Anda di halaman 1dari 21

PENCEGAHAN KORUPSI (PERBANDINGAN DENGAN

NEGARA LAIN) DAN RATIVIKASI KONVENSI ANTI


KORUPSI

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 10 A

1. Angenia Itoniat Zega (032017044)


2. Asrianti Lase (032017032)
3. Citra Tiur (032017035)
4. Viana Rebecca (032017005)

Dosen Pembimbing : Amnita Ginting, S.Kep. Ns., M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah kami telah mampu menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Pencegahan Korupsi dan Ratifikasi Konvensi Anti
Korupsi”.
Makalah yang tersusun ini adalah hasil yang dapat kami sajikan. kami yakin
makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan, karena kami menyadari bahwa kami
masih kurang berpengetahuan dalam menyajikan makalah baik dari segi penyusunan,
pengolahan maupun bahasa. Untuk menyempurnakan makalah ini kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca kepada kami agar
dalam penulisan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Dalam rangka menyusun makalah ini kami sampaikan ucapan terima kasih
kepada teman – teman yang telah meluangkan waktu untuk bekerjasama demi
tersusunnya makalah ini, dengan semangat yang tinggi serta keinginan yang keras
akhirnya dapat mengatasi kesulitan – kesulitan dan terwujudlah makalah yang
sederhana ini.

Penyusun

Kelompok 10 A
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak negara sepakat bahwa korupsi merupakan bentuk kejahatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana “luar biasa” . Disebut luar biasa karena
umumnya dikerjakan secara sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan
stakeholder di suatu daerah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum, dan punya
dampak “merusak” dalam spektrum yang luas. Karakteristik inilah yang menjadikan
pemberantasan korupsi semakin sulit jika hanya mengandalkan aparat penegak
hukum biasa, terlebih jika korupsi sudah membudaya dan menjangkiti seluruh aspek
dan lapisan masyarakat.
Kisah sukses Negara yang mampu bangkit dari keterpurukan akibat korupsi
umumnya dimulai dari komitmen rakyat dan pemimpinnya yang kemudian
diturunkan dalam berbagai kebijakan. Selain dalam bentuk undang-undang,
komitmen ini juga diwujudkan dalam pembentukan gugus kerja khusus, yang bersifat
independen dan bertugas khusus untuk memberantas korupsi.
Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan yang besar dalam pemberantasan
korupsi. Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di 107 dengan skor 34,
masih di bawah: Singapura (84), Malaysia (52), Filipina (38), serta Thailand (38)
untuk kawasan Asia Tenggara (Transparency International, 2014). Beberapa survei
yang dilakukan lembaga international juga menunjukkan bahwa Indonesia sebagai
salah satu negera dengan masalah korupsi yang memprihatinkan. Di sisi lain,
dinamika program anti korupsi di dalam negeri tidak mudah berkembang akibat
belum adanya kesamaan pandangan antar-elemen bangsa tentang pentingnya
penanggulangan korupsi. Persoalan hubungan kelembagaan antara Kepolisian,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan tidak seharmonis yang
diharapkan. Komitmen dan keberpihakan semua elemen bangsa dalam
menanggulangi korupsi bersama-sama adalah hal yang perlu selalu ditingkatkan dari
waktu ke waktu.
Sebelum melakukan upaya pencegahan korupsi, definisi korupsi perlu dikaji
terlebih dahulu. Korupsi didefinisikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan
uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Cambridge
Advanced Learner’s Dictionary (2003), mendefinisikan korupsi sebagai illegal,
immoral ordishonest behaviour, especially by people in positions of power. Selain
itu, terdapat variasi definisi dan cakupan korupsi cenderung beragam antar-ilmuwan
(Rose-Ackerman, 1974, 1997; Shleifer dan Vishny,1993; Azariadis dan Lahiri, 1997;
Klitgaard, 1998; Tanzi, 1998; Teachout, 1999; Bowles, 2000; Del Monte dan
Papagni, 2001; Jain, 2001; Chang, 2013).
Definisi dan cakupan korupsi ternyata juga bervariasi antar negara dan hal ini
tidak terlepas dari faktor budaya, sosial, moral dan hukum yang berbeda-beda antar-
negara (PBB, 2001; Ertimi dan Saeh, 2013). Hasil kajian dari Sandholtz dan Koetlze
(2000) menunjukan bahwa definisi korupsi dipengaruhi budaya dan kondisi sosial di
tiap masyarakat. Di Korea Utara, misalnya, membawa surat kabar dan/atau buku
yang bertentangan dengan filosofi negara tersebut dikategorikan sebagai korupsi
(Bardhan, 1997). Salah satu defenisi korupsi yang sering digunakan sebagai acuan
dalam studi korupsi lintas negara adalah definisi korupsi menurut Transparency
International (TI), di mana korupsi adalah “The abuse of public office for private
gain”. Rose-Ackerman (1997) menyatakan bahwa korupsi tidak terbatas pada sektor
publik namun juga sektor swasta, karena korupsi terjadi akibat interaksi kepentingan
umum maupun pribadi.
Di Indonesia, cakupan korupsi menurut UU anti korupsi No. 31/1999 juncto UU
No. 20/2001 cenderung terbatas di sektor publik saja. Definisi korupsi menurut
undang-undang tersebut tidak mencakup korupsi oleh pihak swasta, korupsi oleh
pihak asing yang beroperasi di Indonesia dan tidak memasukkan unsur pencucian
uang sebagai bagian dari korupsi. Politik uang selama pemilu, yang sebenarnya
diklasifikasikan sebagai penyuapan dan gratifikasi ternyata bukan cakupan UU
antikorupsi, namun justru diatur di UU Pemilu dengan aturan yang sangat terbatas
untuk penindakannya.

1.1 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Agar Mahasiswa/I mampu mengetahui Perbandingan pencegahan
korupsi di Negara lain dan Ratifikasi konvensi anti korupsi
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui Perbandingan metode penanganan korupsi di Singapura dan
Indonesia
2. Mengetahui Pencegahan korupsi Negara Malaysia
3. Mengetahui Pencegahan korupsi Negara hongkong
4. Mengetahui Pencegahan korupsi Negara Thailand
5. Mengetahui encegahan korupsi Negara Tanzania
6. Mengetahui CPI Sebagai Salah Satu Indikator Global Keberhasilan
Komisi Anti Korupsi
7. Mengetahui Pentingnya Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi bagi indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Upaya Pencegahan Korupsi


Tiap negara mempunyai latar belakang pembentukan komisi anti korupsi yang
berbeda. Perbedaan latar belakang ini menentukan karakteristik dari terbentuknya
KAK di tiap negara.
2.1.1 Perbandingan Metode Penanganan Korupsi di Singapura dan
Indonesia
Tindak pidana korupsi telah ada sejak lama dengan berbagai metode dan
modus operandi yang digunakan yang telah bertransformasi seiring dengan
perkembangan zaman, namun tak menghilangkan makna dasar dari tindak
pidana korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang merugikan keuangan
negara.
Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya dalam latar belakang,
bahwa korupsi bisa diibaratkan jamur yang tumbuh dan berkembang dengan
menyebarkan sporanya, dimana pertumbuhannya sangat pesat dan masif. Hal ini
tercermin dari Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Tahun 2004-2014
(per 28 Februari 2014):

Sumber:http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-
tahun

Dari data diatas dapat dilihat selama tahun 2004 sampai dengan 28
Februari 2014, kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK terus
mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan bahwa korupsi di Indonesia
semakin lama semakin meluas baik yang dilakukan oleh oknum dari lembaga
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif itu sendiri, baik di jajaran pemerintahan
pusat maupun pemerintahan daerah.
Upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus korupsi dilaksanakan
melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang
tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah
juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu juga ada lembaga Kejaksaan dan Kepolisian Republik Indonesia.
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa aparat penegak hukum yang
memiliki kewenangan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
berperan sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Berbeda dengan di
tanah air, saat ini Singapura hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yaitu
CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi baru yang
independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan
semua kasus korupsi. Hasilnya pun juga sudah terlihat jelas bahwa
pemberantasan dan pencegahan korupsi di kedua negara tersebut sangatlah
efektif dan efisien. Hal inilah yang seharusnya diadopsi oleh Indonesia yaitu
dalam wilayah hukum NKRI harusnya hanya ada satu lembaga yang berperan
secara penuh dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam hal ini menurut
pendapat penulis yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Semua
kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi berada di tangan KPK,
sedangkan Polri dan Kejaksaaan hanya sebagai tugas pembantuan jika
diperlukan oleh KPK sebagai poros utama pemberantasan korupsi, hal ini
dikarenakan korupsi merupakan tindak pidana khusus yang harus ditangani
secara khusus pula. Selain itu PPATK, OJK, ICW dan PBK juga dapat
membantu kinerja KPK dalam rangka pencegahan dan pengawasan terutama
aliran dana yang disinyalir terdapat kejanggalan.
Perbandingan Pemberantasan Korupsi Antara Indonesia Dengan Singapura
Dari Berbagai Segi

