Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQIH

QIYAS SEBAGAI METODE IJTIHAD DALAM ISTINBATH HUKUM

Dosen pengampu : Awaludin, S.Pd.

Di susun oleh kelompok 6 :

1.Marisa : ( 220101119 )

2. Evi amalia ( 220101134 )

3. Rintia ( 220101120 )

4. M. Ali imron ( 220101039 )

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QUR'AN AL-ITTIFAQIAH, INDRALAYA


OGAN ILIR, SUMATRA SELATAN.

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Dalam tradisi hukum Islam dikenal adanya sumber hukum; yaitu al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan qiyas. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Karenanya
dalam perujukan hukumhukum Islam al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila dalam
alQur’an tidak ditemukan maka beralih kepada al-Sunah karena alSunah adalah
penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di dalam al-Sunah tidak ditemukan
maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah nash-nash al-Qur’an dan al-
Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas.
Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk melakukan ijtihad. Dalam posisi ini,
qiyas menempati rangkin keempat sebagai sumber hukum Islam.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah eksistensi qiyas itu sendiri sebagai salah
satu sumber hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam, qiyas menjadi salah satu
sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat diantara
para ulama. Karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa
qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab
Zahiriyah misalnya, mereka tidak mengakui keberadaan qiyas apalagi menerima atau
menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Sedangkan di kalangan ulama–ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab


Syi’ah Zaidiyah menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam. Dari elaborasi singkat
di atas ternyata eksistensi qiyas masih problematis sebagai salah satu sumber hukum
Islam. Oleh karena itu dalam tulisan ini lebih menekankan pada perdebatan qiyas
sebagai sumber hukum Islam.

Indralaya, Mei 2023

Pemakalah.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................1

DAFTAR ISI......................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang.............................................................................................................3

1.2 Rumusan masalah.......................................................................................................4

1.3 Tujuan...........................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

1.1 Pengertian qiyas..........................................................................................................5

1.2 Rukun-rukun qiyas.....................................................................................................5

1.3 kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam.....................................................7

1.4 Kelompok yang menolak qiyas sebagai sumber hukum.......................................8

1.5 Kelompok yang menerima qiyas sebagai sumber hukum.....................................9

BAB III PENUTUP

3.1 kesimpulan...................................................................................................................9

3.2 Saran.............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................10

2
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Ketika masyarakat Muslim tumbuh, muncul berbagai persoalan baru yang


kebanyakan di antaranya belum pernah ada status hukumnya. Para ulama dan fukaha
mencoba memecahkan persoalan ini dengan menggunakan analogi deduktif dari al-
Qur‟an dan Sunnah. Analogi deduktif ini disebut dengan qiyas.Pada prinsipnya, qiyas
memberipemahaman kepada para ulama bahwa dua kasus yang berbeda dapat
dipecahkan dengan mengacu pada aturan yang sama.¹

Qiyas merupakan salah satu metodeistinbāṭ (menggali) hukum yang populer di


kalangan mazhab Syafi‟i. Dalam urutannya, mazhab Syafi‟i menempatkan qiyas
berada di urutan keempat setelah al-Qur‟an, hadis, dan ijmak. Imam Syafi‟i sebagai
pelopor mujtahid yang menggunakan qiyas sebagai satu-satunya jalan untuk menggali
hukum, mengatakan bahwa yang dinamakan ijtihad² adalah qiyas. Beliau mengatakan
bahwa “ijtihad” dan “qiyas” merupakan dua kata yang memiliki makna yang sama.
Artinya, dengan cara qiyas, berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan
hukum sesuai dengan sumbernya: al-Qur‟an dan hadis. Sebab, hukum Islam, kadang
tersurat jelas dalam nas al-Qur‟an atau hadis secara eksplisit, kadang juga bersifat
tersirat secara implisit. Hukum Islam adakalanya dapat diketahui melalui redaksi nas,
yakni hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam al-Qur‟an dan hadis,
adakalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nas, yang
demikian itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.³

Adapun makalah ini akan membahas qiyas sebagai salah satu metodeistinbāṭ
hukum dalam koridor usul fikih dengan mengulas berbagai unsur dan aspeknya.

