Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syariat islam datang sebagai penutup bagi seluruh syariat agama. Nabi SAW
diutus kepada ummat manusia, yaitu dimulai dengan memperbaiki kondisi bangsa
Arab yang telah dipilih oleh Allah untuk menjadi penolong dan mengajak kepada
agama-Nya. Pada masa sebelum islam, bangsa Arab pada umumnya memiliki dua
kondisi yaitu dengan menyembah berhala dan sistem kemasyarakatannya yang
kacau balau. Adapun untuk memurnikan kondisi sosial yang demikian itu, dengan
menyiarkan agama Allah yaitu dengan memperbaiki dua kondisi yang menjangkit di
masyarakat Arab tersebut.
Tahap awal dari orientasi islam adalah membenahi aqidah, sebagai landasan
utama yang kelak akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakat.
Islam telah menanamkan akidah tauhid kedalam lubuk hati mereka dan
membimbing mereka kepada keikhlasan dalam beribadah kepada Allah swt. Di
samping itu, dikikis pula sedikit demi sedikit moral yang bejad dari jiwa mereka,
menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah daging di kalangan
mereka dan membentuk akhlak serta kepribadian yang baik.
Bangsa arab sebelum kedatangan islam telah mengenal norma-norma sosial,
namun norma-norma sosial itu belum menjadi suatu undang-undang wajib yang
menjadi rujukan dalam menyelasaikan pertikaian-pertikaian dan melindungi hak-
hak mereka. Padahal teks undang-undang tersebut telah dikenal oleh banyak
masyarakat.
Ketika islam datang, islam menerapkan prinsip-prinsip yang baik. Dalam hal
ini islam menyamaratakan semua golongan sosialnya, tidak membeda-bedakan
antara penguasa dengan rakyat, yang kaya dengan yang miskin, dll.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan hukum arab pada masa pra islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan hukum arab pada masa pra islam.
BAB II

PEMBAHASAN

Kehidupan masyarakat Arab pada masa pra islam dikenal dengan sebutan zaman
jahiliyah. Zaman jahiliyah adalah zaman kebodohan atau kegelapan terhadap
kebenaran. Dari aspek sosial, bangsa Arab pra Islam adalah bangsa yang ummiy (tidak
bisa bacatulis). Perhatian besar bertumpu pada ilmu lisan, syair, periwayatan biografi,
sedikit ilmu nujum, ramalan bintang, cuaca buruk, yang dipelajari secara pengalaman,
untuk kehidupan.

Ada ciri khusus yang melekat pada bangsa arab pra Islam:

1. Ashobiyyah/ Fanatisme kesukuan sangat tinggi;


2. Tidak ada sistem/norma yang mengatur secara ketat wilayah kehidupan sosial antar
individu maupun kelompok ;
3. Pengundian nasib (al-azlam) dalam pengambilan keputusan
4. Aspek Agama dan Keyakinan

Sebagian besar suku Arab menyembah berhala (paganism), dengan bentuk yang
berbeda-beda, jumlah berhala yang mereka sembah mencapai 360 berhala, yang
seluruhnya terletak di sekitar Ka’bah. Tiap suku memiliki berhala sendiri, juga terdapat
patung Nabi Ibrahim, Isa Al-Masih, dan Hubal sebagai berhala suku Quraisy, berhala-
berhala itu terbuat dari batu akik dan batu hitam.

Selain itu juga ada agama lain yang di anut oleh bangsa Arab pra Islam, yaitu
penyembahan bintang (kaum sha’ibah), penyembah api (majusi), ada juga penganut agama
samawi seperti Yahudi, Kristen, Hanifiyah (agama Ibrahim) yang mengajak mengesakan
Allah, beriman kepada hari kebangkitan, pahala dan siksa. Orang Arab Jahiliyah
mempunyai agenda tahunan setiap bulan Dzulhijjah melakukan thawaf, ada yang
melakukannya secara benar seperti diajarkan Nabi Ibrahim AS (agama Hanif), ada juga
yang menyimpang dengan cara telanjang atau setengah telanjang. Mereka juga
melaksanakan Qurban, darahnya dipersembahkan kepada Tuhan.

Berikut adalah beberapa penerapan hukum arab pra islam dalam beberapa aspek :

a. Aspek ekonomi
Dari aspek ekonomi, kebanyakan bangsa Arab di semenanjung Arabia saat
itu berprofesi sebagai pedagang. Berlaku hukum layaknya pasar liberal, pemodal
besar akan selalu menang dan menjadi tuan bagi orang miskin yang tidak melunasi
hutangnya. Para konglomerat itu gemar mengumpul harta dan menghitungnya, serta
mengira harta itu akan mengekalkan dirinya (QS. AlHumazah: 1-3). Ada juga
penggembala dari suku Badui.
Kota Makkah merupakan daerah strategis yang menjadi jalur transit
perdagangan. Bahkan sebelum ditemukan Tanjung Harapan dan Terusan Suez, jalur
Arab merupakan jalur potensial untuk distribusi bahan pokok ke Eropa. Ada dua
jalur perdagangan: Jalur syita’ (musim dingin) pergi ke Yaman, dan jalur shaif
(musim panas) pergi ke Syam. (QS. Al-Quraisy). Ka’bah menjadi pusat daya tarik
kota Makkah, sehingga mengudang Abrahah dari Yaman mau menguasai dan
memindahkannya. (QS. Al-fīl).

b. Aspek sosial
Dari aspek sosial, bangsa Arab adalah bangsa yang ummiy, keadaan seperti
tidak akan dapat membangun sebuah aturan, meletakkan dasar- dasar perundang-
undangan yang dapat menjamin sebuah kehidupan yang stabil. Agama yang
dominan di antara mereka adalah penyembahan berhala (paganisme). Selain
penyembah berhala, sebagian masyarakat di jazirah Arab juga ada yang menganut
agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan agama Ibrahim. Agama Yahudi banyak
dianut di bagian utara jazirah Arab, sedangkan agama Kristen berkembang di
wilayah selatan jazirah Arab. Adapun pengikut agama Ibrahimi, yaitu mereka yang
menyerukan supaya meninggalkan penyembahan berhala dan mengikuti ajaran Nabi
Ibrahim yang menyerukan keesaan Allah.
Untuk masalah akhlak bangsa Arab sebelum datangnya Islam, mereka masih
berjiwa lemah, suka berkhianat dan mencuri. Sedangkan dari aspek ekonomi,
bangsa Arab pra Islam hidup sebagai penggembala kambing di pelosok kampung.
Mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup karena sedikitnya air hujan yang
turun tidak teratur, sehingga mereka banyak melakukan perampokan dan pencurian.

c. Aspek politik
Dari segi politik, orang- orang Arab belum mengenal istilah negara dalam arti yang
sesuai menurut undang- undang, karena negara dengan definisi ini harus memiliki
aturan, undang- undang dasar, kehakiman. Inilah yang tidak ditemukan dari bangsa
Arab pra Islam, mereka hanya hidup dalam sistem kabilah, setiap kabilah ada
pemimpin, dan tidak ada kekuasaan yang menyatukan semua pemimpin kabilah.
Sedangkan dari aspek perundang- undangan, banyak terpengaruh oleh
kondisi politik, ekonomi dalam perundang- undangan yang tersebar pada saat itu.
Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan mereka untuk menulis (ummiy) yang
memang menjadi fenomena umum masyarakat Arab pra Islam pada masa itu,
sehingga tidak dapat melahirkan sebuah sistem perundang- undangan yang
sempurna, yang ada hanyalah berupa aturan- aturan adat kebiasaan lokal.
Mengabdikan diri pada Ka’bah merupakan jabatan prestisius bagi suku-suku
Quraisy. Ada pembagian tugas mengurus Ka’bah, seperti abad ke-5 yg dijabat oleh
Qusay bin Kilab.
(1) Hijabat, penjaga pintu Ka’bah atau juru kunci. Jabatan kehormatan ini selalu
dipegang oleh kakek moyangnya Nabi Muhammad Saw.
(2) Siqaya, petugas penyedia air minum, khususnya Zamzam.
(3) Rafidha, petugas pemberi makan, bagi jamaah haji tidak mampu.
(4) Nadwa, petugas pemimpin rapat tahunan.
(5) Liwa’, petugas penyeru untuk berperang dan pemegang panji yang
dipancangkan di tombak.
(6) Qayida, panglima perang.

d. Perkawinan
Dalam Aspek Hubungan Keluarga, ada beberapa bentuk pernikahan,
diantara yang biasa dilakukan masa itu, seorang wanita dilamar dari orang tuanya,
lalu sang pelamar memberi mahar, kemudian akad nikah antara calon suami dan
wali setelah calon mempelai wanita dimintai izin dan ridha, serta disaksikan oleh
para saksi. Akad inilah yang masih tersisa dari ajaran Nabi Ibrahim. Ada juga
berbagai bentuk pernikahan lain yang sebenarnya sama dengan perzinaan, lalu
dibatalkan oleh Islam. Praktik Poligami sudah menjadi kebiasaan pada saat itu tanpa
mengenal batas.

Ada beberapa macam jenis pernikahan pada masa ini, antara lain :
 Pernikahan istibdha’, yaitu suami meminta istrinya untuk berhubungan
badan dengan laki-laki mulia atau mempunyai kelebihan sesuatu, tujuannya
untuk mendapatkan gen, sifat atau keturunan terhormat.
 Rahthun (poliandri), yaitu setelah hamil, si wanita akan memanggil para
suaminya lalu menunjuk salah satu, yang ditunjuk tak boleh menolak.
 Maqthu’, anak tiri menikahi ibu tirinya ketika ayahnya meninggal.
 Badal, tukar-menukar istri tanpa ada perceraian terlebih dahulu.
 Sighar, seorang wali menikahkan anak/saudara perempuannya dengan
lakilaki lain tanpa mahar, dengan kompensasi si wali sendiri menikahi
anak/saudara perempuan si laki tsb.
 Khadan, nikah secara sembunyi-sembunyi (kumpul kebo).

e. Mu’amalah
Praktik riba juga tersebar diantara mereka, bahkan menganggapnya lebih
penting dari jual beli karena keuntungan dalam jual beli belum pasti, sedangkan riba
sudah pasti. Dalam bidang muamalah, banyak terjadi unsur penipuan, jahalah,
seperti dalam jual beli munabadzah (menjual sesuatu dengan cara melemparkannya
ke tanah lalu akad sah), mulazamah (menjual dengan cara menyentuh barang yang
dijual lalu akad sah), hushat (jual beli dengan cara melempar batu) atau jual beli
hablul hablah (menjual janin dari janin yang ada di perut unta yang sedang hamil).

f. Kewarisan
Ada sistem warisan walaupun belum proporsional pembagiannya, sesuai
kehendak dan wasiat orang yang akan meninggal. Mereka tidak memberi warisan
kepada wanita dan anak-anak. Jika mengadopsi anak orang lain, maka nasabnya
berpindah kepada yang mengadopsinya, bukan kepada orang tuanya yang asli. Dan
orang tua angkat atau anak angkat tersebut saling mewarisi, seperti orang tua atau
anak kandung.

g. Sistem peradilan
Peradilan pada masa itu masih dalam bentuknya yang sederhana, dan setiap
kabilah memiliki system peradilannya tersendiri. Istilah yang digunakan pada masa
itu adalah hukumah, dimana dalam pelaksanaannya dipimpin oleh orang-orang
kabilah tersebut yang dianggap memiliki kapabilitas sebagai seorang “hakim”.
Dalam proses “peradilan”, petunjuk dan “wangsit” yang diperoleh oleh dukun dan
dijadikan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan. Sehingga apabila
terdapat bukti-bukti yang lain seperti saksi, tidak akan dipergunakan. Pengadilan
Arab Jahiliyah tidak menerima perempuan menjadi saksi, dalam masalah perdata
maupun pidana. Perempuan merupakan milik kabilahnya. Jika mau dikawini, maka
ia harus dibeli dari kabilah itu. Kemudian, perempuan adalah milik walinya, ia harus
tunduk pada walinya, suka atau tidak suka.

