Pengantar
Negara sebagai entitas kelembagaan politik merupakan manifestasi
dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk
mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Eksistensi negara, dalam
tataran ini, meniscayakan adanya perpaduan, meminjam istilah Georg W.F.
Hegel (w. 1831 M.), antara kebebasan subyektif (subjective liberty), yaitu
kesadaran dan kehendak individual untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
dan kebebasan obyektif (objective liberty), yaitu kehendak umum yang
bersifat fundamental.2
Sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan
bersama, adanya seorang kepala negara (pemimpin) merupakan sesuatu
yang niscaya.3 Lembaga kepala negara (imamah)4 dipandang sebagai salah
1 Artikel ini dimuat dalam JAUHAR: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Volume 2,
No. 1 , Juni 2001, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 1-21.
2Din Syamsuddin, Hak-Hak Rakyat Warga Negara dalam Perspektif Sejarah
Kekuasaan Negara-Agama, dalam Agama dan Hak Rakyat, (Jakarta: P3M, 1993), hlm. 21.
Dengan mengatakan ini, Hegel beranggapan bahwa dia telah berhasil memecahkan masalah
pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Baginya, bila seorang
menyerahkan kepentingan individunya demi kepentingan umum, dia bukan sedang
mengurangi haknya, melainkan memperluasnya. Dalam kepentingan umum itu terdapat
kepentingan individualnya. Baca Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan
Ideologi, (Jakarta: Gramedia, 1997), Cet. II, hlm. 16.
3
Begitu pentingnya kepala negara, Ibnu Taymiyah berkata “keberadaan kepala
negara, meskipun dzalim, lebih baik bagi rakyat daripada kalau mereka harus hidup tanpa
kepala negara”. Ibnu Taymiyah mengutip riwayat, “enam puluh tahun di bawah sulthan yang
dzalim lebih baik daripada satu malam tanpa sulthan”. Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-
Syar’iyyah fiy Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, cet. IV (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1979), hlm.
162.
4
Kata “imamah” sering digunakan secara bergantian dan secara sinonim dengan kata
khilafah. Menurut Mikhail, pilihan al-Mawardi dan para penulis sunni lain pada kata imamah
dari pada kata khilafah sebagai respons terhadap kaum syi’ah yang memilih menggunakan
imam daripada khalifah dalam menyebut pemimpin-pemimpin mereka. John H Mikhail,
Mawardi: A Study in Islamic Political Thought, (Disertasi PhD, Harvard University, 1986), hlm.
32.
Abd Moqsith, Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara
5
Plato mengatakan bahwa negara harus dikuasai para filsuf. Bagi Plato, hanya filsuf
yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya, yang dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk. Filsuf melihat nilai-nilai abadi; filsuf dapat membebaskan diri dari dunia
lahir yang berubah. Mereka mengetahui persoalan sampai pada intinya. J.J von Schmid, Ahli-
Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sardjana, 1965), hlm. 17-18.
6
Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun), hlm. 166.
Bandingkan dengan Affandi Mukhtar, Konsep Kepala Negara (Imamah) dalam Pandangan
Politik Al-Mawardi, (Cirebon: Jilli, 1997), hlm. 3
7
Ibrahim Hosen, Fiqh Siyasah dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik, dalam Ulumul
Qur`an (Jakarta: 1992), No.2 Vol. IV, hlm., 58
8
Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah…., hlm. 161.
Ayat ini melalui isyarah al-nash memerintahkan adanya ulil amri. Dus,
mengangkat pemimpin (uli al-amr) adalah wajib. Lebih jauh, cukup banyak
hadits yang menegaskan kewajiban taat kepada pemimpin. Dan berdasarkan
isyarah al-nash, hadits-hadits tersebut mengharuskan pula adanya pemimpin,
yang dalam lingkup luas diwujudkan dalam sosok kepala negara.9
Ketiga, terhadap hukum fiqh yang berkenaan dengan persoalan
kemasyarakatan, intervensi pemerintah mutlak diperlukan, demi
menghindarkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian hukum, di samping,
tentunya, agar terwujud keseragaman amaliah umat dan terciptanya
kemaslahatan umum. Karena itu, jika pemerintah telah memilih sesuatu
hukum dan menetapkannya, maka semua masyarakat terikat dengannya dan
harus mematuhinya, sejalan dengan kaidah: حكم الحاكم يرفع الخالف
Keempat, berdasarkan hukum aqliy (rasio) adalah tepat dan sudah
seharusnya menyerahkan urusan (persoalan kemasyarakatan) kepada
seorang pemimpin yang berkuasa untuk mencegah kezaliman dan mengatasi
perselisihan dalam masyarakat. Sebab, jika tidak demikian, tentu kekacauan
akan melanda umat manusia.
Dari keterangan di atas dan berdasarkan sejumlah nash lain yang
mengharuskan taat kepada pemimpin, dapatlah ditegaskan bahwa dalam
siyasah syar’iyyah hukum mengangkat pemimpin atau kepala negara adalah
wajib, baik secara syar’i maupun aqliy. Persoalannya adalah bagaimana
mekanisme pengangkatan sekaligus pemberhentiaan kepala negara itu. Ini
signifikan, setidak-tidaknya bagi mereka yang berminat mengkaji masalah
politik. Sebab, dari cara-cara itu dapat diketahui, dari mana sumber
kekuasaan kepala negara diperoleh, bagaimana kedudukan kepala negara?
Dalam konteks ini, al-Mawardi10 banyak menulis tentang masalah politik dan
9
Al-Qur`an sendiri tak memuat secara eksplisit perintah mendirikan negara. Walau
terdapat sejumlah istilah politik dan pemerintahan dalam al-Qur`an, seperti khalifah, ulu al-
amr, sulthan, mulk, dan hukm, penafsiran terhadap istilah-istilah itu tak pernah mencapai
suatu konsensus bahwa al-Qur`an memerintahkan pendirian negara. Di dalam al-Qur`an
hanya terdapat konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, seperti
musyawarah, ketaatan kepada pemimpin, dan penegakan keadilan. Karena itu, dapat
dimaklumi jika sebagian pemikir Muslim dalam karangan politiknya mengembangkan teori
kemunculan negara tidak selalu berpijak pada ayat-ayat al-Qur`an, melainkan banyak
dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
10
Nama Lengkapnya Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi. Ia lahir
di Bashrah tahun 364 H. dan meninggal tahun 450 H. Ia termasuk penganut Sunni, dalam
bidang fikih bermadzhab Syafi’i. Ia pernah menjabat ra`is al-qudhat, semacam hakim tinggi.
Lihat pengantar Mushthafa al-Saqa (editor) dalam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din,
(Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 3-5
11
Karya-karya lain al-Mawardi di bidang politik; 1] Qawanin al-wuzara` wa Siyasah
al-Muluk, dicetak tahun 1929 di Mesir; 2] Tashil al-Nadhar wa Ta’jil al-Dhafar, masih dalam
bentuk manuskrip; 3] Nashihah al-Muluk juga dalam bentuk manuskrip, 4] Adab al-Dunya wa
al-Din. Lihat juga Mushthafa al-Saqa, ibid., hlm. 6-7. Dalam keempat kitab politik ini, dimensi
hukum tidak terlalu tampak. Justru aspek etik-moral dominan mengisi buku tersebut.
Artinya, keempat kitab ini merupakan buku etika politik, sementara al-Ahkam al-
Sulthaniyyah adalah pedoman konstitusi dan hukum ketatanegaraan.
12
Tentu saja yang mempunyai kecenderungan seperti ini bukan hanya al-Mawardi,
melainkan ada lagi pakar politik dalam Islam lainnya yang mempunyai kecenderungan sama,
baik dari kalangan Sunni maupun Syi’i.
13
Kenyataan ini terlihat, kendatipun al-Mawardi seorang pengikut madzhab Syafi’i
(aliran Sunni), ia tidak hanya disenangi dan disegani penguasa-penguasa Abbasiyah yang
memang beraliran Sunni, melainkan juga oleh penguasa-penguasa Buwaihi yang beraliran
Syi’ah, dua buah aliran yang sepanjang sejarahnya selalu berseberangan dan berkutat dalam
konflik. Usman Abu Bakar dkk., Laporan Penelitian Kolektif Negara dan Pemerintah (Studi
Komparatif Pemikiran al-Mawardi dan Ibn al-Farra`), tidak diterbitkan, (Semarang: IAIN
Walisongo, 1994), hlm. 22.
14
Marzuki Wahid, Latar Historis Narasi Ketatanegaraan al-Mawardi dan Ibnu al-
Farra`: Bacaan “Seorang Rakyat” atas Dua Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Cirebon: Jilli,
1997), hlm. 6.
