Anda di halaman 1dari 13

Krisis Ijtihad: Sebuah Upaya Mengembangkan Metode Qiyas

Khasan Alimuddin
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Hukum Keluarga Islam
Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga
E-mail: akhasan425@gmail.com

Abstrak

Dalam sejarah peradaban manusia, hampir seluruh aspek kehidupan manusia


mengalami berbagai perubahan yang signifikan. Mulai dari perubahan sosial,
budaya, hingga konsep-konsep keberagamaan. Implikasi dari kondisi tersebut
adalah timbulnya berbagai peroslan hukum, dimana persoalan tersebut belum
pernah terjadi pada masa sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, salah satu
perangkat metodologis yang mendesak untuk ditinjau kembali adalah teori qiyas
(analogical reasoning), karena teori ini dalam kerangka Ushul al-Fiqh merupakan
teori yang paling produktif dalam perumusan hukum Islam. Namun pertanyaanya
adalah apakah mungkin qiyas dengan format klasiknya yang sederhana dan tidak
pernah berubah mampu menjadi sebuah metodologi yang mampu menjawab dan
menangani masalah-masalah kontemporer yang muncul? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan
memperluas dimensi ‘illat dalam strukrtur qiyas. Perluasanya dapat dilakukan
dengan menggunakan metode induktif (istiqra’i). Tujuanya adalah untuk menjaga
fleksibilitas, relevansi, kemaslahatan, dan signifikasi hukum Islam terhadap
realitas kehidupan.

A. Pendahuluan
Dalam situasi zaman bergerak, kehidupan umat manusia telah
mengalami banyak perubahan, baik pada level individu maupun pada level
komunal. Perubahan terebut berupa pola pikir, perilaku, gaya hidup bahkan
konsep-konsep keberagamaan. Di akui atau tidak, perubahan tersebut telah
membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan hukum dan
sekaligus menimbulkan berbagai persoalan hukum.1 Dalam konteks inilah,
ungkapan bahwa islam shalih li kulli az-zaman wa al-makan, seolah ditantang
oleh perkembangan zaman, apakah Islam dapat diimplementasikan di wilayah-
wilayah mana pun dan pada waktu kapan pun?2
1
Lendy Zelviean Adhari, Struktur Konseptual Ushul Fiqh, (Bandung: Penerbit Widina,
2021), hlm. 95
2
Ali Muhtarom,”Meninjau Ulang Teori Qiyas (Kajian Terhadap ‘Illat Dalam Qiyas dan
Upaya Pengembangan Teori Hukum Islam)”, Jurnal Al-Ahwal, 7(1), tahun 2015, hlm. 6
Kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam hari ini umat Islam
untuk terus mengkontekstualisasikan hukum Islam, dalam rangka menjawab
dan mengakomodir persoalan-persoalan kontemporer yang belum tercakup
oleh nash atau teks keagamaan.3 Upaya-upaya inilah yang biasa dikenal
dengan istilah ijtihad.4 Ijtihad merupakan isu sentral dalam disiplin Ushul al-
Fiqh yang mempunyai konsentrasi pada metode implementasi spirit teks
keagamaan dalam berbagai lingkungan sosial budaya.
Akan tetapi persoalanya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad
Syahrour, terjadi krisis ijtihad dikalangan umat Islam. Krisis ini terjadi karena
adanya keterganrungan umat Islam terhadap turots yang merupakan
epistemologi Islam doktrinal era klasik-pertengahan. Lebih lanjut, Syahrour
juga mengungkapkan bahwa turats adalah produk material maupun pemikiran
yang ditinggalkan atau diwariskan oleh henerasi terdahulu kepada generasi
masa kini, yang memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat
terdahulu, baik dalam bentuk pola pikir ( mode of thought) maupun pola
tindakan (mode of conduct).5
Hal tersebut pada akhirnya membawa umat Islam menjadi seorang
muqallid yang buta, sebuah kondisi dimana umat Islam tidak mampu
membedakan bahwa dirinya sedang hidup dalam zaman yang sangat jauh
rentangnya dari zaman yang mereka ikuti. Inilah yang menjadi ironi, dimana
umat Islam yang hidup di abad 21 namun taqlid kepada sebuah produk yang
dihasilkan oleh generasi yang hidup di abad ke-7.6 Maka hal penting yang
perlu di catat adalah bahwa turots adalah produk atau wujud dari aktivitas
manusia yang berkaitan dengan zamanya, sehingga dalam berinteraksi dengan

3
Ali Sodiqin,”Fiqh Sains: Elaborasi Konsep ‘Illat Menuju Pembentukan Hukum Islam
Yang Aktual”, Jurnal Al-Mazahib, 1(1), tahun 2012, hlm. 1.
4
Upaya untuk menggali hukum dari sumber utama yaitu al-Qur’an dan Sunnah inilah
yang biasa dikenal dengan Ijtihad. Lihat dalam Nispul Khoiri, Ushul Fikih, (Bandung: Citapustaka
Media, 2015), hlm. 65
5
Zuyyina Candra Kirana,”Kontribusi Pemikiran Muhammad Syahrour Tentang Teori
Hudud Dalam Pembaruan Pemikiran Islam,” Salmiya: Jurnal Studi Ilmu Kegamaan Islam, 3(4),
tahun 2022, hlm. 74.
6
Muhammad Syahrour, al-Kitab wal Qur’an: Qiraah Mu’ashiroh, (Damaskus: al-Ahali li
al-Nasyr wa al tawzi, 1994), hlm. 60.
turots yang sifatnya relatif dan temporal, dibutuhkan pembacaan yang
kontemporer dalam membacanya.7
Senada dengan pendapat Syahrour di atas, Abdullah Ahmed An-Na’im
juga menekankan bahwa diperlukan adanya pembaharuan atau reiterpretasi
terhadap proses ijtihad tersebut. Hal tersebut perlu dilakukan karena
menurutnya, ijtihad dalam kerangka Ushul al-Fiqh konvensional memiliki
kelemahan-kelemahan metodologis yang fundamental.8 Konsekuensi dari hal
tersebut adalah apapun upaya yang dilakukan dalam rangka pembaharuan
hukum Islam tidak akan menghasilkan sesuatu yang signifikan. 9 Karenanya
upaya-upaya konstekstualisasi dan reinterpretasi materi hukum hendaknya
dibarengi dengan sentuhan kritis terhadap aspek metodologisnya.
Bagian dari perangkat metodologis yang mendesak untuk ditinjau
kembali adalah teori qiyas (analogical reasoning), karena teori ini dalam
kerangka Ushul al-Fiqh merupakan teori yang paling produktif dalam
perumusan hukum Islam.10 Namun dalam perkembangan selanjutnya
menyisakan satu pertanyaan mendasar. Pertanyaan tersebut adalah, apakah
mungkin jika qiyas dengan format klasiknya yang sederhana dan tidak pernah
berubah harus dipaksa untuk menangani masalah-masalah kontemporer yang
muncul?

B. Pembahasan
1. Pengertian Qiyas

7
Muhammad Syahrour menyebut pembacaan kontemporer dengan istilah Qira’ah
Mu’ashiroh. Adapun yang dimaksud dengan qira’ah mu’ashiroh adalah pembacaan yang
mengedepankan dialektika antara produk peninggalan generasi terdahulu dengan pembaca terkait
dengan konteksnya sendiri. Lihat dalam Muhammad Syahrour, al-Kitab wal Qur’an: Qiraah
Mu’ashiroh, (Damaskus: al-Ahali li al-Nasyr wa al tawzi, 1994), hlm. 47
8
Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin
Arrani, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 97.
9
Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin
Arrani, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 97.
10
Ali Muhtarom,”Meninjau Ulang Teori Qiyas (Kajian Terhadap ‘Illat Dalam Qiyas dan
Upaya Pengembangan Teori Hukum Islam)”, Jurnal Al-Ahwal, 7(1), tahun 2015, hlm. 8
Qiyas secara etimologis diartikan sebagai ukuran, membandingkan
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.11 Sedangkan secara
terminilogi, mengutip pendapat dari al-Amidi, Qiyas diartikan sebagai:
‫ فى العلة المستنبطة من حكم االصل‬Y‫عبارةعن االستواء بين الفروع واالصل‬
Artinya:”Seusuatu bentuk kesamaan antara far’ dan ashl dalam illat yang
digali dari hukm ashl.”12
Sedangkan menurut ahli ushul, qiyas diartikan sebagai:
‫ في الحكم‬،‫ا‬YY‫ نص بحكمه‬Y‫ة ورد‬YY‫ا بواقع‬YY‫ة ال نص على حكمه‬YY‫اق واقع‬YY‫و إلح‬YY‫اس ه‬YY‫القي‬
‫ لتساوي الراقعتين في علة هذاالحكم‬،‫ به النص‬Y‫الذي ورد‬
Artinya:”Membandingkan suatu kasus hukum dengan suatu kasus hukum
yanga da keytetapan dalam nash disebebkan adanya persamaan illat
hukum dalam kedua hukum tersebut.”13
Berdasarkan pegertian di atas, terdapat empat unsur dalam proses
merumuskan qiyas:14
a. Ashl yaitu kasus dan peristiwa hukum yang terdapat dalam nash.
Sebagai salah satu unsur pokok, asl memliki beberapa persyaratan
sebagai berikut15:
(1) Hukum yang berada pada asl bersifat tetap.
(2) Ketetapan hukum yang ada pada asl harus berdasarkan jalur sami’
syar’i, bukan akali.
(3) Asl bukanlah far’ bagi asl yang lain. Artinya, ketetapan hukum
pada asl bukanlah berdasarkan qiyas, melainkan karena ketetpan
nash.
(4) Dalil yang menetapkan ‘illat pada asl itu terkhusus bagi asl
tersebut. Tidak boleh sampai mencakup pada far’.
(5) Asl tidak boleh keluar dari aturan-aturan qiyas. Artinya, qiyas tidak
boleh keluar dari kaidah umum dan menjadi pengecualian. Sebab,
jika ia keluar dari kaidah umum, maka secara otomatis asl tersebut
tidak bisa dijadikan sandaran qiyas.
b. Fur’u yaitu kasus baru yang memerlukan penyelesaian hukum. Dengan
kata lain far’u adalah kasus yang ingin diserupakan dengan kepada asl.

