PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama dan isu-isu perempuan menjadi dua hal yang masih terus
menjadi bukti adalah bahwa pada tataran realitas sosial, arus utama tentang relasi
terhadap perempuan.1 Hal yang menjadi masalah, masih begitu melekat dalam
berbeda dengan alasan gender. Sebenarnya, ketidakadilan gender bisa terjadi pada
terjadi pada perempuan. Oleh sebab itu, setiap ada pembahasan gender atau
1
Husein Muhammad, Perempuan, Islam, dan Negara (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022),
165.
2
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufassir Perempuan tentang Isu-Isu Perempuan”, Jurnal
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015.
3
Dede William-de Vries, Gender Bukan Tabu Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok
Perempuan di Jambi (Bogor: Center for International Forestry Reseach, 2006), 12.
1
2
sedikit bahkan tidak memiliki tempat dalam sejarah dan lebih banyak menjadi
seorang perempuan yang mana pandangan ini telah tersosialisasi sejak zaman
Yunani dan Romawi. Salah satunya adalah anggapan primitif yang memandang
bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah baik secara fisik maupun
psikisnya. Jika dilihat dari segi fisik, perempuan memang terlihat lebih kecil
dibanding laki-laki yang sebagian besar bertubuh besar dengan tulang dan otot
yang besar pula sehingga menjadikan laki-laki lebih kuat. Secara psikis pun
begitu, perempuan dinilai lebih mudah menangis, lebih mudah terbawa perasaan,
dan lain sebagainya yang dianggap sebagai kelemahan psikis perempuan. Hal
inilah yang membuat adanya anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah
daripada laki-laki.
4
Reni Nuryanti dan Bachtiar Akob, Perempuan dalam Historiografi Indonesia
(Eksistensi dan Dominasi) (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 18.
3
lainnya.5 Allah SWT. berfirman dalam Q.S. an-Nahl/16: 58-59 sebagai berikut:
َواِذَا بُشَِّر اَ َح ُد ُه ْم بُشَِّر اَ َح ُد ُه ْم بِااْل ُْنثٰى ظَ َّل َو ْج ُهه ُم ْس َو ًّدا َّو ُه َو َك ِظي ۚ ٌم َيَت ٰو ٰرى ِم َن الْ َق ْوِم ِم ْن ُس ْٓو ِء
Dalam hal ini, perempuan menjadi pihak yang sering tidak mendapatkan
asumsi masyarakat. Padahal, Islam hadir sebagai agama yang sangat adil, tidak
misalnya atas dasar kesukuan, ras, kebangsaan, kebudayaan, jenis kelamin, serta
ٓائل لَِت َع َار ُف ْو ۚا اِ َّن اَ ْكَر َم ُك ْم ِعْن َد ال ٰلّ ِه ٍ ِ ِ اَيُّها الن
َ ََّاس انَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم م ْن ذَ َكر َّواُْنثٰى َو َج َع ْلٰن ُك ْم ُشعُ ْوبًا َّو َقب
ُ َ
5
Masduki Duryat, Pendidikan (Islam) dan Logika Interpretasi (Yogyakarta: K-Media,
2017), 59.
6
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), 4.
4
Bahkan, masa Nabi Muhammad saw. dikatakan sebagai masa yang ideal bagi
kaum perempuan. Karena pada masa itu, menurut Ruth Roded para perempuan
mukmin tidak hanya sebatas istri-istri Nabi saw. saja yang berinteraksi
dengannya, tetapi sejumlah seribu dua ratus perempuan dari beribu-ribu sahabat
dari pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ayat Al-Qur’an.8 Ali bin Abi
Thalib Ra. Pernah berkata: “Al-Qur’an adalah teks-teks suci yang tidak bisa
bicara sendiri. Yang bicara adalah orang.” Maksudnya adalah teks-teks Al-Qur’an
hanya dapat dimengerti dan dipahami maknanya oleh orang yang hidup dalam
Menurut Leila Ahmad yang dikutip oleh Norhidayat, perspektif kaum sufi
menarik. Di sisi lain, dalam memahami kitab suci, kaum sufi lebih menekankan
7
M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2005), 44.
8
Norhidayat, Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir Sufi (Banjarmasin: Antasari
Press, 2018), 2.
9
Husein Muhammad, Perempuan, Islam, dan Negara,169.
5
etika dan visi di balik ketentuan ilahi. Pendekatan mereka ini berbeda dengan
aspek formalitas hukum.10 Dalam hal ini, penelitian tentang penafsiran ayat-ayat
yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dalam perspektif sufi menjadi penting
Indonesia dengan fokus studi pada isu-isu relasi gender adalah selama ini survei
tersebut.12
10
Norhidayat, Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir Sufi, 5-6.
11
Norhidayat, Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir Sufi,7.
12
Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara Analisis Isu-Isu Gender dalam Al-Mishbah
Karya M. Quraish Shihab dan Turjuman Al-Mustafid Karya ‘Abd Al-Ra’uf Singkel (Yogyakarta:
LkiS Printing Cemerlang, 2020), 7.
6
“Wes den halalaken maring siro kabeh mukmin wengine sasi Poso
Romadhon opo jimak mareng bojo niro kabeh. Kerono setuhune wadon
iku penganggo kaduwe siro kabeh lanang. Lan utawi siro lanang iku dadi
penganggo kaduwe wadon. Artine saben-saben suwiji hajat mareng
benehe, wadon hajat mareng lanang, lanang iyo hajat mareng wadon koyo
hajate mareng penganggo. Wes weroh Allah SWT. ing setuhune siro kabeh
iku ono ingkang podo hajat ing awak hiro dewe sebab podo jimak ing
wengine shiyam Romadhon ba’da Isya’.”13
relasi seksual antara suami-istri (laki-laki dan perempuan) adalah milik kedua
belah pihak, bukan dominasi kekuasaan laki-laki. Menurutnya juga, selama ini
yang terjadi di masyarakat justru perempuan hanya sebuah objek dan hasrat
seksual.14 Dari sini terlihat bahwa K.H. Sholeh Darat dalam menafsirkan ayat-ayat
penulis ingin melakukan penelitian tentang isu-isu perempuan dalam Tafsir Faidh
13
Muhammad Sholeh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman (Semarang: KOPISODA,
2017), 103.
14
Nailal Muna, “Wacana Gender Dalam Kitab Hidayah ar-Rahman Karya Kiai Haji
Sholeh Darat Dengan Perspektif Julia Kristeva”, Jurnal Prosiding Annual Symposium Of
Pesantren Studies, Desember 2020, 58.
7
B. Rumusan Masalah
rumusan masalah, yakni bagaimana penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap isu-isu
perempuan dalam Tafsir Faidh al-Rahman dengan mengangkat dua isu, yakni:
1. Tujuan Penelitian
ini dengan tujuan untuk mengetahui penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap isu-
isu perempuan dalam Tafsir Faidh al-Rahman, yakni isu kesaksian perempuan
2. Signifikansi Penelitian
penelitian) ini ke dalam dua sisi, yaitu sisi akademis dan sisi sosial sebagai
berikut.
a. Sisi Akademis
Qur’an dan menambah wawasan intelektual bagi kalangan akademisi dalam kajian
b. Sisi Sosial
Ulama Tafsir Nusantara, yaitu K.H Sholeh Darat. Agar masyarakat tidak
tekstual, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Penelitian ini juga diharapkan dapat
D. Definisi Operasional
1. Isu-Isu Perempuan
interest.16
adalah jenis kelamin yaitu orang atau manusia yang mempunyai rahim,
15
Ernawati Waridah, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Kawah Media, 2017), 115.
16
Uudlyono, “Isu: Sebuah Technical Term dalam KHazanah Ilmu Kebijakan”, Jurnal
Manajemen Pendidikan, No. 01, April 2006.
9
Sanskerta, perempuan berasal dari kata empu yang berarti kemandirian, ahli atau
berprestasi dalam bidang tertentu, mendekatkan pada sosok ibu. Menurut Murniati
menjelaskan bahwa kata perempuan berasal dari kata empu dalam bahasa Melayu
isu-isu perempuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang dibatasi pada dua isu,
Tafsir Faidh al-Rahman adalah sebuah kitab tafsir nusantara yang ditulis
dengan menggunakan tulisan huruf Pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan
E. Penelitian Terdahulu
penelitian ini, yaitu tentang “Isu-isu Perempuan Dalam Tafsir Faidh al-Rahman
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), 856.
18
Reni Nuryanti dan Bachtiar Akob, Perempuan dalam Historiografi Indonesia
(Eksistensi dan Dominasi), 3.
19
Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Bahasa Jawa Abad 19-20 (Surakarta: Efude Press,
2015), 49.
10
Karya K.H. Sholeh Darat”. Namun, ada beberapa penelitian yang memiliki kajian
1. Buku yang ditulis oleh Saifuddin dan Wardani dengan judul Tafsir
yang diteliti oleh penulis disini terfokus pada tiga isu perempuan,
2. Buku yang ditulis oleh Jamhari dengan judul Citra Perempuan Dalam
20
Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara Analisis Isu-Isu Gender dalam Al-Mishbah
Karya M. Quraish Shihab dan Turjuman Al-Mustafid Karya ‘Abd Al-Ra’uf Singkel.
21
Arief Subhan, Dkk, Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan
(Jakarta: PT. Sun, 2003).
11
Darat yang terfokus pada isu kesaksian dan hak menggugat cerai bagi
perempuan.
3. Disertasi yang telah diterbitkan dalam bentuk buku yang ditulis oleh
berbeda ragam isu yang akan dikaji. Dari segi subjek yang akan diteliti
pun berbeda, yaitu buku tersebut mengkaji dalam Tafsir Lata’if al-
ini terletak pada isu perempuan di dalam Al-Qur’an yang akan diteliti,
yaitu pada penelitian ini berfokus pada isu kesaksian dan hak
saksi, waris, dan pemakain cadar dengan memakai analisa para feminis
dan lain-lain.24 Sedangkan dalam penelitian yang penulis teliti ini akan
23
Sari Ramadhana, “Penafsiran Gender Amina Wadud dalam Pandangan Akademisi
Banjar”, Skripsi (Banjarmasin, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, 2019).
24
Nurrochman, “Al-Qur’an dan Isu Kesetaraan Gender: Membongkar Tafsir Bias
Gender, Menuju Tafsir Ramah Perempuan”, Jurnal Wahana Akademika, Vol. 1 No. 2, Oktober
2014.
13
jurnal ini dengan yang penulis teliti ini adalah isu-isu perempuan
dalam penelitian ini akan terfokus pada isu kesaksian, menstruasi, dan
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
a. Data
Data adalah sebuah informasi yang akan dianalisis dan memiliki relevansi
dengan masalah tertentu.28 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayat-
ayat yang bertemakan tentang isu perempuan yang penulis batasi pada isu-isu
sebagai berikut.
25
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufassir Perempuan tentang Isu-Isu Perempuan”, Jurnal
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015.
26
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), 3.
27
Sandu Siyoto dan M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Literasi
Media Publishing, 2015), 28.
28
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta: Teras, 2009), 53.
14
Baqarah/2: 229.
b. Sumber Data
Data primer adalah data yang menjadi sumber utama dalam penelitian. 29
Adapun data primer dalam penelitian ini adalah Tafsir Faidh al-Rahman karya
Data sekunder ialah sumber data kedua yang digunakan sebagai penunjang
dalam penelitian.30 Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya
K.H. Sholeh Darat yang lainnya, literatur-literatur yang memuat tentang biografi
K.H. Sholeh Darat dan profil Tafsir Faidh al-Rahman baik itu berupa buku
maupun media lainnya yang berisi tentang teori-teori yang akan diteliti juga
yakni data dihimpun dari dokumen-dokumen, baik berupa buku, jurnal, majalah,
29
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik (Jakarta: Bineka Cipta,
2011), 87.
30
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian (Banjarmasin: Antasari Press, 2011), 64.
15
perempuan. Data yang dihimpun ini lalu dianalisis untuk keperluan pembahasan,
4. Langkah-Langkah Penelitian
berikut.
a) Menentukan naskah buku atau kitab yang akan dikaji, dalam hal ini
yang menjelaskan tentang tema yang akan dikaji, yaitu tentang isu-
isu perempuan.
perempuan.
16
kualitatif yang proses tahapannya meliputi reduksi data, yaitu merangkum dan
memfokuskan pada hal-hal yang penting serta dicari tema dan pola yang perlu
mengambil kesimpulan yang menjadi jawaban atas rumusan masalah yang telah
dipertanyakan.31
G. Sistematika Penulisan
Bab II, yaitu landasan teori yang membahas tentang teori-teori yang akan
digunakan dalam penelitian. Dalam landasan teori ini penulis akan mencantumkan
31
Sandu Siyoto dan M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, 122-124.
17
Bab III, berisi tentang biografi tokoh dan profil Tafsir Faidh al-Rahman
karya K.H. Sholeh Darat. Pada bagian biografi K.H. Sholeh Darat akan dimuat
beberapa sub-bab yaitu, riwayat hidup, perjalanan intelektual K.H. Sholeh Darat,
profil Tafsir Faidh al-Rahman akan dimuat beberapa sub-bab, yaitu arti nama
kitab, aksara yang digunakan, latar belakang penulisan kitab, corak penafsiran,
penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap isu-isu perempuan dalam Al-Qur’an, yaitu
Bab V, yaitu penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban dari pokok
halaman terakhir juga dimuat daftar pustaka sebagai catatan sumber dari bahan
Sebelum menyingkap apa makna isu perempuan dalam penelitian ini, pada
bagian ini terlebih dahulu akan dipaparkan pengertian perempuan dari berbagai
sudut pandang. Memahami definisi perempuan tentunya tidak bisa lepas dari dua
persoalan, yakni fisik dan psikis. Sudut pandang fisik berkaitan dengan struktur
konteks fisik merupakan salah satu jenis kelamin yang mempunyai alat reproduksi
berupa rahim, sel telur dan payudara sehingga perempuan bisa hamil, melahirkan,
konotasi yang lebih positif dibanding kata wanita. Menurut Kamus Besar Bahasa
32
Anita Marwing dan Yunus, Perempuan Islam Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta:
Bintang Pustaka Madani, 2020), 1.
18
19
dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui; perempuan; istri; bini; dan
betina (khusus untuk binatang).33 Jika dikaji dari aspek asal katanya, kata
perempuan berasal dari kata “empu” yang artinya orang yang mahir atau
berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Dalam bahasa Melayu “Empu” sering
dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “wan” yang berarti nafsu, sehingga
kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau objek seks. 35 Pemaknaan pada kata
wanita yang seperti ini jelas sangat memosisikan wanita pada peran yang pasif
bahkan tidak berdaya, seolah perannya hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki dan
posisi manusia berjenis kelamin perempuan sangat terhormat dan menjadi simbol
tegaknya manusia.37
pada kata wanita, namun hanya dipaparkan 9 kategori yakni dapat diketahui
hubungan seksual, keluarga, dan usia. Maknanya, dalam hal ini lebih cenderung
33
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), 856.
34
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi dan Hak Asasi Perempuan) (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), 29.
35
St. Maryam, Dinamika Sosial Ekonomi Partisipasi Kerja Perempuan Menikah (Studi
Etnis Sasak) (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2021), 2.
36
Mahmud, Heri Gunawan, dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam dalam
Keluarga, (Jakarta: Akademia Permata, 2013), 165.
37
Jasmani, Pendidikan Islam Egaliter (Membangun Pendidikan Feminim Atas
Superioritas Maskulinitas),(Yogyakarta: Absolute Media, 2011), 3-4.
20
atau reproduksi dan hasrat, relasinya dengan kaum laki-laki dan keluarganya, serta
eksistensinya hanya berkutat pada keluarga dan laki-laki, tidak ada eksistensi di
luar itu.38
dengan kesetaraan, tubuh yang tidak hanya berkaitan dengan fungsi reproduksi
kekuasaan yang berkaitan dengan hak perempuan, dan usia. Artinya, dalam hal ini
reproduksi dan berkaitan dengan busana yang berupa jilbab sebagai penutup,
memiliki makna yang sama, meskipun ditemukan juga sedikit perbedaan dalam
makna yang sama tersebut. Persamaan makna kedua kata tersebut berkaitan
tentang perempuan, entah itu menggunakan kata wanita ataupun perempuan kerap
usia. Pada kata perempuan arah pembahasan mengenai tubuh umumnya berkaitan
38
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, Jurnal Kajian Budaya, Vol. 8, No. 1, 66.
39
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, 62.
21
pada kata wanita arah pembahasan yang berkaitan dengan tubuh cenderung
muslim). Jika dijabarkan pembahasan yang terkait dengan tubuh pun lebih
kesehatan berkaitan dengan kanker, payudara, dan rambut; dan pakaian berkaitan
Tambahan yang menjadi pembeda antara kata perempuan dan wanita adalah kata
lebih luas dari itu, yakni ranah publik. Sedangkan kata wanita lebih sering
yang mulia dan bermartabat. Menurut Susi Yuliawati, pada pola pengunaan kata
wanita, konotasi mulia tersebut merujuk pada peran wanita di ranah domestik.41
40
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, 67-68.
41
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, 69.
22
menurut Fatima Mernissi, kata wanita merupakan bentuk sebuah kata yang halus
a. Al-Nisa’
Kata al-Nisa’ menurut etimologi bahasa diambil dari kata nasia yang
Zaitunah Subhan kata al-Nisa’ yang memiliki arti perempuan, sepadan dengan al-
Rijal yang artinya laki-laki. Kata al-Nisa’ dalam berbagai bentuknya terdapat
dalam 55 ayat dan terulang sebanyak 59 kali dalam Al-Qur’an yang memiliki
kecenderungan pengertian dan maksud yang berbeda, yakni kata al-Nisa’ dalam
b. Al-Untsa
Kata al-Untsa berasal dari kata unatsa yang artinya lembut, lunak dan
sebanyak 30 kali dalam berbagai bentuk yang semuanya dimaknai jenis kelamin
perempuan.44
diartikan istri. Kata al-mar’atu berpasangan dengan kata al-mar’u yang artinya
laki dalam tiga aspek. Pertama, dalam hakikat kemanusiaannya. Bukan hanya
untuk laki-laki, Islam pun memberikan sejumlah hak kepada perempuan sebagai
peningkat kualitas kemanusiaan. Hak tersebut meliputi: hak waris (Q.S. an-
Nisa’/4: 11); hak kesaksian (Q.S. al-Baqarah/2: 282; hak aqiqah (Q.S.
at-Taubah/9: 21); hak khulu’ (Q.S. al-Baqarah/2: 228). Kedua, dalam Islam
ganjaran yang sama atas amal Sholeh dan pelanggaran yang dibuatnya. Ketiga,
44
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, 20.
45
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, 26
46
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufassir Perempuan tentang Isu-Isu Perempuan”, 14.
24
Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antarumat
manusia.47
setidaknya ada tiga pokok pembahasan yang mejadi pembahasan utama dalam
penafsiran tentang perempuan tercipta dari bagian tubuh laki-laki atau dari jenis
yang sama dengan laki-laki. Kedua, status dan kedudukan perempuan dalam ranah
domestik (kehidupan keluarga). Dalam hal ini beberapa isu yang berkaitan dengan
hak waris, hak talak, hak menggugat perceraian, dan soal kekerasan terhadap
ranah publik (kehidupan masyarakat yang lebih luas) juga menjadi pokok
47
Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam) (Jakarta:
Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), 74.
48
Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Tafsir Sufi Kajian Kitab Lata’if al-
Isharat al-Qushayri, 23-25.
49
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, 230.
25
penafsiran bukanlah sesuatu yang sakral, melainkan sesuatu yang biasa dan dapat
keharusan, sebab Al-Qur’an adalah salah satu sumber doktrin utama –sumber
doktrin utama berikutnya adalah hadis– yang menjadi pegangan hidup umat
persoalan, dan persoalan tersebut adalah sesuatu yang tersangkut paut dengan
manusia yang tidak sakral, maka bagaimana mungkin para mufasir atau orang-
justifikasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi, kemudian dianggap sakral. Maka,
dikerjakan oleh manusia, yang memiliki dua kemungkinan yakni bisa tepat atau
kelompok ulama tafsir yang selain berusaha menjawab berbagai kritikan terhadap
penafsiran yang sudah ada selama ini, juga mencoba menawarkan penafsiran yang
dinilai sesuai untuk konteks masa kini. Ketiga, kalangan feminis muslim, yakni
Sebagaimana yang telah diklasifikasikan di atas, isu yang sampai saat ini
titik perbedaan pendapat terletak pada makna kata nafs wahidah, minha, dan
zaujaha yang terdapat dalam Q.S an-Nisa’/4: 1, Q.S. al-A’raf/7:189, dan Q.S. az-
menafsirkan sebatas tekstual saja lalu merujuk pada hadis Bukhari serta ditambah
redaksi ayat dari para sahabat. Mereka menafsirkan nafs wahidah dengan arti
Adam, minha dimaknai dari diri Adam, dan zaujaha dimaknai istri Adam.
Artinya, dalam hal ini sebagian besar ulama mutaqaddimin (klasik) menafsirkan
kedudukan perempuan dalam ranah domestik yang memuat beberapa isu seperti
poligami, hak waris, hak menggugat cerai, dan perihal kekerasan terhadap
sebagai sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam dengan syarat dan ketentuan
51
Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Tafsir Sufi Kajian Kitab Lata’if al-
Isharat al-Qushayri, 26.
52
Dwi Siti Maesaroh,”Penciptaan Perempuan Pertama dalam Al-Qur’an (Studi
Komparatif Penafsiran Wahbah az-Zuhaili dan Buya Hamka”, Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin,
Vul. 2, No. 2, April 2022, 301.
27
menjadi sebuah kewajaran dalam hak waris perempuan mendapat separuh bagian
dari laki-laki, karena dilihat dari perbedaan beban yang dipikul oleh laki-laki lebih
dan perempuan 1:1, dengan tidak melihat sebuah dalil dari tekstualnya saja namun
juga harus ditinjau dari setting sosialnya. 54 Selaras dengan hal itu, kalangan
kecuali terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak istri.56 Sedangkan menurut
ulama kontemporer, istri diperbolehkan menggugat cerai dengan atau tanpa alasan
dengan syarat membayar ‘iwadh. Dalam perspektif gender, ‘iwadh bisa dikatakan
berkeadilan gender jika seorang suami memberikan nafkah untuk keluarga dan
istri mengurus rumah tangga, namun bisa dikatakan bias gender jika suami hanya
53
Maringo, “Pembagian Warisan Antara Laki-Laki dan Perempuan”, Skripsi (Jakarta
Fakultas Ushuluddin, 2017), 28.
54
Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, Kontekstual Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: Paramadina, 1995), 23.
55
Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Tafsir Sufi Kajian Kitab Lata’if al-
Isharat al-Qushayri, 32.
56
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: P.T.
RajaGrafindo Persada, 2002), 251.
28
untuk keluarga. Sebab pembayaran iwadh ini dilakukan oleh istri untuk
menentang keras adanya konsep nusyuz dengan cara kekerasan karena hal tersebut
perempuan dalam ranah publik. Isu-isu yang diperdebatkan antara lain mengenai
sebagai pemimpin dengan landasan dalil Q.S. an-Nisa’/4: 34. Bahkan, sebagian
dipegang oleh siapapun yang memiliki kemampuan dan kelebihan, tanpa ada
perempuan boleh menjadi saksi dengan perhitungan satu orang saksi laki-laki
57
Ahmad Rezy Meidina, “Meninjau Hukum Iwadl KHuluk Perspektif Keadilan Gender”,
Skripsi (Purwokerto: Fakultas Syariah, 2021), 86.
58
Muhammad Fanji Putra, “Konsep Nusyuz (Interpretasi Fikih Klasik, Pertengahan, dan
Modern)”, Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2022), 38.
59
Farida, “Kepemimpinan Wanita dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir al-Misbah
dan Tafsir Ibnu Katsir)”, Tesis (Lampung: Program Pascasarjana, 2018), 123.
29
sama dengan saksi dua orang perempuan. Sebagian besar ulama klasik
Menurut sebagian dari mereka kesaksian perempuan hanya dapat diterima pada
orang laki-laki adalah yang satu berfungsi untuk mengingatkan jika yang memberi
kesaksian ragu, serta bertindak sebagai teman kerjasama. Jadi, menurut kalangan
kedudukan perempuan dalam ranah domestik dan kiprah perempuan dalam ranah
yang menyebut bahwa menstruasi atau haid itu adalah sesuatu yang kotor yang
seringkali dimaknai secara tekstual oleh sebagian mufasir. Laki-laki (dalam hal ini
dalam keadaan haid. Menurut Nasaruddin Umar, teori patriarki diawali dengan
adanya anggapan bahwa menstruasi itu adalah sebuah hal yang kotor dan pemali
(tabu) dan menjadi penyebab langgengnya sistem patriarki dalam sejarah umat
60
Zamzami, “Kesaksian Perempuan dalam Al-Qur’an (Suatu Tinjauan Pendapat
Mufassir)”, Skripsi (Riau: Fakultas Ushuluddin, 2011), 58.
61
Zamzami, “Kesaksian Perempuan dalam Al-Qur’an (Suatu Tinjauan Pendapat
Mufassir)”, 68-69.
62
Sinta Nuriah A. Rahman, Islam dan Konstruksi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2022), 22.
30
dibahas dan dipaparkan dengan mengambil sebagian isu-isu pada bagian inti
diakui di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi perbedaan disini bukanlah sebuah bentuk
keserasian.64
Kebencian, ada dua perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat
mutlak dan relatif. Pertama, perbedaan kodrati atau perbedaan yang sudah
masing antara laki-laki dan perempuan. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan
63
Subhamis, “Pendekatan Feminis Terhadap Penafsiran Al-Qur’an dan Bibel”, Jurnal At-
Ta’lim, Vol. 1 No. 3, November 2012, 233.
64
Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), 73.
31
berbeda jenis kelaminnya dan kemampuan yang berkaitan dengan jenis kelamin
penis yang dilengkapi dengan zakar dan sperma untuk pembuahan. Kedua,
Perbedaan ini bersifat relatif, perannya bisa dipertukarkan atau bahkan berubah.
yang kemudian menjadi sebuah simbolik yang menempel pada diri perempuan.
dan laki-laki pemimpin, dan seterusnya. Perbedaan yang kedua inilah yang
kesetaraan gender dalam Al-Qur’an, antara lain: (1) laki-laki dan perempuan
sama-sama sebagai hamba Allah (Q.S. az-Zariyat/51: 56); (2) laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai Khalifah di bumi (Q.S. al-An’am/6: 165); (3) laki-
laki dan perempuan menerima perjanjian primordial (Q.S. al-A’raf/7: 172); (4)
Adam dan Hawa sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis (Q.S.
65
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an (Yogyakarta:
LKiS, 1999), 22.
66
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, Vol 13 No. 2, Desember 2013, 379-386.
32
tidak memberikan hak-hak perempuan sebagai manusia yang memiliki kodrat dan
Secara umum, faktor yang menyebabkan adanya bias gender antara lain,
yaitu tradisi, penafsiran ulama, dan kepentingan politik. Dalam hal penafsiran,
para ulama yang hidup di abad pertengahan cenderung bias laki-laki karena
mereka hidup di era patriarkal. Penafsiran yang menyebabkan adanya bias gender
sebagian besar adalah konsep penafsiran yang lebih literal daripada kontekstual.69
huruf, tanda baca, dan qira’at; 2) pengertian kosa kata atau mufradat; 3) penetapan
67
M. Quraish Shihab, Perempuan (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2018), 34-35.
68
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 10.
69
Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Alvabet dan
Yayasan INSEP, 2006), 138.
33
penetapan arti huruf (‘athaf); 6) bias dalam struktur bahasa Arab; 7) bias dalam
kamus bahasa Arab; 8) bias dalam metode tafsir; 9) metode tahlili yang deduktif
lebih sering digunakan daripada metode maudhui yang induktif; 10) pengaruh
riwayat israiliyyat; 11) bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fikih.70
70
Nasitotul Janah, “Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an
Karya Nasaruddin Umar”, Jurnal Sawwa, Vol. 12, No. 2, April 2017, 179-180.
BAB III
Nama lengkap K.H. Sholeh Darat adalah Muhammad Shalih ibn Umar al-
Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani.72 Ada beberapa alasan
dengan akhir surat yang ia kirim pada penghulu Tafsir Anom, penghulu kraton
Surakarta, yaitu al-Haqir Muhammad Shalih Darat dan ia juga menulis nama
namanya karena ia tinggal di sebuah daerah yang bernama Darat (sebuah kawasan
di pesisir utara Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar
71
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do’a
(Yogyakarta: KUTUB, 2006), 8.
