Anda di halaman 1dari 12

KASUS MANAJEMEN

LABA PT INDOFARMA Tbk


Pada umumnya setiap
perusahaan selalu berusaha
untuk memaksimumkan
keuntungan yang
diperolehnya. Berbagai strategi
diterapkan guna mencapai
tujuan tersebut.
Perusahaan akan selalu
menjaga agar kinerjanya
terlihat baik di mata para
stakeholdernya.
Namun pada kenyataannya,
perusahaan seringkali
dihadapkan pada berbagai
kendala yang
bisa menyebabkan penurunan
kinerja bahkan kesulitan
keuangan hingga akhirnya
bangkrut.
Dan tentu saja perusahaan
akan berusaha untuk menutupi
kondisi tidak sehat tersebut
dari
para stakeholdernya. Salah
satunya adalah dengan cara
earning management
(manajemen
laba). Laba diatur
sedemikian rupa supaya
sesuai dengan tujuan
perusahaan. Salah satu
contohnya adalah pada PT
Indofarma Tbk
KASUS MANAJEMEN LABA PT INDOFARMA Tbk

Pada umumnya setiap perusahaan selalu berusaha untuk memaksimumkan keuntungan yang
diperolehnya. Berbagai strategi diterapkan guna mencapai tujuan tersebut. Perusahaan akan selalu
menjaga agar kinerjanya terlihat baik di mata para stakeholdernya. Namun pada kenyataannya,
perusahaan seringkali dihadapkan pada berbagai kendala yang bisa menyebabkan penurunan kinerja
bahkan kesulitan keuangan hingga akhirnya bangkrut. Dan tentu saja perusahaan akan berusaha
untuk menutupi kondisi tidak sehat tersebut dari para stakeholdernya. Salah satunya adalah dengan
cara earning management (manajemen laba). Laba diatur sedemikian rupa supaya sesuai
dengan tujuan perusahaan. Salah satu contohnya adalah pada PT Indofarma Tbk.

Cikal bakal PT. Indofarma


dimulai pada saat didirikannya
yaitu pada tahun 1918,
dimulai dari pabrik kecil
dengan fasilitas terbatas yang
hanya dapat memproduksi
beberapa
jenis salep dan kasa pembalut,
untuk memenuhi kebutuhan
Rumah Sakit Pusat Pemerintah
Belanda. Seiring dengan
bertambahnya fasilitas
produksi untuk tablet dan
injeksi, pabrik
kecil ini mulai dikenal dengan
nama Pabrik Obat Manggarai.
Pada tahun 1979, Pabrik Obat
Manggarai berubah status
menjadi Pusat Produksi
Farmasi Departemen
Kesehatan Republik
Indonesia dimana bertugas
untuk memproduksi obat untuk
pemerintah. Yang kemudian
pada
tahun 1981, Pusat Produksi
Farmasi Departemen
Kesehatan Republik
Indonesia berubah
status menjadi Perusahaan
Umum Indonesia Farma
(disingkat Perum
Indofarma).
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik
Indonesia (PP) No. 34 tahun
1995, Perusahaan
Umum Indonesia Farma
berubah status menjadi PT.
Indofarma (Persero). Pada
tahun 2001,
PT. Indofarma (Persero)
berubah status menjadi
perusahaan terbuka dengan
nama PT.
Indofarma (Persero) Tbk,
dengan melakukan penawaran
saham perdana sebesar 20%
kepada
masyarakat dan mencatatkan
seluruh saham Perseroan di
Bursa Efek Jakarta dan Bursa
Efek
Surabaya dengan kode saham
INAF
Cikal bakal PT. Indofarma dimulai pada saat didirikannya yaitu pada tahun 1918, dimulai dari pabrik
kecil dengan fasilitas terbatas yang hanya dapat memproduksi beberapa jenis salep dan kasa
pembalut, untuk memenuhi kebutuhan Rumah Sakit Pusat Pemerintah Belanda. Seiring dengan
bertambahnya fasilitas produksi untuk tablet dan injeksi, pabrik kecil ini mulai dikenal dengan
nama Pabrik Obat Manggarai. Pada tahun 1979, Pabrik Obat Manggarai berubah status menjadi
Pusat Produksi Farmasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana bertugas untuk
memproduksi obat untuk pemerintah. Yang kemudian pada tahun 1981, Pusat Produksi Farmasi
Departemen Kesehatan Republik Indonesia berubah status menjadi Perusahaan Umum
Indonesia Farma (disingkat Perum Indofarma). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia (PP) No. 34 tahun 1995, Perusahaan Umum Indonesia Farma berubah status menjadi PT.
Indofarma (Persero). Pada tahun 2001, PT. Indofarma (Persero) berubah status menjadi
perusahaan terbuka dengan nama PT. Indofarma (Persero) Tbk, dengan melakukan penawaran
saham perdana sebesar 20% kepada masyarakat dan mencatatkan seluruh saham Perseroan di Bursa
Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan kode saham INAF.

