Anda di halaman 1dari 9

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi


sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada
terkira besarnya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul
”HAKIM DAN MAHKUM BIH”.
Dalam penyusunannya, saya memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak, karena itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Dosen dan teman – teman yang telah memberikan dukungan. Dari sanalah semua
kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan
dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

Meskipun saya berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wasalamualaikum Wr. Wb
DAFTAR ISI :

Cover Makalah......................................................................................................................... 1

Kata Pengantar......................................................................................................................... 2

Daftar isi................................................................................................................................... 3

BAB I

pendahuluan.............................................................................................................................. 4

A.Latar belakang....................................................................................................................... 4

B.Rumusan masalah.................................................................................................................. 4

C.Tujuan penulisan.................................................................................................................... 4

BAB II pembahasan materi....................................................................................................... 5

A.Pengertian hakim................................................................................................................... 6

B.Pengertian mahkum bih......................................................................................................... 7

C.Syarat objek hukum............................................................................................................... 7

D.Macam mahkum bih.............................................................................................................. 8

BAB III
penutup...................................................................................................................................... 9

A.Kesimpulan............................................................................................................................ 9

B.Kritik dan Saran..................................................................................................................... 9

Daftar Pustaka............................................................................................................................ 10

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bih, mahkum fih
dan mahkum alaih. Adapun istilah mahkum fih penyusun makalah tidak
membahasnya di makalah ini karena penyusun lebih menekankan pada tugas
dosen yakni pengertian al-hakim, mahkum bih dan mahkum alaih saja. Dalam
perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda
menurut para ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu
hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih. Karena semua pengertian pemahaman
mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat
dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.

Konsep dasar tentang; al-hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih penuh
perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam
hukum islam. Sebagai mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua
umat islam dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Hakim dalam Ushul Fiqh ?
2. Apa yang dimaksud dengan Mahkum Bih ?
3. Apa syarat objek hukum Mahkum Bih ?
4. Apa macam Mahkum Bih ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar bisa memahami makna Al-Hakim dalam ilmu Ushul Fiqh.
2. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum
Bih beserta penjabarannya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hakim (Al-Hakim)

Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang
maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab,
yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala
sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga
digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan.Untuk pengertian
yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi.Dari
segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang
memutus perkara di pengadilan.

Adapun menurut terminologi ushul fiqh maka makna dan cakupanya jauh lebih
luas, kata hakim menunjuk kepada pihak yang menciptakan dan menetapkan
hukum syariat secara hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah
yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-
Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah). Sebagaimana Firman Allah ta’ala,
pada surah al-An’am ayat ke-57, “Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas
hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak
ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya
dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.

Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang berhak
mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-
hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya.Dalam
konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah
yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm
(yang membuat hukum menjadi nyata).Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-
hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan hukum.Yang berhak membuat
dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah Subhanahu Wata’ala, tidak siapapun
yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan
kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’ (pembuat syariat),
harus pula ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukankarena
beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena
beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat
yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks
inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah

4
Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu
matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) d1an wahyu ghairu matluw (wahyu
yang tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).

Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil
pengertian bahwa hakim adalah;

1. Pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan hukum dan


yang membuat sumber hukum.
2. Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang
memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa


Al-Hakim adalah Allah Subhanahu Wata’ala.Dialah pembuat hukum dan menjadi
satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua mukallaf.
Dan dari pemahaman seperti ini pulalah, para ahli ushul bersepakat untuk
membuat sebuah teori bahwa “Tidak ada hukum kecuali yang bersumber dari
Allah, sedangkan dasar munculnya teori tersebut adalah firman Allah ta’ala pada
ayat-ayat-Nya yang mulia, yaitu;

a) Al-An’am:57

“Menetapkan hukum itu hanyalah Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan


Dia pemberi keputusan yang paling baikhuku

b) Al- Maidah;49,44 dan 45


- Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah.
- Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.
- Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim.

1
Dahlan, Abd.Rahman ,Ushul Fiqh (Jakarta:AMZAH,2010)
² Ma’sum Zainy al-Hasyimiy, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah
Jombang,2008.

5
B. Pengertian Mahkum Bih

Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan


tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy.Sebagian ulama ushul fiqh
menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum.
Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf,
yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat 2diberi ketentuan,
wajib, sunnah, makruh,atau haram,atau mubah adalah perbuatan mukallaf.

C. Syarat Objek Hukum (Mahkum Bih).

Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi
yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria
persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat
hukum taklifi ialah sebagai berikut;

a) Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas


bahwa yang memerintahkan atau melarang, atau memberi
pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu
perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang
jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari
Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat hukum
taklifi.
b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan
mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan
kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya,
mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh
mukallaf tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan
kepada perintah atau larangan yang tidak jelas. Misalnya,
pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan
shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih
bersifat umum, dan belum ada perincian
tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta
persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat diatas
saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib
melaksanakan shalat.Karena itulah rasulullah
SAWkemudian memberi contoh dan penjelasan tentang
shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas
perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat

2
³ Dzurrotun Ainin, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi.
⁴ Syafe’i ,Rachmad,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010).

6
diberi predikat hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan
shalat.
c) perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau
dilarang melakukannya atau ia bebas memilihnya,
haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk
melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan
larangan Allah SWT adalah untuk dipatuhi dan demi
kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak
pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu
perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal
ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah;286.

D. Macam Mahkum Bih

Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi, yaitu dari segi
kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’ yang terdiri atas :

1. Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk


perbuatan syara’ : misalnya makan dan minum, adalah
perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait hukum
syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab
hukum syara’, misalnya perzinaan, pencurian, dan
pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hu3dud dan
qishas.
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam
syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah di
tentukan, misalnya shalat dan zakat.
4. Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang
mengakibatkan adanya hukum syara’ misalnya : nikah, jual
beli dan sewa menyewa.

3
⁴ Umam, Khairul, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000).
⁵ Haroen,Nasroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999).
⁶ A.Syafi’I, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997).

7
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi
etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim
yang memutus perkara di pengadilan. Kata hakim menunjuk kepada pihak
yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki. Dalam
hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan
hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim
adalah Allah). Selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’ (pembuat
syariat), harus pula ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
bukan karena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan
syariat, tetapi karena beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan
aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah
Subhanahu Wata’ala. Kesimpulannya adalah Allah ta’ala sebagai pembuat
syari’at dan Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai penjelas bagi
kita untuk mengetahui syariat itu sendiri.

2. Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam


perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy. Sebagian
ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk
pengertian objek hukum.

B. Kritik dan Saran

8
Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih jauh Dari kata sempurna, untuk itu diperlukan kritik dan saran yang
demi kelancaran Proses pembelajaran dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

• Dahlan, Abd.Rahman ,Ushul Fiqh (Jakarta:AMZAH,2010).


• Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh
(Jombang:Darul Hikmah Jombang,2008.
• Faizah , Dzurrotun Ainin, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan
mahkum Alaihi ,
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-
mahkum-bihimahkum-fihi-dan-mahkum.html ,Selasa, 29 April
2014.
• Syafe’i ,Rachmad,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia
2010).
• Umam, Khairul, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000).
• Haroen,Nasroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999).
• Karim, A.Syafi’I, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia,
1997).

Anda mungkin juga menyukai