Anda di halaman 1dari 11

Mata Kuliah : Hukum Kewarisan

Prodi : Hukum keluarga (HK-1)


Semester : V (Lima)
Dosen : Dr. H. Akhmad Haries, S.Ag., M.S.I.
Bobot/SKS : 3
Hari/Tgl : Rabu, 18 Oktober 2023

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan tepat dan jelas!


Nama : Fikri ibnu Fauzan
NIM : 2121508040
HK 1 SEMESTER 5
1. a. Apa yang dimaksud dengan mafqud?
Makna Al Mafqud berasal dari Bahasa arab artinya hilang atau lenyap, sesuatu dapat
disebut hilang apabila telah tidak ada. Sedangkan Secara istilah ada beberapa pengertian
diantaranaya Al Mafqud adalah orang yang tidak di ketahui keberadaannya setelah sekian
waktu menghilang dari tempatnya. Atau orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak
diketahui rimbanya apakah ia masih hidup atau sudah mati. Sehingga dalam istilah fiqh Al
Mafqud bermakna “orang hilang” sebab tidak diketahui kabar beritanya karena telah
meninggalkan tempat tinggalnya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui apakah ia
masih hidup atau sudah mati.
Dari penjelasan diatas maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa Mafqud adalah
makna untuk orang yang telah lama menghilang atau tidak diketahui kejelasan hidupnya
apakah masih hidup atau sudah meninggal, serta tidak diketahui jelas dimana tempat dia
berada dan lain sebagainya. Yang mana dalam kondisi demikian, sudah dilakukan tentunya
sudah dilakukan segala upaya atau cara untuk mengetahui informasi dari orang tersebut, atau
paling tidak dipastikan status hukumnya baik itu melaui berita media masa atau yang lainya.

b. Bagaimana pandangan ulama ketika memutuskan seseorang dinyatakan mafqud?


Jelaskan !
Ulama sepakat bahwa orang yang hilang (mafqud) masih dianggap masih hidup
selama belum ada berita yang jelas yang menyatakan bahwa ia sudah meninggal, atau
telah divonis oleh hakim mengenai kematiannya dan karena itu harta yang dimilikinya
tidak boleh untuk dibagikan kepada ahli waris dan istrinya juga tetap berstatus sebagai
istri. Dan Mafqud sebagai ahli waris yaitu terkait peralihan harta pewaris kepadanya
secara legal. Hasanain Muhammad Makluf berpendapat mengenai kedudukan orang
hilang dalam kewarisan yaitu “Apabila seseorang dinyatakan hilang, maka dalam
pemilikan hartanya ia dianggap masih hidup. Hartanya tidak boleh diwarisi seakan-
akan ia masih hidup secara hakiki, dan ia masih tetap dalam pemilikan hartanya. Harta
tersebut harus tetap dijaga sampai jelas keadaannya. Dan dalam menghaki harta orang
lain, ia dianggap sebagai orang yang telah meninggal dunia, ia tidak dapat mewarisi
harta orang lain (ahli warisnya) seakan-akan ia telah meninggal secara hakiki, namun
bagian yang seharusnya ia terima dari harta peninggalan itu ditangguhkan sampai jelas
keadaannya.”
Dari pendapat diatas berarti dapat disimpulkan bahwa orang yang hilang itu dianggap
masih hidup atau belum meninggal selama tidak ada kepastian yang jelas yang
menyatakan tentang kematiannya, maka hartanya tidak boleh diwariskan kepada ahli
waris yang menerima hartanya, karena dalam kepemilikan hartanya ia seakan
dianggap masih hidup secara hakiki.

c. Bagaimana hukum harta yang telah dibagikan andai suatu saat si mafqud datang dari
perantauannya?
Berdasarkan bukti-bukti autentik yang dapat diterima secara syar‟i. Sebagaimana yang
dikatakan dalam kaedah yaitu “yang tetap berdasarkan bukti seperti yang tetap
berdasarkan kenyataan”. Misalnya ada orang yang adil dan dapat dipercaya
memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang (al-mafqud) telah meninggal dunia,
maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status
kematian al-mafqud. Dalam kepastiannya sebagai al – muwaris, jika seorang hakim
telah memutuskan hukum, maka harta kekayaanya dapat dibagikan kepada ahli
warisnya.
Berdasarkan waktu lamanya perginya Mafqud. Dan ini dikuatkan dengan beberapa
pendapat diantaranya ialah:

Khalifah Umar bin Khattab pernah memutuskan perkara almafqud melalui perkataan beliau
yang diriwayatkan imam Bukhari.