NO PEMBANDING INDONESIA SINGAPURA

1 UU Membedakan pada detik/ Membedakan pada


perbuatannya, hal ini dapat pemilahan pelaku dari tindak
dilihat dari UU no.20 tahun pidana Korupsi, hal ini dapat
2001 tentang tindak pidana dilihat daru peraturan di
korupsi, selain itu ada juga singapura yaitu dengan
ada KUHP mengatur tentang adanya Prevention of
kejahatan secara umum dan corruption act tentang
UU No. 8 tahun 2010 tentang penyuapan yang di lakukan
Pencucian uang. oleh swasta dan KUHP
singapura tentang korupsi
yang di lakukan oleh pegawai
negeri.
2 Sanksi Sanksi pidana di Indonesia Sanksi pidana di Singapura
mengenal sistem pemidanaan berupa pidana penjara
maksimal khusus dan minimal maksimal 7 tahun sedangkan
umum, jadi pidana indonesia dana denda maksimal
lebih berat baik denda $100.000. Dalam sistem
maksimal Rp.1.000.000.000,- pemidanaan Singapura
dan penjara maksimal 20 tidak mengenal adanya
tahun, seumur hidup bahkan pidana mati dan dalam sistem
pidana mati. Dan mengenal penjatuhan pidana di
sistem penjatuhan pidana sigapura mengenal adanya
secara kumulatif. sistem secara kumulatif.
3 Lembaga Di Indonesia terdapat 3 Di Singapura hanya 1
lembaga yang berwenang lembaga yang berwenang
dalam menangani kasus dalam menangani korupsi
korupsi yaitu Kejaksaan, yaitu CPIB.
Kepolisian dan KPK,
sehingga
terjadi tumpang tindih dalam
hal kewenangan menangani
korupsi.
4 Budaya dan Bermula dari masa kerajaan CPIB bermula dari
Politik dengan penarikan upeti, masa pembentukan KAK (Komisi
penjajahan dengan Anti Korupsi) di dalam
pemerintahan VOC dan kerja lembaga kepolisian dan
Rodi dan masa Orba dengan kemudian di pisah karena
sistem pemerintahan otoriter adanya suap di lembaga
dan anti-kritik, sehingga polisi.
korupsi semakin terbuka. Adanya political will yang
Pada pemerintahan kuat dari penguasa saat itu
selanjutnya meskipun KPK dan di dukung oleh rakyat
berdiri, tetapi political will dan para pejabat pemerintah
saat itu masih lemah dan Singapura.
kurangnya dukungan dari
pemerintah dan masyarakat.
5 Jumlah Indonesia dengan wilayah Singapura dengan wilayah
Pegawai KAK yang luas dan terdiri dari yang relatif kecil, sehingga
(Komisi Anti pulau-pulau dan daerah- pejabat pemerintahan
Korupsi) daerah, maka pejabat-pejabat Singapura relative sedikit,
di Indonesia tergolong banyak sehingga memudahkan CPIB
karena setiap daerah dengan jumlah pegawai
membutuhan jumlah pejabat CPIB yang relatif sedikit
yang berbeda-beda, sehingga untuk mengaudit dan
dibandingkan dengan para mengusut tuntas para pejabat
pegawai KPK maka sangat yang di sinyalir korup.
sulit untuk mengaudit dan
mengusut tuntas semua
pejabat di indonesia. Maka
dari itu di perlukannya
penambahan jumlah pegawai
KPK yang lebih banyak lagi.
6 Struktur Struktur lembaga KPK Struktur lembaga tergolong
Lembaga KAK sangatlah banyak dan kuarang ramping dan sangat efektif
(Komisi Anti ramping dan beberapa organ hal ini sangat terlihat dalam
Korupsi) terkesan kurang efektif dan upaya represif dan upaya
kurang nampak di masyarakat pencegahan korupsi di
terutama dalam upaya Singapura.
preventif.