15
Salah satu indikator bahwa al-Mawardi adalah seorang ilmuwan yang serba-bisa
dapat terlihat dari ragam karya yang dihasilkannya, baik yang sudah dicetak (mathbu’ah)
maupun yang masih berbentuk manuskrip (makhthuthah). Karya-karya tersebut di
antaranya, adalah [1] al-Hawi al-Kabir, [2] al-Ahkam al-Sulthaniyah, [3] Nashihah al-Muluk,
[4] Qawanin al-Wuzara` wa Siyasah al-Mulk, [5] al-Tafsir, [6] al-Iqna’ (Mukhtashar Kitab al-
Hawiy), [7] Adab al-Qadli, [8]A’lam al-Nubuwwah, [9]Tashil al-Naddhar wa Ta’jil al-Dhafar,
[10] Kitab fiy al-Nahw, [11] al-Amtsal wa al-Hikam, [12] Adab al-Dunya wa al-Din. Lihat
Mushthafa al-Saqa, dalam Muqaddimah kitab Adab al-Dunya wa al-Din, hlm. 4-6. Kemudian
dalam Tarikh Baghdad disebutkan kitab lain, yatu; [13] al-Buyu’, dan [14] al-Nukat wa al-
‘Uyun. Lihat al-Khatib al-Baghdadiy, Tarikh Baghdad, (Beirut: Maktabah Musamma, Tanpa
Tahun), hlm. 102
sesudahnya, seperti Ibn Abi Rabi’ (w. 840 M.),16 Ibnu Qutaybah (w. 889 M.),17
al-Baqillani (w. 403 H./1013 M.),18 al-Baghdadi (w. 429 H./1037),19 al-
Juwaini (w. 478 H./1087 M.),20 al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.),21 Ibn
Taymiyah (w. 728 H./1328 M.),22 dan Ibn Khaldun (w. 808 H./1406 M.)23. Al-
Mawardi barangkali bisa disebut sebagai ulama-istana. Ia seorang ulama
yang dekat dengan penguasa (khalifah) Abbasiyah. Selain pernah menabat
qadli di beberapa kota, oleh Khalifah al-Qadir (w. 422 H.) ia diangkat sebagai
qadli al-qudlat, di Ustuwa dekat Nishapur. Sedemikian tinggi tingkat
kedekatannya pada khalifah, al-Mawardi pernah memperoleh tugas khusus
saat Dinasti Buwaihi mulai berkuasa, yakni sebagai penghubung (safir)
antara pemerintah Khalifah al-Qadir dari Daulah Abbasiyah (yang beraliran
Sunni) dengan amir al-umara` dari Dinasti Buwaihi (yang berhaluan Syi’ah).
Tugas ini diperuntukkan bagi penyelesaian konflik-konflik politik yang
berkepanjangan akibat prahara yang berkecamuk antar-daulah saat itu.
Lebih dari karir-karir politik, dalam fatwa hukum pun agaknya al-
Mawardi menjadi orang kepercayaan Khalifah. Kitab al-Iqna’ (mukhtashar
kitab al-Hawi) ditulis al-Mawardi untuk memenuhi permintaan Khalifah al-
Qadir (pada tahun 429 H.). Khalifah meminta empat orang ahli hukum yang
mewakili madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) agar menulis
ikhtisar hukum madzhabnya masing-masing. Al-Mawardi dalam hal ini
16
Nama lengkapnya Syihab al-Din Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Rabi’. Pemikiran
politiknya, di antaranya, termuat dalam Suluk al-Malik fiy Tadbir al-Mamalik, (Kairo: Dar al-
Sya’ab, 1970).
17
Nama kitabnya yang membahas perkembangan pemikiran politik Islam sejak
zaman awal sampai abad ke-9 M. adalah al-Imamah wa al-Siyasah.
18
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn al-Thayyib ibn Muhammad ibn Ja’far
al-Qasim al-Baqillaniy. Pemikiran politiknya, salah satunya, tertuang dalam al-Tamhid fiy al-
Radd ‘ala Mulhidat wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilah.
19
Nama lengkapnya Abu Manshur Abd al-Qadir ibn Thahir al-Baghdadiy. Percikan
pemikiran politiknya, sebagian diwadahi dalam kitab Ushul al-Din.
20
Nama lengkapnya Abd. Al-Malik ibn Abdullah ibn Yusuf al-Juwaini, populer dengan
sebutan Imam al-Haramain al-Juwaini. Pemikiran politiknya, di antaranya, terdapat dalam
Kitab al-Irsyad.
21
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-
Ghazali. Curahan pemikiran politiknya, di antaranya, terdapat dalam Ihya` ‘Ulum al-Din, al-
Iqtishad wa al-I’tiqad, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk.
22
Nama lengkapnya Taqiy al-Din Abu al-Abbas ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn
Taymiyyah. Formulasi pemikiran politiknya yang masyhur terdapat dalam al-Siyasah al-
Syar’iyyah fiy Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah.
23
Nama lengkapnya Abu Zaid Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun Waliy al-
Din al-Tunisi al-Hadrami. Gagasan politiknya terdapat dalam masterpiece-nya Muqaddimah
(dari Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada` wa al-Khabar fiy Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-
Barbar wa man ‘asharahum min dzawiy al-Sulthan al-Akbar .
24
Abd. Hakim Rahman, Visi Politik al-Mawardi tentang Negara dan Pemerintahan,
Tesis S2, Tidak diterbitkan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1996), hlm. 23. Bandingkan
dengan Marzuki Wahid, Latar Historis …, 1997), hlm. 7
25
Bahkan disinyalir bahwa penyusunan kitab masterpeice, al-Ahkam al-Sulthaniyah,
adalah atas perintah seorang penguasa yang tidak disebut namanya. Lihat Donald Litle, “A
New Look at al-Ahkam al-Sulthaniyah”, dalam The Muslim World, No. 1 Vol. LXI, 1981, hlm. 2
26
Yang menarik tentang hal ini bahwa al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya
itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama
kalinya pada abad XVI. Uraian tentang teori kontrak sosial ini dapat dibaca dalam Munawir
Sazdali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 67-70.
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 132.
27
Teori ini sesungguhnya tidak hanya dinyatakan oleh al-Mawardi. Sebelumnya, al-
28
Farabi (w. 950 M.) juga mengajukan pendapat yang sama mengenai saling ketergantungan
manusia sebagai sebab terbentuknya negara. Secara lebih detail, lihat al-Farabi, Kitab Ara`
Ahl al-Madinah al-Fadlilah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1985), hlm. 117 dan 122
29
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, hlm. 6.
30
Sedemikian pentingnya keadilan, sampai-sampai Ibnu Taymiyah mengatakan
bahwa sesungguhnya Tuhan menolong pemerintahan yang adil sekalipun kafir, tetapi tidak
menolong pemerintahan yang zalim walaupun muslim. Keadilan walaupun dengan kekafiran
memungkinkan kehidupan dunia yang terus berkesinambungan, tetapi kezaliman
sungguhpun dengan keislaman tak akan mampu melestarikan kehidupan di dunia ini. Lihat
Ibnu Taimiyah, al-Hisbah fiy al-Islam wa Wadlifah al-Hukumah al-Islamiyah, (Tanpa Tempat
Penerbit: Dar al-Katib al-‘Arabiy, Tanpa Tahun), hlm. 3 & 81. Dengan mengungkapkan hal itu,
Ibnu Taymiyah sesungguhnya hendak mengajukan pandangan bahwa esensi lebih penting
daripada bentuk; dan nilai lebih berharga ketimbang simbol. Bagi Ibnu Taymiyah, negara tak
lain adalah instrumen mewujudkan keadilan. Maka apapun label, simbol dan bentuk yang
dipakai oleh suatu negara dan pemerintahan, sejauh berguna bagi terwujudnya cita-cita
keadilan adalah islami dan wajib untuk didukung. Sebaliknya, suatu negara, pemerintahan
dengan label, simbol dan bentuk apapun yang cenderung selalu melecehkan cita keadilan
dan kepentingan rakyat banyak adalah tidak islami dan tidak perlu ditaati.
31
Umar ibn Khattab pernah memungut sebagian harta kekayaan pejabat (gubernur)
yang memerintah di daerah makmur, dan kemudian membagi-bagikannya secara adil-
merata kepada pejabat-pejabat yang memerintah di daerah-daerah yang miskin. Ibnu
Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, hlm. 45-47.
2. Berpengetahuan (al-‘alim)
Pengetahuan yang luas dibutuhkan untuk menopang kemampuan kepala
negara dalam berjihad dan berijtihad. Dalam proses pengambilan
keputusan, ijtihad seorang kepala negara mutlak diperlukan.32
3. Memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara secara sempurna,
sehingga ia dapat mengenali masalah dengan teliti dan dapat
mengkomunikasikannya dengan baik dalam proses penentuan hukum .