72
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), 73.
73
Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa: Dalam Pemikiran Kalam Muhammad
Shalih al-Samarani (Semarang: Walisongo Press, 2008), 35.
74
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, Jurnal el-Umdah Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2018, 52.
34
35
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada tahun 1235 H/1820 M, 75 bertepatan dengan
bernama K.H. Umar ibn Tasmin yang merupakan seorang ulama yang disegani di
kawasan pantai utara Jawa. K.H. Umar juga termasuk seorang pahlawan pejuang
pertempuran Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun
1825-1830.77
Sunan Kudus, yaitu dari ibunya, Nyai Umar binti K.H. Singapadon (Pangeran
Khatib) ibn Pangeran Qodin ibn Pangeran Palembang ibn Syaikh Ja’far Shodiq
(Sunan Kudus). Pendapat ini diceritakan oleh Agus Tiyanto yang mendapat
keterangan dari Habib Lutfi Pekalongan. 78 Data tersebut dapat dikuatkan dengan
hubungan K.H. Sholeh Darat dengan Raden K.H. Muhammad Sholeh Kudus yang
75
Mastuki HS, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), 137.
76
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara (Yogyakarta: Global Press, 2020), 39.
77
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-
Eahman Karya KH Sholeh Darat al-Samarani”, Living Islam: Journal of Islam Discourses, Vol. 1,
No. 1, Juni 2018, 94.
78
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara 37.
79
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-
Eahman Karya KH Sholeh Darat al-Samarani”, 94-95.
36
Pendapat yang lain juga mengatakan bahwa K.H. Sholeh Darat merupakan
keturunan dari Syaikh Ahmad Mutamakkin al-Hajini. Serta ada lagi sebuah
pendapat yang menyatakan bahwa ia masih keturunan Sunan Bonang ibn Sunan
tepat di usianya yang ke-5 tahun, sebab ayahnya adalah seorang prajurit Pangeran
Diponegoro. Pada masa itu, ulama dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
Islam yang tidak dapat dikerjasamakan dengan Belanda, maka akan dihambat
lajunya atau dibumihanguskan. Hingga usia K.H. Sholeh Darat beranjak 10 tahun
tepatnya pada tahun 1830 H, perang Jawa sudah mulai redam. Sejak masa itulah
K.H. Umar sudah tidak disibukkan dengan peperangan dan dapat menggembleng
ajaran Islam kepada K.H. Sholeh Darat secara intensif. Meskipun sebelum itu
Selain belajar agama kepada ayahnya sendiri, K.H. Sholeh Darat juga
gurunya, yakni K.H. Muhammad Syahid, ulama besar di Maturoyo, Pati, Jawa
80
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara, 38.
81
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara,39.
37
Tengah.82 Kepadanya K.H. Sholeh Darat belajar kitab-kitab Fiqih seperti Fath al-
Wahhab, Syarh al-Khatib, Fath al-Qarib, Minhaj al-Qawim dan beberapa kitab
Shalih ibn Asnawi, seorang ulama sufi yang mengajarkannya beberapa kitab,
salah satunya kitab tafsir Jalalayn karya Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin al-
kepada beberapa ulama, diantaranya ia belajar ilmu Nahwu dan Sharaf kepada
K.H. Ishaq Damaran, belajar ilmu Falak kepada K.H. Abu Abdillah Muhammad
Hadi Banguni (Mufti Semarang), belajar kitab Jauhar al-Tauhid dan Minhaj al-
Abidin kepada K.H. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan kitab Masail al-Sittin kepada
mendapat pengetahuan, K.H. Umar juga menginginkan K.H. Sholeh Darat belajar
melalui pengalaman. Oleh sebab itu, ayahnya mengajak K.H. Sholeh Darat ke
Sanusi;
82
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 53.
83
Bagus Irawan, dkk, “Biografi Kiai Sholeh Darat”, dalam Syarah Al-Hikam karya Kiai
Sholeh Darat (Depok: Penerbit Safiha, 2016), 27.
38
kepadanya ia belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din Juz I dan II, dan lain-
lain.84
Beberapa ulama yang hidup sezaman dengan K.H. Sholeh Darat antara
lain, yakni K.H. Nawawi al-Bantani (1813-1897 M), K.H. Ahmad Khalil
1916), K.H. R. Asnawi Kudus (1861-1925 M), K.H. Mahfudz al-Tirmisi (1868-
1919 M), K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923 M), K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947
M), K.H. Ahmad Rifa’i Kalisasak (1786-1875 M), dan K.H. Ahmad Khatib
84
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 53.
85
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap
Pemikiran R.A. Kartini tentang Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan
Humaniora, 2019), 38-42.
39
Sofiyah, puteri K.H. Murtada yang merupakan teman seperjuangan ayah K.H.
Sholeh Darat sebagai prajurit Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Sejak
saat itulah K.H. Sholeh Darat menetap dan melanjutkan menuntut ilmu kepada
tradisi ulama Jawa dan Patani pada masa itu, bahwa sepulang dari Makkah harus
pesantren tersebut semula tidak memiliki nama, namun seiring berjalannya waktu
Dari banyaknya murid yang menuntut ilmu kepada K.H. Sholeh Darat, ada
beberapa murid yang kemudian menjadi kiai karismatik dan terkenal di Nusantara.
Diantara muridnya ialah K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdhatul Ulama), K.H.
Solo), K.H. Sya’ban (ulama ahli falak), K.H. Dalhar (pendiri Pondok Pesantren
Sholeh Darat juga produktif menulis beberapa kitab dalam berbagai disiplin ilmu,
K.H. Sholeh Darat terkenal sebagai ulama pemikir di bidang ilmu kalam.
Maturidiyah. Hal ini ia kemukakan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala
dan hanya satu golongan yang selamat. Menurutnya, yang dimaksud Nabi
Semarang pada hari Jum’at Legi tanggal 28 Ramadan 1321 H/18 Desember 1930
88
Novi Laila Athiyah, “Penafsiran Sufistik tentang Haji dalam Tafsir Faidh al-Rahman”,
30.
89
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai, 75.
41
tidak diketahui siapa penulisnya.92 Naskah tersebut dibawa oleh Erpinus (w. 1624)
dari Aceh menuju Belanda dan sekarang menjadi koleksi di Cambridge University
Kemudian pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ulama Indonesia
mulai banyak yang menghasilkan karya tulis besar, salah satunya adalah K.H.
Sholeh Darat yang menulis Tafsir Faidh al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam
Malik al-Dayyan.94 Pada bagian ini, penulis akan memaparkan sekelumit hal yang
90
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do’a,
66.
91
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
92
Istianah, “Melawan Hegemoni Kekuasaan dengan Nuansa Sufistik: Telaah Tafsir Faidh
al-Rahman Karya Kiai Sholeh Darat”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 13, No. 02, 2019,
77-78.
93
Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”, Jurnal Tsaqofah,
Vol. 6, No. 1, April 2010, 5.
94
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 48.
42
Tafsir ini ditulis oleh seorang guru para ulama Nusantara, yakni K.H. Muhammad
Sholeh ibn Umar al-Samarani atau yang masyhur dengan nama K.H. Sholeh
Darat. Tafsir Faidh al-Rahman berisi penafsiran dari surat al-Fatihah sampai surat
al-Nisa’.95
umat Islam mempelajari Al-Qur’an, namun tidak untuk diterjemahkan. Hal ini
bertujuan agar masyarakat Indonesia tidak mengerti makna dan maksud yang
terkandung di dalam Al-Qur’an. Namun, K.H. Sholeh Darat tidak kehabisan akal.
oleh Belanda.96
Darat menggelar pengajian rutin di pendopo kesultanan Demak. Kebetulan saat itu
yakni Ario Hadiningrat, seorang bupati Demak. Kartini pun mengikuti pengajian
K.H. Sholeh Darat yang kala itu sedang membahas penafsiran surat al-Fatihah. 97
Hal tersebut membuat Kartini tertarik untuk mempelajari makna ayat-ayat Al-
Qur’an kepada K.H. Sholeh Darat, sebab sebelumnya dia pernah bertanya makna
95
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
96
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai, 76.
97
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
43
sebuah ayat Al-Qur’an kepada guru ngajinya namun tidak mendapat jawaban
kedalam bahasa Jawa. Usulan tersebut disambut baik oleh K.H. Sholeh Darat,
yang ditulis dengan menggunakan huruf arab gundul tanpa harakat (pegon) dan
bahasa Jawa.99 Dari Kitab Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H.. Sholeh Darat
itulah Kartini terinspirasi untuk menulis sebuah karya yang hingga sekarang
dikenal dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. 100 Kitab Tafsir Faidh al-
Rahman salinan pertama menjadi hadiah dari K.H. Sholeh Darat dalam
Arti sebuah nama begitu penting bagi penulis sebuah karya, bahkan
dikatakan sembilan puluh persen nama atau judul sebuah kitab adalah cerminan
dari isi kitab tersebut. Faidh al-Rahman fi Tarjamat Kalam Malik al-Dayyan
merupakan sebuah nama yang diberikan oleh K.H. Sholeh Darat untuk kitab tafsir
fenomenal karangannya. Dalam Mu’jam Muqayyis, secara bahasa kata Faidh al-
Rahman berasal dari dua kata, yakni Faidh dan al-Rahman. Kata Faidh berasal
98
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap
Pemikiran R.A. Kartini Tentang Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan
Humaniora, 2019), 28-30.
99
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 20.
100
Anita Marwing dan Yunus, Perempuan Islam dalam Berbagai Perspektif, 119.
101
Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa Abad 19-20 M (Surakarta:
Efedu Press, 2015), 49.
44
dari huruf fa-ya-dat ض-ي-ف yang artinya suatu yang benar akan memancar
dengan mudah atau limpahan. Sedangkan al-Rahman artinya sebuah rahmat. Jika
Faidh al-Rahman tidak terlepas dari pengaruh kearifan lokal. Dalam kitab
untuk menilai sebuah aspek lokalitas adalah penampilan, bahasa, dan penjelasan.
Tafsir Faidh al-Rahman dari segi bahasa dan penafsiran menggunakan naskah
pegon (huruf Arab berbahasa Jawa), yakni aksara yang sangat umum digunakan
oleh masyarakat muslim tradisional pada saat itu, terutama di wilayah Jawa. 103
Alasan K.H. Sholeh Darat menulis Tafsir Faidh al-Rahman dengan menggunakan
bahasa Arab Pegon disebabkan karena kebanyakan orang pribumi masih merasa
kesulitan dalam memahami bahasa Arab dengan baik. Hal tersebut disebabkan
pemerintah Hindia Belanda tidak menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan
Islam dan Arab, sehingga persebaran agama Islam dibatasi. Penggunaan tulisan
102
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 5.
103
Agus Irfan, “Lokal Wisdom dalam Pemikiran Kiai Sholeh Darat: Telaah Terhadap
Kitab Fikih Majmu’at al-Syari’ah al-Kafiyah li al-awam”, Jurnal Studi dan Penelitian Hukum
Islam, Vol. 1, No. 1, Oktober 2017.
45
yang ingin mempelajari Islam serta memahami makna yang terkandung dalam Al-
Qur’an.104
“Ing hale ningali ingsun gholibe wong ajam ora podo angen-angen ing
maknane Qur’an kerono ora ngerti maknane kerono Qur’an tumurune
kelawan bahasa Arab moko ono mengkono dadi ingsun gawe terjemahane
maknane Qur’an.”106
“Sebab aku melihat sebagian besar orang non-Arab, mereka menerka-
nerka makna Al-Qur’an karena tidak mengerti maknanya, karena Al-
Qur’an turun dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu, aku membuat sebuah
terjemah maknanya Al-Qur’an.”
3. Karakteristik
digunakan yakni dengan bahasa al-Jawi al-Mirkiyah atau bahasa Jawa ngoko,
yakni bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat awam Jawa dalam kehidupan
sehari-hari. Alasan K.H. Sholeh Darat menggunakan bahasa Jawa ngoko karena ia
mengetahui situasi dan kondisi masyarakat Jawa yang lebih dominan dengan
104
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara, 198.
105
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 48.
106
Muhammad Saleh Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid I, 1.
46
kaum bangsawan, serta alasan berikutnya adalah agar mudah dipahami oleh
siapapun.107
Nawawi al-Bantani dan K.H. Kholil Bangkalan al-Maduri, K.H. Sholeh Darat
aksara pegon hingga terkenal ke penjuru Nusantara. Jika dilihat dari banyaknya
karya yang ditulis, peran K.H. Sholeh Darat dalam penyebaran aksara pegon lebih
susunan tata bahasa) dalam bahasa Jawa terbagi atas dua, yaitu bentuk krama109
dan ngoko110. Bentuk krama terbagi dua, yaitu krama alus111 dan krama lugu112.
107
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e.Nusantara,
2009), 329.
108
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia, 329.
109
Bentuk krama adalah tingkat tutur kata yang mengungkapkan arti penuh sopan santun.
Bentuk krama menandakan adanya perasaan segan pembicara terhadap lawan bicara.
110
Bentuk ngoko adalah sebuah tingkatan tata bahasa yang mencerminkan rasa tidak
berjarak antara pembicara dan lawan bicara. Maknanya, jika seseorang ingin menyatakan
keakraban, maka bentuk ngoko inilah yang harus digunakan.
111
Krama alus merupakan bentuk tata bahasa jawa yang semua kosakatanya terdiri dari
leksikon krama. Penggunaan krama alus biasanya digunakan sebagai wujud penghormatan
terhadap lawan bicara. Contohnya, “Kala wau dalu panjenengan siyos mriksani ringgit?”, artinya,
tadi malam Anda jadi melihat wayang kulit? Afiks (bentuk terikat yang apabila ditambahkan pada
kata dasar atau bentuk dasar akan mengubah makna gramatikal) yang digunakan dalam krama alus
adalah dipun-, -ipun, -aken, di-, -e, dan –ake.
112
Krama lugu adalah bentuk susunan tata bahasa Jawa yang semua kosakatanya
berbentuk krama, begitu juga dengan awalan dan akhirannya. Contohnya, “Panjenengan nopo
empun nate tindak teng Rembang?”, artinya, Apakah Anda sudah pernah pergi ke Rembang?
Afiks yang digunakan dalam bentuk krama lugu adalah di-, e-, -ake, dipun-, ipun-, -aken, dan
mang-.
47
Begitu juga dengan bentuk ngoko terbagi menjadi dua, yaitu ngoko alus113 dan
ngoko lugu.114115
4. Metode Penafsiran
secara ringkas namun mencakup keseluruhan dengan bahasa yang populer dan
Qur’an yang membahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat
dengan ayat atau ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi; dan d)
metode tematik, yakni metode yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan
113
Ngoko alus adalah bentuk susunan tata bahas Jawa yang di dalamnya bukan hanya
terdiri atas leksikon ngoko, tetapi juga terdiri atas leksikon krama. Namun, krama yang muncul
dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati lawan bicara. Contohnya, “Aku
mengko arep nyuwun duit marang Bu Emi”, artinya, aku nanti mau minta uang kepada Bu Emi.
Kata ‘nyuwun’ merupakan leksikon krama. Afiks yang digunakan dalam ngoko alus adalah di-, -e,
dan –ne.
114
Ngoko lugu adalah bentuk susunan tata bahasa Jawa yang semua kosakatanya
berbentuk ngoko (leksikon ngoko) tanpa terselip leksikon krama. Contohnya, “Aku kulino turu
awan”, artinya, “aku terbiasa tidur siang”. Afiks yang digunakan di dalam ragam ini adalah di-, -e,
dan –ake. Contohnya, “Akeh wit aren kang ditegor saperlu dijupok pathine”, artinya, banyak
pohon enau yang ditebang diambil sarinya.
115
Sutriono Hariadi, Best Practice: Implementasi Media Pembelajaran Berbasis TIK
Teks Wawancara Bahasa Jawa Pada Siswa Kelas VIII, (Probolinggo: Penerbit Buku Buku, 2019),
5.
116
Hadi Yasin, “Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Tadzhib Akhlak, Vol.
3, No. 1, 2020, 41-49.
48
Berpacu pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Tafsir Faidh
yang disertai corak fikih dan sufistik. Ciri metode tahlili lainnya yang dapat
dilihat dalam penafsiran K.H. Sholeh Darat ialah disertakannya latar belakang
5. Sumber Penafsiran
akal, kitab-kitab tafsir klasik, dan beberapa pemikiran kaum sufi yang relevan
dengan aspek kandungan isi ayat yang ditafsirkan. Penggunaan Al-Qur’an sebagai
Muhammad Saw.117
117
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 61-62.
49
bagaimana pemanfaatan akal tersebut secara baik dengan mengacu pada Al-
ijtihad sendiri, melainkan menyandarkan pada kitab tafsirnya para ulama yang ahli
ia juga banyak menukil pendapat-pendapat dari kitab tafsir para mufasir klasik,
seperti Tafsir Jalalain karya Imam Jalal al-Din al-Mahalli dan Imam Jalal al-Din
al-Suyuthi, Tafsir al-Kabir karya Imam al-Rozi, dan Lubab al-Ta’wil karya Imam
al-Khazin. Serta ada beberapa kitab tafsir yang menjadi rujukan di beberapa ayat
Madarik al-Tanzil karya al-Nasafi dan kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil
sufi, yakni Imam al-Ghazali. Bahkan, keterpengaruhan K.H. Sholeh Darat dengan
Imam al-Ghazali lumayan besar sehingga ia menulis kitab yang berjudul Munjiyat
Metik Saking Ihya’ ‘Ulum al-Din al-Ghazali (Munjiyat Mengambil Dari Ihya’
118
Muhammad Saleh Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 1.
119
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 63-64.
50
bentuk, yakni corak fikih, corak ilmi, corak sufi, corak bahasa dan sastra, corak
falsafi, dan corak adabi ijtima’i (sosial kemsyarakatan). Dari enam bentuk
dua corak penafsiran, yakni corak fikih dan sufi. Corak tafsir ini berkembang dari
karakter pemikiran K.H. Sholeh Darat yang gemar memadukan antara fikih dan
sufi. Karakter seperti ini sebelumnya juga dimiliki al-Ghazali. Biasanya K.H.
120
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 1.
51
terkait tema yang dibahas. Setelah itu, barulah di akhir penafsiran K.H. Sholeh
Darat memberikan nilai-nilai tasawuf berupa makna tersirat dari ayat-ayat yang
dilihat olehnya.121
macam, yaitu sufi al-faidhi (isyari) dan sufi al-nazari. Yang dimaksud sufi al-
mentakwilkan ayat Al-Qur’an dari balik teks (esoteris) dan berdasarkan isyarat
yang tampak dari makna batinnya. Sedangkan sufi al-nazari merupakan suatu
penafsiran yang didahului dengan kajian ilmiah yang meyakini ada makna di balik
karya K.H. Sholeh Darat bercorak sufi al-faidhi (isyari). Hal ini juga ditegaskan
oleh K.H. Sholeh Darat dalam mukadimah Tafsir Faidh al-Rahman, yakni “Lan
ora wenang tafsire Qur’an kelawan tafsire isyari utawi asrari yen durung weruh
kelawan tafsir asli dhahire koyo tafsir adamine Jalalain.”123 Maknanya, tidak
121
Siti Inarotul Fitriyani, “Corak Fikih dan Tasawuf dalam Tafsir Faidh al-Rahman”,
Skripsi (Surabaya: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2019), 124.
122
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassir (Kairo: Maktabah Wahbah,
tt), 261.
123
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid 1, 1.
52
Qur’an dengan perkataan atau pendapat sahabat, dan Al-Qur’an dengan pendapat
para tabi’in.124 Menurut Ignaz Goldziher penafsiran dengan corak sufi al-faidhi
(isyari) tidaklah mudah, posisi para sufi dalam menafsirkan Al-Qur’an harus
menegaskan bahwa seorang mufassir tidak boleh terpaku pada makna isyari
“Kerono maknane Qur’an iku ono dhohir lan batin afala yatadabbaruna
Al-Qur’an. Moko iku wong kang tinutur iku nyekti iman haqiqi iman
billahi wal kitab wal rosul ulaika kitabu fi qulubihim al iman moko sopo
wonge ora weruh maknane Qur’an lan haqoiqu al-Qur’an lan nerimo
makna dhohir lughot Arob bloko moko temen-temen tuno iku wong ora
ngerti isyarohe qouluhu ta’ala …”126
“Karena di dalam makna Al-Qur’an itu ada makna dhahir dan batin, afala
yatadabbaruna al-Qur’an. Maka orang yang berkata kepada Imam hakiki
imam billahi wa al-kitab wa al-rasul ulaika kitabu fi qulubihim al-iman.
Maka siapapun yang mengetahui makna Al-Qur’an dan hakikatnya serta
meneruma makna dhahir bahasa Arab saja, maka sesungguhnya orang itu
tercela tidak bisa menerima isyarat dari Allah Swt.”
Contoh penafsiran dengan corak isyari dalam Tafsir Faidh al-Rahman
124
Mhd. Iqbal Siyaasiy Haazim, “Karakteristik Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Indonesia
(Studi Tafsir At-Tanwir Karya Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah)”, Skripsi (Lampung:
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, 2020), 30.
125
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, dkk (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 217.
126
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid 1, 2.
53
kalanya wajib seperti makan untuk menjaga tubuh agar dapat menjalankan
ketaatan kepada Allah, ada kalanya sunah seperti tatkala sedang bertamu, ada
kalanya jaiz seperti ketika selain dari kedua hal tersebut, serta ada kalanya makan
itu haram seperti ketika seseorang makan berlebihan hingga keknyangan karena
macam hukum makan terlebih dahulu. Menurut hemat penulis, hal itu disebabkan
karena makanan yang baik dan bermanfaat justru bisa berubah menjadi mudharat
127
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid 1, 311.
54
Makna isyari terlihat saat K.H. Sholeh Darat menafsirkan bahwa salah
makanan yang baik bukanlah perintah yang tidak memiliki nilai rohani.
Menurutnya, dalam perintah ini terdapat dua manfaat. Pertama, agar orang
mukmin ketika makan selalu berniat mentaati perintah Allah, sebab manusia
berbeda dengan hewan yang makan hanya karena nafsu semata. Kedua, manfaat
bagi orang muslim sebab mematuhi syariat Allah serta pahalanya sama dengan
pahala shalat dan zakat, yang sama-sama perintah dari Allah juga.128
7. Sistematika Penyajian
Salah satu hal yang menarik dari Tafsir Faidh al-Rahman adalah
mukadimahnya yang berisi tentang banyak hal yang berkaitan dengan tafsir Al-
Qur’an dan dinamikanya. Ada lima hal yang dimuat dalam mukadimah tersebut,
Jalalain karya Imam Jalal al-Din al-Suyuthi dan Imam Jalal al-Din al-Mahalli,
Tafsir al-Kabir karya Imam al-Razi, Tafsir Lubab at-Ta’wil karya Imam al-
corak penafsiran yang digunakan, termasuk posisi dan aplikasi isyari dalam tafsir
Keempat, penjelasan tentang derajat atau klasifikasi bagi para pengkaji tafsir Al-
128
Novi Laila Athiyah, “Penafsiran Sufistik Tentang Haji dalam Tafsir Faidh al-
Rahman”, 38.
55
Tafsir Faidh al-Rahman memuat penafsiran K.H. Sholeh Darat dari Q.S.
al-Fatihah sampai Q.S. an-Nisa’, yang dibagi dalam dua jilid berukuran besar.
Jilid pertama terdiri dari surah al-Fatihah sampai surah al-Baqarah, dengan tebal
577 halaman. Sedangkan jilid kedua terdiri dari surah Ali Imran sampai surah an-
Nisa’ sebanyak 705 halaman. Jadi, tafsir ini hanya berisi penafsiran Al-Qur’an
sebagaimana yang ada dalam mushaf Usmani. K.H. Sholeh Darat menguraikan
setiap surah dengan detail setiap masalah yang berkaitan dengan surah yang akan
ditafsirkan, misalnya tempat turunnya surat, jumlah ayat, bahkan jumlah hurufnya
juga disebutkan.131
Tafsir Faidh al-Rahman yang telah ditulis beberapa abad yang lalu,
zaman sekarang. Jika digali lebih dalam, isinya memuat banyak penafsiran-
129
Abdul Wahab, “Tren Sosio-Sufistik Dalam Tafsir Jawa (Pemikiran dan Tren Tafsir
Kiai Saleh Darat Semarang dalam Kitab Faidl ar-Rahman”, Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 15, No. 2,
2010, 314.
130
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara (Semarang: CV. Asna Pustaka,
2021), 6.
131
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 6-7.
56
penafsiran yang baru yang tidak kalah pentingnya dengan tafsir-tafsir modern saat
ini.132
132
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 10.
BAB IV
sering menerima asumsi buruk terhadap dirinya, baik asumsi yang berasal dari
konstruksi budaya maupun yang berasal dari teks agama. Dalam pembahasan pada
nusantara yang hidup pada zaman penjajahan (waktu itu Indonesia belum
merdeka), yakni K.H. Sholeh Darat tentang isu-isu perempuan yang sering
penafsiran K.H. Sholeh Darat, akan dipaparkan dan dianalisis dua isu yang
menjadi fokus penelitian. Isu-isu yang dibahas dalam bagian ini meliputi isu
A. Kesaksian Perempuan
yang menjadi perdebatan terdapat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282, yang berbunyi:
57
لش َه َاد ِة َواَ ْدىٰن ٓى اَاَّل َتْرتَابُ ْوٓا آِاَّل اَ ْن تَ ُك ْو َن ٓ
ند ال ٰلّ ِه َواَْق َو ُم لِ َّ ص غِْيًرا اَْو َكبِْي ًرا اِ ٰلى اَ َجلِ ۗ ِه ٰذلِ ُك ْم اَقْ َس ُ
ط ِع َ َ
اضَرةً تُ ِد ْيُر ْو َن َها َبْينَ ُك ْم
جِت ارةً ح ِ
ََ َ
58
59
ِ ِ ۗ ِ َّ َفلَيس علَي ُكم جنَاح اَاَل تَكْتُبوه ۗا واَ ْش ِه ُدوٓا اِذَا َتبايعتُ ۖ ْم واَل يض
ُب َّواَل َش ِهْي ٌد َوا ْن َت ْف َعلُ ْوا فَانَّه
ٌ ٓار َك ات َ ُ َ َْ َ ْ َ َ ُْ ٌ ُ ْ َْ َ ْ
ۗ
وات ُقواال ٰلّ ۗهَ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ال ٰلّهُ َوال ٰلّهُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِْي ٌم
َّ فُ ُس ْو ٌق بِ ُك ۗ ْم
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang
pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah
pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya. Hendaklah dia mencatatnya dan orang yang
berutang itu mendiktekannya. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang
berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak
mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan
benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika
tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan di antara orang-orang yang kamu ridhai dari para saksi
(yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.
Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang
itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih
dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada
ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak berdosa bagi kamu jika kamu
tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan
janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika
kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan
padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran
kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. al-
Baqarah/2: 282).
Ayat di atas merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur’an yang
mengandung lebih dari 50 kandungan hukum.133 Dari sebuah ayat yang panjang
penafsiran, yakni:
133
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam al-Baqarah (2): 282 antara Makna
Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, Jurnal Yudisia, Vol. 7, No. 1, Juni
2016, 187.
60
“Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan
dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu ridhai dari para
saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa,
yang lain mengingatkannya.”
Saksi adalah orang yang melihat dan megetahui terjadinya suatu peristiwa.
Persaksian merupakan salah satu alat bukti yang dapat dijadikan dasar untuk
saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu ia belum
melaksanakan kesaksian serta secara aktual telah menjadi saksi. Dalam ayat ini
disaksikan oleh dua orang laki-laki atau jika tidak terpenuhi dua orang laki-laki
atau boleh dilakukan dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
hukum mengenai kesaksian dalam muamalah tidak tunai, yakni utang piutang.
Secara tekstual, bagian kalimat yang terdapat dalam ayat tersebut dapat dipahami
bahwa kesaksian dua orang laki-laki dapat digantikan dengan satu orang laki-laki
dan dua orang perempuan. Artinya, kesaksian laki-laki dan perempuan memiliki
setengah dari kesaksian laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadi kritik bagi
134
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Al-Qur’an, (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2012), 244.
61
terhadap potongan ayat ini dipaparkan dengan jelas dan rinci yang juga
kesaksian perempuan bernilai separuh dari kesaksian laki-laki hanya berlaku pada
urusan selain kasus hukum dera dan kisas. Bahkan lebih sempit lagi menurut al-
Alusi, perempuan boleh menjadi saksi tanpa disertai laki-laki dalam urusan
perempuan hanya boleh menjadi saksi pada wilayah muamalah saja, tidak boleh
135
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam al-Baqarah (2): 282 antara Makna
Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, dalam Jurnal Yudisia, Vol. 7, No. 1,
Juni 2016, 189.
136
Nasrulloh, Eksistensi Hadis Nabawy dari Nalar Otoriter Menuju Otoritatif,
(Yogyakarta: Dialektika, 2019), 291.
62
لن ويس موافقة فرا. كافوريه ۬كنساكن ا ۛع و ۛعك ۛع اديل الن ۛع لورو أتوا الن ۛع سجي وادون لورو
انافون نكساين. فقهاء ستهوىن وانا ۛعى اوالهي نكسين وادون ايكو خصوص ا ۛعدامل اموال بلوقا
: لن م ۛع ۬كوه كرس اين ات وا ۛعرس اين اميام ن واوي. لي اين ام وال م ۛعك ا ف دا اختالف ف را علم اء
ستوهوىن وادون ايكو وان ۛع نكساين ا ۛعدامل س كاباهي فرقرا لن ۛعندقا اميامنا شافعى اورا ونا ۛع
وادون نكس اين ا ۛعي ۛع مري ۛع فرك را ا ۛعك ۛع اورا بيص ني ۛعايل ا ۛع ۬كين ا ۛعي ۛع ك ودو وادون كي ا ول ده
137
.لن رضائه لن براقه لن شيوبه
“Kapureh negeseaken ing wong kang adil lanang loro utowo lanang siji
wadon loro. Lan wes muwafaqoh poro fuqoha setuhune wenangi olehi
nekseni wadon iku kusus ing dalem amwal beloko. Onopun nekseni liyane
amwal mengko podo ikhtilaf poro ulama. Lan munggoh kersane utowo
ngersani Imam Nawawi, setuhune wadon iku wenang nekseni ing dalem
sekabehane perkoro. Lan ngendiko Imamuna Syafi’i ora wenang wadon
nekseni anging maring perkoro ingkang ora bisa ningali anggene anging
kudu wadon, koyo wiladah lan rodho’ah lan biraqoh lan syuyubah.”
“Perintah menegaskan (bahwa menjadi saksi) adalah orang yang adil dua
orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Dan
menurut kesepakatan para fuqaha, sesungguhnya perempuan boleh
menjadi saksi khusus dalam urusan harta saja. Adapun menjadi saksi
dalam urusan selain harta, maka sebagian ulama berbeda pendapat
mengenai hal tersebut. Menurut Imam Nawawi, sesungguhnya perempuan
itu boleh menjadi saksi dalam semua perkara. Sedangkan menurut Imam
kita, Syafi’i, tidak boleh perempuan menjadi saksi kecuali dalam perkara
yang tidak boleh dilihat oleh selain perempuan, seperti urusan wiladah
(melahirkan), radha’ah (menyusui), kegadisan, dan perempuan tua.”
Pernyataan K.H. Sholeh Darat terkait kesaksian perempuan diawali
dengan redaksi kata “perintah menegaskan” yang diikuti dengan kalimat yang
137
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
63
ditegaskan, yakni yang menjadi saksi adalah dua orang laki-laki atau satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan. Artinya dalam hal ini K.H. Sholeh Darat
mengatakan bahwa kesaksian dua orang laki-laki dalam urusan muamalah tidak
tunai adalah perintah yang tegas, yang ketika dua orang laki-laki tersebut tidak
dapat ditemukan maka bisa digantikan dengan satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan.
mayoritas fuqaha, Imam Nawawi, dan Imam Syafi’i. Perbedaan dari ketiga
pendapat tersebut adalah terletak pada ranah kesaksian perempuan itu sendiri.
segala aspek yang tidak terbatas. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, perempuan
hanya boleh menjadi saksi dalam ranah yang hanya boleh disaksikan oleh
diketahui oleh laki-laki yang hanya boleh disaksikan oleh perempuan dapat
138
Siska Lis Sulistiani, Peradilan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), 131.
64
disaksikan oleh perempuan dari berbagai pendapat para ulama, namun tidak dapat
diketahui secara jelas ia lebih cenderung pada pendapat yang mana. Akan tetapi,
dalam hal ini K.H. Sholeh Darat memposisikan perempuan setara dengan laki-laki
perihal ranah kesaksiannya dan sejauh mana kesaksian tersebut dapat diterima.
Ungkapan ini senada dengan Atha yang menyatakan bahwa seorang perempuan
ات وا ان اين وادون وان ا ۛع دادي سكس ي ايك و وادون ك ۛع ويس س ريا رض اىن اع دامل ا ۬كم اىن ت ۬كس
139
. اراف امنه حدابه ا ۛعامل مرعواه
“Utowo anane wadon wenang dadi saksi iku wadon kang wes siro ridoni
ing dalem agamane tegese arep ‘adalah, amanah, hadabah, ‘aqolah,
mar’uwah.”
“Adanya perempuan yang boleh menjadi saksi itu adalah perempuan yang
sudah kalian ridhai dalam agamanya, lebih tegasnya harus adil, amanah,
baik tata kramanya, berakal, dan memiliki kesucian.”
139
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
65
menyebutkan syarat seorang saksi laki-laki atau saksi secara umum, namun ia
bahwa kesaksian perempuan lebih disoroti oleh K.H. Sholeh Darat. Menurutnya,
syarat menjadi saksi bagi seorang perempuan adalah diridhai dalam agamanya,
mar’uwah.
dilakukan oleh saksi yang dibujuk menyampaikan kesaksian palsu. Ibnu Qayyim,
dalam tulisan yang dikutip oleh Ashgar Ali Engineer mengatakan bahwa jika
seorang perempuan sempurna ingatannya tentang apa yang dilihat, adil, dan
cenderung religius, maka hukum ditetapkan atas dasar kesaksiannya saja (tanpa
disebutkan oleh K.H. Sholeh Darat bukan berarti hanya ditujukan bagi
yang disebutkan, yaitu adil, dapat dipercaya, harabah, berakal, dan mar’uwah. Jika
rentetan persyaratan bagi saksi tersebut hanya ditujukan bagi perempuan, maka
apakah laki-laki bebas dari persyaratan itu? Dalam tekstual ayat di atas memang
penyebutan “di antara orang-orang yang kamu ridhai” adalah setelah penyebutan
dua orang saksi perempuan. Namun, menjadi seorang saksi baik lai-laki maupun
66
perempuan haruslah adil, dapat dipercaya, harabah, berakal, dan mar’uwah agar
perempuan itu dua orang untuk menggantikan satu orang laki-laki. Dalam narasi
140
موالىن وادون كودو لورا كرنا ستوهون حاصلي واتاقي وادون ايكو الليين لن كورا ۛع اقلن
“Mulane wadon kudu loro kerono setuhune hasile wateke wadon iku laline
lan kurang akale.”
“Makanya (sebab itulah) perempuan harus dua orang karena sesungguhnya
hasil wataknya perempuan itu lupa dan kurang akalnya.”
K.H. Sholeh Darat menyebut alasan kesaksian perempuan harus dua orang
yang nilainya sama dengan satu orang laki-laki adalah karena perempuan
mempunyai watak pelupa dan kurang akal. Hal ini serupa dengan pendapat para
para mufasir yang seperti itu dihubungkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari, yakni:
ِ
ْ َأخَب َرىِن َزيْ ٌد – ُه َو ابْ ُن
َأس لَ َم – َع ْن ْ َأخَبَرنَ ا حُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر قَ َال
ْ َح َّد َثنَا َس عْي ُد بْ ِن َأىِب َم ْرمَيَ قَ َال
140
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
67
فَ ِإىِّن ُأِر ْيتُ ُك َّن َأ ْكَث َر َْأه ِل،ص َّدقْ َن ِ فَم َّر علَى النِّس ِاء َف َق َال ‹‹ي ا معش ر الن،َأوفِطْ ٍر ِإىَل الْمص لَّى
َ َِّس اء ت
َ َ َ َْ َ َ َ َ َ ُ ْ
،ان َع ْقلِ َه ا
ِ ك ِمن نُ ْقصِ َّ ف َش َه َاد ِة
َ ْ َ قَ َال ‹‹فَ َذل. ُقْل َن َبلَى. ››الر ُج ِل
ِ ص ِ ِِ
َ ‹‹َألَْي
ْ س َش َه َادةُ الْ َم ْرَأة مثْ َل ن
››صا َن ِديْنِ َها ِ َ ِ قَ َال ‹‹فَ َذل. ُقْلن بلَى.››َألَيس ِإذَا حاضت مَل تُص ِّل ومَل تَصم
َ ك م ْن نُ ْق ََ ُْ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra., ia berkata, “Rasulullah saw. keluar pada idul
adha (hari raya kurban) atau idul fitri (hari raya fitrah) menuju ke tempat
shalat. Beliau melewati kaum perempuan dan beliau bersabda, “Hai kaum
perempuan, bersedekahlah! Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku
kebanyakan dari kalian menjadi penghuni neraka.” Para perempuan itu
bertanya, “Apa penyebabnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Kalian banyak mencela dan mengingkari kebaikan suami. Namun, aku
tidak pernah melihat sebagian orang yang kurang akal dan agamanya
mampu melemahkan akal laki-laki melebihi kalian ini.” Para perempuan
itu bertanya, “Apa maksud kurang akal dan agama kami, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah kesaksian seorang perempuan
bernilai setengah dari kesaksian laki-laki?” Para perempuan itu menjawab,
“Betul.” Rasulullah bersabda, “Itulah sebagian bukti kurangya akal
perempuan, bukankah jika perempuan sedang menstruasi tidak shalat dan
tidak puasa?” Para perempuan menjawab, “Betul.” Rasulullah bersabda,
“Itulah sebagian bukti kurangnya agamanya.” (H.R. al-Bukhari).
Ibnu Katsir menafsirkan persoalan kesaksian perempuan menyebut bahwa
kualitas kecerdasan dan agama perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
mempunyai watak pelupa dan kurang akal tersebut tidak dikaitkan dengan hadis di
68
atas. Dalam penafsirannya terkait alasan 1:2 dalam kesaksian laki-laki dan
perempuan, K.H. Sholeh Darat tidak menyebutkan dalil berupa hadis atau
kebanyakan ulama tafsir klasik yang menyebutkan bahwa perempuan itu kurang
bahwa hadis di atas merupakan hadis dengan kategori Shahih (valid) sebab
diriwayatkan oleh Bukhari. Shahih yang dimaksud adalah dari segi sanad,
dalam situasi bagaimana Nabi mengucapkan sabdanya. Oleh karena itu, sebelum
memahami hadis tersebut perlu melihat latar belakang kultur dan budaya Arab
pada waktu teks hadis tersebut turun. Sedangkan konteks hadis tersebut dapat
dipahami dengan mencermati redaksi hadis dari berbagai macam jalur transmisi
sanad hadis. Redaksi hadis di atas sudah dapat dijadikan bahan untuk memahami
141
Nasrulloh, Eksistensi Hadis Nabawy dari Nalar Otoriter Menuju Otoritatif, 291.
142
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 49.
69
makna hadis tersebut secara kontekstual. Pada bagian awal matan, tulis Nasrulloh,
sabdanya tersebut di jalan ketika beliau menuju tempat shalat untuk melakukan
shalat Idul Adha dan Idul Fitri, bertempat di Madinah, karena syariat kedua shalat
yang dimaksud kurang akal dan agama perempuan dalam hadis di atas bukan
berasal dari dalam diri perempuan karena dispensasi yang diberikan kepada
perempuan untuk tidak menjalankan ibadah tertentu merupakan sebuah hal yang
berasal dari luar diri perempuan. Keadaan kodrati (dalam hal ini menstruasi dan
nifas) adalah hal yang berasal dari dalam diri perempuan. Namun ketidakbolehan
banyaknya perempuan yang masuk neraka dalam hadis di atas tidak berkaitan
langsung dengan keadaan yang berasal dari faktor luar tadi. Boleh jadi, kelemahan
perempuan pada masa Nabi banyak ditemui sehingga Nabi saw perlu
perempuan yang masuk neraka bukan berarti lebih banyak perempuan dibanding
laki-laki yang masuk neraka. Boleh jadi hadis ini disampaikan di depan para
143
Nasrulloh, Eksistensi Hadis Nabawy dari Nalar Otoriter Menuju Otoritatif, 296.
144
Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan (Jakarta: PT. Gramedia, 2014),
202.
70
Sebab, perkara dosa dan neraka tidak berkaitan dengan jenis kelamin seseorang
kasuistik atau kondisional untuk hal-hal dan sebab-sebab tertentu. Sebab, jika
perempuan adalah manusia kurang akal mengapa para laki-laki (suami) secara
umum memercayakan segala urusan rumah tangga (belanja, keuangan, dan lain-
lain), urusan anak, bahkan pendidikan anak pun dianggap sebagai tanggung
pada zaman Nabi saw. banyak riwayat hadis yang disampaikan oleh para sahabat
bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. Selain itu, Imam Syafi’i
memiliki seorang guru perempuan yang merupakan cicit Nabi saw., yakni Sakinah
puasa, dan lain-lain) karena telah diatur oleh syariat. Hal ini dilakukan karena
145
Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, 202.
146
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 50.
71
yang lain, seperti memperbanyak berdoa dan dzikir atau ibadah-ibadah lainnya.147
Menurut Zaitunah, ketika melihat redaksi hadis di atas tadi, sabda Nabi
perempuan yang mampu bersaing dengan laki-laki. Kalimat Nabi saw. tersebut
justru dimaknai sebagai suatu pengaruh poitif yang disampaikan agar menjadi
Dalam menafsirkan surat ini, K.H. Sholeh Darat mengulang sebanyak dua
kali dengan narasi yang sama mengenai alasan kesaksian perempuan bernilai
setengah dari kesaksian laki-laki. Kedua narasi tersebut menjelaskan bahwa dalam
menjadi saksi perempuan harus dua orang yang dinilai sama dengan satu orang
laki-laki karena perempuan kurang akal dan kurang agama. Secara naratif,
pendapat K.H. Sholeh Darat yang ia sebutkan dua kali tersebut adalah bentuk
penegasan. Namun, dalam narasi yang kedua, K.H. Sholeh Darat menambahkan
sebelumnya. Ia menyebutkan:
147
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 51.
148
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 50.
72
كرن ا س توهوين وادان ايك و ك ورا ۛع اقلي لن ك ورا ۛع. م ۛعك ا ايكول ه س بب وادون ك ودو ل ورا
م ۛعكا ملون اليل. وجي ا ۛعك ۛع دين كاوارهي- ايلي ۛع مري ۛع سوجي. لن كورا ۛع ف ۛعالي ۛع. اكماىن
سوجين م ۛعكا يكيت ۛعيال ۛع كن ساله سوجين ۛعاك ۛع ايلي ۛع ا ۛع واناهي ا ۛعك ۛع اليل
149
“Mongko ikulah sebabe wadon kudu loro, kerono setuhune wadon iku
kurang akale lan kurang agomone, lan kurang pengiling-ngilinge maring
suwiji-wiji ingkang den kaweruhi. Mongko lamun lali suwijine mongko
nyekti ngelengaken salah suwijine ingkang iling ing wenehe ingkang lali.”
“Maka itulah sebabnya perempuan (yang menjadi saksi) harus dua, karena
sesungguhnya perempuan itu kurang akalnya, kurang agamanya, dan
kurang daya ingatnya terhadap sesuatu yang ia ketahui. Maka jika lupa
salah satu perempuan itu, maka perempuan yang satunya akan
mengingatkan mengenai sesuatu yang terlupa tersebut.”
Pendapat di atas memiliki dua sisi yang berlainan. Sisi pertama terkesan
bahwa penafsiran K.H. Sholeh Darat lebih tradisional dan seolah sepakat dengan
pembacaan hadis Nabi saw. tentang kurang akal dan agama secara tekstual.
Sehingga, pendapat yang seperti ini banyak dibantah oleh para mufasir feminis.
Syahrizal Abbas, kondisi perempuan dalam potongan ayat di atas sangat jauh
berbeda dengan kondisi perempuan sekarang. Perempuan pada masa dulu sangat
tertutup, berada dalam pingitan dan tidak dapat mengenyam pendidikan yang
149
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
73
lebih tinggi. Sedangkan perempuan hari ini sudah masuk dan andil dalam berbagai
hakim, dokter, bahkan perdana menteri. Jika memahami ayat tersebut secara
tekstual, maka akan didapatkan hasil yang kaku. Maka, yang semestinya
dilakukan adalah keluar dari pemahaman fuqaha tempo dulu karena pemahaman
mereka dipengaruhi oleh kodisi sosial pada masa itu, kemudian kembali berpikir
sesuai dengan konteks pengalaman masa kini serta disesuaikan dengan nilai-nilai
sekarang, dirasa wajar ketika K.H. Sholeh Darat saat menafsirkan perihal alasan
saat ia menafsirkan suatu ayat tersebut. Pada masa itu, K.H. Sholeh Darat menulis
tafsirnya saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda, di mana kondisi sosial
Dengan demikian, terdapat realitas sosial yang terjadi sesuai dengan hadis Nabi
Sedangkan pada sisi yang kedua, penafsiran K.H. Sholeh Darat lebih
dua orang yang nilainya sama dengan satu orang laki-laki adalah karena
perempuan memiliki sifat mudah lupa dengan sesuatu yang mereka ketahui. Oleh
sebab itu, fungsi dari perempuan itu harus dua orang agar jika yang satu lupa
dengan apa yang harus ia sampaikan, maka perempuan yang satunya lagi dapat
Pendapat yang kedua inilah yang sama dengan pendapat mufasir feminis.
Kariman Hamzah seorang mufasir perempuan Mesir, dikutip dari Ah. Fawaid,
menjelaskan bahwa perempuan dalam urusan persaksian tidak sama dengan laki-
laki. Karena perempuan tidak terbiasa sibuk dengan urusan transaksi keuangan
pada keterbatasan ingatan perempuan dalam hal tersebut. Berlainan halnya dengan
hal yang berhubungan dengan urusan domestik rumah tangga, di mana perempuan
lebih terbiasa berkecimpung dalam ranah ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan jauh
lebih baiknya ingatan perempuan dibanding laki-laki dalam bidang ini. Maka,
menurut Abduh, manusia secara umum (baik laki-laki maupun perempuan) akan
daya ingatnya terhadap sesuatu yang ia ketahui”, itu merupakan makna dari Q.S.
al-Baqarah/2: 282 yang dimaknai secara terkstual. K.H. Sholeh Darat tidak
menyebut perempuan sebagai makhluk yang pelupa. Dari redaksi kata yang
ditulis, perempuan ditunjukkan memiliki daya ingat yang kurang terhadap sesuatu
yang ia ketahui. Daya ingat yang kurang itu bisa terjadi karena perempuan pada
151
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufasir Perempuan Tentang Isu-isu Perempuan”, 73.
75
masa dulu tidak terlalu andil dalam urusan transaksi dan keuangan. Seseorang
baik laki-laki maupun perempuan jika tidak banyak terlibat secara aktif dalam
sebuah urusan, maka mereka akan kurang cakap dalam urusan tersebut.
dikatakan kurang daya ingat atau kelupaan adalah karena kurangnya pengalaman
mereka. Sebab, perempuan pada masa Nabi saw. minim pengalaman perihal
pengalaman dari yang lainnya. Namun, laki-laki cukup satu orang karena pada
masa itu mereka memiliki pengalaman yang cukup, maka mengingat yang
Jika melihat kondisi sosial masa kini, perempuan sudah lebih banyak
berkecimpung dalam relasi publik, baik itu transaksi jual beli maupun urusan
perempuan yang lebih ahli dari pada laki-laki, bahkan banyak perempuan yang
tampil sebagai saksi ahli. Jadi, masalah kualitas dan kuantitas persaksian dapat
152
Ashgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Fakhra Assegaf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 97.
76
hendaknya mengikuti illat hukum, dan illat hukum selalu berubah seiring dengan
perubahan masyarakat.153
Selaras dengan pendapat K.H. Sholeh Darat, jumlah dua orang perempuan
yang satu sebagai saksi dan yang satunya lagi sebagai pemgingat jika yang
satunya lupa, Amina Wadud dalam bukunya Perempuan dalam Al-Qur’an yang
bahwa potongan ayat dalam Q.S al-Baqarah/ 2: 282 tersebut tidak menetapkan
bahwa kedua perempuan itu berlaku sebagai saksi. Satu orang perempuan
bagi perempuan yang satunya lagi. Jadi, meskipun perempuan dua orang, tapi
Selain itu, menurut Amina Wadud sebab lainnya terdapat pada kalimat
memberi kesaksian palsu. Ada saksi lain yang bisa mendukung perjanjian atau
transaksi itu mengingat perempuan umumnya bisa dipaksa. Jika yang menjadi
saksi hanya seorang perempuan, dikhawatirkan akan menjadi peluang bagi laki-
laki tertentu yang ingin memaksanya agar memberi kesaksian palsu. Hikmah dari
dua orang perempuan adalah agar saling mendukung, jika yang seorang lupa
merupakan bentuk kesaksian tunggal dengan fungsi yang berbeda. Bukan berarti
153
Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, 203.
154
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an (Yogyakarta:
LkiS, 1999), 120; lihat juga pada Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women (Kuala Lumpur:
Fajar Bakti, 1992), 115-116.
77
perempuan nilainya separuh dari laki-laki, Al-Qur’an tidak menyebut dua orang
satu orang laki-laki, maka di mana pun masalah kesaksian dapat dipastikan seperti
terdapat delapan ayat yang berkenaan dengan masalah kesaksian, yaitu Q.S. al-
Baqarah/2: 228, Q.S. al-Nisa’/4: 15, Q.S. al-Maidah/5: 106, Q.S. al-Nur/24: 4, 6,
dan 13, serta Q.S. al-Thalaq/65: 2. Dari semua ayat tersebut tidak ada satu pun
ayat yang menyebutkan bahwa dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu
mempunyai status dan kedudukan yang sama (Q.S. al-Zariyat/51: 56, Q.S. al-
An’am/6: 165, dan Q.S. al-A’raf/7: 172). Dalam hal persaksian juga tidak ada
batasan perempuan dapat menjadi saksi dalam berbagai ranah. Nilai kesaksian dua
banding satu antara perempuan dan laki-laki bukanlah suatu nilai yang mutlak dan
berlaku pada semua kasus. Namun, kuantitas saksi laki-laki dan perempuan dapat
berlaku secara normatif sesuai dengan kebutuhan dan kualitas perempuan dan
laki-laki pada masa kini. Sehingga, laki-laki dan perempuan memiliki kompetensi
155
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an,120.
156
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an, 119.
78
kesaksian itu harus dua orang laki-laki yang dapat digantikan dengan satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan. Pernyataan tersebut sesuai dengan nash Q.S.
perempuan tersebut menjadi saksi, akan tetapi secara tersirat ia menyebut fungsi
perempuan yang satunya hanya sebagai pengingat jika yang satunya terlupa.
Keadaan ini didasari oleh sifat pelupa perempuan pada sesuatu yang berkaitan
perempuan sebagai makhluk kurang akal dan kurang agama. Pendapat ini lebih
cenderung tradisional, sebab ada keterkaitan dengan hadis Nabi saw. yang telah
disebutkan di atas. Oleh para feminis muslim hadis tersebut dinilai sebagai
motivasi bagi para perempuan masa itu agar mau bersaing dan mengejar
pendapat K.H. Sholeh Darat tentang perempuan kurang akal dan agamanya
disebut sebanyak dua kali, namun ia tidak mengutip hadis Nabi yang disebutkan
di atas.
menyebut perceraian sebagai perbuatan yang dibenci oleh Allah Swt. Dalam
realitas sosial, perceraian memang merusak hubungan di antara dua manusia dan
hal itu sebisa mungkin harus dihindari. Namun, dalam keadaan-keadaan tertentu
yang terdesak, perceraian menjadi mutlak dilakukan. Pada masa pra-Islam, laki-
laki dapat menceraikan istrinya kapan saja meskipun tanpa alasan yang jelas.
Talak secara umum merupakan otoritas laki-laki, yang artinya hak talak secara
penuh dimiliki oleh laki-laki. Tanpa mendengarkan pendapat atau persetujuan dari
perempuan, laki-laki dapat menceraikan perempuan dan talaknya sah. Hal ini
karena secara eksplisit sistem pernikahan yang dianut dalam Islam bersifat
Qur’an. Pada Q.S. al-Baqarah/2: 229 terdapat penjelasan mengenai khulu’ atau
ف َْأو تَ ْس ِريْ ٌح بِِإ ْح َس ا ۗ ٍن َواَل حَيِ ُّل لَ ُك ْم َأ ْن تَْأ ُخ ُذوا مِم َّا آ َتْيتُ ُم ْو ُه َّن َش ْيًئا
ٍ اك مِب َع رو ِإ
ْ ُ ْ ٌ الْطَّاَل ُق َمَّرتَ ا ۖ ِن فَ ْم َس
ت بِ ۗ ِه ِ ِ ٰ ِإاَّل َأ ْن خَيَافَا َأاَّل ي ِقيما ح ُدود ال ٰلّ ۖ ِه فَِإ ْن ِخ ْفتُم َأاَّل ي ِقيما ح ُد
ْ اح َعلَْي ِه َم ا فْي َم ا ا ْفتَ َد
َ َود اللّه فَاَل ُجن
َ ُ َْ ُ ْ َ ْ ُ َْ ُ
ك ُه ُم الْظَّالِ ُم ْو َن ٰ ۚ ٰ
َ ك ُح ُد ْو ُد اللّ ِه فَاَل َت ْعتَ ُد ْو َها َو َم ْن َيَت َع َّد ُح ُد ْو َد اللّ ِه فَ ُْأو ٰلِئ
َ تِْل
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan)
dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu (mahar)
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan
istri) khawatir tidak mampu menjalankan batas-batas ketentuan Allah.
Jika kamu (wali) khawatir keduanya tidak mampu menjalankan batas-
batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah batas-batas
(ketentuan) Allah, janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar
batas-batas (ketetuan) Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Q.S. al-
Baqarah/2 : 229)
Ayat ini menjelaskan mengenai rujuk dan larangan laki-laki mengambil
kembali mahar yang telah diberikan saat pernikahan. Namun, di samping itu ayat
ini menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi seorang istri mengajukan gugat
cerai yang di dalam Islam di sebut dengan khulu’. Dalam redaksi tekstual ayat
sejumlah mahar yang diberikan suaminya saat menikah untuk menebus dirinya
Dalam menafsirkan ayat ini, K.H. Sholeh Darat lebih banyak membahas
asbabun nuzul ayat tentang khulu’ tersebut. K.H. Sholeh Darat menyebutkan
sebagai berikut.
81
ايكي اية اساىل نزيل (متوروىن) ستوهوىن جاملة بنت عبدال ٰلّه بن ايب ايكو اورا دمان مري ۛع النا ۛعى
.لن اي اايكو ث ابت بن قيس كران ا جامل ه ايك و اي و روف اىن .ان ۛعاي ۛع ث ابت ايك و ايك و اول و
روفاىن .م ۛعكا دادي اورا بيص انوان نوان سالواسى .م ۛعكا نويل سويل سوجي وقتو توكران
م را ۛع اوم اهي بف ائي عبدال ٰلّ ه م ۛعك ا ن ويل وادول جامل ة ا ۛع بف ائى ا ۛع ح ايل بوج وىن :س توهوىن
ثابت ايكو ميسوه-ميسوه ا ۛع كوال لن مسفه-مسفه بفاء كوال .م ۛعكا ۛعوچف عبدال ٰلّ ه :موليا
سريا :اكو اورا دمن ا ۛع وا ۛع وادون ا ۛعك ۛع دين اجاري بوجوين نويل وادول-وادول ا ۛع بفائي
بالي ا س رياز ۰ن ويل ان رتاين دين ا ماني ه مولي ه هي ۛع ۬كا امب ال ك افي ۛع ت الو س رتاين وادون المب اين دي
فوكول النا ۛع ۰م ۛعك ا نويل ۛعوچ اف عبداهلل :بالي ا س ريا م اري ۛع بوجوم و .م ۛعك ا تتك االين ويس
واراه وادون ستهوين ايكو اورا كنا دي وادويل .م ۛعكا نويل تروس وادول جاميلة ماتور ماري ۛع
كاجن ۛع نايب صل اهلل عليه و سلم ماتور مادوالكن ا ۛع حايل بوجوين سرتاين نوده اكن ا ۛع وادون
لبت دن فوكول ۛعلني .م ۛعكا نويل منبايل رسول اهلل ا ۛع ثابت م ۛعكا نويل داوها يا ثابت افا سريا
ارف ۬كاوي وي را ۛع وادون س ريا كي ا م ۛعكون و-م ۛع كون و ك ارو س ريا ۛعاك ايف اف ا .م ۛعك ا م اتور
ثابت اسطاين باتن واننت ا ۛعك ۛع كاووال كاسهي لياين ۛعندكاين رسول اهلل نامو ۛع بوجو كوال
82
فونكي .م ۛعكا ۛعنديكا كاجن ۛع نايب يا جاملة كيا افا ف ۛعوچاف سريا .م ۛعكا ماتور وادون ا ۛع ۬qكه
لرس يا رسول اهلل تتفي كوال مسفون باتن فورون فيسان-فيسان كمفول كليان تيا ۛع جالر كوال
ف ونكي اج ره ك وال ا ۛع اواء ك وال م و ۬كي ك وال ودل اكن ك وال س ۛعكي ۛع ن ۛعqايل بوج و ك وال
ف ونيكي ,ا ۛع ۬كيه ل رس كيامب ائ دمن ا ۛع كوال تتفي ين كوال ب اتن دمن بب ار فيس ان .م ۛعك ا م اتور
ثابت كوال مسفون پوكاين ماس كاوين كيامبائ رويف يستان كابون كورما ا ۛع ۬qكور كوال داوه
ۛعندكا يا رسول اهلل دومات ۛع فونيكي اسرتي ا ۛعك ۛع سوفادس فورون م ۛعسولئكن بتائن كوال لن
ننتوت كوال چول اكن .م ۛعكا نويل ۛعندكا كاجن ۛع نايب يا جاملة اناطا سريا ۬كلم بالئكن ۬qكون-
۬كون اين م ۛعك ا دادي بيس ا ۛعواس ائي س ريا ا ۛع اواء س ريا .م ۛعك ا م اتور وادون ا ۛع ۬كي ه ك وال
س وكائكن ج ور او ۬كي دين چ ولئكن ك وال .م ۛعك ا ۛعن دكا ك اجن ۛع ن ايب ي ا ث ابت ترميانن كب ون
157
كورما سريا لن طلق سريا كلوان تالء .م ۛعقا ايكي اوىل خلع باالسالم.
“Iki ayat asale nuzule (temurune) setuhune Jamilah binti Abdullah bin Abi
iku ora demen maring lanange, lan iyo iku Tsabit bin Qais. Kerono
Jamilah iku ayu rupane, ananggeng Tsabit iku olo rupane. Mongko dadi
ora biso anuwon-nuwon selawase. Mongko nuli suwiji waktu, tukaran
wadon marang lanange mongko nuli muleh wadon marang omahe bapake
Abdullah. Mogko nuli wadul Hamilah ing bapake ing hale bojone,
“Setuhune Tsabit niku misoh-misoh ing kulo lan nyumpah-nympah bapak
kulo.” Mongko ngucap Abdullah, “Muliyo siro. Aku ora demen ing wong
wadon ing kang den ajari bojone nuli wadol-wadol ing bapake.” Baliyo
157
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 215-216.
83
siro, nuli antara dino bali maleh muleh hinggo ambal kaping telu sertane
wadon (lambene) den pukul lanange, mongko nuli ngucap Abdullah,
“Baliyo siro maring bojomu.” Mongko tatkolone wes weroh wadon
setuhune bapake iku ora keno den waduli. Mongko nuli terus wadul
Jamilah matur marang kanjeng Nabi sw. matur madolalen ing hale bojone
sertane nuhuhaken wadon ing labete den pukul lakine mongko uli nimbali
Rasulullah saw. ing Tsabit. Mongko nuli, “Danguho, Ya Tsabit, opo siro
aku gawe wirang wadon siro koyok mengkono-kono karo siro anggawe
opo?” Mongko matur Tsabit, “Astone bonten wonte ingkang kawula
kasihi liyane ngendiko Rasulullah, namung bojo kulo puniki.” Mongko
ngendiko Kanjeng Nabi, “Ya Jamilah, koyok opo pengucap siro?”
Mongko matur wadon, “Enggeh, leres, Ya Rasulullah. Tetapine kulo
sampun purun pisan-pisan kumpul kalian tiang jaler kulo puniki. Ajreh
kulo ing awak kulo. Mugi tuan wedalaken kulo sangking ningali bojo kulo
puniki. Enggeh leres kiambake demen ing kulo, tetapine kulo mboten
demen babar pisan.” Mongko matur Tsabit, “Kulo sampun nyukani mas
kawin kiambake rupi yustani kebon kurma anggur. Kulo dawoh ngendiko,
Ya Rasulullah dumateng puniki istri ingkang supados purun mangsulaken
beta’an kulo lan nuntut kulo colaken.” Mongko nuli ngendiko Kanjeng
Nabi, “Ya Jamilah, onoto siro gelem balek aken gongonane mengko dadi
biso nguwasani siro ing awak iro.” Mongko matur wadon, “Enggeh, kulo
sukaaken jur ugi den colaken kulo.” Mongko ngendiko Kanjeng Nabi, “Ya
Tsabit, terimonen kebon kurmo iro lan talako siro kelawan talak.”
Mongko iki awale khulu’ bil Islam, mongko temurun ayat”
“Asal turunnya ayat ini adalah ketika Jamilah binti Abdullah bin Abi tidak
suka dengan suaminya yaitu Tsabit bin Qais. Sebab, Jamilah merupakan
perempuan yang cantik, sedangkan Tsabit seorang yang jelek. Sehingga, ia
tidak bisa meneruskan (pernikahannya) untuk selamanya. Pada suatu
waktu ia bertengkar dengan suaminya. Kemudian ia pulang ke rumah
ayahnya, yaitu Abdullah, dan mengadukan perilaku suaminya kepada
ayahnya, “Sesungguhnya Tsabit itu marah dengan berkata kasar kepadaku
dan menyumpahi ayahku.” Abdullah berkata, “Pulanglah kamu. Aku tidak
suka dengan perempuan yang dididik oleh suaminya kemudia mengadu ke
ayahnya.” Maka pulanglah Jamilah dan kembali lagi di lain hari hingga
tiga kali dengan menunjukkan bekas pukulan suaminya. Abdullah berkata,
“Pulanglah kamu pada suamimu.” Akhirnya Jamilah mengerti bahwa
ayahnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai tempat mengadu. Sehingga,
ia mengadukan perilaku suaminya kepada Rasulullah saw. dengan
menunjukkan bekas pukulan suaminya. Rasulullah pun memanggil Tsabit
dan berkata, “Wahai Tsabit, mengapa kamu memperlakukan istrimu
dengan memalukan?” Lalu Tsabit menjawab, “Tidak ada yang aku kasihi
selain Rasulullah, hanya istriku seorang” Rasulullah berkata, “Wahai
Jamilah bagaimana menurutmu?” Jamilah menjawab, “Ya, betul, wahai
Rasulullah. Namun, aku tidak mau lagi berkumpul dengan suamiku ini.
Memang betul dia suka kepadaku, tetapi aku tidak suka sama sekali
84
dengan cara mengembalikan mahar yang diberikan oleh laki-laki saat menikahi
Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan secara fisik dan verbal selama beberapa
kali dan ia melaporkan perlakuan suaminya kepada Nabi Muhammad saw. dan
Jadi, dapat dipahami bahwa khulu’ adalah hak yang berupa inisiatif bagi
memberikan tebusan atau hak untuk meminta cerai. Jika talak adalah hak bagi
suami, maka khulu’ adalah hak yang dimiliki istri. Seorang istri dapat mengajukan
khulu’ dengan cara memberikan ganti rugi atau yang disebut dengan ‘iwadh
85
(mengembalikan mahar yang telah diberikan oleh suami saat akad nikah). Adanya
‘iwadh itulah yang secara otomatis membuat istri tidak berhak mendapat
tunjangan (sebelum dan sesudah perceraian) seperti saat suami yang menginisiasi
perceraian.
Meskipun khulu’ adalah hak istri, namun perceraian tetap tidak akan
mengembalikan sejumlah barang atau uang mahar dan bersikeras untuk bercerai.
Artinya, otoritas perceraian tetap ada di tangan suami. Hal inilah yang menggiring
beberapa konsekuensi yang berdampak kurang baik terhadap istri. Selain itu, hal
yang menjadikan khulu’ dianggap bias gender dan problematis adalah tidak
adanya kesempatan untuk rujuk, sebab khulu’ dianggap sebagai talak ba’in (talak
yang tidak dapat rujuk). Berbeda dengan talak cerai yang diinisiasi oleh suami
ان ا ف ون الم ون ودى لن وروه لن ۛع لن ودان س تهوىن ا ۬كى ك اروىن ايك و اورا بس ا تك اىن وج ىب
زوجى م ۛعقا اورا دوراقا ا ۛع عتس وادن ا ۛعدمل ت ۛعكهى نوزوز ناليقاىن ودى ودان مار ۛع رساكى
اورا دورقا ملون نبوس اوائ مار ۛع لن ۛعى كلوان باليئكن. ئاوائ اوتوا منباهى ا ۛع دامل معصياتى
158
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 216.
86
“Ono pun lamun wedi lan weruh lanang lan wadon setuhune ugi karone
iku ora biso tekani wajibe zaujih, mongko ora duroko ingatase wadon ing
dalem tingkahe nusyuze nalikani wedi wadon marang rusake awake utowo
nambahi ing dalem maksiate. Ora duroko lamun nebusi awake marang
lanange kelawan balek aken mas kawin utowo aweh arto sangking
wadon.”
“Adapun jika laki-laki dan perempuan (suami dan istri) takut dan
mengetahui tidak bisa menunaikan kewajiban suami istri, maka seorang
perempuan (istri) tidak durhaka ketika perempuan tersebut takut nusyuz
seperti takut menyakiti dirinya atau menambah kemaksiatan. Maka tidak
durhaka jika ia menebus suaminya dengan mengembalikan mahar atau
pemberian suaminya atau seorang suami mendapat uang dari istrinya.”
Dalam penafsirannya tersebut K.H. Sholeh Darat menjelaskan bahwa
keadaan, yaitu 1) jika suami istri takut atau telah mengetahui bahwa keduanya
tidak bisa menunaikan kewajiban suami istri. Tidak bisa menunaikan kewajiban
suami istri dapat dilakukan oleh satu pihak atau bahkan kedua belah pihak.
Misalnya, suami tidak menafkahi istri atau istri tidak melayani suami dengan baik;
2) jika seorang istri takut nusyuz, seperti takut suaminya bertindak kekerasan
(baik fisik maupun non-fisik) yang dapat menyakiti dirinya atau perbuatan suami
suaminya.
K.H. Sholeh Darat juga menyebut bahwa cara seorang istri mengajukan
diberikan saat pernikahan, baik itu berupa barang maupun uang. Suami boleh dan
halal menerima pemberian istri sebagai tebusan dalam khulu’. Namun, pada
keadaan tertentu seorang suami tidak boleh bahkan haram menerima pemberian
87
atau tebusan istri yang mengajukan khulu’, yakni suami membuat masalah
mabuk, tidak menunaikan hak istri, tidak memberi nafkah kepada istri, atau
bertujuan menyengsarakan istri, maka suami yang seperti itu tidak berhak
tidak memenuhi hak suami atau ia tidak menyukai suaminya, maka suaminya
boleh dan halal mengambil tebusan yang ia berikan. Bahkan menurut Abdul
Halim, tebusan yang diberikan istri yang nilainya lebih besar dari mahar yang
diberikan oleh suami pun menjadi halal bagi suami jika khulu’ terjadi karena
keadaan yang disebutkan oleh Imam Syafi’i tersebut. Namun, Abdul Halim
Halim dan Imam Syafi’i bahwa khulu’ bisa sah jika ditujukan untuk suami yang
nusyuz dan istri yang sudah jelas melakukan perbuatan keji. Namun, terdapat
perbedaan antara kedua kasus tesebut. Dalam kasus suami yang nusyuz, suami
tidak berhak menerima sepeserpun dari pemberian istri. Sedangkan pada kasus
istri yang melakukan perbuatan keji, suami dibolehkan menerima tebusan dari
istri.160
159
Masyithah Mardhatillah, “Semangat Egalitarian Al-Qur’an dalam Otoritas
Menginisiasi dan Prosedur Perceraian”, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. 16, No. 1, April 2015, 6.
160
Masyithah Mardhatillah, “Semangat Egalitarian Al-Qur’an dalam Otoritas
Menginisiasi dan Prosedur Perceraian”, 6.
88
dilakukan istri menjadi alasan tersendiri bagi istri yang akan mengajukan gugatan
cerai terhadap suaminya. Bahkan, jika istri tidak mempunyai alasan yang
dapat mengajukan gugat cerai dengan syarat membayar tebusan untuk menebus
dirinya sendiri. Berbeda dengan suami yang dapat menceraikan istrinya kapan saja
dan dengan sebab apa pun. Bahkan, menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh
al-Sunnah, Islam memberikan hak talak hanya kepada laki-laki. Karena hanya
telah dibiayai dengan mahal, sehingga jika laki-laki ingin menikah lagi atau
atau istri boleh mengajukan khulu’ (gugatan cerai) meskipun tanpa adanya nusyuz
atau kesalahan yang dilakukan oleh suami. Beliau menyebut sebagai berikut.
لن ۛعندكا مجهور علماء ستوهىن ايكو وان ۛع سناجن اورا وادي نشوز لن اورا وادي
غض لن اورا وادي توميبا معصية تتايف مكروه كرنا خلع ايكو قطع الوصيلة162
“Lan ngendiko Jumhur Ulama, setuhune iku wenang senajan ora wedi
nusyuz lan ora wedi ghodob lan ora wedi tumibo maksiat. Tetapine
makruh kerono khulu’ iku qat’u al-washilah.”
161
Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah UIN
Maulana Malik Ibrahim, Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga (Malang: UIN-
Maliki Press, 2010), 215.
162
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 216.
89
ulama, yaitu membolehkan khulu’ meskipun tidak disertai alasan takut nusyuz,
atau kesalahan dari suami maupun istri yang takut berbuat maksiat. Alasan dalam
bentuk seperti ini dapat disebabkan oleh ketidaksukaan seorang istri terhadap
suami yang didasari oleh penilaian subjektif. Namun, khulu’ tanpa ada alasan
tebusan dari istri kepada suami saat istri mengajukan khulu’, yakni jika kesalahan
ada pada suami maka suami tidak boleh menerima tebusan dari istri, sedangkan
jika istri yang berbuat kesalahan maka suami boleh dan halal mengambil tebusan.
berdasarkan alasan yang berasal dari kesalahan suami atau memang relevan
penafsirannya dengan mengutip hadis Nabi Muhammad saw. tentang haram bau
surga bagi perempuan yang meminta talak kepada suaminya. Beliau menyebutkan
sebagai berikut.
90
ان دي وا ۛع وادون ا ۛعك ۛع ج الوء طالق ا ۛع الن ا ۛعى اورا- ان دي: ويس ۛعن دقا كنج ۛع ن اىب ﷺ
163
كلوان واجىب مك حرام ۛعاتسى ايكي وادون كنداىن سوار ۬كا
“Wes ngendika aken Kanjeng Nabi saw.: “Endi-endi wong wadon ingkang
njaluk talak ing lanange ora kelawan sebab wajibe, moko haram ingatase
iki wadon gandane suwargo.”
“Nabi Muhammad saw. telah bersabda: “Perempuan yang meminta talak
(cerai) kepada suaminya tidak karena alasan yang wajib, maka haram
baginya bau surga.”
Dalam penelusuran penulis, hadis ini dikutip dari Ibnu Majah kitab Talak
dalam bab dimakruhkannya perempuan mengajukan gugat cerai. Hadis ini oleh
(khulu’) bagi perempuan. Posisi hadis ini merupakan penguat dari argumentasi
kemakruhan khulu’ yang tanpa alasan kesalahan dari suami maupun istri.
Hadis ini oleh K.H. Sholeh Darat digunakan sebagai penegas bahwa
perempuan yang menggugat cerai suaminya tanpa adanya alasan yang jelas
dihukumi makruh dan haram (tidak bisa) mencium bau surga. Artinya, dalam hal
khulu’ meskipun istri boleh mengajukan gugat cerai tanpa ada alasan wajib (takut
nusyuz dan takut maksiat) tetaplah hal tersebut merupakan akhlak yang kurang
baik, sebab tidak ada alasan lantas tiba-tiba menggugat cerai. Menurut hemat
penulis, hadis tersebut dapat dipahami sebagai peringatan agar perempuan lebih
keputusan atas masalah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Hadis
163
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 216.
91
tersebut juga bisa disinyalir sebagai bentuk peringatan agar perempuan dan laki-
haram hukumnya jika mencari-cari alasan dan cara agar bisa lepas dari ikatan
cari kesalahan suami padahal suaminya tidak berbuat nusyuz atau gadhab. Sebab
perceraian merupakan hal yang dibenci oleh Allah Swt. meskipun boleh dilakukan
pernikahan.
Selanjutnya, mengenai jumlah iwadh atau tebusan yang diberikan oleh istri
kepada suami saat menggugat cerai, K.H. Sholeh Darat menyebutkan sebagai
berikut.
فق ال بعض هم وان ۛع خل ع س ناجن لوي ه. فق ال بض هم اورا وان ۛع خل ع لوي ه س ۛعكى ۛع م اس كوي ىن
165
س ۛعكى ۛع حمر االمشال
164
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 217.
165
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 217.
92
diatur secara ketat. K.H. Sholeh Darat menyebutkan bahwa nilai tebusan atau
tebusan dalam khulu’ tidak boleh nilainya melebihi mahar; dan 2) tebusan dalam
khulu’ boleh nilainya lebih besar dari mahar. Dua pendapat ini berlainan dan
berlawanan. Namun, dapat diambil jalan tengah dari kedua pendapat ini.
kesepakatan antara suami dan istri. Pendapat ketiga imam mazhab tersebut cukup
representatif dan aplikatif, karena bisa jadi keadaaan ekonomi suami istri ketika
awal pernikahan berbeda dengan keadaan menjelang perceraian. Selain itu, jika
besaran tebusan didiskusikan terlebih dahulu, maka akan didapatkan hasil yang
saling nyaman tanpa merugikan salah satu pihak. Sehingga meskipun terjadi
perceraian, hubungan silaturahmi tetap terjaga sebab kedua belah pihak merasa
tebusan. Konsep seperti ini dinilai lebih adil dibanding menentukan skala besaran
posisi khulu’ dalam Islam. Apakah khulu’ merupakan perceraian atau fasakh
(pembatalan pernikahan). Maka dalam hal ini K.H. Sholeh Darat menulis dapat
حكومي طالق ملون فاسخ مك اورا دادي. عدامل مساله خلع حكومي افاqۛ فدا سواليا علماء ا
ۛعن دقا اميامن ا ش فعى ىف اجلدي د س تهوىن خل ع ايك و حك ومى. ۛعورا ۛعاكن ا ۛع ويال ۛع اىن طالق
166
طالق
“Podo suloyo poro ulama ingdalem masalah khulu’ hukume opo. Hukume
talak lamun fasakh, moko ora dadi ngurangaken ing wilangane talak.
Ngendiko Imamuna Syafi’i Fil Jadid, setuhune khulu’ iku hukume talak.”
“Para ulama berbeda pendapat dalam masalah khulu’ itu hukumnya apa.
Hukumnya talak jika fasakh, maka tidak mengurangi bilangan talak. Imam
Syafi’i berkata dalam Qaul Jadid, sesungguhnya khulu’ itu hukumnya
talak.”
Lebih jelasnya K.H. Sholeh Darat dalam pernyataannya tersebut
menjelaskan bahwa ketika khulu’ dihukumi sama dengan talak atau dihukumi
fasakh maka tidak akan mengurangi bilangan talak. Artinya perceraian melalui
khulu’ tetap sama takarannya dengan talak. Beliau juga memperkuat dengan
pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan khulu’ itu hukumnya sama dengan talak.
Pendapat beliau ini juga sesuai dengan asbab al-nuzul yang disebutkannya pada
awal penafsiran Q.S. al-Baqarah/2: 229, yakni Tsabit bin Qais diminta oleh Nabi
Muhammad saw. untuk menjatuhkan talak kepada istrinya yang telah mengajukan
166
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 217.
94
adalah talak ba’in. Mereka berpendapat bahwa khulu’ adalah lafal yang dimiliki
oleh suami, oleh sebab itu khulu’ disebut sebagai talak. Seandainya khulu’ itu
fasakh, sudah tentu tidak boleh dilakukan tanpa mengembalikan mahar. Akan
tetapi, khulu’ boleh dilakukan dengan tebusan harta yang banyak atau sedikit, baik
itu dari mahar atau yang lainnya. Maka, menurut mereka khulu’ itu talak bukan
fasakh.
lain berpendapat bahwa khulu’ hanyalah fasakh atau pembatalan pernikahan yang
Menurut pendapat yang mengatakan khulu’ hanyalah fasakh, suami tidak perlu
dari suami. Pendapat ini menurut Engineer juga dikuatkan oleh fakta bahwa Nabi
saw. memerintahkan istri Tsabit bin Qais menjalani ‘iddah selama satu bulan saja,
sedangkan dalam perceraian perempuan dituntut menjalani ‘iddah selama tiga kali
quru’.167 Ibnu Abbas menambahkan, seandainya khulu’ itu adalah talak maka
jelas dengan redaksi kata makna isyari, agar pembaca tafsir beliau dapat
memahami bahwa bagian ini merupakan penafsiran beliau dengan corak tafsir sufi
isyari, setelah bagian-bagian yang lain ditafsirkan sesuai makna lahiriah ayat.
Corak tafsir sufi isyari adalah meafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak sama dengan
167
Ashgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Fakhra Assegaf, 212.
95
اتن لن فس اهنqفيس ان ف دا ف ۬ك- س تهوىن و ۛعك ۛع اهاللص احبه ايك و اورا فيس ان: معن االش ري
بالي ك. كل وان س بب نرج ا ۛع سافس ان ايك و اورا كل وان س بب نرج ا ۛع كافن دو ايك و اورا
ۛعاالفاكن لن ۛعافورا كالوفوتان امال سافسان اتوا فندو ه ۛع ۬كا ويس كافي ۛع تالو مك ۛعوچف
168
"فامساك مبعروف او شريح باحسان" انا كالىن ف ۬كات ب ۬كوس أتوا صاحل ك ۛع با ۬كوس
“Ma’na al-isyari: setuhune wong kang ahlu al-shohabah iku ora pisan-
pisan podo pegatan lan pisahan kelawan sebab nerjang sepisan iku ora
kelawan sebab nerjang kepindo. Iku ora balik ngalapaken lan ngapuro
kaluputan ambal sepisan utowo pindo, hinggo yen wes kapeng telu moko
ٍ بِاِحس
ngucap "ان ٍ اك مِب َع رو
ف اَْو َش ِريْ ٌح ِ
ْ َ ْ ُ ْ ٌ "فَا ْم َس. Ono kalane pegat bagus, utowo
shoheh kang bagus.”
“Makna isyari: sesungguhnya orang yang ahlu shahabah itu tidak akan
melakukan perceraian dengan sebab melanggar sekali atau dengan sebab
melanggar kedua kali. Itu tidak pernah melakukan dan memaafkan
kesalahan yang pertama atau yang kedua, sehingga jika sudah yang ketiga
maka mengucap, “tahanlah dia dengan baik dan lepaskan dia dengan baik
pula”. Ada kalanya bercerai itu bagus, atau mempertahankan yang lebih
bagus.”
Makna isyari yang diungkapkan oleh K.H. Sholeh Darat menunjukkan
penafsirannya yang bercorak sufi. Dalam makna isyari tersebut, K.H. Sholeh
pihak suami atau pun pihak istri itu sudah sampai tiga kali dan bercerai dirasa jauh
168
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 217.
96
lebih baik daripada bertahan, maka bercerai adalah keputusan yang bagus. Dalam
menjadi pemabuk atau berzina dengan perempuan lain, istri yang tidak bisa
menuaikan hak sebagai istri padahal sudah dinasihati, dan keadaan-keadaan buruk
suami atau istri masih bisa untuk diubah, maka mempertahankan jauh lebih baik.
K.H. Sholeh Darat juga mengutip sebuah perkataan, tahanlah dia dengan
baik atau lepaskanlah dia dengan baik. Artinya, jika seorang suami atau istri
baik bukan malah membiarkan dan justru tidak memenuhi kewajiban sebagai
suami atau istri. Namun, ketika salah satu dari suami atau istri sudah tidak
sanggup karena yang berbuat kesalahan tidak mau memperbaiki dirinya, maka
secara netral, tidak memihak pada laki-laki juga tidak memihak pada perempuan.
Dalam menyebut posisi khulu’ dalam Islam, beliau berpendapat bahwa khulu’
dahulu sesudah istri memberikan ‘iwadh. Di satu sisi beliau juga menyebutkan
kebolehan istri menggugat cerai suami tanpa ada alasan apa pun, namun
perempuan yang menggugat cerai suami tanpa ada alasan tersebut tidak baik
kesalahan.
97
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
dari kitab Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat mengenai isu-isu
dengan pendapat feminis muslim dan sebagian lainnya lebih tradisional. Sebagian
namun ada sebagian penafsiran lainnya yang masih bias gender. Bias gender yang
98
dihasilkan dari penafsiran K.H. Sholeh Darat kemungkinan besar terjadi karena
Melalui dua isu perempuan yang dijadikan sampel penelitian oleh penulis,
yakni isu kesaksian perempuan dan isu hak menggugat cerai bagi perempuan
menjadi saksi dalam berbagai ranah. Hal ini menunjukkan bahwa K.H. Sholeh
kesaksian yang boleh disentuh. Alasan aturan persaksian bahwa perempuan harus
dua orang untuk menggantikan satu orang laki-laki adalah karena perempuan
memiliki kurang akal dan kurang agama. Pendapat ini jelas dibantah oleh
inferior. Namun, dua orang perempuan untuk menggantikan satu laki-laki bukan
berarti keduanya menjadi saksi, akan tetapi K.H. Sholeh Darat menyebut satu
Sholeh Darat tatkala ia menyebut khulu’ sama dengan talak. Juga ketika ia
menyebut dalam asbab al-nuzul bahwa meskipun istri Tsabit berhak mengajukan
gugatan cerai kepada Tsabit, namun Tsabit tetap harus menjatuhkan talak kepada
istrinya.
Hadis mengenai haram bau surga bagi perempuan yang menggugat cerai
kepada suaminya yang dimuat dalam penafsiran tentang khulu’ bukanlah sebuah
hal yang bias gender. Sebab, dalam penafsirannya K.H. Sholeh Darat meletakkan
99
hadis ini sesudah kemakruhan bagi perempuan yang menggugat cerai tanpa ada
boleh menggugat cerai tanpa ada alasan nusyuz, ghadab, dan maksiat, tetapi
bukanlah akhlak yang bagus. Sehingga posisi hadis tersebut untuk pencegahan
mengutip pendapat fuqaha’, yakni tidak boleh dan boleh jumlahnya melebihi
mahar. Ia tidak menyebut sebagaimana mufasir yang lebih moderat, yakni besaran
khulu’ masih bisa didiskusikan antara pihak suami dan pihak istri agar tidak
B. Saran-saran
Isu-isu perempuan yang difokuskan dalam penelitian ini hanya dua isu
(kesaksian dan hak menggugat cerai), tentu isu-isu yang lainnya masih perlu
untuk diteliti oleh peneliti lainnya. Karya tafsir yang dijadikan sumber utama
dalam penelitian ini pun Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat,
sehingga memberikan peluang agar lebih banyak lagi dan diperluas karya-karya
tafsir yang diteliti pada bagian yang konsen terhadap isu-isu perempuan, baik itu
Adanya penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para
peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji tentang isu-isu perempuan atau Tafsir
100
Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat. Penelitian ini juga diharapkan
dan masyarakat umum secara luas. Dengan pembacaan ulang terhadap penafsiran