Anda di halaman 1dari 19

Peran Akuntansi Forensik Dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi
Agustus 6, 2012
marlisrusudi Akuntansi Forensik www.google.co.id 4 Komentar
Peran Akuntansi Forensik Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
oleh : Marlis Rusudi
A. PENDAHULUAN
Korupsi di Indonesia merupakan suatu hal yang banyak menarik
perhatian baik media, masyarakat, akademisi sampai praktisi. Hampir di
setiap lini pemerintahan selalu diwarnai dengan korupsi, terakhir saya
mendengar

adanya

dugaan

korupsi

pengadaan

Al-Quran

pada

Departemen Agama. Korupsi menjelma menjadi budaya dan menjadi


praktek yang dilakukan secara bersama-sama.
Beruntung negeri ini memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberantas
Korupsi. Namun begitu banyaknya kasus Korupsi di negeri ini membuat
KPK layaknya sebilah pisau yang mencoba menebang pohon.
Komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga Negara yang dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas
dari

pengaruh

kekuasaan

manapun.

Kekuasaan

manapun

yang

dimaksud disini adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan


wewenang KPK atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif,
yudikatif, legislative, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak

pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
KPK dientk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Untuk menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dari korupsi, kita
harus tetap semangat dalam memberantas korupsi, diperlukan cara yang
efektif agar penyelesaian tindak pidana korupsi tidak memakan banyak
biaya, tenaga, dan waktu. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang
dijalankan KPK merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise,
monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan perundangundangan yang berlaku. Akuntansi Forensik merupakan salah satu solusi
yang dapat membantu KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Korupsi
Menurut Shleifer dan Vishny (1993) korupsi adalah penjualan
barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan
pribadi. Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari
perijinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para
pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk
pemakaian

barang-barang

milik

pemerintah

untuk

kepentingan

pribadinya. Untuk kasus seperti ini, korupsi menyebabkan biaya ekonomi


tinggi, dan oleh karena itu korupsi tidak baik bagi pertumbuhan.
Menurut Adji (1996) berdasarkan pemahaman dan dimensi baru
mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, pengertian
korupsi tidak lagi hanya diasosiasikan dengan penggelapan keuangan
Negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan
komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian
yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah
seperti

bureaucratic

corruption

atau

tindak

pidana

korupsi,

yang

dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law
(kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyak contoh
diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion
(pelanggaran

pajak),

credit

fraud

(penipuan

di

bidang

kredit),

embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan


penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan
lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat).
Istilah invisble crime banyak ditujukan untuk menunjuk pada kejahatan
yang sulit dibuktikan maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari
pelakunya.
Dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dari
aturan maupun hukum yang berlaku dengan maksud dan tujuan untuk
keuntungan pribadi dan memberikan kerugian pada negara.

2. Tindak Pidana Korupsi


Sesuai dengan UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 (Pasal 2) yang
dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara.
Secara singkat tindak pidana korupsi mencakup :

Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan


keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)

Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang


dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)

Kelompok delik penyuapan (Pasal 5, 6, dan 11)

Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10)

Delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)

Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7)

Delik gratifikasi (Pasal 12B dan 12C)


Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi tugas

dan tanggung jawab KPK, pemberantasan tindak pidana korupsi adalah


serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi

melalui

upaya

koordinasi,

supervisi,

monitor,

penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan


peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Komisi pemberantasan korupsi dibentuk dengan tujuan

meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan


tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan pasal 11 UU No. 30/2002, KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
yang :

Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan


orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak huku atau penyelenggara Negara.

Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Menyangkut


kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar
rupiah)
Dalam menjalankan upaya penyelidikan tersebut KPK dibantu

Akuntan Forensik yang menjalankan fungsi Audit Investigatif untuk


menemukan adanya kerugian Negara, selanjutnya dilakukan penyidikan
jika terbukti adanya kerugian Negara.

3. Akuntansi Forensik
Akuntansi forensik pada mulanya digunakan di Amerika Serikat
untuk

menentukan

pembagian

warisan

atau

mengungkap

motif

pembunuhan, penerapan akuntansi forensik untuk menyelesaikan atau


memecahkan persoalan hukum. Di Amerika profesi ini disebut auditor
forensic

atau

pemeriksa

kecurangan

bersertifikasi

(Certified

Fraud

Examiners/CFE) yang tergabung dalam Association of Certified Fraud


Examiners (ACFE).

Akuntansi forensik adalah bentuk penerapan disiplin akuntansi yang


memberikan perpaduan akuntansi, audit, dan hukum guna memecahkan
persoalan-persoalan di sektor pemerintaha maupun swasta.
Tuanakotta (2010) menjelaskan, istilah akutansi forensik lebih tepat
digunakan apabila telah bersinggungan dengan hukum. Mengingat
akuntansi

forensik

selalu

bersinggunga

dengan

hukum,

dalam

pengumpulan bukti audit seorang akuntan forensik harus memahami


masalah hukum pembuktian. Bukti yang dikumpulkan harus dapat
diterima di pengadilan. Cara perolehan bukti pun tidak boleh melanggar
hukum, karena dapat berakibat ditolaknya alat bukti tersebut. Beban
pembuktian

dalam

kasus

kecurangan

(fraud)

haruslah

melampaui

keraguan yang layak atau beyond reasonable doubt.


