Anda di halaman 1dari 13

PENGEMBALIAN ASET CURIAN HASIL TINDAK PIDANA

KORUPSI DI KAWASAN ASIA TENGGARA BERDASARKAN


UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION
(UNCAC) DAN UNDANG-UNDANG NASIONAL

Annisa Camelia Ramadhani


Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, University of Muhammadiyah Malang,
Jawa Timur Indonesia

University of Muhammadiyah Malang,


Indonesia
Email: annisacamelia301299@gmail.com
Abstraksi
Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki indeks persepsi korupsi
yang rendah perlu dilakukanya upaya pengembalian aset hasil curian sebagai
suatu bagian dari kebijakan nasional untuk menghentikanya tindak pidana
korupsi, tindak pidana korupsi memiliki akses yang luas dalam
menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang, maka permasalahan
menjadi sulit karena tempat melakukanya masih melintasi batas wilayah
negara berkembang. maka dari itu artikel ini membahas bagaimana keterkaitan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang tujuanya mengenai
pemindanaan hukum pidana ataupun gugatan perdata yang diterapkan dalam
proses pengembalian aset hasil curian kejahatan. Bagaimana penerapan prinsip
hukum internasional dalam pengembalian aset curian di kawasan Asia
Tenggara dan usaha pengembalian aset hasil curian dengan bentuk instrumen
hukum internasional seperti Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, Undang-
undang nomor 20 Tahun 2001, Undang-undang nomor 15 Tahun 2002 dan
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, ASEAN Mutual
Legal Assistance Treaty ( AMLAT), dan juga beberapa elemen dalam
prasyarat pengembalian aset hasil kejahatan berupa tindak pidana korupsi.

Keywords: Korupsi, pengembalian aset, UNCAC, AMLAT, Undang-undang


A. Pendahuluan

Permasalah mengenai pemberantasan korupsi saat ini tidak hanya


menjadi perhatian penduduk satu negara saja, namuan bisa dikatakan
sudah menjadi masalah beberapa negara atau internasional. Kasus tindak
pidana korupsi yang terjadi di negara Indonesia sangat penting untuk
ditanggulangi dan perlu mendapatkan perhatian khususnya dari
masyarakat internasional lainya, beberapa tahun terakhir ini bagi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam konvensi mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi menentang kejahatan terorganisasi
lintas negara itu. Pada tahun 2012 menurut hasil survey transparancy
Internasional, tahun 2011 negara berkembang Indonesia menempati
urutan ke 6 sebagai negara yang memiliki indeks persepsi rendah korupsi
dengan nilai 2,4, namun di negara lain beradarkan hasil survai
politicaland Economic Risk Consultacy atau lembaga pemberi peringkat
yang berdomisili di hongkong, menyatakan bahwasanya pada tahun 2013
Indonesia merupakan negara kedua yang dianggap sebagai negara
terkorup di ASIA dengan angka 8,03 setelah negara filphina. Adanya
penurunan peringkat sebagai negara terkorup dikarenakan political will
dari pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi. Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan jika kerugian negara
Indonesia tahun 2012- 2014 mencapai 689,19 miliar karena korupsi yang
dilakukan, data KPK memperlihatkan nilai itu berasal dari keuangan
Negara dengan nilai kurang lebih 1,9 Triliun. Kerugian negara Indonesia
sebagain terjadi karena proses pengadaan barang dan jasa secara
penunjukkan langsung, kerugian negara mencapai 647 miliar atau 94%.
Sisa kerugian negara diakibatkan oleh praktik penggelembungan harga
sebesar 41,3 miliar atau 6% dari total kerugian negara. Korupsi
merupakan kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan yang luar
biasa karena kerugian yang diderita oleh Negara Indonesia dapat menjadi
begitu bertahap. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.39
tahun 1999, Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang dinyatakan bahwa korupsi terjadi secara
sistematis dan meluas karena pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat sehingga korupsi digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa, dan upaya pemberantasanya dapat dilakukan
dengan tindakan retoratif.
Tidak hanya negara indonesia yang memiliki permasalahan
mengenai tindak pidana korupsi, namun masalah itu juga dialami oleh
beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara yaitu, Thailand, Vietnam,
Myanmar, Laos, Brunei darussalam, Malaysia. Adanya kasus korupsi
disebabkan oleh penyelewengan kekuasaan atau yang disebut abuse of
power, terutama pada negara yang memiliki stabilitas keamanan rendah,
Kawasan Asia tenggara beranggapan bahwa korupsi juga penyebab
terhambatnya pembangunan. Data transparansi Internasional tahun 2013
menyatakan jika 5 negara anggota ASEAN ada dibawah peringkat 110
dari semua negara yang masuk dalam riset TI, namun dalam data Indeks
persepsi korupsi Internasional tahun 2014 menunjukkan bahwa hanya
kawasan Asia Tenggara bagian Malaysia dan Singapura yang dianggap
bersih dari korup.
Kerjasama dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi dapat
dilihat dengan adanya United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) yang dibuka pada tanggal 30 Oktober 2003 sebagai
penandatanganan dalam konferensi Poitik Tingkat Tinggi, UNCAC
adalah salah satu hasil upaya masyarakat internasional dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia mengikuti
sejak sidang pertama dan meratifikasi konvensi ini melalui Undang-
undang no.7 Tahun 2006 sampai Negara peserta UNCAC mencapai
sebanyak 127 Negara, dari jumlah 99% telah menyatakan kesedianya
untuk menandatangani konvensi tersebut. Pembahasan penting yang
diatur UNCAC tahun 2003 adalah mengenai pengembalian aset, dengan
disahkanya konvensi PBB ini, korupsi diakui sebagai kejahatan global dan
akan ditandatangani dengan bersama.
Upaya pengembalian aset negara yang dicuri (stolen asset
recovery) melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah
dilakukan, karena pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi
memiliki askses yang luas. Dalam penelitian KHN menunjukkan bahwa
selain belum terbentuknya prosedur dan mekanisme pengembalian aset,
terdapat adanya hambatan yang selama ini dialami dalam pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi, hambatan yang terjadi seperti, hambatan
penyidikan, sistem hukum antar negara yang berbeda, tidak adanya
sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Negara Indonesia, tidak
mudahnya melakukan kerjasama dengan negara lain baik dalam bentuk
perjanjian ekstradisi, masalah dual criminality, kekeliruan dalam
melakukan tuntutan yang berkaitan dengan uang pengganti dan putusan
yang kurang tepat oleh hakim, dan hambatan yang terakhir adalah
permasalahan central authorithy.
Pengembalian aset suatu negara yang dicuri, itu tidak selamanya
terkait dengan hasil kejahatan, yang dominan biasnaya berhubungan
dengan kejahatan ekonomi yang meliputi korupsi, maka dari itu
pengembalian aset yang telah dicuri ialah salah satu prasyarat yang
dibutuhkan adalah suatu kemauan yang dimiliki oleh negara tersebut.
Kemauan politik dari parlemen terkait dengan seperangkat aturan hukum
yang harus disiapka mulai dari pelacakan aset, pembekuan aset,
penyitaan aset, perampasan aset, pengelolaan aset sampai pengawasan
aset yang diserahkan. Dalam pengaturan mengenai hubungan kerjasama
timbal balik antarnegara, konteks yang berperan dalam suatu pemerintah
untuk membentuk undan-undang sangan dominan. Dari pengalaman
yang berhasil mengembalikan aset-aset yang telah dicuri oleh koruptor
dan otoriter menunjukkan bahwasanya kemauan politik negara sangat
menentukan. Selain masalah political will, peraturan tentang perundang-
undangan dan sistem peradilan adalah hal penting dalam pengembalian
aset yang tidak selalu berkaitan dengan kejahatan korupsi. Bahkan
pengembalian aset terkait perkara pidana, bisa juga dikatakan sebagai
erkara perdata, oleh karena itu masalah pengembalian aset membutuhkan
peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan yang tepat.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


kepustakaan atau pengumpulan data dari sumber internet dan para ahli
yang bersifat comparative atau metode perbandingan dengan penafsiran
secara ekstensif, metode penelitian ini dapat digunakan sebagai
perbandingan konsep mengenai pengembalian aset curian hasil tindak
pidana korupsi di Negara Indonesia dan beberapa kasawan Asia
Tenggara lainya.
Penelitian yang digunakan bersifat penelitian deskriptif dan jenis
pengumpulan data yang digunakan bersifat sekunder yang terdiri dari
hukum primer, sekunder, dan tersier. Hukum primer merupakan hukum
yang memiliki kekuatan mengikat seperti perundan-undangan Indonesia
dan konvensi Internasional, Hukum sekunder merupakan hukum erat
hubunganya dengan primer untuk menganalisa, memahami dan
menjelaskan seperti teori para ahli, jurnal, internet dan makalah. Hukum
tersier ialah hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan hukum
primer dan sekunder seperti eksiklopedia dan kamus.

C. Temuan
Melalui tindak pidana yang berlaku saat ini melalui prosedur
penegakan hukum pidana, proses pengambilan aset menimbulkan
persoalan, bahkan pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi tidak
bertanggung jawab. Secara normatives dan sosiologis esensi mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi dibagi menjadi 3 yaitu, tindakan
preventif, tindakan represif, dan tindakan restoratif. Namun yang
digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai pengambilan aset hasil
curian tindak pidana korupsi adalah tindakan represif. Mekanisme
perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang
berisi tentang pernyataan kesalahan dan hukuman bagi pelaku tindak
pidana. Sistem peradilan pidana dianggap menjamin hak asasi manusia,
dan dapat dipertanggung jawabkan. Pengembalian aset hasil curian
merupakan proses penanganan hasil kejahatan yang dilakukan secara
terintegrasi di setiap tahap penegakan hukum, sehingga aset dapat
dipertahankan dan dapat dikembalikan kepada negara. Pengembalian
aset juga meliputi beberapa tindakan yang bersifat pretentif agar nilai aset
tidak hilang. Prinsip pengembalian aset diatur secara eksplisit dalam
Konvensi ati Korupsi, yang berketentuan pasal 51. Konvensi mengenai
tindak pidana korupsi ini memungkinkan dilakukanya tindakan
pengambilan aset atas kekayaan tanpa pemindanaan dalam hal pelaku
tidak dapat dituntut dengan alasan apapun.
Seperti yang tertuang dalam Undang-undang nomor 31 Tahun
1999 tentang pemeberantasan Tindak pidana korupsi yang telah diubah
dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 (UU PTPK) yang
memberikan ancaman pada pelaku berupa pidana penjara, pidana denda,
dan pembayaran uang pengganti uang. Namun jika pelaku tidak bisa
membayar pengganti uang, maka akan dirampas aset kekayaanya.
perampasan suatu aset hasil tindak pidana korupsi sangat tergantung
pada keberhasilan penyidikan dan penuntutan kasus pidana tersebut.
Penerapan konsep tersebut terdapat dalam Pasal 39 dan Pasal 46 ayat (2)
KUHAP yaitu, Pasal 38B Ayat (2) UU PTPK menyatakan bahwa
perampasan aset yang merupakan hasil tindak pidana korupsi juga
termasuk jika pelaku itu tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
yang diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, maka dari itu hakim
berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk Negara. Lalu ada juga Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU PTPK
yang menyatakan bahwa, perampasan barang yang berwujud atau tidak
yang digunakan atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, ataupun
perusahaan milik pelaku di mana tindak pidana korupsi dilakukan.
Berkenaan dengan perampasan aset melalui jalur tuntutan pidana
UU PTPK Pasal 38 ayat (5) dan (6) juga memberikan jalan keluar terhadap
perampasan aset hasil curian terhadap harta benda hasil tindak pidana
korupsi yang perkara pidananya tidak dapat dilanjutkan proses
hukumnya karena pelaku meninggal dunia setelah proses pembuktian
dan dari pemeriksaan alat bukti di persidangan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi,
maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan
barang- barang yang telah disita dan penetapan perampasan dan tidak
dapat melakukan upaya banding. Dalam Pasal 38C UU PTPK mengatur
tentang dimungkinkannya diajukan gugatan terhadap aset hasil tindak
pidana korupsi yang perkara pidananya dapat diproses dan diputus oleh
pengadilan dengan kekuatan hukum tetap, namun masih terdapat aset
atau harta benda milik pelaku yang juga berasal dari tindak pidana
korupsi. Upaya dalam pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan
oleh pemerintahan, namun juga lembaga lembaga yang dibentuk untuk
memberantas korupsi dengan diberlakukanya perundang-undangan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi seperti, Undang-undang No. 24
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang No.3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah
dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, dan Undang-undang No.30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang tindak pidana koruspi dibentuk dengan tujuan untuk
menyelamatkan keuangan negara serta mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pemerintah
merasa bahwa perbuatan para pelaku tindak pidana korupsi sudah
menghambat pembangunan nasional yang menuntut pengeluaran negara
seefisien mungkin, sedangkan menurut Undang-Undang No.20 Tahun
2001 tentang Perubahan Undang-Undang No.31 Tahun 1999, memandang
bahwa tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai
kejahatan yang luar biasa.
Namun kasus tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi di
Indonesia, di beberapa Kawasan Asia Tenggara juga mengalami kasus
korupsi yang berdampak pada kerugian negara, ada sekitar 2 triliun
kerugian negara pada tahun 2010 yang tidak berhasil ditagih, bahkan
menurut data Kejaksaan Agung. Ada uang pengganti yang belum tertagih
terhadap perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan sebesar 9.
064.933.855.111.94 dan USD 499.870.916, 05. Namun kasus tindak pidana
korupsi tidak terjadi pada negara Indonesia saja, di negara-negara
kawasan Asia Tenggara yang juga terlibat dalam kasus tindak pidana
korupsi. Negara Thailand mengalami kerugian yang cukup besar pada
tahun 2012 yang berkaitan dengan investasinya yang mencapai Bt. 840.14
juta atau kurang lebih 240 juta dolar. Lalu Vietnam juga mengalami hal
yang sama, yaitu kerugian negaranya pada tahun 2014 kasus korupsi
sebebsar 316.45 miliar dolar dan hanya 22% aset yang berhasil
dikembalikan pada negara. Pada tahun yang sama, Laos juga mengalami
kerugian dengan kehilangan sekitar 150 miliar dolar karena kasus korupsi
dan separuhnya baru dapat dikembalikan. September 2015, Myanmar ada
20 juta dolar uang hasil korupsi dan pencucian uang yang disimpan di
negaranya. Brunei darussalam pada kasus Brunei shell petroleum tahun
2013, terjadi kasus penyuapan uang yang merugikan negara sebesar 3
miliar dolar. Praktik skandal korupsi perdana menteri Malaysia, Najib
Razak, dinyatakan merugikan malaysia hingga 700 miliar dolar. Dan
Kamboja salah satu negara kawasan Asia Tenggara mencatat kerugian
akibat kasus suap menyuap sebesar 5000 dolar perbulan, bahkan kasus
korupsi dan suap Perdana menteri tahun 2011 di Prem, negara dirugikan
hingga sebesar 200. 000 dolar.
Pemberantasan korupsi di kawasan ASEAN terlihat dengan di
tandatanganinya ASEAN declaration on transnational crime tahun 1997,
masalah korupsi dinggap sebuah transnational crime, namun tindakan
deklarasi itu hanya rekomendasi kepada Expert Group Meeting. Deklarasi
hanya sebatas konsensus regional Asia Tenggara yang pelaksanaanya
diserahkan pada negara anggota. Kerjasama dalam pemberantasan
korupsi di ASEAN menjadi salah satu isu yang dibahas dalam wilayah
ASEAN Political Security Community atau APSC. Salah satu upaya dalam
kerjasama adalah bantuan hukum timbal balik yang dibahas dalam
Nutual Legal Assistance Treaty in Criminal Matters anta negara anggota
ASEAN mutual legal assistance treaty.
UNCAC, AMLAT, dan Undang-undang nasional bisa menjadi
salah satu cara dalam pemberantasan korupsi, termasuk kerjasama
internasional yang dilakukan dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. Prinsip-prinsip hukum internasioanl merupakan prinsip dasar
dan fudamental yang terdapat dalam proses pengembalian aset hasil
curian baik berdasarkan dokumen internasional atau dokumen regional.
Penerapan prinsip Hukum internasional UNCAC memiliki prinsip yang
dijabarkan melalui beberapa contoh seperti apa yang terkait dengan
kerjasama internasional, terkait dengan bantuan hukum timbal balik,
terkait dengan pemeriksaan bukti dan hal-hal yang terkait dengan
kejahatan, dan terkait dengan penafsiran atas hal-hal terkait dengan
perampasan aset dalam Konvensi UNCAC. UNCAC dan AMLAT
merupakan instrumen hukum internasional dan juga regional yang
nantinya dapat diberlakukan ke dalam hukum nasional yang harus
diratifikasi ke dalam undang-undang nasional. Hal inilah yang dijelaskan
dalam Pasal 11 VCLT bahwa “the consent of a State to be bound by treaty
may be expressed by signature, exchange of instrument constituting a
treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by other means if
so agreed”. keberlakuan dan hubungan hukum internasional dengan
hukum nasional, pada praktek negara-negara kawasan Asia Tenggara
dapat dipahami melalui dua teori berbeda yaitu, monisme dan dualisme.
Teori monisme, hukum internasional merupakan ratifikasi secara
otomatis dan langsung memasukan hukum internasional ke dalam
hukum nasional, contohnya ialah dalam pelaksanaan jurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
dapat langsung diproses dalam peradilan nasional. Teori dualisme justru
bertentangan dengan teori monisme, yaitu memberikan pemahaman
bahwa perjanjian internasional bisa berlaku sebagai hukum nasional,
maka perjanjian tersebut harus ditransformasikan melalui undang-
undang nasional. Menurut Melda Kamil bahwa Indonesia merupakan
negara penganut monisme karena didalam undang-undang pengesahan
selalu dilampirkan perjanjian internasionalnya sehingga perjanjian
internasional tersebut dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan
sebagai sumber hukum formal dalam menyelesaikan sebuah perkara.
United Nation Convention Against Corruption, memiliki beberapa
hal substansial yang meliputi upaya dilakukanya tindakan
pemberantasan terkait korupsi yaitu : prevemtion, criminalization,
international cooperation, asset recovery, dan implementation
mechanisms yang dijadikan sebagai acuan bagi pelaksanaan UNCAC
yang selanjutnya dibagi dalam beberapa prinsip seperti
a. Sufficient of evidence yaitu syarat utama dan penting dalam
proses perampasan aset yang berkaitan dengan Pasal 18 ayat
(1), AMLAT menegaskan bahwa, The Requested Party shall,
subject to its domestic laws, execute a request for the search,
seizure and delivery of any documents, records or items to the
Requesting Party if there are reasonable grounds for believing
that the documents, records or items are relevant to a criminal
matter in the Requesting Party.

b. Double crimanility ialah Kriminalitas ganda dalam


perampasan aset yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1), AMLAT
menegaskan bahwa, The request relates to the investigation,
prosecution or punishment of a person in respect of an act or
omission that, if it had occurred in the Requested Party, would
not have constituted an offence against the laws of the
Requested Party except that the Requested Party may provide
assistance in the absence of dual criminality if permitted by its
domestic laws.

c. Double joepardy ialah sesuatu yang berkaitan dengan


penerapan Pasal 3 ayat (1), AMLAT menjelaskan The request
relates to the investigation, prosecution or punishment of a
person for an offence in a case where the person: has been
convicted, acquitted or pardoned by a competent court or other
authority in the Requesting or Requested Party, or has
undergone the punishment provided by the law of that
Requesting or Requested Party, in respect of that offence or of
another offence constituted by the same act or omission as the
first-mentioned offence.

d. General human rights consideration merupakan hak asasi


manusia yang diatur dalam prinsip yang berkaitan dengan
perampasan aset, baik itu berupa mutual legal assistance
maupun ekstradisi, sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) AMLAT
mengatur bahwa, The ASEAN MLAT provides that the
Requested State shall refuse assistance if, in its opinion): there
are substantial grounds for believing that the request was
made for the purpose of investigating, prosecuting, punishing
or otherwise causing prejudice to a person on account of the
person’s race religion, sex, ethnic origin, nationality or political
opinions.

e. The rights suspect and persons charged with criminal offences


ialah prinsip-prinsip hak tersangka atau orang yang terkait
dengan kejahatan, seperti yang diajukan dalam permohonan
MLA, Pasal 12 AMLAT menyatakan, A person who is required
to give sworn or affirmed testimony or produce documents,
records or other evidence under Article 11 of this Treaty in the
Requested Party pursuant to a request for assistance may
decline to do so where the law of the Requested Party permits
or requires that person to decline to do so in similar
circumstances in proceedings originating in the Requested Part

f. Consideration of the Likely Severity of Punishment yang


termasuk juga pada kasus-kasus hukuman mati merupakan
Prinsip yang sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia
dan prinsip kedaulatan negara, sebab hukuman mati bagi
beberapa negara merupakan hak untuk mengatur atau
menghapusnya, namun di Kawasan Asia tenggara prinsip
yang dimilikinya berbeda-beda

g. Political offences merupakan prinsip yang berkaitan dan UN


Model Treaty mengatakan bahwa “Assistance may be refused
if, The offence is regarded by the requested State as being of a
political nature.

h. Public atau national interest berkaitan dengan prinsip


kepentingan nasional, Pasal 3 ayat (3) AMLAT menjelaskan
bahwa hal-hal yang membahayakan stabilitas negara atau
menjadi kepentingan publik bisa dijadikan alasan kuat untuk
penolakan MLA dalam proses perampasan aset.

i. Bank secrecy dan fiscal fraud ialah prinsip khusus yang


berhubungan dengan asas kerahasiaan bank.

Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance


(MLA) merupakan perjanjian timbal balik terkait masalah pidana, yang
pembentukannya dilatar belakangi adanya kondisi faktual dari
kelambanan proses pemeriksaan atas suatu kejahatan yang dikerenakan
perbedaan sistem hukum. MLA juga muncul sebagai salah satu upaya
dalam mengatasi dan memberantas tindak pidana korupsi yang sifatnya
lintas batas. Dalam menetapkan mekanisme pelaksanaan bantuan hukum
timbal balik, maka dari itu dibentuklah perjanjian baik bilateral,
multilateral, maupun regional (UNCAC dan AMLAT) pada negara-
negara yang akan merumuskan mekanisme bantuan hukum timbal balik
serta penetapan pihak yang berwenang yang memiliki otoritas terkait
dengan pengajuan permintaan serta bantuan untuk mengidentifikasi
kejahatan atau bantuan mengupayakan keamanan masyarakatnya.
Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance (MLA)
dianggap sebagai cara paling efektif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Di kawasan negara Asia Tenggara
MLA selalu berhubungan dengan pelaksaan ekstradisi.

D. Diskusi
Tindak pidana korupsi merupakan tindakan yang merusak sistem
dan hak-hak politik, ekonomi dan hukum. Permasalahan yang terjadi
tentang seberapa banyaknya korupsi dapat dilihat dari pelaku-pelaku
yang terlibat. Kasus korupsi yang terjadi di lintas negara saat ini sudah
bermuncul di beberapa kawasan Asia Tenggara, hal ini ditunjukkan
dengan dengan terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan aktor
internasional, khusunya Multi National Corporation. Oleh karena itu
diperlukanyan suatu tindakan yang seharusnya dapat menghentik dan
memberantas tindak pidana korupsi.
Pengembalian aset hasil curian merupakan proses penanganan
hasil kejahatan yang dilakukan secara terintegrasi di setiap tahap
penegakan hukum, sehingga aset dapat dipertahankan dan dapat
dikembalikan kepada negara. Pengembalian aset juga meliputi beberapa
tindakan yang bersifat pretentif agar nilai aset tidak hilang. Prinsip
pengembalian aset diatur secara eksplisit dalam Konvensi ati Korupsi,
yang berketentuan pasal 51. Konvensi tindak pidana korupsi ini
memungkinkan dilakukannya tindakan perampasan aset hasil curian atas
kekayaan tanpa pemidanaan dalam hal yang membuat pelaku tidak dapat
dituntut dengan alasan meninggal dunia, kabur. UU PTPK mengatur
tentang dilakukanya perampasan aset yang merupakan aset atau hasil
dari tindak pidana korupsi yang dilakukakan oleh pelaku. UU PTPK
memberikan dua cara yang berkenaan dengan perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan atau
perekonomian Negara, cara yang pertama ialah perampasan melalui jalur
pidana dan perampasan melalui gugatan perdata, atau dengan cara
pengambilan tindakan restoratf kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Perampasan aset hasil curian tindak pidana korupsi dilakukan melalui
jalur tuntutan pidana dengan catatan penuntut umum harus dapat
membuktikan kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana
korupsi tersebut., konsep pengambilan keputusan mengenai
pengembalian aset hasil curian ini bisa disebut sebagai perampasan aset
berdasarkan kesalahan terdakwa atau Conviction Based Assets Forfeiture
yang berarti perampasan suatu aset hasil tindak pidana korupsi sangat
tergantung pada keberhasilan penyidikan dan penuntutan kasus pidana
itu. Lalu ada juga tahap eksekusi pidana yang dilakukan sebagai uang
pengganti, namun hal ini terkadang mengalami kesulitan, karena hal ini
berhubungan dengan penjatuhan pidana yang selalu disubsiderkan
dengan penjara. Sehingga para terpidana korupsi lebih memilih untuk
menjalani masa penjara daripada membayar pidana uang pengganti.
Pelaksanaan perampasan aset dan eksekusi pidana uang pengganti baru
dapat dilakukan jika terdakwa sudah terbukti bersalah.
Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan
perdata ialah cara dengan melihat kelemahan dalam penerapan
perampasan aset jalur pidana, dan diperlukan jalur lain seperti gugatan
perdata, hal ini dilihat dari ketentuan pasal 31 UU PTPK yang
menyebutkan bahwa dalam penyidikan bisa menemukan dan
berpendapat bahwa unsur tindak pdana korupsi tidak terdapat cukup
bukti yang dimiliki, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
Negara. Baik melalui jalur pidana atau perdata, keduanya memerlukan
peran fungsi dalam jalur pidana dan dalam gugatan perdata.

E. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa prinsip yang


diterapkan dalam proses perampasan aset melalui mekanisme bantuan
hukum internasional ataupun hukum timbal balik di negara Kawasan
Asia Tenggara meliputi pernyataan-pernyataan oleh UNCAC dan
AMLAT, dan instrumen hukum yang digunakan dalam pengembalian
aset hasil curian Tindak pidana korupsi adalah UNCAC,AMLAT dan
Undang-Undang nasional. Dengan kasus yang dapat merugikan negara
dan perekonomianya diperlukanya penerapan pemulihan aset dalam
tindak pidan yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kerugian
negara dengan dua jalur hukum yaitu pidana dan perdata, dalam proses
yang dilakukan ada kelemahan-kelemahan ketika proses yang dilakukan
tidak adanya bukti yang cukup kuat atas kasus tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal pidana uang pengganti adanya
aturan pidana subsider yang justru menyulitkan pengembalian aset hasil
curian tindak pidana korupsi. Upaya yang dilakukan negara atas kasus
dan bantuan hukum nasional ataupun internasional terkadang masih
kurang kuat karena tindak pidana korupsi yang dilakukan cukup besar.

Bibliography

Yunus Husein, (2017) Pengembalian aset hasil tindak pidana (asset


recovery) dan corporate criminal liability.

Agusman, Damos Dumoli, (2010) Hukum Perjanjian Internasional, Refika


Aditama, Bandung
Syahmin Ak., S.h., M.h, Malkian Elvani, S.h., M.h, Henny Yuningsih, S.h.,
M.h (2013) Pengembalian Aset Negara Hasil Tipikor Melalui Kerjasama
Timbal Balik Antar Negara, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Muhamad Rakhmat, (2015), Kewenangan kejaksaan dalam pengembalian


aset hasil korupsi melalui instrumen hukum perdata, Ilmu hukum
universitas Majalengka, Jawa Barat

Eddy O.S. Hiarej, (2013), Pengembalian Aset Kejahatan, Direktorat


Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemnetrian Luar Negeri RI

See UNODC The Globalisation of Crime (2010) a Transnational


Organised Crime Threat Assessment , (hereafter Globalisation of Crime).

Dewanto, Wisnu Aryo (2012),“Memahami Arti UndangUndang


Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia”, Opinio Juris, Vol. 04

Ginting, Jamin, (2011) “Perjanjian Internasional dalam Pengembalian Aset


Hasil Korupsi di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11

Anda mungkin juga menyukai