Anda di halaman 1dari 9

MUQADDIMAH

Mengambil Teladan dari Sirah Nabawiyah

S iapa pun yang mengkaji Sirah Nabawiyah pasti merasa heran. Sebuah bangsa yang
sebelumnya terbenam dalam lumpur kejahilayahan, hanya dalam masa kurang dari
seperempat abad, tiba-tiba berubah menjadi generasi terbaik yang pernah dilahirkan
ke muka bumi. Dari gurun pasir yang tandus itu lahirlah para khalifah agung, jenderal
tangguh, ulama’ jenius, dan ribuan manusia yang malam harinya tunduk bersimpuh
bagaikan rahib di biara, namun siangnya gesit berjuang bagaikan singa di rimba. Kita
patut bertanya, bagaimana mereka diubah sedemikian cepat? Seperti apa metodenya?
Apakah metode yang dipergunakan untuk mendidik generasi itu masih dapat
dipergunakan kembali di zaman ini?
Secara global Allah menceritakan perubahan drastis yang mereka alami itu dalam firman-
Nya: “Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2).
Demikianlah berkah kenabian. Itulah pengaruh wahyu ketika bersentuhan dengan jiwa-
jiwa manusia yang bersedia menerima dan mengembannya sepenuh hati, yang kemudian
direkam dalam Sirah Nabawiyah. Kalau bukan karena kenabian dan wahyu, niscaya
mereka terkubur oleh zaman, tanpa pernah dikenang maupun disebut-sebut.
Sehubungan ayat diatas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Hal itu dikarenakan dulu bangsa
Arab berpegang pada agama Ibrahim al-Khalil , lalu mereka mengganti dan
mengubahnya, membolak-balikkan dan melanggarnya. Mereka mengganti tauhid dengan
syirik dan keyakinan dengan keraguan. Mereka juga membuat-buat sendiri berbagai hal
yang tidak diizinkan oleh Allah. Demikian pula dua kaum Ahli Kitab, mereka telah
mengganti kitab-kitab mereka, menyelewengkannya, mengubahnya, dan membelokkan
maknanya. Maka, Allah pun mengutus Muhammad  dengan membawa syariat yang
agung, sempurna, dan universal untuk seluruh makhluk. Di dalam syariat itulah
terkandung hidayah bagi mereka, serta penjelasan atas semua yang mereka perlukan baik
untuk urusan penghidupan mereka (di dunia) maupun tempat kembali mereka kelak (di
akhirat), menyeru mereka kepada hal-hal yang akan mendekatkan mereka kepada surga
dan keridhaan Allah, melarang mereka dari hal-hal yang akan mendekatkan mereka
kepada neraka dan kemurkaan Allah. Beliau adalah hakim dan pemisah untuk semua
syubhat (samar-samar), keraguan, dan kebimbangan dalam masalah ushul (pokok) maupun
furu’ (cabang). Allah telah menyatukan dalam diri beliau – segala puji dan karunia adalah
milik Allah – semua kebaikan dari orang-orang sebelumnya, dan memberi beliau hal-hal
yang tidak diberikan kepada kepada seorang pun di zaman-zaman silam, tidak juga
seorang pun di zaman-zaman berikutnya, semoga shalawat dan salam senantisa terlimpah
kepada beliau, hingga tibanya Hari Pembalasan.”1
Apakah kekhususan ini hanya bagi bangsa Arab?

