Anda di halaman 1dari 16

IJMA’ DAN PEMBAHASANNYA

MAKALAH

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Tugas Akhir mata kuliah


bahasa Indonesia

Oleh

Anjely Oktavia
NIM 2116030043
Kelas: MBS B

Dosen Pengampu

Idal, M. Pd.

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAN NEGERI IMAM BONJOL PADANG
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. Yang telah memberikan berkah dan
karunia’Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makala ini tepat pada
waktunya. Tidak lupa pula sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
yang telah meninggalkan contoh cemelang tentang bagaimana seharusnya
menjalani hidup dan kehidupan kita di dunia ini.
Makala ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir
pada mata kuliah bahasa Indonesia adapun judul makala ini adalah Ijma’ dan
Pembahasannya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makala ini masih jauh dari sempurna
dan masih banyak kekurangan-kekurangan dari segi kualitas dan kuantitas
maupun dari ilmu pengetahuan yang dikuasai. Untuk itu penulis mohon kritik dan
saran yang membangun untuk dapat menjadi perbaikan dimasa mendatang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu. Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis dapat menjadi amal
ibadah dan mendapat balasan kebaikan di sisi Allah SWT. Aamiin.

Padang,25 Agustus 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................5
D. Manfaat Penulis...................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
A. Pengertian ijma’..................................................................................................6
B. Rukun dan Syarat Ijma’.......................................................................................7
C. Dasar Hukum Ijma..............................................................................................8
D. Macam-macam Ijma’........................................................................................10
E. Yang berhak membentuk Ijma’.........................................................................11
F. Pendapat ulama tentang kemungkinan terjadi Ijma’..........................................12

BAB III PENUTUP..............................................................................................14


A. Kesimpulan........................................................................................................14
B. Saran..................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapatan. Sedangkan
menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Nabi Muhammd,
sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum). pada sumber lain
ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara bahasa adalah niat yang kuat dan
kesepakatan. dan arti menurut bahasa adalah kesepakatan para mujtahid ummat ini
setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap suatu hukum syar’i.
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang
tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum-hukum seperti shalat, puasa, jual beli,
dan sebagainya. Semua itu membutuhkan agar kita tidak salah arah dalam landasan
agama. Untuk mengetahui hukum-hukum syariat agama, para ulama telah berijtihad
untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam AL-Qur’an dan hadist agar
jelas dan tidak sybhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal yang pada
zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimana hukumnya hal tersebut, maka
dibutuhkan kesepakatan para ulama (ijma’), maka dalam makala ini akan dibahas
tentang pengertian ijma’ macam-macam ijma’, kedudukan ijma’ dalam hukum islam,
dan disertai contoh ijma’ dan syarat ijma.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1. Apa itu ijma’?
2. Apa saja rukun dan syarat ijma’?
3. Apa saja dasar hukum ijma’?
4. Apa saja macam-macam ijma’?
5. Siapa saja yang berhak membentuk ijma’?
6. Bagaimana pendapat ulama tentang kemungkinan terjadi ijma’?
7. Bagaimana hukum mengingkari ijma’?

4
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian ijma’
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijma’
3. Untuk mengetahui dasar hukum ijma’
4. Untuk mengetahui macam-macam ijma’
5. Untuk mengetahui siapa saja yang berhak membentuk ijma’
6. Untuk menjelaskan pendapat ulama tentang kemungkinan terjadi ijma’
7. Untuk menjelaskan hukum mengingkari ijma’

D. Manfaat Penulis
Adapun manfaat penulisan makala ini adalah sebagai berikut.
1. Bermanfaat untuk penulis sendiri sebagai mahasiswa UIN Imam Bonjol
Padang.
2. Berguna untuk mendalami wawasan tentang islam yang berkenaan dengan
hukum-hukum syariat.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah “kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW,
sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara(hukum). Pada sumber lain
ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara bahasa adalah niat yang kuat dan
kesepakatan. Dan arti menurut bahasa adalah kesepakatan para mujtahid ummatini
setelah wafatnya Nabi shallallahu’alayhiwasalam terhadap suatu hukum syarfii.
Ijma’ secara terminologi didenifisikan oleh beberapa para ahli di antaranya :
1. Menurut Al Ghazali
“Ijma’ yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas
suatu urusan agama ; definisi ini mengindikasikan bahwa ijma tidak
dilakukan pada masa Rasullulah SAW, sebab keberadaan Rasullulah
sebagai syar’i tidak memerlukan ijma”
2. Menurut Al Amid
“Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal’aqdi atau para ahli yang
berkompoten mengurusi umur dari umat Nabi Muhammad pada suatu
masa atau hukum suatu kasus”
(Amir Syarifuddin, 1997) Dari beberapa pendapat mengenai definisi ijma’, pada
prinsipnya mereka berpendapat bahwa :
a. Ijma dapat terjadi dengan kesepakatan para mujtahid
b. Adanya permasalahan yang tidak terdapat dalam nash qoth’i
c. Terjadi pada masa tertentu
Dengan demikian, Ijma’ di pandang tidak sah, jika :
a. Ada yang tidak menyetujui
b. Hanya ada seorang mujtahid
c. Tidak ada kebulatan yang nyata
d. Sudah jelas terdapat dalam nash

6
Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan
peristiwa tersebut dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan
berijtihad, dan mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari
peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut, maka kesepakatan mereka di
sebut ijma’.
Imam Al-Syaukani menyebutkan adanya tiga unsur dalam ijma’, antara lain :
1. Kesepakatan tersebut dilakukan oleh ara ulama mujtahid dari kalangan umat
Islam dari seluruh penjuru dunia, tidak boleh ada yang tertinggal satu orang
pun.
2. Kesepakatan terjadi setelah Nabi SAW wafat.
3. Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan dalam masalah hukum
keagamaan.

B. Rukun dan Syarat Ijma’


Adapun syarat dan rukun ijma’ di antaramya :
a. Rukun Ijma’
Menurut ulama ushul fiqih rukun ijma’ itu terbagi menjadi 4 yaitu :
1. Yang terlibat dalam dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’
adalah seluruh mujtahid.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh
mujtahid yang ada pasa masa tersebut dari berbagai belahan dunia
Islam.
3. Kesepakatan itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah mereka
mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual
dan tidak ada hukumnya dalam al-qur’an ataupun dalam hadist
Rasullulah SAW.

7
b. Syarat Ijma’
Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ yaitu :
1. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtiha.
2. Kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil berpendirian
kuat terhadap agamanya.
3. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’yang bersifat aktual
dan tidak ada hukumnya dalam al-qur’an ataupun dalam hadist
Rasulullah SAW.

C. Dasar Hukum Ijma


Ulama Ushul fiqih sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan
hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa ayat 115:
“Dan barang siapa yang menentang Rasullulah SAW. Sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”
Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golongan yang
menentang Rasulullah SAW. dan mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib hukumnya mengikuti jalan orang
mukmin dan termasuk hasil kesepakatan ijma’ mereka.
Didalam surat an-nisa’ ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
Ulil Amri diantara kamu”.
Didalam hadist-hadist Rasulullah, banyak sekali yang menjelaskan kedudukan ijma’,
diantaranya hadist yang di riwayatkan dari Abu Daud dan Tarmizi : “Laatajtami’u
ummati’ ala al khata’ “( tidak mungkin umatku akan tersepakat dalam kesesatan), dan

8
dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Trabani : “sa altu ‘azaa
wajalla an laa tajtami’u ummati ‘alaa dholaalah fa a’thaa nihaa”, ( aku memohon
kepada Allah agar umatku tidak bersepakat terhadap sesuatu yang sesat, lalu Allah
mengabulkannya).
Imam Syafi’i memakai dasar-dasar hukum atau dalil-dalil hukum yang di
dalam hukum Islam yaitu AL-qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Tata urutan sumber
hukum ini juga dipakai oleh mazhab-mazhab awal terutama oleh gurunya, Imam
Maliki. Menurut teori hukum klasik landasan hukum Islam itu ada 4 dengan tata
urutan al-qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Akan tetapi menurut Ahmad Hasan ini
merupakan hukum yang sulit untuk diterima alasannya. Pertama , empat landasan ini
dengan tata urur al-Quran, sunnah, ijma qiyas merupakan hasil perkembangan sejarah
yang berasal dari masa para sahabat. Kedua urutan sumber-sumber hukum tersebut,
sesungguhnya adalah produk yang datang kemudian ketiga ide tentang a’immat al
huda atau pemimpin-pemimpin yang berbimbing lurus tentunya baru muncul setelah
empat khalifah pertama. Dialog Imam Syafi’i dengan lawan-lawanya memperjelas
bahwa para ahli-ahli hukum awal menempatkan qiyas sebelum ijma. Perubahan tata
urut hukum islam menjadi al-Quran, sunnah, ijma, qiyas untukk pertama kalinya
muncul dalam karyanya, al Risalah.
Dan sesuai dengan skema sumber hukum islam pada masa-masa
sebelumnya,ijma merupakan urutan yang terakhir. Ijma merupakan satu prinsip untuk
menjamin kebenaran hukum yang muncul sebagai hasil penggunaan qiyas dan
merupakan pembatas terhadap qiyas dan merupakan pembatas terhadap qiyas yang
bersifat bisa salah. Imam Syafi’i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah al-
Qur’an dan sunah Rasul.

9
D. Macam-macam Ijma’
Menurut Abdul Wahab khallaf, ijma’ bila dilihat dari cara mendapatkan
hukum melalui ijma’, maka ijma’ itu ada dua macam : yaitu Ijma’ Sharih dan Ijma’
Sukuti.
1. Ijma’ Sharih
Adalah setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua yang
di sepakati.
Menurut ulam jumhur ijma’ sharih ini dapat di jadikan hujjah. Sedangkan
imam syafi’i juga sepakat bahwa ijma’ sharih yang dapat di jadikan
hujjah, sehingga Imam syafi’i mengatakan sebagai berikut : jika engkau
atau salah seorang ulama mengatakan, “hukum ini telah disepakati”, maka
niscaya setiap ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang
engkau katakan.
2. Ijma’ Sukuti
Adalah sebagai mujtahid pada saat menampilkan pendapatnya secara jelas
mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa atau dalam majlis,
sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan respon atau komentar
terhadap pendapat tersebut, baik mengenai kecocokan pendapat atau
perbedaannya.
Tentang Ijma’ Sukuti ada tiga pendapat :
Menurut ulama jumhur berpendapat ijma’
“Sukuti tidak dapat dipakai sebagai hujjah atau dalil, karena
menganggap tidak hanya sebagai pendapat ulama mujtahid
saja.”
Menurut ulama Hanafiyah Ijma’
“Sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah ketika telah ada
ketetapan, bahwa seorang mujtahid yang diam ketika
dihadapkan kepadanya suatu kejadian, dan diutarakan
pendapatnya mengenai peristiwa tersebut, dan tidak ada
kecurigaan bahwa diamnya mujtahid tersebut karena takut

10
karena posisi diamnya seorang mujtahid berarti dia sedang
memberi fatwa.”
Menurut Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Muktazilah w.303 H)
“bahwa ijma’ sukuti dapat dikatakan ijma’, apabila generasi
mujtahid yang menyepakati hukum tersebut sudah habis.
Karena sikap diam mujtahid lain bersikap diam saja terhadap
hukum yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka
wafat, maka kemungkinan adanya mujtahid yang membantah
hukum tersebut tidak ada lagi.”
Imam al’Amidi (ahli ushul fiqh dari mazhab Syafi’y), Ibnu Hajib (ahli
ushul fiqh dari mazhab Maliki), dan Imam Abu bakar Muhammad bin
Husein al-Karkhi (ahli ushul fiqh dari mazhab Hanafi), berpendapat,
bahwa kesepakatan seperti ini tidak dikatakan ijma’, tetapi dapat dijadikan
hujjah, dan sifat kehujjahannya juga bersifat zanni.
Ijma’ ahli Madinah menurut pandangan Imam Malik dapat dijadikan dalil atau
argumentasi dalam berhujjah. Sedang sebagian mazhab Maliki telah sepakat bahwa
ijma’ penduduk Madinah yang dapat dijadikan hujjah ialah ijma’ mereka terhadap
masalah-masalah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, seperti dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Syu’bah ibn Mughirah tentang kesepakatan mereka dalam
memberikan harta pusaka kepada nenek atau hadits Nabi tentang interpretasi terhadap
saudara seayah termasuk juga dalam kategori saudara dalam pengertian umum.

E. Yang berhak membentuk Ijma’


Pembentukan ijma’ adalah para mujtahid yang menguasai masalah-masalah
fiqih berserta dalil-dalilnya (Qur’an dan sunnah) dan memahami metode penggalian
hukum Islam. Menurut Jumhur ulama yang ahli bid’ah tidak termasuk kategori
sebagai mujtahid, maka mereka tidak termasuk dalam kelompok ulama mujtahid.
Pendapat Imam asy-Syaukani yang dikutip oleh Abu Zahrah dalam kitab Irsyadul
Fuhul, Ijma’ yang diakui dalam hukum Islam adalah pendapate semua fuqaha, jika

11
ada salah satu dari mereka menentang pendapat tersebut, bearti pendapat para fuqaha
itu belum diakui sebagai ijma’.

F. Pendapat ulama tentang kemungkinan terjadi Ijma’


Ulama ushul fiqh klasik, diantaranya ulama jumhur klasik menyatakan
tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ telah ada,mereka
memberikan contoh hukum-hukum yang telah disepakati seperti tentang pembagian
waris nenek sebesar seperenam dari harta warisan. Akan tetapi ulama klasik lainnya
seperti Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa siapa yang mengatakan adanya
ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena kemungkinan
saja ada mujtahid yang tidak setuju, Oleh karena itu, menurutnya untuk mengetahui
ijma’ tersebut sangatlah sulit dilakukan.
Disamping Imam asy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan ibnu Qayyim al-Jauziah
kduanya adalah ahli Fiqh dari Mazhab Hanbali, tidak menerima ijma’ kecuali ijma’
yang dlakukan oleh para sahabat. Sedangkan dalam pandangan ulama ushul fiqh
modern, seperti Imam Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Khudri Bek, Abdul
Wahaf Khallaf (ketiganya guru besar fiqh dan ushul fiqh di Universitas al-Azhar
Mesir), dan Fathi ad-Duraini (guru besar Fiqh dan Ushul fiqh di Universitas
Damascus, Suriah), dan Wahbah az-Zuhairi ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di
zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Pada masa
sesudahnya, melakukan ijma’ tidaklah mungkin, karena luasnya daerah Islam dan
tidak mungkin mengumpulkan ulama seluruhnya pada satu tempat.
Menurut Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut.
“ijma’ akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada pemerintah,
karena pemerintah sebagai Ulil Amri dapat mengetahui mujtahid-mujtahidnya, dan
setiap pemerintah dapat mengetahui dan menentukan mujtahid suatu bangsa dan
disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia Islam. Sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy
berpendapat, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan
untuk bermusyawarah sebagai wakil rakyat atas perinta/undangan kepala Negara

12
itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu
Bakar dan Umar”

G. Hukum Mengingkari Ijma’


Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka ijma’ tersebut tidak boleh
dibatalkan dan dihapus oleh orang-orang yang berijma’ kepadanya. Sebab, ijma’
mereka yang pertama menjadi hujjah syar’iyah qath’iyah, yang wajib mereka
amalkan dan tidak boleh mereka langgar. Ini merupakan pendapat ulama’ yang
beranggapan bahwa ijma’ itu terjadi karena kesepakatan para mujtahid dalam masa
hidup mereka, bukan ketika mereka sudah wafat.
Namun, sebagian ulama lainnya berpendapat para mujtahid dalam masa hidup
mereka, bukan ketika mereka sudah wafat. Namun, sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa para mujtahid diperbolehkan membetulkan pendapatnya yang lalu
itu terdapat kesalahan. Ini adalah pendapat ulama yang mesyaratkan tetap terjadi
ijma’, meskipun para mujtahidnya sudah wafat. Dan telah jelas bahwa pendapat yang
tidak membolehkan perubahannya hukum yang telah diijma’kan, adalah jika ijma’ itu
di sandarkan pada kitab al-qur’an, sunah, dan Qiyas. Adapun ijma’ yang ditegakkan
di atas maslahat, menurut yang berpendapat demikian, maka mungkin dinasakh oleh
hukum yang lebih kuat dan mungkin diganti dengannya, jika maslahat yang dipakai
itu berubah. Dengan demikian, melanggar dan menyalahi ijma’ sama juga dengan
menyalahi hukum Allah yang wajib diikuti.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijma' itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma' umat Muhammad
SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara'. Dari syarat-
syarat dilakukannya ijma' dapat dilihat beberapa proposisi, yaitu :
1. Kesepakatan orang awam tidak bisa disebut sebagai ijma' karena sepakat
atau tidaknya mereka bukan faktor determinan.
2. Kesepakatan sebagian mujtahid juga tidak bisa disebut sebagai ijma' karena
hal demikian tidak mencerminkan kesepakatan bulat.
3. Kesepakatan umat-umat terdahulu juga tidak bisa disebut sebagai ijma'
karena mereka bukanlah umat nabi Muhammad SAW.
4. Kesepakatan para mujtahid (semua sahabat) pada masa nabi muhammad
juga tidak bisa disebut sebagai ijma', karena pada masa nabi muhammad
sepakat atau tidaknya para sahabat tidak mempunyai implikasi tasyri'iy
apapun.
5. Kesepakatan yang tidak berhubungan dengan syari'at agama tidak termasuk
ijma'.

Adapun macam-macam ijma yaitu ijma’ sharih dan ijma’ syafi’i. ijma sharih
menurut ulama jumhur ijma’ sharih ini dapat di jadikan hujjah. Sedangkan imam
syafi’ juga sepakat bahwa ijma’ sharih yang dapat dijadikan hujjah, sedingga imam
syafi’I mengatakan sebagai berikut : jika engkau atau salah seorang ulama
mengatakan, “hukum ini telah disepakati”, maka niscaya setiap ulama yang engkau
temui juga mengatakan seperti apa yang engkau katakan.

14
Sedangkan hukum melanggar dan menyalahijijma' sama juga dengan menyalahi
hukum Allah yang wajib diikuti.

B. Saran
Dalam pembahasan makalah ini saya yakin masih memiliki banyak
kekurangan. Saya berharap kritik dan saran kepada seluruh pembaca agar dalam
pembuatan makalah yang akan datang dapat terselesaikan dengan baik. Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaiakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf,Abdul Wahab. 1993. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Rajawali Press.


Ashiddieqy,Hasbi. 1983. Pengantar Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Effendi,Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media Group.
Andullah,Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Syfe’i,Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih.Bandung : Pustaka Setia.

16

Anda mungkin juga menyukai