Anda di halaman 1dari 10

Hukum Islam Dikaji Melalui Maqashid Syariah Menurut Pandangan Imam Al-Syatibi dan

Muhammad Thahir ibn Asyur.


Bekti Cikita Setiya Ningsih
Email:bekticikita@gmail.com
Mahasiswi Pascasarjana Hukum Keluarga Islam
UIN Sayyid Rahmatullah Tulungagung
Pendahuluan
Pembahasan mengenai keterkaitan hukum Islam dengan maqashid syariah menurut pandangan
dua tokoh, yakni Al-Syatibi dan Thahir ibn Asyur yang erat dengan tujuan mendatangkan
kemaslahatan serta menghindarkan dari kemafsadahan. Al-Syatibi dikenal sebagai salah satu
tokoh ulama klasik yang mendalami pemikirannya mengenai maqashid syariah hingga memiliki
julukan mu’allim awwal atau guru pertama.
Hal ini sempat mengalami kemandekan serta problematika hukum nalar ushul fikih dalam
merancang kajian teoritis ushul fikih dengan mengemas konsep maqashid syariah. Setidaknya
membutuhkan sekitar enam abad untuk akhir kembali ada tokoh ulama yang mengusung
maqashid syariah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, yakni Muhammad Thahir ibn Asyur. Atas
jasanya ini Thahir ibn Asyur dinobatkan sebagai mu’allim tsani atau guru kedua setelah Al-
Syatibi.
Berdasarkan dari hal yang diuraikan di atas maka muncul beberapa rumusan permsalahan, yakni;
apa itu maqashid syariah?, bagaimana pemikiran dari Al-Syatibi mengenai hukum Islam yang
dikaji melalui maqashid syariah?, dan bagaimana pemikiran Thahir ibn Asyur mengenai hukum
Islam yang dikaji melalui maqashid syariah?
Maqashid Syariah
Menurut bahasanya maqashid syariah berarti tujuan hukum syariat. Syariat ini merupakan
rahmat bagi seluruh manusia yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini membuktikan
bahwa setiap tindakan yang dilakukan setiap manusia berakal sehat pastinya memiliki tujuan dan
maksud, apalagi sang maha pencipta, Alloh swt yang berkehendak tentunya segala yang
ditetapkan memiliki maksud serta tujuan. Tujuan yang dimaksud tersebut memiliki istilah
maqashid syariah dalam Islam.Kutipan Khairul Umam dari pemikiran Ibnu Qayyim Al-
Jauziyah, mengemukakan bahwasanya tujuan syariah ialah kemaslahatan hamba di dunia dan
akhirat.
Berdasarkan terminologi maqashid syariah bisa diartikan sebagai makna dan nilai yang
dijadikan tujuan maupun hendak direalisasikan oleh Allah swt. Adanya peranan para ulama
mujtahid yang meneliti teks-teks syariah.1
Menurut kitab ushul fikih karangan Muhammad Abu Zahrah yang merumuskan tujuan adanya
hukum Islam, yakni:
1
Moh. Toriquddin, , Teori Maqashid Syari’ah Perspektif Al-Syatibi, de Jure: Jurnal Syariah dan Hukum, 2014, Vol.
6, No. 1, hal. 34.
1. Membina setiap individu agar menjadi sumber kebajikan bagi orang lain serta tidak menjadi
sumber kemudharatan bagi orang lain. Cara untuk mencapai tujuan tersebut ialah dengan
beribadah yang telah disyariatkan seperti salat, puasa, dan haji.
2. Menegakan keadilan di masyarakat, baik sesama muslim maupun dengan nonmuslim,
sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8.
3. Mewujudkan kemaslatan, yakni tujuan utama dari hukum Islam secara hakiki.
Tujuan Maqashid Syariah Secara Umum
Tujuan maqashid syariah yang disampaikan Imam Al-Syatibi, " sekali-sekali tidaklah syariah itu
dibuat kecuali dengan merealisasikan manusia baik di dunia maupun di akhirat dan dalam rangka
mencegah ke-mafsadatan yang akan menimpa mereka".
Hukum Islam bertujuan utama mewujudkan kemaslahatan hidup bagi manusia dengan
menghidari keburukan serta mendatangkan kebaikan. Kemaslahatan yang dimaksud tentunya
adalah kemaslahatan yang bersifat umum tidak parsial dan bersifat hakiki, kemudian wajib
berorientasikan pada lima hal, yakni: agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Hukum Islam
dimaksudkan akan mewujudkan kemaslahatan, dari hal yang telah disebutkan seperti: agama,
jiwa, harta, akal dan keturunan memiliki tingkat prioritas kebutuhan, yakni: daruriyyat, hajiyat,
dan tahsiniyat.
Kebutuhan tingkat daruriyyat ialah memelihara dan mewujudkan kebutuhan-kebutuhan yang
sangat esensial atau pokok bagi kehidupan umat Islam. Kebutuhan daruriyyat diterjemahkan
sebagai kebutuhan utama (primer). Kebutuhan tingkat kedua ialah hajiyat (kebutuhan sekunder)
bagi kehidupan manusia, namun kebutuhan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
menghilangkan kesulitan serta kesukaran dalam kehidupan mukallaf. Kemudian yang ketiga
ialah tahsiniyat atau kebutuhan tersier yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan
meskipun tanpa terpenuhinya tahsiniyat tersebut kehidupan tidak akan menimbulkan kesukaran
maupun kerusakan2.
Inti dari tujuan syariah ialah kemaslahatan daruriyyat, hal ini menjadikan pemenuhan kebutuhan
manusia yang bersifat daruriy merupakan tuntutan kemaslahatan yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Kebutuhan yang bersifat daruriy sebagaiman sudah disebutkan sebelumnya terdiri dari 5
hal, yakni3:
1. Hifzud-din artinya menjaga dan memelihara agama
2. Hifzun-nafs artinya menjaga dan memelihara jiwa
3. Hifzul-‘aql artinya menjaga dan memelihara akal
4. Hifzun-naslartinya menjaga dan memelihara keturunan
5. Hifzul-malartinya menjaga dan memelihara harta
Kelima kemaslahatan daruriy di atas akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Yang pertama ialah memelihara agama atau hifzud-din. Agama memegang peranan yang
sangat penting bagi kehidupan manusia menurut pandangan Islam. Agama bahkan
2
Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2019, hal. 209.
3
Ibid, hal. 210.
memiliki esensi dari keberadaan manusia, sebab manusia tanpa agama bagaikan
seseorang yang berjalan tanpa cahaya di malam hari. Pada kenyataannya bahwa fitrah
manusia menurut agama Islam ialah keagamaan itu sendiri. Kebutuhan manusia akan
agama dapat ditimbulkan masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Mengingat begitu
pentingnya adanya agama dalam kehidupan manusia, muncul pedoman dalam Islam
yakni prinsip hifzud-din. Untuk lebih jelas mengenai hifzud-din ini, maka ada tiga
prioritas yang mendasarinya, yakni:
a. Memelihara agama (hifzud-din) dalam prioritas pokok atau daruriyyat, yakni
memelihara serta melaksanakan kewajiban agama yang masuk kedalam prioritas
primer atau utama seperti halnya melaksanakan salat lima waktu yang mana apabila
seseorang mengabaikan salatnya maka terancamlah kebutuhan agamanya.
b. Memelihara agama (hifzud-din) dalam prioritas hajiyat, yaitu dalam rangka
menghindari kesulitan untuk melaksanakan ketentuan agama, maka diperbolehkannya
salat jama’ dan qashar ketika bepergian. Hal ini bertujuan untuk mempermudah
maupun meringankan kesulitan seseorang ketika bepergian, tanpa mengancam
eksistensi agama.
c. Memelihara agama (hifzud-din) dalam prioritas tahsiniyat, yakni mengikut petunjuk
agama dan melengkapi pelaksanaan kewajiban hamba kepada Tuhannya sekaligus
menjunjung tiinggi martabat manusia. Seperti halnya disunnah bagi seorang pria
untuk memakai pakaian yang bersih dan baik serta menggunakan wewangian ketika
hendak pergi melaksanakan salat jumat. Hal ini berarti jangan hanya karena seorang
pria tidak mengenakan pakaian yang baik dan menggunakan wewangian lantas tidak
berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat jumat yang mana di sini salat jumat
merupakan prioritas pokok atau daruriyyat bagi seorang pria.
2. Hifzun-nafs atau memelihara jiwa menduduki urutan kedua menurut pendapat mayoritas
ulama yang dipelopori oleh Imam Al-Ghazali, sama halnya dengan pemikiran Ibnu
Taimiyah yang berpendapat,”kerusakan adakalanya dalam urusan agama dan adakalanya
dalam urusan dunia. Kerusakan terbesar dalam urusan dunia ialah membunuh jiwa-jiwa
tanpa hak. Sebab itu, pembunuhan merupakan salah satu dosa besar, setelah kerusakan
terbesar ialah kekufuran dalam urusan agama.”
3. Selanjutnya ialah hifzal-aql atau memelihara akal. Teori ini ada bahkan sebelum islam
datang membawa ajaran yang menghargai sekali fungsi akal. Kemudian ajaran Islam
memandang pentingnya fungsi akal bagi eksistensi manusia. Tidak hanya sebatas
menghargai saja, ajaran Islam juga melindungi akal dari faltor-faktor yang dapat
merusak. Seperti Firman Alloh swt yang terdapat pada QS. Al-Isra’ ayat 70.
4. Memelihara keturunan atau hifzal-nasl menitiberatkan pada pentingnya perkawinan
secara resmi dalam ajaran Islam, bertujuan untuk menyalurkan naluri dan hasrat seksual
dengan halal dan sah. Memelihara kejelasan nasab serta melestarikannya merupakan
tujuan dari hifzal-nasl. Ajaran Islam juga sangat melarang perbuatan zina yang bisa
berdampak pada ketidakjelasan nasab dari seorang anak. Hal tersebut juga dapat menjadi
aib bagi sosiologi dan dosa bagi agama bagi wanita yang hamil di luar nikah sebab dari
perbuatan zina. Untuk mencegah hal tersebut maka agama Islam menetapkan cara yang
dapat melindungi kehormatan dan keturunan.
5. Hifzal-mal atau memelihara harta merupakan cara ajaran Islam melindungi harta seorang
hamba agar halalan toyyiban.
Biografi Tokoh
a. Imam Al-Syatibi
Tokoh bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-
Syatibi,4yang juga dikenal sebagai tokoh berpengaruh dalam pemikiran hukum Islam
yang berfokus pada maqashid syariah. Imam Al-Syatibi yang berasal dari daerah
Granada, Spanyol. Beliau adalah seorang mujtahid, hafidz quran, ahli tafsir, fikih, hadits,
bahasa dan ushiliyah.5 Imam Syatibi dikenal pula sebagai filsuf hukum Islam yang ulung
dengan berpatokan mazhab Maliki. Biodata pribadi mengenai Imam Syatibi sangatlah
minim, sebab tidak banyak orang yang mengulas secara rinci kehidupan tokoh ini. Beliau
meninggal dan dimakamkan di Granada pada hari Selasa, 8 Syaban 790 Hijriyah atau
pada 1388 Masehi.
Wilayah Granada merupakan pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas
Granada pada masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang juga masa
keemasan umat Islam di Granada. Pendidikan Al-Syatibi muda seluruhnya diperoleh di
ibukota kerajaan Nashr, Granada yang menjadi benteng terakhir dari umat Islam di
Spanyol pada saat tersebut.
Banyak keuntungan yang diperoleh Imam Al-Syatibi selama mengenyam pendidikan di
wilayah Granada sebab beliau banyak menemukan guru-guru yang hebat dalam
bidangnya. Para guru tersebut memiliki latar belakang yang bermacam-macam, ada yang
merupakan penduduk asli dari wilayah Granada, banyak pula guru-guru dari Al-Syatibi
yang merupakan pendatang dan pada akhirnya menjadi ulama di wilayah tersebut.
Para guru Al-Syatibi yang merupakan penduduk asli, yakni6:
1. Abu Fakhar al-Biriy, seorang ulama paling ternama di bidang Bahasa Arab
danQira’at saat itu. Dari ulama ini,Al-Syatibi belajar tentang Qira’at dan Nahwu. Abu
Abdullah Muhammad Al-Biri merupakan salah satu ulama yang mahsyur di bidang
bahasa dan nahwu Arab (Syaikh Al-Nuhat). Pada tahun 754 H atau 1353 M Al-
Syatibi memiliki pengalaman tinggal bersama sang guru untuk mendalami ilmu
sampai pada akhir sang guru meninggal dunia.
2. Abu Ja’far al-Syaquri, seorang ulama di bidang nahwu.
3. Abu Sa’id bin Lub, seorang mufti di Granada. Dari ulama ini, Al-Syatibi
belajartentang fikih.
4. Abu Abdullah Al-Balnisity, seorang mufassir ternama, dan dari ulama ini al-
Syatibimenimba ilmu tentang tafsir dan ulmul quran lainnya.
Para guru Imam Al-Syatibi yang merupakan pendatang di Granada, antara lain7:

1. Abu Abdullah Syarif al-Tilmisani, seorang ulama ternama di bidang fikih dan
ushulfikih. Sesuai dengan namanya, ia berasal dari Tilmisan, suatu kawasan di
Algeir.
2. Abu Abdullah al-Muqiriy, juga seorang ulama dari Tilmisan. Ia merupakan
ulamafikih dengan karyanya Qawa’id al-Fiqh al-Muqiriy.
3. Ibn Marzuq al-Khatib, merupakan salah seorang ulama maliki terkemuka di Granada.

4
Opcit, Moh. Toriquddin, hal. 34.
5
Nabila Zatadini, 2018, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi dan Kontribusinya dalam Kebijakan Fiskal,
Al-Falah: Journal of Islamic Economics, Vol. 3, No. 2, hal. 113.
6
Muslimin Kara, Pemikiran Al-Syatibi tentangMaslahah dan Implementasinya dalam Pengembangan Ekonomi
Syariah, Assets: Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, 2012, Vol. 2 No.2.
7
Ibid.
4. Abu Ali al-Zawawiy, seorang ulama besar di bidang ushul fiqh dan dari ulama ini al-
Syatibi banyak menimba ilmu ushul fikih, bahkan al-Syatibi secara terang-
terangansering menukil pendapatnya.
Setelah Imam Al-Syatibi memiliki ilmu yang memadai, beliau kemudian
mengembangkan keilmuan yang dimilikinya dengan mengajarkan kepada generasi-
generasi selanjutnya. Di antara murid-murid Imam Al-Syatibi, ialah: Syaikh Faqih Abu
Abdullah al-Bayani, Abu Jafar al-Qassar, Abu Abdullah al-Majariy, Abu Yahya ibn
Asim, dan Abu Bakar ibn Asim. Materi-materi pengajaran yang diberikan Imam Al-
Syatibi ialah merupakan karya yang beliau karang sendiri dan menjadi mahakaryanya
sampai sekarang.8
Semasa hidupnya, Imam Al-Syatibi menghasilkan karya-karya besar, antara lain:
a. Pertama, Al-Khulashah fi al-Nahwi fi Asfari Arba’ati Kibar yaitu buku yang
menjelaskan komentar-komentar Syatibi mengenai buku al-Khulasa al-Alfiyyah
karangan Ibnu Malik.
b. Kedua, Al-Muwafaqat, maha karya Syatibi yang paling utama. Buku yang
menjelaskan mengenai ilmu ushul fikih dan pengenalan terhadap konsep maslahah
dan maqashid menurut Syatibi.
c. Ketiga, Kitab al-Majalis, buku yang menjelaskan bab jual beli dalam kitab sahih
Bukhari.
d. Keempat, Kitab al-Ifadat wa al-Insyadat, menjelaskan sastra dan seni mengarang
dalam Bahasa Arab.
e. Kelima, Kitab Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilmi al-Isytiqaq.
f. Keenam, Kitab Ushul al-Nahwi. Selain itu Syatibi menciptakan berbagai fatwa dan
juga syair-syair Arab.9
Imam Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
b. Thahir Ibn Asyur
Muhammad At- Thahir Ibn ‘Asyur merupakan salah satu tokoh ulama maqashid
syariah yang lahir di La Marsa sebelah utara Kota Tunis, Tunisia. Negara Tunisia sebagai
salah satu negara Islam di daratan Afrika Utara yang mana 40% merupakan padang pasir
sahara dan sisanya ialah tanah yang subur. Bangsa Barbar adalah etnis pertama yang
mendiami Tunisia dan diprediksi telah tinggal di pedalaman Afrika Utara sejak zaman
batu tua. Mayoritas muslim di Tunisia merupakan penganut paham Sunni di mana
sebayak 97% dari seluruh muslim di sana dan sisanya ialah penganut paham Khawarij
Ibadiyah.10
Thahir ibn Asyur sejak kecil sudah hidup di lingkungan ulama sehingga sudah
mendapatkan pendidikan dari ualam-ulama di negeri Tunis. Keluarga beliau berasal dari
keturunan asli Andalusia yang berhijrah ke Tunisia. Garis keturunan dari Thahir ibn

8
Ibid.
9
Opcit, Nabila Zatadini, hal. 115.
10
Indra, Maqashid Asy-Syariah Menurut Muhammad At-Thahir Bin Asyur, 2016, Tesis: Hukum Islam, UIN Sumatra
Utara, Medan, hal. 21.
Asyur merupakan gabungan dari kebangsawanan (kekuasaan) dan kelimuan. Kakek dan
ayahnya merupakan Hakim Agung, sedangkan dari kakek dari jalur ibu merupakan
seorang Wazir Agung. Dari sisi keluarga besar ibn Asyur inilah yang mendorong beliau
melahirkan pemikiran maqashid syariah yang dituangkandalam karya-karyanya.11
Pada usia yang masih belia, Thahir ibn Asyur telah menghafalkan al-quran, pada usia
tujuh tahun (1886H) beliau masuk ke perguruan Zaitunah dan menempuh pendidikan
dasar selama tujuh tahun, selepas itu melanjutkan ke jenjang senior di institusi yang
sama.12Semangat dalam mencari ilmu dan kesungguhan dalam belajar serta dukungan
positif dari ayah, kakek dari pihak ibunda begitupun dari para gurunya. Thahir ibn Asyur
merupakan pribadi yang kritis dalam menerima ajaran dari mata kuliah yang ia tempuh,
tidak sebatas kritis pada suatu masalah namun beliau sering kali membandingkan kasus-
kasus yang menurutnya menarik. Beberapa mata kuliah yang Thahir ibn Asyur tempuh,
yakni: Balagah, Nahwu, mantik, lugah, ilmu kalam, fikih, ushul fikih, hadist, sirah,
tarikh, dan faraid.
Beberapa macam jabatan yang pernah diemban oleh Thahir ibn Asyur, antara lain13:
1. Beliau pernah menjabat sebagai hakim agung (Qodhi qudhot al-Malikiyah) pada
tahun 1332H/1913M.
2. Thahir ibn Asyur juga pernah menjadi penasihat Pemerintah bagian keagammaan.
3. Pada tahun 1932 M menjadi Syaikh Islam Al-Maliki dan Syaikh Al-Zaitunah.
4. Pernah juga menjadi dewan pengajar di Al-Zaitunah yang banyak menghasilkan
ulama-ulama besar, salah seorangnya tidak lain adalah anak Thahir ibn Asyur sendiri
yang bernama Muhammad Al-Fadhil ibn Asyur.
Muhammad Thahir Ibn Asyur wafat pada tahun 1296 H/1879M di Tunisia.
Pemikiran Tokoh
a. Al-Syatibi
Pada hakikatnya Imam Al-Syatibi melandaskan seluruh teori ushul fikihnya pada
prinsip-prinsip induktif guna membangun epistimologi hukum Islam. Kehadiran al-
Syatibi sebagai guru pertama (mu’allim awwal) dalam disiplin ilmu maqashid al-syariah
dibutuhkan hampir enam abad untuk melanjutkan tongkat estafet ilmu ini di tangan Ibn
‘Asyur yang kemudian digelari sebagai guru kedua (mu’allim tsani). Adanya
problematika hukum dan mandeknya nalar ushul fikih dalam berdialektika dengan zaman
memotivasi Imam Al-Syathibi untuk merancang kajian teoritis ushul fikih 14, terutama
dengan mengemas konsepsi maqashid syariah untuk menjadi kajian utamanya,
sebagaimana diulas dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat. Karena jasa intelektual
itulah al-Syatibi dinobatkan sebagai penggasas ilmu maqaṣhid syariah (mu’assis ‘ulum