2.1.2 Pencegahan Anti Korupsi Hongkong


Pada sekitar tahun 1960-1970an Hongkong mengalami kemajuan yang
sangat pesat dalam berbagai sektor pembangunan. Kemajuan ini tidak hanya
memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan penduduk namun
juga memberikan peluang korupsi bagi petugas pemerintah dalam memberikan
layanan. Masyarakat mulai mencari cara lain untuk mendapatkan pelayanan
yang baik dan cepat dari pemerintah dengan memberikan uang extra kepada
aparat pemerintah.
Korupsi saat itu merajalela di Hongkong, salah satu contohnya adalah
petugas ambulans yang meminta uang sebelum menjemput pasien dan petugas
pemadam kebakaran yang mau memadamkan api setelah menerima uang.
Bahkan seorang pasien pun harus memberikan uang kepada perawat dirumah
sakit untuk segara mendapatkan kamar ataupun segelas air.
Menawarkan uang suap kepada pejabat pemerintah merupakan hal yang
biasa saat itu, sebab bila tidak dilakukan maka mereka tidak akan melayani
masyarakat. Korupsi yang paling serius adalah yang terjadi di Kepolisian
Hongkong, petugas polisi yang korup melindungi pelaku perjudian, prostitusi,
dan narkoba. Banyak masyarakat yang telah menjadi korban, namun mereka
tidak mampu berbuat apa-apa. Korupsi sudah menjadi masalah sosial di
Hongkong, namun pemerintah Hongkong saat itu seperti tidak berdaya untuk
mengatasinya. Masyarakat mulai kehilangan kesabaran dan mulai mendesak
pemerintah untuk segera mengatasi korupsi. Puncaknya adalah larinya seorang
polisi warga negara asing yang sedang dalam penyidikan.
Pada bulan Februari, 1974 didirikanlah Independent Commission Against
Corruption. ICAC memiliki komitmen untuk memberantas korupsi dengan
strategi “3 ujung”, yaitu pencegahan, penindakan, dan pendidikan. Salah satu
tugas awalnya adalah untuk menangkap Peter Godber. Perkembangan ICAC
Hongkong ini sangat pesat. Bahkan dijadikan “role model” bagi pemberantasan
korupsi di negara lain. Kunci dari keberhasilan ICAC adalah komitmen,
konsistensi dan pendekatan yang koheren antara pencegahan dan penindakan.
Pencegahan termasuk pendidikan masyarakat dan peningkatan kesadaran
sikap anti korupsi merupakan aktifitas utama (core activity) dari “model
Hongkong”. Kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh ICAC Hongkong ini
mendapat dukungan penuh bahkan dari penyidik yang sedang melakukan
tindakan represif. Banyak KAK yang gagal mengadopsi model Hongkong ini
karena tidak mampu mensinergikan fungsi penindakan dan pencegahan sebaik
ICAC Hongkong.
ICAC (Independent Commission Against Corruption) Hongkong : Model
Universal ICAC Hongkong disebut model universal karena dianggap sebagai
model KAK yang ideal bagi pemberantasan korupsi. Ideal disini dalam arti
mempunyai kerangka hukum yang kuat, mendapatkan support keuangan yang
cukup besar, jumlah tenaga ahli yang mencukupi dan yang terpenting konsistensi
dukungan pemerintah yang terus-menerus selama lebih dari 30 tahun. ICAC
Hongkong didirikan dengan wewenang yang besar dalam penindakan dan
pencegahan. Wewenang yang besar seperti melakukan penyelidikan terhadap
rekening bank, mengaudit harta kepemilikan dan yang terpenting dapat
melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka
melarikan diri dari proses penuntutan.
ICAC Hongkong mengkontrol korupsi di Hongkong melalui 3 departemen
fungsional yakni investigasi, pencegahan dan hubungan masyarakat.
Departemen terbesar adalah departemen operasional (investigasi). 75 persen
anggaran ICAC dialokasikan untuk departemen operasional termasuk menggaji
staf yang berkualitas di departemen ini. Departemen pencegahan
menginvestasikan sebagian besar dananya untuk membiayai kegiatan study yang
berkaitan dengan korupsi, menyelenggarakan seminar untuk pebisnis dan
membantu masyarakat dan organisasi swasta dalam mengidentifikasi upaya
strategis untuk mengurangi potensi korupsi. Study yang dilakukan ICAC
Hongkong ini memberikan informasi yang menarik mengenai tingkat dan modus
korupsi yang dilakukan pegawai pemerintahan, sehingga dapat dijadikan acuan
dalam merubah hukum dan undang-undang anti korupsi yang berlaku.