1
Tafsir Ibnu Katsir, VIII/116.
1
Ternyata tidak, sebab ayat berikutnya menyatakan, sbb: “Dan (juga) kepada kaum yang lain
dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Qs. Al-Jumu'ah: 3). Mujahid menafsirkan ayat ini dengan menyatakan,
“Mereka adalah orang-orang ‘Ajam, dan siapa saja yang membenarkan Nabi  di
kalangan bangsa-bangsa non-Arab.”2
Artinya, jika bangsa-bangsa lain sesudahnya dididik pula dengan apa yang dulu
dipergunakan Allah untuk membina bangsa Arab di zaman itu, niscaya mereka akan
terselematkan pula dari “kesesatan yang nyata”, menjadi suci dan berilmu, kuat dan
bermartabat, dengan seizin-Nya.
Pertanyaannya: bagaimana mereka dididik? Untuk menjawabnya, mari kita kaji kisah
yang diceritakan oleh Imam al-Bukhari berikut ini:
Yusuf bin Mahak bercerita: suatu ketika, aku berada di tempat ‘Aisyah ummul mu’minin
radliallahu 'anha. Tiba-tiba seseorang dari Iraq menemui beliau seraya berkata, "Manakah
kain kafan yang lebih baik?" Beliau menjawab, "Aduh, apa ruginya bagimu?" Laki-laki itu
berkata, "Wahai ummul mu’minin, tunjukkanlah Mushhaf Anda padaku." Beliau bertanya,
"Untuk apa?" Ia menjawab, "Agar aku dapat menyusun Al-Qur’an berdasarkan padanya.
Sebab, Al-Qur’an itu dibaca tidak secara tersusun." ‘Aisyah berkata, "Apa ruginya bagimu
untuk membaca bagian mana saja darinya? Sesungguhnya yang pertamakali diturunkan
darinya adalah surah al-mufashshal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka.
Ketika manusia telah tertarik kepada Islam, maka turunlah ayat-ayat tentang halal dan
haram. Seandainya yang pertamakali turun adalah ayat: “Janganlah kalian minum khamer,”
niscaya mereka akan mengatakan: “Kami tidak akan meninggalkan khamer untuk
selamanya.” Seandainya yang pertamakali turun adalah ayat: “Janganlah kalian berzina,”
niscaya mereka akan mengatakan: “Kami tidak akan meninggalkan zina untuk
selamanya.” Sungguh telah diturunkan: balissaa'atu mau'iduhum was-saa'atu ad-haa wa amarr
(Qs. al-Qamar: 46) kepada Muhammad  di Makkah, yang mana ketika itu aku masih
seorang gadis kecil yang suka bermain-main. Dan tidaklah surat al-Baqarah serta an-Nisa’
diturunkan kecuali aku telah berada di sisi beliau.” Yusuf bin Mahak berkata: “Lalu
‘Aisyah mengeluarkan Mushhaf dan mendiktekan kepada orang Iraq itu ayat-ayat dari
surah (Al-Qur’an).”3
Ketika mengomentari hadits diatas, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Beliau (yakni: ‘Aisyah)
mengisyaratkan hikmah ilahiyah di balik urutan penurunan Al-Qur’an (tartibu at-tanzil).
Sesungguhnya yang mula-mula diturunkan dari Al-Qur’an adalah seruan kepada tauhid,
memberi kabar gembira berupa surga kepada orang beriman lagi taat, dan mengancam
orang yang kafir lagi durhaka dengan neraka. Ketika jiwa-jiwa (manusia) telah mantap
diatas semua itu, diturunkanlah hukum-hukum.”4
Oleh karenanya, ketika kaum kafir mempertanyakan mengapa Al-Qur’an diturunkan
secara bertahap, Allah menjawab: “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Quran itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu
dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (Qs. Al-Furqan: 32).
Ada banyak riwayat yang menceritakan secara lebih terinci bagaimana tahap-tahap itu
ditempuh, yang ditujukan untuk meneguhkan hati dan memudahkan pengkajian.

2
Idem.
3
Shahih al-Bukhari, no. 4707. Dr. Mushthafa Dib al-Bugha menjelaskan maksud pernyataan Yusuf bin
Mahak di akhir hadits tsb: “Maka ‘Aisyah membacakan kepadanya agar ia menulis surah-surah dan ayat-
ayat sesuai (urutan) penurunannya.” Wallahu a’lam.
4
Fathul Bariy IX/40.
2
Misalnya, ‘Umar bin al-Khatthab  berkata, “Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat lima ayat,
karena sesungguhnya Jibril dulu menurunkannya lima lima kepada Nabi .”5
Abu Nadhrah berkata, “Dulu Abu Sa’id al-Khudry mengajarkan Al-Qur’an kepada kami
lima ayat di pagi hari dan lima ayat di sore hari. Beliau mengabarkan bahwa Jibril
menurunkan Al-Qur’an lima ayat lima ayat.”6
‘Ikrimah berkata, “Allah menurunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur dalam tiga,
empat, dan lima ayat.” An-Nikzawiy juga berkata, “Dulu Al-Qur’an diturunkan secara
terpisah-pisah, dalam satu, dua, tiga, empat ayat, dan lebih dari itu.”7
Oleh karenanya, para Sahabat pun mempelajari Al-Qur’an secara bertahap, pelan-pelan,
bagian demi bagian. Mereka berusaha memadukan ilmu dan amal sekaligus. Terdapat
cukup banyak riwayat yang menceritakan masalah ini. Misalnya, Ibnu Mas’ud  berkata,
“Dulu bila kami mempelajari 10 ayat Al-Qur’an dari Nabi , maka kami tidak
mempelajari 10 ayat berikutnya sampai kami mengetahui apa amalan yang diturunkan
dalam ayat-ayat ini.”8
Abu ‘Abdirrahman as-Sulami (seorang Tabi’in) berkata, “Kami ini hanyalah mempelajari
Al-Qur’an dari suatu kaum yang memberitahu kami, bahwa dulu mereka – bila telah
mempelajari 10 ayat – maka mereka tidak akan melanjutkannya kepada 10 ayat lainnya
sampai mereka tahu amalan apa yang ada di dalamnya. Maka, kami pun mempelajari
ilmu dan amal sekaligus. Sungguh suatu kaum akan mewarisi Al-Qur’an sesudah kami,
mereka meminumnya seperti meminum air, namun ia tidak melampaui ini.” – beliau
menunjuk ke langit-langit mulutnya dengan tangannya.9
Inilah rahasia mengapa iman para Sahabat sedemikian kokoh. Mereka dididik dengan Al-
Qur’an tahap demi tahap, yang mana bagian berikutnya tidak akan dimasuki sebelum
bagian terdahulu dipastikan kemantapannya. Allah mendahulukan tauhid sebelum
hukum, sebagaimana umumnya isi kandungan surah-surah Al-Mufashshal, yakni mulai
dari Qaaf sampai akhir Al-Qur’an,10 dimana di dalamnya termasuk surah-surah yang
permulaan diturunkan seperti al-‘Alaq, al-Qalam, al-Muzzammil, dan al-Muddatsir.
Tentang tahap-tahap tsb, masih ada cerita-cerita lain yang kiranya dapat
menggambarkannya lebih jauh. Pernyataan Ibnu Mas’ud diatas dapat dianggap mewakili
suasana dan tradisi para Sahabat senior, sebab beliau termasuk As-Sabiqun Al-Awwalun.
Bagaimana dengan para Sahabat yang lebih muda atau masuk Islam lebih akhir? Mari kita
dengar kesaksian tiga orang diantara mereka.
‘Abdullah bin ‘Umar  berkata, “Kami telah hidup sekian lama dari usia kami, dan salah
seorang dari kami diberi iman sebelum Al-Qur’an. Sebuah surah turun kepada
Muhammad , maka dipelajarinya apa yang halal, haram, perintah, larangan, dan hal-hal
lain yang harus diperhatikan darinya, sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an pada
hari ini. Kemudian, sungguh saya telah melihat beberapa orang pada hari ini, dimana
salah seorang dari mereka telah diberi Al-Qur’an sebelum iman. Maka, dia pun membaca

