Identitas
a. Nama Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia
b. Kelas : XI (Sebelas)
c. Semester : Genap
d. Materi Pokok : Organisasi Pergerakan Masa Pendudukan Jepang
e. Tujuan Pembelajaran :
f. Sumber Belajar
Agar konsep dan teori yang akan Anda pelajari dapat Anda kuasai dengan baik,
maka terlebih dahulu bacalah Buku Teks Pelajaran (BTP) berikut:
▪ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017.
Sejarah Indonesia SMA Kelas XI (Edisi Revisi). Jakarta: Politeknik Negeri
Media Kreatif.
▪ Hapsari Ratna. 2013. Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta:
Erlangga.
▪ Buku lain yang sekiranya Anda temukan berkaitan dengan materi mengenai
Organisasi Pergerakan Masa Pendudukan Jepang. Untuk keperluan ini Anda
juga boleh mencarinya di internet.
Materi Pembelajaran
Selama masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dilarang membentuk organisasi sendiri.
Akan tetapi, Jepang sendiri membentuk organisasi-organisasi bagi rakyat Indonesia dengan
maksud dipersiapkan untuk membantu Jepang. Organisasi-organisasi ini pada akhirnya berbalik
melawan Jepang. Organisasi tersebut di antaranya adalah:
ditahan dapat dibebaskan, di antaranya Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutan Syahrir, dan lain-lain.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh Jepang, Gerakan Tiga A ini tetap kurang mendapat
simpati dari rakyat Indonesia. Pada bulan Desember 1942, akhirnya organisasi ini dibubarkan.
Tawaran kerja sama yang ditawarkan oleh pemerintahan Jepang pada masa itu, disambut
hangat oleh para pemimpin bangsa. Sebab menurut perkiraan mereka, suatu kerja sama di dalam
situasi perang adalah cara terbaik. Pada masa ini, muncul empat tokoh nasionalis yang dikenal
dengan sebutan Empat Serangkai, mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hattta, K.H. Mas
Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Empat tokoh nasionalis ini lalu membentuk sebuah gerakan
baru yang dinamakan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera resmi didirikan pada tanggal 16
April 1943.
MIAI merupakan organisasi yang berdiri pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada
tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya adalah K. H. Mas Mansyur dan kawan-kawan. Pada tanggal 4
September 1942, MIAI diizinkan aktif kembali pada masa pendudukan Jepang.
Dengan diaktifkannya kembali MIAI, maka MIAI menjadi organisasi pergerakan yang cukup
penting di zaman pendudukan Jepang. MIAI menjadi tempat bersilaturakhim, menjadi wadah
tempat berdialog, dan bermusyawarah untuk membahas berbagai hal yang menyangkut
kehidupan umat, dan tentu saja bersinggungan dengan perjuangan. MIAI senantiasa menjadi
organisasi pergerakan yang cukup diperhitungkan dalam perjuangan membangun kesatuan dan
kesejahteraan umat. Semboyan yang terkenal adalah “berpegang teguhlah kamu sekalian pada
tali Allah dan janganlah berpecah belah”. Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, MIAI
berkembang baik. Kantor pusatnya semula di Surabaya kemudian pindah ke Jakarta.
Adapun tugas dan tujuan MIAI waktu itu adalah sebagai berikut:
(1) Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia.
(2) Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
(3) Ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Untuk merealisasikan tujuan dan melaksanakan tugas itu, MIAI membuat program yang
lebih menitikberatkan pada program-program yang bersifat sosio-religius. Secara khusus
program-program itu akan diwujudkan melalui rencana sebagai berikut:
(1) pembangunan masjid Agung di Jakarta,
(2) mendirikan universitas, dan
(3) membentuk baitulmal.
MIAI terus mengembangkan diri di tengah-tengah ketidakcocokan dengan kebijakan dasar
Jepang. MIAI menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak
terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia
Timur Raya. Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh
Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan
dalam mengembangkan aktivitasnya, MIAI juga menerbitkan majalah yang disebut “Suara MIAI”.
Sebagai organisasi tunggal golongan Islam, MIAI mendapat simpati yang luar biasa dari
kalangan umat Islam sehingga organisasi ini berkembang semakin maju. Melihat perkembangan
ini, Jepang mulai merasa curiga. Tokoh-tokoh MIAI di berbagai daerah mulai diawasi. Untuk
mengantisipasi agar gerakan para pemuka agama Islam tidak menjurus pada kegiatan yang
berbahaya bagi Jepang, diadakan pelatihan para kiai. Para kiai yang menjadi peserta pelatihan
tersebut dipilih berdasarkan syarat-syarat memiliki pengaruh yang luas di lingkungannya dan
mempunyai watak yang baik. Pelatihan tersebut berlangsung di Balai Urusan Agama di Jakarta
selama satu bulan.
Namun, keterbatasan kegiatan MIAI justru dirasakan kurang memuaskan bagi Jepang
sendiri. Pada bulan November 1943, MIAI secara resmi dibubarkan dan diganti dengan
organisasi baru, yaitu Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Organisasi ini disahkan oleh
Gunseikan pada tanggal 22 November 1943. Susunan kepengurusan Masyumi adalah ketua
pengurus besar dipegang oleh K.H. Hasyim Asy'ari, wakil dari Muhammadiyah adalah K.H. Mas
Mansur, K.H. Farid Ma'ruf, K.H. Mukti, K.H. Hasyim, dan Kartosudarmo. Adapun wakil dari NU
adalah K.H. Nachrowi, Zainul Arifin, dan K.H. Mochtar.
Jepang mendirikan Jawa Hokokai pada tanggal 1 Januari 1944. Organisasi ini diperintah
langsung oleh kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan). Latar belakang dibentuknya Jawa
Hokokai adalah Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi pihak Indonesia daripada
bagi pihak Jepang. Oleh karena itu, Jepang merancang pembentukan organisasi baru yang
mencakup semua golongan masyarakat, termasuk golongan Cina dan Arab. Berdirinya Jawa
Hokokai diumumkan oleh Panglima Tentara Keenambelas, Jenderal Kumakichi Harada.
Sebelum mendirikan Jawa Hokokai, pemerintah pendudukan Jepang lebih dahulu meminta
pendapat empat serangkai. Alasan yang diajukan adalah semakin hebatnya Perang Asia Timur
Raya sehingga Jepang perlu membentuk organisasi baru untuk lebih menggiatkan dan
mempersatukan segala kekuatan rakyat. Dasar organisasi ini adalah pengorbanan dalam
hokoseiskin (semangat kebaktian) yang meliputi pengorbanan diri, mempertebal rasa
persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti.
Secara tegas, Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Jika pucuk
pimpinan Putera diserahkan kepada golongan nasionalis Indonesia, kepemimpinan Jawa Hokokai
pada tingkat pusat dipegang langsung oleh Gunseikan. Adapun pimpinan daerah diserahkan
kepada pejabat setempat mulai dari Shucokan sampai Kuco. Kegiatan-kegiatan Jawa Hokokai
sebagaimana digariskan dalam anggaran dasarnya sebagai berikut:
(1) Melaksanakan segala sesuatu dengan nyata dan ikhlas untuk menyumbangkan segenap
tenaga kepada pemerintah Jepang.
(2) Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat
persaudaraan antara segenap bangsa.
(3) Memperkukuh pembelaan tanah air.
Anggota Jawa Hokokai adalah bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun, bangsa
Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari berbagai kelompok profesi. Jawa
Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan padi. Pada tahun
1945, semua kegiatan pemerintah dalam bidang pergerakan dilaksanakan oleh Jawa Hokokai
sehingga organisasi ini harus melaksanakan tugas dengan nyata dan menjadi alat bagi
kepentingan Jepang.
Seinendan
Seinedan adalah organisasi semi militer yang didirikan tanggal 29 April 1943. Para
anggota Seinedan diberikan latihan-latihan militer baik untuk mempertahankan diri, maupun
untuk penyerangan. Di dalam rangka perang, Seinedan merupakan barisan cadangan yang
mengamankan garis belakang. Persyaratan untuk menjadi anggota Seinedan tidak terlalu sulit,
asalkan bertubuh sehat dan sudah berusia antara 15 – 25 tahun (kemudian diubah menjadi 14 –
22 tahun) dapat masuk ke dalam organisasi ini, sebagai pembinan Seinedan bertindak Naimubu
Bunkyoku (Departemen Urusan Dalam Negeri Bagian Pengajaran, Olah raga dan Seinedan). Di
tingkat Syu (Karesidenan) di pimpin oleh Syucokan sendiri (Residen). Untuk mensukseskan
organisasi Seinedan pemerintah Jepang memperluas Seinen Kunrensyo (Lembaga Latihan
Pemuda) menjadi Cuo Seinen Kunrensyo (Lembaga Pusat Pelatihan Pemuda). Di lembaga inilah
kader – kader pimpinan Seinendan daerah dilatih dengan latihan dasar kemiliteran tetapi tanpa
menggunakan senjata yang sebenarnya.
Pada bulan Agustus tahun 1943 di bentuk Fujinkai/Himpunan Wanita yaitu organisasi
semi militer yang diperuntukan bagi kaum wanita. Dalam keanggotaannya usia tidak ditentukan,
tapi batas minimum di tentukan yaitu 15 tahun. Kaum wanita ini diberikan latihan-latihan dasar
militer guna membantu tentara Jepang dalam memenangkan perang Asia Timur Raya.
Saat Perang Dunia ke dua Jepang mengalami kekurangan tentara untuk mempertahankan
daerah yang dikuasainya. Pengerahan kaum pemuda dalam barisan semi militer itu sepenuhnya
sangat mendukung Jepang yang menderita kekurangan tentara /man-power. Sejak awal
pendudukan Jepang sudah mulai memikirkan untuk melatih para pemuda ke dalam organisasi-
organisasi militer untuk mempertahankan daerah-daerah yang dikuasainya. Sehubungan dengan
itu pada bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman yang isinya memberi kesempatan kepada
pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho).
Syarat penerimaan anggota Heiho adalah berbadan sehat, berkelakuan baik dan berumur
18 - 25 tahun dengan pendidikan terendah Sekolah Dasar. Para pemuda yang menjadi anggota
Heiho mendapatkan pendidikan militer yang lebih sempurna di bandingkan dengan anggota
Seinendan dan Keibodan karena anggota Heiho langsung ditempatkan di dalam organisasi militer
Jepang. Heiho sebagai tenaga pembantu prajurit telah mulai dibentuk sejak 22 April 1943 sebagai
pasukan bersenjata yang pertama dari kalangan pribumi, sebagai tenaga pembantu tentara
Jepang. Namun demikian Heiho bukanlah kesatuan yang sepenuhnya, tetapi tenaga yang di
pecah-pecah dan di perbantukan pada kesatuan–kesatuan Jepang. Heiho juga bukan sebagai
satuan organik yang nyata dalam sistem pertahanan Jepang. Hanya saja sejak pertengahan tahun
1943 (sesudah Heiho dibentuk) tidak ada lagi kesangsian fihak Jepang bahwa orang Indonesia
mempunyai kemampuan untuk tugas–tugas militer. Keraguan yang ada hanyalah mengenai
kesetiaan orang Indonesia terhadap kepentingan perang Jepang. Anggota Heiho lebih terlatih dari
pada tentara Pembela Tanah Air (PETA), karena kedudukannya sebagai pengganti prajurit Jepang
diwaktu perang. Diantarnya terdapat anggota Heiho sebagai pemegang senjata anti pesawat,
tank, artileri medan, pengemudi dan lain- lain. tetapi tidak seorang Heiho- pun yang berpangkat
perwira. Pangkat perwira hanya tersedia untuk tentara Jepang” ( Nogroho Notosusanto.1992 :
33).