Kasus ini bermula dari adanya penelaahan Bapepam mengenai dugaan adanya pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal terutama berkaitan dengan penyajian
laporan keuangan yang dilakukan PT Indofarma Tbk. Dari hasil penelitian, Bapepam
menemukan bukti-bukti di antaranya, nilai Barang Dalam Proses dinilai lebih tinggi dai nilai yang
seharusnya (overstated) dalam penyajian nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku
2001 sebesar Rp 28,87 miliar. Akibatnya harga Pokok Penjualan mengalami understated dan laba
bersih mengalami overstated dengan nilai yang sama. Bapepam menilai ada ketidaksesuaian

2 huruf
penyampaian laporan keuangan dengan pasal 69 UU Pasar Modal, angka

a Peraturan Bapepam
Nomor VIII.G.7, Pedoman
Standar Akuntan Publik.
Dan
selanjutnya sanksi administrasi
diberikan berdasarkan pasal 5
huruf n UU No 8 tahun 1995
tentang pasar modal jo
Pasal 64 Peraturan
Pemerintah No 12 tahun
2004 tentang
penyelenggaraan kegiatan di
pasar modal
Bapepam mendenda mantan
Direksi Indofarma sebesar
Rp 500 Juta. Bapepam
memutuskan memberi sanksi
administratif berupa denda
sebesar Rp 500 juta kepada
direksi
PT Indofarma Tbk yang
menjabat pada periode
terbitnya laporan keuangan
tahun 2001.
Selain itu kepada Direksi PT
Indofarma juga diperintahkan
3 hal. Pertama, segera
membenahi
dan menyusun sistem
pengendalian internal dan
sistem akuntansi perusahaan
yang memadai
untuk menghindari
timbulnya permasalahan
yang sama di kemudian
hari. Kedua,
menyampaikan laporan
perkembangan atas
pembenahan dan
penyusunan sistem
pengendalian internal dan
sistem akuntansi perseroan
secara berkala setiap akhir
bulan
kepada Bapepam. Dan ketiga,
menunjukan akuntan publik
yang terdaftar di Bapepam
untuk
melakukan audit khusus untuk
melakukan penilaian atas
sistem pengendalian internal
dan
sistem akuntansi bula
perseroan telah selesai
melakukan pembenahan dan
penyusuan sistem
pengendalian internal dan
sistem akuntansi perusahaan
Bapepam mendenda mantan Direksi Indofarma sebesar Rp 500 Juta. Bapepam
memutuskan memberi sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 500 juta kepada direksi PT
Indofarma Tbk yang menjabat pada periode terbitnya laporan keuangan tahun 2001. Selain itu
kepada Direksi PT Indofarma juga diperintahkan 3 hal. Pertama, segera membenahi dan menyusun
sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan yang memadai untuk menghindari
timbulnya permasalahan yang sama di kemudian hari. Kedua, menyampaikan laporan
perkembangan atas pembenahan dan penyusunan sistem pengendalian internal dan sistem
akuntansi perseroan secara berkala setiap akhir bulan kepada Bapepam. Dan ketiga,
menunjukan akuntan publik yang terdaftar di Bapepam untuk melakukan audit khusus untuk
melakukan penilaian atas sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi bula perseroan telah
selesai melakukan pembenahan dan penyusuan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi
perusahaan.

Analisis bisnis Farmasi BNI sekuritas menambahkan bahwa penjualan Indofarma sepanjang
tahun 2002 cuma naik 12 persen, sementara ongkos produksi membengkak 82 persen dan biaya
pemasaran naik 41 persen. Setelah menelusurinya lebih mendalam, terlihat bahwa pembengkakan
biaya terjadi pada Indofarma Global Medika, anak perusahaan Indofarma yang
mendistribusikan produk perusahaan induknya. bahwa selama sembilan bulan pertama 2002,
beban usaha di anak perusahaan mencapai Rp 39 miliar. Tapi, dalam tiga bulan terakhir, beban
usahanya mencapai Rp 31 miliar. Data perusahaan belum diaudit menunjukkan bahwa selama
sembilan bulan pertama 2002, beban usaha di anak perusahaan mencapai Rp 39 miliar. Tapi, dalam
tiga bulan terakhir, beban usahanya mencapai Rp 31 miliar. Serta terdapat kesalahan
pencatatan stok di Indofarma Global. Kesalahan ini kemudian menyebabkan Indofarma
juga keliru menerapkan strategi pemasaran. Sialnya, Indofarma hanya melakukan
pengecekan stok setahun sekali sehingga mengakibatkan terdapat selisih pencatatan sampai Rp
57 miliar.

Diperkirakan kerugian
menjadi dua kali lipat dan
penyebab utamanya adalah
perbedaan estimasi nilai nyata
dari inventory. Manajemen
baru berpendapat bahwa
inventory
yang ada merupakan slow
moving inventory dan nilainya
sudah jauh lebih kecil dari
yang
dibukukan. Sehingga
diperlukan penghapusan nilai
buku agar mencerminkan
keadaan yang
Diperkirakan kerugian menjadi dua kali lipat dan penyebab utamanya adalah perbedaan
estimasi nilai nyata dari inventory. Manajemen baru berpendapat bahwa inventory yang ada
merupakan slow moving inventory dan nilainya sudah jauh lebih kecil dari yang dibukukan. Sehingga
diperlukan penghapusan nilai buku agar mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Manajemen lama
Indofarma menganggap slow moving inventory tetap bernilai sama dengan nilai bukunya.

Estimasi dan kebijakan manajemen tentang besaran biaya atau pendapatan pada hal-hal tertentu
memang diijinkan oleh prinsip akuntansi. Meskipun efeknya jelas yaitu berbedanya biaya
atau pendapatan yang dilaporkan. Manajemen yang konservatif akan berusaha
mengantisipasi biaya yang akan terjadi dengan melakukan pencadangan yang cukup.
Akibatnya laba yang dilaporkan pada tahun berjalan relatif lebih kecil. Sebaliknya, pencadangan yang
minimum akan menghasilkan laba lebih besar. Pada kasus Indofarma, hanya manajemen lama yang
tahu kualitas dari inventory tadi. Sehingga hanya mereka yang dapat melakukan estimasi apakah
patut dihapuskan atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai