Anda di halaman 1dari 20

1

MAKALAH

Hukum Islam

“Sumber Sumber Hukum Islam “

Disusun Oleh:

YUSRI YANCE (232061022)

Dosen Pengampu:

Dr. H ZULKIFLI, M.A

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR

TAHUN 2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dapat menyelesaikan


makalah yang berjudul “Sumber Sumber Hukum Islam “ ini tepat pada waktunya.
Shalawat beriringan salam penulis do’akan kepada Allah SWT agar dikirimkan
kepada junjungan umat yakni Nabi Muhammad Saw yang telah mewariskan
pedoman hidup bagi umat manusia yaitu Al-Qur’an dan sunnah.

Tema ini diberikan sebagai penyajian dalam bentuk makalah untuk


menjelaskan tentang paradigma penelitian didalam makalah ini juga terdapat
point-point penting lainnya untuk menambah ilmu pengetahuan. Mengingat segala
keterbatasan dan kemampuan, penulis menyadari masih adanya kekurangan pada
makalah ini, akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi penulis.

Batusangkar, September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

1. Latar Belakang.........................................................................................................1
2. Rumusan Masalah....................................................................................................1
3. Tujuan penulisan......................................................................................................2

BAB 11 : PEMBAHASAN

1. Bagaimana Pengertian Tentang Sumber Hukum Islam...........................................3


2. Bidang kajian apasajakah yang erat kaitanya dengan sumber hukum islam...........4
3. Pengertian ahkam al-khamsah.................................................................................6

BAB III : PENUTUP

1. Kesimpulan..............................................................................................................21
2. Saran .......................................................................................................................22

DAFTAR KEPUSTAKAAN

ii
3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Islam


2.1 Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu
peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat
bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan
Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan
sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat
mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.

2.2 Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran
dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu 105.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa
ulama’,akan tetapi dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur
pokok,yaitu :
1. Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang
disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk
makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-
Qur’an.
2. Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3. Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4. Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa
seorang laki-laki yang mengucapkan kata-katanya
3. Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
4. Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar
sebagaimana rupanya yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1. Ayat-ayat Makkiyah
2. Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk
sesuatu hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul
Fiqih.Pengertian bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan
secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu
fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.
2.3 Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan
dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah
Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah
sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:

1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah


2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah

Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut


hukum yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-
Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah
dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar
perawi),matan (isi materi) dan rowi(periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga
kelompok yaitu :

1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi


2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak
mencapai tingkatan mutawattir
3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.

Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan


rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.
1. Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat
yang tertentu.
2. Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau
tidaknya sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang
sambung-bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai
dari orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad
SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan
ke dalam empat tingakatan yaitu:
· Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain
hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW.
· Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian
tersebar luas. Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
· Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga
sampai kepada nabi muhammad.
· Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-
tengah,se hingga tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Sunan berkedudukan sebagai dalil hukum islam. Hal ini didasarkan
kepada nash Al-quran yaitu: Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah
allah menjadi saksi.(QS.annisa’:79)

Surat Al-Arab ayat 158 sebagai berikut :


158.katakanlah : “ hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan allah kepadamu
semua yaitu allah yang mempunyai kerjaan langit dan bumi, tidak ada tuhan
selain dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada
allah dan rasulnya, nabi ysng ummi yang beriman kepada allah dan kepada
kalimat-kalimatnya (kitab-kitabnya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat
petunjuk,” (QS. Al-a’rab : 158)
Di dalamnya memahami hadist terdapat dari kutub yang harus
diperhatikan, yaitu:

1. Hadist shahih
2. Hadist dhaif

Ciri-ciri hadist yang shahih itu ialah yang kata- katanya bebas dari bahasa
yang rendah (tidak pantas) serta maksudnya tidak bertetangga dengan ayat atau
kabar (hadis) yang mutawir atau ijma’(yang gamblang), dan yang
meriwayatkannya orang-orang yang pantas dipercaya.
Adapun ciri-ciri hadist dhaif sebagaimana diungkapkan K.H.E
abdurrohman ialah bertentangan dengan nash al-quran sunnah yang mutawir, atau
bertentangan dengan putusan akal yang gamblang.
Didalam ilmu hadist dikenal adanya ulama hadist yang masykur. Keenam
ulama tersebut, ialah :

1. Al-Bukhari (194 - 256 H/810 - 870 M)


2. Muslim (204 - 261 H/817 - 875 M)
3. Abu Daud (202 - 275 /817 - 889 M)
4. An-Nasai (225 - 303 H/839 - 915 M)
5. At-Turmudzi (209 - 272 / 824 - 892 M)
6. Ibnu Majah 9207 - 273 / 824 - 887 M)

2.4 Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan
beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah
tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau
suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau
mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu
hal yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu
perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan
pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari
abad tertentu mengenai masalah hukum.
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara
melakukannya, maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :

1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli
ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-
masing secara tegas dan jelas.
2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad
atau sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya
secara jelas.

Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka
ijma’ dapat digolongkan menjadi :

1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum


( tentang suatu hal)
2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum
yang tidak pasti.

Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut


memiliki beberapa aturan yaitu :
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’
tidak akan sampai kepada kebenaran.
Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi,
sebagaimana diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali
berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat
maupun lemah adalah salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka
sepakat berbuat suatu kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat
diketahui kaitannya dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada
syara’ tidak wajib diikuti

2.5 Al-Ijtihad
Mencurahkan seluruh potensi pikiran untuk mengambil suatu hukum dari
dalil-dalil syara’ ( Al-quran dan sunnah).Menurut definisi bahasa
arab ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum
syara’ dengan cara istimbat dari Al-Quran dan hadist.Mujtahid adalah seseorang
yang melakukan ijtihad. Para mujtahid pada zaman sahabat hingga zaman tabi’in
mengambil hukum-hukum suatu masalah langsung dari Al-Quran dan hadist
muhammad SAW.
Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi:
1. Mujtahid yang bekemampuan berijtihad seluruh amsalah hukum islam dan
hasilnya diikuti oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka
berusaha sendiri, tanpa memungut pendapat orang lain.
2. Mujtahid filmadzhab atau mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti
pendapat salah satu madzhab dengan beberapa perbedaan. Misalnya abu
yusuf yang mengikuti pendapat madzhab manafi.
3. Mujtahid fil masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-
masalah tertentu. Ciri mujtahid kelas ini yaitu:
a. Dalam berijtihad mengikuti pendapat imam madzhab tertentu.
b. Lapangan ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut hal-
hal yang cabang saja.
4. Mujtahid yang mengikatnya diri muqoyyad ciri-ciri mujtahid yang termasuk
dalam kelas muqoyyad:
a. Mengikuti pendapat-pendapat ulama’ salaf
b. Mengetahui sumber-sumber hukum dan masalahnya
c. Mampu memilih pendapat yang di anggap lebih baik dan benar.

2.6 Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam
nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya
kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan
hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang keempat. Arti
perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran, timbangan.
Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak
mungkin persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi
(analogical deduction). Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu
garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan
garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru
itu ada persamaanya dari garis hukum yang lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan
dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :
“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah : ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak
negatifnya akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan.
Dengan demikian sifat memabukkan dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan
hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap minuman yang
memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.
Qiyas sebagai salah satu hukum islam yang tdak dapat dikesampingkan
keberadaannya di dalam menetapkan beberpa ketentuan hukum islam memiliki 4
hukum yaitu:
1. Sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash atau hukum islam.
2. Sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash (far’u : cabang)
3. Hukm syara’ yang terdapat dalam nash berdasar unsur pokok.
4. Illat, yaitu sebab
2.7 Al-istikhsan
Al-istikhsan adlah meninggalkan hukum yang diperoleh melalui qiyas
yang jelas (jali) untuk menjalankan hukum yang tidak jelas (khafi) karena adanya
dalil syara’ atau logika yang membenarkan atau meneruskan meninggalkannya.
Pada prinsipnya adalah meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk
melaksanakan istisna oleh karena aa atau terdapat dalil tertentu. Perbedaan
pendapat tentang istihsan pada penggunaanya sebagai dalil sebenarnya prbedaan
dalam memberi arti kepada istihsan itu dari banyak istilah yang dikemukakan
tntang istihsan maka yang paling tepat dan sesuai dengan maksud penolakan
imam syafi’i menurut yang sering di nukilkan itu adalah “ sesuatu cara yang
cenderung dan senang perasaan manusia melakukannya sedangkan pihak lain
menganganggapnya baik” atau “ petunjuk atau dalil yang muncul pada diri
seseorang mujtahid sedangkan dia tidak mampu melahirkannya. “
Disamping itu ditegaskan pula bahwa imam syafi’i berpendapat bila
seseorang dibenarkan menggunakan istihsan ia akan berpendapat orang lain pun
bebas menggunakan istihsan, tentu akan dapat menimbulkan beberapa putusan
yang benar atau beberapa fatwa dalm kasus yang sama. Oleh karena itu imam
syafi’i menetapkan tidak boleh memutuskan berdasrkan istihsan. Yang dibenarkan
hanya menggunakan ijtihad dengan qiyas, bila dalam suatu kejadian tidak
ditemukan nash dalam bentuk al-quran maupun al-sunnah.
Dalam istihsan pada suatu peristiwa terdapat dalil untuk dipilih. Untuk itu
seorang mujtahid salh satu dalil yang jelas atau kuat untuk menjalankan dalil yang
tidak jelas disebabkan adanya sesuatu hal. Istihsan berbeda dengan qiyas sebab
dalamqiyas tentang sesuatu belum ada baik berupa nash atau ijma’ karena adanya
hukum, maka peristiwa atau hal dipersamakn dengan peristiwa yang sudah ada
hukumnya. Karena adanya persamaan illat sedangkan dalam istihsan hukumnya
sudah ada bahkan ada dua hukum yang harus dipilih.
Dalam istihsan ada dua aspek penting yaitu:

1. Aspek yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai


2. Aspek dalil yang dijadikan landasan dasar istihsan.

Meninggalkan dalil yang umum dan menggunakan dalil yang khusus


karena adanya darurat.
Contoh : kasus seperti tersebut dalam (QS. Al-Maidah : 38) tentang pengecualian
potong tangan bagi pencuri karena keadaan yang tidak memungkinkan seerti
dalam keadaan atau musim kelaparan. Hal ini pernah diperatekkan umar bin
khatab yang berati menyalahi dari kandungan surat Al-Maidah ayat : 38 yaitu :
38.” Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
kedua saya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari allah. Dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana (QS. Al-
Maidah : 38).

2.8 Al-Maslahah Mursalah


Maslahah mursalah atau lengkapnya “ al-masalihul mursalah berarti
kemaslahatan yang dilepaskan. Maslahah mursaah adalah kebaikan atau
kemaslahatan yang tidak disinggung-singgung syara’ mengenai hukumnya, baik
di dalam mengerjakan atau meninggalkannya akan tetapi dikerjakannya, akan
tetapi dikerjakan akan membawa manfaat dan menjauhkan kemudhoratannya,
bahkan kemudhorotan tersebut dapat hilang sama sekali.
Syarat maslahat mursalah yaitu :

1. Hanya berlaku dalam bidang muamalah jadi tidak berlaku dibidang aqidah
dan ibadah.
2. Tidak bertentangn dengan maksud hukum islam atau salah satu dalilnya
yang sudah dikenal ( dalam hal ini Al-Quran dan hadist nabi)
3. Ditetapkan karena kepentingan yang jelas dan sangat
diperlukanmasyarakat yang luas.

Menurut A. Hanafi di dalam pengantar dan sejarah hukum islam ditegaskan


bahwa:
“maslahat mursalah ialah pembinaan (penetapan hukum berdasarkan maslahat
(kebikan,kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan
secara umum atau secara khusus.”
Oleh karena itu maka maslahat tersebut di namai “ mursal” artinya terlepas
dengan tidak terbatas. Akan tetapi jika sesuatu maslahat telah ada ketentuan dari
syara’ yang menujuk kepadanya secara khusus, seperti penulisan Qur’an karena
dikhawatirkan akan tersia-sia atau seperti membrantas buta huruf (mengajarkan
menulis dan membaca), atau ada nash umum yang menunjukkan macamnya
maslahat yang harus dipertimbangkan, seperti wajibnyamencari dan menyiarkan
ilmu pengetahuan pada umumnya, atau seperti amar ma’ruf dan nahi mungkar,
maka maslahat-masahat trsebut tidak lagi disebut maslahat mursalah, dan
penetapan hulkumannya didasarkan atas nash bukan didasrkan atas aturan
maslaht mursalah.
2.9 Al-‘Urf
“urf diakui keberadaannya di dalamenentukan hukum, terutama dalam
menghadpi lafal-lafal yang bersifat umum. Untuk maksud tersebut, mujtahid
harus berusaha mendapatkannya. Billa tidak mungkin mendapatkannya daklam al-
quran dan sunnah dapat di tempat cara lain diluar dua dalil tersebut,diantara ‘urf
atau adat. Kebanyakan ulama menggunakan dalil ‘urf atau adat sebagai dalil
takhsin. Karena fungsi dari takhsis itu adalah menjelaskan, maka ini berarti bahwa
nash (teks) yang umum dalam al-quran atau sunnah dapat dijelaskan atau
dipahami menurut pemahaman ‘urf atau adat. Sehingga tidak perlu heran jika
banyak ayat-ayat yang maksudnya umum berlaku universal di pahami.
Sedangkan madzhab hanafi meletakkan ‘urf sebagai salah satu hukum
madzhabnya. Yang disimpulkan oleh abdullah siddik yang menegaskan bahwa:

1. Qur’an
2. Sunnah rasul atau hadist. Hadist yang diterima adalah hadit mutawir dan
hadist masyhur. Hadist ahad(sanad tunggal) di tolak,mereka lebih abik
mendahulukan qiyas daripada menggunakan hadist ahad.
3. Fatwa-fatwa para sahabat didahulukan dari qiyas
4. Qiyas
5. Istihsan (menjalankan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan pada
qiyas, tetapi didasarkan kepada kepentingan umum atau kepentingan
keadilan. Contoh maslah musyatarakah dalm hukum waris (fara’id) tidak
memberikan pusaka kepada para saudara lelaki sekandung dengan jalan
berserikat dengan para saudara lelaki seibu adalh atas dasar qiyas.
Sedangkan memberi pusaka kepada para saudara lelaki dengan jalan
menerima faraidh sudara-saudara lelaki seibu yang sepertiga itu apabila
dhu-faraid menghabisi harta peninggalan, hingga tak ada yang tinggal
untuk saudara lelaki saudara sekandung sebagainashabah adalah atas dasr
istihsan.
6. Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat, apabila tidak bertentangan
dengan Quran dan sunnah rasulnya.

2.10 Al-istihab
Istilah istihab memiliki arti tersendiri, sedangkan dalam ilmu ushul sendiri,
menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada
dalil yang merubahnya. Pada dasarnya istihab adalah menjadikan hukum tentang
sesuatu hal yang telah ada sejak semula tetap berlaku sampai adanya peristiwa
berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah hukum itu.
Istihab merupakan salah satu cara dari istidlal,istihab dapat dibagi ke dalam
dua jenis yaitu:

1. Istihab kepada hukum akal dalam predikat”boleh” istihab ini berdasarkan


atas prinsip bahwa asal sesuatu itu boleh. Karena itu kalau tidak ada dalil
pelarangan atau suruhan, maka sesuatu itu di hukumi boleh atau mubah.
2. Istihab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada
sesuatu dalil yang merubahnya.
B. Al-ahkam al-khamsah
Istilah Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata
hukum Khamsah artinya lima. Adapun arti ‘’al-hukmu’’ adalah menetapkan suatu
hal atau perkara terhadap suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya
ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya ‘’ahkamul khamsah erat kaitannya
dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua kata dimaksud (Al-
ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi adalah
ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh
hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban,
maupun dalam bentuk larangan. Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam
kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia
dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan haram. Lain halnya
hukum wadh’I yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan yang akan
terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum. Al-ahkam al-khamsahakan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaiz atau mubah
Jaiz atau mubah adalah sesuatu perbuatan yang dibolehkan untuk memilih
oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk
mengerjakan atau meninggalkan (sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan kalau ditinggalkan tidak dapat pahala dan tidak berdosa ). Hal ini
dalam pembahasan asas hukum Islam (ushul fiqh) disebut hukum takhyiri.
Ketentuan mubah biasanya dinyatakan dalam tiga bentuk, yaitu meniadakan dosa
bagi sesuatu perbuatan, pengungkapan halal bagi suatu perbuatan dan tidak ada
pernyataan bagi sesuatu perbuatan.
Contohnya:melakukan gerak badan di pagi hari, seorang laki-laki boleh
menikahi dua orang,tiga dan empat orang perempuan sebagai istrinya selama ia
mampu berbuat adil.
2. Sunnah (mandub)
Sunnah (mandub) adalah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah
SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baligh). Namun bentuk
anjuran itu diimbangi dengan pahala kepada orang mukallaf yang mengerjakannya
dan tidak mendapat dosa bagi yang meninggalkannya.
Sunnah (mandub) ini terbagi menjadi tiga yaitu: sunnah muakkad, sunnah
zaidah, dan sunnah fadhilah. Ketiga bentuk sunnah dimaksud akan diuraikan
sebagai berikut
· Sunnah muakkad yaitu suatu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat tetapi
penting. Karena Rasulullah saw. senantiasa melakukannya, dan hampir tidak
pernah meninggalkannya atau dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu
dikerjakan, ia dapat pahala sebaliknya kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.
Contohnya: azan sebelum salat, member sedekah, salat jamaah untuk salat fardhu,
dan dua salat hari raya yakni idhul fitri dan idhul Adha.
· Sunnah zaidah yaitu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat dan tidak
sepenting sunnah muakkad. Sebab, Nabi Muhammad biasa melakukannya dan
sering juga meninggalkannya.
Contohnya: puasa senin dan kamis, bersedekah kepada fakir miskin.
· Sunnah fadhilah yaitu ketentuan hukum yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad
dari segi kebiasaan-kebiasaan budayanya.
Contohnya: tata cara makan, minum, dan tidur dan sebagainya.
3. Makruh
Makruh (tercela) adalah sesuatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT
atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baliqh). Namun bentuk larangan
itu tidak sampai kepada yang haram.
Contohnya: masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam, ketika
melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan memperlambat berbuka puasa.

4. Haram
Haram adalah larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan akan
berdosa atau dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala
Contohnya: berzina, minum yang memabukkan, mencari, menipu dan sebagainya.
5. Wajib
Wajib menurut hukum islam adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah
SWT kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakannya, mesti
dikerjakannya ia mendapat pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau
dikenakan hukuman.
Contohnya: melaksanakan salat 5 waktu yang telah diperintahkan oleh
Allah, puasa di bulan ramadhan dll.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau
yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat
bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber
hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah,
qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya
‘’ahkamul khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu,
gabungan kedua kata dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut
hukum taklifi. Hukum taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para
mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan
hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan.
Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam kaidah atau lima kategori
penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam
yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan haram.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir dan Totok Jumantoro. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta: Amzah.
Asnawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Dahlan, Abd. Rahman. 2014. Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua). Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Firdaus. 2017. Ushul Fiqh. Depok: Rajawali Pers.
Ramayulis. 1989. Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai