Anda di halaman 1dari 12

PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

DI SUSUN
OLEH:

KELOMPOK: II (DUA)
ANGGOTA:

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BANDA ACEH


TAHUN AJARAN 2018/2019
A. PERJUANGAN MERAIH KEMERDEKAAN PADA MASA PENDUDUKAN
JEPANG
1. Perjuangan Kooperatif (Kerjasama)
Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia banyak yang menggunakan kesempatan
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara mereka
yang menduduki jabatanjabatan penting dalam lembaga-lembaga yang dibentuk
Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas
Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Mereka dikenal dengan
sebutan “Empat Serangkai”. Putera merupakan sebuah organisasi yang dibentuk
Jepang pada Maret 1943, bertujuan menggerakan rakyat Indonesia untuk mendukung
peperangan Jepang menghadapi Sekutu.
Melalui Putera, para pemimpin Indonesia dapat berhubungan dengan rakyat
secara langsung, baik melalui rapat-rapat maupun media massa milik Jepang. Tokoh-
tokoh Putera memanfaatkan organisasi-organisasi itu untuk menggembleng mental
dan membangkitkan semangat nasionalisme serta menumbuhkan rasa percaya diri
serta harga diri sebagai bangsa.
Mereka selalu menekankan pentingnya persatuan, pentingnya memupuk
terusmenerus semangat cinta tanah air, dan harus lebih memperhebat semangat
antiimperialisme- kolonialisme. Organisasi Putera mendapat sambutan yang hangat
dari seluruh rakyat. Namun, karena Putera nyatanya bermanfaat bagi bangsa
Indoensia, pemerintah Jepang akhirnya membubarkannya pada April 1944.
Selain melalui Putera, para pemimpin pergerakan juga berjuang melalui Badan
Pertimbangan Pusat atau Cou Sangi In yang dibentuk Jepang pada 5 September 1943.
Badan ini beranggotakan 43 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Dalam sidangnya
pada 20 Oktober 1943,Cuo Sangi In menetapkan bahwa agar Jepang menang dalam
perang, perlu dikerahkan segala potensi dan produksi dari rakyat Indoensia.
Untuk melaksanakan ketetapan itu dibentuklah berbagai kesatuan pemuda,
sebagai wadah penggemblengan mental dan semangat juang agar mereka menjadi
tenaga-tenaga pejuang yang militan. Berbagai kesatuan pemuda yang berhasil
dibentuk antara lain: Seinendan(Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu
Polisi), Seisyintai(Barisan Pelopor), Gakutotai (Barisan Pelajar),
dan Fujinkai (Barisan Wanita).
Pada saat penggemblengan mental itulah Ir. Soekarno selalu menyisipkan
penanaman jiwa dan semangat nasionalisme, pentingnya persatuan dan kesatuan serta
keberanian berjuang dengan risiko apa pun untuk menuju Indonesia merdeka. Dengan
demikian, kebijakan pemerintah Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional
untuk perjuangan. Para pemimpin Indonesia memanfaatkan organisasi ini untuk
memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Jelas sekali, para pemimpin Indonesia tidak
bodoh untuk dibohongi oleh Jepang.

2. Perjuangan Bawah Tanah


Perjuangan bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan
rahasia. Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja
pasa instansi-instansi pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya
terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan
mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka.
Perjuangan bawah tanah ini tersebar di berbagai tempat: Jakarta, Semarang,
Bandung, Surabaya, serta Medan. Di Jakarta terdapat beberapa kelompok yang
melakukan perjuangan model ini. Antara kelompok perjuangan yang satu dengan
kelompok perjuangan yang lain, selalu terjadi kontak hubungan.
Kelompokkelompok perjuang tersebut, antara lain:
a. Kelompok Sukarni
Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa
pendudukan Jepang, ia bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-
sama dengan Muhammad Yamin. Sukarnimenghimpun tokoh-tokoh pergerakan
yang lain, antara lain: Adam Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna, dan Maruto
Nitimiharjo. Gerakan yang dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan
cita-cita kemerdekaan, menghimpun orangorang yang berjiwa revolusioner, dan
mengungkapkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.
Sebagai pegawai Sendenbu, Sukarni bebas mengunjungi asrama Peta (Pembela
Tanah Air) yang tersebar di seluruh Jawa. Karena itu, Sukarni mengetahui seberapa
besar kekuatan revolusioner yang anti-Jepang. Untuk menutupi gerakannya, kelompok
Sukarni mendirikan asrama politik, yang diberi nama “Angkatan Baru Indonesia”
yang didukung Sendenbu. Di dalam asrama ini terkumpul para tokoh pergerakan
antara lain: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Sunarya yang
bertugas mendidik para pemuda tantang masalah politik dan pengetahuan umum.

b. Kelompok Ahmad Subarjo


Ahmad Subarjo pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala Biro
Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad
Subarjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam
Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Subarjo, Angkatan Laut
berhasil mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama Indonesia Merdeka”.
Di asrama Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia memberikan
pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda
Indonesia.

c. Kelompok Sutan Syahrir


Sutan Syahrir merupakan tokoh besar pergerakan nasional, yang pada zaman
Hindia Belanda tahun 1935 dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya, kemudian
dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir ke Sukabumi. Pada masa pendudukan
Jepang, Syahrir berjuang diam-diam dengan cara menghimpun teman-teman
sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda.
Terbentuklah satu kelompok rahasia, Kelompok Syahrir.
Dalam perjuangannya, Syahrir juga menjalin hubungan dengan pemimpin-
pemimpin bangsa yang terpaksa bekerja sama dengan Jepang. Di samping itu,
hubungan kelompok Syahrir dengan kelompok perjuangan yang lain berjalan cukup
baik. Karena gerak langkah Syahrir dicurigai Jepang, untuk menghilangkan
kecurigaan pihak Jepang Syahrir bersedia memberi pelajaran di Asrama Indonesia
Merdeka milik Angkatan Laut Jepang (Kaigun), bersama dengan Ir. Sukarno,
Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Iwa Kusumasumantri.
d. Kelompok Pemuda
Kelompok Pemuda pada masa Jepang mendapat perhatian khusus dari
pemerintah Jepang. Jepang berusaha memengaruhi para pemuda Indoensia dengan
propaganda yang menarik. Dengan demikian, nantinya para pemuda Indonesia
merupakan alat yang ampuh guna menjalankan kepentingan Jepang. Jepang
menanamkan pengaruhnya pada para pemuda Indonesia melalui kursus-kursus dan
lembaga-lembaga yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.
Jepang mendukung berdirinya kursus-kursus yang diadakan dalam asrama-
asrama, misalnya di Asrama Angkatan Baru Indonesia yang terdapat Sendenbu dan
Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan Angkatan Laut Jepang. Namun, pemuda
Indonesia baik pelajar maupun mahasiswa tidak gampang termakan oleh propaganda
Jepang. Mereka menyadari bahwa imperialisme yang dilakukan oleh Jepang pada
hakikatnya sama dengan imperialisme bangsa Barat.
Pada masa itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang,
yakni yang terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan
kelompok pemuda yang terhimpun dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar
Indonesia (Baperpri). Kelompok terpelajar tersebut mempunyai ikatan organisasi yang
bernama Persatuan Mahasiswa.
Organisasi ini merupakan wadah untuk menyusun aksi-aksi terhadap penguasa
Jepang dan menyusun pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Dalam
perjuangannya, kelompok pemuda juga selalu berhubungan dengan kelompok-
kelompok yang lain, yaitu kelompok Sukarni, kelompok Ahmad Subarjo, dan
Kelompok Syahrir. Tokoh-tokoh Kelompok Pemuda yang terkenal antara
lain: Chaerul Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif
Thayeb.

3. Perlawanan Angkat Senjata


Perlakuan Jepang yang tak berperikemanusian menimbulkan reaksi dan
perlawanan dari rakyat Indonesia di berbagai wilayah. Kebencian ini bertambah ketika
di beberapa tempat, Jepang menghina aspek-aspek keagamaan. Berikut ini beberapa
perlawanan rakyat pada masa penjajahan Jepang.
a. Perlawanan di Cot Plieng, Aceh
Perlawanan di Aceh ini dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama
pemuda. Pada 10 November 1942, tentara Jepang menyerang Cot Plieng pada saat
rakyat sedang melaksanakan shalat subuh. Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat
digagalkan oleh rakyat dengan menggunakan senjata kelewang, pedang, dan rencong.
Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara Jepang berhasil dipukul
mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan Teungku Abdul Jalil dapat
dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90 tentara Jepang dan sekitar
3.000 masyarakat Cot Plieng.

b. Perlawanan di Tasikmalaya, Jawa Barat


Perlawanan di Singaparna, Tasikmalaya, ini dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal
Mustofa. Perlawanan ini terkait dengan tidak bersedianya K.H. Zaenal Mustofa untuk
melakukan Seikeirei, memberikan penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam
pandangan Zaenal Mustofa, membungkuk seperti itu sama saja dengan memberikan
penghormatan lebih kepada matahari, sementara dalam hukum Islam hal tersebut
terkarang karena dianggap menyekutukan Tuhan.
Pemerintahan Jepang kemudian mengutus seseorang untuk menangkapnya.
Namun utusan tersebut tidak berhasil karena dihadang rakyat. Dalam keadaan luka,
perwakilan Jepang tersebut memberitahukan peristiwa tersebut kepada pimpinannya
di Tasiklamalaya. Karena tersinggung, Jepang pada 25 Februari 1944 menyerang
Singaparna pada siang hari setelah shalat Jumat. Dalam pertempuran tersebut Zaenal
Mustofa berhasil ditangkap dan kemudian diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya.
Jenazahnya dikuburkan di daerah Ancol, dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.

c. Perlawanan Sejumlah Perwira Pembela Tanah Air di Blitar, Buana dan Paudrah
(Aceh), dan Cilacap.
Perlawanan sejumlah perwira Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar terjadi pada
14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Syudanco Supriyadi. Ia adalah
seorang syodanco (komandan peleton) Peta. Perlawanan Supriyadi ini disebabkan
karena tidak tahan lagi melihat kesengsaraan rakyat yang mati
karena romusha. Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh Jepang.
Perlawanan ini tampaknya tidak direncanakan dengan matang sehingga mudah
untuk digagalkan. Akhirnya para anggota Peta yang terrlibat perlawanan diadili di
Mahkamah Militer Jepang. Orang yang berhasil membunuh Jepang langsung dijatuhi
hukuman mati, antara lain: dr. Ismangil, Muradi, Suparyono, Halir
Mangkudidjaya, Sunanto, danSudarmo.
Dalam persidangan tersebut, Supriyadi sendiri sebagai pemimpin perlawanan
tidak diikutsertakan. Beberapa pihak mengatakan bahwa Supriyadi sesungguhnya
sudah ditangkap dan dibunuh secara diam-diam, ada pula pihak yang percaya bahwa
Supriyadi mokswa alias menghilangkan diri tanpa jejak Selain di Blitar, perlawanan
pemuda Peta juga meletus di dua daerah di Aceh, yaitu Buana dan Paudrah.
Pemimpinnya adalah Guguyun Teuku Hamid; ia bersama 20 peleton pasukan
melarikan diri dari asrama pada November 1944 untuk merencanakan pemberontakan.
Namun Jepang berhasil mengancam keluarga Teuku Hamid sehingga Teuku Hamid
kembali lagi. Tampaknya rencana perlawanan Teuku Hamid menambah simpati dan
semangat masyarakat sehingga kemudian muncul kembali perlawanan.
Lahirlah perlawanan Padrah di daerah Bireun, Aceh Utara, yang dipimpin oleh
seorang kepala kampung yang dibantu oleh reguGuguyun. Perlawanan tersebut
menelan banyak korban dari pihak Aceh karena semua yang tertawan akhirnya
dibunuh oleh Jepang.
Di Gumilir, Cilacap perlawanan dipimpin oleh seorang komandan regu
bernama Khusaeri. Serangan pertama tentara Jepang terdesak, namun setelah bala
bantuan datang Khusaeri mampu dikalahkan. Di Pangalengan, Jawa Barat, pun
meletus perlawanan dari para personil Peta yang juga dapat dilumpuhkan.

B. AKHIR PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA


Akhir kependudukan Jepang di Indonesia berawal dari dibomnya 2 kota besar
di Jepang, yakni Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 yang
mengakibatkan konsentrasi Jepang terhadap Indonesia goyah dan Jepang pun
mengalihkan perhatiannya ke negaranya sendiri.
Tanggal 11 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Radjiman
Wedyodiningrat pergi ke Dalat untuk menemui Panglima Tertinggi Terauchi untuk
membicarakan kemerdekaan yang sudah dijanjikan pihak Jepang kepada Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu
sehingga di Indonesia terjadi kekosongan pemerintahan. Ini menjadi peluang emas
bagi bangsa untuk merdeka. Namun golongan tua ragu-ragu dalam mengambil
keputusan tentang rencana proklamasi bagi Indonesia karena mereka ingin menunggu
tindakan dari Jepang masalah pelaksanaan proklamasi. Berbeda dengan golongan tua,
golongan muda justru menginginkan proklamasi harus diselenggerakan secepatnya
dan tak usah menunggu kepastian dari Jepang. Karena perbedaan itulah, golongan
muda membawa golongan tua dengan dalih menghindarkan golongan tua dari
pemberontakan peta dan heiho. Namun kenyataannya tak ada pemberontakan yang
dimaksud. Sebenarnya tujuan mereka adalah mendesak golongan tua untuk segera
memproklamasikan Indonesia. Setelah melalui banyak pertimbangan, akhirnya
golongan tua pun dipulangkan dan menanggapi positif usulan golongan muda. Dan
malam itu pula Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dibawa ke rumah Laksamana Maeda
untuk merumuskan teks Proklamasi. Dan pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00
teks proklamasi dibacakan dan menjadikan Indonesia merdeka.

C. PENGARUH JEPANG YANG MASIH TERASA HINGGA KINI


Penjajahan Jepang, seperti Inggris, masuk ke dalam kategori fase kolonial
singkat. Kendati singkat, Jepang memiliki bekas peninggalan budaya yang terus
digunakan (atau bermanfaat) bagi bangsa Indonesia di masa kemudian.

1. Struktur Masyarakat.
Awalnya Indonesia hanya mengenal desa (atau dukuh) selaku susunan
pemerintahan terkecil. Namun, seiring berkembangnya pemerintahan kolonial Jepang,
struktur terkecil tersebut dibagi lebih lanjut ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil.
Satuannya dinamakan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Sistem ini telah
diaplikasikan di Jepang dengan nama Tonarigumi. Alasan pembentukan RT dan RW
oleh Jepang demi kemudahan administrasi dan kontrol. Jadi, bukan seperti desa asli
Indonesia yang tumbuh alami, tonarigumi digunakan sebagai upaya kendali dan
mobilisasi Jepang atas penduduk Indonesia. Ironisnya, upaya ini justru dilestarikan
pemerintah Indonesia. Hingga kini RT dan RW tetap dipertahankan selaku unit
administratif terkecil sekaligus menunjukkan faedahnya bagi kemaslahatan koordinasi
administrasi negara Indonesia modern.
2. Bahasa.
Pendudukan Jepang, di samping berefek negatif, juga memiliki dampak positif
dalam budaya bahasa. Segera setelah Jepang mengusir Belanda, segala hal berbau
Belanda dan Barat dilarang di semua toko-toko, rumah makan, perusahaan,
perkumpulan, dan papan-papan nama umum. Bahasa pengganti yang diperkenankan
hanyalah Bahasa Indonesia dan Jepang. Kini mulailah bahasa Indonesia mengalami
perkembangan pesat.[12] Terjadi revolusi sosial di mana budaya Belanda
dijungkalkan oleh budaya Jepang dan Indonesia. Atas desakan tokoh-tokoh Indonesia,
tahun 1943 Jepang mengizinkan berdirinya Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia
yang pada akhirnya berhasil mengkodifikasi 7.000 istilah bahasa Indonesia modern
(saat itu).
3. Kesenian.
Demi alasan politik anti Barat-nya, Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidosho
(Pusat Kebudayaan) tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Fungsi lembaga ini mewadahi
aktivitas budayawan Indonesia agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang. Tanggal 29
Agustus 1942, lembaga ini mengadakan pameran karya pelukis lokal Indonesia seperti
Basuki Abdoellah, Agus Djajasoeminta, Otto Djaja Soetara, Kartono Joedokoesoemo,
dan Emiria Soenassa. Selain itu, ia juga memfasilitasi R. Koesbini dan Cornel
Simanjuntak membentuk grup seni suara yang melahirkan lagu-lagu nasional
Indonesia. Lahirlah lagu-lagu nasional Kalau Padi Menguning Lagi, Majulah Putra-
Putri Indonesia, Tanah Tumpah Darahku. Keimin Bunka Shidosho juga
memungkinkan Nur Sutan Iskandar melahirkan karyanya Tjinta Tanah Sutji, Karim
Halim melahirkan Palawidja, atau Usmar Ismail dengan Angin Fudji. Seni drama
karya budayawan Indonesia juga lahir seperti Api dan Tjitra (temanya pengabdian
tanah air) karya Usmar Ismail, Taufan di atas Asia atau Intelek Istimewa karya Abu
Hanifah.
Agustus 1943 Jepang membentuk Persatuan Aktris Film Indonesia (Persafi).
Persafi mendorong artis-artis profesional dan amatir Indonesia bereksperimen dengan
mementaskan lakon-lakon terjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Sandiwara,
sebagai salah satu bentuk seni peran, juga berkembang di bawah pendudukan Jepang
karena sebelum Perang Pasifik, pertunjukan sandiwara hampir tidak dikenal di
Indonesia.
4. Militer.
Langsung ataupun tidak langsung, Jepang membantu Indonesia (utamanya
pemuda) membentuk semangat nasionalisme.[13] Jepang melakukan ini lewat tiga
cara, yaitu: (1) Pengerahan pemuda; (2) Pembentukan organisasi semi-militer; dan (3)
Pembentukan organisasi militer. Tentu saja, ketiga bentuk ini dimaksudkan demi
kepentingan perang Jepang. Namun, efek sampingnya justru menguntungkan (bless in
disguise) bagi Indonesia.
Pertama, Jepang menyasar kalangan muda Indonesia dari kota dan desa tanpa
diskriminasi pendidikan (berpendidikan ataupun tidak, semua direkrut). Pemuda
disasar Jepang karena usia produktifnya, giat, penuh semangat, dan idealis. Jepang
mendidik para pemuda sebagai saudara muda. Mereka menanamkan nilai seishin
(semangat) dan bushido (jiwa satria), dengan penekanan pada kesetiaan dan bakti
kepada tuannya (Jepang). Para pemuda juga dididik kedisiplinan dan upaya psikologis
memutus rasa rendah diri dan semangat budak. Organisasi bentukan Jepang untuk
keperluan ini Barisan Pemuda Asia Raya di tingkat pusat (Jakarta) tanggal 11 Juni
1942 yang dipimpin dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Badan serupa juga dibentuk
di daerah-daerah dengan nama Komite Penginsyafan Pemuda. Selain itu, Jepang juga
membentuk Perserikatan Olahraga Pulau Jawa (Tai Iku Kai) tahun 1942, aktivasi
kegiatan senam pagi di sekolah-sekolah, pelatihan baris-berbaris atas pelajar, serta
pelatihan beladiri (sumo, kendo). Organisasi olahraga juga dibentuk dengan nama
Gerakan Latihan Olahraga Organisasi Rakyat (Glora). Sudirman (pebulutangkis,
namanya diabadikan jadi nama piala) adalah tokoh yang dihasilkan dari masa Jepang
ini.
Kedua, Jepang membentuk organisasi semi militer seperti seinendan dan keibodan.
Saat akhir kekuasaan Jepang, anggota seinendan mencapai sekitar 500.000 pemuda.
Anggota seinendan harus berusia 14–22 tahun, muatan pendidikannya adalah
pertahanan diri dan penyerangan. Dalam perang Asia Timur Raya, Seinendan
digunakan Jepang sebagai barisan cadangan dengan tugas utama mengamankan garis
belakang.
Keibodan adalah pembantu polisi. Tugas utamanya penjagaan lalu-lintas dan
pengamanan desa. Anggota keibodan harus berusia 26–35 tahun. Jumlah pemuda
Indonesia yang jadi anggota keibodan lebih dari 1.000.000 orang. Di Sumatera,
keibodan disebut bogodan sementara di Kalimantan dinamakan borneo konan
hokokudan. Baik seinendan maupun keibodan dibentuk Jepang hingga ke pelosok
wilayah Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada pengorganisasian
massa seperti pernah Jepang lakukan, bahkan Belanda pun tidak pernah bisa
menyainginya.
Kaum perempuan tidak ketinggalan diorganisir Jepang lewat pembentukan fujinkai
(himpunan perempuan). Perempuan keluar dari wilayah domestik menuju publik.
Untuk gabung dengan fujinkai, perempuan harus berusia minimal 15 tahun. Fujinkai
diberi pelatihan dasar militer (dengan fungsi utama mirip seinendan). Fujinkai
mengadakan kursus dan ceramah seputar pentingnya menabung, meningkatkan
kesehatan pribadi dan makanan, serta kepalangmerahan.
Jepang membentuk suishintai (barisan pelopor) saat mereka mulai banyak
menderita kekalahan dalam front-front pertempuran. Suishintai dipimpin pergerakan
nasionalis Indonesia seperti Sukarno, Oto Iskandar Dinata, dan Buntaran
Martoatmojo. Tugas utama suishintai memperdalam kesadaran rakyat terhadap
kewajibannya dan membangun persaudaraan seluruh rakyat. Jumlah anggota
suishintai kira-kira 60.000 orang dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Suishintai juga
bertugas melatih pemuda, mendengarkan pidato tokoh-tokoh nasionalis, dan
mendiseminasi muatan pidato kepada orang lain. Ada juga kelompok suishintai
istimewa yang jumlahnya 100 orang di antaranya Supeno, Dipa Nusantara Aidit,
Djohar Nur, Asmara Hadi, Sidik Kertapati, dan Inu Kertapati.
Di masa Jepang juga dibentuk Hizbullah, organisasi semi-militer pemuda di bawah
Masyumi. Pimpinan Hizbullah Zainal Arifin adalah tokoh Nahdlatul Ulama. Usia
pemuda yang diterima 17–25 tahun dan belum berkeluarga. Hizbullah dimaksudkan
sebagai cadangan Peta. Selain yang telah disebut, organisasi semi-militer Jepang
lainnya adalah jibakutai dan gakutotai.
Ketiga, Jepang membentuk organisasi militer. Organisasi ini misalnya heiho yang
fungsinya membantu prajurit Jepang dan langsung ditempatkan dalam organisasi
militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Hingga berakhirnya pendudukan Jepang,
tercatat jumlah heiho sebesar 42.000 orang. Bagi Jepang, heiho lebih terlatih dalam
perang ketimbang Peta karena berada langsung di garis peperangan, baik memegang
senjata anti pesawat terbang, tank, artileri medan, maupun mengemudi. Namun, tidak
seperti Peta, tidak ada heiho yang menjadi perwira.
Peta awalnya diselenggarakan Seksi Khusus Bagian Intelijen Angkatan Darat ke-
16 Jepang. Anggota Peta dilatih dalam seinen dojo (panti pelatihan pemuda). Perwira
lulusan seinen dojo angkatan pertama di antaranya Umar Wirahadikusumah, Kemal
Idris, R.A. Kosasih, dan Daan Mogot. Saat seinen dojo angkatan kedua berakhir,
keluarlah perintah membentuk tentara Peta. Jenderal Besar Soeharto adalah perwira
hasil didikan Peta, yang di masa hidupnya berhasil menjabat selaku presiden terlama
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai