Puji dan syukur kami Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah kami telah mampu menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Pencegahan Korupsi dan Ratifikasi Konvensi Anti
Korupsi”.
Makalah yang tersusun ini adalah hasil yang dapat kami sajikan. kami yakin
makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan, karena kami menyadari bahwa kami
masih kurang berpengetahuan dalam menyajikan makalah baik dari segi penyusunan,
pengolahan maupun bahasa. Untuk menyempurnakan makalah ini kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca kepada kami agar
dalam penulisan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Dalam rangka menyusun makalah ini kami sampaikan ucapan terima kasih
kepada teman – teman yang telah meluangkan waktu untuk bekerjasama demi
tersusunnya makalah ini, dengan semangat yang tinggi serta keinginan yang keras
akhirnya dapat mengatasi kesulitan – kesulitan dan terwujudlah makalah yang
sederhana ini.
Penyusun
Kelompok 10 A
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Agar Mahasiswa/I mampu mengetahui Perbandingan pencegahan
korupsi di Negara lain dan Ratifikasi konvensi anti korupsi
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui Perbandingan metode penanganan korupsi di Singapura dan
Indonesia
2. Mengetahui Pencegahan korupsi Negara Malaysia
3. Mengetahui Pencegahan korupsi Negara hongkong
4. Mengetahui Pencegahan korupsi Negara Thailand
5. Mengetahui encegahan korupsi Negara Tanzania
6. Mengetahui CPI Sebagai Salah Satu Indikator Global Keberhasilan
Komisi Anti Korupsi
7. Mengetahui Pentingnya Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi bagi indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN
Sumber:http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-
tahun
Dari data diatas dapat dilihat selama tahun 2004 sampai dengan 28
Februari 2014, kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK terus
mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan bahwa korupsi di Indonesia
semakin lama semakin meluas baik yang dilakukan oleh oknum dari lembaga
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif itu sendiri, baik di jajaran pemerintahan
pusat maupun pemerintahan daerah.
Upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus korupsi dilaksanakan
melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang
tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah
juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu juga ada lembaga Kejaksaan dan Kepolisian Republik Indonesia.
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa aparat penegak hukum yang
memiliki kewenangan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
berperan sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Berbeda dengan di
tanah air, saat ini Singapura hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yaitu
CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi baru yang
independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan
semua kasus korupsi. Hasilnya pun juga sudah terlihat jelas bahwa
pemberantasan dan pencegahan korupsi di kedua negara tersebut sangatlah
efektif dan efisien. Hal inilah yang seharusnya diadopsi oleh Indonesia yaitu
dalam wilayah hukum NKRI harusnya hanya ada satu lembaga yang berperan
secara penuh dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam hal ini menurut
pendapat penulis yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Semua
kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi berada di tangan KPK,
sedangkan Polri dan Kejaksaaan hanya sebagai tugas pembantuan jika
diperlukan oleh KPK sebagai poros utama pemberantasan korupsi, hal ini
dikarenakan korupsi merupakan tindak pidana khusus yang harus ditangani
secara khusus pula. Selain itu PPATK, OJK, ICW dan PBK juga dapat
membantu kinerja KPK dalam rangka pencegahan dan pengawasan terutama
aliran dana yang disinyalir terdapat kejanggalan.
Perbandingan Pemberantasan Korupsi Antara Indonesia Dengan Singapura
Dari Berbagai Segi
2.1.5 CPI Sebagai Salah Satu Indikator Global Keberhasilan Komisi Anti
Korupsi
Tujuan utama dari pemberantasan korupsi di suatu Negara umumnya
adalah menjadikan Negara tersebut sebagai Negara yang bersih dari perilaku
koruptif warga negaranya, sekaligus menghilangkan persepsi sebagai Negara
terkorup. Salah satu indikator global yang secara berkala mengukur tingkat
korupsi suatu Negara adalah Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception
Index (CPI) yang dikembangkan oleh TI (Transparancy international).
TI telah merumuskan indeks yang mencerminkan persepsi berbagai pihak
tentang tingkat korupsi di suatu Negara. Seperti telah diketahui bersama, negara
maju dengan pendapatan yang tinggi umumnya menempati ranking terbaik,
sementara Negara miskin yang berada pada ranking terkorup. Secara tidak
langsung hal ini menunjukkan bahwa korupsi turut menjebak Negara untuk
masuk dalam perangkap kemiskinan.
Naik turunnya CPI secara tidak langsung menunjukkan fluktuasi efektifitas
pemberantasan korupsi di suatu Negara. Adanya lembaga independen sejenis
“KPK” diasumsikan akan meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi yang
pada akhirnya mampu memperbaiki persepsi akan tingkat korupsi di suatu
Negara. Namun berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh lembaga independent
ini dalam membersihkan suatu Negara dari penyakit korupsi amat tergantung
kepada faktor utama yang berpengaruh, misalnya dukungan politisk dan
dukungan masyarakat.
Begitu diakuinya nilai CPI sehingga CPI dijadikan indikator kinerja dari
pemberantasan korupsi diberbagai negara, diantaranya Madagascar, Singapura
dan Indonesia. Negara-negara yang mempunyai nilai CPI tinggi , umumnya
telah mempunyai lembaga sejenis “KPK” dalam kurun waktu yang lama seperti:
Hongkong dengan ICACnya yang hampir berumur 32 tahun dan Singapura
dengan CPIBnya yang telah berumur lebih dari 50 tahun. Berdirinya suatu
lembaga independent pemberantas korupsi tidak serta merta menaikkan nilai
CPI. Semuanya tergantung pada komitmen dan kinerja lembaga tersebut.
Sebagai contoh, nilai CPI Thailand dari tahun 1999- 2002, tidak juga berubah
meskipun NCCC (The National Counter Corruption Commission) telah
didirikan tahun 1999. Nilai CPI Madagascar bahkan merosot dari 3,1 ditahun
2004 menjadi 2,8 ditahun 2005, meskipun Independent Anti Corruption Bureau
(BIANCO) mulai beroperasi di akhir tahun 2004.
Dari fakta yang ditemui tersebut, terdapat beberapa point penting yang
dapat menjelaskan nilai CPI dan keberadaan lembaga independent
pemberantasan korupsi yakni:
1. Nilai tinggi CPI diraih melalui proses yang panjang dan kerja keras,
mendirikan lembaga independent pemberantas korupsi memang
menunjukkan adanya komitmen dari suatu negara.Namun setiap komitmen
selalu dituntut oleh bukti. Bukti inilah yang kemudian menjadi dasar
penilaian, yang diterjemahkan dalam persepsi.
2. Persepsi korup tidaknya suatu Negara lebih didasarkan pada penilaian
implementasi budaya bebas korupsi dan penerapan system yang menutup
peluang korupsi di sektor ekonomi yang mendukung berkembangnya
kegiatan bisnis, karena yang menjadi responden dalam penelitian CPI
adalah pelaku usaha.Pengungkapan kasus pejabat tinggi negara yang korup
di Thailand terbukti tidak mampu serta merta meningkatkan CPI negara
tersebut secara signifikan.
3. Nilai CPI yang tinggi dari beberapa negara merupakan wujud dari
pemberantasan korupsi yang bertujuan “memajukan kondisi ekonomi” dan
bukan sebagai komoditas politis. Hongkong dan Singapura adalah contoh
negara yang mendirikan KAK demi memastikan keberhasilan program
pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi melalui kepastian hukum
dan layanan birokrasi yang bersih.
3.1 Kesimpulan
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan
berbagai cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap
hari kita masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi. Berita
mengenai operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi masih sering
terjadi. Banyak negara sepakat bahwa korupsi merupakan bentuk kejahatan yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana “luar biasa” . Disebut luar biasa karena
umumnya dikerjakan secara sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan
stakeholder di suatu daerah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum, dan punya
dampak “merusak” dalam spektrum yang luas. Karakteristik inilah yang menjadikan
pemberantasan korupsi semakin sulit jika hanya mengandalkan aparat penegak
hukum biasa, terlebih jika korupsi sudah membudaya dan menjangkiti seluruh aspek
dan lapisan masyarakat.
Tujuan utama dari pemberantasan korupsi di suatu Negara umumnya adalah
menjadikan Negara tersebut sebagai Negara yang bersih dari perilaku koruptif warga
negaranya, sekaligus menghilangkan persepsi sebagai Negara terkorup. Salah satu
indikator global yang secara berkala mengukur tingkat korupsi suatu Negara adalah
Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) yang dikembangkan
oleh TI (Transparancy international).
DAFTAR PUSTAKA