PENDAHULUAN
Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar
beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih
dalam fikih Islam, penentuan status orang hilang atau mafqud, apakah yang
bersangkutan masih hidup atau sudah wafat, kian penting karena menyangkut
banyak aspek, salah satunya adalah dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris,
furud atau sebagai dzawil asobah. Sedangkan sebagai pewaris, tentu ahli warisnya
satu syarat untuk dapat dikatakan bahwa kewarisan mafqud yang bersangkutan
telah terbuka.1
Para ahli Faraid menjelaskan diantara persyaratan ahli waris ialah jelas
hidup pada saat kematian pewaris dan di antara syarat pewaris ialah pasti pula
Pembicaraan mafqud dalam kewarisan ini menyangkut dua hal yaitu pertama
dalam posisinya sebagai pewaris, berkaitan dengan peralihan hartanya kepada ahli
waris, dan kedua dalam posisi ahli waris, berkaitan dengan peralihan harta
1
Amir syaifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm.132
2
Ibid., hlm. 132
Masalah orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir, menyatakan
mati dalam hal yang menyangkut hak orang lain hingga dapat diketahui dengan
jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan hakim tentang mati atau
1. Harta bendanya tidak boleh diwaris pada saat hilangnya, sebab mungkin dalam
secara pasti ia masih harus diperhatikan dalam pembagian warisan, seperti halnya
anak dalam kandungan. Bagian orang yang hilang (mafqud) harus disisihkan
sampai dapat diketahui keadaannya masih hidup atau telah meninggal, atau
terhadap ahli waris yang ada diperhitungkan dengan perkiraan bahwa mafqud
masih hidup. Misalnya, ahli waris terdiri dari 2 orang anak perempuan dan 1
orang anak laki-laki mafqud, maka harta warisan dibagi 4 (empat)., satu bagian
untuk masing-masing anak perempuan dan 2 (dua) bagian disimpan untuk anak
laki-laki mafqud.
Penetapan mafqud bagi orang yang hilang sangat penting karena untuk
mengetahui posisi mafqud dalam hal memperoleh hak dan kewajiban kewarisan.
3
Ahmad Azhar basyir,2001,Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta hlm. 98
Jika dia merupakan pewaris, maka ahli warisnya memerlukan kejelasan status
tentang keberadaannya (apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat)
agar jelas hukum kewarisan dan harta warisannya, dan jika sebagai ahli waris,
tetap menjadi miliknya dan tidak dibagikan di antara ahli warisnya sampai nyata
hidup, dia berhak mengambil hartanya. Apabila ternyata dia sudah mati atau
hakim menetapkan kematiannya, hartanya diwarisi oleh orang yang menjadi ahli
waris pada waktu dia mati atau waktu hakim menetapkan kematiannya. 4
Adapun keadaan kedua, yaitu apabila mafqud sebagai pewaris dari orang
lain, bagiannya dari harta peninggalan orang yang mewariskan itu ditahan, sampai
ahli waris yang berhak disaat kematian orang yang mewariskan. Jika dia muncul
dalam keadaan hidup sesudah ditetapkan kematiannya, dia mengambil sisa dari
baik merupakan pengakuan saksi ataupun surat maka mafqud dianggap meninggal
4
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,2009, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaruan
Hukum Positif Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.153
5
Sayid Sabiq, 1983, Fiqhus Sunnah, Darul Fikri, Beirut hlm.425
sejak waktu keluarnya putusan hakim. Adapun harta peninggalannya dapat segera
dibagikan kepada para ahli waris. Dalam hal ahli waris yang telah meninggal
mendapatkan harta warisan, karena tidak dapat dipastikan syarat kewarisan pada
muwarris-nya itu, yaitu dia telah meninggal atau dihukumi telah meninggal.
Selama dia belum dihukumi meninggal, hartanya tetap menjadi miliknya, tidak
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari
dalam kaidah:
Jadi, misalnya ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk
status kematian bagi mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah
kadaluwarsa.
6
Moh. Muhibbin, Loc.cit..
7
Asjmuni A Rahman, 1976, Qaidah-Qaidah Fiqh, PT. Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 63
1) Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang
diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat)
tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang
menyatakan :
“Setiap istri yang ditinggalkan oleh suaminya sedang dia tidak mengetahui
dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian ia ber’iddah
selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia...”(HR Bukhari).
Mahzab Maliki berpendapat bahwa usia yang bisa dijadikan dasar penetapan
meninggalnya orang yang mafqud ialah 70 tahun”.
2) Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhammad bin al Hasan
berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila
sudah tidak ada sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak
dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim.
Hakim dapat memberi vonis kematian kepada si mafqud menurut ijtihad-nya
demi suatu kemaslahatan.
3) Abdul Malik Ibnu Majisyun memfatwakan agar si mafqud tersebut mencapai
usia 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan,
seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan
tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku
itu antara 70 dan 60 tahun”.
4) Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan suatu hukum bagi si
mafqud, hakim harus melihat “situasi” hilangnya si mafqud tersebut. Menurut
beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
a) Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa
malapetaka, misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya
pecah dan sebagian penumpangnya telah tenggelam atau dalam situasi
peperangan, maka setelah diadakan penyelidikan oleh hakim secermat-
cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah empat tahun
lamanya.
8
Ibid., hlm.63
b) Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa
malapetaka, misalnya: pergi untuk menuntut ilmu, ibadah haji dan
sebagainya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar
beritanya lagi dan di mana domisilinya, maka dalam hal seperti itu
diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut
ijtihad-nya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama tersebut di atas dapat diambil suatu
Syafi’i serta pendapat kedua dari Imam Ahmad Ibnu Hambal yang menyatakan
Menurut ketentuan ushul fiqih, harta orang mafqud yang belum ada
kepastian meninggalnya, masih tetap belum dapat diwariskan, karena orang itu
berdasar istishab, masih tetap dianggap seperti awalnya yaitu masih hidup,
bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih
mafqud terletak pada ijtihad hakim dalam memutuskan hukum. Dalam era
informasi dan teknologi modern seperti sekarang ini, didukung adanya perangkat
9
Amin Husein Nasution, 2012, Hukum Kewarisan; Suatu Analisis komparatif pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam , PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 195
10
Ibid., hlm. 195
11
Ibid., hlm. 195
negara yang memadai, pertimbangan-pertimbangan di atas perlu diteliti
sudah barang tentu akan sangat membantu tugas-tugas hakim dalam upaya
sehat walafiat, pada hal harta kekayaanya telah dibagi oleh ahli warisnya.
Waris Mesir menetapkan, apabila harta yang menjadi haknya masih utuh atau
hartanya sudah habis atau rusak di tangan ahli warisnya, al-mafqud tidak berhak
2006. Untuk mengetahui keadaan status mafqud, maka perkara ini diserahkan
memperhatikan kemaslahatan baik untuk si mafqud atau untuk ahli waris yang
hukum yang jelas. Sehingga nantinya dapat memberikan implikasi secara jelas
(mafqud). Sehingga dapat ditelaah lebih dalam mengenai hak waris tersebut.
B. Rumusan Masalah
Islam?
C. Keaslian Penelitian
penelitian yang berkaitan dengan pembagian waris orang yang dinyatakan hilang
atau keadaan tidak hadir tersebut. Sebagaimana yang ditemukan peneliti, yaitu :
1. Tesis yang berjudul “Penerapan asas Ijbari terhadap Ahli waris yang Mafqud
dalam Hukum Kewarisan Islam” yang ditulis oleh Riko Adriansyah, Magister
Penelitian ini membahas mengenai asas yang diterapkan terhadap ahli waris
mafqud, yakni asas ijbari yang sudah ada ketentuan dari para ulama fiqih yang
ada di Indonesia dan bagaimana peluang diterapkannya asas ijbari terhadap ahli
12
Riko Adriansyah, 2013, “Penetapan Asas Ijbari terhadap Ahli Waris yang Mfqud dalam
Hukum Kewarisan Islam”, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada.
waris mafqud mengingat bahwa asas ijbari menghendaki harta warisan yang
sudah terbuka untuk segera dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak
karena secara umum ahli waris yang mafqud juga termasuk ahli waris yang berhak
Agama.
2. Tesis yang berjudul : “Analisis Yuridis Pembagian Waris Terhadap Ahli Waris
dalam menetapkan hilangnya ahli waris dan bagaimana pembagian waris terhadap
Yuridis pembagian Harta Warisan Bagi Ahli Waris yang Dinyatakan Mafqud di
hilang (mafqud) sudah sesuai dengan ketentuan Hukum Waris Islam dan
13
Rizqie Yazdadya, 2013, “Analisis Yuridis Pembagian Waris Terhadap Ahli Waris yang
Ditetapkan Hilang Di Pengadilan Agama bantul, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas
Gadjah Mada.
D. Tujuan Penelitian
2. Untuk mengetahui dan menganalisis cara pembagian harta warisan bagi ahli
E. Manfaat Penelitian
2. Secara praktis, dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi