PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi telah lama menjadi salah satu masalah yang merusak bagi masyarakat dan
pemerintahan di seluruh dunia. Dampaknya yang merugikan tidak hanya terbatas pada
pemerintahan. Dalam konteks ini, peran hukum menjadi krusial dalam mengatasi tindak
aturan dan sanksi terhadap pelaku korupsi. Undang-undang anti-korupsi yang kuat,
dengan sanksi yang tegas dan efektif, memberikan dasar hukum yang kuat untuk
menindak tindak pidana korupsi. Hal ini mencakup pengaturan tentang pencegahan,
penegakan hukum, dan pemulihan aset yang telah dirampas sebagai konsekuensi dari
korupsi. Tanpa landasan hukum yang kokoh, upaya pemberantasan korupsi akan
Melalui regulasi ini, masyarakat memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi
mereka untuk mengawasi dan memeriksa tindakan pemerintah secara lebih efektif.
Selain itu, hukum juga memainkan peran penting dalam membangun budaya hukum
masyarakat dapat diberdayakan untuk memahami hak-hak dan kewajiban mereka, serta
masyarakat. Pembentukan kesadaran hukum ini memperkuat fondasi bagi tata kelola
pemerintahan yang baik, karena masyarakat akan menjadi agen perubahan yang aktif
Meskipun demikian, upaya untuk meningkatkan peran hukum dalam mengatasi tindak
pidana korupsi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan tidaklah mudah. Tantangan
seperti resistensi dari pihak-pihak yang terlibat dalam praktik korupsi, kurangnya
sumber daya untuk penegakan hukum, dan kelemahan dalam sistem peradilan sering
kali menjadi penghalang dalam proses ini. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang
kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat sipil,
pemberantasan korupsi yang menjadi prioritas nasional. Dalam konteks ini, terdapat
beberapa asas yang menjadi pilar utama dalam menjalankan peradilan hukum korupsi,
yang tidak hanya menjamin keadilan bagi para pelaku dan korban, tetapi juga
Salah satu asas utama dalam peradilan hukum korupsi adalah asas keadilan. Keadilan
dalam konteks ini mencakup perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk
mendapatkan pembelaan yang layak, dan keputusan yang adil dan berdasarkan bukti
1
Nawawi Arief, Barda, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Nawawi
yang kuat. Dalam kasus korupsi, di mana sering kali terlibat pihak-pihak yang memiliki
kekuatan atau kedudukan yang lebih tinggi, prinsip keadilan menjadi lebih penting
untuk memastikan bahwa proses peradilan tidak terpengaruh oleh tekanan atau
Selain itu, asas transparansi dan akuntabilitas juga memiliki peran penting dalam
yang diambil didasarkan pada hukum dan bukti yang tersedia, bukan pada pertimbangan
politik atau kepentingan pribadi. Dengan demikian, integritas sistem peradilan tetap
terjaga, dan masyarakat dapat mempercayai bahwa penegakan hukum tidak dipengaruhi
dapat diganggu-gugat dalam peradilan hukum korupsi. Hakim, jaksa, dan aparat
penegak hukum lainnya harus bertindak secara independen dan tidak terpengaruh oleh
kepentingan pribadi atau tekanan eksternal. Mereka harus menjalankan tugas mereka
dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi, demi menjamin bahwa keputusan
yang diambil didasarkan pada hukum dan bukti yang ada, bukan pada pertimbangan
Namun, meskipun terdapat asas-asas yang kuat dalam peradilan hukum korupsi di
Indonesia, tantangan yang dihadapi tidaklah sedikit. Korupsi sering kali melibatkan
jaringan yang kompleks dan kuat, sehingga proses peradilan dapat terhambat oleh
berbagai hal, termasuk intimidasi terhadap saksi dan penghancuran bukti-bukti yang
ada. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, termasuk
pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil, untuk bersatu dalam
memerangi korupsi dan memastikan bahwa asas-asas peradilan hukum korupsi tetap
terjaga.
Dengan demikian, asas peradilan hukum korupsi di Indonesia merupakan pilar penting
dalam upaya pemberantasan korupsi dan pembangunan tata kelola pemerintahan yang
independensi, sistem peradilan dapat memastikan bahwa korupsi ditindak dengan tegas
Korupsi merupakan penyakit sosial yang merusak, tidak hanya bagi keuangan negara,
upaya pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas nasional, tetapi peran peradilan
dalam menegakkan hukum terhadap kasus korupsi tidaklah mudah. Sejumlah tantangan
muncul dalam proses peradilan hukum korupsi, yang memerlukan upaya serius untuk
Salah satu tantangan utama dalam peradilan hukum korupsi adalah bukti yang sulit
dikumpulkan. Korupsi sering terjadi di balik pintu tertutup, dan para pelaku cenderung
menghapus jejak atau menyembunyikan bukti-bukti yang kuat. Hal ini membuat
penyidikan dan pengumpulan bukti menjadi lebih sulit, memerlukan kerja keras dan
Selain itu, korupsi juga sering terjadi di tingkat yang tinggi, melibatkan pejabat atau elit
politik yang memiliki kekuasaan dan pengaruh. Hal ini menciptakan tekanan politik
2
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Lagal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Volume 1, Kencana, Jakarta.
yang kuat terhadap proses peradilan, dengan upaya untuk menghalangi atau
mengatasi tantangan ini, tetapi terkadang sulit untuk dipertahankan dalam situasi yang
politis.
Tidak hanya itu, korupsi juga melibatkan jaringan yang kuat dan kompleks, yang sering
kali terkait dengan praktik korupsi lintas batas. Penegakan hukum di tingkat nasional
seringkali tidak cukup untuk menghadapi tantangan ini. Kerja sama internasional
menjadi penting dalam mengungkap dan menindak pelaku korupsi yang melarikan diri
semakin meningkat. Masyarakat telah menjadi lebih aktif dalam memantau dan
tantangan yang kompleks, tetapi juga memberikan peluang untuk perbaikan dan
perubahan yang positif. Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, termasuk
pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil, kita dapat memastikan bahwa
peradilan hukum korupsi berfungsi dengan baik dalam menegakkan keadilan dan
akuntabilitas, serta membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi semua pihak untuk terus bekerja sama
dan berkomitmen untuk memerangi korupsi, demi menciptakan masyarakat yang lebih
B. Rumusan Masalah:
Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian:
3
Sastrawidjaja, Sofyan, 1995, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan Pidana,
Bandung: Armica
terhadap praktik-praktik terbaik dalam pemberantasan korupsi di berbagai
negara.
D. Manfaat Penelitian:
1. Kontribusi terhadap Kebijakan Publik: Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar
bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk merancang kebijakan yang lebih
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Daerah
Dalam menjelaskan fenomena korupsi di daerah, banyak variabel dan berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Setidaknya ada beberapa indikator yang dapat dipakai untuk
menjelaskan maraknya korupsi di berbagai sektor baik legislatif, eksekutif maupun
yudikatif, yang juga merambah pada sektor swasta, dan pejabat asing. Pertama, korupsi
yang terjadi di lingkungan legislatif dan eksekutif baik dipusat maupun daerah dewasa
ini, tidak terlepas dari kecenderungan DPR/DPRD yang lebih banyak memerankan
fungsi “budgeting” daripada fungsi legislasi dan pengawasan. Pada saat ini terdapat
trends dari kementerian dan lembaga pemerintah pusat/daerah untuk melakukan
berbagai “pendekatan” dalam rangka pembahasan rencana anggaran institusinya dengan
DPR/ DPRD. Apabila tidak diwaspadai, fenomena tersebut sangat rentan dan rawan
menciptakan suap-menyuap karena masing-masing akan berusaha dengan berbagai cara
untuk menggolkan rencana anggaran institusinya masing-masing. Apabila pengajuan
anggaran saja menimbulkan berbagai kerawanan, maka dikhawatirkan dapat berimbas
pula terhadap implementasi penggunaan anggaran dimaksud.
Dalam pidato pengantar Nota Keuangan RAPBN tahun 2012 di depan sidang paripurna
DPR RI dan DPD RI tanggal 16 Agustus 2011, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono, antara lain menyampaikan bahwa sejak tahun 1999 hingga sekarang
terdapat adanya pemekaran daerah baru sebanyak 205 yang terdiri dari 7 propinsi, 164
kabupaten dan 34 kota.8 Keempat, instrumen hukum dalam pengelolaan keuangan
daerah yang beragam dan menimbulkan peluang terbukanya multi tafsir.