11
Nispul Khoiri, Ushul Fikih, (Bandung: Citapustaka Media, 2015), hlm. 98.
12
Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, (Mesir: Far al-Fikr, 1928),
hlm. 1-8.
13
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Halimuddin, (Jakarta: Rieneka
Cipta,2012), hlm. 57.
14
Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, (Beirut: dar al-Fikr, t,t), hlm. 56.
15
Op.Cit., hlm. 53.
Sebagaimana asl, far’u juga memiliki beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
(1) Far’u belum ditetapkan hukumnya dalam nash.
(2) Ditemukanya ‘illat asl pada far’u.
(3) Kadar ‘illat yang terdapat pada far’u tidak boleh lebih dari kadar
‘illat pada asl.
(4) Hukum pada far’u tidak mendahului hukum pada asl.16
c. Hukmu al- Ashl yaitu norma hukum asal yang terdapat dalam nash.
Hukum asl memiliki beberapa syarat diantaranya, yaitu:
(1) Hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash.
(2) Merupakan hukum yang ma’qul al-ma’na (rasional/dapat dicerna
akal). Maksudnya adalah hukum yang dapat ditangkap sebab dan
alasan penetapanya.
d. ‘Illat yaitu alasan, motif atau sifat umum yang dapat disamakan antara
furu’ dan ashal. Dalam pembahasan qiyas, ‘Illat merupakan elemen
yang terpentinng. Adapun persyaratan ‘illat adalah sebagai berikut:
(1) ‘Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi
sesuatu yang bisa diidentifikasi.
(2) ‘Illat harus kuat , tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi
maupun lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat
megakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
(3) Harus memiliki korelasi antara hukum yang akan ditetapkan dengan
‘illat.
(4) ‘Illat harus berdaya jangkau luas. ‘Illat yang berada pada asl tidak
mungkin untuk dijadikan landassan peng-qiyasan.
(5) Sifat tersebut tidak bertentangan dengan nash. Jika sifat tersebut
bertentangan, tentunya tidak layak untuk dicabangkan.
Dengan demikian dapat di pahami bahwa qiyas merupakan
perluasan nilai syari’at yang terdapat dalam kasus asal (al-ashal), kepada
kasus baru yang memiliki kausa (‘illat) yang sama dengan asal. Dimana
kasus asal ditentukan oleh nash, dan qiyas berusaha memperluas ketentuan
tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesamaan kausa
(‘illat) antara kasus asal dengan kasus baru, maka penerapan qiyas
mendapat justifikasi.17
16
Ibid., hlm. 55
17
Sebetulnya banyak sekali definisi mengenai qiyas, namun jika dirinci, definisi-definisi
tersebut memiliki titik temu yang sama, yaitu menyamakan hukum sesuatu yang tidak adanya
ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada hukumnya karena adanya persamaan illat
antara keduanya. Lihat dalam Muhammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence,
(Cambridge: 1991)., terj. Noorhaidi, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul Fiqih),
2. Sejarah Perkembangan Qiyas
Qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum, secara
kronologis historis dapat dipetakan menjadi dua kelompok, yaitu qiyas
sebelum masa Imam Syafi’i dan qiyas setelah masa Imam Syafi’i.
a. Qiyas sebelum masa Imam Syafi’i
Qiyas sebelum masa Imam Syafi’i adalah sebuah formulasi
qiyas yang belum baku. Ia masih dalam bentuknya yang sederhana dan
bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu hukum.
Qiyas pada masa ini tidak terpaku pada syarat-syarat yang
membatasinya dari berfikir liberal, spekulatif, dan dinamis dalam
menentukan masalah.18 Qiyas sebagai penalaran hukum (legal
reasoning) ini lazim disebut dengan penalaran (ra’y). Ia berlaku mulai
pada masa Rasulullah sebagai embrionya dan semakin matang pada
masa Imam Abu Hanifah sebagai panglima aliran ahl al-ra’y. Dalam
periode awal. ra’y merupakan alat pokok ijtihad, yang mendahului
pertumbuhan prinsip qiyas. Penggunaan ra’y untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang ada tidak diungkap oleh nash merupakan hal
yang tidak dapat dielakkan pada masa pertumbuhan Islam. Selama
masa tersebut, orang-orang mengambil jalan ra’y atas masalah-masalah
yang abru timbul dalam masyarakat.19
Penggunaan ra’y atau penalaran sebagai pengamalan qiyas
semakin memasyarakat pada masa tabi’in, yang dalam hal ini dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu madzhab Irak dan madzhab Madinah.
Dimana madzhab Irak diwakili oleh Imam Abu Hanifah dan kedua
muridnya, Abu Yusuf dan al-Syaibani. Adapun madzhab Madinah
yang dirujuk adalah Imam Malik.20 Perbedaan antara kedua madzhab
ini hanyalah sedikit, jika pada madzhab Irak lebih menunut konsistensi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 255
18
Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 35.
19
Muhammad Atho Mudzhar, Membaca gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 45.
20
Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 39.
penalaran, maka pada madzhab Madinah lebih menekankan pada
praktek yang telah diterima secara luas oleh masyarakat.21
Berangkat dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa qiyas
mengandung aturan kesepadanan, preseden, akal dan ketetapan hukum
yang telah ada, kesamaan sedikit saja dianggap cukup untuk melakukan
qiyas bagi mujathid awal dan tidak ada aturan-aturan yang ketat.
Implikasi dari pemberlakuan qiyas semacam ini menimbulkan hukum
Islam yang dinamis dan akomodatif terhadap perkembangan zaman.
b. Qiyas setelah masa Imam Syafi’i
Qiyas pada masa Imam Syafi’i dan setelahnya adalah sebuah
formulasi qiyas yang sudah terkodifikasi dan terformulasikan dengan
baku dalam al-Risalah. Qiyas pada model ini memiliki syarat-syarat
yang ketat, baku dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran
hukum yang bebas dan aktual, melainkan “tunduk” di bawah bayang-
bayang teks-teks agama.22
Upaya untuk menciptakan kesatuan hukum dan membatasi
penggunaan ra’y yang dilakukan oleh para Ulama di masa awal, di
latarbelakangi oleh sebuah kenyataan bahwa adanya penggunaan ra’y
yang liberal memberikan lahan yang subur bagi berkembangnya
beraneka ragam hukum dalam masyarakat, sehingga tidak jarang suatu
permasalahan hukum mendapat jawaban yang berbeda di tempat yang
berbeda. Untuk itulah kemudian Imam Syafi’i memformulasikan qiyas
dengan syarat yang ketat23 dalam rangka membendung penggunaan
ra’y yang sewenang-wenang sebagaimana madzhab hukum awal. Lebih
dari itu, metode qiyas yang dilakukan oleh Imam Syafi’i terbatas hanya

21
Ahmad Hasan, The early Developement of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam
Publishers, 1994), hlm. 140.
22
Ibid., hlm. 137.
23
Syarat ketat yang dimaksudkan adalah syarat-syarat seorang yang dibolehkan
melakukan qiyas. Dimana syarat-syarat tersebut diantaranya adalah menguasai bahasa arab dan
unsur-unsurnya, mengetahui ilmu al-Qur’an, mendalami Sunnah, menguasai logika yang benar.
Lihat dalam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-Halabi,
t.t), hlm. 70
untuk menyingkap hukum yang secara praktis ada di dalam teks-teks
keagamaan meskipun keberdaanya samar dan tersembunyi.24
Dalam periode awal, qiyas difahami sebagai penalaran bebas
mencari hukum, dilanjutkan pada perode berikutnya pada masa Imam
Syafi’i menjadi sangat sempit, yaitu hanya memperbandingkan dua hal
yang sejajar karena keserupaanya, yang secara teknis dikenal dengan
nama sebab hukum (‘illat al hukm). Lebih dari itu, qiyas ini harus
didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini menunjukkan
tidak adanya independensi qiyas, karena qiyas harus “tunduk”
mengikuti kemauan teks keagamaan.25
Setelah melihat sejatah perkembangan qiyas dari masa awal
sebelum Imam Syafi’i hingga masa Imam Syafi’i dan setelahnya, dapat
dikatakan bahwa adanya sistematisasi qiyas dan sederet perangkatnya
yang ketat, di satu sisi menyebabkan terjadinya penyempitan terhadap
pengguaan ra’y, karena orang tidak boleh secara sembarangan
menganalogikan sesuatu tanpa adanya syarat yang dipenuhi, namun di
sisi yang lain menjadikan hukum bersifat kaku, statis, dan kurang
kreatif. Bahkan menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kalau dibaca lebih
dalam, akan tersingkap bahwa sebenarnya Imam Syafi’i bermaksud
untuk menegakkan otoritas teks agar mencakup setiap bidang persoalan
kehidupan sosial dan pengetahuan. Nampak pula, sebenarnya ia
memperluas bidang kerja qiyas, sementara ia membatasi wilayah kerja
teks, dan tidak berani melampauinya.26 Hingga pada akhirnya ia
menghimbau untuk meninjau ulang dan mengadakan transformasi ke
fase pembebasan, bukan otoritas teks semata, tapi juga dari semua
otoritas yang menghadang perjalanan manusia di dunia.27

24
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Audulujiyah al-Washatiyyah,
(Kairo:Sina Li an-Nasr), Bagian II, Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, terj.
Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 77-98.
25
Ahmad Hasan, Analogical Reasoning, dalam Muhammad Roy, Ushul Fiqih, hlm. 43.
26
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Audulujiyah al-Washatiyyah,
(Kairo:Sina Li an-Nasr), Bagian II, Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, terj.
Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 94
27
Ibid.,
3. Urgensi Metode Qiyas Di Era Kontemporer
Perkembangan sains dan teknologi pada masa kini berdampak pada
munculnya problem-problem baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk
kehidupan keagamaan. Ijtihad dikalangan umat Islam merupakan
kebutuhan abadi. Selama di tengah masyarakat masih terjadi
perkembangan dan perubahan, maka selama itu pula ijtihad harus tetap
dilakukan untuk menjawab dan menetapkan hukum dari suatu
permasalahan.28
Reinterpretasi dan rekonsepsi terhadap hasil karya fuqoha dapat
dilakukan melalui dua level, yaitu ijtihad tarjibi intiqa’i dan ijtihad ibdai
insyai.29 Ijtihad tarjibi intiqa’i adalah penyeleksian terhdap berbagai
pendapat fuqaha yang sudah ada untuk dipilih mana yang kebih relevan
dan bermashlahah dengan situasi kekinian dan kedisinian. Kekayaan
pemikiran Islam klasik tidak selalu out of date, tetapi dapat dikaji ulang
untuk melihat bagaimana semangat yang ada dalam setiap pemikiranya.
Kitab-kitab fiqih dapat dijadikan sebagai starting point untuk melakukan
ijtihad.
Ijtihad ibdai insyai adalah sebuah bentuk ijtihad yang digunakan
ketika konsep-konsep dalam fiqih lama tidak membahas persoalan yang
sedang di-ijtihadi. Fungsi dan kegunaan ijtihad level ini adalah memberi
jawaban baru atas problem yang belum pernah terjadi pada masa
sebelumnya. Dalam kajian Ushul al-Fiqh telah dikembangkan mekanisme
khusus untuk mengatasi problem-problem kontemporer, dimana salah
satunya adalah qiyas. Dengan keberadaan qiyas menunjukkan bahwa Islam
adalah sebuah agama yang open-system, living system, yang mampu
berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Karena bagaimanapun, hukum
tidak pernah muncul dari ruang yang hampa.30 Oleh karena itu, qiyas
sebagai sebuah metode untuk menggali hukum perlu untuk dikembangkan
28
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad dalam Syari’at Islam, Beberapa Pandangan Analisis
tentang Ijtihad Kontemporer, terj. Achmad Syathori, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 132.
29
Ibid., hlm. 149.
30
Jasser Auda, Maqashid Syariah, terj. ‘Ali ‘Abdoelmoen’im, (Yogyakarta: SUKA-Press,
2013), hlm. 48
guna mejadikan hukum Islam memiliki fleksibilitas dengan perkembangan
dan perkembangan masyarakat yang begitu cepat.
Ijtihad model bdai-insyai dapat memanfaatkan penetaan hukum
yang telah diparketkkan oleh fuqaha klasik, terutama dalam penalaran
‘illat-nya, yakni penalaran yang menggunakan ‘illat yang terkandung
dalam nash sebagai alat utamanya. ‘Illat itu sendiri adalah suatu keadaan
atau sifat yang jelas, dapat diukur dan mengandung relevansi sehingga kuat
dugaan dijadikan sebagai dasar penetapan hukum.31 Penalaran ini dapat
dimanfaatkan untuk melihat kembali ‘illat yang digunakan para fuqaha
dalam keputusan hukumnya. ‘Illat terwebut dilihat kembali relevansinya
dengan perkembangan mutakhir, untuk melihat apakah harus terjadi
perubahan penetapan ‘illat atau tidak. hal ini penting dilakukan mengingat
kedudukan ‘illat sanat mempengaruhi ada tidaknya sebuah hukum.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘illat memiliki
kedudukan penring yang menyebabkan adanya hukum,32 sedangkan
keberadaan hukum terebut memiliki motif-motif tertentu yang tujuanya
adalah untuk merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan.33 Oleh
karena itu, penetapan hukum berdasarkan ‘illat harus selaras dengan tujuan
pensyari’atan sebagaimana yang terkandung dalam nash. Sehingga
pene,uan ‘illat hukum memerlukan kajian historis-sosiologis-antropologis,
atau dalam kajian ulum al qur’an dikenal dengan ‘ilmu asbab an-nuzul.
Penggunaan ‘illat dalam proses penetapan hukum perlu
dikembangkan ke arah yang sistematis dan holistik. Konsep ‘illat pada
dasarnya memiliki signifikasi dengan konsep maqashid asy-syari’ah,
meskipun dalam kajian fiqih dibedakan penggunaanya. Selain itu, dalam
melakukan ijtihad perlu penggunaan metode induksi (istiqra’),34 guna

31
Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, (Bandung:
Rosdakarya, 1994), hlm. 179.
32
Abu Ishaq Ibrahim Ibn ‘Ali Asy-Syirazi, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, (Semarang: Toha
Putra, t.th). hlm. 56.
33
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam, Membongkar Konsep Al-Istiqra’ al-
Ma’nawi Asy-Syatibi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 137.
34
Metode induktif (istiqra’i) adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang
dihasilkan dari fakta-fakta khsusus. Dinnamakan Istiqr’i karena langkah awal yang harus ditempuh
terbentuknya sistem hukum yang holistik, karena mendekatkan ‘illat
kepada maqashid.
Sejumlah konsep dalam fiqih klasik perlu ditinjau ulang untuk
mendapatkan relevansinya dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh
dalam fiqih munakahat dalam perkembangan mutakhir, muncul persoalan
tentang bagaimana hukumnya nikah melalui teepon atau jaringan internet.
Dimana dalam pernikahan tersebut, kedua pihak yaitu calon mempelai pria
dan wali mempelai wanita, tidak berada pada satu tempat tetapi dapat
berkomunikasi langsung satu sama lain. Persoalan ii tentu saja memerlukan
keputusan yang tepat karena menyangkut sah tidaknya pernikahan yang
dilakukan. Disinilah kemudian penting untuk melakuka redefinisi terhdap
konsep majlis, tentu saja dengan mencari ‘illat yang tepat, riil, dan logis
dengan cara menginduksinya dari ebberapa dalil yang relevan.
C. Kesimpulan
Berdasarakan pembahasan di atas, dapat disimpulakn bahwa qiyas
harus dipahami sebagai sebuah metode untuk menggali hukum yang belum
termuat secara eksplisit di dalam nash. Formulasi qiyas dengan syarat yang
ketat yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dan generasi setelahnya bukan untuk
membatasi kerja akal dan membatasi penafsiran terhadap hukum Islam, namun
lebih sebagai bentuk kehati-hatian, supaya tidak terjadi penggunaan ra’y yang
sewenang-wenang dalam proses penggalian hukum Islam.
Dalam konteks hari ini, penggunaan qiyas sebagai metode penggalian
hukum Islam dalam rangka menjaweab tantangan zaman sangatlah penting.
Meskipun dalam penerapanya, perlu adanya perubahan paradigma dalam
mencari ‘illat al-hukmi, yaitu dari metide deduktif (istimbath), menuju metode
induktif (istiqra’). Dengan demikian Islam akan tetap menjadi sebuah agama
yang shalih fi kul al- zaman wa al-makan.

dalam metode ini adalah dengan mempelajari dan meneliti permasalahan-permasalahan yang kecil
satu persatau atau cabang-cabang yang partikular terlebih dahulu, setelah itu dari data-data tersebut
barulah mengambil kesimpuan umum. Lihat dalam Ali bin Muhammad al-Sayid al-Syarif Al-
Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beriut: Dar’ul Irsyad, t.th), hlm. 32.
DAFTAR PUSTAKA

Adhari, Lendy Zelviean., Dkk. (2021). Struktur Konseptual Ushul Fiqh.


