Anda di halaman 1dari 22

Gerakan Kerjasama dan instrument Internasional

pencegahan korupsi Europeanunion, OECD


United Nation Dan World Bank

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 1
1.Afrina Irene ZepanyaTogatorop (032021048)
2.Angel Rajagukguk (032021050)
3.Erti HidayatZebua (032021066)
4.Jesika MaretaManalu (032021070)
5.Lestaria Hulu (032021074)
6.Martinus GiriSetyabudi (032021078)
7.Ririn VerawatySirait (032021084)
8.Sonita Sinaga (032021089)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH MEDAN

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur untuk kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
berkat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah matakuliah Pendidikan Anti Korupsi

Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu kami Imelda Derang


S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku dosen   yang telah memberikan tugas ini sehingga kami dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata kuliah yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Oleh karenaitu, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Medan, 13 April 2022

Kelompok1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..........................iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...........................1

1.1 Latar Belakang…………………………………………...……………………………1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..........................2

1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………...………….2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Europeanunion …………………………………………………………………….….3

2.2 OECD …………………………...................................................................................4

2.3 Perserikatan Bangsa – Bangsa (united nations)…………………………………………...4

2.4 Bank DuniaWorld Bank ………………………………………………………………5

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ………………………………………......................................................7

3.2. Saran …………………………………………………………………………………7

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………..……...8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Korupsi adalah salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat
internasionalpada saat ini. Korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan hak-hak dasar manusia dan
menyebabkanmacetnya demokrasi dan proses demokratisasi, namun juga mengancam pemenuhan hak
asasi manusia, merusak lingkungan hidup, menghambat pembangunan dan meningkatkan angka
kemiskinan jutaan orang diseluruh dunia. Keinginan masyarakat internasional untuk memberantas
korupsi dalam rangka mewujudkanpemerintahan yang lebih baik, lebih bersih dan lebih bertanggung-
jawab sangat besar.

Pada dasarnya seseorang yang berada di dalam wilayah suatu negara secaraotomatis harus
tunduk pada ketentuan – ketentuan yang berlaku di dalam wilayahnegara tersebut. hal ini berlaku pada
setiap negara tidak terkecuali indonesia. Setiaptindakan yang dianggap melanggar hukum akan diberikan
sanksi sesuaidengan ketetapaan dan ketentuan perundang – undangan yang berlaku. Mulai dari hukum
pidana maupun hukum perdata. Masalah korupsi adalah salah satu yang sudah sangat lama terjadi
dalam masyarakat. Pada umumnya tindakan korupsi terjadi pada orang – orang yang berpengaruh atau
pejabat. Maka tidaklah mengherankan jika korupsi banyak terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah
yang mempunyai peran penting untuk memutuskan sesuatu seperti dalam pemberian izin ataupun
pemberian proyek pemerintah.

Kriminalisasi terhadap tindak pidana Korupsi mempunyai alasan yang sangat kuat sebab
kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan
luar biasa (extraordinary crime) karena dapat berpotensi merugikan berbagai dimensi kepentingan. Secara
internasional tindak pidana korupsi dalam jumlah yang signifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat, dapat merusak lembaga dan nilai – nilai demokrasi, nilai – nilai
etika dankeadilan, bersikap diskriminatif dan merongrong etika dan kempetisi bisnis yang jujur,
mencederai berkelanjutan dan tegeknya hukum.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1.Apa saja gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baik di
tingkat regional maupun internasional?

2.Organisasi internasional apa saja yang ikut mencegah dan memberantas korupsi?

3.Instrumen pencegahan korupsi seperti apa yang dibuat untuk pencegahan korupsi?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi di pemerintah dan


internasional

2. Untuk mengetahui organisasi internasional untuk mencegah dan memberantas korupsi

3. Untuk mengetahui instumen pencegahan korupsi


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 EUROPEANUNION
Uni Eropa adalah organisasi antarpemerintahan dan supranasional yang beranggotakan
negara-negara Eropa. Sejak 2014 Uni Eropa mendukung reformasi peradilan di Indonesia
melalui program SUSTAIN yang dilaksanakan Mahkamah Agung bekerja sama dengan UNDP.
Program ini dilakukan untuk meningkatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sistem
peradilan Indonesia. Termasuk pula, bagaiman para hakim bisa lebih peka terhadap perlindungan
anak dan permpuan dalam penanganan perkara.

Aktivitas lain yang dijalankan dalam program SUSTAIN juga berupa dukungan dalam
penyusunan dan penyampaian kurikulum bagi para hakim di lingkungan PTUN. Uni Eropa juga
hadir dalam upaya Indonesia melawan korupsi. Namun, bantuan ini diberikan melalui
pemerintah Denmark. Salah satu program yang diberikan adalah bantuan dana sebesar 1,74 juta
Euro kepada Transparency International Indonesia (TII). Dana sejumlah itu dialokasikan untuk
pelaksanaan survey persepsi korupsi/corruption perception index (CPI).

