Anda di halaman 1dari 100

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama dan isu-isu perempuan menjadi dua hal yang masih terus

diperdebatkan oleh banyak kalangan, termasuk agamawan. Salah satu yang

menjadi bukti adalah bahwa pada tataran realitas sosial, arus utama tentang relasi

gender masih mengerucutkan posisi perempuan bahkan cenderung diskriminatif

terhadap perempuan.1 Hal yang menjadi masalah, masih begitu melekat dalam

persepsi masyarakat bahwa perempuan tidak sebanding dengan laki-laki,

perempuan kurang akal, bahkan disebut juga perempuan setengah manusia.2

Permasalahan utama yang terjadi akibat hal itu adalah anggapan

ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian disebut

ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender terjadi ketika seseorang diperlakukan

berbeda dengan alasan gender. Sebenarnya, ketidakadilan gender bisa terjadi pada

laki-laki dan perempuan. Namun, pada kebanyakan kasus ketidakadilan gender

terjadi pada perempuan. Oleh sebab itu, setiap ada pembahasan gender atau

ketidakadilan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan.3

Jika ditarik pembahasan ke masa sebelum Islam datang, budaya patriarki

yang berkembang di dunia telah memarginalkan perempuan, meminggirkan

1
Husein Muhammad, Perempuan, Islam, dan Negara (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022),
165.
2
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufassir Perempuan tentang Isu-Isu Perempuan”, Jurnal
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015.
3
Dede William-de Vries, Gender Bukan Tabu Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok
Perempuan di Jambi (Bogor: Center for International Forestry Reseach, 2006), 12.

1
2

perannya, bahkan menghapusnya dari catatan sejarah. Perempuan cenderung

sedikit bahkan tidak memiliki tempat dalam sejarah dan lebih banyak menjadi

penghias heroisme laki-laki yang selalu disimbolkan sebagai pejuang tangguh.4

Ada beberapa anggapan dasar yang tidak tepat mengenai eksistensi

seorang perempuan yang mana pandangan ini telah tersosialisasi sejak zaman

Yunani dan Romawi. Salah satunya adalah anggapan primitif yang memandang

bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah baik secara fisik maupun

psikisnya. Jika dilihat dari segi fisik, perempuan memang terlihat lebih kecil

dibanding laki-laki yang sebagian besar bertubuh besar dengan tulang dan otot

yang besar pula sehingga menjadikan laki-laki lebih kuat. Secara psikis pun

begitu, perempuan dinilai lebih mudah menangis, lebih mudah terbawa perasaan,

dan lain sebagainya yang dianggap sebagai kelemahan psikis perempuan. Hal

inilah yang membuat adanya anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah

daripada laki-laki.

Pada masa pra-Islam, perempuan memiliki citra yang buruk di masyarakat

terkhusus masyarakat Arab Jahiliyyah. Perempuan kala itu dipandang sebagai

makhluk tidak berharga, bagian dari laki-laki (subordinatif), tidak memiliki

independensi diri, hak-haknya ditindas dan dirampas, tubuhnya diperjualbelikan

dan diwariskan, keberadaannya sering dianggap memunculkan masalah, posisinya

marginal, serta pandangan-pandangan buruk lainnya. Pandangan buruk tersebut

tergambar dari perlakuan orang-orang pra-Islam terhadap perempuan, diantaranya

adalah mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup sejak baru lahir,

4
Reni Nuryanti dan Bachtiar Akob, Perempuan dalam Historiografi Indonesia
(Eksistensi dan Dominasi) (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 18.
3

mengawinkan anak perempuan secara paksa, serta perilaku-perilaku buruk

lainnya.5 Allah SWT. berfirman dalam Q.S. an-Nahl/16: 58-59 sebagai berikut:

‫َواِذَا بُشَِّر اَ َح ُد ُه ْم بُشَِّر اَ َح ُد ُه ْم بِااْل ُْنثٰى ظَ َّل َو ْج ُهه ُم ْس َو ًّدا َّو ُه َو َك ِظي ۚ ٌم َيَت ٰو ٰرى ِم َن الْ َق ْوِم ِم ْن ُس ْٓو ِء‬

ِ ۗ ‫َما بُشًِّر بِ ۗ ِه اَمُيْ ِس ُكهُ َع ٰلى ُه ْو ٍن اَْم يَ ُد ُّسهُ ىِف التَُّرا‬


‫ب اَاَل َسٓاءَ َما حَيْ ُك ُم ْو َن‬

“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)


anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat
marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
(menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka
tetapkan itu” (Q.S. an-Nahl/ 16: 58-59)

Dalam hal ini, perempuan menjadi pihak yang sering tidak mendapatkan

keadilan karena kedudukannya dianggap inferior di mata dunia. Sedangkan laki-

laki memiliki tingkat kedudukan lebih tinggi dibanding perempuan berdasarkan

asumsi masyarakat. Padahal, Islam hadir sebagai agama yang sangat adil, tidak

menyetujui adanya realitas kehidupan yang mendiskriminasi satu sama lain,

misalnya atas dasar kesukuan, ras, kebangsaan, kebudayaan, jenis kelamin, serta

hal-hal lain.6 Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Hujurat/49: 13:

‫ٓائل لَِت َع َار ُف ْو ۚا اِ َّن اَ ْكَر َم ُك ْم ِعْن َد ال ٰلّ ِه‬ ٍ ِ ِ ‫اَيُّها الن‬
َ َ‫َّاس انَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم م ْن ذَ َكر َّواُْنثٰى َو َج َع ْلٰن ُك ْم ُشعُ ْوبًا َّو َقب‬
ُ َ

‫اَْت ٰق ُك ۗ ْم اِ َّن ال ٰلّهَ َعلِْي ٌم َخبِْيٌر‬

5
Masduki Duryat, Pendidikan (Islam) dan Logika Interpretasi (Yogyakarta: K-Media,
2017), 59.
6
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), 4.
4

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”.
(QS. al-Hujurat/49: 13)

Pada masa Nabi Muhammad saw., perempuan dapat melakukan

aktivitasnya secara leluasa, dan tidak dibedakan dengan aktivitas laki-laki.

Bahkan, masa Nabi Muhammad saw. dikatakan sebagai masa yang ideal bagi

kaum perempuan. Karena pada masa itu, menurut Ruth Roded para perempuan

mukmin tidak hanya sebatas istri-istri Nabi saw. saja yang berinteraksi

dengannya, tetapi sejumlah seribu dua ratus perempuan dari beribu-ribu sahabat

berinteraksi langsung dengan Nabi dalam urusan agama, dan lain-lain.7

Beberapa feminis muslim mengungkapkan bahwa perilaku diskriminasi

terhadap perempuan yang berakibat pada ketidakadilan gender tersebut berawal

dari pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ayat Al-Qur’an.8 Ali bin Abi

Thalib Ra. Pernah berkata: “Al-Qur’an adalah teks-teks suci yang tidak bisa

bicara sendiri. Yang bicara adalah orang.” Maksudnya adalah teks-teks Al-Qur’an

hanya dapat dimengerti dan dipahami maknanya oleh orang yang hidup dalam

ruang dan waktunya masing-masing.9

Menurut Leila Ahmad yang dikutip oleh Norhidayat, perspektif kaum sufi

tentang perempuan membuat gerakan-gerakan yang dilakukan kaum sufi menjadi

menarik. Di sisi lain, dalam memahami kitab suci, kaum sufi lebih menekankan
7
M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2005), 44.
8
Norhidayat, Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir Sufi (Banjarmasin: Antasari
Press, 2018), 2.
9
Husein Muhammad, Perempuan, Islam, dan Negara,169.
5

makna bathiniah (esoteris) dan spiritual Al-Qur’an, serta lebih memperhatikan

etika dan visi di balik ketentuan ilahi. Pendekatan mereka ini berbeda dengan

pendekatan kaum ortodoksi yang cenderung tekstualis dan lebih menekankan

aspek formalitas hukum.10 Dalam hal ini, penelitian tentang penafsiran ayat-ayat

yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dalam perspektif sufi menjadi penting

untuk dilakukan. Penelitian tentang perempuan dalam perspektif sufi pernah

dilakukan oleh Norhidayat yang mengkaji isu-isu perempuan yang difokuskan

pada penafsiran Imam al-Qushayri (376-465H/ 986-1073 M).11 Dalam penelitian

ini, kajian difokuskan pada penelitian seorang mufassir nusantara yang

penafsirannya bercorak sufi, yakni K.H. Sholeh Darat al-Samarani dengan

karyanya yakni Tafsir Faidh al-Rahman.

Menurut Saifuddin dan Wardani dalam bukunya Tafsir Nusantara,

menegaskan bahwa salah satu pentingnya mengkaji karya-karya tafsir di

Indonesia dengan fokus studi pada isu-isu relasi gender adalah selama ini survei

yang dilakukan terhadap perkembangan tafsir di Indonesia masih kurang,

sebagaimana dikemukakan Anthony H. Johns. Kajian dengan fokus studi pada

isu-isu relasi gender diperlukan dalam konteks menjelaskan dinamika dan

pergulatan pemikiran tentang gender di Indonesia, serta sejauh mana dinamika

mufasir Indonesia merespon isu-isu global tentang HAM dan kesetaraan

tersebut.12

10
Norhidayat, Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir Sufi, 5-6.
11
Norhidayat, Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir Sufi,7.
12
Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara Analisis Isu-Isu Gender dalam Al-Mishbah
Karya M. Quraish Shihab dan Turjuman Al-Mustafid Karya ‘Abd Al-Ra’uf Singkel (Yogyakarta:
LkiS Printing Cemerlang, 2020), 7.
6

Salah satu penafsiran K.H. Sholeh Darat yang dianggap menempatkan

posisi perempuan dan laki-laki setara menurut Al-Qur’an terlihat pada

penafsirannya terhadap QS. al-Baqarah/2: 187, sebagai berikut.

“Wes den halalaken maring siro kabeh mukmin wengine sasi Poso
Romadhon opo jimak mareng bojo niro kabeh. Kerono setuhune wadon
iku penganggo kaduwe siro kabeh lanang. Lan utawi siro lanang iku dadi
penganggo kaduwe wadon. Artine saben-saben suwiji hajat mareng
benehe, wadon hajat mareng lanang, lanang iyo hajat mareng wadon koyo
hajate mareng penganggo. Wes weroh Allah SWT. ing setuhune siro kabeh
iku ono ingkang podo hajat ing awak hiro dewe sebab podo jimak ing
wengine shiyam Romadhon ba’da Isya’.”13

Dalam menafsirkan ayat tersebut, K.H. Sholeh Darat berpendapat bahwa

relasi seksual antara suami-istri (laki-laki dan perempuan) adalah milik kedua

belah pihak, bukan dominasi kekuasaan laki-laki. Menurutnya juga, selama ini

yang terjadi di masyarakat justru perempuan hanya sebuah objek dan hasrat

seksual.14 Dari sini terlihat bahwa K.H. Sholeh Darat dalam menafsirkan ayat-ayat

yang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan cenderung

mendukung adanya persamaan hak antara kedua belah pihak.

Dengan beberapa alasan di atas, ditambah dengan penafsiran K.H. Sholeh

Darat yang terkesan ramah terhadap hak-hak perempuan serta adanya

kecenderungan menyetarakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan inilah

penulis ingin melakukan penelitian tentang isu-isu perempuan dalam Tafsir Faidh

al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat.

13
Muhammad Sholeh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman (Semarang: KOPISODA,
2017), 103.
14
Nailal Muna, “Wacana Gender Dalam Kitab Hidayah ar-Rahman Karya Kiai Haji
Sholeh Darat Dengan Perspektif Julia Kristeva”, Jurnal Prosiding Annual Symposium Of
Pesantren Studies, Desember 2020, 58.
7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ditentukan oleh penulis, maka didapat

rumusan masalah, yakni bagaimana penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap isu-isu

perempuan dalam Tafsir Faidh al-Rahman dengan mengangkat dua isu, yakni:

1. Isu kesaksian perempuan

2. Isu hak menggugat cerai bagi perempuan

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis menyelesaikan penelitian

ini dengan tujuan untuk mengetahui penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap isu-

isu perempuan dalam Tafsir Faidh al-Rahman, yakni isu kesaksian perempuan

dan hak menggugat cerai bagi perempuan.

2. Signifikansi Penelitian

Penulis membagi signifikansi penelitian (manfaat dari tercapainya tujuan

penelitian) ini ke dalam dua sisi, yaitu sisi akademis dan sisi sosial sebagai

berikut.

a. Sisi Akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangsih terhadap khazanah keilmuan khususnya di bidang kajian tafsir Al-


8

Qur’an dan menambah wawasan intelektual bagi kalangan akademisi dalam kajian

isu-isu perempuan di dalam Al-Qur’an.

b. Sisi Sosial

Pada sisi sosial, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

pengetahuan serta pemahaman terhadap masyarakat secara umum terlebih

masyarakat Islam secara khusus mengenai isu-isu perempuan dalam penafsiran

Ulama Tafsir Nusantara, yaitu K.H Sholeh Darat. Agar masyarakat tidak

memahami sebuah ayat Al-Qur’an khususnya terkait isu-isu perempuan secara

tekstual, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Penelitian ini juga diharapkan dapat

menghilangkan stigma buruk masyarakat terhadap perempuan serta membantu

menyuarakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.

D. Definisi Operasional

1. Isu-Isu Perempuan

Isu-Isu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi diartikan sebagai satu

masalah yang diangkat untuk dibicarakan.15 Menurut Charles O Jones, isu

dimaknai sebagai kontroversi atau silang pendapat antara orang-orang atau

kelompok. Kontroversi tersebut biasanya disebabkan oleh perbedaan persepsi atau

interest.16

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa perempuan

adalah jenis kelamin yaitu orang atau manusia yang mempunyai rahim,

15
Ernawati Waridah, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Kawah Media, 2017), 115.
16
Uudlyono, “Isu: Sebuah Technical Term dalam KHazanah Ilmu Kebijakan”, Jurnal
Manajemen Pendidikan, No. 01, April 2006.
9

mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.17 Dalam bahasa

Sanskerta, perempuan berasal dari kata empu yang berarti kemandirian, ahli atau

berprestasi dalam bidang tertentu, mendekatkan pada sosok ibu. Menurut Murniati

menjelaskan bahwa kata perempuan berasal dari kata empu dalam bahasa Melayu

yang berarti induk yang bermakna memberi yang hidup.18

Isu-isu perempuan yang dimaksud penulis di dalam penelitian ini adalah

isu-isu perempuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang dibatasi pada dua isu,

yaitu isu kesaksian dan hak menggugat cerai bagi perempuan.

2. Tafsir Faidh al-Rahman

Tafsir Faidh al-Rahman adalah sebuah kitab tafsir nusantara yang ditulis

dengan menggunakan tulisan huruf Pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan

aksara Arab) karya dari K.H. Sholeh Darat.19

E. Penelitian Terdahulu

Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu penulis melakukan

pengamatan terhadap hasil penelitian-penelitian terdahulu. Di antara penelitian-

penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian yang sama dengan

penelitian ini, yaitu tentang “Isu-isu Perempuan Dalam Tafsir Faidh al-Rahman

17
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), 856.
18
Reni Nuryanti dan Bachtiar Akob, Perempuan dalam Historiografi Indonesia
(Eksistensi dan Dominasi), 3.
19
Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Bahasa Jawa Abad 19-20 (Surakarta: Efude Press,
2015), 49.
10

Karya K.H. Sholeh Darat”. Namun, ada beberapa penelitian yang memiliki kajian

yang sama dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1. Buku yang ditulis oleh Saifuddin dan Wardani dengan judul Tafsir

Nusantara. Buku ini membicarakan perihal isu-isu gender dalam Tafsir

al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dan Turjuman al-Mustafid karya

‘Abd Al-Ra’uf Singkel, dengan fokus penelitian pada beberapa isu

gender, yakni isu penciptaan (kejadian) perempuan, poligami,

kewarisan, dan kepemimpinan perempuan.20 Sedangkan penelitian

yang diteliti oleh penulis disini terfokus pada tiga isu perempuan,

yakni isu kesaksian dan hak menggugat cerai bagi perempuan.

2. Buku yang ditulis oleh Jamhari dengan judul Citra Perempuan Dalam

Islam Pandangan Ormas Keagamaan. Buku ini memperbincangkan

tentang citra perempuan dalam pandangan ormas-ormas Islam (yang

terdiri dari Muhammadiyah dengan organisasi perempuannya yang

disebut dengan Aisyiyah, Nahdhatul Ulama’ dengan Muslimat dan

Fatayat-nya, Peristri, Muslimat Nahdhatul Wathan dan Muslimat Al-

Washliyah) terhadap isu gender yang terfokus pada kepemimpinan

perempuan dalam berbagai aspek yang ditinjau dari pendekatan sosio-

historis.21 Sedangkan penulis pada penelitian ini akan meneliti tentang

Isu-Isu Perempuan dalam Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh

20
Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara Analisis Isu-Isu Gender dalam Al-Mishbah
Karya M. Quraish Shihab dan Turjuman Al-Mustafid Karya ‘Abd Al-Ra’uf Singkel.
21
Arief Subhan, Dkk, Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan
(Jakarta: PT. Sun, 2003).
11

Darat yang terfokus pada isu kesaksian dan hak menggugat cerai bagi

perempuan.

3. Disertasi yang telah diterbitkan dalam bentuk buku yang ditulis oleh

Norhidayat dengan judul Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir

Sufi. Buku ini mengungkap penafsiran al-Qushayri dalam Tafsir

Lata’if al-Isharat terhadap isu-isu perempuan yang sering

memunculkan perbedaan pendapat di kalangan mufassir. Dalam buku

tersebut dijelaskan bahwa al-Qushayri tatkala menafsirkan ayat-ayat

yang bertema isu-isu perempuan berorientasi esoteris dan eksoteris.

Isu-isu perempuan yang dikaji dalam buku tersebut dibatasi pada

pernikahan poligami, kekerasan terhadap istri, hak waris perempuan,

kepemimpinan perempuan dan kesaksian perempuan.22 Dalam hal ini

persamaan antara penelitian yang penulis teliti ini dengan buku

tersebut terletak pada kajian isu keperempuanannya, namun tetap

berbeda ragam isu yang akan dikaji. Dari segi subjek yang akan diteliti

pun berbeda, yaitu buku tersebut mengkaji dalam Tafsir Lata’if al-

Isharat karya al-Qushayri, sedangkan penulis mengkaji dalam Tafsir

Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat.

4. Skripsi Sari Ramadhana dengan judul Penafsiran Gender Amina

Wadud Dalam Pandangan Akademisi Banjar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an

dan Tafsir, UIN Antasari Banjarmasin. Penelitian ini meneliti tentang

pandangan akademisi Banjar terhadap penafsiran isu-isu gender yang

ditafsirkan oleh Amina Wadud yang berfokus pada isu kepemimpinan


22
Norhidayat, Citra Perempuan Dalam Perspektif Tafsir Sufi.
12

perempuan, poligami, dan kebolehan memukul.23 Dalam hal ini,

perbedaan antara penelitian Sari Ramadhana dengan yang penulis teliti

ini terletak pada isu perempuan di dalam Al-Qur’an yang akan diteliti,

yaitu pada penelitian ini berfokus pada isu kesaksian dan hak

menggugat cerai bagi perempuan serta objeknya yaitu dalam Tafsir

Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat.

5. Penelitian Nurrochman dalam Jurnal Wahana Akademika dengan judul

Al-Qur’an dan Isu Kesetaraan Gender: Membongkar Tafsir Bias

Gender, Menuju Tafsir Ramah Perempuan. Dalam jurnal ini,

Nurrochman membedah isu-isu gender di dalam Al-Qur’an yang

terfokus pada isu poligami, kekerasan terhadap perempuan, perceraian,

saksi, waris, dan pemakain cadar dengan memakai analisa para feminis

muslim, seperti Amina Wadud, Ali Asghar Engineer, Fazlur Rahman,

dan lain-lain.24 Sedangkan dalam penelitian yang penulis teliti ini akan

mengkaji tentang isu-isu perempuan yang terfokus pada isu kesaksian

dan hak menggugat cerai bagi perempuan dalam penafsiran K.H.

Sholeh Darat di dalam Tafsir Faidh al-Rahman.

6. Penelitian Ah. Fawaid dalam Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri (STAIN) Pamekasan dengan judul Pemikiran Mufassir

Perempuan Tentang Isu-Isu Perempuan. Penelitian ini menelaah isu-isu

perempuan di dalam Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh para mufasir

23
Sari Ramadhana, “Penafsiran Gender Amina Wadud dalam Pandangan Akademisi
Banjar”, Skripsi (Banjarmasin, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, 2019).
24
Nurrochman, “Al-Qur’an dan Isu Kesetaraan Gender: Membongkar Tafsir Bias
Gender, Menuju Tafsir Ramah Perempuan”, Jurnal Wahana Akademika, Vol. 1 No. 2, Oktober
2014.
13

perempuan yang terfokus pada beberapa isu, yaitu kepemimpinan,

perkawinan dan poligami, dan persaksian perempuan.25 Perbedaan

jurnal ini dengan yang penulis teliti ini adalah isu-isu perempuan

dalam penelitian ini akan terfokus pada isu kesaksian, menstruasi, dan

hak menggugat cerai bagi perempuan dalam Al-Qur’an yang dianalisis

dari penafsiran K.H. Sholeh Darat dalam Tafsir Faidh al-Rahman.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach), yaitu

penelitian yang melibatkan literatur sebagai fokus penelitiannya atau serangkaian

kegiatan yang berhubungan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca,

mencatat, serta mengolah bahan penelitian.26 Sedangkan metode dalam penelitian

ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu lebih menekankan pada aspek

pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah.27

2. Data dan Sumber Data

a. Data

Data adalah sebuah informasi yang akan dianalisis dan memiliki relevansi

dengan masalah tertentu.28 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayat-

ayat yang bertemakan tentang isu perempuan yang penulis batasi pada isu-isu

sebagai berikut.
25
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufassir Perempuan tentang Isu-Isu Perempuan”, Jurnal
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015.
26
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), 3.
27
Sandu Siyoto dan M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Literasi
Media Publishing, 2015), 28.
28
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta: Teras, 2009), 53.
14

1) Kesaksian perempuan dalam QS. al-Baqarah/2: 282.

2) Hak menggugat cerai bagi perempuan terdapat dalam QS. al-

Baqarah/2: 229.

b. Sumber Data

1) Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang menjadi sumber utama dalam penelitian. 29

Adapun data primer dalam penelitian ini adalah Tafsir Faidh al-Rahman karya

K.H. Sholeh Darat.

2) Sumber Data Sekunder

Data sekunder ialah sumber data kedua yang digunakan sebagai penunjang

dalam penelitian.30 Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya

K.H. Sholeh Darat yang lainnya, literatur-literatur yang memuat tentang biografi

K.H. Sholeh Darat dan profil Tafsir Faidh al-Rahman baik itu berupa buku

maupun jurnal. Buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, majalah, artikel di internet

maupun media lainnya yang berisi tentang teori-teori yang akan diteliti juga

digunakan sebagai penunjang penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penghimpunan data penulis menggunakan teknik dokumentasi,

yakni data dihimpun dari dokumen-dokumen, baik berupa buku, jurnal, majalah,

artikel, ataupun karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan isu-isu

29
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik (Jakarta: Bineka Cipta,
2011), 87.
30
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian (Banjarmasin: Antasari Press, 2011), 64.
15

perempuan. Data yang dihimpun ini lalu dianalisis untuk keperluan pembahasan,

sehingga menjadi sebuah kerangka acuan dalam penelitian ini.

