Anda di halaman 1dari 7

B.

     Tingkatan Ijma
              Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’ itu, para ulama
ushul fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/lafzhi dan ijma’ sukuti.
   Ijma’ sharih/lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat
maupun melalui perbuatan terhadat hukum masalah tertentu. Ijma’ seperti ini, sangat langka
terjadi, apalagi bila dilakuakan kesepakatan itu didalam satu majlis atau pertmuan yang
dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu. Dari buku satria efendi, menurut Imam syafi’i
dan kalanganmalikiyah , ijma’ suskuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan
pembentukan hukum, Alasanya, diamnyasebagian para mujtahid belum tentu menandakan
setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bila mana pendapat itu telah
didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.
    Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu
maslah dan tersebar luas, sedangkan sebgian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah
meneliti pendapat mujtahid yang kemukakan diatas, tanpa ada yang menolak pendapat
tersebut. Ijma’ sukuti  ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan, karenanya para
ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni.[2]
C.    Rukun-rukun ijma         
Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid dari umat
islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di ambil kesimpulan bahwa rukun
ijma dimana menurut Syar’I ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat,
yaitu:
1.      adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya
kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-
masing pendaapat sesuai dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu
tidak terdapat sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama
sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi ijma’
pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rosululloh SAW .,
karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
2.      adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum Syara
mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka,
kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri
makkah dan madinah saja ataupun para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz
saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan
Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan kusus
ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan
kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam pada masa suatu kejadian selain
mujtahid tidak masuk penilaian.
3.      Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing
orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik
penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia
memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia
memberikan suatu putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka mengemukakan
pendapatnya pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat, mereka secara kolektif,
misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa
terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka
bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum
mengenainya.
4.      bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya
kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’,
kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid
yang sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih
ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh
karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah yang pasti
dan meningkat.[3]
D.    Kemungkinan terjadinya ijma
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadainya ijma’ ;  Sebagian
ulama diantaranya Al-Nazham dan sebagian pengikut Syiah berpendapat bahwa ketententuan
di atas tidak munagkinterjadi ijma’ secara penuh. Alasannya ;
1.             tidak ada suatu ukuran yang pasti untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang telah
mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabka ia patut disebut mujtahid. Karena
secara formal tidak ada lembaga yang menghasilkan mujtahid.
2.             walaupun ada pendidikan untuk menyatakan seorang telah mencapai derajat mujtahid,
namun untuk dapat menghimpun pendapat mereka semua mengenai suatu masalah
memerlukan suatu hukum secara meyakinkan atau dengan dengan yakin adalah tidak
mungkin karena mereka berada dalam lokasi yang berjauhan.
3.             tidak ada jaminan bahwa setiap mujtahid yang telah mengungkapkan pendapatnya tentang
hukum suatu masalah tetap dalam pendiriannya, karena syarat melangsungkan ijma’ itu ialah
kesepakatan itu berlaku dalam suatu masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang
memerlukan ijma’.
4.             mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal adalah susatau yang
sangat sulit terjadi, karena hakikat ijma’ itu adalah kebulatan pendapat dalam kesepakatan.
Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ijma’ (secara universal) tidak mungkin
terbentuk jika persoalannya diserahkan kepada perorangan. Akan tetapi Ijma’ bisa
dilaksanakan  dengan dipimpin oleh pemerintahan masing-masing negara Islam. Yaitu
dengan cara; setiap pemerintah menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
untuk sampai pada tingkat mujtahid. Kemudian mereka diberi kewenangan untuk berijtihad.
Apabila pemerintah telah mengetahui pendapat para mujtahidnya serta ada kesepakatan dari
seluruh pemerintahan dunia Islam , maka inilah ijma’. Dan dengan adanya ijma’ yang seperti
ini maka seluruh kaum muslimin wajib mengikuti. [4]
Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan
terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’,
bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah
disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari
harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainya, seperti imam ahmad bin handal mengatakan bahwa
siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta,
karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit
untuk mengetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah. Apabila ada orang yang
bertanya apakah ijma’ itu ada secara aktual terjadi, menurut imam ahmad bin hambal,
jawaban yang paling tepat adalah kami tidak mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju
dengan hubungan ini.”
Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin
mengumpulkan seluruh ulam pada satu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa
apabila didapati dalam kitab-kiatab fqh ungkapan ijma’, mak yang mereka maksudkan
kemungkinan ijma’ sukuti dan ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang
didefinisikan para ahli ushul fiqh.[5]
E.     Macam-macam ijma
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.      Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu
kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan
pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2.      Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam,
artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah
dikemukakan.[6]
Mengenai ijma’ Sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga  pendapat ;
a.       Ulama Syafi’i dan mayoritas Fuqaha tidak memasukan ijma’ sukuti ini kedalam katagori
ijma’.
b.      pendapat sebagian Fuqaha memasukan ijma’ sukûti ke dalam katagori ijma’, hanya saja
tingkat kekuatanya dibawah ijma’ sharih.
c.       ijma’ sukûti dapat dijadikan argumentasi (hujah) akan tetapi tidak termasuk kedalam
katagori ijma’.
Argumentasi ulama yang tidak menganggap ijma’ sukuti sebagai hujjah syar’iyyah adalah :
a.       Orang yang diam tidak dapat di anggap sebagai orang yang berpendapat. Dengan demikian
seorang mujtahid yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang mengikuti pendapat
(ijtihad) orang lain.
b.      diam tidak dapat dipandang sebagai setuju karena diamnya seorang mujtahid mungkin setuju,
mungkin ia belum ijtihad dalam masalah tersebut, mungkin juga ia telah berijtihad tetapi
belum memperole kemantapan.
c.       Dengan segala kemungkinan diatas, maka diam tidak dapat dipandang sebagai hujah untuk
menerima pendapat seorang mujtahid, maka ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujah.
Sedangkan ulama yang memasukkan ijma’ sukutu ke dalam katagori ijma’ beralasan bahwa;
a.       pda dasarnya diam tidak dapat dikatagorikan hujah kecuali sesudah merenung atau berpikir.
Oleh karena itu jika ada seorang yang berdiam sesudah berpikir dan menganalisa
permasalahan dari segala segi maka diamnya menunjukan suatu sikap.
b.      Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (Mufti) itu memberikan keterangan pada suatu
permasalahan.
c.       Diamnya seorang mujtahid setelah merenung terhadap hukum (hasil ijtihad orang lain) yang
bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram. Dengan demikian
berbaik sangka bahwa diamnya seorang mujtahid dapat dianggap ridla terhadap hasil ijtihd
orang lain. Jika ia tidak rela serta tidak mau mengemukakan pendapat ynag benar menurut
hasil ijtihadnya berarti ia telah berbuat dosa.
2. Ditinjau dari segi kepastian hukumnya ;
a.       Ijma’ Qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ diyakini benar terjadi, tidak ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berbeda dengan
hasil ijma’.
b.      Ijma’ Dhanni yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ masih ada kemungkinan bahwa hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad.
3. Ditinjau dari segi masa atau tempat terjadinya ijma’ ;
Ijma’ Sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
a.       Ijma’ khulafaurrasidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu bakar, umar, Ustman dan Ali
bin abi thalib. Namun setelah Abu bakar meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dilakukan lagi.
b.      Ijma’ Shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar bin Khatab.
c.       Ijma’ ahli Madînah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama Madinah. Namun terjadi
perbedaan antara Imam Malilki dan Imam Syafi’i. menurut Imam Syafi’i tidak dimungkinkan
terjadinya ijma’ secara universal, sedangkan menurut Imam Malik hal tersebut bisa trjadi.
d.      Ijma’ Ulama kufah, yaitu ijma’ yang dialakukan oleh ulama kufah sehingga Madzhab Hanafi
menjadikan ijma’ ulama kufah sebagai salah satu hukum Islam

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal,
seperti perkataan seseorang yang bereti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang
demikian itu.”
Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’
dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah
setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau
yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk
mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA
sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.
Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.      Ijma’ Sharih;
2.      Ijma’ Sukuti
Tingkatan Ijma
              Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’ itu, para ulama
ushul fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/lafzhi dan ijma’ sukuti.
                                 DAFTAR NPUSTAKA
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001,
Berikut merupakan beberapa contoh ijma’.

1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya
tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para
sahabat lainnya adalahtanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh
tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2. Saudara-saudara seibu – sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa
al-a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan ijma’.
3. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as
Shiddiq r.a.
4. Menjadikan as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.
Para mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan as Sunah sebagai salah
satu sumberhukum Islam.
5. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
Beliau bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak
dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah
umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
6. Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada
Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan
cucu perempuan berdasarkan QS. An- Nisa’ ayat 23. Para ulama sepakat bahwa kata
ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan
kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakupanak perempuan dan
cucu perempuan.
7. Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman
dagingnya.
8. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin
Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati
oleh ijma’. Ijma’ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
9. Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
10. Para imam madzhab sepakat atas keharaman Ghasab (merampas hak orang lain).
11. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’
tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas
barangnya).
12. Para sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera
sebanyak 80kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk
dzanni.
13. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam
atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah
Islamiyah yangmenyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para
Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah.
14. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang
meninggaldunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika
tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga
bisa menerima warisanseperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski
terdapat anak dari orang yang meninggal.
15. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam
perhitunganzakatnya.
16. Ulama’ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa
diamnyanabi adalah membolehkan.
17. Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan
kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang
berhalangan.
18. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun
Islam.
19. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
20. Jumhur ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriah saja, tidak
secara batiniah.

Anda mungkin juga menyukai