Tak hanya dalam upaya pemberantasan korupsi, kerja sama antara Uni Eropa dan
Indonesia juga dilakukan dalam rangka pencegahan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menjalin kerja sama dengan pemerintah Jerman sejak tahun 2007. Adapun dana yang
digelontorkan untuk melaksanakan program kerja sama itu senilai 6,2 juta Euro.Salah satu
program yang dilaksanakan adalah Anti-Corruption Learning Center (ACLC).

Program ini merupakan upaya KPK untuk meningkatkan kesadaran masyarakat


mencegah perilaku korupsi. Di dalam program tersebut KPK gencar menyosialisasikan
pemahaman mengenai korupsi dan bagaimana pencegahannya. ACLC dilaksanakan tidak hanya
lewat siaran radio dan streaming video, tetapi juga lewat kelas berjalan. Saat ini, kelas berjalan
itu baru ada kota Yogyakarta. Kelas yang berupa mobil berdesain khusus senantiasa berkeliling
ke instansi pemerintah, institusi swasta, bahkan universitas dan sekolah.

3
2.2 OECD (Organization for Economic Co – Operation and Development)

Setelah ditemuinya kegagalan dalam kesepakatan pada konvensi Perserikatan Bangsa


Bangsa (PBB) pada sekitar tahun 1970-an, OECD, didukung oleh PBB mengambil langkah baru
untuk memerangi korupsi di tingkat internasional. Sebuah badan pekerja atau working group on
Bribery in International Business Transaction didirikan pada tahun 1989. Pada awalnya kegiatan-
kegiatan yang dilakukan OECD hanya melakukan perbandingan ataume-review konsep, hukum
dan aturan di berbagai negara dalam berbagai bidangtidak hanya hukum pidana, tetapi juga
masalah perdata, keuangan dan perdagangan serta hukum administrasi.

Pada tahun 1997, Convention on Bribery of Foreign Public Official in International


Business Transaction disetujui. Tujuan dikeluarkannya instrument ini adalah untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana suap dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi ini
menghimbau negara-negara untuk mengembangkan aturan hukum, termasuk hukuman (pidana)
bagi para pelaku serta kerjasama internasional untuk mencegah tindak pidana suap dalam bidang
ini. Salah satu kelemahan dari konvensi ini adalah hanya mengatur apa yang disebut dengan
’active bribery’, ia tidak mengatur pihak yang pasif atau ’pihak penerima’ dalam tindak pidana
suap.  Padahal dalam banyak kesempatan, justru mereka inilah yang aktif berperan dan memaksa
para penyuap untuk memberikan sesuatu.

2.3 Perserikatan Bangsa – Bangsa (united nations)


Setiap 5 tahun, secara regular perserikatan bangsa-bangsa Setiap 5 (lima) tahun, secara
regular Perserikatan Basa-bangsa Bangsa (United Nations) menyelenggarakan Kongres tentang
Pencegahan Kejahatan danPerlakuan terhadap Penjahat atau sering disebut United Nation
Congress on Prevention on Crime and Treatment of Offenders. Pada kesempatan pertama,
Kongres ini diadakan di Geneva pada tahun 1955. Sampai saat ini kongres PBB ini telah
terselenggara 12 kali. Kongres yang ke-12 diadakan di Salvador pada bulan April 2010. Dalam
Kongres PBB ke-10 yang diadakan di Vienna (Austria)pada tahun 2000, isu mengenai Korupsi
menjadi topik pembahasan yang utama. Dalam introduksi di bawah tema International
Cooperation in Combating Transnational Crime: New Challenges in the Twenty-first Century
dinyatakan bahwa tema korupsi telah lama menjadi prioritas pembahasan.

Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi disiplin (multidisciplinary


approach) dengan memberikan penekanan pada aspek dan dampak buruk dari korupsi dalam
berbagai level atau tingkat. Pemberantasan juga dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan
pencegahan korupsi baik tingkatnasional maupun internasional, mengembangkan cara atau
praktek pencegahanserta

memberikan contoh pencegahan korupsi yang efektif di berbagai negaraPerhatian perlu diberikan
pada cara-cara yang efektif untuk meningkatkan resiko korupsi atau meningkatkan kemudahan
menangkap seseorang yang melakukan korupsi. Semua itu harus disertai dengan:

  a. Kemauan politik yang kuat dari pemerintah (strong political will)

b. Adanya keseimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan peradilan

c. Pemberdayaaan masyarakat sipil.

d. Adanya media yang bebas dan independen yang dapat memberikan akses informasi
pada public