4. Langkah-Langkah Penelitian

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

a) Menentukan naskah buku atau kitab yang akan dikaji, dalam hal ini

naskah yang akan dikaji adalah Tafsir Faidh al-Rahman karya

K.H. Sholeh Darat

b) Menghimpun ayat-ayat yang menjelaskan tentang isu-isu

perempuan yang akan dikaji, yaitu kesaksian perempuan dalam

QS. al-Baqarah/2: 282; dan hak menggugat cerai bagi perempuan

terdapat dalam QS. al-Baqarah/2: 229.

c) Membaca penafsiran terhadap ayat-ayat yang akan dikaji di dalam

Tafsir Faidh al-Rahman.

d) Mendeskripsikan penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap ayat-ayat

yang menjelaskan tentang tema yang akan dikaji, yaitu tentang isu-

isu perempuan.

e) Menyusun secara sistematis penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap

ayat-ayat yang menjelaskan tentang tema yang akan dikaji, yaitu

tentang isu-isu perempuan.

f) Menganalisis penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap ayat-ayat

yang menjelaskan tentang tema yang dikaji, yakni isu-isu

perempuan.
16

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif

kualitatif yang proses tahapannya meliputi reduksi data, yaitu merangkum dan

memfokuskan pada hal-hal yang penting serta dicari tema dan pola yang perlu

saja. Kemudian penyajian data yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan,

dilanjutkan dengan kesimpulan atau verifikasi, dari situlah penulis dapat

mengambil kesimpulan yang menjadi jawaban atas rumusan masalah yang telah

dipertanyakan.31

G. Sistematika Penulisan

Penulis akan menyusun penelitian ini dengan sistematika penulisan dan

pembahasan sebagai berikut.

Bab I, yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, definisi operasional, tinjauan pada

penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, yaitu landasan teori yang membahas tentang teori-teori yang akan

digunakan dalam penelitian. Dalam landasan teori ini penulis akan mencantumkan

teori-teori yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dalam Al-Qur’an.

31
Sandu Siyoto dan M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, 122-124.
17

Bab III, berisi tentang biografi tokoh dan profil Tafsir Faidh al-Rahman

karya K.H. Sholeh Darat. Pada bagian biografi K.H. Sholeh Darat akan dimuat

beberapa sub-bab yaitu, riwayat hidup, perjalanan intelektual K.H. Sholeh Darat,

karya-karyanya, serta murid-muridnya yang terkenal. Kemudian pada bagian

profil Tafsir Faidh al-Rahman akan dimuat beberapa sub-bab, yaitu arti nama

kitab, aksara yang digunakan, latar belakang penulisan kitab, corak penafsiran,

metode penafsiran, karakteristik penafsiran, serta sistematika penulisan tafsir.

Bab IV merupakan hasil penelitian atau pembahasan yang berisi tentang

penafsiran K.H. Sholeh Darat terhadap isu-isu perempuan dalam Al-Qur’an, yaitu

isu kesaksian dan hak menggugat cerai bagi perempuan.

Bab V, yaitu penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban dari pokok

permasalahan yang dirumuskan serta saran-saran untuk hasil penelitian. Pada

halaman terakhir juga dimuat daftar pustaka sebagai catatan sumber dari bahan

acuan dalam penelitian ini.


BAB II

DISKURSUS ISU PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN

A. Makna Perempuan dalam Berbagai Sudut Pandang

Sebelum menyingkap apa makna isu perempuan dalam penelitian ini, pada

bagian ini terlebih dahulu akan dipaparkan pengertian perempuan dari berbagai

sudut pandang. Memahami definisi perempuan tentunya tidak bisa lepas dari dua

persoalan, yakni fisik dan psikis. Sudut pandang fisik berkaitan dengan struktur

biologis dan perkembangan unsur-unsur kimia tubuh. Sedangkan psikis

didasarkan pada persifatan, maskulinitas, atau feminitas. Perempuan dalam

konteks fisik merupakan salah satu jenis kelamin yang mempunyai alat reproduksi

berupa rahim, sel telur dan payudara sehingga perempuan bisa hamil, melahirkan,

dan menyusui. Sedangkan dalam konteks pisikis, perempuan didefinisikan sebagai

sifat yang melekat pada seseorang untuk menjadi feminin.32

Penulis memilih kata perempuan di samping adanya kata wanita yang

memiliki makna senada disebabkan karena kata perempuan dinilai memiliki

konotasi yang lebih positif dibanding kata wanita. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), kata perempuan mempunyai makna orang (manusia) yang

32
Anita Marwing dan Yunus, Perempuan Islam Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta:
Bintang Pustaka Madani, 2020), 1.

18
19

dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui; perempuan; istri; bini; dan

betina (khusus untuk binatang).33 Jika dikaji dari aspek asal katanya, kata

perempuan berasal dari kata “empu” yang artinya orang yang mahir atau

berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Dalam bahasa Melayu “Empu” sering

dimaknai dengan yang suka memberikan hidup.34 Sedangkan kata wanita

dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “wan” yang berarti nafsu, sehingga

kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau objek seks. 35 Pemaknaan pada kata

wanita yang seperti ini jelas sangat memosisikan wanita pada peran yang pasif

bahkan tidak berdaya, seolah perannya hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki dan

kedudukannya subordinat.36 Sedangkan pemaknaan kata perempuan dalam hal ini

menunjukkan bahwa kata perempuan merupakan predikat yang mendudukkan

posisi manusia berjenis kelamin perempuan sangat terhormat dan menjadi simbol

tegaknya manusia.37

Susi Yuliawati dalam Jurnal penelitiannya yang berjudul Perempuan atau

Wanita mengungkapkan dari IndonesianWac ditemukan ada 14 kategori semantis

pada kata wanita, namun hanya dipaparkan 9 kategori yakni dapat diketahui

bahwa kata wanita dikaitkan dengan tubuh, penilaian penampilan, orang-orang,

hubungan seksual, keluarga, dan usia. Maknanya, dalam hal ini lebih cenderung

33
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), 856.
34
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi dan Hak Asasi Perempuan) (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), 29.
35
St. Maryam, Dinamika Sosial Ekonomi Partisipasi Kerja Perempuan Menikah (Studi
Etnis Sasak) (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2021), 2.
36
Mahmud, Heri Gunawan, dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam dalam
Keluarga, (Jakarta: Akademia Permata, 2013), 165.
37
Jasmani, Pendidikan Islam Egaliter (Membangun Pendidikan Feminim Atas
Superioritas Maskulinitas),(Yogyakarta: Absolute Media, 2011), 3-4.
20

dimaknai sebagai makhluk yang digunakan sebagai pemenuh kebutuhan seksual

atau reproduksi dan hasrat, relasinya dengan kaum laki-laki dan keluarganya, serta

eksistensinya hanya berkutat pada keluarga dan laki-laki, tidak ada eksistensi di

luar itu.38

Sedangkan preferensi semantis kata perempuan yang diungkapkan korpus

ind_mixed_2013 adalah sebuah istilah umum yang abstrak terkhusus berkaitan

dengan kesetaraan, tubuh yang tidak hanya berkaitan dengan fungsi reproduksi

tetap juga cara berbusana, politik, orang-orang, hubungan seksual, kerabat,

kekuasaan yang berkaitan dengan hak perempuan, dan usia. Artinya, dalam hal ini

kata perempuan digunakan dalam urusan perbincangan mengenai isu kesetaraan

dan diskriminasi, tubuh yang menjalankan fungsinya sebagai pemenuh kebutuhan

reproduksi dan berkaitan dengan busana yang berupa jilbab sebagai penutup,

kegiatan politis, hubungannya dengan orang khususnya laki-laki, perihal seks,

keluarga, hak-hak, dan usia.39

Jika dibandingkan, preferensi semantis pada kata wanita dan perempuan

memiliki makna yang sama, meskipun ditemukan juga sedikit perbedaan dalam

makna yang sama tersebut. Persamaan makna kedua kata tersebut berkaitan

dengan 1) tubuh; 2) orang; laki-laki; 3) keluarga; dan 4) usia. Perbincangan

tentang perempuan, entah itu menggunakan kata wanita ataupun perempuan kerap

kali dihubungkan dengan tubuhnya, lawan gendernya (laki-laki), keluarga, serta

usia. Pada kata perempuan arah pembahasan mengenai tubuh umumnya berkaitan

38
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, Jurnal Kajian Budaya, Vol. 8, No. 1, 66.
39
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, 62.
21

dengan fungsi reproduksinya, seperti hamil, reproduksi, dan melahirkan. Namun,

pada kata wanita arah pembahasan yang berkaitan dengan tubuh cenderung

memiliki banyak makna. Tidak hanya dihubungkan dengan fungsi reproduksi,

tubuh juga dihubungkan dengan kesehatan dan pakaian (khususnya busana

muslim). Jika dijabarkan pembahasan yang terkait dengan tubuh pun lebih

banyak, misalnya mengenai reproduksi berkaitan dengan hamil, manupause,

menstruasi, rahim, orgasme, melahirkan, hormon, dan estrogen; mengenai

kesehatan berkaitan dengan kanker, payudara, dan rambut; dan pakaian berkaitan

dengan berjilbab, jilbab, aurat, busana pakaian, berpakaian, dan mengenakan.

Tambahan yang menjadi pembeda antara kata perempuan dan wanita adalah kata

perempuan kerap diasosiasikan dengan pembahasan tentang isu kesetaraan, hak

dan kegiatan organisasinya, sedangkan kata wanita erat diasosiasikan dengan

pembahasan tentang hubungan seksual.40

Jadi, jika ditinjau dari segi preferensi semantis, kata perempuan

melambangkan perempuan yang tidak hanya terkutat di ranah domestik, tetapi

lebih luas dari itu, yakni ranah publik. Sedangkan kata wanita lebih sering

digunakan untuk melambangkan perempuan dalam ranah domestik. Sehingga, ada

pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan kata perempuan memiliki konotasi

yang mulia dan bermartabat. Menurut Susi Yuliawati, pada pola pengunaan kata

wanita, konotasi mulia tersebut merujuk pada peran wanita di ranah domestik.41

40
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, 67-68.
41
Susi Yuliawati, “Perempuan atau Wanita”, 69.
22

Sejalan dengan hal itu, kalangan feminis lebih cenderung menggunakan

kata perempuan dalam pembahasan atau perbincangan mengenainya. Sedangkan

menurut Fatima Mernissi, kata wanita merupakan bentuk sebuah kata yang halus

dan lembut penggunaannya dalam bahasa Indonesia, sedangkan kata perempuan

merupakan bentuk kata yang halus dalam bahasa Melayu.42

Di dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa istilah untuk menyebut

perempuan, diantaranya an-Nisa’, al-Untsa, dan al-Mar’atu/al-Imro’atu.

a. Al-Nisa’

Kata al-Nisa’ menurut etimologi bahasa diambil dari kata nasia yang

maknanya ada dua, melupakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu. Menurut

Zaitunah Subhan kata al-Nisa’ yang memiliki arti perempuan, sepadan dengan al-

Rijal yang artinya laki-laki. Kata al-Nisa’ dalam berbagai bentuknya terdapat

dalam 55 ayat dan terulang sebanyak 59 kali dalam Al-Qur’an yang memiliki

kecenderungan pengertian dan maksud yang berbeda, yakni kata al-Nisa’ dalam

arti gender dan kata al-Nisa’ dalam arti istri-istri.43

b. Al-Untsa

Kata al-Untsa berasal dari kata unatsa yang artinya lembut, lunak dan

halus. Al-Untsa yang bermakna perempuan, lawan katanya al-Dzakar yang

artinya laki-laki, keduanya digunakan untuk jenis binatang, tumbuh-tumbuhan,

dan manusia di dalam Al-Qur’an. Kata al-Untsa di dalam Al-Qur’an terulang


42
Fatima Mernissi, Wanita dan Islam, Terj. Yazinar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994),
5.
43
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran (Jakarta: Prenamedia Group, 2015) 17-18.
23

sebanyak 30 kali dalam berbagai bentuk yang semuanya dimaknai jenis kelamin

perempuan.44

c. Al-Mar’atu atau al-Imro’atu

Kata mar’ah atau imra’ah diartikan sebagai perempuan. Kata imra’atu

terulang sebanyak 26 kali, 4 kali diartikan seorang perempuan dan 22 kali

diartikan istri. Kata al-mar’atu berpasangan dengan kata al-mar’u yang artinya

laki-laki atau seseorang (laki-laki dan perempuan).45

B. Skema Arus Perdebatan Isu-Isu Perempuan dalam Penafsiran

1. Isu-Isu Perempuan yang Diperdebatkan dalam Tafsir Al-Qur’an

Isu perempuan adalah beberapa aspek perbincangan seputar perempuan

yang dalam doktrin agama dinilai kurang memihak perempuan.46 Perihal

penempatkan posisi perempuan, Islam memosisikan perempuan sama dengan laki-

laki dalam tiga aspek. Pertama, dalam hakikat kemanusiaannya. Bukan hanya

untuk laki-laki, Islam pun memberikan sejumlah hak kepada perempuan sebagai

peningkat kualitas kemanusiaan. Hak tersebut meliputi: hak waris (Q.S. an-

Nisa’/4: 11); hak kesaksian (Q.S. al-Baqarah/2: 282; hak aqiqah (Q.S.

at-Taubah/9: 21); hak khulu’ (Q.S. al-Baqarah/2: 228). Kedua, dalam Islam

seluruh manusia baik perempuan maupun laki-laki memperoleh pahala dan

ganjaran yang sama atas amal Sholeh dan pelanggaran yang dibuatnya. Ketiga,

44
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, 20.
45
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, 26
46
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufassir Perempuan tentang Isu-Isu Perempuan”, 14.
24

Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antarumat

manusia.47

Menurut Norhidayat dalam bukunya Citra Perempuan dalam Tafsir Sufi,

setidaknya ada tiga pokok pembahasan yang mejadi pembahasan utama dalam

perdebatan mengenai isu perempuan dalam kajian tafsir Al-Qur’an yang

diklasifikasikannya sebagai berikut. Pertama, mengenai konsep awal penciptaan

perempuan, yang menjadi perdebatan dalam isu penciptaan perempuan adalah

penafsiran tentang perempuan tercipta dari bagian tubuh laki-laki atau dari jenis

yang sama dengan laki-laki. Kedua, status dan kedudukan perempuan dalam ranah

domestik (kehidupan keluarga). Dalam hal ini beberapa isu yang berkaitan dengan

status dan kedudukan perempuan di ranah domestik menyangkut perihal poligami,

hak waris, hak talak, hak menggugat perceraian, dan soal kekerasan terhadap

perempuan. Ketiga, perdebatan mengenai status dan kedudukan perempuan dalam

ranah publik (kehidupan masyarakat yang lebih luas) juga menjadi pokok

pembahasan di kalangan kaum feminis muslim. Isu-isu yang diperdebatkan

diantaranya isu tentang kepemimpinan perempuan, pengunaan jilbab,

domestifikasi perempuan, keterlibatan perempuan dalam bidang politik, serta

kesaksian perempuan.48 Selain itu, perdebatan mengenai hak reproduksi

perempuan juga kerap ditemukan di sejumlah penafsiran. Isu-isu yang

diperdebatkan diantaranya menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.49

47
Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam) (Jakarta:
Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), 74.
48
Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Tafsir Sufi Kajian Kitab Lata’if al-
Isharat al-Qushayri, 23-25.
49
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, 230.
25

2. Arus Pemikiran Mufassir dalam Perdebatan tentang Isu-Isu Perempuan

Menurut Ghufran, penafsiran adalah pemahaman. Oleh sebab itu,

penafsiran bukanlah sesuatu yang sakral, melainkan sesuatu yang biasa dan dapat

dilakukan oleh siapa saja. Pemahaman terhadap Al-Qur’an merupakan sebuah

keharusan, sebab Al-Qur’an adalah salah satu sumber doktrin utama –sumber

doktrin utama berikutnya adalah hadis– yang menjadi pegangan hidup umat

manusia. Menurutnya, jika Al-Qur’an diturunkan sering disebut karena menjawab

persoalan, dan persoalan tersebut adalah sesuatu yang tersangkut paut dengan

manusia yang tidak sakral, maka bagaimana mungkin para mufasir atau orang-

orang yang hendak memberi jawaban terhadap persoalan dengan menggunakan

justifikasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi, kemudian dianggap sakral. Maka,

penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Hadis Nabi merupakan sesuatu yang

dikerjakan oleh manusia, yang memiliki dua kemungkinan yakni bisa tepat atau

bisa keliru, ada pula yang dibungkus untuk kepentingan tertentu.50

Dalam hal mengenai isu-isu perempuan yang menuai perdebatan di

kalangan mufassir, dapat ditemukan setidaknya tiga arus pemikiran. Pertama,

kelompok konservatif yang cenderung menyepakati dan mempertahankan

penafsiran dari para ulama klasik. Kedua, kelompok kontemporer, yakni

kelompok ulama tafsir yang selain berusaha menjawab berbagai kritikan terhadap

penafsiran yang sudah ada selama ini, juga mencoba menawarkan penafsiran yang

dinilai sesuai untuk konteks masa kini. Ketiga, kalangan feminis muslim, yakni

mereka yang disamping banyak mengajukan kritikan terhadap penafsiran ulama


50
M. Ghufran H. Kordi K., Perempuan di Tengah Masyarakat dan Budaya Patriarki
(Yogyakarta: Spektrum Nusantara, 2018), 144.
26

klasik, juga mencoba menawarkan alternatif penafsiran yang menurut mereka

lebih adil terhadap perempuan dalam konteks masa kini.51

Sebagaimana yang telah diklasifikasikan di atas, isu yang sampai saat ini

masih hangat diperdebatkan di kalangan mufasir adalah isu penciptaan

perempuan. Jika melihat perspektif kelompok-kelompok arus pemikiran tafsir,

titik perbedaan pendapat terletak pada makna kata nafs wahidah, minha, dan

zaujaha yang terdapat dalam Q.S an-Nisa’/4: 1, Q.S. al-A’raf/7:189, dan Q.S. az-

Zumar/39: 6. Kelompok konservatif menyepakati penafsiran sebagian besar para

mufassir klasik dalam menafsirkan Q.S an-Nisa’/4: 1, yakni dengan hanya

menafsirkan sebatas tekstual saja lalu merujuk pada hadis Bukhari serta ditambah

redaksi ayat dari para sahabat. Mereka menafsirkan nafs wahidah dengan arti

Adam, minha dimaknai dari diri Adam, dan zaujaha dimaknai istri Adam.

Artinya, dalam hal ini sebagian besar ulama mutaqaddimin (klasik) menafsirkan

bahwa perempuan diciptakan dari diri laki-laki, mereka menyebut rujukannya

pada hadis Bukhari perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.52

Permasalahan yang kerap kali diperdebatkan juga tentang status dan

kedudukan perempuan dalam ranah domestik yang memuat beberapa isu seperti

poligami, hak waris, hak menggugat cerai, dan perihal kekerasan terhadap

perempuan. Dalam isu poligami, sebagian besar ulama klasik memandangnya

sebagai sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam dengan syarat dan ketentuan

51
Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Tafsir Sufi Kajian Kitab Lata’if al-
Isharat al-Qushayri, 26.
52
Dwi Siti Maesaroh,”Penciptaan Perempuan Pertama dalam Al-Qur’an (Studi
Komparatif Penafsiran Wahbah az-Zuhaili dan Buya Hamka”, Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin,
Vul. 2, No. 2, April 2022, 301.
27

yang berlaku. Sedangkan menurut kelompok feminis, prinsip pernikahan dalam

Islam adalah monogami, yaitu pernikahan dengan satu istri.

Dalam hak waris, kelompok koservatif cenderung berpendapat bahwa

menjadi sebuah kewajaran dalam hak waris perempuan mendapat separuh bagian

dari laki-laki, karena dilihat dari perbedaan beban yang dipikul oleh laki-laki lebih

berat dibanding perempuan.53 Namun, para ulama kontemporer sebagian besar

menyatakan pendapat yang lebih realistis dengan menyetarakan posisi laki-laki

dan perempuan 1:1, dengan tidak melihat sebuah dalil dari tekstualnya saja namun

juga harus ditinjau dari setting sosialnya. 54 Selaras dengan hal itu, kalangan

feminis menggugat keras ketentuan perempuan mendapat setengah bagian hak

waris dibanding laki-laki, dan mereka menganggap ketentuan tersebut masih

dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini.55

Adapun terkait dengan persoalan hak menggugat cerai (khulu’) sebagian

ulama konservatif mengatakan bahwa tidak boleh perempuan menggugat cerai

kecuali terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak istri.56 Sedangkan menurut

ulama kontemporer, istri diperbolehkan menggugat cerai dengan atau tanpa alasan

dengan syarat membayar ‘iwadh. Dalam perspektif gender, ‘iwadh bisa dikatakan

berkeadilan gender jika seorang suami memberikan nafkah untuk keluarga dan

istri mengurus rumah tangga, namun bisa dikatakan bias gender jika suami hanya

53
Maringo, “Pembagian Warisan Antara Laki-Laki dan Perempuan”, Skripsi (Jakarta
Fakultas Ushuluddin, 2017), 28.
54
Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, Kontekstual Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: Paramadina, 1995), 23.
55
Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Tafsir Sufi Kajian Kitab Lata’if al-
Isharat al-Qushayri, 32.
56
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: P.T.
RajaGrafindo Persada, 2002), 251.
28

duduk di rumah mengurus rumah tangga sedangkan istri memberikan nafkah

untuk keluarga. Sebab pembayaran iwadh ini dilakukan oleh istri untuk

menggugat cerai suami.57

Dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan, kelompok feminis

menentang keras adanya konsep nusyuz dengan cara kekerasan karena hal tersebut

sudah masuk dalam kategori diskriminasi terhadap perempuan. Sedangkan ulama

konservatif menyepakati bahwa boleh seorang suami memukul istrinya jika

istrinya berbuat nusyuz.58

Permasalahan pokok berikutnya adalah mengenai status dan kedudukan

perempuan dalam ranah publik. Isu-isu yang diperdebatkan antara lain mengenai

isu kepemimpinan perempuan dan kesaksian perempuan. Dalam isu

kepemimpinan perempuan, kelompok konservatif menentang keras perempuan

sebagai pemimpin dengan landasan dalil Q.S. an-Nisa’/4: 34. Bahkan, sebagian

ulama konservatif menjelaskan bahwa salah satu syarat menjadi seorang

pemimpin adalah laki-laki. Sedangkan bagi kalangan feminis, kepemimpinan bisa

dipegang oleh siapapun yang memiliki kemampuan dan kelebihan, tanpa ada

perbedaan jenis kelamin.59

Kesaksian perempuan yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an adalah

perempuan boleh menjadi saksi dengan perhitungan satu orang saksi laki-laki

57
Ahmad Rezy Meidina, “Meninjau Hukum Iwadl KHuluk Perspektif Keadilan Gender”,
Skripsi (Purwokerto: Fakultas Syariah, 2021), 86.
58
Muhammad Fanji Putra, “Konsep Nusyuz (Interpretasi Fikih Klasik, Pertengahan, dan
Modern)”, Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2022), 38.
59
Farida, “Kepemimpinan Wanita dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir al-Misbah
dan Tafsir Ibnu Katsir)”, Tesis (Lampung: Program Pascasarjana, 2018), 123.
29

sama dengan saksi dua orang perempuan. Sebagian besar ulama klasik

menafsirkan perihal kesaksian perempuan secara tekstualis, bahkan ada beberapa

perbedaan pendapat tentang diterima atau tidaknya kesaksian perempuan.

Menurut sebagian dari mereka kesaksian perempuan hanya dapat diterima pada

urusan hutang piutang dan pengakuan keturunan. 60 Sedangkan menurut kelompok

feminis, ditetapkannya saksi dua orang perempuan untuk menggantikan satu

orang laki-laki adalah yang satu berfungsi untuk mengingatkan jika yang memberi

kesaksian ragu, serta bertindak sebagai teman kerjasama. Jadi, menurut kalangan

feminis, meskipun dua orang perempuan tetapi masing-masing beda fungsinya.61

Selain permasalahan tentang isu penciptaan perempuan, status dan

kedudukan perempuan dalam ranah domestik dan kiprah perempuan dalam ranah

publik, permasalahan tentang reproduksi perempuan juga kerap kali memunculkan

perbedaan pendapat, terlebih perihal menstruasi. Adanya teks ayat Al-Qur’an

yang menyebut bahwa menstruasi atau haid itu adalah sesuatu yang kotor yang

seringkali dimaknai secara tekstual oleh sebagian mufasir. Laki-laki (dalam hal ini

suami) diperintahkan untuk menjauhi perempuan (istri) jika perempuan sedang

dalam keadaan haid. Menurut Nasaruddin Umar, teori patriarki diawali dengan

adanya anggapan bahwa menstruasi itu adalah sebuah hal yang kotor dan pemali

(tabu) dan menjadi penyebab langgengnya sistem patriarki dalam sejarah umat

manusia.62 Menurut sebagian besar ulama kontemporer dan kalangan feminis,

60
Zamzami, “Kesaksian Perempuan dalam Al-Qur’an (Suatu Tinjauan Pendapat
Mufassir)”, Skripsi (Riau: Fakultas Ushuluddin, 2011), 58.
61
Zamzami, “Kesaksian Perempuan dalam Al-Qur’an (Suatu Tinjauan Pendapat
Mufassir)”, 68-69.
62
Sinta Nuriah A. Rahman, Islam dan Konstruksi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2022), 22.
30

perempuan dalam keadaan menstruasi seharusnya dipahami untuk tidak

bersetubuh, alasannya adalah karena haid itu halangan bukan kotoran.63

Perbedaan pendapat dalam arus pemikiran di atas kemudian akan kembali

dibahas dan dipaparkan dengan mengambil sebagian isu-isu pada bagian inti

dalam penelitian ini.

C. Bias Gender dalam Penafsiran

Adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan sangat

diakui di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi perbedaan disini bukanlah sebuah bentuk

pembedaan (discrimination) yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan

pihak yang lainnya, melainkan perbedaan yang diisyaratkan Al-Qur’an dalam

ayat-ayatnya adalah untuk menjaga keharmonisan kasih dan sayang (mawaddah

wa rahmah) di antara laki-laki dan perempuan di lingkungan keluarga dan saling

menghargai di lingkungan bermasyarakat. Hal ini dapat terwujud ketika kedua

makhluk laki-laki dan perempuan dapat menciptakan pola keseimbangan dan

keserasian.64

Menurut Zaitunah Subhan dalam karyanya yang berjudul Tafsir

Kebencian, ada dua perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat

mutlak dan relatif. Pertama, perbedaan kodrati atau perbedaan yang sudah

ditetapkan menjadi sunatullah bagi manusia yang memiliki takaran masing-

masing antara laki-laki dan perempuan. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan

63
Subhamis, “Pendekatan Feminis Terhadap Penafsiran Al-Qur’an dan Bibel”, Jurnal At-
Ta’lim, Vol. 1 No. 3, November 2012, 233.
64
Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), 73.
31

berbeda jenis kelaminnya dan kemampuan yang berkaitan dengan jenis kelamin

tersebut. Perempuan memiliki rahim, ovarium (indung telur), dan payudara

dengan kemampuan dari bagian-bagian tersebut yakni memiliki kemampuan

untuk menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan laki-laki memiliki

penis yang dilengkapi dengan zakar dan sperma untuk pembuahan. Kedua,

perbedaan yang dihasilkan oleh interpretasi sosial atau konstruksi sosial.

Perbedaan ini bersifat relatif, perannya bisa dipertukarkan atau bahkan berubah.

Anggapan-anggapan tentang sifat dan ciri perempuan sering muncul dimasyarakat

yang kemudian menjadi sebuah simbolik yang menempel pada diri perempuan.

Misalnya, perempuan dianggap lebih emosional dan laki-laki lebih rasional,

perempuan akalnya sempit dan laki-laki akalnya sempurna, perempuan dipimpin

dan laki-laki pemimpin, dan seterusnya. Perbedaan yang kedua inilah yang

kemudian disebut dengan gender.65

Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip-prinsip

kesetaraan gender dalam Al-Qur’an, antara lain: (1) laki-laki dan perempuan

sama-sama sebagai hamba Allah (Q.S. az-Zariyat/51: 56); (2) laki-laki dan

perempuan sama-sama sebagai Khalifah di bumi (Q.S. al-An’am/6: 165); (3) laki-

laki dan perempuan menerima perjanjian primordial (Q.S. al-A’raf/7: 172); (4)

Adam dan Hawa sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis (Q.S.

al-Baqarah/2: 35); (5) laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih

prestasi (Q.S. Ali Imran/3: 195).66

65
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an (Yogyakarta:
LKiS, 1999), 22.
66
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, Vol 13 No. 2, Desember 2013, 379-386.
32

Menurut Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan, bias

gender bukan saja mengakibatkan perempuan seolah diremehkan karena jika

mempersamakan perempuan dengan laki-laki secara penuh akan menjadikan

perempuan menyimpang dari kodratnya, dan ini adalah pelecehan. Sebaliknya,

tidak memberikan hak-hak perempuan sebagai manusia yang memiliki kodrat dan

kehormatan yang tidak kalah dengan laki-laki juga merupakan pelecehan.67

Wujud bias gender dalam penafsiran Al-Qur’an dapat menghasilkan

berbagai bentuk, diantaranya kekerasan terhadap perempuan, marginalisasi

(pemiskinan terhadap perempuan), subordinasi (menomorduakan posisi

perempuan), negative stereotype (pelabelan negatif), dan double burden (beban

ganda) yang harus ditanggung oleh perempuan.68

Secara umum, faktor yang menyebabkan adanya bias gender antara lain,

yaitu tradisi, penafsiran ulama, dan kepentingan politik. Dalam hal penafsiran,

para ulama yang hidup di abad pertengahan cenderung bias laki-laki karena

mereka hidup di era patriarkal. Penafsiran yang menyebabkan adanya bias gender

sebagian besar adalah konsep penafsiran yang lebih literal daripada kontekstual.69

Menurut Nasaruddin Umar, beberapa faktor yang melatarbelakangi

terjadinya bias gender dalam penafsiran Al-Qur’an, yaitu: 1) pembakuan tanda

huruf, tanda baca, dan qira’at; 2) pengertian kosa kata atau mufradat; 3) penetapan

rujukan kata ganti (dhamir); 4) penetapan batas pengecualian (istitsna’); 5)

67
M. Quraish Shihab, Perempuan (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2018), 34-35.
68
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 10.
69
Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Alvabet dan
Yayasan INSEP, 2006), 138.
33

penetapan arti huruf (‘athaf); 6) bias dalam struktur bahasa Arab; 7) bias dalam

kamus bahasa Arab; 8) bias dalam metode tafsir; 9) metode tahlili yang deduktif

lebih sering digunakan daripada metode maudhui yang induktif; 10) pengaruh

riwayat israiliyyat; 11) bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fikih.70

70
Nasitotul Janah, “Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an
Karya Nasaruddin Umar”, Jurnal Sawwa, Vol. 12, No. 2, April 2017, 179-180.
BAB III

K.H. SHOLEH DARAT DAN TAFSIR FAIDH AL-RAHMAN

A. K.H. Sholeh Darat

1. Biografi Singkat K.H. Sholeh Darat

Nama lengkap K.H. Sholeh Darat adalah Muhammad Shalih ibn Umar al-

Samarani.71 Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, ia kerap menggunakan nama

Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani.72 Ada beberapa alasan

mengapa ia dipanggil dengan panggilan K.H. Sholeh Darat, pertama sesuai

dengan akhir surat yang ia kirim pada penghulu Tafsir Anom, penghulu kraton

Surakarta, yaitu al-Haqir Muhammad Shalih Darat dan ia juga menulis nama

Muhammad Shalih bin Umar Darat Semarang ketika menyebut nama-nama

gurunya dalam Kitab Mursyid al-Wajiz. Kedua, sebutan Darat di belakang

namanya karena ia tinggal di sebuah daerah yang bernama Darat (sebuah kawasan

di pesisir utara Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar

Jawa).73 Ketiga, nama Darat disematkan pada nama panggilannya karena ia

mengabadikan Pesantren Darat, tepatnya di daerah Darat, Semarang.74

71
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do’a
(Yogyakarta: KUTUB, 2006), 8.
72
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), 73.
73
Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa: Dalam Pemikiran Kalam Muhammad
Shalih al-Samarani (Semarang: Walisongo Press, 2008), 35.
74
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, Jurnal el-Umdah Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2018, 52.

34
35

K.H. Sholeh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong,

Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada tahun 1235 H/1820 M, 75 bertepatan dengan

detik-detik ketegangan antara Belanda dan Pangeran Diponegoro.76 Ayahnya

bernama K.H. Umar ibn Tasmin yang merupakan seorang ulama yang disegani di

kawasan pantai utara Jawa. K.H. Umar juga termasuk seorang pahlawan pejuang

kemerdekaan Indonesia, ia memiliki peran yang penting di masyarakat dalam

menggerakkan warganya untuk memerangi tentara kolonial Belanda. K.H. Umar

beserta kolega, kawan, dan santri-santrinya masuk dalam barisan medan

pertempuran Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun

1825-1830.77

Dilihat dari silsilah keturunannya, K.H. Sholeh Darat masih keturunan

Sunan Kudus, yaitu dari ibunya, Nyai Umar binti K.H. Singapadon (Pangeran

Khatib) ibn Pangeran Qodin ibn Pangeran Palembang ibn Syaikh Ja’far Shodiq

(Sunan Kudus). Pendapat ini diceritakan oleh Agus Tiyanto yang mendapat

keterangan dari Habib Lutfi Pekalongan. 78 Data tersebut dapat dikuatkan dengan

hubungan K.H. Sholeh Darat dengan Raden K.H. Muhammad Sholeh Kudus yang

masih keturunan dari Sunan Kudus atau Syaikh Ja’far Shodiq.79

75
Mastuki HS, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), 137.
76
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara (Yogyakarta: Global Press, 2020), 39.
77
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-
Eahman Karya KH Sholeh Darat al-Samarani”, Living Islam: Journal of Islam Discourses, Vol. 1,
No. 1, Juni 2018, 94.
78
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara 37.
79
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-
Eahman Karya KH Sholeh Darat al-Samarani”, 94-95.
36

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa K.H. Sholeh Darat

merupakan keturunan dari Pangeran Sambu atau Sayyid Abdurrahman Basyaiban.

Pendapat yang lain juga mengatakan bahwa K.H. Sholeh Darat merupakan

keturunan dari Syaikh Ahmad Mutamakkin al-Hajini. Serta ada lagi sebuah

pendapat yang menyatakan bahwa ia masih keturunan Sunan Bonang ibn Sunan

Ampel. Namun, pendapat-pendapat tersebut menuai ketidakjelasan dari mana

jalur nasab mereka bertemu.80

Semasa kecilnya, K.H. Sholeh Darat harus menyaksikan peliknya perang

tepat di usianya yang ke-5 tahun, sebab ayahnya adalah seorang prajurit Pangeran

Diponegoro. Pada masa itu, ulama dan segala sesuatu yang berkaitan dengan

Islam yang tidak dapat dikerjasamakan dengan Belanda, maka akan dihambat

lajunya atau dibumihanguskan. Hingga usia K.H. Sholeh Darat beranjak 10 tahun

tepatnya pada tahun 1830 H, perang Jawa sudah mulai redam. Sejak masa itulah

K.H. Umar sudah tidak disibukkan dengan peperangan dan dapat menggembleng

ajaran Islam kepada K.H. Sholeh Darat secara intensif. Meskipun sebelum itu

ayahnya sudah mengenalkannya sendi-sendi akidah dan syari’at Islam, namun

tidak maksimal sebab kondisi perang yang berkecamuk.81

Selain belajar agama kepada ayahnya sendiri, K.H. Sholeh Darat juga

menimba ilmu agama kepada beberapa ulama di Nusantara. Diantara beberapa

gurunya, yakni K.H. Muhammad Syahid, ulama besar di Maturoyo, Pati, Jawa

80
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara, 38.
81
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara,39.
37

Tengah.82 Kepadanya K.H. Sholeh Darat belajar kitab-kitab Fiqih seperti Fath al-

Wahhab, Syarh al-Khatib, Fath al-Qarib, Minhaj al-Qawim dan beberapa kitab

lainnya. Selanjutnya ia pergi ke Kudus dan mengaji kepada K.H. Muhammad

Shalih ibn Asnawi, seorang ulama sufi yang mengajarkannya beberapa kitab,

salah satunya kitab tafsir Jalalayn karya Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin al-

Sayuthi. Sedangkan di Semarang, K.H. Sholeh Darat belajar berbagai kitab

kepada beberapa ulama, diantaranya ia belajar ilmu Nahwu dan Sharaf kepada

K.H. Ishaq Damaran, belajar ilmu Falak kepada K.H. Abu Abdillah Muhammad

Hadi Banguni (Mufti Semarang), belajar kitab Jauhar al-Tauhid dan Minhaj al-

Abidin kepada K.H. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan kitab Masail al-Sittin kepada

K.H. Abdul Ghani Bima.83

Selain dibawa menuntut ilmu kepada beberapa guru di Nusantara agar

mendapat pengetahuan, K.H. Umar juga menginginkan K.H. Sholeh Darat belajar

melalui pengalaman. Oleh sebab itu, ayahnya mengajak K.H. Sholeh Darat ke

Makkah dan singgah beberapa saat di Singapura. Sewaktu di Makkah, ia belajar

kepada beberapa ulama masyhur, diantaranya

a. Syaikh Muhammad al-Muqri al-Misri al-Makki, kepadanya ia belajar

ilmu ‘aqa’id dengan kitab Umm al-Bahrain karya Muhammad as-

Sanusi;

82
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 53.
83
Bagus Irawan, dkk, “Biografi Kiai Sholeh Darat”, dalam Syarah Al-Hikam karya Kiai
Sholeh Darat (Depok: Penerbit Safiha, 2016), 27.
38

b. Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasb Allah pengajar di Masjid al-

Haram dan Masjid an-Nabawi, kepadanya ia belajar Syarh al-Khatib,

Fath al-Wahhab, dan Alfiyah ibn Malik beserta Syarh-nya;

c. Sayyid Muhammad ibn Zaini Dahlan seorang Mufti Syaf’iyyah di

Makkah, kepadanya ia belajar kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam

al-Ghazali dan mendapat ijazah dari pembelajaran tersebut;

d. Al-‘Alamah Ahmad an-Nahrawi al-Misri al-Makki, kepadanya ia

belajar kitab al-Hikam karya Ahmad ibn ‘Ata’illah;

e. Sayyid Muhammad Salih az-Zawawi pengajar di Masjid al-Haram,

kepadanya ia belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din Juz I dan II, dan lain-

lain.84

Beberapa ulama yang hidup sezaman dengan K.H. Sholeh Darat antara

lain, yakni K.H. Nawawi al-Bantani (1813-1897 M), K.H. Ahmad Khalil

Bangkalan Madura (1819-1875 M), K.H. Ahmad Katib Minangkabau (1855-

1916), K.H. R. Asnawi Kudus (1861-1925 M), K.H. Mahfudz al-Tirmisi (1868-

1919 M), K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923 M), K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947

M), K.H. Ahmad Rifa’i Kalisasak (1786-1875 M), dan K.H. Ahmad Khatib

Sambas (w. 1875 M).85

Setelah beberapa tahun menetap di Makkah untuk belajar dan mengajar,

K.H. Sholeh Darat memutuskan untuk kembali ke Semarang untuk berkhidmat di

84
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 53.
85
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap
Pemikiran R.A. Kartini tentang Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan
Humaniora, 2019), 38-42.
39

tanah kelahirannya dalam menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Setibanya di

Semarang, K.H. Sholeh Darat dinikahkan dengan seorang perempuan bernama

Sofiyah, puteri K.H. Murtada yang merupakan teman seperjuangan ayah K.H.

Sholeh Darat sebagai prajurit Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Sejak

saat itulah K.H. Sholeh Darat menetap dan melanjutkan menuntut ilmu kepada

beberapa ulama serta mendirikan pondok pesantren di Semarang, sebagaimana

tradisi ulama Jawa dan Patani pada masa itu, bahwa sepulang dari Makkah harus

mendirikan pusat belajar mengajar yang berupa pondok pesantren. Pondok

pesantren tersebut semula tidak memiliki nama, namun seiring berjalannya waktu

terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darat.86

Dari banyaknya murid yang menuntut ilmu kepada K.H. Sholeh Darat, ada

beberapa murid yang kemudian menjadi kiai karismatik dan terkenal di Nusantara.

Diantara muridnya ialah K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdhatul Ulama), K.H.

Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Mahfudz (pendiri Pondok

Pesantren Tremas, Pacitan), K.H. Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren,

Solo), K.H. Sya’ban (ulama ahli falak), K.H. Dalhar (pendiri Pondok Pesantren

Watucongol, Magelang), K.H. Munawwir (pendiri Pondok Pesantren al-

Munawwir, Krapyak, Yogyakarta), Penghulu Tafsir Anom (Keraton Surakarta),

dan R.A. Kartini.87

Semasa hidupnya, selain aktif dalam mengajarkan ilmu agama melalui

pengajian-pengajian di Pondok Pesantren Darat hingga penjuru Nusantara, K.H.


86
M. Masrur, “Kyai Sholeh Darat, Tafsir Faidh al-Rahman dan R.A. Kartini”, Jurnal At-
Taqaddum, Vol. 4, No. 1, Juli 2012, 33.
87
Novi Laila Athiyah, “Penafsiran Sufistik tentang Haji dalam Tafsir Faidh al-Rahman”,
Skripsi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin, 2021), 29.
40

Sholeh Darat juga produktif menulis beberapa kitab dalam berbagai disiplin ilmu,

diantaranya ilmu tasawuf, fikih, tauhid, dan tafsir.

a. Dalam bidang tasawuf ia menulis beberapa kitab, yakni Syarh al-Hikam,

Munjiyat, dan Minhajul Atqiya’.

b. Dalam bidang fikih ia menulis kitab Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah

Li al-‘Awam, Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah, dan Fasalatan.

c. Dalam bidang tauhid ia menulis sebuah kitab, yakni kitab Tarjamah

Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid.

d. Dalam bidang tafsir kitab yang ia tulis adalah Faidh al-Rahman.88

K.H. Sholeh Darat terkenal sebagai ulama pemikir di bidang ilmu kalam.

Ia merupakan penganut dan pendukung paham teologi Asy’ariyah dan

Maturidiyah. Hal ini ia kemukakan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala

Jauhar at-Tauhid, yakni penafsirannya terhadap hadis Nabi Muhammad SAW.

tentang terpecahnya umat Islam ke dalam 73 golongan setelah Nabi meninggal

dan hanya satu golongan yang selamat. Menurutnya, yang dimaksud Nabi

Muhammad Saw. golongan yang selamat adalah mereka yang beramal

sebagaimana Nabi, dan golongan yang melaksanakan pokok-pokok kepercayaan

Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.89

K.H. Sholeh Darat meninggal dunia pada usianya ke-83 tahun, di

Semarang pada hari Jum’at Legi tanggal 28 Ramadan 1321 H/18 Desember 1930

88
Novi Laila Athiyah, “Penafsiran Sufistik tentang Haji dalam Tafsir Faidh al-Rahman”,
30.
89
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai, 75.
41

M.90 Ia dimakamkan di pemakaman umum Bergota, dan jalan menuju

pemakamannya kini diberi nama Jl. K.H. Sholeh.91

B. Tafsir Faidh al-Rahman

Di Indonesia sebenarnya sudah ada penulisan tafsir Al-Qur’an sejak abad

ke-16 M. Terbukti dengan ditemukannya naskah Tafsir Surat al-Kahfi/18: 9 yang

tidak diketahui siapa penulisnya.92 Naskah tersebut dibawa oleh Erpinus (w. 1624)

dari Aceh menuju Belanda dan sekarang menjadi koleksi di Cambridge University

Library dengan nomor panggil katalog MS Ii.645.93

Kemudian pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ulama Indonesia

mulai banyak yang menghasilkan karya tulis besar, salah satunya adalah K.H.

Sholeh Darat yang menulis Tafsir Faidh al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam

Malik al-Dayyan.94 Pada bagian ini, penulis akan memaparkan sekelumit hal yang

berkaitan dengan Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat.

1. Profil dan Latar Belakang Penulisan Tafsir Faidh al-Rahman

90
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do’a,
66.
91
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
92
Istianah, “Melawan Hegemoni Kekuasaan dengan Nuansa Sufistik: Telaah Tafsir Faidh
al-Rahman Karya Kiai Sholeh Darat”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 13, No. 02, 2019,
77-78.
93
Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”, Jurnal Tsaqofah,
Vol. 6, No. 1, April 2010, 5.
94
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 48.
42

Tafsir Faidh al-Rahman ditulis pada penghujung abad ke-18 M, dengan

judul lengkap Faidh al-Rahman fi Tarjamat Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan.

Tafsir ini ditulis oleh seorang guru para ulama Nusantara, yakni K.H. Muhammad

Sholeh ibn Umar al-Samarani atau yang masyhur dengan nama K.H. Sholeh

Darat. Tafsir Faidh al-Rahman berisi penafsiran dari surat al-Fatihah sampai surat

al-Nisa’.95

Pada akhir tahun 1800-an, pemerintah kolonial Belanda tidak melarang

umat Islam mempelajari Al-Qur’an, namun tidak untuk diterjemahkan. Hal ini

bertujuan agar masyarakat Indonesia tidak mengerti makna dan maksud yang

terkandung di dalam Al-Qur’an. Namun, K.H. Sholeh Darat tidak kehabisan akal.