4. Mempunyai kondisi fisik yang sehat.
5. Memiliki kebijakan dan wawasan yang memadai untuk mengatur
kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan umum.
6. Memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Islam dan
untuk mempertahankannya dari serangan musuh.
7. Berasal dari keturunan quraisy 33
Persyaratan yang terakhir ini menurut al-Mawardi berdasarkan ketentuan
yang disepakati umum.
32
Di sisi lain, mestinya al-Mawardi menyadari bahwa kepemimpinan pasca-al-
Khulafa` al-Rasyidun tidak lagi dipegang oleh orang yang berpredikat sebagai ulama dan
umara` secara sekaligus. Pada era ini, ulama bertindak sebagai pendamping umara`. Dalam
hal itu, kelihatan idealisme al-Mawardi untuk menjadikan al-Khulafa` al-Rasyidun sebagai
acuan utamanya.
33
Para penulis Barat menilai bahwa persyaratan itu sengaja diungkap al-Mawardi
untuk melanggengkan kekuasaan Bani Abbas yang telah dirongrong Bani Buwaih dan Bani
Fatimiyah yang Syi’ah. Ini juga menutup kemungkinan adanya khalifah dari kalangan non-
Arab, seperti orang Persia dan Turki yang pada waktu itu sudah banyak yang mengendalikan
roda pemerintahan. Baca Ana K.S Lambton, State and Government in Medieval Islam, (New
York: Oxford University Press, 1981), hlm. 83. Al-Mawardi menentang pendapat seorang
tokoh Mu’tazilah, Dirar ibn al-Ghatafani (w. 815 M.) yang mengatakan bahwa kepala negara
boleh dipilih dari kalangan luar suku quraisy, terbuka untuk umum. Penolakan al-Mawardi
didasarkan kepada hadits Nabi, “Imam (kepala negara) harus dari suku quraisy”. Dan hadits
inilah yang meredam ambisi tokoh-tokoh Anshar dalam perebutan kepemimpinan umat
Islam sepeninggal Nabi Muhammaad. Di samping itu, ada hadits lain, “Pilihlah [pemimpin]
dari suku quraisy, dan jadikan dirimu sendiri sebagai pemimpin pemimpin mereka”. Ibnu
Khaldun dengan alasan yang lebih rasional, juga mengakui kebenaran hadits-hadits itu. Nabi
memang menentukan agar pemimpin negara [umat Islam] berasal dari suku quraisy, karena
dalam konstelasi sosial politik pada waktu itu suku quraisy itu memiliki kekuatan yang lebih,
yang mampu mengarahkan negara. Konsekuensinya, jika suku quraisy itu memiliki kekuatan
yang tangguh, maka kepemimpinan bisa saja diberikan kepada suku (solidaritas kelompok)
lain yang lebih kuat, di antara suku-suku yang ada pada masanya. Lihat Muhammad Nafis,
The Concept of Imamate in the Works of al-Mawardi, (Montreal: McGill University, Tesis M.A,
1993, tidak diterbitkan), hlm. 49. Bandingkan dengan Affandi Mukhtar, Konsep Kepala
Negara…”, hlm. 27
34
Al-Mawardi tidak memberikan preferensi mana yang terbaik dari dua cara itu.
Kecenderungan dari al-Mawardi penting diungkapkan karena berhubungan erat dengan
teori yang dikemukakannya mengenai mekanisme pengangkatan kepala negara melalui
pemilihan. Dapat diduga, ia sebenarnya ia menghendaki pemilihan itu. Akan tetapi karena
tradisi yang berlaku waktu itu adalah monarchi, ia cukup menyuguhkan cara penunjukan
meskipun secara agak terinci memberikan prasyarat yang cukup ketat.
35
Lambton, ibid. hlm. 6.
36
Lambton, ibid. hlm. 6-7. Bandingkan dengan Munawir Sadzali, op.cit. hlm. 64
37
Kelima orang tersebut adalah Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Jarrah, Usaid ibn
Hudhair, Bisyr ibn Sa’ad dan Salim (seorang budah Abu Khudaifah).
38
Keenam orang tersebut adalah Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Sa’ad ibn Abi
Waqash, Abdurrahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam, dan Thalhah ibn Ubaidillah. Abdullah ibn
Ketiga, pemilihan itu sah kalau dilakukan tiga orang; seorang di antara
mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan dua orang yang lain.
Pendapat ini diajukan ulama Kufah.39 Keempat, pemilihan imam sah
walaupun dilakukan satu orang. Menurut kelompok ini, dahulu Ali ibn Abi
Thalib diangkat hanya oleh satu orang, Abbas. Abbas berkata kepada Ali,
“ulurkan tanganmu, aku hendak berbai’at kepadamu”. Menyaksikan apa yang
diperbuat oleh Abbas itu, semua yang hadir serentak berkata, “paman Nabi
telah berbai’at kepada anak pamannya”. Dan semua mengikuti jejak Abbas.40
Al-Mawardi tampaknya tidak memberikan ketentuan secara pasti
mengenai jumlah ahl al-hall wa al-‘aqd.41 Akan tetapi, yang jelas, ia mengakui
keabsahan pemilihan kepala negara melalui lembaga pemilih tersebut. Sebab,
dengan proses ini berarti telah terjadi kontrak pemberian kewenangan
formal bagi seseorang untuk menjadi kepala negara yang bertanggung jawab
dalam upaya menjaga keutuhan dan pemenuhan hidup bersama. Proses kerja
dewan pemilih dimulai dengan meneliti persyaratan para calon kepala
negara. Selanjutnya, kepada calon yang paling memenuhi persyaratan, dewan
melakukan bai’at untuk menjadikannya sebagai pemimpin negara.
Namun, keputusan itu baru berlaku hanya jika ada pernyatan
kesediaan dari calon pemilih. Bagi al-Mawardi, pernyataan kesediaan itu
sungguh perlu dalam proses kontrak antara umat yang diwakili oleh dewan
pemilih dengan calon kepala negara. Di sini tidak boleh ada tekanan dan
paksaan dalam proses tersebut.42 Jika sang calon menyatakan tidak bersedia,
maka ia tidak bisa dipaksa menjadi kepala negara. Sebaliknya, apabila ia
menerima penunjukan, maka dewan pemilih melakukan bai’at kepadanya.
Umar ibn Khattab masuk dalam tim ini, tetapi ia hanya memiliki hak memilih dan tidak
memiliki hak untuk dipilih. Baca Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islamiy wa al-
Hadlarah al-Islamiyah, (Cairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1978), Jilid I, hlm. 422-
423.
39
Ia mengqiyaskan dengan ke-sah-an suatu akad nikah dengan adanya seorang wali
dan dua orang saksi. Baca al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 7
40
Dalam hal yang terakhir ini, maka sesungguhnya tidak terjadi pemilihan,
melainkan penunjukan.
41
Secara sepintas terlihat, lagi-lagi ia berusaha menjadikan praktik al-Khulafa` al-
Rasyidun sebagai patokan. Padahal, diakui bahwa usaha itu sulit diwujudkan oleh karena
ternyata tidak ada satu model pemilihan pun yang dianggap baku pada masa-masa awal
Islam itu. Bahkan al-Maraghi menegaskan bahwa Nabi Muhammad saja tidak memiliki model
yang baku dalam bermusyawarah, terlebih para sahabat sesudahnya. Tidak adanya model
yang baku justru memberika peluang kepada umat Islam untuk menentukan model tertentu
sesuai dengan situasi dan kondisinya. Baca Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,
(Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), Juz X, hlm. 114.
42
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 8.
Dalam hal ini, masyarakatpun harus ikut memberikan bai’at dan mematuhi
kepemimpinanya.43
Masalah mungkin muncul ketika terdapat dua calaon yang sama-sama
memenuhi kriteria pemilihan. Untuk menyelesaikannya, al-Mawardi
berpendapat bahwa calon yang lebih tua usianya memiliki hak yang lebih
terbuka untuk dipilih sebagai kepala negara. Akan tetapi, jika faktor usia
tidak menjadi pertimbangan dan kondisi riil mendukung, calon yang lebih
mudapun dapat dipilih. Kondisi obyektif memang menjadi faktor tatkala
menghadapi pilihan calon-calon yang berimbang kualitasnya. Misalnya, jika
terdapat dua calon yang memenuhi syarat, tetapi yang satu memiliki
keunggulan dalam hal keberanian, sementara yang lain memiliki kelebihan
secara intelektual, maka pemilihan harus diambil dengan
mempertimbangkan situasi riil yang dihadapi oleh negara itu. Apabila
situasinya sedang dihadapkan pada ancaman dan instabilitas, pilihan jatuh
pada calon yang memiliki keberanian. Apabila situasinya menuntut
penyelesaian dalam masalah kebebasan berfikir, pilihan diberikan kepada
calon yang ntelektual.44
Hal lain yang menjadi perhatian al-Mawardi dalam proses pemilihan
ini adalah ketika terjadi kemacetan proses, yang terjadi akibat adanya dua
calon yang memenuhi syarat dan masing-masing memperlihatkan ambisinya.
Menurutnya, mayoritas ulama mengajukan dua solusi. 45 Pertama, diundi
sehingga salah seorang di antaranya memperoleh kemenangan yang
kemudian di bai’at. Kedua, dewan pemilih menggunakan hak pilihmya secara
penuh dengan memberikan bai’at kepada siapapun yang menjadi pilihannya
di antara dua calon itu.
Adapun tentang pengangkatan kepala negara melalui penunjukan
kepala negara yang sedang berkuasa, al-Mawardi menyatakan:46
وأما إنعقاد االمامة بعهد من قبله فهو مما إنعقد االجماع على جوازه ووقع االتفاق على
صحته المرين عمل المسلمون بهما ولم يتناكروهما أحدهما أن أبا بكر رضي الله عنه
عهد بها إلي عمر رضي الله عنه فأثبت المسلمون إمامته بعهده …وأن عمر عهد
بها إلي أهل الشوري
43
Al-Mawardi, ibid. hlm. 7.
44
Al-Mawardi, ibid., hlm. 7.
45
Al-Mawardi, ibid., hlm. 8
46
Al-Mawardi, ibid. hlm. 10.
47
Robert N. Bellah mengungkapkan bahwa pandangan dan praktek politik Islam di
masa al-Khulfa` al-Rasyidun sangat maju dan modern. Letak kemodernannya adalah; 1]
semua lapisan warga masyarakat diminta turut serta memberi komitmen, berpartisipasi dan
terlibat dalam proses politik, 2] kedudukan pimpinan kenegaraan yang tidak kebal terhadap
penilaian kemampuan berdasarkan ukuran-ukuran obyektif, 3] proses suksesi
kepemimpinan yang terbuka bagi siapapun dan tidak bersifat hereditatif (turun-temurun).
Lihat Robert N. Bellah (ed.), Beyond Belief, (New York: Harper & Row, 1976), hlm. 150-151.
48
Al-Qalqasyandi, Ma’atsir al-‘Anaqah fiy Ma’alim al-Khilafah, tahqiq Abdus Satar
Ahmad Faraj (Beirut: Alam al-Kutub, Tanpa Tahun), hlm. 48. Akan tetapi, penunjukan
terhadap Umar tersebut dilakukan setelah lebih dahulu Abu Bakar berkonsultasi secara
informal kepada beberapa pemuka umat Islam. Penunjukan tersebut kemudian diikuti bai’at
atau pengambilan sumpah setia dari orang-orang yang ada di tempat tersebut atas nama
seluruh umat Islam. Hal ini dilakukan ketika Abu Bakar masih hidup. Lihat Montgomery
Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terjemah Helmi Ali dan Muntaha Azhari, (Jakarta:
P3M, 1988), hlm. 55.
49
Sebelum wafat, Umar berwasiat, “Seandainya Abu Ubadillah ibn Jarrah masih
hidup, jabatan khalifah akan saya serahkan kepadanya. Karena dia sudah meninggal, saya
tidak bisa menunjuk seseorang. Masalah ini akan saya serahkan kepada enam tokoh sebagai
dewan formatur. Anak saya, Abdullah ibn Umar, masuk dalam tim, tetapi tidak boleh dipilih.
Dari Baniy ‘Ady cukup saya saja yang menjadi khalifah. Enam orang tersebut, seperti
dikemukakan sebelumnya, adalah Ali, Utsman, Abdurrahman ibn ‘Auf, Sa’ad ibn Abi Waqash,
Zubair ibn Awwam, Thalhah ibn Ubaidillah. Dalam waktu empat hari sudah harus ada
keputusan mengenai pengganti Khalifah. Jika belum, maka ketua tim segera mengambil
kebijaksanaan. Siapa yang tidak menyetujui apa yang sudah disepakati bunuhlah dia”. Baca
Ahmad Syalabi, op.cit.
50
Al-Mawardi, ibid., hlm. 11
51
Muhammad Nafis, The Concept …”, hlm. 54.
52
Al-Mawardi, ibid. hlm. 12.
53
Kecenderungan absolut pada kekuasaan Abbasiyah ditunjukkan, umpamanya, oleh
proses suksesi yang berlangsung saat itu. Lembaga semacam ahl al-hall wa al-‘aqd kurang
berfungsi.
Hal lain yang cukup menarik adalah mengenai dua orang calon
pengganti yang ditunjuk kepala negara yang sedang berkuasa dalam rangka
melanjutkan kepemimpinan berikutnya. Dengan merujuk pada kebijakan
Nabi Muhammaad tatkala mengangkat lebih dari seorang pengganti panglima
tentara muslim pada perang mu`tah, al-Mawardi mengakui keabsahan
penunjukan seperti itu. Praktik Nabi Muhammad dalam bidang
kepemimpinan militer ini, menurutnya, bisa dijadikan patokan untuk
mempraktekkan cara yang sama dalam bidang kenegaraan.54
Di samping itu, ada dua peristiwa lain yang bisa dijadikan
yuresprudensi; masing-masing pada masa Umawiyah dan Abbasiyah. Pada
masa Umawiyah, Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik menunjuk Umar ibn
Abdul Aziz sebagai penggantinya dan Yazid ibn Abdul Malik sebagai
pengganti Umar. Sedangkan pada masa Abbasiyah, adalah Harun al-Rasyid
yang mengangkat tiga anaknya; al-Amin, al-Makmun, dan al-Muktamin untuk
berturut-turut menjadi kepala negara (khalifah) sesudahnya.55
Sikap al-Mawadi ini tidak luput dari kritik para penulis modern.
Qomaruddin Khan, misalnya, mengatakan bahwa teori al-Mawardi seperti
inilah yang membuat cita-cita politik umat Islam pasca-al-Khulafa` al-
Rasyidun menjadi buyar kembali. Setiap penguasa muslim berusaha untuk
melestarikan dinastinya. Itulah yang kita saksikan sampai dihapuskannya
sistem khilafah oleh Musthafa Kemal di Turki.56
54
Al-Mawardi, ibid., 18.
ِ55Al-Mawardi, ibid., 13
56
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Delhi: Idarah al-Adabiyah,
1979, hlm. 19.
57
Dimaksud dengan penyimpangan tersebut adalah fisq; Pertama, suka
melaksanakan kemungkaran dengan memperturutkan hawa nafsu. Kedua, menakwil ayat-
ayat mutasyabihat, sehingga menyimpang dari kebenaran (pendapat mayoritas). Yang
terakhir ini masih diperselisihkan para ulama. Baca, al-Mawardi, ibid., hlm. 17.
58
Berkaitan dengan kehilangan panca indera, al-Mawardi membagi kepada tiga
bagian. Pertama, dapat mencegah atau menghalangi imamah, seperti hilang akal (gila), atau
hilangnya penglihatan (buta). Kedua, tidak dapat menghilangkan imamah seperti hilangnya
daya cium pada hidung, atau hilangnya daya rasa pada lidah. Ketiga, masih diperselisihkan
para ulama, antara dapat dan tidaknya menggagalkan imamah, seperti tuli atau bisu. Baca al-
Mawardi, ibid., hlm. 17-18.
59
Sedangkan menyangkut hilangnya anggota badan, al-Mawardi mengklasifikasi
kepada empat macam. Pertama, tidak dapat mencegah keabsahan akad imamah, seperti
hilangnya penis atau hilangnya testis. Kedua, dapat mencegah akad imamah dan
keberlangsungannya, seperti hilangnya dua tangan atau dua kaki. Ketiga, dapat mencegah
akad imamah dan diperselisihkan dan diperselisihkan tentang keberlangsungannya, seperti
hilangnya satu tangan. Keempat, tidak dapat mencegah keberlangsungan imamah dan masih
diperselisihkan tentang akadnya, seperti terpotongnya hidung. Baca al-Mawardi, ibid., hlm.
19.
60
Adapun tentang ketidak cakapan bertindak al-Mawardi mengelompokkan kepada
dua macam kategori. Pertama, ketidak cakapan bertindak itu disebabkan karena telah
dikuasai oleh orang-orang terdekatnya, semantara tindakan mereka sudah keluar ajaran
agamaa. Kedua, imam sudah terkooptasi oleh musuh-musuh yang kuat dan ia tidak bisa
keluar dari belenggu tersebut. Dengan kedua sebab ini, seorang imam dapat di-makzul-kan.
Baca, al-Mawardi, ibid., hlm. 20.
DAFTAR PUSTAKA