D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 1
1.Afrina Irene ZepanyaTogatorop (032021048)
2.Angel Rajagukguk (032021050)
3.Erti HidayatZebua (032021066)
4.Jesika MaretaManalu (032021070)
5.Lestaria Hulu (032021074)
6.Martinus GiriSetyabudi (032021078)
7.Ririn VerawatySirait (032021084)
8.Sonita Sinaga (032021089)
Puji syukur untuk kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
berkat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah matakuliah Pendidikan Anti Korupsi
Oleh karenaitu, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Kelompok1
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..........................iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...........................1
BAB II PEMBAHASAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya seseorang yang berada di dalam wilayah suatu negara secaraotomatis harus
tunduk pada ketentuan – ketentuan yang berlaku di dalam wilayahnegara tersebut. hal ini berlaku pada
setiap negara tidak terkecuali indonesia. Setiaptindakan yang dianggap melanggar hukum akan diberikan
sanksi sesuaidengan ketetapaan dan ketentuan perundang – undangan yang berlaku. Mulai dari hukum
pidana maupun hukum perdata. Masalah korupsi adalah salah satu yang sudah sangat lama terjadi
dalam masyarakat. Pada umumnya tindakan korupsi terjadi pada orang – orang yang berpengaruh atau
pejabat. Maka tidaklah mengherankan jika korupsi banyak terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah
yang mempunyai peran penting untuk memutuskan sesuatu seperti dalam pemberian izin ataupun
pemberian proyek pemerintah.
Kriminalisasi terhadap tindak pidana Korupsi mempunyai alasan yang sangat kuat sebab
kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan
luar biasa (extraordinary crime) karena dapat berpotensi merugikan berbagai dimensi kepentingan. Secara
internasional tindak pidana korupsi dalam jumlah yang signifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat, dapat merusak lembaga dan nilai – nilai demokrasi, nilai – nilai
etika dankeadilan, bersikap diskriminatif dan merongrong etika dan kempetisi bisnis yang jujur,
mencederai berkelanjutan dan tegeknya hukum.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.Apa saja gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baik di
tingkat regional maupun internasional?
2.Organisasi internasional apa saja yang ikut mencegah dan memberantas korupsi?
3.Instrumen pencegahan korupsi seperti apa yang dibuat untuk pencegahan korupsi?
PEMBAHASAN
2.1 EUROPEANUNION
Uni Eropa adalah organisasi antarpemerintahan dan supranasional yang beranggotakan
negara-negara Eropa. Sejak 2014 Uni Eropa mendukung reformasi peradilan di Indonesia
melalui program SUSTAIN yang dilaksanakan Mahkamah Agung bekerja sama dengan UNDP.
Program ini dilakukan untuk meningkatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sistem
peradilan Indonesia. Termasuk pula, bagaiman para hakim bisa lebih peka terhadap perlindungan
anak dan permpuan dalam penanganan perkara.
Aktivitas lain yang dijalankan dalam program SUSTAIN juga berupa dukungan dalam
penyusunan dan penyampaian kurikulum bagi para hakim di lingkungan PTUN. Uni Eropa juga
hadir dalam upaya Indonesia melawan korupsi. Namun, bantuan ini diberikan melalui
pemerintah Denmark. Salah satu program yang diberikan adalah bantuan dana sebesar 1,74 juta
Euro kepada Transparency International Indonesia (TII). Dana sejumlah itu dialokasikan untuk
pelaksanaan survey persepsi korupsi/corruption perception index (CPI).
Tak hanya dalam upaya pemberantasan korupsi, kerja sama antara Uni Eropa dan
Indonesia juga dilakukan dalam rangka pencegahan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menjalin kerja sama dengan pemerintah Jerman sejak tahun 2007. Adapun dana yang
digelontorkan untuk melaksanakan program kerja sama itu senilai 6,2 juta Euro.Salah satu
program yang dilaksanakan adalah Anti-Corruption Learning Center (ACLC).
3
2.2 OECD (Organization for Economic Co – Operation and Development)
memberikan contoh pencegahan korupsi yang efektif di berbagai negaraPerhatian perlu diberikan
pada cara-cara yang efektif untuk meningkatkan resiko korupsi atau meningkatkan kemudahan
menangkap seseorang yang melakukan korupsi. Semua itu harus disertai dengan:
d. Adanya media yang bebas dan independen yang dapat memberikan akses informasi
pada public
b. Network atau jejaring yang baik yang dibuat oleh World Bank akan lebih membantu
pemerintah dan masyarakat sipil (civil society). Untuk itu perlu dikembangkan rasa
saling percaya serta memberdayakan modal social (social capital) dari masyarakat
d. Pelatihan - pelatihan yang diberikan, yang diambil dari toolbox yang disediakan oleh
World Bank dapat membantu mempercepat pemberantasan korupsi. Bahan-bahan yang
e. Rencana aksi pendahuluan yang dipilih atau dikonstruksi sendiri oleh negara peserta,
diharapkan akan memiliki trickle - down effect dalam arti masyarakat mengetahui
pentingnya pemberantasan korupsi.
Hukum Internasional ialah aturan atau prinsip yang disepakati oleh negara-negara serta dijadikan
acuan dalam pelaksanaan hubungan antarnegara. Dalam perkembangannya, international law
atau hukum internasional juga mengatur hubungan antarnegara dan aktor non-negara seperti
organisasi internasional dan individu. Keberadaan dan peran hukum internasional menjadi salah
satu isu yang diperdebatkan dalam studi hubungan internasional, khususnya antara teori realisme
dan liberalisme.
Dalam ilmu Hukum Internasional, ada dua pandangan mengenai hubungan antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional. Yaitu, voluntarisme dan objektivisme. Voluntarisme
memandang bahwa hukum internasional tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum
nasional. Tidak ada hubungan dan keterikatan khusus antara keduanya. Oleh sebabnya, dari
pandangan voluntarisme ini muncul paham “Dualisme”. Yaitu, paham yang menyatakan bahwa
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua perangkat hukum yang berdampingan
dan terpisah. Atau dengan kata lain berdisi sendiri-sendiri.
Pemanfaatan hukum internasional sebagai instrumen politik paling tidak ada tiga yang beranjak
pada tiga keadaan. Berikut akan dibahasa satu persatu ketiga pemanfaatan hukum internasional
sebagai instrumen politik.
sebagai instrument politik memiliki manfaat untuk mengubah atau memperkenalkan suatu
ketentuan, asas, kaedah ataupun konsep (selanjutnya disebut “konsep”). Manfaat ini berangkat
dari kenyataan bahwa hukum internasional dibentuk oleh negara. Oleh karenanya negara dapat
memanfaatkan hukum internasional untuk mengubah atau memperkenalkan suatu konsep.
Konsep ini bila diterima oleh mayoritas masyarakat internasional akan memiliki daya ikat.
Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan meng-akomodasi suatu konsep baru ke dalam
perjanjian internasional. Tentu ini tidak berarti bahwa satu negara dalam waktu singkat dapat
melakukannya. Pembentukan atau mengamandemen perjanjian internasional memerlukan proses
dan waktu. Sebagai contoh, Australia, Jepang, Jerman dan beberapa negara lain menghendaki
adanya perubahan pada keanggotaan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB).
Kehendak ini merupakan konsep baru dari konsep yang selama ini dianut. Untuk mewujudkan
kehendak ini maka Piagam PBB harus diamandemen.
Kedua, hukum internasional menjadi instrumen politik bertolak pada keinginan negara demi
kepentingan nasionalnya untuk turut campur dalam urusan domestik negara lain tanpa dianggap
sebagai pelanggaran. Untuk keperluan ini sudah tidak dapat lagi ditempuh cara-cara berupa
ancaman atau penggunaan kekerasan, ataupun dilakukan atas dasar hubungan antara penjajah
dengan pihak yang dijajah. Cara yang paling efektif untuk melakukan intervensi adalah dengan
memanfaatkan perjanjian internasional sebagai salah satu produk hukum internasional.
Perjanjian internasional dibuat rupa sehingga berimplikasi pada kewajiban bagi negara peserta
untuk mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum
nasionalnya. Dengan demikian hukum nasional suatu negara harus mencerminkan, bahkan tidak
boleh bertentangan dengan, perjanjian internasional yang telah diikuti.
Terakhir, hukum internasional berfungsi sebagai instrumen politik berangkat dari fakta bahwa
dalam interaksi internasional negara saling pengaruh mempengaruhi. Negara menggunakan
hukum internasional untuk menekan negara lain agar mengikuti kebijakannya. Sementara hukum
internasional juga dimanfaatkan oleh negara yang mendapat tekanan untuk menolak tekanan
tersebut.
Dalam masalah HAM, keterlibatan negara maju dalam urusan domestik negara berkembang
disebabkan oleh tidak diperhati-kannya masalah HAM oleh elit politik negara berkembang
dalam menjalankan roda pemerintahan. Pelanggaran HAM di satu negara akan menjadi perhatian
bagi negara lain, bahkan dewasa ini dikenal kejahatan internasional yang dianggap sebagai
pelanggaran luar biasa terhadap kemanusiaan. Untuk mencegah berulangnya dan meluasnya
pelanggaran HAM oleh pemerintahan negara berkembang, negara maju merasa perlu untuk turut
memberi pengaruh. Untuk mencegah tindakan yang melanggar HAM oleh pemerintahan negara
berkembang maka dibuat perjanjian internasional yang melarang tindakan-tindakan tertentu.
Demikian pula untuk mencegah kebijakan yang merusak lingkungan hidup akan dirancang suatu
perjanjian internasional yang memperhatikan masalah lingkungan hidup. Selanjutnya negara
berkembang akan didorong oleh negara maju untuk mengikuti berbagai perjanjian internasional
yang dirancang olehnya.
Indonesia dalam banyak kesempatan telah menggunakan Hukum internasional sebagai instrumen
politik. Ada yang berhasil tetapi lebih banyak yang tidak berhasil. Pertama, Indonesia telah
memanfaatkan hukum internasional untuk memperkenalkan konsep baru demi kepentingan
nasionalnya. Dalam konteks ini, Indonesia berhasil memperkenalkan konsep negara kepuLauan
(archipelagic state). Perjuangan Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Deklarasi Djoeanda
pada tanggal 13 Desember 1957. Konsep negara kepulauan berikut berbagai konsekuensinya
telah diakomodasi dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Keberhasilan memanfaatkan hukum
internasional ini ditunjang oleh pemikiran yang logis, konsistensi perjuangan di forum
internasional dan diplomasi yang gigih. Namun perjuangan Indonesia untuk mengubah konsep
yang selama ini dianut oleh masyarakat internasional dibidang hukum angkasa berakhir dalam
suatu kegagalan
Hukum internasional sebagai instrumen politik sangat penting dalam rangka menjalankan
diplomasi. Para diplomat adalah mereka yang melakukan transaksi internasional pada tahap yang
paling konkrit dan awal. Oleh karenanya para diplomat tidak bisa sekedar berdebat kusir dalam
menyampaikan argumentasinya. Hukum internasional sedapat mungkin digunakan sebagai basis
dalam menyampaikan argumentasi. Argumentasi yang berbasis hukum, utamanya hukum
internasional, yang membuat lawan debat memperhatikan dan memaksa mereka untuk bersikap
hati-hati. Ini terutama bila berhadapan dengan para diplomat atau wakil pemerintah dari negara
barat, seperti Eropa, AS dan Australia yang memiliki tradisi yang kuat terhadap hukum. Oleh
karenanya berdebat dan berargumentasi dengan mereka tidak bisa lain selain menggunakan cara
mereka. Disini penting bagi para diplomat Indonesia untuk dibekali dengan pengetahuan hukum
internasional sehingga dalam berargumentasi, menyampaikan pendapat bahkan meyakinkan
diplomat atau pemerintah negara lain.
Dalam pekerjaan sebagai diplomat, tidak jarang mereka bersentuhan dengan masalah
perancangan, apakah perjanjian internasional, resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi
internasional, memorandum of understanding atau instrumen hukum lainnya. Para diplomat
negara barat biasanya memiliki kemampuan merancang sehingga produk hukum harus dibaca
secara hati-hati. Adigium yang mengatakan bahwa “you have to read between the lines” dalam
membaca suatu perjanjian menunjukkan betapa pentingnya kemampuan membaca dokumen
hukum bagi para diplomat. Ini tidak berarti memasalahkan teks secara berlebihan, tetapi para
diplomat harus pandai membaca apa yang dikandung dalam teks hukum dan melihat jebakan-
jebakan yang mungkin ada. Jangan sampai di kemudian hari bila perjanjian internasional
digunakan sebagai argumentasi oleh lawan untuk memojokkan posisi Indonesia, akan
dipersalahkan mereka yang terlibat dalam perundingan. Tanpa diplomat yang memiliki
kemampuan ini sulit mengharapkan peran diplomasi yang optimal.
Dalam kerja sama internasional penanganan tindak pidana korupsi, terdapat dua jenis
permintaan bantuan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni koersif
dan nonkoersif. Koersif diantaranya dapat berupa pengambilan barang bukti atau pemeriksaan
untuk digunakan di pengadilan, pelaksanaan investigasi bersama, atau penegakan perintah
pengadilan luar negeri seperti penyitaan, pembekuan, perampasan aset hasil tindak pidana.
Hal tersebut disampaikan oleh mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi
dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, dalam mata kuliah Korupsi dan Penyalahgunaan
Wewenang pada Kamis (3/6/2021) secara daring. Ia merupakan salah satu dari 75 pegawai KPK
yang dinonaktifkan karena dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan kebangsaan (TWK).
Beberapa hasil kerja sama lintas yuridiksi yang pernah dilakukan oleh KPK yakni kasus
suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, pada 2004
yang melibatkan perusahaan energi Alstom dan perusahaan Jepang, Marubeni. Dalam menangani
kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan FBI dan otoritas Jepang.
Korupsi sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengejar keuntungan bagi diri sendiri
merupakan masalah ketidakadilan sosial dan merupakan tindak pidana terhadap kesejahteraan
bangsa dan negara. Mengungkap tindak pidana, menemukan pelaku dan menempatkan pelaku di
dalam penjara belum cukup efektif untuk menekan tingkat korupsi jika tidak disertai dengan
upaya merampas aset hasil korupsi. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi meliputi aset
di dalam negeri dan di luar negeri. Perampasan aset yang berada di luar negeri, dapat dilakukan
dengan suatu kerjasama internasional, yang dalam hal ini dikenal dengan Bantuan Timbal Balik
(Mutual Legal Assistance). Kerjasama ini bertujuan untuk membantu dalam proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan
pengembalian aset hasil kejahatan berdasarkan atas hukum nasional Negara Diminta.
1. Menteri dapat mengajukan permintaan Bantuan kepada negara asing secara langsung atau
melalui saluran diplomatik.
2. Permintaan Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri
berdasarkan permohonan dari Kapolri atau Jaksa Agung.
3. Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan Bantuan kepada Menteri selain Kapolri
dan Jaksa Agung juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Ketentuan Pasal 9 ayat (1) ini tidak menjelaskan mengenai bentuk koordinasi masing-
masing lembaga negara dalam melaksanakan hubungan diplomatik, termasuk juga tidak
mencantumkan Kementerian Luar Negeri sebagai salah satu lembaga yang terlibat dalam
hubungan diplomatik, mengingat bahwa Kementerian Luar Negeri mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.2 Kemudian dalam ayat (2) mengenai
pengajuan permohonan yang dapat saja dilakukan oleh Kapolri atau Jaksa Agung tidak
dijelaskan kapan saat permohonan tersebut dapat diajukan oleh Kapolri atau Jaksa Agung.
Selain itu dalam ketentuan umum undang-undang ini juga tidak memberikan definisi
mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena tidak dijelaskannya
mengenai fungsi masing-masing institusi penegak hukum dalam melakukan kerjasama
khususnya untuk dapat merampas aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri
yang dapat dijadikan sebagai batasan dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah
timbulnya konflik kepentingan masing-masing institusi terutama dalam hal perampasan aset
hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri, maka terhadap ketentuan tersebut
perlu dilakukan suatu penafsiran untuk dapat diperoleh suatu ketepatan pemahaman.
Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) dapat dimintakan untuk tujuan:
Perjanjian bantuan timbal balik dan masalah pidana harus mengatur hak negara-negara para
pihak, terutama negara yang diminta untuk menolak permintaan bantuan. Hak negara diminta
untuk memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak
dalam arti dapat menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan kepada
prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu perjanjian berkaitan dengan
penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer,
suku, ras, agama dan nebis in idem, serta yang berhubungan dengan kedaulatan negara.
Hak negara diminta untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak didasarkan
pada prinsip reprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana
yang disebut tindak pidana yang dilakukan diluar wilayah negara peminta (extra territorial crime)
dan tidak diatur menurut negara diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati.
a) Prinsip Kekhususan, artinya yang diberikan dalam bentuk bantuan adalah menurut yang
telah dimintakan bantuannya dan selain bantuan penyerahan seorang pelaku tindak
pidana, Pasal 3 dan 4;
b) Prinsip Resiprositas atau berdasarkan hubungan baik antara kedua negara Pasal 5 ayat
(2);
c) Prinsip Ne Bis In Idem Pasal 6 huruf b, prinsip ini sangat umum dalam hukum pidana
dimana pelaku tidak dapat dituntut/dihukum untuk yang kedua kalinya pada kejahatan
yang sama;
d) Prinsip double Criminality atau kejahatan ganda Pasal 6 huruf c, maksudnya perbuatan
yang dilakukan pelaku haruslah merupakan tindak pidana bagi kedua negara;
e) Prinsip Non rasisme Pasal 6 huruf c, Negara Diminta dapat menolak permohonan
Bantuan apabila menyangkut kejahatan yang didasarkan atas ras, suku, jenis kelamin,
agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik;
f) Prinsip kedaulatan Pasal 6 huruf e, Negara Diminta dapat menolak apabila persetujuan
pemberian Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan,
keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;
g) Prinsip tidak menerapkan hukuman mati Negara Diminta dapat menolak pemberian
Bantuan apabila ancaman terhadap tindak pidana yang dilakukan adalah hukuman mati;
h) Prinsip Diplomatik termasuk kekebalan hukum yang terbatas pasal 17, artinya perjanjian
ini selain berdasarkan prinsip resiprositas akan tetapi 19 pelaksanaannya melalui
hubungan Diplomatik dimana melekat pula hak-hak yang ada pada Diplomatik.
Termasuk pemberitahuan tentang penolakan pemberian Bantuan;
i) Serta beberapa alasan penolakan pemberian bantuan dikarenakan tindak pidana yang
dilakukan berdasarkan : tindak pidana politik, kecuali pembunuhan atau percobaan
pembunuhan terhadap kepala negara/kepala pemerintahan, terorisme; atau tindak pidana
berdasarkan hukum militer.
Dari penggolongan prinsip yang digunakan dalam UU No. 1 Tahun 2006 di atas dapat pula
diklasifikasikan menurut prinsip yang menerima suatu permintaan Bantuan dan hal-hal yang
dapat menolak permintaan Bantuan
1. Prinsip Ne Bis In Idem, sebagai prinsip umum hukum pidana yang diakui secara
internasional maksudnya adalah perlindungan bagi seorang pelaku untuk tidak diadili
untuk yang kedua kalinya.
2. Prinsip tentang ancaman hukuman mati, sebagai perwujudan dari konvenan terhadap hak
sipil dan politik yang menentang adanya hukuman mati. Walaupun Indonesia masih
mengenal hukuman mati dalan produk perundang-undangnya akan tetapi pelaksanaannya
sangat jarang, ketentuan seperti inilah juga yang membuat Indonesia dapat bekerjasama
dengan negara lain karena pada prinsipnya, prinsip ini memang menolak kalau ancaman
hukuman dari tindak pidana itu adalah hukuman mati, akan tetapi apabila ada pernyataan
dari negara yang mengancam hukuman mati tersebut untuk tidak menjatuhkan hukuman
mati, biasanya permintaan Bantuan akan dipenuhi.
3. Prinsip non-rasisme, artinya permintaan Bantuan harus ditolak apabila berhubungan
suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik, kejahatan politik
dan tindak pidana yang diatur dalam hukum militer.
4. Prinsip kedaulatan artinya, Negara Diminta dapat menolak apabila persetujuan pemberian
Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan,
kepentingan, dan hukum nasionalnya.
Pasal 6
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Masyarakat internasional telah bersepakat bahwa korupsi adalah tindak pidana yang
berdampak sangat buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia. Gerakan atau movement untuk
memberantas korupsi telah banyak dilakukan oleh masyarakat internasional. Demikian pula kerjasama
yang dilakukan untuk memberantas korupsi dengan menggunakan asas hubungan baik dan bantuan
hukum timbal balik (mutual legal assistance). Dari pemaparan sebelumnya, sebagai negara yang ikut
menandatangani UNCAC, indonesia telah melakukan berbagai upaya kerjasama dengan negara lain
untuk memeberantas korupsi baik dengan pembuatan MoU, pembuatan bilateral maupun multilateral
treaty atau dengan menjadi peserta aktif dalam berbagai forum internasional. Walapun masih ada
beberapa kendala yang sering ditemui dalam melaksanakan bantuan timbale balik dalam perkara
korupsi.
3.2 SARAN
Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu untuk menambahwawasan yang lebih
luas lagi mohon membaca lebih banyak berita, buku, korandan lain – lain yang memberikan informasi
tambahan kepada pembaca. Kita sebagai mahasiswa harus ikut ambil tahu terkait korupsi terutama yang
merugikan negara secara besar – besaran, karena kita juga merupakan penggerak.
DAFTAR PUSTAKA
https://media.neliti.com/media/publications/152765-ID-mutual-legal-assistance-kerjasama-
intern.pdf
https://www.academia.edu/42815425/
GERAKAN_KERJASAMA_DAN_INSTRUMEN_INTERNASIONAL_PENCEGAHAN_KOR
UPSI
https://kemlu.go.id/brussels/id/read/uni-eropa/1669/etc-menu
https://www.academia.edu/19259091/Gerakan_kerjasama_internasional_pencegahan_korupsi
8