2.1.3 Pencegahan Anti Korupsi Thailand


Sebelum tahun 1975 penanganan kasus korupsi di Thailand sepenuhnya
menjadi wewenang kepolisian dengan mengandalkan undang-undang hukum
pidana dan undang-undang lain yang mengatur tentang pejabat publik. Namun
kinerja kepolisian dalam menanggulangi korupsi dianggap sebagian besar
masyarakat jauh dari mencukupi. Korupsi semakin merajalela di Thailand,
walaupun setiap pemerintahan yang berkuasa selalu berjanji untuk menangani,
namun korupsi justru semakin menjadi. Korupsi juga menjadi salah satu pemicu
jatuhnya pemerintahan di Thailand, baik itu melalui kudeta militer maupun
melalui parlemen.
Keinginan untuk memecahkan masalah korupsi semakin memuncak,
tepatnya pada tanggal 14 Oktober 1973 para pelajar dan mahasiswa menggelar
aksi demonstrasi sambil memaparkan fakta kepada masyarakat dan media bahwa
banyak pejabat dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan jabatan dan
tugasnya untuk keuntungan pribadi. Beberapa diantara mereka yang mencoba
untuk menentang korupsi tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan tidak sedikit
pula yang menderita sebagai akibat menentang korupsi. Hal ini sebagai akibat
dari tidak adanya hukum yang mengatur secara khusus mengenai korupsi dan
juga sebagai akibat dari banyak tekanan dan ancaman yang diterima aparat
ketika memberantas korupsi. Kesimpulannya adalah bahwa korupsi adalah suatu
masalah besar yang telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan seperti
pembangunan nasional, ekonomi, politik, dan terutama keamanan negara.
Kesadaran akan bahayanya korupsi pun mulai muncul dalam bentuk
kebijaksanaan negara. Konstitusi Kerajaan Thailand 1974, pasal 66
menyebutkan bahwa: “Negara harus menyusun suatu sistem yang efisien dalam
hal pelayanan publik dan pelayanan lainnya dan harus mengambil langkah-
langkah guna mencegah dan menekan semua perilaku korup” Pada tahun 1975
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai Penanganan Korupsi dan
mendirikan Kantor Penanganan Korupsi (Office of the Commission of Counter
Corruption). Sayangnya, OCCC tidak memiliki banyak lingkup kewewenangan
untuk memberantas korupsi. Tetapi pencegahan korupsi terus berjalan. Pada
tahun 1996 lembaga pembuat undang-undang terbentuk. Anggotanya adalah
anggota masyarakat yang dipilih langsung dari masing-masing propinsi. Mereka
yang terpilih dibawa ke parlemen untuk dipilih kembali, hasilnya terpilihlah 99
anggota. Anggota lembaga inilah yang kemudian mensyahkan UU
pemberantasan korupsi di tahun 1999. UU ini kemudian menjadi landasan bagi
berdirinya NCCC (National Counter Corruption Commision).
Adanya NCCC membuka lembaran baru bagi Thailand dalam penanganan
kasus korupsi. Korupsi tidak ditangani secara biasa namun lebih modern dan
komprehensif oleh super body dengan pendekatan yang “extra ordinary”.
NCCC disebut super body karena diberi keleluasaan wewenang untuk mengusut
dan menuntut politisi maupun pejabat. NCCC tidak hanya melakukan
pendekatan represif melalui penuntutan namun juga punya kewenangan untuk
mengajukan pemecatan terhadap politisi dan memeriksa kekayaan pejabat.
Dalam menunjang fungsi penyelidikannya, NCCC diberi kekuasaan yang besar
untuk mendapatkan dokumen, menangkap dan menahan tertuduh atas
permintaan pengadilan.
Dalam fungsi preventif, NCCC juga melakukan upaya-upaya penyadaran
masyarakat, dengan melibatkan media dan LSM melalui berbagai pendekatan.
Pendekatan transparansi yan ditempuh NCCC, terutama dalam pemeriksaan
kekayaan pejabat dan politisi. Untuk menjaring laporan, NCCC juga melakukan
program perlindungan saksi dan penyadaran masyarakat antikorupsi di tiap
wilayah.

2.1.4 Pencegahan Anti Korupsi Tanzania


Program anti korupsi pemerintah diresmikan bersamaan dengan berdirinya
lembaga “Presidential Commission on Corruption” yang dipimpin oleh hakim
Warioba. Lembaga ini melakukan investigasi dampak korupsi di 4 institusi
layanan publik yang penting, yakni kepolisian, peradilan, pajak dan badan
pertanahan. Laporan Wariaba yang dipublikasikan pada Desember 1996 ini
melaporkan indikasi korupsi yang meluas di seluruh level di tiap lembaga
tersebut. Menurut publikasi ini beberapa penyebab korupsi di lembaga
pemerintahan tersebut adalah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas
administrasi, tidak adanya kemauan politik, dan banyaknya persekongkolan
oknum berperilaku korup untuk menggelapkan pajak, kegiatan perdagangan
ilegal dan melakukan kecurangan dalam perjanjian pertanahan.
Laporan dari Warioba ini kemudian diteruskan kedalam Strategy National
Anti Korupsi dan Rencana Aksi. Namun banyak pihak (baik LSM dan donor)
yang mempertanyakan efektifitas pelaksanaan rencana aksi tersebut. Keraguan
tersebut muncul mengingat kewenangan dan otoritas dua badan penting
pelaksana aksi yakni, PCB (Prevention Corruption Bureau) dan Kementrian
dalam negeri tidak dijelaskan secara eksplisit.
Meskipun beberapa program ini berjalan dengan baik, namun 'outcome'
dari program ini masih dianggap kurang efektif. Di tahun 2004, Amerika Serikat
menggolongkan Tanzania sebagai negara yang tidak memenuhi kriteria untuk
menerima bantuan dari Millenium Challenge Account (MCA)12. Tanzania gagal
karena dianggap tidak mampu memberantas korupsi yang terus berlangsung di
eksekutif, legislatif dan peradilan yang ada di seluruh tingkatan. Namun
akhirnya pada tahun anggaran 2005, Tanzania masuk sebagai salah satu negara
yang menerima bantuan MCA melalui program “Threshold Program”.

2.1.5 CPI Sebagai Salah Satu Indikator Global Keberhasilan Komisi Anti
Korupsi
Tujuan utama dari pemberantasan korupsi di suatu Negara umumnya
adalah menjadikan Negara tersebut sebagai Negara yang bersih dari perilaku
koruptif warga negaranya, sekaligus menghilangkan persepsi sebagai Negara
terkorup. Salah satu indikator global yang secara berkala mengukur tingkat
korupsi suatu Negara adalah Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception
Index (CPI) yang dikembangkan oleh TI (Transparancy international).
TI telah merumuskan indeks yang mencerminkan persepsi berbagai pihak
tentang tingkat korupsi di suatu Negara. Seperti telah diketahui bersama, negara
maju dengan pendapatan yang tinggi umumnya menempati ranking terbaik,
sementara Negara miskin yang berada pada ranking terkorup. Secara tidak
langsung hal ini menunjukkan bahwa korupsi turut menjebak Negara untuk
masuk dalam perangkap kemiskinan.
Naik turunnya CPI secara tidak langsung menunjukkan fluktuasi efektifitas
pemberantasan korupsi di suatu Negara. Adanya lembaga independen sejenis
“KPK” diasumsikan akan meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi yang
pada akhirnya mampu memperbaiki persepsi akan tingkat korupsi di suatu
Negara. Namun berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh lembaga independent
ini dalam membersihkan suatu Negara dari penyakit korupsi amat tergantung
kepada faktor utama yang berpengaruh, misalnya dukungan politisk dan
dukungan masyarakat.
Begitu diakuinya nilai CPI sehingga CPI dijadikan indikator kinerja dari
pemberantasan korupsi diberbagai negara, diantaranya Madagascar, Singapura
dan Indonesia. Negara-negara yang mempunyai nilai CPI tinggi , umumnya
telah mempunyai lembaga sejenis “KPK” dalam kurun waktu yang lama seperti:
Hongkong dengan ICACnya yang hampir berumur 32 tahun dan Singapura
dengan CPIBnya yang telah berumur lebih dari 50 tahun. Berdirinya suatu
lembaga independent pemberantas korupsi tidak serta merta menaikkan nilai
CPI. Semuanya tergantung pada komitmen dan kinerja lembaga tersebut.
Sebagai contoh, nilai CPI Thailand dari tahun 1999- 2002, tidak juga berubah
meskipun NCCC (The National Counter Corruption Commission) telah
didirikan tahun 1999. Nilai CPI Madagascar bahkan merosot dari 3,1 ditahun
2004 menjadi 2,8 ditahun 2005, meskipun Independent Anti Corruption Bureau
(BIANCO) mulai beroperasi di akhir tahun 2004.
Dari fakta yang ditemui tersebut, terdapat beberapa point penting yang
dapat menjelaskan nilai CPI dan keberadaan lembaga independent
pemberantasan korupsi yakni:
1. Nilai tinggi CPI diraih melalui proses yang panjang dan kerja keras,
mendirikan lembaga independent pemberantas korupsi memang
menunjukkan adanya komitmen dari suatu negara.Namun setiap komitmen
selalu dituntut oleh bukti. Bukti inilah yang kemudian menjadi dasar
penilaian, yang diterjemahkan dalam persepsi.
2. Persepsi korup tidaknya suatu Negara lebih didasarkan pada penilaian
implementasi budaya bebas korupsi dan penerapan system yang menutup
peluang korupsi di sektor ekonomi yang mendukung berkembangnya
kegiatan bisnis, karena yang menjadi responden dalam penelitian CPI
adalah pelaku usaha.Pengungkapan kasus pejabat tinggi negara yang korup
di Thailand terbukti tidak mampu serta merta meningkatkan CPI negara
tersebut secara signifikan.
3. Nilai CPI yang tinggi dari beberapa negara merupakan wujud dari
pemberantasan korupsi yang bertujuan “memajukan kondisi ekonomi” dan
bukan sebagai komoditas politis. Hongkong dan Singapura adalah contoh
negara yang mendirikan KAK demi memastikan keberhasilan program
pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi melalui kepastian hukum
dan layanan birokrasi yang bersih.

2.2 Pentingnya Rativikasi Konvensi Anti Korupsi Bagi Indonesia


2.2.1 Pengertian
Istilah ratifikasi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu “ratificare” yang
terbentuk dari kata ratus yang berarti dibuat atau dibentuk (made). Suatu
perjanjian internasional itu, bila ditinjau dari segi pembuatannya, dapat dibagi
dalam tiga tahap, yaitu pertama, perundingan (negotiation), penandatanganan
(signature) dan pengesahan (ratification). Dua, apabila didasarkan pada tahap-
tahap pembuatannya itu, perjanjian internasional dapat dibedakan dalam dua
jenis, pertama, perjanjian yang diadakan melalui tiga tahap pembuatan, yaitu:
perundingan, penandatanganan dan pengesahan; kedua, perjanjian internasional
yang pembuatannya hanya melalui dua tahap saja, yaitu: perundingan dan
penandatanganan. Jadi, suatu perjanjian internasional, untuk dapat mengikat
suatu negara, ada kalanya ditetapkan dengan melalui suatu pengesahan atau
ratifikasi.
Di dalam Undang-Undang Dasar yang berlaku saat sekarang, yaitu UUD
1945, terdapat Pasal 11 sebagai dasar hukum untuk ratifikasi. Tetapi Pasal 1l
UUD 1945 ini tidak memuat secara jelas tentang masalah ratifikasi, baik tentang
pembagian perjanjian yang penting dan tidak penting, maupun tentang
bagaimana bentuk persetujuan dari DPR. Pasal 11 UUD 1945 itu, bunyi
lengkapnya adalah sebagai berikut: "Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain. Konvensi ini sudah diratifikasi 47 negara dan Indonesia
menjadi negara ke-48 yang turut meratifikasinya. Konvensi itu mengatur
mengenai kerjasama internasional untuk mengejar dan menangkap pelaku
korupsi, menelusuri harta kejahatannya dan merepatriasi hasil-hasil korupsi.

2.2.2 Latar Belakang Terbentuknya Konvensi PBB Anti Korupsi


Memasuki abad 21 ini, salah satu visi masyarakat internasional adalah
semakin kuatnya kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan
praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi
untuk memberantas korupsi dalam KAK 2003 (United Nations Convention
AgaintsCorruption/ UNCAC) yang diadakan oleh PBB. KAK 2003 ini digelar
karena korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat di suatu negara dan memberikan implikasi pula terhadap masyarakat
internasional.
Ada beberapa Konvensi Anti Korupsi tingkat internasional yaitu:17
1. 1977: The United States Congress oleh Perusahaan-perusahaan yang ada di
Amerika Serikat. Kongres ini mengangkat masalah praktek korupsi berupa
kriminalisasi suap oleh pejabat asing.
2. 1980: Cold War Security mempromosikan konvensi anti korupsi tingkat
internasional.
3. 1996: The Inter-American Convention Against Corruption yang merupakan
Konvensi Anti Korupsi Tingkat regional pertama kali.
4. 1997: The OECD Convention dalam memberantas Suap oleh pejabat asing
(Bribery of Foreign Public Officials).
5. 1998-1999: The Council of Europe yang menghasilkan 2 kesepakatan anti
korupsi yaitu: Hukum Kriminal (Criminal Law); Konvensi Hukum Sipil
(Civil Law Convention).
6. 2000: The UN Convention dalam memberantas Transnational Organized
Crime.
7. 2003: The African Union Convention yang membahas masalah pencegahan
dan pemberantasan korupsi.