Dikeluarkannya paket undang-undang di bidang keuangan negara yang diikuti oleh
berbagai peraturan pelaksanaannya, pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan
tertib anggaran sesuai dengan semangat reformasi manajemen keuangan dan otonomi
daerah. Akan tetapi pada sisi yang lain, terdapat kesulitan dalam keseluruhan siklus
keuangan pemerintah daerah, mulai dari penyusunan anggaran dan pengesahannya
sampai pada tahap penyusunan laporan keuangan. Dalam hal Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 13 Tahun 2006 misalnya, yang antara lain mengatur bahwa DPRD
mengeluarkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang mirip dengan Arah Kebijakan
Umum (AKU) melalui program dan kegiatan yang jauh lebih rinci.
Di sisi yang lain, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2006 mengamanatkan
agar DPRD juga menyiapkan AKU, yang berfungsi sebagai panduan kebijakan umum
bagi eksekutif dalam menyusun rencana anggaran (RAPED). Hal ini akan menghasilkan
rancangan anggaran yang dihasilkan akan terlihat berbeda dengan KUA, sehingga
terkadang menimbulkan konflik antara DPRD dan eksekutif. Kelima, tertundanya
pengesahan APBD merupakan fenomena yang kerapkali terjadi, sehingga banyak
kegiatan dan proyek yang dilaksanakan di daerah ditalangi dahulu oleh “biaya siluman”.
Ketidakjelasan sumber dana dan besaran alokasi dana kegiatan dan proyek yang
dilaksanakan terlebih dahulu, menjadikan salah satu pemicu terjadinya berbagai
penyimpangan dalam pengelolaan anggaran di daerah. Selain itu masih terjadi pada
akhir tahun anggaran proyek yang belum selesai telah direkayasa sedemikian rupa
seolah-olah sudah selesai sebagai syarat pembayaran.
Efektifitas penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh faktor aparat penegak hukum
semata, melainkan juga ditentukan oleh faktor perundangundangan (legal substance)
dan faktor budaya hukum (legal culture). Selain ketiga faktor tersebut, Romli
Atmasasmita memandang adanya faktor lain yang memegang peranan penting dalam
konteks fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan, yaitu pemberdayaan birokrasi
(bureucratic engineering).9 Adapun pilar-pilar penting penegakan hukum, khususnya
dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang perlu mendapat perhatian,
yakni :
1. Peraturan Perundang-Undangan
Secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum
formal dan hukum materiel. Pertama, hukum formal (tertulis) hanya bersangkutan
dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis baik dalam lingkup peraturan
perundangundangan formil yakni UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
dan peraturan perundang-undangan hukum materiil yakni UU no. 31 Tahun 1999 jo.
UU no. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan
perundang-undangan lainya yang terkait. Kedua, hukum materiel (tidak tertulis)
mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Indonesia
sebagai negara peratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)
Tahun 2003, maka harmonisasi peraturan perundangan nasional terkait pemberantasan
tindak pidana korupsi dengan konvensi tersebut, merupakan acuan utama arah
pemberantasan korupsi ke depan, mengingat tindak pidana korupsi merupakan
transnasional crime. Terkait hukum acara pidana dalam praktik seringkali sudah
tertinggal dengan perkembangan teknologi informasi, misalnya sarana persidangan
dengan menggunakan teleconference, alat bukti elektronik, rambu-rambu penyadapan
(wire tapping) belum diatur dalam hukum acara pidana. Dalam praktik yang berjalan
selama ini terkait hal-hal dimaksud adalah berdasar aturan-aturan khusus dalam
berbagai peraturan perundangan misalnya UU Terorisme, UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang
secara sepintas memberikan aturan terkait hukum acara pidana. Realitas tersebut
membuktikan bahwa UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana semestinya
sudah harus segera direvisi.
Rentang sanksi pidana tersebut demikian lebar sehingga berbagai kemungkinan tuntutan
pidana bisa terjadi, belum lagi terkait dengan pengenaan pidana denda, kurungan
pengganti denda dan pidana tambahan. Selain itu secara praktis pula dengan berlakunya
Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor bukanlah pengadilan yang secara khusus
memeriksa dan memutus perkara-perkara hasil penyidikan KPK, karena hasil
penyidikan dari Kejaksaan dan Kepolisian dilimpahkan untuk diperiksa dan disidangkan
di Pengadilan Tipikor. Hal ini menimbulkan adanya dualisme pengendalian penuntutan,
yaitu penuntutan oleh Penuntut Umum yang dikendalikan oleh KPK dan penuntutan
oleh Penuntut Umum yang berada di bawah kendali Kejaksaan.
1. Tindakan Represif
2. Upaya Preventif
Dalam tataran teoritis, penggunaan sarana penal berupa sanksi pidana terhadap pelaku
kejahatan juga telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Konsepsi
pemikiran yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada fungsi represif
sebagaimana yang dianut oleh penganut aliran hukum pidana klasik, telah bergeser ke
arah fungsi-fungsi restoratif yang mengedepankan pada aspek keseimbangan
kepentingan dan pemulihan keadaan yang diakibatkan adanya pelanggaran hukum.
Penelitian Terdahulu
C. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini masuk wilayah hukum tata negara dan hukum administrasi negara, yang
akan menelusuri tata kelola kelembagaan negara dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi khususnya KPK dan POLRI. Dalam penelitian ini lembaga negara yang
dimaksudkan adalah KPK dan POLRI yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan
bahwa saat penelitian ini akan dilakukan, sedang terjadi sengketa kewenangan antara
KPK dan POLRI. Selain itu, penelitian ini akan menganalisis implementasi penggunaan
kewenangan di lembaga penegak hukum tindak pidana korupsi khususnya KPK dan
POLRI.
BAB III
4
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-tujuh, Jakarta: Rineka Cipta.
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian:
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif. Metode penelitian hukum
normatif dimaksudkan untuk mengkaji norma dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku,
berkaitan dengan arti pentingnya kewenangan lembaga negara penunjang yang dalam
hal ini KPK dan POLRI dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk itu
dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari dan berusaha menemukan asas-
asas dan konsepsi serta dasar pemikiran yang ada di dalamnya terhadap data sekunder.
Penelitian hukum empiris digunakan sebagai bantuan terhadap penelitian hukum
normatif untuk mengkaji penggunaan kewenangan dari lembaga negara penunjang
tersebut.
B. Lokasi Penelitian:
Lokasi penelitian ini adalah Indonesia, dengan penekanan pada sistem peradilan pidana
dan lembaga-lembaga terkait di berbagai wilayah dan tingkatan, termasuk pengadilan,
kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya.
C. Jenis Pendekatan:
Penelitian ini berupaya menemukan konsep ideal dalam tata kelola kelembagaan negara
khususnya KPK dan POLRI ke masa depan. Atas dasar itu, maka penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif atau legal research.38 Untuk itu metode
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis analitis normatif, filosofis,
historis, sosiologis, perbandingan, teoritis dan futuristik. Pendekatan yuridis analitis
normatif, digunakan untuk mengkaji berbagai kaidah-kaidah hukum yang berlaku
(hukum positif) yang berkaitan dengan tata kelola kewenangan KPK dan POLRI dalam
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
D. Jenis Data:
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif meliputi wawancara, observasi, dan analisis dokumen, sedangkan data
kuantitatif dapat berupa statistik atau angka-angka yang terkait dengan praktik peradilan
pidana.
E. Sumber Data:
Sumber data untuk penelitian ini berasal dari berbagai pihak yang terlibat dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia, termasuk hakim, jaksa, pengacara, petugas kepolisian,
dan ahli hukum. Selain itu, dokumen-dokumen resmi seperti undang-undang, putusan
pengadilan, dan laporan statistik juga merupakan sumber data yang penting.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat meliputi:
2. Analisis Tema: Untuk mengidentifikasi tema-tema utama yang muncul dari data
kualitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Nawawi Arief, Barda, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. Nawawi
Arief, Barda, 2014, Asas Legalitas Dalam Islam, Bahan Kuliah Perbandingan Hukum
Pidana Pascasarjana UNDIP, Semarang.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari
Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undangundang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Lagal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Volume 1,
Kencana, Jakarta.
Ahmad Mujahidin, 2007, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung,
PT. Refika Aditama.
Allan Coffey, 1994, An Introduction to Criminal Justice System and Process, New York
Jersey Prentice, Engelwood Cliff.
Andi Hamzah, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, Rineka
Cipta.
Jurnal
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-tujuh, Jakarta: Rineka Cipta.
Mulad,. 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato
Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP. Semarang. 24 Pebruari 1990.
Karfawi, M., 1987, Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalah-
masalahnya, Jurnal Arena Hukum, Juli 1987.
Sastrawidjaja, Sofyan, 1995, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada
Peniadaan Pidana, Bandung: Armica