Anda di halaman 1dari 3

Teori Negara Khalifah Menurut Al-Ghazali

Kebutuhan manusia untuk hidup berkumpul, bermasyarakat dan bernegara merupakan sifat
alamiah (fitrah) yang diberikan Allah kepada manusia. Dalam konteks ini al-Ghazali
sebagaimana para pemikir politik sebelumnya, juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk
sosial (insanun ijtima`iyyun) yang tidak dapat hidup sendirian. Kebutuhan terhadap apa saja yang
diperlukan manusia tentu mensyaratkan interaksi antara sesamanya. Dalam konteks ini, al-
Ghazali menekankan setidaknya pada dua faktor penting yang ada pada manusia, yaitu;
Kebutuhan terhadap keturunan (al-nasl) dan kebutuhan untuk saling menyediakan bahan-bahan
makanan, pakaian, rumah dan pendidikan anak-anak.

Untuk semua itu diperlukan kerjasama dan saling membantu antara sesama manusia, maka atas
dorongan kebutuhan bersama itulah lahirlah negara, yaitu sebuah organisasi masyarakat yang
dipimpin oleh seorang pemimpin (khalifah, raja, sulthan, presiden, perdana menteri dan
sebagainya) yang memiliki kekuasaan memaksa dan bertugas menciptakan tatanan atau sistem
bagi kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan hidup yang diidamkan bersama.

Bagi al-Ghazali, dalam sebuah masyarakat atau umat, munculnya seorang pemimpin merupakan
hal yang alami (fitrah) pula, baik itu nantinya diperantarai melalui mekanisme pemilihan
maupun tidak. Dalam konteks ini, al-Ghazali menegaskan bahwa jika kepala negara atau
pemimpin tidak ada dalam sebuah negara atau dalam komunitas masyarakat, maka tidak akan
terwujud sebuah ikatan persatuan (rabithah) di kalangan umat, dan secara otomatis sistem
pengaturan hidup juga tidak akan terwujud. al-Ghazali menjelaskan teorinya tentang Imamah
(pemimpin) secara rinci dengan pendekatan yang tidak ditemukan pada pemikir-pemikir Islam
lainnya, baik sebelum maupun sesudahnya. Penjelasan mengenai teori Imamah ini dapat ditemui
di beberapa karyanya, antara lain; al-Iqtishad fii al-I’tiqad, al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-
Muluk, dan karya-karyanya yang lain.

Dalam konteks ini al-Ghazali memfokuskan perhatian untuk menjelaskan sifat-sifat atau karakter
seorang calon imam, sehingga yang dipilih menjadi imam adalah yang benar-benar layak. Oleh
karenanya, sifat-sifat ini mesti disandang oleh seorang Imam, baik itu sifat yang alami amupun
yang diusahakan. Keharusan memiliki sifat-sifat ini dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan
dan kepribadian seorang Imam, serta memberi batasan hubungan dengan yang lain. Berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut di atas, al-Ghazali menegaskan bahwa tidak mungkin terjadi
pengangkatan seseorang menjadi Imam hanya berdasarkan keinginan semata (bi al-tasyahiy).
Oleh karena itu, tegas al-Ghazali seorang calon Imam harus memiliki kelebihan atau kekhususan
yang membedakannya dari yang lain, umpamanya, kelebihan dalam kepribadiannya, atau
kelebihan dalam aspek yang lain.

Al-Ghazali menetapkan sepuluh sifat atau karakter kepada siapa saja yang akan menduduki
jabatan Imam; khalifah, sulthan ataupun raja. Enam dari sepuluh sifat tersebut sebagai sifat
pembawaan (khalqiyah atau fitriyah), tidak melalui proses penanaman nilai atau pendidikan.
Sementara empat sifat lainnya melalui proses dan upaya-upaya penanaman nilai pada diri
seorang calon Imam. Enam sifat pembawaan tersebut sebagai berikut;

1. Dewasa atau baligh, yaitu batas kategori umur seseorang sudah mencapai tingkat
dewasa. Oleh karena itu anak kecil tidak sah untuk dicalonkan menjadi Imam (kepala
negara).
2. Berpikiran sehat atau waras. Oleh karenanya, orang yang stres atau gila tidak dapat
dicalonkan menjadi Imam, termasuk jika terjadi gangguan akal saat ia sedang memimpin,
maka perlu ambil cuti atau digantikan.
3. Berstatus merdeka (al-hurriyah). Tidak sah calon Imam dari orang yang berstatus
budak atau hamba sahaya. Karena seorang kepala negara banyak pekerjaan yang
memerlukan konsentrasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Seorang budak
bagaimana mungkin dapat menyelesaikan berbagai permasalahn, sementara dia sendiri
berada pada genggaman majikannya.
4. Laki-laki. Maka tidak sah pencalonan seorang perempuan untuk menduduki jabatan
Imam (kepala negara), meskipun dia memiliki semua sifat yang diperlukan dan memiliki
kebebasan.
5. Keturunan Quraisy. Syarat ini berdasarkan hadits Nabi, yang artinya; Kepemimpinan
itu dari keturunan Quraisy (al-Aimmatu min Quraisyin).
6. Pendengaran dan penglihatan sehat (salamatu hassat alsam`i wa al-bashar), karena
bagaimana mungkin orang yang tuli dan buta dapat mengatur (mengelola) orang lain,
sementara dirinya sendiri tidak bisa mengurusnya.
Mengenai empat sifat (al-muktasab) melalalui proses pendidikan, pembelajaran dan penanaman
nilai-nilai ke dalam diri calon kepala negara, sebagai berikut;

1. Benar-benar memiliki kekuatan (al-Najdah). Hal ini dimaksudkan tersedianya


perangkat-perangkat yang memadai, seperti angkatan bersenjata dan kepolisian yang
tangguh dan dapat digunakan untuk memaksakan keputusankeputusannya terhadap
mereka yang menentang atau membangkandan membasmi pemberontak, dan
mempertahankan keamanan dan kestabilan negara.
2. Kapabilitas (al-Kifayah). Menurut al-Ghazali sifat ini dapat terealisasi jika didasarkan
pada dua aspek, yaitu; kekuatan pemikiran dan pengelolaan (al-fikr wa al-tadbir),
kemudian menyampaikan pandangannya saat musyawarah, mendengarkan pendapat dan
nasehat orang lain.
3. Berintegritas. Memiliki track record kehidupan yang bersih (wara`i), serta mampu
mengendalikan diri untuk tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela, seperti
melakukan manipulasi, menyalah gunakan wewenang, melakukan tindak pidana, korupsi,
penggelapan uang negara, dan sebagainya.
4. Memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan luas. Para ulama telah menyepakati bahwa
kepemimpinan itu tidak sah kecuali bagi orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan,
agar dia nantinya dapat mengambil keputusan secara tepat berdasarkan pemikiran yang
matang.

Sumber :

Aly, Sirojuddin. Pemikiran Politik Islam: Sejarah, Praktik dan Gagasan. Depok: Rajawali Pres,
2018.

Anda mungkin juga menyukai