h. Sistem Hukum Jahiliyyah Masyarakat Arab Pra-Islam


Secara umum, periode Makkah pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyyah
yang berarti kebodohan dan barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti,
masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir
keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu yang terutus
dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki kitab suci khusus yang
terwahyukan (no revealed book) dan menjadi pedoman hidup (Hitti, 1974: 87).
Merujuk kata "Jahiliyyah" dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat Ali Imron/3 ayat 154
(…yazhunnuna bi Allahi ghayra al-haqqi zhanna al-jahiliyyati…), surat al-
Ma'idah/5 ayat 50 (afahukma al-jahiliyyati yabghuna…), surat al-Ahzab/33 ayat 33
(wala tabarrujna tabarruja al-jahiliyyati …) dan surat al-Fath/48 ayat 26 (…fi
qulubihmu al-hamiyyata hamiyyata al-jahiliyyati…) sebagaimana ditunjuk oleh
Philip K. Hitti (1974: 87) dan diidentifikasi oleh Muhammad Fuad sebagai ayat-ayat
yang mengandung kata ―Jahiliyyah‖ (Al-Baqi, 1986: 184), cukup memberikan
sebuah petunjuk bahwa masyarakat Jahiliyyah itu memiliki ciri-ciri yang khas pada
aspek keyakinan terhadap Tuhan (zhann bi Allahi), aturan-aturan peradaban (hukm),
life style (tabarruj) dan karakter kesombongannya (hamiyyah). Sehubungan dengan
sejarah kemanusiaan, hukum Jahiliyyah ternyata membuat keberpihakan pada
kelompok tertentu yang dapat disebut memiliki karakter rasial, feodal dan
patriarkhis.
 Karakter Rasial
Sifat pertama, rasial, yang terdapat pada hukum Jahiliyyah bisa ditunjukkan
dengan adanya perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan
kesukuan ('ashabiyyah) serta adanya pembelaan terhadap orang-orang yang
berada dalam komunitas kesukuan (qabilah) yang sama. Pada masyarakat Arab
pra-Islam, dikenal istilah al-'ashabiyyah atau al-qawmiyyah yang berarti
kecenderungan seseorang untuk membela dengan mati-matian terhadap orang-
orang yang berada di dalam qabilah-nya dan dalam qabilah lain yang masuk ke
dalam perlindungan qabilah-nya. Benar atau salah posisi seseorang di dalam
hukum, asal dia dinilai sebagai inner group-nya, pasti akan selalu dibela mati-
matian ketika berhadapan dengan orang yang dinilai sebagai outer group-nya.
 Karakter Feodal
Karakter feodal pada hukum Arab pra-Islam tergambar dengan adanya
superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum bangsawan di atas kaum
miskin dan lemah. Kehidupan dagang yang banyak dijalani oleh orang Arab
Makkah pada waktu itu –yang mengutamakan kesejahteraan materi- menjadikan
tumbuhnya superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas golongan miskin
dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah pemegang
tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan sejahtera
di Makkah, kebalikan dari kaum miskin dan lemah.
 Karakter Patriarkhis
Karakter berikutnya yang melekat kuat pada hukum Jahiliyyah adalah
patriarkhis. Dalam penelitian Haifaa, kaum lelaki pada waktu itu memegang
kekuasaan yang tinggi dalam relasi laki-laki dengan perempuan, diposisikan
lebih tinggi di atas kaum perempuan, kaum perempuan mendapatkan perlakuan
diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap sebagai biang kemelaratan dan
simbol kenistaan (embodiment of sin). Dalam sistem hukum Jahiliyyah,
perempuan tidak memperoleh hak warisan, bahkan dijadikan sebagai harta
warisan itu sendiri. Kelahiran anak perempuan dianggap sebagai aib, sehingga
banyak yang kemudian dikubur hidup-hidup ketika masih bayi. Secara singkat,
dalam istilah Haifaa, perempuan diperlakukan sebagai a thing dan bukan
sebagai a person.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bangsa Arab adalah bangsa yang ummiy, keadaan seperti tidak akan dapat
membangun sebuah aturan, meletakkan dasar- dasar perundang-undangan yang
dapat menjamin sebuah kehidupan yang stabil. Agama yang dominan di antara
mereka adalah penyembahan berhala (paganisme). Selain penyembah berhala,
sebagian masyarakat di jazirah Arab juga ada yang menganut agama samawi,
seperti Yahudi, Kristen, dan agama Ibrahim. Agama Yahudi banyak dianut di
bagian utara jazirah Arab, sedangkan agama Kristen berkembang di wilayah selatan
jazirah Arab. Adapun pengikut agama Ibrahimi, yaitu mereka yang menyerukan
supaya meninggalkan penyembahan berhala dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim
yang menyerukan keesaan Allah.
Menurut sejarah, sebelum diutusnya Nabi Muhammad, bangsa Arab hidup
dalam suasana yang beragam, baik dari aspek sosial, ekonomi, politik, dan
perundangan, muamalah, perkawinan, kewarisan, sistem peradilan dan sistem
hukum.

Anda mungkin juga menyukai