Anda di halaman 1dari 5

Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

1. Kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat


Januari 2022, penjara atau kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Sumatera
Utara, Terbit Rencana Peranginangin, terungkap.
Kerangkeng tersebut ditemukan saat Sang Bupati terjaring operasi tangkap tangan
(OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atas temuan ini, polisi pun mendatangi lokasi dan mendapatkan informasi bahwa
kerangkeng manusia itu merupakan tempat rehabilitasi narkotika. Akan tetapi,
belum ada izin sebagai tempat rehabilitasi narkoba di rumah tersebut.
Komnas HAM yang juga melakukan penyelidikan menemukan minimal 26 bentuk
penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap para
penghuni kerangkeng.
Beberapa di antara penghuni dipukuli, ditendang, disuruh bergelantungan di
kerangkeng seperti monyet, dicambuk anggota tubuhnya dengan selang, dan
lainnya.
Hasil investigasi Komnas HAM menunjukkan pula keterlibatan oknum TNI-Polri
dalam tindak penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat
para penghuni kerangkeng.
Selama didirikan sejak 2012, ada enam orang yang meninggal di dalam kerangkeng
tersebut.

Terdapat delapan tersangka yang diadili. Satu di antaranya merupakan anak kandung
dari Bupati Terbit berinisial DP.

Empat tersangka, yaitu DP, HS, HG, dan IS didakwa dengan pasal penganiayaan yang
menyebabkan kematian terhadap korban. Sementara SP, JS,RG, dan TS didakwa
dengan tindak pindana perdagangan orang.

Dalam kasus ‘Kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat’ telah melanggar


PASAL 28 G ayat 1-2 yang berbunyi

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,


kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta
atas rasa aman dan perlindungan darim ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau


perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari Negara lain”.

hukuman maksimal 15 tahun penjara,


2. Kekerasan aparat di Wadas

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga terjadi di
desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, pada 8 Februari 2022.
Kericuhan berujung kekerasan oleh polisi ini terjadi dalam proses pengukuran lahan
warga untuk penambangan batu andesit di desa tersebut. Batu andesit diperlukan
untuk proyek pembangunan Bendungan Bener di wilayah tersebut.
Sebagian warga setuju membebaskan lahan mereka. Namun, sebagian lainnya
menolak karena khawatir penambangan batu andesit berakibat pada rusaknya
sumber mata air Wadas. Dalam kericuhan ini, Komnas HAM menemukan bahwa
sejumlah warga ditendang dan dan dipukul. Tak hanya itu, puluhan warga juga
ditangkap dan ditahan polisi.

Akibat kejadian tersebut, warga pun mengalami trauma. Pasca kejadian, beberapa
orang bahkan tidak berani pulang ke rumah dan bersembunyi di hutan karena
ketakutan.
Dalam kasus ‘Kekerasan aparat di Wadas’ telah melanggar PASAL 28 H ayat 1 yang
berbunyi

“Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,


dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan” .

3. Penyiksaan oleh Polri-TNI

Berdasarkan data Kontras, selama periode Juni 2021–Mei 2022, setidaknya terdapat
50 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia.

Tidak menutup kemungkinan, jumlah kasus riil di lapangan lebih besar dari temuan
Kontras.

Berdasarkan 50 kasus penyiksaan yang tercatat oleh Kontras tersebut, kepolisian


masih menjadi aktor utama dalam kasus-kasus penyiksaan, yakni sebanyak 31 kasus,
dilanjutkan dengan TNI dengan 13 kasus dan sipir sebanyak 6 kasus.

Adapun sejumlah kasus penyiksaan tersebut telah menimbulkan sebanyak 144


korban dengan rincian 126 korban luka-luka dan 18 tewas.

Salah satu yang menarik perhatian publik adalah kasus dugaan penyiksaan yang
menyebabkan matinya Freddy Nicolaus Siagian. Ia merupakan tahanan
Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Selatan yang tewas pada 13 Januari 2022.

Komnas HAM menemukan indikasi kuat pelanggaran HAM berupa hak untuk hidup,
terbebas dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, penghukuman yang kejam dan
merendahkan martabat, hak untuk memperoleh keadilan, serta hak atas kesehatan.

Freddy diduga mengalami serangkaian tindak kekerasan yang begitu keji yang
menyebabkan sejumlah luka yang membekas pada tubuhnya.
Selain itu, Komnas HAM juga menyebutkan telah terjadi tindak pemerasan yang
dilakukan oknum polisi.

Dalam kasus ‘Penyiksaan oleh Polri-TNI’ telah melanggar PASAL 28 G ayat 1-2 yang
berbunyi

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,


kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta
atas rasa aman dan perlindungan darim ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau


perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari Negara lain”.

4. Kasus multilasi empat warga sipil di Mimika

emuan potongan jenazah dari empat orang korban di Mimika, Papua,


menghebohkan masyarakat pada akhir Agustus 2022.

Dari penyelidikan, pelaku mutilasi merupakan enam prajurit TNI dan empat warga
sipil. Para pelaku diduga memiliki bisnis bersama sebagai pengepul solar.

Komnas HAM menyatakan tindakan para pelaku telah melukai nurani dan
merendahkan martabat manusia. Berdasarkan temuan awal, Komnas HAM
menyatakan pembuhan tersebut sebagai pembunuhan berencana. Selain itu,
Komnas HAM juga menemukan adanya senjata rakitan yang dimiliki oleh salah satu
pelaku dari unsur TNI.

Atas temuan ini, Komnas HAM meminta Panglima TNI Jenderal Andhika Perkasa
untuk memecat enam prajurit TNI yang terlibat.

Dua dari enam tersangka merupakan seorang perwira infanteri berinisial Mayor Inf
HF dan Kapten Inf DK. Sementara sisanya berinisial Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC
dan Pratu R.

Sedangkan, empat tersangka dari kalangan sipil yakni APL alias J, DU, R, dan RMH.

Dalam kasus ‘Kasus multilasi empat warga sipil di Mimika’ telah melanggar PASAL
28 A yang berbunyi

“Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

5. Penembakan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo

penembakan Brigadir J atau Nofriansyah Yoshua Hutabarat pada 8 Juli 2022 menjadi
kasus yang menarik perhatian publik akhir-akhir ini.
Hal ini dikarenakan penembakan tersebut dilakukan oleh atasannya, Irjen Ferdy
Sambo, di rumah dinas Ferdy di Kompleks Rumah Dinas Polri, Jalan Duren Tiga Utara,
Jakarta Selatan.
Kasus ini semakin menarik perhatian karena adanya rekayasa skenario yang dibuat
oleh Ferdy Sambo.

Berdasarkan penyelidikan, Komnas HAM menyatakan Sambo telah melakukan


pelanggaran HAM berupa penghilangan hak untuk hidup dan hak memperoleh
keadilan.

Selain itu, Sambo dan pelaku lain juga telah melakukan obstruction of justice atau
upaya menghalangi penegakan hukum. Tindakan ini berimplikasi pada pemenuhan
akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum.

Akibat kasus ini, Sambo telah resmi dipecat dari Polri, 19 September 2022.

Dalam kasus ‘Penembakan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo’ telah melanggar
PASAL 28 A yang berbunyi

“Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

6. Peristiwa Penculikan Para Aktivis Politik (1998)

Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para
aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (satu orang meninggal, sembilan
orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).

Dalam kasus ‘Peristiwa Penculikan Para Aktivis Politik (1998)’ telah melanggar
PASAL 28 A yang berbunyi

“Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

7. Kasus Dayak dan Madura (2000)

Terjadi bentrokan antara suku Dayak dan Madura (pertikaian etnis) yang juga
memakan korban dari kedua belah pihak.

Dalam kasus ‘Kasus Dayak dan Madura (2000)’ telah melanggar PASAL 28 A yang
berbunyi

“Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

8. Kasus bom Bali (2002) dan beberapa tempat lainnya

Telah terjadi peristiwa pemboman di Bali, yaitu pada 2002 dan 2005, yang dilakukan
oleh teroris dengan menelan korban rakyat sipil, baik dari warga negara asing
maupun Indonesia.
Dalam kasus ‘Kasus bom Bali (2002) dan beberapa tempat lainnya’ telah melanggar
PASAL 28 A yang berbunyi

“Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

9. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)

Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan
lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang
warga sipil meninggal)

Sementara tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 (satu orang


mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).

10. Dalam kasus ‘Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)’ telah melanggar PASAL 28
A yang berbunyi

“Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Anda mungkin juga menyukai