Perbedaan akuntansi forensik dengan akuntansi maupun audit
konvensioal lebih terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi
kedua akuntansi tersebut tidak jauh berbeda, Akuntansi forensik lebih
menekankan pada keanehan (exceptions, oddities, irregularities) dan pola
tindakan daripada kesalahan atau keteledoran seperti pada audit umum,
prosedur utama dalam akuntansi forensik menekankan pada analytical
review dan teknik wawancara mendalam dengan tetap menggunakan
teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi dan
lain sebagainya.
Perbedaan lainnya adalah akuntansi forensik lebih menekankan
pada penyangkalan atau penguatan atas suatu dugaan dan menyediakan

bukti untuk mendukung suatu tindakan hukum. Jadi bisa disimpulkan


bahwa akuntnsi forensik bertujuan untuk membuktikan suatu dugaan.
Beberapa tujuan akhir dari ssuatu proses akuntansi forensik atau audit
investigatif adalah tuntutan kriminal, ganti rugi perdata, pembersihan
tuduhan, dan peningkatan pengendalian internal.
Akuntansi forensik mulai digunakan di Indonesia setelah terjadi
krisis keuangan pada tahun 1997, hingga saat ini pendekatan akuntansi
forensik banyak digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Bank Dunia, dan Kantorkantor Akuntan Publik di Indonesia
Perkembangan akuntansi forensik di Indonesia cukup maju, namun
jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain maka Indonesia masih
dibilang tertinggal. Australia saat ini sedang menyusun Standar Akuntansi
Forensik, sementara Kanada dan Amerika Serikat sudah memiliki standar
yang baku, sedangkan Indonesia sama sekali belum memiliki standar
yang memadai. Sejauh ini belum banyak kasus-kasus korupsi yang
terkuak berkat kemampuan akuntan forensik, namun akuntansi forensik
merupakan suatu pengembangan disiplin ilmu akuntansi yang masih
tergolong muda dan memiliki prospek yang sangat bagus dalam
pemecahan tindak pidana korupsi di Indonesia.

4.

Peran Akuntan Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi
Dalam memainkan perannya dalam mengungkap dan memberantas

tindak pidana korupsi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa


akuntansi forensik merupakan perpaduan antara akuntansi, audit dan
hukum,

maka

seorang

akuntan

forensik

dituntut

untuk

memiliki

pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai ketiga ilmu


tersebut, selain itu seorang akuntan forensik juga perlu dibekali dengan
kemampuan dan pemahaman mengenai perilaku manusia dan organisasi,
pengetahuan tentang aspek yang mendorong dilakukannya kecurangan
(rationalization),

pengeahuan

mengenai

alat

bukti,

pengetahuan

mengenai kriminologi serta viktimologi, dan yang terpenting seorang


akuntan forensik harus memiliki kemampuan untuk berpikir seperti
pencuri (think as a theft).
Kasus

korupsi

di

Indonesia

sudah

mengakar

sampai

begitu

dalamnya sehingga menjadi budaya, hal ini seharusnya menjadi peluang


bagi profesi akuntan forensik untuk menjadi lebih maju, dan memberikan
manfaat bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Akuntansi

forensik

bisa

menjadi

senjata

atau

alat

untuk

mempercepat pemberantasan korupsi, namun ruang gerak akuntansi


forensik

begitu terbatasi dengan peralatan dan kebebasan dalam

mengungkap suatu tindak korupsi.

Begitu cepatnya pertumbuhan korupsi tidak sebanding dengan


pemberantasan yang dilakukan, oleh karena itu pemerintah harus
membuka ruang gerak bagi akuntan forensik untuk masuk lebih jauh
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan terbukanya
ruang gerak bagi akuntan forensik, perlahan tapi pasti dapat menurunkan
tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia, bahkan tidak mustahil untuk
memberantas sampai ke akar dan mengubah budaya korupsi yang sudah
terpatri tersebut.

C. PENUTUP
Akuntansi forensik merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat
membantu

upaya

pemberantasan

tindak

pidana

korupsi,

namun

pemerintah perlu membuka ruang gerak bagi akuntan forensik untuk


masuk lebih jauh sehingga tidak sekedar api dipermukaan tapi harus
membakar hingga tuntas.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pasca Krisis Moneter 1997 yang meluluhlantakkan perekonomian dan menghancurkan rezim
orde baru yang berkuasa berimbas ke berbagai aspek dari ekonomi, politik, hukum dan tata
negara, Sistem perekonomian yang dibangun orde baru dengan kekuasaan sekelompok elit
politik dan didukung militer telah menampakkan kebobrokannya, dimana faktor kolusi,
korupsi dan nepotisme menjadi sebab utama mengapa negara ini tidak mampu bertahan dari
krisis bahkan dampaknya masih terasa hingga sekarang.
Reformasi yang dilakukan pemerintah setelah orde baru memberikan harapan akan adanya
perubahan dari sisi demokrasi kepempimpinan melalui pemilihan umum langsung dan
pemilihan kepala daerah, distribusi prekonomian dengan lebih merata dengan
diberlakukannya otonomi daerah maupun transparansi dan akuntabilitas pemerintah yaitu
dengan diberlakukannya Undang-Undang No 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan yang

bebas KKN, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, dan
Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Namun harapan tersebut seakan jauh panggang dari api, kasus korupsi di Indonesia seakan
semakin berkembang dengan metode baru yang lebih canggih. Pemberantasan korupsi
dilakukan selama ini kurang memberikan efek jera yang diharapkan timbul dari terpidananya
pelaku koruptor.
Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme seakan menjadi penyakit baru yang mewabah dari
tingkat Pemerintah Pusat sampai ke DPR yang menyebar luas ke tingkat daerah dari
pemimpin, penyelenggara pemerintahaan sampai DPRD yang seakan-akan berjamaah
menikmati kue yang selama ini tidak sampai ke piring mereka.
Namun apabila dilihat dari data-data yang ada, sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Usaha
pemberantasan korupsi di Indonesia sedikit demi sedikit telah memperbaiki citra Indonesia.
Indeks persepsi korupsi (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International
menunjukkan bahwa telah terjadi perbaikan signifikan selama kurun waktu 1998 2007
dimana skor CPI Indonesia meningkat dari 2,0 menjadi 2,3 . Ini berarti Indonesia telah
menempuh setengah jalan untuk menjadi negara yang kondusif untuk pemberantasan korupsi
(skor CPI 5,0). Persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah
menunjukkan tren perbaikan, sedikit banyak hal tersebut karena gebrakan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang gencar memburu koruptor.
Definisi korupsi dalam penelitian diatas berarti penyalahgunaan jabatan oleh pegawai negeri
dan kaum politisi untuk kepentingan pribadi, seperti penyuapan dalam proses pengadaan
barang dan jasa di pemerintahan dengan tidak membedakan korupsi yang bersifat
administratif, politis atau antara korupsi besar dan kecil-kecilan.
Kesimpulan yang bisa kita petik dari data-data diatas adalah ada titik terang dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia. Data-data tersebut menunjukkan hal yang berbeda dari
anggapan beberapa orang yang selalu pesimis dengan kemajuan pemberantasan korupsi di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Akuntansi Forensik
Forensik, menurut Merriam Websters Collegiate Dictionary (edisi ke 10) dapat diartikan
berkenaan dengan pengadialan atau berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah
pada masalah hukum. Oleh karena itu akuntasi forensik dapat diartikan penggunaaan ilmu
akuntansi untuk kepentingan hukum.
Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA),
mengatakan secara sederhana, akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk
tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama
proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif.
Bologna dan Liquist (1995) mendefinisikan akuntansi forensik sebagai aplikasi kecakapan
finansial dan sebuah mentalitas penyelidikan terhadap isu-isu yang tak terpecahkan, yang
dijalankan di dalam konteks rules of evidence. Sedangkan Hopwood, Leiner, & Young (2008)
mendefinisikan Akuntansi Forensik adalah aplikasi keterampilan investigasi dan analitik yang
bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah keuangan melalui cara-cara yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan atau hukum. Dengan demikian investigasi
dan analisis yang dilakukan harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan atau
hukum yang memiliki yurisdiksi yang kuat.
Hopwood, Leiner, & Young (2008), menyatakan bahwa Akuntan Forensik adalah Akuntan
yang menjalankan kegiatan evaluasi dan penyelidikan, dari hasil tersebut dapat digunakan di

dalam pengadilan hukum. Meskipun demikian Akuntan forensik juga mempraktekkan


keahlian khusus dalam bidang akuntansi, auditing, keuangan, metode-metode kuantitatif,
bidang-bidang tertentu dalam hukum, penelitian, dan keterampilan investigatif dalam
mengumpulkan bukti, menganalisis, dan mengevaluasi materi bukti dan menginterpretasi
serta mengkomunikasikan hasil dari temuan tersebut.
A. Tugas Akuntansi Forensik
Akuntan forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation).
Disamping tugas akuntan forensik untuk memberikan pendapat hukum dalam pengadilan
(litigation) ada juga peran akuntan forensik dalam bidang hukum diluar pengadilan (non
itigation) misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam
sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan /
pelanggaran kontrak.
Akuntansi forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan (investigative services) dan
jasa litigasi (litigation services). Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa penipuan
atau auditor penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi
mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan, dan misinterpretasi. Jenis layanan
kedua merepresentasikan kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi
forensik yang ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam
kasus perceraian. Sehingga, tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu tentang
pentingnya prosedur akuntansi forensik di dalam praktek audit dan kebutuhan akan adanya
spesialis forensik untuk membantu memecahkan masalah.
B. Keahlian Akuntansi Forensik
Harris & Brown (2000) bahwa Akuntan forensik mempelajari hal-hal yang positif bagi
perusahaan saat terjadi merger atau akuisisi dan memastikan bahwa seorang pembeli telah
memahami tentang situasi dan nilai keuangan perusahaan target. Akuntan forensik sering
memanfaatkan keahlian akuntansinya dalam litigasi. Selanjutnya, hasil penelitian tersebut
dibatasi pada pembahasan (a) penghitungan kerugian dalam kasus-kasus seperti cidera yang
diderita oleh seseorang, liabilitas produk, sengketa kontrak, dan kekayaan intelektual dan (b)
pengungkapan aset-aset yang tersembunyi dalam kasus hukum perkawinan yang kompleks.
Jenis-jenis jasa ini dapat meningkat pada saat akuntan forensik diundang untuk bertindak
sebagai saksi ahli (Durtschi, 2003; Messmer, 2004; Peterson & Reider, 2001; Ramasway,
2005). Dengan hal demikian Perusahaan menugaskan akuntan forensik untuk menjadi
pengawas dalam evaluasi terhadap transaksi bisnis yang potensial bagi perusahaan tersebut.
Akuntan forensik saat ini menggunakan keahlian yang unik dalam menjalankan tugas-tugas
seperti menentukan apakah sebuah perusahaan telah melakukan mis-interpretasi terhadap
catatan laporan keuangan, apakah telah terjadi fraud atas inventaris dan modal yang dimiliki
oleh perusahaan, dan apakah telah terjadi laporan keuangan yang berlebih-lebihan pada
sebuah perusahaan (Harris & Brown, 2000; Messmer, 2004). Dengan demikian keahlian
seorang akuntan forensik digunakan dalam menyelidiki fraud yang terjadi di perusahaan
maupun di pemerintahan
Brooks, Riley, & Thomas; Kahan (2005) dalam penelitiannya menggunakan informasi
keuangan dengan volume sangat besar dan kompleks, biasanya permasalahan ini akan
menyita sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan di dalam menyelidikinya. Oleh karena
itu banyak kejahatan yang sulit untuk diidentifikasi karena pelaku menjalankan aksinya
melalui serangkaian transaksi yang kompleks.
Lebih lanjut mengatakan bahwa data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan
terbongkar karena tip off dan ketidaksengajaan (accident). Agar dapat membongkar
terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang akuntan forensik harus mempunyai pengetahuan

