Anda di halaman 1dari 2

Apakah Pada Pelanggaran Tersebut 

Sudah Ada Penegakan Hukumnya/Belum

1.Setelah lebih dari empat dekade, kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang sebagian besar
menimpa anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia akhirnya dibuka kembali. Senin, 23 Juli
2012 ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan peristiwa brutal yang
diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa itu merupakan pelanggaran HAM yang berat. Setelah
melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menemukan
terjadinya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua
Tim Penyelidikan Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis, di kantor Komnas HAM.
Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara
sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan
penghilangan orang secara paksa. Sesuai dengan Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan hak asasi manusia berat.
Nur Kholis mengatakan para korban dalam peristiwa ini mengalami kejahatan berlapis. "Banyak
korban yang diusir lalu dirampas kemerdekaannya, atau diperbudak," ujar dia. Kejahatan-kejahatan
ini pun diduga dilakukan secara meluas dan sistematis. Pasalnya, kejahatan terjadi merata di seluruh
wilayah Indonesia dalam kurun waktu bersamaan. Jenis kejahatan yang terjadi pun serupa.
"Misalnya ada 15 orang dieksekusi di Maumere, dalam waktu hampir berbarengan ada kejadian
serupa di Manado, Palu, Medan, dan Palembang,” kata Nur Kholis.
Komnas HAM melakukan pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi di hampir seluruh wilayah
Indonesia. "Kami ingin menunjukkan bahwa tindakan ini terjadi merata di Indonesia," katanya. Meski
begitu, peristiwa ini tak termasuk genosida. Pasalnya pelaku kejahatan tak menyasar ras, agama,
etnis, atau kelompok kebangsaan tertentu. Hasil penyelidikan Komnas HAM ini akan diserahkan ke
Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua lembaga ini yang kelak menentukan tindak
lanjut atas temuan Komnas HAM ini. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk
pelanggaran HAM berat di masa lalu memang ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Jika
Indonesia memutuskan menggelar pengadilan HAM untuk kasus 1965, ini akan menjadi kemenangan
besar untuk barisan aktivis HAM dan demokrasi yang telah menuntut penuntasan kasus ini sejak
1998.

2.Memproduksi pengetahuan tentang 1965 adalah satu hal. Mengamankan sumber pengetahuan
dan mendistribusikan kontennya adalah hal lain. Pada Juli 2012, Komnas HAM mengeluarkan
laporan setebal 800 halaman yang menyatakan peristiwa 1965 sebagai pelanggaran HAM berat
(gross human rights violation).

Sejak saat itu belum ada tindak lanjut dari laporan tersebut. Materi yang tebal itu pun tidak diolah ke
dalam bentuk pokok-pokok ringkas yang bisa diakses publik.

Pada 5 Januari 2017, Menkopolhukam Wiranto menyatakan pemerintah akan membentuk Dewan
Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. “Karena
kita mengadopsi undang-undang dari Eropa maka kalau ada masalah, kasus yang ada di masyarakat
maka kita larikan ke proses peradilan, proses projustisia," ujar Wiranto seperti dikutip Antara.

DKN dirancang untuk mengedepankan prinsip musyawarah sebagaimana, dalam klaim Wiranto,
dilakukan oleh lembaga-lembaga adat di Indonesia ketika menyelesaikan masalah. "Yang berlaku
sekarang ini yang masuk dulu adalah Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki peran menyelidiki
permasalahan, menyelidiki kasus untuk dibawa ke peradilan."
Wiranto diangkat sebagai Menkopolhukam pada Juli 2016. Pada 2003, ia didakwa oleh pengadilan
PBB bersama enam perwira militer lainnya sbagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan atas
tindak pembunuhan, deportasi, dan penganiayaan warga sipil pasca-Jajak Pendapat di Timor Leste
pada 1999. enam pelaku lainnya adalah Mayjen Zacky Anwar Makarim, Mayjen Adam Rachmat
Damiri, Kol. Suhartono Suratman, Kol. Mohammad Noer Muis and Letkol Yayat Sudrajat, dan Mayjen
Kiki Syahnakri.

Jumat (13/03/17), Komnas HAM mengunjungi Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)
untuk berkonsultasi tentang penyelesaian masalah HAM tahun 1965. Kiki Syahnakri, sebagai ketua
umum PPAD menolak jalur yudisial untuk menyelesaikan tragedi 1965. Jalur pengadilan, menurut
Kiki, “membuka luka lama dan bahkan berpotensi menimbulkan pertumpahan darah baru." Kiki juga
menambahkan, “Kalaupun non yudisial, prosesnya panjang. Bisa-bisa buntu."

sampai saat ini masih belum ada kejelasan tindak lanjut hukum untuk kasus G30SPKI karna
banyaknya skandal atau hilangnya bukti,tetapi bisa dipastikan G30SPKI adalah cerita kelam tentang
HAM di Indonesia

sumber :
jurnal bbc news 2012
jurnal Tirto.id 2017

Anda mungkin juga menyukai