_________________________

¹ Ziauddin Sardar,Kembali ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi Pemecahan Masalah


(Jakarta: Serambi, 2005), h. 106-107.

² Secara harfiah, ijtihad adalah suatu ungkapan dari pengerahan daya kemampuan untuk
mewujudkan sesuatu yang dituju. Sedang secara istilah, menurut al-Ghazali, bahwa ijtihad adalah
pengerahan kemampuan untuk mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara‟. Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali,Al-Mustaṣfā min 'ilmi al-‟Uṣūl (Damaskus: Ar-Risalah, 2010), h. 382

³ Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma‟shum dkk., cet.XI (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), 336-337.

3
1.2 Rumusan masalah

a. Apa itu qiyas?

b. Bagaimana bisa qiyas menjadi sumber hukum islam?

c. Bagaimana pendapat-pendapat para ulama fiqih tentang qiyas?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui secara detail tentang qiyas

b. Untuk mengetahui kedudukan qiyas

c. Untuk mengetahui rukun-rukun qiyas

4
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian qiyas

Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, (‫ﯾﻘﯿﺲ‬-‫)ﻗﺎس‬
yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu (Ahmad Warsono Munawwir, 1984).
Amir Syarifudin menjelaskan bahwa qiyas berarti qodaro (‫ )ﻗﺪر‬yang artinya mengukur,
membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sebagai contoh, "Fulan Meng-
qiyas-kan baju dengan lengan tangannya", artinya membandingkan antara dua hal
untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan",
dikatakan "Fulan meng-qiyas-kan extasi dengan minuman keras", artinya
menyamakan antara extasi dengan minuman keras

Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam


upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk
inderawi, seperti pengqiyasan dua buah buku. Atau pengqiyasan secara maknawiyah,
misalnya "Fulan tidak bisa diqiyaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat
kesamaan dalam bentuk ukuran.

Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi perdebatan ulama, antara yang
mengartikan qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash,
dan yang mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar nash.
Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
karena ada persamaan '‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.

Jadi qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak
ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu
tugas pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas, ialah
mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari
peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud
barulah dilakukan qiyas.

2.2 Rukun-rukun qiyas

Rukun adalah unsur-unsur pokok yang harus terpenuhi demi keabsahan atau
kesempurnaan suatu hal, dengan kata lain rukun adalah elemen urgen yang dengannya
suatu perkara menjadi sempurna.¹

_________________________

¹ Forum Karya Ilmiah 2004,Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, cet. V (Kediri: Purna Siswa Aliyah
2004 MHM Lirboyo, 2008), h. 133; Wahbah Zuhaily, ‟Uṣūl..., h. 605.

5
Dalam segala hal, rukun merupakan elemen terpenting karena rukun memegang
peranan sebagai penentu sah atau tidaknya; legal atau tidaknya sesuatu. Termasuk
dalam hal ini, qiyas juga memiliki rukun-rukun yang harus terpenuhi. Jika rukun-
rukun tersebut tidak dapat terpenuhi maka secara otomatis qiyas juga tidak dapat
diterapkan.

Adapun rukun-rukun qiyas sebagai berikut;

1.Al-Aṣl (‫)اﻻﺻﻞ‬

Aṣl secara bahasa merupakanlafaẓ musytarok ¹ yang bisa diartikan sebagai asas,
dasar, sumber, dan pangkal.² Sedangkan yang dimaksud dengan aṣl dalam
pembahasan qiyas ini adalah kasus lama yang dijadikan obyek penyerupaan atau
kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya secara tekstual dalam nas maupun ijmak.
Aṣl sering disebut jugamusyabbah bih (‫ ﻣ)ﺸﺒﺒﮫ ب ه‬atau yang diserupai;maqīs „alaih
(‫ )ﻣﻘﯿﺲ ﻋﻠﯿﮫ‬atau tempat mengqiyaskan. Artinya, aṣl merupakan tempat atau kejadian
atau kasus yang dijadikan sebagai ukuran, pembanding, atau disamai.³

2.Al-Far'. (‫)اﻟﻔﺮع‬

Far ' merupakan rukun kedua dari rukun-rukun qiyas. Far ' disebut juga
musyabbah (‫ )ﻣﺸﺒﮫ‬atau yang diserupakan;maqīs (‫ )ﻣﻘﯿﺲ‬atau yang diqiyaskan. Secara
etimologis, far „ berarti cabang.⁴ Sedangkan dalam konteks qiyas, far„ diartikan
sebagai kasus yang ingin diserupakan kepadaaṣl karena tidak adanyanas yang secara
jelas menyebutkan hukumnya. Maka dari itu,far ' akan diproses untuk disamakan
denganaṣl Secara substansial,far yang belum jelas status hukumnya itu disinyalir
memiliki kesamaan-kesamaan denganaṣl , oleh karena ada titik temu antaraaṣl dan
far ' Titik temu itulah yang disebutillat
'

_________________________

¹ Abu Hilal al-„Askari,Al-Furūq al-Lugawiyah, cet. IV (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2006),
h. 183.Musytarok adalah satu kata yang di dalamnya terkandung beberapa arti. Lihat Abu Yahya
Zakaria Al-Anshari,Gāyah …, h. 43.

² Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor,Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet. IX (Yogyakarta:


Multi Karya Grafika, 2004), h. 141

³ Abd. Wahab Khallaf,„Ilmu ..., h. 53.

⁴ Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor,Kamus …, h. 1387.

6
3. Hukumasl ( ‫)ﺣﻜﻢ اﻻﺻﻞ‬

Rukun selanjutnya adalah hukum aṣl. Dua kata yang digabung menjadi satu
susunan iḍāfah
( ) ini, memiliki pengertian: hukum syara‟ yang ada padaaṣl berdasar
pada legitimasi nas.¹ Hukumaṣl inilah yang nantinya akan berdampak padafar „ yang
belum memiliki legalitas hukum dari syara‟ karena tiadanya nas. Dampak tersebut
adalah kesamaan hukum, hukum yang sama-sama melekat pada keduanya
dikarenakan kesamaan i„llat . Adapun setelah proses pengqiyasan, lalu ditemukanlah
hukum bagi far„, maka hukum far„ ini bukanlah merupakan salah satu rukun dari
rukun-rukun qiyas. Hukum far„ hanyalah buah hasil (ṡamrah) dari proses qiyas. Akan
tetapi menurut Imam al-Isnawi, hukum far„ juga merupakan salah satu rukun qiyas.
Sedangkan yang dimaksud dengan buah dari qiyas adalah pengertian akan hukum far„
tersebut.

4.Al-'Illah ( ‫) اﻟﻌﻠﺔ‬

Al-'illah atau yang sering disebut juga illat


' merupakan poin terpenting di antara
rukun-rukun yang lain. Karena sebagaimana dikatakan di atas, bahwaillat
' merupakan
titik temu antaraaṣl danfar „, yang mana nantinya akan menentukan kasus hukumfar „
itu sendiri. Menurut arti bahasa, illat
' diartikan sebagai hujah atau alasan.² Sedang
secara terminologis, illat
' adalah sifat yang menjadi landasan hukum aṣl . 'Illat
haruslah berupa sifat yang jelas dan dapat dibatasi. Karena konsekuensi dari illat
'
adalah penetapan hukum, oleh karenanya ia harus jelas dan dapat dimengerti dan
diketahui batasan-batasannya. Terkadang'illat juga disebut sebagai sebab.

2.3 Kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam.

Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum mendapat tanggapan yang beragam


dikalangan ulama ushul fiqh. Pada dasarnya, ulama ushul fiqh sepakat akan kebolehan
penggunaan dan kehujahan qiyas dalam masalah duniawi, seperti penalaran qiyas
dalam hal obat-obatan dan makanan. Ulama ushul fiqh juga sepakat atas kehujahan
qiyas yang dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Adapun perbedaan mereka adalah
dalam hal penggunaan qiyas terhadap hukum syari’at yang tidak ada nashnya secara
jelas.

_________________________

¹ Wahbah Zuhaily, U
‟ ṣūl ..., h. 606.

² Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor,Kamus …, h. 1313.