dasar akuntansi dan audit yang kuat, pengenalan perilaku manusia dan organisasi (human dan
organization behaviour), pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan
(incentive, pressure, attitudes, rationalization, opportunities) pengetahuan tentang hukum dan
peraturan (standar bukti keuangan dan bukti hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan
viktimologi (profiling) pemahaman terhadap pengendalian internal, dan kemampuan berpikir
seperti pencuri (think as a theft).
Hopwood, Leiner, & Young (2008), menyatakan bahwa Akuntan forensik sebaiknya
menguasai keterampilan dalam banyak bidang. Beberapa akuntan forensik, sudah barang
tentu, mengkhususkan diri pada bidang-bidang tertentu seperti teknologi informasi. Akan
tetapi, semua akuntan forensik yang telah terlatih sekurang-kurangnya memiliki tingkat
pengetahuan dan keterampilan dalam bidang-bidang berikut ini:
1. Keterampilan auditing merupakan hal terpenting bagi akuntan forensik karena adanya sifat
pengumpulan-informasi dan verifikasi yang terdapat pada akuntansi forensik. Akuntan
forensik yang terampil harus mampu mengumpulkan dan mengkaji informasi apapun yang
relevan sehingga kasus-kasus yang mereka tangani akan didukung secara positif oleh pihak
pengadilan.
2. Pengetahuan dan keterampilan investigasi, misalnya taktik-taktik surveillance dan
keterampilan wawancara dan interogasi, membantu akuntan forensik untuk melangkah di luar
keterampilan mereka di dalam mengaudit aspek-aspek forensik baik aspek legal maupun
aspek finansial.
3. Kriminologi, khususnya studi psikologi tindak kejahatan, adalah penting bagi akuntan
forensik karena keterampilan investigasi yang efektif sering bergantung pada pengetahuan
tentang motif dan insentif yang dialami oleh perpetrator.
4. Pengetahuan akuntansi membantu akuntan forensik untuk menganalisis dan
menginterpretasi informasi keuangan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kasus di
dalam investigasi keuangan, apakah itu dalam kasus kebangkrutan, operasi pencucian uang,
atau skema-skema penyelewangan lainnya. Hal ini meliputi pengetahuan tentang
pengendalian internal yang baik seperti yang terkait dengan kepemimpinan perusahaan
(corporate governance).
5. Pengetahuan tentang hukum sangat penting untuk menentukan keberhasilan akuntan
forensik. Pengetahuan tentang prosedur hukum dan pengadilan mempermudah akuntan
forensik untuk mengidentifikasi jenis bukti yang diperlukan untuk memenuhi standar hukum
yurisdiksi di mana kasus akan dinilai dan menjaga bukti melalui cara-cara yang memenuhi
kriteria pengadilan.
6. Pengetahuan dan keterampilan bidang Teknologi informasi (TI) menjadi sarana yang
penting bagi akuntan forensik di tengah dunia yang dipenuhi oleh kejahatan-kejahatan dunia
maya. Pada taraf yang minimum, akuntan forensik harus mengetahui poin di mana mereka
harus menghubungi seorang ahli bidang piranti keras (hardware) atau piranti lunak (software)
komputer. Akuntan forensik menggunakan keterampilan teknologi untuk mengkarantina data,
ekstraksi data melalui penggalian data, mendesain dan menjalankan pengendalian atas
manipulasi data, menghimpun informasi database untuk perbandingan, dan menganalisis
data.
7. Keterampilan berkomunikasi juga dibutuhkan oleh akuntan forensik untuk memastikan
bahwa hasil penyelidikan/analisis mereka dapat dipahami secara benar dan jelas oleh
pengguna jasanya.
Ramaswamy (2005) mengungkapkan inti pengetahuan seorang akuntan forensik untuk
menjadi ahli akuntan forensik selalu memerlukan peningkatkan jumlah keahlian dan
kompetensi dalam menemukan penipuan. Berikut adalah terdapat beberapa keahlian yang
berguna untuk akuntan forensik:

1. Sebuah pengetahuan yang mendalam tentang laporan keuangan, dan kemampuan untuk
menganalisa kritis mereka. Keterampilan ini membantu akuntan forensik menemukan pola
abnormal dalam informasi akuntansi dan mengenali sumber mereka.
2. Sebuah ketelitian tentang pemahaman skema penipuan, namun tidak terbatas pada
pengelapan aset termasuk, pencucian uang, penyuapan dan korupsi.
3. Kemampuan untuk memahami sistem pengendalian internal perusahaan, dan untuk
membuat sebuah sistem kontrol yang menilai risiko, manajemen mencapai tujuan,
memberitahu karyawan mereka kontrol tanggung jawab, dan memantau kualitas program
sehingga koreksi dan perubahan dapat dibuat.
4. Keahlian di ilmu komputer dan sistem jaringan. Keterampilan ini membantu akuntan
forensik melakukan penyelidikan di era e-banking dan sistem komputerisasi akuntansi.
5. Pengetahuan tentang psikologi, dalam rangka untuk memahami impulses dibalik perilaku
kriminal dan menyiapkan program pencegahan penipuan yang mendorong dan memotivasi
karyawan.
6. Interpersonal dan kemampuan komunikasi, yang membantu dalam penyebaran informasi
tentang kebijakan etis perusahaan dan membantu akuntan forensik melakukan wawancara
dan diperlukan memperoleh informasi yang sangat penting.
7. Pengetahuan ketelitian dari kebijakan pemerintahan dan undang-undang yang mengatur
kebijakan perusahaan tersebut.
8. Perintah hukum pidana dan perdata, serta dari sistem hukum dan prosedur pengadilan.
James (2008) sebagai dasar penelitian dengan menggunakan 9 (sembilan) item kompentensi
keahlian akuntansi forensic yang digunakan dalam penilaian perbedaan persepsi dari pihak
Akademisi akuntansi, Praktisi akuntansi, dan pengguna jasa Akuntan forensik yaitu :
1. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah analisis deduktif: kemampuan
untuk menganalisis kejanggalan yang terjadi dalam laporan keuangan, yakni kejadian yang
tidak sesuai dengan kondisi yang wajar.
2. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pemikiran yang kritis:
kemampuan untuk membedakan antara opini dan fakta.
3. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pemecahan masalah yang
tidak terstruktur: kemampuan untuk melakukan pendekatan terhadap masing-masing situasi
(khususnya situasi yang tidak wajar) melalui pendekatan yang tidak terstruktur.
4. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah fleksibilitas penyidikan:
kemampuan untuk melakukan audit di luar ketentuan/prosedur yang berlaku.
5. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah keahlian analitik: kemampuan
untuk memeriksa apa yang seharusnya ada (yang seharusnya tersedia) bukan apa yang telah
ada (yang telah tersedia).
6. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah komunikasi lisan:
kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif secara lisan melalui kesaksian ahli dan
penjelasan umum tentang dasar-dasar opini.
7. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah komunikasi tertulis:
kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan tulisan melalui laporan, bagan,
gambar, dan jadwal tentang dasar-dasar opini.
8. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pengetahuan tentang hokum:
kemampuan untuk memahami proses-proses hokum dasar dan isu-isu hukum termasuk
ketentuan bukti (rules of evidence).
9. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah composure: kemampuan
untuk menjaga sikap untuk tetap tenang meskipun dalam situasi tertekan.

Dengan demikian (9) Sembilan kompetensi yang digunakan oleh penelitian tersebut diatas
bersumber dari penjabaran atau perluasan dari beberapa pengetahuan dan keterampilan yang
di ungkapkan Ramaswamy (2005) dan dalam buku karya Hopwood, Leiner, & Young (2008)
C. Mengapa perlu Akuntansi Forensik?
Mencoba menguak adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa (general audit atau
opinion audit) sama halnya mencoba mengikat kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat
yang lebih dalam dan handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak
penyelewengan lainnya di dalam Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu
metodologi audit yang handal adalah dengan metodologi yang dikenal sebagai Akuntansi
forensik ataupun Audit Forensik.
Akuntansi forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau mengungkap
motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka istilah
yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai dengan saat
ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam
pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi atau secara sederhana akuntansi
forensik menangani fraud khususnya dalam pengertian corruption dan missappropriation of
asset.
Profesi ini sebenarnya telah disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pasal 179 ayat (1) menyatakan:Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan. Orang sudah mahfum profesi dokter yang disebut dalam peraturan diatas
yang dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik, namun ahli lainnya yang dalam ini
termasuk juga akuntan belum banyak dikenal sebutannya sebagai akuntan forensik.
2.2 Penerapan Akuntansi Forensik di Indonesia
Bulan Oktober 1997 Indonesia telah menjajagi kemungkinan untuk meminjam dana dari IMF
dan World Bank untuk menangani krisis keuangan yang semakin parah. Sebagai prasayarat
pemberian bantuan, IMF dan World Bank mengharuskan adanya proses Agreed Upon Due
Dilligence (ADDP) yang dikerjakan oleh akuntan asing dibantu beberapa akuntan Indonesia.
Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel Bank Besar di Indonesia
menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset sebesar 28%-75% dan
understatement kewajiban sebesar 3%-33%. Temuan ini segera membuat panik pasar dan
pemerintah yang berujung pada likuidasi 16 bank swasta. Likuidasi tersebut kemudian diingat
menjadi langkah yang buruk karena menyebabkan adanya penarikan besar-besaran dana
(Rush) tabungan dan deposito di bank-bank swasta karena hancurnya kepercayaan publik
pada pembukuan perbankan. ADPP tersebut tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau
audit investigatif.
Istilah akuntansi forensik di Indonesia baru mencuat setelah keberhasilan Pricewaterhouse
Coopers (PwC) sebuah kantor Akuntan Besar dunia (The Big Four) dalam membongkar
kasus Bank Bali. PwC dengan software khususnya mampu menunjukkan arus dana yang
rumit berbentuk seperi diagram cahaya yang mencuat dari matahari (sunburst). Kemudian
PwC meringkasnya menjadi arus dana dari orang-orang tertentu. Sayangnya keberhasilan ini
tidak diikuti dengan keberhasilan sistem pengadilan.5 Metode yang digunakan dalam audit
tersebut adalah follow the money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank Bali dan in
depth interview yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan pengusaha yang
terlibat dalam kasus ini.
Kasus lainnya pada tahun 2006, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
mampu membuktikan kepada pengadilan bahwa Adrian Waworuntu terlibat dalam
penggelapan L/C BNI senilai Rp 1.3 Triliun, dengan menggunakan metode follow the money