Ia menulis tafsir menggunakan tulisan Arab-Jawa (Pegon) agar tidak diketahui

oleh Belanda.96

Sejarah penulisan Tafsir Faidh al-Rahman bermula ketika K.H. Sholeh

Darat menggelar pengajian rutin di pendopo kesultanan Demak. Kebetulan saat itu

Raden Ajeng Kartini berkunjung ke rumah pamannya yang tinggal di Demak,

yakni Ario Hadiningrat, seorang bupati Demak. Kartini pun mengikuti pengajian

K.H. Sholeh Darat yang kala itu sedang membahas penafsiran surat al-Fatihah. 97

Hal tersebut membuat Kartini tertarik untuk mempelajari makna ayat-ayat Al-

Qur’an kepada K.H. Sholeh Darat, sebab sebelumnya dia pernah bertanya makna

95
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
96
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai, 76.
97
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
43

sebuah ayat Al-Qur’an kepada guru ngajinya namun tidak mendapat jawaban

justru gurunya memarahinya.98

Akibat ketertarikan Kartini dalam mempelajari tafsir Al-Qur’an, ia pun

memberikan usul kepada K.H. Sholeh Darat agar menerjemahkan Al-Qur’an

kedalam bahasa Jawa. Usulan tersebut disambut baik oleh K.H. Sholeh Darat,

hingga terhimpunlah terjemah beserta penafsirannya dalam sebuah kitab tafsir

yang ditulis dengan menggunakan huruf arab gundul tanpa harakat (pegon) dan

bahasa Jawa.99 Dari Kitab Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H.. Sholeh Darat

itulah Kartini terinspirasi untuk menulis sebuah karya yang hingga sekarang

dikenal dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. 100 Kitab Tafsir Faidh al-

Rahman salinan pertama menjadi hadiah dari K.H. Sholeh Darat dalam

pernikahan Raden Ajeng Kartini dengan RM. Joyodiningrat.101

2. Arti Nama, Aksara, dan Bahasa yang Digunakan

Arti sebuah nama begitu penting bagi penulis sebuah karya, bahkan

dikatakan sembilan puluh persen nama atau judul sebuah kitab adalah cerminan

dari isi kitab tersebut. Faidh al-Rahman fi Tarjamat Kalam Malik al-Dayyan

merupakan sebuah nama yang diberikan oleh K.H. Sholeh Darat untuk kitab tafsir

fenomenal karangannya. Dalam Mu’jam Muqayyis, secara bahasa kata Faidh al-

Rahman berasal dari dua kata, yakni Faidh dan al-Rahman. Kata Faidh berasal
98
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap
Pemikiran R.A. Kartini Tentang Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan
Humaniora, 2019), 28-30.
99
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 20.
100
Anita Marwing dan Yunus, Perempuan Islam dalam Berbagai Perspektif, 119.
101
Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa Abad 19-20 M (Surakarta:
Efedu Press, 2015), 49.
44

dari huruf fa-ya-dat ‫ض‬-‫ي‬-‫ف‬ yang artinya suatu yang benar akan memancar

dengan mudah atau limpahan. Sedangkan al-Rahman artinya sebuah rahmat. Jika

digabungkan kedua kata tersebut memiliki makna emanasi Tuhan. Secara

keseluruhan, Faidh al-Rahman fi Tarjamat Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan

bermakna Limpahan Rahmat Allah dalam Menerjemahkan Tafsir Firman-Firman

Allah Penguasa Hari Pembalasan.102

Menurut Agus Irfan, karya-karya K.H. Sholeh Darat termasuk Tafsir

Faidh al-Rahman tidak terlepas dari pengaruh kearifan lokal. Dalam kitab

Majmu’at al-Syari’ah al-Kafiyah li al-Awam, beberapa hal yang diperhatikan

untuk menilai sebuah aspek lokalitas adalah penampilan, bahasa, dan penjelasan.

Tafsir Faidh al-Rahman dari segi bahasa dan penafsiran menggunakan naskah

pegon (huruf Arab berbahasa Jawa), yakni aksara yang sangat umum digunakan

oleh masyarakat muslim tradisional pada saat itu, terutama di wilayah Jawa. 103

Alasan K.H. Sholeh Darat menulis Tafsir Faidh al-Rahman dengan menggunakan

bahasa Arab Pegon disebabkan karena kebanyakan orang pribumi masih merasa

kesulitan dalam memahami bahasa Arab dengan baik. Hal tersebut disebabkan

pemerintah Hindia Belanda tidak menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan

Islam dan Arab, sehingga persebaran agama Islam dibatasi. Penggunaan tulisan

Arab Pegon dalam Tafsir Faidh al-Rahman mempermudah orang-orang awam

102
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 5.
103
Agus Irfan, “Lokal Wisdom dalam Pemikiran Kiai Sholeh Darat: Telaah Terhadap
Kitab Fikih Majmu’at al-Syari’ah al-Kafiyah li al-awam”, Jurnal Studi dan Penelitian Hukum
Islam, Vol. 1, No. 1, Oktober 2017.
45

yang ingin mempelajari Islam serta memahami makna yang terkandung dalam Al-

Qur’an.104

Tafsir Faidh al-Rahman yang ditulis menggunakan lafaz pegon

menggunakan bahasa Jawa pesisiran atau diistilahkan sebagai Lughah al-

Jawiyyah al-Merikiyyah (bahasa Jawa setempat).105 Dalam mukadimah Tafsir

Faidh al-Rahman, K.H. Sholeh Darat menyatakan alasannya menulis tafsir

dengan bahasa Jawa yakni:

“Ing hale ningali ingsun gholibe wong ajam ora podo angen-angen ing
maknane Qur’an kerono ora ngerti maknane kerono Qur’an tumurune
kelawan bahasa Arab moko ono mengkono dadi ingsun gawe terjemahane
maknane Qur’an.”106
“Sebab aku melihat sebagian besar orang non-Arab, mereka menerka-
nerka makna Al-Qur’an karena tidak mengerti maknanya, karena Al-
Qur’an turun dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu, aku membuat sebuah
terjemah maknanya Al-Qur’an.”
3. Karakteristik

Karakteristik Tafsir Faidh al-Rahman terletak pada bahasa yang

digunakan yakni dengan bahasa al-Jawi al-Mirkiyah atau bahasa Jawa ngoko,

yakni bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat awam Jawa dalam kehidupan

sehari-hari. Alasan K.H. Sholeh Darat menggunakan bahasa Jawa ngoko karena ia

mengetahui situasi dan kondisi masyarakat Jawa yang lebih dominan dengan

104
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama
Nusantara, 198.
105
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 48.
106
Muhammad Saleh Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid I, 1.
46

kaum bangsawan, serta alasan berikutnya adalah agar mudah dipahami oleh

siapapun.107

Penggunaan bahasa Jawa ngoko yang ditulis menggunakan aksara pegon

menjadi karakteristik tersendiri bagi Tafsir Faidh al-Rahman. Selain Syeikh

Nawawi al-Bantani dan K.H. Kholil Bangkalan al-Maduri, K.H. Sholeh Darat

merupakan sosok yang telah berjasa dalam menghidupkan dan menyebarkan

aksara pegon hingga terkenal ke penjuru Nusantara. Jika dilihat dari banyaknya

karya yang ditulis, peran K.H. Sholeh Darat dalam penyebaran aksara pegon lebih

kentara dibanding kedua ulama tersebut.108

Unggah-ungguh (tingkatan-tingkatan bahasa, aturan pemilihan kata,

susunan tata bahasa) dalam bahasa Jawa terbagi atas dua, yaitu bentuk krama109

dan ngoko110. Bentuk krama terbagi dua, yaitu krama alus111 dan krama lugu112.

107
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e.Nusantara,
2009), 329.
108
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia, 329.
109
Bentuk krama adalah tingkat tutur kata yang mengungkapkan arti penuh sopan santun.
Bentuk krama menandakan adanya perasaan segan pembicara terhadap lawan bicara.
110
Bentuk ngoko adalah sebuah tingkatan tata bahasa yang mencerminkan rasa tidak
berjarak antara pembicara dan lawan bicara. Maknanya, jika seseorang ingin menyatakan
keakraban, maka bentuk ngoko inilah yang harus digunakan.
111
Krama alus merupakan bentuk tata bahasa jawa yang semua kosakatanya terdiri dari
leksikon krama. Penggunaan krama alus biasanya digunakan sebagai wujud penghormatan
terhadap lawan bicara. Contohnya, “Kala wau dalu panjenengan siyos mriksani ringgit?”, artinya,
tadi malam Anda jadi melihat wayang kulit? Afiks (bentuk terikat yang apabila ditambahkan pada
kata dasar atau bentuk dasar akan mengubah makna gramatikal) yang digunakan dalam krama alus
adalah dipun-, -ipun, -aken, di-, -e, dan –ake.
112
Krama lugu adalah bentuk susunan tata bahasa Jawa yang semua kosakatanya
berbentuk krama, begitu juga dengan awalan dan akhirannya. Contohnya, “Panjenengan nopo
empun nate tindak teng Rembang?”, artinya, Apakah Anda sudah pernah pergi ke Rembang?
Afiks yang digunakan dalam bentuk krama lugu adalah di-, e-, -ake, dipun-, ipun-, -aken, dan
mang-.
47

Begitu juga dengan bentuk ngoko terbagi menjadi dua, yaitu ngoko alus113 dan

ngoko lugu.114115

4. Metode Penafsiran

Seiring dengan perkembangan ilmu tafsir, terdapat empat macam metode

tafsir, yaitu a) metode ijmali (global), yakni menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an

secara ringkas namun mencakup keseluruhan dengan bahasa yang populer dan

mudah di mengerti; b) metode tahlili (analitis), ialah menjelaskan makna ayat-ayat

Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya sesuai

dengan kecenderungan dan keahlian mufassir yang menafsirkan ayat tersebut; c)

metode muqarin (perbandingan), merupakan penafsiran sekelompok ayat Al-

Qur’an yang membahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat

dengan ayat atau ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi; dan d)

metode tematik, yakni metode yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan

tema yang telah ditentukan.116

113
Ngoko alus adalah bentuk susunan tata bahas Jawa yang di dalamnya bukan hanya
terdiri atas leksikon ngoko, tetapi juga terdiri atas leksikon krama. Namun, krama yang muncul
dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati lawan bicara. Contohnya, “Aku
mengko arep nyuwun duit marang Bu Emi”, artinya, aku nanti mau minta uang kepada Bu Emi.
Kata ‘nyuwun’ merupakan leksikon krama. Afiks yang digunakan dalam ngoko alus adalah di-, -e,
dan –ne.
114
Ngoko lugu adalah bentuk susunan tata bahasa Jawa yang semua kosakatanya
berbentuk ngoko (leksikon ngoko) tanpa terselip leksikon krama. Contohnya, “Aku kulino turu
awan”, artinya, “aku terbiasa tidur siang”. Afiks yang digunakan di dalam ragam ini adalah di-, -e,
dan –ake. Contohnya, “Akeh wit aren kang ditegor saperlu dijupok pathine”, artinya, banyak
pohon enau yang ditebang diambil sarinya.
115
Sutriono Hariadi, Best Practice: Implementasi Media Pembelajaran Berbasis TIK
Teks Wawancara Bahasa Jawa Pada Siswa Kelas VIII, (Probolinggo: Penerbit Buku Buku, 2019),
5.
116
Hadi Yasin, “Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Tadzhib Akhlak, Vol.
3, No. 1, 2020, 41-49.
48

Berpacu pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Tafsir Faidh

al-Rahman ditulis menggunakan metode tahlili atau metode analitis. Dalam

menafsirkan Al-Qur’an, K.H. Sholeh Darat menjelaskan makna-makna yang

terkandung di dalam sebuah ayat sesuai dengan keahlian dan kecenderungannya,

yang disertai corak fikih dan sufistik. Ciri metode tahlili lainnya yang dapat

dilihat dalam penafsiran K.H. Sholeh Darat ialah disertakannya latar belakang

turunnya ayat (asbab al-nuzul), pencantuman hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.,

perkataan sahabat dan pendapat ulama-ulama ahli tafsir lainnya.

5. Sumber Penafsiran

K.H. Sholeh Darat dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan beberapa

sumber-sumber penafsiran yang biasanya dikaitkan dengan Al-Qur’an, Hadis,

akal, kitab-kitab tafsir klasik, dan beberapa pemikiran kaum sufi yang relevan

dengan aspek kandungan isi ayat yang ditafsirkan. Penggunaan Al-Qur’an sebagai

sumber penafsirannya diakuinya dalam mukadimah Tafsir Faidh al-Rahman, dan

juga terlihat model penafsirannya yang selalu mengaitkan dan mengembalikan

penafsirannya dengan Al-Qur’an serta banyak merujuk pada hadis Nabi

Muhammad Saw.117

Dalam mukadimah Tafsir Faidh al-Rahman, K.H. Sholeh Darat

menyebutkan bahwa ia tidak serta merta menggunakan ijtihadnya sendiri. Oleh

karena itu, penggunaan akal (ijtihad) dalam penafsiran-penafsirannya lebih pada

117
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 61-62.
49

bagaimana pemanfaatan akal tersebut secara baik dengan mengacu pada Al-

Qur’an dan Hadis.

“… lan ora pisan-pisan gawe terjemah ingsun kelawan ijtihade ingsun


dewe, balik nukil saking tafsire poro ulama kang mujtahidin kelawan
asale tafsir kang dzohire, …”118
Maknanya, dan tidak sekalipun saya menulis terjemah Al-Qur’an dengan

ijtihad sendiri, melainkan menyandarkan pada kitab tafsirnya para ulama yang ahli

ijtihad dengan asli kitab tafsirnya.

K.H. Sholeh Darat dalam mukadimah tafsirnya juga menyebutkan bahwa

ia juga banyak menukil pendapat-pendapat dari kitab tafsir para mufasir klasik,

seperti Tafsir Jalalain karya Imam Jalal al-Din al-Mahalli dan Imam Jalal al-Din

al-Suyuthi, Tafsir al-Kabir karya Imam al-Rozi, dan Lubab al-Ta’wil karya Imam

al-Khazin. Serta ada beberapa kitab tafsir yang menjadi rujukan di beberapa ayat

dalam penafsirannya, namun tidak disebutkan dalam mukadimah, seperti Tafsir

Madarik al-Tanzil karya al-Nasafi dan kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil

karya al-Baidhawi. Selain itu, dalam mukadimahnya, K.H. Sholeh Darat

menyebutkan bahwa ia juga menyandarkan penafsirannya dengan pendapat imam

sufi, yakni Imam al-Ghazali. Bahkan, keterpengaruhan K.H. Sholeh Darat dengan

Imam al-Ghazali lumayan besar sehingga ia menulis kitab yang berjudul Munjiyat

Metik Saking Ihya’ ‘Ulum al-Din al-Ghazali (Munjiyat Mengambil Dari Ihya’

‘Ulum al-Din Imam al-Ghazali).119

118
Muhammad Saleh Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 1.
119
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis
Tafsir Faidh al-Rahman Karya Kiyai Sholeh Darat”, 63-64.
50

“Mongko arah mangkono dadi nejo ingsun gawe terjemahe maknane


Qur’an saking kang wus den ibarataken poro ulama koyo kitabe Imam
Jalal al-Mahalli lan Imam Jalal al-Suyuti, lan liyo-liyone koyo Tafsir al-
Kabir li Imam al-Rozi, lan Lubab al-Ta’wil li Imam al-Khozin, lan Tafsir
al-Ghozali, lan ora pisan-pisan gawe terjemah ingsun kelawan ijtihade
ingsun dewe, balik nukil saking tafsire poro ulama kang mujtahidin
kelawan asale tafsir kang dzohire, mongko nukil tafsir kelawan isyari
saking Imam Ghozali. Mongko lamun ningali siro ya ikhwan ono ingkang
salah utowo ora muwafaqoh suloyo para Ulama salaf mongko iku saking
salah pahame ingsun. Mongko yen muwafaqoh kalayan kalam ulama,
mongko iku saking kalamu al-a’immah.”120
“Maka dari arah tersebut saya sengaja membuat terjemah makna Al-
Qur’an dari karya para ulama, seperti kitabnya Imam Jalal al-Mahalli dan
Imam Jalal al-Sayuti, dan lain-lainnya seperti Tafsir al-Kabir karya Imam
al-Rozi, Lubab al-Ta’wil karya Imam al-Khazin, Tafsir al-Ghazali, dan
tidak sekalipun saya menulis terjemah Al-Qur’an dengan ijtihad sendiri,
melainkan menyandarkan pada kitab tafsirnya para ulama yang ahli ijtihad
dengan asli kitab tafsirnya, kemudian menyandarkan tafsir dengan makna
isyari dari Imam al-Ghazali. Seandainya kalian saudaraku, melihat ada
kesalahan atau ketidaksesuaian dengan para ulama terdahulu, maka hal
tersebut adalah dikarenakan kesalahpahaman saya. Maka jika kalian
melihat kebenaran dan kesesuaian, maka hal tersebut datangnya dari para
ulama …”
6. Corak Penafsiran

Ulama ulum Al-Qur’an membagi corak dalam penafsiran menjadi enam

bentuk, yakni corak fikih, corak ilmi, corak sufi, corak bahasa dan sastra, corak

falsafi, dan corak adabi ijtima’i (sosial kemsyarakatan). Dari enam bentuk

tersebut, Tafsir Faidh al-Rahman termasuk bercorak fikih dan sufi.

Corak penafsiran Tafsir Faidh al-Rahman, K.H. Sholeh Darat memadukan

dua corak penafsiran, yakni corak fikih dan sufi. Corak tafsir ini berkembang dari

karakter pemikiran K.H. Sholeh Darat yang gemar memadukan antara fikih dan

sufi. Karakter seperti ini sebelumnya juga dimiliki al-Ghazali. Biasanya K.H.

120
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 1.
51

Sholeh Darat mencantumkan pendapat-pendapat ulama dan para imam mazhab

terkait tema yang dibahas. Setelah itu, barulah di akhir penafsiran K.H. Sholeh

Darat memberikan nilai-nilai tasawuf berupa makna tersirat dari ayat-ayat yang

dilihat olehnya.121

Al-Dzahabi mengungkapkan bahwa corak tafsir sufi terbagi menjadi dua

macam, yaitu sufi al-faidhi (isyari) dan sufi al-nazari. Yang dimaksud sufi al-

faidhi (isyari) adalah penafsiran yangmenggunakan teori analisis sufistik atau

mentakwilkan ayat Al-Qur’an dari balik teks (esoteris) dan berdasarkan isyarat

yang tampak dari makna batinnya. Sedangkan sufi al-nazari merupakan suatu

penafsiran yang didahului dengan kajian ilmiah yang meyakini ada makna di balik

teks dan tidak menyepakati makna lain.122

Berpacu pada beberapa penelitian sebelumnya, Tafsir Faidh al-Rahman

karya K.H. Sholeh Darat bercorak sufi al-faidhi (isyari). Hal ini juga ditegaskan

oleh K.H. Sholeh Darat dalam mukadimah Tafsir Faidh al-Rahman, yakni “Lan

ora wenang tafsire Qur’an kelawan tafsire isyari utawi asrari yen durung weruh

kelawan tafsir asli dhahire koyo tafsir adamine Jalalain.”123 Maknanya, tidak

boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan isyari atau asrari sebelum mengetahui

penafsiran asli dhahir-nya seperti Tafsir Jalalain.

121
Siti Inarotul Fitriyani, “Corak Fikih dan Tasawuf dalam Tafsir Faidh al-Rahman”,
Skripsi (Surabaya: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2019), 124.
122
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassir (Kairo: Maktabah Wahbah,
tt), 261.
123
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid 1, 1.
52

Bentuk tafsir isyari tidak serta merta menafsirkan Al-Qur’an dengan

pendapat akal (ra’yi) secara keseluruhan, namun ketika pengambilan sumbernya

masih menggunakan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadis, Al-

Qur’an dengan perkataan atau pendapat sahabat, dan Al-Qur’an dengan pendapat

para tabi’in.124 Menurut Ignaz Goldziher penafsiran dengan corak sufi al-faidhi

(isyari) tidaklah mudah, posisi para sufi dalam menafsirkan Al-Qur’an harus

berpikir secara radikal untuk menemukan justifikasi pada mazhabnya.125

Dalam mukadimah Tafsir Faidh al-Rahman, K.H. Sholeh Darat

menegaskan bahwa seorang mufassir tidak boleh terpaku pada makna isyari

sebelum mengetahui makna dzahirnya.

“Kerono maknane Qur’an iku ono dhohir lan batin afala yatadabbaruna
Al-Qur’an. Moko iku wong kang tinutur iku nyekti iman haqiqi iman
billahi wal kitab wal rosul ulaika kitabu fi qulubihim al iman moko sopo
wonge ora weruh maknane Qur’an lan haqoiqu al-Qur’an lan nerimo
makna dhohir lughot Arob bloko moko temen-temen tuno iku wong ora
ngerti isyarohe qouluhu ta’ala …”126
“Karena di dalam makna Al-Qur’an itu ada makna dhahir dan batin, afala
yatadabbaruna al-Qur’an. Maka orang yang berkata kepada Imam hakiki
imam billahi wa al-kitab wa al-rasul ulaika kitabu fi qulubihim al-iman.
Maka siapapun yang mengetahui makna Al-Qur’an dan hakikatnya serta
meneruma makna dhahir bahasa Arab saja, maka sesungguhnya orang itu
tercela tidak bisa menerima isyarat dari Allah Swt.”
Contoh penafsiran dengan corak isyari dalam Tafsir Faidh al-Rahman

adalah dalam Q.S. al-Baqarah/2:172:

124
Mhd. Iqbal Siyaasiy Haazim, “Karakteristik Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Indonesia
(Studi Tafsir At-Tanwir Karya Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah)”, Skripsi (Lampung:
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, 2020), 30.
125
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, dkk (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 217.
126
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid 1, 2.
53

‫ت َما َر َز ْق ٰن ُك ْم َو ْش ُكُر ْوا لِٰلّ ِه اِ ْن ُكْنتُ ْم اِيَّاهُ َت ْعبُ ُد ْو َن‬


ِ ‫اَيُّها الَّ ِذين اٰمُنوا ُكلُوا ِمن طَيِّٰب‬
ْ ْ ْ َ َْ َ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-


baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Q.S. al-Baqarah/2: 172)
K.H. Sholeh Darat menafsirkan ayat di atas sebagai berikut.
“Utawi mangan iku ono kolone wajib koyo mangan kerono ngerkoso awak
li ajlihi tho’atillah, lan ono kolone sunah koyo kolone li ajlihi al-dhoif,
ono kolone jaiz koyo kolone sepi kang tinutur, lan ono kolone mangan
harom koyo banget wareke kerono dadi mudhorot ingtasi awake. Setuhune
saking fadhilah Allah ing atase kawulane ingkang mu’min iku den
perintahi kelawan den kon mangan barang kang bagus. Olehe perintah
podo perintah kelawan sholat zakat. Mulane mengkono loro faedahe
suwiji faedah supaya ono mangane mu’min iku kelawan perintah ora
kelawan tabi’ate. Mengko dadi bedo mu’min kelawan kebo, sapi, lan dadi
metu min al-dhulmati al-thiba’i bi nuri al-syar’i. lan kepindone faedah
kerono arah ganjaran Allah Ta’ala ing kawulane mu’min sebab mituruti
perentah, pengganjare podo koyo wong ngelakoni sholat, zakat sebab
podo aran ‘amar.”127
Dalam penafsiran tersebut, menurut K.H. Sholeh Darat makan itu ada

kalanya wajib seperti makan untuk menjaga tubuh agar dapat menjalankan

ketaatan kepada Allah, ada kalanya sunah seperti tatkala sedang bertamu, ada

kalanya jaiz seperti ketika selain dari kedua hal tersebut, serta ada kalanya makan

itu haram seperti ketika seseorang makan berlebihan hingga keknyangan karena

dapat membahayakan tubuhnya. Disini terlihat K.H. Sholeh Darat menyingkap

makna “makanlah di antara rezeki yang baik-baik” dengan menyebutkan macam-

macam hukum makan terlebih dahulu. Menurut hemat penulis, hal itu disebabkan

karena makanan yang baik dan bermanfaat justru bisa berubah menjadi mudharat

ketika dimakan dengan cara yang tidak baik.

127
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, Jilid 1, 311.
54

Makna isyari terlihat saat K.H. Sholeh Darat menafsirkan bahwa salah

satu keutamaan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin adalah diperintahkan

dengan dianjurkan untuk memakan makanan yang bagus. Perintah memakan

makanan yang baik bukanlah perintah yang tidak memiliki nilai rohani.

Menurutnya, dalam perintah ini terdapat dua manfaat. Pertama, agar orang

mukmin ketika makan selalu berniat mentaati perintah Allah, sebab manusia

berbeda dengan hewan yang makan hanya karena nafsu semata. Kedua, manfaat

bagi orang muslim sebab mematuhi syariat Allah serta pahalanya sama dengan

pahala shalat dan zakat, yang sama-sama perintah dari Allah juga.128

7. Sistematika Penyajian

Salah satu hal yang menarik dari Tafsir Faidh al-Rahman adalah

mukadimahnya yang berisi tentang banyak hal yang berkaitan dengan tafsir Al-

Qur’an dan dinamikanya. Ada lima hal yang dimuat dalam mukadimah tersebut,

pertama, K.H. Sholeh Darat menjelaskan mengenai referensi primer yang

digunakan dalam analisis penafsiran Tafsir Faidh al-Rahman, yakni Tafsir

Jalalain karya Imam Jalal al-Din al-Suyuthi dan Imam Jalal al-Din al-Mahalli,

Tafsir al-Kabir karya Imam al-Razi, Tafsir Lubab at-Ta’wil karya Imam al-

Khazin, dan tafsirnya Imam al-Ghazali. Kedua, penjelasan tentang proses

penafsiran sekaligus pandangan K.H. Sholeh Darat mengenai pendekatan dan

corak penafsiran yang digunakan, termasuk posisi dan aplikasi isyari dalam tafsir

tersebut. Ketiga, penjelasan mengenai keutamaan mempelajari Al-Qur’an.

Keempat, penjelasan tentang derajat atau klasifikasi bagi para pengkaji tafsir Al-
128
Novi Laila Athiyah, “Penafsiran Sufistik Tentang Haji dalam Tafsir Faidh al-
Rahman”, 38.
55

Qur’an, yang meliputi pemula (mubtadhi’), tengah-tengah (mutawassith), dan ahli

(muntaha). Dan kelima, penjelasan tentang hukum mempelajari tafsir Al-Qur’an

dan sekilas tentang nuzul Al-Qur’an.129

Tafsir Faidh al-Rahman memuat penafsiran K.H. Sholeh Darat dari Q.S.

al-Fatihah sampai Q.S. an-Nisa’, yang dibagi dalam dua jilid berukuran besar.

Jilid pertama terdiri dari surah al-Fatihah sampai surah al-Baqarah, dengan tebal

577 halaman. Sedangkan jilid kedua terdiri dari surah Ali Imran sampai surah an-

Nisa’ sebanyak 705 halaman. Jadi, tafsir ini hanya berisi penafsiran Al-Qur’an

sebanyak enam juz.130

K.H. Sholeh Darat menulis penafsirannya dalam Tafsir Faidh al-Rahman

dengan bentuk sistematika penyajian runtut, serta mengikuti tartib surah

sebagaimana yang ada dalam mushaf Usmani. K.H. Sholeh Darat menguraikan

setiap surah dengan detail setiap masalah yang berkaitan dengan surah yang akan

ditafsirkan, misalnya tempat turunnya surat, jumlah ayat, bahkan jumlah hurufnya

juga disebutkan.131

Tafsir Faidh al-Rahman yang telah ditulis beberapa abad yang lalu,

ternyata isinya masih sangat relevan untuk dikaitkan dengan permasalahan di

zaman sekarang. Jika digali lebih dalam, isinya memuat banyak penafsiran-

129
Abdul Wahab, “Tren Sosio-Sufistik Dalam Tafsir Jawa (Pemikiran dan Tren Tafsir
Kiai Saleh Darat Semarang dalam Kitab Faidl ar-Rahman”, Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 15, No. 2,
2010, 314.
130
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara (Semarang: CV. Asna Pustaka,
2021), 6.
131
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 6-7.
56

penafsiran yang baru yang tidak kalah pentingnya dengan tafsir-tafsir modern saat

ini.132

132
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi,
Historiografi, dan Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 10.
BAB IV

PENAFSIRAN K.H. SHOLEH DARAT TERHADAP ISU-ISU

PEREMPUAN DALAM TAFSIR FAIDH AL-RAHMAN

Perempuan, sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya,

sering menerima asumsi buruk terhadap dirinya, baik asumsi yang berasal dari

konstruksi budaya maupun yang berasal dari teks agama. Dalam pembahasan pada

bagian ini, dijelaskan serta dianalisis bagaimana penafsiran seorang mufasir

nusantara yang hidup pada zaman penjajahan (waktu itu Indonesia belum

merdeka), yakni K.H. Sholeh Darat tentang isu-isu perempuan yang sering

menjadi perdebatan. Dengan mengedepankan corak fikih dan sufi dalam

penafsiran K.H. Sholeh Darat, akan dipaparkan dan dianalisis dua isu yang

menjadi fokus penelitian. Isu-isu yang dibahas dalam bagian ini meliputi isu

kesaksian perempuan dan isu hak menggugat cerai bagi perempuan.

A. Kesaksian Perempuan

Isu kesaksian perempuan seringkali diperdebatkan dalam penafsiran. Teks

yang menjadi perdebatan terdapat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282, yang berbunyi:

‫ب بَّْينَ ُك ْم َك اتِ ۢبٌ بِالْ َع ْد ۖ ِل َواَل‬ ۗ ِ ِ ِ ِ


ْ ُ‫يٰاَيُّ َه ا الَّذيْ َن اٰ َمُن ْوآ اذَا تَ َد َايْنتُ ْم ب َديْ ٍن ا ٓل ٰى اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَ ا َكتُُب ْوهُ َولْيَكْت‬
ٰ ِ ِ ِ َّ ِ ۚ ٰ َّ ۢ ِ
‫س‬ ْ ‫ب َك َم ا َعل َم هُ اللّهُ َف ْليَكْتُبْ َولْيُ ْمل ِل الذ ْي َعلَْي ه احْلَ ُّق َولْيَتَّق اللّهَ َربَّهُ َواَل َيْب َخ‬ َ ُ‫ب َك اتبٌ اَ ْن يَّكْت‬ َ ‫يَْأ‬
‫ض عِْي َفا اَْواَل يَ ْس تَ ِطْي ُع اَ ْن مُّيِ َّل ُه َو َف ْليُ ْملِ ْل َولِيَّهُ بِالْ َع ْد ۗ ِل‬ ِ ِ ِ ۗ
ْ َّ‫مْن هُ َش ْيًئا فَ ا ْن َك ا َن ال‬
َ ‫ذي َعلَْي ه احْلَ ُّق َس فْي ًها اَْو‬
ِ
‫الش ََٓهد ِاء‬
ُّ ‫ض ْو َن ِم َن‬ ‫مِم‬ ِ ِ ِ
َ ‫استَ ْش ِه ُد ْوا َش ِهْي َديْ ِن م ْن ِّر َج ال ُك ۚ ْم فَ ا ْن مَّلْ يَ ُك ْونَا َر ُجلَنْي ِ َفَر ُج ٌل َّو ْام َراَٰت ِن َّْن َت ْر‬ ْ ‫َو‬
ۗ ‫الش َٓهداء اِذَا م‬ ِ ِ ِ
ُ‫ادعُ ْوا َواَل تَ ْس َئ ُم ْٓوا اَ ْن تَكْتُُب ْوه‬ ُ َ ُ َ ُّ ‫ب‬ َ ‫اَ ْن تَض َّل ا ْح ٰد مُهَ ا َفتُ َذ ِّكَر ا ْح ٰدمُهَا ااْل ُ ْخ ٰر ۗى َواَل يَ ْأ‬

57
‫لش َه َاد ِة َواَ ْدىٰن ٓى اَاَّل َتْرتَابُ ْوٓا آِاَّل اَ ْن تَ ُك ْو َن‬ ‫ٓ‬
‫ند ال ٰلّ ِه َواَْق َو ُم لِ َّ‬ ‫ص غِْيًرا اَْو َكبِْي ًرا اِ ٰلى اَ َجلِ ۗ ِه ٰذلِ ُك ْم اَقْ َس ُ‬
‫ط ِع َ‬ ‫َ‬
‫اضَرةً تُ ِد ْيُر ْو َن َها َبْينَ ُك ْم‬
‫جِت ارةً ح ِ‬
‫ََ َ‬

‫‪58‬‬
59

ِ ِ ۗ ِ َّ ‫َفلَيس علَي ُكم جنَاح اَاَل تَكْتُبوه ۗا واَ ْش ِه ُدوٓا اِذَا َتبايعتُ ۖ ْم واَل يض‬
ُ‫ب َّواَل َش ِهْي ٌد َوا ْن َت ْف َعلُ ْوا فَانَّه‬
ٌ ‫ٓار َك ات‬ َ ُ َ َْ َ ْ َ َ ُْ ٌ ُ ْ َْ َ ْ
ۗ
‫وات ُقواال ٰلّ ۗهَ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ال ٰلّهُ َوال ٰلّهُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِْي ٌم‬
َّ ‫فُ ُس ْو ٌق بِ ُك ۗ ْم‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang
pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah
pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya. Hendaklah dia mencatatnya dan orang yang
berutang itu mendiktekannya. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang
berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak
mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan
benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika
tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan di antara orang-orang yang kamu ridhai dari para saksi
(yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.
Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang
itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih
dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada
ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak berdosa bagi kamu jika kamu
tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan
janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika
kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan
padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran
kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. al-
Baqarah/2: 282).
Ayat di atas merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur’an yang

mengandung lebih dari 50 kandungan hukum.133 Dari sebuah ayat yang panjang

tersebut, ada sebuah kalimat yang disoroti yang menimbulkan perdebatan

penafsiran, yakni:

133
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam al-Baqarah (2): 282 antara Makna
Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, Jurnal Yudisia, Vol. 7, No. 1, Juni
2016, 187.
60

‫فَاِ ْن مَّلْ يَ ُك ْونَا َر ُجلَنْي ِ َفَر ُج ٌل َّو ْامَراَٰت ِن‬

“Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan
dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu ridhai dari para
saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa,
yang lain mengingatkannya.”
Saksi adalah orang yang melihat dan megetahui terjadinya suatu peristiwa.

Persaksian merupakan salah satu alat bukti yang dapat dijadikan dasar untuk

menyelesaikan suatu perkara.134 Sedangkan menurut Quraish Shihab, secara istilah

saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu ia belum

melaksanakan kesaksian serta secara aktual telah menjadi saksi. Dalam ayat ini

dijelaskan bahwa persaksian dalam perkara muamalah sekurang-kurangnya

disaksikan oleh dua orang laki-laki atau jika tidak terpenuhi dua orang laki-laki

atau boleh dilakukan dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Potongan ayat ini yang kemudian diabstraksi sebagai sebuah landasan

hukum mengenai kesaksian dalam muamalah tidak tunai, yakni utang piutang.

Secara tekstual, bagian kalimat yang terdapat dalam ayat tersebut dapat dipahami

bahwa kesaksian dua orang laki-laki dapat digantikan dengan satu orang laki-laki

dan dua orang perempuan. Artinya, kesaksian laki-laki dan perempuan memiliki

perbandingan satu berbanding dua (1:2) atau kesaksian perempuan bernilai

setengah dari kesaksian laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadi kritik bagi

kalangan feminis muslim kontemporer yang cenderung menafsirkan ayat tersebut

134
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Al-Qur’an, (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2012), 244.
61

secara kontekstual, berlawanan dengan kebanyakan mufasir klasik yang

cenderung menafsirkan ayat tersebut secara tekstual.

K.H. Sholeh Darat, dalam tafsirnya Faidh al-Rahman menafsirkan

persoalan kesaksian perempuan dengan narasi yang cukup panjang. Penafsirannya

terhadap potongan ayat ini dipaparkan dengan jelas dan rinci yang juga

pembahasannya lebih banyak mengarah pada perempuan. Sebelum membahas

mengenai alasan adanya nilai perbandingan kesaksian laki-laki dibanding

perempuan, K.H. Sholeh Darat terlebih dahulu membahas tentang kebolehan

perempuan menjadi saksi dalam beberapa ranah.

Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma’ani mengatakan bahwa

kesaksian perempuan bernilai separuh dari kesaksian laki-laki hanya berlaku pada

urusan selain kasus hukum dera dan kisas. Bahkan lebih sempit lagi menurut al-

Alusi, perempuan boleh menjadi saksi tanpa disertai laki-laki dalam urusan

keperempuanan saja seperti melahirkan, kegadisan, permulaan menstruasi, dan

sejenisnya.135 Demikian pula al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa

perempuan hanya boleh menjadi saksi pada wilayah muamalah saja, tidak boleh

dalam ranah yang lain.136

Sedangkan K.H. Sholeh Darat menulis kebolehan perempuan menjadi

saksi dalam beberapa ranah, yakni sebagai berikut.

135
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam al-Baqarah (2): 282 antara Makna
Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, dalam Jurnal Yudisia, Vol. 7, No. 1,
Juni 2016, 189.
136
Nasrulloh, Eksistensi Hadis Nabawy dari Nalar Otoriter Menuju Otoritatif,
(Yogyakarta: Dialektika, 2019), 291.
62

‫ لن ويس موافقة فرا‬. ‫كافوريه ۬كنساكن ا ۛع و ۛعك ۛع اديل الن ۛع لورو أتوا الن ۛع سجي وادون لورو‬

‫ انافون نكساين‬. ‫فقهاء ستهوىن وانا ۛعى اوالهي نكسين وادون ايكو خصوص ا ۛعدامل اموال بلوقا‬

: ‫ لن م ۛع ۬كوه كرس اين ات وا ۛعرس اين اميام ن واوي‬. ‫لي اين ام وال م ۛعك ا ف دا اختالف ف را علم اء‬

‫ستوهوىن وادون ايكو وان ۛع نكساين ا ۛعدامل س كاباهي فرقرا لن ۛعندقا اميامنا شافعى اورا ونا ۛع‬

‫وادون نكس اين ا ۛعي ۛع مري ۛع فرك را ا ۛعك ۛع اورا بيص ني ۛعايل ا ۛع ۬كين ا ۛعي ۛع ك ودو وادون كي ا ول ده‬

137
.‫لن رضائه لن براقه لن شيوبه‬

“Kapureh negeseaken ing wong kang adil lanang loro utowo lanang siji
wadon loro. Lan wes muwafaqoh poro fuqoha setuhune wenangi olehi
nekseni wadon iku kusus ing dalem amwal beloko. Onopun nekseni liyane
amwal mengko podo ikhtilaf poro ulama. Lan munggoh kersane utowo
ngersani Imam Nawawi, setuhune wadon iku wenang nekseni ing dalem
sekabehane perkoro. Lan ngendiko Imamuna Syafi’i ora wenang wadon
nekseni anging maring perkoro ingkang ora bisa ningali anggene anging
kudu wadon, koyo wiladah lan rodho’ah lan biraqoh lan syuyubah.”
“Perintah menegaskan (bahwa menjadi saksi) adalah orang yang adil dua
orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Dan
menurut kesepakatan para fuqaha, sesungguhnya perempuan boleh
menjadi saksi khusus dalam urusan harta saja. Adapun menjadi saksi
dalam urusan selain harta, maka sebagian ulama berbeda pendapat
mengenai hal tersebut. Menurut Imam Nawawi, sesungguhnya perempuan
itu boleh menjadi saksi dalam semua perkara. Sedangkan menurut Imam
kita, Syafi’i, tidak boleh perempuan menjadi saksi kecuali dalam perkara
yang tidak boleh dilihat oleh selain perempuan, seperti urusan wiladah
(melahirkan), radha’ah (menyusui), kegadisan, dan perempuan tua.”
Pernyataan K.H. Sholeh Darat terkait kesaksian perempuan diawali

dengan redaksi kata “perintah menegaskan” yang diikuti dengan kalimat yang
137
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
63

ditegaskan, yakni yang menjadi saksi adalah dua orang laki-laki atau satu orang

laki-laki dan dua orang perempuan. Artinya dalam hal ini K.H. Sholeh Darat

mengatakan bahwa kesaksian dua orang laki-laki dalam urusan muamalah tidak

tunai adalah perintah yang tegas, yang ketika dua orang laki-laki tersebut tidak

dapat ditemukan maka bisa digantikan dengan satu orang laki-laki dan dua orang

perempuan.

Kemudian, dari pernyataan tersebut terlihat bahwa K.H. Sholeh Darat

menafsirkan persoalan batasan kesaksian perempuan dengan merujuk pendapat

mayoritas fuqaha, Imam Nawawi, dan Imam Syafi’i. Perbedaan dari ketiga

pendapat tersebut adalah terletak pada ranah kesaksian perempuan itu sendiri.

Menurut mayoritas Fuqaha, kesaksian perempuan hanya berlaku pada urusan

keuangan semata. Menurut Imam Nawawi, kesaksian perempuan berlaku pada

segala aspek yang tidak terbatas. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, perempuan

hanya boleh menjadi saksi dalam ranah yang hanya boleh disaksikan oleh

perempuan, yakni urusan melahirkan, menyusui, biraqah, dan syuyubah.

Bahkan, menurut Syafi’i, Malik, dan Hanbali, masalah yang tidak

diketahui oleh laki-laki yang hanya boleh disaksikan oleh perempuan dapat

disaksikan oleh perempuan saja tanpa disertai dengan laki-laki, seperti

keperawanan, kegadisan, kelahiran, haid, penyusuan, tangis bayi pada saat

kelahiran, dan cacat yang dimiliki perempuan di balik pakaiannya. Kesaksian

semacam ini dapat diterima.138

138
Siska Lis Sulistiani, Peradilan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), 131.
64

Meskipun K.H. Sholeh Darat memetakan ranah kesaksian yang boleh

disaksikan oleh perempuan dari berbagai pendapat para ulama, namun tidak dapat

diketahui secara jelas ia lebih cenderung pada pendapat yang mana. Akan tetapi,

dengan merujuk pendapat-pendapat di atas, K.H. Sholeh Darat terlihat

menunjukkan bahwa perempuan sebenarnya bisa menjadi saksi dalam semua

urusan, baik itu urusan keuangan, urusan keperempuanan (melahirkan, menyusui,

menstruasi, dan kehamilan), dan urusan-urusan yang tidak terbatas. Artinya,

dalam hal ini K.H. Sholeh Darat memposisikan perempuan setara dengan laki-laki

perihal ranah kesaksiannya dan sejauh mana kesaksian tersebut dapat diterima.

Ungkapan ini senada dengan Atha yang menyatakan bahwa seorang perempuan

setara dengan laki-laki dalam hal kesaksiannya.

K.H. Sholeh Darat kemudian menyebut ada beberapa kualifikasi seorang

perempuan dapat menjadi saksi, yakni:

‫ات وا ان اين وادون وان ا ۛع دادي سكس ي ايك و وادون ك ۛع ويس س ريا رض اىن اع دامل ا ۬كم اىن ت ۬كس‬

139
. ‫اراف امنه حدابه ا ۛعامل مرعواه‬

“Utowo anane wadon wenang dadi saksi iku wadon kang wes siro ridoni
ing dalem agamane tegese arep ‘adalah, amanah, hadabah, ‘aqolah,
mar’uwah.”
“Adanya perempuan yang boleh menjadi saksi itu adalah perempuan yang
sudah kalian ridhai dalam agamanya, lebih tegasnya harus adil, amanah,
baik tata kramanya, berakal, dan memiliki kesucian.”

139
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
65

Pada bagian kualifikasi seorang saksi, K.H. Sholeh Darat tidak

menyebutkan syarat seorang saksi laki-laki atau saksi secara umum, namun ia

hanya menyebutkan kualifikasi seorang saksi perempuan. Hal ini menunjukkan

bahwa kesaksian perempuan lebih disoroti oleh K.H. Sholeh Darat. Menurutnya,

syarat menjadi saksi bagi seorang perempuan adalah diridhai dalam agamanya,

yakni dengan spesifikasi 1) adil; 2) dapat dipercaya; 3) harabah; 4) berakal; dan 5)

mar’uwah.

Sebagai penjelas, kalimat “yang diridhai dalam agamanya” menurut

Amina Wadud bertujuan sebagai upaya untuk mecegah kecurangan yang

dilakukan oleh saksi yang dibujuk menyampaikan kesaksian palsu. Ibnu Qayyim,

dalam tulisan yang dikutip oleh Ashgar Ali Engineer mengatakan bahwa jika

seorang perempuan sempurna ingatannya tentang apa yang dilihat, adil, dan

cenderung religius, maka hukum ditetapkan atas dasar kesaksiannya saja (tanpa

didampingi dengan laki-laki).

Menurut hemat penulis, kualifikasi diridhai bagi saksi perempuan yang

disebutkan oleh K.H. Sholeh Darat bukan berarti hanya ditujukan bagi

perempuan. Sebab, saksi laki-laki juga harus memiliki kualifikasi sebagaimana

yang disebutkan, yaitu adil, dapat dipercaya, harabah, berakal, dan mar’uwah. Jika

rentetan persyaratan bagi saksi tersebut hanya ditujukan bagi perempuan, maka

apakah laki-laki bebas dari persyaratan itu? Dalam tekstual ayat di atas memang

penyebutan “di antara orang-orang yang kamu ridhai” adalah setelah penyebutan

dua orang saksi perempuan. Namun, menjadi seorang saksi baik lai-laki maupun
66

perempuan haruslah adil, dapat dipercaya, harabah, berakal, dan mar’uwah agar

kesaksian yang disampaikan tidak terdapat kecurangan di dalamnya.

Setelah membahas syarat menjadi saksi bagi seorang perempuan, K.H.

Sholeh Darat melanjutkan pembahasan mengenai alasan mengapa nilai kesaksian

perempuan itu dua orang untuk menggantikan satu orang laki-laki. Dalam narasi

yang bersambung ia menjelaskan:

140
‫موالىن وادون كودو لورا كرنا ستوهون حاصلي واتاقي وادون ايكو الليين لن كورا ۛع اقلن‬

“Mulane wadon kudu loro kerono setuhune hasile wateke wadon iku laline
lan kurang akale.”
“Makanya (sebab itulah) perempuan harus dua orang karena sesungguhnya
hasil wataknya perempuan itu lupa dan kurang akalnya.”
K.H. Sholeh Darat menyebut alasan kesaksian perempuan harus dua orang

yang nilainya sama dengan satu orang laki-laki adalah karena perempuan

mempunyai watak pelupa dan kurang akal. Hal ini serupa dengan pendapat para

mufasir klasik yang menyebutkan kesaksian perempuan itu setengah dari

kesaksian laki-laki karena perempuan mempunyai watak kurang akal. Pendapat

para mufasir yang seperti itu dihubungkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh

Bukhari, yakni:

ِ
ْ ‫َأخَب َرىِن َزيْ ٌد – ُه َو ابْ ُن‬
‫َأس لَ َم – َع ْن‬ ْ ‫َأخَبَرنَ ا حُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر قَ َال‬
ْ ‫َح َّد َثنَا َس عْي ُد بْ ِن َأىِب َم ْرمَيَ قَ َال‬

ْ ‫ي قَ َال َخ َر َج َر ُس ْو ُل ال ٰلّ ِه صلى ال ٰلّه عليه وسلم ىِف‬


‫أض ًحى‬ ِّ ‫اض بْ ِن َعْب ِد ال ٰلّ ِه َع ْن َأىِب َسعِْي ٍد اخْلُ ْد ِر‬
ِ َ‫ِعي‬

140
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
67

‫ فَ ِإىِّن ُأِر ْيتُ ُك َّن َأ ْكَث َر َْأه ِل‬،‫ص َّدقْ َن‬ ِ ‫ فَم َّر علَى النِّس ِاء َف َق َال ‹‹ي ا معش ر الن‬،‫َأوفِطْ ٍر ِإىَل الْمص لَّى‬
َ َ‫ِّس اء ت‬
َ َ َ َْ َ َ َ َ َ ُ ْ

‫ات َع ْق ٍل‬ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ََ ْ َ ‫ َف ُق ْل َن َومِبَ يَا َر ُس‬.››‫النَّا ِر‬


ِ ‫ م ا رَأيت ِمن نَاقِص‬،‫ وتَ ْك ُف ر َن الْع ِش ري‬،‫ول ال ٰلّ ِه قَ َال ‹‹تُكْثِ ر َن اللَّعن‬

‫ول ال ٰلّ ِه قَ َال‬


َ ‫ص ا ُن ِديْنِنَ ا َو َع ْقلِنَ ا يَا َر ُس‬ ِِ ِّ ُ‫ب لِل‬ ِ
َ ‫ ُق ْل َن َو َم ا نُ ْق‬.››‫الر ُج ِل احْلَا ِزم م ْن ِإ ْح َدا ُك َّن‬
َّ ‫ب‬ َ ‫َوديْ ٍن َأ ْذ َه‬

،‫ان َع ْقلِ َه ا‬
ِ ‫ك ِمن نُ ْقص‬ِ َّ ‫ف َش َه َاد ِة‬
َ ْ َ ‫ قَ َال ‹‹فَ َذل‬.‫ ُقْل َن َبلَى‬. ››‫الر ُج ِل‬
ِ ‫ص‬ ِ ِِ
َ ‫‹‹َألَْي‬
ْ ‫س َش َه َادةُ الْ َم ْرَأة مثْ َل ن‬

››‫صا َن ِديْنِ َها‬ ِ َ ِ‫ قَ َال ‹‹فَ َذل‬.‫ ُقْلن بلَى‬.››‫َألَيس ِإذَا حاضت مَل تُص ِّل ومَل تَصم‬
َ ‫ك م ْن نُ ْق‬ ََ ُْ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra., ia berkata, “Rasulullah saw. keluar pada idul
adha (hari raya kurban) atau idul fitri (hari raya fitrah) menuju ke tempat
shalat. Beliau melewati kaum perempuan dan beliau bersabda, “Hai kaum
perempuan, bersedekahlah! Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku
kebanyakan dari kalian menjadi penghuni neraka.” Para perempuan itu
bertanya, “Apa penyebabnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Kalian banyak mencela dan mengingkari kebaikan suami. Namun, aku
tidak pernah melihat sebagian orang yang kurang akal dan agamanya
mampu melemahkan akal laki-laki melebihi kalian ini.” Para perempuan
itu bertanya, “Apa maksud kurang akal dan agama kami, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah kesaksian seorang perempuan
bernilai setengah dari kesaksian laki-laki?” Para perempuan itu menjawab,
“Betul.” Rasulullah bersabda, “Itulah sebagian bukti kurangya akal
perempuan, bukankah jika perempuan sedang menstruasi tidak shalat dan
tidak puasa?” Para perempuan menjawab, “Betul.” Rasulullah bersabda,
“Itulah sebagian bukti kurangnya agamanya.” (H.R. al-Bukhari).
Ibnu Katsir menafsirkan persoalan kesaksian perempuan menyebut bahwa

kualitas kecerdasan dan agama perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.

Penafsiran tersebut diperkuat dengan mengutip hadis di atas. Berbeda dengan

K.H. Sholeh Darat yang secara naratif pendapatnya mengenai kesaksian

perempuan bernilai setengah dari kesaksian laki-laki karena perempuan

mempunyai watak pelupa dan kurang akal tersebut tidak dikaitkan dengan hadis di
68

atas. Dalam penafsirannya terkait alasan 1:2 dalam kesaksian laki-laki dan

perempuan, K.H. Sholeh Darat tidak menyebutkan dalil berupa hadis atau

pendapat ulama-ulama tafsir terdahulu. Namun, pendapatnya sama dengan

kebanyakan ulama tafsir klasik yang menyebutkan bahwa perempuan itu kurang

akal dan kurang agama.

Mengenai hadis tersebut, Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Munir

menyebutkan bahwa masih banyak ulama-ulama pada abad pertengahan yang

memahami kurangnya akal perempuan sebagaimana yang disebutkan dalam hadis

di atas merupakan pembenaran dan penjelas dari Q.S. al-Baqarah/2: 282.141

Zaitunah Subhan dalam bukunya Al-Qur’an dan Perempuan juga menjelaskan

bahwa hadis di atas merupakan hadis dengan kategori Shahih (valid) sebab

diriwayatkan oleh Bukhari. Shahih yang dimaksud adalah dari segi sanad,

sedangkan dari segi matan (substansi) menimbulkan beragam pendapat mengenai

pemahaman dan pemaknaan.142

Menurut Nasrulloh, dalam memahami sebuah hadis Nabi Muhammad saw.

secara tepat, dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks di mana, kapan, dan

dalam situasi bagaimana Nabi mengucapkan sabdanya. Oleh karena itu, sebelum

memahami hadis tersebut perlu melihat latar belakang kultur dan budaya Arab

pada waktu teks hadis tersebut turun. Sedangkan konteks hadis tersebut dapat

dipahami dengan mencermati redaksi hadis dari berbagai macam jalur transmisi

sanad hadis. Redaksi hadis di atas sudah dapat dijadikan bahan untuk memahami

141
Nasrulloh, Eksistensi Hadis Nabawy dari Nalar Otoriter Menuju Otoritatif, 291.
142
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 49.
69

makna hadis tersebut secara kontekstual. Pada bagian awal matan, tulis Nasrulloh,

hadis tersebut menunjukkan konteks yang dimaksudkan. Nabi menyampaikan

sabdanya tersebut di jalan ketika beliau menuju tempat shalat untuk melakukan

shalat Idul Adha dan Idul Fitri, bertempat di Madinah, karena syariat kedua shalat

hari raya tersebut ada setelah hijrah.143

Mencoba menganalisis hadis lebih lanjut, Nasaruddin Umar mengatakan,

yang dimaksud kurang akal dan agama perempuan dalam hadis di atas bukan

berasal dari dalam diri perempuan karena dispensasi yang diberikan kepada

perempuan untuk tidak menjalankan ibadah tertentu merupakan sebuah hal yang

berasal dari luar diri perempuan. Keadaan kodrati (dalam hal ini menstruasi dan

nifas) adalah hal yang berasal dari dalam diri perempuan. Namun ketidakbolehan

menjalankan ibadah adalah berasal dari aturan agama.144

Lebih lanjut Nasaruddin menjelaskan bahwa persoalan yang menyinggung

banyaknya perempuan yang masuk neraka dalam hadis di atas tidak berkaitan

langsung dengan keadaan yang berasal dari faktor luar tadi. Boleh jadi, kelemahan

perempuan pada masa Nabi banyak ditemui sehingga Nabi saw perlu

menyampaikan hadis tersebut. Namun, narasi yang menyebut banyaknya

perempuan yang masuk neraka bukan berarti lebih banyak perempuan dibanding

laki-laki yang masuk neraka. Boleh jadi hadis ini disampaikan di depan para

perempuan dengan memperhatikan kata ganti (dhamir) dalam hadis tersebut.

143
Nasrulloh, Eksistensi Hadis Nabawy dari Nalar Otoriter Menuju Otoritatif, 296.
144
Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan (Jakarta: PT. Gramedia, 2014),
202.
70

Sebab, perkara dosa dan neraka tidak berkaitan dengan jenis kelamin seseorang

sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an.145

Berseberangan dengan K.H. Sholeh Darat, kurang akal dan agama

menurut Zaitunah Subhan menimbulkan tanda tanya, apakah sifatnya generalisasi,

kasuistik atau kondisional untuk hal-hal dan sebab-sebab tertentu. Sebab, jika

perempuan adalah manusia kurang akal mengapa para laki-laki (suami) secara

umum memercayakan segala urusan rumah tangga (belanja, keuangan, dan lain-

lain), urusan anak, bahkan pendidikan anak pun dianggap sebagai tanggung

jawab kaum perempuan.146 Bagaimana bisa seseorang yang kurang akalnya

mampu memberikan pendidikan bagi manusia lainnya. Bahkan, secara realistis

pada zaman Nabi saw. banyak riwayat hadis yang disampaikan oleh para sahabat

perempuan, seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan Hafshah. Bahkan banyak

sahabat laki-laki yang menjadikan sahabat-sahabat perempuan ini sebagai sumber

bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. Selain itu, Imam Syafi’i

memiliki seorang guru perempuan yang merupakan cicit Nabi saw., yakni Sakinah

binti Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Demikian pula dengan redaksi kata “kurang agama”, sambung Zaitunah

yang ketika dipahami secara tekstual akan menimbulkan pertanyaan. Bukankah

ketika perempuan sedang menstruasi (yang merupakan kodrat perempuan) tentu

saja tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim (misalnya shalat,

puasa, dan lain-lain) karena telah diatur oleh syariat. Hal ini dilakukan karena

145
Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, 202.
146
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 50.
71

menaati aturan agama. Namun, perempuan dapat menggantinya dengan ibadah

yang lain, seperti memperbanyak berdoa dan dzikir atau ibadah-ibadah lainnya.147

Menurut Zaitunah, ketika melihat redaksi hadis di atas tadi, sabda Nabi

saw. diawali dengan redaksi kata yang menunjukkan kekagumannya terhadap

perempuan yang mampu bersaing dengan laki-laki. Kalimat Nabi saw. tersebut

justru dimaknai sebagai suatu pengaruh poitif yang disampaikan agar menjadi

motivasi bagi perempuan untuk mengejar ketertinggalan mereka dengan laki-laki.

Sebab, pemberdayaan perempuan baru terangkat sejak hadirnya Islam yang

dibawa oleh Nabi Muhammad saw.148

Dalam menafsirkan surat ini, K.H. Sholeh Darat mengulang sebanyak dua

kali dengan narasi yang sama mengenai alasan kesaksian perempuan bernilai

setengah dari kesaksian laki-laki. Kedua narasi tersebut menjelaskan bahwa dalam

menjadi saksi perempuan harus dua orang yang dinilai sama dengan satu orang

laki-laki karena perempuan kurang akal dan kurang agama. Secara naratif,

pendapat K.H. Sholeh Darat yang ia sebutkan dua kali tersebut adalah bentuk

penegasan. Namun, dalam narasi yang kedua, K.H. Sholeh Darat menambahkan

dengan kalimat yang lebih menggembirakan dibanding dengan kalimat

sebelumnya. Ia menyebutkan:

147
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 51.
148
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 50.
72

‫ كرن ا س توهوين وادان ايك و ك ورا ۛع اقلي لن ك ورا ۛع‬. ‫م ۛعك ا ايكول ه س بب وادون ك ودو ل ورا‬

‫ م ۛعكا ملون اليل‬. ‫وجي ا ۛعك ۛع دين كاوارهي‬-‫ ايلي ۛع مري ۛع سوجي‬. ‫ لن كورا ۛع ف ۛعالي ۛع‬. ‫اكماىن‬

‫سوجين م ۛعكا يكيت ۛعيال ۛع كن ساله سوجين ۛعاك ۛع ايلي ۛع ا ۛع واناهي ا ۛعك ۛع اليل‬
149

“Mongko ikulah sebabe wadon kudu loro, kerono setuhune wadon iku
kurang akale lan kurang agomone, lan kurang pengiling-ngilinge maring
suwiji-wiji ingkang den kaweruhi. Mongko lamun lali suwijine mongko
nyekti ngelengaken salah suwijine ingkang iling ing wenehe ingkang lali.”

“Maka itulah sebabnya perempuan (yang menjadi saksi) harus dua, karena
sesungguhnya perempuan itu kurang akalnya, kurang agamanya, dan
kurang daya ingatnya terhadap sesuatu yang ia ketahui. Maka jika lupa
salah satu perempuan itu, maka perempuan yang satunya akan
mengingatkan mengenai sesuatu yang terlupa tersebut.”

Pendapat di atas memiliki dua sisi yang berlainan. Sisi pertama terkesan

mengecewakan bahkan merendahkan perempuan, yakni kalimat “karena

perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya”. Kalimat ini mengindikasikan

bahwa penafsiran K.H. Sholeh Darat lebih tradisional dan seolah sepakat dengan

pembacaan hadis Nabi saw. tentang kurang akal dan agama secara tekstual.

Sehingga, pendapat yang seperti ini banyak dibantah oleh para mufasir feminis.

Bantahan tersebut misalnya dari Ashgar Ali Engineer yang dikutip

Syahrizal Abbas, kondisi perempuan dalam potongan ayat di atas sangat jauh

berbeda dengan kondisi perempuan sekarang. Perempuan pada masa dulu sangat

tertutup, berada dalam pingitan dan tidak dapat mengenyam pendidikan yang

149
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 256.
73

lebih tinggi. Sedangkan perempuan hari ini sudah masuk dan andil dalam berbagai

profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, pengusaha,

hakim, dokter, bahkan perdana menteri. Jika memahami ayat tersebut secara

tekstual, maka akan didapatkan hasil yang kaku. Maka, yang semestinya

dilakukan adalah keluar dari pemahaman fuqaha tempo dulu karena pemahaman

mereka dipengaruhi oleh kodisi sosial pada masa itu, kemudian kembali berpikir

sesuai dengan konteks pengalaman masa kini serta disesuaikan dengan nilai-nilai

yang benar dan prinsip-prinsip yang diletakkan oleh Al-Qur’an.150

Berbicara tentang transisi pendidikan perempuan dari tempo dulu hingga

sekarang, dirasa wajar ketika K.H. Sholeh Darat saat menafsirkan perihal alasan

kesaksian perempuan bernilai setengah dari kesaksian laki-laki, beliau masih

berpendapat bahwa penyebabnya karena perempuan kurang akal. Sebab, sedikit

banyaknya penafsiran seorang mufasir dipengaruhi oleh kondisi sosialnya pada

saat ia menafsirkan suatu ayat tersebut. Pada masa itu, K.H. Sholeh Darat menulis

tafsirnya saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda, di mana kondisi sosial

perempuan saat itu sangat terkebelakang. Bahkan, perempuan tidak diizinkan

untuk menuntut pendidikan dan hanya diizinkan mengurusi urusan domestik.

Dengan demikian, terdapat realitas sosial yang terjadi sesuai dengan hadis Nabi

yang telah disebutkan di atas.

Sedangkan pada sisi yang kedua, penafsiran K.H. Sholeh Darat lebih

menggembirakan karena ia menyebut bahwa alasan kesaksian perempuan harus


150
Syahrizal Abbas, Hakim Perempuan dalam Mir’atuth Thullab Karya Syaikh
Abdurrauf As-Singkily (Banda Aceh: Penerbit Naskah Aceh (NASA), 2018), 133; lihat juga dalam
Ashgar Ali Engineer, “Perempuan dalam Syari’ah Perspektif Feminis dalam Penafsiran Islam”,
Ulumul Qur’an No. 3, Lembaga Studi Agama Islam dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 66.
74

dua orang yang nilainya sama dengan satu orang laki-laki adalah karena

perempuan memiliki sifat mudah lupa dengan sesuatu yang mereka ketahui. Oleh

sebab itu, fungsi dari perempuan itu harus dua orang agar jika yang satu lupa

dengan apa yang harus ia sampaikan, maka perempuan yang satunya lagi dapat

mengingatkan sesuatu yang terlupa tersebut.

Pendapat yang kedua inilah yang sama dengan pendapat mufasir feminis.

Kariman Hamzah seorang mufasir perempuan Mesir, dikutip dari Ah. Fawaid,

menjelaskan bahwa perempuan dalam urusan persaksian tidak sama dengan laki-

laki. Karena perempuan tidak terbiasa sibuk dengan urusan transaksi keuangan

dan urusan yang sejenis. Ketidakterbiasaan tersebut yang kemudian berdampak

pada keterbatasan ingatan perempuan dalam hal tersebut. Berlainan halnya dengan

hal yang berhubungan dengan urusan domestik rumah tangga, di mana perempuan

lebih terbiasa berkecimpung dalam ranah ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan jauh

lebih baiknya ingatan perempuan dibanding laki-laki dalam bidang ini. Maka,

menurut Abduh, manusia secara umum (baik laki-laki maupun perempuan) akan

lebih ingat dengan aktivitas yang biasa dijalaninya.151

Alasan yang disampaikan K.H. Sholeh Darat “karena perempuan kurang

daya ingatnya terhadap sesuatu yang ia ketahui”, itu merupakan makna dari Q.S.

al-Baqarah/2: 282 yang dimaknai secara terkstual. K.H. Sholeh Darat tidak

menyebut perempuan sebagai makhluk yang pelupa. Dari redaksi kata yang

ditulis, perempuan ditunjukkan memiliki daya ingat yang kurang terhadap sesuatu

yang ia ketahui. Daya ingat yang kurang itu bisa terjadi karena perempuan pada

151
Ah. Fawaid, “Pemikiran Mufasir Perempuan Tentang Isu-isu Perempuan”, 73.
75

masa dulu tidak terlalu andil dalam urusan transaksi dan keuangan. Seseorang

baik laki-laki maupun perempuan jika tidak banyak terlibat secara aktif dalam

sebuah urusan, maka mereka akan kurang cakap dalam urusan tersebut.

Kekurangcakapan tersebut bisa ditandai dengan kurangnya daya ingat seseorag

terhadap urusan tersebut.

Sejalan dengan ini, Ashgar Ali Enginer menyebutkan bahwa perempuan

dikatakan kurang daya ingat atau kelupaan adalah karena kurangnya pengalaman

mereka. Sebab, perempuan pada masa Nabi saw. minim pengalaman perihal

keuangan. Dalam hal persaksian dalam muamalah, salah satu perempuan

berfungsi sebagai pengingat jika terjadi kelupaan yang disebabkan minimnya

pengalaman dari yang lainnya. Namun, laki-laki cukup satu orang karena pada

masa itu mereka memiliki pengalaman yang cukup, maka mengingat yang

semacam itu tidak perlu bagi mereka.152

Jika melihat kondisi sosial masa kini, perempuan sudah lebih banyak

berkecimpung dalam relasi publik, baik itu transaksi jual beli maupun urusan

lainnya. Menurut Nasaruddin Umar, dewasa ini tidak sulit menemukan

perempuan yang lebih ahli dari pada laki-laki, bahkan banyak perempuan yang

tampil sebagai saksi ahli. Jadi, masalah kualitas dan kuantitas persaksian dapat

dipercayakan kepada lembaga peradilan yang seharusnya mengakomodir

perubahan kualitas dan kuantitas masyarakat. Sebagaimana dikatakan dalam

kaidah ushul fikih “al-hukmu yadhuru ma’a al-‘illah”, maksudnya hukum

152
Ashgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Fakhra Assegaf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 97.
76

hendaknya mengikuti illat hukum, dan illat hukum selalu berubah seiring dengan

perubahan masyarakat.153

Selaras dengan pendapat K.H. Sholeh Darat, jumlah dua orang perempuan

yang satu sebagai saksi dan yang satunya lagi sebagai pemgingat jika yang

satunya lupa, Amina Wadud dalam bukunya Perempuan dalam Al-Qur’an yang

dikutip oleh Zaitunah Subhan dalam bukunya Tafsir Kebencian mengungkapkan

bahwa potongan ayat dalam Q.S al-Baqarah/ 2: 282 tersebut tidak menetapkan

bahwa kedua perempuan itu berlaku sebagai saksi. Satu orang perempuan

diperlukan untuk mengingatkan yang lainnya, sehingga ia bertindak sebagai rekan

bagi perempuan yang satunya lagi. Jadi, meskipun perempuan dua orang, tapi

fungsi mereka berbeda.154

Selain itu, menurut Amina Wadud sebab lainnya terdapat pada kalimat

“yang kamu ridhai”, yang menunjukkan terdapat upaya untuk mencegah

terjadinya kecurangan jika seseorang melakukan kesalahan atau diminta untuk

memberi kesaksian palsu. Ada saksi lain yang bisa mendukung perjanjian atau

transaksi itu mengingat perempuan umumnya bisa dipaksa. Jika yang menjadi

saksi hanya seorang perempuan, dikhawatirkan akan menjadi peluang bagi laki-

laki tertentu yang ingin memaksanya agar memberi kesaksian palsu. Hikmah dari

dua orang perempuan adalah agar saling mendukung, jika yang seorang lupa

seorang lagi dapat mengingatkannya. Maknanya, adanya dua orang perempuan

merupakan bentuk kesaksian tunggal dengan fungsi yang berbeda. Bukan berarti
153
Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, 203.
154
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an (Yogyakarta:
LkiS, 1999), 120; lihat juga pada Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women (Kuala Lumpur:
Fajar Bakti, 1992), 115-116.
77

perempuan nilainya separuh dari laki-laki, Al-Qur’an tidak menyebut dua orang

laki-laki sama dengan empat orang perempuan.155

Zaitunah Subhan dalam bukunya Tafsir Kebencian menambahkan jika yag

dimaksud Al-Qur’an bahwa dua orang perempuan diperlakukan sejajar dengan

satu orang laki-laki, maka di mana pun masalah kesaksian dapat dipastikan seperti

itulah nilainya. Namun, kenyataannya tidak demikian. Di dalam Al-Qur’an

terdapat delapan ayat yang berkenaan dengan masalah kesaksian, yaitu Q.S. al-

Baqarah/2: 228, Q.S. al-Nisa’/4: 15, Q.S. al-Maidah/5: 106, Q.S. al-Nur/24: 4, 6,

dan 13, serta Q.S. al-Thalaq/65: 2. Dari semua ayat tersebut tidak ada satu pun

ayat yang menyebutkan bahwa dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu

orang saksi laki-laki.156

Telah disebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai status dan kedudukan yang sama (Q.S. al-Zariyat/51: 56, Q.S. al-

An’am/6: 165, dan Q.S. al-A’raf/7: 172). Dalam hal persaksian juga tidak ada

batasan perempuan dapat menjadi saksi dalam berbagai ranah. Nilai kesaksian dua

banding satu antara perempuan dan laki-laki bukanlah suatu nilai yang mutlak dan

berlaku pada semua kasus. Namun, kuantitas saksi laki-laki dan perempuan dapat

berlaku secara normatif sesuai dengan kebutuhan dan kualitas perempuan dan

laki-laki pada masa kini. Sehingga, laki-laki dan perempuan memiliki kompetensi

untuk menjadi saksi dengan kualitas dan kuantitas yang sama.

155
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an,120.
156
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an, 119.
78

Secara eksplisit K.H. Sholeh Darat menyatakan secara tegas bahwa

kesaksian itu harus dua orang laki-laki yang dapat digantikan dengan satu orang

laki-laki dan dua orang perempuan. Pernyataan tersebut sesuai dengan nash Q.S.

al-Baqarah/2: 282. Dalam menyatakan keharusan perempuan berjumlah dua orang

untuk menggantikan satu orang laki-laki ia tidak menyebut bahwa kedua

perempuan tersebut menjadi saksi, akan tetapi secara tersirat ia menyebut fungsi

perempuan yang satunya hanya sebagai pengingat jika yang satunya terlupa.

Keadaan ini didasari oleh sifat pelupa perempuan pada sesuatu yang berkaitan

dengan utang-piutang atau transaksi jual beli.

Namun, dalam sisi yang berlainan K.H. Sholeh Darat menyebut

perempuan sebagai makhluk kurang akal dan kurang agama. Pendapat ini lebih

cenderung tradisional, sebab ada keterkaitan dengan hadis Nabi saw. yang telah

disebutkan di atas. Oleh para feminis muslim hadis tersebut dinilai sebagai

motivasi bagi para perempuan masa itu agar mau bersaing dan mengejar

ketertinggalannya dengan laki-laki dalam hal keilmuan dan keagamaan. Meskipun

pendapat K.H. Sholeh Darat tentang perempuan kurang akal dan agamanya

disebut sebanyak dua kali, namun ia tidak mengutip hadis Nabi yang disebutkan

di atas.

B. Hak Menggugat Cerai bagi Perempuan (Khulu’)


79

Di dalam Islam perceraian tidak diharamkan, namun mayoritas fuqaha

menyebut perceraian sebagai perbuatan yang dibenci oleh Allah Swt. Dalam

realitas sosial, perceraian memang merusak hubungan di antara dua manusia dan

hal itu sebisa mungkin harus dihindari. Namun, dalam keadaan-keadaan tertentu

yang terdesak, perceraian menjadi mutlak dilakukan. Pada masa pra-Islam, laki-

laki dapat menceraikan istrinya kapan saja meskipun tanpa alasan yang jelas.

Talak secara umum merupakan otoritas laki-laki, yang artinya hak talak secara

penuh dimiliki oleh laki-laki. Tanpa mendengarkan pendapat atau persetujuan dari

perempuan, laki-laki dapat menceraikan perempuan dan talaknya sah. Hal ini

karena secara eksplisit sistem pernikahan yang dianut dalam Islam bersifat

patriarkal, yakni laki-laki (suami) berkedudukan sebagai kepala rumah tangga,

pencari nafkah, membelanjakan harta, menikahkan anak, dan garis keturunan

diambil dari garis laki-laki.

Islam menjadi agama pertama yang membolehkan perempuan mempunyai

hak menggugat cerai. Seorang perempuan dapat membatalkan atau memutus

hubungan pernikahannya dalam bentuk gugatan perceraian yang disebut dengan

khulu’. Hak untuk menggugat cerai menegaskan bahwa perempuan dapat

menginisiasi perceraian terhadap suaminya, namun dengan membayar sejumlah

barang atau uang.

Penjelasan mengenai perceraian sangat panjang dijelaskan di dalam Al-

Qur’an. Pada Q.S. al-Baqarah/2: 229 terdapat penjelasan mengenai khulu’ atau

hak menggugat cerai bagi perempuan, yakni sebagai berikut.


80

‫ف َْأو تَ ْس ِريْ ٌح بِِإ ْح َس ا ۗ ٍن َواَل حَيِ ُّل لَ ُك ْم َأ ْن تَْأ ُخ ُذوا مِم َّا آ َتْيتُ ُم ْو ُه َّن َش ْيًئا‬
ٍ ‫اك مِب َع رو‬ ‫ِإ‬
ْ ُ ْ ٌ ‫الْطَّاَل ُق َمَّرتَ ا ۖ ِن فَ ْم َس‬

‫ت بِ ۗ ِه‬ ِ ِ ٰ ‫ِإاَّل َأ ْن خَيَافَا َأاَّل ي ِقيما ح ُدود ال ٰلّ ۖ ِه فَِإ ْن ِخ ْفتُم َأاَّل ي ِقيما ح ُد‬
ْ ‫اح َعلَْي ِه َم ا فْي َم ا ا ْفتَ َد‬
َ َ‫ود اللّه فَاَل ُجن‬
َ ُ َْ ُ ْ َ ْ ُ َْ ُ

‫ك ُه ُم الْظَّالِ ُم ْو َن ۝‬ ٰ ۚ ٰ
َ ‫ك ُح ُد ْو ُد اللّ ِه فَاَل َت ْعتَ ُد ْو َها َو َم ْن َيَت َع َّد ُح ُد ْو َد اللّ ِه فَ ُْأو ٰلِئ‬
َ ‫تِْل‬

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan)
dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu (mahar)
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan
istri) khawatir tidak mampu menjalankan batas-batas ketentuan Allah.
Jika kamu (wali) khawatir keduanya tidak mampu menjalankan batas-
batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah batas-batas
(ketentuan) Allah, janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar
batas-batas (ketetuan) Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Q.S. al-
Baqarah/2 : 229)
Ayat ini menjelaskan mengenai rujuk dan larangan laki-laki mengambil

kembali mahar yang telah diberikan saat pernikahan. Namun, di samping itu ayat

ini menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi seorang istri mengajukan gugat

cerai yang di dalam Islam di sebut dengan khulu’. Dalam redaksi tekstual ayat

tersebut disebutkan bahwa istri yang menggugat cerai harus mengembalikan

sejumlah mahar yang diberikan suaminya saat menikah untuk menebus dirinya

dengan tebusan yang disebut dengan iwadh.

Dalam menafsirkan ayat ini, K.H. Sholeh Darat lebih banyak membahas

tentang khulu’. Dalam pembahasan khulu’, terlebih dahulu beliau menjelaskan

asbabun nuzul ayat tentang khulu’ tersebut. K.H. Sholeh Darat menyebutkan

sebagai berikut.
‫‪81‬‬

‫ايكي اية اساىل نزيل (متوروىن) ستوهوىن جاملة بنت عبدال ٰلّه بن ايب ايكو اورا دمان مري ۛع النا ۛعى‬

‫‪ .‬لن اي اايكو ث ابت بن قيس كران ا جامل ه ايك و اي و روف اىن ‪ .‬ان ۛعاي ۛع ث ابت ايك و ايك و اول و‬

‫روفاىن ‪ .‬م ۛعكا دادي اورا بيص انوان نوان سالواسى ‪ .‬م ۛعكا نويل سويل سوجي وقتو توكران‬

‫م را ۛع اوم اهي بف ائي عبدال ٰلّ ه م ۛعك ا ن ويل وادول جامل ة ا ۛع بف ائى ا ۛع ح ايل بوج وىن ‪ :‬س توهوىن‬

‫ثابت ايكو ميسوه‪-‬ميسوه ا ۛع كوال لن مسفه‪-‬مسفه بفاء كوال ‪ .‬م ۛعكا ۛعوچف عبدال ٰلّ ه ‪ :‬موليا‬

‫سريا ‪ :‬اكو اورا دمن ا ۛع وا ۛع وادون ا ۛعك ۛع دين اجاري بوجوين نويل وادول‪-‬وادول ا ۛع بفائي‬

‫بالي ا س رياز‪ ۰‬ن ويل ان رتاين دين ا ماني ه مولي ه هي ۛع ۬كا امب ال ك افي ۛع ت الو س رتاين وادون المب اين دي‬

‫فوكول النا ۛع‪ ۰‬م ۛعك ا نويل ۛعوچ اف عبداهلل‪ :‬بالي ا س ريا م اري ۛع بوجوم و‪ .‬م ۛعك ا تتك االين ويس‬

‫واراه وادون ستهوين ايكو اورا كنا دي وادويل‪ .‬م ۛعكا نويل تروس وادول جاميلة ماتور ماري ۛع‬

‫كاجن ۛع نايب صل اهلل عليه و سلم ماتور مادوالكن ا ۛع حايل بوجوين سرتاين نوده اكن ا ۛع وادون‬

‫لبت دن فوكول ۛعلني‪ .‬م ۛعكا نويل منبايل رسول اهلل ا ۛع ثابت م ۛعكا نويل داوها يا ثابت افا سريا‬

‫ارف ۬كاوي وي را ۛع وادون س ريا كي ا م ۛعكون و‪-‬م ۛع كون و ك ارو س ريا ۛعاك ايف اف ا‪ .‬م ۛعك ا م اتور‬

‫ثابت اسطاين باتن واننت ا ۛعك ۛع كاووال كاسهي لياين ۛعندكاين رسول اهلل نامو ۛع بوجو كوال‬
‫‪82‬‬

‫فونكي‪ .‬م ۛعكا ۛعنديكا كاجن ۛع نايب يا جاملة كيا افا ف ۛعوچاف سريا‪ .‬م ۛعكا ماتور وادون ا ۛع ۬‪q‬كه‬

‫لرس يا رسول اهلل تتفي كوال مسفون باتن فورون فيسان‪-‬فيسان كمفول كليان تيا ۛع جالر كوال‬

‫ف ونكي اج ره ك وال ا ۛع اواء ك وال م و ۬كي ك وال ودل اكن ك وال س ۛعكي ۛع ن ۛع‪q‬ايل بوج و ك وال‬

‫ف ونيكي‪ ,‬ا ۛع ۬كيه ل رس كيامب ائ دمن ا ۛع كوال تتفي ين كوال ب اتن دمن بب ار فيس ان‪ .‬م ۛعك ا م اتور‬

‫ثابت كوال مسفون پوكاين ماس كاوين كيامبائ رويف يستان كابون كورما ا ۛع ۬‪q‬كور كوال داوه‬

‫ۛعندكا يا رسول اهلل دومات ۛع فونيكي اسرتي ا ۛعك ۛع سوفادس فورون م ۛعسولئكن بتائن كوال لن‬

‫ننتوت كوال چول اكن‪ .‬م ۛعكا نويل ۛعندكا كاجن ۛع نايب يا جاملة اناطا سريا ۬كلم بالئكن ۬‪q‬كون‪-‬‬

‫۬كون اين م ۛعك ا دادي بيس ا ۛعواس ائي س ريا ا ۛع اواء س ريا‪ .‬م ۛعك ا م اتور وادون ا ۛع ۬كي ه ك وال‬

‫س وكائكن ج ور او ۬كي دين چ ولئكن ك وال‪ .‬م ۛعك ا ۛعن دكا ك اجن ۛع ن ايب ي ا ث ابت ترميانن كب ون‬

‫‪157‬‬
‫كورما سريا لن طلق سريا كلوان تالء‪ .‬م ۛعقا ايكي اوىل خلع باالسالم‪.‬‬

‫‪“Iki ayat asale nuzule (temurune) setuhune Jamilah binti Abdullah bin Abi‬‬
‫‪iku ora demen maring lanange, lan iyo iku Tsabit bin Qais. Kerono‬‬
‫‪Jamilah iku ayu rupane, ananggeng Tsabit iku olo rupane. Mongko dadi‬‬
‫‪ora biso anuwon-nuwon selawase. Mongko nuli suwiji waktu, tukaran‬‬
‫‪wadon marang lanange mongko nuli muleh wadon marang omahe bapake‬‬
‫‪Abdullah. Mogko nuli wadul Hamilah ing bapake ing hale bojone,‬‬
‫‪“Setuhune Tsabit niku misoh-misoh ing kulo lan nyumpah-nympah bapak‬‬
‫‪kulo.” Mongko ngucap Abdullah, “Muliyo siro. Aku ora demen ing wong‬‬
‫‪wadon ing kang den ajari bojone nuli wadol-wadol ing bapake.” Baliyo‬‬
‫‪157‬‬
‫‪Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam‬‬
‫‪Malik ad-Dayyan, 215-216.‬‬
83

siro, nuli antara dino bali maleh muleh hinggo ambal kaping telu sertane
wadon (lambene) den pukul lanange, mongko nuli ngucap Abdullah,
“Baliyo siro maring bojomu.” Mongko tatkolone wes weroh wadon
setuhune bapake iku ora keno den waduli. Mongko nuli terus wadul
Jamilah matur marang kanjeng Nabi sw. matur madolalen ing hale bojone
sertane nuhuhaken wadon ing labete den pukul lakine mongko uli nimbali
Rasulullah saw. ing Tsabit. Mongko nuli, “Danguho, Ya Tsabit, opo siro
aku gawe wirang wadon siro koyok mengkono-kono karo siro anggawe
opo?” Mongko matur Tsabit, “Astone bonten wonte ingkang kawula
kasihi liyane ngendiko Rasulullah, namung bojo kulo puniki.” Mongko
ngendiko Kanjeng Nabi, “Ya Jamilah, koyok opo pengucap siro?”
Mongko matur wadon, “Enggeh, leres, Ya Rasulullah. Tetapine kulo
sampun purun pisan-pisan kumpul kalian tiang jaler kulo puniki. Ajreh
kulo ing awak kulo. Mugi tuan wedalaken kulo sangking ningali bojo kulo
puniki. Enggeh leres kiambake demen ing kulo, tetapine kulo mboten
demen babar pisan.” Mongko matur Tsabit, “Kulo sampun nyukani mas
kawin kiambake rupi yustani kebon kurma anggur. Kulo dawoh ngendiko,
Ya Rasulullah dumateng puniki istri ingkang supados purun mangsulaken
beta’an kulo lan nuntut kulo colaken.” Mongko nuli ngendiko Kanjeng
Nabi, “Ya Jamilah, onoto siro gelem balek aken gongonane mengko dadi
biso nguwasani siro ing awak iro.” Mongko matur wadon, “Enggeh, kulo
sukaaken jur ugi den colaken kulo.” Mongko ngendiko Kanjeng Nabi, “Ya
Tsabit, terimonen kebon kurmo iro lan talako siro kelawan talak.”
Mongko iki awale khulu’ bil Islam, mongko temurun ayat”
“Asal turunnya ayat ini adalah ketika Jamilah binti Abdullah bin Abi tidak
suka dengan suaminya yaitu Tsabit bin Qais. Sebab, Jamilah merupakan
perempuan yang cantik, sedangkan Tsabit seorang yang jelek. Sehingga, ia
tidak bisa meneruskan (pernikahannya) untuk selamanya. Pada suatu
waktu ia bertengkar dengan suaminya. Kemudian ia pulang ke rumah
ayahnya, yaitu Abdullah, dan mengadukan perilaku suaminya kepada
ayahnya, “Sesungguhnya Tsabit itu marah dengan berkata kasar kepadaku
dan menyumpahi ayahku.” Abdullah berkata, “Pulanglah kamu. Aku tidak
suka dengan perempuan yang dididik oleh suaminya kemudia mengadu ke
ayahnya.” Maka pulanglah Jamilah dan kembali lagi di lain hari hingga
tiga kali dengan menunjukkan bekas pukulan suaminya. Abdullah berkata,
“Pulanglah kamu pada suamimu.” Akhirnya Jamilah mengerti bahwa
ayahnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai tempat mengadu. Sehingga,
ia mengadukan perilaku suaminya kepada Rasulullah saw. dengan
menunjukkan bekas pukulan suaminya. Rasulullah pun memanggil Tsabit
dan berkata, “Wahai Tsabit, mengapa kamu memperlakukan istrimu
dengan memalukan?” Lalu Tsabit menjawab, “Tidak ada yang aku kasihi
selain Rasulullah, hanya istriku seorang” Rasulullah berkata, “Wahai
Jamilah bagaimana menurutmu?” Jamilah menjawab, “Ya, betul, wahai
Rasulullah. Namun, aku tidak mau lagi berkumpul dengan suamiku ini.
Memang betul dia suka kepadaku, tetapi aku tidak suka sama sekali
84

dengannya.” Maka Tsabit berkata, “Aku sudah memberikan mahar berupa


kebun kurma dan anggur. Dan aku berkata kepada istriku ini, wahai
Rasulullah, agar ia mau mengembalikan bawaanku dan aku minta
dilepaskan.” Kemudian Rasulullah berkata, “Wahai Jamilah, apakah kamu
mau megembalikan bawaan yang telah diberikan agar kamu bisa memiliki
dirimu lagi?” Jamilah menjawab, “Ya, aku berikan kemudian aku
lepaskan.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Tsabit, terimalah
kebun kurmamu, dan talaklah ia.” Maka inilah awal mula adanya khulu’ di
dalam Islam, yang kemudian turunlah ayat ini.”
Dari asbabun nuzul di atas dapat dipahami bahwa ayat ini turun memang

untuk menunjukkan kebolehan perempuan menggugat cerai kepada suaminya

dengan cara mengembalikan mahar yang diberikan oleh laki-laki saat menikahi

perempuan tersebut jika diminta. Jamilah (perempuan dalam kisah di atas)

menggugat suaminya dengan alasan suaminya melakukan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan secara fisik dan verbal selama beberapa

kali dan ia melaporkan perlakuan suaminya kepada Nabi Muhammad saw. dan

mengatakan ia ingin bercerai dengan suaminya. Kemudian Nabi saw.

membolehkan Jamilah untuk menggugat cerai suamiya. Namun, Tsabit (suami

Jamilah) merasa dirugikan dengan mahar yang telah diberikannya saat

pernikahan, maka ia meminta agar maharnya tersebut dikembalikan oleh istrinya.

Setelah maharnya dikembalikan, maka Tsabit diminta oleh Nabi untuk

menjatuhkan talak kepada Jamilah, maka resmilah mereka bercerai.

Jadi, dapat dipahami bahwa khulu’ adalah hak yang berupa inisiatif bagi

perempuan untuk meminta pembebasan dari ikatan pernikahan dengan

memberikan tebusan atau hak untuk meminta cerai. Jika talak adalah hak bagi

suami, maka khulu’ adalah hak yang dimiliki istri. Seorang istri dapat mengajukan

khulu’ dengan cara memberikan ganti rugi atau yang disebut dengan ‘iwadh
85

(mengembalikan mahar yang telah diberikan oleh suami saat akad nikah). Adanya

‘iwadh itulah yang secara otomatis membuat istri tidak berhak mendapat

tunjangan (sebelum dan sesudah perceraian) seperti saat suami yang menginisiasi

perceraian.

Meskipun khulu’ adalah hak istri, namun perceraian tetap tidak akan

terjadi jika suami tidak mengucapkan talak meskipun si istri sudah

mengembalikan sejumlah barang atau uang mahar dan bersikeras untuk bercerai.

Artinya, otoritas perceraian tetap ada di tangan suami. Hal inilah yang menggiring

beberapa konsekuensi yang berdampak kurang baik terhadap istri. Selain itu, hal

yang menjadikan khulu’ dianggap bias gender dan problematis adalah tidak

adanya kesempatan untuk rujuk, sebab khulu’ dianggap sebagai talak ba’in (talak

yang tidak dapat rujuk). Berbeda dengan talak cerai yang diinisiasi oleh suami

yang terdapat hak untuk rujuk kembali.

Dalam persoalan mengenai khulu’, K.H. Sholeh Darat menulis dalam

Tafsir Faidh al-Rahman sebagai berikut.

‫ان ا ف ون الم ون ودى لن وروه لن ۛع لن ودان س تهوىن ا ۬كى ك اروىن ايك و اورا بس ا تك اىن وج ىب‬

‫زوجى م ۛعقا اورا دوراقا ا ۛع عتس وادن ا ۛعدمل ت ۛعكهى نوزوز ناليقاىن ودى ودان مار ۛع رساكى‬

‫ اورا دورقا ملون نبوس اوائ مار ۛع لن ۛعى كلوان باليئكن‬. ‫ئاوائ اوتوا منباهى ا ۛع دامل معصياتى‬

‫ماس كاون اوتوا اويه ارتا س ۛعكى ۛع ودان‬


158

158
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 216.
86

“Ono pun lamun wedi lan weruh lanang lan wadon setuhune ugi karone
iku ora biso tekani wajibe zaujih, mongko ora duroko ingatase wadon ing
dalem tingkahe nusyuze nalikani wedi wadon marang rusake awake utowo
nambahi ing dalem maksiate. Ora duroko lamun nebusi awake marang
lanange kelawan balek aken mas kawin utowo aweh arto sangking
wadon.”
“Adapun jika laki-laki dan perempuan (suami dan istri) takut dan
mengetahui tidak bisa menunaikan kewajiban suami istri, maka seorang
perempuan (istri) tidak durhaka ketika perempuan tersebut takut nusyuz
seperti takut menyakiti dirinya atau menambah kemaksiatan. Maka tidak
durhaka jika ia menebus suaminya dengan mengembalikan mahar atau
pemberian suaminya atau seorang suami mendapat uang dari istrinya.”
Dalam penafsirannya tersebut K.H. Sholeh Darat menjelaskan bahwa

seorang istri boleh menggugat cerai suaminya dengan memperhatikan beberapa

keadaan, yaitu 1) jika suami istri takut atau telah mengetahui bahwa keduanya

tidak bisa menunaikan kewajiban suami istri. Tidak bisa menunaikan kewajiban

suami istri dapat dilakukan oleh satu pihak atau bahkan kedua belah pihak.

Misalnya, suami tidak menafkahi istri atau istri tidak melayani suami dengan baik;

2) jika seorang istri takut nusyuz, seperti takut suaminya bertindak kekerasan

(baik fisik maupun non-fisik) yang dapat menyakiti dirinya atau perbuatan suami

menyebabkan istri berbuat maksiat. Keadaan-keadaan tersebut dapat dijadikan

sebagai alasan kebolehan seorang istri mengajukan gugatan cerai kepada

suaminya.

K.H. Sholeh Darat juga menyebut bahwa cara seorang istri mengajukan

gugat cerai terhadap suaminya adalah dengan mengembalikan mahar yang

diberikan saat pernikahan, baik itu berupa barang maupun uang. Suami boleh dan

halal menerima pemberian istri sebagai tebusan dalam khulu’. Namun, pada

keadaan tertentu seorang suami tidak boleh bahkan haram menerima pemberian
87

atau tebusan istri yang mengajukan khulu’, yakni suami membuat masalah

sehingga istri mengajukan khulu’. Misalnya, suami mempunyai kebiasaan suka

mabuk, tidak menunaikan hak istri, tidak memberi nafkah kepada istri, atau

bertujuan menyengsarakan istri, maka suami yang seperti itu tidak berhak

menerima tebusan dari istri.

Sejalan dengan ini, Imam Syafi’i yang dikutip oleh Masyithah

Mardhatillah mengatakan bahwa jika perempuan tidak melakukan kewajiban dan

tidak memenuhi hak suami atau ia tidak menyukai suaminya, maka suaminya

boleh dan halal mengambil tebusan yang ia berikan. Bahkan menurut Abdul

Halim, tebusan yang diberikan istri yang nilainya lebih besar dari mahar yang

diberikan oleh suami pun menjadi halal bagi suami jika khulu’ terjadi karena

keadaan yang disebutkan oleh Imam Syafi’i tersebut. Namun, Abdul Halim

menambahkan jika perilaku suami yang justru menyebabkan istri mengajukan

khulu’, maka suami tidak berhak menerima tebusan dari istri.159

Al-Jassas mengemukakan pendapat yang memperkuat pendapat Abdul

Halim dan Imam Syafi’i bahwa khulu’ bisa sah jika ditujukan untuk suami yang

nusyuz dan istri yang sudah jelas melakukan perbuatan keji. Namun, terdapat

perbedaan antara kedua kasus tesebut. Dalam kasus suami yang nusyuz, suami

tidak berhak menerima sepeserpun dari pemberian istri. Sedangkan pada kasus

istri yang melakukan perbuatan keji, suami dibolehkan menerima tebusan dari

istri.160
159
Masyithah Mardhatillah, “Semangat Egalitarian Al-Qur’an dalam Otoritas
Menginisiasi dan Prosedur Perceraian”, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. 16, No. 1, April 2015, 6.
160
Masyithah Mardhatillah, “Semangat Egalitarian Al-Qur’an dalam Otoritas
Menginisiasi dan Prosedur Perceraian”, 6.
88

Perbuatan nusyuz yang dilakukan suami atau perbuatan keji yang

dilakukan istri menjadi alasan tersendiri bagi istri yang akan mengajukan gugatan

cerai terhadap suaminya. Bahkan, jika istri tidak mempunyai alasan yang

merugikan dirinya, maka ia tidak diperkenankan mengajukan gugat cerai atau

dapat mengajukan gugat cerai dengan syarat membayar tebusan untuk menebus

dirinya sendiri. Berbeda dengan suami yang dapat menceraikan istrinya kapan saja

dan dengan sebab apa pun. Bahkan, menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh

al-Sunnah, Islam memberikan hak talak hanya kepada laki-laki. Karena hanya

laki-laki yang memiliki kemauan untuk melaggengkan ikatan pernikahan yang

telah dibiayai dengan mahal, sehingga jika laki-laki ingin menikah lagi atau

bercerai maka akan membutuhkan biaya yang lebih banyak lagi.161

Namun, K.H. Sholeh Darat menyebut dalam tafsirnya bahwa perempuan

atau istri boleh mengajukan khulu’ (gugatan cerai) meskipun tanpa adanya nusyuz

atau kesalahan yang dilakukan oleh suami. Beliau menyebut sebagai berikut.

‫لن ۛعندكا مجهور علماء ستوهىن ايكو وان ۛع سناجن اورا وادي نشوز لن اورا وادي‬

‫غض لن اورا وادي توميبا معصية تتايف مكروه كرنا خلع ايكو قطع الوصيلة‬162

“Lan ngendiko Jumhur Ulama, setuhune iku wenang senajan ora wedi
nusyuz lan ora wedi ghodob lan ora wedi tumibo maksiat. Tetapine
makruh kerono khulu’ iku qat’u al-washilah.”

161
Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah UIN
Maulana Malik Ibrahim, Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga (Malang: UIN-
Maliki Press, 2010), 215.
162
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 216.
89

“Dan berkata Jumhur Ulama, sesungguhnya khulu’ itu boleh meskipun


tidak takut nusyuz, tidak takut ghadab, dan tidak takut mengerjakan
maksiat. Akan tetapi makruh karena khulu’ itu memutus hubungan.”
Artinya, di sini K.H. Sholeh Darat sepakat dengan pendapat mayoritas

ulama, yaitu membolehkan khulu’ meskipun tidak disertai alasan takut nusyuz,

atau kesalahan dari suami maupun istri yang takut berbuat maksiat. Alasan dalam

bentuk seperti ini dapat disebabkan oleh ketidaksukaan seorang istri terhadap

suami yang didasari oleh penilaian subjektif. Namun, khulu’ tanpa ada alasan

nusyuz, gadhab, dan takut maksiat hukumnya makruh.

Hal ini sesuai dengan ketetapan kebolehan menerima pemberian atau

tebusan dari istri kepada suami saat istri mengajukan khulu’, yakni jika kesalahan

ada pada suami maka suami tidak boleh menerima tebusan dari istri, sedangkan

jika istri yang berbuat kesalahan maka suami boleh dan halal mengambil tebusan.

Maka, hukum mengenai kebolehan istri mengajukan khulu’ meskipun tidak

berdasarkan alasan yang berasal dari kesalahan suami atau memang relevan

dengan hukum mengambil tebusan atau pemberian dari istri.

Namun, pada pembahasan selanjutnya K.H. Sholeh Darat menambahkan

penafsirannya dengan mengutip hadis Nabi Muhammad saw. tentang haram bau

surga bagi perempuan yang meminta talak kepada suaminya. Beliau menyebutkan

sebagai berikut.
90

‫ان دي وا ۛع وادون ا ۛعك ۛع ج الوء طالق ا ۛع الن ا ۛعى اورا‬-‫ ان دي‬: ‫ويس ۛعن دقا كنج ۛع ن اىب ﷺ‬

163
‫كلوان واجىب مك حرام ۛعاتسى ايكي وادون كنداىن سوار ۬كا‬

“Wes ngendika aken Kanjeng Nabi saw.: “Endi-endi wong wadon ingkang
njaluk talak ing lanange ora kelawan sebab wajibe, moko haram ingatase
iki wadon gandane suwargo.”
“Nabi Muhammad saw. telah bersabda: “Perempuan yang meminta talak
(cerai) kepada suaminya tidak karena alasan yang wajib, maka haram
baginya bau surga.”
Dalam penelusuran penulis, hadis ini dikutip dari Ibnu Majah kitab Talak

dalam bab dimakruhkannya perempuan mengajukan gugat cerai. Hadis ini oleh

K.H. Sholeh Darat disandingkan dengan hukum makruhnya menggugat cerai

(khulu’) bagi perempuan. Posisi hadis ini merupakan penguat dari argumentasi

kemakruhan khulu’ yang tanpa alasan kesalahan dari suami maupun istri.

Hadis ini oleh K.H. Sholeh Darat digunakan sebagai penegas bahwa

perempuan yang menggugat cerai suaminya tanpa adanya alasan yang jelas

dihukumi makruh dan haram (tidak bisa) mencium bau surga. Artinya, dalam hal

khulu’ meskipun istri boleh mengajukan gugat cerai tanpa ada alasan wajib (takut

nusyuz dan takut maksiat) tetaplah hal tersebut merupakan akhlak yang kurang

baik, sebab tidak ada alasan lantas tiba-tiba menggugat cerai. Menurut hemat

penulis, hadis tersebut dapat dipahami sebagai peringatan agar perempuan lebih

memperhatikan alasannya menggugat cerai dan tidak gegabah dalam menentukan

keputusan atas masalah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Hadis

163
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 216.
91

tersebut juga bisa disinyalir sebagai bentuk peringatan agar perempuan dan laki-

laki dapat mempertahankan keutuhan pernikahannya jika memang tidak ada

masalah yang mengharuskan untuk bercerai.

Bahkan, menurut Zaitunah Subhan seorang istri tidak diperbolehkan dan

haram hukumnya jika mencari-cari alasan dan cara agar bisa lepas dari ikatan

pernikahan dengan suaminya.164 Mencari-cari alasan tersebut maksudnya mencari-

cari kesalahan suami padahal suaminya tidak berbuat nusyuz atau gadhab. Sebab

perceraian bukanlah sebuah keputusan yang dapat dipermainkan, bahkan

perceraian merupakan hal yang dibenci oleh Allah Swt. meskipun boleh dilakukan

jika memang sudah tidak menemukan titik temu untuk mempertahankan

pernikahan.

Selanjutnya, mengenai jumlah iwadh atau tebusan yang diberikan oleh istri

kepada suami saat menggugat cerai, K.H. Sholeh Darat menyebutkan sebagai

berikut.

‫ فق ال بعض هم وان ۛع خل ع س ناجن لوي ه‬. ‫فق ال بض هم اورا وان ۛع خل ع لوي ه س ۛعكى ۛع م اس كوي ىن‬

165
‫س ۛعكى ۛع حمر االمشال‬

“Faqola ba’dhuhum, ora wenang khulu’ luweh sangking mas kawini.


Faqola ba’dhuhum, wenang khulu’ senajan luweh sangking mahar al-
masyal.”

164
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan, 217.
165
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 217.
92

“Sebagian ulama mengatakan, tidak boleh (membayar ‘iwadh) khulu’


melebihi mahar. Sebagian yang lain mengatakan, boleh (membayar
‘iwadh) khulu’ meskipun nilainya lebih dari mahar.”
Pada dasarnya, kadar harta tebusan yang diberikan kepada suami tidaklah

diatur secara ketat. K.H. Sholeh Darat menyebutkan bahwa nilai tebusan atau

‘iwadh dalam khulu’ menurut pendapat para ulama berbeda-beda, yakni 1)

tebusan dalam khulu’ tidak boleh nilainya melebihi mahar; dan 2) tebusan dalam

khulu’ boleh nilainya lebih besar dari mahar. Dua pendapat ini berlainan dan

berlawanan. Namun, dapat diambil jalan tengah dari kedua pendapat ini.

Sebagaimana mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanafi, mereka memberikan

pendapat moderat bahwa jumlah tebusan khulu’ sebaiknya disesuaikan dengan

kesepakatan antara suami dan istri. Pendapat ketiga imam mazhab tersebut cukup

representatif dan aplikatif, karena bisa jadi keadaaan ekonomi suami istri ketika

awal pernikahan berbeda dengan keadaan menjelang perceraian. Selain itu, jika

besaran tebusan didiskusikan terlebih dahulu, maka akan didapatkan hasil yang

saling nyaman tanpa merugikan salah satu pihak. Sehingga meskipun terjadi

perceraian, hubungan silaturahmi tetap terjaga sebab kedua belah pihak merasa

pendapat masing-masing telah diakomodir dalam proses menentukan besaran

tebusan. Konsep seperti ini dinilai lebih adil dibanding menentukan skala besaran

tebusan tanpa adanya diskusi atau musyawarah.

Ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dan mufasir mengenai

posisi khulu’ dalam Islam. Apakah khulu’ merupakan perceraian atau fasakh

(pembatalan pernikahan). Maka dalam hal ini K.H. Sholeh Darat menulis dapat

tafsirnya sebagai berikut.


93

‫ حكومي طالق ملون فاسخ مك اورا دادي‬. ‫عدامل مساله خلع حكومي افا‬qۛ ‫فدا سواليا علماء ا‬

‫ ۛعن دقا اميامن ا ش فعى ىف اجلدي د س تهوىن خل ع ايك و حك ومى‬. ‫ۛعورا ۛعاكن ا ۛع ويال ۛع اىن طالق‬

166
‫طالق‬

“Podo suloyo poro ulama ingdalem masalah khulu’ hukume opo. Hukume
talak lamun fasakh, moko ora dadi ngurangaken ing wilangane talak.
Ngendiko Imamuna Syafi’i Fil Jadid, setuhune khulu’ iku hukume talak.”
“Para ulama berbeda pendapat dalam masalah khulu’ itu hukumnya apa.
Hukumnya talak jika fasakh, maka tidak mengurangi bilangan talak. Imam
Syafi’i berkata dalam Qaul Jadid, sesungguhnya khulu’ itu hukumnya
talak.”
Lebih jelasnya K.H. Sholeh Darat dalam pernyataannya tersebut

menjelaskan bahwa ketika khulu’ dihukumi sama dengan talak atau dihukumi

fasakh maka tidak akan mengurangi bilangan talak. Artinya perceraian melalui

khulu’ tetap sama takarannya dengan talak. Beliau juga memperkuat dengan

pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan khulu’ itu hukumnya sama dengan talak.

Pendapat beliau ini juga sesuai dengan asbab al-nuzul yang disebutkannya pada

awal penafsiran Q.S. al-Baqarah/2: 229, yakni Tsabit bin Qais diminta oleh Nabi

Muhammad saw. untuk menjatuhkan talak kepada istrinya yang telah mengajukan

khulu’ dan mengembalikan mahar.

Sebagian fuqaha berpandangan khulu’ adalah perceraian, oleh sebab itu

suami harus menyatakan cerai setelah istri mengembalikan maharnya sebagian

atau seluruhnya sesuai kesepakatan. Para fuqaha’ berpendapat bahwa khulu’

166
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 217.
94

adalah talak ba’in. Mereka berpendapat bahwa khulu’ adalah lafal yang dimiliki

oleh suami, oleh sebab itu khulu’ disebut sebagai talak. Seandainya khulu’ itu

fasakh, sudah tentu tidak boleh dilakukan tanpa mengembalikan mahar. Akan

tetapi, khulu’ boleh dilakukan dengan tebusan harta yang banyak atau sedikit, baik

itu dari mahar atau yang lainnya. Maka, menurut mereka khulu’ itu talak bukan

fasakh.

Sedangkan berlawanan dengan pendapat K.H. Sholeh Darat, fuqaha yang

lain berpendapat bahwa khulu’ hanyalah fasakh atau pembatalan pernikahan yang

terjadi setelah istri mengembalikan mahar dan kembali ke rumahnya sendiri.

Menurut pendapat yang mengatakan khulu’ hanyalah fasakh, suami tidak perlu

mengucapkan talak, yakni hubungan pernikahan dibatalkan tanpa pernyataan cerai

dari suami. Pendapat ini menurut Engineer juga dikuatkan oleh fakta bahwa Nabi

saw. memerintahkan istri Tsabit bin Qais menjalani ‘iddah selama satu bulan saja,

sedangkan dalam perceraian perempuan dituntut menjalani ‘iddah selama tiga kali

quru’.167 Ibnu Abbas menambahkan, seandainya khulu’ itu adalah talak maka

‘iddahnya tidak akan berbeda dengan talak.

Pada akhir penafsirannya, K.H. Sholeh Darat menyebut makna isyari

dalam pembahasan mengenai perceraian dan khulu’. Beliau menyebut dengan

jelas dengan redaksi kata makna isyari, agar pembaca tafsir beliau dapat

memahami bahwa bagian ini merupakan penafsiran beliau dengan corak tafsir sufi

isyari, setelah bagian-bagian yang lain ditafsirkan sesuai makna lahiriah ayat.

Corak tafsir sufi isyari adalah meafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak sama dengan
167
Ashgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Fakhra Assegaf, 212.
95

makna lahir dari ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat

tersembunyi yang dilihat oleh mufasir.

‫اتن لن فس اهن‬q‫فيس ان ف دا ف ۬ك‬-‫ س تهوىن و ۛعك ۛع اهاللص احبه ايك و اورا فيس ان‬: ‫معن االش ري‬

‫ بالي ك‬. ‫كل وان س بب نرج ا ۛع سافس ان ايك و اورا كل وان س بب نرج ا ۛع كافن دو ايك و اورا‬

‫ۛعاالفاكن لن ۛعافورا كالوفوتان امال سافسان اتوا فندو ه ۛع ۬كا ويس كافي ۛع تالو مك ۛعوچف‬

168
‫"فامساك مبعروف او شريح باحسان" انا كالىن ف ۬كات ب ۬كوس أتوا صاحل ك ۛع با ۬كوس‬

“Ma’na al-isyari: setuhune wong kang ahlu al-shohabah iku ora pisan-
pisan podo pegatan lan pisahan kelawan sebab nerjang sepisan iku ora
kelawan sebab nerjang kepindo. Iku ora balik ngalapaken lan ngapuro
kaluputan ambal sepisan utowo pindo, hinggo yen wes kapeng telu moko
ٍ ‫بِاِحس‬
ngucap "‫ان‬ ٍ ‫اك مِب َع رو‬
‫ف اَْو َش ِريْ ٌح‬ ِ
ْ َ ْ ُ ْ ٌ ‫"فَا ْم َس‬. Ono kalane pegat bagus, utowo
shoheh kang bagus.”
“Makna isyari: sesungguhnya orang yang ahlu shahabah itu tidak akan
melakukan perceraian dengan sebab melanggar sekali atau dengan sebab
melanggar kedua kali. Itu tidak pernah melakukan dan memaafkan
kesalahan yang pertama atau yang kedua, sehingga jika sudah yang ketiga
maka mengucap, “tahanlah dia dengan baik dan lepaskan dia dengan baik
pula”. Ada kalanya bercerai itu bagus, atau mempertahankan yang lebih
bagus.”
Makna isyari yang diungkapkan oleh K.H. Sholeh Darat menunjukkan

penafsirannya yang bercorak sufi. Dalam makna isyari tersebut, K.H. Sholeh

Darat menjelaskan bahwa mempertahankan hubungan pernikahan jauh lebih baik

dibandingkan dengan perceraian. Kecuali jika kesalahan yang dilakukan oleh

pihak suami atau pun pihak istri itu sudah sampai tiga kali dan bercerai dirasa jauh

168
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh ar-Rahman Fi Tarjamat Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan, 217.
96

lebih baik daripada bertahan, maka bercerai adalah keputusan yang bagus. Dalam

keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan pernikahan,

perceraian menjadi lebih bagus. Misalnya, ketika suami mempunyai kebiasaan

menjadi pemabuk atau berzina dengan perempuan lain, istri yang tidak bisa

menuaikan hak sebagai istri padahal sudah dinasihati, dan keadaan-keadaan buruk

lainnya. Jika keburukan-keburukan atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan

suami atau istri masih bisa untuk diubah, maka mempertahankan jauh lebih baik.

K.H. Sholeh Darat juga mengutip sebuah perkataan, tahanlah dia dengan

baik atau lepaskanlah dia dengan baik. Artinya, jika seorang suami atau istri

masih ingin dan sanggup mempertahankan pernikahannya, maka ditahan dengan

baik bukan malah membiarkan dan justru tidak memenuhi kewajiban sebagai

suami atau istri. Namun, ketika salah satu dari suami atau istri sudah tidak

sanggup karena yang berbuat kesalahan tidak mau memperbaiki dirinya, maka

boleh dilepaskan (diceraikan) dengan cara yang baik.

Dalam menafsirkan ayat ini, K.H. Sholeh Darat memosisikan dirinya

secara netral, tidak memihak pada laki-laki juga tidak memihak pada perempuan.

Dalam menyebut posisi khulu’ dalam Islam, beliau berpendapat bahwa khulu’

sama dengan talak karena mengharuskan laki-laki menjatuhkan talak terlebih

dahulu sesudah istri memberikan ‘iwadh. Di satu sisi beliau juga menyebutkan

kebolehan istri menggugat cerai suami tanpa ada alasan apa pun, namun

perempuan yang menggugat cerai suami tanpa ada alasan tersebut tidak baik

akhlaknya karena mencari-cari kesalahan pada orang yang tidak memiliki

kesalahan.
97

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan analisis terhadap penafsiran

dari kitab Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat mengenai isu-isu

perempuan, dapat dikemukakan kesimpulan utama bahwa penafsiran K.H. Sholeh

Darat terhadap isu-isu perempuan cenderung netral, artinya sebagian sejalan

dengan pendapat feminis muslim dan sebagian lainnya lebih tradisional. Sebagian

penafsirannya menempatkan kedudukan perempuan setara dengan laki-laki,

namun ada sebagian penafsiran lainnya yang masih bias gender. Bias gender yang
98

dihasilkan dari penafsiran K.H. Sholeh Darat kemungkinan besar terjadi karena

faktor kondisi sosial pada masa ia menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Melalui dua isu perempuan yang dijadikan sampel penelitian oleh penulis,

yakni isu kesaksian perempuan dan isu hak menggugat cerai bagi perempuan

dalam Tafsir Faidh al-Rahman dapat disimpulkan bahwa perempuan boleh

menjadi saksi dalam berbagai ranah. Hal ini menunjukkan bahwa K.H. Sholeh

Darat menganggap kedudukan laki-laki dan perempuan setara dalam wilayah

kesaksian yang boleh disentuh. Alasan aturan persaksian bahwa perempuan harus

dua orang untuk menggantikan satu orang laki-laki adalah karena perempuan

memiliki kurang akal dan kurang agama. Pendapat ini jelas dibantah oleh

kalangan feminis, sebab kentara memosisikan perempuan pada kedudukan

inferior. Namun, dua orang perempuan untuk menggantikan satu laki-laki bukan

berarti keduanya menjadi saksi, akan tetapi K.H. Sholeh Darat menyebut satu

orang perempuan hanya menjadi pengingat bagi yang satunya lagi.

Otoritas laki-laki dalam khulu’ masih terlihat dalam penafsiran K.H.

Sholeh Darat tatkala ia menyebut khulu’ sama dengan talak. Juga ketika ia

menyebut dalam asbab al-nuzul bahwa meskipun istri Tsabit berhak mengajukan

gugatan cerai kepada Tsabit, namun Tsabit tetap harus menjatuhkan talak kepada

istrinya.

Hadis mengenai haram bau surga bagi perempuan yang menggugat cerai

kepada suaminya yang dimuat dalam penafsiran tentang khulu’ bukanlah sebuah

hal yang bias gender. Sebab, dalam penafsirannya K.H. Sholeh Darat meletakkan
99

hadis ini sesudah kemakruhan bagi perempuan yang menggugat cerai tanpa ada

alasan yang membolehkan menggugat cerai. Ia juga menyebut bahwa perempuan

boleh menggugat cerai tanpa ada alasan nusyuz, ghadab, dan maksiat, tetapi

hukumnya makruh. Namun, mencari-cari kesalahan suami agar bisa bercerai

bukanlah akhlak yang bagus. Sehingga posisi hadis tersebut untuk pencegahan

dalam hal yang tidak baik tersebut.

Ketika menyebut besaran ‘iwadh (tebusan dalam khulu’), K.H. Sholeh

Darat bersikap tidak begitu meringankan perempuan. Ia menyebut dengan

mengutip pendapat fuqaha’, yakni tidak boleh dan boleh jumlahnya melebihi

mahar. Ia tidak menyebut sebagaimana mufasir yang lebih moderat, yakni besaran

khulu’ masih bisa didiskusikan antara pihak suami dan pihak istri agar tidak

memberatkan kedua pihak.

B. Saran-saran

Isu-isu perempuan yang difokuskan dalam penelitian ini hanya dua isu

(kesaksian dan hak menggugat cerai), tentu isu-isu yang lainnya masih perlu

untuk diteliti oleh peneliti lainnya. Karya tafsir yang dijadikan sumber utama

dalam penelitian ini pun Tafsir Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat,

sehingga memberikan peluang agar lebih banyak lagi dan diperluas karya-karya

tafsir yang diteliti pada bagian yang konsen terhadap isu-isu perempuan, baik itu

tafsir nusantara maupun karya dari timur tengah.

Adanya penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para

peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji tentang isu-isu perempuan atau Tafsir
100

Faidh al-Rahman karya K.H. Sholeh Darat. Penelitian ini juga diharapkan

menambah wawasan dalam khazanah keilmuan bagi para akademisi khususnya

dan masyarakat umum secara luas. Dengan pembacaan ulang terhadap penafsiran

mengenai isu-isu perempuan dalam Al-Qur’an diharapkan bisa meminimalisir

atau bahkan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di dunia.

Anda mungkin juga menyukai