Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar

beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih

hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

dalam fikih Islam, penentuan status orang hilang atau mafqud, apakah yang

bersangkutan masih hidup atau sudah wafat, kian penting karena menyangkut

banyak aspek, salah satunya adalah dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris,

mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil

furud atau sebagai dzawil asobah. Sedangkan sebagai pewaris, tentu ahli warisnya

memerlukan kejelasan status kewafatannya, karena status ini merupakan salah

satu syarat untuk dapat dikatakan bahwa kewarisan mafqud yang bersangkutan

telah terbuka.1

Para ahli Faraid menjelaskan diantara persyaratan ahli waris ialah jelas

hidup pada saat kematian pewaris dan di antara syarat pewaris ialah pasti pula

kematiannya. Ketidakpastian tersebut menimbulkan masalah dalam kewarisan.

Pembicaraan mafqud dalam kewarisan ini menyangkut dua hal yaitu pertama

dalam posisinya sebagai pewaris, berkaitan dengan peralihan hartanya kepada ahli

waris, dan kedua dalam posisi ahli waris, berkaitan dengan peralihan harta

pewaris kepadanya secara legal. 2

1
Amir syaifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm.132
2
Ibid., hlm. 132
Masalah orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir, menyatakan

bahwa kedudukan hukum orang hilang atau (mafqud) adalah dipandang

(dianggap) hidup dalam hal-hal yang menyangkut hak-haknya, dan dipandang

mati dalam hal yang menyangkut hak orang lain hingga dapat diketahui dengan

jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan hakim tentang mati atau

hidupnya. Akibat dari ketentuan tersebut adalah : 3

1. Harta bendanya tidak boleh diwaris pada saat hilangnya, sebab mungkin dalam

suatu waktu dapat diketahui ia masih hidup.

2. Tidak berhak waris terhadap harta peninggalan kerabatnya yang meninggal

dunia setelah mafqud meninggalkan tempat.

Walaupun demikian karena kematian mafqud itu belum dapat diketahui

secara pasti ia masih harus diperhatikan dalam pembagian warisan, seperti halnya

anak dalam kandungan. Bagian orang yang hilang (mafqud) harus disisihkan

sampai dapat diketahui keadaannya masih hidup atau telah meninggal, atau

dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Cara pembagian

terhadap ahli waris yang ada diperhitungkan dengan perkiraan bahwa mafqud

masih hidup. Misalnya, ahli waris terdiri dari 2 orang anak perempuan dan 1

orang anak laki-laki mafqud, maka harta warisan dibagi 4 (empat)., satu bagian

untuk masing-masing anak perempuan dan 2 (dua) bagian disimpan untuk anak

laki-laki mafqud.

Penetapan mafqud bagi orang yang hilang sangat penting karena untuk

mengetahui posisi mafqud dalam hal memperoleh hak dan kewajiban kewarisan.

3
Ahmad Azhar basyir,2001,Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta hlm. 98
Jika dia merupakan pewaris, maka ahli warisnya memerlukan kejelasan status

tentang keberadaannya (apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat)

agar jelas hukum kewarisan dan harta warisannya, dan jika sebagai ahli waris,

mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil

furud atau sebagai dzawil asobah.

Dalam keadaan pertama, mafqud sebagai orang yang mewariskan, hartanya

tetap menjadi miliknya dan tidak dibagikan di antara ahli warisnya sampai nyata

kematiannya atau hakum menetapkan kematiannya. Apabila ternyata ia masih

hidup, dia berhak mengambil hartanya. Apabila ternyata dia sudah mati atau

hakim menetapkan kematiannya, hartanya diwarisi oleh orang yang menjadi ahli

waris pada waktu dia mati atau waktu hakim menetapkan kematiannya. 4

Adapun keadaan kedua, yaitu apabila mafqud sebagai pewaris dari orang

lain, bagiannya dari harta peninggalan orang yang mewariskan itu ditahan, sampai

jelas persoalannya. Apabila ia muncul dalam keadaan hidup, dia berhak

mengambilnya. Jika ditetapkan kematiannya, bagiannya itu dikembalikan kepada

ahli waris yang berhak disaat kematian orang yang mewariskan. Jika dia muncul

dalam keadaan hidup sesudah ditetapkan kematiannya, dia mengambil sisa dari

bagiannya yang berada di tangan ahli waris.5

Apabila hakim telah memutuskan bahwa si mafqud telah meninggal pada

suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan dalil yang membuktikan kematiannya,

baik merupakan pengakuan saksi ataupun surat maka mafqud dianggap meninggal

4
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,2009, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan
Hukum Positif Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.153
5
Sayid Sabiq, 1983, Fiqhus Sunnah, Darul Fikri, Beirut hlm.425
sejak waktu keluarnya putusan hakim. Adapun harta peninggalannya dapat segera

dibagikan kepada para ahli waris. Dalam hal ahli waris yang telah meninggal

sebelum adanya putus hakim dan sesudah menghilangnya (mafqud) tidak

mendapatkan harta warisan, karena tidak dapat dipastikan syarat kewarisan pada

muwarris-nya itu, yaitu dia telah meninggal atau dihukumi telah meninggal.

Selama dia belum dihukumi meninggal, hartanya tetap menjadi miliknya, tidak

dapat diwarisi oleh ahli warisnya. 6

Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari

kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu: 7

1. Berdasarkan bukti-bukti otentik yang dapat diterima secara syar’i. Sebagai

dalam kaidah:

“Tsa bitu bil bayyinati katssabinati bil mu’aa yanah”

“Yang tetap berdasarkan bukti seperti yang tetap berdasarkan kenyataannya”.

Jadi, misalnya ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk

memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia,

maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan

status kematian bagi mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah

hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan sebagai orang yang mati haqiqy.

2. Berdasarkan batas waktu lamanya kepergian si mafqud pergi atau berdasarkan

kadaluwarsa.

Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi/

menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab:8

6
Moh. Muhibbin, Loc.cit..
7
Asjmuni A Rahman, 1976, Qaidah-Qaidah Fiqh, PT. Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 63
1) Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang
diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat)
tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang
menyatakan :
“Setiap istri yang ditinggalkan oleh suaminya sedang dia tidak mengetahui
dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian ia ber’iddah
selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia...”(HR Bukhari).
Mahzab Maliki berpendapat bahwa usia yang bisa dijadikan dasar penetapan
meninggalnya orang yang mafqud ialah 70 tahun”.
2) Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhammad bin al Hasan
berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila
sudah tidak ada sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak
dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim.
Hakim dapat memberi vonis kematian kepada si mafqud menurut ijtihad-nya
demi suatu kemaslahatan.
3) Abdul Malik Ibnu Majisyun memfatwakan agar si mafqud tersebut mencapai
usia 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan,
seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan
tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku
itu antara 70 dan 60 tahun”.
4) Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan suatu hukum bagi si
mafqud, hakim harus melihat “situasi” hilangnya si mafqud tersebut. Menurut
beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
a) Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa
malapetaka, misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya
pecah dan sebagian penumpangnya telah tenggelam atau dalam situasi
peperangan, maka setelah diadakan penyelidikan oleh hakim secermat-
cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah empat tahun
lamanya.

8
Ibid., hlm.63
b) Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa
malapetaka, misalnya: pergi untuk menuntut ilmu, ibadah haji dan
sebagainya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar
beritanya lagi dan di mana domisilinya, maka dalam hal seperti itu
diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut
ijtihad-nya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama tersebut di atas dapat diambil suatu

kesimpulan yang lebih tepat untuk diberlakukan pendapat dikalangan mahzab

Syafi’i serta pendapat kedua dari Imam Ahmad Ibnu Hambal yang menyatakan

bahwa penetapan meninggalnya seseorang yang mafqud diserahkan kepada ijtihad

hakim atau pemerintah setempat. 9

Menurut ketentuan ushul fiqih, harta orang mafqud yang belum ada

kepastian meninggalnya, masih tetap belum dapat diwariskan, karena orang itu

berdasar istishab, masih tetap dianggap seperti awalnya yaitu masih hidup,

sehingga hartanya juga masih tetap sebagai pemiliknya. 10

Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di Pengadilan Agama, bahwa

mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan/ menghukumi status

bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih

bersifat diperdebatkan (debatable).11

Beberapa pertimbangan di atas, pada akhirnya untuk menetapkan status al-

mafqud terletak pada ijtihad hakim dalam memutuskan hukum. Dalam era

informasi dan teknologi modern seperti sekarang ini, didukung adanya perangkat

9
Amin Husein Nasution, 2012, Hukum Kewarisan; Suatu Analisis komparatif pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam , PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 195
10
Ibid., hlm. 195
11
Ibid., hlm. 195
negara yang memadai, pertimbangan-pertimbangan di atas perlu diteliti

efektivitasnya kembali. Fasilitas melalui media cetak maupun media elektronik

sudah barang tentu akan sangat membantu tugas-tugas hakim dalam upaya

menetapkan status al-mafqud.

Persoalan status al mafqud adalah apabila hakim telah menjatuhkan putusan

kematian al-mafqud, ternyata di kemudian hari si mafqud muncul dalam keadaan

sehat walafiat, pada hal harta kekayaanya telah dibagi oleh ahli warisnya.

Menghadapi kenyataan demikian, mayoritas Ulama yang diikuti oleh Hukum

Waris Mesir menetapkan, apabila harta yang menjadi haknya masih utuh atau

masih ada sebagian maka ia berhak mengambilnya kembali. Tetapi apabila

hartanya sudah habis atau rusak di tangan ahli warisnya, al-mafqud tidak berhak

menuntut. Alasannya, ahli waris memanfaatkan hartanya itu didasarkan atas

keputusan hakim. Karena bagaimanapun juga keputusan hakim sebagai hasil

ijtihad harus dihormati dan diindahkan.

Penyelesaian Perkara mafqud merupakan salah satu wewenang dari

Pengadilan Agama yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006. Untuk mengetahui keadaan status mafqud, maka perkara ini diserahkan

kepada hakim Pengadilan Agama untuk memberikan penetapan dengan

memperhatikan kemaslahatan baik untuk si mafqud atau untuk ahli waris yang

lain, yang dalam penetapannya, seorang hakim harus menggunakan alasan-alasan

hukum yang jelas. Sehingga nantinya dapat memberikan implikasi secara jelas

atas hilangnya si mafqud tersebut. Berdasarkan pemaparan tersebut, sangat


penting untuk membahas lebih lanjut mengenai hak waris bagi orang hilang

(mafqud). Sehingga dapat ditelaah lebih dalam mengenai hak waris tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah

yang hendak diteliti adalah :

1. Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan seseorang

dinyatakan hilang (mafqud) sudah sesuai dengan ketentuan Hukum Waris

Islam?

2. Bagaimana pembagian warisan bagi ahli waris yang dinyatakan hilang

(mafqud) melalui penetapan Pengadilan Agama di kerabatnya?

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti ada beberapa

penelitian yang berkaitan dengan pembagian waris orang yang dinyatakan hilang

atau keadaan tidak hadir tersebut. Sebagaimana yang ditemukan peneliti, yaitu :

1. Tesis yang berjudul “Penerapan asas Ijbari terhadap Ahli waris yang Mafqud

dalam Hukum Kewarisan Islam” yang ditulis oleh Riko Adriansyah, Magister

Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, 2013.12

Penelitian ini membahas mengenai asas yang diterapkan terhadap ahli waris

mafqud, yakni asas ijbari yang sudah ada ketentuan dari para ulama fiqih yang

ada di Indonesia dan bagaimana peluang diterapkannya asas ijbari terhadap ahli

12
Riko Adriansyah, 2013, “Penetapan Asas Ijbari terhadap Ahli Waris yang Mfqud dalam
Hukum Kewarisan Islam”, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada.
waris mafqud mengingat bahwa asas ijbari menghendaki harta warisan yang

sudah terbuka untuk segera dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak

karena secara umum ahli waris yang mafqud juga termasuk ahli waris yang berhak

meskipun statusnya masih membutuhkan Penetapan dari Lembaga Peradilan

Agama.

2. Tesis yang berjudul : “Analisis Yuridis Pembagian Waris Terhadap Ahli Waris

yang Ditetapkan Hilang Di Pengadilan Agama Bantul” yang ditulis oleh

Rizqie yazdadya, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah mada, 201313 :

Penelitian ini membahas mengenai apa yang menjadi pertimbangan hakim

dalam menetapkan hilangnya ahli waris dan bagaimana pembagian waris terhadap

ahli waris yang telah dinyatakan hilang tersebut.

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti berjudul “Analisis

Yuridis pembagian Harta Warisan Bagi Ahli Waris yang Dinyatakan Mafqud di

Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta”, lebih menitik beratkan

mengenai apakah pertimbangan hakim dalam menetapkan seseorang dinyatakan

hilang (mafqud) sudah sesuai dengan ketentuan Hukum Waris Islam dan

bagaimanakah pembagian warisan terhadap ahli waris yang telah dinyatakan

hilang tersebut sampai di kerabatnya.

13
Rizqie Yazdadya, 2013, “Analisis Yuridis Pembagian Waris Terhadap Ahli Waris yang
Ditetapkan Hilang Di Pengadilan Agama bantul, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas
Gadjah Mada.
D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang

menjadi tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

Agama Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengeluarkan Penetapan

mengenai ahli waris yang dinyatakan hilang (mafqud) kesesuaiannya dengan

Hukum Waris Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis cara pembagian harta warisan bagi ahli

waris yang dinyatakan hilang (mafqud) melalui penetapan Pengadilan Agama

Daerah Istimewa Yogyakarta sampai pembagian warisan di kerabatnya.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran

dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, khususnya

dalam hukum kenotariatan yang berkaitan dengan kewarisan serta upaya

penyempurnaan terkait dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Secara praktis, dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

penyusunan kebijakan dalam menetapkan peraturan-peraturan maupun dalam

mengambil keputusan dalam hal penyelesaian sengketa hukum waris.

Anda mungkin juga menyukai