5
Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, I/286-287. Aslinya dari riwayat al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab II/331-332, dengan
isnad hasan.
6
Idem, hal. 288. Aslinya dari riwayat Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqa XX/391, dengan isnad dha’if.
7
Idem, hal. 286. Pernyataan Ikrimah dinukil dari kitab al-Mashahif karya Ibnu Asytah, sementara kata-kata
an-Nikzawiy berasal dari kitabnya berjudul al-Waqf.
8
Riwayat ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar no. 1250. Juga Ibnu ‘Asakir, al-Hakim no. 2047, ‘Abdurrazzaq
no. 6027, dan al-Baihaqi no. 5072.
9
Fadha’il al-Qur’an karya al-Firyabi, no. 153. Riwayat senada banyak dikutip dalam sumber-sumber lain.
10
Idem, hal. 42-43.
3
apa yang ada diantara pembukaannya sampai penutupannya, tapi dia tidak tahu-menahu
apa yang diperintahkannya, apa yang dilarangnya, dan apa yang harus dia perhatikan
darinya. Dia membacanya sebagaimana berjatuhannya kurma jelek ketika pohonnya
diguncangkan.”11
Hudzaifah bin al-Yaman  juga berkata, “Sesungguhnya kami adalah kaum yang telah
diberi iman sebelum kami diberi Al-Qur’an, sedangkan kalian adalah kaum yang diberi
Al-Qur’an sebelum kalian diberi iman.”12
Jundub bin ‘Abdillah al-Bajali  juga berkata, “Dulu kami adalah anak-anak kecil yang
sudah cukup kuat bersama Rasulullah . Maka, kami pun mempelajari iman sebelum Al-
Qur’an, kemudian kami mempelajari Al-Qur’an (setelah itu). Maka, semakin
bertambahlah iman kami. Sementara pada hari ini kalian mempelajari Al-Qur’an sebelum
iman.”13
Efeknya juga terlihat sangat nyata pada pengetahuan para Sahabat terhadap seluruh seluk-
beluk isi kandungan Al-Qur’an, terutama di kalangan ulama’ mereka seperti empat
Khulafa’ Rasyidun, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu ‘Abbas.
Oleh karenanya, Masruq bin al-Ajda’ (Tabi’in) berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang kami
tanyakan kepada para Sahabat Muhammad  melainkan ilmu tentangnya (sudah ada) di
dalam Al-Qur’an, hanya saja pengetahuan kami belum menjangkaunya.”14
Pada generasi selanjutnya, di kalangan ulama’ besar, kesadaran serupa juga tercetus.
Imam al-Bukhari berkata, “Saya tidak mengetahui sesuatu pun yang diperlukan
melainkan ia sudah ada di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.” Ditanyakan kepada beliau,
“Apakah memungkinkan untuk mengetahui hal itu?” Beliau menjawab, “Ya.”15
Maka, ketika Mutharrif bin ‘Abdillah (Tabi’in) ditanya, “Apakah kalian menginginkan
sesuatu yang lebih utama dari Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi kami
menginginkan seseorang yang lebih mengetahui Al-Qur’an dibanding kami.”16
Benar. Tidak ada yang lebih baik dari Al-Qur’an, tetapi memang ada yang lebih tahu isi
kandungannya dibanding kita. Jadi, mari terus belajar.

11
Riwayat al-Baihaqi dalam Sunan-nya, no. 5496. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, ath-Thabrani dan ath-
Thahawi. Al-Hakim mengeluarkannya dalam al-Mustadrak, no. 101. Beliau berkata, “Ini hadits shahih ‘ala
syarth asy-syaikhaini, setahu saya tidak ada ‘illat di dalamnya, dan mereka berdua tidak mengeluarkannya.”
Ad-Dzahabi berkata dalam at-Talkhish, “Sesuai syarth al-Bukhari dan Muslim, dan tidak ada ‘illat padanya.”
Ath-Thabrani mengutipnya dalam Mu’jam al-Awsath, dan menurut al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id,
no. 755, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Awsath, dan para perawinya adalah perawi shahih.”
Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Musykil al-Atsar, no. 1253. Untuk diketahui, ‘Abdullah bin ‘Umar
masuk Islam ketika masih kecil, belum baligh, bersama ayahnya (‘Umar bin al-Khatthab), sekitar
pertengahan Periode Makkah. Ketika Perang Uhud meletus, Ibnu ‘Umar bahkan masih dianggap belum
cukup umur untuk maju ke medan perang. Beliau wafat tahun 73 H.
12
Riwayat al-Baihaqi dalam Sunan-nya, no. 5497. Hudzaifah bin al-Yaman termasuk Sahabat yang masih
muda ketika Rasulullah tiba di Madinah. Beliau wafat tahun 36 H, sekitar 40 hari sesudah terbunuhnya
‘Utsman bin ‘Affan.
13
Riwayat al-Baihaqi dalam Sunan-nya, no. 5498. Jundub bin ‘Abdillah adalah Sahabat yang tergolong
masih kecil di masa hidup Rasulullah, sebagaimana pengakuan beliau sendiri. Beliau wafat pada tahun
60-an hijriyah.
14
Kitabul ‘Ilmi, karya Abu Khaytsamah, no. 51.
15
Taghliq at-Ta’liq, karya al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam pasal yang membahas keluasan ilmu Imam al-Bukhari.
Riwayat ini dinukil oleh juru tulis (al-warraq) Imam al-Bukhari sendiri.
16
Kitabul ‘Ilmi, karya Abu Khaytsamah, no. 98.
4
Hikmah di Balik Urutan Penurunan Surah-surah Al-Qur’an17
Surah-surah Al-Qur’an diturunkan dalam urutan yang tidak sama dengan urutan
penempatannya di dalam Mushhaf. Perbedaan diantara keduanya sangatlah besar. Yang
pertama disebut tartibun nuzul atau tartib nuzuli (urutan berdasarkan penurunannya),
sedangkan yang kedua disebut tartibul mushhaf atau tartib mushhafi (urutan berdasarkan
penempatannya dalam Mushhaf). Sebagai misal, surah al-‘Alaq adalah urutan pertama
dalam tartib nuzuli, namun ditempatkan pada urutan ke-96 dalam tartib mushhafi. Contoh
lain, surah al-Baqarah adalah urutan ke-87 dalam tartib nuzuli, namun diletakkan pada
urutan ke-2 dalam tartib mushhafi. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan tujuan
yang ingin diraih oleh masing-masing urutan tersebut. Sudah dimaklumi pula
bahwasannya Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah  secara berangsur-angsur kurang
lebih dalam masa 23 tahun.
Maksud utama dari urutan penurunan tersebut adalah memenuhi kebutuhan dakwah
Islam di tengah-tengah masyarakat musyrik Arab, tahap demi tahap, sampai sempurnanya
tujuan yang diharapkan, yakni sempurnanya agama Islam dan terbinanya generasi yang
siap menjadi contoh dan peraga secara nyata. Dengan tahapan itu, dakwah dan tarbiyah
ilahiyah tidak terhalang oleh kesulitan-kesulitan psikologis. Tanpa melalui tahapan,
manusia pasti mengalami kesulitan besar untuk mengikuti kemauan wahyu,
merenungkan makna-maknanya, tunduk dan menerima tujuan-tujuan yang
digariskannya, dan mengamalkan hukum-hukum yang dikandungnya.
Terbukti bahwa selama Periode Makkah yang panjang itu ternyata ajaran-ajaran Al-
Qur’an lebih terfokus pada pembangunan dan penanaman akidah. Tidak ada ibadah
yang disyariatkan ketika itu selain shalat, dengan asumsi bahwa shalat merupakan aktifitas
pembaharuan potensi dan kekuatan akidah secara kontinyu dan konstan. Semua itu tidak
lain karena akidah merupakan kekuatan pendorong yang menggerakkan manusia menuju
ketaatan mutlak hanya kepada Allah, baik dalam hal perintah maupun larangan-Nya.
Bukti dari kebenaran metode pendidikan ini adalah karya-karya besar yang
dipersembahkan oleh generasi pertama kaum muslimin di Madinah. Tidak ada yang
mampu mewujudkan karya-karya sehebat itu kecuali manusia-manusia yang memiliki
akidah sangat kokoh, mendalam, mantap, dan penuh keyakinan.
Jadi, Al-Qur’an yang turun dalam urutan tertentu, pada dasarnya merupakan metode
dakwah dalam rangka membangun ketaatan beragama di tengah-tengah suatu masyarakat
yang tidak beragama secara benar; merupakan metode pendidikan bagi umat yang terpilih
dan kelak diberi tugas istimewa untuk menyebarkan agama ini dengan memanfaatkan
aneka wasilah dakwah yang diizinkan oleh syariat, dalam segala suasana dan
kemungkinan yang dihadapi, tanpa bersikap fanatik pada satu wasilah dan melupakan
lainnya.
Mengapa demikian?
Paling tidak, ada lima hal yang mendorong Ustadz Abdullah Said mendirikan Pesantren
Hidayatullah dan kemudian menjadikan Manhaj SNW sebagai metode pendidikan di
dalamnya. Pertama, ingin mengamalkan Islam secara utuh dan nyata sebagai kebutuhan
dunia modern dewasa ini. Kedua, posisi dan kualitas umat Islam di seluruh dunia sangat
tidak menguntungkan. Ketiga, harga dan nilai benda (materi) terlalu tinggi melebihi
segalanya, jadi ancaman serius. Keempat, ibadah ritual yang rutin kehilangan pamor, jadi

17
Bagian ini disadur dan diringkaskan dari pengantar tahqiq kitab Tanasuqu ad-Durar fi Tanasubi as-Suwar
karya Imam as-Suyuthi, yang ditulis oleh ‘Abdul Qadir Ahmad ‘Atha, hal. 3-49; dengan sedikit
penambahan keterangan dari kami sendiri.
5
hampa dan hambar. Kelima, dekadensi moral yang begitu bengis menjadi ancaman
generasi muda.18 Lima tantangan ini tidaklah sederhana, dan – mau atau tidak mau – kita
adalah umat yang ditakdirkan oleh Allah untuk menghadapinya. Apa upaya yang kita
lakukan? Dalam konteks inilah sebenarnya Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW)
dirumuskan.
Namun, kita juga harus waspada dan tidak boleh memakai tartibun nuzul sebagai dalih
pengguguran kewajiban-kewajiban Islam yang telah tsabit (tetap). Bagaimana pun, proses
pewahyuan telah sempurna dan kenabian sudah ditutup. Setelah itu, tidak seorang pun
yang berhak menambahi atau mengurangi kewajiban syariat yang telah ditetapkan Allah
dan Rasul-Nya. Dengan tartibun nuzul kita hendak meneguhkan komitmen kepada agama
Allah, bukan melemahkannya. Hikmah tartibun nuzul dikaji sebagai kerangka berfikir dan
pisau analisis persoalan, mengingat sedemikian rumit dan carut-marutnya problematika
yang kini kita alami. Semoga, dengan mengikuti urut-urutan pewahyuan yang Allah
jadikan sarana mendidik angkatan pertama umat ini, kita bisa menemukan secercah
cahaya untuk menerangi jalan kita. Amin.

Urutan Penurunan Surah-surah Al-Qur’an (Tartibun Nuzul)


Para ulama’ telah mencatat secara lengkap urut-urutan surah yang turun kepada
Rasulullah , satu demi satu, baik Makkiyah maupun Madaniyah. Ada banyak riwayat
dalam hal ini, yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab induk. Terkadang satu riwayat
senada dengan lainnya, terkadang berbeda. Ada yang berbeda dalam mendahulukan atau
mengakhirkan urutan suatu surah, ada juga yang berbeda dalam pengelompokannya
sebagai Makkiyah atau Madaniyah. Namun, pada umumnya ada kesepakatan untuk
surah-surah tertentu, sehingga tidak terlalu menyulitkan kita dalam memahami urut-
urutan selengkapnya. Sebagian ada yang shahih, ada pula yang dha’if. Meski pun demikian,
banyaknya riwayat dari berbagai sumber berbeda ini, dengan matan yang mirip satu sama
lain, mengindikasikan bahwa ia memiliki sumber asli tertentu (lahu ashlun). Wallahu
a’lam.
Berikut ini kami kutip salah satu riwayat tata urutan penurunan (tartibun nuzul) surah-
surah Al-Qur’an, sebagai bahan perenungan dan kajian. Terkadang, nama-nama surah
yang disebutkan di dalamnya sedikit berbeda dari yang biasanya kita kenal, sehingga perlu
kami jelaskan nama lainnya dalam tanda kurung. Riwayat ini milik Jabir bin Zaid,
seorang ulama’ Al-Qur’an dari generasi Tabi’in, yang dinukil Imam as-Suyuthi dalam al-
Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.19
Beliau (Jabir bin Zaid) berkata: “Bagian Al-Qur’an yang mula-mula diturunkan di Makkah
adalah: (1) Iqra’ bismi rabbika, kemudian (2) Nuun wal-qalami, kemudian (3) Ya ayyuhal
muzzammil, kemudian (4) Ya ayyuhal muddatsir, kemudian (5) al-Fatihah, kemudian (6)
Tabbat yada abi lahab, kemudian (7) Idzasy syamsu kuwwirat, kemudian (8) Sabbih-isma
rabbikal a’la, kemudian (9) Wal-laili idza yaghsya, kemudian (10) Wal-fajri, kemudian (11)
Wadh-dhuha, kemudian (12) Alam nasyrah, kemudian (13) Wal-‘ashri, kemudian (14)
Wal-‘adiyati, kemudian (15) al-Kautsar, kemudian (16) Alhakum (yakni: at-Takatsur),
kemudian (17) Ara’aytal-ladzi yukadzdzibu (yakni: al-Ma’un), kemudian (19) al-Kafirun,
kemudian (20) Alam tara kaifa (yakni: al-Fiil) , kemudian (21) Qul a’udzu bi-rabbil falaq,
kemudian (22) Qul a’udzu bi-rabbin naas, kemudian (23) Qul huwallahu ahad, kemudian

18
Mencetak Kader, hal. 173-196. Terdapat uraian mendetail untuk setiap poin diatas dalam buku tsb. Ada
baiknya dibaca, karena semangat keislamannya yang sangat luar biasa.
19
Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an I/167-169. Penomoran dari kami, untuk memudahkan.
6
(24) Wan-najmi, kemudian (25) ‘Abasa, kemudian (26) Inna anzalnahu (yakni: al-Qadr),
kemudian (27) Wasy-syamsi wa dhuhaha, kemudian (28) al-Buruj, kemudian (29) at-Tiin,
kemudian (30) Li-ilafi (yakni: Quraisy), kemudian (31) al-Qari’ah, kemudian (32) al-
Qiyamah, kemudian (33) Wailul likulli humazah, kemudian (34) Wal-mursalati,
kemudian (35) Qaaf, kemudian (36) al-Balad, kemudian (37) ath-Thariq, kemudian (38)
Iqtarabatis sa’ah (yakni: al-Qamar), kemudian (39) Shaad, kemudian (40) al-A’raf,
kemudian (41) al-Jinn, kemudian (42) Yaa siin, kemudian (43) al-Furqan, kemudian (44)
al-Mala’ikah (yakni: Fathir), kemudian (45) Kaaf haa yaa ‘ain shaad (yakni: Maryam),
kemudian (46) Thaa haa, kemudian (47) al-Waqi’ah, kemudian (48) asy-Syu’ara’,
kemudian (49) Thaa siin Sulaiman (yakni: an-Naml), kemudian (50) Thaa siin miim al-
Qashash, kemudian (51) Bani Isra’il (yakni: al-Isra’), kemudian (52) at-Tasi’ah yaitu
Yunus, kemudian (53) Hud, kemudian (54) Yusuf, kemudian (55) al-Hijr, kemudian (56)
al-An’am, kemudian (57) ash-Shaffat, kemudian (58) Luqman, kemudian (59) Saba’,
kemudian (60) az-Zumar, kemudian (61) Haa miim al-Mu’min, kemudian (62) Haa miim
as-Sajdah, kemudian (63) Haa miim az-Zukhruf, kemudian (64) Haa miim ad-Dukhan,
kemudian (65) Haa miim al-Jatsiyah, kemudian (66) Haa miim al-Ahqaf, kemudian (67)
adz-Dzariyat, kemudian (68) al-Ghasyiyah, kemudian (69) al-Kahfi, kemudian (70) Haa
miim ‘ain siin qaaf (yakni: asy-Syura), kemudian (71) Tanzil as-Sajdah, kemudian (72) al-
Anbiya’, kemudian (73) an-Nahl, 40 ayat sisanya diturunkan di Madinah; kemudian (74)
Inna arsalna nuhan (yakni: Nuh), kemudian (75) ath-Thur, kemudian (76) al-Mu’minun,
kemudian (77) Tabaraka (yakni: al-Mulk), kemudian (78) al-Haqqah, kemudian (79) Sa’ala
(yakni: al-Ma’arij), kemudian (80) ‘Amma yatasa’alun, kemudian (81) an-Nazi’at,
kemudian (82) Idzas sama’un-fatharat, kemudian (83) Idzas sama’un-syaqqat, kemudian
(84) ar-Rum, kemudian (85) al-‘Ankabut, kemudian (86) Wailul lil-muthaffifin. Itulah
yang diturunkan di Makkah.”
Beliau melanjutkan: “Dan yang diturunkan di Madinah adalah: (87) surah al-Baqarah,
kemudian (88) Ali ‘Imran, kemudian (89) al-Anfal, kemudian (90) al-Ahzab, kemudian
(91) al-Ma’idah, kemudian (92) al-Mumtahanah, kemudian (93) Idza ja’a nashrullah,
kemudian (94) an-Nur, kemudian (95) al-Hajj, kemudian (96) al-Munafiqun, kemudian
(97) al-Mujadilah, kemudian (98) al-Hujurat, kemudian (99) at-Tahrim, kemudian (100)
al-Jumu’ah, kemudian (101) at-Taghabun, kemudian (102) Sabbaha al-Hawariyyin (yakni:
ash-Shaff), kemudian (103) al-Fath, kemudian (104) at-Taubah, penutup al-Qur’an.”
Imam as-Suyuthi mengomentari riwayat ini: “Ini adalah paparan yang aneh (gharib), dan
dalam tata urutan ini ada yang perlu dikritisi. Jabir bin Zaid adalah salah seorang ulama’
Al-Qur’an dari generasi Tabi’in.”
Menurut kami, diantara keanehan yang paling terlihat dan perlu dikritisi adalah jumlah
surah Madaniyah yang hanya 18, padahal seharusnya 28. Namun, setelah menukil riwayat
ini, as-Suyuthi mengutip riwayat lain dalam bentuk nazham dari al-Burhan al-Ja’bari,
dimana di dalamnya disitir nama-nama surah Madaniyah yang “hilang” dari riwayat Jabir
bin Zaid tersebut. Dinyatakan bahwa al-Ja’bari mendasarkan nazham-nya dari riwayat Jabir
bin Zaid ini. Kami tidak tahu apakah riwayatnya terpotong, atau memang hanya sejumlah
itu. Berikut ini adalah urutan surah-surah Madaniyah selengkapnya, dimulai setelah al-
Mumtahanah: “… (93) an-Nisa’, (94) Zulzilat (yakni: az-Zalzalah), (95) al-Hadid, (96)
Muhammad, (97) ar-Ra’d, (98) ar-Rahman, (99) al-Insan, (100) ath-Thalaq, (101) Lam
yakun (yakni: al-Bayyinah), (102) al-Hasyr, (103) an-Nashr, (104) an-Nur, (105) al-Hajj,

7
(106) al-Munafiqun, (107) al-Mujadilah, (108) al-Hujurat, (109) at-Tahrim, (110) Jumu’ah,
(111) at-Taghabun, (112) ash-Shaff, (113) al-Fath, (114) at-Taubah.”20

Sejarah Singkat Manhaj SNW21


Ustadz Abdullah Said adalah manusia yang tidak pernah puas dengan hasil yang
diperolehnya. Tergolong orang yang anti kemapanan. Bukan berarti tidak mensyukuri
apa yang telah diperolehnya, tetapi justru rasa syukur itu yang mendorongnya untuk
selalu berfikir dan merenung untuk mencapai peningkatan demi peningkatan.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah selalu menginstrospeksi diri, mengevaluasi
kembali langkah-langkah yang telah ditempuh. Ungkapan yang sangat sering terdengar
darinya, “Jangan ada detik berlalu tanpa membawa kemajuan.”
Dengan bekal tekad seperti itu, Abdullah Said tidak pernah berhenti mencari kiat dan
cara untuk mengayun langkah lebih cepat. Alasannya, “Sebenarnya kita sangat terlambat
memulai pekerjaan ini sehingga kita harus melakukan percepatan.”
Ada kalimat yang pernah diucapkannya 3 tahun sebelum wafat (ceramah pada hari Rabu
31 Mei 1995 – 1 Muharram 1416). Kalimat ini menimbulkan tanda tanya tentang apa
maksudnya.
“Kita memerlukan waktu 25 tahun lagi untuk mewujudkancita-cita yang ingin kita capai.
Waktu itu insya-Allah kita sudah berada di seluruh Indonesia dan sudah dapat
mempengaruhi kebijakan yang dibuat di negara ini. Tapi ini bisa dipres menjadi 12,5
tahun dan dipres lagi menjadi 6 tahun kemudian dipres lagi menjadi 3 tahun,” katanya.
Setiap melangkah, jelas Abdullah Said selalu menjadikan Nabi Muhammad  sebagai
tolok ukurnya. Itulah sebabnya perjalanan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad
yang selalu menjadi standarnya.
Ada pertanyaan yang selalu menyeruak dalam benaknya, “Mengapa Nabi Muhammad
begitu cepat mencapai hasil sedang kita tidak? Dalam jangka hanya 23 tahun Nabi betul-
betul dapat merampungkan hal-hal yang mendasar dalam perjuangan. Berhasil merubah
peta sejarah. Berhasail merombak kultur jahili menjadi kultur islami. Kita sudah berapa
kali 23 tahun, belum ada perubahan yang signifikan ke arah perbaikan yang kita buat.
Padahal kalau berbicara tentang konsep perjuangan, bukankah Al-Qur’an yang digunakan
Nabi Muhammad  masih itu juga yang ada sekarang? Tanpa perubahan sedikit pun.
Kalau soal berpedoman kepada Al-Qur’an, semua lembaga perjuangan Islam mengaku Al-
Qur’an sebagai pedomannya. Lalu dimana letak masalahnya?”
Pertanyaan di atas terus membayangi benak Abdullah Said di sela-sela kegiatan dakwah
sejak masih berada di Makassar, apalagi setelah berada di Darul Hijrah Kalimantan Timur
dengan kegiatan yang lebih menggila. Ketemulah kesimpulan bahwa rupanya letak
kekeliruannya adalah pada cara mempelajari Al-Qur’an. Mungkin karena mempelajari Al-
Qur’an tidak berdasarkan urut-urutan turunnya sehingga cara kita menyelaminya tidak
sistematis. Cara seperti itu seolah-olah juga menunjukkan kita tidak yakin dengan
kebenaran metode ber-Islam dan metode dakwah yang diajarkan Allah. Pasti bukanlah
kebetulan kalau al-‘Alaq: 1-5 yang pertama diturunkan kemudian surat-surat yang lain.
Pasti ada target Allah  di balik itu.

20
Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an I/169-171. Aslinya berupa nazham sepanjang 21 bait, dan kami mengubahnya
menjadi narasi dan menambahkan penomoran.
21
Bagian ini dikutip utuh dari bab serupa dalam buku Mencetak Kader, hal. 267-269.
8
Keinginan untuk mencoba menggali Al-Qur’an secara sistematis ini dilakukan. Terlebih
setelah Abdullah Said menemukan Tafsir Sinar yang ditulis oleh Buya Abdul Malik
Ahmad, yang memulai penafsirannya dari surah al-‘Alaq: 1-5. Dalam hatinya berkata,
“Berarti bukan hanya saya yang berpikir seperti ini. Sudah ada ulama besar yang telah
menuang dalam tulisannya.”
Penafsiran yang dibuat Malik Ahmad memang tidak terlalu mendalam. Tapi tafsir itu
betul-betul menjadi dorongan yang sangat besar untuk menggali lebih jauh.
Abdullah Said sendiri aktif meggeluti referensi yang mendukung kajian tentang urut-
urutan turunnya wahyu ini. Juga meminta agar guru-guru yang nota bene jebolan
pesantren, santri-santri, dan jamaah pada umumnya agar mencari referensi dari berbagai
sumber untuk pengayaan manhaj Sistimatika Nuzulnya Wahyu ini.
Hasil penelusuran menyimpulkan bahwa penempatan surat al-‘Alaq: 1-5 sebagai wahyu
yang diturunkan pertama cukup kuat dalilnya. Tafsir Ibnu Katsir pun mengemukakan
bahwa surah al-‘Alaq: 1-5 adalah wahyu pertama, kemudian disusul surah al-Qalam, al-
Muzzammil, al-Muddatstsir, lalu al-Fatihah.
Abdullah Said makin gigih menggali dan mencari rahasia di balik Sistimatika Nuzulnya
Wahyu. Wahyu pertama dikaji dengan melibatkan kawan-kawan dan orang-orang yang
berkompeten dalam hal ini. Yang jelas, dalam benaknya selalu timbul asumsi bahwa
tidaklah mungkin wahyu pertama itu tidak mengandung keluarbiasaan. Sejarah
membuktikan, pada waktu wahyu pertama ini turun, kondisi masyarakat jahiliyah sudah
mengalami perubahan yang drastis. Heboh luar biasa. Sungguh banyak pertanyaan
menggelitik sehubungan dengan turunnya wahyu pertama ini.***
Maka, dalam perlangkahan selanjutnya, Manhaj SNW dijadikan kurikulum atau pola
dasar pendidikan di lingkungan Hidayatullah.

Anda mungkin juga menyukai