“Setiap perempuan yang ditinggalkan pergi suaminya yang mana ia tidak


mengetahui dimana suaminya berada, maka ia diminta menanti selama 4 tahun.
Kemudian setelah itu hendaklah ia menjalani masa tunggu (ber‟iddah) selama
4 bulan 10 hari. Setelah itu ia menjadi halal (untuk menikah dengan laki-laki
lain.” (Riwayat al-Bukhari dan al-Syafi‟i).

2. Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf, Imam Syafi‟i dan Muhammad ibn al-
Hasan al-Syaibani berpendapat bahwa hakim dapat menjatuhkan vonis kematian al-
mafqud dengan pertimbangan hukum apabila orang yang sebaya dengannya tidak ada
lagi yang hidup.

3. Hampir sama dengan pendapat di atas, yaitu rata-rata umur manusia berkisar antara
70-90 tahun. Abd al-Malik al-Majsyun menetapkan 90 tahun dan Ibn Abd al-Hakam
menetapkan 70 tahun.

4. Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat, bahwa yang perlu lebih ditekankan adalah
pertimbangan situasi hilangnya al-mafqud pada saat kepergian dan tempat yang
menjadi tujuannya. Apakah situasi dan tujuannya dapat diduga mengancam
keselamatan almafqud atau tidak.

2. a. Apa yang dimaksud dengan khuntsa musykil ?


Menurut istilah (terminologi) Sayid Sabiq dalam Kitab Fiqh Al-Sunnah mengatakan:
“Khuntsa adalah orang yang tidak jelas keadaan dirinya dan tidak diketahui apakah dia
laki-laki atau perempuan, karena dia memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan
sekaligus, atau karena dia sama sekali tidak memiliki kelamin baik laki-laki maupun
perempuan.”
Wahbah Zuhaili mendefinisikan khuntsa sebagai berikut: “orang yang berkumpul dalam
dirinya dua alat reproduksi (alat kelamin), alat kelamin laki-laki dan perempuan atau
orang yang tidak mempunyai alat itu sama sekali. Menurut Ensiklopedi Hukum Islam,
“khuntsa adalah seorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau
perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan ataupun tidak memiliki
alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin lakilaki atau perempuan.” Apabila
seseorang khuntsa tidak mempunyai tanda-tanda yang tidak menunjukan kelaki-lakian
atau keperempuannya sehingga sulit diketahui statusnya dinyatakanlah ia sebagai
khuntsa musykil. Khuntsa musykil adalah seseorang yang mempunyai keganjilan
dalam organ tubuhnya serta tidak mempunyai tanda–tanda khusus yang dapat
menunjukkan kelaki-lakian atau kerempuannya,sehingga sulit diketahui statusnya .
Meskipun khuntsa memiliki dua alat kelamin, namun hukum yang diberlakukan
padanya hanya satu yaitu laki-laki atau perempuan.
b. Bagaimana cara menentukan seseorang itu khuntsa musykil atau tidak ?
Jelaskan !
Menurut Imam Al-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu‟ Syarah al- Muhaźźab, bahwa
khunṡa itu terdiri dari dua macam; pertama, khunṡa yang memiliki alat kelamin
perempuan dan alat kelamin laki-laki. Kedua, khunṡa yang tidak memiliki kedua kelamin
tersebut dan hanya memiliki celah tempat keluarnya sesuatu. Imam Al- Nawawi
menyamakannya dengan alat kelamin perempuan. Jenis yang kedua, disebutkan
pengarang Al Hawi, Al Baghawi, Ar-Rafi‟i dan sekelompok ulama dalam Kitab Al-
Fara‟iȡ. Al Baghawi berkata, “jenis yang kedua ini adalah khunśa musykil”. Para ulama
klasik menerapkan dua cara untuk menentukan status khuntsa. Pertama, dilihat dari alat
kelamin yang digunakan saat pertama kali buang air kecil. Dasar hukumnya ialah Sabda
Rasulullah saw. bahwa: “Sesungguhnya Rasulullah saw., telah ditanyai tentang anak yang
dilahirkan terdapat qubul dan zakar, dari mana diwariskannya. Nabi saw., berkata:
diwariskan dari mana ia mengeluarkan air kencingnya” (HR. Ibnu „Abbas). Dari hadist
tersebut dijelaskan bahwa jika terdapat seorang anak yang memiliki dua alat kelamin yaitu
kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, maka cara mengidentifikasi jenis kelaminnya
adalah dilihat dari mana ia mengeluarkan air kencing, sebagai ketentuan dalam hal
kewarisan. Para ulama madzhab Syafi‟iyah mengemukakan, bahwa hadis di atas
merupakan dasar dalam masalah khunṡa musykil. Imam Al-Nawawi dalam kitabnya
Majmu‟ Syarah Muhaźźab Jilid 17 menjelaskan bahwa apabila seseorang meninggal dan
berbeda warisan pada khuntsa (yaitu seseorang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan
alat kelamin perempuan), apabila ia buang air kecil dari alat kelamin laki-laki bukan dari
alat kelamin yang lain maka dia adalah laki-laki, dan jika ia buang air kecil dari alat
kelamin perempuan bukan dari alat kelamin yang lain maka dia adalah perempuan.
Sebagaimana hadits dari „Ali bahwasanya dia berkata: jika ia buang air kecil dari alat
kelamin laki-laki maka dia adalah laki-laki, dan jika ia buang air kecil alat kelamin
perempuan maka dia adalah perempuan. Bahwa sesungguhnya Allah Ta‟ala menjadikan
kebiasaan pada laki-laki itu buang air kecil dari alat kelamin laki-laki dan bahwa
perempuan itu buang air kecil dari alat kelamin perempuan.
Kedua, dengan cara melihat tanda-tanda kedewasaannya. Jenis kelamin seorang laki-laki
dapat dikenali melalui tumbuhnya janggut dan kumis, perubahan suara, mengeluarkan
sperma, serta kecenderungan mendekati perempuan. Sementara jenis kelamin seorang
perempuan dapat dikenali melalui perubahan payudara, haid, dan kecenderungan
mendekati laki-laki. Orang yang normal sudah jelas jenis kelamin yang ia miliki sehingga
status orang yang normal tersebut dalam pembagian warisan dapat ditentukan dengan
segera. Tetapi berbeda dengan khuntsa karena dalam sebagian besar kasus, jenis kelamin
seseorang dapat menentukan bagian warisan yang diterimanya. Wahbah az-Zuhaili
membagi khuntsa menjadi dua macam. Pertama, khuntsa ghairu musykil yaitu seseorang
yang sudah jelas ciri-ciri atau kriteria laki-laki atau perempuan seperti orang yang
menikah kemudian memiliki anak, maka ia adalah laki-laki. Atau, orang yang menikah
kemudian hamil, maka ia adalah perempuan. Kedua, khunśa musykil, yaitu seseorang
yang keadaannya musykil (sulit ditentukan), tidak diketahui kelelakiannya, atau
keperempuanannya. Seperti dia buang air kecil dari alat kelamin laki-laki dan alat kelamin
perempuan, atau tampak jenggot dan payudara dalam waktu yang sama.

c. Buatlah satu contoh tentang perhitungan kewarisan khuntsa musykil !


1. Tentukan bagian setiap ahli waris, harta warisan, dan asal masalah.
Ahli waris:
Istri: 1/8, karena ada anak
Ibu: 1/6, karena ada anak
Kakek: Ashabah binnafsi
2 anak perempuan: 2/3, karena 2 orang perempuan
Harta warisan: Rp. 240.000.000
Asal masalah: 24, didapat dari KPK 3, 6, dan 8.
2. Hitunglah harta warisan yang didapatkan oleh setiap ahli waris.
Istri: 1/8 × 24 = 3 bagian, 3/24 × Rp240.000.000 = Rp30.000.000
Ibu: 1/6 × 24 = 4 bagian, 4/24 × Rp240.000.000 = Rp40.000.000
2 anak pr: 2/3 × 24 = 16 bagian, 16/24 × Rp240.000.000 = Rp160.000.000
Rp230.000.000
Ashabah binnafsi = Hw – Jumlah seluruh harta waris yang didapat ahli
waris
Abn = Rp240.000.000 – Rp230.000.000 = Rp10.000.000
Jadi, bagian kakek adalah Rp10.000.000

Jika khuntsa musykil dianggap laki-laki


1. Tentukan bagian setiap ahli waris, harta warisan, dan asal masalah. Ahli waris: Istri: 1/8
Ibu: 1/6 Kakek: 1/6 1 anak laki-laki: Ashabah binnafsi 1 anak perempuan: Ashabah
bilghairi Harta Warisan: Rp240.000.000 Asal masalah: 24, didapat dari KPK 6 dan 8

2. Hitunglah harta warisan yang didapatkan oleh setiap ahli waris Istri: 1/8 × 24 = 3
bagian, 3/24 × Rp240.000.000 = Ibu: 1/6 × 24 = 4 bagian, 4/24 × Rp240.000.000 =
Rp40.000.000
Kakek: 1/6 × 24 = 4 bagian, 4/24 × Rp240.000.000 = Rp40.000.0000
Rp110.000.000
Harta ashabah = Hw – jumlah Hw yang didapat ahli waris
Rp240.000.000 – Rp110.00.000 = Rp130.000.000
= Rp130.000.000 ÷ 3 = Rp43.333.334 / bagian
Ashabah: Anak Lk = 2 bagian, 2 × Rp43.333.334
= Rp86.666.668
Anak Pr = 1 bagian, 1 × Rp43.333.334
= Rp43.333.334.
Seorang anak khunsa musykil meninggal dunia dengan ahli waris ibu dan
bapak dengan harta warisan Rp60.000.000. Hitunglah harta warisan yang
didapatkan oleh setiap ahli waris?
Ibu: 1/3, karena tidak memiliki anak
Ayah: ashabah bin nafsi, karena dirinya sendiri
Harta warisan: Rp60.000.000
Asal masalah: 3
Ibu: 1/3 × 3 = 1 bagian, 1/3 × Rp60.000.000 = Rp20.000.000
Ayah = Rp60.000.000 – Rp20.000.000 = Rp40.000.000
3. a. Apa yang dimaksud dengan kewarisan anak dalam kandungan?
Dalam membahas manusia dalam kedudukannya sebagai mukallaf, atau subyek hukum,
ilmu fikih mengkalsifikasi seseorang itu memiliki dua kecakapan, yang dalam
terminology fiqihnya berupa “ahliyyah”, ialah ahliyat al-ada„ atau kecakapan dalam
berbuat (bertindak hukum) dan ahliyat al-wuju>b atau kecakapan dalam berhak.
Kecakapan dalam berbuat/bertindak hukum (ahliyyah alada„) ada dua, yaitu:
(1) ahliyyah al-ada‟ al-kamilah (sempurna dalam kecakapan bertindak hukum) dan
(2) ahliyyah al-ada‟ al-naqisah (tidak sempurna dalam kecakapan bertindak hukum).
Begitu juga ahliyyah al-wujub ada dua, yaitu:
(1) ahliyyah al-wujub al-kamilah dan (2) ahliyyah al-wujub al- naqisah. Orang yang
mempunyai ahliyat al-ada„ kamilah adalah seseorang yang sudah mencapai usia dewasa
dan akalnya sehat atau „aqil baligh. Sedangkan yang masuk dalam kategori ahliyat al-ada„
naqisah ialah seorang mumayyiz, yaitu anak yang masih belum mencapai usia dewasa,
namun dia sudah memiliki kemampuan tamyiz. Orang yang memiliki ahliyat al-wujub
kamilah yaitu seorang anak yang lahir dalam kondisi hidup, sedangkan anak yang
memiliki ahliyat al-wujub na>qis}ah yaitu seorang anak yang masih berada di dalam
kandungan. Seseorang yang memiliki ahliyat al-wujub naqisah yaitu seseorang yang
memiliki hak yang dikaitkan dengan kondisinya, yaitu ketika seorang bayi yang di dalam
kandungan tersebut akan terlahir dalam kondisi hidup, maka bayi tersebut mendapatkan
harta waris (pusaka) dari orang yang meninggal (muwaris).
b. Apa saja syarat anak dalam kandungan mendapatkan warisan?
Bayi (anak) yang wujud di dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam kondisi hidup.
Apabila anak tersebut dilahirkan dalam kondisi mati, maka bayi tersebut tidak akan
memperoleh harta waris dari muwarrith. Sedangkan indicator dari kondisi hidup
adalah semisal menangis, sebagaimana sabda Rosulullah saw.
“Jikalau anak yang dilahirkan tersebut menangis (menjerit), maka padanya diserahkan
bagian dari harta peninggalan. (HR. Abu Dawud). Penentuan bahwa kondisi hidup
pada bayi tersebut ditentukan oleh seorang Hakim. Apabila hakim tidak bias
menentukan kondisi hidup tersebut, maka bias meminta bantuan pada seseorang
dokter guna memberikan keterangan, “Apakah bayi tersebut lahir dalam kondisi
hidup, atau dalam kondisi mati”. Sedangkan kondisi kematian anak (bayi) tersebut,
apakah kondisi mati bayi tersebut dikarenakan jinayah atau tidak.
Anak tersebut sudah ada dalam kandungan ibunya, pada saat muwarrith (orang yang
mewarsikan harta waris tersebut) telah mati. Wuju>dnya anak pada kandungan ibu
hubungannya sangat terkait erat dengan adanya nasabiyyah (hubungan darah atau
nasab) antara anak tersebut dengan orang yang meninggal dunia. Hal ini dikarenakan
nasabiyyah (hubungan darah atau nasab) dari anak (bayi) itu yang terpenting adalah
dengan melalui dua orang tua anak tersebut, sehingga dalam menentukan sudah
wuju>dnya anak itu pada kandungan ibunya, pada saat orang yang meninggalkan harta
warisnya telah mati, tidak bisa dilepaskan sejak saat ketika terjadinya dan putusnya
pernikahan dari kedua orang tuanya, baik sebab talaq atau karena kematian. Oleh
karena itu, guna menentukan sudah wujudnya anak itu di dalam kandungan, maka
wajib memperhatikan:
Jarak masa minimal seorang anak lahir sesudah wujudnya akad nikah. Sehingga yang
menjadi maslah adalah “berapa lamakah masa minimal seseorang wanita yang hamil
sampai melahirkan?” Dalam perihal ini para ulama‟ telah ittifa>q, bahwa masa
minimal bagi seseorang wanita hamil sampai melahirkan adalah 6 bulan. Qaul
(pendapat) itu berdasarkan pada pendapat Ibn „Abba>s dalam menafsirkan dua ayat,
yaitu (1) QS. al-Ahqaf (46): 15, yang artinya: “mengandungnya sampai menyapihnya
ialah tiga puluh puluh bulan,”, dan (2) QS. al-Nur (31) 14, yang artinya: “….dan
menyapihnya dalam dua tahun….”. Pada ayat al-Qur‟an yang pertama, waktu hamil
serta waktu menyapih adalah tiga puluh bulan. Sehingga, waktu hamil saja adalah tiga
puluh bulan dikurangi dua puluh empat bulan, yaitu enam bulan. Dari pendapat inilah
maka bisa dipahami bahwa masa hamil itu minimal enam bulan.

Jarak masa terlama seorang anak (bayi) tersebut lahir sejak putusnya pernikahan kedua
orang tuanya, baik dikarenakan talaq atau meninggal dunia. Jadi, yang menjadi pokok
masalah adalah beberapakah lama maksimal masa seorang wanita hamil hingga
melahirkan? Ternyata para ulama berbeda pendapat dalam permalahan ini, yaitu:
Diriwayatkan dari ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad salah satu pendapat, bahwa
masa terlama untuk seorang wanita hamil sampai dengan melahirkan adalah dua
tahun. Pendapat ini didasarkan pada perkataan „Aishah ra.

“Wanita masa kehamilannya tidak lebih dari dua tahun dengan sepergeseran bayang-
bayang tiang berdiri. (HR. al-Daruqutniy). Imam Layth ibn Sa‟ad menjelaskan, bahwa
masa paling panjang seorang wanita hamil sampai melahirkan adalah tiga tahun.
Pendapat ulama Shafi‟iyyah dan Imam Ahmad menurut pendapat yang lebih sahih,
yaitu masa terpanjang seorang wanita hamil hingga melahirkan adalah 4tahun.
Muhammad Ibn „Abd al-Hakam dari madzhab Malikiyah menentukan masanya satu
tahun. Sedang Ibn Rushd menjelaskan, bahwa permasalah ini kembali pada kebiasaan.
Sedangkan pendapat dari ulama Zahiriyyah dan Muhammad Ibn Abd al- Hakam
mendekati pada yang biasa terjadi, sebagaimana penjelasan Ibn Rushd. Dengan
demikian bisa dikatakan, bahwa: bahwa hal tersebut dikembalikan pada penetapan
Hakim dengan disasarkan pada hokum kebiasaan. Pada umumnya sesuai dengan
keterangan, bahwa paling banyak masa hamil adalah satu tahun masehi (shamsiyyah),
yaitu 365 hari. Seyogyanya ketentuan kebiasaan maksimal masa hamil tersebut
diserahkan kepada hakim, selanjutnya hakim bisa mendengar keterangan dari dokter
yang ahli dalam bidang kandungan. Penentuan kebiasaan hamil di sini sangatlah
penting, guna memperhitungkan apakah bayi yang berada di dalam kandungan
tersebut telah ada ketika muwarrith meninggal dunia. Sebagai permisalan adalah
sebagai berikut: A adalah seorang bapak yang wafat, dan meninggalkan seorang
isterinya B yang sedang hamil. Guna menetapkan apakah bayi/anak yang terdapat
pada kandungan B tersebut benar-benar anak dari A, bukan bayi/anak yang terjadi
sebab hubungan antara B dengan laki-laki lainnya. Dengan ditentukannya masa yang
terlama itu dapat ditentukan bahwa bayi/anak yang terlahir dalam masa antara masa
meninggalnya A dengan masa B melahirkan bayi/anak tersebut tidak lebih dari masa
terpanjang seorang wanita hamil, maka anak tersebut adalah sah}i>h} (benar) sebagai
anak dari A. Akan tetapi jika sebaliknya, bahwa bayi/anak tersebut terlahir melewati
batas paling banyak masa hamil, maka bayi/anak yang terlahir dari B tersebut
bukanlah anak A, sehingga bayi/anak tersebut tidak miliki hak waris dari A.
c. Berapa bagian yang didapatkan anak dalam kandungan? Jelaskan!
Menantikan sesudah bayi tersebut telah lahir. Ini adalah cara yang memudahkan guna
mengetahui status dari anak tersebut, “apakah dia memang benar-benar menjadi ahli
waris”, serta “berapakah bagian yang dia terima, sebab telah bisa diketahui jenis
kelaminnya (laki-laki atau perempuan)”. Dengan demikian, sesuai pendapat ini maka
dilarang membagi harta warisan kalau bayi yang dikandung belum lahir Ini adalah
pendapat golongan Ma>likiyyah.
Jika ahli waris lainnya menginginkan pembagian tersebut sesegera mungkin
dilaksanakan dengan tidak menanti kelahiran anak/bayi tersebut, maka proses waris
bisa dilaksanakan dengan memperhitungkan bagian anak/bayi tersebut untuk bagian
seorang, meskipun bisa saja dia terlahir kembar. Pendapat tersebut adalah menurut
golongan Hanafiyyah, Shafi‟iyah, dan Hanabilah. Pendapat ini diperkuat dengan
adanya jaminan bahwa ahli waris yang sudah memperoleh bagian tersebut bersedia
mengembalikan harta waris yang menjadi hak milik bayi tersebut jikalau bayi tersebut
nantinya terlahir kembar. Jikalau tidak ada jaminan untuk mengembalikannya, maka
pembagiannya di tangguhkan (ditunggu) sampai sesudah kelahirannya.

jikalau pada saat ini telah bisa ditentukan oleh dokter yang ahli dalam bindang
kandungan apakah anak/bayi yang akan lahir tersebut dalam kondisi kembar atau
bukan, maka penetapannya tersebut bisa ditetapkan dengan didasarkan pada
keterangan dokter yang ahli itu. Kemudian, penentuan bagian anak/bayi tersebut
dipilih jumlah yang paling banyak pada posisinya sebagai ahli waris, semisal sebagai
ahli waris bahwa bayi/anak tersebut akan memperoleh lebih banyak jikalau dianggap
sebagai anak/bayi yang akan terlahir laki-laki. Hal ini akan berbeda jika sebagai ahli
waris bahwa anak/bayi tersebut berstatus saudara, sedangkan ahli waris hanyalah
suami, ibu serta anak/bayi di dalam kandungan tersebut, maka akan lebih banyak jika
dianggap akan terlahir perempuan. Kemungkinan ketika bayi/anak yang terdapat di
dalam kandungan tersebut dianggap perempuan atau laki-laki mendapatkan bagian
yang sama saja, maka anak/bayi tersebut dapat dianggap sebagai perempuan atau laki-
laki. Berkenaan dengan prakiraan untuk pemberian bahagian kepada anak di dalam
kandungan tersebut haruslah di-perhitungkan “manakah” yang akan memberikan
kebaikan untuk anak/bayi dalam kandungan tersebut. Jika dengan memperkirakan bayi
tersebut akan terlahir perempuan akan memperoleh, maka diperkirakan terlahir
peremuan, semisal bayi yang di dalam kandungan tersebut status/posisinya saudara
sebapak dari yang orang meninggal dunia. Jelasnya seseorang meninggal dunia
dengan ahli waris yang terdiri dari: suami, satu saudara perempuan kandung dan
saudara sebapak yang berada di dalam kandungan. Jika bayi dalam kandungan
tersebut terlahir laki-laki kemudian tidak memperoleh warisan dikarenakan telah habis
dibagikan kepada para ahli waris yang memperoleh bahagian (ashab al-furud}),
sedangkan jika bayi tersebut terlahir perempuan akan memperoleh bagian 1/6 untuk
menyempurnakan 2/3 bagian dari saudara perempuan sekandung.
Dalam permalahan lainnya akan memberikan kemashlahahatan jikalau dianggap
terlahir perempuan, semisal ahli waris yang ditinggalkan adalah: suami, saudara
perempun sekandung dan isteri ayah yang mengandung. jikalau kandungan
diperhitungkan perempuan akan memperoleh warisan dan apabila diperhitungkan
terlahir laki-laki, maka tidak akan memperoleh harta waris, dikarenakan habis terbagi.
Permalahan terakhir yaitu: anak di dalam kandungan tersebut diperkirakan terlahir
laki-laki, semisal kalau seorang meninggal dunia dan meninggalkan anak laki-laki dari
saudara laki-laki, juga isteri dari saudara laki-laki yang mengandung. jikalau yang
dikandung tersebut diperkirakan akan lahir laki-laki,maka akan memperoleh bagian,
sedang jikalau yang dalam kandungan tersebut diperkirakan lahir perempuan maka dia
tidak memperoleh bagian dikarenakan masuk kerabat arham (dhawy al-arham).
Seluruh permisalan kasus tersebut, menjelaskan bagaimana tata-cara membagi waris
jikalau ahli waris menghendakinya, sedangkan satus sebagian ahli waris status masih
samar dikarenakan masih ada di dalam kandungan, dengan memperhitungkan ahli
waris yang masih ada di dalam kandungan tersebut terlahir pada posisi yang
memungkinkan anak tersebut memperoleh bagian atau dalam kedudukan yang
mendapat bagian yang paling banyak. Bagian yang diambil tersebut disimpan guna
diserahkan ketika bayi terlahir bisa diserahkan, sedangkan harta waris yang lainnya
didistribusikab pada ahli waris yang ada. Kemudian jikalau dalam faktanya ternyata
kandungan yang bagiannya sudah disimpan tersebut terlahir dengan kondisi mati,
maka bagian tersebut dibagikan kepada ahli waris dengan disesuaikan ketentuan
bagian yang seharusnya. Begitu juga jikalau bayi yang masih di dalam kandungan
tersebut ternyata tidak lahir sebagaimana yang diperhitungkan, hingga memperoleh
bagian yang lebih kecil dari harta yang disimpan, maka sisa harta tersebut kembali
pada ahli waris yang sudah memperoleh bagian sebelumnya dengan disesuaikan
aturan yang ada. Namun, justru yang menimbulkan problem ketika anak tersebut
terlahir dalam keadaan kembar, sedangkan perkiraannya tidak begitu. Maka
sebagaimana penjelasan di permulaan, yaitu seyogyanya harta waris dibagikan dalam
kondisi ahli waris yang masih berada di dalam kandungan, jikalau terdapat jaminan
apabila nantinya kenyataannya bagian anak yang berada di dalam kandungan tersebut
tidak cukup, maka ahli waris yang sudah memperoleh harus siap mengembalikan
kelebihan yang telah diperolehnya. Pedeknya jikalau dalam kenyataanya anak yang
berada di dalam kandungan tersebut lahir kembar, maka ahli waris yang sudah
memperoleh, harus mengembalikannya menurut ketentuan pembagian.

d. Apa yang dimaksud dengan anak zina dan anak li‟an? Jelaskan!

Anak hasil zina, ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seorang laki-laki dengan
wanita tanpa nikah. Anak yang lahir karena hubungan tanpa nikah tersebut disebut walad
ghairu shar‟iy, dan orang laki-laki yang menimbulkan kandungan itu disebut ab ghairu
shar‟iy. Anak ghairu shar‟iy atau anak zina tadi tidak ada hubungan darah dengan Ab
Ghairu shar‟iy menurut hukum, karenanya tidak ada hubungan waris-mewarisi. Anak
tersebut hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-
mewarisi. Demikian pula anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan kerabat
ibunya, yang berarti juga mempunyai hubungan ahli waris.
Anak li‟an, ialah anak yang lahir dari seorang ibu yang dituduh zina (melakukan
perbuatan zina) oleh suaminya, dan anak yang lahir itupun dinyatakan anak hasil
perbuatan zina itu. Pernyataan itu dilakukan dalam suatu saling sumpah antara wanita ibu
anak li‟an tersebut dengan suaminya yang berakibat putusnya hubungan suami isteri itu
dan haram untuk selamalamanya melakukan rujuk atau pernikahan kembali. Akibat lain
ialah tidak ditetapkannya anak tersebut sebagai anak laki-laki yang melakukan
mula>„anah itu, tetapi anak ibu yang melahirkannya. Menurut hukum Islam, kondisi
demikian yaitu ketika seorang suami menuduhkan kepada isterinya telah melakukan
perbuatan zina dan suami tersebut tidak mampu membawakan saksi. Oleh karenanya,
suami tersebut dijatuhi hukuman cambuk 80 kali, dikarenakan telah “menukas” (menuduh
seseorang telah melakukan perzinaan dengan tidak disertai saksi). Suami tersebut bisa
terbebas dari hukuman cambuk jikalau dia berani bersumpah li‟an, yaitu melaksanakan
sumpah empat kali di hadapan hakim, yang isi pokok sumpahnya: “saya bersaksi bahwa
saya adalah orang yang benar tuduhannya”, selanjutnya, untuk sumpah yang kelima
mengucapkan: “kutukan Tuhan atasku, bila aku dari orang yang dusta terhadap tuduhan”.
Dengan demikian, isteri yang dituduh oleh suami tersebut dapat dijatuhi hukuman zina.
Namun, wanita itu bisa terbebas dari tuduhan tersebut jika dia berani bersumpah juga
sebanyak empat kali: “saya bersaksi pada Allah, bahwa ia (suaminya yang menuduh itu)
adalah orang yang berdusta terhadap tuduhannya itu”. Kemudian dalam sumpak kelima,
dia mengucapkan: “Atas diriku kemurkaan Allah jika suami saya orang yang benar dalam
tuduhannya

Anda mungkin juga menyukai