Pengambilan Aset Curian Tipikor
Pengambilan Aset Curian Tipikor
B. Metode
C. Temuan
Melalui tindak pidana yang berlaku saat ini melalui prosedur
penegakan hukum pidana, proses pengambilan aset menimbulkan
persoalan, bahkan pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi tidak
bertanggung jawab. Secara normatives dan sosiologis esensi mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi dibagi menjadi 3 yaitu, tindakan
preventif, tindakan represif, dan tindakan restoratif. Namun yang
digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai pengambilan aset hasil
curian tindak pidana korupsi adalah tindakan represif. Mekanisme
perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang
berisi tentang pernyataan kesalahan dan hukuman bagi pelaku tindak
pidana. Sistem peradilan pidana dianggap menjamin hak asasi manusia,
dan dapat dipertanggung jawabkan. Pengembalian aset hasil curian
merupakan proses penanganan hasil kejahatan yang dilakukan secara
terintegrasi di setiap tahap penegakan hukum, sehingga aset dapat
dipertahankan dan dapat dikembalikan kepada negara. Pengembalian
aset juga meliputi beberapa tindakan yang bersifat pretentif agar nilai aset
tidak hilang. Prinsip pengembalian aset diatur secara eksplisit dalam
Konvensi ati Korupsi, yang berketentuan pasal 51. Konvensi mengenai
tindak pidana korupsi ini memungkinkan dilakukanya tindakan
pengambilan aset atas kekayaan tanpa pemindanaan dalam hal pelaku
tidak dapat dituntut dengan alasan apapun.
Seperti yang tertuang dalam Undang-undang nomor 31 Tahun
1999 tentang pemeberantasan Tindak pidana korupsi yang telah diubah
dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 (UU PTPK) yang
memberikan ancaman pada pelaku berupa pidana penjara, pidana denda,
dan pembayaran uang pengganti uang. Namun jika pelaku tidak bisa
membayar pengganti uang, maka akan dirampas aset kekayaanya.
perampasan suatu aset hasil tindak pidana korupsi sangat tergantung
pada keberhasilan penyidikan dan penuntutan kasus pidana tersebut.
Penerapan konsep tersebut terdapat dalam Pasal 39 dan Pasal 46 ayat (2)
KUHAP yaitu, Pasal 38B Ayat (2) UU PTPK menyatakan bahwa
perampasan aset yang merupakan hasil tindak pidana korupsi juga
termasuk jika pelaku itu tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
yang diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, maka dari itu hakim
berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk Negara. Lalu ada juga Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU PTPK
yang menyatakan bahwa, perampasan barang yang berwujud atau tidak
yang digunakan atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, ataupun
perusahaan milik pelaku di mana tindak pidana korupsi dilakukan.
Berkenaan dengan perampasan aset melalui jalur tuntutan pidana
UU PTPK Pasal 38 ayat (5) dan (6) juga memberikan jalan keluar terhadap
perampasan aset hasil curian terhadap harta benda hasil tindak pidana
korupsi yang perkara pidananya tidak dapat dilanjutkan proses
hukumnya karena pelaku meninggal dunia setelah proses pembuktian
dan dari pemeriksaan alat bukti di persidangan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi,
maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan
barang- barang yang telah disita dan penetapan perampasan dan tidak
dapat melakukan upaya banding. Dalam Pasal 38C UU PTPK mengatur
tentang dimungkinkannya diajukan gugatan terhadap aset hasil tindak
pidana korupsi yang perkara pidananya dapat diproses dan diputus oleh
pengadilan dengan kekuatan hukum tetap, namun masih terdapat aset
atau harta benda milik pelaku yang juga berasal dari tindak pidana
korupsi. Upaya dalam pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan
oleh pemerintahan, namun juga lembaga lembaga yang dibentuk untuk
memberantas korupsi dengan diberlakukanya perundang-undangan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi seperti, Undang-undang No. 24
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang No.3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah
dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, dan Undang-undang No.30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang tindak pidana koruspi dibentuk dengan tujuan untuk
menyelamatkan keuangan negara serta mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pemerintah
merasa bahwa perbuatan para pelaku tindak pidana korupsi sudah
menghambat pembangunan nasional yang menuntut pengeluaran negara
seefisien mungkin, sedangkan menurut Undang-Undang No.20 Tahun
2001 tentang Perubahan Undang-Undang No.31 Tahun 1999, memandang
bahwa tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai
kejahatan yang luar biasa.
Namun kasus tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi di
Indonesia, di beberapa Kawasan Asia Tenggara juga mengalami kasus
korupsi yang berdampak pada kerugian negara, ada sekitar 2 triliun
kerugian negara pada tahun 2010 yang tidak berhasil ditagih, bahkan
menurut data Kejaksaan Agung. Ada uang pengganti yang belum tertagih
terhadap perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan sebesar 9.
064.933.855.111.94 dan USD 499.870.916, 05. Namun kasus tindak pidana
korupsi tidak terjadi pada negara Indonesia saja, di negara-negara
kawasan Asia Tenggara yang juga terlibat dalam kasus tindak pidana
korupsi. Negara Thailand mengalami kerugian yang cukup besar pada
tahun 2012 yang berkaitan dengan investasinya yang mencapai Bt. 840.14
juta atau kurang lebih 240 juta dolar. Lalu Vietnam juga mengalami hal
yang sama, yaitu kerugian negaranya pada tahun 2014 kasus korupsi
sebebsar 316.45 miliar dolar dan hanya 22% aset yang berhasil
dikembalikan pada negara. Pada tahun yang sama, Laos juga mengalami
kerugian dengan kehilangan sekitar 150 miliar dolar karena kasus korupsi
dan separuhnya baru dapat dikembalikan. September 2015, Myanmar ada
20 juta dolar uang hasil korupsi dan pencucian uang yang disimpan di
negaranya. Brunei darussalam pada kasus Brunei shell petroleum tahun
2013, terjadi kasus penyuapan uang yang merugikan negara sebesar 3
miliar dolar. Praktik skandal korupsi perdana menteri Malaysia, Najib
Razak, dinyatakan merugikan malaysia hingga 700 miliar dolar. Dan
Kamboja salah satu negara kawasan Asia Tenggara mencatat kerugian
akibat kasus suap menyuap sebesar 5000 dolar perbulan, bahkan kasus
korupsi dan suap Perdana menteri tahun 2011 di Prem, negara dirugikan
hingga sebesar 200. 000 dolar.
Pemberantasan korupsi di kawasan ASEAN terlihat dengan di
tandatanganinya ASEAN declaration on transnational crime tahun 1997,
masalah korupsi dinggap sebuah transnational crime, namun tindakan
deklarasi itu hanya rekomendasi kepada Expert Group Meeting. Deklarasi
hanya sebatas konsensus regional Asia Tenggara yang pelaksanaanya
diserahkan pada negara anggota. Kerjasama dalam pemberantasan
korupsi di ASEAN menjadi salah satu isu yang dibahas dalam wilayah
ASEAN Political Security Community atau APSC. Salah satu upaya dalam
kerjasama adalah bantuan hukum timbal balik yang dibahas dalam
Nutual Legal Assistance Treaty in Criminal Matters anta negara anggota
ASEAN mutual legal assistance treaty.
UNCAC, AMLAT, dan Undang-undang nasional bisa menjadi
salah satu cara dalam pemberantasan korupsi, termasuk kerjasama
internasional yang dilakukan dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. Prinsip-prinsip hukum internasioanl merupakan prinsip dasar
dan fudamental yang terdapat dalam proses pengembalian aset hasil
curian baik berdasarkan dokumen internasional atau dokumen regional.
Penerapan prinsip Hukum internasional UNCAC memiliki prinsip yang
dijabarkan melalui beberapa contoh seperti apa yang terkait dengan
kerjasama internasional, terkait dengan bantuan hukum timbal balik,
terkait dengan pemeriksaan bukti dan hal-hal yang terkait dengan
kejahatan, dan terkait dengan penafsiran atas hal-hal terkait dengan
perampasan aset dalam Konvensi UNCAC. UNCAC dan AMLAT
merupakan instrumen hukum internasional dan juga regional yang
nantinya dapat diberlakukan ke dalam hukum nasional yang harus
diratifikasi ke dalam undang-undang nasional. Hal inilah yang dijelaskan
dalam Pasal 11 VCLT bahwa “the consent of a State to be bound by treaty
may be expressed by signature, exchange of instrument constituting a
treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by other means if
so agreed”. keberlakuan dan hubungan hukum internasional dengan
hukum nasional, pada praktek negara-negara kawasan Asia Tenggara
dapat dipahami melalui dua teori berbeda yaitu, monisme dan dualisme.
Teori monisme, hukum internasional merupakan ratifikasi secara
otomatis dan langsung memasukan hukum internasional ke dalam
hukum nasional, contohnya ialah dalam pelaksanaan jurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
dapat langsung diproses dalam peradilan nasional. Teori dualisme justru
bertentangan dengan teori monisme, yaitu memberikan pemahaman
bahwa perjanjian internasional bisa berlaku sebagai hukum nasional,
maka perjanjian tersebut harus ditransformasikan melalui undang-
undang nasional. Menurut Melda Kamil bahwa Indonesia merupakan
negara penganut monisme karena didalam undang-undang pengesahan
selalu dilampirkan perjanjian internasionalnya sehingga perjanjian
internasional tersebut dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan
sebagai sumber hukum formal dalam menyelesaikan sebuah perkara.
United Nation Convention Against Corruption, memiliki beberapa
hal substansial yang meliputi upaya dilakukanya tindakan
pemberantasan terkait korupsi yaitu : prevemtion, criminalization,
international cooperation, asset recovery, dan implementation
mechanisms yang dijadikan sebagai acuan bagi pelaksanaan UNCAC
yang selanjutnya dibagi dalam beberapa prinsip seperti
a. Sufficient of evidence yaitu syarat utama dan penting dalam
proses perampasan aset yang berkaitan dengan Pasal 18 ayat
(1), AMLAT menegaskan bahwa, The Requested Party shall,
subject to its domestic laws, execute a request for the search,
seizure and delivery of any documents, records or items to the
Requesting Party if there are reasonable grounds for believing
that the documents, records or items are relevant to a criminal
matter in the Requesting Party.
D. Diskusi
Tindak pidana korupsi merupakan tindakan yang merusak sistem
dan hak-hak politik, ekonomi dan hukum. Permasalahan yang terjadi
tentang seberapa banyaknya korupsi dapat dilihat dari pelaku-pelaku
yang terlibat. Kasus korupsi yang terjadi di lintas negara saat ini sudah
bermuncul di beberapa kawasan Asia Tenggara, hal ini ditunjukkan
dengan dengan terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan aktor
internasional, khusunya Multi National Corporation. Oleh karena itu
diperlukanyan suatu tindakan yang seharusnya dapat menghentik dan
memberantas tindak pidana korupsi.
Pengembalian aset hasil curian merupakan proses penanganan
hasil kejahatan yang dilakukan secara terintegrasi di setiap tahap
penegakan hukum, sehingga aset dapat dipertahankan dan dapat
dikembalikan kepada negara. Pengembalian aset juga meliputi beberapa
tindakan yang bersifat pretentif agar nilai aset tidak hilang. Prinsip
pengembalian aset diatur secara eksplisit dalam Konvensi ati Korupsi,
yang berketentuan pasal 51. Konvensi tindak pidana korupsi ini
memungkinkan dilakukannya tindakan perampasan aset hasil curian atas
kekayaan tanpa pemidanaan dalam hal yang membuat pelaku tidak dapat
dituntut dengan alasan meninggal dunia, kabur. UU PTPK mengatur
tentang dilakukanya perampasan aset yang merupakan aset atau hasil
dari tindak pidana korupsi yang dilakukakan oleh pelaku. UU PTPK
memberikan dua cara yang berkenaan dengan perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan atau
perekonomian Negara, cara yang pertama ialah perampasan melalui jalur
pidana dan perampasan melalui gugatan perdata, atau dengan cara
pengambilan tindakan restoratf kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Perampasan aset hasil curian tindak pidana korupsi dilakukan melalui
jalur tuntutan pidana dengan catatan penuntut umum harus dapat
membuktikan kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana
korupsi tersebut., konsep pengambilan keputusan mengenai
pengembalian aset hasil curian ini bisa disebut sebagai perampasan aset
berdasarkan kesalahan terdakwa atau Conviction Based Assets Forfeiture
yang berarti perampasan suatu aset hasil tindak pidana korupsi sangat
tergantung pada keberhasilan penyidikan dan penuntutan kasus pidana
itu. Lalu ada juga tahap eksekusi pidana yang dilakukan sebagai uang
pengganti, namun hal ini terkadang mengalami kesulitan, karena hal ini
berhubungan dengan penjatuhan pidana yang selalu disubsiderkan
dengan penjara. Sehingga para terpidana korupsi lebih memilih untuk
menjalani masa penjara daripada membayar pidana uang pengganti.
Pelaksanaan perampasan aset dan eksekusi pidana uang pengganti baru
dapat dilakukan jika terdakwa sudah terbukti bersalah.
Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan
perdata ialah cara dengan melihat kelemahan dalam penerapan
perampasan aset jalur pidana, dan diperlukan jalur lain seperti gugatan
perdata, hal ini dilihat dari ketentuan pasal 31 UU PTPK yang
menyebutkan bahwa dalam penyidikan bisa menemukan dan
berpendapat bahwa unsur tindak pdana korupsi tidak terdapat cukup
bukti yang dimiliki, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
Negara. Baik melalui jalur pidana atau perdata, keduanya memerlukan
peran fungsi dalam jalur pidana dan dalam gugatan perdata.
E. Kesimpulan
Bibliography