Anda di halaman 1dari 17

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.

com

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh
adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan
seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk
yaitu ilmu fiqh. 1

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya
keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah
ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan
fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.

Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu


dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk
telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada
jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini
mengenai sejarah perkembangan dan alirann-aliran ilmu ushul fiqh. Sehingga kita
bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada. Penelitian ini
menyelidiki sejarah perkembangan Ushul fiqh, aliran dalam ushul fiqh, serta
karya ilmiah pada bidang ushul fiqh.

Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di bidang amaliyah praktis;


bidang kajian usul fiqh merupakan persoalan yang praktis bukan dalam bidang
tauhid/iktiqad, Ushul Fiqh merupakan prosedur yang terukur bagi fuqaha dalam
menjalankan istinbat hukum. Metode yang digunakan fuqaha merupakan aplikasi

1
Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1,No.
1, maret 2018, hlm. 39

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

satuan dalil tertentu dalam kasus hukum amaliyah dengan nalar deduktif dan
normatif.

Kaidah Ussul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah
yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama
(mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas,
sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf,
syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati
di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid
dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti kaidah
tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam
kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena
menganggapnya salah.2

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam
Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakan
Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu
Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum
syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan
tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi
dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian
hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan
Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib,
sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lain
yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek
pembahasan ilmu Ushul fiqh.

2
Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

BAB II

PEMBAHASAN

A. Taklid

1. Pengertian Taqlid

Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah”


(kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang
kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid
al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan
taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari
seorang mujtahid.3

Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil.
Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui
keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara
tersebut disebut muqallid.4

2. Hukum – Hukum Taqlid

Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid
yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram. 5

a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-


orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji
dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam
Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah
sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski
demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi

3
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 87.
4
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003),
hlm. 61.
5
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet. 2, (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), hlm. 155.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada


tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji
dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam
sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian
dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk
menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak
mengetahui ijma dan qiyas.
b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang
sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji
hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara
lain :

Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan
membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti
menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan
dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-
Baqarah ayat 170 :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang
telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)

Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang


bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi
tuli atau buta.

Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka


ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.

Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil


bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam
atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang


mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

3. Syarat – syarat Taqlid


Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat
orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. 6 Syarat-syarat itu yakni
sebagai berikut :
a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid

Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa
yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti
pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan
mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali
sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau
baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan
akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-
soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat
orang pandai lainnya.

b. Syarat-syarat yang ditaqlid

Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang


berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada
orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta
sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan
hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

4. Problematika Taqlid

Taqlid ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui


sumber dan cara pengambilannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat
Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini
disebut Muqallid.

Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :

6
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,..., hlm. 156.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

a. Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian


dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil
yang qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut
sebagai al-ma’lum minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum
tentang kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan
Ramadlan, bilangan rakaat dalam shalat dan sebagainya. Ini semua
dapat diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang
hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-
dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid,
karena semua orang dapat mengetahuinya.
b. Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-
masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali,
seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah,
apakah batal wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam
kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari Al-
Qur’an. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui
apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian
dan kajian ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat.
Madzhab-madzhab dan perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan
ulama’ terjadi dalam masalah yang seumpama ini. Dalam masalah
inilah orang diperbolehkan taqlid.

Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak


berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau
fatwa dari para mujtahid.

Menurut Al-Amidi, ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam, tidak wajib


bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah, mereka
boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka
beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid
dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita
bertaqlid dengan madzhab ini dalam semua masalah.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Dibenarkan mengamalkan pendapat dari madzhab-madzhab lain.

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah


taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal
( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat


dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut,
tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang
yang mengatakan perkataan itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang


terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-
kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu
Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

 Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.


a. Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab
tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-
azimahnya2 dalam semua urusan agamanya.

Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini.


Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut
dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki
udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang
berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari
keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu
alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam


pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala
perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang
kebolehannya masih dipertanyakan.”

Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab


tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan
dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan
halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang
mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan
ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang
mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik
dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia
melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim
(tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana
‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Allah terhadap apa-apa yang
dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain
yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah
menegaskan akan hal tersebut”.

b. Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam


kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk
mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki
atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

B. Ittiba’

1. Pengetian Ittiba’

Ittiba’ artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu


menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya
(dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. 7
Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan. 8

Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau


mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan

7
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,..., hlm. 60.
8
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,..., hlm. 163.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya
disebut muttabiun.

Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi


sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian,
sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian
terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum. 9

2. Dasar Hukum dan Hukum Ittiba

Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan


penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya
adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan
hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita
ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-
argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-
orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.10

3. Tujuan Ittiba`

Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin,


sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan
penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu
ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan
keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat
sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

4. Problematika Ittiba’

Allah swt melarang manusia melakukan suatu tindakan tanpa dasar


pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan wahyu, bisa juga
pengetahuan realitas. Orang yang mengabaikan pengetahuan wahyu akan
tersesat di akhirat, sedangkan orang yang mengabaikan pengetahuan realitas

9
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999),
hlm. 25.
10
Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum
Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), hlm. 164.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

bisa celaka di dunia.Sebagai ilustrasi, seseorang diserahi untuk membersihkan


komputer, jika kemudian cara membersihkannya itu dengan dicuci
sebagaimana mencuci pakaian maka tentu akan mengalami kerusakan yang
fatal.

Yang lebih penting dari ini, adalah kewajiban mensyukuri nikmat


agama dilakukan dengan memegangi dan menjalankan konsekuensi beragama
Tetapi hal itu tidak cukup hanya dengan kebiasaan-kebiasaan tanpa
pengetahuan. Dalam menjalankan ajaran agama, manusia akan bisa
melakukannya dengan baik apabila dia memiliki pengetahuan agama. Jika
tidak, bisa jadi bukan ajaran agama tetapi dia aku sebagai ajaran agama.

 Imam Hanafi berkata,”tidak halal atas seorangpun mengambil


perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami
mengambilnya”
 Imam Maliki berkata, “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa
benar dan keliru, lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan
kitab dan sunnah maka ambillah, dan yang tidak sesuai
tinggalkanlah”.
 Imam Syafi’i berkata, “jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah,
ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan
siapapun”. Sedangkan Imam Hanbali berkata, “Janganlah engkau
taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang
datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah.”

Masalah ittiba’ adalah masalah yang prinsip, mengingat bahwa


ketetapan Allah terhadap agama adalah bersih dari segala bentuk campur
tangan al-fikr (pemikiran), al-wijdan (perasaan) dan al-irodah (kemauan)
yang berakibat seseorang dihukumkan al-ihdats fiddini.

Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi


syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup
memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya
kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin


sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh
keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan
dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan
keikhlasan.

Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid


atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh
saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban
yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’
tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin
dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti
ulama B.11

Ittiba’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :

a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya, Ulama sepakat bahwa semua


kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-
Nya dan menjauhi laranganNya.
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat,
ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad
bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada
Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang
dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama
pewaris para Nabi).

Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin,


sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan
penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu
ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan

11
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011),
hlm. 129-131

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat


sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

C. Talfiq

1. Pengertian Talfiq

Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan


seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan
sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari
berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang
utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang
mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam
masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain
talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari
kalangan ahli fiqh. 12 Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah
(hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab
atau lebih. 13

Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka


seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan,
dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi,
dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak
bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja. Pengambilan dari berbagai-
bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah dikatakan di
atas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-
bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam
satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah
yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat. 14

2. Hukum Talfiq

12
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),
hlm. 89.
13
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,..., hlm. 164
14
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1995), hlm. 177.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau
tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun
sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.15 Pendapat tersebut adalah
sebagai berikut :

Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki


(memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah
dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik
secara keseluruhan maupun sebagian.

Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah


memilih salah satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab
dalil yang dipiihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil
yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan
rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk
mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atas
dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian
dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih


salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk
mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus
hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama
memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan.
Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.

Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih


salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke
mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan
mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan
gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua
perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa
dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang
15
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,.., hlm. 165.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

mempermudah urusan umatnya, juga ada hadits yang mengatakan bahwa


agama itu mudah. (penulis tidak menemukan teks hadits ini).

Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq


hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal
Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi
seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil
mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.

Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq


diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan
beberapa alasan yaitu :

a. Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada


salah satu mazhab.
b. Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
c. Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan
mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam
yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
d. Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para
ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik
mazhab.
e. Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh
meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun
ada sahabat yang lebih senior.16
3. Problematika Talfiq

Talfiq ialah mengikuti pendapat satu imam dalam satu-satu masalah,


kemudian bertaqlid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh:
mengambil wudlu mengikuti Imam Hanafi dan shalat mengikuti Imam
Syafi’i.
Kebanyakan ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu :

16
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,..., hlm. 91.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

a. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab


dalam beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut
Hanafi dan shalat ikut Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti
ini dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda
dalam dua masalah yang berbeda. Talfiq seperti ini dibenarkan
dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat
Allah terhadap umat Muhammad.
b. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab
dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali
menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak
menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.

Talfiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab,


misalnya kita di lingkungan madzhab Syafii, maka tak dibenarkan kita
memakai madzhab lain karena kita tak mengetahui hukum-hukum madzhab
tersebut secara jelas, dan akan membuat fitnah dan bingungngya orang lain,
namun jika kita pindah, misalnya ke wilayah yang masyarakatnya
bermadzhab Maliki, maka tak layak kita terus berkeras diri untuk bermadzhab
syafii, hendaknya kita memakai madzhab Maliki karena masyarakatnya
bermadzhab maliki.
Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul
waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa-apa yang mesti ada sebagai perantara
untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja,
namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah
air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?,
dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang
wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab,
namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita
hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam-imam muhaddits terdahulu,


maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal-hal yang
fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka
bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai
situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras
kepala dengan madzhab Syafiinya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika
Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing-masing
membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya
akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika Zeyd
bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan
dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd
berkata, maka wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula
dalam madzhab syafii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus
menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi
berwudhu dengan madzhab Syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau
ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki
dan telah batal pula dalam madzhab Syafii.
Demikian contoh kecil jika kita talfiq, namun itu dibolehkan jika kita
pindah ke wilayah lain, karena kita bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan
minta petunjuk pada guru guru di wilayah itu.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

DAFTAR RUJUKAN

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan


Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Arifin, Miftahul dan Haq, Ahmad Faisal. 1997. Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam.Surabaya: Citra Media.

Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.

Hanafi, Ahmad. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7. Jakarta: PT
Bulan Bintang.

Hasan, M Ali. 2002. Perbandingan Mazhab, cet 4. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT
RajaGrafindo.

Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press.

Rosyada, Dede. 1999. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. Jakarta:
Logos.

Saputra, Irwansyah. 2018. Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul


Fiqh. Vol. 1. No. 1.

Umam, Khairul dan Aminudin, A. Achyar. 2001. Ushul Fiqih II, cet. 2. Bandung:
Pustaka Setia.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai