Anda di halaman 1dari 4

VALUASI START-UP YANG MENGANDALKAN INTANGIBLE ASSET

Oleh :
Aliza Pravitasari Putri
Latar Belakang
Perusahaan Start-up istilah yang sudah tidak asing lagi, berasal dari Bahasa Inggris yang
merujuk pada pengertian semua perusahaan yang belum lama beroperasi atau perusahaan rintisan.
Walaupun memiliki arti sebuah perusahaan yang belum lapa beroperasi, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan start-up ini berkembang dengan sangat pesat.
Istilah Unicorn dalam dunia start-up ini pun menjadi sebuah ciri seberapa besar perusahaan
tersebut. Dilansir dari CNN Indonesia istilah unicorn di dunia start-up pertama kali diperkenalkan
oleh pemodal kapital Aileen Lee pada tahun 2013. Lee menggunakan istilah unicorn untuk
mendefinisikan perusahaan teknologi yang dinilai memiliki ide dan solusi tak biasa dengan valuasi
lebih dari US$1 miliar. Pemaparan dari Kompas Tekno sebagaimana dirangkum dari daftar
startup Unicorn dunia pada "The Global Unicorn Club", yang dirilis oleh Lembaga riset AS, CB
Insight mengatakan bahwa Tokopedia tercatat nilai valuasinya sebesar 7 miliar dollar AS, disusul
oleh Ovo yang memiliki nilai valuasi 2,9 miliar dollar AS, dilanjut oleh Bukalapak yang memiliki
valuasi sebesar 2,5 miliar dollar AS, dan di urutan keempat ada Traveloka yang menyentuh angka
2 miliar dollar AS, itulah perusahaan start-up yang menduduki empat puncak tertinggi.
Setelah kemunculan start-up unicorn ternyata masih ada level di atas unicorn itu sendiri
yaitu decacorn, dikutip dari Wikipedia bahwa decacorn adalah sebutan untuk perusahaan start-up
yang nilainya lebih dari $10 miliar. Valuasi Gojek yang kini setara Rp142 triliun (kurs Rp14.200
per dolar AS) tersebut bernilai 14 kali lipat dibanding kapitalisasi pasar maskapai penerbangan
Garuda Indonesia yang berada di angka Rp11,07 triliun. Bagaimana bisa valuasi Gojek lebh besar
dibandingkan Garuda Indonesia yang memiliki asset 142 armada dan asset senilai USD 4,5 miliar?
Padahal, Gojek hanya 'memanfaatkan' kendaraan bermotor milik mitra pengemudi dalam
menjalankan bisnisnya.
Permasalahan
Melakukan bisnis di era digital saat ini harus siap bersaing dengan perusahaan start-up
ynag tidak jarang perusahaan tersebut melejit jauh dibandingkan dengan perusahaan yang sudah
ada yang dimana perusahaan start-up ini jarang sekali yang memiliki nilai asset yang terlihat
dibandingkan dengan perusahaan biasa yang nilai assetnya sudah jelas-jelas bisa dilihat dan
diukur.
Dilansir dalam tirto.id Akademisi dan Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali
menjelaskan, valuasi Gojek yang lebih besar karena analisis bisnis di era digital saat ini sudah
berubah. Menurutnya, era digital banyak melahirkan teori maupun metode bisnis baru yang tidak
relevan dengan sebelumnya. Dengan demikian, analisis bisnis pun berubah. Kini terdapat pula aset
baru berupa intangible asset atau aset tidak berwujud. Aset tidak berwujud ini merupakan aset
yang tidak bisa diukur dan dicatat pada balance sheet akuntasi laporan keuangan perusahaan.
Aset ini berbeda dengan aset berwujud atau tangible assetyang biasa menjadi jaminan
pinjaman perbankan untuk mendapat suntikan modal. Intangible asset menurut Rhenald, tidak
bisa dijamin oleh perbankan, melainkan melekat pada diri seseorang seperti keterampilan, ide,
inovasi, pengetahuan, dan brain image. Meski tidak bisa dicatatkan menggunakan metode
akuntansi, aset tidak berwujud ini banyak digunakan oleh milenial dalam membangun bisnis di era
digital.
Ketika perusahaan digital menjadi lebih menonjol dalam perekonomian, dan perusahaan
fisik menjadi lebih digital dalam operasi mereka, laporan laba rugi juga menjadi kurang berarti
dalam keputusan investor. Dalam penelitian lain, mereka menunjukkan bahwa pendapatan hanya
menjelaskan 2,4% variasi dalam pengembalian saham untuk perusahaan abad ke-21 yang berarti
bahwa hampir 98% variasi dalam pengembalian saham tahunan perusahaan tidak dijelaskan oleh
pendapatan tahunan mereka.
Penting untuk dicatat bahwa perusahaan seperti perusahaan layanan profesional juga
dibangun di atas aset tidak berwujud seperti modal manusia. Tetapi tantangan akuntansi untuk
perusahaan digital modern lebih parah, karena mereka semakin meningkatkan skala platform
berbasis ide mereka.
Valuasi Start-up
Valuasi perusahaan pada dasarnya dilaksanakan dengan menggunakan serangkaian analisis
atas angka-angka laporan keuangan dengan menggunakan template tertentu. Namun, valuasi
perusahaan menjadi tidak sesederhana lagi, berubah menjadi seni ketika perusahaan, industri,
keadaan ekonomi dan teknologi informasi yang memengaruhinya berubah (Damodaran, 2010).
Dua orang yang berbeda, sangat mungkin menghasilkan penilaian yang berbeda dengan data
keuangan yang sama.
Valuasi bisnis untuk bisnis digital adalah menentukan fair market value atau nilai wajar
asset (Chalfin, 2006 & Damodaran, 2010). Fair market value didefinisikan sebagai harga di mana
aset akan berpindah kepemilikan antara pembeli yang bersedia dan penjual yang bersedia (tanpa
ada paksaan) dan kedua pihak memiliki informasi yang memadai atas semua hal relevan yang
mempengaruhi bisnis. Kondisi ‘tanpa ada paksaan’ menjadi penting karena keadaan dan tentu saja
nilai suatu bisnis dapat berubah jika kondisinya berubah. Misalnya karyawan kunci yang tidak
senang dengan akusisi dan akan keluar setelah akuisisi tentu akan mengubah nilai perusahaan
tersebut. Demikian juga kondisi dimana pembeli yang merasa terdorong untuk membeli bisnis
tertentu karena alasan memenangkan persaingan dalam waktu yang sangat singkat. Kondisi lain
yang penting adalah persyaratan bahwa kedua belah pihak memiliki pengetahuan yang wajar
tentang semua fakta yang sebenarnya, sehingga tidak ada satu pihak yang memiliki pengetahuan
yang superior.
Disamping penentuan fair market value, faktor-faktor yang memengaruhi proses valuasi
bisnis: (1) sifat bisnis perusahaan (apakah bisnis tersebut dipandang sebagai pemimpin pasar atau
bukan, inovator atau pengikut, dan tingkat kepuasan pelanggan atas bisnis tersebut); (2) kondisi
keuangan perusahaan (kinerja perusahaan yang pada umumnya meliputi pengukuran laba, nilai
buku dan pendapatan perusahaan); (3) kondisi dan prospek perusahaan di industrinya; (4) risiko
yang dihadapi perusahaan; (5) kapasitas penghasilan perusahaan (pada start-up bisnis yang
umumnya belum membukukan keuntungan di awal pendiriannya, dapat digantikan dengan
proyeksi atas penghasilan perusahaan) ; (6) kapasitas pembayaran dividen (tren pembayaran
dividen, juga apakah bisnis tersebut dapat membagikan keuntungan kepada para pemiliknya); dan
(7) harga pasar saham perusahaan yang bergerak dalam bidang yang serupa.
Valuasi tradisional melakukan analisis atas kinerja perusahaan yang pada umumnya
meliputi pengukuran laba, nilai buku dan pendapatan perusahaan. Namun, untuk start-up business,
hal ini dapat menimbulkan masalah karena minimnya data untuk melakukan analisis tren. Di
samping itu, keterbatasan laporan keuangan yang dihasilkan oleh start-up business juga menjadi
tantangan tersendiri dalam melakukan valuasi bisnis. Seringkali akhirnya, valuasi bisnis hanya
dilakukan pada “top line” (pendapatan) dan “bottom line” (laba, pada umumnya laba modal) saja
(Damodaran, 2010).
Alternatif proses valuasi bisnis digital adalah dengan menentukan value para penggunanya
dan hubungan dengan penggunanya (Gneiser, Heidemann, Klier, Landherr, & Probst, 2012).
Valuasi perusahaan yang diusulkan adalah dengan menciptakan model ekonomi menggunakan
beberapa parameter, yaitu: (1) estimasi jumlah anggota, dengan memperhatikan bahwa setiap
anggota dalam suatu bisnis digital merupakan sumber kas masuk atau potensi sumber kas masuk;
(2) estimasi tingkat retensi individu, yang diukur melalui seberapa persen anggota yang masih
tetap dapat bertahan menjadi anggota setiap tahun; (3) estimasi arus kas, yang mengukur estimasi
arus kas masuk dari setiap anggota; dan (4) estimasi tingkat potongan, yang dihitung untuk
menentukan potongan-potongan dari pendapatan yang ada, seperti misalnya potongan pajak.
Meskipun tidak terdapat data laporan keuangan bisnis digital yang tidak menjual sahamnya
kepada publik, valuasi bisnis digital dapat diestimasi dengan pendekatan Gneiser dkk berdasarkan
data yang dikumpulkan dari berbagai sumber di internet. Start-up business yang akan digunakan
sebagai contoh kasus adalah Go-JEK. Go-JEK adalah start-up business yang didirikan di tahun
2010 yang awalnya bergerak transportasi roda dua melalui panggilan telepon, dan sekarang
menjadi on-demand mobile platform yang bergerak di bidang transportasi, logistik, pembayaran,
layan-antar makanan, dan berbagai layanan on-demand lainnnya (GOJEK, 2018). Presiden GO-
JEK Indonesia menyatakan bahwa per akhir Mei 2018, pengguna aktif GO-JEK adalah 2,2 juta
orang (Fitriani, 2018), dengan jumlah pengemudi mencapai 1 juta orang. Dengan estimasi rata-
rata setoran pengemudi per bulan Rp. 1.010.000, maka dari transportasi online saja, pendapatan
GO-JEK mencapai Rp. 1 triliun perbulan. Jika diperkirakan bisnis ini akan tetap pada posisi seperti
ini dalam 3 tahun mendatang, maka present value dari bisnis ini adalah Rp. 23 triliun. Sedangkan
dari kerjasama dengan mitra UMKM, jika diestimasi rata-rata pendapatan dari mitra UMKM
adalah Rp. 870.000 per bulan (Wisana, et al., 2018) dan jumlah mitra UMKM adalah 120.000,
maka present value bisnis ini adalah Rp. 714 miliar. Selain kedua bisnis tersebut, masih ada saldo
pengguna yang tersimpan di GO-JEK. Jika 50% pengguna aktif memiliki saldo di GO-JEK
(Andreas, 2017) dan rata-rata saldo mengendap adalah Rp. 100.000, dengan bunga 6% per tahun,
maka present value dari bisnis ini adalah Rp. 18 triliun. Dari ketiga bisnis tersebut, dengan asumsi
diharapkan penerimaan hanya 3 tahun saja, estimasi valuasi GO-JEK dengan pendekatan Gneiser
dkk. adalah sekitar Rp 52 triliun. Angka ini sesuai dengan taksiran dari BBC, yaitu Rp. 53 triliun
(Amindoni, 2018).

Anda mungkin juga menyukai