Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH FIQH DAN USHUL FIQH

IJTIHAD SUMBER HUKUM KETIGA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Dosen Pengampu: Drs.H.Sokon Saragih, M.Ag

Disusun Oleh:
Ayu Rahmawati Siregar (0303203144)
Danil Dalimunthe (0303203122)
Shalsa Nabila Ayumi (0303203116)
Olga Rizki Nadila (0303203207)
Najia Baroautul Aufa (0303202093)
Dina Yanti (0303203118)
Yeni Rahman (0303201044)
Nurul Zanna (0303203117)

BKPI-3/SEMESTER II

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

T.P 2020/2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa juga kita hadiahkan
sholawat bertangkaikan salam kepada baginda Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Adapun tujuan dari penulisan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Drs. H.Sokon
Saragih,M.Ag selaku dosen mata kuliah Fiqh Dan Ushul Fiqh. Selain itu,Makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Fiqh dan Ushul Fiqh bagi pembaca maupun penulis.Kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Drs. H.Sokon Saragih,M.Ag selaku dosen pada mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami menyadari Makalah yang kami tulis masih jauh dari kata sempurna. Dengan kerendahan hati,
kami memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat dan kesalahan. Meskipun demikian, kami selaku
penulis makalah terbuka pada kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Demikian kata pengantar ini kami sampaikan. Terima kasih atas semua pihak yang mendukung penyusunan
dan membaca Makalah ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, 24 juni 2021

Pemakalah

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
A. IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM KETIGA ...................................................... 1
B. IJMA‟ DASAR HUKUM ISLAM ................................................................................... 5
C. QIYAS DASAR HUKUM ISLAM ................................................................................. 10
D. ISTIDLAL ........................................................................................................................ 19
E. ISTIDLAL DENGAN ISTISHAB ................................................................................... 25
F. ISTIDLAL DENGAN MASLAHAH MURSALAH ....................................................... 27
G. ISTIDLAL DENGAN ISTIHSAN .................................................................................. 29
KESIMPULAN ............................................................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 34

ii
A. IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM KETIGA

1.Pengertian Bahasa

Secara Bahasa ijtihad yaitu kesulitan,berupaya keras, dan juga bermakna mencurahkan segala
kemampuan untuk sampai pada satu urusan dari beberapa urusan atau satu pekerjaan dari beberapa
pekerjaan.Sedangkan menurut Istilah Ulama Ushul berarti: Mencurahkan segenap kemampuan untuk
memperoleh hukum syara dengan jalan melakukan penelitian/kesimpulan dari Kitab dan Sunnah.

Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa ijtihad ada 2 yaitu ijtihad dalam mengeluarkan hukum (ijtihad
fi akhrij ahkam) dan ijtihad dalam menerapkan hukum (ijtihad fi tathbiq ahkam).

2.Lingkup Ijtihad

Apabila peristiwa yang hendak di tetapkan hukumnya itu telah ditunjukkan oleh dalil yang qath‟i,maka
tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad.

Lingkup yang dilakukan ijtihad, yaitu:

a).Peristiwa yang ditunjukkan oleh Nash Qath‟i yang zhanniyul wurud (hadis-hadis ahad), dan zhanniyu al-
dalalah (Nash Al-Qur‟an dan al-Hadist yang masih dapat ditafsirkan dan dita‟wilkan).

b).Peristiwa yang tidak ada nash nya sama sekali.Ini dapat dilakukan dengan ;Qiyas,Istihsan,Istishab,Urf,dll.

3.Ijtihad pada masa Rasul saw,dan Khulafa Rasyidin

Diantara ijtihad yang dilakukan Rasulullah saw. adalah tentang tawanan perang Badar.Dalam sidang
Umar mengusulkan agar tawanan perang Badar itu dibunuh saja.Sementara Abu Bakar mengusulkan agar
mereka menebus diri dan Rasul menerima uang tebusan.Dari dua pendapat itu, Rasulullah menetapkan
pendapat Abu Bakar yakni menerima tebusan.

Diantara ijtihad para Sahabat ialah:

a).Ijtihad Abu Bakar

Ijtihad Abu Bakar dalam hal orang yang membangkang membayar zakat,ia berpendapat bahwa membayar
zakat harus diperangi sampai mau membayar zakat.

Ijtihad Abu Bakar tentang usulan Umar bin Khattab untuk memushhapkan Al-qur‟an karna khawatir para
Qa‟ri banyak yang meninggal.Lalu setelah sepakat,dibentuk panitia yang terdiri dari Qa‟ri,hafizh Al-
quran,penulis wahyu,antara lain Zaid bin Tsabit.

b).Ijtihad Umar r.a

1
Pada masa Umar pernah terjadi kelaparan dan akibatnya terjadi pencurian. maka Umar r.a tidak
menghukum nya dengan potong tangan karena ia berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat
pemberian hukum,tidak bakal terrealisir beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada
makan secara tidak halal.

4.Ijtihad Fardi dan ijtihad jama‟i

Dari subyek yang melakukan ijtihad, maka ijtihad terbagi pada;

a.Ijtihad Fardi

 Ijtihad yang dilakukan secara perorangan.

b.Ijtihad Jama‟i

 Ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok orang.

5.Syarat-Syarat Ijtihad

a) Mengetahui nash-nash Alquran perihal hukum syara yang dikandungnya,ayat-ayat hukum dan cara
mengistinbath daripadanya.Juga mengetahui asbab al nuzul,ta‟wil,dan tafsir dari ayat-ayat yang
akan diistinbath.
b) Mengetahui nash-nash hadis,yakni mengetahui hukum syar‟i dari hadist dan mampu mengeluarkan
hukum/istinbath daripadanya disamping itu harus mengetahui nilai dan derajat hadis.
c) Menguasai ilmu Bahasa arab dengan segala cabangnya.
d) Mengetahui maqashid al-syar‟iyyah tingklah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung
mashlahat dan madharat,
e) Mengetahui ilmu ushul fiqih
f) Memiliki akhlak terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.

6.Yang harus dilakukan mujtahid dalam Berijtihad

Seorang mujtahid dalam berijtihad,hendaklah pertama kali ia memperhatikan nash-nash Al-quran dan
Al-sunnah dan mengetahui hukum mathuq dan mafhum dari keduanya, lalu memperhatikan pada perbuatan
nabi/hadits fi‟li,jika ia tidak menemukan dari perbutan Nabi Saw.,lalu memperhatikan taqrir Nabi terhadap
sahabatnya,lalu selanjutnya memperhatikan Qiyas juga ijma.Shabat.jika semuanya mendaoat kesulitan maka
berpegang sesuai aslinya atau tidak berkomentar.

Dan jika mujtahid mendapatkan dua dalil yang berlawanan hendaknya;

 Menjama‟kan kedua nash yang menurut lahirnya berlawanan.


 Mentarjihkan salah satunya,dengan menggunakan ilmu tarjih,
 Meneliti sejarah datangnya kedua nash,
2
 Membekukan (tawaqquf)

7.Macam macam Mujtahid

Menurut Abu Zahrah,mujtahid ada beberapa tingkatan, sesuai dengan luasnya dan sempitnya cakupan
bidang ilmu ,yaitu;

a. Mujtahid fi syar‟i

Yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan
dijadikan pedoman oleh orang orang yang tidak sanggup berijtihad.

b. Mujtahid al-Muntasib

Yaitu mujtahid yang hasil ijtihadnya mengikuti pendapat imam terdahulu dalam hal asal/pokok dan
berbeda dalam hal cabang.

c. Mujtahid fi Ma‟dzhab

Mujtahid yang hasil ijtihadnya membentuk maadzhab tersendiri,akan tetapi mereka hanya mengikuti imam
madzhab yang telah ada,baik dalam masalah yang pokok atau masalah cabang,pekerjaan mereka dalam
berijtihad adalah mengeluarkan hukum/istinbath dati masaah yang tidak di riwayatkan oleh imam.

d. Mujtahid al-Murajjih

Yaitu mujtahid yang tidak mengistinbath hukum-hukum cabang yang tidak di ijtihad kan oleh yang
terdahulu,tapi itu hanya melakukan tarjih,dengan membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat
lain dari yang terdahulu.

Di samping itu ada mujtahid yang tidak jauh berbeda dengan tingkatan ini,yaitu mereka
membandingkan antara pendapat dan riwayat mereka berpendapat bahwa pendapat ini lebih jelas dan lebih
kuat dalil nya dari yang lain.Ini dilakukan agar bagian-bagian tersebut tidak tertukar antara yang satu dengan
lainnya.

e. Tingkatan Muhafidh

Yaitu mereka yang dapat membedakan antara yang lebih kuat dari yang kuat dan yang lemah,riwayat yang
dharir,madzhab yang dharir,riwayat yang jarang.

f. Tingkatan Muqallid

Tingkat ini yang paling rendah dari tingkatan yang lalu yaitu mereka yang mampu membaca dan
memahami kitab-kitab,tapi tidak mampu melakukan tarjih atau menentukan mana yang kuat antara pendapat
riwayat dan tidak mendatangkan ilmu karena tidak mampu menentukan dan membedakan tingkatan-
tingkatan tarjih.
3
8.Alasan Ijtihad menjadi Hujjah

Alasan ijtihad menjadi hujjah berdasar kepada:

A. Al- Qur‟an

Yang dimaksud dapat mengikuti allah dan rasulnya dalam ayat tersebut adalah mengikuti yang telah
ditetapkan dalam al-qur‟an dan al-sunnah dan yang dimaksud dengan mengembalikan kepada allah dan
rasulnya,ialah menghindari mengikuti hawa nafsu tapi kembali kepada yang telah disyariatkan allah kepada
rasulnya,dengan jalan meneliti nash nash yang kadang kadang tersembunyi atau hilang dari perhatian
menerapkan qaidah-qaidah umum atau merealisir maqasid al al syariah.

B. Al Hadits

Jika hakim berijtihad lalu benar maka baginya dua ganjaran dan jika salah maka baginya satu ganjaran.

C. Logika

Sebagaimana kita ketahui bahwa nash nash al quran dan hadits terbatas jumlahnya,sedang peristiwa yang
dihadapi manusia selalu timbul dengan tidak terbatas.oleh karna itu tidak mungkin nash nash yang terbatas
jumlahnya itu mencukupi untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang terus terjadi,selagi tidak ada jalan
untuk mengenal hukum peristiwa baru tanpa melalui ijtihad.

“ Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum islam adalah untuk menetapkan suatu hukum di mana hal tersebut
tidak dibahas dalam al-qur’an dan hadits.jadi bisa dikatakan ijtihad merupakan sumber hukum hukum
ketiga setelah al-qur’an dan hadits.”

4
B. IJMA' DASAR HUKUM ISLAM

1. Tujuan Bahasa

Kata Ijma secara bahasa berarti:kesepakatan atau konsensus,Jumhur ulama ushul Fiqih mengemukakan
bahwa ijma adalah „Kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafat Rasulullah
saw.,akan suatu hukum syariat yang amali‟.

2. Ijma sebagai Hujjah

Kehujjahan Ijma di dasarkan atas beberapa alasan:

a).Alasan Al-quran

Lafadz ulil amri,pemegang urusan mencakup pada urusan duniawi,seperti kepala negara,mentri dan
lainnya,dan mencakup pemegang urusan agama,seeperti para mujtahid,para mufti dan para ulama.

b).Alasan Hadits

Abdul Hamid Hakim menyebutkan,bahwa ijma itu bukanlah hujjah karena dirinya,akan tetapi hujjah itu
karena sandarannya kepada Al-quran dan Al-Sunnah.

3. Unsur-unsur Ijma

Dengan memperhatikan definisi ijma di atas maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur ijma itu:

a.Terdapat beberapa orang mujtahid,

b.Harus ada kesepakatan di antara mereka

c.Kebulatan pendapat harus tampak nyata,baik dengan perbuatannya,misalnya Qadhi dengan


keputusannya,atau dengan perkataannya,misalnya dengan fatwa.

d.Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah disebut ijma.

4. Kemungkinan Ijma

Jumhur ulama mengatakan bahwa “Ijma itu mungkin terjadi menurut adat kebiasaan”.Mereka mengatakan
bahwa yang mengingkari kemungkinan terjadinya Ijma adalah mengingkari hal yang nyata terjadi.Jumhur
mengemukakan sejumlah contoh; Pengangkatan Khalifah Abu Bakar r.a; hak pusaka nenek 1/6 dari harta
peninggalan;terhijabnya cucu laki-laki dari anak laki-laki oleh anak laki-laki /ibnu; saudara sebapak
mempunyai status mengganti saudara seibu-sebapak,Batalnya pernikahan muslimah dengan non-muslim.

Salah seorang ulama bernama An-Nazham dan sebagian ulama syi‟ah mengatakan bahwa Ijma yang unsur-
unsurnya seperti tersebut di atas takmungkin terjadi berdasarkan adat.Hal ini lantaran sukarnya melakukan
5
ijtihad dengan unsur-unsur yang ada.Dalam hal ini tidak disebutkan sejauh mana seseorang telah mencapai
tingkatan ijtihad.

5. Macam-macam Ijma

Ditinjau dari ruang lingkup paramujtahid yang berijma,maka terdiri dari:

a) Ijma Ummat,
ijma ini yang dimaksud dengan definisi pada permulaan.
b) Ijma Shahaby
yaitu persesuian faham segala ulama sahabat terhadap sesuatu urusan.
c) Ijma Ahli Madinah
yaitu persesuain faham ulama-ulama Ahli Madinah terhadap sesuatu kasus.
d) Ijma Ahli Kufah
yaitu persesuaian ahli Kufah,terhadap sesuatu masalah,
e) Ijma Khalifah
yaitu kesepakatan faham terhadap empat khalifah
f) Ijma Syaikhoni
yaitu persesuaian faham Abu Bakar dan Umar dalamsuatu hukum
g) Ijma Sukuti
yaitu ijma yang dengan tegas persetujuan dinyatakan oleh sebagian mujtahid,sedang sebagian lainnya
diam,tidak jelas apakah mereka menyetujui atau menentang.

6. Landasan ijma‟
Ijma‟ dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana dalam pembentukannya
mempunyai landasan shara‟ yang disebut sanad ijma‟.[21]
Adapun landasan ijma‟ adalah :
1. Al-Qur‟an
Para ulama‟ sepakat atas keabsahan al-Qur‟an sebagai landasan ijma‟. Contoh ijma‟
yang berlandaskan al-Qur‟an adalah kesepakatan para ulama‟ atas keharaman menikahi
nenek dan cucu perempuan. Sebagaimana ayat 23 dari surat an-nisa‟ yang berbunyi :
‫ٔأخٕاذكى أرضعُكى انالذي ٔأيٓاذكى األخد ٔتُاخ األر ٔتُاخ ٔخاالذكى ٔعًاذكى ٔأخٕاذكى ٔتُاذكى أيٓاذكى عهيكى دزيد‬
ٍ‫فالجُاح تٍٓ دخهرى ذكَٕٕا نى فإٌ تٍٓ دخهرى انالذي َضائكى يٍ دجٕركى في انالذي ٔرتائثكى َضائكى ٔأيٓاخ انزضاعح ي‬
‫غفٕرارديًا كاٌ هللا إٌ إالياقدصهف األخريٍ ذجًعٕاتيٍ ٔأٌ أصالتكى يٍ انذيٍ أتُائكى ٔدالئم عهيكى‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-
saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-

6
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah
terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[22]
Para ulama‟ sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata ummahat (para ibu) dalam ayat
tersebut mencakup nenek keatas. Dan kata banat (anak-anak perempuan) dalam ayat tersebut
mencakup cucu perempuan ke bawah.[23]
2. Al-Sunnah
Para ulama‟ juga sepakat al-Sunnah sebagai landasan ijma‟. Adapun contoh ijma‟ yang
dilandaskan atas al-Sunnah adalah kesepakatan ulama‟ tentang kedudukan nenek
mengantikan ibu dalam hal waris dan mendapat 1/6 dari harta waris bilamana ibu kandung si
mayit sudah wafat. Kesepakatan tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-
Tirmidzi :
ٍ‫ قال عًز اتٍ ع‬: ‫هللا صهى هللا رصٕل أٌ شعثح تٍ فشٓدانًغيزج انُاس فضأل تكز أتي إنى األب ٔأو األو أو انجدج جاءخ‬
ّ‫أعطاْا ٔصهى عهي‬
Dari ibnu Umar berkata : ada seorang nenek yaitu ibu kandung ibu dan ibu kandung ayah
yang dating kepada Abu bakar (menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya kepada
orang-orang dan al-Mughirah bin Shu‟bah yang bisa memberitahu bahwa sesungguhnya
Rasulullah saw memberikan warisan kepada nenek sperenam.[24]
3. Qiyas
Landasan ijma berdasarkan qiyas, para ulama‟ berbeda pendapat. Daud al-Zhahiri dan Ibn
Jarir al-T{abari menolak Qiyas sebagai landasan dari pada ijma‟. Sedangkan mayoritas
ulama‟ mengatakan bahwa qiyas sebagai landasan ijma‟. Sebagaimana ijma‟ para ulama‟
dalam mengharamkan minyak babi berdasarkan qiyas atas keharaman dagingnya.[25]
7. Ijma‟ khusus

Yang dimaksud ijma‟ khusus disini adalah ijma‟ yang dilakukan kelompok tertentu. Seperti ijma‟ penduduk
madinah, dan ijma‟ ahl „itrah.

a. Ijma‟ ahl madinah.

1. Jumhur ulama‟ berpendapat bahwa ijma‟ ahl madinah tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Adapun
alasan Jumhur berpendapat seperti itu adalah :[33]

7
2. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijma‟ itu adalah hujjah yang mencakup orang-orang yang telah
berdomisili di madinah, baik orang tersebut penduduk madinah atau non madinah. Dan ahli madinah
sendiri itu tidak seluruhnya mu‟min. maka tidak mungkin kalau ijma‟ mereka digunakan sebagai hujjah.

3. Bagaimana bisa terjadi ijma‟ ahli madinah. Padahal sebagian sahabat telah keluar dari madinah, seperti
sahabat Ali, ibnu mas‟ud, muadz, dan sebagainya. Maka tidak mungkin terjadi ijma‟ tanpa kehadiran
mereka.

4. Sebagaimana yang kita ketahui ahwa ijma‟ adalah kesepakatan seluruh mujtahid. Maka tidak bisa
terjadi kalau ijma‟ itu dilakukan oleh sebagian mujtahid saja, seperti mujtahid ahl madinah.

5. Imam malik dan pengikutnya mengatakan bahwa ijma‟ ahl madinah adalah hujjah. Adapun alasan
imam malik dan pengikutnya :

· Berdasarkan nas yaitu hadis rasul saw yang diriwayat oleh imam Bukhari pada kitab sahihnya
yaitu :

‫ إٌ انًديُح طيثح ذُفى خثثٓا كًا يُفى انكيزخثث انذديد‬: ‫قال رصٕل هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬

Dari hadis tersebut mereka berpendapat bahwa khoto‟ (kesalahan) termasuk dari jenis khobas (kejahatan).
Maka apabila tidak ada kejahatan pada penduduk madinah, berarti tidak mungkin terjadi kesalahan dari
penduduk madinah.[34]

· Adapun secara logika, mereka berpendapat bahwa :[35]

1. Madinah adalah tempat hijrah dan bersemayamnya rasul saw, tempat turunnya wahyu, tempat
pengukuhan Islam, tempat berkumpulnya para sahabat. Maka perkataan penduduk madinah tidak mungkin
keluar dari kebenaran.

2. Penduduk madinah menyaksikan turunya wahyu dan mereka mendengarkan penjelasan wahyu-wahyu
tersebut, serta mereka lebih mengetahui tindak tanduk rasul saw dari pada yang lain.

3. Riawayat penduduk madinah lebih didahulukan atas riwayat lainnya. Maka dari itu, ijma‟ penduduk
madinah adalah hujjah untuk yang lainnya.

Dari kedua pendapat yang masing-masing telah mengemukakan dalilnya, beberapa ulama‟ berpendapat
tentang pertentangan tersebut. Menurut pernyataan dari kitab al-ahkam fi usul al-ahkam milik Amadi, bahwa
ijma‟ ahl madinah bukan hujjah, sebagaimana ijma‟nya ahl makkah, kufah dan basrah, yang juga tidak bisa
dianggap sebagai hujjah karena masih terdapat perbedaan pendapat.[36]

b. Ijma‟ Ahl al-„Itrah

8
Shi‟ah imamiyah memiliki pemahaman sendiri tentang ijma‟. Menurut mereka ijma‟ adalah kesepakatan
para jama‟ah yang disertai oleh pemikiran yang ma‟sum, karena kesepakatan mereka secara keseluruhan
menghasilkan suatu ilmu yang diambil dari imam atau pemimpin mereka.[38]

Dari pengertian ijma‟ tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa :

- Kesepkatan suatu kelompok harus disertai keimanan terhadap ada nya imam yang ma‟sum, baik
imam tersebut tampak dan terkenal ataupun imam tersebut tersembunyi.

- Kesepakatan tanpa disertai imam yang ma‟sum, maka kesepakatan tersebut tidak bisa disebut ijma‟

- Sesungguhnya landasan hokum itu bukan berada pada ijma‟ itu sendiri, namun ada pada perkataan
imam yang ma‟sum

Adapun dalil dari kelompok shiah yang menyatakan bahwa ijma‟ ahl „itrah itu hujjah adalah sebagai berikut
:[39]

- Al-kitab, surat al-ahzab, ayat 33 :

‫إًَايزيدهللا نيذْة عُكى انزجش أْم انثيد ٔيطٓزكى ذطٓيزا‬

9
C. QIYAS DASAR HUKUM ISLAM

1.Pengertian Qiyas

Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab “qasa” artinya mengukur. 1 Selain “qasa”
kata yang sama artinya dengan mengukur adalah at-taqdir dan at-taswiyah yang bermakna
menyamakan.2Sedangkan secara istilah, qiyas menurut ulama ushul didefinisikan sebagai menerangkan
hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur‟an dan Hadits dengan cara membandingkannya
dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.3

Melalui cara/metode Qiyas, para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada
sumbernya Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Hukum Islam seringkali sudah tertuang jelas dalam nash Al-Qur‟an
dan Al-Hadits, seringkali juga masih bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Imam Syafii
mengatakan “setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan ummat Islam wajib melaksanakannya. Akan
tetapi, jika tidak ada ketentuan hukumnya ysng pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan
ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas”.4 Imam Al-Syafi‟i yang dipandang seorang yang pertama menyusun
metode qiyas, tidak menggambarkan secara sistematis tentang defenisi qiyas. Namun, dari beberapa
statementnya yang menyangkut qiyas, dapat disimpulkan bahwa qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang
tidak disebutkan atau disinggung oleh nass (Al-Qur‟an dan Hadist) kepada sesuatu yang disebutkan dan
telah ditetapkan hukumnya, karena serupa makna hukum yang disebutkan.5

Maksudnya adalah bahwa mazhab Syafi`i muncul dengan karakteristiknya yang rasional dan memakai serta
mengaplikasikan analogi yang di dasarkan pada teks Al-Qur`an dan Hadist.

Definisi lain Qiyas menurut ulama ushul yaitu menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Al-„Illat merupakan suatu
sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan keberadaan sifat itu pada
cabang (far‟), maka al-,illat disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.6

1
Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam (Beirut: Dar al-Masriq, 1986), Hal. 665. secara luas Sya`ban Muhammad Ismail
mendeskripsikan pengertian Qiyas secara bahasa. Menurut beliau, kata Qiyas merupakan derivasi (bentuk) dari qasa, yaqisa,
qaisan, wa qiasan. Atau mungkin juga menurut sebagaian pendapat berasal dari kata qasa, yaqusu, qausan, wa qiasan. Qiyas
secara bahasa memiliki dua pengertian . pertama, at-taqdir (mengukur) . misalnya, qasa al saub bi al mitr atau qasa al ard bi al-
qasabah. Kata at taqdir juga bisa di pahami dalam pengertian al-muqaranah (analogi atau membandingkan)antara dua hal.
Misalnya, qoyastu baina al-`amudain. Kedua, al-musawat baina syaiain (mencari persamaan antara dua hal), baik persamaan itu
dilakukan secara hissiyah (inderawi atau empiris), maupun ma`nawiyah (guessing atau nonempiris). Lebih lanjut lihat Sya`ban
Muhammad Isma’il, Dirasah Hawla al-Ijma wa al-Qiyas (Mesir: Maktabah an-Nahdah, 1988), hal.153.
2
Darul Azka, Kholid Affandi, Nailul Huda. Jam’u Al-Jawami’ (Kajian dan Penjelasan Ushul Fiqh dan Ushuluddin). Lirboyo Kediri:
Santri Salaff Press. 2014. h.187
3
Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. Cet. Kedua. h.336
4
Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. Cet. Kedua. h.336
5
Muhammad Abu Zahrah, Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), Hal. 296
6
Prof. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina utama (Toha Putra Group). 2014. cet.2. h.94
10
Muhammad Gani al-Bayiqani berpendapat qiyas adalah menghubungkan suatu persoalan yang tidak
ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah disebutkan di nash, karena
diantara keduanya terdapat pertautan (persoalan), „illat hukum.7 Pendapat lain dari Syaikh Muhammad al-
Khudari Beik8 menyatakan qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal)
kepada cabang (persoalan baru yang tidak disebutkan nash) karena adanya pertautan “illat keduanya.

Definisi tentang Qiyas juga dikemukakan oleh Sadr al Syari‟ah seorang tokoh ulama ushul fiqh
Hanafi yaitu memberlakukan hukum asal kepada hukum furu‟ disebabkan kesatuan „illat yang tidak dapat
dicapai melalui pendekatan bahasa saja.9 Maksudnya, „illat yang ada pada suatu nash sama dengan „illat
yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan „illat ini, maka hukum dari
kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan di nash tersebut. Mayoritas ulama
Syafiiyah mendefinisikan qiyas sebagai membawa (hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang
diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya,
disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.

Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan
sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab
dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.
Pendekatan rasional sesuai prinsip-prinsip silogisme yaitu dalam upaya mencari suatu kesimpulan dari dua
macam premis itu harus berpegang pada prinsip analogi tersebut, bahwa persamaan „illat akan melahirkan
persamaan hukum. Proses analogi ini akan berusaha mencari persepadanan kasus yang telah ada hukumnya,
untuk kemudian hukumnya diaplikasikan pada kasus yang sedang dihadapi. Biasanya yang menjadi titik
perhatian dalam ber-analogi adalah mencari point persamaan dalam „illat (sebab) yang merupakan substansi
permasalahan. Qiyas juga merupakan pengamalan nash (Al-Qur‟an, dan Al-Hadits) agar nash tersebut
berdaya jangkau lebih luas.

 Dasar Hukum Qiyas

Kehujjahan qiyas dalam mentapkan hukum Syara‟, jumhur ulama ushul fiqh dan para pengikut madzhab
yang empat berpendapat bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai metode atau sarana untuk menginstinbatkan
hukum Syara‟. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas
yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak
membatasinya, namun mereka baru melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa yang penetapan

7
Muhammad Abdul Gani Bayiqani, ai-.Makhdal Ila Ushul al-Fiqh al-Maliki, Beirut-Libanon. Dar Ribnan Littiba’ah wa al-Nasyr,
1968 h.107 dalam Muqarah Mazahib fil Ushul karya Drs. Romli SA, M.Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999. h. 101.
8
Syaikh al-Khudari Beik. Ushul al-Fiqh. Mesir: Dar al-Tukr. Cet VII.1981. h.289 dalam Muqarah Mazahib fil Ushul karya Drs. Romli
SA, M.Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999. h. 101.
9
DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.62
11
hukumnya tidak diperoleh pada satu nash pun yang dapat dijadikan dasar. Mengenai dasar hukum qiyas bagi
yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat dan akal.

a. Al-Qur‟an

Allah SWT berfirman pada Q.S. an-Nisâ': 59 „‟Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah
dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian
itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah
SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits.
Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada
pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadits,
yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-
Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.

Firman Allah SWT dalam surat al Hasyr ayat 2: "Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli
kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari
(siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka
sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka 7 sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan
ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." Pada ayat di atas
terdapat perkataan ‫) فا عرثز ٔ ا يا ا ٔ ني ا ألنثا ب‬maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-
orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia
agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang
kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya
mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang
boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.

b. Al Hadits

a) Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:

"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-
Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh
dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan
berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji

12
bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan
yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan
menggunakan qiyas.

b) Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat
kepadanya, seperti hadits nabi yang artinya :

"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata:
sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya
sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab:
Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu
yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk
dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)

Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia.
Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang
kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian
Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia
dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih
utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang
kepada Allah lebih utama harus dibayar.

c.Perbuatan Sahabat Nabi

Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih
utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi
SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu
Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau
sebagai kepala pemerintahan. Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa
alAsy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil
keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah: Artinya:”"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang
dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian
lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya,

13
kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai
dengan kebenaran..."

d.Akal

Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa
ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak
diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai
benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa
yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena
ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah
kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan. Berbeda
dengan jumhur, para ulama Mu‟tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja.10
Pertama, „illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun isyarat. Contoh pada qiyas
tentang penyimpanan daging qurban untuk suku Baduy yang miskin yang datang dari perkampungan.
Kedua, Hukum Far‟u harus lebih utama daripada hukum Ashl. Misalnya, hukum memukul kedua ibu bapak
kepada hukum mengatakan “ah”. Dalam hal ini, pemukulan lebih berat dari perkataan “ah”. Ulama
Zhahiriyyah, termasuk Imam Syaukani berpendapat bahwa, secara logika qiyas memang diperbolehkan,
akan tetapi tidak ada satu nash pun dalam Al-Qur‟an yang menyatakan wajib melaksanakannya. Argumen
ini dikemukakan dalam rangka menolak pendapat jumhur ulama yang mewajibkan pengamalan qiyas .

 Rukun-rukun Qiyas

Para ushul ulama fiqh menetapkan rukun qiyas ada 4 (empat) yaitu ashl (wadah hukum yang
ditetapkan melalui nash atau ijma‟), far‟u (kasus yang akan ditetapkan hukumnya), i‟llat (motivasi hukum
yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh
nash atau ijma‟).11

a.Ashl Ashl atau Al-Ashl

Merupakan sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah
tempat sumber hukum. Al Ashl juga dapat dimaknai sebagai sumber yang menjelaskan hukum yang
dipergunakan sebagai qiyas dari Far‟u (cabang) atau yang mempunyai sasaran hukum. Al-Ashl atau sumber
hukum yang digunakan dalam Qiyas adalah nash (Al-Qur‟an dan Hadits) atau Ijma,. Hal ini juga

10
DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.66
11
DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang:T. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.65
14
mengandung pengertian bahwa tidak diperbolehkannya meng-qiyaskan sesuatu dengan hukum yang
ditetapkan melalui qiyas.12

Contoh Ashl:

diharamkannya wisky atau minuman keras lainnya dengan meng-qiyaskannya kepada khamar; maka
Al-Ashl itu adalah khamar yang telah ditetapkan hukumnya yaitu haram melalui nash QS. Al-Maidah (3)
ayat 90-91. Pembatasan sumber hukum dalam qiyas berdasarkan:

1) Nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedangkan sumber hukum yang lain,
apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian, nash hukum harus dijadikan
sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
2) Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya
„Illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan „illat. Contoh „illat dalam
khamar QS. Al-Maidah (3) ayat 90-91 dalam adalah: memabukkan sehingga dapat menqiyaskan
suatu hal yang bersifat memabukkan dengan hukum khamar yaitu haram. 3) Sesungguhnya qiyas
sendiri berpegang dengan nash Al-Qur‟an, dan Al-Hadits.
b. Far‟u
Far‟u (cabang) adalah objek yang akan ditetapkan hukumnya, yang tidak ada secara tegas hukumnya
di nash (Al Qur,an dan Hadits) maupun Ijma‟. Al Far‟u adalah kasus yang akan diketahui hukumnya
melalui qiyas. Untuk menentukan qiyas yang benar, far‟u memiliki beberapa persyaratan, diantaranya: 13
1) Terwujudnya „Illat ashl secara sempurna dalam far‟u baik sama persis atau disertai tambahan.
Contoh Illat ashl yang sama persis berupa memabukkan dalam qiyas minuman keras dari perasan
selain anggur (nabidz) pada perasan anggur (khamar). Contoh Illat ashl yang disertai tambahan
adalah berupa menyakiti dalam qiyas memukul orang tua dan berkata kasar.
2) Disyaratkan dalam far‟u, tidak adanya dalil qath‟i yang bertentangan dengan far‟u. Maksud
persyaratan ini adalah hukum dalam far‟u tidak boleh bertentangan dengan dalil qath‟iy. Karenanya,
qiyas tidak sah dilakukan manakala ditemukan dalil qath‟iy yang bertentangan.
3) Tidak hanya hadits ahad yang bertentangan Menurut mayoritas ulama, hukum dalam far‟u tidak
boleh bertentangan dengan Khabar Ahad. Jika hal ini terjadi, maka Khabar Ahad didahulukan
daripada qiyas.
4) Far‟u menyamai Ashl dan hukum Far‟u menyamai hukum Ashl

Maksud persyaratan ini adalah far‟u harus menyamai Ashl dalam „ain (bentuk) atau jenis „illat. Dan
apabila berbeda, maka qiyas menjadi rusak, karena „illat menjadi tidak ada pada far‟u. Contoh menyamai
dalam „ain (bentuk) „illat Mengqiyaskan nabidz pada khamar, dalam hal keharamannya, dengan titik

12
Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. Cet. Kedua. h.352

15
temu berupa sifat keras dan membuat mabuk. Sifat ini bentuknya terwujud pada nabidz secara nau‟
(macam), bukan syakhs (penampakan). Contoh menyamai dalam jenis „illat Mengqiyaskan anggota
badan pada nyawa, dalam hal tetapnya hukum qishash, dengan titik temu berupa penganiayaan yang
merupakan jenis dari perusakan keduanya (anggota badan dan nyawa).

5) Hukum Far‟u tidak manshush (dijelaskan berdasarkan nash) dengan hukum yang sesuai atau berbeda
dengan qiyas
6) Hukum Far‟u tidak boleh men dahului hukum Ashl

c. „Illat

Secara etimologi „illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu
yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan „illat karena dengan adanya penyakit
tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.14 Secara terminologi, ada beberapa definisi „Illat
yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh. Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hambaliah
dan Imam Baidhawi (tokoh ushul fiqh Syafiiyah) merumuskan definisi “illat dengan suatu sifat (yang
berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum. Sebagai pengenal bagi suatu hukum, apabila terdapat suatu
„illat pada sesuatu, maka hukumpun ada, karena dari keberadaan „Illat itulah hukum itu dikenal. Kalimat
“sifat pengenal” dalam rumusan definisi tersebut menurut mereka sebagai tanda atau indikasi keberadaan
suatu hukum. Misalnya, Khamar itu diharamkan karena ada sifat memabukkan yang terdapat dalam khamar.

Jumhur ulama ushul menetapkan 5 (lima) syarat yang mengesahkan „illat menjadi dasar qiyas yaitu:15

1) „Illat harus berupa sifat yang jelas tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan. Contoh:
adanya status keturunan (nasab) karena adanya „illat hubungan suami istri yang melakukan hubungan
seksual atau adanya pengakuan. Kedua illat tersebut adalah jelas dan tegas

2) „Illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan,
dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
Contoh: “memabukkan” adalah „Illat diharamkannya khamar, dengan suatu anggapan bahwa khamar
sendiri biasanya memang memabukkan.

d. Hukm Al Ashl

Hukm Al Ashl adalah hukum syara‟ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok) nya dan ia dimaksudkan
untuk menjadi hukun pada Far‟u (cabang) nya.16

Menurut para ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa syarat-syarat hukum al-ashl adalah:

14
DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.76
15
Muhammadd Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. Cet. Kedua. h.365
16
Prof. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina utama (Toha Putra Group). 2014. cet.2. h.94
16
1) hukm al-ashl tidak bersifat khusus dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far‟u.17
2) hukm al-ashl tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya, suatu hukum yang ditetapkan
berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh di qiyas–kan hukum itu.
3) tidak ada nash yang menjelaskan hukum far‟u yang akan ditentukan hukumnya sehingga tidak perlu
qiyas.
4) hukm al-ashl lebih dahulu disyari‟atkan dari far‟u. Contoh, tidak boleh mengqiyaskan wudhu dengan
tayamum walaupun „illat-nya sama, karena syariat wudhu lebih dahulu turun dari syariat
tayamumum.

4. Contoh Penggunaan Metode Qiyas

Ketika seorang mujtahid ingin mengetahui hukum yang terdapat pada Bir, Wisky atau Tuak.
Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk kepada nash al-Qur‟an ternyata tidak satu pun nash yang dapat
dijadikan sebagai dasar hukumnya. Maka untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas
yakni mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum
khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT18 “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang;
Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

17
3 DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.74
18
Q.S. al-Maidah ayat: 90-91.

17
18
D. ISTIDLAL

A. Pengertian Istidlal
Kata istidlal berasal dari bahasa Arab akar kata istidlal adalah dari kata “istadalla”, yang berarti
mengambil dalil atau kesimpulan yang diambil dari petunjuk yang ada. Sedangkan, arti dalil sendiri adalah
petunjuk, petunjuk yang digunakan untuk mendapat satu kesimpulan.19 Menurut Imam Abdul
Hamid Hakim, istidlal adalah mencari dalil yang tidak ada pada nash Alquran dan al-Sunnah, tidak ada
pada Ijma dan tidak ada pada Qiyas.20 Istidlal merupakan pembahasan yang terpenting dalam kajian hukum
Islam, karena mengambil kesimpulan yang benar adalah menjadi fungsi utamanya.21
Demikian eratnya keterikatan dan keterkaitan atara istidlal sebagai pembangun argumentasi dengan
kesimpulan. Karena keterkaitannya demikian, maka kekuatan argumentasi yang dibangun sangat
menentukan hasil kesimpulan yang dihasilkannya, atau dengan kata lain bahwa kekuatan satu kesimpulan
sangat bergantung pada kekuatan argumentasi istidlal yang dibangun.22

B. Metode Penetapan Dalil Istidlal


Metode penetapan dalil dalam istidlal menurut para ulama dibagi dalam pembagian berikut:
1. Istidlal Istiqra‟i
Secara lughawi, istiqra’i berarti penyelidikan dan penelitian sesuatu; sedangkan secara istilah, Menurut
Al-Jurzani :
ّ‫انذكى عهى كهي نٕجٕدِ في اكثز جزئياذ‬
“Menetapkan sesuatu atas keseluruhan berdasarkan adanya sesuatu pada banyak fakta”.
Sedangkan menurut Muhammad Nur Ibrahim :
‫االصردالل انًثُي عهى ذصفخ انجزئياخ ٔدرصٓا درصا ٔافيا يٕصم انعقم انى اصرُثاط دكى عاو‬
“Penalaran yang didasarkan atas pemeriksaan fakta-fakta secara teliti dan mengkajinya secara
cermat sehingga dapat ditarik suatu keputusan umum secara rasional”.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa istidlal istiqra’i adalah proses berpikir dengan cara menarik
kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta setelah terlebih dahulu dilakukan percobaan-percobaan dan
penelitian yang cermat serta tepat. Istilah lain untuk istidlal istiqra’i adalah penarikan kesimpulan secara
induktif (istinbathi). Contoh: Besi, melalui percobaan-percobaan memanaskannya ternyata memuai.

19
. Basiq Djalil, Logika Ilmu Mantik, (Jakarta: Kencana, 2010), h.67
20
. Alauddin, Istidlal, http://www.al-alauddin.blogspot.co.id/2011/10/istidlal.html.
21
. Baihaqqi, Ilmu Mantiq, (Darum Ulum Press, 1996), h.111
22
. Basiq Djalil, Logika Ilmu., h.66

19
Percobaan ini dilakukan berulang-ulang di berbagai tempat dan waktu yang hasilnya sama, yaitu memuai.
Kesimpulan umum lantas ditarik bahwa besi, jika dipanaskan memuai. Percobaan dilanjutkan kepada benda
lainnya dan semuanya sama, jika dipanaskan memuai. Akhirnya ditarik suatu generalisasi yang menjadi
kesimpulan umum bahwa semua benda padat, jika dipanaskan, memuai.23
Istidlal Istiqra‟i terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
1. Istidlal Istiqra’i Tam, yaitu jika penarikan kesimpulan umum (generalisasi) berdasarkan hasil
penelitian itu berlaku kepada semua individu atau satuan dari fakta-fakta yang ditetapkan suatu
keputusan.
Contoh : Jumlah hari pada setiap bulan Qomariyah tidak lebih dari tiga puluh hari.
2. Istidlal Istiqra’i Naqish, yaitu jika penarikan kesimpulan umum (generalisasi) berdasarkan hasil
penelitian tetapi tidak berlaku kepada semua individu (masih terdapat individu yang dikecualikan
karena penetapan umum tersebut tidak diberlakukan kepadanya).
Contoh : Setiap orang yang sedih atau sakit, ia akan menangis.24

2. Istidlal Qiyasi
Kata qiyas berasal dari bahasa Arab yang berarti ukuran. Maksudnya adalah mengukur sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Qiyas merupakan ucapan atau kata yang tersusun dari dua atau
beberapa qadhiyah, manakala qadhiyah-qadhiyah itu benar, maka akan muncul dari padanya dan dengan
sendirinya qadhiyah benar yang lain dinamakan natijah. Tetapi perlu diketahui bahwa bila qadhiyah tidak
benar bisa saja natijahnya benar. Tetapi benarnya itu adalah kebetulan.25
Secara bahasa, qiyasi berarti ukuran atau mengembalikan sesuatu kepada persoalan pokoknya.
Secara istilah qiyasi digunakan untuk menyatakan proses penalaran sistematis dan logis
tentang maujudat yang terucapkan dan pengucapan maujudat yang disusun dari keputusan-keputusan logis
sehingga menghasilkan kesimpulan ilmiah.26 Adapun menurut terminologi, Istidlal qiyasi adalah upaya akal-
pikir untuk memahami sesuatu yang belum diketahui melalui yang sudah diketahui dengan menggunakan
kaidah-kaidah berpikir (logika) yang telah diterima kebenarannya.27
Menurut Al-Jurzani sebagaimana dikutip oleh Syukriadi Sambas, qiyas adalah peraturan yang
tersusun dari keputusan-keputusan (qadhiyah) yang jika keputusan-keputusan benar, mesti melahirkan suatu
kesimpulan (natijah).28

23
. Ibid, hlm. 113.
24
.Taib Thahir dan Abdul Mu‟in, Ilmu Mantiq (Logika), Jakarta : Widjaya,Tanpa Tahun, hlm. 128.
25
.Ilmu Mantik Istidlal, http://go-safelink123.blogspot.com/2016/09/ilmu-mantik-istidlal.html
26
. Basiq Djalil, Logika Ilmu., h.69
27
.Baihaqi A.K., Ilmu Mantik, Tanpa Kota Terbit : Darul Ulum Press, 1996, hlm. 112.
28
.Syukriadi Sambas, Mantik, (Bandung: PT Rosdakarya, 1996), h.114

20
Contoh :
Anda mengutamakan kepentingan negara.
Setiap yang mengutamakan kepentingan negara adalah pembela tanah air.
# Anda pembela tanah air.
C. Metode Analisa Masalah Istidlal
Para ulama ushul fiqh menjelaskan metode analisa masalah dalam istidlal itu ada beberapa macam,
antara lain: (1) Istishab, (2) Maslahatul mursalah, (3) Istishan, dan (4) Sadduz zara’i.29
Macam-macam istidlal tersebut jika dijelaskan sebagai berikut:
 Istishab
Kata istishab berasal dari kata suhbah artinya “menemani” atau “menyertai” atau al-Mushahabah:
menemani, juga istimrar al-suhbah: terus menemani. Menurut istilah ilmu ushul fiqh yang dikemukakan
Abdul Hamid Hakim: “Istishab yaitu menetapkan hukum pada waktu yang telah ada pada sejak semula tetap
berlalu sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.” Sementara itu, Imam al-Syaukani
mendefinisikan isthisab yaitu “menetapkan (hukum) sesuatu sepanjang tidak ada yang
merubahnya.”30 Dapat dikatakn bahwa, istishab adalah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada
pada masa lampau, hingga ada dalil yang mengubahnya.

Istilah Istishab juga memiliki beberapa macam, antara lain:


a. Istishab Al-Bara'ah al-Ashliyah
Terhadap istishab ini Ibnu Qayyim menyebutnya Bara'ah al-'Adam al-Asliyah. Istishab ini adalah
terlepas dari tanggung jawab atau terlepas dari suatu hukum, sehingga ada dalil yang menunjukan.
Terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya.
Misalnya, Anak kecil sampai datangnya baligh. Tidak ada kewajiban dan hak antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya akad nikah. Tidak adanya
kewajiban shalat yang ke lima waktu.
b. Istishab yang ditunjukan oleh al-syar'u atau al-Aqlu
Yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkannya hukum yang berbeda dengan
hukum itu. Misalnya, seseorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti
bahwa dia telah melunasinya. Hak milik suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan
adanya transaksi kepemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu
berpindah tangan kepada orang lain. Contoh lain, hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung
terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya, hingga apabila seseorang merasa ragu apakah
wudhunya masih ada atau telah batal maka berdasarkan istishab wudhunya dianggap masih ada,

29
. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995) h. 60
30
. Ibid.
21
karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut tidak bisa mengalahkan
keyakinan seseorang.
c. Istishab al-Hukmi / Dalil umum
Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum itu terus
berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang
asalnya haram. Dengan kata lain sampai adanya dalil yang mengkhususkan atau yang
membatalkannya. Dan asal dalam sesuatu (mu'amalah) adalah kebolehan. Misalnya, kewajiban
menginfakan hasil usaha manusia dan hasil eksploitasi alam. Berdasarkan ayat yang umum (Al-
Baqarah : 267), kandungan ayat umum tersebut tetap berlaku selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya.
d. Istishab Washfi
Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang. Misalnya, Apabila
seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka orang ini oleh
semua madzhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukan bahwa ia telah
meninggal dunia, oleh karena itu pemilikannya dipandang tetap, misalnya hak memiliki waris.

e. Istishab hukum yang ditetapkan ijma lalu terjadi perselisihan


Istishab seperti ini diperselisihkan ulama tentang kehujahannya. Misalnya, para ulama fiqih
menetapkan berdasarkan Ijma, Bahwa tatkala tidak ada air, seseorang boleh bertayamum untuk
mengerjakan shalat. Apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apa shalatnya harus dibatalkan,
untuk kemudian berwudhu atau shalat itu ia teruskan?. Ulama Malikiyah dan Syafi'iyyah
menyatakan tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada Ijma yang menyatakan salahnya sah bila
dilakukan sebelum melihat air. Tapi ulama Hanafiyah dan Hambaliyah menyatakan ia harus
membatalkan shalatnya.31

2. Maslahatul Mursalah
Kata Maslahatul Mursalah tersusun dari dua kata yaitu al-maslahatul dan al-mursalah. Kata al-
Mashlahah dari kata sama dengan beres. Bentuk mashdarnya = keberesan, kemaslahatan. Yaitu sesuatu
yang mendatangkan kebaikan. Kata mursalah, dari kata sama dengan mengutus. Bentuk isim maf'ulnya =
diutus, dikirim, dipakai, dipergunakan. Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah mursalah, berarti
prinsip kemaslahatan, kebaikan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti,
suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat.

31
. Istidlal Salah Satu Sumber Hukum Islam, http://apkexcellent.blogspot.com/2014/04/istidlal-salah-satu-sumber-hukum-
islam.html.
22
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, bermakna: “Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang
mengandung kemaslahatan, dirasakan oleh hukum, sesuai dengan akal dan tidak terdapat pada
asal.”32 Contoh-contoh Maslahatul Mursalah:
a. Kebijaksanaan Abu Bakar ra. dalam memushafkan Alquran, memerangi orang yang
membangkang membayar zakat, menunjuk Umar ra. menjadi khalifah;
b. Putusan Umar bin Khatab tentang mengadakan peraturan dan berbagai pajak, dan putusan beliau
tidak menjalankan hukum potong tangan terhadap pencuri, yang mencuri karena lapar dan masa
paceklik;
c. Putusan Usman bin Affan ra. tentang menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan
satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.

3. Istishan
Dilihat dari asal bahasa Istihsan dari kata bahasa arab artinya mencari kebaikan. Al-Hasan
menyebutkan makna istihsan secara bahasa dengan ungkapan artinya mencari yang lebih baik. Untuk
memudahkan memahami Istihsan berikut adala beberapa contoh yang terkait:
a. Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada
bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai hidupnya, maka
berdasarkan Istihsan si bapak tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak
menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya;
b. Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia sudah dewasa dan berakal.
Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya kewarung untuk membeli sesuatu?,
Berdasarkan Istihsan anak kecil tersebut boleh membeli barang-barang yang kecil yang menurut
kebiasaan tidak menimbulkan kemafsadatan.

4. Sadduz Zara‟i
Kata zara’i artinya media, atau jalan. Dalam bahasa syariat dzariah berarti “apa yang menjadi
media/jalan kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan”. Dan kata Saddu artinya mencegah atau
menyumbat jalan.33
Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada tujuan, atau, jalan untuk
sampai kepada yang diharamkam atau yang dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada halal hukumnya
halal pula, dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib, wajib
pula.

32
. Ibid.
33
. Dede Achmid, Contoh-contoh Istidlal, http://dedeachmid.blogspot.co.id/2015/07/contoh-contoh-istidlal-karyailmiyah
23
Terdapat definisi lain yang menyebutkan, “Dzariah adalah media yang dhahirnya mubah,
mendorong kepada perbuatan yang terlarang.”” Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau
menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.” Contoh-contoh sadduz zara‟i
seperti berikut:
a. Menebang dahan pohon yang meliuk di atas jalan umum, dapat mengakibatkan timbulnya
gangguan lalu lintas;
b. Wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu berdandan sedang dia dalam keadaan Iddah, maka
akan mendorong pada perbuatan yang terlarang;
c. Melihat aurat perempuan dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinahan.
d. Meninggalkan jual beli pada waktu shalat jum‟at, agar dapat melakukan shalat jum‟at karena
wajib;
e. Berusaha agar dapat melakukan ibadah haji , adalah diperintah dan hukumnya wajib pula.
Dengan demikian yang dilihat dari dzariah ini adalah perbuatan-perbuatan yang
menyampaikan kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan kepada terjadinya yang haram.

24
E. ISTIDLAL DENGAN ISTISHAB

Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah
untuk umat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini,
Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
A.Dalil dan Istidlal
1.Pengertian Dalil dan Istidlal
Dalil adalah isimfa‟il dari kata dalla yang berarti petunjuk. Sedangkan Istidlal menurut bahasa berarti
pengambilan dalil. Dalil merupakan obyek materiil, dan istidlal merupakan obyek formil. Dalam Ushul fiqh,
pembagian dalil bermacam-macam. Ada ulama yang membagi dalil menjadi enam: al-Qur`an, as-Sunnah,
al-Maslahah, Mazhab as-Shahabi, al-„Urf, dan Syar`u Man Qablana. Sedangkan Qiyas dan Ijma` masih
rancu bila dimasukkan sebagai dalil(obyek materiil) tapi lebih tepat dimasukkan ke dalam istidlal(obyek
formil), sebab ia mempergunakan al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai dalilnya. Demikian pula dengan istihsan,
istislahdan sad al-dzariahlebih tepat dimasukkan ke dalam istidlal(obyek formil), sebab ia menjadikan al-
maslahahsebagai dalilnya.
Istidlal secara umum berarti pengambilan dalil, baik menggunakan dalil Qur`an, as-Sunnah, maupun al-
Maslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq yakni Qur`an, as-Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas, atau
metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-Shahabi, al-„Urf, dan Syar`u Man Qablana, , istihsan,
istihlah maupun sadal-dzariah.
Istishab
1.Definisi Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu,(Manzhur)
Adapun secara terminologi, ada beberapa definisi yang disebutkan oleh ulama Ushul Fiqh, di antaranya
adalah:
Definisi al-Asnawy (w. 772 H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan)
hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku
Umar Muhaimin340Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islamsebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).

Sementara al-Qarafy (w. 486 H) –seorang ulama Malikiyah-mendefinisikan istishhab sebagai


“keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap
ada (eksis) sekarang atau di masa datang”(al-Qarafy, 1393 :199).Definisi ini menunjukkan bahwa
istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun
benda-di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku

25
sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah
itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidakmenemukan ada dalil atau bukti
yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah
pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah
melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik
itu berupa hukum ataupun benda-di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan
atau berlaku sebelumnya.
 Kedudukan Istishhab
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan
yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur‟an, al-Sunnah, ijma‟ atau
qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:“Ia (istishhab) adalah
putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari
hukumnya dalam al-Qur‟an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma‟, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan
34
(hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan „menarik pemberlakuan hukum
yang lalu dimasa sekarang‟ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip
asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku.

2.Jenis-jenis Istishhab
a) Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya.
b) Istishhab al-Bara‟ah al-Ashliyah,atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari
beban dan tanggungan apapun.
c) Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma‟ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih
diperselisihkan.

26
F. ISTIDLAL DENGAN MASLAHAH MURSALAH

A. Pengertian Istidlal
Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: minta petunjuk, memperoleh
dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil
untuk mencapai tujuan yang diminta.[7] Dalam proses pencarian, al-Qur‟an menjadi rujukan yang
pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, Ijma‟ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya.
Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari
dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Maslahah Mursalah, dll. Dengan demikian, teori
istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.
Menurut bahasa, kata dalil mengandung beberapa makna yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda
atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Menurut kebiasaan para pakar studi hukum islam diartikan
dengan “sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad).” Definisi tentang dalil
yang lebih mengarah pada landasan hukum yang dikemukakan oleh „Abd al-Wahhab Khallaf yaitu
“sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara‟ yang bersifat
praktis.” Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam dalam menetapkan suatu
ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat
qath‟i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).

B. Pengertian Mashlahah Murasalah


Maslahah mursalah menurut lughot terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata
maslahah berasal dari kata kerja bahasa Arab ‫ صهخ – يصهخ‬menjadi atau yang berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga
menjadi isim maf‟ul, yaitu: Menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan
dua kata menjadi “Maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan
menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik
(bermanfaat).
Secara mutlak maslahah mursalah diartikan oleh ahli ushul fiqih sebagai suatu kemaslahatan yang
secara hukum tidak disyariatkan oleh syari, serta tidak ada dalil yang menerangkan atau membatalkan.
Maslahah ini disebut mutlak, karena tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang
membatalkan.
C. Syarat – Syarat Mashlahah Mursalah
Syarat- syarat itu adalah sebagai berikut:
1) Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqli dan mereka yang mempunyai
disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah
hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka
27
maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian syari‟at, tidaklah
diperlukan, seperti dalih maslahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak
isterinya, dan memberikan hak talak tersebut terhadap hakim saja dalam semua keadaan. Seungguhnya
pembentukan hukum semacam ini menurut hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan
masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang,
tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.

2) Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak
khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam Ghazali memberi contoh tentang maslahah
yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir tentang telah membentengi diri dengan
sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang mereka demi memelihara
kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang., dan mereka akan
memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang orang Islam
yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi
orang kafir tersebut. demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan
atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
3) Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar‟i. Maslahah
tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syar‟i. Seandainya tidak ada dalil tertentu
yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam.
Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4) Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak
membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

D. Macam – Macam Mashlahah Mursalah


Dari segi pandangan syara‟ terhadapnya, maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Maslahah mu‟tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari‟ (Allah) dan dijadikan dasar
dalam penetapan hukum.
2) Maslahah Mulghah yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh Syari‟ (Allah) dan syari‟ menetapkan
kemaslahatan lain selain itu.
3) Maslahah mursalah yaitu kemaslahatan yang belum diakomodir dalam nash dan ijma‟ serta tidak
ditemukan nash atau ijma‟ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya.

28
G. ISTIDLAL DENGAN ISTIHSAN

A. Pengertian bahasa
Dilihat dari asal bahasa Istihsan dari kata – –
artinya mencari kebaikan. Al-Hasan menyebutakn makna istihsan secara bahasa denganungkapan

artinya mencari yang lebih baik.

Dalam Alquran dijumpai kata itu,



Secara Istilah Istihsan menurut ahli Ushul Fiqih adalah :

Istihsan itu adalah berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan, kepadahukum lain

yang sebandingnya karena ada suatu sebab yang dipandang lebih kuat.

Istihsan yaitu berpindah dari qiyas pada qiyas yang lebih kuat35

1. Contoh Istihsan

Untuk memudahkan memahami Istihsan di bawah ini disajikan contoh:


a. Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada

bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai hidupnya, maka
berdasarkan Istihsan si bapak tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak

menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.

35
Drs.H.Sokon Saragih,M.Ag, (fiqih dan ushul fiqih )hlm.176
29
b. Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia sudah dewasa

dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya kewarung
untuk membeli sesuatu ?, Berdasarkan Istihsan anak kecil tersebut boleh

membeli barang-barang yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan

kemafsadatan.

2. Macam-macam Istihsan

Istihsan terbagi kepada dua bagian :

a.Mengutamakan qiyas khafi ( yang samar-samar) dari pada qiyas jalli ( yang jelas )
berdasarkan dalil.

b.Mengecualikan hukum juz‟i ( bagian atau khusus ) dari pada hukum kulli ( umum).
Contoh –contoh:

1). Contoh istihsan yang mengutamakan qiyas juz‟i dari qiyas jalli.

Dalam hal wakaf tanah. Dalam qiyas jalli – Wakaf diqiyaskan kepada jual beli,
lantaran kedua-duanya sama-sama melepaskan hak milik dari pihak pemilik.Dalam

jual beli mesti jelas terinci tertulis jenis-jenisnya. Karena wakaf itu diqiyaskan kepada

jual beli maka dalam wakaf pun harus jelas terinci.


Dalam qiyas khafi - Wakaf diqiyaskan kepada sewa-menyewa, karena pada

keduanya dimaksudkan pengambilan manfaat. Dalam hal ini tidak mesti terrinci.
Karena wakaf diqiyaskan kepada sewa – menyewa, maka dalam hal ini tidak perlu

untuk terrinci.36

Contoh lain, Tentang wanita, bahwa wanita itu aurat (aib, cela ) .

karena akan membawa pada fitnah. Dalam qiyas jalli. Memandang aurat wanita

diqiyaskan kepada „wanita itu aurat‟ dilihat dari sama – sama akan membawa fitnah,
maka hukumnya haram. Dalam qiyas khafi. Diperbolehkan melihat sebagian aurat

36
Drs.H.Sokon Saragih,M.Ag( fiqhi dan ushul fiqih )hlm.177
30
wanita karena adanya hajat / keperluan, jika tidak dilakukan akan membawa

kesulitan. Maka qiyas khafinya, mengqiyaskan melihatnya seorang dokter pada

sebagian aurat wanita saat mengobati/ memeriksa, kepada melihat aurat wanita
karena ada hajat, dari sisi adanya keperluan dan jika tidak, menimbulkan masyaqqah.

Maka hukumnya boleh. Istihsannya, mengutamakan qiyas khafi dari qiyas jalli.

2).Contoh mengecualikan hukum juz‟i daripada kulli

a.Dalam hukum yang bersifat umum, tidak sah jual beli pada saat terjadi, barang
belum ada, termasuk pada jenis jual beli Gharar. Hukum yang juz‟i, dibolehkannya

jual beli salam ( jual beli dengan pembayaran lebih dahulu, tapi barangnya dikirim
kemudian), dibolehkan ijarah = sewa menyewa, dibolehkan muzar’ah = nengah

sawah. Istihsannya, karena sangat dibutuhkan dan telah jadi kebiasaan. Maka diambil

hukum yang juz‟i.37

b.Orang yang mencuri harus dipotong tangannya, Umar menyatakan, kecuali

pencurian itu dilakukan pada saat kelaparan. Maka diambil hukum yang kedua.
c.Orang yang di bawah perwalian tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri

kaarena takut hancur. Jika Ia mewakafkan hartanya untuk kekekalan, maka boleh .

Istihsannya untuk kelangsungan dan tidak hancur.

37
Drs.H.Sokon Saragih,M.Ag( fiqih dan ushul fiqih ) hlm. 178
31
d.Dilarang mendekati zinah, termasuk di dalamnya memandang wanita. Pada saat

khithbah diperbolehkan memandang wanita yang dikhithbah untuk mengekalkan pada


perjodohan. Maka Istihsannya mengambil hukum yang ke dua.

3. Kehujahan Istihsan

Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Hanabillaah, bahwa

istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum, dengan alasan”
-
-
-
Golongan Hanafiyah sangat mengagungkan Istihsan, Hambali dan Maliki juga

memakainya, tetapi masih mebatasinya, sebab bukanlah sumber yang berdiri sendiri.

Sedangkan Imam Syafi‟i menentang Istihsan karena akan membuka pintu untuk

menetapkan hukum sesuai dengan kehendaknya. Beliau berkata

Barang siapa yang mempergunakan Istihsan berarti dia telah membuat syariat
baru.

Adanya perbedaan pendapat ulama tentang istihsan karena tidak adanya


persesuaian pendapat dalam mengartikan istihsan. Sebenarnya istihsan itu
mengalihkan suatu dalil yang nyata atau mengalihkan hukum kulli kepada suatu

dalil yang lebih sesuai dengan untuk kemaslahatan, bukan mengalihkannya kepada

sesuatu menurut kemauan hawa nafsu.

Untuk itu Imam Asy-Syatibi berpendapat, barangsiapa beristihsan

tidaklah berarti bahwa ia memulangkannya kepada perasaan dan kemauan


hawa nafsunya, tetapi ia memulangkannya kepada maksud syar‟i yang umum

dalam peristiwa-peristiwa yang dikemukakan.

32
KESIMPULAN
Secara Bahasa ijtihad yaitu kesulitan,berupaya keras, dan juga bermakna mencurahkan segala
kemampuan untuk sampai pada satu urusan dari beberapa urusan atau satu pekerjaan dari
beberapa pekerjaan.Sedangkan menurut Istilah Ulama Ushul berarti: Mencurahkan segenap
kemampuan untuk memperoleh hukum syara dengan jalan melakukan penelitian/kesimpulan dari
Kitab dan Sunnah.

Kata Ijma secara bahasa berarti:kesepakatan atau konsensus,Jumhur ulama ushul Fiqih
mengemukakan bahwa ijma adalah „Kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa
sesudah wafat Rasulullah saw.,akan suatu hukum syariat yang amali‟.

Qiyas menurut ulama ushul didefinisikan sebagai menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qur‟an dan Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Kata istidlal berasal dari bahasa Arab akar kata istidlal adalah dari kata “istadalla”, yang berarti
mengambil dalil atau kesimpulan yang diambil dari petunjuk yang ada. Sedangkan, arti dalil
sendiri adalah petunjuk, petunjuk yang digunakan untuk mendapat satu kesimpulan. Menurut
Imam Abdul Hamid Hakim, istidlal adalah mencari dalil yang tidak ada pada nash Alquran dan
al-Sunnah, tidak ada pada Ijma dan tidak ada pada Qiyas. Istidlal merupakan pembahasan yang
terpenting dalam kajian hukum Islam, karena mengambil kesimpulan yang benar adalah menjadi
fungsi utamanya.

Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.
Menurut istilah adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda-di
masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.

33
DAFTAR PUSTAKA

Saragih,Sokon.2020.fiqh dan ushul fiqh.medan.


m.liputan6.com
Al-Zalami, Mustafa, Ibrahim, Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha‟ fi al-Ahkam al-Shar‟iyah, Beirut: Al
Dar Al-„Arabiyah, t.t.
Al-Shaukani, Irshad Al-Fuhul, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t.
Effendi, Satria, Usul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.
Fattah, Abdul, Buhus fi Usul al-Fiqh, Kairo, t.t.
Hasbi, Muhamad Teungku, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.t.
Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2002.
Zaidan, Karim, Abdul, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Beirut: Muassasah al-Risalah, t.t.
Zahrah, Abu, Muhammad, Usul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus,t.t.
Ma`luf , Louis. al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam, Beirut: Dar al-Masriq, 1986.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Syafi‟I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu. Mesir: Dar al-Fikr
al„Arabi. Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. cet.2.
R.Stephen Humphreys, “Islamic law and Islamic Society“ dalam, Islamic History: A Framework
for inquiry. New Jersey: Princeton University, 1991.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina utama Toha Putra Group). 2014.
cet.2.
Karim, Abdul al-Khatib, Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2005.
Haroen, Nasrun, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. cet.2
Darul Azka, Kholid Affandi, Nailul Huda. Jam‟u Al-Jawami‟ (Kajian dan Penjelasan Ushul Fiqh
dan Ushuluddin). Lirboyo Kediri: Santri Salaff Press. 2014.
Djalil, Basiq, 2010, Logika Ilmu Mantik, Jakarta: Kencana.
Alauddin, Istidlal, http://www.al-alauddin.blogspot.co.id/2011/10/istidlal.html.
Baihaqqi, 1996, Ilmu Mantiq, Darum Ulum Press, 1996.
Thahir, Taib, dan Mu‟in, Abdul, tt, Ilmu Mantiq (Logika), Jakarta : Widjaya.
Ilmu Mantik Istidlal, http://go-safelink123.blogspot.com/2016/09/ilmu-mantik-istidlal.html
Sambas, Syukriadi, 1996, Mantik, Bandung: PT Rosdakarya.

34
Hasan, M. Ali, 1992, Ilmu Mantiq (Logika), Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.
stidlal Salah Satu Sumber Hukum Islam, http://apkexcellent.blogspot.com/2014 /04istidlal-salah-
satu-sumber-hukum-islam.html.
Dede Achmid, Contoh-contoh Istidlal, http://dedeachmid.blogspot.co.id/2015/07 /contoh-
contoh-istidlal-karyailmiyah-i.html
Sekar, Teori Istinbath dan Istidlal, http://scarmakalah.blogspot.co.id/2012/04/ teori-istinbath-
dan-istidlal.html
Abd al-„Azis,„Ala al-Din ibn ibn Ahmad al-Bukhary, 1394 H.,Kasyf al-Asrar „an Ushul al-
Bazdawy. Beirut. : Dar al-Kitab al-„Araby.
Al-Asnawy, „Abd al-Rahim ibn Hasan al-Syafi‟i, t.t.,Nihayah al-Saul fi Syarh Minhaj al-
Ushul..Kairo : Al-Mathba‟ah al-Salafiyah.
Al-Ghazaly, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad, 1417 H., Al-Mustashfafi „Ilm al-Ushul.
Beirut. : Dar al-Kutub al-„Ilmiyah.

Al-Syafi‟i, Muhammad ibn Idris, t.t., Al-Umm. Beirut : Dar al-Fikr.

http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf pada tanggal 18 Maret 2012

Bapakku: Haq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Karya Toha Putra, 1994), hlm. 139

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar Fikr al-Arabi, 1958

H.A.Djazuli, Ilmu Fiqh, Orba Sakti, Bandung 1993

Al-Khudari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Baerut, 1981

Abdul Hamid Hakim, As-Sulam dan Al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta

Syafi'i Karim, Fiqih Ushul Fiqh, Departemen Agama RI. 1995

35

Anda mungkin juga menyukai