2.2.3 Konstruktivis Politik Hukum Ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi


Konvensi ini sudah diratifikasi 47 negara dan Indonesia menjadi negara
ke-48 yang turut meratifikasinya. Indonesia memandang konvensi internasional
tersebut cukup penting dalam upaya untuk menegakkan "good governance"
transparansi dan akuntabilitas serta menciptakan iklim investasi yang kondusif.
dalam penjelasan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (konvensi perserikatan bangsa-bangsa anti
korupsi, 2003) mengenai arti penting ratifikasi korupsi, sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak,
membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana
korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
2. Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik
3. Meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian
ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan
proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum
4. Mendorong terjalinnya kerjasama teknik dan pertukaran informasi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung
kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup
bilateral, regional, dan multilateral
5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.
UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) adalah
konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan
komprehensif dalam menyelesaikan masalah korupsi. UNCAC terdiri dari
delapan bab dengan 71 pasal yang mengharuskan negara-negara peratifikasi
mengimplementasikan isi dari konvensi tersebut.

2.2.4 Tahap-Tahap Pembuatan UNCAC


Proses pembuatan UNCAC (United Nations Convention Againts
Corruption) dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: Perundingan (Negotiation),
Penandatanganan (Signature), dan Ratifikasi (Ratification). Pelaksanaan dari
tahapan-tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat, sehingga
akhirnya sampai pada penyelesaian akhir dari konvensi tersebut.
1. Perundingan (Negotiation)
Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa diawali sejak
tahun 2000 di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
sidangnya ke-55, melalui Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember
2000, memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum internasional
antikorupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut amat
diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus
memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif.
Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas
merundingkan draft Konvensi.20 Komite Ad Hoc yang beranggotakan
mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan
waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum
akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan
diterima sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
2. Penandatanganan (Signature)
United Nations Convention Againts Corruption diterima oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 di Markas Besar PBB di New
York Amerika Serikat. Proses penandatanganan konvensi tersebut diadakan
pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida Meksiko.
Jumlah negara yang telah membubuhkan tanda tangan adalah 111 negara.
Kemudian proses penandatanganan dilanjutkan sampai tanggal 19
September 2005 di Markas Besar PBB dan pada saat itu telah ada 140
negara yang menandatangani konvensi tersebut. Proses penandatanganan ini
sesuai dengan Pasal 67 Ayat 1 UNCAC.21
3. Ratifikasi (Ratification)
Kekuatan mengikat United Nations Convention Againts Corruption
baru terjadi pada tanggal 15 September 2005 setelah 30 negara yang telah
membubuhkan tanda tangan meratifikasi isi dari konvensi tersebut. Sampai
dengan tahun 2007 ada 129 negara yang telah meratifikasi konvensi
tersebut.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan
berbagai cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap
hari kita masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi. Berita
mengenai operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi masih sering
terjadi. Banyak negara sepakat bahwa korupsi merupakan bentuk kejahatan yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana “luar biasa” . Disebut luar biasa karena
umumnya dikerjakan secara sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan
stakeholder di suatu daerah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum, dan punya
dampak “merusak” dalam spektrum yang luas. Karakteristik inilah yang menjadikan
pemberantasan korupsi semakin sulit jika hanya mengandalkan aparat penegak
hukum biasa, terlebih jika korupsi sudah membudaya dan menjangkiti seluruh aspek
dan lapisan masyarakat.
Tujuan utama dari pemberantasan korupsi di suatu Negara umumnya adalah
menjadikan Negara tersebut sebagai Negara yang bersih dari perilaku koruptif warga
negaranya, sekaligus menghilangkan persepsi sebagai Negara terkorup. Salah satu
indikator global yang secara berkala mengukur tingkat korupsi suatu Negara adalah
Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) yang dikembangkan
oleh TI (Transparancy international).
DAFTAR PUSTAKA

Abdurofiq, A. (2016). Politik Hukum Ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi di


Indonesia. Jurnal Cita Hukum, 4(2), 187–208.
https://doi.org/10.15408/jch.v4i2.4099
Bouguila, N., Timoumi, A., Bouzouita, H., Lacaze, E., Bouchriha, H., & Rezig, B.
(2013). Molar ratio S/In effect on properties of sprayed In2S 3 films. EPJ
Applied Physics, 63(2). https://doi.org/10.1051/epjap/2013130260
Hiariej, E. O. S. (2019). United Nations Convention Against Corruption dalam
Sistem Hukum Indonesia. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, 31(1), 112. https://doi.org/10.22146/jmh.43968

Anda mungkin juga menyukai