2.4 Bank DuniaWorld Bank 

Institute mengembangkan Anti-Corruption Core Program yangbertujuan untuk


menanamkan awareness mengenai korupsi dan pelibatan masyarakat sipil untuk pemberantasan
korupsi, termasuk menyediakan sarana bagi negaranegara berkembang untuk mengembangkan
rencana aksi nasional untuk memberantas korupsi. Program yang dikembangkan oleh Bank
Dunia didasarkan pada premis bahwa untuk memberantas korupsi secara efektif, perlu dibangun
tanggung jawab bersama berbagai lembaga dalam masyarakat. Lembaga-lembaga yang harus
dilibatkan diantaranya pemerintah, parlemen, lembaga hukum, lembaga pelayanan umum,
watchdog institution seperti public-auditor dan lembaga atau komisi pemberantasan korupsi,
masyarakat sipil, media dan lembaga internasional. Oleh bank dunia, pendekatan untuk
melaksanakan program anti korupsi dibedakan menjadi 2 (yakni), pendekatan dari bawah.

Pendekatan dari bawah berasal dari 5 asumsi yakni:

a. Semakin luas pemahaman atau pandangan mengenai permasalahan yangada, semakin


mudah untuk meningkatkan awareness untuk memberantaskorupis

b. Network atau jejaring yang baik yang dibuat oleh World Bank akan lebih membantu
pemerintah dan masyarakat sipil (civil society). Untuk itu perlu dikembangkan rasa
saling percaya serta memberdayakan modal social (social capital) dari masyarakat

c. Perlu penyediaan data mengenai efesiensi dan efektifitas pelayanan pemerintah melalui


corruption diagnostics. Dengan penyediaan data dan pengetahuan yang luas mengenai
problem korupsi, reformasi administratif-politis dapat disusun secara lebih baik.
Penyediaan data ini juga dapat membantu masyarakat mengerti bahaya serta akibat
buruk darikorupsi

d. Pelatihan - pelatihan yang diberikan, yang diambil dari toolbox yang disediakan oleh
World Bank dapat membantu mempercepat pemberantasan korupsi. Bahan-bahan yang

ada dalam toolbox harus dipilih sendiri oleh negara di mana diadakan pelatihan,


karena harus menyesuaikan dengan kondisi masing masing Negara.

e. Rencana aksi pendahuluan yang dipilih atau dikonstruksi sendiri oleh negara peserta,
diharapkan akan memiliki trickle - down effect dalam arti masyarakat mengetahui
pentingnya pemberantasan korupsi.

1.Gerakan, Instrumen, dan Pengaturan Hukum Internasional dan Nasional

Hukum Internasional ialah aturan atau prinsip yang disepakati oleh negara-negara serta dijadikan
acuan dalam pelaksanaan hubungan antarnegara. Dalam perkembangannya, international law
atau hukum internasional juga mengatur hubungan antarnegara dan aktor non-negara seperti
organisasi internasional dan individu. Keberadaan dan peran hukum internasional menjadi salah
satu isu yang diperdebatkan dalam studi hubungan internasional, khususnya antara teori realisme
dan liberalisme.

Dalam ilmu Hukum Internasional, ada dua pandangan mengenai hubungan antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional. Yaitu, voluntarisme dan objektivisme. Voluntarisme
memandang bahwa hukum internasional tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum
nasional. Tidak ada hubungan dan keterikatan khusus antara keduanya. Oleh sebabnya, dari
pandangan voluntarisme ini muncul paham “Dualisme”. Yaitu, paham yang menyatakan bahwa
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua perangkat hukum yang berdampingan
dan terpisah. Atau dengan kata lain berdisi sendiri-sendiri.

Berbeda dengan voluntarisme, “Objektivisme” menyatakan bahwa hukum internasional tercipta


dengan terlepas dari kemauan suatu negara. Dari sini, lahirlah paham “Monisme” yang melihat
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih
besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Monisme ini mengkritik paham dualisme
yang mana menganggap hukum nasional dan hukum internasional itu terpisah.

a. Pemanfaatan Hukum internasional


Tiga Bentuk Pemanfaatan Dalam konteks masyarakat internasional, Hukum internasional kerap
dimanfaatkan oleh negara sebagai instrumen untuk mencapai suatu kepentingan, apakah secara
langsung maupun tidak langsung melalui organisasi internasional.

Pemanfaatan hukum internasional sebagai instrumen politik paling tidak ada tiga yang beranjak
pada tiga keadaan. Berikut akan dibahasa satu persatu ketiga pemanfaatan hukum internasional
sebagai instrumen politik.

a) Sebagai Pengubah Konsep Hukum internasional

sebagai instrument politik memiliki manfaat untuk mengubah atau memperkenalkan suatu
ketentuan, asas, kaedah ataupun konsep (selanjutnya disebut “konsep”). Manfaat ini berangkat
dari kenyataan bahwa hukum internasional dibentuk oleh negara. Oleh karenanya negara dapat
memanfaatkan hukum internasional untuk mengubah atau memperkenalkan suatu konsep.
Konsep ini bila diterima oleh mayoritas masyarakat internasional akan memiliki daya ikat.

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan meng-akomodasi suatu konsep baru ke dalam
perjanjian internasional. Tentu ini tidak berarti bahwa satu negara dalam waktu singkat dapat
melakukannya. Pembentukan atau mengamandemen perjanjian internasional memerlukan proses
dan waktu. Sebagai contoh, Australia, Jepang, Jerman dan beberapa negara lain menghendaki
adanya perubahan pada keanggotaan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB).
Kehendak ini merupakan konsep baru dari konsep yang selama ini dianut. Untuk mewujudkan
kehendak ini maka Piagam PBB harus diamandemen.

b) Sebagai Sarana Intervensi Urusan Domestik

Kedua, hukum internasional menjadi instrumen politik bertolak pada keinginan negara demi
kepentingan nasionalnya untuk turut campur dalam urusan domestik negara lain tanpa dianggap
sebagai pelanggaran. Untuk keperluan ini sudah tidak dapat lagi ditempuh cara-cara berupa
ancaman atau penggunaan kekerasan, ataupun dilakukan atas dasar hubungan antara penjajah
dengan pihak yang dijajah. Cara yang paling efektif untuk melakukan intervensi adalah dengan
memanfaatkan perjanjian internasional sebagai salah satu produk hukum internasional.

Perjanjian internasional dibuat rupa sehingga berimplikasi pada kewajiban bagi negara peserta
untuk mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum
nasionalnya. Dengan demikian hukum nasional suatu negara harus mencerminkan, bahkan tidak
boleh bertentangan dengan, perjanjian internasional yang telah diikuti.

c) Sebagai Alat Penekan

Terakhir, hukum internasional berfungsi sebagai instrumen politik berangkat dari fakta bahwa
dalam interaksi internasional negara saling pengaruh mempengaruhi. Negara menggunakan
hukum internasional untuk menekan negara lain agar mengikuti kebijakannya. Sementara hukum
internasional juga dimanfaatkan oleh negara yang mendapat tekanan untuk menolak tekanan
tersebut.

Negara berkembang, sebagaimana diargumentasikan oleh Cassese, sering menggunakan hukum


internasional dalam rangka, protects them from undue interference by powerful States. Tindakan
AS dan Inggris terhadap Irak sebelum Irak diserang merupakan contoh hukum internasional
sebagai alat penekan. AS dan Inggris memanfaatkan hukum internasional untuk menekan Irak
memberi akses kepada para pemeriksa (inspectors) internasional atas dugaan kepemilikan senjata
pemusnah massal (weapons of mass destruction) yang dimilikinya. Adapun hukum internasional
yang dijadikan dasar adalah keanggotaan Irak dalam Non-Proliferation Treaty (NPT)13 dan
sejumlah resolusi DK-PBB.14 Pada titik tertentu AS dan Inggris merasa bahwa tekanan yang
dilakukan tidak membuahkan hasil dan akhirnya melakukan penyerangan terhadap Irak. Untuk
melegitimasi penyerangan ini, AS dan Inggris menggunakan hukum internasional meskipun
sangat lemah.

b. Pemanfaatan Hukum internasional oleh Negara Maju

Terhadap Negara BerkembangHukum internasional dimanfaatkan oleh negara maju terhadap


negara berkembang untuk dua hal. Pertama adalah untuk turut terlibat dalam kebijakan dalam
negeri negara berkembang. Kedua dalam rangka menekan negara berkembang untuk melakukan
tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju. Perjanjian internasional kerap
digunakan oleh negara maju untuk melakukan intervensi terhadap masalah domestik negara
berkembang. Intervensi yang dilakukan tidak terlepas dari kepentingan nasionalnya. Kebanyakan
negara maju yang merupakan negara barat membungkus kepentingannya dengan hukum
internasional.

Dalam masalah HAM, keterlibatan negara maju dalam urusan domestik negara berkembang
disebabkan oleh tidak diperhati-kannya masalah HAM oleh elit politik negara berkembang
dalam menjalankan roda pemerintahan. Pelanggaran HAM di satu negara akan menjadi perhatian
bagi negara lain, bahkan dewasa ini dikenal kejahatan internasional yang dianggap sebagai
pelanggaran luar biasa terhadap kemanusiaan. Untuk mencegah berulangnya dan meluasnya
pelanggaran HAM oleh pemerintahan negara berkembang, negara maju merasa perlu untuk turut
memberi pengaruh. Untuk mencegah tindakan yang melanggar HAM oleh pemerintahan negara
berkembang maka dibuat perjanjian internasional yang melarang tindakan-tindakan tertentu.
Demikian pula untuk mencegah kebijakan yang merusak lingkungan hidup akan dirancang suatu
perjanjian internasional yang memperhatikan masalah lingkungan hidup. Selanjutnya negara
berkembang akan didorong oleh negara maju untuk mengikuti berbagai perjanjian internasional
yang dirancang olehnya.

c. Pemanfaatan Hukum internasional

1.Pemanfaatan Hukum internasional Terhadap Indonesia


Banyak kasus yang menunjukkan dimana negara lain atau organisasi internasional menggunakan
hukum internasional terhadap Indonesia. hukum internasional, utamanya perjanjian
internasional, digunakan oleh negara maju untuk ‘mengekang’ kebebasan dan kedaulatan
Indonesia. Berbagai perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia berdampak pada
terbatasnya ruang gerak pemerintah dalam mengambil kebijakan. Bahkan kebijakan yang
diambil dengan diikutinya perjanjian internasional yang ditandatangani diharapkan selaras
dengan standar internasional.25Tidak semua perjanjian internasional diikuti oleh Indonesia
semata-mata karena kesadaran yang tinggi dari Indonesia atas masalah atau isu tertentu. Tidak
sedikit perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia sebagai akibat dari desakan atau
tekanan negara maju dan organisasi internasional.

2. Pemanfaatan Hukum internasional oleh Indonesia

Indonesia dalam banyak kesempatan telah menggunakan Hukum internasional sebagai instrumen
politik. Ada yang berhasil tetapi lebih banyak yang tidak berhasil. Pertama, Indonesia telah
memanfaatkan hukum internasional untuk memperkenalkan konsep baru demi kepentingan
nasionalnya. Dalam konteks ini, Indonesia berhasil memperkenalkan konsep negara kepuLauan
(archipelagic state). Perjuangan Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Deklarasi Djoeanda
pada tanggal 13 Desember 1957. Konsep negara kepulauan berikut berbagai konsekuensinya
telah diakomodasi dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Keberhasilan memanfaatkan hukum
internasional ini ditunjang oleh pemikiran yang logis, konsistensi perjuangan di forum
internasional dan diplomasi yang gigih. Namun perjuangan Indonesia untuk mengubah konsep
yang selama ini dianut oleh masyarakat internasional dibidang hukum angkasa berakhir dalam
suatu kegagalan

d. Diplomasi dengan Memanfaatkan Hukum internasional

Hukum internasional sebagai instrumen politik sangat penting dalam rangka menjalankan
diplomasi. Para diplomat adalah mereka yang melakukan transaksi internasional pada tahap yang
paling konkrit dan awal. Oleh karenanya para diplomat tidak bisa sekedar berdebat kusir dalam
menyampaikan argumentasinya. Hukum internasional sedapat mungkin digunakan sebagai basis
dalam menyampaikan argumentasi. Argumentasi yang berbasis hukum, utamanya hukum
internasional, yang membuat lawan debat memperhatikan dan memaksa mereka untuk bersikap
hati-hati. Ini terutama bila berhadapan dengan para diplomat atau wakil pemerintah dari negara
barat, seperti Eropa, AS dan Australia yang memiliki tradisi yang kuat terhadap hukum. Oleh
karenanya berdebat dan berargumentasi dengan mereka tidak bisa lain selain menggunakan cara
mereka. Disini penting bagi para diplomat Indonesia untuk dibekali dengan pengetahuan hukum
internasional sehingga dalam berargumentasi, menyampaikan pendapat bahkan meyakinkan
diplomat atau pemerintah negara lain.

Dalam pekerjaan sebagai diplomat, tidak jarang mereka bersentuhan dengan masalah
perancangan, apakah perjanjian internasional, resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi
internasional, memorandum of understanding atau instrumen hukum lainnya. Para diplomat
negara barat biasanya memiliki kemampuan merancang sehingga produk hukum harus dibaca
secara hati-hati. Adigium yang mengatakan bahwa “you have to read between the lines” dalam
membaca suatu perjanjian menunjukkan betapa pentingnya kemampuan membaca dokumen
hukum bagi para diplomat. Ini tidak berarti memasalahkan teks secara berlebihan, tetapi para
diplomat harus pandai membaca apa yang dikandung dalam teks hukum dan melihat jebakan-
jebakan yang mungkin ada. Jangan sampai di kemudian hari bila perjanjian internasional
digunakan sebagai argumentasi oleh lawan untuk memojokkan posisi Indonesia, akan
dipersalahkan mereka yang terlibat dalam perundingan. Tanpa diplomat yang memiliki
kemampuan ini sulit mengharapkan peran diplomasi yang optimal.

2.kerja sama Internasional dan Komisi pemberantasan korupsi (PAK)


Kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana korupsi sangat diperlukan. Hal
ini karena korupsi dilakukan pula oleh perusahaan multinasional, skema korupsi yang semakin
kompleks, perlunya pemulihan aset, lintas batas atau multi yuridiksi, dan kolaborasi penggunaan
teknologi terbaru.

Dalam kerja sama internasional penanganan tindak pidana korupsi, terdapat dua jenis
permintaan bantuan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni koersif
dan nonkoersif. Koersif diantaranya dapat berupa pengambilan barang bukti atau pemeriksaan
untuk digunakan di pengadilan, pelaksanaan investigasi bersama, atau penegakan perintah
pengadilan luar negeri seperti penyitaan, pembekuan, perampasan aset hasil tindak pidana.

Sementara nonkoersif diantaranya melakukan kegiatan surveillance, penelusuran lokasi


saksi, tersangka atau buron, memberikan informasi publik dan informasi tidak sensitif, berbagi
bukti petunjuk dalam pengembangan kasus, dan bentuk bantuan lain sesuai dengan UU yang
berlaku.

Hal tersebut disampaikan oleh mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi
dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, dalam mata kuliah Korupsi dan Penyalahgunaan
Wewenang pada Kamis (3/6/2021) secara daring. Ia merupakan salah satu dari 75 pegawai KPK
yang dinonaktifkan karena dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan kebangsaan (TWK).

Beberapa hasil kerja sama lintas yuridiksi yang pernah dilakukan oleh KPK yakni kasus
suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, pada 2004
yang melibatkan perusahaan energi Alstom dan perusahaan Jepang, Marubeni. Dalam menangani
kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan FBI dan otoritas Jepang.

Korupsi sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengejar keuntungan bagi diri sendiri
merupakan masalah ketidakadilan sosial dan merupakan tindak pidana terhadap kesejahteraan
bangsa dan negara. Mengungkap tindak pidana, menemukan pelaku dan menempatkan pelaku di
dalam penjara belum cukup efektif untuk menekan tingkat korupsi jika tidak disertai dengan
upaya merampas aset hasil korupsi. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi meliputi aset
di dalam negeri dan di luar negeri. Perampasan aset yang berada di luar negeri, dapat dilakukan
dengan suatu kerjasama internasional, yang dalam hal ini dikenal dengan Bantuan Timbal Balik
(Mutual Legal Assistance). Kerjasama ini bertujuan untuk membantu dalam proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan
pengembalian aset hasil kejahatan berdasarkan atas hukum nasional Negara Diminta.

3. Mutual Legal Assistance dalam perkara korupsi

Pemerintah Indonesia telah menandatangani kerjasama Bantuan Timbal Balik (Mutual


Legal Assistance) secara bilateral dengan Australia, China, Hong Kong, Korea dan India, dan
secara multilateral, dengan negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).1
Ketentuan mengenai Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) ini di atur dalam
Undangundang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum
Timbal Balik dalam Masalah Pidana menyatakan bahwa:

1. Menteri dapat mengajukan permintaan Bantuan kepada negara asing secara langsung atau
melalui saluran diplomatik.
2. Permintaan Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri
berdasarkan permohonan dari Kapolri atau Jaksa Agung.
3. Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan Bantuan kepada Menteri selain Kapolri
dan Jaksa Agung juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Ketentuan Pasal 9 ayat (1) ini tidak menjelaskan mengenai bentuk koordinasi masing-
masing lembaga negara dalam melaksanakan hubungan diplomatik, termasuk juga tidak
mencantumkan Kementerian Luar Negeri sebagai salah satu lembaga yang terlibat dalam
hubungan diplomatik, mengingat bahwa Kementerian Luar Negeri mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.2 Kemudian dalam ayat (2) mengenai
pengajuan permohonan yang dapat saja dilakukan oleh Kapolri atau Jaksa Agung tidak
dijelaskan kapan saat permohonan tersebut dapat diajukan oleh Kapolri atau Jaksa Agung.
Selain itu dalam ketentuan umum undang-undang ini juga tidak memberikan definisi
mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena tidak dijelaskannya
mengenai fungsi masing-masing institusi penegak hukum dalam melakukan kerjasama
khususnya untuk dapat merampas aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri
yang dapat dijadikan sebagai batasan dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah
timbulnya konflik kepentingan masing-masing institusi terutama dalam hal perampasan aset
hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri, maka terhadap ketentuan tersebut
perlu dilakukan suatu penafsiran untuk dapat diperoleh suatu ketepatan pemahaman.

Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) dapat dimintakan untuk tujuan:

1. Mengambil bukti atau pernyataan dari orang;


2. Menyampaikan dokumen pengadilan;
3. Melakukan penyelidikan dan penyitaan serta pembekuan;
4. Memeriksa barang dan tempat;
5. Memberikan informasi, barang bukti dan penilaian ahli;
6. Memberikan dokumen asli atau salinan resminya dan catatan yang relevan,
termasuk catatan pemerintah, bank, keuangan, perusahaan atau usaha; 4 UNCAC,
Pasal 46 ayat (1). 5 UNCAC, Pasal 46 ayat (8). 6 UNCAC, Pasal 46 ayat (2).
7. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, sarana atau hal lain
untuk tujuan pembuktian;
8. Memfasilitasi kehadiran orang secara sukarela di Negara Pihak yang meminta;
9. Bantuan lain yang tidak bertentangan dengan hukum nasional Negara Pihak yang
diminta;
10. Mengidentifikasi, membekukan dan melacak hasil kejahatan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini; dan
11. Mengembalikan aset, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini.7
4. beberapa kesulitan/kendala yang ditemui dalam bemberian bantuan
timba balik dalam korupsi

Perjanjian bantuan timbal balik dan masalah pidana harus mengatur hak negara-negara para
pihak, terutama negara yang diminta untuk menolak permintaan bantuan. Hak negara diminta
untuk memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak
dalam arti dapat menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan kepada
prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu perjanjian berkaitan dengan
penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer,
suku, ras, agama dan nebis in idem, serta yang berhubungan dengan kedaulatan negara.

Hak negara diminta untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak didasarkan
pada prinsip reprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana
yang disebut tindak pidana yang dilakukan diluar wilayah negara peminta (extra territorial crime)
dan tidak diatur menurut negara diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati.

Dalam UU No. 1 Tahun 2006 menganut beberapa prinsip diantaranya adalah:

a) Prinsip Kekhususan, artinya yang diberikan dalam bentuk bantuan adalah menurut yang
telah dimintakan bantuannya dan selain bantuan penyerahan seorang pelaku tindak
pidana, Pasal 3 dan 4;
b) Prinsip Resiprositas atau berdasarkan hubungan baik antara kedua negara Pasal 5 ayat
(2);
c) Prinsip Ne Bis In Idem Pasal 6 huruf b, prinsip ini sangat umum dalam hukum pidana
dimana pelaku tidak dapat dituntut/dihukum untuk yang kedua kalinya pada kejahatan
yang sama;
d) Prinsip double Criminality atau kejahatan ganda Pasal 6 huruf c, maksudnya perbuatan
yang dilakukan pelaku haruslah merupakan tindak pidana bagi kedua negara;
e) Prinsip Non rasisme Pasal 6 huruf c, Negara Diminta dapat menolak permohonan
Bantuan apabila menyangkut kejahatan yang didasarkan atas ras, suku, jenis kelamin,
agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik;
f) Prinsip kedaulatan Pasal 6 huruf e, Negara Diminta dapat menolak apabila persetujuan
pemberian Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan,
keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;
g) Prinsip tidak menerapkan hukuman mati Negara Diminta dapat menolak pemberian
Bantuan apabila ancaman terhadap tindak pidana yang dilakukan adalah hukuman mati;
h) Prinsip Diplomatik termasuk kekebalan hukum yang terbatas pasal 17, artinya perjanjian
ini selain berdasarkan prinsip resiprositas akan tetapi 19 pelaksanaannya melalui
hubungan Diplomatik dimana melekat pula hak-hak yang ada pada Diplomatik.
Termasuk pemberitahuan tentang penolakan pemberian Bantuan;
i) Serta beberapa alasan penolakan pemberian bantuan dikarenakan tindak pidana yang
dilakukan berdasarkan : tindak pidana politik, kecuali pembunuhan atau percobaan
pembunuhan terhadap kepala negara/kepala pemerintahan, terorisme; atau tindak pidana
berdasarkan hukum militer.

Dari penggolongan prinsip yang digunakan dalam UU No. 1 Tahun 2006 di atas dapat pula
diklasifikasikan menurut prinsip yang menerima suatu permintaan Bantuan dan hal-hal yang
dapat menolak permintaan Bantuan

a. Prinsip yang menerima permintaan Bantuan :


1. Prinsip Resiprositas, adalah prinsip yang diakui internasional sebagai solusi dalam
menjalin kerjasama antar negara-negara baik masalah perdata maupun pidana,
terutama bagi negara-negara yang belum mempunyai perjanjian kerjasama.
Essensinya prinsip ini hanya berlatar-belakang hubungan baik antar kedua negara.
2. Prinsip double Criminality atau kejahatan ganda. Sebelum adanya perjanjian
kerjasama kedua negara harus sudah mengkriminalisasi kejahatan terutama yang akan
dimasukkan ke dalam perjanjian yang nantinya dapat dimintakan Bantuannya,
maksudnya adalah tindak pidana tersebut termasuk dalam tindak pidana yang diatur
oleh hukum di kedua negara.
Pasal 5

1. Bantuan dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.


2. Dalam hal belum ada perjanjian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip
resiprositas

b. Prinsip yang menolak permintaan Bantuan :

Yang termasuk prinsip yang menolak adalah :

1. Prinsip Ne Bis In Idem, sebagai prinsip umum hukum pidana yang diakui secara
internasional maksudnya adalah perlindungan bagi seorang pelaku untuk tidak diadili
untuk yang kedua kalinya.
2. Prinsip tentang ancaman hukuman mati, sebagai perwujudan dari konvenan terhadap hak
sipil dan politik yang menentang adanya hukuman mati. Walaupun Indonesia masih
mengenal hukuman mati dalan produk perundang-undangnya akan tetapi pelaksanaannya
sangat jarang, ketentuan seperti inilah juga yang membuat Indonesia dapat bekerjasama
dengan negara lain karena pada prinsipnya, prinsip ini memang menolak kalau ancaman
hukuman dari tindak pidana itu adalah hukuman mati, akan tetapi apabila ada pernyataan
dari negara yang mengancam hukuman mati tersebut untuk tidak menjatuhkan hukuman
mati, biasanya permintaan Bantuan akan dipenuhi.
3. Prinsip non-rasisme, artinya permintaan Bantuan harus ditolak apabila berhubungan
suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik, kejahatan politik
dan tindak pidana yang diatur dalam hukum militer.
4. Prinsip kedaulatan artinya, Negara Diminta dapat menolak apabila persetujuan pemberian
Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan,
kepentingan, dan hukum nasionalnya.
Pasal 6

Permintaan bantuan timbal balik jika:

a. Permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan


pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemidanaan terhadap orang atas tindak
pidana yang dianggap sebagai:
1. Tindak pidana politik, kecuali pembunuhan atau percobaan pembunuhan
terhadap kepala negara/kepala pemerintahan, terorisme; atau
2. Tindak pidana berdasarkan hukum militer.
b. Permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap orang atas tindak pidana yang pelakunya
telah dibebaskan, diberi grasi, atau telah selesai menjalani pemidanaan;
c. Permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemidanaan terhadap orang atas tindak
pidana yang jika dilakukan di Indonesia tidak dapat dituntut;
d. Permintaan bantuan diajukan untuk menuntut atau mengadili orang karena alasan
suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik;
e. Persetujuan pemberian bantuan atas permintaan bantuan tersebut akan merugikan
kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;
f. Negara asing tidak dapat memberikan jaminan pengembalian barang bukti yang
diperoleh berdasarkan bantuan apabila diminta
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Masyarakat internasional telah bersepakat bahwa korupsi adalah tindak pidana yang
berdampak sangat buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia. Gerakan atau movement untuk
memberantas korupsi telah banyak dilakukan oleh masyarakat internasional. Demikian pula kerjasama
yang dilakukan untuk memberantas korupsi dengan menggunakan asas hubungan baik dan bantuan
hukum timbal balik (mutual legal assistance). Dari pemaparan sebelumnya, sebagai negara yang ikut
menandatangani UNCAC, indonesia telah melakukan berbagai upaya kerjasama dengan negara lain
untuk memeberantas korupsi baik dengan pembuatan MoU, pembuatan bilateral maupun multilateral
treaty atau dengan menjadi peserta aktif dalam berbagai forum internasional. Walapun masih ada
beberapa kendala yang sering ditemui dalam melaksanakan bantuan timbale balik dalam perkara
korupsi.

3.2 SARAN

Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu untuk menambahwawasan yang lebih
luas lagi mohon membaca lebih banyak berita, buku, korandan lain – lain yang memberikan informasi
tambahan kepada pembaca. Kita sebagai mahasiswa harus ikut ambil tahu terkait korupsi terutama yang
merugikan negara secara besar – besaran, karena kita juga merupakan penggerak.
DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/152765-ID-mutual-legal-assistance-kerjasama-
intern.pdf

https://www.academia.edu/42815425/
GERAKAN_KERJASAMA_DAN_INSTRUMEN_INTERNASIONAL_PENCEGAHAN_KOR
UPSI

https://kemlu.go.id/brussels/id/read/uni-eropa/1669/etc-menu

https://www.academia.edu/19259091/Gerakan_kerjasama_internasional_pencegahan_korupsi
8

Anda mungkin juga menyukai