Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum Islam dalam mengungkapkan


pesan hukumnya menggunakan berbagai macam cara, adakalanya dengan tegas dan
adakalanya tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada juga yang
mengedepankan maqasid ahkam (tujuan hukum). Dan dalam suatu kondisi juga
terdapat pertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya yang memerlukan
penyelesaiannya.

Maka dalam  memahami pesan hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an


dan sunnah, para ulama ushul telah menyusun semantik yang kemudian digunakan
untuk praktik penalaran fiqh. Adalah metode istinbat, yang berarti upaya menarik
hukum dari Al-Qur’an dan sunnah dengan jalan ijtihad. Salah satunya yaitu dengan
melihat dari aspek kebahasaan melalui Mutlaq dan Muqoyyad; serta Mantuq dan
Mafhum.

Berikut akan dijelaskan pengertian dari Mutlaq dan Muqoyyad, kaidah-


kaidah dan hukum yang berlaku di dalamnya dan juga permasalahannya; serta
Mantuq dan Mafhum, kaidah-kaidah dan hukum yang berlaku di dalamnya dan juga
permasalahannya.
B.     Rumusan Masalah
Dari penjelasan yang dipaparkan sebelumnya, pembahasan di makalah ini bisa
dibatasi sebagai berikut,
1.      Apa pengertian Mut}laq dan Muqayyad?
2.      Bagaimana hukum Mut}laq dan Muqayyad?
3 Bagaimana pendapat ulama tentang status perubahan Mut}laq menjadi Muqayyad?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian Mut}laq dan Muqayyad .
2.      Menjelaskan hukum Mut}laq dan Muqayyad.
3.      Menjelaskan pendapat ulama tentang perubahan status Mut}laq menjadi Muqayyad.

D.    Manfaat
1.      Mengetahui pengertian Mut}laq dan Muqayyad.
2.      Mengetahui hukum Mut}laq dan Muqayyad.
3.      Mengetahui pendapat ulama tentang perubahan status Mut}laq menjadi Muqayyad. 

BAB II

MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A.    Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
1.      Pengertian Mutlaq

Sebagaimana dimaklumi, nash-nash Al Quran sebagai rujukan hukum


acapkali turun dalam bentuk mutlaq. Yaitu entitas penunjuk pada nomenklatur baik
individu, benda yang umum, tidak terbatas dan tidak diberi kriteria sifat atau syarat.
Selain berupa mutlaq, pensyariatan itu dibatasi oleh kisi-kisi sifat dan kriteria
tertentu. Namun hakikatnya nomenklatur individu itu masih meliputi segala jenis.
Pembatasan seperti itu diistilahkan dengan muqyyad. Dalam konteks ulumul Quran,
Manna> Khalil al Qatta>n menjelaskan telah definisi atau istilah terminologi mutlaq
dan muqayyad. Menurut Qatta>n, mutlaq adalah bacaan yang menunjukkan suatu
hakikat tanpa suatu qayid atau (pembatas)7 . Jadi mutlaq hanya mengacu pada
indivdu atau nomenlatur yang tak tertentu. Hakikatnya, hal ikhwal individu itu masih
belum terpermanai. Dalam bahasa Inggris disebut dengan absolute8 . Pemaknaan
absolute dalam kamus ini lebih tepat dalam lema absolution, yang berarti pelepasan
atau pembebasan. Mutlaq sebagai lafaz biasanya, berbentuk nakiroh atau ism tanpa
ali>f dan la>m. Misalnya lafalz roqobah dalam fatahri>ru roqobatin. ‫ر رقبة‬BB‫فتحري‬
Artinya, maka wajib membebaskan budak (Al Mujadalah, 58: 3). Pernyataan ini
meliputi pembebasan seorang budak tanpa terbatas mukmin atau kafir. Lafaz roqobah
adalah nakiroh dalam kalimat positif. Namun demikian ada juga yang berbentuk
mudho>f wa mudho> ilaih. Aidiyakum ‫ ايديكم‬adalah contohnya. Muqayyad, sementara
itu, adalah lafaz yang menunjukkan sutau nomenkaltur dengan batasan (qoyyid).
Seperi roqobah yang dibatasi dengan mukminah: fatahri>ru roqobatin mu’minatin.
‫ة مؤمنة‬BB‫ر رقب‬BB‫ فتحري‬Artinya, maka hendaklah membebaskan budak yang beriman (An
Nisa, 4: 92). Muhammad Alwi Maliki Al Husni, dalam bukunya, Zubdatul Itqo>n fil
Ulu>mil Qura>an, menerangkan mutlaq adalah penunjuk tanpa batasan. Al Husni
merujuk pada pendapat banyak ulama bahwa ketika ditemukan dalil dengan
pembatasan, maka yang mutlaq disandarkan pada pembatas itu, tetapi jika tidak
ditemukan maka tidak berlaku pembatasan tersebut. Maka posisi mutlaq dibiarkan
dalam kebebasannya. Muqayyad, sementara itu apa yang dibatasi atau disandarkan
pada sesuatu. Semisal, kata aidiy dalam perintah wudlu mendapat qoyyid ilal
maro>fiqi. Begini definisi yang diuraikan oleh Al Husni dalam kitabnya tersebut: ‫على‬
‫ الدال قيد بال الماهية‬Segala yang umum tanpa pembatas.9 Dengan demikian pengertian
muqayyad adalah segala sesuatu yang memiliki pembatas. Contoh pada surat
Albaqoroh dalam dialog Nabi Musa dengan Bani Israil tentang perintah
penyembelihan sapi. tanpa sapi menyembelih untuk diminta Mereka ‫ان هلال يأمركم ان‬
‫رة‬B‫ تذبحوا بق‬kualifikasi, tanpa spesifikasi tanpa atribut dan tanpa pembatas, awalnya.
Namun kemudian mereka menanyakan spesifikasi sapi itu. Lalu, dijelaskanlah
spesifikasi . ‫ انها بقرة ال فارض وال بكر‬itu sapi Kasus lain yang menujukkan pentingnya
memahami mutlaq dan muqayyad bila dirujuk dari kalimat yang diutarakan Az Zuhri.
Ahli Hadith yang diminta Umar ibnu Abd Aziz mengkodifikasi hadith-hadith Nabi.
Kalimat atau makalahnya yang lengkap mengomentari perintah kebijakan penguasa
tentang kodifikasi Hadith begini, 10 ‫اديث‬BB‫ة االح‬BB‫ا على كتاب‬BB‫ ان هؤالء العمراء اكرهون‬Artinya,
Sesungguhnya mereka para penguasa itu memaksa kami menulis hadith-hadith.
Namun kalimat ini oleh seorang orientalis Iqnas Gholdziher diubah dari ‫اديث‬BB‫االح‬
menjadi ‫ احاديث‬. Yang pertama jelas merujuk pada hadith-hadith Nabi. Sedangkan
yang kedua bisa jadi sembarang hadith atau yang dianggap hadith. Perbadaan isim
makrifat dan nakiroh dalam kontek kalimat ungkapan Az Zuhri bisa berdampak fatal.
Dengan menggunakan makrifat berarti bentuk muqayyad, maka kita akan berasumsi
kuat bahwa hanya hadith-hadith yang shohih yang benatr-benar berasal dari Nabi
yang dikodifikasi tim Az Zuhri. Sedangkan, nakiroh bisa berarti mutlaq, berarti
sembarang hadith baik yang jelas kesahihannya maupun yang tidak jelas ke-shahihan-
nya. Pengertian tentang mutlaq dan muqayyad yang diuraikan, ada baiknya
dilengkapi dengan wawasan ulama atau sarjana modern yang mengartikulasikan
keilmuannya dalam bahasa Inggris. Shaykh Yaser Birjas, lulusan Universitas
Madinah, pengajar di Institute Al Maghrib tetapi tinggal dari Amerika menjelaskan
dalam berbagai kuliahnya Mutlaq merupakan entitas tanpa batasan. Mutlaq adalah
kata yang tidak terbatas atau tidak dikualifikasi dalam penerapan hukumnya. Mutlaq
menyangkut segala sesuatu yang tida terbatas. Dengan pengertian ini, apa yang bisa
dilakukan ketika ditemukan aturan semacam itu dalam Al Qura dan hadith? Mutlaq
diterapkan sejauh tidak ditemukan bukti yang menguatkan bahwa pembatas atau
kualifikasi terhadap yang mutlaq tersebut. Tentang muqayyad, sementara itu, Birjas
juga menjelaskan, “Basically, the muqayyad is an adjective of mutlaq. When mutlaq
become restricted or qualified by another word or words it becomes muqayyad12.”
Masih menurut Birjas bahwa pada dasarnya muqayyad adalah kata sifat atau atribut
pada mutlaq. Ketika mutlaq dibatasi atau diberi kualifikasi dengan kata atau frase,
maka mutlaq menjadi muqoyaad.

3. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad

Kaidah lafazh mutlaq dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:

a. Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash
lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung
pada sebab hukum.

b. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.

c. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam
hukumnya ataupun sebab hukumnya.

d. Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya


salam.

e. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

  
B. Hukum yang Terkandung di Dalam Mut}laq dan Muqayyad

Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib
diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalik yang membatasi kemutlakannya.
Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Yang
menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima
bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati
ialah:
a. Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa
lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b. Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya
memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat
pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing
tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
5. Hal-hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan Muqayyad
a. Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah
(maudu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada
muqayyad.
b. Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya
berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafiyah tidak boleh
membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai
dengan sifatnya.
Alasan Masing-masing Golongan
a. Alasan Hanafiyah
Merupakan suatu prisip bahwa kita melaksanakan adalah lafazh atas semua hukum
yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh muthlaq tetap pada
kemuthlaqannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash
merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang
terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang
bukan dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini, lafazh muthlaq tidak bisa dibawa
pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni
sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling bertentangan)
Hukum yang berlaku di dalam lafaz mut}laq adalah hukum ke-mut}laq-kannya
selama masih tidak terdapat dalil atau qarinah yang menunjukkan kemuqayyadannya.
Apabila dalil yang menunjukkan kemuqayyadannya, maka dalil ini memindahkan
hukum mut}laq kepada hukum muqayyad.[3]
Contoh dari lafad mut}laq yang berlaku hukum ke- mutlaq-kannya terdapat
dalam surah al-Mujadalah ayat 3,

Artinya: “orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak


menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Lafaz raqabat dalam ayat tersebut berlaku hukum mut}laq (terbebas) dari setiap
batasan yang mana kemutlakannya harus diberlakukan. Orang
yang menz}iha>r istrinya dan ingin kembali kepada istrinya,wajib memerdekakan
budak, baik beragama Islam maupun selain Islam.
Contoh mutlaq yang terdapat dalil yang membatasi kemutlakannya adalah
firman Allah SWT dalam surah al-Nisa’ayat 11,

Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia


buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.”
Lafaz wasiyyat merupakan bentuk kata mutlaq, yaitu bolehnya berwasiat dengan
ukuran berapapun. Akan tetapi, terdapat dalil yang membatasinya dengan sepertiga,
yaitu Hadith Rasulullah SAW yg diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqas, di mana
Beliau melarang wasiat lebih dari sepertiga.[4]
Adapun hukum yang berlaku di dalam lafaz muqayyad adalah tetapnya
mengamalkan atas kemuqayyadannya selama tidak ada dalil yang membatalkan
batasannya.[5] Contoh hukum muqayyad yang batasannya dibatalkan terdapat dalam
al-Nisa’ ayat 23,

Artinya: “…anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara…”
Hukum yang diberlakukan adalah batasan yang kedua, yaitu disyaratkannya
“bercampur” dengan istri. Batasan yang pertama, yaitu pengasuhan suami,
penjagaannya, dan pendidikannya tidak diberlakukan, karena dalam mayoritas
kebiasaan manusia, pengasuhan anak lebih banyak diperankan oleh sang ibu. Hal ini
َ ‫فَِإ ْن لَ ْم تَ ُكوْ نُوْ ا َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَالَ ُجن‬
diperkuat dengan ayat ]6[.  ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم‬

C.    Peralihan Mut}laq ke Muqayyad
 Di dalam Alquran terdapat banyak lafaz-lafaz yang mempunyai redaksi
mirip yang maksud maknanya sama. Dengan adanya hal ini, timbul sebuah
pertanyaan, apabila terdapat suatu ayat dengan lafaz mutlaq dan di ayat lain terdpat
ayat dengan lafaz muqayyad yang kedua-duanya mempunyai redaksi yang mirip,
apakah lafaz mutlaq beralih maknanya kepada muqayyad? Atau lafaz mutlaq tersebut
berlaku atau beramal sesuai dengan kemutlakannya? Dan atau
lafaz muqayyad beramal sebagaimana pembatasannya di dalam ayat tersebut.
Keadaan ini menimbulkan empat kemungkinan, yaitu sebagai berikut
1.      Apabila hukum dan objek pembahasannya mempunyai makna yang sama, ahli
Fikih menyepakati bahwa mutlaq berubah menjadi muqayyad, seperti  contoh firman
Allah SWT surah al-Maidah ayat 3,
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, …“
Lafaz al-damu merupakan bentuk mutlaq, tetapi berubh menjadi muqayyad dengan
adanya firman Allah SWT suran al-An’am ayat 145

Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan


kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi …”
Sebab dalam dua ayat tersebut adalah satu, yaitu bahaya darah dan hukumnya pun
juga satu, yaitu diharamkannya mengonsumsi darah.[7]
Oleh karena itu, lafaz mutlaq pada ayat tersebut berubah status
menjadi muqayyad dengan kesimpulan bahwa yang diharamkan adalah darah yang
mengalir bukan yang lainnya.
2.      Apabila hukum dan sabab di dalam lafaz mutlaq berbeda dengan hukum dan sabab
di dalam lafaz muqayyad, menurut imam Hanafiy dan para pengikutnya,
lafaz mutlaq tidak bisa berubah status menjadi muqayyad.[8] Mutlaq beramal dengan
kemutlakannya dan muqayyad beramal dengan kemuqayyadannya pada tempatnya
masing-masing. Contohnya adalah firman Allah SWT surah al-Maidah ayat 38

Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
dan surah al-Maidah ayat 6

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafaz aidiyahuma> pada ayat yang pertama merupakan lafaz mut}laq dan
lafaz aidiykum merupakan lafaz muqayyad. Sebab dalam dua ayat tersebut berbeda,
yaitu pencurian dan akan bersholat setelah berhadas. Hukumnya pun juga berbeda.
Hukum pada ayat pertama adalah memotong tangan orang yang mencuri dan pada
ayat yang kedua adalah membasuh tangan.[9] Oleh karena itu, mutlaq pada keadaan
ini tidak bisa berubah status menjadi muqayyad karena tidak ada korelasi sama sama
di dalam kedua ayat itu.
3.      Apabila hukum berbeda tetapi sebabnya sama, maka mutlaq tetap berstatus
menjadi mutlaq dan kedua-duanya diberlakukan pada tempatnya masing-masing.
[10] Contohnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 6,

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, …”
dan surah al-Maidah ayat 6 pula

Artinya: “…lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”
Sebab dari dua ayat tersebut adalah satu, yaitu berhadas ketika akan melaksanakan
shalat. Hukum dalam dua ayat tersebut berbeda, yaitu membasuh tangan dalam
wudhu dan mengusap tangan dalam tayammum. Mutlaq dalam keadaan ini tidak bisa
berubah status menjadi muqayyad. Akan tetapi, kedua-duanya diberamalkan pada
tempatnya masing-masing.[11]
4.      Apabila hukum dalam mutlaq dan muqayyad satu dan sebab hukumnya berbeda,
ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyyah dan Ja’fariyyah, mutlaq tidak
berubah status menjadi muqayyad dan mutlaq beramaldengan kemutlakannya
dan muqayyad beramal dengan kemuqayyadannya pada tempatnya masing-masing.
[12] Ulama Hanafiyyah beralasan bahwa perbedaan sebab merupakan faktor
kemutlakan atau kemuqayyadan. Sedangkan ulama Shafi’iyyah dan
ulama Hanabilah berpendapat bahwa mutlaq berubah status
menjadi muqayyad dengan alasan bahwa selama hukum itu satu beserta dengan
adanya lafaz yang mutlaq  di satu sisi dan adanya lafaz yang muqayyad di sisi lain,
maka mulaq seharusnya berubah menjadi muqayyad karena menolak pertentangan
antara dalil dan menguatkan keselarasan antara beberapa nash.[13]

[1]Abdul Wahbah al-Zauhailiy, Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-


Fikr, 1999), 206. Muhammad Sulaiman al-Ashqar, senada dengan Abdul Wahbah al-
Zuhailiy, mendefinisikan mutlaq dengan “sesuatu yang menunjukkan kepada makna
menyeluruh yang tidak dibatasi keumumannya dengan suatu lafaz. Lihat Muhammad
Sulaiman al-Ashqar, Al-Wa>dhih fi> Ushu>l al-Fiqh li al-mubtadii>n, (Kuwait: al-
Da>r al-Salafiyyah, 1983), 161.
[2]Ibid, 206.
[3]Ibid., 206.
[4]Abdul Karim Zaidan,  Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, (Bairut: Maktabah al-
Bathair, 1976), 285.
[5]Abdul Wahbah al-Zauhailiy, Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 207.
[6]Ibid., 207.
[7]Muhammad Abu Zahrah, Ushu>l al-Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), 171.
[8]Ibid., 171.
[9]Abdul Karim Zaidan,  Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 287.
[10]Ibid., 287.
[11]Ibid., 287.
[12]Ibid., 287. Prof. Dr. Abdul Wahbah al-Zuhailiy menjelaskan bahwa yang
berpendapat tidak berubahnya status mutlaq kepada muqayyad dalam keadaan ini
adalah ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah. Lihat Abdul Wahbah al-Zauhailiy, Al-
Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 209.
[13]Abdul Karim Zaidan,  Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 288.
 
BAB III

PENUTUP

A.      Simpulan
Dari penjelasan yang singkat dan padat di makalah ini, bisa diambil
beberapa benang merah sebagai berikut,
1.      Mut}laq adalah lafaz khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan dan tidak
dibatasi dengan suatu sifat dari beberapa sifat. Muqayyad adalah lafaz khas yang
menunjukkan kepada makna keseluruhan yang dibatasi dengan suatu sifat dari
beberapa sifat.
2.      Hukum yang berlaku di dalam lafaz mut.laq adalah hukum kemutlakannya selama
masih tidak terdapat dalil atau qarinah yang menunjukkan kemuqayyadannya. Hukum
yang berlaku di dalam lafaz muqayyad adalah tetapnya mengamalkan atas
kemuqayyadannya selama tidak ada dalil yang membatalkan batasannya.
3.      Apabila Hukum dan sebab di dalam mutlaq dan muqayyad satu,
maka mutlaq berubah status menjadi muqayyad. Apabila sebab dan hukum berbeda
dalam keduanya, maka mutlaq tidak berubah status menjadi muqayyad. Apabila
sebabnya satu dan hukumnya berbeda dalam keduanya, maka mutlaq tidak berubah
status menjadi muqayyad dan kedua-duanya diberamalkan. Apabila hukumnya satu
dan sebabnya berbeda, ulama berbeda pendapat.
B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan para membaca memahami
pengertian mutlaq dan muqayyad dan mengerti bagaimana hukum dan status
perubahan mutlak dan muqayyad.
 
 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashqar, Muhammad Sulaiman. Al-Wa>dhih fi> Ushu>l al-Fiqh li al-


Mubtadii>n. Kuwait: al-Da>r al-Salafiyyah. 1983.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Bairut: Dar al-Fikr al-Arabiy. 1958.
Al-Zuhailiy, Abdul Wahbah. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr: 1999.
Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Bairut: Maktabah al-Bathair. 1976.

Anda mungkin juga menyukai