7
Secara lebih terperinci, ulama ushul fiqh terpetakan menjadi lima golongan dalam
menyikapi qiyas sebagai metode penetapan hukum;

1. Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai
metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan menurut jumhur,
mengamalkan qiyas adalah wajib. Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai
landasan hukum, mereka menggunakan qiyas dalam suatu peristiwa yang tidak
terdapat hukumnya dalam nash alQur’an, as-Sunnah ataupun Ijma’ para sahabat.
Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas
kewajaran. qiyas menduduki peringkat keempat diantara hujjah syar’iyyah dengan
pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash al-
Qur’an, sunnah dan ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu
kejadian yang ada nash hukumnya dari segi ‘Illat hukumnya, maka kasus itu
diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum yang sama, dan hukum itu
merupakan hukumnya menurut syara’

2. Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syawkani, bahwa secara logika,


qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang
menyatakan wajib melaksanakannya. Kelompok ulama Zahiriyah dan Syi’ah
Imamiyah mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas sebagai landasan hukum.
Mazhab Zahiriyah tidak mengakui adalanya ‘Illat atas suatu hukum dan menganggap
tidak perlu sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna
menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘Illat. Sebaliknya, mereka
menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Pendapat syi’ah Imamiyah dan al-Nazhzham dari mu’tazilah, berpendapat bahwa


qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena
kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.

4. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘Illat diantara keduanya,
kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu
dapat membatasi keumuman sebagaian ayat alQur’an dan as-Sunnah.

2.4 Kelompok yang menolak qiyas sebagai sumber hukum

Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum menurut


kelompok yang menolaknya yakni mazhab Zahiri dan Syi’ah. Dikarenakan qiyas
merupakan aktivitas akal,

Pada Qur'an surah an-nisa ayat 59 kelompok zahiriyah dan syi'ah mengatakan bahwa
perintah Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah ketika terdapat beda
pendapat yaitu kepada firman-Nya dalam al-Qur’an. Dan mengembalikan sesuatu

8
kepada Nabi yaitu sabdanya dalam sunnah. Tidak ada perintah untuk mengembalikan
sesuatu kepada qiyas. Jelas bahwa selain al-Qur’an dan sunnah tidak dapat dijadikan
rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat. Qiyas menurut Zahiriyah, bukan al-Qur’an
atau sunnah; karenanya tidak suatu persoalan hukum ada yang dapat dikembalikan
kepada qiyas.

Kemudian, kelompok Zuhairi menolak hadits Mu’ad ibn Jabal sebagai landasan
penetapan qiyas kelompok tersebut berargumen bahwa dari segi matan (teks) dan
sanad (periwayata) hadits tersebut dianggap gugur. Indikasi gugurnya hadits Mu’ad
ibn Jabal tersebut adalah:Pertama , hadits tersebut diriwayatkan dari suatu kaum yang
namanya tidak diketahui, karenanya tidak dijadikan hujah atas orang-orang yang tidak
mengetahui siapa perawinya. Kedua , dalam urutan perawinya terdapat Harits ibn
‘Amru yang tidak pernah mengemukakan hadits selain dari jalur ini. Artinya dari segi
periwayatan dan perawinya hadits tersebut masih diperselisihkan kebenarannya.

Kelompok ulama Zahiriyah juga menilai bahwa hadits tersebut adalah


Maudhu ’(dibuat-buat) dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang
tidak dijelaskan dalam al-Qur’an. Menurutnya permasalahan hukum apapun sudah
dijelaskan dalam al-Qur’an.

Menurut pendapat Zahiriyah, hadits Muad ibn Jabal tidak sedikitpun menyebut
tentang qiyas. Dalam hadits itu hanya disebutkan penggunaan ra’yu, penggunaan
ra’yu tidaklah berarti qiyas. Ra’yu itu hanyalah menetapkan hukum dengan cara
terbaik dan lebih hati-hati. Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak
ada nashnya

2.5 Kelompok yang menerima qiyas sebagai sumber hukum.

Salah satu nash al-Qur’an yang dikemukakan Jumhur ulama fiqh dalam
melejitimasi qiyas sebagai sumber hukum ialah: Qur’an surat an-Nisa: 59 kata
‫ﻓﺎﻧﺘﻨﺰﻋﺘﻤﻔﯿﺸﻲﺀﻓﺮدوه ا ا ﻟﻠﮫ و اﻟﺮﺳﻮل‬pada ayat tersebut perintah untuk mengikuti
qiyas apabila terdapat perbedaan dalam penetapan hukum yang tidak terdapat dalam
nash. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa, jika ada perselisihan pendapat diantara
ulama tentang hukum suatu maslah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya
kepada al-Qur’an dan Sunnah. Cara mengembalikannya yaitu dengan melakukan
qiyas.

Berdasarkan ayat di atas, manusia diperintahkan mencari hukum dari hukum Allah
dan Rasul-Nya, baik yang tekstual maupun yang kontekstual. Sesuatu yang
kontekstual atau implisit itu yang disebut qiyas. Oleh karena itu, secara tidak
langsung, ketika manusia menghadapi suatu problema hukum yang tidak ditemukan
nashnya secara jelas, diperintahkan untuk menggunakan jalan qiyas (Muhammad Roy:
55). Berdasarkan ayat tersebut, aplikasi qiyas dalam istinbat hukum merupakan hal
yang diperbolehkan, bahkan diperintahkan.

9
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakanHujjah Syar’iyyah dan termasuk


sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara qiyas dengan persamaanIllat maka berlakulah
hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’. Menurut an-Nazzam dan para
pengikutnya seperti, Abu Dawud az-Zahiri serta sebagian aliran Syi’ah tidak
menggunakan qiyas sebagai sumber hukum dan tidak sah menjadikan qiyas sebagai
hukum syari’at. Para pengikut mazhab Zahiri justru mengingkari qiyas, dan
menjadikan sumber segala pengetahuan terbatas hanya pada penunjukkan nash dan
ijma’ semata. Penulis sepakat bahwa qiyas merupakan salah satu pintu rahmat, yang
dapat memberikan petunjuk kepada umat Islam menuju cahaya terang al-Qur’an dan
al-Sunnah. Dengan qiyas umat Islam dapat melihat jelas arah yang akan dijadikan
muara dari hukum halalharam bagi kasus-kasus baru. Dengan qiyas pula umat Islam
dapat merancang dan mencari solusi dari persoalan kehidupan yang berdasarkan dari
penjelasan teks-teks agama. Jika tidak demikian, umat Islam justru akan terjebak
dalam wilayah yang sama-sama‘menyesatkan’ sehingga umat Islam akan;
menetapkan keputusan semua persoalan yang dihadapi berdasar hawa nafsu tanpa
tahu persis yang sebenarnya, umat Islam akan stagnan tidak melangkah lebih maju.
Karena itu, kita tidak bisa menerima pandangan orangorang yang tidak mengakui
otoritas qiyas dalam menetapkan hukum syari’at. Karena jika kita mengikuti
pandangan itu, kita telah membuat penjara bagi umat Islam dengan cara mengunci
rapat-rapat pintu ijtihad.

3.2 Saran.

Penulisan ini bisa menjadi salah satu bahan menambah khazanah keilmuan bagi
pengelola sehingga bisa menjadikan refensi untuk mengembangkan kegiatan yang
sudah dilakukan sehingga target yang diingikan bisa menjadi lebih meningkat dari
sebelumnya. Kepada pembaca bahwa tulisan ini menjadikan referensi untuk
menambah khazanah keilmuan bagi para pembaca.

10
DAFTAR PUSTAKA

'Askari, Abu Hilal al-,Al-Furūq al-Lugawiyah, cet. IV Beirut: Dar al-Kutub

al-'Ilmiyyah, 2006.

Ahmad, Muhammad Djamaluddin,Miftāḥ al-Wuṣūl fī „Ilmi al-‟Uṣūl, cet. II Jombang:

Pustaka Al-Muhibbin, 2010

Ali, Atabik & A. Zuhdi Muhdlor,Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet. IX

Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004.

Abdul Wahhab Khallaf.,Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.

11

Anda mungkin juga menyukai