DI SUSUN
OLEH:
KELOMPOK: II (DUA)
ANGGOTA:
c. Perlawanan Sejumlah Perwira Pembela Tanah Air di Blitar, Buana dan Paudrah
(Aceh), dan Cilacap.
Perlawanan sejumlah perwira Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar terjadi pada
14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Syudanco Supriyadi. Ia adalah
seorang syodanco (komandan peleton) Peta. Perlawanan Supriyadi ini disebabkan
karena tidak tahan lagi melihat kesengsaraan rakyat yang mati
karena romusha. Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh Jepang.
Perlawanan ini tampaknya tidak direncanakan dengan matang sehingga mudah
untuk digagalkan. Akhirnya para anggota Peta yang terrlibat perlawanan diadili di
Mahkamah Militer Jepang. Orang yang berhasil membunuh Jepang langsung dijatuhi
hukuman mati, antara lain: dr. Ismangil, Muradi, Suparyono, Halir
Mangkudidjaya, Sunanto, danSudarmo.
Dalam persidangan tersebut, Supriyadi sendiri sebagai pemimpin perlawanan
tidak diikutsertakan. Beberapa pihak mengatakan bahwa Supriyadi sesungguhnya
sudah ditangkap dan dibunuh secara diam-diam, ada pula pihak yang percaya bahwa
Supriyadi mokswa alias menghilangkan diri tanpa jejak Selain di Blitar, perlawanan
pemuda Peta juga meletus di dua daerah di Aceh, yaitu Buana dan Paudrah.
Pemimpinnya adalah Guguyun Teuku Hamid; ia bersama 20 peleton pasukan
melarikan diri dari asrama pada November 1944 untuk merencanakan pemberontakan.
Namun Jepang berhasil mengancam keluarga Teuku Hamid sehingga Teuku Hamid
kembali lagi. Tampaknya rencana perlawanan Teuku Hamid menambah simpati dan
semangat masyarakat sehingga kemudian muncul kembali perlawanan.
Lahirlah perlawanan Padrah di daerah Bireun, Aceh Utara, yang dipimpin oleh
seorang kepala kampung yang dibantu oleh reguGuguyun. Perlawanan tersebut
menelan banyak korban dari pihak Aceh karena semua yang tertawan akhirnya
dibunuh oleh Jepang.
Di Gumilir, Cilacap perlawanan dipimpin oleh seorang komandan regu
bernama Khusaeri. Serangan pertama tentara Jepang terdesak, namun setelah bala
bantuan datang Khusaeri mampu dikalahkan. Di Pangalengan, Jawa Barat, pun
meletus perlawanan dari para personil Peta yang juga dapat dilumpuhkan.
1. Struktur Masyarakat.
Awalnya Indonesia hanya mengenal desa (atau dukuh) selaku susunan
pemerintahan terkecil. Namun, seiring berkembangnya pemerintahan kolonial Jepang,
struktur terkecil tersebut dibagi lebih lanjut ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil.
Satuannya dinamakan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Sistem ini telah
diaplikasikan di Jepang dengan nama Tonarigumi. Alasan pembentukan RT dan RW
oleh Jepang demi kemudahan administrasi dan kontrol. Jadi, bukan seperti desa asli
Indonesia yang tumbuh alami, tonarigumi digunakan sebagai upaya kendali dan
mobilisasi Jepang atas penduduk Indonesia. Ironisnya, upaya ini justru dilestarikan
pemerintah Indonesia. Hingga kini RT dan RW tetap dipertahankan selaku unit
administratif terkecil sekaligus menunjukkan faedahnya bagi kemaslahatan koordinasi
administrasi negara Indonesia modern.
2. Bahasa.
Pendudukan Jepang, di samping berefek negatif, juga memiliki dampak positif
dalam budaya bahasa. Segera setelah Jepang mengusir Belanda, segala hal berbau
Belanda dan Barat dilarang di semua toko-toko, rumah makan, perusahaan,
perkumpulan, dan papan-papan nama umum. Bahasa pengganti yang diperkenankan
hanyalah Bahasa Indonesia dan Jepang. Kini mulailah bahasa Indonesia mengalami
perkembangan pesat.[12] Terjadi revolusi sosial di mana budaya Belanda
dijungkalkan oleh budaya Jepang dan Indonesia. Atas desakan tokoh-tokoh Indonesia,
tahun 1943 Jepang mengizinkan berdirinya Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia
yang pada akhirnya berhasil mengkodifikasi 7.000 istilah bahasa Indonesia modern
(saat itu).
3. Kesenian.
Demi alasan politik anti Barat-nya, Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidosho
(Pusat Kebudayaan) tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Fungsi lembaga ini mewadahi
aktivitas budayawan Indonesia agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang. Tanggal 29
Agustus 1942, lembaga ini mengadakan pameran karya pelukis lokal Indonesia seperti
Basuki Abdoellah, Agus Djajasoeminta, Otto Djaja Soetara, Kartono Joedokoesoemo,
dan Emiria Soenassa. Selain itu, ia juga memfasilitasi R. Koesbini dan Cornel
Simanjuntak membentuk grup seni suara yang melahirkan lagu-lagu nasional
Indonesia. Lahirlah lagu-lagu nasional Kalau Padi Menguning Lagi, Majulah Putra-
Putri Indonesia, Tanah Tumpah Darahku. Keimin Bunka Shidosho juga
memungkinkan Nur Sutan Iskandar melahirkan karyanya Tjinta Tanah Sutji, Karim
Halim melahirkan Palawidja, atau Usmar Ismail dengan Angin Fudji. Seni drama
karya budayawan Indonesia juga lahir seperti Api dan Tjitra (temanya pengabdian
tanah air) karya Usmar Ismail, Taufan di atas Asia atau Intelek Istimewa karya Abu
Hanifah.
Agustus 1943 Jepang membentuk Persatuan Aktris Film Indonesia (Persafi).
Persafi mendorong artis-artis profesional dan amatir Indonesia bereksperimen dengan
mementaskan lakon-lakon terjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Sandiwara,
sebagai salah satu bentuk seni peran, juga berkembang di bawah pendudukan Jepang
karena sebelum Perang Pasifik, pertunjukan sandiwara hampir tidak dikenal di
Indonesia.
4. Militer.
Langsung ataupun tidak langsung, Jepang membantu Indonesia (utamanya
pemuda) membentuk semangat nasionalisme.[13] Jepang melakukan ini lewat tiga
cara, yaitu: (1) Pengerahan pemuda; (2) Pembentukan organisasi semi-militer; dan (3)
Pembentukan organisasi militer. Tentu saja, ketiga bentuk ini dimaksudkan demi
kepentingan perang Jepang. Namun, efek sampingnya justru menguntungkan (bless in
disguise) bagi Indonesia.
Pertama, Jepang menyasar kalangan muda Indonesia dari kota dan desa tanpa
diskriminasi pendidikan (berpendidikan ataupun tidak, semua direkrut). Pemuda
disasar Jepang karena usia produktifnya, giat, penuh semangat, dan idealis. Jepang
mendidik para pemuda sebagai saudara muda. Mereka menanamkan nilai seishin
(semangat) dan bushido (jiwa satria), dengan penekanan pada kesetiaan dan bakti
kepada tuannya (Jepang). Para pemuda juga dididik kedisiplinan dan upaya psikologis
memutus rasa rendah diri dan semangat budak. Organisasi bentukan Jepang untuk
keperluan ini Barisan Pemuda Asia Raya di tingkat pusat (Jakarta) tanggal 11 Juni
1942 yang dipimpin dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Badan serupa juga dibentuk
di daerah-daerah dengan nama Komite Penginsyafan Pemuda. Selain itu, Jepang juga
membentuk Perserikatan Olahraga Pulau Jawa (Tai Iku Kai) tahun 1942, aktivasi
kegiatan senam pagi di sekolah-sekolah, pelatihan baris-berbaris atas pelajar, serta
pelatihan beladiri (sumo, kendo). Organisasi olahraga juga dibentuk dengan nama
Gerakan Latihan Olahraga Organisasi Rakyat (Glora). Sudirman (pebulutangkis,
namanya diabadikan jadi nama piala) adalah tokoh yang dihasilkan dari masa Jepang
ini.
Kedua, Jepang membentuk organisasi semi militer seperti seinendan dan keibodan.
Saat akhir kekuasaan Jepang, anggota seinendan mencapai sekitar 500.000 pemuda.
Anggota seinendan harus berusia 14–22 tahun, muatan pendidikannya adalah
pertahanan diri dan penyerangan. Dalam perang Asia Timur Raya, Seinendan
digunakan Jepang sebagai barisan cadangan dengan tugas utama mengamankan garis
belakang.
Keibodan adalah pembantu polisi. Tugas utamanya penjagaan lalu-lintas dan
pengamanan desa. Anggota keibodan harus berusia 26–35 tahun. Jumlah pemuda
Indonesia yang jadi anggota keibodan lebih dari 1.000.000 orang. Di Sumatera,
keibodan disebut bogodan sementara di Kalimantan dinamakan borneo konan
hokokudan. Baik seinendan maupun keibodan dibentuk Jepang hingga ke pelosok
wilayah Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada pengorganisasian
massa seperti pernah Jepang lakukan, bahkan Belanda pun tidak pernah bisa
menyainginya.
Kaum perempuan tidak ketinggalan diorganisir Jepang lewat pembentukan fujinkai
(himpunan perempuan). Perempuan keluar dari wilayah domestik menuju publik.
Untuk gabung dengan fujinkai, perempuan harus berusia minimal 15 tahun. Fujinkai
diberi pelatihan dasar militer (dengan fungsi utama mirip seinendan). Fujinkai
mengadakan kursus dan ceramah seputar pentingnya menabung, meningkatkan
kesehatan pribadi dan makanan, serta kepalangmerahan.
Jepang membentuk suishintai (barisan pelopor) saat mereka mulai banyak
menderita kekalahan dalam front-front pertempuran. Suishintai dipimpin pergerakan
nasionalis Indonesia seperti Sukarno, Oto Iskandar Dinata, dan Buntaran
Martoatmojo. Tugas utama suishintai memperdalam kesadaran rakyat terhadap
kewajibannya dan membangun persaudaraan seluruh rakyat. Jumlah anggota
suishintai kira-kira 60.000 orang dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Suishintai juga
bertugas melatih pemuda, mendengarkan pidato tokoh-tokoh nasionalis, dan
mendiseminasi muatan pidato kepada orang lain. Ada juga kelompok suishintai
istimewa yang jumlahnya 100 orang di antaranya Supeno, Dipa Nusantara Aidit,
Djohar Nur, Asmara Hadi, Sidik Kertapati, dan Inu Kertapati.
Di masa Jepang juga dibentuk Hizbullah, organisasi semi-militer pemuda di bawah
Masyumi. Pimpinan Hizbullah Zainal Arifin adalah tokoh Nahdlatul Ulama. Usia
pemuda yang diterima 17–25 tahun dan belum berkeluarga. Hizbullah dimaksudkan
sebagai cadangan Peta. Selain yang telah disebut, organisasi semi-militer Jepang
lainnya adalah jibakutai dan gakutotai.
Ketiga, Jepang membentuk organisasi militer. Organisasi ini misalnya heiho yang
fungsinya membantu prajurit Jepang dan langsung ditempatkan dalam organisasi
militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Hingga berakhirnya pendudukan Jepang,
tercatat jumlah heiho sebesar 42.000 orang. Bagi Jepang, heiho lebih terlatih dalam
perang ketimbang Peta karena berada langsung di garis peperangan, baik memegang
senjata anti pesawat terbang, tank, artileri medan, maupun mengemudi. Namun, tidak
seperti Peta, tidak ada heiho yang menjadi perwira.
Peta awalnya diselenggarakan Seksi Khusus Bagian Intelijen Angkatan Darat ke-
16 Jepang. Anggota Peta dilatih dalam seinen dojo (panti pelatihan pemuda). Perwira
lulusan seinen dojo angkatan pertama di antaranya Umar Wirahadikusumah, Kemal
Idris, R.A. Kosasih, dan Daan Mogot. Saat seinen dojo angkatan kedua berakhir,
keluarlah perintah membentuk tentara Peta. Jenderal Besar Soeharto adalah perwira
hasil didikan Peta, yang di masa hidupnya berhasil menjabat selaku presiden terlama
Indonesia.