MAKALAH
FIQIH SIYASAH
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum. Wr. Wb
Alhamdulillahirabbilalamin puji syukur kehadirat Allah SWT.karena hanya atas
izin-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
fiqih siyasah. Kami juga berterima kasih kepada dosen mata kuliah yang telah
membimbing kami, kepada teman-teman serta semua pihak yang telah membantu dan
mendukung kami dalam menyelesaikan makalah ini. Tak ada sesuatu hal pun yang
sempurna di dunia in kecuali Allah SWT, Maka dari itu kami mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah yang telah kami
susun ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin....
Wassalam
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................ii
Pendahuluan...............................................................................................1
Mawardi....................................................................................................2
Ghazali.......................................................................................................6
Ibnu Taimiyah.............................................................................................8
Jamal Al-Din Al-Afghani............................................................................10
M.Abduh..................................................................................................11
Rasyid Ridha.............................................................................................12
Al-Ikhwan Al-Muslimin.............................................................................15
Maududi...................................................................................................16
Kesimpulan...............................................................................................18
Daftar Pustaka............................................................................................19
PENDAHULUAN
Di kalangan umat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan
antara islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa islam bukanlah
semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan, sebaliknya islam adalah satu agama yang sempurna dan yang
lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara.
Aliran kedua berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat,
yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi
Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya,
dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan
menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk
mendirikan dan mengepalai satu negara.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba
lengkap dan bahwa dalam islam terdapat sistem ketatanegaraan. Dengan makalah ini
pembaca diajak untuk melakukan kajian ulang tentang hubungan antara islam dan tata
negara atau politik.
Sistem Pemerintahan
Situasi politik pada zamannya Mawardi mendasarkan teori politiknya atas
kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan
atau reformasi, misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan bahwa
khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh atau
pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan harus berbangsa Arab, dan
perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan
pembantu-pembantunya yang penting.
Imamah (Kepemimpinan)
Yang dimaksud Mawardi dengan imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala
negara. Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai
pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik.
Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak
pemimpin politik.
Kehati-hatian Mawardi
Dari uraian tentang banyaknya cara pengangkatan imam, baik yang melalui
pemilihan maupun penunjukan Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa
memberikan preferensi atau pilihannya. Sikap hati-hati Mawardi itu dapat juga diartikan
bahwa baik dari sumber-sumber awal islam maupun fakta-fakta sejarah dia memang tidak
menemukan suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara.
Pembebasan Imam dari Jabatannya
Dari enam pemikir politik islam yang ditampilkan untuk mewakili Zaman
Klasik dan Pertengahan kiranya hanya Mawardi yang dengan jelas mengemukakan
sebagai khalifah atau kepala negara kalau ternyata sudah menyimpang dari keadilan,
kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh yang lain, atau kehilangan kebebasan
bertindak karena telah dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau tertawan.
Macam Wazir
Menurut Mawardi terdapat dua macam wazir : wazir tafwidh dan wazir
tanfidz. Wazir tafwidh adalah pembantu utama kepala negara dengan kewenangan atau
kuasa. Persyaratan untuk jabatan wazir tafwidh sama dengan persyaratan untuk jabatan
imam dikurangi syarat keturunan Quraisy, dan cukup berkebangsaan arab saja, ditambah
kemampuan untuk mewakili imam dalam mengelola urusan-urusan perang dan
perpajakan. Perbedaan antara imam atau kepala negara dan wazir tafwidh adalah :
(1) Wazir harus selalu melaporkan kepada imam tentang kebijaksanaankebijaksanaan yang telah diambilnya dan pelaksanaannya
(2) Imam berhak meneliti kebijaksanaan dan pekerjaan wazir
Dalam pada itu terdapat tiga hal yang berhak dilakukan oleh imam, dan yang
tidak dapat dilaksanakan oleh wazir tafwidh : (1) Hanya imam yang berhak menunjuk
putra mahkota atau calon pengganti; (2) Hanya imam yang berhak meminta kepada
rakyatnya untuk dibebaskan dari imamah; (3) Imam berhak memecat pejabat yang
diangkat oleh wazir tafwidh.
Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi ialah
hubungan antara Ahl al-Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiar dan imam atau kepala
negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian
atas dasar sukarela. Terdapat empat pemikir politik barat yang mengemukakan teori
kontrak sosial. Yang pertama adalah Hubert Languet, Ilmuwan perancis, yang hidup
antara tahun 1519 dan tahun 1581 M; yang kedua Thomas Hobbes, Ilmuwan Inggris yang
hidup antara tahun 1588 dan tahun 1679 M; yang ketiga John Locke, juga Ilmuwan
Inggris yang hidup antara tahun 1632 dan tahun 1704 M; dan yang keempat adalah Jean
Jaques Rousseu, ilmuwan Perancis yang hidup antara tahun 1712 dan tahun 1778 M.1
1.
H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara edisi kelima (Jakarta : penerbit
Universitas Indonesia, (UI-Press) 1993)
Ghazali
Abu Hamid al-Ghazali atau Imam Ghazali, seorang teolog terkemuka, ahli
hukum, pemikir yang orijinal, ahli tasawuf terkenal dan yang mendapat julukan Hujjah
al-Islam. Karya tulisnya yang terbesar Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmuilmu Agama) yang terdiri dari enam jilid. Ghazali dilahirkan di kota Thus, yang termasuk
wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat juga di Thus pada tahun
505 H atau 1111 M.
Pada zaman Ghazali kekuasaan khalifah hampir semata-mata terbatas pada
bidang spiritual, sedang kekuasaan politik yang sebenarnya berada pada penguasapenguasa lokal apakah mereka itu bergelar sultan, raja atau amir. Pada waktu yang sama
berkembang berbagai mazhab atau aliran, baik dalam bidang akidah seperti Asyariyah
dan Mutazilah serta Syiah, maupun dalam bidang hukum seperti Maliki, Hanafi, Syari,
Hambali dan sebagainya. Pada zaman Ghazali di Afrika Utara sebelah barat telah berdiri
dua kerajaan : Murabithin yang dibangun oleh Abdullah bin Yasin dan Yusuf bin Tasyfin,
dan yang wilayahnya meliputi Aljazair, Marakisy, Afrika Barat dan Andalusia; dan
Muwahidin yang dibangun oleh Muhammad bin Tumarat, yang wilayahnya meliputi
seluruh daerah Maghrib Arab, Afrika Barat dan Andalusia.
Asal Mula Timbulnya Negara
Tentang asal timbulnya negara, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan politik
sebelumnya, Ghazali juga berpendapat bahwa manusia itu makhluk sosial. Ia tidak dapat
hidup sendirian, yang disebabkan oleh dua faktor : pertama, kebutuhan akan keturunan
demi kelangsungan hidup umat manusia; dan kedua, saling membantu dalam penyediaan
bahan makanan, pakaian dan pendidikan anak.
Kebutuhan Akan Sejumlah Industri atau Profesi
Menurut Ghazali, untuk pengadaan kebutuhan hidup manusia tersebut diperlukan
pembagian tugas (division of labour) antara para anggota masyarakat, dan sejumlah
industri atau profesi inti bagi tegaknya negara : pertanian untuk pengadaan makanan;
pemintalan untuk pengadaan pakaian; pembangunan untuk pengadaan tempat tinggal;
dan politik untuk penyusunan dan pengelolaan negara. Profesi politik, menurut Ghazali,
meliputi empat subprofesi :
(a) Subprofesi pengukuran tanah
(b) Subprofesi ketentaraan
(c) Subprofesi kehakiman
(d) Subprofesi ilmu hukum
2.
Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd alSalam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah. Dialahir di Haran dekat Damaskus, Suria,
pada tahun 661 H atau 1263 M. Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia islam mengalami
puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral.
Pemikiran Politik yang Bersendikan Agama
Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik adalah buku yang berjudul Al-Siyasah alSyariyah fi islah al-Rai wa al-Raiyah (Politik yang Berdasarkan Syariah bagi Perbaikan Penggembala dan Gembala). Buku Al-Siyasah al-Syariyah terdiri dari dua bagian
utama. Bagian pertama menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak,
khususnya tentang penunjukan dan pengangkatan para pejabat negara. Bagian kedua
membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum pidana hak Tuhan & hak sesama manusia.
Penyampaian Amanat Kepada yang Berhak
Suatu hal yang cukup menarik perhatian bahwa dalam bukunya itu Ibnu Taimiyah sedikit
sekali berbicara tentang kepala negara, dan sama sekali tidak menyinggung tentang cara
dan mekanisme pengangkatan kepala negara. Dalam hal pemerintahan bagi Ibnu
Taimiyah, perkataan amanat dalam surat Al-Nisaa itu mempunyai dua arti : Pertama,
yang diartikan amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung
jawab kepala negara untuk mengelolanya. Kedua, perkataan amanat pada ayat tersebut
berarti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh kepala negara.
Pelaksanaan Hukum
Tampaknya yang dimaksudkan pelaksanaan hukum oleh Ibnu Taimiyah itu
terutama pelaksanaan hukum pidana, yang terdiri dari dua macam. Yang pertama hukum
pidana yang merupakan hak Allah, dan yang kedua hukum pidana yang merupakan hak
manusia. Hukum yang merupakan hak Allah adalah hukuman bagi penyamun, pencuri,
pelaku zina, dan sebagainya. Sedangkan hukum pidana yang merupakan hak manusia,
seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Musyawarah dan Pemerintahan
Ibnu Taimiyah mengakhiri bukunya dengan uraian tentang pentingnya peranan
musyawarah dan tentang perlunya ada pemerintahan. Menurutnya, sebagaimana yang
diperintahkan Allah dalam Al-Quran : 159 surat Ali-Imran, seorang kepala negara tidak
boleh meninggalkan musyawarah. Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa keberadaan
kepala negara itu diperlukan tidak hanya sekedar menjamin keselamatan jiwa dan hak
milik rakyat, tetapi juga untuk menjamin berlakunya segala perintah dan hukum Allah.3
3.
4.
Ibid Halaman,117-120
Muhammad Abduh
Abduh dilahirkan dari keluarga petani pada tahun 1849 di Mesir Hilir. Setelah
belajar membaca dan menghafal Al-Quran di kampungnya, pada tahun 1826 dia di
masukkan ke sekolah agama di Thantha, tetapi tampaknya kurang menarik. Karena itu ia
keluar dari sekolah dan baru mau kembali belajar atas bujukan adik kakeknya. Pada tahun
1865 dia kembali ke Thantha, tetapi tahun berikutnya dia meninggalkan Thantha dan
belajar di Al-Azhar, Kairo. Dalam tahun 1872, pada usia 23 tahun Abduh berkenalan
dengan Afghani. Kemudian Abduh menjadi pengikut Afghani yang setia. Pengaruh
Afghanilah yang mendorong Abduh untuk belajar ilmu jurnalistik, yang terus
dipraktekannya. Pada tahun 1880, setelah terjadi pergantian pemerintahan di Mesir,
Abduh diangkat untuk memimpin majalah resmi Al-Waqai al-Misriyah, yang dibawah
pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal. Dari Mesir semula dia pergi ke
Beirut, Libanon, kemudian pada tahun 1884 menggabungkan diri dengan Afghani di
paris. Bersama Afghani dia membentuk organisasi Al-Urwah al-Wutsqa, dan menerbitkan
majalah yang senama dengan organisasi itu. Buku tulis Afghani berisi sanggahan
terhadap paham atheisme, dari bahasa persia ke bahasa arab.
Pada tahun 1889 Abduh diangkat menjadi hakim pada Pengadilan untuk Pribumi, dan dua
tahun kemudian diangkat sebagai penasihat pada Mahkamah Banding. Pada tahun1899
Abduh diangkat sebagai mufti negara, dan jabatan ini didudukinya sampai dia wafat pada
tahun 1905.5
5.
Ridha bertemu pertama kali dengan Abduh pada akhir tahun 1882 disebut terakhir
di Beirut. Pembacaan Al-Urwah al-Wutsqa dan pergaulannya dengan Abduh selama
tinggal di Beirut telah mendorong Ridha untuk meyakini kebenaran gerakan Salafiyah
yang dipelopori oleh Afghani an Abduh. Pada tahun yang sama Ridha berhasil
meyakinkan Abduh tentang amat perlunya diterbitkan satu majalah Al-Manar di bawah
asuhan Abduh-Ridha. Sepeninggal Abduh, Ridha meneruskan penerbitan majalah AlManar, dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, Al-Manar. Muhammad Rasyid
Ridha wafat pada tahun1935.
Salafiyah adalah satu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat
memulihkan kajayaannya, umat islam harus kembali kepada ajaran islam yang masih
murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama islam disebut salaf Afghani
terdiri dari tiga komponen utama, yakni :
1. Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali islam hanya terwujud kalau
umat islam kembali kepada ajaran islam yang masih murni.
2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi barat, baik politik, ekonomi maupin
kebudayaan.
3. Pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi.
Jamiah Islamiyah. Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran islam, serta
pengembalian keutuhan umat islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan
politik yang mempersatukan seluruh umat islam yang dalam bahasa arab disebut Jamiah
Islamiyah. Gerakan itu dalam istilah asing disebut Pan-Islamisme. Ikatan tersebut,
bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat islam dalam perjuangan :
1. Menentang tiap sistem pemerintahan (di negeri sendiri) yang despotik atau sewenangwenang.
6.
Al-Ikhwan Al-Muslimin
Al-Ikhwan al-Muslimin, secara harfiah ke dalam bahasa indonesia berarti
Saudara-saudara Sesama Muslim, adalah organisasi keagamaan yang didirikan di
Ismailiyah, sebelah timur laut Kairo, Mesir, pada tahun 1928 oleh seorang tokoh agama
yang karismatik, Syeikh Hasan al-Banna.
Hasan al-Banna, yang hidup antara tahun 1906 dan 1949 M lahir di Mahmudiyah,
kota kecil yang terletak di sebelah timur laut Kairo. Dari tiga serangkai tokoh Salafiyah,
Afghani-Abduh-Ridha, yang terakhir itulah yang paling besar pengaruhnya pada AlBanna muda, terutama keyakinan Ridha bahwa islam adalah suatu agama yang sempurna
dan lengkap dengan segala sistem yang dibutuhkan bagi kehidupan umat islam.
Sayyid Quthb, yang dilahirkan pada tahun 1906 dan wafat pada tahun 1966
memulai kariernya sebagai guru sekolah, sama seperti hasan al-Banna. Kemudian dia
diangkat menjadi penilik pada Kementerian Pendidikan. Dengan latar-belakang dua
tokoh utama Al-Ikhwan al-Muslimin maka dapat dimengerti bahwa terdapat banyak
kemiripan atau bahkan persamaan pandangan serta paham keagamaan serta politik antara
Rasyid Ridha, Al-Banna, Sayyid Quthb pada khususnya, Al-Ikhwan al- Berikut ini akan
diutarakan pokok-pokok pikiran Al-Ikhwan al-Muslimin tentang sistem politik islam
yang dapat disimpulkan dari dua buku karya dua tokoh organisasi tersebut : (1) AlAdalah al Ijtimaiyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) oleh Sayyid Quthb, dan
(2) Al-Ikhwan al-Muslimin : Duat la Qudhat (Al-Ikhwan al-Muslim, Mengajak Bukan
Menghakimi) oleh Dr.Hasan Ismail al-Hudhaibi. Dalam buku Al-Adalah al-Ijtimaiyah fi
al-Islam tersebut Sayyid Quthb mengemukakan tiga pokok pikiran seperti berikut :
1. Pemerintahan Supra Nasional
2. Persamaan Hak Antara Para Pemeluk Berbagai Agama
3.
Tiga Asas Politik Pemerintahan Islam.7
7.
Maududi
Nama lengkap pemikir besar islam kontemporer dari anak benua India itu adalah
Abu al-Ala al-Maududi. Dia dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad,
India Tengah, dan wafat pada tanggal 23 September 1979 di salah satu rumah sakit di
New York, Amerika Serikat. Dia merupakan salah seorang propagandis terkemuka dari
gerakan Khilafah, dan kemudian dipercaya memimpin penerbitan organ panitia pusat
gerakan itu, bernama Al-Jamiyah dari tahun 1924 sampai dengan tahun 1928. Dia mulai
menulis sejumlah artikel yang pada tahun 1927 diterbitkan dalam satu buku dengan judul
Perang dalam Islam.
Pada tahun 1941 Maududi, bersama-sama dengan tujuh puluh lima pengikutnya,
mendirikan satu organisasi yang diberi nama Jamiah Islamiyah. Sebagaimana Al-Ikhwan
al-Muslimin organisasi itu pada permulaannya lebih merupakan gerakan ideologi dari
pada gerakan politik.
Pokok-pokok Pikiran Maududi tentang Kenegaraan
Dari sekian banyak karya tulis Maududi, selain buku pertamanya yang berjudul
Perang dalam Islam, juga terdapat enam risalah adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
8.
KESIMPULAN
Pemikiran politik islam zaman klasik dan pertengahan pada dasarnya menerima
dan tidak mempertentangkan lagi keabsahan sistem pemerintahan monarki yang mereka
temukan pada zaman mereka masing-masing, dengan seorang khalifah, sultan atau raja
memerintah atas dasar turun-temurun, supra nasional, dan dengan kekuasaan yang mutlak
atau hampir mutlak, berdasarkan prinsip bahwa dia adalah bayangan Allah di bumi. Para
pemikir itu tidak cukup besar perhatiannya terhadap cara bagaimana khalifah, sultan atau
raja itu naik tahta, dengan pengangkatan, penunjukkan atau pemilihan, dan kalau melalui
pemilihan bagaimana cara memilihnya dan oleh siapa.
Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa kekuasaan khalifah, sultan atau
raja itu mandat dari Tuhan, dan oleh karenanya bagi mereka taat kepada kepala negara
nerupakan kewajuban agama. Hanya Mawardilah yang mengemukakan teori kontrak
sosial dan hanya dia pula yang dengan jelas menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu
kepala negara dapat diturunkan dari tahta, meskipun tanpa rincian tentang cara penurunan
itu.
DAFTAR PUSTAKA