Bandung: Penerbit Widina.
Al-Amidi, Ali Ibn Muhammad. (1928). al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam.
Mesir: Far al-Fikr.
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad al-Sayid al-Syarif. (t.th). Kitab al-Ta’rifat.
Beriut: Dar’ul Irsyad.
al-Qardhawi, Yusuf. (1987). Ijtihad dalam Syari’at Islam, Beberapa
Pandangan Analisis tentang Ijtihad Kontemporer. terj. Achmad
Syathori. Jakarta: Bulan Bintang.
al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. (t.th). al-Risalah. Kairo: Mathba’ah
Musthafa al-Halabi.
An-Na’im, Abdullah Ahmed. (1997). Dekonstruksi Syari’ah. ter. Ahmad
Suaedy dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS.
Asy-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim Ibn ‘Ali. (t.th). al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh.
Semarang: Toha Putra.
Auda, Jasser. (2013). Maqashid Syariah. terj. ‘Ali ‘Abdoelmoen’im.
Yogyakarta: SUKA-Press.
az-Zuhaili, Wahbah. (t.th). Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh. Beirut: dar al-Fikr.
Hasan, Ahmad. (1994). The early Developement of Islamic Jurisprudence.
New Delhi: Adam Publishers.
Ibrahim, Duski. (2008). Metode Penetapan Hukum Islam, Membongkar
Konsep Al-Istiqra’ al-Ma’nawi Asy-Syatibi. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Kamali, Muhammad Hashim. (1996). Principles of Islamic Jurisprudence.
terj. Noorhaidi. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul
Fiqih). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khallaf, Abdul Wahab. (2012). ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. terj. Halimuddin.
Jakarta: Rieneka Cipta.
Khoiri, Nispul. (2015). Ushul Fikih. Bandung: Citapustaka Media.
Kirana, Zuyyina Candra. (2022).”Kontribusi Pemikiran Muhammad
Syahrour Tentang Teori Hudud Dalam Pembaruan Pemikiran
Islam”. Salmiya: Jurnal Studi Ilmu Kegamaan Islam. 3(4).
Mudzhar, Muhammad Atho. (1998). Membaca gelombang Ijtihad: Antara
Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Muhtarom, Ali. (2015). ”Meninjau Ulang Teori Qiyas (Kajian Terhadap
‘Illat Dalam Qiyas dan Upaya Pengembangan Teori Hukum
Islam)”. Jurnal Al-Ahwal. 7(1).
Roy, Muhammad. (2004). Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan
Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih. Yogyakarta: Safiria
Insani Press.
Sodiqin, Ali. (2012). ”Fiqh Sains: Elaborasi Konsep ‘Illat Menuju
Pembentukan Hukum Islam Yang Aktual”. Jurnal Al-Mazahib.
1(1).
Surjaman, Tjun. (1994). Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan
Praktek. Bandung: Rosdakarya.
Syahrour, Muhammad. (1994). al-Kitab wal Qur’an: Qiraah Mu’ashiroh.
Damaskus: al-Ahali li al-Nasyr wa al tawzi.
Zayd, Nasr Hamid Abu. (1997). al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-
Audulujiyah al-Washatiyyah. (Kairo:Sina Li an-Nasr). Bagian II,
Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme. terj. Khoiron
Nahdliyyin. Yogyakarta: LkiS.

Anda mungkin juga menyukai