yang mirip dengan metode PwC dalam kasus Bank Bali dalam kasus lain dengan metode
yang sama PPTK juga berhasil mengungkapkan beberapa transaksi ganjil 15 Pejabat
Kepolisian Kita yang memiliki saldo rekening Milyaran rupiah padahal penghasilan mereka
tidak sampai menghasilkan angka fantastis tersebut.
2.3 Peran BPK dalam Akuntansi Forensik
Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut membuat Badan
Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru dikerdilkan menjadi pulih, dengan
terbitnya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menegaskan
tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung
dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam
pemeriksaan Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti
BUMN dan BUMD skaligus penentu jumlah kerugian Negara.
Oleh karena itu BPK harus meredifinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya dan
meningkatkan kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara termasuk
didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan
mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta
mampu melaporkan fakta secara lengkap.
Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah dengan
menerapkan Akuntansi Forensik atau sebagian orang menyebutnya Audit Investigatif.
Sebenarnya BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara memiliki prestasi yang layak
diapresiasi dalam melakukan audit forensik, dengan melakukan audit investigasi terhadap
Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia maupun aliran Dana Bank Indonesia ke
sejumlah pejabat, dengan bantuan software khusus audit, BPK mampu mengungkap
penyimpangan BLBI sebesar Rp84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5
Trilyun yang berimbas terhadap beberapa mantan petinggi bank swasta nasional diadili
karena mengemplang BLBI, sedangkan kasus aliran Dana Bank Indonesia lebih heboh lagi
karena hasil audit investigasi BPK menunjukkan aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp127,5
Milyar ke Pejabat Bank Indonesia, Anggota DPR termasuk diantaranya sudah menjadi
Menteri Negara, kasus ini mencuat tajam sehingga Mantan Gubernur BI dan beberapa pejabat
yang terkait harus mendekam diterali besi ditemani koleganya para anggota DPR yang
menerima aliran dana tersebut, hal yang patut ditunggu adalah kelanjutan hasil pengadilan
yang menentukan siapa saja yang terlibat didalamnya.
Perbedaan Akuntansi Forensik dengan Akuntansi konvensional
Perbedaaan utama akuntansi forensik dengan akuntansi maupun audit konvensional lebih
terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis akuntansi tersebut tidak jauh
berbeda. Akuntasi forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions, oddities,
irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan (errors) dan
keteledoran (ommisions) seperti pada audit umum. Prosedur utama dalam akuntansi forensic
menekankan pada analytical review dan teknik wawancara mendalam (in depth interview)
walaupun seringkali masih juga menggunakan teknik audit umum seperti pengecekan fisik,
rekonsiliasi, konfirmasi dan lain sebagainya.
Akuntansi forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau
pengeluaran tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak
dalam atau orang ketiga (tip off) atau, petunjuk terjadinya kecurangan (red flags), petunjuk
lainnya. Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena tip
off dan ketidaksengajaan (accident).
Agar dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang akuntan forensik harus

mempunyai pengetahuan dasar akuntansi dan audit yang kuat, pengenalan perilaku manusia
dan organisasi (human dan organization behaviour), pengetahuan tentang aspek yang
mendorong terjadinya kecurangan (incentive, pressure, attitudes, rationalization,
opportunities) pengetahuan tentang hukum dan peraturan (standar bukti keuangan dan bukti
hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi (profiling) pemahaman terhadap
pengendalian internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (think as a theft).
2.4 Investigasi Audit dalam Akuntansi Forensik
Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya pembuktian, umumnya
pembuktian berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum acara yang berlaku di Indonesia
yaitu Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Analisis data yang tersedia, ciptakan/kembangkan hipotesis berdasar analisis, uji hipotesis
dan terakhir perhalus atau ubah hipotesis berdasar pengujian.
Di dalam audit investigasi, teknik audit bersifat eksploratif, mencari wilayah garapan atau
probing yang terdiri dari:
1. Memeriksa fisik (phisical examination) yaitu penghitungan uang tunai, kertas berharga,
persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya,
2. Meminta Konfirmasi (confirmation) dalam investigasi konfirmasi harus dikolaborasi
dengan sumber lain (substained),
3. Memeriksa dokumen (documentation) termasuk didalamnya dokumen digital,
4. Reviu analitikal (analytical review) tekhnik ini mengharuskan dasar atas perbandingan
yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi dan berusaha menjawab terjadinya
kesenjangan,
5. Meminta Informasi lisan atau tertulis dari yang diperiksa (inquiries of the auditee) hal
tersebut penting untuk pendukung permasalahan,
6. Menghitung Kembali (reperformance) tehknik ini dilakukan dengan mencek kebenaran
perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang dan lain-lain) untuk menjamin kebenaran angka,
7. Mengamati (observation) pengamatan ini lebih menggunakan intuisi auditor apakah
terdapat hal-hal lain yang disembunyikan.
2.5 Akuntansi forensik dan Penerapan Hukum
Istilah akuntansi forensik merupakan terjemahan dari forensic accounting. Pengertian
forensik, bermakna; (1) yang berkenaan dengan pengadilan, atau (2) berkenaan dengan
penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum. Yang paling sering kita dengar adalah
dokter forensik, yaitu dokter ahli patologi yang memeriksa jenazah untuk menentukan
penyebab dan waktu kematian. Banyak dari kita, yang telah mengenal istilah laboratorium
forensik (labfor) yang dimiliki oleh kepolisian.
Sebenarnya akuntan dan akuntansi forensik tidak sepenuhnya berkaitan dengan pengadilan
saja. Istilah pengadilan memberikan kesan bahwa akuntansi forensik semata-mata berperkara
di pengadilan, dan istilah lain ini disebut litigasi (litigation). Di samping proses litigasi ada
proses penyelesaian sengketa dimana jasa akuntan forensik juga dapat dipakai. Kegiatan ini
bersifat non litigasi. Misalnya penyelesaian sengketa lewat arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution.
Sebagai contoh: Sengketa antara PT Telkom dan PT Aria West International (AWI) melalui
proses yang berat dan memakan waktu hampir dua tahun, akhirnya diselesaikan melalui
akuisisi AWI oleh PT Telkom dalam tahun 2003. Dalam sengketa ini, AWI menggunakan
Pricewaterhouse Coopers (PwC) sebagai akuntan forensiknya, dan penyelesaian dilakukan di
luar pengadilan.
Larry Crumbley, editor in chief dari Journal of Forensic Accounting menulis: (terjemahan)

Secara sederhana dapat dikatakan, akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk
tujuan hukum. Artinya akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama
proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judisial atau administratif.
Dalam definisi Crumbley itu, tak menggunakan istilah pengadilan, tapi suatu proses sengketa
hukum, yang penyelesaian nya dapat dilakukan di luar pengadilan.
Bermacam-macam hal dapat memicu terjadinya sengketa. Sengketa antara dua pihak bisa
diselesaikan dengan cara berbeda, apabila menyangkut dua pihak. Pihak yang bersengketa
bisa menyelesaikan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sedang pihak lain
melalui litigasi. Dalam hal ini, penyelesaian adalah dengan cara hukum, tetapi yang pertama
diselesaikan di luar pengadilan, sedangkan yang satunya lagi melalui proses beracara di
pengadilan.
2.6 Akuntansi atau audit forensik?
Pada mulanya, di Amerika Serikat, akuntansi forensik digunakan untuk menentukan
pembagian warisan atau mengungkapkan motif pembunuhan. Misalnya pembunuhan isteri
oleh suami untuk mendapatkan hak waris atau klaim asuransi, atau pembunuhan mitra
dagang untuk menguasai perusahaan.
Bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan hukum, maka istilah yang dipakai
adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Sekarangpun kadar akuntansinya masih terlihat,
misalkan dalam perhitungan ganti rugi, baik dalam konteks keuangan Negara, maupun di
antara pihak-pihak dalam sengketa perdata. Akuntansi forensik pada awalnya adalah
perpaduan yang paling sederhana untuk akuntansi dan hukum. Contoh, penggunaan akuntan
forensik dalam penggantian harta gono gini. Disini terlihat unsur akuntansinya, unsur
menghitung besarnya harta yang akan diterima pihak (mantan) suami dan (mantan) isteri.
Segi hukumnya dapat diselesaikan di dalam atau di luar pengadilan, secara litigasi atau non
litigasi. Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang tambahan, yaitu bidang audit.
Akuntansi forensik sebenarnya telah dipraktekkan di Indonesia. Praktek ini tumbuh pesat, tak
lama setelah terjadi krisis keuangan tahun 1977. Akuntansi forensik dilaksanakan oleh
berbagai lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Bank Dunia (untuk proyek-proyek pinjamannya), dan
kantor-kantor akuntan publik (KAP) di Indonesia.
2.7 Kualitas akuntan forensik
Robert J. Lindquist membagikan kuestioner kepada staf Peat Marwick Lindquist Holmes,
tentang kualitas apa saja yang harus dimiliki seorang akuntan forensik?
Ternyata jawaban nya bervariasi, antara lain:
1. Kreatif. Kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis
yang normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu bukan merupakan
situasi bisnis yang normal
2. Rasa ingin tahu. Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian peristiwa dan situasi
3. Tak menyerah. Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolaholah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh
4. Akal sehat. Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang
menyebutnya, perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan
5. Business sense. Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan,
dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi di catat.
6. Percaya diri. Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan, sehingga dapat bertahan di
bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela)

Pada prakteknya, orang yang bekerja di lembaga keuangan, perlu memahami tentang
akuntansi forensik ini, untuk memahami apa yang ada di balik laporan keuangan debitur, apa
yang dibalik laporan hasil analisis yang disajikan. Hal ini tentu saja, dimaksudkan agar segala
sesuatu dapat dilakukan pendeteksian sejak dini, agar masalah tidak terlanjur melebar dan
sulit diatasi. Apabila anda sebagai pimpinan unit kerja, atau pimpinan perusahaan, yang
mengelola risiko, yang dapat mengakibatkan risiko finansial, mau tak mau anda harus
mengenal dan memahami akuntansi forensik ini, sehingga anda bisa segera mengetahui ada
yang tidak beres dalam analisa atau data-data yang disajikan.
Gambaran Akuntansi Forensik
Audit forensik merupakan salah satu bagian dari Spesial Audit. Audit forensik lebih tepat
digunakan jika sudah bersinggungan dengan bidang hukum. Sementara hasil audit dapat,
tetapi tidak harus, digunakan dalam proses pengadilan atau bentuk penyelesaian hukum
lainnya. Dalam penerapannya audit forensik memang banyak bersinggungan dengan hukum.
Pengungkapan kasus Bank Bali adalah contoh keberhasilan akuntansi forensik. Auditor PwC
berhasil menunjukkan aliran dana yang bersumber dari pencairan dana penjaminan Bank
Bali.
Mengingat audit forensik selalu bersinggungan dengan hukum, dalam pengumpulan bukti
audit seorang auditor forensik harus memahami masalah hukum pembuktian. Bukti yang
dikumpulkan harus dapat diterima di pengadilan. Cara perolehan bukti pun tidak boleh
melanggar hukum, karena dapat berakibat ditolaknya alat bukti tersebut. Oleh karena itu,
Prosedur audit harus sesuai dengan standar profesi, sekaligus hukum pidana, perdata, atau
produk hukum lainnya. Beban pembuktian dalam kasus fraud haruslah beyond reasonable
doubt atau melampaui keraguan yang layak.
Seorang auditor harus memiliki kemampuan yang unik. Disamping keahlian teknis, seorang
auditor forensik yang sukses mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari
berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, dan akurat, serta mampu melaporkan faktafakta itu secara akurat dan lengkap. Teknik wawancara, pengujian laporan keuangan,
pengumpulan bukti, pemahaman peraturan dan perundang-undangan yang terkait, serta
prosedur-prosedur lain yang diperlukan selama tidak melanggar kode etik auditor dan
undang-undang. Inilah yang disebut kemampuan unik. Tidak semua auditor memiliki
kemampuan investigatif layaknya detektif ataupun penyidik, tentu saja harus tetap dalam
koridor keuangan dan laporan keuangan. Auditor forensik adalah gabungan kemampuan
antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan investigator.
2.8 Peran Penting Audit Forensik
Dalam beberapa artikel dan literatur, pembahasan Audit forensik lebih mengarah kepada
kasus pembuktian penyimpangan keuangan atau korupsi. Akan tetapi, tidak menutup
kemungkinan, audit forensik diperlukan untuk pembuktian pada kasus-kasus penipuan.
Objek audit forensik adalah informasi keuangan yang mungkin (diduga) mengandung unsur
penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud bisa berupa tindakan merugikan keuangan
perusahaan, seseorang, atau bahkan negara. Temuan audit dari hasil pemeriksaan ini bisa
dijadikan salah satu alat bukti bagi penyidik, pengacara, atau jaksa untuk memutuskan suatu
kasus hukum perdata. Tidak menutup kemungkinan hasil audit juga akan memberikan bukti
baru untuk tindakan yang menyangkut hukum pidana, seperti penipuan.
Dalam kasus semacam ini, auditor dituntut harus benar-benar independen. Meskipun
penugasan audit diberikan oleh salah satu pihak yang bersengketa, independensi auditor harus
tetap dijaga. Auditor tidak boleh memihak pada siapa-siapa. Setiap langkah, kertas kerja,
prosedur, dan pernyataan auditor adalah alat bukti yang menghasilkan konskuensi hukum
pada pihak yang bersengketa.

BAB III
KESIMPULAN
Akuntan Forensik adalah Akuntan yang menjalankan kegiatan evaluasi dan penyelidikan, dari
hasil tersebut dapat digunakan di dalam pengadilan hukum. Meskipun demikian Akuntan
forensik juga mempraktekkan keahlian khusus dalam bidang akuntansi, auditing, keuangan,
metode-metode kuantitatif, bidang-bidang tertentu dalam hukum, penelitian, dan
keterampilan investigatif dalam mengumpulkan bukti, menganalisis, dan mengevaluasi
materi bukti dan menginterpretasi serta mengkomunikasikan hasil dari temuan tersebut.
Akuntan forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation), dan
juga bisa berperan dalam bidang hukum diluar pengadilan (non litigation). misalnya dalam
membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan
perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan / pelanggaran kontrak.
Akuntansi Forensik adalah aplikasi keterampilan investigasi dan analitik yang bertujuan
untuk memecahkan masalah-masalah keuangan melalui cara-cara yang sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh pengadilan atau hukum. Dengan demikian investigasi dan analisis yang
dilakukan harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan atau hukum yang
memiliki yurisdiksi yang kuat.
Keterampilan yang diperlukan seorang akuntan forensic menurut Hopwood, Leiner, & Young
1. Keterampilan auditing
2. Pengetahuan dan keterampilan investigasi
3. Kriminologi
4. Pengetahuan akuntansi
5. Pengetahuan tentang hukum
6. Pengetahuan dan keterampilan bidang Teknologi informasi (TI)
7. Keterampilan berkomunikasi

Anda mungkin juga menyukai