al-maqaṣid al-syariah). Selain itu, Al-Syatibi berhasil menjadikan maqashid sebagai
11
Fuat Hasanudin, Review Buku Maqashid Syari’ah Ibn Asyur: Rekonstruksi Paradigma Ushul Fikih, ABHATS:
Jurnal Islam Ulil Albab, 2020, Vol. 1, no. 1, hal.3.
12
Opcit, Indra,hal. 29.
13
Opcit, Fuat Hasanudin, hal. 174.
14
Ainol Yaqin, Revitalisasi Maqashid Al-Syari’ah dalam Istinbath Hukum Islam: Kajian atas Pemikiran
Muhammad Al-Thahir Ibnu ‘Asyur, ASY-SYIR’AH: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, 2016, Vol. 50, No. 2, hal.
bagian dari ilmu ushul fikih. Dari sinilah terjadi titik temu antara teori hukum Islam
dengan filsafat hukum Islam.Menurut Al-Syatibi hukum syariah memiliki tujuan utama
yakni kemaslahatan umat. Sebagai dasar pemahaman atas hukum Islam, ada 3 (tiga)
tingkatan kemaslahatan, yaitu; daruriyyat (maslahat yang penting), hajiyyat (maslahat
pendukung), dan tahsiniyyat (maslahat penyempurna/aksesoris).15
Kedudukan pertama ialah Kebutuhan tingkat daruriyyat ialah memelihara dan
mewujudkan kebutuhan-kebutuhan yang sangat esensial atau pokok bagi kehidupan umat
Islam. Kebutuhan daruriyyat diterjemahkan sebagai kebutuhan utama (primer).16 Bila
kedudukan kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik
di dunia maupun di akhirat kelak. Contohnya: pelaksanaan salatwajib lima waktu dan
puasa Ramadhan.
Kedudukan kedua ialah kebutuhan hajiyat yang merupakan kebutuhan-kebutuhan
sekunder, dimana jika tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya,
namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah
sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.17
Sedangkan maqashid tahsiniyat adalah untuk menyempurnakan kedua maqashid
sebelumnya, yang meliputi kesempurnaan adat kebiasaan, dan akhlak yang mulia.18
Kebutuan ketiga atau penyempurna ini adalaah yang menunjang peningkatan martabat
hidup seseorang di masyarakat dan di hadapan Allah swt dalam batas yang wajar serta
kepatuhan.
b. Muhammad Thahir ibn Asyur
Menurut Thahir ibn Asyur terdapat empat unsur yang menjadi dasar dalam pondasi
bangunan maqaṣhid syariah yang harus diperhatikan dalam proses perumusan hukum
Islam, yaknial-fithrah, al-musâwah, al-samâhah dan al-hurriyah. Penjabaran dari
pemikiran Thahir ibn Asyur mengenai perumusan hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. Al-fitrah yang dapat diartikan sebagai penciptaan (khilqah). Definisi dari al-fitrah
ialah suatu sistem yang Allah swt ciptakan pada setiap makhluk-Nya. Penciptaan
manusia diartikan setiap yang diciptakan pada diri manusia, meliputi akal dan jasad,
baik yang bersifat bathin maupun dhahir. Hal ini berdasarkan pada QS. Ar-Rum ayat
30:
Menurut pendapat Thahir ibn Asyur fitrah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yakni: fitrah aqliyah dan fitrah nafsiyah. Pengertian dari fitrah aqliyah atau logika
jernih adalah fitrah akal logika yang mengantarkan pada substansi dalam esensi
sesuatu.19 Manusia memiliki fitrah untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan
kebenaran, tetapi pelbagai faktor dan pengaruh eksternal atau dari luar dapat
15
Sidik Tono, Pemikiran dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut Al- Syatibi, Al-Mawarid, 2005, Edisi XIII, hal.
106.
16
Opcit, Amrullah Hayatudin, hal. 209.
17
Usman Betawi, Maqhasid Al-Syariah sebagai Dasar Hukum dalam Pandangan Al-Syatibi dan Jasser Auda, Jurnal
Hukum Responsif FH UNPAB, 2018, Vol. 6, No. 6, hal. 35.
18
Opcit, Moh. Toriquddin, hal. 35.
19
Ibid.
mengalihkan dari kondrat dasarnya itu. Pada dasarnya fitrah manusia membenci hal-
hal seperti informasi yang salah, lingkungan yang tidak baik, dan perilaku
menyimpang yang dibiasakan serta mengejar apa yang secara fitrah dijauhi.
2. Al-Musawah dapat berarti setiap muslim menduduki posisi yang sama atau sederajat
di hadapan hukum Islam. Tidak adanya perbedaan sekecil apapun di hadapan hukum
Islam. Halini berdasar pada asas yang fundamental, yakni Islam sebagai agama fitrah.
Islam melebur seluruh penganutnya dalam satu wadah persaudaraan global yang
tertera dalam firman Allah swt QS. Al-Hujurat ayat 10 yang berbunyi, “orang-orang
beriman itu sungguh bersaudara....”. Menurut Thahir ibn Asyur kesetaraan yang
sesuai fitrah ialah kesetaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh individu
meskipun memiliki berbagai perbedaan, sepanjang perbedaan dimaksud tidak
mempengaruhi kontribusi masing-masing dalam upaya mewujudkan kemaslahatan
kolektif.
3. Al-Samahah berarti toleransi atau murah hati, sikap moderat terpuji dalam
bermuamalah menurut Thahir ibn Asyur yang berarti ada pada dimensi pertengahan
antara dua kutub ekstrim yakni terlalu taklif maupun terlalu toleransi. 20 Thahir Ibn
Asyur melandaskan hikmah toleransi dalam syariat Islam dengan dijadikannya
syariah Islam seirama dengan fitrah yang tertanam di jiwa manusia sehingga dengan
mudah dapat diterima. Sejalan dengan Al-Syatibi yang menyatakan terdapat sejumlah
dalil yang mengandung penghapusan kesulitan dan kesempitan dalam persoalan
agama sudah mencapai tingkat qath’i.21
4. Al-Hurriyah yang memiliki arti kebebasan adalah hak bertindak sesuai dengan diri
sendiri seperti yang dikehendaki tanpa halangan.22 Kebebasan dibagi menjadi
beberapa aspek, antara lain: perkataan, perbuatan dan akidah, perbuatan dengan
kesimpulan bahwa setiap muslim di bawah naungan pemerintah Islam bebas
beraktivitas melakukan segala sesuatu yang diizinkan secara syariat menurut
ketentuan dan aturan syariat, tidakdibenarkan seseorang dibebani lebih dari itu.

Secara umum berdasarkan pengkajian atas dalil-dalil Al-quran dan kasus-kasus


parsial menunjukkan bahwa tujuan umum pensyariatan hukum Islam ialah memelihara
tatanan atau sistem kehidupan umat manusia dan kelestarian kemaslahatan itu dengan
cara menjaga kemaslahatan manusia itu sendiri yang meliputi maslahah akal, perbuatan
dan alam di mana ia hidup. Dengan demikian, bisa dikatakan kaidah umum dalam syariat
Islam adalah untuk menolak mafsadah dan mendatangkan maslahah. Hal itu dapat
tercapai dengan memperbaiki keadaan manusia dan menolak kemafsadatannya. Setiap
perbuatan yang bermaslahah pada manusia harus direalisasikan dan senantiasa dipelihara.
Sebaliknya, segala perbuatan yang menggerus kemashlahatan dan mengundang mafsadah
mesti dihindari dan dihilangkan.23
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai maqashid syariah, hukum Islam menurut
pandangan Al-Syatibi dan Thahir ibn Asyur. Maqashid syariah bisa diartikan sebagai makna dan
20
Opcit, Indra, hal. 75.
21
Opcit, Ainol Yaqin, hal. 329.
22
Opcit, Indra, hal. 106.
23
Ibid, hal. 337.
nilai yang dijadikan tujuan maupun hendak direalisasikan oleh Allah swt. Adanya peranan para
ulama mujtahid yang meneliti teks-teks syariah.
Tujuan adanya hukum Islam, yakni:
1. Membina setiap individu agar menjadi sumber kebajikan bagi orang lain serta tidak menjadi
sumber kemudharatan bagi orang lain. Cara untuk mencapai tujuan tersebut ialah dengan
beribadah yang telah disyariatkan seperti salat, puasa, dan haji.
2. Menegakan keadilan di masyarakat, baik sesama muslim maupun dengan nonmuslim,
sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8.
3. Mewujudkan kemaslatan, yakni tujuan utama dari hukum Islam secara hakiki.
Menurut perspektifImam Al-Syatibi, jika diteliti seluruh hukum dalam syariah, maka semuanya
dibuat untuk tujuanmashalih alibad (kemaslahatan manusia) sebagai dasar pemahaman atas
hukum Islam. Berdasarkan pemikiran Imam Al-Syatibi ada tiga tingkatan kemaslahatan, yakni;
dharuriyyat (maslahat yang primer), hajiyyat (maslahat sekunder), dan tahsiniyyat (maslahat
tersier).
Sedangkan menurut Thahir ibn Asyur terdapat empat unsur yang menjadi dasar dalam pondasi
bangunan maqaṣhid syariah yang harus diperhatikan dalam proses perumusan hukum Islam,
yakni al-fithrah, al-musâwah, al-samâhah dan al-hurriyah.

Daftar Pustaka
Buku
Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, 2019, Jakarta: Amzah.

Jurnal
Ainol Yaqin, Revitalisasi Maqashid Al-Syari’ah dalam Istinbath Hukum Islam: Kajian atas Pemikiran
Muhammad Al-Thahir Ibnu ‘Asyur, ASY-SYIR’AH: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, 2016, Vol. 50, No.
2.

Fuat Hasanudin, Review Buku Maqashid Syari’ah Ibn Asyur: Rekonstruksi Paradigma Ushul Fikih,
ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab, 2020, Vol. 1, no. 1.

Indra, Maqashid Asy-Syariah Menurut Muhammad At-Thahir Bin Asyur, 2016, Tesis: Hukum Islam, UIN
Sumatra Utara, Medan.

Moh. Toriquddin, , Teori Maqashid Syari’ah Perspektif Al-Syatibi, de Jure: Jurnal Syariah dan Hukum,
2014, Vol. 6, No. 1.

Muslimin Kara, Pemikiran Al-Syatibi tentang Maslahah dan Implementasinya dalam Pengembangan
Ekonomi Syariah, Assets: Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, 2012, Vol. 2 No.2.

Nabila Zatadini, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi dan Kontribusinya dalam Kebijakan
Fiskal, Al-Falah: Journal of Islamic Economics, 2018, Vol. 3, No. 2.
Sidik Tono, Pemikiran dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut Al- Syatibi, Al-Mawarid, 2005, Edisi
XIII.

Usman Betawi, Maqhasid Al-Syariah sebagai Dasar Hukum dalam Pandangan Al-Syatibi dan Jasser
Auda, Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB, 2018, Vol. 6, No. 6.

Anda mungkin juga menyukai