FH Unud terlebih dahulu harus mengikuti sesi
planning component di ruang kuliah. Pada sesi yang terbilang cukup singkat ini
(sekitar 30% dari total tatap muka), tim pengajar akan secara intensif memberikan
penyegaran kepada para mahasiswa KHPK mengenai pengetahuan-pengetahuan
hukum yang penting dan relevan. Sifatnya penyegaran karena sebelumnya
mahasiswa sudah secara dalam memperoleh ilmu mengenai misalnya hukum
perdata, hukum perikatan, hukum perdata internasional dan perancangan kontrak
pada semester sebelumnya. Dalam komponen ini pula mahasiswa diajak untuk
melakukan community needs assessment untuk menentukan masyarakat manakah
yang akan disasar. Selain itu mahasiswa dilatih melakukan teknik presentasi dua
arah agar street law menjadi semakin komunikatif serta menggali masalah hukum
yang mungkin masih terpendam agar bisa diberikan bantuan serta teknik membuat
power point yang ringkas, menyenangkan dan eye catching. Penting bagi tim
pengajar untuk melihat dan memastikan terlebih dahulu bahwa mahasiswa yang
bersangkutan sudah siap dan capable sesaat sebelum experiential component
dilaksanakan.

Setelah mahasiswa mengikuti planning component, maka tahapan


selanjutnya adalah experiential component dengan model street law. Street law
yang selama tahun 2016 telah dilaksanakan sebanyak dua kali tersebut adalah
dalam bentuk pengajaran atau penyuluhan. Adapun street law ini adalah suatu
bentuk community service tanpa meminta fee atau imbalan atas jasa expertise yang
diberikan kepada masyarakat dan menitikberatkan pada bantuan hukum mengenai

194
penyadaran hukum pentingnya berkontrak dalam transaksi sehari-hari masyarakat
Bali.253
Berdasarkan community needs assessment yang pertama kali dilakukan,
masyarakat pengerajin perhiasan perak, khususnya bagi mereka yang bekerja
untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di kawasan Celuk dipilih
sebagai sasaran street law. Kawasan ini dipilih karena merupakan pusat utama dan
pertama pengrajin perhiasan perak di Bali. Masyarakat pengrajin perak UMKM
menjadi fokus bagi klinik ini karena mereka rentan terhadap risiko hukum yang
mungkin timbul berkaitan dengan eksporimpornya dan masih minimnya
pengetahuan dokumen hukum, seperti misalnya kontrak, untuk mengamankan
hak-hak mereka. Dengan adanya kegiatan street law ini KHPK berbagi
pentingnya kesadaran hukum berkontrak untuk dapat melindungi hak maupun
kewajiban para pengrajin perhiasan perak di Celuk, baik ketika mereka menjadi
penjual maupun pembeli. Kontrak yang coba dihadirkanpun dimulai dengan
ulasan mengenai kontrak sederhana, yang bertujuan untuk menarik minat para
peserta sosialisasi atau pengajaran untuk berkontrak.

Pada tahun 2016, model street law yang kedua dilanjutkan pada semester
berikutnya.. Berdasarkan community needs assessment, kategori masyarakat yang
dipilih adalah para siswasiswi di SMAN 2 Denpasar. Topik yang dipilih adalah
mengenai hukum kontrak dalam kaitannya dengan belanja online dan usaha
franchise. Dua ranah tersebut dipilih karena sesuai dan dekat dengan kehidupan
sehari-hari para murid SMA yang oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta globalisasi telah memudahkan mereka untuk berbelanja secara
online..Masalah yang tidak disadari oleh siswa siswi ini adalah mereka belum
mengetahui secara utuh pentingnya berkontrak dalam belanja online. Mereka
dengan mudah menyetujui terms and conditions yang ditawarkan oleh penjual
tanpa membaca dengan teliti. Kemudian ketika barang yang mereka terima tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan, pembeli yang usianya sangat muda ini tidak
mengerti apa yang bisa dan perlu dilakukan untuk melindungi hak-hak mereka
karena mereka bahkan tidak aware dengan apa yang mereka perjanjikan. Begitu
juga topik franchise dipilih karena dewasa ini semangat kewirausahaan bahkan
sudah tumbuh sedari dini. Misalnya saja seorang siswa SMA mempunyai ide
cemerlang membuka gerai mini dengan menjual produk dengan harga yang
terjangkau yangternyata secara tidak terduga produk tersebut melejit dan disukai
masyarakat. Wajar jika kemudian ada pihak-pihak yang tertarik dengan
keberhasilan tersebut, dan masalahnya, akan meniru/menjiplak apa yang
dilakukan oleh siswa tersebut. Untuk mengamankan ide cemerlang tersebut, maka
kontrak franchising sangat penting untuk diketahui oleh mereka.

253
Made Suksma Prijandhini Devi Salain et al, Klinik Hukum Perancangan Kontrak: Study and
Experience (Denpasar: Udayana University Press, 2016),58.

195
Street law yang ketiga, yang mana dilaksanakan di semester genap tahun
ajaran 2016/2017, adalah pendampingan pengurus OSIS dan organisasi ekstra
kurikuler SMAN 2 Denpasardalam penyusunan kontrak Pentas Seni (PENSI).
Berdasarkan community needs assessment, siswa SMAN 2 Denpasar (khususnya
para pengurus OSIS dan panitia perayaan HUT) membutuhkan pengetahuan
hukum tentang cara menyusun kontrak PENSI yang dilakukan secara rutin..
Pelaksanaan PENSI melibatkan banyak pihak, seperti misalnya Event Organizer
(EO), sponsor, dan artis/bintang tamunya. Ketika pihak SMAN 2 Denpasar ingin
mengundang artis, tentunya harus jelas tanggal pelaksanaan kegiatan, durasi
waktu bagi artis yang akan melakukan performa, dan mekanisme
pembayarannya. Kesemua itu merupakan elemen yang harus dituangkan dalam
kontrak karena tidak menutup kemungkinan artisnya mangkir untuk datang di hari
pelaksanaan yang telah disepakati. Kemudian yang menjadi masalah serius adalah
berkaitan dengan subjek kontrak, yakni apakah seorang siswa SMA (pengurus
OSIS/panitianya) dapat menjadi pihak dalam kontrak PENSI? Inilah yang harus
diketahui secarabenar oleh siswa SMA karena tidak semua individu dapat
membuat kontrak. Hanya individu yang memiliki kapasitas hukum saja yang
dapat melakukan perbuatan hukum termasuk kontrak. Melalui pendampingan
inilah Tim Pengajar dan mahasiswa KHPK FH Unud berbagi pengetahuan hukum
tentang kontrak agar mereka paham bagaimana syarat dan cara menyusun kontrak
yang sah di mata hukum.

Dari gambaran tersebut di atas terlihat bahwa sebelum melaksanakan


street law, KHPK FH Unud sangat memperhatikan kesiapan. Dengan adanya
tugas Tim Pengajar yang melakukan penjajakan dengan mitra bahkan sebelum
kuliah dimulai, teramat sangat membantu kelancaran proses street law pada saat
hari pelaksanaan kegiatan. Street law ini pada akhirnya diakhiri dengan proses
evaluasi dan refleksi yang mewajibkan mahasiswa untuk membuat laporan
pelaksanaan street law tersebut secara holistik dimulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan hingga akhirnya selesai yang didukung dengan dokumentasi foto dan
video sebagai bukti kinerja mereka. Pelaporan ini penting untuk dilakukan karena
akan digunakan sebagai salah satu unsur penilaian dan penentuan kelulusan mata
kuliah KHPK.Salah satu keunggulan lainnya dari pendidikan hukum klinis adalah
evaluasi dan refleksi ini datangnya dari berbagai arah sehingga tidak hanya tim
pengajar atau mitra saja yang dapat memberikan saran dan masukannya, namun
mahasiswa juga dapat melalukukannya.

II.3. Efektivitas Model Street Law Pada Klinik Hukum Perancangan Kontrak
Fakultas Hukum Universitas Udayana untuk Membantu Menyebarluaskan
Social Justice
Berdasarkan uraian di atas, Tim Pengajar KHPK memilih model street law
clinic sebagai metode yang efektif dalam pelaksanaan KHPK. Pemilihan ini
bukanlah tanpa alasan karena dari ketiga kegiatan yang telah dilakukan (kepada

196
UMKM Pengrajin Perhiasan Celuk, Siswa SMAN 2 Denpasar) sangat banyak
memberikan manfaat bagi berbagai pihak dan membantu menyebarluaskan
keadilan sosial (social justice). Berikut akan dijabarkan beberapa manfaat yang
diperoleh oleh berbagai pihak:

a. Lembaga (FH UNUD):


 Menambah mitra kerjasama
 Mencetak sarjana hukum yang siap pakai karena sudah dibekali
knowledge, skills dan values sebagai professional lawyer
 Menambah minat pelajar untuk kuliah FH UNUD
b. Tim Pengajar KHPK:
 Menambah jaringan dengan para praktisi (pengusaha pengrajin
perak di Celuk)
 Menambah mitra (SMA 2 Denpasar) sehingga bisa
menyebarluaskan social justice kepada masyarakat yang kurang
pengetahuannya di bidang hukum
 Menambah pengetahuan mengenai keadaan di lapangan (proses
transaksi bisnis internasional kerajinan perak)
 Menambah pengetahuan teknik penyusunan kontrak bisnis
kerajinan perak
 Melakukan pengabdian kepada masyarakat
c. Mitra:
 Menambah akses dengan Perguruan Tinggi
 Menambah pengetahuan di bidang hukum (secara teoritik)
 Mendapatkan bantuan hukum jika terjadi masalah/sengketa
d. Klien:
 Klien mendapatkan akses social justicetanpa memberikan imbalan
atau fee atas keahlian (expertise) penyuluh. Sesuai dengan filosofi
pendidikan hukum klinis yaitu: memberikan bantuan hukum;
menyebarluaskan social justice kepada masyarakat kurang mampu
baik dari segi materi maupun pengetahuan
e. Mahasiswa:
 Mengurangi kejenuhan mahasiswa dengan metode belajar
konvensional yang hanya berada di dalam kelas
 Menambah pengetahuan praktis teknik menyusun kontrak bisnis
internasional (jual-beli perhiasan perak)
 Menambah keahlian (skill) dalam menghadapi klien, melakukan
negosiasi
 Berlatih untuk melakukan presentasi dengan benar (dari mulai
membuat tampilan power point yang menarik, berpenampilan yang
bersih dan rapi, cara penyampaian materi yang menarik,

197
kemampuan untuk didengarkan orang dan meyakinkan orang agar
percaya dan yakin akan apa yang kita sampaikan)
 Berlatih untuk bekerjasama dengan tim agar menghasilkan
presentasi dan pendampingan yang baik dan benar (values)
 Dapat bertemu dengan real-life client
 Menambah jaringan (bisa menjadi konsultan hukum bagi para
pengusaha UMKM pengrajin perak)
 Menjadi seorang professional lawyer yang siap pakai dan siap
bersaing di dunia kerja

II.4. Tantangan yang Dihadapi dan Cara Mengatasinya


Penggunaan model street law dalam KHPK FH Unud cenderung
memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat, mulai dari Lembaga, Tim
Pengajar, Mitra, Klien dan mahasiswa sehingga efektif diterapkan di KHPK FH
Unud. Namun demikian selama KHPK FH Unud berdiri sampai dengan sekarang
terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh para Tim Pengajarnya, yakni:
a. Pandangan dan sikap pesimistis dari beberapa pihak terhadap metode
pendidikan hukum klinis dan keberlangsungannya. Mereka belum
mampu mengidentifikasi manfaat pendidikan hukum klinis dan efek
positif yang didapat oleh mahasiswa;
b. Dalam proses penjajakan awal kepada mitra yang akan diajak bekerja
sama, memerlukan kemampuan untuk meyakinkan mereka bahwa
street law yang KHPK lakukan akan memberikan pengetahuan hukum
terkait dan tentunya menyebarluaskan social justice. Ada pengusaha
UMKM pengrajin perak yang seringkali tertipu oleh mitra bisnisnya
karena mereka memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan
bantuan penyusunan kontrak bisnis internasional, tetapi mereka tetap
belum berkenan untuk menyusun kontrak bisnis yang kiranya mampu
memberikan perlindungan yang efektif dalam transaksi bisnisnya;
c. Ada keadaan dalam masyarakat dimana masyarakat yang lemah
hukum melakukan kontrak dengan hak dan kewajiban yang tidak
seimbang dan kabur klausulnya, karena dalam keadaan perekonomian
yang kurang baik kemudian menyetujui isi kontrak yang berpotensi
untuk menimbulkan sengketa di kemudian hari. Situasi masyarakat
tersebut sesungguhnya ideal untuk diberikan penyuluhan, akan tetapi
dengan assessment secara holistik yang dilakukan oleh tim pengajar,
misalnya mengenai isu keselamatan mahasiswa, maka kategori
masyarakat ini belum bisa tersentuh.
Adapun cara mengatasi beberapa contoh tantangan yang dihadapi oleh KHPK FH
Unud selama ini yaitu:
a. Konsistensi dan semangat para tim pengajar dan juga lembaga harus tetap
terjaga walaupun di tengah pandangan dan sikap pesimistis yang mungkin
timbul dari berbagai pihak. Dukungan dan komitmen dari para pimpinan

198
FH Unud terhadap eksistensi mata kuliah ini menjadi salah satu pondasi
bagi keberadaan KHPK FH Unud. Walaupun dalam awal mula klinik ini
berdiri mahasiswa yang mengikuti hanya sedikit, para pengajar harus tetap
gencar dalam mempromosikan mata kuliah klinik ini untuk semester
berikutnya. Cara promosi ini bisa dilakukan dalam mata kuliah yang
relevan dengan KHPK, misalnya Perancangan Kontrak, dimana dosen
KHPK turut mengajak mahasiswa Perancangan Kontrak tersebut untuk
mengikuti KHPK di semester berikutnya. Promosi tersebut bisa dilakukan
dengan selalu menampilkan update video dan foto hasil experiential
component agar mahasiswa tergugah lalu tertarik mengikuti KHPK;
b. Koneksi dan skill dari tim pengajar perlu terus untuk ditingkatkan dalam
rangka membangun kerjasama dengan mitra. Selain itu tim pengajar juga
harus senantiasa mendampingi dan memberikan arahan kepada mahasiswa
agar ketrampilan mahasiswa dalam berkomunikasi, khususnya
meyakinkan real-life client yang mereka hadapi bahwa berkontrak itu
penting. Salah satu caranya adalah dengan update tren yang berkembang
dalam masyarakat. Misalnya ketika menyuluh anak sekolah menengah
atas, maka teknik presentasi menggunakan video dan presentasi yang
modern disertai dengan sedikit kuis di akhir street law untuk lebih menarik
mereka pada topik yang dibawakan.

III. KESIMPULAN
Adapunkesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatasyaitu
pendidikan hukum klinis mampu memberikan efek positif kepada para mahasiswa
strata 1 hukum, karena mahasiswa tersebut dibimbing dan dibina menjadi seorang
professional lawyerkhususnya melalui praktik riil pada tahapan experiential
component. Salah satu model yang paling sering dilakukan oleh KHPK FH Unud
adalah street law. Sejak tahun 2016, KHPK FH Unud telah mengimplementasikan
klinik dengan model street law sebanyak tiga (3) kali karena efektifitasnya dalam
membantu menyebarluaskan social justice bagi masyarakat. Selain itu\, model ini
juga memberikan keuntungan (knowledge, skills, values) bagi semua pihak yang
terlibat sekaligus menyebarluaskan social justice bagi masyarakat yang kurang
mampu baik dari segi materi maupun pengetahuan hukum. Dalam perjalanan
KHPK FH Unud, tentu tantangan tidak luput dihadapi seperti misalnya pesimisme
metode pembelajaran ini dari beberapa pihak terhadap perkembangan proses
pembelajaran, real-life client yang beberapa masih reluktan serta isu keselamatan
mahasiswa dalam memberikan penyuluhan yang perlu menjadi prioritas penting.
Bagaimanapun juga, klinik merupakan sebuah mata kuliah dalam kurikulum.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, berbagai cara telah ditempuh misalnya
menjaga konsistensi dan semangat tim pengajar, komitmen para pimpinan,
promosi klinik, serta kemauan tim pengajar dan mahasiswa untuk selalu update
akan isu, teknik dan perkembangan masyarakat guna mendukung model street law
dalam rangka menyebarluaskan social justice bagi masyarakat.

199
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Made Suksma Prijandhini Devi Salain et al, Klinik Hukum Perancangan Kontrak:
Study and Experience (Denpasar: Udayana University Press, 2016).

INTERNET
BABSEACLE.About Clinical Legal Education
(CLE).https://www.babseacle.org/clinical-legal-education/.Diakses pada 30
April 2017.
Honore, Cf AM ―Social Justice‖ in R Summer (ed) Essays in Legal Philosophy
(1968) 68; PN Bhagwati ―Human Rights as Evolved by the Jurisprudenec of
the Supreme Court of India” 1987 Commonwealth Legal Bulletion 236
dalam David McQuid-Mason, General Introduction Into Street Law and
Street Law Teaching Methods, First Southeast Asian Clinical Legal
Education Teachers Training, 30 Januari-3 Februari 2007,
https://www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/clinic_20070206.
pdf, diakses pada 1 Mei 2017.
Lucia, Odigie-Emmanuel Omoyemen.“The Impact of Clinical Legal Education
Curriculum and Delivery on Students Performance: A Case Study of the
Nigerian Law School‖. https://www.gaje.org/wp-
content/uploads/2011/06/RESEARCH-FINDINGS.pdf, Diakses pada 29
April 2017.
Maranville, Deborah, Lisa Radtke Bliss, Carolyn Wilkes Kaas & Antoinette
Sedillo Lopez eds. Delivering Effective Education in In-House Clinics.
https://papers.ssrn.com/sol3/Data_Integrity_Notice.cfm?abid=2536497,
Diakses pada 29 April 2017.
North Carolina Central University School of Law, Street Law,
http://law.nccu.edu/clinics/street-law/, diakses pada 1 Mei 2017.
Qafisheh, Mutaz M. dan Stephen A. Rosenbaum, ed. Experimental Legal
Education in a Globalized World: The Middle East and Beyond (Cambridge
Scholars Publishing).
https://books.google.co.id/books?id=UNT6DAAAQBAJ&pg=PA339&lpg=
PA339&dq=definition+street+law+clinical+legal+education&source=bl&ot
s=v3YAvW_DNt&sig=cgaNKmX8Ji6l8WfVQzx3C0soIMg&hl=id&sa=X
&ved=0ahUKEwjL1vrm8MnTAhUGTo8KHW6YBLUQ6AEIZTAH#v=sni
ppet&q=street%20law&f=false. Diakses pada 30 April 2017.

200
LAIN-LAIN

Berbec-Rostas, Mariana dan Zaza Namoradze. Clinical Legal Education: General


Overview, paper ini disampaikan pada Sesi 1: Introduction to Training and
Clinical Legal Education General Overview, First Southeast Asian Clinical
Legal Education Teacher‟s Training, 27 Januari-3 Februari 2007 di Manila.
Filipina.
Tushaus, David. Developing Student Research Project to Improve Human Rights
Clinic. Presentasi Power Point disampaikan dalam International Workshop
on the Human Rights Issues Based on Clinical Legal Education Approach.
Bali, 25 Agustus 2016.

201
MENINGKATKAN NILAI-NILAIPRO BONOMELALUI KLINIK HUKUM
PERDATA DENGAN MODEL STREET LAW

Oleh:
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan SH, MHum, LLM 254
Dr. I Wayan Wiryawan SH, MH255
I Nyoman Darmadha SH, MH256
Anak Agung Sri Indrawati,SH,MH257
I Made Dedy Priyanto,SH,MKn258

Abstrak

Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education-CLE) termasuk Klinik


Hukum Perdata dapat diimplementasikan dengan berbagai model, salah satunya
street law. Melalui model ini, mahasiswa memiliki kesempatan mengembangkan
serta meningkatkan kapabilitasnya untuk menyosialisasikan materi-materi hukum
perdata secara cuma-cuma melalui kegiatan experiential component yang pro
social justice-access to justice berkaitan erat dengan Pro Bono. CLE sebagai
bagian dari kurikulum bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dalam
mengimplementasikan secara kongkrit social justice and justice for all, serta
mahasiswa memperoleh Satuan Kredit Semester (SKS) sebagai reward.
Permasalahan inti yang dikaji dalam artikel ini yaitu: 1) Apakah yang dimaksud
dengan pendidikan hukum klinis dan Pro Bono?; 2) Apakah model street law
yang diimplementasikan oleh mahasiswa Klinik Hukum Perdata dapat
dikategorikan sebagai aktivitas Pro Bono?. Kajian ini mengelaborasi konsep,
nilai-nilai Pro Bono, Social Justice, CLE, serta Street Law sebagai salah satu
model yang diimplementasikan pada Klinik Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Udayana (FH Unud), dengan menggunakan metode penelitian yuridis
empiris dengan mempelajari berbagai bahan-bahan hukum dan data empiris
berdasarkaan pengalaman menjalankan model street law sejak 2015 pada Klinik
Hukum Perdata FH Unud. CLE yang ditawarkan melalui kurikulum dengan
reward SKS tidak sepenuhnya terkategorikan sebagai kegiatan Pro Bono, namun
esensi dan nilai-nilai Pro Bono teraplikasikan melalui Street Law Model sehingga

254
Dosen di Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) yang
sekaligus merupakan koordinator Klinik Hukum Perdata FH Unud.
255
Dosen di Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) dan
mengajar Klinik Hukum Perdata di FH Unud.
256
Dosen di Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) dan
mengajar Klinik Hukum Perdata di FH Unud.
257
Dosen di Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) dan
mengajar Klinik Hukum Perdata di FH Unud.
258
Dosen di Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) dan
mengajar Klinik Hukum Perdata di FH Unud.

202
kepekaan dan kesadaran mahasiswa akan pentingnya social justice dan justice for
all menjadi meningkat.

Kata kunci: Pro Bono, CLE, Values, Street Law, Credit Reward.

Abstract

Clinical Legal Education-CLE, including Civil Law Clinic, can be implemented


through several models, one of them is street law. Through street law model,
students have opportunity to develop, improve and enhance their capability to
disseminate some areas of private law materials for free which is pro social
justice-access to justice, in other words related to pro bono. CLE as part of the
curriculum has aim to enhance the awareness of students in implementing the
social justice and justice for all concretely, as well as students will get their credit
reward. The main legal problems raised in this article namely:1) What is meant
by CLE and Pro Bono?; 2) whether the street law model implemented by the
students of Civil Law Clinic can be categorized as Pro Bono activities?.In order
to discuss those legal problems, hence this article elaborates the concept and
values of Pro Bono, social justice, CLE and street law as one model that is
implemented in Civil Law Clinic of Faculty of Law Udayana University by using
empirical legal method by studying various legal materials and empirical data
based on the implemented experience of street law model since 2015 at Civil Law
Clinic Faculty of Law Udayana University. CLE which is offered through the
curriculum by giving credit reward to the students is not fully categorized as Pro
Bono activity. However the essence and values of Pro Bono are implemented
through street law model therefore the sensitivity and awareness of students on
the importance of social justice and justice for all will be raised.

Keywords: Pro Bono, CLE, Values, Street Law, Credit Reward.

I. PENDAHULUAN
Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas
Udayana (FH Unud) dirintis sebagai pilot project pada tahun 2012 melalui
program kerjasama dengan pihak Educating and Equipping Tomorrow‟s Justice
Sector Reformers (E2J) dan The Asia Foundation-USAID. Klinik Hukum Perdata
berbasis pendidikan hukum klinis sebagai bagian dari Kurikulum FH Unud secara
resmi mulai ditawarkan kepada mahasiswa pada tahun 2013 dengan status Mata
Kuliah Pilihan dengan bobot 2 SKS. Pentingnya menjalankan proses pendidikan
dan pengajaran Klinik Hukum atau yang lazim dikenal dengan istilah CLE
(Clinical Legal Education),mengingatSumber Daya Manusia (SDM) lulusan
Fakultas Hukum tidak diragukan lagi sangat berperan penting dalam agenda

203
reformasi hukum di Indonesia, yaitu sebagai salah satu agent of change dalam
mempercepat peningkatan akses masyarakat terhadap keadilan, pelayanan
masyarakat (Public Service), keadilan sosial (Social Justice) yang berbasis:
Prinsip persamaan dan keadilan yaitu pro masyarakat miskin, pro masyarakat
tidak mampu, pro masyarakat rentan, serta pro masyarakat terpinggirkan; Akses
yang sama terhadap berbagai kesempatan dan hak serta ; Sistem dan prosedur
hukum yang adil.
Melalui Mata Kuliah Klinik Hukum (CLE), lulusan fakultas hukum
terbaik akan dapat dihasilkan karena dalam proses pembelajarannya mahasiswa
mendapatkan ruang untuk mengembangkan tidak hanya knwledge, namun juga
values, dan legal skill melalui proses pembelajaran di kampus (In-House Clinic)
sebagai bagian dari Planning Component dengan metode Interaktif - Reflektif,
serta kuliah praktik di institusi dosen mitra seperti Kantor Hukum atau Law Office
/ Law Firm maupun Pengadilan Negeri yaitu sebagai bagian dari Experiential
Component. Para peserta didik pada kegiatan exsperiential component
mendapatkan kesempatan langsung praktik belajar dengan kasus-kasus hukum
nyata yang sedang ditangani oleh para dosen Mitra Klinik Hukum. Proses
pembelajaran praktik dibimbing secara intensif oleh dosen mitra yang
berkoordinasi dengan dosen dari kampus.
Model pembelajaran dalam Klinik Hukum sebagaimana disebutkan di atas
dengan penciri Planning dan Experiential Component-nya,acapkali juga dikenal
dengan sebutan model pembelajaran In-House Clinic dan Ex-House Clinic. Selain
kedua model tersebut, model pembelajaran yang juga lazim diterapkan dalam
CLE adalah Street Law Model, yang akrab penekunannya pada persoalan-
persoalan Social Justice maupun Pro Bono.
Akses Social Justice dan Pro Bono bagi masyarakat terpinggirkan dalam
implementasinya umumnya dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH),
Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum (LKBH), maupun CSO-CSO yang banyak
menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan serta Acces to
Justice. Kegiatan-kegiatan mulia seperti tersebut sangat memungkinkan dapat
dilaksanakan oleh kampus, khususnya Fakultas Hukum, melalui partisipasinya
menghasilkan lulusan Sarjana Hukum yang memiliki kepekaan serta kompetensi
terhadap nilai-nilai Probono, melalui proses belajar pada mata Kuliah Klinik
Hukum yang menekankan metode pembelajaran serta substansi kurikulumnya
pada tiga (3) komponen yaitu: Planning Component, Experiential Component
serta Reflection Component.
Salah satu model pelaksanaan experiential component yang erat kaitannya
dengan Pro Bono adalah Street Law Clinic Model. Dalam pelaksanaan di Klinik
Hukum Perdata FH Universitas Udayana, Street Law dilaksanakan dengan salah
satu modelnya yaitu mahasiswa melaksanakan kegiatan riil melakukkan
penyuluhan hukum atau sosialisasi ke sekolah-sekolah SMA. Capaian
pembelajaran adalah setelah selesai mengikuti kuliah mahasiswa mampu praktik
mensosialisasikan materi-materi hukum perdata kepada anak-anak sekolah

204
melalui model Street Law Clinic, tumbuh kesadaran tentang pentingnya
melakukan pengabdian masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum serta timbulnya sengketa hukum di masyarakat, peka terhadap persoalan-
persoalan Social Justice, Pro Bono dan Access to Justice. Pro Bono dimengerti
sebagai suatu pelayanan yang diberikan dalam rangka kepentingan umum. 259
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, sebagai konsekuensi mata
kuliah klinik ini merupakan bagian dari kurikulum perkuliahan, maka para
mahasiswa berhak memperoleh nilai kelulusan dalam bentuk Satuan Kredit
Semester (SKS) setelah lulus menempuh mata kuliah ini. Sehubungan dengan hal
tersebut, sering diperdebatkan bahwasanya dalam kaitan antara CLE dan Pro
Bono, apakah kegiatan experiential component mahasiswa yang mendapat SKS
setelah lulus dalam mata kuliah klinik dapat tetap dikategorikan kegiatan Pro
Bono ataukah tidak.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah yang
diangkat dalam artikel ini yaitu: 1) Apakah yang dimaksud dengan pendidikan
hukum klinis dan Pro Bono?; 2) Apakah model street law yang
diimplementasikan oleh mahasiswa Klinik Hukum Perdata dapat dikategorikan
sebagai aktivitas Pro Bono?.

II. PEMBAHASAN
2.1. Pendidikan Hukum Klinis dan Pro Bono
Pendidikan Hukum Klinis dalam bahasa Inggris disebut sebagai Clinical
Legal Education (CLE). Dalam Mariana Berbec-Rostas260, dikemukakan bahwa
CLE adalah sebuah program pendidikan yang didasarkan pada metode pengajaran
yang interaktif dan reflektif berisikan pengetahuan, nilai dan keahlian praktis
yang mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk memberikan
pelayanan hukum dan menciptakan keadilan sosial. CLE juga disebut sebagai
experiential learning atau learning by doing.261CLE-Klinik Hukum, termasuk
Klinik Hukum Perdata di Fakultas Hukum menjadi salah satu Mata Kuliah yang
mampu menghasilkan sebagian besar lulusan terbaik dengan pengetahuan hukum
serta keterampilan praktis yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas
penegakan hukum yaitu baik sebagai hakim maupun pengacara, ataupun praktisi
hukum lainnya.
Konsep CLE menurut Dickson (2000), Bradney (1992) dan Graime (1995)
sesungguhnya telah lama dikenal di berbagai Universitas di Amerika Serikat dan
sekarang ini Dtidak hanya berkembang di negara-negara maju, namun juga

259
Terjemahan bebas dari ―A latin term meaning for the public good. It is the provision of services
that are free to safeguard public interest‖. The Law Dictionary, What is Pro Bono,
http://thelawdictionary.org/pro-bono/, diakses pada 5 Mei 2017.
260
Mariana Berbec-Rostas, 2007: 21-22 dalam Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal
Education, Materi Workshop P engembangan dan Rekrutmen dosen Klinik Hukum FH UnUd,
Kerjasama FH Unud dengan e2J, 13-15 april 2015, FH Unud Denpasar-Bali.
261
Ibid.

205
secara berkelanjutan terus berkembang di negara-negara berkembang.262
Pendidikan hukum klinis di Amerika Serikat sudah dikembangkan sejak lama,
seperti misalnya di Duke University berkembang tahun 1931, kemudian pada era
tahun 1979 mulai menyebar di Amerika dengan bantuan pendanaan dari luar, dan
dalam perkembangannya hingga tahun 2011 hampir setiap Fakultas Hukum di
Amerika Serikat memiliki program hukum klinis.263
Di Indonesia sejak tahun 2012, Program Educating and Equipping
Tomorrow‟s Justice Sector Reformers (E2J) dan the asia Foundation-USAID
berkontribusi dalam memperkenalkan dan mengembangkan CLE sebagai
pendidikan hukum modern, yaitu sebagai suatu Mata Kuliah di Fakultas Hukum
dengan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan klinis, dalam proses
pembelajaran memberi kesempatan dan pengalaman kepada mahasiswa dalam
menangani kasus-kasus perdata, pidana, antikorupsi, lingkungan, kaus-kasus riil
di bidang perempuan dan anak. Klinik hukum kemudian menjadi sebuah
pembelajaran dengan maksud menyediakan mahasiswa hukum dengan
pengetahuan praktis, keahlian skill, nilai-nilai – kode etik dalam rangka
mewujudkan pelayanan hukum dan keadilan sosial.
CLE sebagai suatu Program Pendidikan di Perguruan Tinggi (Fakultas
Hukum) memberi manfaat terutama bagi mahasiswa untuk lebih mengenal dunia
praktik hukum, yaitu dapat menjembatani fakultas dan mahasiswanya untuk dapat
lebih mengenal, lebih peka dan memperaktikkan social justice lawyering.264
Komponen-komponen penting yang menjadikan CLE sebagai pendidikan hukum
modern menjadi bermanfaat dalam proses pembelajaran di fakultas hukum karena
didalamnya terkandung komponen-komponen sebagai berikut: Legal Analysis,
Skill Development, dan Professionalism.265
CLE dimaknai sebagai sebuah program pendidikan modern didasarkan pada
metode pengajaran yang khas yaitu metode Interaktif-Reflektif. Metode
Pembelajaran ―Interaktif‖dilaksanakan melalui metode: Bermain Peran (Role
Play), Simulasi (Simulation), diskusi Kelompok (Group Discussion), Curah
Pendapat/Gagasan (Brainstroming), Peradilan Semu (Moot Court), serta Analisis
Kasus (Case Analysis). Sementara itu Metode Pembelajaran ―Reflektif‖ bermakna
secara berkelanjutan dilakukan evaluasi materi dan sistem pengajaran, evaluasi
efektitas materi dan sistem pengajaran terhadap peningkatan dan derajat
pemahaman mahasiswa, serta dilakukan evaluasi sejauh mana mahasiswa telah
belajar dari materi dan sistem pembelajaran tersebut (Student Feedback).
262
James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal Education in University Law School The
UK Perspective, International Journal of Clinical legal Education, ISSN 14671062, p.519.
263
E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education) Sebuah Gerakan Global,
Materi Pelatihan Klinik Hukum, h. 5.
264
Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal Education: An Opening for Dialogue,
Journal Social Change, Vol. 34, Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication, Washington DC,
p. 484.
265
Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi Workshop P engembangan dan
Rekrutmen dosen Klinik Hukum FH UnUd, Kerjasama FH UnUd dengan
E2J, 13-15 April 2015, FH UNUD Denpasar- Bali, hlm.4

206
Cakupan substansi dari CLE meliputi: Pengetahuan (Knowledge), nilai
(Value), dan Keahlian Praktis (Practical Skills) yang memampukan mahasiswa
untuk memberikan pelayanan hukum dan menciptakan keadilan sosial. 266 Tujuan
dari CLE ialah meliputi: Pelayanan Masyarakat (Public Service), Keadilan Sosial
(Social Justice) yang mengedepankan Prinsip Persamaan dan Keadilan, akses
yang sama terhadap berbagai kesempatan, serta Sistem dan Prosedur Hukum yang
adil. CLE sebagai sebuah Mata Kuliah memiliki karakteristik yang khas yaitu 267:
a. terstruktur yaitu masuk dalam kurikulum, memiliki KRS, memiliki
manajemen (bagian dari unit), SDM terlatih dan berpengalaman serta
berkomitmen;
b. Melibatkan mahasiswa;
c. Mendapat dukungan pimpinan;
d. Mempunyai anggaran kegiatan.
Komponen metode pembelajaran dalam CLE-Klinik Hukum meliputi:
Planning Component, seperti misalnya teori hukum, permasalahan hukum,
pelayanan hukum; Experiental Component seperti misalnya keahlian beracara,
kegiatan praktis, penyuluhan hukum; dan Reflection Component misalnya fefleksi
dan evaluasi. CLE-Klinik Hukum sebagai suatu Mata Kuliah di Fakultas Hukum
dapat dikembangkan dengan berbagai model pembelajaran yaitu: 1) In-House
Clinics yakni Klinik yang dibentuk di Fakultas Hukum dan semua kegiatan
pengajaran dan pengawasan dilakukan di Fakultas Hukum; 2) External or Out-
House Clinics yaitu Externships, Community Clinics, Mobile Clinics; 3)
Kombinasi antara In-House and Out- House Clinics yaitusemua kegiatan
pengajaran dan pengawasan dilakukan di Fakultas Hukum (In-House Clinics),
mahasiswa kemudian dikirim ke pengadilan, kejaksaan dan organisasi masyarakat
sipil untuk melakukan externship (Out-House Clinics); serta 4) Street Law Clinic
yang umumnya dapat berupa kegiatan Penyuluhan Hukum, Sosialisasi Hukum,
Desiminasi Hukum, maupun pengembangan kegiatan Street Law lainnya.
Dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran Klinik Hukum Perdata di
Fakultas Hukum Universitas Udayana, kegiatan pembelajaran Planning
Component mengedepankan materi tentang proses beracara perdata di
Pengadilan Negeri, khususnya yang berkaitan dengan model yang dipilih dalam
Experiential Component –nya adalah External atau Ex-House clinic. Karena
luasnya cakupan hukum perdata, maka dalam kegiatan Planning Component
dalam proses pembelajaran Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata dapat
mengedepankan atau mensimulasikan bagian-bagian tertentu saja dari proses
beracara di pengadilan yang nantinya akan menunjang kegiatan Experiential
Component setelah mahasiswa kuliah praktik di lapangan, begitu juga tentang
substansinya dapat dipilih secara tematik apakah akan dilaksanakan Role Play
berkaitan dengan kasus perceraian, wanprestasi ataupun. Untuk pilihan Street

266
Ibid, hlm. 7.
267
Ibid, hlm 4.

207
Law Model, proses pembelajaran dalam Planning Component lebih menekankan
pada etika dan persiapan-persiapan penggodogan materi hukum perdata yang
akan disosialisasikan serta skill mensosialisasikan materi hukum yang aktif-
reflektif bagi sasaran masyarakat yang dituju. Seperti misalnya menyuluh di
anak-anak sekolah SD tentu berbeda pendekatan dan metodenya dengan anak-
anak SMA maupun masyarakat di pedesaan.
Kajian CLE sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat dengan Pro
Bono. Hal ini karena sejak sedari awal di bangku kuliah mahaiswa fakultas
hukum ditingkatkan kesadarannya untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan bantuan hukum untuk memperoleh social justice, justice for all
yang dilaksanakan dengan value dari Pro Bono. Pro Bono pada dasarnya adalah
singkatan untuk istilah latin pro bono publicio.268 Istilah latin tersebut pada
dasarnya berarti untuk kepentingan umum (for the public good).269 Meskipun
istilah ini digunakan dalam konteks yang berbeda untuk berati ―the offering of
free services‖, namun istilah tersebut memiliki arti yang sangat spesifik bagi
profesi hukum.270
Istilah Pro Bono sesungguhnya tidaklah sama dengan volunteer service.
Pelayanan dalam rangka Pro Bono dilaksanakan tanpa imbalan fee atas keahlian
hukum dari pihak yang melakukan pelayanan hukum, sehingga acapkali disebut
pelayanan secara gratis/cuma-cuma, namun kadangkala ada dilaksanakan
dengan biaya atas transportasi berkaitan dengan kegiatan pelayanan yang
bertujuan untuk kepentingan umum.271 Sangat penting untuk memahami bahwa
pelayanan Pro Bono tidakalah sebagai contoh seseorang melakukan sesuatu untuk
tetangganya secara gratis atau secara sukarela mengelola stand kue dengan anak-
anak Pramuka di siang hari.272 Melainkan, pelayanan Pro Bono itu misalnya dapat
juga beberapakali ditawarkan ―dengan biaya‖. Sebagai contohnya adalah seorang
konsultan profesional dapat mendonasikan waktu dan keahliannya akan tetapi
meminta untuk pembayaran yang berkaitan untuk menutup biaya
perjalanannya.273 Dalam kaitannya dengan Pendidikan Hukum Klinis, yang
relevan berkaitan dengan Pro Bono adalah model pembelajaran Street Law
Model.

2.2. Keterkaitan Model Street Law dan Pro Bono


Pada Klinik Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH
Unud), salah satu model yang telah dilaksanakan adalah street law

268
Terjemahan bebas. Lihat Georgetown Law,What is Pro Bono,
https://www.law.georgetown.edu/careers/opics/pro-bono/what_is_pro_bono/, diakses pada 5 Mei
2017.
269
Ibid.
270
Ibid.
271
Terjemahan bebas. Lihat Lahle Wollfe, The Balance, Are Pro Bono Services The Same As
Volunteer Services?, https://www.thebalance.com/are-pro-bono-services-the-same-as-volunteer-
services-3515203, diakses pada 5 Mei 2017.
272
Ibid.
273
Ibid.

208
clinic.Sebagaimana yang telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya,
bahwasanya sebagai suatu mata kuliah, street law yang dilaksanakan sebagai
bagian daripada Klinik Hukum Perdata FH Unud, apakah dapat dikategorikan
sebagai suatu kegiatan yang Pro Bono. Hal ini menarik untuk dibahas sebab
mahasiswa yang sudah lulus mata kuliah klinik tersebut, sebagaimana diatur
kurikulum berhak untuk mendapat 2 SKS sebagai reward. Untuk mengetahui
keterkaitan antara model street law dan Pro Bono maka akan terlebih dahulu
dibahas mengenai apa itu street law.
Definisi Street law pada dasarnya yaitu:
“Street law is a programme designed to enable law students and others to
make people aware of their legal rights and where to obtain assistance. Street law
explains to men or women „on the street‟ how the law affects them in their daily
lives. ... Street law helps people to understand how the law works and how it can
protect them. It also explains what the law expects poeple to do in certain
situations, what kinds of legal problems they should watch out for and how they
can resolve such problems‖.274
Dari pengertian tersebut dikatahui bahwa street law merupakan suatu program
yang dirancang untuk memungkinkan mahasiswa fakultas hukum dan pihak
lainnya untuk menyadarkan masyarakat bahwasanya mereka memiliki hak-hak di
hadapan hukum dan dimanakah mereka bisa memperoleh bantuan hukum. Dari
kata ―street‖ itu sendiri, yang dalam bahasa Indonesia berarti jalan bermaksud
bahwa dengan adanya kegiatan street law ini maka masyarakat yang ada di
jalanan atau di lingkungan sekitar kita mengerti bagaimanakah hukum
mempengaruhi mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan untuk membantu
memahami bagaimana cara hukum bekerja dan bagaimana hukum dapat
melindungi masyarakat. Selain itu model ini juga membantu menjelaskan kepada
masyarakat apa yang sesungguhnya menurut hukum patut untuk dilakukan oleh
masyarakat dalam situasi tertentu, permasalahan hukum apa yang harus
diperhatikan dan bagaimana caranya menyelesaikan permasalahan hukum yang
dihadapi.
Konsep Pro Bono sebagaimana telah dikemukakan di atas memiliki
elemen-elemen inti yaitu: suatu kegiatan pelayanan hukum yang dilakukan tanpa
menarik imbalan fee atas keahlian hukum, pro towards poor people, pro social
justice yang pada akhirnya berimplikasi pada akses social justice to all. Sementara
itu di sisi lain kegiatan street law model yang dilaksanakan pada proses
pembelajaran CLE, khususnya pada Klinik Hukum Perdata FH Unud, juga
memiliki elemen-elemen inti yang serupa dengan Pro Bono yaitu: social justice,
pro towards poor people, memberi informasi tentang hukum (sosialisasi hukum)
serta reward berupa pemberian 2SKS yang telah lulus menempuh mata kuliah ini.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa Pro Bono dan Street law model

274
David MCQuoid-Mason, Teaching Social Justice to Law Students Through Community Service
– The South African Experience,clarkcunningham.org/LegalEd/SouthAfricaMasonl.pdf, diakses
pada 7 Mei 2017, 6.

209
pada CLE, khususnya Klinik Hukum Perdata FH Unud, memiliki persamaan,
namun tidak sepenuhnya street law pada CLE dapat dikategorisasikan sebagai Pro
Bono. Hal ini karena dalam melakukan kegiatannya pada street law clinic,
mahasiswa masih memperoleh imbalan atas knowledge dan skill dalam bidang
hukum perdata ketika proses pembelajaran di kelas hingga melakukan sosialisasi
hukum di lapangan berupa pemberian kredit sebesar 2 SKS sebagai reward bagi
mereka yang lulus.
Meskipun street law clinic dalam CLE tidak dapat sepenuhnya
dikategorisasikan sebagai Pro Bono, namun kepekaan terhadap nilai-nilai Pro
Bono yang senantiasa ingin berbagi, pro poor people, social justice, access to
justice, sudah sejak dini ditanamkan dan dilaksanakan sehingga kesadaran akan
suatu kegiatan bantuan hukum tidaklah harus selalu diimbangi dengan imbalan
berupa fee.

III. PENUTUP
Berdasarkan uraian pada pembahasan sebelumnya dapat dikemukakan
bahwa konsep CLE dengan metode pembelajarannya yang interaktif dan reflektif
dapat melahirkan lulusan-lulusan unggul di fakultas hukum yang memiliki
keunggulan pada kemampuan tidak hanya knowledge, namun juga skill dan
values. Berkaitan dengan CLE yang dilaksanakan dengan model street law clinic,
meskipun tidak sepenuhnya street law tersebut dapat dikategorikan sebagai pro
bono yang murni karena mahasiswa yang telah lulus menempuh mata kuliah
Klinik Hukum, khususnya di Klinik Hukum Perdata FH Unud, memperoleh
reward 2 SKS, namun nilai-nilai inti dari Pro Bono yang sarat dengan kebajikan
berbagi kepada sesama yang membutuhkan khususnya pro poor people,
memperjuangkan social justice serta access to justice for all telah tertanam sejak
dini pada mahasiswa tersebut. Pada akhirnya pengalaman-pengalaman praktis
mahasiswa tersebut selama menjalani experiential component dengan street law
model diharapkan mampu membuat mahasiswa tersebut menjadi insan profesional
dalam bidang keahlian hukum yang pro dengan pro bono.

210
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
Gullapalli, Vaidya. 2012, Transforming Clinical legal Education: An Opening for
Dialogue, Journal Social Change, Vol. 34, Issues 8-9, ISSN 0309-
0590, Sage Publication, Washington DC.
Marson, James. 2014, The Necessity of Clinical Legal Education in University
Law School The UK Perspective, International Journal of Clinical
legal Education, ISSN 14671062.

INTERNET
Georgetown Law, What is Pro Bono,
https://www.law.georgetown.edu/careers/opics/pro-
bono/what_is_pro_bono/, diakses pada 5 Mei 2017.
MCQuoid-Mason, David.Teaching Social Justice to Law Students Through
Community Service – The South African
Experience,clarkcunningham.org/LegalEd/SouthAfricaMasonl.pdf,
diakses pada 7 Mei 2017, 6.
The Law Dictionary, What is Pro Bono, http://thelawdictionary.org/pro-bono/,
diakses pada 5 Mei 2017.
Wollfe, Lahle. The Balance, Are Pro Bono Services The Same As Volunteer
Services?, https://www.thebalance.com/are-pro-bono-services-the-
same-as-volunteer-services-3515203, diakses pada 5 Mei 2017.

LAIN-LAIN
E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education) Sebuah Gerakan
Global, Materi Pelatihan Klinik Hukum.
Utomo, Tomi Suryo, 2015, Clinical Legal Education, Materi Workshop P
engembangan dan Rekrutmen dosen Klinik Hukum FH UnUd,
Kerjasama FH Unud dengan e2J, 13-15 april 2015, FH Unud
Denpasar-Bali.

211
KEADILAN SOSIAL BAGI PENUMPANG ANGKUTAN UDARA DALAM
MEMPEROLEH GANTI RUGI ATAS KETERLAMBATAN
PENERBANGAN

Aflah, SH., M.Hum.1


1
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
email : aflah.lubis@yahoo.com

Abstrak
Penumpang yang menginginkan cepat tiba di tempat
tujuan dengan selamat untuk jarak tempuh yang jauh
sampai melewati batas wilayah suatu provinsi atau bahkan
melewati batas wilayah suatu negara, tentu memilih
angkutan udara. Angkutan udara merupakan salah satu
moda transportasi yang bisa digunakan untuk bisa tiba
dengan cepat sampai di tempat tujuan dan efisiensi waktu.
Namun, seringkali terjadi penumpang terlambat tiba di
tempat tujuan, karena keterlambatan pada jadwal
penerbangan itu sendiri. Akibat keterlambatan jadwal
penerbangan, penumpang banyak mengalami kerugian,
dalam bentuk kerugian materil maupun immateril. Sudah
seharusnya pihak Maskapai Penerbangan memberikan
ganti rugi yang layak bagi penumpangnya sebagai bentuk
pelaksanaan tanggung jawab jika terjadi keterlambatan
penerbangan. Ketentuan tentang tanggung jawab dan
pemberian ganti rugi atas keterlambatan penerbangan
secara tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 9 Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Dalam
dunia penerbangan saat ini, masih ada beberapa Maskapai
Penerbangan yang lalai akan peraturan tersebut, sehingga
masih banyak penumpang yang tidak memperoleh ganti
rugi yang layak dan adil, jika terjadi keterlambatan
penerbangan bahkan ada yang sampai terjadi penelantaran
penumpang.

Kata kunci : penumpang, ganti rugi, keterlambatan.

212
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Angkutan penerbangan merupakan salah satu moda transportasi yang dapat
menjangkau tempat yang jauh dengan jangka waktu yang lebih cepat. Penumpang
yang memerlukan kecepatan waktu untuk bisa sampai di tempat tujuan tentu
memilih untuk menggunakan angkutan pesawat udara dengan telah
mempertimbangkan terlebih dahulu biaya yang harus dikeluarkan sebagai ongkos
pengangkutan. Pada angkutan penerbangan ongkos angkutnya relatif lebih besar
dari ongkos angkut pada angkutan darat dan angkutan laut, tetapi penumpang tetap
memilih angkutan udara karena kebutuhan dan efisiensi waktu untuk bisa sampai
dengan cepat, tepat waktu dan selamat di tempat tujuan. Proses penyelenggaraan
pengangkutan udara seringkali tidak selancar yang diharapkan penumpang, karena
terjadi hal-hal yang tidak diduga baik oleh penumpang maupun maskapai
penerbangan (airlines) sebagai pihak pengangkut. Hal-hal yang tidak dapat diduga
sebelumnya ini menyebabkan terjadinya keterlambatan (delay)bahkan adakalanya
bisa terjadi pembatalan jadwal keberangkatan. Keterlambatan dan pembatalan
jadwal penerbangan merupakan dua hal yang dapat menimbulkan kerugian pada
penumpang, dan akibat kerugian tersebut sudah selayaknya pihak penumpang yang
memiliki tiket mendapatkan ganti rugi yang sesuai dan memenuhi rasa keadilan
dari pihak maskapai penerbangan sebagai bentuk tanggung jawab selaku pihak
pengangkut. Tanggung jawab pengangkut, timbulnya kerugian dan proses untuk
mendapatkan ganti rugi yang adil bagi pihak penumpang menjadi latar belakang
dari tulisan ini.

B. Rumusan Masalah
Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini, antara lain, sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keterlambatan jadwal
angkutan penerbangan?
2. Bagaimana tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap penumpang
yang mengalami keterlambatan jadwal penerbangan?
3. Bagaimana pemberian ganti rugi yang bagi penumpang yang mengalami
keterlambatan jadwal penerbangan?

C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji peraturan perundang-
undangan yang terkait yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan
Penerbangan Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.

213
Metode penelitian dalam tulisan ini juga menggunakan jenis penelitian
empiris, yaitu dengan melakukan penelitian pada maskapai penerbangan untuk
mendapatkan data-data dari pihak pengangkut dalam pelaksanaan tanggung
jawabnya terhadap penumpang. Data-data yang diperoleh secara empiris ini
menjadi data pendukung untuk mengetahui apakah peraturan-peraturan yang
berlaku dalam penyelenggaraan angkutan udara telah sesuai dijalankan, baik oleh
penumpang maupun pengangkut.
Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu studi dokumen
(Library research) terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam angkutan udara
dan studi lapangan (Field Research) yang dilakukan dengan teknik wawancara
(interview) kepada pihak maskapai penerbangan yaitu PT. Garuda Indonesia
Cabang Medan.

Sesuai dengan metode dan jenis penelitian, maka seluruh data-data akan
dianalisis. Data yang diperoleh melalui studi lapangan berupa informasi dari
responden akan diolah sebagai data-data primer untuk ditarik suatu kesimpulan
dalam pemecahan permasalahan penelitian ini. Data yang diperoleh melalui studi
dokumen atau studi kepustakaan menjadi data sekunder berupa peraturan-
peraturan hukum yang dikaji terkait dengan penulisan.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan dalam Penerbangan
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, keterlambatan berasal dari kata
―lambat‖, artinya perlahan-lahan, tidak cepat, makan waktu banyak, tidak lekas,
tidak tepat pada waktunya, ketinggalan. [1]

Menurut Pasal 1 angka (6) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89


Tahun 2015, yang dimaksud dengan keterlambatan penerbangan adalah terjadinya
perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan
dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.
Menurut Pasal 1 angka (7), yang dimaksud dengan pembatalan
penerbangan (cancelation of flight) adalah tidak beroperasinya suatu penerbangan
sesuai rencana penerbangan yang telah ditentukan.
Keterlambatan penerbangan merupakan salah satu keadaan yang
menimbulkan kerugian bagi penumpang dan menjadi tanggungjawab pihak
pengangkut (maskapai) untuk memberi ganti rugi (kompensasi) kepada
penumpang.

Ruang lingkup keterlambatan penerbangan pada angkutan udara niaga


berjadwal tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89
Tahun 2015, terdiri dari :

214
1. Keterlambatan penerbangan (flight delayed).

2. Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied


boarding passenger).

3. Pembatalan penerbangan (cancelation of flight).


Keterlambatan penerbangan pada angkutan udara disebabkan oleh
beberapa faktor. Pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015,
menguraikan tentang faktor-faktor penyebab keterlambatan penerbangan, antara
lain, sebagai berikut :
1. Faktor Manajemen Airline, yaitu faktor keterlambatan yang disebabkan oleh
maskapai penerbangan, yang meliputi, Keterlambatan Pilot, Co Pilot dan
awak kabin, Keterlambatan jasa boga (catering), Keterlambatan
penanganan di darat, Menunggu Penumpang baik yang baru melapor
(check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan
(Connecting Flight) dan Ketidaksiapan pesawat udara.
2. Faktor Teknis Operasional, yaitu faktor keterlambatan yang disebabkan
oleh kondisi bandar udara pada saat keberangkatan dan kedatangan, yang
meliputi, Bandar Udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat
digunakan operasional pesawat udara, Lingkungan menuju bandar udara
atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran,
terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat
(landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar
udara dan keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).
3. Faktor cuaca, yaitu faktor keterlambatan penerbangan yang disebabkan oleh
hujan lebat, banjir, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah
standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal
yang mengganggu keselamatan penerbangan.
4. Faktor lain-lain, yaitu faktor keterlambatan penerbangan yang bukan
disebabkan oleh faktor manajemen airline, faktor teknis operasional dan
faktor cuaca, tetapi disebabkan oleh faktor lain, misalnya terjadi kerusuhan
atau demonstrasi di wilayah bandar udara keberangkatan atau kedatangan.
Jika terjadi keterlambatan penerbangan yang disebabkan oleh faktor
teknis operasional dan faktor cuaca, maka badan usaha angkutan udara wajib
memberikan dan menyampaikan informasi dengan bukti surat keterangan
resmi dari instansi terkait (seperti otoritas bandar udara dan unit
penyelenggara bandar udara, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
atau BMKG).
Penyampaian informasi yang benar dan akurat tentang terjadinya
keterlambatan penerbangan kepada penumpang merupakan salah satu bentuk
upaya penanganan keterlambatan penerbangan (delay management).

215
Pihak maskapai penerbangan dapat menyampaikan informasi yang
benar dan jelas kepada penumpang, dalam hal terjadi keterlambatan
penerbangan, sebagai berikut [2] :
1. tentang alasan keterlambatan dan kepastian keberangkatan dapat
disampaikan kepada penumpang secara langsung atau melalui telepon atau
layanan pesan singkat (short messeage service) atau melalui media
pengumuman selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima)menit sebelum
jadwal keberangkatan atau sejak pertama kali diketahui adanya
keterlambatan.
2. tentang pembatalan penerbangan dan kepastian penerbangan dapat
disampaikan kepada penumpang secara langsung atau melalui telepon atau
layanan pesan singkat (short messeage service) atau melalui media
pengumuman selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sebelum
pelaksanaan penerbangan.
3. tentang keterlambatan penerbangan yang disebabkan oleh faktor cuaca,
informasi dapat disampaikan kepada penumpang sejak diketahui adanya
gangguan cuaca.
4. tentang perubahan jadwal penerbangan (reschedule) disampaikan kepada
penumpang secara langsung, melalui telpon atau layanan pesan singkat
(short messeage service) atau melalui media pengumuman paling lambat
24 (dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan penerbangan.

B. Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Yang


Mengalami Keterlambatan Jadwal Penerbangan
Menurut Pasal 1 angka (3) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, yang
dimaksud dengan tanggungjawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan
angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.
Selanjutnya Pasal 2 huruf (e) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
77 Tahun 2011 menyebutkan bahwa, Pengangkut yang mengoperasikan
pesawat udara wajib bertanggungjawab atas kerugian terhadap keterlambatan
angkutan udara.
Pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,
menyatakan bahwa, Pengangkut bertanggungjawab atas kerugian yang
diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo,
kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut
disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Pasal 147 UU Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa :
(1) Pengangkut bertanggungjawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat
udara.

216
(2) Tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan
kompensasi kepada penumpang, berupa :
a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan, dan
atau,
b. memberikan konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi apabila tidak
ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
Dalam hukum angkutan udara dikenal ada 3 (tiga) bentuk tanggung jawab
pengangkut (maskapai penerbangan) yang berkaitan dengan penyelesaian
pembayaran ganti kerugian (kompensasi). Ketiga bentuk tanggung jawab tersebut,
yaitu [3]:
1. Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (based on fault liability);
2. Tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability);
3. Tanggung jawab mutlak (strict liability).
Ad.1. Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (based on fault liability) di
Indonesia dikenal dengan tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan
hukum, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa ―Tiap perbuatan yang melanggar hukum, dan membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu
karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut‖.[4]
Dalam pengertian tentang kesalahan sebenarnya lebih memusatkan
perhatian pada hubungan yang pertama, yaitu jika pihak yang menyebabkan
kerugian terbukti bersalah, maka korban berhak untuk memperoleh ganti
kerugian. Namun apabila tidak terbukti adanya unsur kesalahan dari pihak
yang menyebabkan kerugian itu, maka pembayaran ganti kerugian tidak dapat
diberikan.[5]
Ketentuan ini sesuai dengan isi Pasal 146 UU Nomor 1 Tahun 2009 jo
Pasal 6 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015, yaitu pihak
Maskapai hanya bertanggungjawab untuk memberi ganti rugi dan kompensasi
kepada pengangkut untuk keterlambatan penerbangan yang disebabkan oleh
faktor kesalahan manajemen airlines, sedangkan untuk keterlambatan yang
disebabkan oleh faktor cuaca dan faktor teknis operasional tidak menjadi
tanggung jawab pihak Maskapai asalkan pihak Maskapai dapat membuktikan
hal tersebut, jadi dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak Maskapai
Penerbangan.
Dalam konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan pada
penyelenggaraan angkutan udara, yang harus membuktikan adalah korban
(penumpang). Apabila penumpang mampu membuktikan bahwa dia menderita
kerugian karena kesalahan badan usaha angkutan udara selama
penyelenggaraan pengangkutan, maka penyelenggara pengangkutan
penerbangan bertanggungjawab untuk mengganti kerugian tersebut.[6]
Ad. 2. Tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability)

217
Dalam bentuk ini setiap pihak dianggap selalu bertanggungjawab atas
setiap kerugian yang timbul dari perbuatannya. Tetapi jika pihak tersebut dapat
membuktikan bahwa dia tidak bersalah maka dia dibebaskan dari tanggung jawab
membayar ganti rugi itu. Yang dimaksud dengan tidak bersalah adalah, tidak
melakukan kelalaian dan telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk
menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak
mungkin dihindari. Pihak yang berbuat harus bisa memberikan pembuktian bahwa
ia tidak bersalah sedangkan pihak yang menderita kerugian cukup menunjukkan
adanya kerugian yang diderita akibat perbuatan itu.[7]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 dalam hal tanggung jawab
pengangkut dalam angkutan udara disamping menganut prinsip tanggung jawab
berdasarkan kesalahan juga menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan
praduga, hal ini dapat diketahui dari Pasal 141, Pasal 146 dan Pasal 147 UU
Nomor 1 Tahun 2009.
Ad.3. Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Dalam bentuk ini setiap pihak harus bertanggungjawab atas setiap
kerugian yang timbul akibat dari perbuatan yang dilakukannya tanpa adanya
keharusan untuk suatu pembuktian tentang ada atau tidak adanya kesalahan. Teori
ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan.
Pihak yang melakukan suatu perbuatan tidak mungkin bebas dari tanggung jawab
dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian tersebut.[8]

Penerapan tanggung jawab mutlak pihak pengangkut dalam


menyelesaikan ganti kerugian kepada penumpang, diimbangi dengan pengalihan
risiko kerugian kepada perusahaan asuransi. Meskipun UU Nomor 1 Tahun 2009
tidak menganut prinsip tanggung jawab mutlak, tetapi dalam undang-undang
tersebut diatur secara tegas, bahwa pihak pengangkut dalam angkutan udara wajib
mengasuransikan tanggungjawabnya terhadap penumpang dan kargo yang
diangkutnya.[9]

C. Pemberian Ganti Rugi Untuk Penumpang Yang Mengalami


Keterlambatan Penerbangan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 mengatur
secara rinci dan membagi keterlambatan dalam beberapa kategori, antara lain
sebagai berikut :[10]

KATEGORI KETERLAMBATAN DAN PEMBERIAN KOMPENSASI


GANTI RUGI
Kategori Keterlambatan Kompensasi ganti rugi
1 30 – 60 menit Minuman ringan
2 61 – 120 menit Minuman dan makanan ringan (snackbox)

218
3 121 – 180 menit Minuman dan makanan berat (heavymeal)
4 181 – 240 menit Minuman, makanan ringan (snackbox) dan
makanan berat (heavymeal)
5 Lebih dari 240 Ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus
menit ribu rupiah)
6 Pembatalan Mengalihkan kepada penerbangan berikutnya
penerbangan atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund
ticket)

Tabel 1. Kategori Keterlambatan Penerbangan

Berdasarkan kategori keterlambatan dan besarnya jumlah kompensasi


ganti rugi yang diberikan kepada penumpang belum memenuhi rasa keadilan,
melihat jumlah kompensasi yang harus dibayar oleh pihak pengangkut tidak
setimpal dengan besarnya jumlah kerugian yang diderita penumpang karena
keterlambatan penerbangan itu. Penumpang yang sudah membayar tiket
dilindungi oleh undang-undang dan mempunyai hak untuk mendapat pelayanan
angkutan penerbangan. Jika dihubungkan dengan tujuan pengangkutan yaitu
untuk mengangkut penumpang dan barang hingga tiba di tempat tujuan dengan
selamat dan sesuai dengan waktu yang ditentukan, maka keterlambatan
penerbangan menyebabkan tidak tercapainya tujuan pengangkutan. Begitu juga
jika dilihat dari fungsi pengangkutan, yaitu untuk memindahkan dan
meningkatkan nilai dan kualitas dari penumpang atau barang yang diangkut, tetapi
jika pengangkutan tidak terlaksana sebagaimana yang direncanakan maka
pengangkutan menjadi tidak berfungsi dan pada akhirnya, nilai dan kualitas
penumpang maupun barang juga tidak mengalami kenaikan. Beberapa kondisi dan
keadaan yang merugikan yang dialami penumpang jika pesawat mengalami
keterlambatan sudah seharusnya untuk mendapat kompensasi yang sesuai dengan
kerugian tersebut.
Sebagai contoh, jika penumpang mengalami keterlambatan penerbangan
30 sampai 60 menit dari keberangkatan yang telah dijadwalkan, padahal
keberangkatan itu dilakukan untuk menghadiri suatu seminar atau rapat penting
dalam suatu perusahaan, tetapi karena keterlambatan mengakibatkan penumpang
tidak bisa menghadiri seminar atau rapat dan penumpang mengalami kerugian
baik moril dan materil, tetapi hanya diganti dengan segelas minuman ringan hal
ini sangat tidak wajar dan belum memenuhi rasa keadilan. Untuk dapat memenuhi
rasa keadilan, maka sebaiknya dalam setiap kategori keterlambatan yang
disebabkan kesalahan manajemen airlines seharusnya penumpang menerima
kompensasi tambahan sesuai dengan kerugian penumpang, asalkan penumpang

219
dapat membuktikan bahwa karena keterlambatan tersebut dirinya telah mengalami
kerugian moril dan materil, jadi beban pembuktian ada pada penumpang.
Keterlambatan penerbangan kategori 1 sampai 4, kompensasi yang
diberikan kepada penumpang hanya berupa minuman dan makanan, sudah
sepantasnya kalau pihak pengangkut juga memberikan kompensasi tambahan dari
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Nomor 89 Tahun 2015,
sebagai perwujudan dari itikad baik dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagai
pengangkut. Kompensasi tambahan ini bisa berupa pengembalian biaya angkutan
yang jumlahnya dapat disesuaikan dengan jangka waktu keterlambatan
penerbangan.
Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia dalam penyelenggaraan
penerbangannya telah menerapkan hal ini, dengan membuat ketentuan tentang
kompensasi dan ganti rugi kepada penumpang yang mengalami keterlambatan
(delay) karena kesalahan pada manajemen airlines. Selain kompensasi berupa
makanan dan minuman, kompensasi tambahan juga diberikan dan disesuaikan
dengan golongan keterlambatan, antara lain, sebagai berikut :

Keterlambatan Kompensasi ganti rugi

91 – 120 penumpang tanpa penerbangan lanjutan dapat ditransfer


menit kepada maskapai penerbangan yang lain sesuai permintaan
penumpang

121 – 180 1. penumpang tanpa penerbangan lanjutan dapat ditransfer


menit kepada maskapai penerbangan yang lain sesuai permintaan
penumpang
2. penumpang dapat meminta pembayaran biaya transport
yang jumlahnya sesuai dengan kebijakan lokal atau
maksimum setara dengan Rp. 400.000,-
3. penumpang dapat meminta Refund tiket tanpa dikenakan
biaya apapun

181 – 240 1. penumpang mendapatkan kompensasi yang sama dengan


menit keterlambatan penerbangan 121 – 180 menit, dan
2. Jika penumpang tidak bisa ditransfer kepada maskapai
penerbangan lain maka PT. Garuda Indonesia menyediakan
akomodasi (penginapan) untuk menunggu jadwal
keberangkatan dan penerbangan berikutnya

241 – 360 1. penumpang mendapatkan kompensasi yang sama dengan

220
menit keterlambatan penerbangan 181 – 240 menit, dan
2. untuk rute domestik, penumpang diberikan kompensasi
sebesar Rp. 300.000,- dalam bentuk voucher
3. Jika penumpang ingin menggunakan penerbangan lain
dengan cara re-route dari Bandara terdekat ke bandara
tujuan, maka penumpang akan memperoleh kompensasi Rp.
150.000,- ditambah dengan transportasi ke bandara tujuan
akhir (baik angkutan udara maupun angkutan darat)

4. Khusus untuk penumpang kelas eksekutif, diberikan


informasi mengenai klaim ganti rugi dari perusahaan
asuransi, klaim disampaikan secara tertulis dalam jangka
waktu tidak lebih dari 19 hari setelah keterlambatan
penerbangan.

Tabel 2. Pemberian Kompensasi pada PT. Garuda Indonesia [11]

Pemberian kompensasi tambahan ini sebaiknya diterapkan juga dalam


maskapai penerbangan yang lain, karena tanggung jawab untuk ganti rugi dan
pembayaran kompensasi akibat keterlambatan penerbangan ini sebenarnya
resikonya dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi. Namun demikian, bahwa
dengan adanya pengalihan resiko kepada perusahaan asuransi tentu akan ada
pembayaran premi, dan hal ini berdampak pula pada adanya kenaikan biaya tiket
dalam angkutan udara.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor penyebab keterlambatan penerbangan, antara lain, faktor
manajemen airline, yaitu keterlambatan yang disebabkan oleh maskapai
penerbangan, faktor teknis operasional, yaitu keterlambatan yang
disebabkan oleh kondisi bandar udara pada saat keberangkatan dan
kedatangan, faktor cuaca, yaitu keterlambatan yang disebabkan oleh
hujan lebat, banjir, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah
standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar
maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan dan faktor lain-
lain, yaitu keterlambatan yang disebabkan oleh faktor lain, misalnya
terjadi kerusuhan atau demonstrasi di wilayah bandar udara
keberangkatan atau kedatangan.

221
2. Maskapai Penerbangan sebagai pihak pengangkut bertanggungjawab
terhadap kerugian yang dialami oleh penumpang akibat keterlambatan
penerbangan yang disebabkan oleh kesalahan manajemen airlines, tetapi
tidak bertanggungjawab terhadap keterlambatan penerbangan yang
disebabkan karena faktor cuaca dan faktor teknis operasional.
3. Pemberian ganti rugi bagi penumpang yang mengalami keterlambatan
penerbangan dan pembayaran kompensasi disesuaikan berdasarkan kategori
keterlambatan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015.

B. Saran
1. Pihak pengangkut dalam menjalankan tanggungjawabnya terhadap
penumpang yang mengalami keterlambatan karena kesalahan manajemen
airlines seharusnya tetap mengutamakan itikad baik, karena akibat
keterlambatan yang dialami penumpang sudah seharusnya penumpang
mendapatkan ganti rugi dan kompensasi yang layak dan setimpal dengan
kerugian yang dialami oleh penumpang.
2. Sebaiknya pihak pengangkut memberikan kompensasi tambahan selain dari
kompensasi pokok yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 89 Tahun 2015, hal ini untuk memberikan ganti rugi yang adil dan
layak kepada penumpang dan untuk mewujudkan tanggung jawab
pengangkut yang dilaksanakan dengan itikad baik.

222
Daftar Pustaka

Martono, H.K. dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan
Nasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti,


Jakarta, 1998.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan


Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha
Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung


Jawab Pengangkut Angkutan Udara

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


2002.

Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melawan Hukum, Sumur, Bandung, 1993.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya


Paramita, Jakarta, 1996.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Template catatan kaki:

[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,


Jakarta, 2002. Hlm. 557.
[2] Pasal 7 Angka (3) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015
Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.
[3] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 1998, Hlm. 37.
[4] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1996.
[5] Wirjono, Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur, Bandung, 1993,
Hlm. 24.
[6] H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan
Nasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, Hlm. 12.
[7] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, Hlm. 40.

223
[8] Ibid., Hlm. 41.
[9] Lihat Pasal 179 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
[10] Lihat Pasal 3 jo Pasal 9 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun

2015.
[11] Hasil wawancara pada PT. Garuda Indonesia Cabang Medan.

224
V. Access Community For Social Justice Of Land And Economy

PERJANJIAN PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA


PELAKU PERKAWINAN CAMPURAN
(Suatu Telaah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-
XIII/2015)

Fauzia P. Bakti
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Departemen hukum Keperdataan
Email: fauziabakti75@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Perkawinan antara orang-orang yang berbeda kewarganegaraan, dan tunduk
pada system hukum yang berbeda, merupakan fenomena global dan dialami oleh
semua negara. Jenis perkawinan ini juga telah ada jauh sebelum Undang-Undang
Perkawinan (UUP) berlaku di Indonesia. Dengan kata lain jenis perkawinan yang
dalam UUP disebut Perkawinan Campuran, bukanlah merupakan hal baru. Meski
demikian, patut diakui bahwa tren perkawinan campuran, khususnya di Indonesia
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Meningkatnya praktik perkawinan
campuran tidak terlepas dari peranan kemajuan system informasi teknologi dan
komunikasi. Perkawinan campuran telah merambah ke seluruh pelosok Tanah
Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan
transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan
antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh
Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda
kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet,
kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman
sekolah/kuliah, dan sahabat pena275. Maraknya praktik perkawinan campuran
antara Warga Negara (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA), sudah
seharusnya perlindungan hukum bagi pelaku perkawinan campuran ini
diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia. Hal ini
merupakan salah wujud tanggung jawab negara terhadap wargannya, dan di sisi
lain sebagai perwujudan hak-hak warga Negara sesuai amanat konstitusi.
Sebagaimana perkawinan pada umumnya, perkawinan campuran juga
melahirkan akibat- akibat hukum, baik terhadap diri Pribadi suami istri,
keturunan maupun terhadap harta kekayaan di dalam perkawinan.
Berkaitan dengan akibat hukum tersebut, salah satu yang menarik dan
berbeda dengan perkawinan pada umumnya adalah status kewarganegaraan anak,
yang lahir dari Ibu dan Ayah yang tunduk pada hukum yang berbeda. Selain itu

275
http://www.sumbbu.com/2016/04/perkawinan-campuran.html

225
prinsip nasionalitas yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1960, tentang ketentuan
Pokok agraria, bahwa hanya WNI yang dapat mempuyai hak milik atas tanah, dan
Hak Guna Bangunan.
Jika hal yang dibahas menyangkut perkawinan antara sesama WNI, maka
ketentuan ini sangat ideal, dalam rangka mendukung terciptanya keluarga
sebagaimana tujuan perkawinan di dalam UUP, yakni menciptakan keluarga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan YME. Namun jika ditelusuri lebih jauh, ternyata
ketentuan tersebut kurang menguntungkan para pelaku perkawinan campuran. Di
satu sisi, UUP mengenal prinsip penyatuan harta perkawinaan, dan di sisi lain
prinsip nasionalitas UUPA, menutup kemungkinan seorang WNA untuk dapat
memiliki hak atas tanah dan Hak Guna Bangunan di Indonesia.
Bagi WNI pelaku perkawinan campuran, tidaklah tertutup sama sekali jalan
untuk memiliki hak-hak sebagaimana halnya WNI yang lain. Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan pemisahan harta antara suami dan istri. Pemisahan harta
dalam perkawinan dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian kawin . Hal ini
didasarkan pada Pasal 29 UUP tentang Perjanjian perkawinan.
Belakangan, ketentuan tentang perjanjian perkawinan pun dianggap kurang
mengakomodir kepentingan pasangan suami istri. Hal ini dikarenakan terbatasnya
waktu yang memungkinkan untuk dilakukannya perjanjian perkawinan tersebut,
sebagaimana dalam Pasal 29 Ayat 1 UUP, Bahwa ―Pada waktu sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan….‖ Dari bunyi pasal tersebut, bermakna perjanjian perkawinan hanya
dapat dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Sementara itu
didasarkan pada keadaan serta kebutuhan-kebutuhan tertentu, ada kalanya antara
suami istri merasa perlu untuk mengadakan perjanjian kawin justru dalam masa
perkawinan, terlebih lagi bagi WNI pelaku perkawinan campuran yang diawal
perkawinannya tidak memngadakan perjanjian perkawinan, maka akan memiliki
kesulitan untuk mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.
Suatu kabar baik bagi WNI pelaku perkawinan campuran dan juga
perkawinan pada umumnya, yakni adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
tentang hasil uji materil terhadap UUP, yang merubah rumusan Pasal 29 Ayat 1, 3
dan 4 , yang secara singkat membuka peluang untuk diadakannya perjanjian
perkawinan dalam masa perkawinan.
Suatu putusan sebagai upaya perubahaan kearah yang lebih baik, bukanlah
hal yang tanpa kendala maupun risiko. Tidak terkecuali menuai pro dan kontra.
Beberapa kalangan menganggap bahwa terbukanya peluang yang luas untuk
melakukan perjanjian kawin, akan menggeser makna hakiki dalam sebuah
perkawinan yakni ikatan lahir batin. Ikatan inilah yang membedakan perkawinan
dengan hubungan kontraktual biasa sebagaimana dalam lapangan hukum
perjanjian. Menjadi pertanyaan kemudian jika ssebuah keluarga hanya dibangun
atas dominasi kepentingan akan materi semata, dan bukan lagi didasarkan pada
pondasi kasih sayang, dan saling menerima apa adanya.

226
II. PEMBAHASAN
A. PERKAWINAN CAMPURAN DAN PENGATURANNYA DALAM
SISTEM HUKUM KELUARGA INDONESIA
Rumusan tentang perkawinan campuran, ditegaskan dalam Pasal 57 UUP,
bahwa ― Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia‖.
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-
unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut276:
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;
3. Karena perbedaan kewarganegaraan; dan
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, perbedaan kewarganegaraan menjadi unsur
yang paling kental, karena dengan demikian membawa konsekwensi bahwa
pasangan tersebut tunduk pada hukum yang berbeda pula. Secara tegas juga
dikemukakan dalam Pasal 57 UUP bahwa salah satu pihak Berkewarganegaraan
Indonesia dan pihak lainnya berkewarganegaraan Asing.
Pengaturan tentang Perkawinan Campuran dalam UU No.1 Tahun 1974,
tentang Perkawinan, terdapat dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Moch.
Isnaeni, memberi pandangan yang berbeda Tentang pengaturan dan penamaan
perkawinan campuran, bahwa manakala suatu jenis perkawinan di dalamnya
mengandung unsur asing yang relevan, berarti masuk bidang Hukum Perdata
Internasional (HPI), akan lebih layak kalau disebut dengan istilah Perkawinan
Internasional. oleh karena itu akan lebih tepat kalau Pasal 56 sampai 62
UUPerkawinan, ditundukkan pada bagian yang sama, dengan satu judul saja,
yakni Perkawinan Internasional, mengingat tentang pasal-pasal yang bersangkutan
ada unsur asing di dalamnya277. Undang-undang megisyaratkan bahwa tempat
pelaksanaan perkawinan bagi sesama WNI maupun antara WNI dengan WNA,
memungkinkan untuk dilaksanakan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia,
sebagaimana Bunyi Pasal 56 UUP, Bahwa ― perkawinan yang dilangsungkan di
luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan
dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 59 Ayat 2 UUP, bahwa ―Perkawinan Campuran

276
Online-journal.unja.ac.id (Sasmiar. Vol.2 no. 2) Jurnal ilmu Hukum 2011. Perkawinan campuran dan Akibat
Hukumnya.
277
Moch. Isnaeni. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2016.

227
yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan
ini.
Pelaksanaan perkawinan campuran juga harus memenuhi syarat materil dan
syarat formil, seabagaimana ditentukan dalam Pasal 60 dan 61 UUP. Pasal 60
Ayat 1 UUP, mengatur bahwa ― perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan
sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum
yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Oleh karena itu bagi WNI
harus memenuhi syarat-syarat perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam Bab 2
,Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UUP, misalnya syarat persetujuan kedua calon
mempelai, batasan usia kawin, tidak adanya halangan/larangngan untuk
melangsungkan perkawinan dan sebagainya. Sementara itu bagi WNA juga harus
memenuhi syarat berdasarkan system hukum yang dianut di Negara asalnya.
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu
tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh
mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah
dipenuhi (Pasal 60 Ayat 2 UUP).
Pada bagian pendahuluan, telah dikemukakan bahwa perkawinan campuran
dapat melahirkan akibat hukum. yang beberapa di antaranya yang berbeda
dengan akibat hukum perkawinan yang dilakukan oleh sesama WNI. Pertama
membahas akibat hukum terhadap pasangan suami istri, yakni terbukanya peluang
bagi WNA yang menikah dengan WNI untuk mendapatkan kewarganegaraan
Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan pada Pasal 19 Ayat 1, UU NO. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan bahwa ― Warga Negara Asing yang kawin
secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di
hadapan Pejabat‖. Keinginan WNA yang menikah dengan WNI untuk
mendapatkan kewarganegaraan RI, harus memenuhi syarat-syarat berdasarkan
Undang-Undang Kewarganegaraan. Syarat-syarat tersebut seperti dimuat dalam
Pasal 19 Ayat 2 , yang berbunyi:
―Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila
yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara
Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau
paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan
perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan
berkewarganegaraan ganda.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, terdapat dua syarat untuk mendapatkan
Kewarganegaraan RI bagi WNA yang menikah dengan WNI yaitu:
1. Sudah bertempat bertempat tinggal di wilayah Indonesia, sekurang-
kurangnya 5 tahun berturut turut atau sekurang-kurannya10 tahun tidak
berturut-turut
2. Perolehan kewarganegaraan RI tersebut, tidak menyebabkan yang
bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda.

228
Jika ketentuan tersebut di atas membuka peluang bagi WNA yang menikah
dengan WNI untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka sebaliknya
UU Kewarganegaraan juga mengatur bahwa WNI yang menikah dengan WNA
dapat kehilangan kewarganegaarannya di Indonesia jika system hukum
kewarganegaraaan WNA yang menjadi suami atau istrinya, menentukan bahwa
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami dan atau sebaliknya.
Ketentuan ini tegas di rumuskan dalam Pasal 16 UU No. 12 tahun 2006, sebagai
berikut:
Ayat (1): Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan
laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai
akibat perkawinan tersebut.
Ayat (2): Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan
perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya,
kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai
akibat perkawinan tersebut.
Ayata (3): Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-
laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi
Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan
mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau
laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.

Kedua, akibat hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan


campuran, juga dalam kaitannya dengan kewarganegaraan si anak. Bedasarkan
Undang-undang Kewarganegaraan, anak yang lahir dari perkawinan campuran
dapat memiliki kewarganegaraan ganda (dwi kewarganegaraan), dengan
ketentuan bahwa ketika usia mereka telah mencapai 18 tahun, atau telah menikah,
maka harus memilih salah satu dari kewarganegaraan tersebut. Dengan demikian
dwi kewarganegaraan menurut hukum Indonesia hanya berlaku maksimal sampai
usia18atau belum menikah. Hal ini didasarkan pada Pasal 6 Ayat 1 UU No. 12
Tahun 2006 yang berbunyi :
‖Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h,
huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya‖.

Pasal 4 huruf c dan d yang di sebutkan dalam Pasal 6, merupakan anak yang
lahir dari perkawinan campuran, sebagaimana dalam huruf c, yang berbunyi:‖

229
anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing;. Selanjutnya huruf d berbunyi :‖anak yang
lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu
Warga Negara Indonesia.
Menurut penulis, status dwi kewarganegaaraan bagi si anak sampai berusia
18 tahun, masih menyisakan pertanyaan, tentang bagaimana status hak waris
mereka selama sebelum berusia 18 tahun? Atau apakah harus menunggu selama
18 tahun, untuk kemudian menentukan hak waris tersebut?
Ketiga, akibat hukum terhadap harta kekayaan. Ketentuan mengenai harta
benda dalam perkawinan, dirumuskan dalam Pasal 35 samapai dengan 37 UUP.
Adapun yang meerupakan prinsip dasar tentang harta perkawinan, sebagaimana
yang diatur dalam UUP adalah sebagai berikut278:
1. Harta bawaan ke dalam perkawinan menjadi hak masing-masing pribadi
yang membawa harta tersebut ke dalam perkawinan
2. Seluruh hasil harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan, hibah
atau wasiat, menjadi hak pribadi dari penerima warisan, hibah atau warisan
tersebut.
3. Seluruh harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan, hibah atau
wasiat menjadi hak pribadi masing-masing
4. Seluruh harta yang di dapat oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah
pihak selama dalam perkawinan (kecuali harta yang diperoleh karena
hibah, waarisan, atau wasiat) menjadi milik bersama suami istri (gono
gini).
5. Para pihak dapat menentukan sendiri status hartanya dalam perjanjian
perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung.
Adapun tentang kewenangan bertindak terhadap harta-haarta semasa suami
dan istri masih dalam status perkawinan adalah sebagai berikut279:
1. Terhadap harta pribadinya, masing-masing suami atau istri dapat
bertindak sendiri-sendiri tanpa perlu bantuan dari pihak lainnya.
2. Terhadap harta bersama (gono gini) masing-masing istri atau suami
bertindak dengan persetujuan pihak lainnya
3. Jika para pihak bercerai hidup, maka harta bersama, dibagi sesuai dengan
hukumnya masing-masing, yang umumnya dibagi dua sama besar.
Rumusan serta makna pasal tersebut di atas, Nampak sederhana dan mudah di
telaah, jika pelaku perkawinan adalah sesama warga Negara Indonesia. Tapi
keadaannya akan berbeda jika kemudian perkawinan dilaakukan antara WNI
dengan WNA. Hal ini disebabkan karena adanya batasan-batasan tertentu bagi
seorang WNA untuk mendapatkan hak-hak kebendaan tertentu, seperti adanya
larangan bagi WNA untuk memiliki hak atas tanah dan Hak Guna Bangunan di
Indonseia. Yang dimuat dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok

278
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015, hal.21
279
Ibid, hal 22

230
Agraria (UUPA). Di dalam Pasal 21 Ayat 1, ditentukan bahwa hanya Warga
Negara Indonesia Yang dapat memiliki hak milik. Selanjutnya dalam pasal 36
Ayat 1, berbunyi : ― yang dapat mempunyai Hak Guna bangunan ialah (a) Warga
Negara Indonesia, (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Sangat beralasan kiranya bunyi pasal-pasal tersebut, sebagai bentuk daris
prinsip nasionalitas. Diakui bahwa ketentuan-ketentuan ini kurang mengakomodir
kepentingan pelaku perkawinan campuran. Karena bagi WNI yang menikah
dengan WNA juga akan mengalami kesulitan untuk memiliki hak-hak
sebagaimana disebut dalam Pasal 21 Ayat 1 dan Pasal 36 Ayat 1 UUPA, yang
disebabkan adanya prinsip penyatuan harta benda dalam perkawinan, sebagai
ilustrasi Bahwa seorang WNI yang menikah dengan WNA, maka harta benda
yang dihasilkan didalam perkawinan, otomatis menjadi milik bersama, selain itu,
antara suami istri juga akan saling mewarisi.
Sesungguhnya Undang-undang juga memberi jalan keluar atas masalah
tersebut di atas, yakni terbukanya kesempatan bagi setiap pasangan suami istri
untuk memisahkan harta benda di dalam perkawinan. Pemisahan ini hanya dapat
dilakukan melalui perjanjian tertulis, yang disebut perjanjian kawin, yang akan
diulas pada sub. Pembahasan berikut.

B. PERJANJIAN PERKAWINAN SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN


MAHKAMAH KONSTITUSI
Rumusan tentang perjanjian kawin, hanya dimuat dalam satu pasal pada UU
NO. 1 tahun 1975 tentang Perkawinan, yakni Pasal 29. Di dalam Peraturan
Pemerintah tentang pelaksanaan UUP bahkan tidak ditemukan ketentuan yang
mengatur hal tersebut.
Perjanjian kawin adalah suatu perjanjian tertulis, tetapi tidak termasuk taklik
talak, yang dibuat secara sukarela di antara para mempelai atau calon mempelai
sebelum atau pada saat dilangsungkan perkawinan dengan syarat harus
mendapatkan pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan280. Pasal 29 (1)
(sebelum Uji Materil), berbunyi : ‖Pada waktu sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana
isinya berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Mencermati isi pasal tersebut, penulis menggaris bawahi kata ―Pada waktu
sebelum perkawinan dilangsungkan‖. Hal tersebut menunjukkan bahwa maksud
bunyi Pasal 29 Ayat 1 sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
memungkinkan adanya perjanjian di luar dari waktu tersebut. Ketentuan dalam
Pasal 29 Ayat 1, 3 dan 4 UUP, telah dirubah berdasarkan Putusan mahkamah
Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, atas hasil Uji materil terhadap UUPA dan
UUP.

280
Munir Fuady, Loc.cit.

231
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan281:
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah
satu pihak daripada pihak yang lainnya;
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang
cukup besar;
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata
salah satu (failliet), yang lain tidak bersangkutan
4. Atas utang-utang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan
bertanggung gugat sendiri-sendiri.
Pentingnya perjanjian kawin seperti yang dikemukakan di atas, tepat jika
yang melangsungkan perkawinan adalah sesama WNI. Akan tetapi jika berbicara
tentang perkawinan campuran. Maka dapat ditambahkan bahwa perjanjian kawin
dimaksudkan untuk memisahkan harta kekayaan, agar WNI yang melakukan
perkawinan campuran tidak mendapatkan kesulitan untuk dapat memiliki hak
milik atas tanah dan Guna bangunan sebagaimana yang dicantumkan dalam
UUPA di sebabkan karena suami atau istrinya adalah WNA.
Pasal 29 Ayat 1 juga menentukan bahwa Perjanjian tersebut harus dibuat
secara tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Kemudian
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, No. 69/PUU-XIII/2015 yang dapat
mengesahkan perjanjian kawin selain Pegawai Pencatat Perkawinan, dapat juga
dilakukan oleh Notaris. Mengenai isi perjanjian kawin, UUP tidak membahasnya
secara rinci. Hanya batasan terhadap isi perjanjian kawin yang dimuat dalam Pasal
29 Ayat 2 bahwa ― Perjanjian Kawin tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan‖. Berdasarkan pasal tersebut, bermakna
UUP memberi kebebasan kepada pasangan suami istri untuk menentukan isi dari
perjanjian kawin, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama
dan kesusilaan.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian kawin
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut282:
1. Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum
2. Perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak karena kekuasaan
suami, hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami istriyang hidup
terlama
3. Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan
4. Tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul utang lebih
besar daripada bagiannya dalam aktivitas
5. Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh undang-
undang Negara asing.

281
Titik Triwulan, HukumPerdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2008, hal
121
282
Ibid. hal. 122

232
Seperti telah diuraikan pendahuluan, bahwa Putusan MK tersebut tidak lepas
dari menuai protes berbagai kalangan. Sebagian menganggap bahwa putusan
tersebut akan mengurangi makna kesakralan perkawinan sebagiannya lagi
berpandangan bahwa putusan tersebut telah mengebiri hasil karya para pembuat
UUP, dengan mengingat bagaimana upaya dan kerja keras pada saat awal untuk
menggodok lahirnya suatu unifikasi peraturan tentang perkawinan. Penulis justru
melihat dari sudut pandang yang berbeda, bahwa meskipun Perjanjian Perkawinan
hanya dimuat dalam satu pasal dalam UUP, ternyata pengaruhnya sangat besar
dalam menentukan kedudukan harta kekayaan dalam perkawinan, tidak terkecuali
para pelaku perkawinan campuran. Latar belakang Putusan Mahkamah Konstitusi,
didasarkan pada tuntutan masyarakat akan kebutuhannya akan aturan hukum yang
harus mampu mengakomodir setiap kepentingan yang lahir dari masyarakat,
tanpa memandang status, kedudukan, ras dan sebagainya. Menurut Otje Salman,
Eksistensi hukum dalam proses pembanguunan sesungguhnya tidak sekadar
berfungsi sebagai alat pengendali social (social Control), melainkan lebih dari itu
hukum diharapkan mampu menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai
dengan cara-cara baru dalam rangka mencapai suatu keadaan masyarakat yang
dicita-citakan.283
Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum mulai timbul ketika adanya
kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat
dengan pengaturan hukum yang ada284.
Demikian pula Putusan Mahkamah Konstitusi untuk merubah Bunyi Pasal 29
Ayat 1,3 dan 4, diawali dengan adanya tuntutan dari Warga Negara Indonesia
Pelaku Perkawinan Campuran, yang sebelum lahirnya putusan ini, sebagian hak-
haknya sebagai WNI harus terpotong hanya karena menikah dengan Warga
Negara Asing yang oleh UUPA terlarang untuk memiliki hak-hak tertentu di
Indonesia. Sebelumnya, dapat dilihat dari berbagai media cetak maupun
elektronik upaya mereka untuk mendapatkan haknya sebagaimana layaknya
sebagai WNI. Bahkan ada di antara pasangan perkawinan campuran itu yang
melakukan tindakan yang cukup tidak masuk akal, misalnya melakukan
perceraian, lalu kemudian menikah lagi hanya karena pada pernikahan
sebelumnya, mereka tidak melakukan perjanjian perkawinan sebelum atau pada
saat pernikahan, tentang pemisahan harta benda dalam perkawinan. Hal ini
dikarenakan Pasal 29 Ayat 1 sebelum uji materil, tidak membuka peluang
perjanjian kawin dilakukan selama atau dalam masa perkawinan. Menurut Satjipto
Rahardjo, ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang sedemikian
rupa, maka tuntutan perubahan hukum semakin mendesak.285
Setelah rumusan pasal tersebut dirubah, maka dapat dikatakan hak-hak
mereka sebagai WNI untuk kembali mempunyai hak milik atas tanah serta Hak

283
Ahmad Tolabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 2
284
Ibid, hal.5
285
Ibid

233
Guna bangunan, kembali sama seperti sebelum menikah, sebagaimana halnya
WNI yang lainnya. Berikut akan diutarakan dalam bentuk tabel Isi Pasal 29 Ayat
1,3 dan 4 sebelum dan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi :
PASAL SEBELUM PUTUSAN MK PASCA PUTUSAN MK
29 No.69/PUU-XII/2015
AYAT 1 Pada waktu atau sebelum perkawinan Pada waktu, sebelum
dilangsungkan, kedua pihak, atas dilansungkan ATAU
perjanjian bersama dapat mengadakan SELAMA perkawinan ,
perjanjian tertulis yang disahkan oleh kedua pihak, atas
PPP setelah mana isinya juga berlaku perjanjian bersama dapat
terhadap pihak ketiga, selama pihak mengadakan perjanjian
ketiga tersangkut tertulis yang disahkan
oleh PPP atau NOTARIS.
setelah mana isinya juga
berlaku terhadap pihak
ketiga, selama pihak
ketiga tersangkut
AYAT 2 Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan TIDAK BERUBAH
bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan
AYAT 3 Perjanjian tersebut berlaku sejak Perjanjian tersebut
perkawinan dilangsungkan berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan,
KECUALI
DITENTUKAN LAIN
DALAM PERJANJIAN
PERKAWINAN
AYAT 4 Selama perkawinan berlangsung, Selama perkawinan
perjanjian tersebut tidak dapat diubah berlangsung, perjanjian
kecuali atas kesepakatan kedua pihak DAPAT MENGENAI
dan tidak merugikan pihak ke tiga. HARTA
PERKKAWINAN ATAU
PERJANJIAN LAINNYA
tidak dapat diubah ATAU
DICABUT kecuali atas
kesepakatan kedua pihak
dan tidak merugikan
pihak ke tiga.
Catatan : kalimat /kata yang berwarna biru adalah untuk menunjukkan
perbedaan rumusan Pasal sebelum dan Setelah Putusan MK

234
III. PENUTUP
Putusan Mahkamah Kontitusi No. 69/ PUU-XIII/2015, merupakan salah satu
langkah terobosan untuk membuat perubahan hukum, khususnya dalam bidang
hukum keluarga di Indonesia. Meski tidak luput dari pro dan kontra, Putusan
tersebut merupakan suatu pembaharuan, utamanya yang berkaitan dengan
perjanjian kawin yang sangat berkorelasi dengan harta benda di dalam
perkawinan. Pasca Putusan MK, Rumusan Pasal 29 Ayat 1,3 dan 4 mengalami
perubahan. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan lahirnya peluang
untuk melakukan perjanjian kawin selama masa perkawinan, pejabat yang
mempunyai kewenangan untuk mengesahkan perkawinan selain Pegawai Pencatat
Perkawinan, juga dapat dilakukan oleh notaris. Serta batasan atas perubahan dari
perjanjian kawin tersebut. Dengan demikian pasangan suami istri yang ketika
awal pernikahannya tidak melakukan perjanjian kawin, telah terbuka jalan untuk
melakukan perjanjian kawin selama masa perkawinan. Khusus bagi WNI yang
menikah dengan WNA perjanjian kawin adalah solusi terbaik untuk mendapatkan
hak-haknya kembali sebagaimana layaknya WNI yang lainnya. Meski telah
dilakukan perubahan ketentuan dalam beberapa pasal terhadap undang-undang
Perkawinan, para pemangkku kebijakan masih menyisakan berbagai pekerjaan
rumah, tidak terkecuali yang berkaitan dengan hak waris anak hasil perkawinan
campuran dalam posisi dwi kewarganegaraan mereka sampai usia 18 tahun.
Terakhir, Diharapkan bahwa perubahan-perubahan isi pasal tersebut tidaklah
merubah hakikat sebuah rumah tangga untuk tujuan kebahagiaan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

235
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2013.


Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). Prenada Media. Jakarta. 2006
Moch. Isnaeni. Hukum Perkawinan Indonesia. Refika Aditama. Bandung. 2016.
Munir Fuady. Konsep Hukum Perdata. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2015.

Titik Triwulan Tutik. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Kencana.
Jakarta. 2010.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015

Undang- Undang No. 1 tahun 1975, tentang Perkawinan


Undang- Undang No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-Undang No. 12 tahun 2006, tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
http://jurnalhukum.blogspot.co.id/2006/09/status-hukum-anak-hasil-
perkawinan.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55796036aaf55/pelaku-kawin-
campur-gugat-uu-agraria-dan-uu-perkawinan

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5811d246a9498/mk-perlonggar-
makna-perjanjian-perkawinan
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58180e2811d66/plus-minus-putusan-
mk-tentang-perjanjian-perkawinan
http://www.sumbbu.com/2016/04/perkawinan-campuran.html

236
Eksistensi dan Perkembangan Harta Bawaan dan Harta Bersama Dalam
Hukum Adat Karo di Kabupaten Karo
Maria Kaban, SH., M.Hum.
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
mariakabans@yahoo.com

Abstrak

Perkawinan pada masyarakat Karo bertujuan untuk melanjutkan


keturunan merga dan menambah keluarga baru. Dengan
dilaksanakannya perkawinan maka dibutuhkan salah satu faktor
yang dapat menggerakkan suatu kehidupan perkawinan yaitu
harta kekayaan. Meskipun mengenai harta perkawinan telah ada
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan namun
mengenai harta perkawinan pada masyarakat Karo masih tunduk
pada hukum adat Karo. Berdasarkan latar belakang maka timbul
beberapa permasalahan yakni (1) Bagaimana pengaturan harta
bawaan dan harta bersama menurut hukum adat Karo dan Undang
Undang No. 1 Tahun 1974? (2) Bagaimana transformasi
pengaturan harta bawaan dan harta bersama di Kabupaten Karo
setelah keluarnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974? Adapun
metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah
metode penelitian hukum empiris dengan model penelitian
sociological jurisprudence. Berdasarkan penelitan yang dilakukan
maka didapat hasil bahwa pada perkawinan masyarakat Karo
dengan sistem uang jujur tidak terdapat milik bersama, kaum
perempuan umumnya memiliki apa yang diperoleh sebagai harta
bawaan (harta ibaba). Mengenai pengaruh Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap masyarakat Karo,
diketahui bahwa masyarakat Karo tidak terpengaruh dengan
kehadiran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Kata kunci: Harta perkawinan, hukum adat, Karo

237
Pendahuluan

Latar Belakang
Perkawinan maksudnya adalah suatu ikatan antara dua orag yang berlainan
jenis kelamin, atau antara seorang pria dan seorang wanita, dimana mereka
mengikatkan diri, untuk bersatu dalam kehidupan bersama.286 Pada masyarakat
Karo, keluarga mempunyai andil dalam menentukan siapa yang akan menjadi
calon istri dari anak laki-lakinya, demikian juga seorang wanita dalam menetukan
siapa yang akan menjadi calon suaminya. Hal ini disebabkan perkawinan pada
masyarakat Karo bertujuan untuk melanjutkan keturunan merga dan menambah
keluarga baru. Oleh karena itu diharapkan agar keluarga baru ini merupakan
keluarga yang baik di tengah-tengah masyarakat. Di dalam masyarakat Karo,
suami disebut Perbulangen dan isteri disebut Ndehara.287

Pada masyarakat Karo yang menganut sistem kekerabatan patrilineal dimana


perkawinan yang terjadi dalam bentuk perkawinan jujur yang dilakukan dengan
pembayaran uang jujur. Uang jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan
pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat wanita untuk
diberikan kepada kerabat wanita.288 Dengan diterimanya uang atau barang jujur
oleh pihak wanita, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan
kedudukannya dari keanggotaan kerabat suami untuk selama ia mengikatkan
dirinya dalam perkawinan itu, atau sebagaimana berlaku di daerah Batak dan
Lampung untuk selama hidupnya. 289

Meskipun mengenai harta perkawinan telah ada diatur dalam pasal 37 UU No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan namun mengenai harta perkawinan pada
masyarakat Karo masih tunduk pada hukum adat Karo, terlebih lagi pada pasal 37
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan pembagian harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing apabila perkawinan putus karena
perceraian. Problematika hukum yang cukup penting untuk diteliti adalah
berkaitan dengan sikap masyarakat Karo terhadap UU No. 1 Tahun 1974
286
Djaren Saragih, dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak, 1980, Bandung : Tarsito, hal. 27.
287
Maria Kaban, Kesetaraan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan, 2011, Medan : Pustaka Bangsa Press, hal.
50.
288
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dulu, Kini, dan Akan Datang. 2014, Jakarta : Prenada Media Group, hal. 26.
289
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, 1990, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hal. 73.

238
berkaitan dengan harta bersama dan harta bawaan sesudah berlakunya UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Keputusan M.A no 179/K/Sip/1961 tentang
Persamaan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris harta kedua
orang tuanya. Problematika hukum lain yang cukup penting diteliti adalah
mengenai pengaturan harta bersama dan harta bawaan menurut hukum adat Karo
dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang kemudian dibandingkan
dengan perkembangan harta perkawinan pada masyarakat Karo di Kabupaten
Karo.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan harta bawaan dan harta bersama menurut hukum adat
Karo dan Undang Undang No. 1 Tahun 1974?
2. Bagaimana perkembangan pengaturan harta bawaan dan harta bersama di
Kabupaten Karo setelah keluarnya Undang-undang No 1 Tahun 1974?

Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis : Memberikan gambaran yang jelas mengenai pengaturan
hukum harta perkawinan tentang harta bersama dan harta bawaan menurut
hukum adat Karo dan Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
serta mengetahui perkembangan pengaturan harta bawaan dan harta bersama di
Kabupaten Karo.
2. Manfaat praktis : Memberikan pengetahuan yang jelas mengenai pengaturan
hukum harta perkawinan tentang harta bersama dan harta bawaan menurut
hukum adat Karo dan Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
sehingga apabila permasalahan mengenai harta perkawinan ini muncul,
masyarakat paham bagaimana upaya penyelesaiannya.

Pengaturan Hukum Harta Perkawinan tentang Harta Bersama dan Harta


Bawaan menurut Hukum Adat Karo dan Undang-undang No. 1 Tahun 19744
Tentang Perkawinan

A. Pengaturan Hukum Harta Perkawinan menurut Hukum Adat Karo


Masyarakat Karo merupakan masyarakat adat yang menganut sistem
kekerabatan patrilineal. Sifat yang terpenting dalam perkawinan ini adalah dengan

239
pembayaran uang jujur.290 Pada bentuk perkawinan jujur, istri tunduk pada hukum
kekerabatan suami yang berakibat semua harta perkawinan dikuasai oleh suami
sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena itu perkawinan dalam sistem ini akan
mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi warga masyarakat dari pihak
suaminya.291
Terbentuknya suatu keluarga baru pada masyarakat Karo pada umumnya pihak
keluarga akan memberikan bekal agar kehidupan keluarga baru tersebut dapat
berlangsung. Pemberian orangtua laki-laki ini yang biasanya terdiri dari Kudin
Perdakanen dan padi tiga karung akan masuk menjadi harta kekayaan bagi
keluarga itu. Dari pihak perempuan pemberian ini dapat berupa perhiasan emas
yang nantinya masuk menjadi harta rumah tangga mereka bersama. Tanah-tanah
yang dikalangan suku Batak diberikan kepada pengantin perempuan sebagai harta
pemberian kemantin perempuan (bruidsgift) dimiliki oleh si suami (dan oleh si
isteri) dengan hak milik, walaupun setiap tindakan untuk menguasainya
(beschikking) harus didahului dengan pemufakatan dengan kerabat si isteri.292
Kedua harta ini berarti bersumber dari kedua orangtua mereka masing-masing,
yaitu dari orangtua si laki-laki dan orangtua si perempuan. Harta yang seperti ini
disebut harta ibaba.293
Di samping itu ada juga harta yang didapat setelah mereka memisahkan diri
dari tempat tinggal orangtua si laki-laki, atau harta yang didapat selama
perkawinan. Harta seperti ini disebut harta bekas encari. Semua harta yang dicari
selama perkawinan berjalan termasuk harta bekas encari, dan tidak dipersoalkan
pihak mana yang mencari. Artinya baik yang diusahakan oleh suami ataupun isteri
selama perkawinan termasuk ke dalam harta bekas encari. Jadi dalam setiap
rumah tangga, harta kekayaan perkawinan terdiri dari harta ibaba dan harta bekas
encari.294
Mengenai status kepemilikan harta bersama, pada perkawinan dengan sistem
uang jujur (sistem kekerabatan patrilineal) tidak terdapat milik bersama. Dalam

290
Datuk Usman, Hukum Adat, tanpa tahun, tanpa penerbit, hal. 37.
291
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, 2012, Cet. Ke-12, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 240.
292
B. Ter Haar Bzn, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto, Cet ke-8. Tanpa Tahun,
Jakarta Pusat : Pradnya Paramita, hal. 222.
293
Djaren Saragih, dkk, Op. cit., hal. 55.
294
Ibid.

240
sistem patrilineal umumnya kaum perempuan memiliki apa yang diperoleh
sebagai barang bawaan (harta ibaba). Jadi kalau perkawinan itu putus karena
perceraian, maka harta bawaan (pusaka) yang diperoleh suami isteri dari
kerabatnya, tetap menjadi miliknya masing-masing.295
B. Pengaturan Hukum Harta Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Sesuai dengan ketentuan pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, maka dikenal dua macam harta perkawinan dalam ikatan suatu
kekayaan296 yaitu:

a. Harta bawaan masing-masing suami-isteri yang diperoleh sebagai hadiah atau


warisan, dalam hal ini suami-isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya
atas harta bendanya. Pada pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
―Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan
harta bawaan dari masing-masing suami-isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak menentukan lain.‖
b. Harta bersama, harta yang dikuasai suami-isteri bersama-sama, dalam hal harta
bersama suami-isteri dapat bertindak atas persetujuan keda belah pihak. Pada
pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ―mengenai harta bersama,
suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, dan harta
bawaan masing-masing suami-isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.‖
Pasal 35 mengatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Masing-masing suami dan isteri atas harta bersama dapat
bertindak dengan persetujuan kedua belah pihak. Terhadap harta bawaan masing-
masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya.297 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing.

295
Maria Kaban, Op. cit., hal. 59.
296
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 116.
297
Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

241
C. Perkembangan Hukum Harta Perkawinan pada Masyarakat Karo di
Kabupaten Karo
Menurut Hilman Hadikusuma, dengan pembagian atau penggolongan harta
kekayaan itu di dalam UU No. 1 Tahun 1974, menunjukkan bahwa hukum
perkawinan nasional mendekati bentuk keluarga/rumah tangga yang mandiri yang
bersifat parental (bilateral).298
Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Karo, diambil sampel dari dua
Kecamatan yakni :
1. Kecamatan Kabanjahe yang meliputi Desa Ketaren dan Kelurahan Lau Cimba
a. Desa Ketaren
Ditinjau dari penguasaan harta bawaan, dari 16 (enam belas) responden, 8
(delapan) responden bersepakat menguasai harta bawaan yang berasal dari
warisan, hibah, dan lain-lain secara bersama-sama semenjak dilaksanakannya
perkawinan. 3 (tiga) responden tidak mempunyai harta bawaan yang berasal dari
warisan, hibah, hadiah, dan lain-lain, 2 (dua) responden belum mendapat harta
bawaan yang berasal dari warisan, hibah, hadiah, dan lain-lain dikarenakan
orangtua (pewaris) belum meninggal dunia, 2 (dua) responden mempunyai harta
warisan namun belum dibagi, dan 1 (satu) responden menyatakan bahwa harta
bawaan yang berasal dari harta warisan ada tetapi masih dikuasai orangtua. Dalam
hal harta bawaan yang berasal dari pencarian sendiri yang diperoleh sebelum
perkawinan, 7 (tujuh) responden bersepakat untuk menguasai secara bersama-
sama semenjak dilaksanakannya perkawinan, 8 (delapan) responden tidak
mempunyai harta yang berasal dari pencarian sendiri, dan 1 (satu) responden
menyatakan bahwa suami yang mengelola dan menguasai harta yang berasal dari
pencarian sebelum perkawinan namun pemanfaatannya untuk kepentingan
keluarga.

Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa variasi dalam
penguasaan harta bawaan yaitu 3 (tiga) responden yang bersepakat menguasai
harta bawaan yang berasal dari pencaharian sendiri dan yang diperoleh dari
warisan, hibah dan hadiah secara bersama-sama semenjak dilaksanakannya
perkawinan, 1 (satu) responden yang bersepakat harta bawaan dari pencarian

298
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, 1992, Bandung : Mandar Maju, hal. 198.

242
sendiri dikuasai secara bersama-sama sedangkan harta yang berasal dari warisan,
hibah dan hadiah dikuasai oleh orangtua, 1 (satu) responden yang harta bawaan
dari pencarian sendiri dikuasai secara bersama-sama sedangkan harta yang berasal
dari warisan, hibah dan hadiah diakui ada namun belum dilaksanakan pembagian
warisan.

Wawancara juga dilakukan terhadap informan yaitu Kepala Desa Ketaren


Bapak Masmur Barus yang berpendapat bahwa harta bawaan tidak
dipermasalahkan dari mana asalnya tetapi yang terpenting adalah pemanfaatannya
digunakan untuk kepentingan keluarga.

Ditinjau dari penguasaan harta bersama, pada 16 (enambelas) responden


diketahui bahwa terdapat 14 (empat belas) responden menguasai harta bersama
secara bersama-sama baik suami maupun isteri semenjak dilaksanakannya
perkawinan, 1 (satu) responden menyatakan hanya suami yang menguasai harta
bersama, dan 1 (satu) responden tidak mengisi. Hal ini menepis anggapan bahwa
adanya perbedaan kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan.

Ditinjau dari kedudukan harta perkawinan (harta bersama dan harta bawaan)
sebelum dan sesudah keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan di Desa Ketaren diperoleh bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak memberi pengaruh yang cukup berarti terhadap
kedudukan harta perkawinan pada masyarakat Karo di Desa Ketaren. Masyarakat
Karo di Desa Ketaren beranggapan bahwa sebagai anggota masyarakat adat Karo
maka mereka bangga menggunakan hukum adat Karo, hukum adat Karo yang
mereka gunakan dalam hal ini adalah runggun/arih ersada.

b. Kelurahan Lau Cimba


Pada Kelurahan Lau Cimba dilakukan wawancara kepada 16 (enam belas)
warga dan 1 (satu) informan. Ditinjau dari kedudukan harta bawaan, 10 (sepuluh)
responden bersepakat menguasai harta bawaan yang berasal dari warisan, hibah,
dan hadiah secara bersama-sama semenjak dilaksanakannya perkawinan, 4
(empat) responden tidak mempunyai harta bawaan yang berasal dari warisan,
hibah, dan hadiah, 1 (satu) responden menyatakan suami sebagai pemegang harta
bawaan yang berasal dari warisan, hibah, dan hadiah, serta 1 (satu) responden

243
menyatakan isteri sebagai pemegang harta bawaan yang berasal dari warisan,
hibah dan hadiah.

Dalam hal harta bawaan yang berasal dari pencarian sendiri yang diperoleh
sebelum perkawinan, 9 (sembilan) responden bersepakat untuk menguasai harta
bawaan yang berasal dari pencarian sendiri sebelum menikah secara bersama-
sama semenjak dilaksanakannya perkawinan, 6 (enam) responden tidak
mempunyai harta yang berasal dari pencarian sendiri, dan 1 (satu) responden
menyatakan bahwa suami yang mengelola dan menguasai harta yang berasal dari
pencarian sebelum perkawinan.

Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa variasi dalam
penguasaan harta bawaan yaitu 9 (sembilan) responden yang bersepakat untuk
menguasai harta bawaan yang berasal dari pencaharian sendiri dan warisan secara
bersama-sama semenjak dilaksanakannya perkawinan dan 1 (satu) responden
menyatakan harta bawaan dikuasai oleh suami namun hasilnya dupergunakan
untuk kemanfaatan keluarga.

Ditinjau dari kedudukan harta bersama pada 16 (enambelas) responden


diketahui bahwa terdapat 15 (lima belas) responden menguasai harta bersama
secara bersama-sama baik suami maupun isteri semenjak dilaksanakannya
perkawinan, serta 1 (satu) responden menyatakan tidak mempunyai harta bersama.
Wawancara juga dilakukan kepada informan yaitu Kepala Kelurahan Lau Cimba
Bapak Japet Bangun yang menyatakan bahwa kedudukan harta bersama dalam
perkawinan sebaiknya dikelola secara bersama oleh suami-isteri.

Ditinjau dari kedudukan harta perkawinan (harta bersama dan harta bawaan)
sebelum dan sesudah keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan diperoleh hasil bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan tidak memberi pengaruh yang cukup berarti terhadap kedudukan harta
perkawinan pada masyarakat Karo di Kelurahan Lau Cimba.

2. Kecamatan Munte yang meliputi Desa Sarinembah


Desa Sarinembah merupakan salah satu desa yang masuk ke dalam wilayah
administrasi Kecamatan Munte. Dari beberapa wilayah yang menjadi sampel

244
penelitian ini, Desa Sarinembah merupakan desa yang paling jauh letaknya dari
Ibukota Kabupaten Karo.

Ditinjau dari kedudukan harta bawaan diketahui bahwa dari 21 (dua puluh
satu) responden, 15 (lima belas) responden bersepakat menguasai harta bawaan
yang berasal dari warisan, hibah, dan hadiah secara bersama-sama semenjak
dilaksanakannya perkawinan, 4 (empat) responden tidak mempunyai harta bawaan
yang berasal dari warisan, hibah, dan hadiah, 1 (satu) responden menyatakan
suami sebagai pemegang harta bawaan yang berasal dari warisan, hibah, dan
hadiah, serta 1 (satu) responden menyatakan belum mendapat harta bawaan yang
berasal dari warisan, hibah dan hadiah. Dalam hal harta bawaan yang berasal dari
pencarian sendiri yang diperoleh sebelum perkawinan, 14 (empat belas)
responden bersepakat untuk menguasai harta bawaan yang berasal dari pencarian
sendiri sebelum menikah secara bersama-sama semenjak dilaksanakannya
perkawinan, 7 (tujuh) responden tidak mempunyai harta yang berasal dari
pencarian sendiri.

Ditinjau dari kedudukan harta bersama pada 21 (dua puluh satu) responden
diketahui bahwa terdapat 18 (delapan belas) responden menguasai harta bersama
secara bersama-sama baik suami maupun isteri semenjak dilaksanakannya
perkawinan dan 3 (tiga) responden menyatakan hanya suami yang menguasai
harta bersama tetapi pemanfaatannya secara bersama-sama.

Ditinjau dari kedudukan harta Perkawinan (harta bersama dan harta bawaan)
sebelum dan sesudah keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan diketahui dari 21 (dua puluh satu) warga Desa Sarinembah yang
diwawancarai, seluruhnya menyatakan tidak adanya perbedaan dalam mengelola
harta perkawinan baik harta bersama maupun harta bawaan dalam perkawinan
sebelum ataupun sesudah keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Hal ini membuktikan bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak memberi pengaruh yang berarti terhadap kedudukan
harta perkawinan pada masyarakat Karo di Desa Sarinembah.

245
Analisis Perkembangan Hukum Harta Perkawinan Di Indonesia Tentang
Hukum Harta Perkawinan Di Indonesia Tentang Harta Bawaan dan Harta
Bersama Dalam Hukum Adat Karo di Kabupaten Karo

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan diketahui bahwa pada


masyarakat Karo di Kabupaten Karo terjadi pergeseran hukum harta perkawinan.
Harta bersama yang pada awalnya dikuasai dan dikelola oleh suami berubah
menjadi milik bersama semenjak dilaksanakannya perkawinan. Begitu pula
dengan harta bawaan yang menurut hukum adat Karo dipegang oleh masing-
masing suami-isteri, juga telah mengalami pergeseran dimana semenjak
dilaksanakannya perkawinan, harta bawaan/harta ibaba telah menjadi hak
kepunyaan bersama suami-isteri serta permanfaatannya adalah untuk kepentingan
bersama.

Menurut masyarakat Karo, percampuran harta ini tidak dianggap sebagai


bentuk pengaturan harta perkawinan menurut KUHPerdata namun sebagai bentuk
hukum adat Karo yaitu arih ersada (kata sepakat) dan runggun (musyawarah
mufakat). Jadi pada masyarakat adat Karo bentuk hukum adat Karo bukanlah
peraturan tidak tertulis yang menyatakan kedudukan harta perkawinan yang
berbeda dimana suami memegang peranan penting dalam menguasai harta
bersama sedangkan harta bawaan dikuasai masing-masing pihak, tetapi lebih
kepada kesepakatan para pihak (suami-isteri) untuk menentukan pengelolaan harta
perkawinan mereka baik itu harta bersama maupun harta bawaan.

Adapun bentuk pengelolaan harta perkawinan yang terpisah antara harta


bawaan dengan harta bersama menurut masyarakat Karo adalah harta bawaan
dibuat surat/sertifikatnya atas nama salah satu pihak (bisa suami atau isteri)
namun pada pelaksanannya pengelolaan maupun pemanfaantannya digunakan
untuk kesejahteraan keluarga. Terdapat pula dalam satu keluarga dimana seluruh
harta bersama pencaharian suami-isteri dibuat surat kepemilikannya atas nama
isteri namun pemanfaatannya tetap dipergunakan untuk kesejahteraan keluarga.
Jadi bentuk pemisahan harta yang diperbuat oleh masyarakat Karo mempunyai
keunikan tersendiri dimana pemisahan yang mereka maksud adalah pembuatan
surat kepemilikan atas nama salah satu pihak, namun pengelolaannya tetap
dipergunakan bersama-sama. Oleh karena hukum adat itu tidak tertulis, maka sifat

246
dinamisnya atau fleksibilitasnya sangat tinggi, cepat berubah sejalan dengan
perubahan masyarakatnya, tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Oleh
karena itu, tidak benar dikatakan hukum adat itu selalu ketinggalan zaman. Setiap
keputusan yang berupaya untuk menyelesaikan suatu kasus, akan menetapkan
sesuatu yang baru dalam hukum adat.299

Mengenai pengaruh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


diketahui bahwa masyarakat Karo tidak terpengaruh dengan kehadiran Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa sebagai
masyarkat adat Karo mereka merasa bangga untuk memakai hukum adat Karo,
sedangkan sebagian masyarakat beranggapan bahwa hukum nasional hanya
dipergunakan apabila berperkara di pengadilan saja, oleh karena itu mereka lebih
mengutamakan kesepakatan bersama.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
1. Pada perkawinan dengan sistem uang jujur (sistem kekerabatan patrilineal)
yang dianut oleh masyarakat Karo tidak terdapat milik bersama. Dalam
sistem patrilineal umumnya kaum perempuan memiliki apa yang diperoleh
sebagai barang bawaan (harta ibaba). Jadi kalau perkawinan itu putus karena
perceraian, maka harta bawaan (pusaka) yang diperoleh suami isteri dari
kerabatnya, tetap menjadi miliknya masing-masing. Demikian pula jika
perkawinan putus karena salah satu pihak suami atau isteri meninggal maka
harta bawaan (harta ibaba) tadi kembali kepada kerabat yang meninggal, jika
dalam hal ini yang meninggal itu tidak mempunyai anak. Sedangkan menurut
UU No. 1 Tahun 1974 mengenai harta perkawinan diatur dalam pasal 35, 36,
dan 37. Pasal 35 mengatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Redaksi ―sepanjang para pihak tidak menentukan
lain‖ berupa pembuatan Perjanjian Perkawinan pisah harta sebelum

299
Dominikus Rato. Op. cit., hal. 222.

247
pernikahan dilangsungkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU
Perkawinan.
2. Mengenai pengaruh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
terhadap masyarakat Karo berdasarkan penelitian diketahui bahwa
masyarakat Karo tidak terpengaruh dengan kehadiran Undang-Undang No. 1
Tahun 1974. Sebagian masyarakat merasa bangga untuk memakai hukum
adat Karo, sedangkan sebagian masyarakat beranggapan bahwa hukum
nasional hanya dipergunakan apabila berperkara di pengadilan saja, oleh
karena itu mereka lebih mengutamakan kesepakatan bersama.

Saran
1. Perlunya dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat Karo untuk
memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hukum harta
perkawinan nasional.
2. Pengelolaan harta bawaan secara bersama-sama oleh suami isteri
hendaknya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis agar lebih menguatkan
kedudukan para pihak.

248
DAFTAR PUSTAKA
Haar Bzn, B. Ter. Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat. Terj. K. Ng. Soebakti
Poesponoto. Jakarta Pusat : Pradnya Paramita. Cet ke-8. Tanpa Tahun.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti. 1990.

. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju. 1992.

Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan : CV. Zahir Trading Co.
1975.

Kaban, Maria. Kesetaraan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Medan:


Pustaka Bangsa Press. 2011.

Pide, Suriyaman Mustari. Hukum Adat Dulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta :
Prenada Media Group. 2014.

Rato, Dominikus. Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar). Surabaya :


Laksbang Justitia Surabaya. 2014.

Saragih, Djaren, dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak. Bandung : Tarsito. 1980.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Cet. Ke-12. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. 2012.

Usman, Datuk. Hukum Adat. tanpa tahun. tanpa penerbit.

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Keputusan M.A No 179/K/Sip/ 1961 tentang Persamaan Kedudukan anak laki-


laki dan anak perempuan dalam hal harta warisan orang tuanya

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

249
VI. Legal reforms to Social Justice

PARADOKS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG


BANTUAN HUKUM : PERAN DAN FUNGSI PARALEGAL DALAM
PENANGANAN KASUS SECARA LITIGASIDI MAKASSAR

Julandi J Juni, Ridwan A.Mantu, & Moh. Pradipta Duwila.


Unit Kegiatan Bantuan Hukum
Fakultas Hukum
Email: julandhy17@gmail.com

Abstrak---- Bantuan hukum dalam makna yang paling luas merupakan


pemberian jasa pendampingan hukum yang dilakukan secara cuma-
cuma kepada masyarakat kurang mampu. Tujuannya untuk menjamin
kesetaraan perlakuan di depan hukum (equlity before the law).
Melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum, pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan
hukum yang memenuhi syarat dan berhak melakukan rekrutmen
terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum.
Di sisi lain, pengaturan tentang pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma telah terlebih dahulu diatur melalui Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Yang artinya dengan adanya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, kegiatan yang dilakukan
oleh profesi advokat juga mampu dilakukan oleh paralegal, termasuk
beracara dipengadilan (litigasi). Tentu saja hal ini menimbulkan
paradoks pada sisi penanganan hukum, karena dalam realitasnya
paralegal tidak diperbolehkan melakukan penanganan hukum secara
litigasi. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah solusi yang akan
menimbulkan persamaan pengertian antara pembela hukum dalam
mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. Maksud dan tujuan penelitian
ini ialah untuk membuka khazanah pengetahuan tentang peran dan
fungsi paralegal sebagai salah satu kerja hukum yang
memperjuangkan hak-hak hukum masyarakat kurang mampu.
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah Normatif dengan
metode pengumpulan data Literature Research. Data dalam
penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari buku-buku,
jurnal-jurnal, peraturan p erundang-undangan, naskah akademik, dan
situs-situs resmi.

250
Kata kunci : Bantuan Hukum, equlity before the law, Litigasi, Paradoks,
Paralegal

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum pada hakekatnya dibentuk untuk mengatur hidup manusia dan
mempermudah hidup manusia. Jadi memang selayaknya hukum tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan manusia. ubi societas ubi ius, dimana
ada manusia disitu ada hukum. Namun demikian hukum dalam arti hukum positif
yang dianut oleh sebagian besar negara, termasuk Indonesia, nampaknya tidak
lagi dapat memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan manusia yang lebih
kompleks. Hukum positif dalam arti hukum (peraturan perundang-undangan)
yang berlaku saat ini dan dibuat secara prosedur formal oleh organ negara sudah
tidak mampu menjangkau fenomena di dunia nyata. 300 Karena pemberian jasa
bantuan hukum oleh si pemberi bantuan hukum dan pelayanan hukum masih
harus memikirkan faktor ekonomi sebagai penunjang kehidupan dan juga untuk
menutupi segala biaya negara selama proses pelayanan hukum dilangsungkan.
Sejarah pemberian bantuan hukum pada awalnya berawal dari sikap
kedermawanan(charity) elit-elit gereja terhadap pengikutnya. selain itu, hubungan
pemberian bantuan hukum ini juga terjadi antara pemuka adat dengan penduduk
sekitar yang dikenal dengan istilah patron-client(pemimpin-pengikut/pelayan).
Pada zaman romawi, pemberian bantuan hukum oleh para pemimpin pada
dasarnya memiliki motif untuk mendapatkan pengaruh pada masyarakat. 301
Di Indonesia sendiri, istilah bantuan hukum setelah masa kemerdekaan
merupakan hasil inisiasi dari organisasi advokat. Organisasi advokat pertama
yang dimulai pada tanggal 30 Agustus 1964 ini, ditandai dengan dibentuknya
Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN). Selang beberapa tahun setelah
pembentukannya, PERADIN sebagai organisasi yang mewakili kepentingan
advokat mengambil bagian dalam program bantuan hukum yang ditandai dengan
berdirinya Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Jakarta. Setelah itu, PERADIN mulai
giat merintis terbentuknya LBH di seluruh Indonesia. 302

300
Uli paruliyan sihombing,dkk, 2009, Modul Pelatihan Paralegal, The Indonesian Legal
Resource Center (ILRC) ,Jakarta, Hal.13.
301
Muchlisin Riadi, Pengertian Bantuan Hukum, diakses pada 7 mei 2017,pukul 1:43 Am
pada http://www.kajianpustaka.com/2016/04/pengertian-dan-sejarah-bantuan-hukum.html
302
Anggara, Organisasi Advokat dan Program Bantuan Hukum Di Indonesia, diakses pada 7
mei 2017, pukul 2:12 Pm pada http://icjr.or.id/organisasi-advokat-dan-program-bantuan-hukum-
di-indonesia/

251
Semenjak pembetukan LBH di seluruh Indonesia, konsep bantuan hukum
menjadi terkenal dimasyarakat. Lembaga Bantuan Hukum telah berkembang tidak
saja dalam jumlah perkara yang ditanganinya, tetapi juga dalam mengusahakan
berbagai program aksi yang sesuai dengan sifat dan ruang lingkup Lembaga
Bantuan Hukum yang luas. 303 Di era reformasi, pengaturan khusus(lex specialis)
tentang bantuan hukum diatur melalui undang-undang nomor 16 Tahun 2011
tentang bantuan hukum. Dalam undangundang ini telah diatur mengenai syarat-
syarat pemberian bantuan hukum, termasuk kriteria sang pemberi bantuan hukum.
Seperti disebutkan dalam Pasal 9 ayat (a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 Berbunyi : Pemberi Bantuan Hukum berhak: melakukan rekrutmen terhadap
advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum; dalam poin diatas
bahwa hak badan pemberi bantuan hukum merupakan suatu kesatuan tanpa
perbedaan diluar profesi, hal ini didukung pada Pasal 10 Poin (c) UU Nomor 16
Tahun 2011 bahwa lembaga bantuan hukum yang telah merekrut advokat,
paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum memiliki kewajiban untuk
melakukan pendidikan dan pelatihan terhadap rekrutan badan pemberi bantuan
hukum. Hal ini artinya terdapat kesetaraan aturan oleh badan pemberi bantuan
hukum dalam memberikan pengetahuan acuan terhadap para pemberi bantuan
hukum.
Dari perspektif ruang lingkup, pada Pasal 4 Poin (2) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2011 Badan Pemberi Bantuan hukum memiliki ruang penanganan
meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi
maupun non litigasi. Penjelasan ini diperkuat dengan pasal setelahnya bahwa
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud meliputi menjalankan kuasa,
mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum Kewenangan bantuan
hukum terhadap beberapa profesi diluar advokat yang ditimbulkan oleh Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2011 ini kemudian menuai kontroversi dari profesi
advokat. Hal ini dilihat dari pelayangan permohonan pengujian undang-undang
tersebut ke Mahkamah Konstitusi oleh 10 orang advokat yaitu Dominggus
Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB Mansyur
Abubakar, Malkam Bouw, Paulus Pase, LA Lada, Metiawati, A Yetty Lentari,
dan Shinta Marghiyana.

Spesifik, mereka memohon pengujian Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4
ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a,
b; Pasal 9; Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22 UU
Bantuan Hukum.304 Dalam gugatan tersebut, pihak advokat menganggap bahwa
303
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marginal
Terhadap Keadilan, Jakarta: LBH Jakarta, 2007, hal. 16
304
ASH, Hukum Online, Advokat Gugat UU Bantuan Hukum, Diakses pada 8 Mei 2017
Pukul 3:35 AM pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505c62bfc0c4c/advokat-gugat-
uu-bantuan-hukum

252
dengan adanya undangundang tersebut, advokat akan dirugikan hak
konstitusionalnya disebabkan wewenang penyelenggaraan bantuan hukum dapat
dilakukan oleh dosen, mahasiswa fakultas hukum, atau organisasi masyarakat
(LSM) dan hal ini bahkan untuk beracara di dalam maupun di luar ruang sidang.
Hal ini diatur dalam Pasal 9 huruf a jo Pasal 1 ayat (3) UU Bantuan Hukum.
Namun, penolakan oleh advokat bukan tidak memiliki dasar Sebab, pada Pasal
38UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman pemberi jasa bantuan
hukum adalah advokat yang merupakan aparat penegak hukum.305
Namun kemudian permohonan pengujian tersebut ditolak oleh Hakim
Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak dapat membuktikan secara detail
kerugian hak konstitusional yang dialami dan lebih banyak melakukan penafsiran
saja.

B. RUMUSAN MASALAH
Beranjak dari permasalahan diatas, maka kami sangat tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut antara lain :
1. Apa fungsi dan peran paralegal sebagai salah satu pemberi bantuan
hukum?
2. Bagaimana kewenangan pemberi bantuan hukum khususnya paralegal
dikota Makassar dalam pembelaan kasus secara litigasi berdasarkan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum?

C. METODDE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan adalah Normatif dengan metode
pengumpulan data Literature Research. Data dalam penelitian ini berupa data
sekunder yang diperoleh dari buku-buku, jurnal-jurnal, peraturan perundang-
undangan, naskah akademik, dan situs-situs resmi.

II. PEMBAHASAN
Akses terhadap keadilan adalah salah satu bentuk pengejahwantahan dari
prinsip negara hukum dan pengakuan hak asasi manusia sebagaimana dijamin
dalam UUD 1945. Keseluruhan hak dan kewajiban yang digariskan dalam UUD
1945 merupakan kesatuan upaya untuk mencapai tujuan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yaitu mencapai keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia.306

305
Ibid
306
Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2009, Strategi
Nasional Akses Terhadap Keadilan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),Jakarta, Hal.1. 8Terjemahan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011

253
Bantuan Hukum(legal aid) secara terminologi dipahami sebagai pemberian
bantuan hukum baik berupa nasihat hukum maupun penerimaan kuasa pembelaan
perkara hukum dipersidangan terhadap masyarakat yang mengalami kesulitan
dalam ekonomi(kurang mampu). Dalam kaitannya dengan profesi advokat, istilah
pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dikenal sebagai Probono Publicio. 8
Selain probono, kita juga mengenal istilah prodeo yang termuat dalam SEMA No
10 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum(saat ini telah dicabut oleh Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan –
―Perma 1/2014‖), Prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara cuma-
cuma dengan dibiayai negara melalui anggaran Mahkamah Agung RI. 307
Dari kedua hal diatas perbedaan keduanya terletak pada sisi Prodeo ataupun
Legal Aid ialah bantuan hukum secara cuma-cuma, akan tetapi pelayanan hukum
tersebut dibiayai oleh negara dan/atau diberikan subsidi oleh negara, dalam hal ini
diatur mekanisme maupun proses formal oleh peraturan perundang-undangannya.
Sebagai bukti nyata yang memang sudah diadopsi oleh hukum positif yang
berlaku di Indonesia yaitu dalam hal bantuan hukum diatur oleh Undang-Undang
No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, serta untuk peraturan-peraturan
pelaksananya diatur oleh Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2013 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum,
Surat Edaran Mahkamah Agung No.10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian
Bantuan Hukum. Sedangkan untuk Pro Bono bukan mengganti pekerjaan Pro
Deo, akan tetapi pekerjaan Pro Bono mendukung pekerjaan Prodeo. Dan juga
pekerjaan Pro Bono merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh advokat dengan
menggunakan waktu profesinya dengan menggunakan pembiayaan secara
mandiri.308
Paralegal sendiri merupakan pemberian bantuan hukum yang bersifat Pro
Deo, Karena berada langsung dalam pengawasan dan pemberian bantuan dana
oleh kementerian hukum dan hak asasi manusia(KEMENKUMHAM). Untuk
defenisi paralegal sendiri, Menurut Black Law Dictionary dalam bukunya
Mulyana W.K menyatakan bahwa Paralegal adalah:309

307
Hukum Online, Perbedaan Probono dan Prodeo, Diakses Senin, 08 Mei 2017 Pukul
11:14 AM Pada http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52fafbb784533/perbedaan-pro-bono-
dengan-pro-deo
308
Febby Febrian Valentino, Arti dan Peran Pro Bono oleh Advokat, diakses senin, 08 Mei
2017 Pukul 11:26 AM pada http://www.hukumpedia.com/febbyfebrian/arti-dan-peran-pro-bono-
oleh-advokat
309
Anung Anshori, Kedudukan dan Peranan Paralegal Dalam Aktivitas Bantuan Hukum
Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Jo Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kuhap Jo. UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum ,Respository Unpas, diakses pada 08 Mei 2017 Pada
http://repository.unpas.ac.id/843/

254
“A person with legal skills, but who is not an attorney, and who works
under the supervision of a lawyeor no is otherwise authorized by law to use
those legal skills. Paralegal courses leading to derses in sucsph ecially are
no afforded by many schools.”

Berdasarkan pengertian ini yang disebut paralegal adalah seseorang yang


mempunyai keterampilan hukum namun ia bukan seseorang penasehat hukum
(yang professional) dan ia bekerja di bawah bimbingan seorang advokat atau yang
dinilai mempunyai kemampuan hukum untuk menggunakan keterampilannya.

Peran dan Tugas utama paralegal adalah mengupayakan peningkatan


kemampuan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam mengupayakan
keadilan dalam posisi yang setara dengan kekuasaan di tingkat lokal. Sementara
untuk peran paralegal dijabarkan sebagai berikut310:
a. Pendidik dan motivator masyarakat dalam meningkatkan perilaku sadar
hukum melalui kegiatan promosi,sosialisasi dan pelatihan.
b. Kader Pro Justice, kader bantuan hukum melalui pendampingan
masyarakat dan mengupayakan keadilan
c. Organisator yang menerapkan prinsip-prinsip pengembangan kelembagaan
posko bantuan hukum berbasis masyarakat yang mandiri dan
berkelanjutan.
Sementara untuk penjabaran tugas paralegal dapat diruntut sebagai berikut 311:
a. Melaksanakan program-program pendidikan sehingga kelompok
masyarakat dirugikan (disadvantaged people) menyadari hak-haknya;
b. Memfasilitasi terbentuknya organisasi rakyat sehingga mereka bisa
menuntut dan memperjuangkan hak-hak mereka;
c. Melakukan penyelidikan awal terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum
ditangani pengacara dan memberikan pertimbangan alternatif pilihan
penyelesaian perkara;
d. Membantu masyarakat dalam membuat pernyataan-
pernyataan(gugatan/pembelaan), mengumpulkan bukti-bukti yang dibutuhkan
dan informasi yang relevan dengan kasus yang dihadapi.
e. Mengelola posko bantuan hukum secara mandiri dan berlanjut.
f. Melakukan tugas administratif menyangkut pendokumentasian kasus
perkembangan posko dsb.
Sejalan dengan tugas dan peran yang diberikan kepada paralegal, maka
amanah yang diberikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 pada dasarnya

310
Anonim, Peran, tugas ,dan keterampilan paralegal, diakses pada 08 Mei 2017 Pukul
12:36 PM pada https://www.causes.com/causes/303502-bantuan-hukum-
berbasismasyarakat/updates/212074-peran-tugas-dan-ketrampilanparalegal
311
Ibid.

255
telah tepat. Karena pengawalan/pendampingan suatu kasus yang dimulai dari
proses penyelidikan oleh paralegal, maka paralegal memiliki kelebihan dari sisi
pengetahuan kasus hukum tersebut. sehingga, pendampingan kasus secara litigasi
oleh paralegal lebih berpotensi untuk menepis celah tuntutan terhadap seseorang
yang didampingi oleh paralegal.
Namun, dalam realitasnya hal yang tersebut menemui banyak kendala dalam
penerapannya, diantaranya :
a. Kewenangan penanganan secara litigasi oleh paralegal berdasarkan
wewenang Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 nyatanya tidak dapat
dilakukan dilapangan.
b. Doktrin-doktrin bantuan hukum yang diberikan kepada paralegal pada
umumnya lebih mengarah kepada pembelajaran kasus dan pendampingan
penyelesaian sengketa non litigasi
c. Bahkan sejak dalam pelatihan paralegal, para pemateri telah memberikan
penekanan terhadap kewenangan paralegal yang hanya dapat melakukan
pendampingan diluar persidangan.
Padahal, jika melihat pada konteks kebutuhan pendampingan hukum di
daerah Sulawesi, dengan jumlah penduduk lebih dari 17 juta jiwa, hanya terdapat
sekitar 2.000 pengacara, dimana sebagian besar berada di tiga kota besar yang
berpenduduk padat. Terdapat sekitar 1.000 pengacara di tingkat Propinsi di
Sulawesi Selatan untuk kurang lebih 8 juta penduduk. Kebanyakan dari mereka
bekerja di Makassar.312

III. PENUTUP
a. Diperlukan sebuah aturan hukum yang secara hukum mengatur tentang
kewenangan paralegal
b. Diperlukan kesepahaman antara penegak hukum dan pemberi bantuan
hukum (pejuang hukum) dalam hal penanganan kasus secara Cuma-Cuma.
c. Membuat standar pelatihan terhadap para pemberi bantuan hukum diluar
materi hukum secara umum

312
American Bar Association, 2012, Penilaian Akses Terhadap Keadilan untuk Indonesia
Sulawesi Selatan, Amerika Serikat, Hal. 29.

256
VII. Access To Justice And Natural Resources

TINJAUAN TERHADAP AKSES KEADILAN SOSIAL DAN AKSES


PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN: PEMBELAJARAN
DARI PENERAPAN SISTEM LELANG TERBUKA DAN TERTUTUP
PERAIRAN LEBAK LEBUNG

Bayu Vita Indah Yanti313 dan Zahri Nasution314


Badan Riset dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
bviy1979@gmail.com, zahri_nas@yahoo.com

Abstrak
Lebak lebung merupakan salah satu sumber daya perikanan yang ada di
Indonesia. Pada penerapan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan
tersebut, untuk wilayah Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ilir
dilakukan dengan sistem lelang terhadap hak penguasaan pengelolaan sumber
daya perikanan tersebut. Makalah ini fokus membahas isu-isu yang berkaitan
dengan substansi peraturan daerah yang mengatur pengelolaan sumber daya
perikanan lebak lebung di dua kabupaten tersebut. Fokus permasalahan yang
dikaji dalam tulisan ini melihat ada tidaknya perbedaan dalam pelaksanaan
kebijakan pemerintah Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir dalam menerapkan
sistem lelang lebak lebung sesuai dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan
dan bagaimana akses masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan
lebak lebung yang menjadi objek lelang jika dilihat dari sisi keadilan sosial dan
hak mereka untuk memanfaatkan sumber daya setelah sistem lelang diterapkan.
Kajian ini merupakan kajian hukum normatif dengan objek utama dari kajian
Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir dan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan
Komering Ilir yang mengatur mengenai pengelolaan lebak lebung. Analisis
terhadap materi muatan peraturan dilakukan pada kajian ini, untuk selanjutnya
dideskripsikan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus kajian. Sistem
lelang terbuka pada objek lelang lebak lebung diterapkan di Kabupaten Ogan
Komering Ilir, sedangkan sistem lelang tertutup pada objek lelang lebak lebung di
Kabupaten Ogan Ilir. Perbedaan penerapan sistem lelang berdasarkan hasil
penelitian akan menimbulkan dampak yang berbeda, dan salah satunya pada
nilai lelang. Sistem lelang tertutup dianggap tidak menerapkan unsur keterbukaan
nilai objek lelang. Sedangkan sistem lelang terbuka, meskipun dianggap
transparan terkait nilai objek lelang, jika nilai lelang tinggi, maka akan memiliki
potensi eksploitasi sumber daya berlebihan untuk memenuhi nilai lelang yang

313
Peneliti muda, S1 hukum (S.H) dan S2 Ekonomi Pertahanan (M.Si. (Han))
314
Peneliti utama, S1 Sosial Ekonomi Pertanian (Ir.), S2 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan (M.Si.), dan S3 Sosiologi Pedesaan (DR)

257
tinggi tersebut. Penerapan sistem lelang ini juga akan menimbulkan keterbatasan
akses masyarakat umum pada sumber daya perikanan lebak lebung yang menjadi
objek lelang.

Kata kunci: lebak lebung, lelang terbuka, lelang tertutup, pengelolaan sumber
daya

REVIEW OF ACCESS TO SOCIAL JUSTICE AND ACCESS TO


FISHERIES RESOURCES: LEASSON LEARN FROM THE
APPLICATION AUCTION SYSTEM OPEN AND CLOSED RESOURCE
MANAGEMENT LEBAK LEBUNG

Abstract
Lebak lebung is one of the fishery resources in Indonesia. On the application of
the policy of the management of fishery resources, for the region of Ogan Ilir and
Ogan Komering Ilir conducted by the auction system of the right to control the
management of fishery resources. This paper focus on discussing issues related to
the substance of the local regulations governing the management of fisheries
resources lebak lebung in these two districts. Are there differences in the
implementation of government policy Ogan Ilir and Ogan Komering Ilir in
applying the auction system lebak lebung according to local regulations that have
been set and how the community access to resources lebung lebak is the object of
the auction districts in terms of social justice and their right to utilize their
resources after the auction system is applied. This research is a normative law
with the main object of study Regional Regulation Ogan Ilir and Ogan Ogan Ilir,
local regulations governing the management of fishery resources. Content
analysis of the regulation is performed in this study, hereinafter described to
address issues that are the focus of the study. Open auction system Lebak Lebung
applied in Ogan Komering Ilir, while closed auction system is implemented in
Ogan Ilir. Differences in the implementation of the auction system based on the
results of research have different impacts. In a closed auction system is
considered not to apply the elements of openness auction value of the object, so it
is considered potentially to hide the actual auction value. While the open auction
system, although it is considered transparent auction related object value, if
higher auction values, it will have the potential for excessive exploitation of
resources to meet such high auction value. The implementation of this auction will
also lead to limited access to the general public on fishery resources lebak lebung
which is the object of the auction.

Keywords: lebak lebung, open auction system, closed auction system, resources
management

258
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki > 70% wilayah perairan,
termasuk didalamnya wilayah perairan lebak lebung. Lebak lebung ini menjadi
salah satu sumber daya perikanan di Indonesia. Perairan umum lebak lebung
(PULL) ini banyak terdapat di pulau sumatera, kalimantan, dan papua; namun
terdapat keunikan terkait pengelolaan PULL di wilayah sumatera selatan. Di
propinsi ini, dikenal dengan perikanan komersial dengan penerapan pengaturan
sistem pemberian lisensi kepada nelayan yang berhak menangkap ikan pada
perairan yang dilelangkan terutama pada daerah sungai dan dataran banjirnya
(river-floodplain) yang merupakan penghasil ikan yang produktif, dan dikenal
sebagai ―lelang lebak lebung dan sungainya‖ (nasution, 1990). Kebijakan
pengelolaan PULL merupakan penentu hak penguasaan atas pengelolaan sumber
daya PULL. Kebijakan pengelolaan sumber daya PULL di wilayah ini dilakukan
dengan sistem lelang, dimana terdapat dua sistem lelang, lelang terbuka dan
lelang tertutup.
Kebijakan pengelolaan PULL ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah
setempat. Studi kasus untuk dipelajari, salah satunya dapat dilihat di wilayah
Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang bertetangga,
namun menerapkan kebijakan sistem lelang PULL berbeda (catatan: Kab. Ogan
Ilir menerapkan sistem lelang tertutup, dan Kab. Ogan Komering Ilir menerapkan
sistem lelang terbuka).
Fokus permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini melihat ada tidaknya
perbedaan dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah Ogan Ilir dan Ogan
Komering Ilir dalam menerapkan sistem lelang lebak lebung sesuai dengan
peraturan daerah yang telah ditetapkan dan bagaimana akses masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya perikanan lebak lebung yang menjadi objek lelang jika
dilihat dari sisi keadilan sosial dan hak mereka untuk memanfaatkan sumber daya
setelah sistem lelang diterapkan. Pembahasan ini dianggap menarik, terkait
dengan nilai objek lelang PULL, dan bagi pemerintah kabupaten yang memiliki
PULL menjadi penting, mengingat lelang lebak lebung menjadi salah satu sumber
pendapatan asli daerah (PAD).
Kajian ini merupakan kajian hukum normatif dengan objek utama dari
kajian Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir dan Peraturan Daerah Kabupaten
Ogan Komering Ilir yang mengatur mengenai pengelolaan lebak lebung; dan
analisis terhadap materi muatan peraturan dilakukan pada kajian ini, untuk
selanjutnya dideskripsikan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus
kajian dengan melakukan update informasi melalui pemberitaan terkait
pelaksanaan lelang lebak lebung di kedua kabupaten.

Pengelolaan Kegiatan Penangkapan Ikan


Wellcome (1985) menyatakan bahwa pengelolaan pemanfaatan pada aspek
penangkap ikan adalah pengelolaan yang ditujukan pada hal-hal yang
berhubungan dengan aktifitas penangkapan ikan, seperti pengaturan lisensi (izin

259
penangkapan ikan), penutupan musim (closed season), daerah perlindungan
populasi ikan (reservat, closed area), pengaturan mata jaring yang digunakan, dan
pelarangan penggunaan alat tangkap tertentu.
Penerapan sistem lelang lebak lebung sungai (L3S) dimaksudkan untuk
mengatur lisensi penangkapan tersebut. Berdasarkan hasil kajian dari Nasution
et.al (1992), sistem lelang L3S dapat dipertahankan sebagai suatu cara dalam
sistem penguasaan perairan umum di Sumatera Selatan karena disamping sebagai
sumber pendapatan daerah dari sumber daya perikanan (SDP) juga berfungsi
sebagai wadah pengaturan dan pembinaan nelayan, meskipun terdapat beberapa
dampak negatifnya, diantaranya terkait proses lelang L3S yang biasanya
berlangsung ‗panas‘ karena rawan terjadi keributan pada saat lelang berlangsung
dan juga terkait keterbatasan akses dari nelayan tradisional sekitar objek lelang
dalam memanfaatkan SDP.

Lelang Lebak Lebung Sungai di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)


Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dikenal juga sebagai bumi bende
seguguk, menjadi salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang menjadikan
pendapatan dari lelang lebak lebung sungai (L3S) sebagai salah satu sumber PAD.
Kondisi perairan pasang di daerah lebak lebung pada setiap awal tahun,
menyebabkan lahan persawahan tenggelam dan ikan berlimpah di lebak lebung.
Ikan yang berlimpah di perairan ini yang kemudian menjadi target dari para
pengemin (pemenang lelang) untuk mengikuti lelang L3S.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) OKI, Hasanudin, menyatakan
bahwa pada tahun 2015, PAD yang didapat dari lelang L3S sebesar Rp.5,7 Miliar
dari 267 objek lelang yang tersebar di kabupaten OKI (dari 336 objek lelang, 69
objek lelang tidak terjual). Dari nilai hasil lelang L3S, 5% dari harga objek lelang
akan digunakan untuk penebaran benih baru. Lebih lanjut, Pemda OKI juga mulai
meninjau ulang objek L3S yang tersebar di beberapa kecamatan, hal ini terkait
dengan adanya lokasi objek lelang yang terkena proyek pembangunan, seperti
proyek Jalan Tol Kayu agung - Jakabaring (haluansumatera.com tanggal 25
November 2016; krsumsel.com Desember 2015).
Untuk lelang L3S yang dilaksanakan, dapat berlangsung lebih dari satu kali.
Jika pada tahapan pertama, ternyata masih ada objek lelang yang belum terjual,
maka akan dilakukan lelang kembali pada tahap kedua, begitu juga untuk hasil
lelang yang masih sengketa atau belum selesai, akan diselesaikan di tingkat
kabupaten.
Persyaratan peserta lelang L3S di Kab. OKI diatur dalam Perda No.14 Tahun
2015 yang merupakan perubahan atas Perda No.18 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan L3S. Persyaratan peserta lelang berdasarkan Perda ini merupakan
perorangan atau badan hukum koperasi, penduduk kabupaten OKI atau minimal
telah menetap selama 6 (enam) bulan, bagi koperasi harus memiliki bidang usaha
perikanan dan telah melakukan rapat anggota tahunan (RAT) pada tahun
pelaksanaan lelang, serta melampirkan fotokopi tanda identitas. Jika melihat pada

260
persyaratan peserta lelang, maka penduduk asli OKI akan mendapatkan pesaing
sebagai peserta lelang yang berasal dari luar OKI tapi telah tinggal di OKI dalam
jangka waktu minimal 6 (enam) bulan. Lelang juga dilakukan melalui lelang
terbuka.

Tabel 1. Gambaran Dinamika Beberapa Nilai Objek Lelang di Kayu agung dan
SP. Padang
Kecamatan Objek Penawaran Nilai Jual Persentase
di OKI Lelang Standar Objek kenaikan/penurunan
L3S Lelang nilai objek lelang
Kayu agung Lebak Rp.80 juta Rp.126 Kenaikan sekitar 57%
teloko juta
SP Padang Lebak Rp.74.300.000 Rp.150 Kenaikan sebesar 101%
mentate 4 juta
desa
sukaraja
Lebak di Rp.60 juta Rp.150 Kenaikan sebesar 150%
mangun juta
jaya
Sumber: data diolah dari berita di haluan sumatera.com tanggal 25 November
2016; krsumsel.com Desember 2015

Menurut Camat SP Padang, meski terdapat peningkatan nilai pada beberapa objek
lelang, tapi lebak lainnya tidak mengalami peningkatan yang tinggi dalam proses
pelelangan. Pada tahun 2016, terdapat penurunan pendapatan dari Rp.770 juta
(2015) menjadi Rp.697.600.000 yang bersumber dari 39 objek lelang (dari 46
objek lelang, terdapat 7 objek lelang yang tidak terjual).

Lelang Lebak Lebung Sungai di Kabupaten Ogan Ilir (OKI)


Kabupaten Ogan Ilir (OI) juga dikenal sebagai salah satu kabupaten di
Sumatera Selatan yang menjadikan pendapatan dari lelang lebak lebung sungai
(L3S) sebagai salah satu sumber PAD.
Persyaratan peserta lelang L3S di Kab. OI diatur dalam Perda No.13
Tahun 2010 yang merupakan perubahan atas Perda No.17 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (PSDP). Persyaratan peserta lelang
berdasarkan Perda ini merupakan penduduk kabupaten OI yang berdomisili di
desa yang menjadi objek lelang dan dibuktikan dengan kartu identitas dan lelang
dilakukan dengan lelang tertutup.

Perbedaan Sistem Lelang Lebak Lebung di Kabupaten Ogan Ilir (OI) dan
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)
Pada penerapan sistem lelang lebak lebung sungai, terdapat dua sistem,
yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Penerapan sistem ini diformalkan dalam

261
peraturan daerah. Untuk sistem lelang terbuka pada objek lelang lebak lebung
salah satunya diterapkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir diatur dalam Peraturan
Daerah Kab. OKI No.14 Tahun 2015 tentang perubahan atas Peraturan Daerah
Kab. OKI No.18 Tahun 2010 tentang pengelolaan lebak lebung sungai (L3S).
Untuk sistem lelang tertutup pada objek lelang lebak lebung salah satunya
diterapkan di Kabupaten Ogan Ilir yang diatur dalam Peraturan Daerah Kab. OI
No.13 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (PSDP).
Berdasarkan materi muatan dalam peraturan daerah tersebut, pada saat
penerapannya, menimbulkan dampak yang berbeda, dan salah satunya pada nilai
lelang. Sistem lelang tertutup dianggap tidak menerapkan unsur keterbukaan nilai
objek lelang. Sedangkan sistem lelang terbuka, meskipun dianggap transparan
terkait nilai objek lelang, jika nilai lelang tinggi, maka akan memiliki potensi
eksploitasi sumber daya berlebihan untuk memenuhi nilai lelang yang tinggi
tersebut. Penerapan sistem lelang ini juga akan menimbulkan keterbatasan akses
masyarakat umum pada sumber daya perikanan lebak lebung yang menjadi objek
lelang.

dilakukan langsung dimuka umum

Terbuka sistem penawaran naik-naik


Sistem Lelang PULL

tidak menerima penawaran tertulis

tidak dilakukan dimuka umum (meski tetap


pada masa lelang)

Tertutup sistem penawaran tertutup

penawaran dilakukan tertulis

Gambar 1. Perbedaan Penerapan Sistem Lelang PULL


Sumber: Data diolah berdasarkan materi peraturan daerah

Perkembangan di Kabupaten Ogan Ilir


Jika melihat perkembangan hingga 2016 di Kabupaten Ogan Ilir, lelang
lebak lebung masih menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah
kabupaten Ogan Ilir berencana mengubah sistem lelang lebak lebungnya untuk
mengantisipasi terjadinya kecurangan saat proses lelang. Penentuan objek lelang
yang diminati oleh pengemin (calon pemenang lelang), penentuan objek lelang
ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Penentuan objek lelang dipilah dan
dinilai berdasarkan potensi hasil tangkapan ikan yang memuaskan. (lihat Tabel 2)

262
Jika membaca Tabel 2 lebih lanjut, dapat dilihat ada yang mengalami
penurunan nilai objek lelang dan ada yang mengalami kenaikan drastis nilai objek
lelang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Nasution et.al (2014)
perubahan nilai objek lelang tersebut dapat menjadi salah satu indikator
bagaimana nantinya tekanan eksploitasi sumber daya pada objek lelang. Pada
proses lelang ini, juga mengandung potensi ancaman terjadinya tindak pidana
dikarenakan para peserta lelang membawa uang tunai untuk pembayaran lelang,
dan dengan nilai objek lelang yang tinggi, maka akan mengakibatkan rawan
terjadinya perampokan.

Tabel 2. Contoh Perubahan harga lelang yang terjadi di Kab. Ogan Ilir
Nama Harga Harga Persentase Harga Persentase
Objek standa lelang kenaikan/penuruna standa kenaikan/penuruna
Lelang r 2015 2015 n harga standar ke r 2016 n harga standar
harga lelang 2015 dengan 2016
Lebak Rp.58 Rp.32 Menurun hampir Rp.32 Menurun hampir
besar Ulak juta juta 45% dari harga juta 45% dari harga
Bedil penawaran standar 2015
Sudimampi Rp.58 Rp.32 Menurun hampir Rp.32 Menurun hampir
r sungai juta juta 45% dari harga juta 45% dari harga
rotan penawaran standar 2015
Talang Aur Rp.25 Rp.23 Meningkat hampir Rp.23 Meningkat hampir
juta 0 juta 920% dari harga 0 juta 920% dari harga
penawaran standar 2015
Sumber: Diolah dari berita Pemkab OI Segera Ubah Sistem Lelang Lebak Lebung
di link http://www.posmetroprabu.com/2016/12/pemkab-oi-segera-ubah-
sistem-lelang-lebak-lebung

Perkembangan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)


Jika melihat perkembangan hingga 2016 di Kabupaten Ogan Komering Ilir,
lelang lebak lebung juga masih menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kecamatan Sirah Pulau Padang yang merupakan salah satu kecamatan di
kabupaten ini dapat menjadi contoh kecil terkait lelang di SDP PULL kabupaten
Ogan Komering Ilir. Pada tahun 2016, nilai lelang PULL mencapai
Rp.697.000.000,- yang berasal dari 32 objek lelang (dari jumlah keseluruhan 39
objek lelang (hanya 82% dari keseluruhan objek lelang yang diminati oleh
pengemin)). Nilai objek lelang terendah Rp.300.000,- dan nilai objek lelang
tertinggi Rp.150.500.000,-. (Ogan Post, November 2016).
Melihat pada keterangan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Kabupaten OKI, Hasanudin, pada tahun 2015, jumlah objek lebak lebung sungai

263
yang dilelang hanya sebanyak 337 objek lelang, menurun jumlah nya jika
dibandingkan pada tahun 2014 yang berjumlah 358 objek lelang (menurun sekitar
5%). Perolehan PAD OKI dari lelang lebak lebung dan sungai (L3S) pada tahun
2014 sebesar Rp.5,6 miliar, dan pada tahun 2015 diharapkan dapat diperoleh
sebesar Rp.5,36 miliar (menurun sekitar 5% dikarenakan adanya penurunan
jumlah objek lelang juga sekitar 5%).(Koran SINDO, 19 November 2015).
Seiring dengan adanya program pembangunan proyek jalan tol Kayuagung-
Jakabaring, beberapa objek L3S mulai ditinjau ulang dikarenakan mulai adanya
laporan kerugian yang dialami oleh pengemin. Meskipun berdasarkan hasil
penelitian Nasution et.al (2014), sebelum adanya proyek tersebut, kerugian yang
dialami pengemin mulai terjadi, dikarenakan kurangnya pengalaman dari
pengemin yang menilai objek lelang terlalu tinggi sehingga tidak mencapai target
pendapatan yang lebih tinggi dari nilai lelang yang telah dikeluarkannya.

Dampak Penerapan Lelang Lebak Lebung Sungai


Kondisi perairan L3S yang pada umumnya dikuasai oleh pengemin
(pemenang lelang) membatasi masyarakat jika ingin melakukan penangkapan ikan
di wilayah perairan yang dikuasai pengemin. Jika masyarakat ingin menangkap
ikan, maka seseorang harus membayar dalam jumlah besar kepada pengemin, dan
kalau pun tidak harus membayar, maka ikan yang ditangkap harus dijual kepada
pengemin dengan harga yang sangat murah dengan kisaran harga 25% dari harga
pasar (Serikat Petani Indonesia, 2009) (Tabel 3).

Tabel 3. Dampak Kekuasaan Pengemin dan Akses Masyarakat terhadap Lebak


Lebung Lelang dan Sungai
Kondisi Kekuasaan Akses Masyarakat Nelayan
Lebak Pengemin
Lebung
Sungai
Lelang Berkuasa atas perairan Dibatasi (dapat ikut memanfaatkan jika
yang dimenangkan membayar pada pengemin atau nelayan
dalam lelang wajib menjual hasil tangkapan kepada
pengemin dengan nilai rendah dari pasar)
Tidak ada Tidak berkuasa atas Masyarakat nelayan bebas untuk
perairan yang memanfaatkan sumber daya perikanan
dimenangkan dalam
lelang
Sumber: Data diolah, 2017.

Kesimpulan
Adanya perbedaan dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah Ogan Ilir dan
Ogan Komering Ilir dalam menerapkan sistem lelang lebak lebung sesuai dengan
peraturan daerah yang telah ditetapkan pada masing-masing kabupaten,

264
menimbulkan dampak yang berbeda. Untuk nilai lelang, sistem lelang tertutup
dianggap tidak menerapkan unsur keterbukaan nilai objek lelang, sistem lelang
terbuka dianggap menerapkan unsur keterbukaan nilai objek lelang. Meskipun
penerapan sistem lelang terbuka, juga mengandung resiko eksploitasi besar-
besaran terhadap SDP, karena adanya persaingan nilai lelang yang semakin tinggi.
Berdasarkan hasil kajian ini, dampak negatif lain yang harus diperhatikan
dari penerapan sistem lelang, dengan nilai objek lelang tinggi, maka akses
masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan lebak lebung yang
menjadi objek lelang menjadi terbatas, karena pemenang lelang akan lebih
mengutamakan kepentingan ekonominya untuk mendapatkan nilai lebih dari nilai
lelang yang dimenangkannya.

265
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Buku dan Hasil Penelitian
Nasution, Z., et.al. Evaluasi Dampak Industrialisasi Perikanan Pada Kawasan
Minapolitan Untuk Mendukung Pembangunan Kelautan Dan Perikanan.
Laporan Teknis Penelitian. Jakarta: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan, 2014. (unpublished).
Nasution, Z. 2012. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ―Lelang
Lebak Lebung‖ dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus
Kabupaten Ogan Komering Ilir – Sumatera Selatan). Disertasi. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (unpublished).
Nasution, Z., et.al. 1992. Lelang lebak lebung di Sumatera Selatan sebagai salah
satu cara pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum. Prosiding
TKI Perikanan Perairan Umum. Palembang, 12-13 Februari 1992.
Puslitbang Perikanan, Badan Litbang Pertanian, Deptan, Jakarta.
Peraturan Daerah Kab. OKI No.14 Tahun 2015 tentang perubahan atas Peraturan
Daerah Kab. OKI No.18 Tahun 2010 tentang pengelolaan lebak lebung
sungai (L3S).
Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir No.13 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Perikanan (PSDP)

Berita
Gelar Lelang Lebak Lebung, Pemkab OKI Targetkan Rp 5,6 M Masuk PAD di
link http://haluansumatera.com/gelar-lelang-lebak-lebung-pemkab-oki-
targetkan-... Diunduh pada tanggal 03 Mei 2017.
Lelang Lebak Lebung Diprediksi “Panas” di link http://koran-
sindo.com/page/news/2015-11-
19/5/84/Lelang_Lebak_Lebung_Diprediksi_Panas_ diunduh pada tanggal
03 Mei 2017.
L3S OKI Hasilkan Rp 5,7 M. Desember 2015. di link
http://www.krsumsel.com/2015/12/13s-oki-hasilkan-rp-57-m.html diunduh
pada tanggal 03 Mei 2017.
L3S Kecamatan Sp. Padang Capai 697.000.000. November 2016. di link
http://www.oganpost.com/2016/11/lelang-lebak-lebung-kecamatan-
sppadang.html diunduh pada tanggal 03 Mei 2017.
Nasution, Z.1990. Lelang lebak lebung atur nelayan. Harian Pagi Sriwijaya Post.
Palembang, 21 Mei 1990.
Pemkab OI Segera Ubah Sistem Lelang Lebak Lebung. Desember 2016 di link
http://www.posmetroprabu.com/2016/12/pemkab-oi-segera-ubah-sistem-lelang-
lebak-lebung.html diunduh pada tanggal 03 Mei 2017.

266
Serikat Petani Indonesia. 2009. Perjuangan petani OKI melawan kebijakan lelang
lebak lebung dan perluasan perkebunan sawit. OKI, 29 Januari 2009. Dilink
http://www.spi.or.id/habis-lelang-sawit-menghadang/

267
Akses Informasi bagi Masyarakat dalam Pemenuhan Hak atas Lingkungan
yang Baik dan Sehat
"Studi terhadap Kasus-Kasus Pendampingan Lembaga Bantuan Hukum Bandung
Wilayah Jawa Barat‖

Lasma Natalia
Lembaga Bantuan Hukum Bandung
Abstrak
Akses keadilan adalah keadaan dan proses di mana Negara menjamin
terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal
hak asasi manusia. Negara menjamin tersedianya akses bagi setiap warga negara
agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan
menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun
nonformal, dengan didukung oleh mekanisme penanganan keluhan publik yang
baik dan responsif. Adapun tujuan dari tersedianya akses keadilan agar setiap
warga negara dapat memperoleh manfaat yang optimal dan memperbaiki kualitas
kehidupannya sendiri.
Salah satu bentuk akses keadilan yang harus tersedia untuk memenuhi hak-hak
warga negara tersebut adalah akses informasi bagi masyarakat. Akses informasi
dibutuhkan dalam hal pemenuhan hak atas lingkungan yang bersih sehat. Kondisi
saat ini, permasalahan terkait hak atas lingkungan yang baik dan sehat banyak
bersinggungan dengan proyek pembangunan infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur ternyata memberikan banyak dampak kepada masyarakat. Oleh
karena itu pemerintah wajib melibatkan masyarakat dalam proses-proses
pembangunan infrastruktur yang berdampak kepada hak atas lingkungan yang
baik dan sehat.
Dalam Undang-Undang no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup/UU PPLH telah mengatur terkait pelibatan
masyarakat. Salah satu bentuk pelibatan masyarakat adalah menjadi bagian dari
proses penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Pelibatan
masyarakat yang diatur dalam UUPLH harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap.
Namun dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan
oleh pemerintah, seringkali aspek pelibatan masyarakat dilaksanakan hanya
sekedar ada. Pelibatan masyarakat dalam hal ini adalah akses informasi yang
disediakan terkait dengan proses penerbitan izin lingkungan. Akses informasi
merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan informasi yang benar dan
utuh terkait dengan kondisi dan proses suatu proyek pembangunan infrastuktur.
Dengan tersedianya akses informasi yang benar dan utuh, masyarakat mempunyai
kesetaraan dalam proses-proses pembangunan infrastruktur. Namun jika akses

268
informasi yang benar dan utuh tidak disediakan akan berdampak buruk kepada
masyarakat. Salah satu dampaknya adalah terjadinya pelanggaran atas hak
lingkungan yang sehat bagi masyarakat.

Tulisan ini juga akan dikaitkan dengan kasus-kasus masyarakat yang terjadi di
wilayah Jawa Barat, khususnya kasus yang terkait dengan proses pembangunan
infrastruktur. Adapun hal-hal yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah untuk
menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut yaitu hubungan antara
akses keadilan sosial dengan akses atas informasi dalam pembangunan
infrastruktur, manfaat tersedianya akses informasi dalam pemenuhan hak atas
lingkungan yang baik dan sehat, dan tanggung jawab pemerintah untuk
menyediakan akses informasi dalam proses penerbitan izin lingkungan.
Kata kunci : akses informasi, pembangunan infrastruktur, partisipasi masyarakat,
hak atas lingkungan yang baik dan sehat.

A. Pendahuluan

Hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan satu dari hak dasar
yang melekat pada setiap orang. Indonesia sebagai Negara hukum telah
mengatur hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai hak yang diatur
dalam konstitusi. Dapatlah dikatakan bahwa hak atas lingkungan menjadi hak
yang harus dipenuhi bagi setiap warga negara Indonesia.
Namun dalam proses pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat
tersebut ditemui adanya hambatan dan kendala. Jika melihat fakta-fakta yang
terjadi di masyarakat, pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat
belum terlaksana bagi seluruh masyarakat. Bahkan dalam proses-proses
pembangunan memberikan dampak negatif terhadap kondisi lingkungan.
Akibatnya memberikan dampak terhadap warga.
Tidak terpenuhinya hak atas lingkungan yang baik dan sehat tersebut
dipengaruhi karena tertutupnya akses informasi bagi masyarakat. Akses
informasi akan berkaitan dengan akses dalam konteks prosedural dan akses
informasi dalam konteks substansi. Ketika akses informasi tidak tersedia dan
tidak terjangkau oleh masyarakat ini akan berdampak kepada kesejahteraan
masyarakat dan terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat.
Melalui tulisan ini akan dikaji pembahasan yang dibatasi kepada (1)
Dampak akses informasi terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat
dan (2) Hambatan-hambatan yang dirasakan masyarakat dalam memperoleh
akses informasi. Adapun pembahasan dalam tulisan ini juga akan dikaitkan
dengan kasus-kasus lingkungan yang terjadi di Jawa Barat yaitu dampak dari
pendirian pabrik semen SCG di Jawa Barat dan dampak dari pembangunan
PLTU Cirebon bagi masyarakat terdampak.

269
B. Pembahasan

1. Akses Informasi sebagai Bentuk dari Akses Keadilan untuk


Terpenuhinya Hak atas Lingkungan yang Baik dan Sehat.

Ketika berbicara tentang akses keadilan maka tidak semata-mata


dibatasi hanya bicara soal ruang-ruang pengadilan, hak dalam
pendampingan hukum, ataupun hak-hak yang dikaitkan dengan proses
hukum. Akses keadilan juga termasuk akses lainnya dimana jika akses-
akses itu tersedia maka akan berdampak kepada terpenuhinya hak-hak
dasar masyarakat.
Akses keadilan adalah keadaan dan proses di mana Negara
menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Negara menjamin
tersedianya akses bagi setiap warga negara agar dapat memiliki
kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan
menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal
maupun nonformal, dengan didukung oleh mekanisme penanganan
keluhan publik yang baik dan responsif. Dari pengertian ini akses
keadilan digambarkan tidak hanya melalui lembaga formal namun juga
nonformal akses keadilan juga tidak terbatas hanya pada akses hukum
tapi akses lainnya yang berkaitan dengan terwujudnya keadilan itu
sendiri.315
Akses keadilan dalam hal ini juga penting dalam proses
pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat.
Akses yang penting untuk tersedia dalam proses pemenuhan hak atas
lingkungan yang baik dan sehat itu adalah akses informasi.
Berdasarkan prinsip hukum tentang perlindungan hak-hak dasar
manusia melalui prinsip 1 deklrasi Stockhlom, 1972, yang berbunyi:
“ man has the fundamental right to freedom, equality, and
adequate condition of life, in an environment of a quality that
permits a life dignity and wellbeing, and he bears solemn
responsibility to protect and improve the environment for
present and future generations.
Ketentuan ini merupakan salah satu kaidah hukum lingkungan
yang sangat mendasar dan seringkali dianggap sebagai bagian dari hak
dasar atau hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.

315
Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Strategi Nasional Akses terhadap
Keadilan, 2009

270
Dari hak ini lahir kewajiban Negara untuk memenuhi hak
masyarakat, salah satu bentuknya adalah dengan memastikan bahwa
kondisi lingkungan tidak rusak dan hak partisipasi masyarakat
terpenuhi.316 Berdasarkan prinsip 10 Deklarasi Rio, partisipasi
masyarakat adalah kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Bentuk dari tanggung jawab Negara untuk
mewujudkan partisipasi masyarakat adalah dengan memfasilitasi dan
mendorong kesadaran masyarakat dan partisipasinya dengan
menyediakan informasi seluas-luasnya. Akses yang efektif terhadap
proses peradilan dan administratif, termasuk ganti rugi dan remediasi
harus disediakan sebaik-baiknya.
Dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar warga negara/hak
masyarakat maka hak atas lingkungan yang baik dan sehat telah diatur
dalam konstitusi. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan
bagian dari hak untuk hidup. Konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945
telah mengatur secara eksplisit dalam pasal 28 H, ―Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.‖ Hak atas lingkungan yang baik dan sehat
tersebut kemudian diatur dalam Undang-Undang no 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan dalam pasal 9 ayat (3),
―Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat‖.
Dengan demikian Negara telah mengatur secara tegas bahwa setiap
warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat‖.
Dengan adanya dasar aturan tersebut, maka hak atas lingkungan
yang baik dan sehat tersebut merupakan hak yang harus terpenuhi bagi
masyarakat dan negara bertanggung jawab dalam proses pemenuhan
hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Dalam upaya pemenuhan
tersebut maka dibutuhkannya akses informasi dalam proses-proses
yang terkait dengan pembangunan-pembangunan yang berdampak
terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat masyarakat.
Jika kita melihat kepada pengaturan hukum lingkungan di
Indonesia, telah diatur juga hak informasi yang menjadi bagian dari
proses terwujudnya hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Dalam Bab III Pasal (5-7) Undang-Undang Lingkungan Hidup
tahun 1997, maka hak atas akses informasi pada intinya adalah setiap
orang berhak memperoleh informasi yang utuh, akurat dan mutakhir
untuk berbagai tujuan yang terkait dengan masalah peran sertanya
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Akses terhadap informasi ini
dibagi dua tipe yaitu hak masyarakat mendapatkan informasi dan

316
M. Daud Silalahi dan Kristianto, Hukum Lingkungan dalam perkembangan di Indonesia,
Bandung , CV Keni Media, 2015, hlm. 39

271
pejabat publik berkewajiban menyediakan informasi tanpa harus
didahului adanya permintaan dari masyarakat (akses informasi secara
pasti), hak masyarakat untuk menerima informasi dan pejabat publik
berkewajiban menyediakan dan memberikan informasi apabila ada
permintaan dari masyarakat (akses informasi secara aktif).
Hak untuk mendapatkan informasi dan hak berperan serta dalam
pengelolaan lingkungan hidup dikenal dengan istilah participatory
rights. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65
ayat (2) s/d (5). Hak hak tersebut membawa konsekuensi pengakuan
Negara terhadap hak peran serta masyarakat tersebut. Oleh sebab itu,
berdasar pada pasal-pasal tersebut di atas, peran serta masyarakat dapat
dilakukan antara lain dengan cara mengajukan usul, saran dan
keberatan atau menyampaikan pengaduan kepada pejabat yang
berwenang, dimungkinkan pula melalui Pasal 70 yang memberikan
hak kepada masyarakat untuk; melakukan pengawasan memberikan
saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan menyampaikan atau
melaporkan informasi.
Konsekuensi logisnya adalah diaturnya hak atas informasi
lingkungan sebagaimana telah diatur dalam pasal 65 ayat (2)
UUPPLH-2009. Hak atas informasi lingkungan akan meningkatkan
nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup,
di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk
mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup ini dapat berupa data, keterangan, atau
informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka
untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen amdal, laporan, dan
evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan
penataan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup
dan rencana tata ruang.317
Melalui pengaturan-pengaturan yang terdapat dalam aturan hukum
lingkungan tersebut hak informasi menjadi hak yang penting untuk
dipenuhi. Konsekuensi agar hak informasi tersebut dapat terpenuhi
penting untuk tersedianya akses informasi tersebut.
Selain telah diaturnya hak informasi dalam pengaturan-pengaturan
hukum lingkungan, hak informasi semakin dipandang penting dan
diperkuat dengan adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi No
14 Tahun 2008.

317
Muh. AKib, Hukum Lingkungan perspektif global dan nasional, Jakarta, rajawali pers, 2016,
hlm. 124

272
Sejarah pengaturan terkait pentingnya hak informasi cukup
panjang. Hak atas informasi adalah hak asasi manusia yang bersifat
universal. Pengakuan terhadap sifat keasasian hak atas informasi
mendapat legitimasi dalam resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1946, yang kemudian dituangkan
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948)
resolusi PBB 1946 menyatakan ―kebebasan memperoleh informasi
merupakan salah satu hak manusia yang paling mendasar.318
Pasal 19 International Convenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) 1966 menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan
menyatakan pendapat, termasuk kebebasan untuk menyampaikan
informasi dan pemikiran adapun tanpa batasan, baik secara lisan,
tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain
sesuai dengan pilihannya.
Di Indonesia, selain mendapat landasan konstitusional, hak atas
informasi telah mendapat jaminan hokum dalam beragam jenis dan
tingkat peraturan perundang-undangan. Semula, hak atas informasi
dimuat dalam TAP MPR no XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 20 dan 21 TAP ini menyebutkan setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Lalu, setiap orang
berhak mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia. TAP
MPR no 1/MPR/2003 menyatakan TAP no XVII tidak berlaku.
Namun rumusan kedua pasal ini sudah dimasukkan ke dalam pasal
14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (UU HAM) tanpa perubahan sedikit pun. Norma UU
HAM itulah yang kemudian dinaikkan statusnya menjadi norma
konstitusi pada saat proses amandemen. Kini rumusan tersebut
tertuang dalam pasal 28 F UUD 1945.
Sebagai pelaksana pasal 28 F UUD 1945 tersebut telah terbit UU
Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang kini
dikenal sebagai UUKIP. Cuma penting, untuk dipahami bahwa pasal
28 F tidak bisa dilepaskan dari pasal 28 J UUD 1945 karena hak atas
informasi bukan tidak terbatas.
Hubungan antara hak informasi begitu dekat dengan hak atas
lingkungan dan hal ini akan semakin tergambar ketika kita melihat
dalam proses-proses pembangunan yang ada. Dalam proses-proses
pembangunan tersebut hak informasi menjadi penting untuk dipenuhi

318
Rival Ahmad dkk, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, 2014. Hlm 595

273
agar tidak terjadinya pelanggaran hak atas lingkungan yang baik dan
sehat.
Dalam berbagai proses pembangunan, setiap pembangunan
membutuhkan izin lingkungan. Izin lingkungan adalah izin yang
dibutuhkan jika suatu proyek pembangunan atau mendirikan suatu
usaha. Dalam proses izin lingkungan ini sangat penting tersedianya
akses informasi bagi masyarakat, terutama masyarakat terdampak dari
pembangunan yang sedang berjalan. Akses informasi tersebut akan
mempengaruhi proses terbitnya izin lingkungan dan proses
pembangunan. Jika akses informasi tersedia, maka masyarakat
terdampak dapat mengetahui apakah ada hak-hak sebagai warga
negara yang terlanggar dari proses pembangunan tersebut. Hal ini akan
dapat meminimalisir kerugian yang dirasakan masyarakat terutama
dalam konteks hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Beberapa kasus yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum
Bandung, menunjukkan bahwa dampak lingkungan dari
pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan, tidak hanya
berdampak kepada kesehatan dan lingkungan. Salah satu kasus
pembangunan PLTU di Cirebon, menunjukkan adanya dampak
terhadap mata pencaharian warga dikarenakan terjadinya kerusakan
lingkungan. Ketika kerusakan lingkungan berdampak terhadap mata
pencaharian, maka hal ini juga berdampak terhadap kesejahteraan
masyarakat di sekitar pembangunan.
Dengan demikian akses informasi menjadi akses yang penting
untuk tersedia terutama dalam upaya pemenuhan hak atas lingkungan
yang baik dan sehat.

2. Kasus-Kasus Masyarakat Terdampak di Jawa Barat dan Tidak


Tersedianya Akses Informasi dalam hal Hak atas Lingkungan
yang Baik dan Sehat

Tersedia atau tidaknya akses informasi akan sangat berdampak


terhadap proses pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Hal ini tergambarkan dari dua kasus yang pernah didampingi oleh
Lembaga Bantuan Hukum Bandung. Kasus pertama terkait dengan
dampak lingkungan yang dirasakan oleh warga sukabumi di sekitar
pabrik semen (SCG Sukabumi).
Awal tahun 2014 di sebuah desa pinggiran Kota Sukabumi
tepatnya Kampung Talagasari berdiri sebuah pabrik semen SCG
(Semen Campur Getih) yang megah dan besar. Pabrik tersebut berada
di pemukiman yang jaraknya hanya terhalang oleh jalan provinsi
bahkan dengan rumah warga ada yang hanya berjarak 2 meter.
Tepatnya berada di 4 daerah kedusunan untuk menggambarkan betapa

274
besarnya pabrik tersebut. Kampung tersebut dulu sejuk, segar, nyaman,
dan subur akan air.319
Namun sekarang kampung ini menjadi panas, gersang, bising, tiap
malam dibanjiri debu, penyakit mulai merajalela (budug, gatal-gatal,
dan ispa), airpun menjadi bau dan berbusa. Bahkan sampai ada yang
hilang sumber mata airnya. Petani mengalami gagal panen dan jalan
pun menjadi rusak. Anak sekolah yang memakai kendaraan umum
banyak yang kesiangan karena macet yang diakibatkan oleh lalu lalang
kendaraan besar. Kecelakaan di jalan semakin meningkat bahkan
berjatuhan korban akibat kerusakan jalan tersebut.
Di sebelah selatan pabrik melintas das Cimandiri yang membawa
limbah penyebab pencemaran ke hilir. Di atasnya ada Gunung Guha
yang menjadi kawasan tambang pabrik SCG dan di eksploitasi sampai
sekarang. Padahal gunung tersebut menunjang kebutuhan masyarakat
sekitar karena di samping dapat menyimpan persediaan air juga
digunakan sebagai lahan pertanian.320
Warga yang tinggal di Desa Sinarresmi Kecamatan Gunungguruh
Kabupaten Sukabumi yang menjadi warga terdampak kemudian
melakukan proses permohonan informasi atas izin mendirikan
bangunan pabrik semen SCG. Adapun tujuan dari masyarakat
mengakses dokumen perizinan tersebut untuk melihat izin lingkungan
dan amdal menjadi syarat berdirinya pabrik tersebut. Warga menduga
bahwa adanya proses penerbitan izin yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, serta proses penerbitan izin yang tidak
melibatkan masyarakat.321
Setelah menempuh proses permohonan informasi sebagaimana
telah ditentukan dalam UUKIP, permohonan terus berlanjut pada
proses sengketa informasi di Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat.
Hal ini dikarenakan pihak BPMPT Kabupaten Sukabumi, sebagai
pihak yang berhak mengeluarkan informasi tidak memberikan
tanggapan. Dalam proses sengketa informasi tersebut majelis di KI
Provinsi Jawa Barat mengabulkan permohonan warga karena
informasi yang diminta adalah informasi publik yang dapat diberikan
kepada warga.
Namun pihak pemerintah dalam hal ini yang diwakili oleh BPMPT
Kab Sukabumi mengajukan banding ke tingkat PTUN. Putusan PTUN
pun menyatakan warga tidak berhak mendapatkan informasi karena

319
Eman dkk, Paralegal Titik Balik Kesadaran, Bandung, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, 2016,
hlm 16
320
Ibid, hlm 17.
321
Data Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Bandung tahun 2016.

275
warga tidak mempunyai kepentingan hukum. Putusan ini dikarenakan
warga yang mengajukan informasi adalah seorang perawat dan tidak
memiliki kepentingan hukum langsung atas pembangunan pabrik
semen SCG tersebut.322
Kasus lain yang juga terkait dengan akses informasi adalah proses
penerbitan izin lingkungan proyek PLTU II 1X1000 MW di
Kabupaten Cirebon. Adapun proses izin lingkungan tersebut tidak
melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL yang
menjadi dasar terbitnya sebuah izin lingkungan.
Pengakuan para warga yang menjadi masyarakat terdampak dari
proses pembangunan PLTU menyatakan bahwa selama proses
penyusunan AMDAL, oleh pemrakarsa atau penyusun AMDAL para
warga merasa tidak pernah ikut dilibatkan dalam berbagai kesempatan,
bahkan mengenai informasi rencana penyusunan AMDAL pun tidak
diberikan oleh pemrakarsa atau penyusun AMDAL. Warga dalam hal
ini adalah masyarakat yang tinggal di desa kanci kulon kecamatan
astana Japura Kabupaten Cirebon, lokasi proyek PLTU II 1 X 1000
MW Cirebon. Warga adalah orang yang terdampak langsung dari
rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
dengan kapasitas 1 X 1000 MW.
Penerbit izin dalam hal ini BPMPT Provinsi Jawa Barat
mempunyai kewajiban dalam penyusunan AMDAL untuk melibatkan
masyarakat termasuk warga terdampak baik dalam bentuk
penyampaian informasi maupun pelibatan konsultasi publik, guna
mendengar pendapat dan keputusan masyarakat.
Dengan tidak diikutkannya para warga terdampak sebagai
masyarakat kedalam penyusunan AMDAL maka izin lingkungan telah
melanggar Undang–Undang nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 26
menyatakan :
1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat;
2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan;
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses amdal.

322
Ibid.

276
4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal
Pelibatan masyarakat diatur juga dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, dalam pasal 9
menyebutkan :
1) Pemrakarsa, dalam menyusun dokumen Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, mengikutsertakan
masyarakat:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses Amdal.
2) Pengikutsertaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengumuman rencana Usaha dan/atau Kegiatan; dan
b. konsultasi publik.
3) Pengikutsertaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sebelum penyusunan dokumen
Kerangka Acuan.
4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, berhak
mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap
rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
5) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disampaikan secara tertulis kepada
Pemrakarsa dan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengikutsertaan
masyarakat dalam penyusunan Amdal diatur dengan
Peraturan Menteri.
Keterlibatan masyakat diatur lebih jelas dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2012 tentang Keterlibatan
Masyarakat Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup dan Izin lingkungan. Pasal 2 mengatur tentang pelaksanaan
keterlibatan masyarakat antara lain :
Pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan izin lingkungan dilakukan
berdasarkan prinsip dasar:
a) pemberian informasi yang transparan dan lengkap;
b) kesetaraan posisi diantara pihak-pihak yang terlibat;
c) penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan
d) koordinasi, komunikasi dan kerjasama dikalangan pihakpihak
yang terkait.

277
Berdasarkan fakta dan kesaksian para warga, sejak dokumen
AMDAL sampai terbitnya izin lingkungan PLTU II Cirebon, warga
terdampak tidak pernah dilibatkan, diberikan informasi tentang
rencana kegiatan/ usaha, maupun dalam proses konsultasi Publik. 323

3. Dampak Tersedianya Akses Informasi Bagi Masyarakat

Tersedianya akses informasi bagi masyarakat tidak sekedar


bermakna bahwa ada informasi atau data yang dibutuhkan oleh
masyarakat, terutama bagi warga terdampak dari pembangunan-
pembangunan yang sedang berjalan. Akses informasi harus tersedia
karena akses ini akan berkaitan dengan upaya dan pemenuhan hak atas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Pertama, ketersediaan akses informasi akan berdampak terhadap
dengan tidak adanya data dan informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Data dan informasi yang dimaksud disini adalah data dan
informasi yang terkait dengan pembangunan yang sedang dilakukan.
Misalnya dalam kasus dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan
oleh pembangunan pabrik semen di Sukabumi maupun proyek
pembangunan PLTU di Cirebon, warga masyarakat terdampak berhak
atas tersedianya akses informasi dalam hal tersedianya saluran-saluran
serta tersedianya informasi yang terkait dengan pembangunan Pabrik.
Pemerintah dalam hal ini wajib menyediakan informasi yang
terkait dengan tujuan pendirian pabrik semen, apa dampak dari
pembangunan pabrik, lalu bagaimana proses pendirian pabrik semen
tersebut, termasuk informasi yang terkait dengan proses terbitnya izin
lingkungan pabrik. Hal ini dikarenakan pendirian pabrik memberikan
dampak terhadap masyarakat. Dampak dalam hal ini adalah kerusakan
lingkungan yang dapat ditimbulkan jika ada pabrik semen dan
aktivitasnya di daerah tersebut. Informasi ini akan berkaitan dengan
hak-hak apa saja yang terkena dampak dari pembangunan, terutama
hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Tersedianya akses informasi juga akan berdampak terhadap
kepentingan dan proses hukum masyarakat. Jika akses informasi tidak
tersedia, maka ini akan dapat menyumbat kepentingan hukum dan
proses hukum yang dapat dilalui oleh masyarakat. Dari kasus yang
terjadi di sukabumi dan Cirebon, akses informasi sangat berpengaruh
terhadap kepentingan hukum dan proses hukum yang dapat ditempuh
oleh masyarakat dalam mengupayakan terpenuhinya hak-hak
masyarakat dalam konteks hak atas lingkungan yang baik dan sehat.

323
Data Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Bandung tahun 2016.

278
Berdasarkan kasus lingkungan yang terjadi di sukabumi
menggambarkan bahwa akses informasi adalah informasi dan data
yang berkaitan dengan proses dan izin mendirikan bangunan, izin
lingkungan dan amdal yang saling berkaitan. Informasi dan data terkait
izin-izin pabrik semen tidak tersedia. Selain itu ada saluran akses yang
tersumbat, dimana pemerintah dalam hal ini BPMPT tidak bersedia
memberikan informasi dan data yang menjadi hak masyarakat
terdampak. Karena tidak tersedianya informasi dan data tersebut,
masyarakat pun tidak dapat melanjutkan upaya hukum lainnya yang
dapat dilakukan.
Ketika masyarakat tidak mendapatkan informasi yang utuh dan
jelas terkait proses penerbitan izin ingkungan, maka masyarakat dapat
kehilangan kepentingan hukumnya untuk melakukan proses hukum
seperti gugatan di pengadilan. Jika ternyata dalam proses penerbitan
izin lingkungan suatu kegiatan pembangunan atau proyek didapati
suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan atau
didapati cacat proses maka masyarakat mempunyai hak untuk
melakukan gugatan. Namun jika informasi terkait dengan proses
penerbitan tidak tersedia, masyarakat tidak dapat melakukan upaya
hukum. Hal ini juga terkait dengan tidak adanya control dan
pengawasan dari masyarakat terkait dengan pemenuhan hak atas
lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat.
Ketiga, ketersediaan akses informasi akan berdampak terhadap
kesejehateraan dan keberlangsungan hidup dari masyarakat. Kerusakan
lingkungan sering kali berdampak terhadap kondisi kesehatan
masyarakat. Kerusakan lingkungan juga dapat berdampak terhadap
sumber penghidupan masyarakat.
Kasus pembangunan PLTU Cirebon, menunjukkan bahwa dengan
adanya pelaksanaan proyek PLTU kemudian berdampak kepada
kondisi lingkungan perairan di sekitar proyek tersebut. Perubahan ini
sangat dirasakan oleh masyarakat yang sumber penghidupannya adalah
menjadi nelayan kecil pencari udang dan rebon kecil. Berdasarkan
fakta dilapangan para nelayan mengeluhkan adanya penurunan
kuantitas jumlah penangkapan udang dan rebon kecil. Hal ini serta
merta berdampak kepada jumlah penghasilan yang dihasilkan oleh
para nelayan.
Jika kita kaitkan dengan akses informasi, seharusnya warga berhak
memperoleh informasi yang utuh dan lengkap terkait pembangunan
proyek dan dampak yang dapat diakibatkan dari proyek ini.
Senyatanya warga menyatakan bahwa dalam proses pembangunan,
informasi dampak dan hak-hak yang sepatutnya diterima oleh warga
tidak diberikan secara utuh dan lengkap.

279
4. Hambatan Masyarakat dalam Memperoleh Akses Informasi atas
Hak atas lingkungan yang baik dan sehat

Ada beberapa hambatan yang dirasakan dan dihadapi oleh


masyarakat dalam memperoleh akses informasi. Beberapa hambatan
tersebut dibagi dalam dua aspek. Aspek yang pertama adalah akses
informasi dalam hal prosedural.
Akses informasi dalam hal prosedural berarti adanya akses
informasi dalam hal tersedianya cara-cara, saluran, serta langkah-
langkah yang dapat diupayakan oleh masyarakat untuk memperoleh
informasi dan data yang dibutuhkan dan berkaitan dengan hak atas
lingkungan yang baik dan sehat. Akses informasi dalam hal prosedural
juga berarti apakah saluran-saluran tempat masyarakat memperoleh
informasi telah melakukan tanggung jawabnya dengan menyediakan
informasi yang dibutuhkan masyarat. Berdasarkan kasus yang terjadi
di sukabumi, tergambarkan bahwa pemerintah dalam hal ini badan
publik yang seharusnya menyediakan informasi ternyata belum dapat
memberikan informasi yang diminta masyarakat.
Sikap professional pejabat publik sangat dibutuhkan dan
mendukung tersedia atau tidaknya akses informasi bagi masyarakat.
Pejabat publik harus bersikap transparan terutama dalam proses-proses
penerbitan izin lingkungan dari pembangunan-pembangunan yang
sedang berjalan. Pejabat publik tidak boleh menghalang-halangi
masyarakat untuk mendapatkan informasi dan data publik yang terkait
dengan proses penerbitan izin lingkungan dan pembangunan. Namun
jika pejabat publik tidak memegang prinsip keterbukaan dalam
melaksanakan tanggungjawabnya maka akan menjadi hambatan dalam
tersedianya akses informasi dalam hal prosedural.
Hambatan kedua adalah tidak tersedianya akses informasi dalam
hal substansi. Akses informasi dalam hal substansi adalah ketersediaan
informasi diukur dari dari informasi yang diberikan sudah utuh dan
lengkap. Utuh dan lengkap artinya bahwa informasi tersebut
memberikan gambaran yang jelas, menyeluruh, serta dapat dipahami
oleh masyarakat.
Dalam konteks penerbitan izin lingkungan seharusnya informasi
yang disediakan oleh pejabat publik yang bertanggungjawab tidak
hanya sekedar informasi publikasi telah diterbitkannya sebuah izin
lingkungan. Informasi yang disediakan harusnya juga termasuk
informasi yang berkaitan dengan proses sebelum izin lingkungan
diterbitkan. Salah satunya dengan cara melibatkan masyarakat dalam
proses amdal.
Pelibatan masyarakat dan proses pemberian informasi juga bukan
sekedar formalitas dan sekedar ada telah terlaksana. Pemerintah

280
sebagai penerbit izin haruslah memberikan informasi yang dapat
dimengerti dan dipahami oleh masyarakat. Informasi tersebut harus
disampaikan secara gambling dan jelas. Misalnya jika akan
dilaksanakan sebuah pembangunan, maka masyarakat terdampak harus
menerima informasi terkait dengan tujuan pembangunan, lamanya
proses pembangunan, dampak dari pembangunan, dan penjelasan hak-
hak warga sebagai masyarakat terdampak.
Dalam praktek dilapangan akses informasi menjadi tersumbat
karena informasi yang disediakan tidak utuh dan lengkap. Pemberian
informasi juga terkesan hanya formalitas dengan mengundang warga
dalam satu pertemuan, disertai daftar hadir para warga, kemudian
dianggaplah pertemuan tersebut telah memenuhi syarat penyediaan
informasi. Adapula pertemuan yang hanya melibatkan sekelompok
masyarakat tertentu misalnya kepala desa yang dianggap perwakilan
masyarakat. Kemudian informasi berhenti pada kepada desa atau
orang-orang yang dianggap sebagai perwakilan desa atau wilayah
tersebut. Apalagi jika kita melihatnya dalam konteks pemberian
masyarakat yang berpendidikan rendah, pemerintah mempunyai
tanggung jawab untuk menyediakan penjelasan yang sejelas-jelasnya
terhadap masyarakat.

C. Penutup

Melalui kajian berdasarkan kasus-kasus yang terjadi di wilayah Jawa


Barat, penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan kasus-kasus yang terkait
dengan hak atas lingkungan yang baik dan sehat masih belum tersedianya
akses informasi bagi masyarakat. Ada beberapa dampak yang terjadi
akibat tidak tersedianya akses informasi. Adapun tidak tersedianya akses
informasi berdampak terhadap tiga hal yaitu, tidak tersedianya informasi
yang dibutuhkan masyarakat, berdampak terhadap kepentingan hukum dan
proses hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat, dan berdampak
terhadap kesejahteraan dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Dalam proses penyediaan akses informasi yang menjadi hak
masyarakat ditemukan beberapa hambatan. Adapun hambatan-hambatan
yang ditemukan baik dalam hal prosedural maupun substasi. Hambatan
akses informasi dalam prosedural salah satunya tidak profesionalnya
pejabat publik dalam menyediakan informasi public yang menjadi hak
masyarakat. Hambatan akses informasi dalam hal substansi adalah dimana
informasi yang disediakan tidak utuh dan lengkap karena hanya disediakan
sebagai formalitas dan masyarakat tidak menerima sampai kondisi
mengerti dan memahami.
Oleh karena itu penting sekali pemerintah dan pejabat publik untuk
kembali memahami dan menerapkan prinsip keterbukaan dalam proses-

281
proses penerbitan izin lingkungan sebagai alat cegah terjadinya dampak
kerusakan lingkungan akibat adanya pembangunan yang akan
dilaksanakan.

282
Daftar Pustaka
Eman dkk, Paralegal Titik Balik Kesadaran, Bandung, Lembaga Bantuan Hukum
Bandung, 2016.
Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, 2009.
M. Daud Silalahi dan Kristianto, Hukum Lingkungan dalam perkembangan di
Indonesia, Bandung , CV Keni Media, 2015.
Muh. AKib, Hukum Lingkungan perspektif global dan nasional, Jakarta, rajawali
pers, 2016.
Rival Ahmad dkk, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda
Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2014.
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

283
VIII. Access To Justice And Public Policy

PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN


MELALUI PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

Oleh : Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH1, A.A Istri Ari Atu Dewi, SH.,MH2,
Made Nurmawati, SH.,MH3, Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH,M.Kn.,LLM 4,
1,2,3,4 Dosen Mata Kuliah Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah
Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Fenomena eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bali cukup
sering menjadi sorotan media. Berbagai pihak mensinyalir bahwa faktor ekonomi,
sosial, dan budaya merupakan penyebab utama terjadinya situasi tersebut. Ditinjau
dari perspektif hukum, fenomena ini dapat diduga muncul karena minimnya
ketentuan-ketentuan yang memuat perlindungan hukum yang tertuang di dalam
peraturan perundang-undangan, tidak konsistennya implementasi terhadap
peraturan tersebut oleh pemerintah, atau kurang seriusnya proses penegakan
hukum ketika terjadi kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan
dan anak. Fakta mengenai eksistensi sejumlah legislasi di tingkat nasional yang
mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak seolah
menjadikan peraturan daerah sebagai titik lemah upaya perlindungan hak-hak
perempuan dan anak di daerah. Bali dalam hal ini dapat dijadikan sebagai salah
satu contoh. Dapat dikemukakan bahwa belum semua daerah di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota se-Bali memiliki peraturan daerah yang memuat perlindungan
terhadap hak-hak perempuan dan anak secara optimal. Hal ini tentu menjadi
tantangan bagi kalangan sivitas akademika sebagai salah satu elemen yang
memegang mandat moral untuk berkontribusi bagi pembentukan sistem hukum --
termasuk regulasi di daerah-- yang memadai dan pro rakyat marjinal. Artikel ini
bertujuan untuk mendeskripsikan pentingnya penyusunan produk hukum daerah
yang baik bagi kaum marjinal, khususnya perempuan dan anak korban kekerasan.
Secara lebih spesifik, artikel ini juga dimaksudkan untuk menyajikan sejumlah
analisis mengenai relevansi mata kuliah klinik hukum perancangan produk hukum
daerah dalam mewujudkan keadilan bagi kaum perempuan dan anak korban
kekerasan. Tulisan ini akan mengungkap sejumlah argumentasi yang menjadi
landasan pembentukan mata kuliah klinik hukum perancangan produk hukum
daerah di Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud). Selain itu, tulisan ini
juga akan menjelaskan metode pendidikan hukum klinis (clinical legal education)

284
serta pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam mata kuliah ini.
Selanjutnya, suatu kajian akan difokuskan pada aspek keadilan sosial (social
justice) yang perlu diwujudkan dalam penyusunan produk hukum daerah.
Terakhir, analisis yang bersifat mendalam akan dilakukan terhadap desain
pembelajaran yang akan diterapkan pada mata kuliah klinik hukum perancangan
produk hukum daerah di FH Unud dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan
keadilan bagi kaum perempuan dan anak korban kekerasan melalui pembentukan
peraturan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota se-Bali.
Kata Kunci: Klinik Hukum, Produk Hukum Daerah, Anak, Perempuan

I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai
negara hukum, hak asasi manusia merupakan unsur utama yang wajib dilindungi,
ditegakkan dan dipenuhi oleh negara.

Istilah hak asasi perempuan dana anak muncul seiring dengan kesadaran perlunya
perhatian khusus dan perlindungan khusus bagi kaum perempuan dan anak,
disamping konsep hak asasi secara umum karena banyaknya permasalahan dan
persoalan yang dialami kaum perempuan dan anak seperti kekerasan fisik dan
psikis, diskriminasi di berbagai bidang kehidupan, kemiskinan, ketertinggalan di
berbagai bidang dan lain-lain sehingga dalam beberapa kajian dan pengaturan,
perempuan dimasukkan dalam kelompok yang vulnerable, bersama-sama dengan
kelompok anak, kelompok minoritas dan kelompok rentan lainnya. 324
Pengaturan dalam bentuk hukum nasional sangat perlu untuk dijabarkan dalam
bentuk penyusunan produk hukum daerah sebagai bentuk kebijakan pengaturan
terkait dengan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan. Terkait dengan
hal tersebut dikarenakan belum semua daerah di provinsi dan kabupaten/kota se-
Bali memiliki peraturan daerah yang memuat perlindungan terhadap hak-hak
perempuan dan anak secara optimal. Penting lakukan upaya preventif dan represif
dalam bentuk pengaturan dalam bentuk produk hukum daerah.
Melalui mata kuliah klinik hukum perancangan produk hukum daerah di Fakultas
Hukum Universitas dengan metode pendidikan hukum klinis (clinical legal
education) serta pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam mata kuliah
untuk mencapai keadilan sosial (social justice) yang perlu diwujudkan dalam
penyusunan produk hukum daerah.

324
Niken Savitri, 2008, Ham Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika
Aditama, Bandung, 3.

285
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan masalah
sebagai berikut :

1. Bagaimanakah urgensi perlindungan perempuan dan anak korban


kekerasan?
2. Relevansi mata kuliah klinik hukum perancangan produk hukum daerah
dalam mewujudkan keadilan bagi kaum perempuan dan anak korban
kekerasan?

1.3Tujuan Penulisan
1. Mendapat pemahaman tentang konsep perlindungan perempuan dan anak
korban kekerasan sebagai salah bentuk memberikan keadilan terhadap
kelompok yang termarjinalkan ataupun dalam hal ini sebagai kelompok
rentan.
2. Melakukan kajian dan analisis terkait perlindungan perempuan dan anak
korban kekerasan dengan metode pembelajaran kuliah klinik hukum
perancangan produk hukum daerah.

1.4Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah menggunakan penelitian normatif. Dalam penulisan ini
melakukan pengkajian atas bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder terkait dengen Perlindungan perempuan dan Anak korban Kekerasan
dalam pembentukan produk hukum daerah. Dalam penelitian ini jenis pendekatan
yang digunakan adalah sebagai antara lain : Pendekatan perundang-undangan
(statute approach) Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual
approach), Pendekatan fakta (the fact approach) artinya penelitian dilakukan
dengan melakukan identifikasi terhadap fakta yang berkaitan dengan masalah
penelitian.
Dalam penulisan makalah ini bahan hukum yang digunakan terdiri dari :
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang
Perlindungan Anak,
Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang
Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia.
Serta menggunakan buku-buku hukum, hasil penelitian.

286
II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Berkaitan dengan judul tersebut diatas maka ada beberapa konsep yang akan
dibahas dalam tulisan ini yakni: perlindungan, Perempuan dan Anak Korban
kekerasan serta penyusunan produk hukum daerah.
2.1.1Perlindungan
Ada beberapa pengertian perlindungan yang terdapat didalam Kamus, maupun
peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mengartikan perlindungan adalah sebagai : a. tempat berlindung; b. perbuatan (hal
dan sebagainya) melindungi.325 Sedangkan arti perlindungan sebagaimana
ditentukan dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Wanita adalah : ―segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan‖.326
Sedangkan arti perlindungan terkait dengan perlindungan anak diatur dalam UU
No.23 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa:‖ Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi‖.327

Dari kedua undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa perlindungan


perempuan dan anak mengandung unsur-unsur:
1. Segala upaya/kegiatan
2. Untuk memberikan rasa aman
3. Menjamin hak perempuan dan anak
4. Diberikan oleh Negara, keluarga, advokat, lembaga sosial, atau pihak
lainnya
Dengan demikian maka kata perlindungan mengandung makna, yaitu suatu
tindakan perlindungan atau tindakan melindungi terhadap hak-hak dari pihak-
pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara
tertentu. Secara konseptual, perlindungan yang diberikan merupakan implementasi
atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia
yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan
Pancasila. Artinya bahwa sebagai negara hukum (the rule of law) negara memiliki
kewajiban (state obligation) untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to
325
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
hlm. 674
326
Pasal 1 angka 4 UU No.23 Tahun 2004.
327
Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 2002.

287
protect), menjamin (to guarentee), memenuhi (to fulfill), dan memastikan (to
ensure) akan hak yang dimiliki oleh manusia baik sebagai warga negara maupun
bukan warga negara (orang asing). Yang dimaksud dengan to promote
(mempromosikan) adalahbahwa negara wajib melalui alat-alat perlengkapannya
baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mempromosikan/ mensosialisasikan
pentingnya perlindungan dan berbagai peraturan perundangundangan terkait HAM
untuk meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat akan HAM.
To protect (melindungi) berarti Negara memiliki kewajiban untuk melindungi
HAM setiap warga negara tanpa didasarkan atas diskriminasi agama, ras, suku,
etnik, dan sebagainya. Negara tidak hanya memiliki kewajiban untuk proaktif
memberikan perlindungan HAM setiap warga negaranya, namun juga negara tidak
dibenarkan melakukan pembiaraan (act by ommission) terhadap adanya
pelanggaran HAM yang terjadi dimasyarakat.
To guarentee (menjamin) artinya bahwa perlindungan HAM tidak hanya cukup
dituangkan dalam dalam tujuan negara (staat ide), dan pasal-pasal dalam
konstitusi, namun yang terpenting adalah bagaimana negara menjamin pengakuan
dan perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam peraturan pelaksananya baik
itu UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan ditingkat
daerah melalui Peraturan Daerah dan kebijakan lainnya.
To fulfill (memenuhi) artinya terhadap terjadinya pelanggaran HAM yang
menimbulkan korban, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak
korban dengan segera dan proporsional dengan tanpa disyaratkan dalam kondisi
tertentu to ensure (memastikan) artinya bahwa negara dapat memastikan bahwa
pelaku pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan
yang berlaku.328
Terkait perlindungan, perlindungan yang diberikan melalui produk hukum dapat
diartikan sebagai perlindungan hukum atau perlindungan dengan menggunakan
pranata dan sarana hukum. Ada berbagai difinisi tentang perlindungan hukum
antara lain:329
1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang
lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum
adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan.

328
Disarikan dari berbagai literatur.
329
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/

288
Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melaui cara-cara tertentu, antara
lain dengan : Membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk
Menjamin hak dan kewajiban serta Menjamin hak-hak para subyek hukum baik
tingkat pusat maupun daerah; Menegakkan peraturan (by law enforcement) oleh
aparat negara. jadi dapat dikatakan bahwa melalui perlindungan hukum akan
melahirkan suatu hak dan kewajiban antara satu sama lain. Perlindungan hukum
akan menjadi hak tiap warga negaranya, dan disisi lain dapat dikatakan juga
bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh
karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga
negaranya.330

2.1.2Perempuan dan Anak Korban Kekerasan


Perempuan dan anak adalah kelompok yang perlu mendapatkan perlindungan,
karena sistem sosial budaya dan kondisi fisik mereka. Perempuan mempunyai
posisi yang khas di dalam setiap masyarakat dan negara-negara di dunia. Banyak
kontribusi yang diberikan oleh perempuan di hampir seluruh lingkup kehidupan
sehari-hari, seperti mengurus rumah tangga, mengurus anak, bekerja dan
sebagainya. Namun seringkali mereka menjadi warga negara kelas 2 (dua) dan
terabaikan. Mereka seakan-akan menderita dalam ketiadaan dan menjadi
kelompok dalam posisi yang sering kali tidak menguntungkan dalam menghadapi
berbagai halangan dan rintangan. Karena itu perlu penguatan kemampuan dan
persamaan hak berdasarkan pada sensitivitas gender di tengah-tengah masyarakat
masihlah menjadi masalah utama mereka. Intensifikasi permasalahan perempuan
dan gerakan pendukung hak-hak perempuan di seluruh dunia telah direfleksikan
melalui berbagai macam Konvensi yang telah dikeluarkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Beberapa perlindungan yang diakui secara internasional tersebut
telah membantu mengartikulasikan ideologi dari para kaum pejuang hak
perempuan.

Untuk memahami pengertian perempuan tidak bisa lepas dari persoalan gender
dan sex. Perempuan dalam konteks gender didefinisikan sebagai sifat yang
melekat pada seseorang untuk menjadi feminim. Sedangkan perempuan dalam
pengertian sex merupakan salah satu jenis kelamin yang ditandai oleh alat
reproduksi berupa rahim, sel telur dan payudara sehingga perempuan dapat hamil,
melahirkan dan menyusui. 331

Perjuangan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan


anak guna melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari kekerasan domestik
sudah dilakukan sejak dahulu, dan perjuangan melalui pembentukan peraturan
perundangundangan akhirnya berhasil dengan disahkannya UU No. 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak, UU No. 23 Tahun 2004 Kekerasan Dalam
330
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/
331
http://www.referensimakalah.com/2013/01/konsep-perempuan.html

289
Rumah Tangga atau sering disebut dengan UU KDRT, dan UU No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Saksi Korban. Ketiga produk UU
tersebut jelas mendasarkan pasalpasalnya pada prinsip-prinsip HAM. Perlunya
jaminan perlindungan terhadap perempuan dan anak ini. Perlunya jaminan
perlindungan muncul seiring dengan adanya kesadaran untuk memberikan
perlindungan khusus karena banyaknya persoalan yang dihadapi kaum perempuan
dan anak seperti kekrasan fisik dan psikis, diskriminasi, keterbelakangan dalam
berbagai bidang, dan sebagainya sehingga dalam berbagai kajian kelompok ini
digolongkan kedalam kelompok yang vurnarable,332Perlakuan khusus yang
diberikan juga dijamin dalam konstitusi, yakni dalam Pasal 28H ayat (2) UUD
NRI
Tahun 1945 yang menentukan:‖ Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. Perlindungan juga diberikan dengan pertimbangan
bahwa itu adalah merupakan hak dari subyek hukum baik perempuan maupun
anak-anak.
Dalam praktek dimasyarakat istilah perempuan sering disamakan dengan wanita.
Arti kata perempuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1. orang (manusia)
yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui;
wanita; 2. istri; bini; 3 betina (khusus untuk hewan). 333 Sedangkan wa.ni.ta berarti
[n] perempuan dewasa: kaum --, kaum putri (dewasa).334

Selain perempuan yang perlu mendapatkan perlakuan khusus, kelompok lainnya


adalah anak-anak. Ada berbagi difinisi anak yang dijabarkan dalam hukum
nasional maupun internasional. Menurut The Minimum Age Convention Nomor
138 Tahun 1973, pengertiantentanganakadalah seseorang yang berusia 15 tahun
ke bawah. Selanjutnya dalam Convention on The Right Of the Child Tahun 1989
yang menyebutkan: For the purposes of the present Convention, a child means
every human being below the age of 18 years unless, under the law applicable to
the child, majority is attained earlier.335 Dengan demikian disebutkan bahwa anak
adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu,
UNICEFmendefenisikananaksebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai
dengan 18 tahun. Sedangkan dalam hukum nasional difinisi anak dapat ditemukan
dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum
menikah.336 Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16

332
Erlina, Implementasi Hak Konstitusional Perempuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 1 nomor 1 November 2012
333
http://kbbi.web.id/perempuan
334
http://kamusbahasaindonesia.org/wanitaKamusBahasaIndonesia.org
335
Lihat Part 1 article 1.
336
Lihat Pasal 1 angka 2.

290
tahun untuk anak perempuan, dan 18 tahun untuk anak laki (dalam konteks dapat
melagsungkan perkawinan). Selanjutnya arti anak menurut Pasal 1 angka 1 UU
No.23 Tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.Dari difinisi-difinisi tersebutsecara
keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia dikategorikan sebagai anak terletak
pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun
ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial,
kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai
setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.
Menurut Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, hak anak
adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi
oleh orangtua, masyarakat, pemerintah dan negara, sebagaimana halnya dengan
perempuan. Perempuan dan anak inilah yang rentan menjadi korban kekerasan,
akibat sistem budaya maupun kondisi dari perempuan dan anak itu sendiri.
Ada berbagai pengertian tentang ―korban‖. Menurut Deklarasi PBB dalam The
Declaration of Basic Principles of justice for victim of crime and Abuse of Power
1985 dikatakan Korban (victims) means person who, individually or collectively,
have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering,
economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts
or omission of criminal laws operative within Member states, including those laws
proscribing criminal abuse of power „.. through acts or omissions that do not yet
constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized
norms relating to human rights. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004,
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa
korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.337
Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006,
tentang Perlindungan saksi dan korban dikatakan bahwa korban adalah seseorang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Sedangkan yang dimaksud dengan Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap
perbuatan yang berkaitan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu,
pemaksaan dan perampasan kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat
maupun di lingkungan rumah tangga. 338 Sedangkan dalam UU No.23 Tahun 2004
menyebutkan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga

337
Pasal 1 angka 3.
338 16
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Tahun 2006.
Pasal 1 angka 1 UU 23 Tahun 2004

291
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 16

2.1.3Penyusunan Produk Hukum Daerah


Peraturan Daerah (Perda) adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah.339 Perda dibentuk oleh Kepala Daerah dan
DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah sebagai landasan
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, sehingga
Perda merupakan dasar hukum bagi daerah dalam menyelenggarakan otonomi
daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari daerah.
Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah
penyusunan Perda. Namun, pembentukan Perda bukanlah pekerjaan yang mudah;
apalagi disadari bahwa pembentukan Perda dilakukan tidak dalam ruang hampa,
yang tidak steril dari sub sistem kemasyarakatan lainnya, sehingga perlu
mempertimbangan aspek dan dampak lainnya. 340 Yang dimaksud dengan
pembentukan Peraturan Perundangundangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1
angka 1 UU No.12 Tahun 2011 adalah ―pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan‖. Sedangkan yang dimaksud
dengan Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah ―pembuatan peraturan
perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan, dan penyebarluasan‖.341
Jadi penyusunan perda merupakan bagian dari pembuatan perda secara
keseluruhan.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan termasuk perda, dalam
kaitannya dengan keberlakuan norma menurut I Gede Pantja Astawa dan Suprin
Na‘a, maka harus memenuhi tiga landasan yakni: landasan berlaku secara
Filosofis, landasan berlaku secara sosiologis dan landasan berlaku secara

339
Lihat: Pasal 1 Nomor 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679), selanjutnya disebut UU No. 9
tahun 2015; Pasal 1 Nomor 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011;
Pasal 1 nomor 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80.Tahun 2015
340
I Nengah Suantra,dkk, Klinik Perancangan Produk Hukum Daearah (Pembelajaran Dengan
Metode Interaktif dan Reflektif), Denpasar, Udayana Perss, 2016. hlm 28.
341
Lihat ketentuan Pasal 1 angka 18 Permendagri No.80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah.

292
yuridis.342 Landasan berlaku secara filosofis adalah bahwa rumusan atau norma-
normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) apabila dikaji secara
filosofis, atau dapat dikatakan bahwa perundang-undangan harus mencerminkan
sistem nilai dari masyarakat yang bersangkutan yuridis adalah suatu peraturan
perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan
berdasarkan pada hukum yang lebih tinggi. Landasan keberlakuan secara
sosiologis (sociologische grondslag) adalah, bahwa peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat termasuk
pula kecendrungan dan harapan-harapan masyarakat. Sedangkan landasan
keberlakuan secara yuridis (juridische grondslag) adalah suatu peraturan
perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan
berdasarkan pada hukum yang lebih tinggi. Selain itu yang perlu diperhatikan pula
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah Bahasa dalam peraturan
perundangundangan. Pada prinsipnya bahwa semua produk hukum yang
dihasilkan harus dapat dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat yang
menjadi sasarannya.
Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara Hukum
yang akan menjamin hak-hak warga negra, membatasi kekuasaan penguasa,
menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat, karena itu dalam menyusun perda yang mampu memeberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan harus
memperhatikan hal-hal sebagaimana tersebut diatas.

2.2. Urgensi Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Melalui

Penyusunan Peraturan Daerah


Disamping persoalan perempuan dewasa ini persoalan anak di masyarakat
Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Bali khususnya tampak semakin
memperihatinkan. Secara umum permasalahan anak yang muncul di wilayah
perkotaan sangat kompleks seperti kenakalan remaja, perkosaan, pelecehan
seksual, traffiking, perdagangan anak, dan lain-lain. Hal ini terjadi tentu tidak
lepas dari pesatnya perkembangan teknologi informasi yang membawa dampak
terhadap sikap dan perilaku masyarakat baik yang dewasa maupun anak-anak.
Oleh karena itu, pemerintah maupun lembaga-lembaga lain yang konsen terhadap
permasalahan anak tidak mau tinggal diam membiarkan persoalan ini berkembang
semakin parah. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun
daerah seperti program Kabupaten/kota layak anak, lomba-lomba BKB, BKR,
P2WKSS, dan berbagai program lainnya. Tingginya kasus kekerasan menunjukan

342
Made Pantja Astawa dan Suprin Na‘a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di
Indonesia, (Bandung, Alumni, 2008) hlm.78

293
perlunya perlindungan dalam bentuk kebijakan pengaturan dalam bentuk produk
hukum daerah sebagaimana nampak dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1.1 Data Pengaduan Masyarakat ke LBH Bali Kasus Perempuan Dan Anak
343

No Tahun Jumlah

Perempuan Anak

1 2013 36 56

2 2014 22 27

3 2015 30 27

Makin meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih belum
menjadi perhatian utama oleh pemerintah daerah terbukti masih banyak korban
kekerasan terhadap perempuan yang belum mendapatkan perhatian secara penuh.
Banyak perempuan yang merupakan korban kekerasan, masih enggan melaporkan
kasus yang menimpanya, dengan alasan:
1. Adanya rasa malu secara fisik maupun psikis untuk melaporkan kasusnya
kepada aparat yang berwajib.
2. Adanya rasa kasihan kepada suami, apabila melaporkan kejadian tersebut.
3. Ketakutan adanya balasan ketika melaporkan kejadian tersebut kepada pihak
yang berwajib.
4. Adanya keragu-raguan, bahwa masalahnya akan dapat selesai.
5. Tidak tahunya korban mengenai cara melaporkan kejadian tersebut.
6. Kesulitan ekonomi.
7. Kekhawatiran tidak dapat merawat anak-anak dengan baik, tanpa adanya
suami.
Hal-hal tersebut yang mengakibatkan masih banyak kasus kekerasan terhadap
perempuan yang belum mendapat perhatian dari pemerintah/pemerintah daerah.
Secara normatif klasifikasi korban kasus kekerasan, dalam Pasal 2 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
meliputi : a.suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,

343
Suara Dewata Com, 2016, One Billion Rising Bali Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Anak, 14 Februari 2016, h. 1.

294
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.

Dalam kaitannya dengan perlindungan anak dari berbagai perlakuan kekerasan


dan diskriminasi, maka pemerintah sudah mengeluarkan berbagai payung hukum
yang tertuang baik dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam bentuk
Undangundang lainnya seperti dalam Undang-undang HAM serta UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Di samping itu Konvensi Hak-hak Anak
(KHA) juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai upaya
terwujudnya hak anak Indonesia. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO
138 tentang batasan usia minimum untuk bekerja dan Konvensi ILO 182 tentang
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk untuk Anak. Indonesia juga telah
memiliki rencana aksi nasional penghapusan bentuk bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak. Namun kenyataannya tingginya jumlah anak-anak yang bekerja yang
sebagian besar di bawah usia 15 tahun baik di sektor formal maupun informal
masih tetap ada.
Namun demikian, kasus-kasus kekerasan terhadap anak juga masih kerap
mewarnai kehidupan anak di Provinsi Bali.
Tabel 1.2 Data Kekerasan Anak Di Provinsi Bali tahun 2012-2016

No Kabupaten Jumlah Kasus Jumlah

2012 2013 2014 2015 2016


1 Denpasar 46 45 16 48 47 202
2 Badung 26 7 11 24 28 96
3 Gianyar 7 14 19 16 19 75
4 Klungkung 5 12 0 4 1 22
5 Karangasem 25 20 44 15 13 117
6 Bangli 2 13 2 1 6 24
7 Buleleng 53 33 35 19 16 157
8 Jembrana 12 22 32 15 11 92
9 Tabanan 12 13 8 6 2 41
10 Polda Bali 1 5 3 7 3 19
Sumber : Dinas Permberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Bali
Tingginya kasus kekerasan tersebut sebaiknya diatasi dengan uapaya
pembentukan perangkat hukum daerah. Pengaturan dalam Pasal 13 ayat (1)
UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menentukan :

295
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
Tingginya jumlah perempuan dan anak yang belum terlindungi dari berbagai
bentuk kekerasan dan ekploitasi masih relatif besar. Masih ada anak-anak yang
terlantar, bekerja di jalanan, belum mendapatkan pelayanan yang optimal, putus
sekolah, menjadi korban trafficking, fedofilia, penganiayaan dan lain-lain. Kondisi
yang demikian ini mencerminkan masih kurangnya kesadaran dan kepekaan para
perencana dan penentu kebijakan untuk memprioritaskan masalah kesejahteraan
dan perlindungan anak. Berdasarkan pemahaman pentingnya perlindungan hukum
dan pemenuhan hak asasi manusia, maka dalam perlindungan hukum dan sebagai
upaya pemenuhan hak asasi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan
perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah.

Berdasarkan dasar kewenangan dan materi muatan yang dapat dituangkan dalam
Perda, maka terkait dengan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan,
dapat dipahami bahwa pembentukan Perda Perlindungan perempuan dan anak
korban kekerasan harus mendasarkan pada dasar kewenangan dan meteri muatan
yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Merujuk pada pendapat Satjipto Rahardjo yang menegaskan bahwa ada dua (2)
tahapan dalam pembentukan hukum yaitu tahapan sosiologis dan tahapan yuridis.
Dalam pembentukan Peraturan daerah yang berkaitan dengan perlindungan
perempuan dan anak korban kekerasan dapat ditegaskan kembali bahwa perlunya
perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan melalui Peraturan daerah
mendasarkan pada aspek sosiologis dan aspek yuridis. Aspek sosiologis dapat
dipahami bahwa masih maraknya perlakuan kekerasan terhadap perempuan dan
anak dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana telah disuguhkan data di atas.
Perlu juga diuraikan di sini, bahwa data yang telah disuguhkan tersebut
merupakan dasar bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat
meresahkan semua kalangan baik pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu
perlu diambil strategi dan tindakan oleh pemerintah untuk dapat meminimalisir
bahkan menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam kehidupan
masyarakat.

296
Berdasarkan fakta sosiologis tersebut berimplikasi pada aspek yuridis yaitu
diperlukan aspek pengaturan dalam bentuk Peraturan Daerah. Pembentukan
Peraturan Daerah melalui perumusan norma hukum didasarkan pada
permasalahan dan problem yang berkaitan dengan permasalahan kekerasan
terhadap perempuan dan anak sebagai korban kekerasan yang telah digali
sebelumnya. Oleh karena itu, urgensi perlindungan perempuan dan anak korban
kekerasan melalui penyusunan Peraturan Daerah di dasarkan pada aspek
sosiologis dan yuridis.
Berkaitan dengan urgensi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan
melalui Peraturan daerah, maka landasan keabsahan juga menjadi hal yang
penting dalam membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan perempuan dan
anak korban kekerasan. Landasan keabsahan tersebut adalah 1) landasan filosofis
yang dimaknai bahwa dalam merumuskan norma perlindungan perempuan dan
anak korban kekerasan harus berkesesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang
dianut yaitu keadilan dan nilai hak asasi manusia. Dalam hal ini nilai filosofis
yang terkandung dalam perumusan norma perlindungan perempuan dan anak
korban kekerasan adalah terpenuhinya rasa keadilan bagi perempuan dan anak
korban kekerasan. 2) landasan sosilogis yang dimaknai sebagai cerminan tuntutan
kebutuhan masyarakat akan norma hukum tersebut. Dalam konteks perlindungan
perempuan dan anak korban kekerasan, maka urgensi landasan sosiologis dalam
pembentukan Peraturan Daerah ditempatkan pada apakah masyarakat khususnya
perempuan dan anak korban kekerasan membutuhkan norma hukum tersebut
dalam rangka untuk mendapat perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak
perempuan dan anak korban kekerasan. Hak-hak korban kekerasan tesebut diatur
dalam Pasal 10 UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Dalam
Pasal 10 UU 23 Tahun 2004 menentukan : a. perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan; b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c.
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. pelayanan
bimbingan rohani. Selanjutnya dalam UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
juga menyebutkan bahwa korban tidak kekerasan wajib mendapat bantuan hukum
dari pemerintah. Dengan demikian urgensi landasan sosiologis dalam
pembentukan Peraturan Daerah berkaitan dengan perlindungan perempuan dan
anak korban kekerasan sangat penting dan menjadi focus perhatian para
pembentuk Peraturan Daerah. Landasan sosiologis juga didasarkan pada fakta
yang ada yaitu bahwa secara kenyataan perempuan dan anak korban kekerasan
jarang terungkap dan jarang mendapat perlakuan dan perlindungan optimal dari
pemerintah. Berdasarkan pemahaman dalam landasan sosiologis, maka

297
perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan melalui Peraturan daerah
memberikan arah dan menjamin manfaat bagi masyarakat dan perempuan dan
anak korban kekerasan. 3) Landasan yuridis merupakan landasan memiliki
konsistensi hukum baik menyangkut dasar kewenangan, prosedur pembentukan,
materi muatan. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam penyusunan Peraturan
Daerah tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, oleh Jimly Asshiddiqie, landasan
yuridis ditempatkan pada: a) sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum
yang lebih tinggi; b) menunjukan hubungan keharusan antara kondisi dengan
akibatnya; c) menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; d) oleh
lembaga yang memang berwenang untuk itu.344
Berkaitan dengan pemahaman landasan yuridis, urgensi perlindungan perempuan
dan anak korban kekerasan melalui penyusunan Peraturan Daerah adalah untuk
mendapat kepastian hukum baik bagi masyarakat, perempuan dan anak korban
kekerasan dan pemerintah. Budiono Kusumohamidjojo menempatkan kepastian
hukum pada 2 (dua) komponen utama yaitu kepastian orientasi masyarakat dan
kepastian dalam penerapan hukum oleh penegakan hukum.345 Dengan demikian
merujuk pandangan Budiono Kusumohamidjojo, kepastian hukum dalam
penyusunan Peraturan Daerah tentang perlindungan perempuan dan anak korban
kekerasan harus mencerminkan kejelasan rumusan norma, kejelasan prosedur
pembuatannya, konsistensi tujuan kebijakan yang jelas yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan kembali bahwa urgensi perlindungan
perempuan dan anak korban kekerasan melalui Peraturan Daerah ditempatkan
pada tiga
(3) landasan yaitu:
1. Landasan Filosofis yang menempatkan keadilan sebagai tujuan dalam
urgensi penyusunan Peraturan Daerah;
2. Landasan Sosiologis yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan dalam
urgensi penyusunan Peraturan Daerah; dan
3. Landasan Yuridis yang menempatkan kepastian hukum sebagai tujuan
dalam urgensi penyusunan Peraturan Daerah.
Dengan adanya Peraturan Daerah bagi Perlindungan Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan sebagai penjabaran dari Undang-Undang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
bertujuan untuk :

344
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal…, loc cit.
345
Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil: Problematik Filsafat Hukum, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 153.

298
1. Mendapatkan perlindungan dari pemerintah daerah.
2. Mendapatkan keadilan dari kasus yang diderita, dengan mendapatkan
bantuan hukum dari pemerintah.
3. Mendapatkan rasa aman
4. Mendapatkan pengobatan
5. Mendapat peluang untuk mengembalikan rasa percaya diri atau
menghilangkan rasa trauma.

2.2 Relevansi Mata Kuliah Klinik Hukum Perancangan Produk Hukum Daerah
dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Kaum Perempuan dan anak korban
kekerasan
Fakultas Hukum Universitas Udayana memiliki 7 (tujuh) program kekhususan,
diantara ketujuh Program Kekhususan tersebut, Program Kekhususan
pemerintahan merupakan salah satu program kekhususan dengan jumlah peminat
yang paling banyak. Tingginya minat untuk mengambil program kekhususan
dilatar belakangi dengan banyaknya yang tertarik untuk bekerja di instansi
pemerintahan ataupun lembaga Negara lainnya yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan. Kemampuan yang menjadi penting untuk dimiliki
adalah kemampuan untuk menjadi perancang peraturan perundang-undangan,
khususnya produk hukum daerah di Provinsi Bali. Keterampilan dan kemahiran
ini akan menjadi ―selling point‖ bagi lulusan FH UNUD dan untuk kepentingan
yang lebih luas, FH UNUD akan menyumbangkan tenaga ahli untuk
meningkatkan kualitas produk hukum daerah.346
Mata kuliah Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah mencakup aspek-aspek
teoritis dan praktis dalam penyusunan produk hukum daerah yang diawali dengan
pemahaman mengenai konsep Clinical Legal Education (CLE), klinik hukum,
perbedaan klinik hukum dengan mata kuliah praktek lainnya, serta model
pelaksanaan klinik hukum lainnya. Mata kuliah ini dimulai dengan memberikan
pengetahuan mengenai dasar-dasar Pembentukan Produk Hukum Daerah. Setelah
itu akan dilanjutkan dengan materi Perancangan Keputusan Kepala Daerah dan
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Perancangan Peraturan
Kepala Daerah
(Perkada) dan Perancangan Peraturan Daerah (Perda). Mata kuliah klinik
Perancangan Produk Hukum Daerah memberikan keterampilan dan kemahiran
kepada mahasiswa secara menyeluruh tentang proses penyusunan produk hukum
daerah. Pelaksanaan kuliah Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah
bekerjasama dengan mitra yang telah dijalin oleh FH UNUD selama ini, yakni
Pemerintah Derah se-Provinsi Bali.

346
I Nengah Suantra, et.al., 2015, Buku Ajar dan Klinik Manual Klinik Perancangan Produk Hukum
Daerah, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Udayana University Press, Denpasar, h. 1.

299
Proses pembelajaran klinik perancangan produk hukum daerah menggunakan
metode pengajar CLE yang terdiri atas planning component, experiential
component, reflection dan evaluation component. Pendekatan yang dipergunakan
adalah teoritik dan praktik. Pendekatan teoritik meliputi : teori sistem hukum
perundang-undangan / legal system; teori penjenjangan norma hukum stufenbau
theory; gelding theory; good legistation theory; ROCCIPI; teori momentum; teori
kewenangan; dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Pendekatan praktik meliputi : teknik penyusunan naskah akademik, teknik
penyusunan keputusan Kepala Daerah dan keputusan DPRD, teknik penyusunan
Peraturan Kepala Daerah dan teknik penyusunan Peraturan Daerah.347
Terkait urgensi perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan
yang dapat diwujudkan melalui penyusunan peraturan daerah serta fakta bahwa
belum semua daerah di provinsi dan kabupaten/kota se-Bali memiliki peraturan
daerah yang memuat perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak secara
optimal. Upaya yang dapat dilakukan oleh klinik perancangan produk hukum
daerah Fakultas Hukum Universitas Udayana adalah mendorong Pengarus
Utamaan Gender (PUG) dalam penyusunan produk hukum daerah yang sensitif
gender dan kesadaran akan pentingnya perlindungan terhadap anak korban
kekerasan.
Kesadaran mahasiswa akan pentingnya perlindungan bagi perempuan dan anak
korban kekerasan yang dapat diwujudkan pada produk hukum daerah, dapat
diinkorparasi pada setiap komponen pembelajaran mata kuliah klinik PPHD.
Dalam upaya tersebut, pengalaman belajar bagi mahasiswa klinik PPHD akan
diberikan melalui praktik penyusunan peraturan daerah mengenai perlindungan
bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Pemerintah Daerah Provinsi Bali
merupakan mitra Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH UNUD) dalam
penyusunan produk hukum di daerah.

Terkait keberadaan Peraturan Daerah yang sensitive gender, Kepala bidang


Pengarusutamaan Gender Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak
Provinsi Bali, Drs. I Gusti Ngurah Aryasa, MM348 menyampaikan bahwa belum
banyak Peraturan Daerah di Provinsi Bali yang sensitive gender. Perlindungan
hukum bagi anak di Provinsi Bali juga sangat penting, mengingat masih tingginya
angka anak korban kekerasan di Bali sebagaimana data yang dikumpulkan oleh
Dinas Permberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Bali dalam rentang waktu
tahun 2012-2016.

347
Ibid, h. 2.
348
Disampaikan pada FGD Hak Konstitusional Warga Negara yang diselenggarakan oleh Unit
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 28 April 2017.

300
Tahapan penyampaian pentingnya isu pengarusutamaan gender dan perlindungan
terhadap anak korban kekerasan pada mata kuliah klinik PPHD, dimulai pada
planning component, yaitu penyampaian teori terkait konsep perlindungan, konsep
perempuan dan anak korban kekerasan serta teori dan teknik penyusunan
peraturan daerah. Pembelajaran juga mendekatkan mahasiswa pada penggunaan
peraturan perundangundangan, diantaranya : Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia, Pada experiential component para mahasiswa
belajar dengan metode In house clinic akan dilaksanakan di ruang perkuliahan
Fakultas Hukum Universitas Udayana. Sedangkan External clinic akan
dilaksanakan di tempat mitra kerja yakni Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang
menjadi mitra pada penyelenggaran klinik. Pada kegiatan external clinic
mahasiswa diikutsertakan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dan
acara dengar pendapat dengan masyarakat dalam proses penyusunan Peraturan
Daerah. Dalam kegiatan ini mahasiswa memperoleh pengalaman belajar proses
penyusunan Peraturan Daerah. Komponen pembelajaran reflection dan evaluation
component dilakukan pada Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester.
Dalam konteks perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, isi
peraturan daerah yang memberikan perlindungan pada perempuan dan anak
korban kekerasan akan memberikan pemahaman kepada para mahasiswa bahwa
perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan akan menjadi lebih
optimal bila sudah ada aturan hukumnya. Melalui mata kuliah klinik hukum
perancangan produk hukum daerah di Fakultas Hukum Universitas dengan metode
pendidikan hukum klinis (clinical legal education) serta pendekatan-pendekatan
yang digunakan di dalam mata kuliah untuk mencapai keadilan sosial (social
justice) yang perlu diwujudkan dalam penyusunan produk hukum daerah.

III. Penutup
3.1 Kesimpulan
1. Urgensi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan melalui
penyusunan Peraturan Daerah, khususnya di Provinsi Bali adalah untuk
mendapat kepastian hukum baik bagi masyarakat, perempuan dan anak
korban kekerasan dan pemerintah.
2. Mata kuliah klinik perancangan produk hukum daerah sangat relevan dalam
mewujudkan keadilan bagi kaum perempuan dan anak korban kekerasan,
sebab melalui mata kuliah ini, mahasiswa akan mendapatkan value
pentingnya perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan,

301
knowledge terkait teori dan konsep mengenai perlindungan perempuan dan
anak serta skill untuk menyusun peraturan daerah yang dapat memberikan
perlindungan kepada perempuan dan anak korban kekerasan secara hukum.
3.2 Saran
1. Agar seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali memiliki Peraturan
daerah yang sensitive gender serta memberikan perlindungan secara khusus
bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
2. Mata kuliah klinik perancangan produk hukum daerah diharapkan agar
selalu mampu menjadi sarana untuk mewujudkan social justice khusuusnya
bagi kaum marjinal, yakni perempuan dan anak.

302
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil: Problematik Filsafat


Hukum, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai


Pustaka, 2005).

Disampaikan pada FGD Hak Konstitusional Warga Negara yang diselenggarakan


oleh Unit Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 28
April 2017.

Erlina, Implementasi Hak Konstitusional Perempuan Dalam Peraturan


PerundangUndangan di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 1 nomor 1
November 2012

I Nengah Suantra, dkk, Klinik Perancangan Produk Hukum Daearah


(Pembelajaran Dengan Metode Interaktif dan Reflektif),
(Denpasar,Udayana Perss, 2016. Lihat ketentuan Pasal 1 angka 18
Permendagri No. 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah.

, 2015, Buku Ajar dan Klinik Manual Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah,
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Udayana University Press,
Denpasar.

Made Pantja Astawa dan Suprin Na‘a, Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundangundangan di Indonesia, (Bandung, Alumni, 2008).
Niken Savitri, 2008, Ham Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap
KUHP, Refika Aditama, Bandung.

Suara Dewata Com, 2016, One Billion Rising Bali Hentikan Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak, 14 Februari 2016.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

303
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan


Saksi
Korban
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80.Tahun 2015

Internet http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-
para-ahli/ http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-
para-ahli/ http://www.referensimakalah.com/2013/01/konsep-perempuan.html
http://kbbi.web.id/perempuan
http://kamusbahasaindonesia.org/wanitaKamusBahasaIndonesia.org

304
IX. Access to Justice and the Criminal Law System

KONSEP PEMENUHAN HAK RESTITUSI


BAGI KORBAN KEJAHATAN

Dr. Nur Azisa


Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Email: nurazisa10@yahoo.com

Abstrak---- Declaration of Basic Principles of Justice for Victim


ofCrime and Abuse of Power, 1985 secara umum menjamin hak atas
restitusi bagi korban kejahatan dan mekanisme yang mudah dan
efektif. Namun pengaturan tentang mekanisme restitusi dalam
perundang-undangan Indonesia belum menunjukkan adanya pedoman
prosedur secara baku yang memberikan akses kemudahan bagi
korban kejahatan dalam memperoleh restitusi. Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai institusi yang diharapkan
memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan dalam
pemenuhan hak restitusi nyatanya belum mampu berbuat banyak
karena eksistensinya berada di luar sistem peradilan pidana dan
bersifat pasif. Oleh karena itu, diperlukan regulasi dalam hukum
pidana materil dan hukum pidana formil yang menjamin hakatas
restitusi dan mekanisme yang mudah dan efektif, serta pembentukan
Unit Perlindungan Korban (UPK) sebagai bentuk tanggung jawab
negara dalam memberikan pelayanan bagi korban kejahatan. Unit ini
menurut penulis tepat jika berada di bawah Kementerian Hukum dan
HAM RI.UPK berfungsi melakukan penelitian tentang peranan
korban, nilai dan bentuk kerugian korban,serta penelitian tentang
harta kekayaan pelaku untuk dapat dilakukan sita jaminan untuk
menjamin pemenuhan hak restitusi melalui penjatuhan pidana
tambahan oleh hakim.Pembentukan unit ini selaras denganThe
Services Model sebagaimana dikemukakan oleh Muladi.

Kata Kunci: Konsep, Restitusi, Korban Kejahatan.

305
I. PENDAHULUAN
Pada kongres PBB ke-VII di Milan tahun 1985, berhasil disahkan Deklarasi
Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victim ofCrime and
Abuse of Power) Majelis Umum PBB 40/34 tanggal 29 November 1985.
Deklarasi menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan akses ke pengadilan
yang mudah dan efetif atas restitusibagi korban kejahatan antara lain mengatur
sebagai berikut :349
a. Hak korban untuk mendapatkan kesempatan menggunakan mekanisme
hukum dan memperoleh ganti rugi dengan segera atas kerugian yang
dideritanya (Pasal 4),
b. Hak korban atas penetapan prosedur penyelesaian yang adil, murah dan
dapat diterima, baik formal maupun informal untuk memperoleh ganti
rugi. Korban harus diberitahu mengenai hak-haknya dalam mengupayakan
ganti rugi lewat mekanisme tersebut (Pasal 5),
c. Hak memperoleh akses kepada mekanisme informal untuk menyelesaikan
sengketa, termasuk penengahan, arbitrase dan peradilan adat (customary
justice) atau kebiasaan masyarakat adat, harus digunakan apabila tepat
untuk memudahkan perujukan dan pemberian ganti rugi (Pasal 7),
d. Para pelanggar hukum harus memberikan ganti kerugian (restitusi) kepada
para korban(Pasal 8), dan
e. Negara-negara harus meninjau kembali kebiasaan, peraturan dan undang-
undangnya untuk mempertimbangkan restitusi sebagai suatu pilihan
hukuman yang tersedia dalam kasus-kasus pidana, disamping sanksi-
sanksi pidana lainnya (Pasal 9).
Victim Declaration ini menjadipedoman dasar bagi negara-negara
internasional dalam menetapkan peraturan tentang pemberian kompensasi dan
restitusi kepada korban kejahatan. Di beberapa negara telah memiliki aturan
hukum dan lembaga yang mengatur pemberian kompensasi terhadap korban
kejahatan, diantaranya Belanda ada aturan Criminal Injuries Compensation Fund
Act/Victim Act Terwee dengan Lembaga Pengatur Pemberian Kompensasi
bernama National Victim Support Organization,Jerman dengan Crime Victim
Compensation Act dan Ministry of Work and Social Order sebagai lembaga yang
menangani pemberian kompensasi, Amerika Serikat dengan aturan Criminal
Injuries Compensation Act serta lembaganya yang disebut Criminal Injuries

349
C. de Rover, To Serve &To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 208.

306
Compensation Agency/office of CrimeVictim, dan Malaysia dengan Domestic
Violence Act 1996 dengan lembaga ―department of Justice”.350
Dalam konteks Indonesia, walaupun telah diundangkan Undang-Undang RI
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah
mengalami perubahan beberapa pasal dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 yang telah mengatur penegasan terhadap hak korban untuk
mendapatkan restitusi (Pasal 7 ayat (1)),namun prosedur pengajuan restitusi
melalui institusi LPSK masih bersifat keperdataan dalam arti bahwa korban harus
mengajukan permohonan ke LPSK, dan dalam peraturan peralihan pada UU
Perlindungan Saksi dan Korban tidak menghapuskan keanekaragaman mekanisme
pemenuhan hak atas restitusi yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian,
terdapat ketentuan yang bersifat parsial yang mengatur prosedur pemenuhan hak
restitusi, yakni inisiatif korban untuk mengajukan gugatan atau permohonan ke
pengadilan melalui beberapa mekanisme yakni gugatan perdata ke pengadilan
negeri (Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata), permohonan penggabungan perkara
gugatan ganti kerugian (Pasal 98 KUHAP), permohonan restitusi ke pangadilan
melalui LPSK (UU Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Pemerintah RI
Nomor 44 Tahun 2008), permohonan dan pengajuan restitusi ke penyidik dan
penuntut umum mencantumkan dalam tuntutannya (Undang-Undang RI Nomor
21 Tahun 2007).
Selain itu, restitusi bisa didapatkan melalui kebijaksanaan hakim dalam
putusannya terkait penjatuhkan syarat khusus pembayaran ganti rugi bagi pelaku
kejahatan dalam pidana bersyarat (Pasal 14c ayat (1) KUHP), penjatuhkan pidana
tambahan dalam tindak pidana tertentu (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998
tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan).
Fenomena pengaturan tentang mekanisme restitusi sebagaimana tersebut di
atas belum menunjukkan adanya pedoman prosedur secara baku yang
memberikan akses kemudahan bagi korban kejahatan dalam memperoleh restitusi.
Saat ini para korban pencari keadilan belum bisa menaruh harapan besar
kepada LPSK untuk dapat berbuat banyak bagi kepentingan korban mengingat
kedudukan LPSK masih berada di luar sistem peradilan pidana dan bersifat pasif.

350
Johnny Ibrahim, Gagasan Pengaturan Kompensasi Bagi Korban Tindak Pidana, Jurnal
Ilmiah,Universitas Bayangkara, Surabaya, 2013, hal. 6.

307
Kewenangan pendampingan LPSK menurut UU Perlindungan Saksi dan Korban
Tahun 2006 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2014 hanya akan ada
dan diberikan jika korban mengajukan permohonan. Hal ini akan sangat mustahil
memenuhi aspirasi seluruh korban kejahatan karena pada umumnya korban tidak
mengetahui eksistensi dan mekanisme dari lembaga ini serta kedudukannya yang
hanya ada di Jakarta, dan terlebih lagi aparat penegak hukum tidak dapat berperan
ganda dalam memenuhi kewajiban penyelesaian perkara pidana dan pemenuhan
hak restitusi korban, sehingga diperlukan sebuah institusi untuk memperjuangkan
hal tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah Bagaimanakah regulasi perundang-undangan hukum
pidana materil dan hukum pidana formil perihal restitusi? dan Bagaimanakah
bentuk institusi perlindungan korban oleh negara?

II. PEMBAHASAN
A. REGULASI PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM PIDANA PERIHAL
RESTITUSI
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk bidang
penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement
policy, criminal policy, dan social policy. Dengan demikian pembaharuan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan untuk memperbaharui subtansi hukum
(legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum,
merupakan bagian dari kebijakan untuk mengatasi masalah sosial dan masalah
kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu social
defence dan social welfare. Secara praktis pada intinya pembaharuan hukum
pidana merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi) pokok-
pokok pemikiran, ide-ide dasar atau nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik dan
sosio-kultural yang melandasi kebijakan pembentukan hukum.351
Dalam pembentukan hukum harus ada jaminan perlindungan hak asasi
manusia.Jaminan hak asasi manusia harus diatur dan dijamin secara berimbang
dan berkeadilan.Korban kejahatan juga merupakan subyek hukum yang
mempunyai kepentingan hukum yang harus dilindungi dalam hukum pidana.
Tidak lantas hanya diposisikan sebagai objek atau alat untuk mewujudkan tujuan
pembangunan hukum, akan tetapi salah satu tujuan pembangunan hukum adalah
mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh termasuk kesejahteraan
masyarakat korban-korban kejahatan. Untuk itulah kebijakan hukum pidana selain
beroerinetasi pada upaya penanggulangan kejahatan dan perlindungan hak-hak

351
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 3.

308
tersangka, terdakwa, terpidana maka perlindungan terhadap korban kejahatan
merupakan suatu langkah obyektif dalam mewujudkan negara kesejahteraan.
Rancangan KUHP 2012 telah memberikan harapan baru kepada para korban
untuk memperoleh keadilan dengan dimasukkannya sanksi pidana tambahan ganti
rugi sebagai salah satu pidana tambahan (Pasal 67).Walaupun demikian itu
tidaklah cukup karena untuk memaksimalkan perwujudannya diperlukan suatu
institusi yang memperjuangkannya dalam sistem peradilan pidana, diperlukan
penguatan daya eksekusinya. Semua realitas ini tidak diatur dalam rancangan
konsep KUHP 2012 oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pengaturan hukum
perlindungan korban dalam rancangan KUHP tersebut masih perlu dilakukan
perubahan disesuaikan dengan kebutuhan perlindungan korban kejahatan dalam
hal pemenuhan restitusi.
Kebijakan hukum pidana yang harus dilakukan dalam rangka
memaksimalkan hukum perlindungan korban (restitusi) meliputi regulasi hukum
pidana materil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana. Regulasi
undang-undang hukum pidana materil (KUHP) :
a. Jaminan kepastian hak atas restitusi bagi korban kejahatan diatur dalam
KUHP sebagai lex generalis-nya.
b. Pembayaran restitusi sebagai pidana tambahan dalam KUHP. Rancangan
KUHP 2012 Pada Pasal 67 menggunakan istilah pidana tambahan
pembayaran ganti kerugian padahal istilah ini agak rancuh karena istilah
ganti kerugian sifatnya keperdataan. Oleh sebab itu karena hal ini
menyangkut atau berhubungan langsung dengan tindak pidananya maka
istilah yang paling tepat digunakan dalam rancangan konsep KUHP adalah
pidana tambahan pembayaran restitusi.
c. Konsistensi penerapan pidana bersyarat dengan syarat khusus pembayaran
ganti rugi bagi jenis kejahatan tertentu.
d. Pengaturan mengenai bentuk-bentuk restitusi (uang, pengembalian harta
milik), kerugian materil atau immaterial.
e. Indikator korban yang mendapat pelayanan pendampingan dalam upaya
memperoleh restitusi (berpatisipasi sebagai saksi, analisis peranan korban,
residive korban, korban yang sangat membutuhkan dan tidak mendapat
restitusi dari pelaku)
f. Pengaturan subsider kurungan pengganti apabila restitusi tidak dibayar.
g. Pembayaran restitusi sebagai alasan peringanan pidana pelaku.
Regulasi undang-undang hukum pidana formil meliputi :
a. Mekanisme pemenuhan hak atas restitusi diatur secara lex generalis dalam
KUHAP. Keaneka ragaman mekanisme yang ada selama ini tidak efektif
dan efisien.
b. Pengutamaan langkah mediasi (non litigasi) yang dilakukan oleh Unit
Perlindungan Korban dalam upaya pemulihan kerugian korban.

309
Kewenangan ini tidak diberikan kepada penyidik, penuntut umum untuk
menjaga obyektivitas penanganan perkara tindak pidananya.
c. Kemungkinan diversi terhadap tindak pidana ringan terhadap pelaku anak
dan pelaku lanjut usia (Misalnya usia pelaku di atas 60 tahun, kejahatan
ringan dengan nilai kerugian tidak terlalu besar, tindak pidana aduan)
dengan beberapa persyaratan sebagai indikatornya. Dan jika prosedur
mediasi dan diversi tidak dapat dicapai atau dilakukan maka mekanisme
untuk mendapatkan restitusi dilakukan melalui kebijaksanaan hakim dalam
putusan pidana tambahan atau melalui penjatuhan pidana bersyarat dengan
syarat khusus pembayaran restitusi.
d. Penyidik, penuntut umum, hakim diperluas kewenangannya untuk
memberikan pelayanan dan perlindungan kepada korban kejahatan dan
diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan dan petunjuk teknis
operasional. Misalnya di setiap tingkat pemeriksaan penyidik, penuntut
umum menyampaikan hak korban untuk memperoleh restitusi.
e. Penyidik memasukan dalam BAP fakta peranan korban dalam kejahatan,
bentuk dan besaran kerugian korban yang merupakan hasil penelitian dan
analisis UPK sebagai bahan pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan
putusan bagi pelaku kejahatan yang berkeadilan dan bernuansa restorasi.
f. Pengaturan kewenangan UPK yang meliputi : peran sebagai mediator
dalam upaya pemenuhan ganti rugi korban, melakukan analisis dan
penelitian tentang peranan korban dalam terjadinya kejahatan, melakukan
analisis dan perhitungan tentang bentuk dan besarnya kerugian korban
dengan melakukan verifikasi berdasarkan fakta dan kebenaran formal,
melakukan inventarisir harta benda pelaku kejahatan untuk kemungkinan
dilakukan sita jaminan atas barang milik pelaku yang dalam hukum
perdata disebut sebagai conservatoirbeslag.
g. Koordinasi antara penyidik, penuntut umum dan UPK sangat dibutuhkan
dalam mengupayakan kepentingan korban dalam sistem peradilan pidana.
Regulasi undang-undang hukum pelaksanaan pidana (penguatan daya paksa
eksekusi restitusi) merupakan kebijakan yang perlu dipikirkan dan ditindak lanjuti
mengingat dalam perundang-undangan yang ada terdapat kekosongan hukum
yang pengaturannya tidak mengupayakan secara maksimal kemungkinan dapat
terlaksananya eksekusi restitusi dan tidak serta merta langsung beralih kepada
subsider pidana penjara pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (2)
Rancangan KUHP 2012) jika pelaku tidak mampu membayar. Hal ini perlu
dilakukan sebab pada kenyataannya beberapa pelaku kejahatan bukan tidak
mampu tapi tidak mau membayar restitusi karena beranggapan pembayaran
restitusi tidak menghapuskan pidana pokok yakni penjara yang tetap harus
dijalaninya.
Adapun regulasi penguatan daya eksekusi yang dapat dilakukan meliputi :

310
a. Upaya sita jaminan (conservatoir beslag)pada tahap penyidikan terhadap
harta benda pelaku kejahatan sebagai penguatan atau upaya maksimal
untuk dapat merealisasikan pemenuhan restitusi korban yang didapat
melalui putusan hakim. Langkah ini penting dilakukan untuk mengisi
kekosongan hukum penguatan daya eksekusi untuk menghindari sedini
mungkin penjatuhan subsider pidana kurungan pengganti jika restitusi
dinyatakan tidak mampu dibayar oleh pelaku. Konstruksi sita jaminan
dapat dipergunakan dalam hukum pidana untuk memastikan penjatuhan
putusan pidana pembayaran restitusi dapat dengan mudah dieksekusi
karena sejak awal telah dilakukan langkah-langkah preventif kemungkinan
itikad tidak baik dari pelaku kejahatan yang sebenarnya tergolong mampu
untuk membayar dan mempunyai harta milik. Demikian pula sedini
mungkin dapat dihindari penerapan hukuman subsider kurungan
pengganti.
b. Pertanggungjawaban pengganti secara perdata berdasarkan Pasal 1367
KUHPerdata yang menegaskan bahwa :
Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Orangtua dan wali bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh
anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap
siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali.
Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-
urusan mereka, bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh
pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan kepada orang-orang itu.
Guru sekolah atau kepala tukang bertanggungjawab atas kerugian yang
disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu
orang-orang itu berada di bawah pengawasannya.

Ketentuan ini dapat dijadikan dasar untuk memaksimalkan


pemenuhan hak atas restitusi jika sekiranya pelaku kejahatan
tergolong orang yang berada dalam penguasaan dan tanggungjawab
orangtua/wali, majikan, guru, kepala tukang tidak dapat memenuhi
kewajibannya untuk membayar restitusi.Tanggung jawab pelaku anak
yang dibebani kewajiban membayar ganti kerugian kepada korban,
tanggung jawab ini dapat dialihkan kepada orangtua/walinya. Tapi
sangat disayangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sanksi pidana tambahan
pembayaran ganti kerugian telah dihapuskan, padahal solusi

311
eksekusinya dapat diterapkan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata
yakni pertanggungjawaban penganti secara perdata mengingat pidana
pembayaran ganti kerugian merupakan fungsi restorasi dan bukan
fungsi penjeraan.
c. Pembayaran oleh ahli waris secara timbal balik yakni antara orangtua
dan anak, suami dan istri sebagai pelaku kepada korban kejahatan jika
sekiranya pelaku telah diputus bersalah kemudian meninggal dunia.
Konstruksi ini didasarkan pada Pasal 1826 KUHPerdata yang
menegaskan bahwa :
―Perikatan-perikatan penanggung beralih kepada para ahli warisnya‖.
d. Pembayaran secara bertahap atau menyicil atas dasar kesepakatan
antara pelaku dan korban kejahatan.
e. Pembayaran secara tanggung renteng dalam hal deelneming
(penyertaan).
Daya paksa sebagaimana tersebut diatas dapat ditindak lanjuti dengan
konsinyasi, selain itu kemungkinan dilakukannya lelang terhadap harta kekayaan
pelaku untuk memenuhi tanggungjawabnya yang kemungkinan besar akan
dijatuhkan dalam putusan hakim. Konsinyasi berarti penitipan uang atau barang
pada pengadilan guna pembayaran suatu hutang.Konsinyasi diawali dengan
penawaran pembayaran yang disusul dengan penitipan pada pengadilan (Pasal
1404-1412 KUHPerdata). Konstruksi ini dipergunakan untuk memaksimalkan
pembayaran restitusi bagi korban kejahatan perdagangan orang sebagaimana
diatur dalam Pasal 48 (5) Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Perdagangan Orang bahwa restiusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
Manfaat konsinyasi adalah untuk mendapatkan kepastian pemenuhan hak atas
restitusi dan untuk menjaga dan menjamin kewibawaan putusan hakim yang telah
menerapkan pengurangan pidana pelaku sebagai akibat adanya itikad baik berupa
penawaran pembayaran restitusi oleh pelaku kejahatan.
B. PEMBENTUKAN UNIT PERLINDUNGAN KORBAN DI
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
Hukum adalah suatu sistem yang bekerja untuk mewujudkan
tujuannya.Sistem mempunyai dua pengertian yang penting untuk
dikenali.Pertama, sistem sebagai suatu jenis satuan, yang mempunyai tatanan
tertentu, tatanan dalam hal ini menunjukkan kepada suatu struktur yang tersusun
dari bagian-bagian.Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metoda atau prosedur
untuk mengerjakan sesuatu.352Secara umum sistem berorientasi pada tujuan,

352
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep,Komponen &
Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Bandung: Widya Padjajaran, 2009, hal.
29.

312
sistem tersusun dari beberapa bagian, dan bagian-bagian tersebut bekerja saling
berintegrasi.Bagian-bagian dalam sistem tersusun berdasarkan tujuan yang hendak
dicapai.Demikian pula halnya dengan peradilan pidana, bekerjanya sistem selalu
berorientasi pada kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum dan tujuan
hukum yang hendak dicapai. Tujuan dari sistem peradilan pidana yang bekerja
selama ini adalah353:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Model yang dibangun selama ini dalam sistem peradilan pidana atas dasar
hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht) yang bertumpu pada pelaku kejahatan
sudah saatnya ditinggalkan.Menurut Muladi bahwa model yang realistik adalah
model yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh
hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan
individu, kepentingan pelaku dan korban kejahatan.Model yang bertumpu pada
konsep daad-daderstrafrecht ini oleh Muladi disebut Model Keseimbangan
Kepentingan.354 Jika demikian halnya pemahaman hukum dan apa yang menjadi
tujuan hukum maka sistem peradilan pidana seharusnya bekerja menciptakan
keadilannya pula bagi kepentingan korban kejahatan. Untuk itu dalam sistem
peradilan pidana diperlukan peran lembaga atau institusi yang bekerja untuk
membantu hakim menemukan kebenaran materil dalam rangka menciptakan
keadilan sekaligus memperjuangkan kepentingan korban kejahatan dalam sistem
peradilan pidana.Dengan mengacu pada Model Pelayanan (The Services Model)
yang tampak pada perundang-undangan di Indonesia maka peran lembaga yang
fungsi dan kewenagannya berorintasi pada kepentingan korban kejahatan
sangatlah diperlukan mengingat pada model pelayanan (the Services Model)
posisi korban tidak sebagai subyek yang mempunyai hak-hak yuridis yang luas
sebagaimana halnya pada model hak-hak prosedural (the Prosedural
RightsModel). Pada Model hak-hak prosedural penekanan diberikan pada
dimungkinkannya korban untuk memainkan peranan aktif di dalam jalannya
proses peradilan. Misalnya korban diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana
atau membantu jaksa, korban dimintai pendapatnya oleh lembaga pemasyarakatan
sebelum diberikan pelepasan bersyarat dan sebagainya. 355

353
Mardjono Reksodiputro, Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sisitem peradilan
Pidana(Kumpulan Karangan Buku Kedua), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI,
Jakarta, 1994, hal. 84.
354
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995, hal.5.
355
Ibid. hlm. 67.

313
Sedangkan dalam model pelayanan korban bersifat pasif dan merupakan
pihak yang perlu mendapat pelayanan dan kemudahan untuk kepentingannya
dalam sistem peradilan pidana.Hakikinya penerapan the servismodel sangat
membutuhkan peran dan kewenangan yang kuat suatu lembaga yang bekerja dan
berorintasi pada kepentingan korban kejahatan. Korban dalam sistem peradilan
pidana sebagai pihak yang perlu dilindungi dan diperhatikan kepentingannya
maka pada model pelayanan diperlunya standar baku bagi penegak hukum (polisi,
jaksa, hakim) dalam bentuk pedoman Standarisasi Pelayanan Terpadu terhadap
korban kejahatan. Khusus menyangkut restitusi standar baku bagi aparat penegak
hukum sangatlah penting mengingat paradigma criminal justice sudah sejak lama
mendominasi pemikiran dan pola penanganan terhadap perkara pidana oleh aparat
penegak hukum tanpa memperdulikan korban kejahatan. Model Standarisasi
Pelayanan Terpadu (the services model) di tingkat penyidikan dan penuntutan
menuntut aparat penyidik dan penuntut umum untuk memposisikan korban
sebagai subyek yang perlu diberikan pelayanan misalnya ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang TPPO yang menurut penulis merupakan satu-satunya
undang-undang yang aspiratif yang memberikan pelayanan dan perhatian terhadap
korban TPPO sebagai cerminan dari the services model.
Korban tindak pidana perdagangan orang menurut ketentuan penjelasan Pasal
48 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 menegaskan bahwa
―mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus
yang dialaminya kepada kepolisian setempat dan ditangani oleh penyidik
bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum
memberitahu kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi,
selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban
akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan‖.Dalam
mekanisme tersebut korban dapat langsung menyampaikan permohonan
restitusinya kepada penyidik dan ditangani bersamaan dengan penanganan tindak
pidananya, selanjutnya dicantumkan dalam tuntutan penuntut umum.
Selain itu pula terkait korban TPPO, dalam Petunjuk Teknis Pengajuan
Restitusi berdasarkan Surat JAMPIDUM No 3718/E/EJP/11/2012 tanggal 28
Nopember 2012 Perihal Restitusi dalam Perkara Tindak Pidana Perdagangan
Orang : ―.......diingatkan kepada para jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani
perkara tindak pidana perdagangan orang (trafficking in person) dimana korban
belum mengajukan restitusi pada tahap penyidikan : a. Agar jaksa penuntut umum
memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi
berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan,
biaya untuk perawatan medis, kerugian lain yang diderita korban akibat
perdagangan orang; b. Dalam tuntutan pidana, jaksa penuntut umum
menyampaikan secara bersamaan jumlah kerugian yang diderita korban akibat
perdagangan orang‖. Dalam tahap prapenuntutan, Jaksa peneliti terkait berkas
perkara TPPO yang belum mencantumkan restitusi telah memberikan petunjuk

314
agar restitusi dijadikan sebagai subtansi pemeriksaan, baik pemeriksaan terhadap
saksi korban maupun terhadap tersangka.Meminta penyidik untuk melakukan
mediasi (dilakukan bukan dalam rangka penghentian penanganan perkara pidana),
tetapi untuk mencari kesepakatan besarnya restitusi yang dimintakan oleh korban
dengan kemampuan tersangka membayar restitusi. Selanjutnya pada tahap
penuntutan, apabila di tingkat penyidikan tidak tercapai kesepakatan maka secara
progresif jaksa penuntut umum pada saat dilakukan penyerahan berkas Tahap ke
II kembali mencoba melakukan mediasi tentang restitusi yang dimintakan oleh
korban dengan kemampuan tersangka/terdakwa.356
Mekanisme tersebut diatas jelas menuntut peran ganda dari aparat penyidik
dan penuntut umum untuk turut peduli pada kepentingan korban di samping tugas
utama dalam penyelesaian perkara tindak pidananya. Untuk itu diperlukan standar
baku yang menjadi panduan aparat penegak hukum dan dalam penanganan
perkara TPPO standar baku tersebut di atas dapat dikembangkan dan dijadikan
pedoman dalam pembuatan standar umum dalam penanganan perkara pidana pada
umumnya.
Demikian pula model pelayanan (the services model) bagi hakim dapat
berupa partisipasi aktif hakim untuk mengungkap fakta penderitaan korban di
samping perbuatan tindak pidana pelaku yang pada akhirnya dalam putusan hakim
dapat berupa pemberian restitusi menjadi model pelayanan yang memberikan
keadilan yang restoratif.
Penerapan model pelayanan yang membatasi ruang gerak korban untuk
mengitervensi administradi peradilan pidana menuntut keberadaan lembaga yang
proaktif dalam sistem peradilan pidana yang menjembatani dan memperjuangkan
kepentingan korban kejahatan.
Untuk menyeimbangkan kepentingan korban tindak pidana dengan pelaku
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana maka sangatlah penting dibentuk
suatu unit atau lembaga perlindungan korban kejahatan dan untuk memperkuat
kedudukannya dan sebagai bentuk tanggung jawab negara maka keberadaan unit
ini harus berada dalam lembaga struktural pemerintahan dan yang paling relevan
berdasarkan hal dimaksud adalah berada di Kementerian Hukum dan Hak
AsasiManusia berdampingan dengan keberadaan Bapas. Jika Bapas orientasinya
adalah pelaku kejahatan maka Unit Perlindungan Korban (UPK) khusus korban
kejahatan. Fungsi dan kewenangan UPK hampir sama dengan Bapas yakni
melakukan penelitian dan membuat laporan hasil analisis tentang peranan korban,
dampak kejahatan bagi korban, bentuk dan nilai kerugian korban kejahatan.
Pembentukan UPK ini sebagai konsekwensi dimasukkannya sanksi
pembayaran ganti kerugian (restitusi) sebagai pidana tambahan dalam Rancangan
KUHP, Tugas dan fungsi UPK melakukan penelitian dan verifikasi peranan
korban dalam terjadinya kejahatan, dampak kejahatan bagi korban, bentuk dan
356
Nana Riana, Restitusi Korban TPPO dalam Praktik Hukum, Makalah, Jakarta, 2014, hal. 9.

315
nilai kerugian korban.357Keberadaan UPK dalam sistem peradilan pidana
mempunyai dampak yang tidak hanya bagi korban kejahatan tetapi secara
otomatis terkait dengan fungsi sub sistem peradilan dalam membantu hakim
memberikan keadilan bagi pelaku kejahatan. Kebijakan pembentukan UPK dalam
sistem peradilan pidana berdampak pada dua kepentingan hukum yakni :
1. Kepentingan pelaku kejahatan
Untuk mendapatkan keadilan bagi pelaku dalam pemidanaannya, hakim harus
mempertimbangkan laporan analisis victim dari UPK. UPK berdasarkan
kewenangannya, sejak pemeriksaan tindak pidana di tingkat penyidikan membuat
analisis fakta peranan korban dari sudut kajian victimologi menentukan seberapa
besar perbuatan atau sikap korban yang menjadi stimulan terwujudnya tindak
pidana sehingga menjadi alasan yang meringankan atau memberatkan pidana
pelaku.Demikian pula analisis dampak penderitaan korban dan analisi ini
sekaligus menjadi indikator syarat perolehan pendampingan oleh UPK atas upaya
memperjuangkan restitusi melalui mekanisme litigasi atau non litigasi.
Kedudukan UPK dalamhal ini disamakan dengan peranan pembimbing
kemasyarakatan dari Bapas yang melakukan penelitian kemasyarakatan dalam
perkara anak nakal dan hasil analisis, laporan serta rekomendasi Bapas dijadikan
salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan demi kepentingan
terbaik bagi anak. Demikian pula halnya dengan hasil laporan UPK dapat
dijadikan salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan keadilan bagi
pelaku dari aspek pemidanaan.
2. Kepentingan korban kejahatan
Kebijakan kewenangan UPK dalam hal ini melakukan verifikasi bentuk
kerugian/penderitaan dan perhitungan jumlah kerugian korban untuk selanjutnya
diupayakan melalui mekanisme non litigasi (mediasi) atau mekanisme litigasi
(putusan hakim).Pada mekanisme mediasi, UPK dapat berperan sebagai mediator
di setiap tingkat pemeriksaan perkara. Kenyataan yang ada selama ini khususnya
dalam perkara ringan dan lalu lintas atau bahkan beberapa kasus lainnya, pihak
kepolisian berperan sebagai mediator. Keadaan ini tidak menguntungkan sisi
obyektivitas pemeriksaan perkara pidana mengingat aparat kepolisian mempunyai
kepentingan dalam penyelesaian kasus pidananya sehingga untuk menjaga
netralisasi maka fungsi mediator sebaiknya tidak dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
Pada mekanisme litigasi hasil verifikasi dari UPK mengenai bentuk dan nilai
kerugian dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam penerapan pidana
pembayaran ganti kerugian kepada pelaku.
Selain itu sejak awal UPK melakukan verifikasi asset harta benda pelaku
kejahatan yang dapat dikenakan sita jaminan sebagai penguatan daya eksekusi

357
Nur Azisa, et.al., Compensation and Restitution for Victim of Crime as the
Implementation of Justice Principle, Journal of Research in Humanities and Social Science,
Volume 3, Issue 6 (2015) : 6

316
putusan restitusi. Hal ini penting untuk dilakukan karena dalam beberapa kasus
pelaku bukan tidak mampu untuk membayar restitusi sebagaimana diwajibkan
oleh hakim tetapi pelaku berpandangan bahwa dengan tetap dijalaninya pidana
pokok maka mereka menganggap untuk apa lagi memberikan ganti rugi kepada
korban karena tidak akan menghapuskan pidana. Sehingga solusi subsider
kurungan pengganti menjadi pilihan hukum untuk diterapkan bagi pelaku, tapi
penerapan ketentuan subsider ini pada akhirnya korban tidak mendapatkan
pemulihan.
Realitas itulah yang membuat perlunya dibentuk UPK dan salah satu
kewenangannya adalah bagaimana mengupayakan agar putusan hakim berupa
pembayaran ganti kerugian dari pelaku dapat direliasasikan dengan mengadakan
upaya antisipatif dengan melakukan verifikasi harta kekayaan pelaku untuk
dilakukan sita jaminan atau kemungkinan pihak ketiga (orang tua, anak,
suami/istri, majikan sesuai ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata) untuk membayar
ganti kerugian korban karena pelaku tidak mempunyai harta milik (Pertanggung
jawaban pengganti). Tentunya dengan kewenangan yang ada pada UPK
diperlukan koordinasi dengan sub sistem dalam sistem peradilan pidana yakni
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam memaksimalkan tugas dan tanggung
jawabnya.
Dengan demikian ruang lingkup kewenangan UPK dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Sebagai mediator dalam proses mediasi antara pelaku dan korban;
b. Melakukan penelitian dan analisis yang dituangkan dalam bentuk victim
report tentang peranan korban, dampak kejahatan bagi penderitaan korban,
bentuk dan besarnya kerugian.
c. Melakukan verifikasi dan memberikan rekomendasi terhadap korban yang
layak untuk mendapatkan pendampingan berdasarkan analisis
victimreport. Syarat bagi korban untuk mendapatkan pendampingan,
indikatornya dapat berupa : tingkat intensitas peranan korban dalam
terjadinya kejahatan, korban tergolong sangat membutuhkan pemulihan,
korban melaporkan kejahatan dan ikut berperan membantu dalam proses
pembuktian dan sebagainya.
d. Melakukan penelitian tentang harta kekayaan pelaku untuk dapat
dilakukan sita jaminan atau kemungkinan pihak ketiga (orang tua, anak,
suami/istri, majikan) yang bersedia membayar restitusi dan dititip di
pengadilan (konsinyasi);
e. Membacakan victim report di depan persidangan yang oleh hakim dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan alasan memberatkan pidana
(dampak kejahatan terhadap korban, tidak ada itikad baik pelaku untuk
memberikan ganti rugi dalam proses mediasi sebelumnya) atau alasan
meringankan pidana (peranan korban sangat signifikan memicu terjadinya
kejahatan, pelaku telah memberikan pemulihan kerugian), selain itu

317
didalamnya memuat hasil analisis bentuk dan besarnya kerugian korban
sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan dalam penerapan
pidana bersyarat atau penjatuhan sanksi pidana tambahan pembayaran
restitusi.

318
III. PENUTUP
Terdapat kecenderungan lemahnya subtansi hukum yang mengatur
mekanisme pemenuhan hak atas restitusi dalam hukum positif Indonesia antara
lain terdapat keanekaragaman mekanisme, institusi penegak hukum kurang
berperan dalam memberikan pelayanan atau akses kemudahan dalam memperoleh
restitusi. Untuk memaksimalkan upaya pemenuhan hak atas restutusi bagi korban
kejahatan diperlukan perbaikan atau regulasi hukum pidana materil dan hukum
pidana formil serta penguatan daya paksa restitusinya.
Pembentukan Unit Perlindungan Korban (UPK) di Kementerian Hukum Dan
Hak Asasi Manusia sangat urgen sebagai konsekwensi dimasukkannya sanksi
pembayaran ganti kerugian (restitusi) sebagai pidana tambahan dalam Rancangan
KUHP, Tugas dan fungsi UPK melakukan penelitian dan verifikasi peranan
korban dalam terjadinya kejahatan, dampak kejahatan bagi korban, bentuk dan
nilai kerugian korban. Keberadaan UPK dalam sistem peradilan pidana
mempunyai dampak yang tidak hanya bagi korban kejahatan tetapi secara
otomatis terkait dengan fungsi sub sistem peradilan dalam membantu hakim
memberikan keadilan bagi pelaku kejahatan

319
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
C. de Rover, To Serve &To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2000.
Johnny Ibrahim, Gagasan Pengaturan Kompensasi Bagi Korban Tindak Pidana,
Jurnal Ilmiah,Universitas Bayangkara, Surabaya, 2013.
Mardjono Reksodiputro, Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sisitem
peradilan Pidana(Kumpulan Karangan Buku Kedua), Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1994.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1995.
Nana Riana, Restitusi Korban TPPO dalam Praktik Hukum, Makalah, Jakarta,
2014.
Nur Azisa, et.al., Compensation and Restitution for Victim of Crime as the
Implementation of Justice Principle, Journal of Research in Humanities and
Social Science, Volume 3, Issue 6 (2015).
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep,Komponen &
Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia). Widya Padjadjaran,
Bandung, 2009.

320
X. Clinic Management, Curriculum, and Methods.

MEMBENTUK KARAKTER PROFESIONAL, HANDAL, DAN


PARTISIPATIF MAHASISWA MELALUI CLINICAL LEGAL
EDUCATION

Sri Wahyuni S., Sitti Syahrani Nasiru, Abdul Muhaimin Rahim Mulsin, Aldy
Rinaldy Latif, Fitriani, Fenny Afriyanti

Abstrak – Clinical Legal Education (Klinik Hukum) merupakan salah satu wadah
pengembangan diri mahasiswa, khususnya mahasiswa hukum dalam ranah
praktis. Berkaitan dengan ranah praktis, ada tiga karakter utama yang harus
dibentuk dalam diri seorang mahasiswa hukum sebagai calon penegak keadilan
yaitu pertama, profesional. Karakter ini sebenarnya sangat penting karena
berkaitan dengan pribadi seseorang, berkaitan dengan integritasnya sebagai
mahasiswa hukum, serta independensi sebagai calon penegak hukum. Kedua,
handal. Seseorang yang bergelut dalam ranah praktis harus memiliki karakter
handal, hal ini berkaitan dengan skill sebagai mahasiswa hukum. Skill yang
dimaksud di sini yaitu kemampuan melakukan pendampingan hukum,
menganalisis isu hukum, membuat dokumen-dokumen hukum, serta mampu
memberikan solusi yang terbaik terhadap setiap permasalahan yang sedang
dihadapi oleh bangsa ini. Ketiga, partisipatif. Karakter tersebut sangat berkaitan
dengan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan, karena mahasiswa hukum
harus menjadi patron dalam mengawal perubahan. Oleh sebab itu karakter
partisipatif perlu untuk dibentuk dan dikembangkan dengan baik. Untuk mencapai
hal tersebut, beberapa hal yang harus dipikirkan yaitu bagaimana strategi
pelaksanaan yang ideal, bagaimana peluang dan tantangan yang dihadapi, serta
bagaimana solusi menghadapi tantangan tersebut. Maksud dan tujuan penelitian
ini intinya adalah untuk menemukan langkah strategis pelaksanaan Clinical Legal
Educationagar mampu membentuk karakter profesional, handal, dan partisipatif
mahasiswa. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris
dengan melakukan observasi langsung terhadap pelaksanaan Clinical Legal
Education saat ini, untuk mengukur kekurangan dan kelebihan, serta efektivitas
pelaksanaan dalam mencapai visi dan misinya. Data yang diperoleh akan diolah
dengan teknik content analysis untuk mendeskripsikan pelaksanaan klinik hukum
saat ini agar dapat menghasilkan kesimpulan yang memberikan solusi aplikatif.

Kata Kunci: Handal, Legal Clinical Education, Mahasiswa, Partisipatif,


Profesional.

321
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, wacana mengenai pendidikan karakter semakin mendapat
perhatian dari berbagai pihak. Banyaknya fenomena yang mencerminkan
degradasi moral dalam konteks kebangsaan telah membuat semua pihak kawatir
dan prihatin. Tidak bisa dipungkiri, kini perilaku-perilaku tercela seolah menjadi
suatu hal yang biasa terjadi. Situasi ini sesungguhnya memberikan ancaman
tersendiri bagi perkembangan generasi muda. Generasi yang seharusnya memiliki
figur teladan dan mampu memberikan rasa aman, justru dihadapkan pada
kenyataan demi kenyataan yang semakin menggelisahkan. Kini sangat sulit
ditemukan figur teladan yang mampu menegakkan sikap-sikap luhur. Faktanya,
korupsi yang menggurita, kemunculan mafia pangan, perselingkuhan yang
dilakukan oleh kalangan terdidik, dan kekerasan kepada pihak yang lebih inferior
semakin marak terjadi. Ironisnya, perbuatan tidak bermoral itu banyak dilakukan
oleh pejabat pemerintah dan insan yang mengenyam pendidikan tinggi. 358 Padahal
seharunya pendidikan tinggi menjadi jembatan untuk membentuk karakter
generasi muda bangsa ini.
Membicarakan karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar.
Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang.
Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah ‗membinatang‘. Orang-orang
yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang
memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik, dan mereka yang memiliki
akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik akan mampu memupuk karakter
profesional, handal dan partisipatif dalam dirinya. Mengingat begitu urgennya
karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk
menanamkannnya melalui proses pembelajaran.359 Dalam konteks masa kini,
penguatan pendidikan karakter sangat relevan untuk mengatasi krisis moral. Tidak
bisa dipungkiri, saat ini telah terjadi krisis moral yang mengancam pertumbuhan
jiwa generasi muda. Hal itu ditengarai dengan meningkatnya fenomena pergaulan
bebas, maraknya angka kekerasan yang dilakukan anak dan remaja, kejahatan
terhadap teman sebaya, dan lain sebagainya. Banyak yang menduga, dunia
pendidikan belum mampu mencetak generasi kuat dan baik. Dan, hal ini
seharusnya menjadi bahan evaluasi yang berharga bagi setiap elemen bangsa.
Pendidikan seringkali dituduh sebagai penyebab utama terjadinya degradasi
moral pemuda Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan
yang ada di Indonesia hanya terfokus pada aspek kognitif. Padahal perlu menjadi
perhatian khusus bahwa untuk membentuk manusia yang bermoral tinggi
358
Budiharjo, 2015, Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa), Yogyakarta: Samudra
Biru, hlm. 1
359
Zubaedi, 2013, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta: Kencana, hlm.1.

322
dibutuhkan tiga aspek yang saling terkait yaitu Intellegence Quotient (IQ),
Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Ketiga aspek ini harus
menjadi fokus utama dalam sistem pendidikan Indonesia, tidak hanya berfokus
pada aspek IQ seperti yang terjadi saat ini.
Mencerdasakan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan Negara
Republik Indonesia sebagaimana termaktub pada alinea keempat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Namun perlu
diperhatikan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimaksud bukan hanya
sekedar kecerdasan intelektual, tetapi perlu pula kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual. Pendidikan karakter hakikatnya merupakan integrasi antara
kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Dengan pendidikan karakter,
seseorang akan memiliki kecerdasan emosional yang baik. Menurut Dameria,
seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali
melalui lima komponen dasar sebagai berikut:360
1. Self-awareness (pengenalan diri), yaitu kemampuan mengenali emosi dan
penyebab atau pemicu emosi tersebut. Orang tersebut mampu
mengevaluasi dirinya dan mampu mendapatkan informasi untuk
melakukan suatu tindakan.
2. Self-regulation (penguasaaan diri), yaitu kemampuan seseorang untuk
mengontrol dalam membuat tindakan secara berhatihati. Orang tersebut
mampu memilih untuk tidak diatur oleh emosinya
3. Self-motivation (motivasi diri), yaitu ketika sesuatu berjalan tidak sesuai
rencana, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi
tidak akan bertanya ―Apa yang salah dengan kita atau saya?‖ Sebaliknya,
ia bertanya, ―Apakah yang dapat saya lakukan agar kita dapat
memperbaiki masalah ini?‖
4. Empathy (empati), yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain
dan merasakan apa yang dirasakan orang lain jika dirinya sendiri berada
pada posisi tersebut.
5. Effective relationship (hubungan yang efektif), yaitu kemampuan
seseorang untuk menjalin hubungan yang baik, produktif, dan saling
memberi kemanfaatan. Dengan memiliki keempat keterampilan di atas,
seseorang akan mampu berkomunikasi secara efektif. Kemampuan untuk
memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada
konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang
yang mempunyai kemampuan intelegensia tinggi mempunya tujuan yang
konstruktif dalam pikirannya.

360
Siti Mahmudah, “Mengembangkan Kecerdasan Integratif” dalam Psiko Islamika (Malang: UIN Malang,
2005, Vol. 2/No. 2), hlm. 150

323
Kelima komponen dasar kecerdasan emosional tersebut merupakan faktor
utama dalam menunjang terbentuknya karakter profesional, handal, dan
partisipatif mahasiswa. Hal tersebut karena seseorang yang mampu mengenali,
menguasai, dan memitivasi dirinya akan mampu membentuk karakter profesional
dan handal dalam dirinya. Kemudian karakter partisipatif terbentuk berdasarkan
kepekaan dalam melihat suatu situasi dan kondisi serta kemampuan dalam
menjalin hubungan yang efektif di masyarakat, sehingga mendorong dirinya untuk
aktif berpartisipasi dalam segala permasalahan yang dihadapi di masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah
melakukan sebuah terobosan dengan menggunakan klinik hukum sebagai wadah
untuk membangun kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual mahasiswa
sehingga mampu membentuk karakter profesional, handal, dan partisipatif
mahasiswa itu sendiri. Mengapa ketiga karakter tersebut menjadi fokus utama
dalam penelitian ini? Hal tersebut dikarenakan menurut hemat penulis, ketiga
karakter inilah yang menentukan kualitas moral seseorang. Mereka yang terlibat
korupsi adalah mereka yang tidak profesional dalam menjalankan profesinya.
Mereka yang tidak profesional adalah mereka yang tidak handal dalam bidang
yang digelutinya, serta mereka yang tidak handal yaitu mereka yang kurang
partisipasi dalam dalam masyarakat sehingga bidang yang digeluti kurang
memberikan manfaat pada masyarakat.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang
dapat diidentifikasi. Pertama, melihat perkembangan dunia pendidikan saat ini
khususnya pendidikan tinggi yang hanya berfokus pada peningkatan aspek
Intellegence Quotient (IQ) mahasiswa, maka muncul pertanyaan apakah
pengembangan IQ dapat membentuk karakter mahasiswa? Kedua, meskipun
demikian perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi harus mampu
membuat terobosan untuk menyeimbangkan antara IQ, EQ, dan SQ mahasiswa.
Saat ini telah ada beberapa universitas atau perguruan tinggi yang melakukan
sebuah terobosan tersebut yaitu melalui Clinical Legal Education.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji lebih jauh
sejauh mana aspek Intellegence Quotient (IQ) dalam membangun karakter
mahasiswa, dan bagaimana peran Clinical Legal Education pada perguruan tinggi
dalam membangun karakter mahasiswa, khususnya karakter profesional, handal,
dan partisipatif. Dengan melakukan penelitian ini, kita dapat mengetahui
bagaimana management Clinical Legal Education yang baik agar benar-benar

324
mampu membangun karakter unggul mahasiswa khususnya karakter profesional,
handal, dan partisipatif.

D. Metode Penelitian
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris dengan
melakukan observasi langsung terhadap pelaksanaan Clinical Legal Educationsaat
ini, untuk mengukur kekurangan dan kelebihan, serta efektivitas pelaksanaan
dalam mencapai visi dan misinya. Data yang diperoleh berupa data primer yang
akan diolah dengan teknik content analysis untuk mendeskripsikan pelaksanaan
klinik hukum saat ini agar dapat menghasilkan kesimpulan yang memberikan
solusi aplikatif. Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yaitu kepada mahasiswa dan alumni Clinical Legal Education.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Clinical Legal Education Pada Perguruan Tinggi
Profesi yang bernaung di bawah lembaga hukum dan tata negara ditelurkan
oleh lembaga-lembaga yang kredibilitasnya mampu dipertanggungjawabkan di
tengah-tengah dinamika kehidupan sosial bermasyarakat. Mereka yang berminat
meniti karir sebagai jaksa, advokat, atau hakim adalah mereka yang sabar dan
telaten mengikuti seluruh rangkaian pendidikan formal sekaligus informal demi
menjadi insan adhyaksa yang andal dan profesional.
Lembaga-lembaga pendidikan mengemban tugas berat dalam proses
kaderisasi calon penegak hukum di negeri ini. Mereka yang mampu
berkecimpung dan bertahan di kancah hukum dan yuridis hanyalah mereka yang
matang secara emosional, memiliki kualitas sebagai juru hukum, dedikasi yang
tinggi pada segala keputusan dan tata aturan, berpengetahuan luas, kenyang oleh
berbagai pengalaman realistis di lapangan, loyal dalam aspek kemanusiaan, dan
memenuhi segala persyaratan lain yang sejatinya tidak begitu mudah untuk
dicapai.
Menciptakan manusia berkesadaran hukum, sekali lagi membutuhkan strategi
yang matang dan indikator yang terukur. Menciptakan manusia denga kesadaran
demikian dapat dimulai dari usaha penanaman penghayatan nilai-nilai dasar Tri
Krama Adhyaksa kepada segenap pembelajaran di universitas-universitas.
Kampus-kampus yang di dalamnya bernaung mahasiswa hukum atau siapapun
yang concernterhadap masalah perundang-undangan sudah sewajarnya
melengkapi lembaga mereka dengan fasilitas laboratorium semacam klinik
hukum. Universitas Hasanuddin merupakan satu dari beberapa kampus yang
mengadopsi lembaga klinik hukum sebagai upaya sebagai upaya pengembangan
diri peserta didik.

325
Klinik hukum yang berdiri sebagai bagian dari upaya menyemarakkan nuansa
akademik di lingkungan kampus universitas tidak tanpa mempertimbangkan
aspek-aspek mendasar lainnya. Penelusuran melalui laman resmi Klinik Hukum
Universitas Hasanuddin secara eksplisit menghadirkan gambaran akan pencapaian
peningkatan kualitas mahasiswa hukum yang kompeten dan berdaya saing tinggi.
Wacana itu membuka dirinya melalui narasi proporsionalisasi antara practic
knowledge, professional and skill, dan value. Maksudnya, klinik hukum hendak
memasangkan konsep dan pengetahuan praktis yuridis, keterampilan dan
profesionalisme, serta pemahaman nilai-nilai etik profesi.
Peningkatan level, kualitas, dan pencapaian demikian dengan sendirinya
mendorong mahasiswa mampu dengan jeli dan jernih melihat dan manangani
permasalahan hukum yang menimpa masyarakat sebagai klien mereka. Perlu
dipahami, sebelum mahasiswa atau alumni fakultas hukum benar-benar terjun ke
masyarakat dan bersentuhan dengan kasus-kasus riil di tengah dinamika sosial,
mereka perlu belajar bagaimana menghadapi orang per orang atau kelompok-
kelompok yang menghadapkan calon profesional hukum dengan permasalahan
mereka.
Pengetahuan, dasar-dasar keilmuan, teori-teori akademik, pendekatan,
struktur, dan segala yang berhubungan dengan pencapaian nilai terukur
mahasiswa merupakan hal yang terus-menerus dikembangkan sesuai dengan isu-
isu terbarukan dan perkembangan terkini. Seorang mahasiswa hukum, dalam
tanggung jawab moral dan etikanya, tidak bisa tidak harus menuntaskan semua
standar yang telah ditetapkan melalui indikator-indikator kurikulum. Bahasa
sederhananya, mereka harus berasal dari manusia-manusia unggul, varietas yang
telah teruji, mahasiswa-mahasiswa yang tahan banting terhadap tugas-tugas dan
segenap tantangan dari para tim pengajar. Klinik Hukum dengan begitu, lantas
menjadi barang urgen karena dapat memberi akses dan membantu pencapaian
nilai akademik bagi mahasiswa.
Pencapaian nilai tidak diraih begitu saja. Mereka akan dibiasakan menelaah
beragam bibliografi, mengakrabi banyak literatur, membangun tradisi diskusi,
sehingga bisa menarik konklusi dari setiap permasalahan yang disodorkan oleh
Klinik Hukum. Tanpa komitmen yang kuat, kesemua misi di atas tidak akan
pernah menemukan muaranya. Komitmen selanjutnya membiasakan mahasiswa
bekerja sesuai prosedur; langkah-langkah yang telah disketsa sebelumnya lantas
menjadi panduan dalam penggarapan kasus dengan tidak meninggalkan
kecakapan improvisasi yang sewaktu-waktu diperlukan. Mahasiswa hukum
dididik menjadi mahasiswa-mahasiswa yang kreatif, inovatif, dan mampu
merumuskan dengan cepat tepat langkah apa yang harus diambil untuk
menghadapi problematika yang ada.

326
B. Pentingnya Karakter Profesional, Handal, dan Partisipatif Bagi
Mahasiswa
Mahasiswa sebagai agen perubahan harus memiliki karakter yang unggul
yaitu karakter profesional, handal, dan partisipatif untuk mejalankan peran dan
fungsinya di masyarakat. Selain itu, lebih khusus kepada mahasiswa fakultas
hukum bahwa karakter unggul yang dimiliki akan menentukan kualitas dirinya di
masa depan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa menurut Dameria,
terdapat lima kompenen utama dalam kecerdasan emosional yang harus
dikembangkan yaitu Self-awareness (pengenalan diri), Self-regulation
(penguasaaan diri), Self-motivation (motivasi diri), Empathy (empati), dan
Effective relationship (hubungan yang efektif),361 kelima komponen tersebut
merupakan faktor utama dalam menunjang terbentuknya karakter profesional,
handal, dan partisipatif mahasiswa. Oleh sebab itu, selain berfokus pada
kecerdasan intelektual, sistem pendidikan juga harus berfokus pada kecerdasan
emosional peserta didik. Untuk membangun karakter yang unggul memang harus
ada keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan spiritual peserta didik sehingga mampu menghasilkan mahasiswa-
mahasiswa yang memiliki karakter uggul.
Mahasiswa yang berkarakter unggul dalam hal ini berkarakter profesional,
handal, dan partisipatif khususnya mahasiswa hukum sebagai calon penegak
hukum yang baik memang seharusnya memiliki karakter tersebut. Hal ini
dikarenakan kualitas seorang penegak hukum dilihat dari profesionalitas, handal,
dan partisipatifnya dalam menjalankan profesi yang dijalankan. Seorang penegak
hukum yang profesional akan mampu menghasilkan produk-produk hukum yang
mencerminkan kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Oleh sebab itu, karakter profesional harus dibangun sejak di perguruan tinggi.
Selain itu, karakter handal juga sangat diperlukan karena karakter ini
berkaitan dengan kredibilitas dan kapasitas mahasiswa sebagai calon penegak
hukum. Penegak hukum yang handal merupakan penegak hukum yang mampu
menjawab semua permasalahan yang ada sesuai dengan keadaan saat ini. Penegak
hukum yang handal akan mampu memberikan terobosan-terobosan pada proses
penegakan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini.
Kemudian yang terakhir yaitu karakter partisipatif, karakter ini berkaitan erat
dengan dua karakter sebelumnya karena untuk membentuk karakter profesional
dan handal dibutuhkan karakter partisipatif yaitu untuk mencari isu-isu hangat di
masyarakat dan menemukan solusi aplikatif yang nantinya akan memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri.

361
Ibid

327
Melihat pentingnya ketiga karakter tersebut bagi mahasiswa hukum, maka
sangat penting bagi lembaga pendidikan tinggi untuk menemukan cara yang tepat
dalam membentuk karakter tersebut. Karena masa depan penegakan hukum
bergantung pada karakter mahasiswa hukum yang terbentuk pada perguruan
tinggi itu sendiri. Mengapa karakter tersebut harus dibangun melalui perguruan
tinggi? Karena di perguruan tinggilah seseorang mulai mengenal jenis-jenis
pelanggaran atau perbuatan melawan hukum lainnya. Salah satu terobosan yang
dilakukan beberapa perguruan tinggi di Indonesia yaitu memalui program Clinical
Legal Education.

C. Peran Clinical Legal Education dalam Membangun Karakter


Profesional, Handal, dan Partisipatif Mahasiswa
Clinical Legal Education atau klinik hukum merupakan salah satu wadah
pengembangan diri mahasiswa, khususnya mahasiswa hukum dalam ranah
praktis. Berkaitan dengan ranah praktis, ada tiga karakter utama yang harus
dibentuk dalam diri seorang mahasiswa hukum sebagai calon penegak keadilan
yaitu pertama, profesional. Karakter ini sebenarnya sangat penting karena
berkaitan dengan pribadi seseorang, berkaitan dengan integritasnya sebagai
mahasiswa hukum, serta independensi sebagai calon penegak hukum. Kedua,
handal. Seseorang yang bergelut dalam ranah praktis harus memiliki karakter
handal, hal ini berkaitan dengan skill sebagai mahasiswa hukum. Skill yang
dimaksud di sini yaitu kemampuan melakukan pendampingan hukum,
menganalisis isu hukum, membuat dokumen-dokumen hukum, serta mampu
memberikan solusi yang terbaik terhadap setiap permasalahan yang sedang
dihadapi oleh bangsa ini. Ketiga, partisipatif. Karakter tersebut sangat berkaitan
dengan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan, karena mahasiswa hukum
harus menjadi patron dalam mengawal perubahan. Oleh sebab itu karakter
partisipatif perlu untuk dibentuk dan dikembangkan dengan baik. Untuk mencapai
hal tersebut, beberapa hal yang harus dipikirkan yaitu bagaimana strategi
pelaksanaan yang ideal, bagaimana peluang dan tantangan yang dihadapi, seta
bagaimana solusi menghadapi tantangan tersebut.

a. Strategi Pelaksanaan Ideal Clinical Legal Education


Pelaksanaan Clinical Legal Education saat ini sudah mampu mewujudkan
tujuannya sebagai salah satu wadah pengembangan diri mahasiswa. Namun masih
terdapat beberapa hal yang harus dievaluasi termasuk mengenai strategi
pelaksanaan yang ideal karena yang terjadi selama ini, pelaksanaan Clinical Legal
Education lebih terfokus pada pelaksanaan program kerja. Pada dasarnya,
pelaksanaan program kerja ini mampu membentuk karakter profesional
mahasiswa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Namun

328
apabila pelaksanaan program kerja lebih diutamankan, maka pembentukan
karakter handal dan partisipatifnya melalui pemagangan tidak akan mampu
terlaksana secara efektif. Oleh sebab itu, penulis menawarkan sebuah strategi
ideal pelaksanaan Clinical Legal Education agar mampu membentuk karakter
profesional, handal, dan partisipatif secara seimbang. Strategi tersebut yaitu:
1) Perkuliahan (Pembekalan Sebelum Magang)
Pada tahap ini peserta klinik hukum diberikan pembekalan sebelum
magang dengan memberikan pemahaman secara teoritik terkait hal-hal
yang diperlukan dalam menghadapi suatu masalah, pemahaman terkait
etika profesi di lembaga yang akan ditempati magang, pemahaman awal
mengenai proses penanganan perkara, dokumen perkara, serta pendekatan
budaya lembaga. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan magang nantinya
akan lebih efektif dan efisien berhubung waktu pelaksanaan mata kuliah
klinik hukum sangat terbatas dan terbilang singkat.
2) Magang yang Lebih Proaktif
Yaitu konsep magang yang tidak lagi berupa pemberian materi oleh mitra,
akan tetapi peserta klinik hukum lebih dipercayakan untuk benar-benar
terlibat dalam penanganan suatu perkara namun tetap berada dalam
batasan-batasan tertuntu. Misalnya peserta klinik hukum benar-benar
diikutsertakan dalam pendampingan hukum sebagaimana ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Bantuan Hukum bahwa
mahasiswa juga memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan
hukum atau dengan kata lain terjun langsung menangani perkara, ikut serta
dalam pembuatan dokumen perkara, dan melakukan analisis terhadap
perkara yang ada. Selain itu, mahasiswa juga dituntut untuk aktif meminta
ilmu kepada mitra, tidak hanya sekedar menerima berdasarkan apa yang
diberikan tetapi berdasarkan apa yang dibutuhkan.
3) Program Diseminasi Berbasis Kebutuhan
Program ini dijalankan berdasarkan kebutuhan yang ada di masyarakat,
yang mana sebelum melaksanakan diseminasi mahasiswa klinik hukum
diwajibkan untuk melakukan observasi guna mengetahui permasalahan
apa yang paling menonjol di masyarakat. Observasi dilakukan berdasarkan
pada proses perkuliahan atau pembekalan sebelum magang dan pada saat
magang di mitra.

329
b. Peluang dan Tantangan serta Solusi yang Diberikan
Beberapa peluang dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Clinical
Legal Education saat ini yaitu:
1) Clinical Legal Education mampu menghasilkan insan-insan penegak
hukum yang memiliki integritas tinggi, namun hal tersebut dapat
terlaksana dengan baik apabila dalam pelaksanaannya berkesinambungan
dan memiliki output yang lebih jelas dan terarah.
2) Melalui Clinical Legal Education sistem penegakan hukum di Indonesia
dapat memperoleh kepercayaan masyarakat kembali melalui kegiatan
pengabdian kepada masyarakat khususnya pada proses pendampingan
hukum bagi masyarakat kurang mampu. Namun hal ini dapat terjadi
apabila proses pemagangan yang dilakukan benar-benar dilaksanakan
dengan efektif dan terfokus.
3) Mengembangkan sikap kritis mahasiswa melalui Clinical Legal
Education. Sikap kritis mahasiswa sangat penting karena sikap inilah yang
menjadi pemupuk bagi mahasiswa untuk menjadi patron perubahan dan
mengawal kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Namun hal tersebut dapat berjalan efektif apabila mahasiswa magang tidak
terlalu disuguhkan dengan pelaksanaan kegiatan yang terlalu berat.
Agar semua peluang di atas dapat terlaksana dengan baik, maka harus
dipikirkan solusi menyelesaikan tantangan yang ada. Oleh sebab itu, suatu
terobosan yang ditawarkan Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasauddin
melalui mekanisme asistensi. Mekanisme ini dijalankan dengan bantuan asisten
yang merupakan alumni dari klinik hukum itu sendiri. Para asisten ini ditugaskan
untuk mendampingi mahasiswa klinik hukum baik dalam proses pemagangan
maupun pada office hour. Yang menjadi spesial pada mekanisme ini yaitu adanya
office hour. Pada office hour ini, asisten bertugas untuk memberikan evaluasi hasil
magang kepada peserta klinik hukum untuk mengetahui hal-hal yang menjadi
kendala serta sejauh mana proses magang ini dapat mengembangkan skill
mahasiswa klinik dalam ranah praktis.

3. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Seorang penegak hukum yang profesional akan mampu menghasilkan
produk-produk hukum yang mencerminkan kemanfaatan, keadilan, dan
kepastian hukum bagi masyarakat. Oleh sebab itu, karakter profesional
harus dibangun sejak di perguruan tinggi. Selain itu, karakter handal juga
sangat diperlukan karena karakter ini berkaitan dengan kredibilitas dan
kapasitas mahasiswa sebagai calon penegak hukum. Penegak hukum yang
handal merupakan penegak hukum yang mampu menjawab semua

330
permasalahan yang ada sesuai dengan keadaan saat ini. Penegak hukum
yang handal akan mampu memberikan terobosan-terobosan pada proses
penegakan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini.
Kemudian yang terakhir yaitu karakter partisipatif, karakter ini berkaitan
erat dengan dua karakter sebelumnya karena untuk membentuk karakter
profesional dan handal dibutuhkan karakter partisipatif yaitu untuk
mencari isu-isu hangat di masyarakat dan menemukan solusi aplikatif yang
nantinya akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri.
2. Clinical Legal Education memiliki peran yang sangat penting dalam
pembentukan karakter profesional, handal, dan partisipatif mahasiswa.
Melalui Clinical Legal Education mampu menghasilkan insan-insan
penegak hukum yang memiliki integritas tinggi, penegakan hukum di
Indonesia dapat memperoleh kepercayaan masyarakat kembali melalui
kegiatan pengabdian kepada masyarakat khususnya pada proses
pendampingan hukum bagi masyarakat kurang mampu, mengembangkan
sikap kritis mahasiswa melalui Clinical Legal Education. Sikap kritis
mahasiswa sangat penting karena sikap inilah yang menjadi pemupuk bagi
mahasiswa untuk menjadi patron perubahan dan mengawal kebijakan-
kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

B. Saran
Pembentukan karakter profesional, handal, dan partisipatif mahasiswa
melalui Legal Clinical Education akan berjalan lebih efektif dan efisien apabila
beberapa terobosan yang ditawarkan dalam paper ini dapat diaplikasikan. Selain
itu, beberapa catatan pada pelaksanaan klinik hukum saat ini harus segera
dievaluasi agar tujuan dari pelaksanaan klinik hukum ini sendiri dapat terwujud.

331
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo. 2015. Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa). Yogyakarta:
Samudra Biru.
Siti Mahmudah. Mengembangkan Kecerdasan Integratif dalam Psiko Islamika (Malang: UIN
Malang, 2005, Vol. 2/No. 2).
Zubaedi. 2013. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana

332
SINERGITAS PUSAT KONSULTASI DAN BANTUAN HUKUM UNIVERSITAS
DAN FAKULTAS DALAM
PEMBELAJARAN KLINIK HUKUM

Muhammad Zulfan Hakim


Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Abstrak
Selama ini, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum khususnya pada Universitas Hasanuddin hanya
belajar teori dalam hukum acara tanpa pernah mempraktikkan secara nyata, kecuali dalam
praktikum mata kuliah praktik peradilan. Perkara yang menjadi bahan pembelajaran pun
adalah perkara yang sudah inkracht, bukan berupa perkara nyata yang sementara berjalan
dengan masih banyak kemungkinan yang beragam. Beberapa masalah yang dihadapi dalam
pelibatan mahasiswa dalam praktik nyata tersebut antara lain masalah legalitas, waktu dan
pembiayaan.
Dalam konteks pelibatan mahasiswa sebagaimana disebutkan di atas, Universitas Hasanuddin
memiliki instrumen kelembagaan tersendiri – Universitas memiliki Pusat Konsultasi dan
Bantuan Hukum dan di Fakultas Hukum terdapat pula Lembaga Bantuan Hukum. Diperlukan
sinergi diantara keduanya dalam hal memberikan penguatan pada pembelajaran klinik hukum
yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh mahasiswa. Oleh karena itu, sinergitas kedua
lembaga tersebut akan menjadi penting dalam memaksimalkan mahasiswa dan penguatan
klinik hukum secara kelembagaan.

Kata Kunci : Sinergitas, LBH &PKBH, Pembelajaran Klinik Hukum

A. PENDAHULUAN

Dari tahun ke tahun, di Universitas Hasanuddin terjadi fenomena dimana Program Studi
(Prodi) hukum adalah prodi yang sangat tinggi tingkat peminatnya. Hal ini tentu saja
membawa dampak dimana mahasiswa fakutas hukum akan semakin banyak dan semakin
banyak pula calon ahli dan praktisi hukum yang terlahir.
Satu hal yang menjadi masalah bagi penulis adalah ketika mahasiswa tersebut banyak
yang hingga meraih gelar sarjana ternyata belum pernah masuk ke ruang pengadilan. Banyak
juga yang hingga sarjana tidak pernah menghadapi kasus hukum yang nyata untuk menjadi
bekal dalam kehidupan sebagai praktisi nantinya jika mereka memilih untuk menjadi praktisi.
Selama ini, praktik peradilan adalah salah satu mata kuliah yang memberikan praktik
nyata kegiatan persidanganbagi mahasiswa. Di beberapa fakultas hukum juga memliki
kegiatan ko-kurikuler moot court yang cukup memberikan pengetahuan mengenai praktik
peradilan.

333
Akan tetapi, moot court yang dimaksud menurut hemat penulis lebih berkesan sebagai
panggung teaterikal yang meskipun memberikan pembelajaran tetapi tidak cukup mendetail.
Apalagi jika melihat perkara yang disimulasikan pada moot court tersebut adalah perkara
yang sebenarnya sudah inkracht, dan ditampilkan seperti teaterikal dengan waktu yang sangat
terbatas.

Keberadaan mata kuliah klinik hukum seharusnya dapat menjadi jalan keluar demi
memberikan pengalaman praktik bagi mahasiswa fakultas hukum. Keberadaan Pusat Bantuan
Hukum di tingkat fakultas dapat melibatkan mahasiswa dalam perkara yang ada.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Bebrapa masalah yang dapat diidentifikasi dalam pelaksanaan praktik bagi mahasiswa
melalui klinik hukum antara lain :
1. Masalah legalitas, terkait status sebagai mahasiswa untuk bertindak sebagai kuasa dalam
beracara di pengadilan
2. Masalah waktu, tidak jarang perkara berjalan lebih lama dari pada satu semester, sehingga
memberikan masalah tersendiri dalam penilaian prestasi mahasiswa
3. Pembiayaan, setiap perkara membutuhkan pembiayaan yang jelas karena mayoritas
perkarayang dihadapi Pusat bantuan hukum di tingkat fakultas bersifat prodeo.

C. PEMBAHASAN

1. Masalah legalitas

Tidak bisa dipungkiri, status sebagai mahasiswa adalah masalah tersendiri dalam
pelibatan mahasiswa pada kegiatan pusat bantuan hukum. Di tingkat universitas, Pusat
Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) mayoritas berhadapan dengan perkara Administrasi
Negara dalam artian lebih banyak berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai
lembaga negara, adalah lebih sering pihak universitas duduk sebagai pihak tergugat dalam
peradilan Tata Usaha Negara.
Hal ini antara lain meliputi perbuatan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) dalam hal
penerbitan Surat Keputusan tau tidak meneribitkan Surat Keputusan sesuai kewenangannya.
Dalam pasal 1 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
dijelaskan mengenai Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Dalam berperkara di PTUN, maka setiap kuasa yang ada dalam surat kuasa akan diminta
identitas dan kartu anggota advokat. Sebagai pegawai negeri maka dosen yang diberikan
kuasa oleh pihak universitas (Rektor) dapat melakukan aktivitas sebagaimana layaknya

334
advokat profesional sebagai kuasa bagi Institusi akan tetapi tidak demikian adanya bagi
mahasiswa fakultas hukum. Hal ini menjadi masalah tersendiri jika pihak Pusat Konsultasi
dan Bantuan Hukum (PKBH) Universitas ingin melibatkan mahasiswa. PKBH universitas
hanya aktif dalam perkara yangmelibatkan kepentingan universitas.
Di tingkat fakultas pada Lembaga Bantuan Hukum, masalah yang ditemui hampir sama
terkait legalitas mahasiswa dalam berperkara. Mereka hanya dapat menerima kuasa, dan
hadir di persidangan akan tetapi tidak dapat bertindak sebagaimana advokat dikarenakan
status mahasiswa tersebut. Bahkan sejumlah rekan advokat selalu menanyakan jika ada
Dosen yang bertindak selaku kuasa bagi pihak yang berperkara di Pengadilan baik dalam
perkara pidana maupun perdata.
Padahal, jika dicermati, perkara yang diterima pada PKBH fakultas tentu lebih beragam,
karena dapat menjadi sarana bagi masyarakat kurang mampu yang mencari keadilan dalam
memperjuangkan hak-nya.

2. Masalah waktu

Berperkara dipengadilan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Suatu perkara dapat
berjalan lebih dari satu semester. Demikian pula awal dari perkara, dapat di mulai pada
pertengahan semester. Hal ini tentu menyulitkan pihak fakultas dalam penyesuaian dengan
penilaian akhir semester bagi mahasiswa. Klinik hukum diprogramkan oleh mahasiswa
semester 5 atau 6. Nilai diberikan setelah perkuliahan berakhir dalam satu semester
sebagaimana layaknya mata kuliah lain.
Masalah timbul ketika perkara masih sementara berjalan dan semester telah berakhir dan
mahasiswa yang bersangkutan berhak untuk memperoleh nilai. Bagaimanakah dosen
pengelola mata kuliah dapat memberikan nilai jika perkara yang sementara ditangani masih
berjalan?

Sangat disadari jika hasil tidaklah mempengaruhi penilaian, apakah perkara tersebut
dimenangkan (jika perkara perdata) atau apapun. Akan tetapi jika perkara masih berjalan dan
diperkirakan tidak akan selesai dalam beberapa bulan, maka bagaimana penilaian akan
diberikan? Pelaksanaan prinsip sederhana cepat dan biaya ringan kadang kala memang
menjadi sulit diterapkan secara utuh. Banyaknya perkara dengan jumlah majelis hakim yang
terbatas membuat suatu persidangan bisa tertunda karena terjadinya sidang yang bersamaan
dengan anggota majelis yang sama, sehingga harus menunggu. Pernah pula PKBH unhas
menghadapi perkara dimana salah satu anggota masjelis hakim sementara kurang sehat,
sedangkan majelis yang lain sementara menjalankan ibadah Umrah. Tentu saja sidang akan di
tunda hingga satu atau dua minggu lamanya.

3. Masalah pembiayaan

335
Dalam pelaksanaan tugas menjadi kuasa bagi universitas dalam perkara, maka pihak
universitas menerbitkan surat penugasan. Berdasarkan surat penugasan tersebut para kuasa
yang ditugasi berhak atas transportasi lokal untuk setiap tahapan persidangan, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masalah timbul jika melibatkan mahasiswa dalam perkara pada PKBH universitas.
Bagian keuangan universitas menyatakan bahwa mahasiswa tidak dapat diberikan
transportasi lokal berdasarkan surat penugasan karena hal tersebut hanya dapat diberikan
kepada pegawai negeri atau pegawai harian universitas.

Perjalanan dari dan menuju gedung pengadilan tentu saja membutuhkan biaya, apalagi
jika mengikutkan banyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah klinik yang sama.

D. Sinergitas PKBH Universitas dan Fakultas.

Sebagai bahan pertimbangan, perlu diketahui jika PKBH Fakultas khususnya Fakultas
Hukum Unhas telah terdaftar di Kementerian Hkum dan HAM dengan Akreditasi C, dengan
demikian PKBH FH Unhas dapat menerima dan melaksanakan kegiatan bantuan hukum
kepada warga masyarakat yang membutuhkan.
Berbeda dengan PKBH Universitas Hasanuddin justru tidak terakreditasi, sehingga
PKBH Unhas tidak dapat menerima perkara sebagaimana yang bisa dilakukan di PKBH
Fakultas Hukum Unhas.

PKBH Universitas umumnya hanya menangani perkara internal yang melibatkan


institusi universitas atau sumber dayanya. Perkara yang dihadapi antara lain masalah aset
Universitas (misalnya tanah) yang kadang kala mendapat gugatan dari pihak yang mengaku
sebagai pemilik tanah yang dikuasai pihak Universitas, selebihnya merupakan perkara TUN.
Kegiatan lain dalam PKBH Universitas adalah masalah yang melibatkan unsur
pegawai/dosen, antara lain dilakukan dalam bentuk mendampingi pegawai/dosen yang
diperiksa di kepolisian terkait perkara tertentu, atau menangani mediasi.
Sepanjang aktifitas penulis dalam PKBH Universitas, salah satu hal yang sedikit rumit
didalamnya adalah masalah menyesuaikan kegiatan dengan perencanaan anggaran. Sebagai
institusi pemerintah, maka setiap penggunaan anggaran tergantung pada perencanaan. Hal ini
tentu tidak semudah unit kerja lain, karena PKBH bekerja secara pasif sehingga tidak bisa
diketahui apakah di tahun mendatang ada perkara yang akan bergulir atau tidak. Jika dicari
sinergi dengan PKBH di tingkat fakultas, maka kondiisinya tidak jauh berbeda.
Pelibatan mahasiswa sudah coba untuk diupayakan sejak 2016, akan tetapi hingga hari
ini belum ada perkara pada tingkat Universitas yang dapat menjadi sarana untuk memulai
kerja sama yang direncanakan.

336
E. PENUTUP

Dalam hal melibatkan mahasiswa dalam rencana pembelajaran klinik hukum maka
dibutuhkan jalan keluar dari berbagai pihak. Alternatif yang dapat ditawarkan antara lain:
1. Mengatasi kendala legalitas dengan melibatkan mahasiswa hanya untuk hal-hal diluar
kegiatan persidangan, dengan kata lain, hanya menjadi materi dalam laboratorium tanpa
dipraktikkan secara nyata

2. Mengatasi kendala waktu dengan tidak mempersoalkan kapan bermula dan selesainya
perkara yang sementara ditangani. Kemungkinan pula pada semester berjalan tidak ada
perkara nyata yang diterima di LBH atau PKBH universitas, sehingga pembelajaran
klinik cukup dengan analisis kasus yang telah pernah ada sebelumnya

3. Kendala pendanaan dapat disiasati dengan meminta mahasiswa untuk langsung hadir ke
pengadilan tanpa perlu berkumpul di kampus terlebih dahulu.

337
STANDAR PENDIDIKAN HUKUM KLINIS MELALUI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM KAMPUS
Oleh: Maria Ulfah, S.H., M.Hum.362
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
maria_0212_ulfah@yahoo.co.id

―Let‟s learning and understanding the real thing of jurisprudence.‖

A. INTISARI
Peran serta aktif dari mahasiswa Fakultas Hukum dalam mengembangkan ilmu
hukum (yang telah diterima) secara konkrit dapat tersalurkan melalui Lembaga Bantuan
Hukum Kampus (LBH Kampus). LBH Kampus memiliki sistem managemen masing-
masing. LBH Kampus di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR)
memiliki sistem managemen yang berjalan dari masa ke masa dan dirasakan masih perlu
dikembangkan lebih maksimal agar mencapai pendidikan hukum klinis lebih baik.

Tulisan ini dimaksudkan berbagi sistem managemen yang berjalan di dalam LBH
Kampus Fakultas Hukum UNPAR (yakni LBH ―Pengayoman‖ UNPAR). Harapan dari
tulisan ini ialah menemukan standar pendidikan hukum klinis yang dikembangkan
melalui LBH Kampus. Tulisan ini terbuka dengan masukan agar pendidikan hukum klinis
ini dapat berjalan lebih maksimal dan lebih inovatif.

Kata kunci: bantuan hukum, pendidikan hukum klinis, lembaga bantuan hukum kampus

B. PENDAHULUAN
Pendidikan hukum klinis merupakan salah satu bentuk aspek penting bagi
mahasiswa Fakultas Hukum. Aspek pendidikan ini mendekatkan mahasiswa Fakultas
Hukum dengan pengalaman hukum di masyarakat yang disertai keahlian dan nilai
kebaikan. Aspek pendidikan ini dapat memupuk nilai kepekaan dan keadilan sosial
mahasiswa Fakultas Hukum dengan kondisi hukum yang terjadi di sekitarnya.
Penanaman nilai tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D dan Pasal 28 H Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) yang bertujuan
pada pemberian akses keadilan serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa Tri Dharma Perguruan Tinggi mensyaratkan pada
tiga hal yakni aspek pengajaran dan pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, pendidikan hukum klinis ini dapat dilakukan dengan
beberapa alternatif cara. Pertama, melalui pemberian materi pendidikan hukum klinis
dalam (kurikulum) mata kuliah wajib ataupun mata kuliah umum di Fakultas Hukum.

362
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, S2 Ilmu Hukum, Dosen Hukum Pidana dan
Hukum Penitensier, 2 Desember 1987, Jalan Ciumbuleuit nomor 94 (gedung 2 lantai 3) Bandung
40142,+628128086060.

338
Kedua, melalui beragam kegiatan berkelanjutan yang dilakukan di Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) kampus.

Pendidikan hukum klinis tidak identik dengan bantuan hukum karena pendidikan
di sini menekankan pada pengetahuan praktis, keahlian, dan penanaman nilai. Namun
LBH kampus sebagai wadah untuk melakukan pendidikan hukum klinis identik dengan
pemberian beragam bantuan hukum bagi masyarakat sekitar. Pemahaman bantuan hukum
ini tidak hanya terbatas pada Advokat, tetapi juga dilakukan oleh para dosen dan
mahasiswa Fakultas Hukum. Oleh karena itu, pendidikan hukum klinis yang dilakukan di
dalam LBH kampus akan terhubung pula pada bantuan hukum.
LBH kampus dapat dijalankan berbeda-beda di setiap kampus Fakultas Hukum
yang mengelolanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari pengelolaan, fokus bidang
hukum, jumlah mahasiswa dan jumlah Advokat yang terlibat di dalamnya, serta
keberagaman kegiatan bantuan hukum yang dilakukan. Tulisan ini dimaksudkan untuk
berbagi pengalaman menjalankan dan mengelola pendidikan hukum klinis yang
dilakukan di LBH kampus Fakultas Hukum UNPAR (LBH ―Pengayoman‖ UNPAR), di
mana Ilmu Hukum yang dipelajari mahasiswa Fakultas Hukum UNPAR ditindaklanjuti
dengan penerapan bermanfaat bagi masyarakat sekitar wilayah kotamadya Bandung
maupun kabupaten Bandung. Penerapan tersebut sejalan dengan sesanti UNPAR yakni
“Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti” yang berarti ―Berdasarkan Ke-
Tuhanan Menuntut Ilmu untuk Dibaktikan Kepada Masyarakat‖. Tulisan ini diharapakan
dapat menggali standar pendidikan hukum klinis yang lebih baik bagi LBH kampus untuk
digunakan pada masa mendatang. Tulisan ini terbuka dengan masukan agar pendidikan
hukum klinis ini dapat berjalan lebih maksimal dan lebih inovatif.

C. PEMBAHASAN

Pendidikan Hukum Klinis


Pendidikan hukum klinis yang berkembang di Amerika Serikat tahun 1890an
berdasarkan pendapat Indonesian Legal Resource Center (ILRC) didefinisikan sebagai
―sebuah proses pembelajaran bagi mahasiswa hukum dengan pengetahuan praktis
(practicalknowledge), keahlian (skills), nilai-nilai (values) dalam rangka mewujudkan
pelayanan hukum dan keadilan sosial, yang dilaksanakan atas dasar metode pengajaran
secara interaktif dan reflektif‖. Pengetahuan praktis (practicalknowledge) ialah elemen
yang berkaitan dengan pengetahuan praktis untuk mahasiswa. Keahlian (skills) yakni
penguasaan keahlian mahasiswa seperti teknik bertanya, negosiasi, merancang aturan/
kontrak, advokasi, dan lain-lain. Nilai-nilai (values)berkaitan dengan keberpihakan atas
nilai kejujuran, anti diskriminasi, keadilan sosial, anti korupsi, dan lain sebagainya. 363
Definisi lain dapat ditemukan berdasarkan pendapat Mariana Berbec-Rostas yang
berpendapat bahwa pendidikan hukum klinis merupakan sebuah program pendidikan

363
Indonesian Legal Resource Center. 2009. Pendidikan Hukum KlinikTinjauan Umum. Jakarta, hlm. 2.

339
yang didasarkan dengan metode pengajaran interaktif dan reflektif berisikan pengetahuan,
nilai, dan keahlian praktis yang memampukan mahasiswa untuk memberikan pelayanan
hukum dan menciptakan keadilan sosial.364 Oleh karena itu, pendidikan hukum klinis
dapat diartikan sebagai metode experential learning yang tidak hanya mempelajari
pengetahuan (knowledge), tetapi juga meningkatkan ketrampilan (skill) dengan
menanamkan beragam nilai (values) di bidang hukum. Ketiga aspek tersebut sangat
penting untuk diinternalisasi bagi mahasiswa hukum agar kelak menjadi Sarjana Hukum
yang terampil berpikir kritis dan berperan aktif bagi masyarakat sekitar dengan
bertanggung jawab secara baik.
Pendidikan hukum klinis di Amerika berbeda tujuan dengan di India dan Indonesia.
Di Amerika, pendidikan hukum klinis ini bertujuan menyiapkan lulusan Sarjana Hukum
menjadi the future lawyer sehingga sangat dibutuhkan pendidikan ini bagi mereka yang
berkarir di bidang hukum sebagai Advokat. Sedangkan di India dan Indonesia, tidak
secara khusus berfokus untuk menjadikan lulusannya sebagai Advokat. Pendidikan
hukum klinis itu ditujukan agar para lulusan Fakultas Hukum mempunyai pengetahuan
hukum praktis, pemahaman atau sensitivitas sosial, apapun profesi mereka di masa
mendatang. Salah satu faktor yang mempengaruhi ialah karena India dan Indonesia
merupakan negara berkembang yang memiliki banyak jumlah penduduk dengan beragam
masalah hukum yang dialami warga masyarakatnya. 365

Tujuan pendidikan hukum klinis menurut Indonesian Legal Resource Center


yaitu:366
1. Menyediakan kesempatan pendidikan yang terstruktur untuk mahasiswa, untuk
menambah pengalaman mahasiswa dalam praktik kepengacaraan yang nyata atau
melalui simulasi mewakili klien, dan juga untuk memperoleh pengetahuan, keahlian,
dan nilai-nilai dari pengalaman itu;
2. Menambah dukungan untuk bantuan hukum terhadap masyarakat marjinal;
3. Menanamkan semangat pelayanan publik dan keadilan sosial, dan untuk membangun
dasar pengembangan tanggungjawab profesi hukum;
4. Memberikan kontribusi untuk pengembangan mengenai keahlian dan teori-teori
hukum praktis yang menghubungkan dunia akademik dengan organisasi
kepengacaraan secara lebih dekat;
5. Mengembangkan metode pengajaran secara interaktif dan reflektif yang menggerakan
mahasiswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut di atas, yang tidak diperoleh
di bangku kuliah. Metode pembelajaran ini telah terbukti merupakan cara paling
efektif untuk pembelajaran mahasiswa dalam jangka waktu panjang;
6. Memperkuat civil society,dengan merawat tanggung jawab profesional pengacara
melalui penekanan kebutuhan bantuan hukum untuk melindungi masyarakat marjinal.

364
Mariana Berbec-Rostas. 30 Januari-3 Februari 2007. Clinical Legal Education: General Overview. First
Southeast Asian Clinical Legal Education Teachers Training. Manila-Philippines, hlm. 21-22.
365
Indonesian Legal Resource Center. 2014. Panduan Standar Minimum Pelayanan Bantuan Hukum. Jakarta,
hlm. 4.
366
Indonesian Legal Resource Center. 2014. Tinjauan Umum Pendidikan Hukum Klinis dan Bantuan Hukum.
Jakarta, hlm. 10-11.

340
Adapula pendapat mengenai tujuan adanya pendidikan hukum klinis menurut Mochtar
Kusumaatmadja ialah terdapat dua tujuan yakni ―memberi latihan kepada mahasiswa
dalam ketrampilan hukum yang praktis dan membantu orang-orang miskin dalam
memperoleh penyelesaian masalah-masalahnya dengan cara hukum. Dua tujuan tersebut
dapat dinamakan tujuan pendidikan dan tujuan pengabdian.‖367

Sejumlah tujuan di atas memberikan pondasi bagi mahasiswa Fakultas Hukum


dalam meniti karier profesional kelak yaitu pengalaman dalam memahami aturan dan
teori hukum secara kritis dengan keahlian praktik advokat atau konsultan hukum,
memiliki komitmen terhadap moral, etika, nilai-nilai keadilan sosial, serta kepedulian
pada kelompok marjinal. Tidak hanya itu saja, klinik hukum yang dijalankan oleh
mahasiswa dengan supervisi dosen sebagai wujud pendidikan hukum klinis bertujuan
pula agar dosen turut serta aktif dalam praktik (bukan sekadar menjadi pengamat).
Pendidikan hukum klinis di atas dapat diimplementasikan dengan beberapa
alternatif cara. Alternatif yang dimaksud menerapkan pendidikan hukum klinis dalam:
1) mata kuliah yang sudah ada di kurikulum;
2) mata kuliah baru di kurikulum, berupa mata kuliah wajib atau mata kuliah pilihan;
3) kegiatan ekstrakurikuler berperspektif pendidikan hukum klinis (ekstrakurikuler yang
dimaksud yakni LBH kampus atau mitra di luar Fakultas Hukum).
Alternatif dengan mata kuliah sebagaimana yang disebutkan (poin 1 dan 2) di atas, terkait
dengan kurikulum program studi Ilmu Hukum. Kurikulum Pendidikan Tinggi
berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 (UU 12/ 2012)
adalah ―seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan Pendidikan Tinggi‖. Pengembangan kurikulum Perguruan Tinggi di
Indonesia saat ini berdasarkan ketentuan Pasal 97 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2010 (PP 17/ 2010) dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi. Pada Pasal 29
PP 17/ 2010 diatur pula bahwa acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan
pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi adalah Kerangka
Kualifikasi Nasional. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) berdasarkan
aturan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012
(Perpres 8/ 2012) adalah ―kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensiyang dapat
menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikanantara bidang pendidikan dan
bidang pelatihan kerja sertapengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan
kompetensikerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor‖. KKNI dalam Pasal
2 Perpres 8/ 2012 terdiri dari sembilan jenjang kualifikasi. Jenjang satu hingga tiga
dikelompokkan dalam jabatan operator, jenjang empat sampai enam dikelompokkan
dalam jabatan teknisi atau analis, dan jenjang tujuh hingga sembilan dikelompokkan
dalam jabatan ahli. Pendidikan hukum dalam tingkat Sarjana di Indonesia di dalam KKNI
setara dengan jenjang 6. Jenjang tersebut mengharuskan adanya pengalaman praktik yang
dialami para lulusannya (tidak terbatas pada pendidikan secara teori saja). Acuan tersebut
367
Gregory Churchill. 1980. Pendidikan Hukum Klinis Suatu Tinjauan. dalam buku ―Beberapa Pemikiran
Pembangunan Hukum di Indonesia‖. Alumni. Bandung, hlm. 111.

341
memang patut diapresiasi karena pendidikan hukum tidak boleh bersikap sempitdari
perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat sekitar.

Pengembangan pendidikan hukum klinis di Fakultas Hukum UNPAR baru dapat


dilakukan dengan alternatif melekatkan di beberapa pertemuan pada beragam mata kuliah
yang telah ada di kurikulum dan alternatif kegiatan ekstrakurikuler yakni LBH
―Pengayoman‖ UNPAR. Pendidikan hukum klinis di Fakultas Hukum UNPAR belum
dapat dilakukan dalam satu mata kuliah (wajib ataupun pilihan) yang khusus.
Kemudian berdasarkan pada lokasi praktik pendidikan hukum klinis, terdapat dua
bentuk klinik hukumyaitu di dalam fakultas hukum (in-houseclinic) dan di luar fakultas
hukum (out-house clinic). Program out-house clinic terdiri dari:368
- Externship yaitu mahasiswa bekerja di sebuah kantor hukum atau kantor
pemerintahan di bawah supervisi dari pengacara praktik atau pejabat pemerintahan;
- Community Clinic yakni tempat mahasiswa bekerja secara langsung di komunitas;
- Mobile Clinic yaitu mahasiswa mengunjungi komunitas untuk memberikan pendapat
hukum dan atau memberitahukan komunitas atas hak-haknya, atau memberikan
nasihat jenis tertentu permasalahan hukum dan cara penyelesaiannya;
- Street Law Clinic yakni mahasiswa yang menyediakan pendidikan hukum dan hak-
hak bagi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA),
atau masyarakat marjinal lainnya.

Sedangkan program in-house clinic terdiri dari:369


- Life client/ real client clinic, di mana mahasiswa menyediakan pelayanan hukum
secara langsung kepada klien;
- Simulation clinic, di mana mahasiswa mensimulasikan kehidupan nyata atas dasar
role-playing dengan tujuan untuk melatih kemampuan mahasiswa. Biasanya kasus-
kasus yang nyata dipakai dalam simulation clinic ini.

Alternatif dan bentuk manapun di atas yang digunakan, patut diperhatikan tiga
komponen perekat dalam pengembangan pendidikan hukum klinis yaitu: 370
a) Komponen perencanaan
Mahasiswa mempersiapkan dan merencanakan untuk memperoleh pengalaman
praktik hukum yang nyata. Di dalam komponen perencanaan, mahasiswa dan dosen
supervisi menyusun program praktik yang memberikan manfaat baik untuk
mahasiswa itu sendiri serta masyarakat sekitar.
b) Komponen praktik
Mahasiswa menguji kemampuan yang telah diterima dengan supervisi dari dosen atau
advokat praktik.
c) Komponen refleksi

368
Ibid, hlm. 8-9.
369
Ibid.
370
Ispurwandoko Susilo. Pendidikan Hukum Klinikdalam Pelaksanaan UU No. 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum. http://ejournal.unicen.ac.id/index.php/JHM/article/view/202/187 Jurnal Hukum dan
Masyarakat. Volume 13. Nomor 2. April 2014, hlm. 8.

342
Mahasiswa merefleksikan pengalaman yang dialami, kualitas mahasiswa yang
mengikuti, manfaat bagi masyarakat yang memerlukan bantuan hukum, dan
penyelenggaraan pendidikan hukum klinis itu.
Ketiga komponen tersebut sangat penting untuk dilakukan berkelanjutan karena ketiganya
akan menunjukan proses berkesinambungan secara keseluruhan dari suatu pendidikan
hukum klinis (terutama agar bantuan hukum yang dilakukan berjalan maksimal).

Bantuan Hukum di Indonesia


Warga negara Indonesia memiliki hak konstitusional berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Pengaturan hak itu sejalan dengan
ketentuan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia serta Kovenan Hak Sipil dan
Politik. Dengan adanya perlindungan atas hak tersebut, maka bantuan hukum tidak lagi
bersifat charity tetapi sudah menjadi hak yang telah diterima secara universal. Hak itu
diwujudkan dengan pemberian bantuan hukum bagi orang tidak mampu secara cuma-
cuma (probono) sebagai akses terhadap keadilan.

Keadilan hukum adalah salah satu pilar utama dari masyarakat hukum dimaksud
yang secara bersama-sama dengan keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial dan
keadilan (toleransi) budaya menopang dan membentuk keadilan struktural yang utuh
saling melengkapi. Salah satu wujud keadilan hukum adalah dengan pemberian bantuan
hukum. Pemberian bantuan hukum itu bukan sekadar sikap dan tindakan kedermawanan
tetapi lebih dari itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kerangka upaya
pembebasan manusia Indonesia dari setiap bentuk penindasan yang meniadakan rasa dan
wujud kehadiran keadilan yang utuh, beradab dan berperikemanusiaan.371

Secara gramatikal dikenal dua istilah terkait bantuan hukum yakni legal assistance
dan legal aid. Bantuan hukum yang diberikan para Advokat dengan menggunakan
honorarium disebut sebagai legal assistance. Sedangkan bantuan hukum yang diberikan
secara cuma-cuma (gratis) dari Advokat kepada pihak yang terlibat dalam suatu masalah
hukum (terutama bagi pihak yang kurang mampu) disebut sebagai legal aid.372
Bantuan hukum adalah salah satu perwujudan dari penjaminan dan perlindungan
hak asasi manusia untuk mendapatkan perlakuan secara layak oleh aparat penegak hukum
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia, mengingat aturan hukum bersifat
esoterik sehingga bagi masyarakat awam tidak mudah untuk mengerti dan
memahami.373Frans Hendra Winarta berpendapat bahwa bantuan hukum ialah jasa
hukum yang khusus diberikan kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara
cuma-cuma (di dalam maupun di luar pengadilan) secara pidana, perdata, dan tata usaha
negara dari orang yang memahami seluk beluk pembelaan hukum (asas-asas dan kaidah
371
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Visi dan Misi YLBH.http://www.ylbhi.or.id/visi-dan-misi/
diakses 1 Mei 2017.
372
Frans Hendra Winata. 2009. Pro Bono Publico. PT Gramedia Pustaka Indonesia. Jakarta, hlm. 21.
373
Setiyono Wahyudi. 2008. Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum.Bayumedia. Malang, hlm. 97.

343
hukum) serta hak asasi manusia.Selain itu, Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa
bantuan hukum merupakan program yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat
yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberi kenyamanan
hukum bagi golongan minoritas.374
Secara historis, bantuan hukum di Indonesia (dulunya Hindia Belanda) baru dikenal
sejak adanya masa penjajahan Belanda yang mengenal lembaga Advokat. Sebagaimana
diketahui bahwa dulu terdapat pembagian golongan penduduk menjadi golongan Eropa,
Timur Asing, dan Bumiputera. Penggolongan itu menyebabkan adanya perbedaan antara
golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak bidang kehidupan (seperti
bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik), di mana golongan Bumiputera diperlakukan
dengan kedudukan lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing. Pada bidang
hukum dikenal dikotomi sistem peradilan di Indonesia yakni hierarki peradilan untuk
orang-orang Eropa dan yang dipersamakan serta hierarki peradilan untuk orang-orang
Bumiputera dan yang dipersamakan. Hierarki pengadilan berbeda, berdampak pula pada
pembedaan hukum acara yang digunakan dan fungsi lembaga Advokat yang ada di
dalamnya.375
Lembaga Advokat bagi golongan Eropa terdapat kewajiban berupa legal
representation by a lawyer (verplichte procureur stelling) dalam perkara apapun,
sedangkan bagi golongan Bumiputera tidak ada kewajiban yang sama bahkan tidak
menjamin hak Bumiputera yang tidak mampu untuk dibela Advokat dan mendapatkan
bantuan hukum. Adapun kemungkinan untuk mendapatkan pembelaan atas permohonan
Terdakwa di pengadilan terbatas pada perkara dengan hukuman mati saja dan itu
sepanjang ada Advokat yang bersedia.376 Oleh karena itu, kebutuhan orang-orang
Bumiputera akan bantuan hukum belum dirasakan sehingga profesi Advokat yang berasal
dari golongan Bumiputera belum berkembang.

Perkembangan bantuan hukum melalui lembaga Advokat bermula dari orang-orang


golongan Bumiputera yang berhasil meraih gelar hukum di Belanda. Akan tetapi
perkembangan lembaga Advokat itu hanya sementara dan bahkan mengalami
kemunduran hingga Indonesia mengalami masa Orde Lama. Perubahan masa Indonesia
menjadi Orde Baru memberikan warna baru dalam perkembangan Bantuan Hukum
melalui peran lembaga Advokat di dunia peradilan yang bebas intervensi dari pihak
manapun (terutama pihak eksekutif). Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan
hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum terdapat ketentuan-ketentuan
bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Adapula
ketentuan bahwa seorang Tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan
meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan. 377

374
Frans Hendra Winata. Op. Cit., hlm. 23.
375
Frans Hendra Winata. 2000. Bantuan Hukum–Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan. PT Elex
Media Komputindo. Jakarta, hlm. 21.
376
Ibid.
377
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Cendana Press. Jakarta, hlm. 48.

344
Pemberian bantuan hukum terwujud dengan pembentukan Biro Konsultasi Hukum
di suatu universitas pada tahun 1963, yang kemudian di tahun 1968 berubah nama
menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan di tahun 1974 berubah menjadi Lembaga
Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH). LKBH terus dikembangkan di beragam daerah
di Indonesia beriringan dengan pembentukan serta perkembangan wadah kesatuan
organisasi Advokat di tingkat nasional. LKBH ini kini dikenal sebagai Lembaga Bantuan
Hukum (LBH).378
Secara umum, hak mendapatkan bantuan hukum terdapat di Pasal 7 The Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) serta Pasal 14 ayat (3), Pasal 16, Pasal 26 The
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), serta Pasal 28 D dan Pasal
28 H UUD RI 1945. Sedangkan pengaturan secara khusus mengenai bantuan hukum di
Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 (UU 16/ 2011) dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Sebelumnya, istilah bantuan
hukum hanya dikenal sebagai bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(ketentuan Pasal 54 sampai 56), Pasal 22 ayat (1) UU Advokat, dan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (ketentuan Pasal 56 sampai 57).

Salah satu syarat Pemberi bantuan hukum di dalam Pasal 8 ayat (2) UU 16/ 2011
ialah terakreditasi berdasarkan UU ini. Untuk LBH Pengayoman memilih tidak menjadi
LBH terakreditasi berdasarkan UU 16/ 2011 karena telah mempertimbangkan keadaan
dan situasi yang ada serta tujuannya berfokus experiential learning bagi mahasiswa
Fakultas Hukum. Walau begitu, prinsip baik yang melekat di dalam UU 16/ 2011 tetap
diberlakukan dan dikembangkan.

Pengelolaan LBH “Pengayoman” UNPAR


LBH dapat dilihat menjadi dua macam yakni LBH swasta dan LBH yang bernaung
di suatu Perguruan Tinggi (LBH kampus). LBH swasta dapat dibentuk oleh sekelompok
orang yang berprofesi sebagai Advokat dengan beragam tujuan dan berjumlah lebih
banyak daripada LBH kampus. Sedangkan keberadaan LBH kampus dalam suatu
perguruan tinggi hukum dapat berbeda satu sama lain. Sebagian bernaung di bawah
fakultas hukum, adapula yang bernaung di bawah perguruan tinggi. Sebagian otonom
sebagai kelembagaan tersendiri, adapula yang menjadi bagian/unit dari laboratorium
hukum. Meskipun secara struktur berbeda-beda, namun memiliki persamaan yaitu
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang
membutuhkan.379
Lalu dalam konteks pendirian organisasi berdasarkan orientasinya, LBH Kampus
masuk dalam kategori organisasi non-profit (nirlaba). Keberadaan organisasi nirlaba tidak
lepas dari konteks sosial, dan perkembangan masyarakat sehingga eksistensinya tidak

378
Bambang Sunggono & Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. CV Mandar Maju.
Bandung, hlm. 16.
379
Indonesian Legal Resource Center.Op. Cit. 4, hlm. 41.

345
dapat dilepaskan dari kepentingan masyarakat. Pada dasarnya organisasi nirlaba adalah
alat untuk mencapai tujuan (aktualisasi filosofi) dari sekelompok orang, sehingga bukan
tidak mungkin di antara satu lembaga dengan lembaga yang lain memiliki filosofi
berbeda.380
Sebagian besar Fakultas Hukum di Indonesia telah membentuk LBH kampus
dengan nama berbeda-beda, seperti Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (Fakultas
Hukum UII), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Penyelesaian Sengketa Alternatif
(Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Pusat Bantuan dan Pendidikan Hukum
(Fakultas Hukum Universitas Hasanudin), Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan
Hukum (Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Malang, Biro Bantuan Hukum
(Fakultas Hukum Universitas Padjajaran), dan Biro Bantuan dan Konsultasi Hukum
(Fakultas Hukum Universitas Pasundan).381 Sedangkan di Fakultas Hukum UNPAR
bernama LBH ―Pengayoman‖ UNPAR.
LBH ―Pengayoman‖ UNPAR pertama kali dibentuk pada tahun 1968 dengan nama
Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH). Ide awal pembentukannya berasal dari
Dazril Effendi yang merupakan bagian dari Senat Fakultas Hukum UNPAR dan di
bawah naungan Dewan Mahasiswa yang dipimpin oleh Marzuki Darusman. Pada tahun
1971, BKBH Senat Fakultas Hukum UNPAR tersebut diambil alih oleh Fakultas Hukum
UNPAR karena bubarnya Dewan Mahasiswa yang selama ini menaunginya. Pada masa
selanjutnya, BKBH dipimpin oleh Dazril Effendi dan wakilnya R. Abdoel Djamali.
Anggaran BKBH diperoleh dari masyarakat yang menerima jasa dari BKBH. Pada tahun
1984, istilah BKBH diubah menjadi LBH ―Pengayoman‖. Sejak berganti nama
menjadi LBH ―Pengayoman‖, anggaran dana sepenuhnya diperoleh dari Yayasan
UNPAR, sehingga masyarakat yang menerima jasa hukum dari LBH
―Pengayoman‖tidak dikenai biaya apapun.382

Dengan adanya pembiayaan sebagaimana disebutkan di atas dan bentuk nirlaba,


maka LBH ―Pengayoman‖ UNPAR memberikan bantuan hukum dengan dasar kerelaan
untuk membantu dan berbuat kepadaorang lain tanpa mengharap keuntungan dari
bantuan yangtelah dilakukan (wujud pengabdian kepada masyarakat). Pelayanan bantuan
hukumyang diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan (bukan untuk mencari
keuntungan), melainkandalam rangka memperkuat akses masyarakat
memperolehkeadilan melalui pendidikan hukum di Fakultas Hukum UNPAR.

LBH Pengayoman berkedudukan di Fakultas Hukum UNPAR (gedung 2 lantai 1


Jalan Ciumbuleuit nomor 94, Bandung) dan dikepalai seorang Dosen Tetap Fakultas
Hukum UNPARyang bertanggung jawab kepada Dekan yangdapat melakukan
koordinasi dengan para dosen, mahasiswa, alumni UNPAR, serta pihak luar. Oleh karena
UNPAR adalah salah satu universitas swasta, maka dosen tetap dapat berprofesi pula
380
Ibid.
381
Ibid, hlm. 16.
382
LBH Pengayoman UNPAR. Sejarah LBH Pengayoman. http://lbhpengayoman.unpar.ac.id/profil/sejarah/
diakses 28 April 2017.

346
sebagai Advokat. Sehingga Kepala LBH ―Pengayoman‖ UNPAR tidak hanya berprofesi
sebagai dosen, tetapi dapat pula sebagai Advokat. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang
diatur dalam salah satu persyaratan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat (UU Advokat), di mana Advokat tidak berstatus sebagai pegawai negeri
atau pejabat negara. Salah satu persyaratan dalam ketentuan Pasal 3 UU Advokat
tersebut memberikan dampak berbeda bagi LBH Perguruan Tinggi Negeri. Para dosen
tetap di LBH kampus negeri memiliki status pegawai negeri, sehingga mereka tidak
dapat merangkap menjadi Advokat. Hal ini merupakan salah satu hambatan bagi
perkembangan LBH kampus negeri jika dihubungkan dengan perkara pro bono publico
yang memerlukan pendampingan secara litigasi.

Selain Kepala, LBH ―Pengayoman‖ UNPAR memiliki para staff dan para relawan
yang berasal dari mahasiswa aktif Fakultas Hukum UNPAR. Staf ialah mahasiswa yang
telah berproses menjadi relawan selama beberapa waktu di LBH ―Pengayoman‖
UNPAR, sehingga telah memahami materi hukum dalam teori dan praktik lebih dalam
serta beragam kegiatan yang dilakukan dengan prosedurnya. Sedangkan relawan adalah
mahasiswa yang telah melalui tahap seleksi administratif (syarat minimal Indeks Prestasi
Kumulatif dan SKS dengan karakter dapat kerjasama dalam tim), tahap wawancara, dan
analisis kasus. Proses rekrutmen relawan dibuka satu kali setiap semester (dua kali dalam
satu tahun) dengan berpedoman pada aspek kepribadian dan aspek (analisis) pengetahuan
hukum. Staf magang dengan mendapatkan honor yang dihitung per jam, sedangkan
relawan magang secara sukarela tanpa mendapatkan honor. Staf dan relawan ini hadir di
LBH ―Pengayoman‖ UNPAR setiap hari Senin hingga Jumat (termasuk Sabtu jika
diperlukan) dengan jam magang dari pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore
(kecuali Jumat hingga pukul tiga sore).Salah satu kelebihan dengan LBH kampus ialah
mereka dapat merasakan secara langsung pendidikan hukum klinis dengan beragam
kegiatan bantuan hukum yang proses magang dapat dilakukan hingga lulus menjadi
Sarjana Hukum (tidak terbatas dalam satu semester saja). Saat ini staf dan relawan
berjumlah sembilan mahasiswa. Jumlah mahasiswa ini dapat berkurang atau bertambah
sebagaimana situasinya.

Pembagian tugas di dalam struktur LBH ―Pengayoman‖ UNPAR tidak dikenal


istilah kepala bidang atau kepala divisi. Istilah yang digunakan adalah penanggung jawab
program atau kegiatan yang dilakukan. Penanggung jawab ini dapat dirotasi setiap
beberapa bulan sekali atau berlaku untuk satu kegiatan yang akan berlangsung satu kali
dengan persiapan cukup panjang. Kepala, para staf dan relawan ini saling bekerja sama
untuk melaksanakan setiap kegiatan yang dilakukan LBH ―Pengayoman‖ UNPAR
hingga bentuk pertanggungjawabannya.

Lalu sebagaimana diketahui dalam pendidikan hukum klinis membutuhkan tiga


komponen penting yakni komponen perencanaan, praktik, dan refleksi. Dari ketiga
komponen itu, standar yang telah dimiliki ialah komponen praktik (terwujud dalam
beragam Prosedur Operasional Baku-POB). Sedangkan komponen perencanaan dan
refleksi belum terdapat standar, masih berjalan dengan tindakan secara langsung.

347
Komponen perencanaan di LBH ―Pengayoman‖ UNPAR tampak dalam rapat yang
dilakukan setiap satu tahun sekali, setiap minggu sekali, dan rapat insidentil. Pada rapat
kerja tahunan dibahas mengenai evaluasi semua kegiatan dan perkara yang telah dialami
selama setahun serta perencanaan semua kegiatan untuk setahun mendatang. Sedangkan
pada rapat setiap satu minggu sekali itu dibahas semua hal relevan yang telah dilakukan
dalam satu minggu dan yang akan dilakukan satu minggu mendatang. Lalu rapat
insidentil dapat diadakan jika ada keadaan mendesak yang perlu segera didiskusikan
untuk diberikan pertimbangan atau solusi, rapat ini seringkali diadakan ketika terkait
dengan perkara tertentu yang telah mengalami perkembangan dan perlu segera
ditindaklanjuti.

Komponen praktik yang dialami oleh para staf dan relawan LBH ―Pengayoman‖
UNPAR (serta para pihak relevan) terwujud dalam pelaksanaan kegiatan utama, kegiatan
rutin, dan kegiatan tambahan yang dilakukan berdasarkan pada POB-POB relevan. Jika
berfokus pada kegiatan utama, maka dapat dilihat dari perkara yang ditangani dengan
beragam jenisnya. Prosesnya berlangsung melalui cara berpikir yuridis sistematis dan
bertanya langsung kepada klien untuk membangun kasus posisi yang lengkap atas situasi
maupun permasalahan hukum yang dihadapi hingga memberikan solusi hukum relevan.
Jika berfokus pada kegiatan rutin dan kegiatan tambahan, maka dapat dilihat melalui
proses survei awal materi yang dibutuhkan masyarakat setempat, penyusunan materi
hukum yang diberikan atau dipersiapkan, pemberian materi hukum dengan metode
experiential learning (penyampaian dengan bahasa lebih mudah dimengerti dan
interaktif bagi masyarakat), hingga tanya jawab secara langsung dengan masyarakat.

Komponen refleksi yang dilakukan berasal dari pihak penerima bantuan hukum
dan seluruh anggota LBH ―Pengayoman‖ UNPAR. Refleksi penerima bantuan hukum
tercakup dalam lembar evaluasi yang biasanya diberikan ketika selesai melakukan
kegiatan yang dimaksud. Refleksi tersebut kemudian dibaca dan dibahas dengan refleksi
yang berasal dari seluruh anggota LBH ―Pengayoman‖ UNPAR. Refleksi-refleksi
tersebut dapat dilakukan secara tulisan maupun lisan. Keduanya akan ada kritik dan
saran atas kegiatan tersebut hingga bagi masing-masing yang melaksanakan kegiatan
tersebut.

Secara umu, kegiatan pemberian bantuan hukum yang dilakukanLBH


―Pengayoman‖ UNPAR terbagi menjadi tiga jenis yakni kegiatan utama, kegiatan rutin,
dan kegiatan tambahan. Kegiatan utama terdiri dari konsultasi hukum dan pendampingan
hukum. Kegiatan rutin ialah penyuluhan hukum dengan siaran radio dan mendatangi
warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Kegiatan tambahan yakni pendidikan dan
pelatihan hukum internal, penyuluhan hukum, pelatihan hukum, dan diskusi hukum.
Semua kegiatan ini disupervisi oleh Kepala LBH ―Pengayoman‖ UNPAR, sangat
dimungkinkan adanya koordinasi dengan pihak lain yang relevan. Adapun prinsip-
prinsip dalam pelaksanaannya ialah prinsip non-diskriminasi (pemberian bantuan hukum
dilandaskan pada persamaan di depan hukum) dan prinsip kerahasiaan klien (wajib
merahasiakan kepada publik mengenai semua hal terkait klien yang ditangani).

348
Kegiatan utama. Konsultasi hukum merupakan pelayanan hukum yang diberikan
terhadap situasi ataupun permasalahan hukum yang dihadapi oleh klien. Dalam hal ini,
anggota LBH Pengayoman memberikan petunjuk, informasi, saran, referensi, atau solusi
kepada klien agar dapat menyelesaikan situasi atau permasalahan hukum yang ada.
Sedangkan pendampingan hukum ialah pelayanan hukum yang diberikan dengan
melakukan asistensi terhadap klien yang telah atau hendak menyelesaikan perkara
mereka melalui mekanisme penyelesaian perkara instansi penegak hukum atau melalui
mekanisme penyelesaian di luar lembaga penegak hukum. Kegiatan utama ini dilakukan
sebagaimana klien yang datang ke LBH ―Pengayoman‖ UNPAR dan ditindaklanjuti
secara langsung oleh staf dan relawan (mulai menanyakan mengenai identitas klien
hingga penjelasan atas situasi atau permasalahan hukum yang dialami klien yang
terwujud dalam kasus posisi serta opini hukum). Selain datang ke LBH ―Pengayoman‖
UNPAR, klien dapat berasal dari klien lembaga lain sejenis yang memberikan bantuan
hukum. Jika hal itu terjadi, maka dapat dilakukan pembagian penanganan perkara secara
bersama atau pelimpahan penanganan perkara ke LBH ―Pengayoman‖ UNPAR.

Opini hukum dalam kegiatan konsultasi hukum untuk perkara sederhana dapat
diberikan oleh staf maupun relawan LBH Pengayoman (hal ini dapat dilakukan jika staf
dan relawan telah menangani perkara serupa sebelumnya), namun opini hukum untuk
perkara yang pertama kali ditangani atau cukup sulit hingga sulit akan melalui proses
diskusi dengan Kepala LBH ―Pengayoman‖ UNPAR dan akademisi/ praktisi relevan.
Sedangkan opini hukum dalam kegiatan pendampingan hukum akan dilakukan oleh
Kepala LBH ―Pengayoman‖ UNPAR dan/atau Advokat relevan dengan proses
penyusunannya (pembahasan kasus secara mendalam dengan berpikir yuridis sistematis
hingga dokumen hukum) bersama dengan para staf dan relawan. Pada proses
pendampingan hukum di pengadilan, staf dan relawan dapat hadir pula untuk merasakan
dan mengamati prosesnya secara langsung.

Konsultasi hukum bagi semua klien tidak ada biaya apapun. Sedangkan
pendampingan hukum diberlakukan tanpa biaya apapun (termasuk biaya perkara) hanya
terbatas bagi klien tidak mampu secara ekonomi yang ditunjukkan melalui Surat
Keterangan Tidak Mampu dari ketua RT/ RW setempat. Lalu pendampingan hukum bagi
klien dengan tingkat rata-rata (cukup secara ekonomi, tidak mampu membayar jasa
hukum Advokat) akan digratiskan biaya jasa hukum Advokat dan hanya membayar biaya
perkara relevan saja. Pendampingan hukum untuk proses litigasi dilihat berdasarkan
jumlah perkara yang sedang ditangani LBH ―Pengayoman‖ UNPAR dan wilayah
prosesnya terbatas di kotamadya Bandung dan kabupaten Bandung.

Kegiatan rutin. Penyuluhan hukum rutin dengan siaran radio ialah pelayanan
hukum yang dilakukan setiap dua minggu sekali (kecuali pada hari libur) di salah satu
radio yang telah menjalin kerja sama dengan LBH ―Pengayoman‖ UNPAR berupa
pembahasan materi hukum yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat atau aspek
hukum lain yang penting untuk diketahui oleh masyarakat wilayah Bandung. Seringkali
LBH ―Pengayoman‖ UNPAR juga berkoordinasi dengan mengundang pihak lain seperti

349
akademisi UNPAR (misal dosen, mahasiswa Pascasarjana Hukum UNPAR) dan/atau
praktisi dari luar UNPAR (misal Advokat bukan dosen UNPAR, Lembaga Swadaya
Masyarakat) sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut. Siaran radio ini sekaligus
sebagai sarana mensosialisasikan mengenai keberadaan LBH ―Pengayoman‖ UNPAR.
Sedangkan penyuluhan hukum rutin dengan mendatangi warga binaan di lembaga
pemasyarakatan dilakukan setiap dua minggu sekali (kecuali pada hari libur) di salah
satu lembaga pemasyarakatan wilayah Bandung yang telah menjalin kerja sama dengan
LBH ―Pengayoman‖ UNPAR berupa pembahasan materi hukum yang diperlukan
mereka. Konsultasi hukum juga dapat diberikan, apabila warga binaan tersebut
membutuhkannya. Kegiatan ini dilakukan anggota LBH ―Pengayoman‖ UNPAR dengan
beberapa mahasiswa aktif lain yang berasal dari mata kuliah Penologi dan
Pemasyarakatan.Kegiatan rutin ini dilakukan secara bergantian dengan kisaran
penyelenggaraannya satu hingga dua kali dalam satu bulan.

Kegiatan tambahan. Pendidikan dan pelatihan hukum internal merupakan suatu


kegiatan yang dilakukan dengan mengundang pihak-pihak yang terampil dalam
bidangnya untuk mengembangkan wawasan serta meningkatkan ketrampilan para staf
dan relawan dari LBH ―Pengayoman‖ UNPAR. Kegiatan ini disesuaikan dengan
kebutuhan anggota di setiap semesternya. Selain penyuluhan hukum rutin, terdapat pula
penyuluhan hukum tidak rutin yang disesuaikan dengan kebutuhan sekitar (pihak yang
didatangi). Penyuluhan hukum ini dapat ditujukan untuk masyarakat (peserta
penyuluhan) di dalam maupun di luar UNPAR (dalam wilayah Bandung dan sekitarnya)
dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan ketaatan hukum seperti ke Sekolah
Menengah Atas, warga sekitar UNPAR, warga di desa tertentu. Sedangkan pelatihan
hukum ialah kegiatan yang diselenggarakan untuk memberikan pengetahuan hukum
sekaligus meningkatkan ketrampilan hukum tertentu bagi masyarakat (peserta pelatihan)
di dalam maupun di luar UNPAR (dalam wilayah Bandung dan sekitarnya) seperti
Sekolah Menengah Kejuruan, aparat atau warga di desa tertentu. Diskusi hukum yakni
kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengembangkan dan mendalami wawasan teori
serta praktik hukum bagi staf, relawanLBH ―Pengayoman‖ UNPAR, dan mahasiswa
Fakultas Hukum UNPAR. Tema dari diskusi ini ditentukan berdasarkan kasus menarik
yang ditangani dan dibahas dengan mengundang para akademisi maupun praktisi yang
membidanginya secara mendalam. Kegiatan tambahan ini dapat dilakukan secara
bergantian dengan kisaran penyelenggaraannya satu hingga tiga kali dalam satu tahun.

Kegiatan Utama Kegiatan Rutin Kegiatan Tambahan


Konsultasi Hukum Penyuluhan Hukum Pendidikan dan Pelatihan
melalui siaran radio Hukum Internal

Pendampingan Hukum Penyuluhan Hukum di Penyuluhan Hukum tidak


Litigasi lembaga pemasyarakatan rutin
kota Bandung
Pendampingan Hukum Pelatihan Hukum
non-Litigasi Diskusi Hukum

350
Berdasarkan deskripsi singkat di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan hukum klinis
yang berjalan di LBH Pengayoman ialah program in-house clinic berupa life client/ real
client clinic dan street law clinic serta program out-house clinic yakni mobile clinic.

Pelaksanaan masing-masing beragam kegiatan di atas diiringi dengan kesesuaian


visi misi UNPAR (universitas dan fakultas), setiap kegiatan yang dilakukan didasarkan
pada POB yang dikoordinasikan dengan Dekan serta Wakil Dekan relevan, dan
pendokumentasian secara tersurat dan digital. Pelaksanaan pendidikan hukum klinis di
LBH ―Pengayoman‖ UNPAR itu sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo
bahwa tujuan mempelajari Ilmu Hukum untuk menguasasi teknik menyelesaikan
permasalahan hukum yang meliputi kemampuan memahami peristiwa hukum,
merumuskan masalah hukum, menemukan, hingga menentukan solusi hukum yang
tepat.383 Dengan bekal tersebut, diharapkan Sarjana Hukum memperluas dan mendalami
apa yang telah diketahuinya dengan bertanggung jawab.

D. PENUTUP
Pendidikan hukum klinis dapat dilakukan dengan beragam alternatif dan bentuk.
Apapun ragamnya memiliki tujuan sama yakni memberikan pondasi bagi mahasiswa
Fakultas Hukum dalam meniti karier profesional kelak yaitu pengalaman dalam
memahami aturan dan teori hukum secara kritis dengan keahlian praktik advokat/
konsultan hukum, memiliki komitmen terhadap moral, etika, nilai-nilai keadilan sosial,
serta kepedulian pada kelompok marjinal.

Pendidikan hukum klinis melalui LBH kampus memerlukan standar dalam


pelaksanaan beragam kegiatan bantuan hukum. Standar pendidikan hukum klinis di LBH
―Pengayoman‖ UNPAR yang telah ada antara lain:
1. Standar struktur lembaga yang dipertanggungjawabkan kepada Dekan FH UNPAR.
2. Standar pembiayaan keuangan berasal dari Yayasan UNPAR yang dilakukan
berdasarkan POB yang ditentukan.
3. Standar pelaksanaan kegiatan utama, kegiatan rutin, dan kegiatan tambahan yang
disesuaikan dengan visi misi lembaga dengan disertai POB dan formulir baku relevan.
4. Standar rekrutmen staf dan relawan yang berasal dari mahasiswa dengan disertai
penanaman nilai kehidupan yang dibiasakan sejak awal penerimaan magang hingga
lulus menjadi Sarjana Hukum.
5. Standar pendokumentasian secara tersurat dan digital.

Kemudian diperlukan pembentukan standar lebih detail mengenai:


1) komponen perencanaan dan komponen refleksi dari setiap kegiatan pemberian
bantuan hukum yang akan dan telah dilakukan;
2) kerjasama dengan pihak lain untuk membentuk jaringan lebih luas;

383
Sudikno Mertokusumo. 2011. Teori Hukum. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 9-10.

351
agar menjadi lebih matang pendidikan hukum klinis di LBH ―Pengayoman‖ UNPAR
pada masa mendatang.

E. DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Cendana Press. Jakarta.
Berbec-Rostas, Mariana. 30 Januari-3 Februari 2007. Clinical Legal Education: General
Overview. First Southeast Asian Clinical Legal Education Teachers Training.
Manila-Philippines.
Churchill, Gregory. 1980. Pendidikan Hukum Klinis Suatu Tinjauan. dalam buku
―Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia‖. Alumni. Bandung.
Indonesian Legal Resource Center. 2009. Pendidikan Hukum KlinikTinjauan Umum.
Jakarta.
Indonesian Legal Resource Center. 2014. Panduan Standar Minimum Pelayanan Bantuan
Hukum. Jakarta.
Indonesian Legal Resource Center. 2014. Tinjauan Umum Pendidikan Hukum Klinis dan
Bantuan Hukum. Jakarta.
Hendra Winata, Frans. 2000. Bantuan Hukum–Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Hendra Winata, Frans. 2009. Pro Bono Publico. PT Gramedia Pustaka Indonesia. Jakarta.
LBH Pengayoman UNPAR. Sejarah LBH Pengayoman.
http://lbhpengayoman.unpar.ac.id/profil/sejarah/ diakses 28 April 2017.
Sudikno Mertokusumo. 2011. Teori Hukum. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sunggono, Bambang & Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia.
CV Mandar Maju. Bandung.
Susilo, Ispurwandoko. Pendidikan Hukum Klinikdalam Pelaksanaan UU No. 16 Tahun
2011 Tentang Bantuan Hukum.
http://ejournal.unicen.ac.id/index.php/JHM/article/view/202/187 Jurnal Hukum dan
Masyarakat. Volume 13. Nomor 2. April 2014.
Wahyudi, Setiyono. 2008. Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum.Bayumedia. Malang
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Visi dan Misi
YLBH.http://www.ylbhi.or.id/visi-dan-misi/ diakses 1 Mei 2017.

352
PENGARUH KERJASAMA INSTITUSI BAGI
KEBERLANGSUNGAN STREET LAW DALAM KLINIK ANTI KORUPSI FH
UNPAD

Erika Magdalena Chandra, S.H., M.H.384

ABSTRAK

Model street law dalam pendidikan hukum klinis mempunyai tujuan utama untuk
mengembangkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dimana klinik hukum tersebut
berada. Melalui model street law, mahasiswa Klinik Hukum Anti Korupsi dapat
menyebarluaskan pengetahuan mereka tentang nilai-nilai anti korupsi sekaligus mengajak
pihak luar (selain diri mereka sendiri) untuk ikut terlibat baik secara aktif maupun pasif
dalam gerakan anti korupsi. Hal ini sejalan dengan tujuan didirikannya klinik hukum anti
korupsi khususnya Klinik Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH
UNPAD). Oleh karenanya, dalam pelaksanaan model street law ini dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan pengajaran di sekolah, advokasi kepada para stake holder dimana
sebelumnya penelitian telah dilakukan, serta kampanye gerakan anti korupsi di masyarakat.
Dalam melaksanakan model street law ini, diperlukan kerja sama yang baik antar
institusi mengingat diperlukannya beberapa bidang ilmu dan pengetahuan lain di luar ilmu
hukum bagi mahasiswa untuk dapat melaksanakan kegiatannya. Ilmu lain yang diperlukan
antara lain bidang ilmu pedagogi untuk pengajaran, bidang ilmu komunikasi dalam public
speaking dan media planning yang dapat membantu mahasiswa dalam melakukan
pengajaran, advokasi dan kampanye anti korupsi. Adapun kerja sama yang diperlukan
dalam hal ini adalah kerja sama antara FH UNPAD sebagai institusi, Klinik Anti Korupsi
FH UNPAD sebagai bagian dari institusi FH UNPAD, dan mitra dari klinik yakni Bandung
Institute of Government‟s Studies (BIGS) serta institusi terkait lainnya, antara lain institusi
tempat dimana kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan, diantaranya adalah sekolah sebagai
tempat mahasiswa melakukan kegiatan pengajaran dan institusi pemerintah di kota
Bandung dimana mahasiswa melakukan penelitian serta advokasi.
Selanjutnya artikel ini akan terbagi menjadi tiga bagian, pada bagian pertama, akan
dibahas mengenai urgensi penerapan model street law dalam klinik hukum. Di bagian
kedua, akan dipaparkan mengenai pelaksanaan model street law dalam klinik anti korupsi
FH UNPAD. Di bagian terakhir, akan diuraikan mengenai pengaruh kerjasama antar
institusi dalam keberlangsungan model street law di klinik anti korupsi FH UNPAD.

Kata Kunci : Kerjasama, Institusi, Street-Law, Klinik, Anti-Korupsi

I.URGENSI MENGGUNAKAN MODEL STREET LAW DALAM KLINIK HUKUM

384
Tenaga Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, alamat email : erika.magdalena@unpad.ac.id

353
Pendidikan klinik hukum, (Clinical Legal Education, selanjutnya akan disebut CLE),
merupakan sebuah ideologi dan pedagogi pendidikan yang progresif yang seringkali
diimplementasikan melalui program universitas. Klinik merupakan kelas interaktif, kelas
hands-on yang menerapkan metode learning bydoing.385 Adapun pengertian Klinik Hukum
terkadang diartikan berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dimasing-masing tempat. CLE
menurut R. Grimes adalah :386
“a learning environment where students identify, research and apply knowledge
in a setting which replicates, at least in part, the world where it is practiced.... It
almost inevitably means that the student takes on some aspect of a case and
conducts this as it would...be conducted in the real world.”

Selanjutnya terdapat definisi lain mengenai CLE dari Mariana Berbec-Rostas yakni
:387an educational program grounded in an interactive and reflective teaching
methodology with the main aim of providing law students with practical
knowledge, skills, and values for the delivery of legal services and social justice
Berdasarkan kedua definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa CLE merupakan
pendidikan, yang menggunakan metode pengajaran interaktif, yang mempersiapkan
mahasiswa untuk dapat terjun langsung menerapkan ilmunya ke dunia praktek. Didalam
CLE ini, mahasiswa pun diajarkan untuk peduli dan peka kepada lingkungannya terkait
penerapan hukum, access to justice kepada masyarakat yang mungkin belum mengetahui
mengenai hukum ataupun kepada masyarakat yang tertindas.
CLE dimulai di Amerika Serikat kemudian diikuti oleh Kanada, Australia dan
Inggris388, dimana CLE ini dimulai dari meningkatnya akan kebutuhan terhadap bantuan
hukum dan kebutuhan terhadap pembaharuan pendidikan hukum yang membawa lebih
banyak pendekatan praktik dalam praktik hukum. 389 Berdasarkan sejarah, CLE mulai
dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu di Amerika Serikat, yang memulainya dengan
menerapkan beberapa metode mengajar yang bersifat eksperensial dalam pengajaran ilmu
hukum.390
Perkembangan CLE dimulai dari tahun 1870 dimana Dekan Harvard Law School,
Christopher Columbus Langdell, memulai penggunaan metode kasus dalam mengajar
hukum yang menggantikan pelatihan magang sebelumnya ataupun pembelajaran tentang
hukum sebagai sebuah abstraksi.391 Metode ini menghasilkan mahasiswa hukum yang
―mempelajari pendapat-pendapat hukum tentang perkara banding dan kemudian

385
What is Clinical Legal Education? [https://www.babseacle.org/clinical-legal-education/]
386
Emil Winkler, Clinical Legal Education-a report on the concept of law clinics,
[http://law.handels.gu.se/digitalAssets/1500/1500268_law-clinic-rapport.pdf], hlm. 4
387
Mariana Berbec-Rostas, Clinical Legal Education : General Overview-Open Society Justice Initiative :
Legal Capacity Develompent Program Documents (Open Society Justice Initiative), Materials in First Southeast Asia
Clinical Legal Education Teacher Training, January 30-February 3, 2007, Manila, Philipines, hlm. 21
388
Ibid, hlm. 5
389
Ibid, hlm. 5
390
Bruce Avery Lasky dan Shuvro Posun Sarker, Introduction : Clinical Legal Education and Its Asian
Characteristics, Dalam Clinical Education in Asia : Accesing Justice For the Underprivileged, Editor Shuvro Posun
Sarker, Palgrave Macmillan, New York, Amerika Serikat, 2015, hlm. 1
391
Ibid

354
menyaringnya dengan menggunakan perkembangan yang terjadi dalam prinsip-prinsip
hukum‖.392

Metode ini selanjutnya dikritisi sebagai sebuah metode yang agresif, merendahkan dan
merusak keterpaduan kelompok. Pelaksanaan metode ini juga dikritisi sebagai pemborosan
waktu dikelas. Hal ini dikarenakan metode kasus hukum ini ternyata tidak dapat membantu
seseorang yang ingin menjadi pengacara untuk mengembangkan kemampuannya dalam
situasi nyata. Kritik tersebut juga menekankan pada kurangnya analisis mahasiswa
terhadap klien dalam situasi yang kompetitif dan mahasiswa menjadi terisolasi dengan
menggunakan metode ini. Mahasiswa hanya diajari untuk mempersiapkan diri dalam
menghadapi ujian. Pembatasan ini selanjutnya mempersempit kesempatan mahasiswa
untuk mempelajari kemampuan bekerja dalam tim yang sangat penting dalam praktik
hukum yang sesungguhnya.393
Di Indonesia, CLE juga mendapat perhatian penting saat Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M., mendirikan Laboratorium Klinik Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) pada tanggal 18 Februari 1969. Mahasiswa
bekerja didalam Laboratorium Klinik Hukum di Biro Bantuan Hukum Universitas
Padjadjaran (BBH Unpad) dibawah bimbingan dosen untuk menyelesaikan 1 (satu) kasus
yang masuk ke BBH Unpad mulai dari awal proses hingga nantinya putusan di Pengadilan.
Penyelesaian kasus ini selanjutnya akan dianggap sebagai penyelesaian tugas akhir yang
menggantikan Skripsi.
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., CLE merupakan pendidikan
yang bertujuan untuk mengajarkan beberapa keterampilan teknik hukum yang akan
dibutuhkan oleh seorang ahli hukum bila terjun ke dalam masyarakat setelah lulus dari
Fakultas Hukum. CLE merupakan suatu segi yang harus diperhatikan bila tujuan
pendidikan hukum adalah untuk kebutuhan negara merdeka yang sedang berkembang
hendak mempunyai arti. Hal ini disebabkan karena tanpa keterampilan-keterampilan teknis
(legal skills) yang demikian, tujuan yang hendak dicapai dengan pendidikan yang hendak
diperbarui itu tidak akan dapat dirasakan manfaatnya dalam kenyataan. 394

Lebih lanjut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. mengatakan bahwa CLE
yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis melainkan
juga harus menghadapkan mahasiswa-mahasiswa pada keadaan-keadaan yang akan
dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan atau
sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem solving attitude. Hal ini
dilakukan agar mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pendidikan
hukum di Indonesia saat itu, antara lain : (1) pendidikan hukum yang diperoleh kurang
relevan dengan kenyataan yang dijumpai oleh para lulusan, (2) para lulusan yang tidak
dipersiapkan untuk pekerjaan-pekerjaan praktis yang menjadi akan tugas mereka, (3) para
lulusan tidak dipersiapkan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi walaupun

392
Ibid
393
Ibid, hlm. 2
394
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 61-62
12
Ibid, hlm. 62-63

355
sebenarnya mereka memiliki bekal pengetahuan untuk memecahkannya akan tetapi mereka
tidak dapat memecahkan persoalan tersebut.12

Selanjutnya, didalam CLE terdapat beberapa model klinik bantuan hukum tradisional
dalam pelaksanaannya, yaitu :
1. Individual service model, bertujuan untuk menyediakan bantuan hukum secara
tradisional kepada orang miskin ataupun orang yang tidak terlindungi. 395
2. Specialization model, didefinisikan sebagai sebuah area khusus dari kepentingan
hukum396
3. Community model clinics, yang memusatkan focus mereka pada geografik ataupun
komunitas lain dan mereka akan dibimbing oleh komunitas utama yang
berkomitmen untuk bekerja sama dengan komunitas yang mereka layani dan
mereka berdayakan.397

Ketiga model tradisional klinik bantuan hukum tersebut selanjutnya mendapat kritisi
antara lain :398
1. The individual model, model ini dikritik karena adanya gap antara lawyer yang
berpendidikan dengan orang miskin. Tidak ada partisipasi ataupun
keikutsertaan dari orang miskin tersebut dalam masyarakat selain hanya
membantu mereka dalam beberapa masalah. Dalam model ini, klien menjadi
sangat mudah dimanipulasi karena posisinya yang lemah.
2. The specialization model. Klinik ini dianggap menggunakan klien sebagai sapi
perah daripada menolong mereka karena model ini berdasarkan ide bahwa
mahasiswa belajar dari penyelesaian masalah yang sama terus menerus karena
kekhususan permasalahan tersebut.
3. The community model. Seringkali dalam model ini, mahasiswa mengambil
kasus group action dan terkadang mengikuti perusahaan besar yang
mempunyai ―high profile case‖ yang diliput media dan terlibat dalam diskusi
public. Oleh karenanya, banyak kritik bahwa klinik, baik orang-orangnya
maupun institusi universitas, hanya ingin meningkatkan popularitasnya saja
daripada membantu kaum termaginal ataupun kaum tertindas lainnya. Selain
itu, model ini dikritik pula karena jarang membuat komunitas menentukan
kebutuhannya. Klinik seringkali mencari permasalahan dan membuatnya
menjadi masalah hukum yang seringkali tujuannya sebenarnya hanyalah untuk
mencapai popularitas semata.
Sameer M. Ashar dalam tulisannya yang berjudul ―Law Clinics and Collective
Mobilization” juga mengkritik terhadap pelaksanaan klinik tersebut dikarenakan orang
miskin tidak dapat dilayani dengan baik dengan advokasi yang saat itu diajarkan dan
diterapkan dibeberapa klinik, terutama bila berbicara pendekatan canonical dalam CLE

395
Emil Winkler, Op.Cit., hlm. 17
396
Ibid, hlm. 18
397
Ibid
398
Ibid, hlm. 19-20

356
dimana dalam pendekatan ini secara ekslusif difokuskan pada pemberdayaan klien secara
individual sehingga hanya dapat mengalihkan sedikit kemampuan professional dalam
proses litigasi serta pembaharuan hukum. Hal ini tidak cukup efektif untuk menjadi
perhatian masyarakat dalam politik saat itu. Pendekatan ini menjadi jarang dilakukan
karena tidak memotret kondisi orang miskin secara nyata ataupun strategi pertahanan dari
aktivis dan organisasi tertentu399
Disebabkan timbulnya kritik terhadap model-model klinik sebelumnya, maka
diciptakanlah model Street Law untuk menjawab kritikan tersebut. Model ini bertujuan
untuk mengembangkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dimana klinik hukum
tersebut berada sehingga esensi dari street law adalah menjadi suatu public ataupun
komunitas pendidikan hukum.400

Street Law pertama kali didirikan oleh Edward L. O.‘Brien dan 3 orang mahasiswa
hukum serta satu orang guru besar hukum pada Georgetown University Law Center pada
tahun 1972401. Adapun pendekatan Street Law dalam pendidikan hukum menyediakan
informasi praktis dan kesempatan memecahkan masalah yang mengembangkan
pengetahuan dan keahlian mahasiswa yang dibutuhkan untuk survive dalam masyarakat
hukum kita yang jenuh. Dalam kurikulumnya, diterapkan beberapa metode pengajaran
seperti studi kasus, mock trials, role plays, small group exercises, dan visual analysis
activities.402

Untuk hasil yang lebih optimal, Street Law juga akan membutuhkan narasumber seperti
pengacara, hakim, mahasiswa hukum, polisi dan advokat demikian pula pengalaman di
pengadilan maupun dalam proses di tingkat kepolisian dan selanjutnya. Adapun metode ini
memperbolehkan mahasiswa untuk ikut berperan aktif dalam pendidikan mereka. 21

II.PELAKSANAAN MODEL STREET LAW DALAM KLINIK ANTI KORUPSI FH


UNPAD
Klinik Anti Korupsi FH UNPAD mulai dilaksanakan sebagai salah satu mata kuliah
pilihan pada Pemilihan Khusus Departemen Pidana pada semester genap tahun ajaran
2012/2013 dengan bobot 2 SKS Praktikum. Dalam Klinik Anti Korupsi, mahasiswa
mempunyai 3 (tiga) project akhir yaitu :
1. melakukan penelitian mengenai anti korupsi di suatu institusi pemerintah di kota
Bandung dan selanjutnya melakukan advokasi kepada stake holder dimana
penelitian ini sebelumnya dilakukan;
2. melakukan pengajaran nilai-nilai anti korupsi di sekolah;

399
Sameer Ashar, Law Clinics and Collective Mobilization, CUNY School of Law, 2008
400
Emil Winkler, Op.Cit., hlm.20
401
Edward L. O‘Brien, Democracy For All: Human Rights And Street Law Legal Literacy Programs;
Reflections After 20 Years of Democracy in South Africa,[ http://www.nylslawreview.com/wp-
content/uploads/sites/16/2014/11/OBrien.pdf]
402
Lee Abermen et.all, Street Law : A Course In Practical Law, Eighth Edition, United States of America, 2010, hlm. iii
21
Ibid

357
3. melakukan kampanye menyebarluaskan semangat anti korupsi dengan menyusun
media planning untuk membantu kampanye tersebut ke lingkungan sekitarnya.
Dalam melakukan penelitian, mahasiswa sebelumnya akan mendapat materi dari
pakar birokrasi yang berasal dari pemerintah kota Bandung, yang akan memaparkan
mengenai :
• birokrasi di pemerintahan;

• peran masyarakat dan pemerintah dalam menimbulkan terjadinya korupsi serta


pemberantasan korupsi korupsi;
• mengapa pentingnya mempelajari korupsi dilihat dari dampak dan cost akibat yang
ditimbulkan korupsi serta hambatan yang dialami dalam memberantas korupsi.
Pakar birokrasi ini dihadirkan dengan maksud agar mahasiswa mendapat gambaran
mengenai birokrasi di pemerintahan kota, khususnya kota Bandung, sehingga dapat
menentukan pilihan instansi dan topik penelitiannya. Adapun pakar birokrasi yang selama
ini telah membantu di Klinik Anti Korupsi FH UNPAD antara lain adalah staf salah satu
instansi di Kota Bandung, anggota DPRD Bandung dan Ketua Komisi Informasi Jawa
Barat.
Setelah itu, dalam mempersiapkan project penelitian, mahasiswa akan diberikan
materi mengenai penelitian oleh BIGS (Bandung Institute of Government‘s Studies) yang
merupakan LSM yang bergerak dalam di bidang penelitian, advokasi serta pemantauan
terhadap perilaku korupsi serta kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah khususnya
kota Bandung yang dapat menimbulkan perilaku koruptif. Adapun materi yang akan
diberikan oleh BIGS antara lain terkait dalam penentuan topik penelitian, penentuan
metode penelitian serta mengenai etika dalam melakukan penelitian. Selanjutnya,
mahasiswa akan diberi materi mengenai cara membuat desain penelitian, teknik
memperoleh data penelitian dan bagaimana cara menentukan narasumber dan informan
yang tepat bagi penelitiannya tersebut. Lebih lanjut, mahasiswa akan didampingi oleh
BIGS dalam melakukan penelitian dan advokasi di instansi terkait serta dalam melakukan
kampanye anti korupsi.

Dalam mempersiapkan ketiga project mereka, mahasiswa juga akan diberikan materi
mengenai komunikasi oleh pakar komukasi dimana mahasiswa akan diberikan materi
mengenai :
• dasar-dasar mengenai komunikasi,

• teknik melakukan wawancara, guna membantu project penelitian mereka,


• public speaking, guna membantu project penelitian, advokasi serta pengajaran,
• apa dan bagaimana melakukan advokasi,
• media planning guna membantu dalam melakukan kampanye anti korupsi mereka.
Adapun pakar komunikasi klinik anti korupsi yang selama ini membantu antara lain,
tenaga pengajar Fakultas Ilmu dan Komunikasi Universitas Padjadjaran (FIKOM
UNPAD), wartawan senior Pikiran Rakyat dan Kepala Bagian Pelayanan Informasi dan
Komunikasi Publik (PIKP) dan Staf Direktorat Pelayanan dan Pendidikan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

358
Selanjutnya, untuk membantu dalam pelaksanaan project pengajaran nilai anti korupsi
di sekolah, maka mahasiswa akan dibekali pengetahuan mengenai pedagogy, yakni ilmu
mengenai pengajaran khususnya dalam pendidikan formal oleh pengajar Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI). Didalam kelas, mahasiswa akan diberi materi mengenai
overview pendidikan dasar dan menengah, teknik dan metode pembelajaran di sekolah
dasar dan menengah serta metode mengajar yang interaktif.
Lebih lanjut, setelah mahasiswa mengetahui mengenai hal tersebut, maka diharapkan
mereka dapat membuat bahan ajar dan desai metode pembelajaran yang rencananya akan
dilakukan di sekolah. Bahan ajar dan desain metode pembelajaran tersebut akan dibahas
dengan menggunakan metode role play mengajar dan kemudian, rekan-rekan mahasiswa
akan memberikan masukan terhadap cara mengajar, bahan ajar dan metode pembelajaran
yang dilaksanakan sebelumnya oleh rekannya tersebut.
Setelah mendapatkan bekal untuk mengerjakan project mereka, maka mahasiswa akan
memulai ketiga project mereka dalam berkelompok secara bersamaan. Dalam project
penelitian, mereka akan memulainya dengan mengurus perijinan yang dibutuhkan untuk
dapat melakukan penelitian di instansi yang dituju dan selanjutnya melakukan penelitian
dan menuliskannya dalam bentuk laporan akhir. Hasil temuan mereka dalam penelitian
tersebut akan di advokasikan kepada para stake holder sebagai masukan kedepan agar
kinerja instansi tersebut menjadi lebih baik dan jauh dari potensi-potensi melakukan
korupsi. Dalam kegiatan ini mereka selain didampingi oleh tim instruktur dari Klinik Anti
Korupsi FH UNPAD juga akan didampingi oleh tim peneliti dari BIGS.
Selanjutnya dalam project pengajaran, mahasiswa akan diminta untuk mempersiapkan
bahan ajar serta proposal yang dibutuhkan untuk dapat mengurus perijinan ke sekolah yang
dituju. Dalam persiapan bahan ajar serta proposal pengajaran, mahasiswa akan didampingi
selain oleh instruktur Klinik Anti Korupsi FH UNPAD, juga akan didampingi oleh
pengajar dari UPI yang sebelumnya telah memberikan materi. Setelah mendapat
persetujuan dari sekolah yang dituju, selanjutnya, mahasiswa akan berkonsultasi dengan
tim guru yang ditunjuk oleh pihak sekolah dalam menyusun bahan ajar yang akan
dilaksanakan dalam mengajar nantinya.
Lebih lanjut dalam project kampanye anti korupsi, mahasiswa didampingi kembali
oleh tim instruktur Klinik Anti Korupsi serta tim peneliti dari BIGS untuk kemudian
membuat konsep media planning guna membantu pelaksanaan kampanye tersebut yang
selanjutnya akan dilaksanakan ditempat yang dituju. Tentunya berbagai persiapan selain
konsep dan pembuatan media planning, juga perijinan dan persiapan tempat harus
dilakukan oleh mahasiswa agar pelaksanaan kampanye tersebut dapat berjalan lancar.

III.PENGARUH KERJA SAMA ANTAR INSTITUSI DALAM KEBERLANGSUNGAN


MODEL
STREET LAW DI KLINIK ANTI KORUPSI FH UNPAD

359
Sebagaimana telah diuraikan diatas mengenai pelaksanaan model street law dalam Klinik
Anti
Korupsi FH UNPAD, maka dapat dilihat peranan penting kerja sama antar institusi
didalam pelaksanaan klinik tersebut. Pada masa persiapan di kelas (planning component)
dan pelaksanaan kegiatan (experiential component) terdapat beberapa institusi yang terkait
dalam pelaksanaannya, yakni :
1. FH UNPAD sendiri sebagai suatu institusi dimana Klinik Anti Korupsi FH
UNPAD berada. Institusi FH UNPAD telah mendukung seluruh kegiatan Klinik
Anti Korupsi mulai dari menyediakan dana untuk running klinik, membantu
pengurusan surat menyurat baik untuk perijinan maupun undangan kepada dosen
tamu hingga pada saat pelaksanaan pun telah menyediakan tempat maupun
peralatan dan bahan-bahan yang dipakai oleh mahasiswa dalam menyelesaikan
project nya.
2. BIGS sebagai partner Klinik Anti Korupsi FH UNPAD, dimana BIGS membantu
dalam persiapan perkuliahan, antara lain penyusunan silabus Klinik Anti Korupsi
FH UNPAD dan mencari narasumber yang memberikan materi serta memberikan
materi penelitian kepada mahasiswa. Selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan,
BIGS juga mendampingi mahasiswa dalam melakukan persiapan penelitian
(penentuan topik penelitian, menyusun desain penelitian dan proposal penelitian
serta pengurusan ijin penelitian), pelaksanaan penelitian serta dalam pembuatan
laporan akhir dan pelaksaan advokasi di instansi terkait.
3. Pemerintah Kota Bandung, sebagai pemberi materi Birokrasi dan Korupsi, dimana
selanjutnya mahasiswa menentukan topik penelitiannya. Pemerintah Kota Bandung
juga merupakan tempat dimana mahasiswa melakukan penelitian serta melakukan
advokasi atas hasil penelitiannya.
4. UPI. Salah satu tenaga pengajar UPI, yakni Drs. Djaenudin Harun, SH., MS., telah
menjadi dosen tamu di Klinik Anti Korupsi sejak 2014 yang memberikan materi
mengenai ―Pengajaran NilaiNilai Anti Korupsi di Sekolah‖. Di kelas, mahasiswa
setelah mendapatkan materi tersebut kemudian mencoba menerapkannya dalam
simulasi mengajar di kelas yang selanjutnya akan dinilai dan diberi masukan oleh
rekan-rekan mahasiswa dan terakhir oleh dosen tamu tersebut. Selanjutnya, beliau
juga mendampingi mahasiswa dalam menyusun bahan ajar serta bahan-bahan yang
dipakai untuk mengajar.
5. Sekolah. Sejak Klinik Anti Korupsi berdiri pada tahun 2013, pihak sekolah selalu
menjadi tempat mahasiswa mempraktekkan pengajaran nilai-nilai anti korupsi yang
sebelumnya telah terinternalisasi dalam dirinya. Selain menjadi tempat untuk
mengajar, sekolah juga menjadi tempat mahasiswa belajar dimana setelah
mendapat ijin dari pihak sekolah, maka selanjutnya guru kelas akan mendampingi
mahasiswa dalam membuat bahan ajar serta bahan-bahan yang akan dipakai untuk
mengajar.
6. KPK. Sejak Klinik Anti Korupsi berdiri, KPK telah mendukung kegiatan Klinik
Anti Korupsi terutama dalam menyediakan bahan-bahan yang akan dipakai
mahasiswa dalam melakukan pengajaran maupun kampanye anti korupsi. Selain

360
itu, sejak 2016, KPK telah mengirimkan tim nya untuk memberikan materi kepada
mahasiswa khususnya mengenai Komunikasi dalam Gerakan Anti Korupsi dan
Pendidikan Anti Korupsi.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat terlihat bagaimana kerja sama antar institusi
sangat membantu pelaksanaan kegiatan Klinik Anti Korupsi FH UNPAD dari sejak berdiri
dan menjadi mata kuliah pada tahun 2013 (semester genap 2012/2013). Terlebih karena
model yang dipakai dalam Klinik Anti Korupsi adalah Street Law, maka peran kerja sama
yang baik antar institusi sangatlah besar dalam mendukung terlaksana dengan baiknya
project mahasiswa Klinik Anti Korupsi FH UNPAD, yaitu penelitian dan advokasi,
pengajaran dan kampanye anti korupsi. Diharapkan dengan terlaksananya project
mahasiswa dengan baik, maka mahasiswa selain dapat menginternalisasi nilai-nilai anti
korupsi dalam dirinya, mahasiswa juga dapat menyebarluaskan nilai-nilai anti korupsi
tersebut kepada masyarakat dan lingkungannya.

361
DAFTAR PUSTAKA

Abermen, Lee, et.all, Street Law : A Course In Practical Law, Eighth Edition, United
States of America,
2010
Ashar, Sameer, Law Clinics and Collective Mobilization, CUNY School of Law, 2008
Berbec-Rostas, Mariana, Clinical Legal Education : General Overview-Open Society
Justice Initiative : Legal Capacity Develompent Program Documents (Open
Society Justice Initiative),
Materials in First Southeast Asia Clinical Legal Education Teacher Training,
January 30-
February 3, 2007, Manila, Philipine
Lasky, Bruce Avery dan Sarker, Shuvro Posun, Introduction : Clinical Legal Education
and Its Asian Characteristics, Dalam Clinical Education in Asia : Accesing
Justice For the Underprivileged, Editor Shuvro Posun Sarker, Palgrave
Macmillan, New York, Amerika
Serikat, 2015
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, 2006
O‘Brien, Edward L., Democracy For All: Human Rights And Street Law Legal Literacy
Programs;
Reflections After 20 Years of Democracy in South Africa,
[http://www.nylslawreview.com/wp-
content/uploads/sites/16/2014/11/OBrien.pdf]
What is Clinical Legal Education? [https://www.babseacle.org/clinical-legal-education/]
Winkler, Emil, Clinical Legal Education-a report on the concept of law clinics,
[http://law.handels.gu.se/digitalAssets/1500/1500268_law-clinic-rapport.pdf]

362
MODEL KOORDINASI ANTAR LEMBAGA DALAM PELAKSANAAN MODEL

STREET LAW CLINIC: REFLEKSI TERHADAP KLINIK HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNPAD

NELLA SUMIKA PUTRI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

Kata Kunci : Koordinasi, Street Law Clinic, Klinik Hukum Pidana

Abstrak

Pada awal mula pembentukannya Klinik Hukum Pidana FH Unpad merupakan klinik
bantuan hukum (legal aid clinic) yang menggunakan model externship melalui kegiatan
magang di Kepolisian, Kejaksaan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Dalam
perkembangannya, Klinik Hukum Pidana FH Unpad menerapkan model street law clinic .
Model street law clinic pada Klinik Hukum Pidana ini baru dimulai pada tahun ajaran
2016/2017 yakni dengan kegiatan sosialisasi dan pendampingan bagi masyarakat (kurang
mampu) yang memiliki permasalahan hukum pidana. Melalui model ini, mahasiswa turun ke
masyarakat untuk berbagi pengetahuan melalui kegiatan sosialisasi peraturan-peraturan
hukum pidana (formil dan materiil) serta kegiatan pendampingan bagi masyarakat yang
memiliki masalah hukum pidana. Dalam pelaksanaan kegiatannya, klinik hukum pidana FH
Unpad bekerja sama dengan beberapa lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Penerapan model street law pada klinik Hukum Pidana
telah berjalan dengan baik dan mendapatkan evaluasi positif dari mahasiswa. Mahasiswa
bersama LBH Bandung melakukan sosialisasi dan pendampingan di Desa Antajaya, Bogor.
Namun demikian, berdasarkan hasil evaluasi (refleksi) mengemuka sejumlah
hambatan yang perlu diperbaiki. Salah satu hambatan yang dirasakan dalam pelaksanaan
model street law di klinik hukum pidana FH Unpad antara lain adalah masalah koordinasi
dengan para lembaga penegakan hukum yang berkaitan dengan model pengajaran, waktu
pelaksanaan, mekanisme pengawasan dan model kegiatan yang dapat dilakukan dalam
melaksanakan kegiatan di lapangan. Artikel ini akan membahas tentang berbagai hambatan
dalam pelaksanaan kegiatan klinik hukum pidana untuk dikaji dan mendapatkan solusi
penyelesaiannya.

363
I. Pendahuluan

Kegiatan klinik hukum pidana merupakan bagian dari tujuan utama dari perguruan tinggi
untuk dapat menggabungkan aspek teori dan praktis dari hukum untuk memperoleh proses
pembelajaran yang lebih baik dan mempersiapkan lulusan yang siap pakai dalam
menjalankan profesi penegak hukum.403 Untuk mewujudkan hal tersebut, klinik hukum
pidana memberikan kesempatan kepada mahasiswa Fakultas Hukum Unpad untuk dapat
mempelajari berbagai kemampuan terkait dengan berbagai keahlian yang berhubungan
dengan profesi hukum antara lain sebagai penyidik, penuntut umum dan sebagai penasihat
hukum.

Pada awal mula pembentukannya Klinik Hukum Pidana FH Unpad merupakan klinik bantuan
hukum (legal aid clinic) yang menggunakan model externship melalui kegiatan magang
lembaga penegak hukum. Klinik hukum pidana FH Unpad, dalam pelaksanaan kegiatannya,
bekerja sama dengan beberapa lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Bandung. Melalui model externship tersebut diharapkan mahasiswa FH
khususnya mahasiswa klinik hukum pidana dapat mengasah kemampuan praktik di lapangan
khususnya dalam menerapkan teori-teori yang di dapat dalam perkuliahan.
Dalam perkembangannya, Klinik Hukum Pidana FH Unpad menerapkan model street law
clinic. Model street law clinic pada Klinik Hukum Pidana ini baru dimulai pada tahun ajaran
2016/2017 yakni dengan kegiatan sosialisasi dan pendampingan bagi masyarakat (kurang
mampu) yang memiliki permasalahan hukum pidana. Melalui model ini, mahasiswa turun ke
masyarakat untuk berbagi pengetahuan melalui kegiatan sosialisasi peraturan-peraturan
hukum pidana (formil dan materiil) serta kegiatan pendampingan bagi masyarakat yang
memiliki masalah hukum pidana.
Pada kegiatan street law clinic di klinik hukum pidana yang perdana ini, mahasiswa bersama
LBH Bandung melakukan sosialisasi dan pendampingan di Desa Antajaya, Bogor, yang
masih berada di wilayah Kecamatan Tanjungsari. Pemilihan lokasi pendampingan dan
sosialisasi ini dilakukan atas dasar inisiatif dari LBH Bandung yang pada saat kegiatan klinik
berlangsung sedang menangani kasus lingkungan di wilayah tersebut, sehingga dengan
adanya kasus yang nyata mahasiswa dapat terlibat secara langsung dengan masyarakat yang
sedang berhadapan dengan hukum. Pada kegiatan lapangan ini mahasiswa melakukan analisis
dan pemetaan serta melakukan praktik bantuan hukum dengan didampingi oleh LBH
Bandung terhadap masyarakat Antajaya.
Penerapan model street law pada klinik Hukum Pidana pada tahun ajaran 2016/2017 telah
diselenggarakan dan berjalan dengan baik serta mendapatkan evaluasi positif dari mahasiswa.
Nilai positif yang dirasakan dan didapat oleh mahasiswa adalah menambah kemampuan
praktik, khususnya dalam menghadapi klien dan mencari solusi hukum, kemampuan
berinteraksi dengan masyarakat serta menumbuhkan kesadaran akan pentingannya social
justice.

403
Roger S Haydock, Clinical Legal Education: The History and Development of a Law Clinic, William Mitchell Law
Review, Vol. 9, Issue.1, 1983, Hlm 104.

364
Namun demikian, di sisi lain selain nilai positif, berdasarkan hasil evaluasi (refleksi)
mengemuka sejumlah hambatan yang perlu diperbaiki dari kedua belah pihak baik dari
mahasiswa maupun dari penyelenggara. Salah satu hambatan yang dirasakan dalam
pelaksanaan model street law di klinik hukum pidana FH Unpad antara lain adalah masalah
koordinasi dengan para lembaga penegakan hukum yang berkaitan dengan model pengajaran,
waktu pelaksanaan, mekanisme pengawasan dan model kegiatan yang dapat dilakukan dalam
melaksanakan kegiatan di lapangan termasuk dengan mahasiswa.
Artikel ini akan membahas tentang, bagaimana model koordinasi yang dapat dilakukan antara
lembaga penegak hukum sehingga masing-masing lembaga dapat memberikan kontribusi
yang maksimal terhadap pelaksanaan model Street Law Clinic. Masalah lain yang akan
dijabarkan adalah mencari dan menganalisis berbagai hambatan dalam pelaksanaan kegiatan
klinik hukum pidana untuk dikaji dan mendapatkan solusi penyelesaiannya.

II. Street Law Clinic


Street Law Clinic merupakan salah satu bagian dari model kegiatan pendidikan klinik hukum.
Pendidikan klinik hukum sendiri dapat diartikan menurut mahasiswa dan praktisi hukum
sebagai bekerja dengan klien yang sebenarnya (real clients) atau dalam konteks ―skills‖,
sedangkan bagi akademisi memahami pendidikan klinik hukum dalam artian yang lebih luas
yaitu berpusat pada metode pengajaran dibandingkan dengan model perkuliahan yang bersifat
tradisional.404
Tujuan utama dari Street Law Clinic bagi mahasiswa fakultas hukum adalah mendorong
mahasiswa untuk dapat terlibat langsung dengan masyarakat serta mewajibkan mahasiswa
untuk mengasah pengetahuan hukum serta kemampuan untuk menyebarkan pengetahuan
tersebut (teaching skill). Untuk dapat melakukan street law, mahasiswa harus memiliki bekal
yang cukup baik secara teoritis maupun praktis untuk dapat menghadapi dan membantu
masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Street law dimulai pada tahun 1972 di Georgetown University, 405 ketika
sekelompok kecil mahasiswa mengembangkan suatu kurikulum eksperimental dalam
mengajar murid – murid di sekolah menengah atas di District of Columbia tentang hukum
dan sistem hukum. Pada awalnya street law berisikan informasi tentang bagaimana
menghindari masalah hukum dan apa yang harus dilakukan ketika suatu masalah timbul.
Yang membedakan antara Street Law Clinic dengan klinik hukum lain adalah, Street Law
Clinic tidak dalam kerangka mewakili klien, melainkan mahasiswa klinik hukum (pidana)
memberikan materi pengajaran tentang hukum, prosedur hukum, termasuk pengetahuan dan
keahlian dimana masyarakat umum dapat menggunakannya untuk mencegah dan dalam hal
tertentu dapat membantu menyelesaikan masalah hukum.406 Metode pengajaran yang pada
umumnya digunakan dalam Street Law Clinic adalah partisipasi aktif, interaktif dan terlibat
secara langsung pada kegiatan di masyarakat.5

404
Jeff Giddings dalam Australian Clininal Legal Education: Models and Definitions,
pressfiles.anu.edu.au/downloads/press/n2366/pdf/ch03.pdf, diunduh pada 3 Mel 2017, pukul 07:14 WIB.
405
law.handels.gu.se/digitalAssets/1500/1500268_law-clinic-rapport.pdf
406
Sarah E Redfield (ed), The Education Pipeline to the Profession: Programs that Work to Increase Diversity, Carolina
Academic Press, 2012, Hlm 137. 5idem

365
III. Street Law Dalam Klinik Hukum Pidana FH Unpad
Pelaksanaan street law dalam klinik hukum pidana secara resmi baru berlangsung pada T.A
2016/2017 dengan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memberikan
solusi dan pengetahuan hukum kepada masyarakat terhadap permasalahan-permasalahan
hukum yang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Cara pelaksanaan street
law dalam klinik hukum pidana dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan masyarakat,
yang dalam kesempatan ini adalah masyarakat di di Desa Antajaya, Bogor. Pada proses
pendampingan dan sosialisasi ini mahasiswa dibawah panduan dan pengawasan dari
pembimbing (LBH Bandung) dalam menerima dan bertemu klien, menganalisis masalah
hukum yang dihadapi klien termasuk memberikan opini hukum (legal advice).
Pada praktiknya pelaksanaan street law dalam klinik hukum pidana dilakukan sebagian besar
dengan bekerja sama dengan LBH Bandung. LBH Bandung memberikan kontribusi yang
sangat besar dalam kegiatan street law dalam klinik hukum pidana di FH Unpad, yaitu
dengan memberikan lokasi atau wilayah yang sesuai untuk dilakukan sosialisasi dan
pendampingan terhadap masyarakat. Penentuan lokasi yang diberikan oleh LBH Bandung
tidak dilakukan secara random melainkan telah melalui tahapan observasi terlebih dahulu.
Sebelum melakukan sosialisasi dan pendampingan tentunya mahasiswa yang tergabung
dalam klinik hukum pidana di FH Unpad telah mendapatkan pelatihan terlebih dahulu
sehingga tidak ―gagap‖ dalam menghadapi masyarakat secara langsung. Pengetahuan dan
skill secara teoritis di dapat oleh mahasiswa klinik hukum pidana di FH Unpad di tahapan
awal perkuliahan melalui materi-materi yang disampaikan oleh pengajar klinik hukum pidana
di FH Unpad, pengajar dari Kepolisian, Kejaksaan dan LBH Bandung. Setelah dianggap siap
mahasiswa baru dipersiapkan untuk terjun ke lapangan sebagai bagian dari tahapan
―experential‖.
Proses pelaksanaan street law dalam klinik hukum pidana pada mulanya diawali dengan
diskusi khususnya dengan LBH Bandung tentang bagaimana model street law dan
pelaksanaan street law yang dapat dilakukan oleh mahasiswa klinik hukum pidana. Pada
tahapan persiapan ini, koordinasi diperlukan untuk menentukan target masyarakat dan lokasi
yang akan digunakan dalam pelaksanaan street law pada klinik hukum pidana FH UNPAD.
Setelah melalui diskusi dan masukan dari LBH Bandung sebagai pihak yang memiliki
informasi yang lebih lengkap tentang kondisi masyarakat di lapangan ditetapkan Desa
Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Bogor untuk dilakukan sosialisasi dan pendampingan.
Adapun latar belakang pemilihan lokasi tempat penyelenggaraan street law clinic didasarkan
pada kasus yang terjadi di wilayah tersebut yang sedang ditangani oleh LBH Bandung yaitu
mengenai kasus lingkungan407, sehingga LBH Bandung memiliki pengetahuan yang cukup
tentang lokasi dan keadaan masyarakat di Desa Antajaya, Bogor. Terkait dengan lokasi
penyelenggaraan street law clinic dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi pada saat street

407
Kasus yang ditangani oleh LBH Bandung di Desa Antajaya, Bogor adalah terkait dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
untuk PT Gunung Salak Rekhanusa milik Koperasi Primer Karyawan Perusahaan Umum Perhutani. PT Gunung Salak
Rekhanusa melakukan penambangan batu andesit di wilayah Gunung Kandaga sejak tahun 2011. Dampak dari
penambangan batu andesit tersebut, warga Desa Antajaya mengalami masalah kerusakan lingkungan antara lain kekurangan
air bersih dan polusi. Selain masalah lingkungan timbul juga masalah turunan yaitu terjadinya konflik antar warga.

366
law clinic berlangsung tergantung dengan kasus yang ada serta kesediaan masyarakat untuk
menerima dan mendapatkan pendampingan.

Tahapan selanjutnya sebelum pelaksanaan perkuliahan klinik hukum pidana dengan


menggunakan model street law, dosen-dosen FH yang terlibat dalam klinik hukum pidana
menyusun Satuan Acara Perkuliahan untuk dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang
tahapan-tahapan perkuliahan khususnya mengenai kuantitas, waktu dan materi yang harus
disampaikan pada saat perkuliahan dilakukan.
Setelah didapat kesepakatan tahapan selanjutnya adalah menyampaikan informasi kepada
mahasiswa tentang penerimaan calon mahasiswa klinik hukum pidana, termasuk waktu
pelaksanaan wawancara dan persyaratan yang dibutuhkan untuk kepentingan penyeleksian
mahasiswa yang akan diterima di klinik hukum pidana. Berdasarkan hasil daftar riwayat
hidup dan wawancara langsung yang dilakukan oleh dosen klinik hukum pidana dan
perwakilan dari LBH Bandung. Berdasarkan hasil seleksi diperoleh 6 mahasiswa yang
tergabung dalam klinik hukum pidana.

Pelaksanaan kegiatan klinik hukum pidana pada umumnya terdiri dari 3 (tiga) tahapan yaitu,
planning, experential dan refleksi. Pada tahapan planning, mahasiswa dipersiapkan untuk
meningkatkan kemampuannya dalam melakukan proses beracara. Pada tahapan ini,
Mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang timbul
dalam tahapan penyidikan dan penyelidikan dan proses persidangan khususnya jika bertindak
selaku penasihat hukum, sehingga diharapkan pada akhir tahapan ini, mahasiswa telah
dianggap mampu memahami dan menerapkan prosedur beracara mulai dari tahap penyidikan,
penyelidikan sampai dengan tahap persidangan termasuk memahami prosedur wawancara,
menghadapi dan mendampingi klien/korban. Tahapan planning, di klinik hukum pidana,
dilakukan sebanyak 12 kali pertemuan. 12 pertemuan tersebut terbagi dengan mendapatkan
materi dari dosen klinik pidana, praktisi dari Kepolisian 408, Kejaksaan409 dan LBH Bandung.
Pada tahapan planning, metode yang dilakukan adalah dengan menggunakan diskusi
interaktif.
Tahapan selanjutnya dari klinik hukum pidana adalah tahapan experential atau pembelajaran,
tahapan ini dilakukan sebanyak 15 kali pertemuan yang dilakukan di luar kampus FH Unpad.
Pada tahapan ini mahasiswa langsung melakukan kegiatan klinik di lapangan untuk
mempraktikkan ilmu berupa teori-teori yang di dapat kelas langsung kepada masyarakat
dengan tetap didampingi oleh perwakilan dari instansi-instansi terkait. Pada tahapan ini
mahasiswa melakukan berbagai kegiatan antara lain:
1. Di Kepolisian, mahasiswa melakukan kegiatan experential di Kepolisian Resort
Cimahi, kegiatan yang dilakukan yaitu pendampingan dan pembelajaran terkait
pembuatan BAP baik itu saksi, tersangka maupun barang bukti.

408
Pada tahun ajaran 2016/2017 yang menjadi tempat pemateri dari Kepolisian adalah Wakil Kepala Kepolisian Resort
Cimahi.
409
Pada tahun ajaran 2016/2017 yang menjadi tempat pemateri dari Kejaksaan adalah Jaksa dari Kejaksaan Negeri
Sumedang.

367
2. Di Kejaksaan, dalam hal ini kegiatan di laksanakan di Kejaksaan Negeri Sumedang.,
mahasiswa melakukan kegiatan antara lain terkait membaca berkas perkara,
penyusunan surat dakwaan termasuk mengikuti jalannya persidangan.
3. Di LBH, mahasiswa melakukan 2 bentuk kegiatan yang dilaksanakan di kantor LBH
Bandung dan di luar kantor yaitu di Desa Antajaya, Bogor. Kegiatan yang dilakukan
oleh mahasiswa klinik pidana di kantor LBH Bandung adalah melakukan wawancara
dan pendampingan terhadap klien yang datang ke LBH. Sedangkan untuk kegiatan di
Desa Antajaya, Bogor, kegiatan yang dilakukan antara lain berbagi pengalaman
dengan masyarakat Desa Antajaya, pada kegiatan ini mahasiswa mencoba menggali
dan berdiskusi dengan masyarakat mengenai permasalahan yang sedang dihadapi oleh
masyarakat Desa Antajaya. Pada saat kegiatan lapangan, ditemukan bahwa
masyarakat Desa Antajaya sedang mengalami permasalahan hukum terkait dengan
ijin pertambangan yang dilakukan di Desa Antajaya. Setelah melakukan diskusi dan
berbicara dengan warga, mahasiswa mengunjungi lokasi pertambangan yang menjadi
sengketa untuk melakukan observasi sehingga dapat melihat secara langsung masalah
yang dihadapi oleh warga. Selanjutnya mahasiswa juga melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan terhadap warga masyarakat terkait dengan berbagai
permasalahan hukum yang dihadapi oleh masyarakat sehari-hari.
Tahapan terahir dari kegiatan klinik hukum pidana adalah refleksi termasuk juga evaluasi.
Kegiatan ini dilakukan sebanyak 1 (satu) kali pada akhir perkuliahan. Pada kegiatan ini
Mahasiswa memberikan penjelasan tentang hal-hal yang dialami selama pelaksanaan klnik
hukum pidana dimulai dari tahapan planning, experential sampai dengan refleksi. Pada
tahapan ini mahasiswa menyampaikan tidak saja hal-hal yang baik akan tetapi juga
kekurangan – kekurangan yang dialami pada saat kegiatan klinik. Meskipun berdasarkan hasil
refleksi dan evaluasi, pelaksanaan street law dalam klinik hukum pidana dianggap berhasil
dilaksanakan akan tetapi berbagai permasalahan timbul dalam proses pelaksanaan street law
dalam klinik hukum pidana FH Unpad. Hambatan dan permasalahan yang timbul pada
pelaksanaan street law di klinik hukum pidana FH Unpad antara lain adalah masalah
koordinasi dengan para lembaga penegakan hukum yang berkaitan dengan model pengajaran,
waktu pelaksanaan, mekanisme pengawasan dan model kegiatan yang dapat dilakukan dalam
melaksanakan kegiatan di lapangan.
Masalah koordinasi antar lembaga penegak hukum menjadi pokok permasalahan utama yang
perlu dijadikan perhatian dikarenakan berdasarkan masukan dari mahasiswa dan pengamatan
peneliti di lapangan masing-masing lembaga bekerja sendiri khususnya dalam penyampaian
materi sehingga tidak terdapat kesatuan materi yang saling menunjang satu dengan yang
lainnya. Tidak adanya kesatuan tema dari tingkat Kepolisian, Kejaksaan dan LBH
menyebabkan materi yang harus dipelajari mahasiswa menjadi sangat padat karena di
masing-masing lembaga memiliki kasus yang berbeda tergantung kesediaan kasus pada
waktu pelaksanaan. Bagi FH sendiri, dengan kurangnya koordinasi dengan lembaga penegak
hukum terkait khususnya Kepolisian dan Kejaksaan juga menimbulkan kesulitan pada saat
akan memulai kegiatan klinik, karena meskipun sudah terdapat MoU antara Universitas
dengan lembaga-lembaga penegak hukum tersebut, pada kenyataannya proses koordinasi
tidak selalu mudah dilakukan. Terlebih jika personil yang menjabat berganti sehingga harus

368
selalu menjelaskan kembali dari awal tentang kegiatan klinik hukum pidana. Selain itu, setiap
pemateri dari kedua lembaga belum memiliki materi yang seragam terkait dengan bahan yang
akan disampaikan pada saat kegiatan klinik pidana berlangsung sehingga sangat
dimungkinkan materi yang disampaikan setiap tahunnya tidak selalu persis sama meskipun
secara garis besar sama, tergantung pemateri yang menyampaikan.

Selain koordinasi, model pengajaran yang dilakukan oleh setiap pemateri juga berbedabeda,
dikarenakan tidak semua pemateri mengerti secara jelas (meskipun telah disampaikan),
bagaimana seharusnya materi di sampaikan. Karena dalam klinik hukum pidana, merupakan
kelas kecil dengan jumlah mahasiswa yang berkisar antara 6 sd 10 orang tentu kami
mengharapkan model pengajaran yang bersifat interaktif atau student centered learning.
Akan tetapi hal ini tidak selalu mudah dilakukan karena pemateri khususnya dari lembaga
penegak hukum seperti Kepolisian selalu berganti, maka sebagian besar masih menggunakan
model pembelajaran satu arah.
Masalah selanjutnya yang juga merupakan hambatan pada saat pelaksanaan klinik hukum
pidana adalah masalah waktu pelaksanaan. Masalah ini muncul pada umumnya pada saat
tahapan experential, khususnya dalam mengatur waktu mahasiswa dan waktu pemateri dari
instansi terkait. Meskipun mahasiswa yang dipilih untuk mengikuti kegiatan klinik pidana
adalah mahasiswa semester 7, dengan anggapan bahwa beban perkuliahan tatap muka tidak
terlalu banyak, akan tetapi ada mahasiswa tetap kesulitan mengatur waktu, dikarenakan
beberapa mahasiswa juga terikat dengan kegiatan ekstrakulikuler yang terkadang lebih
menyita waktu dibandingkan perkuliahan. Dengan terbatasnya waktu tentu mengakibatkan
kegiatan klinik hukum pidana khususnya kegiatan di lapangan menjadi terhambat,
dikarenakan seperti kegiatan wawancara dan bertemu klien di LBH Bandung pada umumnya
tidak dapat ditentukan waktunya, sehingga sering pada saat ada klien mahasiswa yang
bersangkutan tidak ada ditempat ataupun sebaliknya.

Mekanisme pengawasan juga menurut penulis merupakan salah satu hambatan dalam
pelaksanaan klinik pidana. Mahasiswa pada saat kegiatan refleksi dan evaluasi berkeinginan
agar dosen selalu mendampingi mahasiswa pada saat kegiatan, khususnya kegiatan di
lapangan. Tentu jika dilihat dari tujuan kegiatan sendiri keberadaan dosen menjadi tidak
terlalu efektif, dimana mahasiswa seharusnya dapat bergerak secara mandiri dan mampu
berinteraksi dengan baik dengan para pengajar/pemateri dari lembaga penegak hukum
lainnya.

IV.Model Koordinasi yang efektif dalam street law clinic.


Berdasarkan hambatan-hambatan dan permasalahan yang timbul pada saat pelaksanaan street
law clinic dalam klinik hukum pidana, tentu dibutuhkan suatu solusi untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Tidak terdapat model yang baku yang dapat dijadikan sebagai patokan
untuk dapat mendapatkan suatu model street law clinic yang efektif. Langkah pertama yang
dapat dilakukan adalah mengkaji kembali tujuan atau target yang ingin dicapai oleh

369
mahasiswa klinik hukum pidana dengan melakukan street law clinic.410Targetan yang ingin
dicapai tidak hanya berupa penilaian berupa nilai akhir, akan tetapi penilaian pada setiap
tahapan pelaksanaan kegiatan klinik hukum pidana, misalnya pada tahapan planning, apakah
mahasiswa pada akhir tahapan telah mampu atau memiliki kemampuan dasar yang dapat
dipergunakan untuk melaksanakan komponen experential di lapangan, begitu juga pada saat
di lapangan apakah mahasiswa telah mampu mengaplikasikan teori dan ilmu-ilmu yang
diperoleh di kelas dalam menghadapi masyarakat termasuk membantu masyarakat dalam
memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi.

Oleh karena itu penilaian dan target tidak dapat dilakukan oleh dosen FH semata akan tetapi
pemateri dari tiap lembaga, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan LBH juga harus memberikan
penilaian secara individual terhadap capaian yang telah dilakukan oleh mahasiswa. Oleh
karena itu untuk mendapatkan suatu penilaian yang objektif maka para lembaga dan FH
Unpad harus melakukan koordinasi tentang target keahlian dan kemampuan yang akan
dicapai oleh mahasiswa. Model penilaian yang dapat dilakukan antara lain bisa dilakukan
melalui test tertulis, kuis, tanya jawab singkat di kelas, tugas berupa pertanyaan ataupun
artikel ilmiah, ujian lisan maupun dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh teman-
teman maupun klien, termasuk membuat tugas akhir berupa artikel terkait dengan pelaksaan
street law clinic.10
Selain itu koordinasi antar lembaga juga diperlukan untuk menentukan tema street law clinic
dalam setiap tahun ajaran, berdasarkan masukan dari mahasiswa dimana street law clinic
yang dilakukan belum dirasakan bersifat komprehensif dimana materi yang disampaikan di
setiap lembaga cenderung berdiri sendiri tidak terkait satu dengan yang lain. Untuk dapat
mengatasi hal ini, model street law clinic yang dapat dilakukan adalah yang bersifat tematik
sehingga terdapat kesatuan yang utuh tentang materi pengajaran mulai dari yang disampaikan
oleh dosen klinik hukum pidana FH Unpad, Kepolisian, Kejaksaan sampai dengan LBH.
Pada tahapan awal sebelum dimulai seleksi dan perkuliahan, para perwakilan dari tiap
lembaga sebaiknya melakukan workshop untuk menentukan tema street law clinic yang akan
dilakukan pada semester tersebut. Tema street law clinic yang bervariasi setiap tahun tentu
akan memberikan nuansa dan pengalaman yang berbeda baik bagi pengajar maupun
mahasiswa klinik itu sendiri.
Terkait dengan masalah waktu pelaksanaan, komitmen yang jelas merupakan suatu hal yang
harus selalu ditegaskan, mengingat terbatasnya waktu pelaksanaannya termasuk ketersediaan
waktu dari pemateri itu sendiri. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mahasiswa klinik
hukum pidana pada saat wawancara harus ditanyakan tidak hanya mengenai kegiatan
perkuliahan formal semata akan tetapi juga kegiatan-kegiatan lain di luar kampus yang
ternyata cukup mengganggu pelaksanaan klinik hukum pidana. Penilaian terhadap mahasiswa
juga tercakup dalam persentase kehadiran mahasiswa di klinik khususnya di LBH terkait
dengan kegiatan wawancara dan pendampingan klien. Pada saat street law clinic selanjutnya
mungkin diperlukan membuat daftar piket kehadiran yang telah disepakati antara mahasiswa
dengan dosen serta perwakilan dari lembaga.

410
MA du Plessis, Clinical Legal Education Models: Recommended Assessment Regimes, Potchefstroom Electronic La
Journal, Vol 18 No 7, 2015, http://www.saflii.org/za/journals/PER/2015/47.html 10 Idem.

370
Mengenai pendampingan dan pengawasan dari dosen klinik hukum pidana FH Unpad
menurut peneliti tidak terlalu menjadi masalah dalam koordinasi, karena dosen klinik hukum
pidana FH Unpad selalu mendampingi pada tahapan planning¸ maupun experential meskipun
hanya pada tahapan ini hanya pada saat kegiatan di lapangan di mulai dan berakhir.

V. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa koordinasi antar lembaga sangat
penting dalam kegiatan street law clinic di klinik hukum pidana FH Unpad. Koordinasi
dibutuhkan terutama dalam menentukan tema street law clinic yang akan dilakukan sehingga
dapat tertuang dalam kurikulum pengajaran dengan baik. Koordinasi juga dibutuhkan terkait
dengan materi pengajaran yang akan disampaikan, jika masing-masing pemateri dari tiap
lembaga telah mampu menyepakati tema pengajaran tentu akan berdampak pada materi yang
disampaikan, sehingga materi yang disampaikan akan lebih jelas, terpadu dan mendukung
satu dengan yang lainnya. Selain itu juga koordinasi diperlukan dalam menentukan metode
pengajaran yang akan digunakan yang tentunya di arahkan ke arah street law clinic. Sehingga
metode pengajaran yang disampaikan oleh masing-masing lembaga saling menunjang satu
dengan yang lain. Hal selanjutnya yang harus dikoordinasikan adalah tentang waktu
pelaksanaan kegiatan klinik hukum pidana termasuk kuantitas untuk setiap materi yang akan
disampaikan. Pada akhirnya menurut penulis model street law clinic yang mungkin dapat
efektif adalah apabila street law clinic yang dilakukan bersifat tematik sesuai dengan
ketersediaan kasus dan masyarakat yang dapat dilakukan pendampingan dan sosialisasi.

Daftar Pustaka

Jeff Giddings dalam Australian Clininal Legal Education: Models and Definitions,
pressfiles.anu.edu.au/downloads/press/n2366/pdf/ch03.pdf
MA du Plessis, Clinical Legal Education Models: Recommended Assessment Regimes,
Potchefstroom Electronic La Journal, Vol 18 No 7,
2015, http://www.saflii.org/za/journals/PER/2015/47.html
Roger S Haydock, Clinical Legal Education: The History and Development of a Law
Clinic, William Mitchell Law Review, Vol. 9, Issue.1, 1983, Hlm 104.
Sarah E Redfield (ed), The Education Pipeline to the Profession: Programs that Work
to Increase Diversity, Carolina Academic Press, 2012.
law.handels.gu.se/digitalAssets/1500/1500268_law-clinic-rapport.pdf

371
Klinik Hukum Sebagai Sarana Memperluas Akses Masyarakat terhadap Keadilan:

Suatu Tinjauan Reflektif

Dr. Ratih Lestarini, SH., MH411


ratihlestarini@yahoo.com
Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, SH.,M.Si.412
lidwina.inge@ui.ac.id

Abstrak

Perbedaan kemampuan warga masyarakat dalam mengakses keadilan dan perlindungan


hukum, menghantar pada kesenjangan dan hambatan untuk mengakses hak-hak lainnya. Ahli
hukum yang menggunakan perspektif Akses terhadap Keadilan atau access to justice
berupaya memahami bagaimana mengatasi hambatan dan tantangan yang dialami oleh
masyarakat terutama dari kelompok marginal, ketika berupaya memperoleh perlindungan
hukum. Salah satu cara mengatasi hambatan itu, sebagaimana disebut dalam pilar dari access
to justice adalah pemberdayaan hukum masyarakat. Ahli hukum yang memahami persoalan
kettidakmerataan akses warga atas perlindungan hukum, melihat bahwa pembangunan hukum
tidak cukup terpusat pada penguatan lembaga penegak hukum saja. Akan tetapi harus
memasukkan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan hukum, peningkatan akses warga
kepada layanan lembaga pengadilan, serta penyediaan bantuan hukum. Berbagai bentuk
upaya pendidikan hukum sudah diupayakan instansi pemerintah, tetapi belum efektif karena
berjarak dan mempergunakan perspektif top down. Bantuan hukum juga sebetulnya sudah
disediakan baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah, tetapi masyarakat masih
memiliki keterbatasan dalam mengaksesnya karena berbagai hal.
Klinik hukum, sebagai matakuliah yang diajarkan di Fakultas Hukum, merupakan salah satu
jawaban tepat atas kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dan bantuan hukum. Bentuk
pendidikan hukum yang dapat ditawarkan kepada masyarakat adalah kampanye serta
penyuluhan tematik. Klinik Hukum juga dapat menyediakan akses kepada bantuan hukum
gratis bagi masyarakat, bersinergi dengan lembaga bantuan hukum yang dikelola kampus
baik yang bersifat litigasi maupun non-litigasi. Ada berbagai keunggulan dari pendidikan
hukum dan bantuan hukum yang diselenggarakan melalui Klinik Hukum; tetapi juga terdapat
berbagai tantangan. Makalah ini membahas berbagai potensi dan tantangan tersebut, dengan
tujuan supaya fakultas-fakultas hukum tidak hanya berupaya menghasilkan lulusan
berkualitas terbaik namun juga memiliki kepedulian terhadap persoalan keadilan sosial dalam
masyarakat.

411
(Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
412
(Dosen Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI, Anggota Presidium INCLE, Sekertaris Jenderal INCLE periode
2015-2017)

372
Pendahuluan
Era reformasi saat ini telah membawa wibawa hukum mendapatkan berbagai tantangan dan
juga sorotan tajam dari masyarakat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan
dalam masyarakat. Dalam konteks reformasi yang ditujukan untuk terjadinya perubahan
perbaikan di berbagai bidang ( sosial politik, dan hukum) terutama dalam pelaksanaan
otonomi daerah terkait dengan pembangunan ekonomi daerah justru menimbulkan berbagai
dampak negatif, satu dan lain hal juga karena investasi asing telah menjadi kenyataan dalam
era globalisasi ekonomi yang tidak dapat diabaikan. Kritik terhadap pelaksanaannya
mendorong para akademisi untuk lebih peka terhadap masalah pertanahan, sumberdaya alam,
lingkungan hidup sampai dengan pemenuhan perlindungan hak-hak masyarakat marjinal.
Kondisi tersebut pada akhirnya harus diatasi dengan tersedianya tatanan hukum dan
penegakan hukum yang berkualitas. Pendidikan tinggi hukumpun dituntut untuk
menghasilkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang tidak saja memiliki ketrampilan hukum,
namun juga komitmen dan integritas yang baik dalam menjalankan pekerjaannya.
Konsekuensinya, kurikulum pendidikan hukum juga dituntut untuk dapat menghadapi
tantangan akibat dari perubahan yang terjadi. Oleh karenanya pendidikan hukum melalui
kurikulumnya harus bisa menghasilkan lulusan yang mengerti hukum dan profesi hukum
dalam konteks sosial dan komitmennya terhadap keadilan dan juga tanggung jawab sosial.
Berkenaan dengan ketrampilan hukum, kurikulum yang dirancang dalam pelaksanaannya
menimbulkan kekhawatiran bahwa materi yang diberikan dalam kuliah berbeda dengan
hukum dalam kenyataannya. Kuliah mengajarkan teori atau hal yang bersifat normatif
sifatnya, doktrinal dan deskrkiptif. Selain itu, anggapan bahwa praktek hukum hanyalah
berupa proses advokasi merupakan hal yang banyak dianut oleh sebagian orang hukum.
Padahal, dalam praktek yang terjadi pada masyarakat, hanya sebagian kecil saja persoalan
hukum diselesaikan melalui pengadilan. Ketrampilan hukumyang baik sebagaimana yang
seharusnya dimiliki oleh sebagian lulusan fakultas hukum ternyata tidak juga dengan serta
merta memberikan solusi bagi kebutuhan masyarakat Indonesia akan kemudahan dalam
mengakses bantuan hukum maupun pendidikan hukum. Di sisi lain, realita yang terjadi di
dalam masyarakat ternyata ada kelompok warga yang masih mengalami ketimpangan dalam
mengakses keadilan. Artinya, masyarakat tidak saja mengalami kesulitan dalam mengakses
bantuan hukum (litigasi dan non litigasi), akan tetapi juga mengalami kesulitan ntuk
mengakses pendididikan hukum terutama bagi kelompok-kelompok marjinal.
Dari penjelasan di atas, sebenarnya perubahan yang terjadi di dalam masyarakat termasuk
perubahan karena adanya globalisasi ekonomi membawa globalisasi hukum dan praktek
hukum. Perubahan dimaksud pada`akhirnya membawa pengaruh pada tingginya tuntutan
untuk perubahan kurikulum pada pendidikan tinggi hukum. Pendidikan tinggi hukum harus
dapat mengarahkan mahasiswanya untuk tidak saja memahami sistem hukum dan teori
hukum namun juga praktek hukum. Oleh karenaya sangat signifikan kemudian pendidikan
tinggi hukum menghasilkan lulusan yang selain memiliki ketrampilan hukum juga memiliki
kepedulian dan kepekaan terhadap rasa keadilan,dalam rangka mengawal proses bekerjanya
hukum dengan adil.

373
Menyadari akan pentingnya pengetahuan mahasiswa tentang teori yang didukung dengan
praktek hukum, maka dalam perjalanan sajarah pendidikan tinggi hukum, di dalam
kurikulumnya kemudian diperkenalkan kuliah-kuliah praktek untuk bidang hukum pidana,
hukum perdata, hukum internasional (hubungan diplomasi), dan lain lain. Dengan mengikuti
kuliah-kuliah ini, mahasiswa belajar untuk menjadi praktisi melalui pembahasan kasus yang
dibuat oleh dosen dimana hasilnya menampilkan peradilan semu. Artinya, mahasiswa tidak
benar-benar berperan menjadi praktisi yang menangani kasus hukum. Padahal mengasah
ketrampilan dalam menerapkan hukum secara dini akan menumbuhkan kepekaan dan intuisi
mahasiswa menjadi terlatih dan terarah.
Diperkenalkannya klinik hukum oleh sebagian fakultas hukum pada universitasuniversitas di
Indonesia menjadi jawaban terhadap tuntutan perubahan kurikulum yang dapat menjembatani
antara teori dan praktek hukum dalam masyarakat. Di samping itu, mahasiswa juga dapat
bersentuhan langsung dengankasus-kasus nyata yang dialami masyarakat. Selama ini banyak
masyarakat yang ternyata masih sulit memperoleh bantuan hukum baik litigasi maupun non
litigasi. Untuk itu menjadi penting untuk mengangkat topik peran Klinik Hukum
Sebagai Sarana Memperluas Akses Masyarakat terhadap Keadilan: Suatu Tinjauan Reflektif.

2.Pendidikan tinggi hukum dan Klinik Hukum: Jembatan antara Teori dan
Praktek.
Sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf sebelumnya, bahwa perubahan yang terjadi pada
bidang-bidang kehidupan dalam masyarakat telah membawa perubahan pada bidang hukum
dan pendidikan hukum, terutama tidak saja pada materi hukum akan tetapi juga pda
kompetensi yang akan dihasilkan oleh fakultas hukum terkait dengan kebutuhan hukum pada
masyarakat ataupun pasar. Hal ini tercermin dalam pernyataan Ismail Saleh, bahwa
perubahan dalam masyarakat menuntut perubahan dalam kurikulum fakultas hukum yang
semula hanya bersifat system oriented ataupun problem solving oriented menjadi bersifat
profession oriented.413Dalam konteks kekinian, pendidikan hukum tentu juga berubah seiring
dengan perubahan pada era globalisasi menjadikan Indonesia berkewajiban untuk
menyesuaikan seluruh perangkat hukumnya mengikuti standar dalam kespakatan-kesepakat
yang dibuat dalam perjanjian internasional. Dalam kondisi demikian, peraturan yang dibuat
oleh negara bisa menjadi beban tersendiri terutama bagi masyarakat ataupun kelompok
marjinal karena jauh sebelum peraturan ini diberlakukan mereka telah mempunyai hukumnya
sendiri. Dengan demikian, pendidikan hukum pada era ini harus menghasilakan kompetensi
yang tidak lagi hanya bersifat profession oriented, namun juga memiliki naluri dan kepekaan
terhadap rasa keadilan di dalam masyarakat. Kepekaan terhadap rasa keadilan menjadi
penting untuk mendukung ketrampilan hukum lulusan mengingat pembangunan ekonomi dan
juga globalisasi ekonomi telah membawa dampak pada masyarakat terutama dalam
mempertahankan hak-hak ekonomi dan juga hak sosial lainnya.

413
Ismail Soleh, Upaya Pembaharuan Kurikulum Fakultas Hukum, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1990. Hal 17

374
Secara historis, pada era kolonial Belanda ( 1924), pendidikan hukum diarahkan untuk
menghasilkan lulusan yang dapat menguasai undang-undang Hindia Belanda secara legistis.
Jadi kompetensi yang dihasilkan oleh pendidikan hukum pada saat itu adalah pemahaman
undangundang. Kurikulum dibentuk untuk menghasilkan lulusan yang menguasai kaedah
hukum produk kolonial – utamanya sebagaimana tertuang dalam hukum perundang-
undangan, yang harus dipahami menurut tradisi Reine Rechtlehre Kelsenian. Tradisi
dimaksud memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif tertutup,sehingga menonjolkan
kemahiran logika deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis.414 Kompetensi dimaksud
sesuai dengan kebutuhan untuk mengisi lowongan birokrat hukum oleh penduduk pribumi,
seperti menjadi hakim landraad, atau petugas hukum di instansi pemerintah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di bawah rezim Soekarno (1945), pendidikan hukum diarahkan
untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi membuat terobosan yang
revolusioner, yaitu mengganti sistem hukum produk kolonial Belanda menjadi sistem hukum
yang dibuat oleh para pakar hukum pribumi. Kompetensi yang diharapkan dipunyai oleh para
lulusan ini sejalan dengan perubahan politik dimana pemerintahan pada waktu itu
mengedepankan percepatan roda revolusi, sehingga pendidikan hukumpun diarahkan untuk
mengahasilkan lulusan yang berjiwa revolusioner. 5
Pada tahun 1966, ketika kekuasaan beralih ke rezim Soeharto, serta seiring dengan perubahan
sosial yang terjadi melalui pembangunan ekonomi membawa pengaruh tumbuhnya pencarian
sistem pendidikan hukum yang baru yang dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat. Pendidikan hukum diarahkan untuk mendukung proses
pembangunan hukum dimana para lulusan hukum tidak sekedar memahami toeri namun juga
mempunyai ketrampilan hukum. Pendidikan hukum pada era ini tidak banyak berubah masih
tetap pada pemahaman peraturan perundang-undangan secara legistis bukan pemahaman
hukum dalam pengertian yang luas.
Ketika era globalisasi dan reformasi, pendidikan hukum diarahkan untuk dapat menjawab
tantangan hukum dalam konteks globalisasi dimana Indonesia ditintut untuk melakukan
standarisasi hukum melalui perjanjian-perjanjian internasional yang mencantumkan beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota terkait misalkan dengan
penanaman modal, investasi, dan lain-lain. Pendidikan hukum kemudian menghadapi dunia
baru yang memerlukan penyesuaian agar Indonesia mendapatkan keuntungan dari era
globalisasi ini, merkipun hasilnya di setiap negara tidak selalu sama. Pendidikan hukum harus
menekankan lagi bahwa hukum merupakan alat perubahan sosial untuk membawa perbaikan
bagi masyarakat. Di samping itu pendidikan hukum harus mengakui tanggung jawabnya
kepada masyarakat.415
Mengingat dampak perubahan sosial yang terjadi melalui globalisasi den proses reformasi,
maka pendidikan hukum dengan demikian diarahkan untuk penguasaan hukum yang
berdimensi sosial, disamping penguasaan ketrampilan hukum. 7 Fakultas hukum Universitas

414
Maqdir Ismail, Kurikukulum Pendidikan Hukum dalam Perspektif Kebutuhan Pasar, diunduh dari
http://www.academia.edu/2542294/kurikulum_Pendidikan_Hukum_dalamPerspektif_Kebutuhan _ Pasar, pada tanggal 5
Mei 2017. 5 Op_cit, Saepudin.
415
Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era G;obalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan
Hukum Di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia , jakarta, 4 Jakunari, 1997. Hal 20 7 Ibid, hal 24

375
Indonesia dalam menyikapi perubahan sosial ini juga telah melakukan berbagi pembenahan
dalam kurikulumnya. Para mahasiswa diarahkan untuk dapat memiliki kemauan pasar
sehingga mereka setelah lulus dapat langsung siap terjun di lapangan pekerjaan hukum.
Berikut ini adalah data yang diperoleh dari survei terhadap lulusan FHUI dengan responden
para pengguna jasa di dalam masyarakat. Survei telah dilakukan mulai tahun 2013 sampai
saat ini.
Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa menurut para pengguna jasa lulusan FHUI
memiliki skill (keahlian) dan knowledge (pengetahuan) berkisar antara sangat baik dan baik.
Berikut ini adalah data tersebut:
Tabel 1.1. HASIL SURVEY LULUSAN DARI USER (FHUI, 2016) 416
No. Jenis Tanggapan Pihak Pengguna Rencana Tindak Lanjut oleh
Kemampuan Program Studi

Sangat Baik Cukup Kurang


Baik
(%) (%) (%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Integritas (etika 60,4 37,5 0 2,1 Meningkatkan softskill
dan moral) mahasiswa
1.

Keahlian 45,8 52,1 2,1 0 Peninjauan dan pembaharuan


berdasarkan struktur dan design kurikulum
2 bidang secara berkala sejalan dengan
ilmu perkembangan ilmu dan
(profesionalisme) kebutuhan masyarakat
3 Bahasa Inggris 31,3 56,3 8,3 4,2 Meningkatkan softskill di
bidang kemampuan berbahasa
asing.
4 Penggunaan 41,7 58,3 0 0 Meningkatkan softskill
Teknologi
Informasi
5 Komunikasi 41,7 52,1 6,3 0 Meningkatkan softskill

6 Kerjasama tim 50 50 0 0 Meningkatkan softskill

7 Pengembangan 54,2 45,8 0 0 Meningkatkan softskill


diri

416
Tabel diambil dari laporan hasil survei yang dilaksanakan pihak UPMA FHUI kepada para stakeholder yang menerima
lulusan FHUI sebagai pekerja.

376
Total (a)=325,1 (b)=352,1 (c)=1 (d)=6,3
6,7

Dalam survei yang sama juga didapatkan data bahwa rata-rata waktu tunggu lulusan untuk
memperoleh pekerjaan yang pertama adalah 3 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
kualitas sebagaimana yang disebutkan oleh para stakeholder di dalam survei, lulusan
FHUI dapat dan relatif cepat terserap di dalam pasar tenaga kerja.

Akan tetapi, tentu saja lulusan yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan tidaklah cukup
bagi masyarakat kita. Lulusan yang berintegritas, beretika, bersedia masuk ke profesi hukum
dengan tujuan mendorong akses keadilan bagi masyarakat, atau mau melakukan pelayanan
pro bono juga sangat dibutuhkan di dalam kondisi masyarakat saat ini. Dalam rangka
mendorong lulusan FHUI untuk lebih berpersepsi pro masyarakat (dan pro keadilan sosial)
maka pimpinan FHUI menganggap penting untuk melakukan rekonstruksi terhadap
kurikulum fakultas hukum.
Kurikulum dalam hal ini ditambahkan dengan subtansi klinik hukum melalui mata kuliah
klinik hukum yang dalam kurikulum masuk dalam katagori mata kuliah pilihan. Pendidikan
klinik hukum memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mendapatkan kasus yang riil
dengan didampingi oleh dosennya atau pihak yang bekerjasama dengan pengelola klinik
hukum. Pendidikan klinik hukum ini merupakan jawaban atas kebutuhan sarjana hukum yang
terampil dan juga merupakan bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat. fakutas hukum
universitas Indonesia sendiri telah menyelenggarakan perkuliahan klinik hukum selama
kurang lebih 4 tahun belakangan ini.

3.Terbuka luasnya akses terhadap keadilan sebagai cara mewujudkan pilar


keempat rule of law.
Ketersediaan lulusan fakultas hukum yang selain memiliki keahlian professional tetapi juga
memiliki integritas dan kemauan menolong kelompok marjinal yang terbatas aksesnya untuk
memperoleh perlindungan hukum, merupakan hal penting dalam upaya mewujudkannegara
yang berdasarkan hukum. Tidaklah cukup hanya sekedar menjamin soal kepastian hukum
melalui penegakan yang pandang bulu. Akan tetapi amat penting untuk menjaga bahwa rasa
keadilan dan transparansi proses hukum juga harus terpenuhi. Dalam rangka memenuhi
tercapainya rasa keadilan, soal bantuan hukum dan pemberdayaan hukum masyarakat
menjadi amat penting untuk dikembangkan.

Akses terhadap keadilan sendiri menurut Cappelletti dan Garth (1977) didefinisikan sebagai:
“Access to justice serves to focus on two basic purposes of the legal system – the
system by which people may vindicate their rights and/or resolve their disputes under
the general auspices of the state. First, the system must be equally accessible to all,
and second, it must lead to results that are individually and socially just.”

377
Artinya bahwa akses terhadap keadilan sesungguhnya terpusat kepada dua tujuan dari suatu
sistem hukum. Sistem hukum itu sendiri harus memungkinkan terlaksananya sistem yang
memungkinkan orang memperjuangkan hak-haknya dan menyelesaikan konflik yang
mungkin terjadi di antara mereka di bawah pengawasan negara. Dua tujuan yang dimaksud
itu adalah pertama, sistem hukum tersebut harus dapat diakses oleh semua warga masyarakat
tanpa pandang bulu. Kedua, sistem hukum itu hendaknya dapat memberi suatu solusi yang
adil baik secara individual maupun sosial.
Hadirnya akses terhadap keadilan di masyarakat menurut Adriaan Bedner dan Jacqueline Vel
(2008 dalam Bedner dan Ward, 2011) dapat diketahui apabila:

- People, notably poor and disadvantaged,

- Suffering from injustices

- Have the ability

- To make their grievances be listened to

- And to obtain proper treatment of their grievances

- By state or non-state institutions

- Leading to redress of those injustices

- On the basis of rules or principles of state law, religious law or customary law

- In accordance with the rule of law

Kutipan di atas dapat dimaknai bahwa akses terhadap keadilan dikatakan hadir apabila
kondisikondisi tertentu dipenuhi. Adapun kondisi-kondisi tersebut adalah ketika hadir
sekelompok orang yang termasuk dalam kategori rentan karena miskin, termasuk kelompok
minoritas (baik berdasarkan etnis, ras, gender, agama, bahasa, dan kelas sosial). Akibat dari
kemiskinan dan status minoritasnya itu kelompok orang tersebutmengalami
perlakuantidakadil dan tidak diuntungkan. Akan tetapi, ternyata meskipun kondisinya
demikian itu, kelompok rentan tersebut mampu membuat keluhan mereka didengar; dan
untuk mendapatkan perlakuan yang layak akan keluhan mereka oleh lembaga negara atau
lembaga non-negara. Dengan demikian kelompok tersebutmampu menghadirkan perbaikan
atas ketidakadilan tersebut. Tentu saja dengan tetap berdasarkan peraturan atau prinsip-
prinsip hukum negara, hukum agama ataupun hukum adat sesuai dengan prinsip ‗negara
hukum‘.

Akses terhadap keadilan bagi kelompok marjinal atau kelompok rentan ini baru dapat dicapai
apabila ada upaya pemberdayaan hukum bagi masyarakat tersebut. hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Masyarakat Miskin pada 2008.
Komisi tersebut mengembangkan program pemberdayaan hukum yang di dalamnya
terdapatempat pilar penting. Adapun pilar-pilar tersebut adalah akses kepada keadilan dan
peraturan perundangan; pengakuan dan perlindungan atas hak kekayaan dan hak
kepemilikan;perlindungan atas hak buruh;serta pengakuan dan perlindungan atas hak usaha.

378
Keempat pilar ini menjadi amat penting dilaksanakan dalam rangka mencapai Rule of
Law(Stephen Golub, 2009). Tanpa adanya keempat pilar tersebut, maka niscaya
pembangunan hukum akan gagal.
Makalah ini akan lebih fokus kepada bagaimana menerjemahkan pilar yang pertama, yaitu
terkait pada akses warga kepada keadilan dan peraturan perundangan. Mengapa demikian?
Masalahnya, ketika menerjemahkan pilar pertama tentang bagaimana akses terhadap keadilan
dan peraturan perundangan, pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk melakukannya
berangkat dari perspektif bahwa semua orang di dalam masyarakat itu dianggap punya
potensi yang sama, modal yang sama. Keadilan dibaca sebagai adanya perlakuan yang adil
dan hasil yang memuaskan untuk hampir sebagian besar aspek kehidupan yang dianggap
penting (Golub, 2009), tanpa menghitung atau mempertimbangkan titik pijak yang berbeda
yang mungkin dimiliki masing-masing orang di dalam masyarakat dalam mengejar
‗perlakuan adil dan hasil yang memuaskan itu‘. Perbedaan titik pijak, tentu akan membuat
perbedaan proses yang harus dilalui, bahkan juga akan mempengaruhi hasilnya. Keadilan
yang selalu dikaitkan dengan perlakuan yang sama, tanpa pandang bulu menurut Cappelletti
dan Garth (1991 dalam Bedner dan Ward, 2011) maupun Golub (2009) sering mendorong
terjadinyakegagalan pembangunan hukum.Pembangunan hukum yang mengalami
kegagalan,biasanya terjadi karena tidak memperhitungkankeberadaan kelompok-kelompok
rentanyang memiliki keterbatasan; baik karena persoalan pengetahuan, kemampuan finansial;
keterbatasan secara geografis, keterbatasan jejaring; maupun karena kondisi
minoritasnya.Kelompok-kelompok yang memiliki keterbatasan ini akhirnya mengalami
kondisi ketidakadilan justru pada wilayah hukum.

Bagaimana kemudian orang atau kelompok yang memiliki keterbatasan tersebut dapat
mengakses perlindungan hukum (dan kemudian keadilan sosial)? Tidak lain, harus ada pihak
ketiga yang dapat berperan menjadiintermediaries atau penengah yang fungsinya adalah
membantu warga untuk memperoleh pengetahuan tentang hak-haknya dan bagaimana
melindungi hak-haknya itu. OlehBedner dan Berenschot (2011) tokoh ini disebut sebagai
intermediaries atau mediator.

Intermediariesini baik menurut Bedner dan Berenschot maupun Eckert (2006) adalah
orangorang yang memainkan peran sebagai penengah, penyedia informasi, ataupun sebagai
pendamping dari pihak yang memerlukan informasi soal bagaimana menangani kasusnya atau
memerlukan penengah untuk konflik yang ia hadapi.
Klinik hukum, dalam melaksanakan kegiatannya sesungguhnya merupakan intermediaries.
Di fakultas hukum, para mahasiswa yang terlibat di dalam di klinik hukum tidak hanya
belajar soal pengetahuan hukum (knowledge) dan bagaimana mempraktekkannya (skill).
Akan tetapi juga menerapkan bagaimana berpraktek hukum dengan mengedepankan nilai-
nilai (values) di antaranya nilai keadilan sosial, sebagai aspek penting dari pendidikan hukum
klinis. Melalui klinik hukum, mahasiswa akan berperan sebagai pemberi informasi tentang
mekanisme atau proses apa saja yang harus dilakukan oleh kliennya melalui sosialisasi
tentang hak-hak klien terkait peraturan perundangan. Kemudian mahasiswa juga akan belajar
cara memberi informasi soal hak-hak klien yang dilindungi hukum, dan mendampingi klien
dalam memperjuangkan hak-hak tersebut secara etis. Dalam klinik hukum mediasi,

379
mahasiswa bahkan belajar cara melakukan mediasi di antara para pihak yang berkonflik,
sesuai dengan etika mediasi. Konsekwensinya, Klinik Hukum hendaknya tidak hanya
dibentuk dan dilaksanakan semata-mata untuk melatih mahasiswa berpraktek dengan kasus-
kasus nyata. Akan tetapi juga syarat mutlaknya adalah: MENDORONG MAHASISWA
BELAJAR SOAL ETIKA BERPRAKTEK DAN MENGEDEPANKAN NILAI KEADILAN
SOSIAL. Artinya, mahasiswa harus belajar soal bagaimana menjadi intermediaries,
khususnya untuk kelompok rentan/marjinal yang berusaha mengakses hak-haknya dalam
rangka memperoleh keadilan sosial.

Kegiatan memberi informasi tentang hak-hak klien dan proses yang harus dilalui dalam
rangka memperoleh hak-hak tersebut dilaksanakan antara lain di Klinik Hukum Pidana,
Klinik Hukum Perdata, Klinik Hukum Lingkungan, dan Klinik Hukum Perempuan dan Anak
FHUI. Kegiatan kampanye gerakan antara lain dilakukan oleh Klinik Hukum Perempuan dan
Anak, Klinik Street-law, Klinik Hukum Anti Korupsi dan Klinik Hukum Lingkungan Hidup
FHUI. Kegiatan advokasi dan pendampingan antara lain dilakukan di Klinik Hukum Pidana,
Klinik Hukum Perdata, Klinik Hukum Perempuan dan Anak, dan bahkan di Klinik Hukum
Legal DraftingFHUIdalam rangka menyusun peraturan perundangan yang berpihak pada
masyarakat. Terakhir, kegiatan mediasi antara lain dilakukan oleh Klinik Hukum Perdata dan
Klinik Hukum Mediasi FHUI.
Berbagai kegiatan di atas semata-mata ditujukan supaya masyarakat terinformasi dengan
baik soal bagaimana mengakses hak-haknya yang dilindungi hukum. Misalnya soal
pemahaman tentang apa yang disebut sebagai kekerasan seksual dan bagaimana cara
memperoleh bantuan sekiranya mengalami hal tersebut – isu ini diadvokasi oleh kelompok
Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI. Atau tentang bagaimana memperoleh hak-hak
untuk remisi hukuman, sebagaimana diadvokasi oleh kelompok Klinik Hukum Pidana
bekerjasama dengan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI melalui kegiatan penyediaan
meja bantuan hukum di Rumah Tahanan Pondok Bambu pada tahun 2015-2016 lalu. Atau
tentang bagaimana tahapan melaporkan tindak kekerasan dalam keluarga, sebagaimana
dilakukan kelompok Klinik Hukum Pidana, Klinik Hukum Perdata, dan Klinik Hukum
Perempuan dan Anak FHUI di P2TP2A Kota Depok melalui penyediaan meja bantuan
konsultasi meskipun akhirnya oleh P2TP2A tersebut tidak digunakan maksimal dengan
berbagai alasan. Di antaranya karena mahasiswa yang dikirim bukanlah berasal dari
kelompok keagamaan yang seiman dengan pengelola P2TP2A dan juga karena alasan
pembiayaan, padahal pihak P2TP2A tidak perlu membayar mahasiswa dan mentornya untuk
datang karena semua biaya transport ditanggung oleh FHUI.

Penutup Reflektif

Semua data dan pendapat yang dituliskan di atas adalah semata-mata dikemukakan dalam
rangka melihat secara reflektif dan kritis untuk mencari solusi bagaimana mengatasi
kebutuhan masyarakat akan akses terhadap keadilan – yang diperluas! Jembatan sempit di
antara dua tebing curam sebagaimana dinarasikan sebelumnya pada bagian pembahasan,
tidak lagi ada. Bukan hilang, melainkan tergantikan dengan jalur perjalanan yang lebih luas
dan dipandu oleh orang-orang yang memiliki knowledge, skill, dan values tentu saja.

380
Klinik hukum isinya adalah pengajaran soal knowledge, skill dan yang terpenting values.
Sehingga sangat ideal untuk menjadi semacam benang penyambung antara teori dalam ilmu
hukum dengan praktek2 sehingga menghasilkan lulusan yang tidak saja memiliki kemampuan
professional yang berkualitas baik tetapi juga memiliki values of justice dan berintegritas.

Daftar Pustaka
Asian Development Bank. ―The Urban Poor, Governance, and Service Delivery Failure‖
dalam ADB. Access to justice for the urban poor: toward inclusive cities. Philippines,
Mandaluyong City, 2010,: Asian Development Bank. Hlm. 20-25.
Berenschot, Ward dan Adriaan Bedner. ―Akses terhadap keadilan: Sebuah pengantar tentang
perjuangan Indonesia menjadikan hukum bekerja bagi semua orang‖, artikel dalam buku
Akses Terhadap Keadilan: Perjuangan Masyarakat Miskin dan Kurang Beruntung
untuk Menuntut Hak di Indonesia. Editor: Ward Berenschot, Adriaan Bedner, Eddie
Riyadi Laggut-Terre, Dewi Novirianti. Jakarta: HuMa – VVI Indonesia – KITLV Jakarta-
Epistema Institute, 2011.
Commission on Legal Empowerment of the Poor. ―Making the Law Work for Everyone‖.
New York: UNDP, 2008.

Eckert, Julia. ―From Subjects to Citizens: Legalism from Below and the Homogenisation of
the Legal Sphere‖.Journal of Legal Pluralism, 2006, no 53-54, hlm. 46-75.

Golub, Stephen. ―Beyond Rule of Law Orthodoxy The Legal Empowerment


Alternative‖. Working papers for Rule of Law Series, Democracy and Rule of
Law Project. Carnegie Endowment for International Peace, Number 41, October
2003.
Golub, Stephen. ―Make Justice the Organizing Principle of the Rule of Law Field‖. Hague
Journal on the Rule of Law / Volume 1 / Issue 01 / March 2009, pp 61 -- 66. DOI:
10.1017/S187640450900061X, Published online: 10 March 2009. Download 9 Januari 2013.

381
UPAYA MENDORONG AKSES TERHADAP KEADILAN MELALUISEKOLAH
PARALEGAL BERBASIS KOMUNITAS OLEH LEMBAGA BANTUAN HUKUM
417

M.Irfan Alghifari2

“ Tidak akan ada akses terhadap keadilan tanpa pengetahuan sama sekali “ Paralegal,
Lembaga Bantuan Hukum dan akses terhadap Keadilan
Jika kita ingin mengetahui apa itu paralegal, bagaimana rupanya, mahluk seperti apa dia,
maka kita tidak bisa hanya melakukan pencarian istilah dan makna di mesin pencari google
saja. Istilah Paralegal di Indonesia lekat dengan term politik dan sejarah Gerakan sosial.
Paralegal adalah seseorang yang bisa diingat, atau dilupakan. Paralegal bukan hanya istilah
yang penekanannya bukan hanya pada orang yang paham dan cakap akan hukum, juga
individu yang relasinya dengan masyarakat ada pada cita-cita luhur dan mulia, yaitu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Walau istilah Paralegal, awal muasalnya memang berasal dari Negara yang menganut sistem
Common Law, akan tetapi di Indonesia istilah ini mengalami perluasan makna. Istilah ini
sebelumnya mengacu pada satu buah profesi yang mempunyai fungsi asistensi terhadap tugas
para Pengacara. Menyajikan dokumen, mereview fakta-fakta hukum, atau narasi yang akan
disampaikan di persidangan adalah sedikit dari banyaknya tugas seorang Paralegal di Negara
tersebut. Akan tetapi, bila kita membandingkannya dengan Indonesia, maka istilah inipun
bergeser dari satu hal yang namanya asistensi pembelaan hukum, berubah menjadi satu
bentuk metode perjuangan politik warga Negara dalam mewujudkan keadilan bagi
komunitasnya.
Istilah Paralegal sedikit mengemuka semenjak diundangkannya UU No 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum. Istilah ini merujuk kepada istilah pemberi bantuan hukum yang
disandingkan dengan advokat dan organisasi bantuan hukum. Riuh terhadap eksistensi
Paralegal dalam peranannya memberi bantuan hukum menuai pro dan kontra ketika Gugatan
terhadap keberadaan dan Peran Paralegal dilayangkan di Mahkamah Konstitusi. Walaupun
gugatan ini ditolak dan peran dan eksistensinya diakui di hadapan hukum dalam memberi
layanan bantuan hukum, soal akses keadilan itu sendiri sebagaimana menjadi tujuan
diundangkannya berbagai regulasi bantuan hukum haruslah dikritisi lebih mendalam.
Seperti yang dikatakan oleh Budi Widjarjo dalam sebuah diskusi :

― Keberadaan Paralegal sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konsep “ Rule Of Law
”. Konsep ini menggagas satu prinsip penting di dalamnya yaitu
Justice For All. Semenjak kita mengakui dan menetapkan Indonesia sebagai Negara
hukum, maka keadilan untuk semua tanpa kecuali adalah hakikat dari bagaimana kita
417
Abstrak ini disajikan dalam Kegiatan The ―3 Confrence Of Indonesian Network for Clinical Legal Education
(INCLE) ― dengan tema LEGAL CLINIC AND THE FULFILMENT OF ACCESS TO SOSIAL JUSTICE FOR THE
SOCIETY 2 Penulis merupakan Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Bandung

382
seharusnya bernegara, atau sekiranya bagaimana mengelola Negara. Negara wajib
memberikan perlindungan kepada semua lapisan masyarakat. LBH muncul di era ini,
LBH melakukan apa yang kita sebut hari ini sebagai bantuan hukum struktural.
Konsep Metode advokasi kasus yang berbasis masyarakat, yang merupakan buah
dari sisi gelap rule of law. LBH lahir dari sebuah konteks sosial politik. adanya
ketimpangan sosial di masyarakat ini yang kemudian mendorong LBH untuk
melakukan upaya advokasi yang tidak biasa, bantuan hukum struktural namanya,
yang di dalamnya konsep bantuan hukum tidak hanya sekedar bersidang semata, atau
hubungan patron klien. Tapi menekankan kepada peranan masyarakat sipil dalam
mendorong hak warga Negara itu terpenuhi. Atau seperti yang dinyatakan oleh
Adnan Buyung Nasution kira-kira adalah Bantuan Hukum bagi rakyat kecil yang
tidak mampu atau buta hukum.418 ”

Semenjak berdirinya di tahun 70-an, YLBHI dan LBH dibawah naungannya sangat fokus
pada penguatan Paralegal sebagai bagian besar dari sebuah design dalam mendorong akses
terhadap keadilan. Paralegal yang dimaksud adalah Paralegal yang berbasis pada komunitas
dan beraktifitas di dalam masyarakat itu sendiri. Istilah Paralegal ini menekankan pada setiap
orang, apapun latar belakang dan pekerjaannya, yang mempunyai integritas dan kemampuan
dalam melakukan upaya advokasi di tengah lingkungan masyarakat. Istilah Paralegal ini sama
sekali tidak terikat pada istilah bantuan hukum semata. Lebih jauh lagi, Istilah Paralegal
justru adalah istilah yang hidup di masyarakat yang berkenaan dengan upaya mendorong
akses terhadap keadilan itu sendiri. LBH mendorong lahirnya paralegal yang berasal dari
komunitas-komunitas korban. Paralegal diharapkan mampu melakukan serangkaian advokasi
agar tidak terjadi pengabaian atau bahkan perampasan hak-hak warga Negara. Paralegal
berfungsi menjadi dinamisator komunitasnya, lebih jauh dari itu paralegal menjalakan kerja-
kerja untuk meningkatkan partisipasi rakyat di tingkat komunitas agar tidak sekedar dijadikan
objek oleh pihak- pihak tertentu dalam pengambilan kebijakan yang berdampak pada
masyarakat baik secara langsung ataupun tidak.
Jika level partisipasi rakyat rendah, maka rakyat tetap akan menjadi korban dan
terpinggirkan. Merujuk kepada situasi potensi konflik yang akhir-akhir ini terjadi di
Indonesia, salah satu masalah serius dalam memberikan keadilan bagi rakyat miskin dan
terpinggirkan adalah akses bagi mereka terhadap keadilan. Keadilan diterjemahkan dalam
pemenuhan Hak-hak warga Negara dan salah satu pelaksanaannya melalui penegakan hukum.
Negara hukum yang demokratis tentunya mensyaratkan partisipasi Warga Negara dalam
berbagai proses pengambilan keputusan maupun kebijakan. Terutama keputusan dan
kebijakan yang langsung berdampak terhadap pemenuhan hak-hak warga Negara. Pemerintah
dewasa ini menciptakan berbagai instrumen untuk memfasilitasi peningkatan partisipasi
warga Negara, misalnya dengan membentuk Komisi Informasi, Ombudsman Republik
Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia dll. Akan tetapi kehadiran lembaga-lembaga tersebut
belum sepenuhnya dapat diakses dengan baik oleh Rakyat. Hal tersebut mengakibatkan
ukuran demokrasi menjadi semu, karena pada kenyataannya tingkat partisipasi rakyat masih
berada pada level yang sangat rendah.

418
Notulen Pendapat Budi Widjarjo dalam Diskusi Sekolah Paralegal di Bandung pada Tahun 2015

383
Paralegal memiliki peran yang sangat vital. Oleh karena itu paralegal menjadi front liner
dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Paralegal yang terdidik dengan baik diharapkan
dapat menjalankan peran-peran seperti alert, manakala terjadi ketidak adilan, Pendidikan dan
pengorganisasian rakyat, advokasi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul di
komunitas, serta respon awal atas kasus-kasus yang terjadi di komunitas dan masih banyak
lagi peran yang dapat dilakukan oleh paralegal. Secara umum paralegal merupakan agen
untuk melakukan perubahan di tingkat lokal. Dalam konteks penguatan masyarakat sipil
dalam memperjuangkan haknya, LBH masih menyatakan penting dan relevannya Konsep
Bantuan Hukum Struktural dikembangkan di Indonesia. Dengan fokus utama pada
mendorong peningkatan partisipasi rakyat, maka Paralegal merupakan salah satu solusi yang
strategis dalam rangka memperluas akses terhadap keadilan itu sendiri.

Hari ini peran Paralegal di dalam gerakan masyarakat sipil perlu mengkreasi dirinya dalam
bentuk yang lain. Pendidikan Paralegal semenjak tahun 1970 yang digagas oleh LBH di
bawah YLBHI selalu hadir di dalam konteks penanganan kasus yang terjadi. Penguatan-
penguatan yang dilakukan selalu berkaitan dengan konteks masalah yang terjadi di
komunitas. Pendidikan Paralegal Perburuhan di isu buruh, Paralegal Agraria di isu tanah dan
lingkungan serta Paralegal di isu miskin perkotaan adalah contoh pendidikan Paralegal yang
dilakukan oleh LBH. Pendidikan ini dimaksudkan untuk memperkuat pemahaman komunitas
mengenai haknya terkait kasus-kasus yang terjadi. Pendidikan Paralegal ini bersifat tematik
dan tidak diarahkan untuk mengkombinasikan dirinya di dalam berbagai sektor isu. Oleh
karenanya gagasan mengenai sekolah Paralegal muncul untuk menjawab tantangan
diseminasi pengetahuan tentang hak warga Negara yang diperluas.

Perbandingan antara jumlah advokat serta jumlah penduduk di Indonesia mengalami


ketimpangan yang luar biasa sebagaimana catatan Kertas Posisi YLBHI pada tahun 2016 419
tentang Implementasi UU Bantuan Hukum. Ketimpangan ini dinilai bermuara pada akses
warga Negara terhadap keadilan yang bukan hanya terhambat, tapi kemudian mandek pada
posisi yang amat kritis. Tentunya ada logika yang bermasalah jika kita menganggap bahwa
ada hubungan lurus antara jumlah advokat dengan kualitas akses terhadap keadilan itu
sendiri. Masalah itu antara lain sulitnya mengukur kualitas keadilan, apalagi dengan hanya
menempatkan peranan advokat, paralegal, serta kasus yang ditangani berdasarkan regulasi
UU Bantuan Hukum dan UU Advokat. Persoalan akses terhadap keadilan tentunya bukan
hanya persoalan seberapa banyak kuantitas bantuan hukum yang diberikan, tetapi pada
kualitas bantuan hukum itu sendiri di dalam mendorong akses terhadap keadilan. Akses
terhadap keadilan adalah tentang adanya jaminan bagi setiap orang untuk memperjuangkan
hak dasarnya. Artinya tidak akan ada keadilan tanpa jaminan atas akses dan ruang serta
partisipasi masyarakat yang demokratis berkaitan dengan hak dasarnya tersebut.
Salah satu syarat yang krusial yang berkaitan dengan terciptanya akses terhadap keadilan
adalah adanya pengetahuan dan produksi pengetahuan yang demokratis di tengah masyarakat
yang menempatkan keadilan sebagai tujuan. Keadilan harus dipahami sebagai bagian dari

419
Monitoring rasio yang berkenaan dengan Implementasi UU Bantuan Hukum dilakukan di 4 Provinsi yaitu
Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta. Ketimpangan antara Jumlah penduduk dan Jumlah Advokat
tertinggi di Jawa Barat dengan Rasio 1: 49.982

384
logika hak, bukan hanya logika hukum semata. Dalam konteks inilah maka Paralegal
memiliki perannya yang signifikan terkait akses terhadap keadilan.

Sekolah Paralegal dan Ruang Diseminasi Pengetahuan Mengenai Hak WargaNegara

Meskipun inisiatif pengembangan model-model bantuan hukum berbasis komunitas melalui


Paralegal telah berhasil dikembangkan, namun masih memerlukan penyempurnaan dalam
pelaksanaannya, karena eksistensi dan peran paralegal yang ditopang oleh pengetahuan dan
keterampilan yang mumpuni merupakan aktor kunci dalam membuka akses terhadap keadilan
bagi kelompokkelompok masyarakat miskin dan marjinal di tingkat komunitas.
Oleh karena itu fokus utamanya terletak pada pengembangan kapasitas Paralegal melalui
serangkaian pendidikan dan pelatihan secara reguler. Kegiatan pengembangan kapasitas
Paralegal ini dibutuhkan penyempurnaan dan pelaksanaan sistem pendidikan paralegal yang
komprehensif dan berkelanjutan dengan tujuan agar Paralegal memiliki kapasitas dan
kompetensi yang memadai dalam pemberian layanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin
dan marginal di komunitasnya.
Sejauh ini LBH di bawah naungan YLBHI telah melibatkan paralegal dalam pelaksanaan
pemberian layanan bantuan hukum. Keberadaan paralegal tersebut melalui suatu proses yaitu
pendampingan komunitas dan pendidikan paralegal. Selama ini pendidikan paralegal
dilakukan dengan beberapa cara. Pertama melalui kegiatan-kegiatan programatik yaitu
dengan menyelenggarakan pelatihan, dimana setelah pelatihan paralegal menjalankan
perannya dalam memberikan layanan bantuan hukum di komunitasnya. Pelatihan-pelatihan
tersebut berlangsung tidak berkelanjutan dan hanya terbatas pada tema-tema tertentu. Kedua
pendidikan paralegal dilakukan sebatas respon terhadap kebutuhan komunitas. Bahkan
dilakukan secara tidak terprogram. Sehingga monitoring terhadap pelaksanaan paralegal
sendiri menjadi lemah.
Sekolah Paralegal adalah sekolah non formal yang di design oleh LBH di bawah naungan
YLBHI dalam rangka melakukan penguatan terhadap masyarakat secara lebih luas.
Penguatan yang dimaksud bukan hanya penguatan Paralegal sebagai individu di mana yang
bersangkutan diperkuat pengetahuan hukum dan kemampuan advokasinya, juga memperkuat
organisasi dan komunitas masyarakat secara lebih luas dalam hal pengetahuan kolektifnya,
terutama kolektif komunitas
lintas sektor isu.

385
Tujuan penyelenggaraan sekolah Paralegal adalah:

“ Membentuk Paralegal berbasis komunitas atau organisasi rakyat dalam rangka


mendorong penguatan masyarakat sipil dalam mengawal dan
berpartisipasi dalam kebijakan di level daerah “

Tujuan penyelenggaraan ini dimaksudkan sebagai jawaban atas kebutuhan dari ketimpangan
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait haknya sebagai warga Negara. Sekolah
Paralegal dimaksudkan bukan hanya sebagai ruang belajar, juga sebagai ruang bertemunya
berbagai gagasan tentang kemajuan gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan
haknya.

Walaupun sekolah Paralegal selalu dihadiri oleh organisasi rakyat dan komunitas melalui
sistem perwakilan, akan tetapi penyebaran gagasan dan pengetahuan yang di dapat, haruslah
dilakukan juga di tingkat komunitasnya. Paralegal bukan hanya punya hak mengikuti
pendidikan, juga mempunyai kewajiban untuk menyebarluaskan pengetahuan dan
pemahaman yang di dapat di tingkatan komunitasnya. Kegiatan diskusi rutin, ataupun
kegiatan yang dirancang bersama merupakan buah dari partisipatif di tingkatan lokal. Ini
kiranya yang membuat tujuan dilakukannya sekolah Paralegal akan bermuara pada berbagai
kebijakan yang di daerah yang diintervensi oleh masyarakat secara langsung. Hal ini tidak
mungkin terjadi jika Paralegal hanya sebatas melakukan kegiatan belajar di kelas semata.
Sekolah Paralegal haruslah menjadi ruang yang menopang kebutuhan masyarakat dan
memperkayanya dengan berbagai pembelajaran dan pemahaman baru di
tingkatan komunitas.

Itulah kemudian yang menjadikan sekolah paralegal haruslah menjadi bagian penting dalam
pendidikan gerakan alternatif di Indonesia. Dengan prinsip pendidikan yang partisipatif dan
demokratis, maka sekolah Paralegal dapat menjadi ruang yang efektif dalam
menyebarluaskan gagasan soal keadilan. Dan akses terhadap keadilan juga soal terbukanya
ruang-ruang pengetahuan yang demokratis.

386

Anda mungkin juga menyukai